• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKROZOOBENTHOS SEBAGAI BIOINDIKATOR KUALITAS PERAIRAN DI SUNGAI CIAMBULAWUNG, LEBAK, BANTEN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MAKROZOOBENTHOS SEBAGAI BIOINDIKATOR KUALITAS PERAIRAN DI SUNGAI CIAMBULAWUNG, LEBAK, BANTEN"

Copied!
79
0
0

Teks penuh

(1)

MAKROZOOBENTHOS SEBAGAI BIOINDIKATOR KUALITAS

PERAIRAN DI SUNGAI CIAMBULAWUNG, LEBAK, BANTEN

YUNITA MAGRIMA ANZANI

SKRIPSI

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul:

Makrozoobenthos Sebagai Bioindikator Kualitas Perairan Di Sungai Ciambulawung, Lebak, Banten

adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Februari 2012

Yunita Magrima Anzani C24070009

(3)

RINGKASAN

Yunita Magrima Anzani. C24070009. Makrozoobenthos Sebagai Bioindikator Kualitas Perairan Di Sungai Ciambulawung, Lebak, Banten. Di bawah bimbingan Hefni Effendi dan Yusli Wardiatno.

Sungai merupakan suatu ekosistem perairan mengalir yang menerima limpasan dari daratan sepanjang daerah alirannya. Masyarakat memanfaatkan ekosistem ini untuk berbagai keperluan dan kegiatan, dengan adanya pemanfaatan tersebut akan mempengaruhi kondisi perairan dan dapat menurunkan kualitas dan nilai guna dari air sungai. Sungai Ciambulawung yang berada di Desa Hegarmanah, Kabupaten Lebak, Banten ini dimanfaatkan oleh warga sekitar sebagai Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH), dengan adanya kegiatan mikro hidro tersebut diperlukan suatu upaya pemantauan dan pengelolaan kondisi lingkungan perairan sungai. Salah satu upaya pemantauannya yaitu dengan mengidentifikasi struktur komunitas makrozoobenthos yang terdapat di sungai sebagai bioindikator kualitas perairan.

Penelitian ini dilakukan di tiga stasiun area sungai pada bulan Februari-Agustus 2011. Jenis data yang diambil berupa data primer yaitu makrozoobenthos dan parameter fisika kimia perairan. Analisis data makrozoobenthos menggunakan empat indeks biologi yaitu LQI (Lincoln Quality Index), FBI (Family Biotic Index), SIGNAL 2 (Stream Invertebrate Grade Number Average Level), dan indeks EPT (Ephemeroptera, Plecoptera, Tricoptera). Parameter fisika kimia perairan dianalisis menggunakan indeks pencemaran dan indeks storet, dan digunakan indeks Bray-Curtis dan indeks Canberra untuk mengetahui tingkat kesamaan antar stasiun. Uji stastistik yang digunakan yaitu uji ANOVA dua arah

Makrozoobenthos yang ditemukan di Sungai Ciambulawung terdiri dari 30 genus dari 27 famili, dengan jumlah famili dan kepadatan makrozoobenthos tertinggi diperoleh pada bagian riffle (beriak). Hasil uji anova dua arah dengan SK 95%, jumlah famili dan kepadatan makrozoobenthos tiap stasiun pada bagian riffle dan pool tidak berbeda nyata secara signifikan. Komposisi terbesar ditemukan dari ordo Diptera yaitu famili Chironomidae. Kualitas air Sungai Ciambulawung berdasarkan hasil analisis, diperoleh nilai LQI yaitu 4-5 (baik sampai excellent), untuk FBI yaitu 5,2-5,8 (sedang sampai agak buruk), untuk SIGNAL 2 penyebaran titik terjadi pada kuadran 1 (bersih) dan kuadran 2 (mulai berubah dari kondisi alami), dan untuk indeks EPT diperoleh nilai persentase 19,15% - 53,85% (good-fair sampai excellent). Adapun hasil analisis data parameter fisika kimia perairan dengan menggunakan indeks pencemaran yaitu 0,71-0,78 (baik) dan untuk indeks storet yaitu -6 sampai 0 (baik sampai baik sekali). Indeks Bray-Curtis dan Canberra mengelompokkan stasiun 1 dan 2 dalam satu kelompok yang sama dan stasiun 3 terpisah serta menunjukkan hasil bahwa makrozoobenthos dipengaruhi oleh lingkungan. Bedasarkan hasil tersebut pendekatan secara biologi yang sesuai dengan hasil pendekatan fisika kimia perairan yaitu LQI dan SIGNAL 2. Sehingga kedua indeks tersebut dapat digunakan dalam memonitor kondisi perairan Sungai Ciambulawung. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pada stasiun 1 dan 2 kualitas perairannya baik, dan stasiun 3 sangat baik.

(4)

i

MAKROZOOBENTHOS SEBAGAI BIOINDIKATOR KUALITAS

PERAIRAN DI SUNGAI CIAMBULAWUNG, LEBAK, BANTEN

YUNITA MAGRIMA ANZANI C24070009

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(5)

ii

PENGESAHAN SKRIPSI

Judul Skripsi : Makrozoobenthos Sebagai Bioindikator Kualitas Perairan Di Sungai Ciambulawung, Lebak, Banten.

Nama Mahasiswa : Yunita Magrima Anzani

NIM : C24070009

Program Studi : Manajemen Sumberdaya Perairan

Menyetujui, Komisi Pembimbing

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Ir. Hefni Effendi, M.Phil Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc NIP. 19640213 198903 1 014 NIP. 19660728 199103 1 002

Mengetahui:

Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan

Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc NIP. 19660728 199103 1 002

(6)

iii

PRAKATA

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan nikmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelasaikan skripsi ini dengan judul “Makrozoobenthos Sebagai Bioindikator Kualitas Perairan Di Sungai Ciambulawung Banten ”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana. Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada berbagai pihak yang telah banyak membantu dalam memberikan bimbingan, dukungan, masukan, dan arahan dalam penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat diperlukan untuk perbaikan skripsi penelitian ini. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat sebagaimana mestinya.

Bogor, Februari 2012

(7)

iv

UCAPAN TERIMA KASIH

Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Dr. Ir. Hefni Effendi, M.Phil dan Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc., masing-masing selaku pembimbing I dan pembimbing II yang telah memberikan bimbingan, arahan, serta masukan dalam penyelesaian skripsi ini.

2. Ir. Agustinus M Samosir, M.Phil yang telah membimbing serta memberi nasehat. 3. Majariana Krisanti, S.Pi, M.Si dan Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Si. selaku penguji tamu dan komisi pendidikan yang telah memberikan arahan dan masukannya bagi skripsi ini.

4. Dr. Ir. Gatot Yulianto selaku dosen pembimbing akademik atas bimbingannya. 5. Keluarga tercinta yang telah mencurahkan kasih sayangnya dan mendukung baik

moril maupun materil atas segala doa dan dukungannya

6. Staff Tata Usaha MSP yang telah membantu memperlancar proses penelitian serta penulisan skripsi ini.

7. PPLH IPB atas bantuan tenaga, peralatan, maupun finansial dalam penelitian ini. 8. Teman-teman MSP 44 atas semangat, nasehat, dan kebersamaan dalam suka

duka.

9. Teman-teman MSP 43, tim asisten Oseanografi Umum, Sadewi Maharani, Iswaty Aditiyana, Anne Erythriana, Windi Widayanti, Anindita Farhani, Danu Adrian, serta seluruh pihak yang telah membantu namun tidak dapat penulis ucapkan satu persatu.

(8)

v

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 14 Juni 1989 dari pasangan Bapak M. Nadzim Nuriadi dan Ibu Tati Hidayah. Pendidikan formal ditempuh di TK Tarbiyatun nisaa Bogor, SD Angkasa II Bogor, SMPN 4 Bogor, dan SMAN 3 Rangkasbitung. Pada tahun 2007 penulis diterima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor melalui jalur penerimaan USMI. Setelah melewati tahap Tingkat Persiapan Bersama selama satu tahun, penulis masuk ke departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.

Selama mengikuti perkuliahan penulis berkesempatan menjadi asisten mata kuliah Oseanografi umum (2010-2011) dan (2011-2012), Selain itu penulis juga ikut serta pada kelembagaan mahasiswa yakni sebagai bendahara di Himpunan Mahasiswa Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (2010) dan mengikuti kepanitian yaitu sebagai anggota divisi sponshorship Olimpiade Mahasiswa Institut Pertanian Bogor.

Untuk menyelesaikan studi di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, penulis melaksanakan penelitian yang berjudul “Makrozoobenthos Sebagai Bioindikator Kualitas Perairan Di Sungai Ciambulawung, Lebak, Banten”.

(9)

vi

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix DAFTAR LAMPIRAN ... x 1. PENDAHULUAN ... 1 1.1. Latar Belakang ... 1 1.2. Perumusan Masalah ... 2 1.3. Tujuan... ... 3 1.4. Manfaat... ... 3 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1. Makrozoobenthos Sebagai Bioindikator Kualitas Perairan ... 4

2.1.1. Organisme makrozoobenthos ... 4

2.1.2. Bioindikator kualitas perairan ... 4

2.2. Parameter Fisika Kimia Perairan ... 6

2.2.1. Suhu ... 7 2.2.2. Kecepatan arus ... 7 2.2.3. Kekeruhan ... 8 2.2.4. Tipe substrat ... 8 2.2.5. Derajat keasaman (pH) ... 9 2.2.6. Oksigen terlarut ... 9

2.2.7. Kebutuhan oksigen kimiawi (COD) ... 10

3. METODE PENELITIAN ... 11

3.1. Waktu dan Lokasi Pengambilan Sampel ... 11

3.2. Bahan dan Alat serta Teknik Pengambilan Sampel ... 11

3.2.1. Makrozoobenthos ... 11

3.2.2. Parameter fisika dan kimia ... 12

3.3. Pengumpulan Data (Kepadatan Makrozoobenthos) ... 13

3.4. Analisis Data ... 13

3.4.1. Indeks keanekaragaman ... 13

3.4.2. Indeks keseragaman ... 13

3.4.3. Indeks biologi ... 14

a. LQI (Lincoln Quality Index) ... 14

b. FBI (Family Biotic Index) ... 15

c. SIGNAL 2 (Stream Invertebrate Grade Number Average Level) ... 16

d. Indeks EPT (Ephemeroptera, Plecoptera, Tricoptera) ... 18

3.4.4. Indeks pencemaran dan indeks storet ... 18

3.4.5. Indeks Bray-Curtis ... 21

3.4.6. Indeks Canberra ... 21

(10)

vii

4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 24

4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 24

4.2. Struktur Komunitas Makrozoobenthos ... 25

4.2.1. Jumlah taksa dan kepadatan makrozoobenthos ... 25

4.2.2. Komposisi makrozoobenthos ... 28

4.2.3. Indeks keanekaragaman, indeks keseragaman, dan indeks dominansi ... 31

4.3. Indeks Biologi Makrozoobenthos ... 32

4.3.1. LQI (Lincoln Quality Index) ... 32

4.3.2. FBI (Family Biotic Index) ... 33

4.3.3. SIGNAL 2 (Stream Invertebrate Grade Number Average Level) ... 34

4.3.4. Indeks EPT (Ephemeroptera, Plecoptera, Tricoptera) ... 36

4.4. Karakteristik Fisika Kimia Perairan ... 37

4.5. Kesamaan antar Stasiun Berdasarkan Komposisi Makrozoobenthos ... 41

4.6. Kesamaan antar Stasiun Berdasarkan Parameter Fisika Kimia Perairan ... 42

4.7. Perbandingan hasil indeks biologi dengan indeks berdasarkan parameter fisika kimia perairan ... 43

5. KESIMPULAN DAN SARAN ... 46

5.1. Kesimpulan ... 46

5.2. Saran ... 46

DAFTAR PUSTAKA ... 47

(11)

viii

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Struktur komunitas makrozoobenthos pada kondisi perairan tertentu ... 6

2. Beberapa contoh makrozoobenthos berdasarkan kepekaannya terhadap bahan pencemar ... 6

3. Metode dan alat yang digunakan pada pengukuran parameter fisika-kimia perairan ... 12

4. Niai OQR (Overall Quality Rating) indeks kualitas Lincoln dan Interpretasinya (Mason 1991) ... 15

5. Penggolongan kriteria kualitas air oleh Hilsenhoff (1988) in Hauer & Lamberti (2007)... 15

6. Nilai faktor pembobotan berdasarkan jumlah individu yang ditemukan ... 16

7. Ketentuan nilai indeks EPT dan kriteria kualitas air untuk sungai di gunung ... 18

8. Penentuan skor untuk nilai parameter kualitas air yang melebihi baku mutu ... 20

9. Sistem nilai dan interpretasi status mutu air ... 21

10. Indeks keanekaragaman, indeks keseragaman, dan indeks dominansi .... 31

11. Nilai BMWP, ASPT, dan OQR tiap stasiun ... 33

12. Nilai FBI (Family Biotic Index) tiap stasiun ... 34

13. Nilai SIGNAL 2 dan jumlah famili makrozoobenthos tiap stasiun ... 35

14. Nilai indeks EPT tiap stasiun ... 36

15. Nilai indeks pencemaran di perairan Sungai Ciambulawung ... 41

16. Nilai indeks storet di perairan Sungai Ciambulawung ... 41

17. Hasil indeks – indeks biologi dan indeks berdasarkan parameter fisika kimia perairan ... 43

(12)

ix

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Skema perumusan masalah struktur komunitas makrozoobenthos ... 2

2. Peta lokasi tiap stasiun pengamatan di Sungai Ciambulawung ... 11 3. Penentuan kuadran untuk nilai SIGNAL 2 ... 17 4. Jumlah famili tiap stasiun di setiap sampling pada bagian riffle dan

pool ... 25 5. Jumlah genus tiap stasiun di setiap sampling pada bagian riffle dan

pool ... 26 6. Kepadatan makrozoobenthos tiap stasiun di setiap sampling pada bagian

riffle dan pool ... 28 7. Komposisi kepadatan makrozoobenthos tiap stasiun di setiap sampling

pada bagian riffle dan pool ... 30 8. Hubungan nilai SIGNAL 2 dan jumlah famili tiap stasiun ... 35 9. Karakteristik fisika kimia perairan Sungai Ciambulawung ... 37 10. Dendogram indeks kesamaan Bray-Curtis berdasarkan komposisi

makrozoobenthos ... 41 11. Dendogram indeks kesamaan Canberra berdasarkan parameter fisika kimia perairan ... 42

(13)

x

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Peta lokasi Sungai Ciambulawung ... 52 2. Alat dan bahan yang digunakan selama penelitian ... 53 3. Gambar peletakan surber di sungai ... 54 4. Tabel Skor BMWP (Biological Monitoring Working Party)

(Mason 1991) ... 55 5. Tabel rating standar dari nilai BMWP dan ASPT (Mason 1991) ... 56 6. Tabel Nilai FBI (Hilsenhoff 1988) ... 56 7. Tabel Skor SIGNAL 2 berdasarkan famili dari makrozoobenthos yang

ditemukan (Chessmann 2003) ... 57 8. Foto lokasi pengambilan sampel ... 60 9. Tabel ANOVA 2 arah untuk jumlah famili, jumlah genus, dan kepadatan

Makrozoobenthos ... 61 10. Kepadatan makrozoobenthos (Ind/m²) pada sampling ke-1, 2, dan 3 yang

ditemukan di Sungai Ciambulawung. ... 62 11. Gambar contoh organisme makrozoobenthos ... 65 12. Tabel Karakteristik fisika kimia perairan Sungai Ciambulawung ... 66

(14)

1.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sungai merupakan suatu ekosistem perairan mengalir yang menerima limpasan dari daratan sepanjang daerah alirannya. Pergerakan air atau aliran arus dari sungai ialah satu arah (unidireksional). Daerah aliran sungai ditinjau dari segi ekologis berkaitan dengan keadaan geologi, fisiologi, iklim, flora, fauna, tata guna lahan, dan kegiatan manusia. Pada umumnya sungai dimanfaatkan oleh masyarakat untuk berbagai keperluan dan kegiatan, seperti keperluan industri, rumah tangga, transportasi, kegiatan perikanan, pertanian, dan juga untuk pariwisata. Dengan adanya pemanfaatan sungai tersebut akan mempengaruhi kondisi perairan dan dapat menurunkan kualitas dan nilai guna dari air sungai.

Penurunan kualitas perairan dapat menyebabkan terjadinya perubahan komposisi organisme yang menghuni suatu perairan tersebut. Komunitas organisme yang dapat digunakan sebagai pendekatan dalam menduga kualitas perairan tempat organisme itu berada umumnya ialah makrozoobenthos. Hal ini dikarenakan hewan ini hidupnya bersifat relatif menetap, pergerakan yang rendah, serta kemampuannya untuk mengakumulasi bahan pencemar di dalam tubuhnya. Pendekatan kualitas perairan sungai dengan melihat struktur organisme dalam hal ini makrozoobenthos yang ada di sungai dikenal sebagai pendekatan secara biologi.

Penggunaan struktur komunitas makrozoobentos sebagai bioindikator kualitas perairan sungai sudah umum digunakan, diantaranya Sudarso et al. (2009) mengklasifikasikan tingkat kerusakan atau gangguan di beberapa ruas Sungai Cisadane berdasarkan pada komunitas benthos. Di negara – negara maju dalam menilai tingkat kesehatan sungai, menggunakan materi biologi seperti komunitas fauna makrobenthik atau benthos untuk mengetahui status dan bagaimana perubahan kualitas air akibat aktifitas antropogenik (Lenat & Barbour 1994; Reynoldson & Metcalfe-Smith 1992; Smith et al. 2007; Haase et al. 2004 in Sudarso et al. 2009). USEPA (2002) in Hauer & Lamberti (2007) menyatakan bahwa 49 dari 50 negara bagian di Amerika Serikat menggunakan makrozoobenthos dalam pemantauan kualitas air.

(15)

Sungai Ciambulawung yang berada di Desa Hegarmanah, Kebupaten Lebak, Banten ini dimanfaatkan oleh warga sekitar sebagai Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH), dengan adanya kegiatan mikro hidro tersebut diperlukan suatu upaya pemantauan dan pengelolaan kondisi lingkungan perairan sungai tersebut. Salah satu upaya pemantauannya yaitu dengan mengidentifikasi bagaimana struktur komunitas makrozoobenthos yang terdapat di sungai sebagai bioindikator kualitas perairan.

1.2. Perumusan Masalah

Kondisi lingkungan perairan, seperti parameter fisika dan kimia dari perairan mempengaruhi kepadatan, komposisi, dan tingkat keragaman makrozoobenthos. Keberadaan makrozoobenthos juga sangat dipengaruhi oleh kandungan bahan organik, substrat perairan dan limpasan permukaan saat hujan. Kandungan bahan organik secara alami semakin ke hilir akan bertambah seiring dengan aliran sungai yang unidireksional. Semakin tinggi kandungan bahan organik di sungai akan menyebabkan menghilangnya beberapa jenis makrozoobenthos dan melimpahnya makrozoobenthos yang dapat bertahan. Keragaan struktur komunitas inilah yang menjadi bioindikator dari kualitas perairan, sehingga perlu diketahui untuk menduga kondisi lingkungan perairan. Oleh karena itu dibutuhkan kelengkapan data dari makrozoobenthos yang ada di perairan sungai. Skema perumusan masalah struktur komunitas makrozoobenthos disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Skema perumusan masalah struktur komunitas makrozoobenthos sebagai bioindikator kualitas perairan

kualitas air : parameter fisika dan kimia bahan organik makrozoobenthos bioindikator struktur komunitas makrozoobenthos

(16)

1.3. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk menilai kondisi perairan Sungai Ciambulawung dengan menggunakan struktur komunitas makrozoobenthos sebagai bioindikator.

1.4. Manfaat

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai kondisi lingkungan perairan Sungai Ciambulawung melalui perameter biologi, sehingga dapat menjadi masukan dalam pengelolaan dan pengembangan sungai yang tetap memperhatikan kelestarian lingkungan dan ekosistem.

(17)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Makrozoobenthos Sebagai Bioindikator Kualitas Perairan 2.1.1. Organisme makrozoobenthos

Organisme benthos merupakan organisme yang melekat atau beristirahat pada dasar perairan dan hidup di dasar endapan (substrat) perairan. Benthos yang tinggal atau hidup di dalam sedimen dasar perairan disebut infauna sedangkan yang hidup pada permukaan sedimen dasar perairan disebut epibenthik (Odum 1993). Menurut Nybakken (1992) benthos berdasarkan ukurannya dapat digolongkan menjadi :

1) Makrobenthos dengan ukuran lebih dari 1,0 mm 2) Meiobenthos dengan ukuran antara 0,1 - 1 mm 3) Mikrobenthos dengan ukuran kurang dari 0,1 mm

Makrobenthos merupakan organisme yang mencapai ukuran sekurang kurangnya 3-5 mm pada saat pertumbuhan maksimum. Organisme makrobenthos biasanya terdiri atas insekta, moluska, oligochaeta, krustacea – amphipoda, isopoda, decapoda, dan nematoda (Cummins 1975).

Benthos meliputi organisme nabati (fitobenthos) dan organisme hewani (zoobenthos). Pada lingkungan yang dinamis seperti sungai hewan benthos (zoobenthos) dapat memberikan gambaran mengenai kualitas perairan, karena benthos hidup relatif menetap dan mengalami kontak langsung dengan limbah yang masuk ke habitatnya. Kelompok hewan ini dapat memberikan gambaran mengenai perubahan faktor - faktor lingkungan dari waktu ke waktu. Diantara hewan benthos yang relatif mudah diidentifikasi dan peka terhadap lingkungan perairan adalah jenis - jenis yang termasuk dalam kelompok invertebrata makro. Kelompok ini lebih dikenal dengan makrozoobenthos.

2.1.2. Bioindikator kualitas perairan

Dalam mengkaji kondisi perairan, selain ikan penggunaan struktur komunitas avertebrata seperti makrozoobenthos untuk menggambarkan kondisi ekosistem akuatik yang terintegrasi sudah mulai berkembang. Penggunaan komunitas biota

(18)

untuk dapat menduga kualitas perairan secara tepat perlu memperhatikan hal – hal sebagai berikut :

1. Keberadaan atau ketiadaan organisme harus lebih merupakan fungsi kualitas air daripada faktor ekologis

2. Metode yang digunakan harus diyakini dapat menduga kualitas air sehingga dapat diperbandingkan

3. Pendugaan harus terkait dengan kualitas air untuk jangka waktu yang cukup lama, bukan hanya pada saat sampling

4. Perlu diperhatikan bahwa pendugaan harus lebih dikaitkan dengan tujuan sampling

5. Sampling, penyortiran, identifikasi, dan pengolahan data harus dilakukan secara baik dan benar.

Keberadaan makrozoobenthos di perairan dipengaruhi oleh faktor lingkungan biotik dan abiotik. Faktor biotik yang berpengaruh diantaranya ialah bakteri (dekomposer) yang membantu proses dekomposisi bahan organik. Dimana bahan organik tersebut merupakan salah satu sumber makanan bagi makrozoobenthos. Faktor abiotik yang berpengaruh ialah seperti parameter fisika dan kimia perairan, diantaranya suhu, kecerahan, pH, oksigen terlarut, kebutuhan oksigen biokimiawi (BOD), arus, dan kedalaman.

Menurut Wilhm (1975) kelompok spesies makrozoobenthos berdasarkan kepekaan terhadap perubahan lingkungan perairan yaitu :

a. Kelompok intoleran ialah organisme yang dapat tumbuh atau berkembang dalam kisaran kondisi lingkungan yang sempit dan jarang dijumpai di perairan yang kaya bahan organik. Organisme ini tidak dapat beradaptasi pada kondisi perairan yang mengalami penurunan kualitas. Contohnya beberapa famili dari Ordo Ephemeroptera, Ordo Tricoptera, dan Ordo Plecoptera.

b. Kelompok fakultatif yaitu organisme yang dapat bertahan hidup pada kisaran kondisi lingkungan yang lebih besar dibandingkan organisme intoleran, namun tidak dapat mentolerir kondisi lingkungan yang tercemar berat. Contohnya dari Ordo Odonata, Kelas gastropoda, dan Filum Crustacea.

(19)

c. Kelompok toleran yaitu organisme yang dapat berkembang pada kisaran kondisi lingkungan yang luas, sering ditemukan pada perairan yang tercemar dan tidak peka terhadap tekanan lingkungan. Contohnya cacing dari famili Tubificidae. Kelompok – kelompok ini dalam struktur komunitas dapat menunjukan kondisi perairan berdasarkan derajat pencemaran, yang disajikan pada Tabel 1, dan beberapa spesies yang termasuk golongan intolerant, fakultatif, dan toleran (Tabel 2).

Tabel 1. Struktur komunitas makrozoobenthos pada kondisi perairan tertentu (The Georgia Water Quality Control Board 1971 in Wilhm 1975)

Jenis Perairan Struktur Komunitas

Bersih Komunitas makrozoobenthos yang seimbang dengan beberapa populasi intoleran diselingi populasi fakultatif tanpa ada satu spesies yang mendominan

Tercemar sedang Penghilangan atau pengurangan banyak spesies intoleran dan berbagai fauna dari fakultatif dengan satu atau dua spesies dari kelompok toleran akan mendominan

Tercemar Komunitas makrozoobenthos dengan jumlah spesies terbatas, diikuti dengan penghilangan kelompok intoleran dan fakultatif Tercemar berat Penghilangan hampir seluruh makrozoobenthos kecuali cacing

Oligochaeta atau organisme yang dapat bernafas melalui udara atau kemungkinan menghilangnya seluruh kehidupan

Tabel 2. Beberapa contoh makrozoobenthos berdasarkan kepekaannya terhadap bahan pencemar (Gaufin 1958 in Wilhm 1975)

Status Jenis Makrozoobenthos

Intoleran Ephemera simulans (lalat sehari), Acroneuria evoluta (lalat batu), Chimarra obscura, Mesovelia sp. (kepik), Helichus lithopilus (kumbang), Anppheles punctiennis (nyamuk)

Fakultatif Stenonema heterotarsale (lalat sehari), Taeniopteryx maura (lalat batu), Hydropsyche bronta, Agrion maculatum, Corydalis cornutus (lalat), Agabus stagninus (kumbang), Chironomus decorus, Helodrilus chlorotica (cacing oligochaeta)

Toleran Chironomus riparum (sejenis nyamuk), Limnodrilus sp. dan Tubifex sp. (cacing oligochaeta)

2.2. Parameter Fisika Kimia Perairan

Keanekaragaman organisme makrozoobenthos di perairan dipengaruhi oleh faktor fisika kimia perairan. Beberapa faktor fisika dan kimia yang mempengaruhi keberadaan makrozoobenthos di perairan diuraikan sebagai berikut.

(20)

2.2.1. Suhu

Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, lintang (latitude), ketinggian dari permukaan laut (altitude), waktu dalam sehari, sirkulasi udara, penutupan awan, dan aliran serta kedalaman badan air. Perubahan suhu berpengaruh terhadap proses fisika, kima, dan biologi badan air (Effendi 2003). Menurut Angelier (2003), suhu merupakan faktor ekologi penting di aliran air.

Sebagian besar dari makrozoobenthos dapat melakukan toleransi pada suhu air di bawah 350C (Ward 1992). Menurut Macan (1974) suhu 36,5 - 410C merupakan lethal temperature bagi makrozoobenthos artinya pada suhu tersebut organisme benthik telah mencapai titik kritis yang dapat menyebabkan kematian.

2.2.2. Kecepatan arus

Kecepatan arus mempengaruhi keberadaan dan komposisi makrozoobenthos serta secara tidak langsung mempengaruhi substrat perairan (Nietzke 1973 in Hawkes 1975). Kekuatan arus dapat mengikis sedimen sungai bahkan menghanyutkan hewan - hewan dasar dan juga adaptasi yang mempengaruhi kemampuan bergerak komunitas biotanya. Arus sering menyebabkan berbagai jenis hewan dasar perairan yang terdapat pada batu dan di antara batu - batu sungai hanyut terbawa arus. Organisme yang hidupnya menetap pada substrat sangat membutuhkan arus untuk membawa makanan, oksigen, dan lain lain. Kecepatan arus berpengaruh langsung terhadap pembentukan substrat dasar perairan dan berpengaruh tidak langsung terhadap pembentukan komposisi benthos (Hawkes 1979).

Kecepatan arus perairan mengalir dapat diklasifikasikan sebagai berikut < 10 cm/detik tergolong berarus sangat lambat, 10 - 25 cm/detik berarus lambat, 25 - 50 cm/detik berarus sedang, 50 - 100 cm/detik berarus cepat, >100 cm/detik berarus sangat cepat (Welch 1980 in Rachmawati 1999). Menurut Basmi (1999), biota yang hidup dibatu - batu air deras seperti lalat sehari (Mayfly) dan lalat batu (Stonefly), memiliki tubuh yang yang pipih serta mempunyai perlengkapan lain agar dapat beradaptasi dalam kondisi air deras tersebut.

(21)

2.2.3. Kekeruhan

Kekeruhan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan - bahan yang terdapat di dalam air. Kekeruhan disebabkan oleh adanya bahan organik dan anorganik yang tersuspensi dan terlarut (misalnya lumpur dan pasir halus), maupun bahan anorganik dan organik yang berupa plankton dan mikroorganisme lain (APHA 1976; Davis & Cornwell 1991 in Effendi 2003).

Perbedaan kekeruhan yang sangat besar sering terjadi di sungai. Di sungai - sungai pegunungan dengan substrat berbatu kekeruhan biasanya rendah. Sementara di sungai - sungai dataran rendah kekeruhannya biasanya tinggi (Welch 1952). Kekeruhan dapat berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap makrozoobenthos. Pengaruh langsung terhadap pola makan dan kemampuan melekat sedangkan pengaruh tidak langsung terhadap ketersediaan oksigen. Kekeruhan yang tinggi dapat mengakibatkan terganggunya pernafasan dan daya lihat organisme akuatik, serta dapat menghambat penetrasi cahaya ke dalam air.

2.2.4. Tipe substrat

Karakter dasar suatu perairan sangat menentukan penyebaran makrozoobenthos (Odum 1993). Ward (1992) menjelaskan bahwa substrat - substrat perairan merupakan campuran dari beberapa ukuran materi dan partikel yang tersusun dari kepingan batu, walaupun ada juga tipe substrat seragam tunggal seperti batuan dasar yang mungkin dominan pada habitat ini. Padatan substrat permukaan (batu, batang kayu, tumbuhan hidup) dan sedimen dasar yang halus didiami oleh serangga haptobenthik dan herpobenthik.

Komposisi substrat di sungai bervariasi baik secara temporal atau spasial, hal ini berhubungan dengan kecepatan arus. Detritus dasar yang berasal dari daratan memiliki peran besar di sungai dibandingkan di danau, khususnya penting bagi ekologi dari serangga di hulu yang sekitarnya hutan. Menurut Roback (1974), nimfa Ephemeroptera (lalat sehari) tergantung jenisnya hidup pada tumbuhan air, lumpur, potongan – potongan kayu, batu kerikil, dasar batu, dan beberapa ditemukan hanya di antara atau di bawah batuan.

(22)

2.2.5. Derajat keasaman (pH)

Nilai pH menyatakan intensitas keasaman atau alkalinitas dari suatu contoh air dan mewakili konsentrasi ion hidrogennya. Konsentrasi ion hidrogen ini akan berdampak langsung terhadap keanekaragaman dan distribusi organisme serta menentukan reaksi kimia yang akan terjadi. Dari hasil aktivitas biologi dihasilkan CO2 yang merupakan hasil respirasi, CO2 inilah yang akan membentuk ion buffer

atau penyangga untuk menyangga kisaran pH di perairan agar tetap stabil (Goldman & Horne 1983). Menurut Brower etal. (1990), nilai pH berpengaruh langsung pada keanekaragaman dan distribusi organisme serta berpengaruh juga pada beberapa reaksi kimia alami yang terjadi di lingkungan perairan.

Makrozoobenthos mempunyai kenyamanan kisaran pH yang berbeda - beda. Sebagai contoh, Gastropoda lebih banyak ditemukan pada perairan dengan pH di atas 7, sedangkan kelompok insekta banyak ditemukan pada kisaran pH 4,5 - 8,5.

2.2.6. Oksigen terlarut

Sumber utama oksigen terlarut di perairan dari atmosfer dan fotosintesis tumbuhan air (Ward 1992). Di daerah aliran air biasanya kandungan oksigen berada dalam jumlah yang cukup banyak. Oleh karena itu hewan pada aliran air umumnya mempunyai toleransi yang sempit dan terutama peka terhadap kekurangan oksigen (Odum 1993). Di daerah hulu turbulensi membantu pertukaran gas terlarut antara atmosfer dan permukaan air. Kadar oksigen terlarut berfluktuasi secara harian (diurnal) dan musim tergantung pada percampuran (mixing) dan pergerakan (turbulance) massa air, aktivitas fotosintesis, respirasi dan limbah (effluent) yang masuk ke badan air.

Oksigen terlarut merupakan faktor lingkungan yang penting sekali bagi serangga air untuk menunjang proses respirasinya (Ward 1992). Interaksi antara oksigen terlarut dengan arus, substrat, dan suhu menunjang ekologi serangga air, pola distribusi dari oksigen terlarut akan berpengaruh juga pada pola distribusi serangga air. Nimfa Stonefly mengalami kematian setelah 24 jam ketika terjadi tingkat kadar oksigen yang rendah dengan kecepatan arus 1,5 cm/detik.

(23)

2.2.7. Kebutuhan oksigen kimiawi (COD)

Chemical oxygen demand (COD) menggambarkan jumlah total oksigen yang diperlukan untuk mengoksidasi bahan organik secara kimiawi, baik yang dapat didegradasi secara biologis (biodegradable) maupun yang sulit didegradasi secara biologis (non biodegradable) menjadi CO2 dan H2O. Kebutuhan oksigen kimiawi

(COD) ini umumnya lebih besar dari kebutuhan oksigen biokimia (BOD), karena jumlah senyawa kimia yang dapat dioksidasi secara kimiawi lebih besar dibandingkan secara biologis.

(24)

3. METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Lokasi Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel makrozoobenthos dilakukan pada tanggal 19 Februari, 19 Maret, dan 21 Mei 2011 pada jam 10.00 – 12.00 WIB. Lokasi dari pengambilan sampel ini yaitu di Sungai Ciambulawung, Desa Hegarmanah, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak, Propinsi Banten. Sampel diambil pada tiga stasiun (Gambar 2). Tiap stasiun dilakukan pengambilan sampel pada 2 kondisi yaitu bagian riffle dan pool dimana pada masing – masing kondisi tersebut dilakukan 2 kali ulangan. Lokasi dari Sungai Ciambulawung dapat dilihat pada Lampiran 1.

Gambar 2. Peta lokasi tiap stasiun pengamatan di Sungai Ciambulawung

3.2. Bahan dan Alat serta Teknik Pengambilan Sampel 3.2.1. Makrozoobenthos

Alat dan bahan yang digunakan untuk pengambilan sampel makrozoobenthos dan untuk analisis di laboratorium yaitu surber, botol sampel, pinset, pipet, cawan

(25)

petri, nampan (baki), marker, lup, kertas label, mikroskop majemuk, dan formalin 4 % (Lampiran 2). Pengambilan makrozoobenthos dilakukan dengan menggunakan surber dengan ukuran 30 X 30 cm2. Surber diletakkan dengan bukaan jaring menghadap arah arus yang datang ( Lampiran 3). Bagian surber yang berupa bingkai diletakkan di dasar perairan di muka bukaan jaringan. Substrat dalam bingkai diganggu kurang lebih selama 1 menit sehingga biota yang bersembunyi di sekitarnya akan hanyut ke arah jaring. Kemudian surber diangkat, makrozoobenthos yang tersangkut di dalam jaring surber diletakkan ke baki kemudian dipisahkan antara serasah dengan makrozoobenthos. Sampel makrozoobenthos dimasukkan dalam wadah sampel dan diberi formalin serta diberi label untuk membedakan tiap stasiun dan ulangan. Sampel dipisahkan (disortir) kembali dari serasah dan bahan lainnya di Laboratorium Biomikro Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, setelah itu diidentifikasi dengan menggunakan mikroskop majemuk. Identifikasi menggunakan buku identifikasi Pennak (1953) dan Needham J & Needham R (1963)

3.2.2. Parameter fisika dan kimia

Pengukuran parameter fisika dan kimia dilakukan secara in-situ dan ex-situ. Pengambilan sampel air dilakukan di waktu yang sama dengan pengambilan sampel makrozoobenthos. Contoh air dimasukkan ke dalam botol sampel, kemudian sampel dianalisis di Laboratorium Produktivitas Lingkungan Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Metode dan alat dalam pengukuran parameter fisika-kimia perairan di Sungai Ciambulawung dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Metode dan alat yang digunakan pada pengukuran parameter fisika-kimia perairan

Parameter Unit Alat/metode Keterangan

FISIKA

1. Suhu oC Termometer / pemuaian In-situ

2. Kekeruhan NTU Turbidity-meter / refraksi cahaya In-situ 3. Kecepatan arus cm/detik Botol plastik berisi ¾ air , tali,

stopwatch / visual In-situ

(26)

5. Tipe substrat - Visual In-situ

KIMIA

1. pH - Kertas lakmus In-situ

2. DO mg/l Titrasi / metode winkler In-situ

3. COD mg/l Titrimetrik /modifikasi reflux Ex-situ

3.3. Pengumpulan Data (Kepadatan makrozoobenthos)

Kepadatan makrozoobentos didefinisikan sebagai jumlah individu makrozoobenthos per satuan luas (m2) (Brower et al. 1990). Sampel makrozoobenthos yang telah diidentifikasi, dihitung kepadatannya dengan menggunakan rumus :

( )

Keterangan: Ki = Kepadatan makrozoobenthos jenis ke-i (Individu/m2)

ai = Jumlah individu makrozoobenthos jenis ke-i pada setiap

bukaan surber

b = Luas bukaan surber (30 x 30) cm2 10000 = Nilai konversi dari cm2 ke m2

3.4. Analisis Data

3.4.1. Indeks keanekaragaman (H’)

Keanekaragaman jenis menunjukan jumlah jenis organisme yang terdapat dalam suatu area. Untuk mengetahui spesies yang ada dalam suatu komunitas maupun tingkat keanekaragaman dapat diketahui dengan Indeks Shannon-Wiener (Krebs 1989) yaitu :

Keterangan : H‟ = Indeks keanekaragaman pi = ni / N

ni = Jumlah spesies jenis ke-i N = Jumlah total spesies

3.4.2. Indeks keseragaman

Keseragaman adalah komposisi individu tiap spesies yang terdapat dalam suatu komunitas (Krebs 1989). Hal ini didapat dengan cara membandingkan Indeks

(27)

Keanekaragaman dengan nilai maksimumnya, sehingga didapat formulasi sebagai berikut :

Keterangan : E = Indeks Keseragaman H‟ = Indeks Keanekaragaman

H‟maks = Nilai keragaman maksimum (Log2 S)

S = Jumlah spesies

Dengan kriteria : E ~ 0 = Terdapat dominansi spesies E ~ 1 = Jumlah individu tiap spesies sama

Dari perbandingan tersebut maka akan didapat suatu nilai yang besarnya antara 0 dan 1. Semakin kecil nilai E akan semakin kecil pula keseragaman populasi spesies. Semakin besar nilai E, menunjukkan keseragaman populasi yaitu bila jumlah individu setiap spesies dapat dikatakan sama atau tidak jauh beda (Krebs 1972).

3.4.3. Indeks biologi

a. LQI (Lincoln Quality Index)

Organisme yang telah ditemukan diidentifikasi sampai dengan famili. Setelah itu diberi skor berdasarkan tabel skor BMWP (Biological Monitoring Working Party) (Lampiran 4), kemudian skor itu dijumlahkan seluruhnya dan dari jumlah tersebut didapatkan nilai BMWP. Nilai BMWP dibagi dengan jumlah taksa untuk mendapatkan nilai ASPT (Average Score Per Taxon). Kalkulasi dari nilai BMWP dan ASPT diberikan penilaian bergantung pada tempat pengambilan sampel (habitat beriak dan masih bersih ataukah habitat beriak yang kotor dan kolam). Tabel rating X dan Y dapat dilihat pada Lampiran 5. Nilai X dan Y tersebut kemudian dikalkulasikan untuk mengetahui nilai OQR (Overall Quality Rating) dengan formulasi sebagai berikut :

( )

Nilai OQR digunakan untuk memberikan Indeks Kualitas Lincoln atau Lincoln Quality Indices (LQIs) yang terdapat pada Tabel 4.

(28)

Tabel 4. Niai OQR (Overall Quality Rating) indeks kualitas Lincoln dan interpretasinya (Mason 1991)

Nilai OQR Indeks Interpretasi

6+ A++ Kualitas excellent

5.5 A+ Kualitas excellent 5 A Kualitas excellent 4.5 B Kualitas baik 4 C Kualitas baik 3.5 D Kualitas sedang 3 E Kualitas sedang 2.5 F Kualitas rendah 2 G Kualitas rendah

1.5 H Kualitas sangat rendah

1 I Kualitas sangat rendah

b. FBI (Family Biotic Index)

Indeks ini dikembangkan oleh Dr. William Hilsenhoff pada tahun 1977 untuk mengetahui status pencemaran perairan. Perhitungan ini dilakukan dengan menggunakan perkalian antara nilai kelimpahan organisme indikator yang ditemukan tersebut berdasarkan famili dengan nilai yang terdapat pada tabel nilai FBI (Lampiran 6). Jumlah total tersebut dibagi dengan jumlah seluruh organisme yang ditemukan kemudian dicocokkan dengan kriteria kualitas air yang terdapat pada Tabel 5.

Tabel 5. Penggolongan kriteria kualitas air oleh Hilsenhoff (1988) in Hauer & Lamberti (2007)

Indeks Kualitas air

0.00-3.75 Excellent 3.76-4.25 Sangat baik 4.26-5.00 Baik 5.01-5.75 Sedang 5.76-6.50 Agak buruk 6.51-7.25 Buruk 7.26-10.00 Sangat buruk

(29)

c. SIGNAL 2 (Stream Invertebrate Grade Number Average Level 2)

SIGNAL 2 merupakan indeks biotik yang sederhana untuk makroinvertebrata, dikembangkan pertama kali di Australia bagian timur khususnya sistem Sungai Hawkesbury-Nepean (Chessman 2003b). Indeks ini diadaptasi dari indeks ASPT (Average Score Per Taxon) versi dari BMWP (Biological Monitoring Working Party) yang digunakan di Inggris. Langkah - langkah dalam perhitungan nilai SIGNAL 2 adalah sebagai berikut :

1. Mengidentifikasi jenis makrozoobenthos yang ditemukan hingga level famili atau level ordo, kemudian diberi skor 1 - 10 berdasarkan penetapan jenis famili yang ditemukan (Lampiran 7).

2. Penentuan faktor pembobotan dari jumlah individu yang ditemukan pada tiap famili dari makrozoobenthos yang ditemukan(Tabel 6).

3. Nilai faktor pembobotan yang telah dihitung dikalikan dengan skor dari tiap famili yang ditemukan, kemudian hasil perkalian tersebut dijumlahkan secara keseluruhan.

4. Hasil penjumlahan perkalian tersebut dibagi dengan jumlah total faktor pembobotan , dan didapatkan nilai SIGNAL 2 yang biasanya berkisar antara 3 - 7 (Chessman 2003a).

5. Nilai SIGNAL 2 yang didapatkan diplotkan dalam grafik yang dihubungkan dengan jumlah famili yang ditemukan.

6. Dari grafik tersebut diperkirakan keberadaan nilai SIGNAL 2 tersebut dalam suatu kuadran. Penentuan kuadran berdasarkan pada keadaan geografis dari tempat pengambilan sampel makrozoobenthos. Dari kuadran yang diperoleh dapat diketahui kriteria lingkungannya. Penentuan kuadran dapat dilihat pada Gambar 3.

Tabel 6. Nilai faktor pembobotan berdasarkan jumlah individu yang ditemukan (Chessman 2003b)

Jumlah individu Faktor Pembobotan

1 – 2 1

3 – 5 2

6 – 10 3

11 – 20 4

(30)

Gambar 3. Penentuan kuadran untuk nilai SIGNAL 2 (Chessman 2003b)

Dari Gambar 3, kuadran 1 (sebelah kanan atas) menggambarkan tingginya nilai SIGNAL 2 dan jumlah famili makroinvertebrata. Jumlah famili yang tinggi menunjukkan bahwa keanekaragaman keadaan fisik habitat yang tinggi dan tidak terdapat faktor tekanan ekologis. Tingginya nilai SIGNAL 2 menunjukkan kekeruhan, salinitas dan kandungan nutrien yang rendah.

Kuadran 2 (sebelah kanan bawah) menggambarkan nilai SIGNAL 2 yang rendah dan jumlah famili makroinvertebrata yang tinggi. Jumlah famili yang tinggi menunjukkan bahwa keanekaragaman keadaan fisik habitat yang tinggi dan tidak terdapat faktor tekanan ekologis. Nilai SIGNAL 2 yang rendah menunjukkan tingginya kekeruhan, salinitas dan nutrien dibandingkan dengan kuadran 1. Pada kuadran ini keadaan sungai telah berubah dari kondisi alaminya, disebabkan telah ada pengaruh dari aktivitas manusia dan kegiatan pertanian sedikit berpengaruh.

Kuadran 3 (sebelah kiri atas) menggambarkan tingginya nilai SIGNAL 2 dan rendahnya jumlah famili makroinvertebrata. Sungai yang berada pada kuadran 3 diindikasikan telah tercemar. Pembuangan dari pertambangan yang menyebabkan tingginya nilai pH perairan dan tingginya konsentrasi logam berat. Rendahnya jumlah famili disebabkan beberapa makroinvertebrata memiliki toleransi yang berbeda - beda terhadap populasi. Nilai SIGNAL 2 digunakan untuk merespon beberapa kualitas air yang berbeda - beda seperti terjadinya penyuburan karena

0 1 2 3 4 5 6 7 0 5 10 15 20 25 Nila i S IG NAL 2 Jumlah Famili Kuadran 1 Kuadran 2 Kuadran 3 Kuadran 4

(31)

bahan organik, nutrien, dan salinitas. Apabila nilai SIGNAL 2 masih tinggi menunjukkan bahwa kondisi tercemar sedang.

Kuadran 4 (sebelah kiri bawah) menunjukkan nilai SIGNAL 2 yang rendah dan juga jumlah famili makroinvertebrata yang rendah. Perairan yang berada pada kuadran 4 diindikasikan telah tercemar berat, karena tingginya pengaruh aktifitas manusia.

d. Indeks EPT (Ephemeroptera, Plecoptera, Tricoptera)

Indeks Ephemeroptera, Plecoptera, Tricoptera (EPT) menggambarkan kelimpahan taksa di dalam kelompok - kelompok serangga air yang sensitif terhadap polusi atau pencemaran, oleh karena itu seharusnya kelimpahan taksa ini meningkat seiring dengan meningkatnya kualitas air. Indeks ini digunakan untuk mengidentifikasi pada tingkatan taksa (Plafkin et al. 1989 in DeWalt & Webb 1998).

Perhitungan indeks EPT yaitu dengan mengidentifikasi dan mengelompokkan organisme pada tingkatan ordo, kemudian dihitung persentase jumlah individu ordo Ephemeroptera, Plecoptera, dan Tricoptera dari total seluruh jumlah individu organisme yang ditemukan. Nilai indeks EPT yang diperoleh tersebut kemudian dicocokan dengan kriteria kualitas air pada Tabel 7.

Tabel 7. Ketentuan nilai indeks EPT dan kriteria kualitas air untuk sungai di gunung (Modifikasi NCDEHNR 1997)

Excellent Good Good-fair Fair Poor

EPT >35 28 - 35 19 - 27 11 – 18 0 -10

3.4.4. Indeks pencemaran dan indeks storet

Indeks Pencemaran (Pollution Index) merupakan nilai yang berkaitan dengan keberadaan senyawa pencemar pada seluruh bagian badan air atau sebagian dari suatu sungai sesuai peruntukannya. Indeks ini digunakan untuk menentukan tingkat pencemaran relatif terhadap parameter kualitas air (Nemerow 1974 in Kepmen LH No. 115 tahun 2003). Langkah – langkah perhitungan indeks ini ialah sebagai berikut :

(32)

1. Menentukan kalisifikasi kelas sungai berdasarkan peruntukannya, sesuai dengan PP No.82 tahun 2001. Berdasarkan kelas tersebut didapat nilai baku mutu untuk tiap parameter kualitas air, diberi simbol (Lij)

2. Nilai – nilai parameter kualitas air hasil analisis air untuk setiap lokasi atau stasiun pengambilan sampel yang diberi simbol (Ci), dibagi dengan nilai baku mutu tiap parameter yang telah ditentukan pada langkah 1.

3. Hasil bagi tersebut (Ci/Lij), merupakan nilai pencemaran relatif yang diakibatkan oleh parameter kualitas air.

4. Ada ketentuan tertentu untuk beberapa parameter kualitas air, diantaranya : a. Parameter DO (Dissolved Oxygen), nilai baku mutu (Lij) merupakan

angka batas minimum. Sehingga nilai Ci/Lij dihitung dengan :

Ket : Cim = Nilai konsentrasi DO jenuh

b. Apabila nilai baku mutu (Lij) memiliki rentang, contohnya parameter pH. Maka nilai Ci/Lij dapat dihitung dengan :

- Untuk Ci ≤ Lij rata – rata

, ( ) -*( ) ( ) + ⁄

- Untuk Ci > Lij rata – rata

, ( ) -*( ) ( ) + ⁄

5. Apabila nilai Ci/Lij < 1.0, maka nilai Ci/Lij hasil pengukuran tetap digunakan. Namun apabila nilai Ci/Lij > 1.0, maka digunakan nilai Ci/Lij baru, yaitu:

( )⁄

Ket : P = Konstanta dan nilainya disesuaikan dengan hasil pengamatan lingkungan dan atau persyaratan yang dikehendaki untuk suatu peruntukan, biasanya digunakan nilai 5.

6. Menentukan nilai Ci/Lij rata – rata (Ci/Lij)R dan nilai Ci/Lij maksimum

(Ci/Lij)M dari seluruh Ci/Lij parameter kualitas air

(33)

√( )⁄ ( )⁄

8. Nilai indeks pencemaran yang diperoleh, di evaluasi terhadap kriteria kualitas air berikut (Kepmen LH No. 115 tahun 2003) :

0 ≤ PI ≤ 1,0 → memenuhi kondisi baku mutu (kondisi baik) 1,0 < PI ≤ 5,0 → cemar ringan

5,0 < PI ≤ 10 → cemar sedang PI > 10 → cemar berat

Indeks storet merupakan suatu metode penentuan status mutu air, dengan membandingkan antara data kualitas air dengan baku mutu air yang disesuaikan dengan peruntukannya. Langkah penentuan status mutu air dengan indeks storet yaitu :

1. Data kualitas air hasil pengukuran tiap parameter dibandingkan dengan nilai baku mutu yang sesuai dengan kelas air.

2. Apabila nilai hasil pengukuran memenuhi nilai baku mutu (nilai hasil pengukuran ≤ baku mutu), maka diberi skor nol (0)

3. Apabila nilai hasil pengukuran tidak memenuhi nilai baku mutu (nilai hasil pengukuran > baku mutu), maka diberi skor berdasarkan Tabel 8.

Tabel 8. Penentuan skor untuk nilai parameter kualitas air yang melebihi baku mutu Jumlah

contoh Nilai

Parameter

Fisika Kimia Biologi

<10 Maksimum -1 -2 -3 Minimum -1 -2 -3 Rata – rata -3 -6 -9 ≥10 Maksimum -2 -4 -6 Minimum -2 -4 -6 Rata – rata -6 -12 -18

Sumber : Canter (1977) in Kepmen LH No.115 tahun 2003.

4. Seluruh skor dijumlahkan, kemudian ditentukan status mutu airnya dengan sistem nilai US-EPA (Environmental Protection Agency) yang

(34)

dicantumkan dalam Kepmen LH No.115 tahun 2003. Sistem nilai dan interpretasi status mutu air dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Sistem nilai dan interpretasi status mutu air

Total skor Kelas Status mutu air Interpretasi

0 A Baik sekali Memenuhi baku mutu

-1 s/d -10 B Baik Cemar ringan

-11 s/d -30 C Sedang Cemar sedang

≥ -31 D Buruk Cemar berat

3.4.5. Indeks Bray-Curtis

Tingkat kesamaan komunitas dari suatu stasiun dengan stasiun lainnya dapat dianalisis berdasarkan indeks Bray-Curtis. Pada penelitian ini, digunakan indeks Bray-Curtis untuk mengetahui tingkat kesamaan atau kedekatan komunitas makrozoobenthos pada stasiun - stasiun pengamatan di Sungai Ciambulawung, dan pengolahan data menggunakan software Minitab14. Indeks ini banyak digunakan dalam ekologi terestrial. Adapun rumus indeks kesamaan Bray-Curtis (Bray & Curtis 1957 in Somerfield 2008) yaitu :

(

∑| | ∑( ))

Keterangan: Yij = jumlah spesies i dalam contoh j

Yik = jumlah spesies i dalam contoh k

Sjk = tingkat kesamaan antara contoh j dan k dalam persen

3.4.6. Indeks Canberra

Indeks ini digunakan untuk membandingkan kesamaan antara stasiun pengamatan berdasarkan parameter fisika kimia perairan. Adapun formula dari indeks Canberra (Lance & William 1966 in Legendre & Legendre 1983), yaitu :

∑ (| |

(35)

Keterangan : Yij = nilai parameter ke i pada stasiun ke j

Yik = nilai parameter ke i pada stasiun ke k

S = indeks kesamaan Canberra

Pada penelitian ini terdapat enam parameter fisika kimia perairan yang dianalisis datanya dengan menggunakan indeks Canberra, yaitu suhu, TSS, pH, DO, BOD, dan COD. Hasil perhitungan dalam bentuk persentase tingkat kesamaan antara stasiun pengamatan berdasarkan parameter fisika kimia perairan tersebut. Analisis data menggunakan software xlstat.

3.4.7. Uji ANOVA dua arah

ANOVA (Analisis of Varians) atau analisis ragam merupakan suatu analisis statistik yang digunakan untuk menguji perbedaan rata – rata dua atau lebih sampel. Terdapat dua jenis analisis ragam, yaitu ANOVA satu arah dan ANOVA dua arah. Uji statistik yang digunakan pada analisis data penelitian ini yaitu ANOVA dua arah, dimana uji dilakukan bila sumber keragaman yang terjadi tidak hanya karena satu faktor (perlakuan). Faktor lain ini bisa berupa perlakuan lain atau faktor yang sudah terkondisi. Uji statistik ini menganalisis perbedaan rata rata secara signifikan dari jumlah famili, jumlah genus dan kepadatan makrozoobenthos antar stasiun dan kondisi pada bagian riffle dan pool di perairan Sungai Ciambulawung.

Perhitungan uji statistik ANOVA dua arah menggunakan software microsoft excel 2007.

Hipotesis untuk membandingkan antara riffle dan pool : H0 : riffle dan pool sama

H1 : riffle dan pool tidak sama

Hipotesis untuk membandingkan antar stasiun : H0 : stasiun 1, stasiun 2, dan stasiun 3 sama

H1 : stasiun 1, stasiun 2, dan stasiun 3 tidak sama

Hipotesis untuk melihat hubungan atau interaksi antara stasiun dengan kondisi riffle dan pool :

H0 : tidak terdapat interaksi antara stasiun dengan kondisi riffle dan pool

(36)

Dasar pengambilan keputusan dengan nilai probabilitas (tingkat signifikan) pada selang kepercayaan 95% :

(1) t-hitung > t-tabel : Berbeda secara signifikan (H0 ditolak)

(2) t-hitung < t-tabel : Tidak berbeda secara signifikan(H0 diterima)

(37)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian terletak di sekitar Taman Nasional Gunung Halimun - Salak Kampung Lebak Picung, Desa Hegarmanah, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Pengambilan sampel dilakukan di tiga stasiun dengan mempertimbangkan perbedaan karakteristik lahan di tepian sungai. Stasiun 1 berada pada 6º 47' 2,48'' LS dan 106º 21' 41,16'' BT, kedalaman pada stasiun ini relatif sama yaitu 0,3 meter dengan kecepatan arus 47,41-50,87 cm/detik. Tipe substratnya yaitu batuan besar berpasir dengan persentase penutupan oleh batuan berukuran besar yaitu sekitar 60 persen. Stasiun 1 terletak lebih hulu dari stasiun 2 dan 3. Di sekeliling stasiun ini terdapat vegetasi alami, yaitu pepohonan dan area ini juga sering dilalui oleh masyarakat. Vegetasi alami yang ada di tepi sungai fungsinya yaitu menstabilkan sungai, sebagai sumber makanan (daun, ranting, dan serangga jatuh), dan penutup bagi hewan akuatik atau memberikan keteduhan (Taccogna & Munro 1995).

Stasiun 2 terletak persis di bawah jembatan dan di sekelilingnya terdapat pemukiman penduduk. Pemukiman penduduk yang berada di sekitar stasiun ini memberikan pengaruh langsung melalui aktifitas manusia, yang dapat menganggu ekosistem sungai. Stasiun 2 berada pada 6º 47' 4,8'' LS dan 106º 21' 41,2'' BT. Kedalaman dari stasiun ini yaitu 0,15-0,2 meter, kecepatan arus 24,10-25,85 cm/detik, dan tipe substrat berupa batuan besar berpasir dengan sedikit lumpur. Penutupan batuan yang berukuran besar pada stasiun ini hanya sekitar 20 %.

Stasiun 3 terletak pada 6º 47' 6,39'' LS dan 106º 21' 39,74'' BT, berada persis di belakang pemukiman penduduk dan di tepi lainnya terdapat pepohonan dan semak. Kedalaman relatif sama yaitu 0,15 meter dengan kecepatan arus 37,29-41,84 cm/detik. Tipe substrat berupa batuan besar berpasir dengan sedikit lumpur, dan persentase penutupan batuan berukuran besar pada stasiun ini yaitu sekitar 40 %. Berikut gambar untuk stasiun1, 2, dan 3 dapat dilihat pada Lampiran 8.

(38)

4.2. Struktur Komunitas Makrozoobenthos

4.2.1. Jumlah taksa dan kepadatan makrozoobenthos

Berdasarkan hasil pengamatan tiga kali waktu sampling pada tiga stasiun, dengan memperhatikan dua titik kondisi di setiap stasiun yaitu beriak (riffle) dan tenang (pool) ditemukan 30 genus makrozoobenthos dari 27 famili. Jumlah famili yang ditemukan di Sungai Ciambulawung selama penelitian ditampilkan dalam grafik pada Gambar 4.

Gambar 4. Jumlah famili tiap stasiun di setiap sampling pada bagian riffle dan pool

Jumlah famili yang ditemukan di tiap stasiun bervariasi, Di stasiun 1 bagian riffle ditemukan jumlah famili makrozoobenthos dengan kisaran 3 sampai 7 famili, dan bagian pool 3 sampai 4 famili. Di stasiun 2 bagian riffle ditemukan dengan kisaran 4 sampai 5 famili dan untuk bagian pool 3 sampai 5 famili. Di stasiun 3 ditemukan dengan kisaran 6 sampai 9 famili dan untuk bagian pool 2 sampai 8 famili. Jumlah famili yang ditemukan pada bagian riffle lebih banyak dibandingkan bagian pool. Hal ini diduga karena organisme makrozoobenthos memang lebih menyukai area sungai pada bagian beriak atau riffle yang memiliki kandungan oksigen terlarut tinggi. Smith et al. (1990) in Howe (1997) mencatat bahwa

stasiun1 stasiun2 stasiun3 0 2 4 6 8 10 12

19-Feb 19-Mar 21-Mei

Jum la h fam il i waktu pengamatan riffle 0 2 4 6 8 10 12

19-Feb 19-Mar 21-Mei

Jum la h fam il i waktu pengamatan pool

(39)

keragaman terbesar dan produktifitas tertinggi makrozoobenthos terdapat pada sungai bagian riffle dengan substrat batuan besar dan kerikil.

Jumlah famili tertinggi ditemukan di stasiun 3 riffle pada sampling ke-1 dan jumlah famili terendah ditemukan di stasiun 3 juga namun bagian pool pada sampling ke-2 dan ke-3, dimana pada saat pengambilan sampel kondisi cuaca sedang hujan. Hal ini diduga berkaitan dengan kondisi cuaca, dimana makrozoobenthos pada kondisi hujan akan terbawa arus sungai, sedangkan pada sampling ke-1 kondisi cuaca cerah dan makrozoobenthos akan dapat bertahan di substrat karena arus sedikit lebih lambat daripada kondisi saat hujan. Hasil uji anova dua arah terhadap jumlah famili makrorozoobenthos menunjukan bahwa jumlah famili makrozoobenthos yang ditemukan pada bagian riffle dan pool tidak berbeda nyata. Begitu juga dengan jumlah famili yang ditemukan pada stasiun 1, stasiun 2, dan stasiun 3 tidak berbeda nyata secara signifikan, dan tidak terdapat interaksi dari jumlah famili yang ditemukan antar stasiun dengan kondisi riffle dan pool (Lampiran 9.).

Gambar 5. Jumlah genus tiap stasiun di setiap sampling pada bagian riffle dan pool

Sebagai informasi tambahan dapat dilihat pada Gambar 5, data jumlah genus yang ditemukan pada setiap stasiun tiap sampling baik pada bagian riffle maupun pool. Berdasarkan gambar dapat dilihat genus yang paling banyak ditemukan yaitu

Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 0 2 4 6 8 10 12 14

19-Feb 19-Mar 21-Mei

Jum la h genus waktu pengamatan riffle 0 2 4 6 8 10 12 14

19-Feb 19-Mar 21-Mei

Jum la h genus waktu pengamatan pool

(40)

pada stasiun 3 sampling ke-1 bagian riffle. Uji anova dua arah juga dilakukan pada jumlah genus, dan hasilnya menunjukan bahwa jumlah genus makrozoobenthos yang ditemukan pada bagian riffle dan pool tidak berbeda nyata. Begitu juga dengan jumlah genus yang ditemukan pada stasiun 1, 2, dan 3 tidak berbeda nyata secara signifikan, dan tidak terdapat interaksi dari jumlah genus yang ditemukan antar stasiun dengan kondisi riffle dan pool. Hasil uji anova dua arah ditampilkan pada Lampiran 9.

Makrozoobenthos yang ditemukan di perairan Sungai Ciambulawung juga dihitung kepadatannya (Lampiran 10). Nilai kepadatan makrozoobenthos tiap stasiun di setiap sampling yang dibedakan pada bagian riffle dan pool ditampilkan dalam grafik pada Gambar 6.

Hasil perhitungan kepadatan makrozoobenthos tiap stasiun di setiap sampling bervariasi, namun terlihat pada sampling ke-2 bagian pool pada stasiun 1, 2, dan 3 nilai kepadatan rendah, dengan kisaran nilai 57 sampai 115 ind/m². Hal ini dapat diduga karena pada pengambilan sampling ke-2 di bulan maret merupakan musim peralihan antara musim hujan ke musim kemarau, sehingga mempengaruhi kondisi fisika kimia perairan dan arus. Selain itu substrat pada bagian pool yang umumya berupa pasir berlumpur juga mempengaruhi kepadatan marozoobenthos. Sinaga (2009) menyatakan bahwa kondisi substrat dasar yang berupa pasir berlumpur dan kandungan substrat organik yang tinggi menyebabkan rendahnya kepadatan makrozoobenthos. Nilai kepadatan dipengaruhi oleh variasi kondisi fisika kimia perairan, substrat dasar, dan arus. Kepadatan tertinggi yaitu di stasiun 3 pada sampling ke-3 bagian riffle, dengan nilai 868 ind/m². Hal ini diduga karena pada stasiun 3 bagian riffle substratnya berupa batuan besar dengan kerikil dan sedikit lumpur, sehingga kandungan substrat organik rendah. Selain itu pada bagian riffle kandungan dari oksigen terlarut tinggi, dimana daerah tersebut merupakan daerah yang disukai oleh organisme makrozoobenthos. Hasil uji anova dua arah yang dilakukan terhadap kepadatan makrozoobenthos pada bagian riffle dan pool menunjukan hasil tidak berbeda nyata. Begitu juga dengan kepadatan makrozoobenthos yang ditemukan pada stasiun 1, 2, dan 3 tidak berbeda nyata secara signifikan, dan tidak terdapat interaksi dari kepadatan makrozoobenthos yang ditemukan antar stasiun dengan kondisi riffle dan pool (Lampiran 9).

(41)

Gambar 6. Kepadatan makrozoobenthos tiap stasiun di setiap sampling pada bagian riffle dan pool

4.2.2. Komposisi makrozoobenthos

Komposisi makrozoobenthos tiap stasiun di setiap sampling pada bagian riffle dan pool dapat dilihat pada Gambar 7. Berdasarkan gambar tersebut komposisi kepadatan makrozoobenthos pada stasiun 1 bagian riffle didominasi oleh ordo Tricoptera dan Ephemeroptera. Kedua ordo tersebut termasuk kedalam kelompok organisme intoleran, dimana kelompok ini hanya dapat tumbuh dan berkembang dalam kisaran kondisi lingkungan yang sempit dan jarang dijumpai di perairan yang kaya akan bahan organik. Sedangkan pada stasiun 1 bagian pool didominasi oleh ordo Diptera dan Ephemeroptera.

Organisme yang banyak ditemukan di stasiun 1 yaitu famili Chironomidae dari ordo Diptera dan Hydropsychidae dari ordo Tricoptera. Wilhm (1975) menggolongkan famili ini termasuk kedalam kelompok fakultatif yaitu organisme yang tidak dapat mentolerir kondisi lingkungan yang tercemar berat. Poretti et al. (2007) juga menyatakan bahwa organisme dari kelompok larva caddisfly, diataranya yaitu dari famili Hidropsychidae merupakan organisme yang umumnya hidup dengan bertahan di batu, pasir, dan detrirus lainnya, yang tidak toleran terhadap pencemaran air atau kondisi lingkungan yang tercemar.

Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 0 200 400 600 800 1000 1200

19-Feb 19-Mar 21-Mei

kepadat an m akr ozoobent hos (I nd/m 2) waktu pengamatan riffle 0 200 400 600 800 1000 1200

19-Feb 19-Mar 21-Mei

kepadatan m akrozoobenthos (i nd/m 2) waktu pengamatan pool

(42)

Pada stasiun 2 bagian riffle dan pool, yang ditemukan dalam komposisi terbesar dan mendominasi yaitu ordo Ephemeroptera dengan famili Heptageniidae dan ordo Diptera dengan famili Chironomidae. Sedangkan untuk komposisi terendah pada bagian riffle yaitu dari ordo Hemiptera dengan nilai 11,11 %, dan pada bagian pool yaitu dari ordo Gastropoda dan Oligochaeta dengan nilai 10 %. Famili Lumbriculidae yang merupakan bagian dari ordo Oligochaeta dan Gerridae dari ordo Hemiptera hanya ditemukan pada stasiun ini. Famili Lumbriculidae ini toleran terhadap kondisi kualitas air yang tercemar.

Pada stasiun 3 bagian riffle komposisi makrozoobenthos yang besar dan mendominasi yaitu dari ordo Diptera dan Coleoptera. Organisme yang banyak ditemukan yaitu dari famili Chironomidae dan Elmidae. Famili Elmidae yang termasuk kedalam kelompok water bettles, umumnya hidup di daerah riffle dengan kandungan oksigen terlarut yang tinggi, organisme dari famili ini mengindikasikan kualitas air bersih, karena organisme peka terhadap kendungan bahan pencemar separti sabun dan detergen (Poretti et al. 2007). Sedangkan untuk komposisi terendah yaitu ordo Gastropoda dengan nilai 2,9 %. Makrozoobenthos yang ditemukan pada stasiun 3 bagian pool hanya empat ordo, yaitu ordo Ephemeroptera, Diptera, Coleoptera, yang komposisinya besar dan mendominasi stasiun ini, dan ordo Odonata dengan komposisi yang rendah.

Famili Chironomidae ditemukan di ketiga stasiun, hal tersebut dikarenakan famili ini termasuk kedalam kelompok toleran, yaitu organisme yang dapat berkembang pada kisaran kondisi lingkungan yang luas dan tidak peka terhadap tekanan lingkungan (Wilhm 1975). Selain itu organisme ini merupakan organisme yang paling umum ditemukan, karena dapat hidup di berbagai habitat perairan, diantaranya danau, kolam, sungai dan rawa – rawa, bahkan organisme ini dapat hidup dalam habitat buatan manusia seperti pada kolam ikan, saluran irigasi, dan pabrik pengolahan air. Banyak spesies dari famili Chionomidae ini yang sangat toleran terhadap pencemaran air (Poretti et al. 2007). Contoh dari beberapa organisme yang ditemukan di Sungai Ciambulawung dapat dilihat pada Lampiran 11.

(43)

(a) (b)

Ket: (a)=riffle (b) = pool

Gambar 7. Komposisi kepadatan makrozoobenthos tiap stasiun di setiap sampling pada bagian riffle dan pool

Odonata Ephemeroptera Diptera

Coleoptera Tricoptera Hemiptera

Gastropoda Plecoptera Oligochaeta

0% 20% 40% 60% 80% 100%

19-Feb 19-Mar 21-Mei waktu pengamatan stasiun 1 0% 20% 40% 60% 80% 100%

19-Feb 19-Mar 21-Mei waktu pengamatan stasiun 1 0% 20% 40% 60% 80% 100%

19-Feb 19-Mar 21-Mei waktu pengamatan stasiun 2 0% 20% 40% 60% 80% 100%

19-Feb 19-Mar 21-Mei waktu pengamatan stasiun 2 0% 20% 40% 60% 80% 100%

19-Feb 19-Mar 21-Mei waktu pengamatan stasiun 3 0% 20% 40% 60% 80% 100%

19-Feb 19-Mar 21-Mei waktu pengamatan stasiun 3

(44)

Komposisi makrozoobenthos tergantung kepada kemampuan toleransi dan sensitivitas organisme terhadap perubahan lingkungan. Menurut Rahman (2009), perbedaan musim juga mempengaruhi komposisi marozoobenthos, dimana pada musim hujan komposisi makrozoobenthos lebih beragam dengan dominansi yang rendah dibanding kemarau. Hal ini dapat diduga karena pada musim hujan kecepatan arus lebih tinggi, sehingga kandungan bahan organik rendah, dan kandungan dari oksigen terlarut di perairan menjadi tinggi.

4.2.3. Indeks keanekaragaman, indeks keseragaman, dan indeks dominansi Nilai indeks keanekaragaman, indeks keseragaman, dan indeks dominansi dapat mempengaruhi perubahan struktur komunitas makrozoobenthos. Nilai ketiga indeks tersebut dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Indeks keanekaragaman, indeks keseragaman, dan indeks dominansi .

Nilai Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3

1 2 3 1 2 3 1 2 3

H' 0,6 0,6 0,8 0,7 0,8 0,7 0,7 0,5 0,6

E 0,8 0,7 0,9 0,9 0,9 0,7 0,6 0,6 0,8

C 0,3 0,3 0,2 0,2 0,2 0,3 0,4 0,5 0,3

Berdasarkan tabel, pada stasiun 1 sampling ke-1 sampai ke-3 dapat dilihat kisaran nilai indeks keanekaragaman yaitu 0,6-0,8. Adapun untuk kisaran nilai indeks keseragaman yaitu 0,7-0,9. Nilai tersebut menunjukan tidak terdapat dominansi pada stasiun 1. Hal ini pun dapat dilihat dari kisaran nilai dominansi yang rendah yaitu 0,2-0,3.

Pada stasiun 2, kisaran nilai indeks keanekaragaman yang diperoleh dari sampling ke-1 sampai ke-3 yaitu 0,7-0,8. Sedangkan untuk indeks keseragaman yaitu berkisar antara 0,7-0,9. Hal ini mengindikasikan stasiun 2 masih sama seperti stasiun 1, yaitu tidak ada dominansi yang terjadi pada stasiun ini. Kisaran indeks dominansi yang diperoleh yaitu 0,2-0,3.

Adapun di stasiun 3, pada sampling ke-1 sampai ke-3 didapatkan kisaran nilai indeks keanekaragaman yaitu 0,5-0,7. Indeks keseragaman berkisar dari 0,6-0,8 dan

Gambar

Gambar 1.  Skema perumusan masalah struktur komunitas makrozoobenthos       sebagai bioindikator kualitas perairan
Gambar 2.  Peta lokasi tiap stasiun pengamatan di Sungai Ciambulawung
Tabel 3.  Metode dan alat yang digunakan pada pengukuran parameter fisika-kimia      perairan
Tabel 5.  Penggolongan kriteria kualitas air oleh Hilsenhoff (1988) in Hauer &amp;
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan Hasil Penetapan Pemenang Nomor : 711/KONSULTAN/Pokja ULP Balut/X/2016 tanggal 06 Oktober 2016, Pokja ULP Kabupaten Banggai Laut dengan ini mengumumkan Pemenang

*anak yang telah selesai melakukan eksplorasi dalam satu sentra jika masih ada waktu dapat pindah ke sentra lain dengan catatan pendidik mengetahui kegiatan di sentra sebelumnya

Kegiatan berwisata alam seperti wisata di kawasan wisata hutan bakau di Denpasar Selatan (KWHB) hanya mampu dilakukan oleh orang yang memiliki kesempurnaan fisik

[r]

Penerapan prosedur akuntansi penerimaan pajak daerah pada Dinas Pengelolaan Keuangan Daerah Kota Tangerang dilakukan mulai dari Bendahara Penerimaan kemudian dilanjutkan pada

7 Philip Kotler, Manajemen Pemasaran (Jakarta:Prenhallindo, 1997), h.. adalah produk yang sangat bagus karena memiliki brand yang terkenal. Selain itu, mereka juga

1). Dengan melaksanakan penilaian, guru akan memperoleh data tentang kemajuan belajar siswa. Guru akan mengetahui apakah materi yang diajarkannya sudah sesuai atau tidak dengan

Hal ini hanya merupakan kontruksi teoritis yang dalam realita sebenarnya tidak selalu mengikuti urutan tersebut ( untuk mempermudah pemahaman secara menyeluruh).