• Tidak ada hasil yang ditemukan

Development of irradiated brucella abortus vaccine candidate from field strain

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Development of irradiated brucella abortus vaccine candidate from field strain"

Copied!
149
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)

DAFTAR ISI

Identifikasi dan biotypingB. abortus ...23

Iradiasi sinar Gamma B. abortus ...25

Uji in vivoB. abortus iradiasi ke marmot (Cavia cobaya) ...26

Identifikasi dan biotypingB. abortus ...31

(11)
(12)
(13)
(14)

Latar Belakang

Brucellosis merupakan salah satu penyakit hewan menular strategis yang

disebabkan oleh Brucella sp. (Permentan 2010). Brucellosis menyerang berbagai

hewan yaitu sapi (Brucella abortus, B. abortus), kambing (B. melitensis), domba

(B. ovis), babi(B. suis), anjing(B. canis)dan rodensia (B. neotomae). Penyakit ini

pada sapi menyebabkan abortus (keguguran) temporer maupun permanen,

kematian dini pedet baru lahir (stillbirth), gangguan reproduksi (infertilitas dan

sterilitas), dan penurunan produksi susu. Abortus yang disebabkan penyakit ini

terjadi pada umur kebuntingan 6 - 9 bulan. Brucellosis bersifat zoonosis pada

manusia menyebabkan "demam undulant", "demam Mediterania" atau "demam

Malta" (Corbel 2006). Penyakit ini menyebar diseluruh dunia, dengan daerah

endemik Mediterania, Timur Tengah, Afrika utara dan timur, Amerika Latin dan

Asia tengah dan selatan (Corbel 1997; Corbel 2006). Brucellosis menyebabkan

lebih dari 500.000 manusia terinfeksi baru setiap tahun (Pappas et al. 2006).

Brucellosis pada manusia di Indonesia belum pernah dipublikasikan, namun hasil

uji serologi terhadap pekerja kandang sapi perah, kandang babi dan rumah potong

hewan (RPH) di DKI Jakarta terdeteksi adanya titer antibodi terhadap Brucella

(Sudibyo 1995).

Spesies Brucella yang menginfeksi sapi di Indonesia adalah strain B.

abortus biotipe 1. Hasil penelitian oleh Sudibyo (1995) menyatakan di DKI

Jakarta diperoleh B. abortus biotipe 1 (76,3,%), biotipe 2 (13,2%) dan biotipe 3

(9,2%). Beberapa propinsi di Indonesia masih banyak yang belum bebas penyakit

brucellosis. Pulau Jawa merupakan daerah populasi sapi perah tertinggi, dan

prevalensi kasus brucellosis rata-rata 2 – 3 %.

Brucellosis pada sapi di Indonesia ditetapkan sebagai penyakit hewan

menular strategis berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor. 16/

Permentan/OT.140/1/2010 dan program pengendalian penyakit dalam mendukung

Program Swasembada Daging sapi (PSDS) tahun 2014. Kerugian ekonomi akibat

brucellosis pada industri peternakan mencapai 138,5 milyar rupiah setiap tahun

(15)

Pemberantasan brucellosis pada ternak dapat dilakukan dengan cara

vaksinasi dan potong bersyarat (test and slaughter). Vaksinasi dilakukan pada

daerah dengan prevalensi > 2 %, sedangkan test and slaughter di daerah dengan

prevalensi < 2 % (Ditkeswan 2001).

Ada beberapa permasalahan yang dihadapi dalam upaya pengendalian dan

pemberantasan brucellosis adalah kebutuhan vaksin yang tersedia tidak

mencukupi, kontrol lalu lintas sapi yang tidak maksimal, sehingga memungkinkan

terjadinya penyebaran penyakit brucellosis, metode test dan slaughter belum

dilakukan secara optimal karena tingginya jumlah yang harus dipotong dan

berkaitan dengan kompensasi dari pemerintah ke peternak yang terbatas, peternak

belum siap melakukan slaughter sapi perah produksi, identifikasi dan sertifikasi

pasca vaksinasi brucellosis belum serempak dilaksanakan di Pulau Jawa (Noor

2006).

Vaksin yang digunakan dalam program pengendalian brucellosis pada sapi

di Indonesia saat ini adalah vaksin B. abortus strain 19 (S19) dan vaksin B.

abortus RB51.Vaksin B. abortus S19 merupakan strain (galur) hidup yang sudah

dilemahkan dan memiliki sifat stabil, dan memberikan proteksi terhadap infeksi

70 - 80%. Namun vaksin B. abortus S19 menyebabkan masalah karena antibodi

yang diproduksi dapat menyebabkan reaksi positif palsu pada tes serologi

terhadap infeksi Brucella, aborsi pada sapi bunting dan virulen pada manusia.

Sedangkan vaksin B. abortus RB51 merupakan mutan kasar (rough colony) dari

B. abortus virulen strain 2308 (S2308). Ternak yang divaksin dengan strain RB51

tidak terdeteksi dengan uji serologi standar pada diagnosa brucellosis dan aman

apabila diberikan pada sapi betina bunting. Sampai saat ini vaksin RB51 yang

dipakai untuk program vaksinasi masih harus impor dan harganya relatif mahal

dibandingkan dengan vaksin S19 yang sudah dapat diproduksi oleh Pusat

Veterinaria Farma (PUSVETMA).

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas maka pada penelitian ini

akan dikembangkan vaksin brucellosis dengan menggunakan teknik iradiasi.

Teknik iradiasi telah digunakan untuk diagnosa penyakit, industri pangan, serta

inaktivasi mikroorganisme patogen. Sumber-sumber sinar gamma yang digunakan

(16)

(0,662 MeV) sedangkan untuk pengobatan digunakan sinar X. Penggunaan sinar

gamma memiliki keunggulan dibandingkan dengan teknik konvensional seperti

pemanasan atau kimia karena kemampuan mempertahankan sifat

imunogenisitasnya (Kochman 2006). Sel yang terpapar radiasi gamma akan

kehilangan kemampuan replikasinya di dalam tubuh inang, namun tidak

menghentikan aktivitas metaboliknya. Sel tetap mempunyai metabolik aktif,

sehingga mampu menghasilkan senyawa imunogenik untuk menstimulus respon

imun protektif pada inang (Sanakkayala et al. 2005).

Perumusan Masalah

Salah satu kegiatan untuk pemantapan ketahanan pangan adalah

peningkatan kualitas subsektor peternakan. Penyakit merupakan salah satu

kendala yang menghambat keberhasilan dalam usaha peternakan. Brucellosis pada

sapi merupakan penyakit bakterial dan bersifat zoonosis, disebabkan oleh B.

abortus yang memiliki dampak sosial ekonomi luas. Prevalensi brucellosis di

Indonesia pada sapi perah masih tinggi sekitar 1 – 40 % sehingga banyak

menimbulkan kerugian ekonomi. Selain itu adanya program pemerintah dalam

mendukung Program Swasembada Daging Sapi (PSDS) adalah pembebasan

beberapa daerah dari penyakit brucellosis. Sampai saat ini dari 21 provinsi target

penanggulangan gangguan reproduksi, sebanyak 7 provinsi telah bebas, 11

provinsi lainnya memiliki prevalensi Brucellosispada sapi potong 0 – 2 % dan 4

provinsi memiliki kasus tinggi pada sapi potong. Prevalensi brucellosis sapi perah

di Jawa sekitar 2 – 3 % dan vaksin yang digunakan yaitu vaksin RB51 harus

impor dan harga relatif mahal. Kasus brucellosis di lapang yang hanya sebagian

dilaporkan dan didiagnosa serologi, akan mengakibatkan kasus seperti fenomena

gunung es (iceberg phenomena).

Maka, salah satu upaya dalam menunjang PSDS tahun 2014 tersebut

adalah penelitian untuk menghasilkan vaksin brucellosis yang protektif sehingga

dapat membantu pemenuhan kebutuhan vaksin untuk mengurangi kasus

brucellosis dan mengurangi ketergantungan impor vaksin brucellosis. Pada

penelitian ini dilakukan pendekatan untuk mengembangkan vaksin iradiasi

(17)

Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah mengembangkan kandidat vaksin iradiasi B.

abortus isolat lapang melalui beberapa tahapan penelitian yaitu :

1. Memperoleh B. abortus strain lapang.

2. Mengetahui biotypingB. abortus strain lapang yang diperoleh.

3. Menentukan dosis radiasi B. abortus untuk pengembangan bibit vaksin

iradiasi brucellosis pada sapi.

4. Melakukan uji in vivo kandidat isolat B. abortus pada hewan coba

marmot (Cavia cobaya).

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi

pengembangan kandidat vaksin iradiasi B. abortus isolat lapang yang dapat

(18)

TINJAUAN PUSTAKA

Etiologi Brucellosis

Brucellosis atau penyakit abortus atau keluron menular merupakan

penyakit bakterial bersifat zoonosis, yang disebabkan oleh berbagai spesies

Brucella. Brucella ditemukan oleh Sir David Bruce pada tahun 1886, bakteri

diisolasi dari limpa seorang prajurit yang sakit kemudian disebut Demam Malta.

Terdapat 6 spesies Brucella pada hewan yaitu B. abortus, B. melitensis, B. ovis, B.

suis, B. canis dan B. neotomae. Klasifikasi terutama berdasarkan pada perbedaan

patogenitas dan inangnya. B. melitensis merupakan spesies Brucella yang paling

patogen dan invasif pada kesehatan manusia, diikuti oleh B. suis, dan B. abortus

(Young 1995, Dokuzoguz et al. 2005; Rajashekara et al. 2006; Franco et al. 2007;

Lee & Stanek 2010).

Tabel 1 Karakteristik biovar spesies dari genus Brucella

Spesies Morfologi

koloni Biovar CO2

Produksi H2S

Pertumbuhan Aglutinasi

Oxidase Katalase Urease Thionin Basic

Fuchin

Sumber: Alton et al. (1988); Barrow & Feltham (1993)

Keterangan : + : positif, - : negatif.

Bakteri Brucella merupakan bakteri gram negatif, tidak berspora, tidak

motil, berbentuk kokobasilus dengan panjang 0,6 – 1,5 µm dan lebar 0.5 – 0,7 µm,

(19)

dalam set fagosit. Koloni Brucella di media padat terlihat setelah inkubasi selama

2 - 3 hari. Setelah inkubasi 4 hari, koloni berbentuk bulat, berdiameter 1-2 mm,

dengan tepi halus, seperti madu pucat pada media transparan dan koloni convex.

Karakteristik spesies Brucella berdasarkan kebutuhan CO2 dalam

pertumbuhannya, produksi H2S, aktivitas urease dan pertumbuhan pada thionin

serta basic fuchsin (Alton et al. 1988; Quinn et al. 2002).

Bovine Brucellosis disebabkan B. abortus. Brucella abortus terdapat 7

biotipe, B. melitensis 3 biotipe, B. canis 4 biotipe, dan B. ovis, B. suis, B.

neotomae masing-masing 1 biotipe (Corbel 2006; OIE 2009; CFSPH 2009).

Karakter biovar spesies Brucella dapat dilihat pada Tabel 1.

Penularan

Brucellosis dapat ditularkan antar hewan melalui rute oral karena ternak

menjilati produk abortus (plasenta, janin) dan cairan vagina dari hewan yang

terinfeksi. Hewan yang terkontaminasi oleh bakteri Brucella juga diperoleh

melalui inhalasi, inokulasi konjungtiva, kontaminasi kulit dan inokulasi ambing

(Plommet & Fensterbank 1976). Infeksi bakteri Brucella dapat terjadi pada anak

sapi yang diberi kolostrum atau susu dari induk yang terinfeksi. Pada sapi jantan,

brucellosis tidak selalu mengakibatkan infertilitas, meskipun akan mempengaruhi

kualitas semen. Selain itu penularan juga terjadi melalui perkawinan alam sapi

jantan penderita sewaktu mengawini sapi betina dan inseminasi buatan. Sapi

tersebut menularkan Brucella selama fase akut dari penyakit, dan shedding

Brucella dapat berhenti maupun bersifat intermitent. Penularan langsung bakteri

Brucella dapat dibantu oleh satwa liar, burung dan saluran air yang terkontaminasi

urin dan kotoran uterus sapi yang abortus. Anjing membawa potongan plasenta

atau janin abortus dari satu tempat ke tempat lain. Penyebaran bakteri Brucella

juga dapat melalui kandang, pakan, padang rumput dan air yang tercemar oleh

produk abortus. Ekskresi bakteri Brucella terjadi setelah keguguran sampai sekitar

15 hari. Jumlah bakteri Brucella yang diekskresikan dari uterus akan berkurang,

namun ternak terinfeksi dapat menjadi pembawa Brucella yang mengeluarkan

bakteri secara persisten selama bertahun-tahun (Quinn et al. 2002; CFSPH 2009).

(20)

pada hewan yang sudah matang secara seksual. Hewan muda sering resisten

terhadap infeksi, meskipun infeksi dapat bersifat laten dan menimbulkan bahaya

ketika dewasa. Vaksinasi ternak dengan B. abortus S19 atau RB51 dapat

mengurangi kerentanan seribu kali lipat atau lebih pada spesies yang homolog

(Corbel 2006).

Brucella dapat bertahan hidup pada berbagai kondisi lingkungan dalam

waktu tertentu. Brucella sensitif terhadap sinar matahari langsung, desinfektan

dan pasteurisasi (CFSPH 2009). Brucella tahan terhadap kekeringan, terutama bila

terdapat bahan organik seperti protein, dan bertahan hidup dalam debu serta tanah.

Bakteri dapat bertahan hidup di air keran selama beberapa bulan pada 4 - 8 °C, 2,5

tahun di 0 ºC, dan beberapa tahun pada jaringan beku atau media. Bakteri

Brucella tahan di tanah basah sampai 60 hari, di permukaan air selama 144 hari,

di dalam urin selama 30 hari, pada janin abortus selama 75 hari dan di eksudat

uterus lebih dari 200 hari. Pada bedding yang terkontaminasi Brucella, bakteri

mati pada 56 °C - 61 °C dalam waktu 4,5 jam. Selain itu telah ditemukan bahwa

Brucella dapat bertahan hidup dalam kotoran selama 53 hari pada musim dingin,

120 - 210 hari di musim semi, 1 hari di musim panas, dan 50 - 120 hari di musim

gugur (Bharde & Bhuktar 2005; Corbel 2006). Pada jaringan yang dikeluarkan

sewaktu keguguran, B. abortus dapat tahan hidup sampai 6 bulan apabila terhindar

dari sinar matahari (Quinn et al. 2002; Soeharsono 2002).

Usia, jenis kelamin, periode kebuntingan dan resistensi alami terhadap

Brucella mempengaruhi perkembangan infeksi. Ternak betina bunting cenderung

mudah terinfeksi daripada ternak tidak bunting atau jantan. Hal ini karena uterus

ternak bunting terdapat gula erythritol yang menopang pertumbuhan bakteri

Brucella (Bharde & Bhuktar 2005; Islam et al. 2009).

Pada manusia, penularan dapat terjadi secara oral, inhalasi dan lewat

konjungtiva, namun sumber utama infeksi yaitu kontak dengan produk abortus

hewan, mengkonsumsi produk peternakan terkontaminasi seperti susu dan produk

tidak dipasteurisasi (keju, susu mentah, mentega dan es krim), daging yang

dimasak kurang matang, kontak dengan kultur bakteri dan sampel jaringan di

laboratorium. Infeksi dapat terjadi pada pekerja yang berprofesi tertentu misalnya

(21)

petugas rumah pemotongan hewan, tukang perah susu yang bekerja di daerah atau

hewan tertular atau menangani fetus abortus dan plasenta penderita brucellosis

(Corbel 1997; OIE 2009; Godfroid et al. 2010; Bennet 2010). Kandungan bakteri

pada jaringan otot relatif rendah namun konsumsi organ hewan seperti hati dan

limpa sebagai salah satu penyebab terjadinya infeksi pada manusia (Pappas et al

2005).

Gejala klinis

Brucella menyebabkan brucellosis pada manusia dan berbagai spesies

hewan (Cloeckaert et al., 2003). Penyakit ini biasanya tanpa gejala pada hewan

betina bunting. Setelah adanya infeksi oleh B. abortus pada hewan bunting dapat

menyebabkan plasentitis dan endometritis (Quinn et al. 2002; Poester et al. 2006;

OIE 2009). Penyakit ini dapat bersifat akut dengan terjadinya abortus pada ternak

yang sehat. Brucella mengakibatkan abortus pada 6 sampai 9 bulan kebuntingan.

Setelah abortus dan kelahiran normal berikutnya, sebagian besar bakteri

diekskresikan ke plasenta, cairan fetus, susu dan leleran vagina (OIE 2009).

Sehingga pada ternak bunting yang terinfeksi mengakibatkan kelahiran dini,

penurunan produksi susu, konsepsi tertunda dan infertilitas sementara atau

permanen. Pada hewan jantan terinfeksi mengakibatkan orchitis dan epididimiitis

yang menyebabkan infertilitas (Corbel 1997; Quinn et al. 2002). Hewan jantan

yang terinfeksi dapat ditemukan Brucella di dalam semennya sehingga berpotensi

sebagai sumber penularan penyakit jika digunakan untuk Inseminasi Buatan. Pada

infeksi akut, Brucella ditemukan dalam organ tubuh yang paling utama yaitu

kelenjar getah bening (Quinn et al. 2002). Di beberapa negara tropis, satu-satunya

indikator yang jelas adanya infeksi kronis brucellosis pada hewan yaitu higroma

pada persendian kaki. Pembesaran kantung persendian carpus atau tarsus terlihat

mencolok sehingga dapat terlihat dari jauh (Godfroid et al. 2004; Bharde &

Bhuktar 2005). Dilaporkan bahwa di Arab Saudi, domba yang menderita higroma

pada kakinya dapat diisolasi B. melitensis (Ramadan et al. 2012)

Pada manusia, brucellosis menyebabkan deman malta (demam undulant),

dan mengakibatkan komplikasi penyakit muskulo skeletal, kardiovaskular dan

(22)

dingin (Corbel 1997; Quinn et al. 2002, Bennet 2010). Kerentanan terhadap

brucellosis pada manusia tergantung pada berbagai faktor, termasuk status

kekebalan tubuh, rute infeksi, jumlah inokulum dan spesies Brucella (Young

1995, Pappas et al. 2005; Corbel 2006).

Patogenesis

Spesies Brucella sebagai bakteri patogen fakultatif intraselular mampu

bertahan dan bereplikasi dalam sel fagosit tubuh inang (Halling et al., 2005).

Patogenesis Brucella terutama berdasarkan kemampuannya untuk masuk,

bertahan hidup dan berkembang biak dalam sel inang (Gorvel & Moreno 2002).

Setelah masuk ke tubuh, Brucella tertelan oleh leukosit polymorphonuclear

(PMLs), yang akan tertarik ke lokasi inokulasi. Faktor virulensi utama adalah sel

dinding lipopolisakarida (LPS). Hal ini dikarenakan LPS B. abortus mengandung

komponen 5-guanosin monofosfat. Dengan adanya kemampuan tersebut, hampir

15 – 30% bakteri ini mampu bertahan di dalam sel polymorphonuclear atau

mononuclear (Al Nassir 2011). Brucella mampu bertahan dan bereplikasi dalam

sel fagosit dari sistem retikuloendotelial dan sel non-fagosit seperti trofoblas.

Kemampuan tersebut melibatkan fusi sementara dari vakuola yang mengandung

Brucella dengan lisosom, selanjutnya pada protein lisosomal (Young 1995; Star et

al. 2008). Setelah proses ini, vakuola yang mengandung Brucella terhubung

dengan retikulum endoplasma (RE). Retikulum endoplasma terhubung lagi

dengan kompartemen tempat untuk replikasi intraseluler Brucella dalam

makrofag, sel epitel dan trofoblas plasenta. Bakteri dapat menyebabkan infeksi

kronis pada tempat tersebut (Xavier et al. 2010). Forestier et al. (1999)

menunjukkan bahwa LPS dari B. abortus terakumulasi dalam lisosom dan

kemudian ke permukaan sel makrofag membentuk kelompok besar yang disebut

macrodomains.

Faktor serum normal, termasuk komplemen, terlibat dalam opsonisasi

organisme untuk fagositosis, namun PMLs membatasi kemampuan untuk

membunuh bakteri dalam fagosit. Beberapa faktor yang melindungi Brucella dari

PMLs adalah copper-zink superoksida dismutase, O-polisakarida, dan nukleotida.

(23)

organ-organ sistem retikuloendotelial (hati, limpa, sumsum tulang) dan

berkembang biak di makrofag dan monosit. Beberapa sistem organ dapat terlibat

dalam penyakit brucellosis (sistem syaraf pusat, jantung, persendian, sistem

genitourinari, sistem paru-paru, dan kulit). Brucellosis tersebut menyebabkan

infeksi bersifat lokal maupun sistemik yang dapat melibatkan hampir seluruh

organ. Setelah infeksi, dihasilkan antibodi humoral terhadap LPS dan antigen

dinding sel lainnya. Namun, pengembangan imunitas berperantara sel merupakan

prinsip mekanisme saat pemulihan. Kekebalan selular melibatkan peran T limfosit

sitotoksik dan aktivasi makrofag sehingga meningkatkan aktivitas bakterisidal

melalui pelepasan sitokin (misalnya gamma interferon dan tumor necrosis faktor)

dari Thelper limfosit (Bharde & Bhuktar 2005; Corbel 2006; Bennett 2010).

Brucellosis menyebabkan hewan lahir lemah atau aborsi pada trimester

terakhir kebuntingan ketika B. abortus berpindah ke uterus. Lokalisasi dan

replikasi B. abortus pada hewan bunting dikaitkan dengan adanya empat-karbon

alkohol erythritol. Erythritol dapat merangsang dan meningkatkan pertumbuhan

Brucella. Bakteri menetap di sel-sel yang mampu menyediakan nutrisi yaitu

saluran kelamin hewan. Bharde & Bhuktar (2005), erythritol ditemukan pada

plasenta sapi, domba, kambing, babi dan anjing serta vesikula seminalis dan testis

pada hewan jantan. Brucella menggunakan erythritol (glukosa) tersebut sebagai

sumber karbon utama dan energi sehingga dilengkapi satu set enzim untuk

mengubah glukosa menjadi berbagai jenis molekul gula yang digunakan dalam

kelangsungan hidup B. abortus. Erythritol dalam jumlah miligram dapat

meningkatkan pertumbuhan B. abortus secara in vitro (Anderson & Smith 1965;

Anderson & Cheville 1986; Haag et al. 2010).

Koleksi material

Diagnosis brucellosis hewan melalui pemeriksaan kultur,

dan pemilihan sampel yang tergantung pada pengamatan tanda-tanda klinis.

Sampel diagnosis termasuk janin abortus (isi lambung, limpa dan paru-paru),

membran fetus, plasenta induk, leleran vagina (swab), susu, semen dan cairan

higroma. Apabila menggunakan bangkai hewan sebagai sampel, maka jaringan

(24)

kelenjar susu dan limpa), kebuntingan terakhir atau uterus awal melahirkan, dan

ambing. Pertumbuhan normal bakteri setelah 4 - 5 hari, tetapi kultur dapat

diamati sampai 2 – 3 minggu sebelum dinyatakan negatif (Alton et al. 1988;

Quinn et al. 2002; OIE 2009, Godfroid et al. 2010).

Sampel jaringan, leleran vagina, susu, serum dan produk peternakan harus

segera didinginkan setelah pengambilan, dan dibawa ke laboratorium secepatnya.

Sampel (susu dan jaringan) yang tidak langsung dikultur harus disimpan dalam

kondisi beku (Alton et al. 1988).

Diagnosis Brucellosis

Diagnosis brucellosis dilakukan secara serologi dan pemeriksaan

bakteriologis. Uji serologi dapat dilakukan dengan Rose Bengal Test (RBT),

Complement Fixation Test (CFT), Serum agglutination test (SAT) dan Enzyme

Linked Immunosorbent Assays (ELISA). Buffered Brucella Antigen Tests

(BBATs) seperti RBT dan Buffered Plate Agglutination Test (BPAT) dan

Fluorescence Polarisation Assay (FPA) dapat dilakukan sebagai uji screening.

Pengujian pada kelompok sapi perah dapat dilakukan dengan uji Milk Ring Test

(MRT) (OIE 2009).

Pemeriksaan bakteriologis dilakukan dengan isolasi dan identifikasi bakteri

penyebab brucellosis. Isolasi bakteri berasal dari spesimen organ janin keguguran

dan pada sapi jantan dapat diisolasi dari semennya (Alton et al. 1988; OIE 2009;

Godfroid et al. 2010). Apabila uji serologi dilakukan untuk pemberantasan

penyakit brucellosis maka pengujian dilakukan melalui dua tahap yaitu uji

screening (penyaringan) dengan menggunakan uji yang memiliki sensitivitas yang

sangat tinggi (RBT dan MRT) sehingga seluruh hewan yang terinfeksi terjaring.

Hasil screening yang menunjukkan hasil positif kemudian dikonfirmasi dengan uji

yang memiliki spesifisitas yang sangat tinggi seperti CFT atau ELISA (Godfroid

et al. 2010).

Pengobatan pada hewan yang menderita brucellosis secara efektif belum

ada. Pada manusia, pengobatan dilakukan dengan memberikan antibiotika

tetracycline 500 mg/ 6 jam/ peroral selama 6 minggu, doxycycline 100mg/ 12

(25)

minggu pada terapi awal ditambah tetracycline atau doxycycline (Corbel 2006).

Pada percobaan mencit yang diinfeksi B. abortus kemudian dilakukan pengobatan

dengan gentamisin selama tiga hari menunjukkan bahwa jumlah bakteri di limpa

setelah 1 dan 3 minggu pengobatan tidak mengalami penurunan (Prior et al. 2005)

Epidemiologi

Kegiatan penanggulangan gangguan reproduksi dilakukan melalui

pengendalian penyakit hewan yang memiliki nilai ekonomis tinggi untuk menekan

jumlah kematian ternak dan meningkatkan produktivitas ternak. Brucellosis

sebagai salah satu penyakit reproduksi pada ternak mempunyai pengaruh penting

terhadap nilai ekonomi. Di Indonesia wabah brucellosis terjadi pertama kali tahun

1983 pada sapi potong di Propinsi Sulawesi Selatan (Ditkeswan 2001). Tahun

1986 diketahui 16 propinsi tertular dan tahun 1991 meningkat menjadi 26 propinsi

kecuali propinsi Bali, sehingga brucellosis dinyatakan sebagai penyakit hewan

endemik di Indonesia.

Program pengendalian dan pemberantasan PHM brucellosis dilakukan

secara bertahap. Pada tahun 2002, pulau Bali dinyatakan bebas historis penyakit

brucellosis melalui Keputusan Menteri Pertanian No. 443/Kpts/TN.540/7/2002,

sementara pulau Lombok, Provinsi Nusa Tenggara Barat, dinyatakan bebas

penyakit brucellosis melalui program pemberantasan dalam Keputusan Menteri

Pertanian No. 444/Kpts/TN.540/7/2002. Pulau Sumbawa provinsi Nusa tenggara

Barat bebas Brucella berdasar SK Menteri Pertanian No. 97/Kpts/PO.660/2/2006.

Di tahun 2009, Provinsi Sumatera Barat, Riau, Jambi, dan Kepulauan Riau

dinyatakan bebas dari penyakit brucellosis pada sapi dan kerbau melalui

Keputusan Menteri Pertanian No. 2541/Kpts/PD.610/6/2009. Pulau Kalimantan

juga dinyatakan bebas dari penyakit brucellosis pada sapi dan kerbau melalui

Keputusan Menteri Pertanian No. 2540/Kpts/PD.610/6/2009 menyatakan Pulau

Kalimantan bebas dari penyakit hewan keluron menular (brucellosis) pada sapi

dan kerbau.

Pada saat ini, target penanggulangan gangguan reproduksi di 21 provinsi,

11 provinsi memiliki prevalensi brucellosis pada sapi potong sangat rendah

(26)

Sulawesi Tengah, Gorontalo dan Sulawesi Barat, 4 provinsi memiliki kasus tinggi

pada sapi potong yaitu Nangroe Aceh Darussalam, Nusa Tenggara Timur (P.

Timor yaitu TTU dan Belu), Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara dan

sebanyak 7 provinsi telah bebas brucellosis berdasarkan Keputusan Menteri

Pertanian (Ditjennak 2010). Namun tahun 2011, Provinsi Sumatera Selatan,

Bengkulu, Lampung & Kepulauan Bangka Belitung ditetapkan bebas dari

penyakit hewan keluron menular pada sapi berdasarkan Keputusan Menteri

Pertanian No. 5681/kpts/PD.620/12/2011. Peta situasi brucellosis di Indonesia

sampai tahun 2011 terlihat pada Gambar 1.

Di Pulau Jawa yang merupakan populasi tertinggi sapi perah, kasus

Brucellosis masih relatif tinggi dengan prevalensi rata-rata 2 - 3%. Upaya

pemberantasannya dilakukan dengan vaksinasi karena prevalensi lebih dari 2%

sehingga test and slaughter belum dilakukan mengingat tingginya jumlah yang

harus dipotong dan mahalnya biaya kompensasi.

Gambar 1 Peta situasi brucellosis di Indonesia sampai tahun 2011 (Ditkeswan 2012)

Secara serologi, sekitar 80,5% dari ternak yang mengalami abortus

disebabkan oleh bakteri B. abortus (positif CFT). Sekitar 48,5% kejadian abortus

terjadi pada umur kebuntingan trimester dua (4 - 6 bulan) dan sekitar 48,5%

(27)

97% kejadian abortus terjadi pada umur kebuntingan lebih tua dari tiga bulan

(Putra 2005).

Kontrol Brucellosis

Usaha pengendalian brucellosis di lapangan berdasarkan Keputusan

Menteri Pertanian No.828/Kpts/OT.210/10/98 mengenai Pedoman Pemberantasan

Brucellosis pada ternak di Indonesia. Dua strategi pemberantasan berdasarkan

tingkat kejadiannya yaitu apabila prevalensi reaktor ≥ 2 % dengan kategori

tertular berat, maka metode pemberantasannya dengan cara vaksinasi. Sedangkan

pada daerah kategori tertular rendah (prevalensi < 2%), ditetapkan dengan teknik

potong bersyarat (test and slaughter).

Pengendalian penyakit brucellosis pada ternak melalui vaksinasi dapat

dilakukan dengan menggunakan vaksin hidup dan mati yang dilemahkan. Vaksin

hidup yang dilemahkan mempunyai beberapa kelebihan dibanding vaksin mati

yang pada umumnya mampu menghasilkan imunitas cukup lama dan merangsang

reaksi kekebalan pada tubuh inang yaitu cell-mediated. Oleh karena vaksin

diberikan hidup, maka bakteri mereplikasi dalam tubuh inang sehingga vaksin

lebih murah. Namun, vaksin hidup yang dilemahkan dapat menyebabkan aborsi.

Vaksin B. abortus Strain 45/20 dengan adjuvant merupakan vaksin mati

yang dikembangkan karena adanya kemungkinan reverse apabila menggunakan

vaksin hidup. Strain 45/20 berasal dari Brucella S45/0 yang diisolasi dari material

sapi abortus sebelum tahun 1922 dengan morfologi smooth dan virulen pada

marmot. Brucella S45/0 selanjutnya dipassase 20 kali pada marmot sehingga

morfologi menjadi rough atau kasar sehingga secara umum disebut Strain 45/20.

Vaksin diberikan pada ternak dewasa dan memberikan perlindungan sekitar 70 %

(Morgan 1982; WHO 1997).

Saat ini terdapat dua vaksin hidup yang dilemahkan untuk mencegah

brucellosis pada sapi adalah vaksin B. abortus Strain 19 (S19) dan RB51. Strain

19 memiliki smooth lipopolisakarida yang ditentukan oleh panjang rantai O

polisakarida pada permukaan sel. Lipopolisakarida B. abortus tipe smooth terdiri

dari lipid A, inti oligosakarida dan rantai khas O polisakarida (O-antigen). Vaksin

(28)

vaksin S19 adalah timbulnya respon antibodi yang tinggi sehingga memberikan

proteksi pada sapi yang divaksin. Tetapi vaksin ini menyebabkan masalah karena

antibodi yang diproduksi menimbulkan positif palsu pada tes serologi terhadap

infeksi Brucella (Stevens et al. 1995; Cardoso et al. 2006). Vaksin S19

merupakan vaksin stabil yang tidak akan kembali menjadi virulen. Dosis

pemberian 5 - 8 X 1010

CFU/ml yang diberikan subcutan.Vaksin diberikan pada

sapi umur 3 – 6 bulan yang dapat memberikan perlindungan sampai 5 kali

kebuntingan dan mungkin dapat lebih (Morgan 1982; OIE 2009). Strain 19

memiliki efek aborsi pada sapi bunting dan virulen pada manusia (Cardoso et al.

2006). Morgan (1982) menyatakan bahwa penggunaan vaksin S19 memberikan

perlindungan yang lebih baik dari vaksin S45/20 dengan adjuvant.

Pada tahun 2004, Departemen Pertanian RI mengijinkan peredaran vaksin

strain RB51. Strain RB51 merupakan mutan kasar dari B. abortus virulen strain

2308 (S2308) dan dibuat dengan melakukan passase berulang B. abortus 2308

dalam media yang mengandung rifampisin dan penisillin. Strain RB51 tidak

memiliki rantai O antigen (Schurig et al. 1991). Ternak yang divaksin dengan

strain RB51 tidak memproduksi antibodi terhadap O antigen yang terdeteksi pada

uji serologi brucellosis (Schurig et al. 1991; Cheville et al. 1993). Strain RB51

resisten terhadap rifampisin (Miranda 2009). Seperti vaksin S19, strain RB51 juga

menyebabkan infeksi pada manusia. Selain itu terdapat vaksin B. melitensis Rev. 1

untuk vaksinasi kambing dan domba.

Teknik potong bersyarat (test and slaughter) yaitu setiap hewan yang diuji

secara serologi dan hewan dengan reaksi positif (reaktor) harus dipotong. Pada

daerah tertular rendah (prevalensi < 2%) maka dilakukan test and slaughter. Test

and slaughter dilakukan pada 50 % populasi sapi dan kerbau betina di tingkat

provinsi apabila terdapat sumberdaya yang memadai. Dan tahun kedua dilakukan

50% sisanya serta desa-desa yang positif CFT dari hasil uji pertama. Test and

slaughter tahun ketiga dilakukan di kecamatan atau desa dengan kasus positif

CFT dalam dua tahun terakhir. Tahun kelima dilakukan pada desa dengan kasus

positif CFT dalam dua tahun terakhir. Daerah bebas brucellosis apabila prevalensi

(29)

Radiasi

Radiasi merupakan energi yang dipancarkan dalam bentuk partikel atau

gelombang. Radiasi diklasifikasikan sebagai radiasi non pengion (energi rendah)

atau pengion (energi tinggi). Jenis radiasi non pengion seperti sinar ultraviolet,

cahaya tampak, radiasi inframerah, radiasi frekuensi radio dan gelombang mikro.

Radiasi pengion dari matahari (sinar kosmik), bahan radioaktif, dan mesin X-ray.

Radiasi pengion dikelompokkan menjadi dua golongan sesuai dengan komponen

fisiknya yaitu memiliki masa dan bermuatan atau tidak bermuatan, dan hanya

memiliki energi saja. Empat jenis utama dari radiasi pengion (1) partikel. alpha

bermuatan positif terdiri dari dua neutron dan dua proton, relatif berat dan

bergerak lambat dari emisi radioaktif lainnya, (2) partikel beta merupakan partikel

bermuatan negatif terdiri dari elektron dan lebih ringan serta cepat dibandingkan

partikel alpha, (3) sinar gamma adalah radiasi gelombang elektromagnetik pendek

yang dipancarkan oleh peluruhan radioaktif atom tidak stabil dan mempunyai

penetrasi yang tinggi, dan (4) sinar X mempunyai energi lebih rendah dan

kemampuan penetrasinya kurang daripada sinar gamma. Sinar X yang

dipancarkan berasal dari proses luar inti, sementara sinar gamma berasal dari inti

(Czarnecki 2009).

Sinar gamma

Sinar gamma berupa radiasi elektromagnetik panjang gelombang pendek

dipancarkan oleh isotop radioaktif sebagai inti tidak stabil dan meluruh untuk

mencapai bentuk stabil. Deoxyribonucleic acid (DNA) merupakan target selular

yang mengatur hilangnya viabilitas setelah terpapar sinar gamma. Kerusakan

DNA terjadi secara dominan oleh efek tidak langsung sinar gamma, yang

berinteraksi dengan atom lainnya atau molekul, khususnya air sehingga

mengalami hidrolisis dan menghasilkan radikal bebas. Radikal bebas

menyebabkan kerusakan materi sel. Efek langsung adalah terjadinya pemutusan

ikatan senyawa-senyawa penyusun sel. Kematian sel dominan disebabkan oleh

terputusnya untai ganda DNA, terpisahnya beberapa pasangan basa, yang

umumnya tidak dapat diperbaiki oleh sel. Efek sinar gamma terhadap viabilitas

(30)

seperti perubahan dalam site pengikatan primer atau pengurangan DNA menjadi

fragmen-fragmen yang lebih kecil dari target (Hall & Giaccia 2006). Radiasi

ionisasi menyebabkan atom dan molekul menjadi terionisasi atau tereksitasi

sehingga terputusnya ikatan kimia, menghasilkan ikatan kimia baru dan adanya

ikaatan antar makromolekul, adanya kerusakan molekul yang mengatur aktivitas

sel (misalnya DNA, RNA, protein) baik pada stuktur maupun ikatan proteinnya

(Tubiana et al. 1990). Ketahanan radiasi DNA pada sel-sel hidup banyak

ragamnya, DNA dalam sel hidup lebih tahan radiasi daripada ekstrak DNA karena

massa molekul rendah sehingga menyerap radikal bebas dalam sel (Hall &

Giaccia 2006).

Penggunaan sinar gamma beragam manfaatnya seperti untuk sterilisasi

alat-alat medis, pengawetan makanan dan pengolahan jaringan allografts dan

komponen darah, dan menghindarkan kebutuhan suhu tinggi yang dapat merusak

suatu produk. Selain itu sinar gamma juga digunakan untuk membuat vaksin yang

lebih efektif daripada pemanasan atau inaktivasi kimiawi. Penelitian penggunaan

vaksin yang dilemahkan dengan memberikan paparan radiasi pengion terhadap

suspensi mikroorganisme dilakukan pada bakteri (Gordon et al. 1964) dan virus

(Sykes 1965). Sinar gamma yang dimanfaatan untuk inaktivasi yaitu radiasi

elektromagnetik panjang gelombang pendek yang memiliki kemampuan penetrasi

tinggi dan memiliki karakteristik tanpa memberikan radiaoaktivitas pada materi

yang terpapar. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kemampuan infektivitas

akan rusak namun sifat antigenesitas tetap utuh (Reitman & Tribble 1967). Vaksin

iradiasi bakteri Listeria monocytogenes meningkatkan respon imun dibandingkan

teknik konvensional. Bakteri diiradiasi mendorong respon imun dari sistem

kekebalan sel T (Kochman 2006). Sinar gamma juga digunakan untuk

melemahkan Plasmodium (WHO 2001). Vaksin lain dengan teknik iradiasi yaitu

metaserkaria iradiasi yang mampu mengurangi jumlah Fasciola hepatica pada

anak sapi, penggunaan radiasi sinar X pada larva stadium kedua yang menetas

dari telur cacing paru Dictyocaulus viviparus penyebab pneumoni verminosa

(Tizard 1988).

Inaktivasi patogen melalui iradiasi merupakan metode yang dapat

(31)

penyakit patogen (IAEA 2012). Hal ini ditunjukkan dengan munculnya vaksin

anti-parasit iradiasi untuk malaria pada manusia. Dosis iradiasi gamma yang

relatif rendah dari sumber 60Co digunakan untuk menonaktifkan organisme,

misalnya malaria iradiasi 150 Rad, Fasciola iradiasi 30 Gy, Brucella iradiasi 6

kGy, sedangkan patogen virus memerlukan dosis yang lebih tinggi misalnya RVF

iradiasi pada 25 kGy (IAEA 2012). Vaksin aktif protozoa malaria dari stadium

sporozoit menggunakan dosis iradiasi berkisar 150 – 200 Gy (Hoffman et al.

2002). Radiasi gamma dari sumber 60Co juga digunakan untuk inaktivasi Lansing

poliomyelitis, St. Louis encephalitis. Western equine encephalomyelitis dan

vaccinia viruses (Russell & Kempe 1956). Paparan radiasi gamma pada B.

neotomae dan strain rekombinan overexpressing superoxide dismutase serta

protein periplasmik 26 kDa tidak menyebabkan replikasi bakteri (Moustofa et al.

2011).

Bakteri Brucella rekombinan iradiasi gamma masih mempunyai

kemampuan metabolik aktif (Sanakkayala et al. 2005). Agen hidup yang diradiasi

dengan iradiasi gamma mencegah replikasi agen dalam inang, tapi tidak

menghentikan aktivitas metabolik agen. Agen tetap aktif secara metabolik,

sehingga mampu menghasilkan senyawa imunogenik yang mampu menstimulasi

(32)

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian berlangsung dari bulan Mei 2011 sampai November 2012 di

Laboratorium Bagian Mikrobiologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan

Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian

Bogor (IPHK FKH IPB), Balai Besar Penelitian Veteriner (Bbalitvet) dan Pusat

Aplikasi Tehnologi Isotop dan Radiasi (PATIR) BATAN Jakarta .

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan adalah antigen Milk Ring Test (MRT) Bbalitvet untuk

screening brucellosis; media untuk isolasi: Triptone soya agar (TSA), Triptone

soya broth (TSB), Brucella selective supplement (Polymixin B, Bacitracin,

Cycloheximide, Nalidixic acid, Nystatin dan Vancomycin), 2 – 5% Fetal Calf

Serum (FCS), saline; serta bahan untuk identifikasi : pereaksi oksidase (1%

NNN’N’-tetramethyl-p-phenylene diamine dihydrochloride), H2O2 3%, Kertas

Plumbum asetat (Pb asetat), urea agar base, Simon’s Citrate Agar, supplement

urea 40%, Brucella monospesific M serum (M, Veterinary Laboratories Agency),

Brucella monospesific A serum (A, Veterinary Laboratories Agency), CO2,

fuchsin dan thionin. Bahan untuk uji serologi : antigen reagen RBT Bbalitvet, antigen

CFT Bbalitvet, komplemen, hemolisin, sel darah merah (eritrosit) domba, kontrol

serum positif dan negatif brucellosis.

Alat yang digunakan adalah Biological safety cabinets (BSC) kelas IIA,

mikroskop, spektrofotometer, inkubator, irradiator Gamma chamber, microtube,

tabung 10 ml, Erlenmeyer, pipet 1 - 10 ml, mikropipet, inkubator CO2, cawan

Petri, cawan mikro dasar U (U bottom), rotary agglutinator, shaker, kaca

pembesar (loop),cawan hemaglutinasi WHO (WHO hemagglutination plate), box

(33)

Metode Penelitian Koleksi sampel

Sampel diperoleh dari sampel susu sapi perah di Bandung Jawa Barat (91

sampel), cairan amnion sapi perah sampel diagnostik di Bbalitvet Bogor (1

sampel) dan cairan higroma sapi potong di Belu, Nusa Tenggara Timur (15

sampel). Semua sampel dikoleksi oleh Laboratorium Brucellosis Bbalitvet Bogor.

Sampel susu

Sampel susu diambil secara aseptik setelah mencuci dan mengeringkan

ambing keseluruhan dan desinfeksi puting. Sampel diambil dari semua kuartir,

dan susu diambil 10 - 20 ml dari setiap puting sapi. Pancaran pertama dibuang dan

sampel diperah langsung ke tabung steril. Sampel diuji dengan antigen Milk Ring

Test dan sisanya disimpan pada suhu -20 0C sampai dilakukan isolasi bakteri.

Sampel amnion

Sampel amnion diperoleh dari sampel diagnosik sapi simmental yang

mengalami keguguran pada kebuntingan 6 bulan. Selain itu juga dilakukan

pemeriksaan serologi terhadap serum sapi tersebut.

Sampel higroma

Sampel higroma dikoleksi dengan menggunakan syringe steril kemudian

cairan higroma dimasukkan ke tabung. Selain itu dilakukan pemeriksaan terhadap

serum sapi yang dikoleksi untuk pemeriksaan serologi. Sampel disimpan pada

suhu -20 0C sampai dilakukan isolasi.

Milk Ring Test (MRT)

Milk Ring Test digunakan untuk screening B. abortus dengan antigen

MRT. Uji MRT yaitu sebanyak 1 - 2 ml susu dalam tabung reaksi ditambahkan

dengan 0,03 – 0,05 ml antigen MRT, kemudian diaduk-aduk sehingga terlihat

warna biru. Tabung diinkubasi selama 1 jam pada suhu 37 °C, kemudian dibaca

reaksinya dengan kriteria sebagai berikut: negatif (-), lapisan krim di bagian atas

(34)

lapisan krim berwarna sama dengan bagian susu dibawahnya; positif ++ (+2),

warna biru pada cairan krim lebih tua dibandingkan dengan warna susu

dibawahnya; positif +++ (+3), cincin krim jelas berwarna biru dengan sedikit biru

ada pada bagian susu dibawahnya; dan positif ++++ (+4), cincin krim jelas

berwarna biru dan bagian susu dibawahnya berwarna putih.

Serologi

Rose Bengal Test (RBT) dan Complement Fixation Test (CFT) digunakan

untuk diagnosa serologi terhadap brucellosis.

Rose Bengal Test (RBT). Sebanyak 25 µl serum diambil menggunakan

mikropipet dan dicampurkan dengan 25 µl antigen RBT (Bbalitvet) di masukkan

ke dalam sumur cawan. Larutan dicampur hingga rata dengan menggerakkan

cawan berputar kekiri dan ke kanan kemudian cawan digoyang di atas rotary

agglutinator selama 4 menit. Pada setiap pengujian selalu menggunakan kontrol

positif dan negatif. Hasil reaksi dinilai negatif (-): tidak ada aglutinasi, tidak ada

batas pinggir dan campuran antigen dan serum homogen; positif (+1), terlihat

penggumpalan yang halus dan batas pinggir terjadi seperti garis putus-putus;

positif (+2) terlihat jelas penggumpalan yang halus dengan garis tepi yang lebar;

positif (+3) terlihat penggumpalan yang kasar dan cairan terlihat jernih.

Complement Fixation Test (CFT). Setiap sumur cawan mikro dengan dasar

U (U bottom) pada baris A masing-masing diisi serum 0.05 ml (termasuk serum

kontrol positif dan negatif), kemudian diinaktivasi pada suhu 58 ºC selama 30

menit di penangas air. Semua sumur kecuali baris A diisi saline sebanyak 0,025

ml. Selanjutnya serum diencerkan dalam saline dengan cara memindahkan 0,025

ml serum dari A ke sumur cawan di baris B, seterusnya sampai baris H, sehingga

diperoleh enceran serum ½, ¼, 1/8, 1/16 dan seterusnya. Setiap sumur pada baris

C sampai H diisi dengan antigen 0,025 ml. Kemudian baris B sampai H ditambah

0,025 komplemen pada setiap sumur. Semua sumur pada baris B ditambah diluen

0,025 ml dan digunakan sebagai kontrol terhadap adanya aktivitas komplementer.

(35)

masa inkubasi selesai, setiap sumur dari baris B sampai H ditambahkan 0,025 ml

eritrosit yang telah disensitifkan dengan hemolisin. Kemudian cawan diinkubasi

pada temperatur 37 ºC selama 30 menit sambil dikocok dengan alat pengocok

(shaker). Cawan mikro diputar pada kecepatan 2000 rpm selama 5 menit atau

didiamkan pada suhu 4 ºC semalam.

Hasil reaksi CFT dibaca sebagai negatif (-), terjadi hemolisis sempurna,

cairan dalam sumur berwarna merah, tidak ada endapan eritrosit didasar sumur;

Positif + (+1), terjadi hemolisis hampir sempurna, cairan dalam sumur berwarna

merah, terdapat sedikit endapan eritrosit didasar sumur; Positif ++ (+2), sebagian

besar hemolisis, cairan berwarna merah, endapan eritrosit agak melebar dengan

tepi rata; +++ (+3), sebagian besar eritrosit tidak lisis, warna cairan agak merah,

endapan eritrosit terlihat jelas; ++++ (+4), tidak terjadi hemolisis, cairan dalam

sumur bening, endapan eritrosit terlihat nyata dengan batas pinggir rata.

Interpretasi hasil uji pengikatan komplemen berdasarkan terjadinya 50%

hemolisis pada pengenceran serum tertinggi. Serum dengan titer CFT 1:4 (1/4)

atau lebih dikategorikan positif.

Isolasi B. abortus

Isolasi sampel. Isolasi dilakukan berdasarkan Alton et al. (1988) dan OIE

(2009).

Sampel susu

Sampel susu disentrifugasi pada 3000 rpm selama 30 menit dalam tabung

tertutup. Krim dan endapan diaduk kemudian dikultur menggunakan swab dari

kapas ke media TSB yang mengandung FCS dan Brucella selective supplement.

selanjutnya tabung diinkubasi pada suhu 37 °C dengan 5 % CO2 selama 3 - 4 hari

di inkubator CO2 untuk diamati kekeruhannya. Kemudian bakteri dikultur ke

cawan Petri yang mengandung media TSA dan Brucella selective supplement.

Cawan Petri diinkubasi pada suhu 37 °C dengan 5 % CO2 selama 3 - 4 hari di

inkubator CO2. Bakteri yang dicurigai kemudian disubkultur pada media selektif

TSA di cawan Petri dan diinkubasi suhu 37 °C dengan 5 % CO2 selama 3 - 4 hari

(36)

Sampel amnion

Isolasi B. abortus dari cairan amnion sapi simental yang mengalami

abortus pada kebuntingan 6 bulan. Cairan amnion dimasukkan ke dalam tabung

berisi TSB, FCS dan Brucella selective supplement. Selanjutnya cairan amnion

diinkubasi pada suhu 37 °C selama 3 - 4 hari di inkubator CO2 untuk diamati

kekeruhannya. Setelah terlihat kekeruhannya maka bakteri dikultur pada media

yang mengandung TSA dan Brucella selective supplement. Koloni yang terpisah

dan dicurigai disubkultur pada media TSA dan diinkubasi selama 3 - 4 hari di

inkubator CO2.

Sampel higroma

Isolasi B. abortus dari cairan higroma sapi yang dicurigai menderita

brucellosis kronis. Sebanyak 0,5 ml cairan higroma dimasukkan ke dalam tabung

berisi 3 ml TSB yang mengandung FCS dan Brucella selective supplement.

Selanjutnya dilakukan isolasi seperti cairan amnion.

Identifikasi dan biotypingB. abortus

Identifikasi dan bioytping mengikuti metode Alton et al. (1988), Barrow &

Feltham (1993) dan OIE (2009).

Cawan Petri diinkubasi pada suhu 37 °C dengan 5 % CO2 selama 4 hari di

inkubator CO2 untuk mengetahui keberadaan koloni Brucella. Identifikasi bakteri

Brucella meliputi morfologi koloni, pewarnaan Gram dan uji biokimiawi

(oksidase, katalase dan uji sitrat) dilanjutkan dengan biotyping isolat terhadap

penggunaan CO2, produksi H2S, aktifitas urease, pertumbuhan pada zat warna

basic fuchsin dan thionin dan uji aglutinasi dengan Brucella monospesific M

serum dan Brucella monospesific A serum.

Pewarnaan Gram. Gelas objek dibersihkan dari lemak dengan alkohol 70

% dan diberi label. Satu tetes akuades steril diletakkan pada permukaan gelas

objek. Isolat diambil dengan jarum Őse kemudian di campur dengan akuades dan

diulas merata pada permukaan gelas objek. Preparat difiksasi dengan melewatkan

di atas api sampai terlihat kering. Larutan crystal violet diteteskan pada preparat

(37)

Kemudian larutan iodine lugol diteteskan pada preparat sampai merata, dan

diamkan selama 1 menit. Preparat dicuci dengan air mengalir dan

dikeringanginkan. Larutan alkohol aseton diteteskan pada preparat sampai merata

dan diamkan. Preparat dicuci dengan air mengalir. Larutan safranin diteteskan

pada preparat sampai merata dan diamkan selama 15 detik. Preparat dicuci dengan

air mengalir dan dikeringanginkan. Preparat diamati menggunakan mikroskop

pada perbesaran 10 x 100. Sifat bakteri gram positif ditandai dengan sel bakteri

berwarna ungu dan gram negatif ditandai dengan sel bakteri berwarna merah.

Uji Oksidase. Kertas saring dibasahi dengan pereaksi oksidase. Satu loop

isolat bakteri diambil dengan jarum Őse dan digoreskan pada kertas saring yang

diberi pereaksi oksidase (1% NNN’N’-tetramethyl-p-phenylene diamine

dihydrochloride). Reaksi dinyatakan negatif jika tidak ada perubahan warna pada

kertas saring dan positif jika terjadi perubahan warna biru keunguan pada goresan

dalam waktu 10 detik.

Uji katalase. Gelas objek ditetesi larutan H2O2 3% 1 tetes. Isolat diambil

dengan jarum Őse kemudian dicampurkan pada reagen H2O2 pada gelas objek.

Reaksi positif apabila terbentuk gelembung-gelembung udara kurang dari 10

detik.

Uji Sitrat. Pengujian dilakukan dengan menginokulasikan isolat ke

Simmon’s citrate agar. Tabung diinkubasi pada suhu 37 °C selama 4 hari di

inkubator CO2. Hasil uji positif apabila media biru.

Penggunaan CO2. Bakteri dilakukan pengujian kebutuhan karbondioksida

dengan melakukan subkultur pada dua agar miring dan diinkubasi, satu tabung

dengan menambahakan 5 % CO2 dan tabung lainnya tanpa CO2. Pengamatan

dilakukan setelah 3 - 4 hari inkubasi. Penentuan kebutuhan CO2 berdasarkan

kemampuan bakteri tumbuh pada tabung dengan CO2 atau tanpa CO2.

Produksi H2S. Pengujian dilakukan dengan menginokulasikan isolat ke

TSA miring dan dilengkapi dengan strip kertas yang mengandung Pb asetat 10%

yang ditempatkan di lubang tabung, tapi tidak kontak dengan medium. Kertas Pb

asetat akan berubah menjadi hitam apabila diproduksi H2S. Pengamatan dilakukan

(38)

Aktifitas urease. Pengujian dilakukan dengan menginokulasikan isolat ke

ke urea agar base miring yang mengandung urea supplement 4%. Tabung

diinkubasi pada suhu 37 °C selama 4 hari di inkubator CO2. Hasil uji positif

apabila media berubah menjadi purple – pink.

Pertumbuhan pada zat warna basic fuchsin dan thionin. Isolat

ditumbuhkan pada medium TSA yang mengandung thionin dengan kadar 1 :

25.000, 1 : 50.000 dan 1: 100.000 dan basic Fuchin dengan kadar 1 : 50.000 dan

1: 100.000. Pengamatan dilakukan setelah 3 sampai 4 hari. Isolat yang peka maka

tidak tumbuh pada media TSA yang mengandung zat warna tersebut, dan

sebaliknya yang tidak peka maka akan tumbuh.

Uji aglutinasi. Isolat Brucella diuji aglutinasi dengan Brucella

monospesific A serum (A) dan Brucella monospesific M serum (M). Pengujian

dilakukan dengan mencampur masing-masing serum monospesifik A atau M

dengan suspensi isolat pada gelas objek. Reaksi positif ditunjukkan dengan

terjadinya aglutinasi.

Iradiasi sinar Gamma B. abortus

Jumlah koloniB. abortus sebelum perlakuan iradiasi dapat dihitung secara

tidak langsung dengan membuat kurva standar B. abortus. Pembuatan kurva

standar adalah sebagai berikut isolat B. abortus dari TSA miring diinokulasikan

ke 75 ml TSB, kemudian diinkubasi pada suhu 37 °C selama 3 hari di inkubator

CO2 dengan penambahan 5% CO2. Selanjutnya suspensi diukur absorbansi

(Optical Density, OD) menggunakan spektrofotmeter pada panjang gelombang

640 nm. Suspensi yang telah diukur absorbansinya selanjutnya dilakukan

pengenceran berseri dan ditanam ke TSA. Bakteri diinkubasi selama 3 hari dengan

menambahakan 5 % CO2 di inkubator CO2. Kemudian jumlah koloni dihitung

pada masing - masing pengenceran, dan dibuat kurva standar dengan menggambar

hubungan antara nilai absorbansi dengan jumlah koloni bakteri.

Iradiasi dilakukan mengikuti metode El – Zawahry & Grecz 1981; Cassidy

II 2010; Enright et al. 2001. B. abortus dikultur pada media TSA miring pada

suhu 37° C selama 3 hari. Bakteri dipanen dari TSA dengan menambahkan 5 ml

(39)

TSA, botol Roux digoyang – goyang supaya suspensi menyebar rata pada

permukaan botol. Brucella diinkubasi sesuai fase log titik pertumbuhan tercepat

pada suhu 37°C selama 3 hari di inkubator CO2. Kultur dipanen dengan

menambahkan larutan saline ke botol Roux kemudian kultur disentrifugasi selama

10 – 15 menit pada 3000 rpm dengan sentrifuse Sorvall berpendingin (2 - 4°C).

Supernatan dibuang dan pelet dicuci dua kali dengan larutan saline. Setelah

pencucian, kepadatan sel dihitung dengan menggunakan spektrofotometer

sehingga konsentrasi 108 Colony forming units (CFU)/ml. Suspensi ditempatkan

dalam 5 microtube untuk diradiasi pada dosis 0, 50, 100, 150, dan 200 Gy dalam

iradiator Gamma Chamber di PATIR BATAN. Setelah itu suspensi bakteri

ditanam pada media TSA dan diinkubasi selama 3 – 5 hari pada 37 °C dengan 5

% CO2. Jumlah koloni bakteri yang tumbuh dihitung sehingga dapat ditentukan

dosis radiasi yang menyebabkan kematian 50% (Lethal Dose50, LD50).

Uji in vivoB. abortus iradiasi ke marmot (Cavia cobaya)

Metode pengujian in vivo merupakan modifikasi OIE (2009). Pengujian ini

digunakan untuk mengetahui efek pemberian strain B. abortus iradiasi yang

dilemahkan sebagai kandidat vaksin. Pada penelitian ini menggunakan 8 ekor

marmot jantan dengan bobot badan kira – kira 650 gram. Marmot diaklimatisasi

selama 1 minggu sebelum penelitian dan dibagi dalam 8 kelompok (Tabel 2).

Tabel 2 Kelompok, volume dan dosis bakteri perlakuan pada uji in vivo

Keterangan : SC = subcutan; IM = intramuscular

(40)

Jumlah CFU/ml dihitung dengan pengenceran berseri berdasarkan

standard plate counts pada media TSA untuk mengkonfirmasi perkiraan jumlah

koloni tersebut (Olsen 2000). Pengujian dilakukan selama 3 minggu. Kelompok

kontrol negatif (KVIII) dipelihara diruang terpisah dari kelompok lainnya.

Marmot diberi pakan rumput, ubi dan konsentrat.

Pengambilan data serum dilakukan setiap minggu yaitu pada minggu ke 0

(sebelum perlakuan), minggu ke-1, minggu ke-2, dan minggu ke-3. Marmot dibius

terlebih dahulu untuk pengambilan darah dengan ketamin dosis 40 mg/kg berat

badan dan xylazin dosis 5 mg/kg berat badan secara intraperitoneal (Meredith &

Redrobe 2002).

Tiga minggu setelah infeksi, semua marmot dieuthanasi dengan pemberian

ketamin dan xylacin. Limpa dari marmot diambil secara aseptik selanjutnya

ditimbang dan dibuat suspensi dan dibiakkan pada media TSA yang ditambahkan

Brucella selective supplement. Sampel serum dipisahkan dari darah kemudian

disimpan pada suhu - 20°C untuk pemeriksaan serologi RBT dan CFT. Parameter

yang digunakan untuk mengetahui uji ini yaitu pengamatan lesi (pembesaran

limpa dan atau nodul), jumlah koloni per gram limpa dan perbandingan berat

limpa/bobot badan.

Perhitungan bakteri dalam limpa marmot. Masing-masing limpa

dilepaskan secara aseptik dan ditimbang beratnya. Selanjutnya limpa dihancurkan

menggunakan pelumat secara aseptik dengan menambahkan larutan saline 1 : 1

kemudian suspensi limpa dibuat seri pengenceran. Setiap pengenceran dikultur

pada media TSA yang ditambahkan Brucella selective supplement kemudian

diratakan dengan spreader dan diamkan beberapa menit. Bakteri diinkubasi pada

37 ºC selama 3 – 4 hari di inkubator CO2 dengan 5 % CO2. Jumlah koloni Brucella

per gram limpa yang tumbuh dilakukan penghitungan (Alton et al. 1988; OIE

2009).

Analisis data

Data yang diperoleh dianalisa menggunakan statistik deskriptif dengan

menyajikan dalam bentuk tabel dan grafik serta dianalisa menggunakan software

(41)
(42)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Koleksi sampel

Sampel lapang untuk penyaringan brucellosis diperoleh dari susu, cairan

amnion dan cairan higroma (Tabel 3). Sampel susu diuji dengan MRT dengan

hasil pemeriksaan positif apabila adanya warna biru pada lapisan krim (Gambar 2)

Hasil MRT menunjukkan sebanyak 51 sampel negatif, 15 sampel positif +, 10

sampel positif ++, 12 sampel positif +++, dan 3 sampel positif ++++. Sampel

susu, higroma dan cairan amnion dilakukan pengujian serologi terhadap serum

dengan uji RBT. Hasil RBT positif ditandai dengan adanya aglutinasi, dan negatif

apabila tidak adanya aglutinasi (Gambar 3). Hasil uji RBT susu diperoleh 2

sampel positif (+1), 3 sampel positif (+2) dan 2 sampel positif (+3). Selanjutnya

sampel susu RBT positif dikonfirmasi dengan CFT. Pada uji CFT diperoleh 5

sampel positif terhadap uji CFT. Hasil uji CFT serum positif ditandai dengan tidak

terjadinya hemolisis, sedangkan serum negatif ditandai dengan terjadinya

hemolisis (Gambar 4). Uji RBT pada cairan amnion menunjukkan hasil negatif.

Pada sampel cairan higroma tidak semua serum diperoleh. Serum yang diperoleh

sebanyak 5 buah serum. Pemeriksaan RBT dari serum sampel cairan higroma

diperoleh hasil 3 sampel negatif (-), 1 sampel positif (+1) dan 1 sampel positif

(+3). Dua sampel cairan higroma positif RBT tersebut dilakukan uji konfirmasi

dengan CFT dan hasilnya positif terhadap uji CFT. Hasil uji MRT, RBT dan CFT

ditunjukkan pada Tabel 4.

Tabel 3 Sampel, hewan, lokasi pengambilan dan jumlah sampel lapang pada uji penyaringan brucellosis

Sampel Hewan Lokasi Pengambilan Jumlah

Susu Sapi perah Bandung, Jawa Barat 91

Cairan amnion Sapi simental Sampel diagnostik Bbalitvet Bogor 1

(43)

Gambar 2 Milk Ring Test (MRT) positif yang ditandai dengan warna biru (cincin biru) pada lapisan krim.

Gambar 3 Rose Bengal Test (RBT) positif yang ditandai dengan aglutinasi dan negatif ditandai dengan tidak terjadi aglutinasi.

(44)

Isolasi B. abortus

Sampel yang digunakan pada penelitian ini merupakan sampel dari Balai

Besar Penelitian Veteriner (Bbalitvet). Berdasarkan hasil isolasi yang diperoleh

(Tabel 4) selanjutnya dipilih masing – masing 1 sampel untuk digunakan

penelitian (Tabel 5).

Tabel 4 Hasil pemeriksaan MRT, RBT dan CFT sampel susu, cairan amnion dan cairan higroma

Tabel 5 Sampel lapang yang digunakan pada penelitian

Sampel Kode sampel Pemeriksaan

Identifikasi digunakan untuk membuktikan bahwa bakteri yang diisolasi

murni B. abortus. Hasil kultur B. abortus pada media TSA memperlihatkan

gambaran makroskopik yaitu bentuk koloni bulat, halus, permukaan cembung

dan tepi rata (Gambar 5). Sampel dari cairan amnion mempunyai kecenderungan

(45)

Gambar 5 Kultur B. abortus isolat lapang pada media TSA.

Hasil pemeriksaan mikroskopik dengan pewarnaan Gram (Gambar 6)

menunjukkan bakteri tampak berwarna merah, Gram negatif, berbentuk

kokobasilus (batang pendek), tidak bergerak, dan memiliki kecenderungan

sendiri-sendiri ataupun berpasangan.

Gambar 6 Bakteri Brucella hasil pewarnaan Gram dilihat pada mikroskop perbesaran 10x100.

Tabel 6 Identifikasi B. abortus isolat lapang

Kode sampel Pewarnaan

Gram

Uji

Oxidase

Uji

Katalase Uji

Sitrat

SBDG-13C Gram negatif + + -

CAM-08/306 Gram negatif + + -

CH09-BL Gram negatif + + -

(46)

a. b. c.

Gambar 7 Pengujian bakteri yang diisolasi dari susu, cairan amnion dan cairan higroma.

a. Warna biru keunguan di kertas saring pada uji oksidase

b. Terbentuknya gelembung udara di gelas objek pada uji katalase c. Tidak ada perubahan warna pada media Simmon’s citrate agar

Hasil identifikasi biokimiawi ketiga isolat menunjukkan hasil positif pada

uji oksidase, katalase dan hasil negatif pada uji sitrat yang dapat dilihat pada

Tabel 6 dan Gambar 7.

Penentuan biotyping B. abortus terhadap ketiga isolat dapat dilihat pada

Tabel 7 dan Gambar 8 dimana semua isolat membutuhkan CO2 dalam

pertumbuhannya, memproduksi gas H2S, mempunyai kemampuan menghidrolisis

urea, tidak tumbuh pada zat warna basic fuchsin dan tumbuh pada zat warna

thionin. Serta pada uji aglutinasi dengan Brucella monospesific A serum

menunjukkan positif sedangkan dengan Brucella monospesific M serum

menunjukkan hasil negatif. Berdasarkan hasil uji-uji diatas isolat B. abortus

SBDG-13C, CAM-08/306 dan CH09-BL termasuk dalam B. abortus biovar 1.

Tabel 7 Hasil Biotyping tiga isolat lapang B. abortus

Isolat Penggunaan CO2

Produksi

H2S

Aktivitas

Urease

Pertumbuhan Aglutinasi

Thionin BasicFuchin A M

SBDG-13C + + + - + + -

CAM-08/306 + + + - + + -

CH09-BL + + + - + + -

Biovar 1 + + + - + + -

(47)

a b

c

d

Gambar 8 Pertumbuhan B. abortus pada beberapa media pengujian.

a. Warna kertas saring menjadi hitam kecoklatan pada TSA miring b. Warna purple – pink pada media urea agas base

c. Pertumbuhan bakteri pada TSA yang mengandung basic Fuchsin d. Tidak ada pertumbuhan bakteri pada TSA yang mengandung

thionin

Keterangan : 1. B. abortus SBDG-13C; 2. CAM-08/306; 3. CH09-BL

Iradiasi B. abortus

Pada penelitian ini dibuat kurva standar untuk menghitung jumlah bakteri

Brucella secara tidak langsung. Penentuan jumlah bakteri yang akan diradiasi

dengan memasukkan nilai absorbansi ke dalam persamaan kurva seperti terlihat

pada Gambar 9.

Efek radiasi sinar Gamma terhadap viabilitas B. abortus dapat dilihat pada

Gambar 10 dan diperoleh persamaan regresi masing – masing isolat yaitu

CAM-08/306 y = -0.021x - 0.0158, R² = 0.99; CH09-BL y = -0.0193x - 0.0704, R² =

0.97; dan SBDG-13C y = -0.0136x - 0.0574, R² = 0.90. Dengan persamaan regresi

tersebut dapat ditentukan nilai LD50 isolat CAM-08/306, CH09-BL dan

SBDG-13C berturut turut adalah: 13,5 ;11,9; dan 17,9 Gy. Dosis tersebut selanjutnya

digunakan sebagai dosis untuk melemahkan B. abortus isolat lapang sebagai

(48)

a.

b. c. Gambar 9 Kurva standar B. abortus.

a. SBDG-13C; b. CAM-08/306; c. CH09-BL

Gambar 10 Efek radiasi sinar Gamma pada isolat B. abortus SBDG-13C, CAM-08/306 dan CH09-BL.

Keterangan: N = suspensi bakteri radiasi; No= suspensi bakteri tidak radiasi

Uji in vivoB. abortusiradiasi ke marmot (Cavia cobaya)

Kelompok perlakuan marmot yang digunakan pada uji in vivo terdiri atas

8 kelompok yaitu kelompok I (KI, diinfeksi B. abortus SBDG-13C strain

lapang), kelompok II (KII, diinfeksi B. abortus CH09-BL strain lapang),

kelompok III (KIII, diinfeksi B. abortus CAM-08/306 strain lapang), kelompok

IV (KIV, diinfeksi B. abortus SBDG-13C iradiasi), kelompok V (KV,diinfeksi B.

abortus CH09-BL iradiasi), kelompok VI (KVI, diinfeksi B. abortus

CAM-08/306 iradiasi), kelompok VII (KVII, diinfeksi vaksin B. abortus strain S19) dan

kelompok VIII (KVIII, kontrol negatif). Sebanyak 32 buah serum marmot

perlakuan diperiksa secara serologi terhadap terhadap B. abortus menggunakan

metode RBT. Delapan buah serum memberikan hasil positif RBT kemudian

pengujian dilanjutkan ke uji CFT dan sebanyak 6 serum memberikan positif CFT

(49)

Tabel 8 Pengaruh infeksi B. abortus terhadap hasil pemeriksaan serologi RBT

Keterangan : KI (diinfeksi B. abortus SBDG-13C strain lapang), KII (diinfeksi B. abortus CH09-BL strain lapang), KIII (diinfeksi B. abortus CAM-08/306 strain lapang), KIV (diinfeksi B. abortus SBDG-13C iradiasi), KV (diinfeksi B. abortus CH09-BL iradiasi), KVI (diinfeksi B. abortus CAM-08/306 iradiasi), KVII (diinfeksi vaksin

B. abortus strain S19 atau kontrol positif) dan KVIII (kontrol negatif); - : negatif; NA : Not analyzed.

Tabel 9 Pengaruh infeksi bakteri Brucella terhadap rasio berat limpa/bobot badan marmot (Cavia cobaya)

Keterangan : KI (diinfeksi B. abortus SBDG-13C strain lapang), KII (diinfeksi B. abortus CH09-BL strain lapang), KIII (diinfeksi B. abortus CAM-08/306 strain lapang), KIV (diinfeksi B. abortus SBDG-13C iradiasi), KV (diinfeksi B. abortus CH09-BL iradiasi), KVI (diinfeksi B. abortus CAM-08/306 iradiasi), KVII (diinfeksi vaksin

B. abortus strain S19 atau kontrol positif) dan KVIII (kontrol negatif).

Perlakuan Dosis bakteri(CFU)/marmot Rasio berat limpa/bobot badan

Gambar

Tabel 1  Karakteristik biovar spesies dari genus Brucella
Gambar 1  Peta situasi brucellosis di Indonesia sampai tahun 2011
Tabel 2  Kelompok, volume dan dosis bakteri perlakuan pada uji in vivo
Gambar 2  Milk Ring Test  (MRT) positif yang ditandai dengan warna biru (cincin
+7

Referensi

Dokumen terkait

Abstrak: Penelitian ini menggunakan reaktor berupa teknologi Downflow Hanging Sponge (DHS) yang akan dimodifikasi menjadi sistem sederhana dalam bentuk tray

Perubahan biologis, psikologis, dan kogni ologis, dan kognitif tif berhubungan deng berhubungan dengan remaja dan memiliki an remaja dan memiliki efek langsung pada status

Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan Wahyudi tahun 2006 dengan judul “Hubungan antara pengetahuan tentang penyakit TB Paru

Beberapa peralatan yang diperlukan dalam sistem penyediaan air bersih yang menggunakan sumur sebagai sumber air di antaranya adalah pompa sumur, tangki penampung air,

Sebaliknya manusia yang tujuannya mencari keuntungan sendiri, bahkan dilakukan dengan menjual ayat-ayat Allah, menjual diri dengan kekafiran, menukarkan iman dengan kekafiran,

Wawasan teologis dalam etika bisnis diperlukan untuk mengkaji seberapa dalam dan kuat terkait implikasinya, karena bagaimanapun aktivitas kolektif kehidupan tidak bisa dipisahkan

Oleh karena itu pada penelitian ini akan meneliti tentang kompetensi profesional dan pedagogik guru Pendidikan Agama Islam terhadap motivasi belajar dan hasil belajar siswa di SMAN

Sebagai pangan fungsional, bagian daun, kulit batang, biji hingga akar dari tanaman kelor tidak hanya sebagai sumber nutrisi tetapi juga berfungsi sebagai herbal