1.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sungai merupakan suatu ekosistem perairan mengalir yang menerima
limpasan dari daratan sepanjang daerah alirannya. Pergerakan air atau aliran arus
dari sungai ialah satu arah (unidireksional). Daerah aliran sungai ditinjau dari segi
ekologis berkaitan dengan keadaan geologi, fisiologi, iklim, flora, fauna, tata guna
lahan, dan kegiatan manusia. Pada umumnya sungai dimanfaatkan oleh masyarakat
untuk berbagai keperluan dan kegiatan, seperti keperluan industri, rumah tangga,
transportasi, kegiatan perikanan, pertanian, dan juga untuk pariwisata. Dengan
adanya pemanfaatan sungai tersebut akan mempengaruhi kondisi perairan dan dapat
menurunkan kualitas dan nilai guna dari air sungai.
Penurunan kualitas perairan dapat menyebabkan terjadinya perubahan
komposisi organisme yang menghuni suatu perairan tersebut. Komunitas organisme
yang dapat digunakan sebagai pendekatan dalam menduga kualitas perairan tempat
organisme itu berada umumnya ialah makrozoobenthos. Hal ini dikarenakan hewan
ini hidupnya bersifat relatif menetap, pergerakan yang rendah, serta kemampuannya
untuk mengakumulasi bahan pencemar di dalam tubuhnya. Pendekatan kualitas
perairan sungai dengan melihat struktur organisme dalam hal ini makrozoobenthos
yang ada di sungai dikenal sebagai pendekatan secara biologi.
Penggunaan struktur komunitas makrozoobentos sebagai bioindikator kualitas
perairan sungai sudah umum digunakan, diantaranya Sudarso et al. (2009)
mengklasifikasikan tingkat kerusakan atau gangguan di beberapa ruas Sungai
Cisadane berdasarkan pada komunitas benthos. Di negara – negara maju dalam
menilai tingkat kesehatan sungai, menggunakan materi biologi seperti komunitas
fauna makrobenthik atau benthos untuk mengetahui status dan bagaimana perubahan
kualitas air akibat aktifitas antropogenik (Lenat & Barbour 1994; Reynoldson &
Metcalfe-Smith 1992; Smith et al. 2007; Haase et al. 2004 in Sudarso et al. 2009).
USEPA (2002) in Hauer & Lamberti (2007) menyatakan bahwa 49 dari 50 negara
bagian di Amerika Serikat menggunakan makrozoobenthos dalam pemantauan
Sungai Ciambulawung yang berada di Desa Hegarmanah, Kebupaten Lebak,
Banten ini dimanfaatkan oleh warga sekitar sebagai Pembangkit Listrik Tenaga
Mikro Hidro (PLTMH), dengan adanya kegiatan mikro hidro tersebut diperlukan
suatu upaya pemantauan dan pengelolaan kondisi lingkungan perairan sungai
tersebut. Salah satu upaya pemantauannya yaitu dengan mengidentifikasi
bagaimana struktur komunitas makrozoobenthos yang terdapat di sungai sebagai
bioindikator kualitas perairan.
1.2. Perumusan Masalah
Kondisi lingkungan perairan, seperti parameter fisika dan kimia dari perairan
mempengaruhi kepadatan, komposisi, dan tingkat keragaman makrozoobenthos.
Keberadaan makrozoobenthos juga sangat dipengaruhi oleh kandungan bahan
organik, substrat perairan dan limpasan permukaan saat hujan. Kandungan bahan
organik secara alami semakin ke hilir akan bertambah seiring dengan aliran sungai
yang unidireksional. Semakin tinggi kandungan bahan organik di sungai akan
menyebabkan menghilangnya beberapa jenis makrozoobenthos dan melimpahnya
makrozoobenthos yang dapat bertahan. Keragaan struktur komunitas inilah yang
menjadi bioindikator dari kualitas perairan, sehingga perlu diketahui untuk menduga
kondisi lingkungan perairan. Oleh karena itu dibutuhkan kelengkapan data dari
makrozoobenthos yang ada di perairan sungai. Skema perumusan masalah struktur
komunitas makrozoobenthos disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Skema perumusan masalah struktur komunitas makrozoobenthos sebagai bioindikator kualitas perairan
kualitas air : parameter fisika dan kimia
bahan organik
makrozoobenthos
bioindikator struktur komunitas
1.3. Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk menilai kondisi perairan Sungai Ciambulawung
dengan menggunakan struktur komunitas makrozoobenthos sebagai bioindikator.
1.4. Manfaat
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai
kondisi lingkungan perairan Sungai Ciambulawung melalui perameter biologi,
sehingga dapat menjadi masukan dalam pengelolaan dan pengembangan sungai
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Makrozoobenthos Sebagai Bioindikator Kualitas Perairan
2.1.1. Organisme makrozoobenthos
Organisme benthos merupakan organisme yang melekat atau beristirahat pada
dasar perairan dan hidup di dasar endapan (substrat) perairan. Benthos yang tinggal
atau hidup di dalam sedimen dasar perairan disebut infauna sedangkan yang hidup
pada permukaan sedimen dasar perairan disebut epibenthik (Odum 1993). Menurut
Nybakken (1992) benthos berdasarkan ukurannya dapat digolongkan menjadi :
1) Makrobenthos dengan ukuran lebih dari 1,0 mm
2) Meiobenthos dengan ukuran antara 0,1 - 1 mm
3) Mikrobenthos dengan ukuran kurang dari 0,1 mm
Makrobenthos merupakan organisme yang mencapai ukuran sekurang kurangnya
3-5 mm pada saat pertumbuhan maksimum. Organisme makrobenthos biasanya terdiri
atas insekta, moluska, oligochaeta, krustacea – amphipoda, isopoda, decapoda, dan
nematoda (Cummins 1975).
Benthos meliputi organisme nabati (fitobenthos) dan organisme hewani
(zoobenthos). Pada lingkungan yang dinamis seperti sungai hewan benthos
(zoobenthos) dapat memberikan gambaran mengenai kualitas perairan, karena
benthos hidup relatif menetap dan mengalami kontak langsung dengan limbah yang
masuk ke habitatnya. Kelompok hewan ini dapat memberikan gambaran mengenai
perubahan faktor - faktor lingkungan dari waktu ke waktu. Diantara hewan benthos
yang relatif mudah diidentifikasi dan peka terhadap lingkungan perairan adalah jenis
- jenis yang termasuk dalam kelompok invertebrata makro. Kelompok ini lebih
dikenal dengan makrozoobenthos.
2.1.2. Bioindikator kualitas perairan
Dalam mengkaji kondisi perairan, selain ikan penggunaan struktur komunitas
avertebrata seperti makrozoobenthos untuk menggambarkan kondisi ekosistem
untuk dapat menduga kualitas perairan secara tepat perlu memperhatikan hal – hal
sebagai berikut :
1. Keberadaan atau ketiadaan organisme harus lebih merupakan fungsi kualitas
air daripada faktor ekologis
2. Metode yang digunakan harus diyakini dapat menduga kualitas air sehingga
dapat diperbandingkan
3. Pendugaan harus terkait dengan kualitas air untuk jangka waktu yang cukup
lama, bukan hanya pada saat sampling
4. Perlu diperhatikan bahwa pendugaan harus lebih dikaitkan dengan tujuan
sampling
5. Sampling, penyortiran, identifikasi, dan pengolahan data harus dilakukan
secara baik dan benar.
Keberadaan makrozoobenthos di perairan dipengaruhi oleh faktor lingkungan
biotik dan abiotik. Faktor biotik yang berpengaruh diantaranya ialah bakteri
(dekomposer) yang membantu proses dekomposisi bahan organik. Dimana bahan
organik tersebut merupakan salah satu sumber makanan bagi makrozoobenthos.
Faktor abiotik yang berpengaruh ialah seperti parameter fisika dan kimia perairan,
diantaranya suhu, kecerahan, pH, oksigen terlarut, kebutuhan oksigen biokimiawi
(BOD), arus, dan kedalaman.
Menurut Wilhm (1975) kelompok spesies makrozoobenthos berdasarkan
kepekaan terhadap perubahan lingkungan perairan yaitu :
a. Kelompok intoleran ialah organisme yang dapat tumbuh atau berkembang dalam
kisaran kondisi lingkungan yang sempit dan jarang dijumpai di perairan yang
kaya bahan organik. Organisme ini tidak dapat beradaptasi pada kondisi perairan
yang mengalami penurunan kualitas. Contohnya beberapa famili dari Ordo
Ephemeroptera, Ordo Tricoptera, dan Ordo Plecoptera.
b. Kelompok fakultatif yaitu organisme yang dapat bertahan hidup pada kisaran
kondisi lingkungan yang lebih besar dibandingkan organisme intoleran, namun
tidak dapat mentolerir kondisi lingkungan yang tercemar berat. Contohnya dari
c. Kelompok toleran yaitu organisme yang dapat berkembang pada kisaran kondisi
lingkungan yang luas, sering ditemukan pada perairan yang tercemar dan tidak
peka terhadap tekanan lingkungan. Contohnya cacing dari famili Tubificidae.
Kelompok – kelompok ini dalam struktur komunitas dapat menunjukan kondisi
perairan berdasarkan derajat pencemaran, yang disajikan pada Tabel 1, dan beberapa
spesies yang termasuk golongan intolerant, fakultatif, dan toleran (Tabel 2).
Tabel 1. Struktur komunitas makrozoobenthos pada kondisi perairan tertentu (The Georgia Water Quality Control Board 1971 in Wilhm 1975)
Jenis Perairan Struktur Komunitas
Bersih Komunitas makrozoobenthos yang seimbang dengan beberapa populasi intoleran diselingi populasi fakultatif tanpa ada satu spesies yang mendominan
Tercemar sedang Penghilangan atau pengurangan banyak spesies intoleran dan berbagai fauna dari fakultatif dengan satu atau dua spesies dari kelompok toleran akan mendominan
Tercemar Komunitas makrozoobenthos dengan jumlah spesies terbatas, diikuti dengan penghilangan kelompok intoleran dan fakultatif Tercemar berat Penghilangan hampir seluruh makrozoobenthos kecuali cacing
Oligochaeta atau organisme yang dapat bernafas melalui udara atau kemungkinan menghilangnya seluruh kehidupan
Tabel 2. Beberapa contoh makrozoobenthos berdasarkan kepekaannya terhadap bahan pencemar (Gaufin 1958 in Wilhm 1975)
Status Jenis Makrozoobenthos
Intoleran Ephemera simulans (lalat sehari), Acroneuria evoluta (lalat batu), Chimarra obscura, Mesovelia sp. (kepik), Helichus lithopilus (kumbang), Anppheles punctiennis (nyamuk)
Fakultatif Stenonema heterotarsale (lalat sehari), Taeniopteryx maura (lalat batu), Hydropsyche bronta, Agrion maculatum, Corydalis cornutus (lalat), Agabus stagninus (kumbang), Chironomus decorus, Helodrilus chlorotica (cacing oligochaeta)
Toleran Chironomus riparum (sejenis nyamuk), Limnodrilus sp. dan Tubifex sp. (cacing oligochaeta)
2.2. Parameter Fisika Kimia Perairan
Keanekaragaman organisme makrozoobenthos di perairan dipengaruhi oleh
faktor fisika kimia perairan. Beberapa faktor fisika dan kimia yang mempengaruhi
2.2.1. Suhu
Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, lintang (latitude), ketinggian
dari permukaan laut (altitude), waktu dalam sehari, sirkulasi udara, penutupan awan,
dan aliran serta kedalaman badan air. Perubahan suhu berpengaruh terhadap proses
fisika, kima, dan biologi badan air (Effendi 2003). Menurut Angelier (2003), suhu
merupakan faktor ekologi penting di aliran air.
Sebagian besar dari makrozoobenthos dapat melakukan toleransi pada suhu
air di bawah 350C (Ward 1992). Menurut Macan (1974) suhu 36,5 - 410C
merupakan lethal temperature bagi makrozoobenthos artinya pada suhu tersebut
organisme benthik telah mencapai titik kritis yang dapat menyebabkan kematian.
2.2.2. Kecepatan arus
Kecepatan arus mempengaruhi keberadaan dan komposisi makrozoobenthos
serta secara tidak langsung mempengaruhi substrat perairan (Nietzke 1973 in
Hawkes 1975). Kekuatan arus dapat mengikis sedimen sungai bahkan
menghanyutkan hewan - hewan dasar dan juga adaptasi yang mempengaruhi
kemampuan bergerak komunitas biotanya. Arus sering menyebabkan berbagai jenis
hewan dasar perairan yang terdapat pada batu dan di antara batu - batu sungai
hanyut terbawa arus. Organisme yang hidupnya menetap pada substrat sangat
membutuhkan arus untuk membawa makanan, oksigen, dan lain lain. Kecepatan
arus berpengaruh langsung terhadap pembentukan substrat dasar perairan dan
berpengaruh tidak langsung terhadap pembentukan komposisi benthos (Hawkes
1979).
Kecepatan arus perairan mengalir dapat diklasifikasikan sebagai berikut < 10
cm/detik tergolong berarus sangat lambat, 10 - 25 cm/detik berarus lambat, 25 - 50
cm/detik berarus sedang, 50 - 100 cm/detik berarus cepat, >100 cm/detik berarus
sangat cepat (Welch 1980 in Rachmawati 1999). Menurut Basmi (1999), biota yang
hidup dibatu - batu air deras seperti lalat sehari (Mayfly) dan lalat batu (Stonefly),
memiliki tubuh yang yang pipih serta mempunyai perlengkapan lain agar dapat
2.2.3. Kekeruhan
Kekeruhan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan
banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan - bahan yang terdapat
di dalam air. Kekeruhan disebabkan oleh adanya bahan organik dan anorganik yang
tersuspensi dan terlarut (misalnya lumpur dan pasir halus), maupun bahan anorganik
dan organik yang berupa plankton dan mikroorganisme lain (APHA 1976; Davis &
Cornwell 1991 in Effendi 2003).
Perbedaan kekeruhan yang sangat besar sering terjadi di sungai. Di sungai -
sungai pegunungan dengan substrat berbatu kekeruhan biasanya rendah. Sementara
di sungai - sungai dataran rendah kekeruhannya biasanya tinggi (Welch 1952).
Kekeruhan dapat berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap
makrozoobenthos. Pengaruh langsung terhadap pola makan dan kemampuan
melekat sedangkan pengaruh tidak langsung terhadap ketersediaan oksigen.
Kekeruhan yang tinggi dapat mengakibatkan terganggunya pernafasan dan daya
lihat organisme akuatik, serta dapat menghambat penetrasi cahaya ke dalam air.
2.2.4. Tipe substrat
Karakter dasar suatu perairan sangat menentukan penyebaran
makrozoobenthos (Odum 1993). Ward (1992) menjelaskan bahwa substrat - substrat
perairan merupakan campuran dari beberapa ukuran materi dan partikel yang
tersusun dari kepingan batu, walaupun ada juga tipe substrat seragam tunggal seperti
batuan dasar yang mungkin dominan pada habitat ini. Padatan substrat permukaan
(batu, batang kayu, tumbuhan hidup) dan sedimen dasar yang halus didiami oleh
serangga haptobenthik dan herpobenthik.
Komposisi substrat di sungai bervariasi baik secara temporal atau spasial, hal
ini berhubungan dengan kecepatan arus. Detritus dasar yang berasal dari daratan
memiliki peran besar di sungai dibandingkan di danau, khususnya penting bagi
ekologi dari serangga di hulu yang sekitarnya hutan. Menurut Roback (1974), nimfa
Ephemeroptera (lalat sehari) tergantung jenisnya hidup pada tumbuhan air, lumpur,
potongan – potongan kayu, batu kerikil, dasar batu, dan beberapa ditemukan hanya
2.2.5. Derajat keasaman (pH)
Nilai pH menyatakan intensitas keasaman atau alkalinitas dari suatu contoh air
dan mewakili konsentrasi ion hidrogennya. Konsentrasi ion hidrogen ini akan
berdampak langsung terhadap keanekaragaman dan distribusi organisme serta
menentukan reaksi kimia yang akan terjadi. Dari hasil aktivitas biologi dihasilkan
CO2 yang merupakan hasil respirasi, CO2 inilah yang akan membentuk ion buffer
atau penyangga untuk menyangga kisaran pH di perairan agar tetap stabil (Goldman
& Horne 1983). Menurut Brower etal. (1990), nilai pH berpengaruh langsung pada
keanekaragaman dan distribusi organisme serta berpengaruh juga pada beberapa
reaksi kimia alami yang terjadi di lingkungan perairan.
Makrozoobenthos mempunyai kenyamanan kisaran pH yang berbeda - beda.
Sebagai contoh, Gastropoda lebih banyak ditemukan pada perairan dengan pH di
atas 7, sedangkan kelompok insekta banyak ditemukan pada kisaran pH 4,5 - 8,5.
2.2.6. Oksigen terlarut
Sumber utama oksigen terlarut di perairan dari atmosfer dan fotosintesis
tumbuhan air (Ward 1992). Di daerah aliran air biasanya kandungan oksigen berada
dalam jumlah yang cukup banyak. Oleh karena itu hewan pada aliran air umumnya
mempunyai toleransi yang sempit dan terutama peka terhadap kekurangan oksigen
(Odum 1993). Di daerah hulu turbulensi membantu pertukaran gas terlarut antara
atmosfer dan permukaan air. Kadar oksigen terlarut berfluktuasi secara harian
(diurnal) dan musim tergantung pada percampuran (mixing) dan pergerakan
(turbulance) massa air, aktivitas fotosintesis, respirasi dan limbah (effluent) yang
masuk ke badan air.
Oksigen terlarut merupakan faktor lingkungan yang penting sekali bagi
serangga air untuk menunjang proses respirasinya (Ward 1992). Interaksi antara
oksigen terlarut dengan arus, substrat, dan suhu menunjang ekologi serangga air,
pola distribusi dari oksigen terlarut akan berpengaruh juga pada pola distribusi
serangga air. Nimfa Stonefly mengalami kematian setelah 24 jam ketika terjadi
2.2.7. Kebutuhan oksigen kimiawi (COD)
Chemical oxygen demand (COD) menggambarkan jumlah total oksigen yang
diperlukan untuk mengoksidasi bahan organik secara kimiawi, baik yang dapat
didegradasi secara biologis (biodegradable) maupun yang sulit didegradasi secara
biologis (non biodegradable) menjadi CO2 dan H2O. Kebutuhan oksigen kimiawi
(COD) ini umumnya lebih besar dari kebutuhan oksigen biokimia (BOD), karena
jumlah senyawa kimia yang dapat dioksidasi secara kimiawi lebih besar
3. METODE PENELITIAN
3.1. Waktu dan Lokasi Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel makrozoobenthos dilakukan pada tanggal 19 Februari, 19
Maret, dan 21 Mei 2011 pada jam 10.00 – 12.00 WIB. Lokasi dari pengambilan
sampel ini yaitu di Sungai Ciambulawung, Desa Hegarmanah, Kecamatan Cibeber,
Kabupaten Lebak, Propinsi Banten. Sampel diambil pada tiga stasiun (Gambar 2).
Tiap stasiun dilakukan pengambilan sampel pada 2 kondisi yaitu bagian riffle dan
pool dimana pada masing – masing kondisi tersebut dilakukan 2 kali ulangan.
Lokasi dari Sungai Ciambulawung dapat dilihat pada Lampiran 1.
Gambar 2. Peta lokasi tiap stasiun pengamatan di Sungai Ciambulawung
3.2. Bahan dan Alat serta Teknik Pengambilan Sampel
3.2.1. Makrozoobenthos
Alat dan bahan yang digunakan untuk pengambilan sampel makrozoobenthos
petri, nampan (baki), marker, lup, kertas label, mikroskop majemuk, dan formalin 4
% (Lampiran 2). Pengambilan makrozoobenthos dilakukan dengan menggunakan
surber dengan ukuran 30 X 30 cm2. Surber diletakkan dengan bukaan jaring
menghadap arah arus yang datang ( Lampiran 3). Bagian surber yang berupa bingkai
diletakkan di dasar perairan di muka bukaan jaringan. Substrat dalam bingkai
diganggu kurang lebih selama 1 menit sehingga biota yang bersembunyi di
sekitarnya akan hanyut ke arah jaring. Kemudian surber diangkat, makrozoobenthos
yang tersangkut di dalam jaring surber diletakkan ke baki kemudian dipisahkan
antara serasah dengan makrozoobenthos. Sampel makrozoobenthos dimasukkan
dalam wadah sampel dan diberi formalin serta diberi label untuk membedakan tiap
stasiun dan ulangan. Sampel dipisahkan (disortir) kembali dari serasah dan bahan
lainnya di Laboratorium Biomikro Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut
Pertanian Bogor, setelah itu diidentifikasi dengan menggunakan mikroskop
majemuk. Identifikasi menggunakan buku identifikasi Pennak (1953) dan Needham
J & Needham R (1963)
3.2.2. Parameter fisika dan kimia
Pengukuran parameter fisika dan kimia dilakukan secara in-situ dan ex-situ.
Pengambilan sampel air dilakukan di waktu yang sama dengan pengambilan sampel
makrozoobenthos. Contoh air dimasukkan ke dalam botol sampel, kemudian sampel
dianalisis di Laboratorium Produktivitas Lingkungan Perairan Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Metode dan alat dalam pengukuran
parameter fisika-kimia perairan di Sungai Ciambulawung dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Metode dan alat yang digunakan pada pengukuran parameter fisika-kimia perairan
Parameter Unit Alat/metode Keterangan FISIKA
1. Suhu oC Termometer / pemuaian In-situ
2. Kekeruhan NTU Turbidity-meter / refraksi cahaya In-situ
3. Kecepatan arus cm/detik Botol plastik berisi ¾ air , tali,
5. Tipe substrat - Visual In-situ
KIMIA
1. pH - Kertas lakmus In-situ
2. DO mg/l Titrasi / metode winkler In-situ
3. COD mg/l Titrimetrik /modifikasi reflux Ex-situ
3.3. Pengumpulan Data (Kepadatan makrozoobenthos)
Kepadatan makrozoobentos didefinisikan sebagai jumlah individu
makrozoobenthos per satuan luas (m2) (Brower et al. 1990). Sampel
makrozoobenthos yang telah diidentifikasi, dihitung kepadatannya dengan
menggunakan rumus :
Keterangan: Ki = Kepadatan makrozoobenthos jenis ke-i (Individu/m2) ai = Jumlah individu makrozoobenthos jenis ke-i pada setiap
bukaan surber
b = Luas bukaan surber (30 x 30) cm2 10000 = Nilai konversi dari cm2 ke m2
3.4. Analisis Data
3.4.1. Indeks keanekaragaman (H’)
Keanekaragaman jenis menunjukan jumlah jenis organisme yang terdapat
dalam suatu area. Untuk mengetahui spesies yang ada dalam suatu komunitas
maupun tingkat keanekaragaman dapat diketahui dengan Indeks Shannon-Wiener
(Krebs 1989) yaitu :
∑
Keterangan : H‟ = Indeks keanekaragaman pi = ni / N
ni = Jumlah spesies jenis ke-i N = Jumlah total spesies
3.4.2. Indeks keseragaman
Keseragaman adalah komposisi individu tiap spesies yang terdapat dalam
Keanekaragaman dengan nilai maksimumnya, sehingga didapat formulasi sebagai
berikut :
Keterangan : E = Indeks Keseragaman H‟ = Indeks Keanekaragaman
H‟maks = Nilai keragaman maksimum (Log2 S) S = Jumlah spesies
Dengan kriteria : E ~ 0 = Terdapat dominansi spesies E ~ 1 = Jumlah individu tiap spesies sama
Dari perbandingan tersebut maka akan didapat suatu nilai yang besarnya
antara 0 dan 1. Semakin kecil nilai E akan semakin kecil pula keseragaman populasi
spesies. Semakin besar nilai E, menunjukkan keseragaman populasi yaitu bila
jumlah individu setiap spesies dapat dikatakan sama atau tidak jauh beda (Krebs
1972).
3.4.3. Indeks biologi
a. LQI (Lincoln Quality Index)
Organisme yang telah ditemukan diidentifikasi sampai dengan famili. Setelah
itu diberi skor berdasarkan tabel skor BMWP (Biological Monitoring Working
Party) (Lampiran 4), kemudian skor itu dijumlahkan seluruhnya dan dari jumlah
tersebut didapatkan nilai BMWP. Nilai BMWP dibagi dengan jumlah taksa untuk
mendapatkan nilai ASPT (Average Score Per Taxon). Kalkulasi dari nilai BMWP
dan ASPT diberikan penilaian bergantung pada tempat pengambilan sampel (habitat
beriak dan masih bersih ataukah habitat beriak yang kotor dan kolam). Tabel rating
X dan Y dapat dilihat pada Lampiran 5. Nilai X dan Y tersebut kemudian
dikalkulasikan untuk mengetahui nilai OQR (Overall Quality Rating) dengan
formulasi sebagai berikut :
Nilai OQR digunakan untuk memberikan Indeks Kualitas Lincoln atau Lincoln
Tabel 4. Niai OQR (Overall Quality Rating) indeks kualitas Lincoln dan interpretasinya (Mason 1991)
Nilai OQR Indeks Interpretasi
6+ A++ Kualitas excellent
Indeks ini dikembangkan oleh Dr. William Hilsenhoff pada tahun 1977 untuk
mengetahui status pencemaran perairan. Perhitungan ini dilakukan dengan
menggunakan perkalian antara nilai kelimpahan organisme indikator yang
ditemukan tersebut berdasarkan famili dengan nilai yang terdapat pada tabel nilai
FBI (Lampiran 6). Jumlah total tersebut dibagi dengan jumlah seluruh organisme
yang ditemukan kemudian dicocokkan dengan kriteria kualitas air yang terdapat
pada Tabel 5.
c. SIGNAL 2 (Stream Invertebrate Grade Number Average Level 2)
SIGNAL 2 merupakan indeks biotik yang sederhana untuk makroinvertebrata,
dikembangkan pertama kali di Australia bagian timur khususnya sistem Sungai
Hawkesbury-Nepean (Chessman 2003b). Indeks ini diadaptasi dari indeks ASPT
(Average Score Per Taxon) versi dari BMWP (Biological Monitoring Working
Party) yang digunakan di Inggris. Langkah - langkah dalam perhitungan nilai
SIGNAL 2 adalah sebagai berikut :
1. Mengidentifikasi jenis makrozoobenthos yang ditemukan hingga level
famili atau level ordo, kemudian diberi skor 1 - 10 berdasarkan
penetapan jenis famili yang ditemukan (Lampiran 7).
2. Penentuan faktor pembobotan dari jumlah individu yang ditemukan pada
tiap famili dari makrozoobenthos yang ditemukan(Tabel 6).
3. Nilai faktor pembobotan yang telah dihitung dikalikan dengan skor dari
tiap famili yang ditemukan, kemudian hasil perkalian tersebut
dijumlahkan secara keseluruhan.
4. Hasil penjumlahan perkalian tersebut dibagi dengan jumlah total faktor
pembobotan , dan didapatkan nilai SIGNAL 2 yang biasanya berkisar
antara 3 - 7 (Chessman 2003a).
5. Nilai SIGNAL 2 yang didapatkan diplotkan dalam grafik yang
dihubungkan dengan jumlah famili yang ditemukan.
6. Dari grafik tersebut diperkirakan keberadaan nilai SIGNAL 2 tersebut
dalam suatu kuadran. Penentuan kuadran berdasarkan pada keadaan
geografis dari tempat pengambilan sampel makrozoobenthos. Dari
kuadran yang diperoleh dapat diketahui kriteria lingkungannya.
Penentuan kuadran dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Penentuan kuadran untuk nilai SIGNAL 2 (Chessman 2003b)
Dari Gambar 3, kuadran 1 (sebelah kanan atas) menggambarkan tingginya
nilai SIGNAL 2 dan jumlah famili makroinvertebrata. Jumlah famili yang tinggi
menunjukkan bahwa keanekaragaman keadaan fisik habitat yang tinggi dan tidak
terdapat faktor tekanan ekologis. Tingginya nilai SIGNAL 2 menunjukkan
kekeruhan, salinitas dan kandungan nutrien yang rendah.
Kuadran 2 (sebelah kanan bawah) menggambarkan nilai SIGNAL 2 yang
rendah dan jumlah famili makroinvertebrata yang tinggi. Jumlah famili yang tinggi
menunjukkan bahwa keanekaragaman keadaan fisik habitat yang tinggi dan tidak
terdapat faktor tekanan ekologis. Nilai SIGNAL 2 yang rendah menunjukkan
tingginya kekeruhan, salinitas dan nutrien dibandingkan dengan kuadran 1. Pada
kuadran ini keadaan sungai telah berubah dari kondisi alaminya, disebabkan telah
ada pengaruh dari aktivitas manusia dan kegiatan pertanian sedikit berpengaruh.
Kuadran 3 (sebelah kiri atas) menggambarkan tingginya nilai SIGNAL 2 dan
rendahnya jumlah famili makroinvertebrata. Sungai yang berada pada kuadran 3
diindikasikan telah tercemar. Pembuangan dari pertambangan yang menyebabkan
tingginya nilai pH perairan dan tingginya konsentrasi logam berat. Rendahnya
jumlah famili disebabkan beberapa makroinvertebrata memiliki toleransi yang
berbeda - beda terhadap populasi. Nilai SIGNAL 2 digunakan untuk merespon
bahan organik, nutrien, dan salinitas. Apabila nilai SIGNAL 2 masih tinggi
menunjukkan bahwa kondisi tercemar sedang.
Kuadran 4 (sebelah kiri bawah) menunjukkan nilai SIGNAL 2 yang rendah
dan juga jumlah famili makroinvertebrata yang rendah. Perairan yang berada pada
kuadran 4 diindikasikan telah tercemar berat, karena tingginya pengaruh aktifitas
manusia.
d. Indeks EPT (Ephemeroptera, Plecoptera, Tricoptera)
Indeks Ephemeroptera, Plecoptera, Tricoptera (EPT) menggambarkan
kelimpahan taksa di dalam kelompok - kelompok serangga air yang sensitif terhadap
polusi atau pencemaran, oleh karena itu seharusnya kelimpahan taksa ini meningkat
seiring dengan meningkatnya kualitas air. Indeks ini digunakan untuk
mengidentifikasi pada tingkatan taksa (Plafkin et al. 1989 in DeWalt & Webb 1998).
Perhitungan indeks EPT yaitu dengan mengidentifikasi dan mengelompokkan
organisme pada tingkatan ordo, kemudian dihitung persentase jumlah individu ordo
Ephemeroptera, Plecoptera, dan Tricoptera dari total seluruh jumlah individu
organisme yang ditemukan. Nilai indeks EPT yang diperoleh tersebut kemudian
dicocokan dengan kriteria kualitas air pada Tabel 7.
Tabel 7. Ketentuan nilai indeks EPT dan kriteria kualitas air untuk sungai di gunung (Modifikasi NCDEHNR 1997)
Excellent Good Good-fair Fair Poor
EPT >35 28 - 35 19 - 27 11 – 18 0 -10
3.4.4. Indeks pencemaran dan indeks storet
Indeks Pencemaran (Pollution Index) merupakan nilai yang berkaitan dengan
keberadaan senyawa pencemar pada seluruh bagian badan air atau sebagian dari
suatu sungai sesuai peruntukannya. Indeks ini digunakan untuk menentukan tingkat
pencemaran relatif terhadap parameter kualitas air (Nemerow 1974 in Kepmen LH
No. 115 tahun 2003). Langkah – langkah perhitungan indeks ini ialah sebagai
1. Menentukan kalisifikasi kelas sungai berdasarkan peruntukannya, sesuai
dengan PP No.82 tahun 2001. Berdasarkan kelas tersebut didapat nilai
baku mutu untuk tiap parameter kualitas air, diberi simbol (Lij)
2. Nilai – nilai parameter kualitas air hasil analisis air untuk setiap lokasi atau
stasiun pengambilan sampel yang diberi simbol (Ci), dibagi dengan nilai
baku mutu tiap parameter yang telah ditentukan pada langkah 1.
3. Hasil bagi tersebut (Ci/Lij), merupakan nilai pencemaran relatif yang
diakibatkan oleh parameter kualitas air.
4. Ada ketentuan tertentu untuk beberapa parameter kualitas air, diantaranya :
a. Parameter DO (Dissolved Oxygen), nilai baku mutu (Lij) merupakan
angka batas minimum. Sehingga nilai Ci/Lij dihitung dengan :
⁄
Ket : Cim = Nilai konsentrasi DO jenuh
b. Apabila nilai baku mutu (Lij) memiliki rentang, contohnya parameter
pH. Maka nilai Ci/Lij dapat dihitung dengan :
- Untuk Ci ≤ Lij rata – rata
digunakan. Namun apabila nilai Ci/Lij > 1.0, maka digunakan nilai Ci/Lij
baru, yaitu:
⁄ ⁄
Ket : P = Konstanta dan nilainya disesuaikan dengan hasil pengamatan
lingkungan dan atau persyaratan yang dikehendaki untuk suatu
peruntukan, biasanya digunakan nilai 5.
6. Menentukan nilai Ci/Lij rata – rata (Ci/Lij)R dan nilai Ci/Lij maksimum
(Ci/Lij)M dari seluruh Ci/Lij parameter kualitas air
√ ⁄ ⁄
8. Nilai indeks pencemaran yang diperoleh, di evaluasi terhadap kriteria
kualitas air berikut (Kepmen LH No. 115 tahun 2003) :
0 ≤ PI ≤ 1,0 → memenuhi kondisi baku mutu (kondisi baik) 1,0 < PI ≤ 5,0 → cemar ringan
5,0 < PI ≤ 10 → cemar sedang PI > 10 → cemar berat
Indeks storet merupakan suatu metode penentuan status mutu air, dengan
membandingkan antara data kualitas air dengan baku mutu air yang disesuaikan
dengan peruntukannya. Langkah penentuan status mutu air dengan indeks storet
yaitu :
1. Data kualitas air hasil pengukuran tiap parameter dibandingkan dengan
nilai baku mutu yang sesuai dengan kelas air.
2. Apabila nilai hasil pengukuran memenuhi nilai baku mutu (nilai hasil pengukuran ≤ baku mutu), maka diberi skor nol (0)
3. Apabila nilai hasil pengukuran tidak memenuhi nilai baku mutu (nilai hasil
pengukuran > baku mutu), maka diberi skor berdasarkan Tabel 8.
Tabel 8. Penentuan skor untuk nilai parameter kualitas air yang melebihi baku mutu Jumlah
contoh Nilai
Parameter
Fisika Kimia Biologi
<10
Maksimum -1 -2 -3
Minimum -1 -2 -3
Rata – rata -3 -6 -9
≥10 Maksimum Minimum -2 -2 -4 -4 -6 -6
Rata – rata -6 -12 -18
Sumber : Canter (1977) in Kepmen LH No.115 tahun 2003.
4. Seluruh skor dijumlahkan, kemudian ditentukan status mutu airnya dengan
dicantumkan dalam Kepmen LH No.115 tahun 2003. Sistem nilai dan
interpretasi status mutu air dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Sistem nilai dan interpretasi status mutu air
Total skor Kelas Status mutu air Interpretasi
0 A Baik sekali Memenuhi baku mutu
-1 s/d -10 B Baik Cemar ringan
-11 s/d -30 C Sedang Cemar sedang
≥ -31 D Buruk Cemar berat
3.4.5. Indeks Bray-Curtis
Tingkat kesamaan komunitas dari suatu stasiun dengan stasiun lainnya dapat
dianalisis berdasarkan indeks Bray-Curtis. Pada penelitian ini, digunakan indeks
Bray-Curtis untuk mengetahui tingkat kesamaan atau kedekatan komunitas
makrozoobenthos pada stasiun - stasiun pengamatan di Sungai Ciambulawung, dan
pengolahan data menggunakan software Minitab14. Indeks ini banyak digunakan
dalam ekologi terestrial. Adapun rumus indeks kesamaan Bray-Curtis (Bray &
Curtis 1957 in Somerfield 2008) yaitu :
∑( ∑| |
)
Keterangan: Yij = jumlah spesies i dalam contoh j Yik = jumlah spesies i dalam contoh k
Sjk = tingkat kesamaan antara contoh j dan k dalam persen
3.4.6. Indeks Canberra
Indeks ini digunakan untuk membandingkan kesamaan antara stasiun
pengamatan berdasarkan parameter fisika kimia perairan. Adapun formula dari
indeks Canberra (Lance & William 1966 in Legendre & Legendre 1983), yaitu :
∑ | |
Keterangan : Yij = nilai parameter ke i pada stasiun ke j Yik = nilai parameter ke i pada stasiun ke k S = indeks kesamaan Canberra
Pada penelitian ini terdapat enam parameter fisika kimia perairan yang
dianalisis datanya dengan menggunakan indeks Canberra, yaitu suhu, TSS, pH, DO,
BOD, dan COD. Hasil perhitungan dalam bentuk persentase tingkat kesamaan
antara stasiun pengamatan berdasarkan parameter fisika kimia perairan tersebut.
Analisis data menggunakan software xlstat.
3.4.7. Uji ANOVA dua arah
ANOVA (Analisis of Varians) atau analisis ragam merupakan suatu analisis
statistik yang digunakan untuk menguji perbedaan rata – rata dua atau lebih sampel.
Terdapat dua jenis analisis ragam, yaitu ANOVA satu arah dan ANOVA dua arah.
Uji statistik yang digunakan pada analisis data penelitian ini yaitu ANOVA dua
arah, dimana uji dilakukan bila sumber keragaman yang terjadi tidak hanya karena
satu faktor (perlakuan). Faktor lain ini bisa berupa perlakuan lain atau faktor yang
sudah terkondisi. Uji statistik ini menganalisis perbedaan rata rata secara signifikan
dari jumlah famili, jumlah genus dan kepadatan makrozoobenthos antar stasiun dan
kondisi pada bagian riffle dan pool di perairan Sungai Ciambulawung.
Perhitungan uji statistik ANOVA dua arah menggunakan software microsoft
excel 2007.
Hipotesis untuk membandingkan antara riffle dan pool :
H0 : riffle dan pool sama
H1 : riffle dan pool tidak sama
Hipotesis untuk membandingkan antar stasiun :
H0 : stasiun 1, stasiun 2, dan stasiun 3 sama
H1 : stasiun 1, stasiun 2, dan stasiun 3 tidak sama
Hipotesis untuk melihat hubungan atau interaksi antara stasiun dengan kondisi riffle
dan pool :
H0 : tidak terdapat interaksi antara stasiun dengan kondisi riffle dan pool
Dasar pengambilan keputusan dengan nilai probabilitas (tingkat signifikan) pada
selang kepercayaan 95% :
(1) t-hitung > t-tabel : Berbeda secara signifikan (H0 ditolak)
(2) t-hitung < t-tabel : Tidak berbeda secara signifikan(H0 diterima)
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian terletak di sekitar Taman Nasional Gunung Halimun - Salak
Kampung Lebak Picung, Desa Hegarmanah, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak,
Provinsi Banten. Pengambilan sampel dilakukan di tiga stasiun dengan
mempertimbangkan perbedaan karakteristik lahan di tepian sungai. Stasiun 1 berada
pada 6º 47' 2,48'' LS dan 106º 21' 41,16'' BT, kedalaman pada stasiun ini relatif sama
yaitu 0,3 meter dengan kecepatan arus 47,41-50,87 cm/detik. Tipe substratnya yaitu
batuan besar berpasir dengan persentase penutupan oleh batuan berukuran besar
yaitu sekitar 60 persen. Stasiun 1 terletak lebih hulu dari stasiun 2 dan 3. Di
sekeliling stasiun ini terdapat vegetasi alami, yaitu pepohonan dan area ini juga
sering dilalui oleh masyarakat. Vegetasi alami yang ada di tepi sungai fungsinya
yaitu menstabilkan sungai, sebagai sumber makanan (daun, ranting, dan serangga
jatuh), dan penutup bagi hewan akuatik atau memberikan keteduhan (Taccogna &
Munro 1995).
Stasiun 2 terletak persis di bawah jembatan dan di sekelilingnya terdapat
pemukiman penduduk. Pemukiman penduduk yang berada di sekitar stasiun ini
memberikan pengaruh langsung melalui aktifitas manusia, yang dapat menganggu
ekosistem sungai. Stasiun 2 berada pada 6º 47' 4,8'' LS dan 106º 21' 41,2'' BT.
Kedalaman dari stasiun ini yaitu 0,15-0,2 meter, kecepatan arus 24,10-25,85
cm/detik, dan tipe substrat berupa batuan besar berpasir dengan sedikit lumpur.
Penutupan batuan yang berukuran besar pada stasiun ini hanya sekitar 20 %.
Stasiun 3 terletak pada 6º 47' 6,39'' LS dan 106º 21' 39,74'' BT, berada persis
di belakang pemukiman penduduk dan di tepi lainnya terdapat pepohonan dan
semak. Kedalaman relatif sama yaitu 0,15 meter dengan kecepatan arus 37,29-41,84
cm/detik. Tipe substrat berupa batuan besar berpasir dengan sedikit lumpur, dan
persentase penutupan batuan berukuran besar pada stasiun ini yaitu sekitar 40 %.
4.2. Struktur Komunitas Makrozoobenthos
4.2.1. Jumlah taksa dan kepadatan makrozoobenthos
Berdasarkan hasil pengamatan tiga kali waktu sampling pada tiga stasiun,
dengan memperhatikan dua titik kondisi di setiap stasiun yaitu beriak (riffle) dan
tenang (pool) ditemukan 30 genus makrozoobenthos dari 27 famili. Jumlah famili
yang ditemukan di Sungai Ciambulawung selama penelitian ditampilkan dalam
grafik pada Gambar 4.
Gambar 4. Jumlah famili tiap stasiun di setiap sampling pada bagian riffle dan pool
Jumlah famili yang ditemukan di tiap stasiun bervariasi, Di stasiun 1 bagian
riffle ditemukan jumlah famili makrozoobenthos dengan kisaran 3 sampai 7 famili,
dan bagian pool 3 sampai 4 famili. Di stasiun 2 bagian riffle ditemukan dengan
kisaran 4 sampai 5 famili dan untuk bagian pool 3 sampai 5 famili. Di stasiun 3
ditemukan dengan kisaran 6 sampai 9 famili dan untuk bagian pool 2 sampai 8
famili. Jumlah famili yang ditemukan pada bagian riffle lebih banyak dibandingkan
bagian pool. Hal ini diduga karena organisme makrozoobenthos memang lebih
keragaman terbesar dan produktifitas tertinggi makrozoobenthos terdapat pada
sungai bagian riffle dengan substrat batuan besar dan kerikil.
Jumlah famili tertinggi ditemukan di stasiun 3 riffle pada sampling ke-1 dan
jumlah famili terendah ditemukan di stasiun 3 juga namun bagian pool pada
sampling ke-2 dan ke-3, dimana pada saat pengambilan sampel kondisi cuaca
sedang hujan. Hal ini diduga berkaitan dengan kondisi cuaca, dimana
makrozoobenthos pada kondisi hujan akan terbawa arus sungai, sedangkan pada
sampling ke-1 kondisi cuaca cerah dan makrozoobenthos akan dapat bertahan di
substrat karena arus sedikit lebih lambat daripada kondisi saat hujan. Hasil uji anova
dua arah terhadap jumlah famili makrorozoobenthos menunjukan bahwa jumlah
famili makrozoobenthos yang ditemukan pada bagian riffle dan pool tidak berbeda
nyata. Begitu juga dengan jumlah famili yang ditemukan pada stasiun 1, stasiun 2,
dan stasiun 3 tidak berbeda nyata secara signifikan, dan tidak terdapat interaksi dari
jumlah famili yang ditemukan antar stasiun dengan kondisi riffle dan pool
(Lampiran 9.).
Gambar 5. Jumlah genus tiap stasiun di setiap sampling pada bagian riffle dan pool
Sebagai informasi tambahan dapat dilihat pada Gambar 5, data jumlah genus
yang ditemukan pada setiap stasiun tiap sampling baik pada bagian riffle maupun
pada stasiun 3 sampling ke-1 bagian riffle. Uji anova dua arah juga dilakukan pada
jumlah genus, dan hasilnya menunjukan bahwa jumlah genus makrozoobenthos
yang ditemukan pada bagian riffle dan pool tidak berbeda nyata. Begitu juga dengan
jumlah genus yang ditemukan pada stasiun 1, 2, dan 3 tidak berbeda nyata secara
signifikan, dan tidak terdapat interaksi dari jumlah genus yang ditemukan antar
stasiun dengan kondisi riffle dan pool. Hasil uji anova dua arah ditampilkan pada
Lampiran 9.
Makrozoobenthos yang ditemukan di perairan Sungai Ciambulawung juga
dihitung kepadatannya (Lampiran 10). Nilai kepadatan makrozoobenthos tiap
stasiun di setiap sampling yang dibedakan pada bagian riffle dan pool ditampilkan
dalam grafik pada Gambar 6.
Hasil perhitungan kepadatan makrozoobenthos tiap stasiun di setiap sampling
bervariasi, namun terlihat pada sampling ke-2 bagian pool pada stasiun 1, 2, dan 3
nilai kepadatan rendah, dengan kisaran nilai 57 sampai 115 ind/m². Hal ini dapat
diduga karena pada pengambilan sampling ke-2 di bulan maret merupakan musim
peralihan antara musim hujan ke musim kemarau, sehingga mempengaruhi kondisi
fisika kimia perairan dan arus. Selain itu substrat pada bagian pool yang umumya
berupa pasir berlumpur juga mempengaruhi kepadatan marozoobenthos. Sinaga
(2009) menyatakan bahwa kondisi substrat dasar yang berupa pasir berlumpur dan
kandungan substrat organik yang tinggi menyebabkan rendahnya kepadatan
makrozoobenthos. Nilai kepadatan dipengaruhi oleh variasi kondisi fisika kimia
perairan, substrat dasar, dan arus. Kepadatan tertinggi yaitu di stasiun 3 pada
sampling ke-3 bagian riffle, dengan nilai 868 ind/m². Hal ini diduga karena pada
stasiun 3 bagian riffle substratnya berupa batuan besar dengan kerikil dan sedikit
lumpur, sehingga kandungan substrat organik rendah. Selain itu pada bagian riffle
kandungan dari oksigen terlarut tinggi, dimana daerah tersebut merupakan daerah
yang disukai oleh organisme makrozoobenthos. Hasil uji anova dua arah yang
dilakukan terhadap kepadatan makrozoobenthos pada bagian riffle dan pool
menunjukan hasil tidak berbeda nyata. Begitu juga dengan kepadatan
makrozoobenthos yang ditemukan pada stasiun 1, 2, dan 3 tidak berbeda nyata
secara signifikan, dan tidak terdapat interaksi dari kepadatan makrozoobenthos yang
Gambar 6. Kepadatan makrozoobenthos tiap stasiun di setiap sampling pada bagian riffle dan pool
4.2.2. Komposisi makrozoobenthos
Komposisi makrozoobenthos tiap stasiun di setiap sampling pada bagian riffle
dan pool dapat dilihat pada Gambar 7. Berdasarkan gambar tersebut komposisi
kepadatan makrozoobenthos pada stasiun 1 bagian riffle didominasi oleh ordo
Tricoptera dan Ephemeroptera. Kedua ordo tersebut termasuk kedalam kelompok
organisme intoleran, dimana kelompok ini hanya dapat tumbuh dan berkembang
dalam kisaran kondisi lingkungan yang sempit dan jarang dijumpai di perairan yang
kaya akan bahan organik. Sedangkan pada stasiun 1 bagian pool didominasi oleh
ordo Diptera dan Ephemeroptera.
Organisme yang banyak ditemukan di stasiun 1 yaitu famili Chironomidae
dari ordo Diptera dan Hydropsychidae dari ordo Tricoptera. Wilhm (1975)
menggolongkan famili ini termasuk kedalam kelompok fakultatif yaitu organisme
yang tidak dapat mentolerir kondisi lingkungan yang tercemar berat. Poretti et al.
(2007) juga menyatakan bahwa organisme dari kelompok larva caddisfly, diataranya
yaitu dari famili Hidropsychidae merupakan organisme yang umumnya hidup
dengan bertahan di batu, pasir, dan detrirus lainnya, yang tidak toleran terhadap
Pada stasiun 2 bagian riffle dan pool, yang ditemukan dalam komposisi
terbesar dan mendominasi yaitu ordo Ephemeroptera dengan famili Heptageniidae
dan ordo Diptera dengan famili Chironomidae. Sedangkan untuk komposisi terendah
pada bagian riffle yaitu dari ordo Hemiptera dengan nilai 11,11 %, dan pada bagian
pool yaitu dari ordo Gastropoda dan Oligochaeta dengan nilai 10 %. Famili
Lumbriculidae yang merupakan bagian dari ordo Oligochaeta dan Gerridae dari ordo
Hemiptera hanya ditemukan pada stasiun ini. Famili Lumbriculidae ini toleran
terhadap kondisi kualitas air yang tercemar.
Pada stasiun 3 bagian riffle komposisi makrozoobenthos yang besar dan
mendominasi yaitu dari ordo Diptera dan Coleoptera. Organisme yang banyak
ditemukan yaitu dari famili Chironomidae dan Elmidae. Famili Elmidae yang
termasuk kedalam kelompok water bettles, umumnya hidup di daerah riffle dengan
kandungan oksigen terlarut yang tinggi, organisme dari famili ini mengindikasikan
kualitas air bersih, karena organisme peka terhadap kendungan bahan pencemar
separti sabun dan detergen (Poretti et al. 2007). Sedangkan untuk komposisi
terendah yaitu ordo Gastropoda dengan nilai 2,9 %. Makrozoobenthos yang
ditemukan pada stasiun 3 bagian pool hanya empat ordo, yaitu ordo Ephemeroptera,
Diptera, Coleoptera, yang komposisinya besar dan mendominasi stasiun ini, dan
ordo Odonata dengan komposisi yang rendah.
Famili Chironomidae ditemukan di ketiga stasiun, hal tersebut dikarenakan
famili ini termasuk kedalam kelompok toleran, yaitu organisme yang dapat
berkembang pada kisaran kondisi lingkungan yang luas dan tidak peka terhadap
tekanan lingkungan (Wilhm 1975). Selain itu organisme ini merupakan organisme
yang paling umum ditemukan, karena dapat hidup di berbagai habitat perairan,
diantaranya danau, kolam, sungai dan rawa – rawa, bahkan organisme ini dapat
hidup dalam habitat buatan manusia seperti pada kolam ikan, saluran irigasi, dan
pabrik pengolahan air. Banyak spesies dari famili Chionomidae ini yang sangat
toleran terhadap pencemaran air (Poretti et al. 2007). Contoh dari beberapa
organisme yang ditemukan di Sungai Ciambulawung dapat dilihat pada Lampiran
(a) (b)
Ket: (a)=riffle (b) = pool
Komposisi makrozoobenthos tergantung kepada kemampuan toleransi dan
sensitivitas organisme terhadap perubahan lingkungan. Menurut Rahman (2009),
perbedaan musim juga mempengaruhi komposisi marozoobenthos, dimana pada
musim hujan komposisi makrozoobenthos lebih beragam dengan dominansi yang
rendah dibanding kemarau. Hal ini dapat diduga karena pada musim hujan
kecepatan arus lebih tinggi, sehingga kandungan bahan organik rendah, dan
kandungan dari oksigen terlarut di perairan menjadi tinggi.
4.2.3. Indeks keanekaragaman, indeks keseragaman, dan indeks dominansi
Nilai indeks keanekaragaman, indeks keseragaman, dan indeks dominansi
dapat mempengaruhi perubahan struktur komunitas makrozoobenthos. Nilai ketiga
indeks tersebut dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Indeks keanekaragaman, indeks keseragaman, dan indeks dominansi .
Nilai Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3
H' 0,6 0,6 0,8 0,7 0,8 0,7 0,7 0,5 0,6
E 0,8 0,7 0,9 0,9 0,9 0,7 0,6 0,6 0,8
C 0,3 0,3 0,2 0,2 0,2 0,3 0,4 0,5 0,3
Berdasarkan tabel, pada stasiun 1 sampling ke-1 sampai ke-3 dapat dilihat
kisaran nilai indeks keanekaragaman yaitu 0,6-0,8. Adapun untuk kisaran nilai
indeks keseragaman yaitu 0,7-0,9. Nilai tersebut menunjukan tidak terdapat
dominansi pada stasiun 1. Hal ini pun dapat dilihat dari kisaran nilai dominansi yang
rendah yaitu 0,2-0,3.
Pada stasiun 2, kisaran nilai indeks keanekaragaman yang diperoleh dari
sampling ke-1 sampai ke-3 yaitu 0,7-0,8. Sedangkan untuk indeks keseragaman
yaitu berkisar antara 0,7-0,9. Hal ini mengindikasikan stasiun 2 masih sama seperti
stasiun 1, yaitu tidak ada dominansi yang terjadi pada stasiun ini. Kisaran indeks
dominansi yang diperoleh yaitu 0,2-0,3.
Adapun di stasiun 3, pada sampling ke-1 sampai ke-3 didapatkan kisaran nilai
nilai indeks dominansi berkisar antara 0,3-0,5. Kisaran nilai indeks keanekaragaman
pada stasiun ini memang lebih rendah dibandingkan dengan stasiun lainnya, begitu
juga dengan indeks dominansi yang nilainnya lebih tinggi. Namun kisaran nilainya
tidak terlalu berbeda jauh. Hal ini diduga karena letak dari ketiga stasiun yang masih
berada dalam satu area yaitu bagian hulu sungai, dan jaraknya yang dekat (Gambar
2).
Menurut Odum (1993), Keanekaragaman jenis dipengaruhi oleh pembagian
atau penyebaran individu tiap jenisnya, karena suatu komunitas walaupun jenisnya
banyak tetapi bila penyebaran individunya tidak merata maka keanekaragaman jenis
rendah. Brower et al. (1990) in Sinaga (2009) juga menyatakan bahwa suatu
komunitas yang mempunyai keanekaragaman tinggi yaitu apabila terdapat banyak
spesies dengan jumlah masing – masing individu spesies relatif merata.
4.3. Indeks Biologi Makrozoobenthos
Indeks biologi yang digunakan untuk menganalisis makrozoobenthos di
Sungai Ciambulawung yaitu LQI, FBI, SIGNAL 2, dan indeks EPT. Berikut
merupakan pembahasan dan hasil perhitungan dari keempat metode tersebut.
4.3.1. LQI (Lincoln Quality Index)
LQI merupakan suatu metode yang digunakan untuk menentukan kriteria
lingkungan. Metode yang dikembangkan di Inggris ini awalnya diperkenalkan pada
tahun 1980 untuk survei nasional air oleh NWC (National Water Council).
Perhitungan LQI yaitu dengan pemberian nilai berdasarkan tiap famili dari
makrozoobenthos yang ditemukan (Abel 1989). Setelah pemberian nilai atau skor
pada tiap famili, akan diperoleh nilai BMWP, ASPT, dan OQR. Nilai – nilai tersebut
yang diperoleh dari hasil perhitungan indeks berdasarkan makrozoobenthos yang
Tabel 11. Nilai BMWP, ASPT, dan OQR tiap stasiun
interpretasi Baik baik Excellent
Keterangan : A+ = excellent
Sedangkan pada stasiun 3, didapatkan nilai OQR yaitu 5, nilai tersebut menunjukan
stasiun 3 masuk kedalam kategori perairan yang kualitasnya excellent. Hal ini
diduga karena rata - rata jumlah famili yang ditemukan pada stasiun 3 lebih banyak
dibandingkan pada stasiun lainnya. Selain itu jumlah famili makrozoobenthos yang
lebih banyak ditemukan pada stasiun ini yaitu berasal dari ordo Ephemeroptera yang
intolerant terhadap pencemaran air, dan pada perhitungan LQI yang berdasarkan
pada pemberian skor terhadap famili dari makrozoobenthos yang ditemukan, skor
yang diberikan yaitu bernilai 1 – 10 dimana untuk jenis makrozoobenthos yang
intolerant terhadap pencemaran mendapatkan skor yang paling tinggi (Langley &
Kett 2005).
4.3.2. FBI (Family Biotic Index)
Metode FBI digunakan untuk mengetahui organisme yang lebih peka terhadap
kandungan oksigen terlarut karena adanya masukan bahan organik. Organisme yang
lebih peka terhadap kandungan oksigen terlarut rendah memiliki nilai toleransi (skor
biotic indeks) yang rendah. Sedangkan organisme yang memiliki toleransi luas
memiliki kisaran nilai antara 0 - 10 untuk makrozoobenthos yang ditemukan. Nilai
FBI di perairan Sungai Ciambulawung ditampilkan pada Tabel 12.
Tabel 12. Nilai FBI (Family Biotic Index) tiap stasiun
Nilai Stasiun
1 2 3
FBI 5,2 5,2 5,8
interpretasi Sedang sedang agak buruk
Pada stasiun 1 dan stasiun 2 diperoleh nilai FBI yang sama yaitu 5,2 yang
artinya kualitas air di kedua stasiun tersebut sedang. Area sungai pada stasiun 1
merupakan daerah perlintasan masyarakat, dan untuk stasiun 2 berada di antara
pemukiman penduduk. Sehingga diduga kedua stasiun ini mendapatkan pengaruh
langsung dari aktifitas masyarakat, yang menyebabkan kualitas airnya sedang.
Sedangkan pada stasiun 3 yang berada paling hilir dari kedua stasiun lainnya
diperoleh nilai FBI yaitu 5,8. Nilai tersebut menunjukan bahwa stasiun 3 sudah
termasuk kedalam kategori kualitas air agak buruk. Hal ini diduga karena pada
stasiun 3 ditemukan jumlah individu organisme yang berasal dari famili
Chironomidae tinggi dan mendominansi stasiun ini, dimana famili tersebut memiliki
kisaran toleransi yang luas terhadap kandungan oksigen terlarut (Porreti et al. 2007).
4.3.3. SIGNAL 2 (Stream Invertebrate Grade Number Average Level 2)
Metode SIGNAL 2 dikembangkan di Australia pada tahun 1993, yang
digunakan untuk sistem Sungai Hawkesbury-Nepean di dekat Sydney. Metode ini
merupakan metode penaksiran kualitas air berdasarkan keberadaan
makrozoobenthos khususnya untuk mengindikasikan tipe pencemaran faktor fisika,
kimia yang berpengaruh terhadap komunitas makrozoobenthos. Nilai SIGNAL 2
dari makrozoobenthos yang ditemukan di Sungai Ciambulawung dapat dilihat pada
Tabel 13. dan untuk penyebaran skor SIGNAL 2 yang dilihat berdasarkan jumlah
Tabel 13. Nilai SIGNAL 2 dan jumlah famili makrozoobenthos tiap stasiun
Nilai Stasiun
1 2 3
Signal 2 4,6 4,8 5
jumlah famili 6 5 6
Gambar 8. Hubungan nilai SIGNAL 2 dan jumlah famili tiap stasiun
Menurut Chessman (2003), apabila skor SIGNAL 2 semakin kecil, hal ini
menunjukan organisme memiliki toleransi tinggi terhadap kondisi lingkungan
tercemar. Pada Gambar 8 dapat dilihat penyebaran titik terjadi pada kuadran 1 dan
kuadran 2.
Pada kuadran 1 terdapat titik dari stasiun 3, hal ini menggambarkan tingginya
nilai SIGNAL 2 dan jumlah makrozoobenthos pada stasiun tiap sampling tersebut.
Tingginya nilai SIGNAL 2 menunjukan kekeruhan, salinitas dan kandungan nutrien
yang rendah. Jumlah famili yang tinggi menunjukan bahwa keanekaragaman
keadaan fisik habitat makrozoobenthos yang tinggi dan tidak terdapat faktor tekanan
ekologis. Kuadran 1 ini menggambarkan kondisi perairan yang sehat.
Pada kuadran 2 terdapat titik dari stasiun 1 dan stasiun 2. Kuadran ini
menggambarkan nilai SIGNAL 2 yang rendah dan jumlah famili makrozoobenthos
yang tinggi. Jumlah famili yang tinggi menunjukkan bahwa keanekaragaman
keadaan fisik habitat yang tinggi dan tidak terdapat tekanan ekologis. Nilai SIGNAL
2 yang rendah menunjukan tingginya kekeruhan, salinitas dan nutrien dibandingkan
alaminya, disebabkan telah ada pengaruh dari aktivitas manusia. Stasiun 1 yang
merupakan area yang umum dilalui oleh masyarakat, dan stasiun 2 yang letaknya
diantara pemukiman penduduk (Lampiran 3), memungkinkan kedua stasiun
mendapat pengaruh langsung dari aktivitas masyarakat. Selain itu dapat dilihat pada
tabel analisis parameter fisika –kimia air (Lampiran 12), nilai kekeruhan, BOD, dan
COD memang ditemukan lebih tinggi dibandingkan pada stasiun 3 yang berada pada
kuadran 1.
Pada kuadran 3, menggambarkan nilai SIGNAL 2 yang tinggi dan jumlah
famili makrozoobenthos yang rendah. Berdasarkan gambar tidak ada titik yang
masuk kedalam kuadran ini.
Adapun untuk kuadran 4, menggambarkan rendahnya nilai SIGNAL 2 dan
jumlah famili marozoobenthos yang rendah pula. Berdasarkan gambar tidak ada titik
yang masuk kedalam kuadran ini.
4.3.4. Indeks EPT (Ephemeroptera, Plecoptera, Tricoptera)
Famili Ephemeroptera, Plecoptera, dan Tricoptera merupakan kelompok
serangga yang intolerant terhadap polusi atau pencemaran. Perhitungan kelimpahan
dari ketiga famili ini dapat menggambarkan bagaimana kualitas perairan. Nilai
indeks EPT yang diukur di sungai Ciambulawung dapat dilihat pada Tabel 14.
Tabel 14. Nilai indeks EPT tiap stasiun
Nilai Stasiun
1 2 3
% EPT 53,85 52,17 19,15
interpretasi excellent excellent good-fair
Pada stasiun 1 persentase kelimpahan EPT tinggi, sehingga kualitas air yang
digambarkan dari nilai tersebut pun excellent. Hal yang sama terjadi pada stasiun 2,
nilai indeks EPT menunjukan bahwa kualitas perairan masuk kedalam kategori
excellent. Adapun pada stasiun 3 berdasarkan tabel, kualitas air yang ditunjukan
yaitu good – fair. Hal ini diduga karena jumlah individu dari kelompok EPT yang
ditemukan sedikit, dan beberapa kelompok organisme tidak dapat mentolerir polusi
4.4. Karakteristik Fisika Kimia Perairan
Pengukuran parameter fisika dan kimia perairan dilakukan pada waktu yang
sama dengan waktu pengambilan sampel makrozoobenthos. Parameter fisika dan
kimia merupakan parameter yang menunjang kehidupan makrozoobenthos. Hasil
analisis dari pengukuran parameter tersebut ditampilkan pada Gambar 9.
Suhu yang diperoleh dari hasil pengukuran di Sungai Ciambulawung yaitu
berkisar antara 22 - 26 ºC. Dimana pada stasiun 1 suhu tertinggi terdapat pada
sampling pertama yaitu 25 ºC dan terendah pada sampling ketiga yaitu 23 ºC. Pada
stasiun 2, suhu tertinggi terdapat pada sampling pertama yaitu 25,3 ºC dan terendah
pada sampling ketiga 22 ºC. Begitupun juga stasiun 3, sama seperti stasiun 1 dan 2.
Suhu tertinggi terdapat pada sampling pertama yaitu 26 ºC dan suhu terendah pada
sampling ketiga 23 ºC. Hal ini terjadi diduga karena pada saat sampling pertama
kondisi cuaca cerah dibandingkan dengan sampling kedua dan ketiga. Suhu
dipengaruhi oleh variasi musim, cuaca, iklim, waktu, ketinggian lokasi, dan tata
guna lahan dari aliran sungai.
Nilai kekeruhan di perairan Sungai Ciambulawung memiliki kisaran 1,5 - 3,7
NTU. Berdasarkan tabel nilai kekeruhan tinggi pada stasiun 2 yaitu 3 - 3,7 NTU dan
untuk stasiun 1 dan 3 memiliki nilai kisaran yang sama yaitu 1,5 - 2 NTU.
Tingginya nilai kekeruhan pada stasiun 2, diduga karena disekeliling stasiun ini
adalah pemukiman penduduk. Dimana penduduk terkadang melakukan beberapa
aktifitas di stasiun ini, seperti mencuci pakaian dan kendaraan mereka. Kekeruhan
dapat disebakan oleh adanya bahan organik dan anorganik yang tersuspensi dan
terlarut (misalnya lumpur dan pasir halus), maupun bahan anorganik dan organik
yang berupa plankton dan organisme lain (Eaton et all.1976; Davis & Cornwell
1991 in Effendi 2003).
TSS ( Total Suspended Solid) atau padatan tersuspensi di perairan Sungai
Ciambulawung memiliki nilai yang bervariasi yaitu pada stasiun 1 sampling pertama
sampai ketiga nilainya berkisar antara 2-3 mg/l. Pada stasiun 2 memiliki kisaran
nilai padatan tersuspensi 4 mg/l. Adapun pada stasiun 3 nilainya berkisar antara
1-3 mg/l. Stasiun 2 memiliki kisaran nilai padatan tersuspensi tertinggi, hal ini
dimungkinkan karena aktifitas di skeliling stasiun yang menyebabkan bahan organik
dan anorganik tinggi di stasiun ini.
Kecepatan arus pada stasiun 1 memiliki nilai dengan kisaran 47,41-50,87
cm/s, nilai tersebut menunjukan bahwa arus di stasiun 1 tergolong cepat. Di stasiun
2 kecepatan arus berkisar antara 24,10-25,85 cm/s, hal ini menunjukan bahwa arus
di stasiun 2 lebih lambat dari stasiun 1. Sedangkan pada stasiun 3 kecepatan arusnya
terjadi diduga karena pada stasiun 1 dan 3 memiliki tipe substrat batuan besar lebih
banyak dibandingkan di stasiun 2 dan banyak titik - titik aliran air beriak (riffle).
Sedangkan di stasiun 2 tipe substratnya sedikit batuan besar dan sedikit lumpur,
selain itu pada stasiun ini lebih banyak aliran air tenang (pool).
Derajat keasaman atau biasa dikenal dengan pH yang diperoleh dari hasil
tersebut tidak sesuai dengan baku mutu kelas II berdasarkan PP No.82 tahun 2001.
Namun kisaran pH di Sungai Ciambulawung ini masih berada dalam kisaran pH
dapat ditoleransi oleh organisme makrozoobenthos, termasuk serangga yaitu 4,5-8,5
(Hawkes 1979).
DO (Dissolved Oxygen) atau oksigan terlarut di Sungai Ciambulawung
nilainya bervariasi. Pada stasiun 1 kandungan DO memiliki kisaran nilai antara
7,16-9,21 mg/l. Di stasiun 2 nilai DO berkisar antara 6,91-9,21 mg/l, adapun di
stasiun 3 nilai kandungan DO berkisar antara 6,91-9,98 mg/l. Dapat dilihat pada
Gambar 10 nilai kandungan oksigen terlarut tersebut apabila dibandingkan dengan
baku mutu kelas II PP No. 82 tahun 2001, maka nilainya masih berada di atas baku
mutu yaitu > 4 mg/l. Nilai oksigen di perairan dapat menjadi faktor pembatas bagi
organisme makrozoobenthos (Setiawan 2008). Oleh karena itu ketersediaan oksigen
terlarut ini sangat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup dan keberadaan dari
makrozoobenthos. Kandungan oksigen terlarut dipengaruhi oleh aktifitas
fotosintesis, respirasi, dan limbah (effluent) yang masuk ke badan air (Effendi 2003).
Langley et al. (1997) menyatakan bahwa tingginya kandungan oksigen dan jarak
yang dekat dengan sumber sungai merupakan faktor yang mengindikasikan kualitas
air yang lebih baik.
Kebutuhan oksigen biokimiawi atau BOD (Biochemical Oxygen Demand) di
Sungai Ciambulawung berfluktuasi (Lampiran 12). Nilai BOD yang tinggi yaitu
terdapat pada stasiun 1 dengan kisaran nilai 1,58 - 3,84 mg/l dan stasiun 2 dengan
stasiun lainnya yaitu berkisar antara 1,54 - 2,30 mg/l. Nilai BOD yang tinggi
dimungkinkan karena adanya masukan bahan organik yang berasal dari kegiatan
antropogenik, pohon yang berada di sekeliling stasiun atau daerah aliran sungai, dan
limpasan dari aliran sungai diatasnya. Namun apabila kandungan oksigen terlarut
yang terkandung di perairan tinggi, hal ini dapat membantu dalam hal
pendekomposisian bahan organik yang masuk dengan bantuan bakteri. Pada stasiun
1 dan 2 ada di beberapa sampling yang nilai BOD melebihi baku mutu kelas II PP
No. 82 tahun 2001.
Kebutuhan oksigen kimiawi atau COD (Chemical Oxygen Demand) pada
stasiun 1 memiliki kisaran nilai 9,35-14,65 mg/l. Pada stasiun 2 berkisar antara
5,82-25,24 mg/l, dan pada stasiun 3 kisaran nilai COD yaitu 8,18-17,59 mg/l. Nilai COD
tertinggi berada pada stasiun 2 yaitu 25,24 mg/l, dan nilai ini pun melebihi baku
mutu yang telah ditetapkan. Nilai COD yang tinggi diduga karena stasiun 2
dikelilingi oleh pemukiman penduduk sehingga masukan bahan organik pun
semakin besar akibat dari kegiatan masyarakat.
Kualitas air di perairan sungai Ciambulawung masih dapat dikatakan baik,
apabila dilihat berdasarkan nilai hasil pengukuran parameter fisika dan kimia
perairan yang umumnya masih memenuhi nilai baku mutu kelas II PP No. 82 tahun
2001. Begitu juga apabila dikaitkan dengan analisis menggunakan indeks
pencemaran dan indeks storet, rata – rata nilai indeks pencemaran ketiga stasiun
menunjukan bahwa kualitas perairan baik. Nilai Indeks pencemaran tiap stasiun
setiap sampling dapat dilihat pada Tabel 15. Indeks storet pun menunjukan hasil
yang sama yaitu perairan masuk kedalam kelas A (baik sekali) dan kelas B (baik),
hanya saja dalam penggunaan metode storet ini terlihat bahwa pada stasiun 2, total
skor penilaian yang tidak memenuhi baku mutu yaitu paling tinggi. Hal ini
dikarenakan nilai BOD dan COD yang melebihi baku mutu. Tingginya nilai BOD
dan COD diduga karena disekeliling stasiun 2 yang merupakan pemukiman,
memungkingkan banyaknya bahan organik yang masuk kedalam perairan yang
berasal dari aktifitas manusia. Nilai indeks storet tiap stasiun setiap sampling dapat
Tabel 15. Nilai indeks pencemaran di perairan Sungai Ciambulawung
Tabel 16. Nilai indeks storet di perairan Sungai Ciambulawung
Nilai stasiun 1 stasiun 2 stasiun 3
total skor -2 -6 0
Kelas B (Baik) B (Baik) A (Baik sekali)
tingkat kualitas cemar ringan cemar ringan memenuhi baku mutu
4.5. Kesamaan antar Stasiun Berdasarkan Komposisi Makrozoobenthos
Hasil dari pengelompokkan data komposisi makrozoobenthos pada perairan
Sungai Ciambulawung, yang dihitung menggunakan indeks kesamaan Bray-Curtis
menunjukkan bahwa stasiun 1 dan 2 termasuk kedalam satu kelompok dengan nilai
kesamaan 88,99%. Stasiun 3 terpisah dari kelompok, yang nilai kesamaannya
dengan stasiun1 dan 2 yaitu 85,22% (Gambar 11). Hal ini menunjukan bahwa
stasiun 1 dan stasiun 2 memiliki komposisi markozoobenthos yang lebih serupa atau
sama dibandingkan dengan stasiun 3. Dendogram indeks kesamaan Bray-Curtis
berdasarkan komposisi makrozoobenthos dapat dilihat pada Gambar 10.