• Tidak ada hasil yang ditemukan

Spatial Modelling for Distribution and Habitat Suitability of Invasive Alien Species Kirinyuh (Austroeupatorium inulifolium (Kunth) R. M. King & H. Rob) in Mandalawangi Resort Gunung Gede Pangrango National Park.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Spatial Modelling for Distribution and Habitat Suitability of Invasive Alien Species Kirinyuh (Austroeupatorium inulifolium (Kunth) R. M. King & H. Rob) in Mandalawangi Resort Gunung Gede Pangrango National Park."

Copied!
208
0
0

Teks penuh

(1)

PEMODELAN SPASIAL SEBARAN DAN KESESUAIAN

HABITAT SPESIES TUMBUHAN ASING INVASIF KIRINYUH

(Austroeupatorium inulifolium (Kunth) R. M. King & H. Rob)

DI RESORT MANDALAWANGI TAMAN NASIONAL

GUNUNG GEDE PANGRANGO

MARLENNI HASAN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pemodelan Spasial Sebaran dan Kesesuaian Habitat Spesies Tumbuhan Asing Invasif Kirinyuh (Austroeupatorium inulifolium (Kunth) R. M. King & H. Rob) di Resort Mandalawangi Taman Nasional Gunung Gede Pangrango adalah karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juli 2012

Marlenni Hasan

(3)

ABSTRACT

MARLENNI HASAN. Spatial Modelling for Distribution and Habitat Suitability of Invasive Alien Species Kirinyuh (Austroeupatorium inulifolium (Kunth) R. M. King & H. Rob) in Mandalawangi Resort Gunung Gede Pangrango National Park. Under direction of AGUS HIKMAT and LILIK BUDI PRESETYO.

The existence of invasive alien species influenced the ecosystem, and at the same time could not be controlled. This could cause disturbance of ecosystem function and also declined forest value, ecologically and economically. Some national parks have been facing serious threat caused by invasive alien species and 37 species were identified in Gunung Gede Pangrango National Park (GGPNP). It is important to carry out this research in GGPNP since the information on the distribution and habitat suitability for invasive alien species, especially for kirinyuh, is still limited. The objectives of this research were to determine the distribution and habitat suitability model for kirinyuh and the suitability degree of GGPNP as habitat for kirinyuh. Binary Logistic Regression Analysis and Principal Component Analysis were used to predict probability of habitat suitability for kirinyuh. Fifty percent of recorded data was used to build a predictive model and the rest was used to validate the model. Habitat requirements were analyzed and quantified from digital topographic maps, ASTER DEM and Landsat 7 ETM+. The result showed that predictive model of habitat suitability for kirinyuh was affected by elevation, NDMI, NDVI, distance to farmland and distance to trail. The result suggested Principal Component Analysis was more appropriate for spatial modelling than Binary Logistic Regression.

(4)

MARLENNI HASAN. Pemodelan Spasial Sebaran dan Kesesuaian Habitat Spesies Tumbuhan Asing Invasif Kirinyuh (Austroeupatorium inulifolium (Kunth) R. M. King & H. Rob) di Resort Mandalawangi Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Dibimbing oleh AGUS HIKMAT dan LILIK BUDI PRESETYO.

Beberapa kawasan konservasi seperti taman nasional di Indonesia telah menghadapi masalah dengan menginvasinya spesies tumbuhan asing ke dalam kawasan, salah satunya adalah di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP). Saat ini di TNGGP telah ditemukan 37 spesies tumbuhan asing, 7 diantaranya bersifat invasif dan salah satu yang dominan adalah kirinyuh (Austroeupatorium inulifolium (Kunth) R. M. King & H. Rob).

Penelitian tentang spesies-spesies tumbuhan asing invasif sudah banyak dilakukan di berbagai tempat termasuk di beberapa kawasan taman nasional di Indonesia, namun data mengenai distribusi spasial dan kesesuaian habitat tumbuhan invasif yang sangat diperlukan sebagai data dasar dalam pengelolaan spesies tersebut masih sangat minim bahkan belum ada sama sekali. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk mendapatkan informasi faktor-faktor habitat yang penting bagi suatu spesies adalah pemodelan berbasis Sistem Informasi Geografis (SIG).

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk: 1) mengidentifikasi sebaran dan faktor-faktor yang mempengaruhi tempat tumbuh kirinyuh, 2) membangun model spasial sebaran dan kesesuaian habitat kirinyuh, 3) merumuskan strategi pengendalian dan pengelolaan spesies asing invasif di TNGGP.

Penelitian dilaksanakan di kawasan hutan sepanjang jalur pendakian Cibodas Resort Mandalawangi TNGGP. Analisis data dilakukan di Laboratorium Analisis Spasial Lingkungan, Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Data yang dikumpulkan adalah titik koordinat kehadiran dan ketidakhadiran kirinyuh yang berada di dalam plot pengamatan yang dibuat secara sistematis dan titik kehadiran kirinyuh di sepanjang jalur pendakian serta data variabel atau faktor-faktor penentu keberadaan dan kesesuaian habitat kirinyuh yang terdiri dari ketinggian tempat (elevation), kemiringan lereng (slope), arah kemiringan lereng (aspect), penutupan vegetasi (NDVI), kelembaban vegetasi (NDMI), suhu, jarak terdekat dari jalan trail, jarak terdekat dari kebun/aktivitas manusia. Data titik-titik koordinat tersebut kemudian diverifikasi menggunakan data citra melalui analisis spasial menggunakan ArcGis dan Erdas untuk mendapatkan nilai-nilai peubah faktor-faktor penentu keberadaan dan kesesuaian habitat kirinyuh. Analisis data yang digunakan untuk membangun model sebaran dan kesesuaian habitat kirinyuh terdiri dari dua yaitu Analisis Regresi Logistik Biner dan Analisis Komponen Utama.

(5)

yang bergunung menimbulkan kemiringan lereng yang bervariasi pada setiap bagiannya. Berdasarkan hasil penelitian terlihat bahwa kirinyuh merata ditemukan pada kemiringan lereng 8-15% (landai), 15-25% (agak curam) dan 25-40% (curam) dengan arah kemiringan lereng terbanyak pada arah utara dan selatan hingga barat daya. Hasil penilaian terhadap faktor suhu menunjukkan kirinyuh banyak ditemukan pada kisaran suhu 18 – 25 º C. Hasil penelitian terhadap faktor tutupan vegetasi berdasarkan nilai Normalization Difference Vegetation Infrared

(NDVI) dan pengaruh kelembaban vegetasi berdasarkan nilai Normalized Difference Moisture Index (NDMI) menunjukkan bahwa kirinyuh banyak ditemukan pada indeks vegetasi (NDVI) hampir merata di nilai 0,2 hingga >0,4 dan nilai kelembaban vegetasi (NDMI) pada kisaran nilai 0,1– 0,2. Hasil penilaian terhadap faktor atau peubah jarak kebun menunjukkan bahwa kirinyuh banyak ditemukan pada kondisi dekat dengan jalan trail dan kebun.

Penghitungan nilai variabel prediktor dengan taraf kepercayaan 95%, menghasilkan konstanta persamaan regresi logistik ( 0) sebesar 19,455. Nilai dan

bentuk persamaan regresi logistik yang merupakan model kesesuaian habitat kirinyuh adalah:

Z = 19,455-(30,571*ndvi)-(28,092*ndmi)-(64,988*jt)

Koefisien regresi variabel NDVI sebesar -30,571 menunjukkan bahwa semakin tinggi nilai NDVI atau semakin tingginya derajat kehijauan suatu vegetasi (berhutan), maka semakin kecil kemungkinan kehadiran kirinyuh. Koefisien regresi variabel NDMI sebesar -28,092 menunjukkan bahwa semakin tinggi nilai NDMI atau semakin tingginya derajat kelembaban vegetasi, maka semakin kecil kemungkinan kehadiran kirinyuh begitupula dengan interpretasi yang sama terhadap nilai koefisien regresi variabel untuk jarak ke jalan trail sebesar -64,988. Penurunan nilai -2 Log Likelihood dari 133,084 menjadi 87,806 dengan signifikansi 0,000 (< 0,05) menunjukkan bahwa model regresi layak untuk digunakan. Hasil uji Hosmer and Lemeshow dengan signifikansi sebesar 0,888 (>0,05) menunjukkan variabel prediktor yang dipergunakan cocok (fit) dengan model yang disusun. Nilai Negelkerke R2 sebesar 0,501 (50,1%) menunjukkan bahwa 50,1% kesesuaian habitat kirinyuh dapat dijelaskan oleh variabel yang dipergunakan di dalam model, sementara 49,9% lainnya dijelaskan oleh variabel lain yang tidak termasuk ke dalam model.

Hasil Analisis Komponen Utama yang dilakukan terhadap faktor peubah yang mempengaruhi tempat tumbuh kirinyuh menunjukkan bahwa dari 8 faktor lingkungan fisik yang diamati dapat dikelompokkan menjadi 3 faktor komponen utama. Hal ini diindikasikan dengan eigenvaluenya > 1. Ketiga komponen baru tersebut dapat menjelaskan sebesar 73,506 % dari variabilitas keseluruhan variabel faktor yang diamati (Tabel 3).

(6)

Berdasarkan hasil tersebut dapat dikatakan bahwa variabel elevasi dan jarak kebun mempunyai hubungan positif yang tinggi terhadap komponen utama pertama. Sedangkan variabel NDVI mempunyai hubungan positif yang tinggi terhadap komponen kedua. Dan terakhir variabel NDMI dan nilai jarak dari sungai dan kemiringan lereng mempunyai hubungan positif yang tinggi terhadap komponen utama ketiga. Persamaan model kesesuaian habitat kirinyuh berdasarkan Analisis Komponen Utama adalah:

Persamaan diatas menunjukkan bahwa elevasi, jarak kebun dan NDVI mempunyai koefisien (bobot) yang paling tinggi diantara variable yang lain, dimana Y adalah Indeks Kesesuaian Habitat dan nilai variabel yang dimasukkan adalah skor dari masing-masing variabel yang terdapat di dalam persamaan tersebut.

Hasil validasi model menunjukkan bahwa model yang dibangun berdasarkan Analisis Regresi Logistik Biner menghasilkan 3 (tiga) kelas kesesuaian habitat kirinyuh yaitu pada kelas tinggi, sedang dan rendah sedangkan pada model yang dibangun berdasarkan Analisis Komponen Utama hanya menghasilkan 2 (dua) kelas kesesuaian yaitu tinggi dan sedang. Jika ditinjau lebih lanjut berdasarkan jumlah titik kirinyuh yang seharusnya tidak berada pada kelas kesesuaian rendah seperti yang ditemukan pada hasil validasi model berdasarkan Analisis Regresi Logistik Biner maka dapat dikatakan bahwa model yang dibangun untuk memprediksi sebaran dan kesesuaian habitat kirinyuh berdasarkan Analisis Komponen Utama adalah model yang lebih sesuai dibandingkan model yang dibangun berdasarkan Analisis Regresi Logistik Biner.

Ada beberapa hal yang dapat dilakukan sebagai upaya atau strategi dalam pengendalian dan pengelolaan spesies tumbuhan asing invasif pada kawasan koservasi khususnya di TNGGP yaitu 1) pencegahan; 2) pengendalian dan 3) monitoring dan evaluasi.

Beberapa hal yang dapat dijadikan saran berdasarkan hasil penelitian ini adalah bahwa pemodelan sebaran dan kesesuaian habitat kirinyuh menjadi sangat penting untuk upaya pengelolaan dan pengendalian jenis tumbuhan asing di TNGGP, oleh karena itu model ini dapat digunakan sebagai bahan masukan strategis bagi pengelolaan jenis tumbuhan asing invasif di TNGGP secara umum, selain itu pengembangan model dapat dilakukan dengan penelitian lanjutan dengan memasukkan faktor-faktor prediktor lain yang dianggap berpengaruh dalam sebaran dan keseuaian habitat kirinyuh, selain itu hal penting yang perlu diteliti lebih lanjut adalah mengenai bioekologi dari kirinyuh itu sendiri .

(7)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(8)

PEMODELAN SPASIAL SEBARAN DAN KESESUAIAN

HABITAT SPESIES TUMBUHAN ASING INVASIF KIRINYUH

(Austroeupatorium inulifolium (Kunth) R. M. King & H. Rob)

DI RESORT MANDALAWANGI TAMAN NASIONAL

GUNUNG GEDE PANGRANGO

MARLENNI HASAN

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesi pada Program Studi Konservasi Keanekaragaman Hayati

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)
(10)

inulifolium (Kunth) R. M. King & H. Rob) di Resort Mandalawangi Taman Nasional Gunung Gede Pangrango

Nama : Marlenni Hasan

NRP : E353100105

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Agus Hikmat, M.Sc.F Ketua

Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi

Konservasi Keanekaragaman Hayati

Dr. Ir. Agus Priyono Kartono, M.Si

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

(11)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan kasih karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan Tugas Akhir ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesi dari Institut Pertanian Bogor.

Tugas Akhir dengan judul Pemodelan Spasial Sebaran dan Kesesuaian Habitat Spesies Tumbuhan Asing Invasif Kirinyuh (Austroeupatorium inulifolium

(Kunth) R. M. King & H. Rob) di Resort Mandalawangi Taman Nasional Gunung Gede Pangrango disusun sebagai salah satu upaya untuk memperoleh data dasar mengenai distribusi spasial dan kesesuaian habitat tumbuhan asing invasif khususnya kirinyuh yang sangat diperlukan dalam pengelolaan dan pengendalian spesies tumbuhan asing invasif di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.

Penulis menyadari bahwa Tugas Akhir ini masih jauh dari sempurna, namun penulis berharap semoga hasil karya ini dapat bermanfaat bagi upaya pengelolaan dan pengendalian spesies tumbuhan asing invasif di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dan sekitarnya pada khususnya, serta kawasan konservasi lainnya pada umumnya.

Bogor, September 2012

(12)

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan kasih karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan Tugas Akhir ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesi dari Institut Pertanian Bogor. Selesainya Tugas Akhir ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, untuk itu saya mengucapkan terimakasih kepada: 1. Ayahanda Ignatius Soeradji dan Ibunda Marlius yang senantiasa mendoakan

dan memberikan semangat kepada penulis.

2. Suami tercinta Stefanus Adi Krisviyanto dan putri tercinta Regina Ayu Putri Adini yang dengan sabar dan setia memberikan cinta, pengertian, waktu dan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan penyusunan Tugas Akhir ini. 3. Adik-adikku tercinta yang turut mendoakan penulis.

4. Direktur Jenderal PHKA Kementerian Kehutanan, Kepala Pusat Diklat Kehutanan, Sekretaris Direktorat Jenderal PHKA, Kepala Bagian Kepegawaian dan Perlengkapan Sekdirjen PHKA, Kepala Subag Administrasi Kepegawaian, Kepala Subag Pengembangan Pegawai dan Jabatan Fungsional atas kesempatan dan beasiswa yang diberikan kepada saya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang S2.

5. Kepala Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango serta jajarannya yang telah memberikan izin, rekomendasi dan motivasi kepada penulis untuk mengikuti program pendidikan di Institut Pertanian Bogor.

6. Dr. Ir. Agus Hikmat, M.Sc.F dan Prof.Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc. atas bimbingan yang diberikan dari awal penelitian hingga selesainya penulisan Tugas Akhir ini.

7. Ibu Syartinilia selaku dosen tamu mata kuliah GIS yang telah memberikan inspirasi untuk melakukan penelitian ini, serta atas masukan dan kesediannya berdiskusi melalui berbagai media di setiap kesempatan

(13)

9. Rekan-rekan seperjuangan di Program Profesi KKH 2010 atas kebersamaan dan persaudaraannya.

10.Tim GIS Laboratorium Analisis Spasial Lingkungan Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan IPB (Nana, Irham, Angga, Agus, Age, Mahdi).

11.Bapak Sofwan, Bi Uum, Pak Udin, Rekan-rekan KVT, Rekan-rekan MEJ, Rekan-rekan Forum Pascasarjana Kementerian Kehutanan, serta Keluarga Besar DKSHE Fahutan IPB.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu memberikan kesehatan, kebahagiaan dan perlindungan kepada kita semua.

Bogor, September 2012

(14)

Penulis dilahirkan di Ambon pada tanggal 15 Maret 1974 dan merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Pada tahun 1986 penulis lulus dari SD Negeri IV di Ambon dan pada tahun yang sama masuk SMP Negeri II Ambon dan lulus pada tahun 1989. Tahun 1989 penulis melanjutkan sekolah pada SMA Negeri I Ambon dan lulus pada tahun 1992. Setelah lulus dari SMA penulis melanjutkan studi di Fakultas Biologi Universitas Atma Jaya Yogyakarta dan lulus pada tahun 1998.

(15)

[i]

2.1 Bioekologi Kirinyuh (Austroeupatorium inulifolium) ... 7

2.1.1 Taksonomi ... 7

2.1.2 Morfologi ... 7

2.1.3 Ekologi dan Penyebaran ... 8

2.2 Spesies Tumbuhan Asing Invasif ... 9

2.3 Peraturan dan Kebijakan Terkait Spesies Asing Invasif ... 10

2.4 Analisis dan Pemodelan Spasial Kesesuaian Habitat ... 14

III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN ... 17

3.2 Sejarah Introduksi Spesies Tumbuhan Asing Invasif di TNGGP .... 24

(16)

[ii]

5.1 Penilaian Titik Kehadiran dan Ketidakhadiran ... 45

5.2 Sebaran Kirinyuh Berdasarkan Faktor Penentu Kesesuaian Habitat 45 5.2.1 Ketinggian Tempat (Elevation) ... 45

5.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nilai Variabel Prediktor ... 79

5.5 Strategi Pengendalian dan Pengelolaan ... 80

VI. SIMPULAN DAN SARAN ... 85

6.1 Simpulan ... 85

6.2 Saran ... 86

DAFTAR PUSTAKA ... 87

(17)

[iii]

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Peubah-peubah ekologi sebagai variabel-variabel penduga ... 38

2 Taraf signifikan dan koefisien regresi variabel prediktor tahap enter 1 ... 69

3 Taraf signifikan dan koefisien regresi variabel prediktor tahap enter 2 ... 69

4 Taraf signifikan dan koefisien regresi variabel prediktor tahap enter 3 ... 70

5 Kelas kesesuaian habitat kirinyuh beserta luas areal ... 72

6 Keragaman total komponen utama ... 73

7 Vektor ciri PCA ... 73

8 Koefisien tiap variabel kesesuaian habitat kirinyuh ... 74

9 Skor variabel/faktor kesesuaian habitat ... 75

(18)

[iv]

Halaman

1 Kerangka pemikiran penelitian ... 6

2 Spesies tumbuhan asing kirinyuh (Austroeupatorium inulifolium) .... 8

3 Peta penyebaran spesies tumbuhan asing invasif di TNGGP ... 29

4 Peta area studi Resort Cibodas TNGGP ... 33

5 Bentuk petak pengamatan ... 36

6 Peta sebaran titik objek pada plot contoh ... 46

7 Peta lokasi titik kehadiran kirinyuh ... 47

8 Peta lokasi titik ketidakhadiran kirinyuh ... 48

9 Peta sebaran kirinyuh berdasarkan ketinggian tempat ... 49

10 Jumlah titik kirinyuh berdasarkan ketinggian tempat ... 50

11 Peta sebaran kirinyuh berdasarkan kemiringan lereng ... 52

12 Jumlah titik kirinyuh berdasarkan kemiringan lereng ... 53

13 Nilai aspect berdasarkan arah kompas ... 53

14 Peta sebaran kirinyuh berdasarkan arah kemiringan lereng ... 55

15 Jumlah titik kirinyuh berdasarkan arah kemiringan lereng ... 56

16 Peta sebaran kirinyuh berdasarkan suhu ... 57

22 Jumlah titik kirinyuh berdasarkan jarak jalan trail ... 64

23 Peta sebaran kirinyuh berdasarkan jarak jalan trail ... 65

24 Jumlah titik kirinyuh berdasarkan jarak kebun ... 66

25 Peta sebaran kirinyuh berdasarkan jarak kebun ... 67

26 Peta kesesuaian habitat kirinyuh berdasarkan Analisis Regresi Logistik ... 76

(19)

[v]

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Data keseluruhan titik koordinat kirinyuh ... 95

2 Data titik koordinat Analisis Regresi Logistik Biner ... 102

3 Data titik koordinat Analisis Komponen Utama ... 106

4 Hasil Analisis Regresi Logistik Biner ... 108

(20)

1.1. Latar Belakang

Indonesia menduduki posisi yang penting dalam peta keanekaragaman hayati di dunia karena termasuk dalam sepuluh negara dengan keanekaragaman hayati yang tinggi (Indrawan et al. 2007). Keanekaragaman hayati tersebut memiliki peran yang sangat berarti bagi kehidupan manusia dan lingkungan, antara lain sebagai sumber pangan dan obat-obatan, menjadi reservoir air, menjaga siklus karbon dan lain sebagainya.

Saat ini keanekaragaman hayati mengalami penurunan yang cukup tinggi, yang apabila tidak segera dihentikan akan mengalami penurunan secara terus menerus dan diperkirakan sekitar 20-70 persen habitat asli telah lenyap (KLH, 2011). Kemerosotan keanekaragaman hayati antara lain disebabkan oleh kerusakan habitat akibat kegiatan konservasi lahan dan eksploitasi yang berlebihan serta adanya spesies asing invasif.

Tjitrosemito (2004 b) menyebutkan bahwa tumbuhan asing atau eksotik yang bersifat invasif atau lebih dikenal dengan invasive alien plant species (IAS)

adalah spesies tumbuhan yang tumbuh di luar habitat aslinya yang berkembang pesat dan menimbulkan gangguan dan ancaman kerusakan bagi ekosistem, habitat dan spesies tumbuhan lokal dan berpotensi menghancurkan habitat tersebut. Keberadaan tumbuhan asing dalam waktu yang lama akan mempengaruhi keanekaragaman hayati di kawasan konservasi. Invasi yang dilakukan oleh spesies tumbuhan asing invasif tersebut dapat mengubah relung spesies tumbuhan lokal di suatu habitat, mengubah struktur dan fungsi ekosistem dan mengganggu proses evolusi (D’Antonio & Vitousek 1992, Mack et al. 2000).

(21)

2

Nasional Gunung Gede Pangrango (BBTNGGP) ditemukan 35 spesies tumbuhan asing yang terdiri atas 7 spesies yang bersifat invasif dan 28 spesies lainnya bersifat non invasif. Dari ketujuh spesies yang bersifat invasif tersebut, kirinyuh [Austroeupatorium inulifolium (Kunth) R. M. King & H. Rob] merupakan spesies yang paling dominan ditemukan di dalam kawasan (BBTNGGP 2006).

Pengelolaan dan pengendalian invasi biologi telah menjadi tantangan besar bagi peneliti, pemerintah, dan masyarakat lainnya. Penelitian tentang spesies-spesies tumbuhan asing invasif sudah banyak dilakukan di berbagai tempat termasuk di beberapa kawasan taman nasional di Indonesia, namun data mengenai distribusi spasial dan kesesuaian habitat tumbuhan invasif yang sangat diperlukan sebagai data dasar dalam pengelolaan spesies tersebut masih sangat minim bahkan belum ada sama sekali.

Salah satu metode yang dapat digunakan untuk mendapatkan informasi faktor-faktor habitat yang penting bagi suatu spesies adalah pemodelan berbasis Sistem Informasi Geografis (SIG). Keistimewaan SIG dalam penelitian ekosistem antara lain dalam hal efisiensi dan efektifitas dalam pengumpulan, penyimpanan dan pengolahan data dalam jumlah yang besar pada cakupan wilayah ekosistem yang cukup luas (Stow 1993). Keistimewaan lain menurut Tian et al. (2008) adalah kemampuan menyediakan informasi spasial terbaru dan relevan untuk mendukung pengelolaan dan konservasi biodiversitas untuk habitat dan lingkungan yang cukup dinamis.

1.2. Perumusan Masalah

(22)

mengakibatkan biji-biji dari luar kawasan dapat masuk hingga ke bagian dalam sebagai spesies asing.

Introduksi spesies asing lebih banyak berpengaruh secara langsung pada spesies dan ekosistem. Dampak yang muncul biasanya tidak langsung terlihat. Distribusi spesies asing dapat merubah seluruh sistem dalam ekosistem, seperti sistem hidrologi, siklus nutrisi dan proses ekosistem lainnya.

Melalui pemodelan spasial distribusi dan kesesuaian habitat kirinyuh dengan menggunakan teknologi informasi spasial yang diperkuat melalui survey lapangan diharapkan dapat menjawab pertanyaan mengenai hubungan antara faktor-faktor biofisik sebagai peubah-peubah ekologi yang mempengaruhi pola distribusi dan kesesuaian habitat kirinyuh. Selanjutnya pemodelan spasial yang dibangun berdasarkan data yang diambil pada sampel lokasi yang representatif ini dapat dikembangkan untuk diterapkan pada seluruh area studi dan dikaji implikasinya untuk merumuskan masukan strategis bagi pengelolaan spesies tumbuhan asing invasif di TNGGP khususnya kirinyuh.

1.3. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengidentifikasi distribusi dan karakteristik habitat kirinyuh di Resort Mandalawangi TNGGP.

2. Membangun model spasial distribusi dan kesesuaian habitat kirinyuh di Resort Mandalawangi TNGGP.

3. Merumuskan strategi pengendalian dan pengelolaan spesies asing invasif di TNGGP.

1.4. Manfaat Penelitian

(23)

4

1.5. Hipotesis

Hipotesis dari penelitian ini adalah:

1. Pola distribusi spasial kirinyuh dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor biofisik lingkungan antara lain ketinggian (elevasi) dan kelerengan tempat (slope), arah kelerengan (aspect), land cover, suhu dan kelembaban tanah.

2. Faktor gangguan (aktivitas manusia) merupakan faktor dominan yang menyebabkan tingginya laju invasi atau distribusi kirinyuh pada suatu kawasan.

1.6. Kerangka Pemikiran

Salah satu penyebab menginvasinya tumbuhan luar (asing) yang masuk ke dalam kawasan Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango (TNGGP) adalah melalui aktivitas manusia baik berupa penanaman secara langsung di dalam kawasan (sebelum ditetapkan menjadi kawasan konservasi), seperti dikembangkannya kebun aklimatisasi di hutan Cibodas oleh Pemerintah Hindia Belanda, atau secara tidak langsung dari tumbuhan di luar hutan yang menginvasi kawasan hutan melalui biji yang menyebar secara alamiah oleh angin, hewan dan air. Tingginya kecepatan angin di wilayah ini dan banyaknya burung yang ada di kawasan ini yang mencari makan di tepi kawasan dan areal penduduk , mengakibatkan biji-biji dari luar kawasan dapat masuk hingga ke bagian dalam sebagai spesies asing.

Introduksi spesies asing lebih banyak berpengaruh secara langsung pada spesies dan ekosistem. Dampak yang muncul biasanya tidak langsung terlihat. Distribusi spesies asing dapat merubah seluruh sistem dalam ekosistem, seperti sistem hidrologi, siklus nutrisi dan proses ekosistem lainnya.

(24)

penanganan IAS harus dilakukan secara sistematis dan terencana, melalui sebuah rencana strategis yang didasarkan pada kaidah ilmiah yang memadai.

Sifat invasif suatu tumbuhan asing pada ekosistem hutan dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain adalah struktur landsekap dan gangguan yang dihadapi. Perubahan-perubahan yang terjadi pada faktor-faktor tersebut memberikan peluang besar bagi tumbuhan asing seperti kirinyuh untuk menginvasi ekosistem hutan. Sebagai upaya mitigasi invasi tumbuhan asing yang terpenting adalah mengetahui bagaimana faktor-faktor yang mempengaruhi invasi tumbuhan-tumbuhan asing tersebut. Studi mengenai pola distribusi invasi kirinyuh dan kesesuaian habitatnya dapat memberikan informasi bagaimana faktor-faktor tersebut dapat mempengaruhi proses invasi.

(25)

6

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian

Ketinggian

Pengelolaan Belum Optimal

Kaw asan

TNGGP

Invasi Spesies Asing Invasif Kirinyuh Akibat Ativitas Manusia dan Faktor Biofisik Lingkungan

Dampak Ekologi

Upaya Mitigasi Dengan Mengetahui Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Distribusi Kirinyuh

Analisis Spasial

Model Spasial Sebaran dan Kesesuaian Habitat Kirinyuh

Strategi Pengelolaan dan Pengendalian Spesies Asing Invasif TNGGP

Slope NDVI Jarak terdekat

dari jalur patroli/trek

Jarak terdekat dari pemukiman/a ktivitas manusia

(26)

2.1.1.Bioekologi Kirinyuh

2.1.2.Taksonomi

Berdasarkan taksonominya, klasifikasi kirinyuh menurut Global Invasive Species Database (modifikasi terakhir 16 Agustus 2010) adalah sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Super Divisi : Spermatophyta Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Sub Kelas : Asteridae

Ordo : Asterales

Famili : Asteraceae

Genus : Austroeupatorium

Spesies : Austroeupatorium inulifolium (Kunth) R. M. King & H. Rob

2.1.3.Morfologi

Kirinyuh adalah tumbuhan perdu dengan tinggi 1,5 – 2 meter dan kadang-kadang mencapai 6 – 7 m apabila terdapat pohon-pohon yang menompangnya. Tumbuhan bersifat herba pada waktu masih muda, kemudian berkayu dan bercabang-cabang banyak. Batang hijau, berbentuk silindris dan sedikit berbulu. Daun berhadapan, berbentuk bulat telur dengan ujung runcing, bergerigi kasar atau hampir rata dan permukaannya berbulu halus (Tjitrosoedirdjo 1989).

Bunga kirinyuh tersusun dalam tipe malai rata, terdiri atas 25-30 kepala, bunga bertangkai 1-2 cm. Kelopak 5, bunga putih keunguan dan sedikit berbau. Mahkota bunga seperti genta, berlobi 5, masing-masing lobi berbentuk segitiga. Putik berbelah 2 dan panjang. Buah bersudut, berukuran panjang 5 mm coklat atau hitam dengan rambut-rambut pendek pada sudut-sudutnya.

(27)

8

cuaca yang kering dan berangin. Penyebaran buah secara khas dilakukan oleh angin dan mungkin juga oleh binatang (Binggeli 1997).

Gambar 2 Spesies tumbuhan asing invasif kirinyuh (Austroeupatorium inulifolium (Kunth) R. M. King & H. Rob)

2.1.4.Ekologi dan Penyebaran

Kirinyuh merupakan tumbuhan asli Amerika bagian selatan (McFadyen et al. 2003). Tumbuhan ini sengaja diintroduksi ke Calcuta (India) sebagai tumbuhan hias pada tahun 1840-an yang kemudian menyebar ke Myanmar, Assam, Benggala dan Srilanka pada tahun 1920 (Tjitrosemito 1997). Setelah itu kirinyuh dengan cepat tersebar luas ke Asia Tenggara. Di Indonesia, kirinyuh pertama kali dilaporkan pada tahun 1934 dari koleksi herbarium di Lubuk Pakam Sumatera Utara oleh Van Meer Mohr dan saat ini masih berada di Herbarium Bogoriense Bogor. Saat ini, peneybaran kirinyuh meliputi seluruh wilayah Indonesia mulai dari Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara Timur, dan beberapa daerah lainnya (Tjitrosemito 1999).

(28)

kembali sesudah pemangkasan (Torres & Paller 1989). Di Afrika bagian barat, tumbuhan ini mampu menekan regenerasi spesies pohon pada daerah yang mengalami suksesi, sedangkan di Afrika bagian selatan, mengurangi keanekaragaman spesies dan merupakan ancaman pada daerah tepi hutan (Binggeli 1997).

Dibalik kerugian yang ditimbulkan oleh keberadaan kirinyuh di suatu tempat, kirinyuh juga ternyata memiliki sejumlah potensi besar yang dapat dimanfaatkan oleh manusia. Menurut Direktorat Perlindungan Perkebunan Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian (2012), dari pengolahan gulma kirinyuh dapat dihasilkan pupuk organik, biopestisida, obat, dan herbisida. Daun segarnya dipakai untuk menyembuhkan luka-luka, mengobati malaria, serta gangguan maag dan mata. Selain itu kayu dan rantingnya yang ringan sangat mudah dikeringkan untuk dijadikan kayu bakar. Hal ini tentu saja sangat menguntungkan, sekaligus dapat mengurangi dampak buruk keberadaannya. .

2.2. Spesies Tumbuhan Asing Invasif

Indrawan et all. (2007) menyebutkan bahwa spesies asing atau eksotik adalah spesies yang terdapat di luar distribusi alaminya. Akibat kegiatan manusia sebaran mereka meluas. Spesies asing yang dikenal dengan sebutan alien species, dibedakan atas dua kategori, yaitu spesies asing yang tidak bersifat invasif dan spesies asing yang bersifat invasif. Di Asia Tenggara banyak spesies tumbuhan yang termasuk kategori spesies asing seperti karet (Hevea brasiliensis), kelapa sawit (Elaeis guinensis), cabai (Capssicum annum), jagung (Zea mays) dll, namun tidak bersifat invasif sehingga keberadaannya tidak menimbulkan ancaman kerusakan bagi ekosistem, habitat dan spesies tumbuhan lokal yang ada di dalam suatu area (Utomo 2006). Menurut Tjitrosemito (2004 a) di pulau Jawa ditemui tidak kurang dari 2.000 spesies tumbuhan eksotik dan beberapa di antaranya bersifat invasif.

(29)

10

spesies tumbuhan lokal dan berpotensi menghancurkan habitat tersebut. Tumbuhan-tumbuhan ini mempunyai karakter yang menyebabkan mampu mendominasi kawasan tempat tumbuhnya yaitu :

1. Pertumbuhannya yang cepat

2. Cepat mengalami fase dewasa, sehingga cepat menghasilkan biji 3. Biji yang dihasilkan juga banyak sehingga cepat mendominasi areal

4. Metode penyebaran biji yang efektif, contoh kirinyuh (Austroeupatorium inulaefolium) dan babakoan (Eupatorium sordidum) yang bijinya ringan sehingga mudah terbawa angin; kecubung (Brugmansia suaveolens) yang banyak menyebar melalui air

5. Beberapa spesies tumbuhan eksotik tidak begitu memerlukan serangga penyerbuk karena dapat berkembang secara vegetatif, contoh : kecubung (Brugmansia suaveolens) , konyal (Passiflora suberosa).

6. Mampu menggunakan penyerbuk lokal sehingga dapat memproduksi biji 7. Cepat membentuk nuangan, produksi bunga lebih cepat daripada tumbuhan

lokal sehingga memberi perlindungan dan pangan bagi penyerbuk bila sumber pangan dari spesies tumbuhan lokal belum tersedia.

8. Selain tajuk yang rapat, perakarannya juga banyak dan rapat sehingga mendominasi perakaran di sekitarnya

9. Seringkali mempunyai allelopathy yang menghambat pertumbuhan spesies lokal, contoh : seustreum (Cestrum aurantiacum)

10. Bebas hama karena berada di luar habitat alaminya.

(30)

mendominasi. Spesies dominan ini muncul karena adanya kondisi yang tidak normal dan umumnya menginvasi kawasan yang relatif luas dan cepat.

2.3. Peraturan dan Kebijakan Terkait Spesies Asing Invasif

Beberapa upaya dalam pengelolaan keanekaragaman hayati didasarkan atas perjanjian internasional. Perjanjian multilateral yang telah diratifikasi oleh Indonesia dan berhubungan dengan Spesies tumbuhan asing invasif antara lain adalah:

Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and

Flora (CITES): CITES atau konvensi perdagangan internasional untuk

spesies-spesies tumbuhan dan satwa liar, merupakan suatu pakta perjanjian yang berlaku sejak tahun 1975 dan merupakan satu-satunya perjanjian atau traktat (treaty) global dengan fokus pada perlindungan spesies tumbuhan dan satwa liar terhadap perdagangan internasional yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, yang mungkin akan membahayakan kelestarian tumbuhan dan satwa liar tersebut. Pemerintah Indonesia telah meratifikasi konvensi tersebut dengan Keputusan Pemerintah No. 43 Tahun 1978.

CITES telah terbukti efektif dalam memberikan kontribusi terhadap konservasi flora fauna melalui sistem yang ketat terhadap izin dan penerbitan sertifikat. Hal ini juga efektif dalam hal kemampuan untuk mengendalikan perdagangan komersial jika terbukti merugikan populasi spesies, oleh karena itu konvensi ini mendukung konservasi nasional dan penegakan hukum di negara-negara anggota. Namun meskipun demikian, konvensi ini belum cukup efektif dalam mengendalikan pergerakan internasional flora fauna yang beresiko tinggi atau berpotensi invasif, terutama spesies-spesies yang tidak termasuk dalam Appendix CITES.

Convention on Biodiversity (CBD): Spesies tumbuhan asing invasif menjadi

(31)

12

pertemuan anggota CBD yang berhubungan dengan spesies tumbuhan asing invasif:

COP V Article 8 – In situ conservation: CBD pada pertemuannya di tahun 2000 (COP V) telah menghimbau negara-negara anggotanya untuk mencegah pemasukan spesies-spesies tumbuhan asing invasif yang membahayakan ekosistem, habitat maupun spesies-spesies asli (COP V article 8h).

COP VI Decision VI/23 – Alien spesies that threaten ecosystem, habitats or species: Dalam pertemuannya di tahun 2002 negara-negara anggota telah mengadopsi 15 kerangka acuan dan bimbingan untuk pencegahan, introduksi dan mitigasi dampak spesies asing yang invasive dan sejumlah keputusan lainnya untuk mengimplementasikan Article 8(h) CBD secara efektif dan maksimal.

COP VII Decision VII/13 – Alien spesies that threaten ecosystem, habitats or species: Menghasilkan beberapa artikel penting yang berhubungan dengan penilaian resiko spesies asing invasive.

COP VIII Decision VIII/27 – Alien spesies that threaten ecosystem, habitats or species: Menghasilkan rekomendasi yang berkaitan dengan beberapa jalur dan cara yang harus diperhatikan dalam introduksi spesies tumbuhan asing invasif.

COP IX Decision IX/4 – In-depth review of ongoing work on alien species that threaten ecosystems, habitats or species: Menghasilkan rekomendasi mengenai evaluasi jurang pemisah yang dimiliki antara negara maju dan berkembang didalam teknologi identifikasi dini, ilmu taksonomi mengenai spesies-spesies tumbuhan asing invasif dan teknologi pengendalian (Sastroutomo 2010).

COP X Decision X/38 – Invasive Alien Species: Menghasilkan kerangka acuan tentang teknik penanganan spesies tumbuhan asing invasif sebagai hewan peliharaan, akuarium dan terrarium spesies dan bahan umpan dan penghasil makanan.

Convention on Wetlands (Ramsar): Indonesia telah meratifikasi Konvensi

(32)

mengembangkan petunjuk dan mempromosikan protokol serta tindakan untuk mencegah, mengendalikan dan memberantas IAS dalam sistem lahan basah.

Sampai saat ini di Indonesia belum ada peraturan yang secara khusus mengatur tentang spesies tumbuhan asing invasif, meskipun banyak instansi yang terlibat antara lain : Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kehutanan, LIPI, Perguruan Tinggi, dll. Peraturan dan kebijakan nasional yang sudah dikembangkan dan berhubungan dengan spesies tumbuhan asing invasif antara lain:

1. UU No. 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam hayati dan Ekosistemnya: pada Bab IV Pasal 19 ayat 3 telah dijelaskan bahwa yang dapat merubah keutuhan kawasan suaka alam salah satunya adalah menambah spesies tumbuhan dan satwa lain yang tidak asli. Bab VII Pasal 33 ayat 2 menjelaskan bahwa menambahkan spesies tumbuhan dan satwa lain yang bukan tumbuhan dan satwa asli taman nasional merupakan salah satu penyebab perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional.

2. UU No. 12/1992 tentang Sistem Budidaya Tumbuhan: peraturan ini menekankan pada perlindungan tumbuhan untuk mencegah kerugian akibat dampak dari gulma atau tumbuhan lain yang mengganggu dan tindakan eradikasi untuk memusnahkan tumbuhan pengganggu tersebut yang mampu menyebar luas di lokasi tertentu dan menekan pertumbuhan spesies tumbuhan lainnya (Bab I Pasal 1 ayat 7,8,9), sedangkan pada Bab III pasal 10 dan 21 menjelaskan tentang mekanisme masuknya spesies asing serta monitoring dan pengelolaan gulma dan spesies asing.

(33)

14

4. Peraturan Pemerintah Nomor 27/1999 tentang Penilaian Dampak Lingkungan: menekankan pada pelaksanaan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) untuk setiap kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan termasuk introduksi tumbuhan, hewan dan genetik. Peraturan ini memmerlukan pedoman teknis penelaah resiko dan manajemen resiko yang berhubungan dengan introduksi spesies. Semua kegiatan yang berhubungan dengan introduksi spesies harus diselesaikan melalui penilaian AMDAL, namun pedoman untuk pengelolaan, penilaian dan evaluasi resiko belum ada.

5. Keputusan Menteri Kehutanan No 447/2003 tentang Tata Usaha Pengambilan atau Penangkapan dan Peredaran Tumbuhan dan Satwa Liar: bertujuan untuk mengendalikan spesimen tumbuhan dan satwa liar yang akan masuk kedalam wilayah Republik Indonesia (impor).

6. Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan (IBSAP) 2003-2020. Saat ini Indonesia memiliki Strategi Pengelolaan Keanekaragaman Hayati yang perlu dilaksanakan secara efektif untuk meminimalkan krisis keanekaragaman hayati. Strategi pengelolaan nasional ini memiliki visi untuk melestarikan dan memanfaatkan keanekaragam hayati secara optimal, adil dan berkelanjutan melalui pengelolaan bertanggungjawab untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dokumen ini menyebutkan bahwa berbagai tindakan harus diambil dalam rangka meningkatkan instrumen kebijakan pengelolaan keanekaragaman hayati, termasuk untuk melaksanakan program pengendalian dan pencegahan penyebaran spesies tumbuhan asing invasif serta spesies budidaya (Bappenas 2003).

2.4. Analisis dan Pemodelan Spasial Kesesuaian Habitat

(34)

tercakup proses pemodelan, pengujian model serta interpretasi hasil model (Jaya 2002).

Model adalah suatu bentuk yang dibuat untuk menirukan suatu gejala atau proses (Muhammadi et al. 2001). Model juga diartikan sebagai abstraksi atau penyederhanaan dari sistem yang sebenarnya (Darsihardjo 2004). Jaya (2007) menerangkan bahwa model mengandung 2 pengertian; pertama yaitu abstraksi dari suatu kenyataan yang ada di permukaan bumi dan kedua yaitu representasi dari data realitas.

Hasibuan (1988) menyatakan bahwa suatu objek M adalah suatu model objek lain S jika memenuhi syarat; pertama yaitu ada unsur-unsur di dalam M

yang masing-masing memiliki padanan dengan unsur-unsur di dalam S dan kedua yaitu ada hubungan tertentu di antara unsur-unsur di dalam M yang analog dengan hubungan antara unsur-unsur padanannya di dalam S. Namun demikian suatu model M tidak perlu merupakan duplikat yang sama persis dengan objek S. Syarat pertama tidak mengharuskan setiap unsur M memiliki padanan unsur di dalam S

atau sebaliknya. Demikian pula syarat kedua tidak mengharuskan setiap hubungan yang ada di antara unsur-unsur di dalam S ada analoginya dengan hubungan di antara unsur-unsur padanannya di dalam M.

Klasifikasi model adalah model kuantitatif, model kualitatif, dan model ikonik. Model kuantitatif adalah model yang berbentuk rumus-rumus matematika, statistik, atau komputer. Model kualitatif adalah model yang berbentuk gambar, diagram, atau matriks yang menyatakan hubungan antarunsur dan tidak digunakan rumus-rumus matematika, statistik, atau komputer. Model ikonik adalah model yang mempunyai bentuk fisik sama dengan barang yang ditirukan, meskipun skalanya dapat diperbesar atau diperkecil (Muhammadi et al. 2001). Model spasial, yang merupakan model yang berbasis data spasial, dapat dikelaskan dalam ketiga klasifikasi model tersebut bergantung pada masukan data, analisis, maupun luaran dari model tersebut.

(35)

16

peta sebagai faktor utama sebagai variabel yang fleksibel untuk dimanipulasi (Tomlin 1991). Pemodelan simulasi merupakan kombinasi antara data atau informasi spasial dan non-spasial. Penyusunan model ini memerlukan keahlian sesuai model yang ingin dibangun. Pemodelan prediktif pada umumnya menggunakan teknik statistik dalam menyusun model. Teknik statistik yang digunakan biasanya adalah analisis regresi. Pada pemodelan ini digunakan variabel-variabel prediktor yang yang berasal dari data spasial.

Kesesuaian habitat merupakan suatu kemampuan habitat untuk menyediakan kebutuhan hidup. Indeks kesesuaian habitat dapat menghitung kualitas habitat menggunakan atribut-atribut yang dipertimbangkan penting bagi suatu spesies dan seringkali menandai kualitas habitat relatif. Ndeks kesesuaian habitat didasarkan pada asumsi bahwa individu atau kelompok suatu spesies akan memilih daerah yang palinf memenuhi kebutuhan hidupnya (Coops & Catling 2002). Sehubungan dengan hal tersebut, maka penggunaan suatu kawasan menjadi habitatnya adalah suatu kawasan yang memiliki kualitas lebih tinggi dibandingkan dengan bagian kawasan lain.

(36)

III.

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

3.1. Kondisi Umum TNGGP

TNGGP yang awalnya memiliki luas 15.196 hektar dan terletak di 3 (tiga) wilayah kabupaten yaitu Cianjur (3.599,29 Ha), Sukabumi (6.781,98 Ha) dan Bogor (4.514,73 Ha), saat ini sesuai SK Menhut No 174/Kpts-II/tanggal 10 Juni 2003 diperluas menjadi 21.975 ha. Secara geografi Taman Nasional Gunung Gede Pangrango terletak antara 106° 51` - 107° 02` dan 6° 41’ - 6° 51` LS. Secara administratif pemerintahan, wilayah TNGGP mencakup ke dalam 3 (tiga) kabupaten, yaitu; Kabupaten Bogor, Cianjur dan Sukabumi. Batas-batas kawasan ini adalah :

Sebelah Utara : Wilayah Kabupaten Cianjur dan Bogor Sebelah Barat : Wilayah Kabupaten Sukabumi dan Bogor Sebelah Selatan : Wilayah Kabupaten Sukabumi

Sebelah Timur : Wilayah Kabupaten Cianjur

Berdasarkan sejarahnya, kawasan TNGGP merupakan penggabungan dari beberapa spesies kawasan konservasi yang telah ditetapkan sejak jaman Belanda. Berdasarkan tahun penetapannya, kawasan-kawasan tersebut adalah Cagar Alam seluas 240 ha yang ditetapkan pada tahun 1889, dan diperluas menjadi 1.040 ha pada tahun 1925.

3.1.1.Topografi

Kawasan TNGGP merupakan rangkaian gunung berapi, terutama Gunung Gede (2.958 m dpl) dan Gunung Pangrango (3.019 m dpl) yang merupakan dua dari tiga gunung berapi tertinggi di Jawa Barat. Topografinya bervariasi mulai dari landai hingga bergunung, dengan kisaran ketinggian antara 700 m dan 3.000 m dpl. Jurang dengan kedalaman sekitar 70 m banyak dijumpai di dalam kedua kawasan tersebut. Sebagian besar kawasan TNGGP merupakan dataran tinggi tanah kering dan sebagian kecil merupakan daerah rawa, terutama di daerah sekitar Cibeureum yaitu Rawa Gayonggong.

(37)

18

memiliki kemiringan lereng sekitar 20-80 %. Kawasan Gunung Gede yang terletak di bagian Timur dihubungkan dengan Gunung Pangrango oleh punggung bukit yang berbentuk tapal kuda, sepanjang ± 2.500 meter dengan sisi-sisinya yang membentuk lereng-lereng curam berlembah menuju dataran Bogor, Cianjur dan Sukabumi.

Dibawah puncak Gunung Pangrango ke arah Barat Laut terdapat kawah mati yang berupa alun-alun selluas 5 ha dengan diameter ± 250 m, sedangkan di Gunung Gede masih ditemukan kawah yang masih aktif. Ke arah Timur Gunung Gede sejajar dengan punggung gunung terdapat Gunung Gumuruh yang merupakan dinding kawah pegunungan tua yang terpisahkan oleh alun-alun Suryakancana pada ketinggian sekitar 2.700 m. alun-alun ini memiliki panjang ± 2 km dengan lebar ± 200 m membujur ke arah Timur Laut – Barat Daya.

3.1.2.Geologi

Gunung Gede dan Gunung Pangrango merupakan bagian rangkaian gunung berapi yang membujur dari Sumatera, Jawa dan Nusa Tenggara, dan terbentuk sebagai akibat pergerakan lapisan kulit bumi secara terus menerus selama periode kuarter, sekitar tiga juta tahun lalu, dan dalam skala waktu geologi keduanya termasuk ke dalam golongan gunung muda.

Gunung Gede adalah salah satu dari 35 gunung berapi yang aktif di wilayah Indonesia, sedangkan Gunung Pangrango telah dinyatakan mati. Menurut catatan vulkanologi, letusan Gunung Gede pertama kali terjadi pada tahun 1747, kemudian berturut-turut terjadi letusan pada tahun 1840, 1852, 1886, 1947 dan 1957.

(38)

Batuan vulkanik Gunung Gede sebagian besar terdiri atas formasi Qvg (breksi tufaan dan lahar, andesit dengan oligoklas-andesin, tekstur seperti trakhit); formasi Qvgy (aliran lava termuda) dari puncak Gunung Gede ke arah Utara sepanjang kurang lebih 2,75 km; dan formasi Qvgl (aliran lava bersusunan andesit basal). Patahan dan sesar (fault) tidak dijumpai dalam kawasan TNGGP, tetapi daerah yang rawan bencana geologi karena terjadinya sesar (pergeseran batuan / formasi) dan patahan terdapat di sebelah Selatan Sukabumi dan Cibadak.

3.1.3.Tanah

Faktor-faktor yang mempengaruhi spesies tanah dalam proses pembentukannya adalah bahan induk, topografi, iklim dan vegetasi. Bahan induk merupakan bahan batuan yang telah terlapukan dari batuan-batuan geologi yang didominasi oleh batuan vulkanik tersier dan kuarter. Kondisi iklim dengan curah hujan yang relatif tinggi sepanjang tahun (3.000 mm) mempercepat proses pelapukan bahan induk dan proses pencucian unsure-unsur hara. Proses ini dipercepat dengan keadaan topografi yang curam sampai dengan sangat curam.

Dengan merujuk Peta Tanah Tinjau Propinsi Jawa Barat Skala 1 : 250.000 (Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 1966), spesies-spesies tanah yang mendominasi kawasan TNGGP adalah latosol coklat, asosiasi andosol coklat dan regosol coklat, kompleks regosol kaleabu dan litosol, abu pasir, tuf, dan batuan volkan intermedier sampai dengan basis.

3.1.4.Iklim

Berdasarkan klasifikasi iklim Schmidt-Ferguson, curah hujan di dalam kawasan TNGGP termasuk ke dalam Tipe A (Nilai Q = 5-9 %). Curah hujan yang tinggi dengan rata-rata curah hujan tahunan berkisar antara 3.000 mm – 4.200 mm, menyebabkan kawasan ini merupakan salah satu daerah terbasah di Pulau Jawa.

(39)

20

Pangrango bisa mencapai 0°C. Kelembaban udara tinggi yakni sekitar 80 – 90 %, sehingga memungkinkan tumbuhnya spesies-spesies lumut pada batang, ranting dan dedaunan pada pohon-pohon yang ada. Pada hutan pegunungan yang berada antara 1.500 dan 2.000 m dpl, kelembaban yang tinggi menyebabkan terhambatnya aktifitas biologi dan pelapukan kimiawi sehingga terbentuk tanah yang khas “peaty soil”.

Secara umum, angin yang bertiup di kawasan ini merupakan angin muson yang berubah arah menurut musim. Pada musim penghujan, terutama pada bulan Desember – Maret, angin bertiup dari arah Barat Daya dengan kecepatan cukup tinggi dan seringkali mengakibatkan kerusakan hutan. Di sepanjang musim kemarau, angin bertiup dari arah Timur Laut dengan kecepatan rendah.

3.1.5.Hidrologi

Merujuk Peta Hidro-Geologi Indonesia Skala 1 : 250.000 (Direktorat Geologi Tata Lingkungan, 1986), sebagian besar kawasan TNGGP merupakan akuifer daerah air tanah langka, dan sebagian kecil merupakan akuifer produktif sedang dengan sebaran yang luas. Akuifer produktif ini memiliki keterusan yang sangat beragam. Umumnya air tanah tidak tertekan dengan debit air kurang dari 5 liter / detik.

Daerah yang paling produktif kandungan sumber air tanahnya dalah daerah kaki Gunung Gede, yaitu daerah Cibadak-Sukabumi dengan mutu yang memenuhi persyaratan untuk air minum disamping untuk air irigasi. Akuifer terpenting di daerah ini adalah bahan lepas hasil produk gunung berapi seperti tufa pasiran, lahar maupun lava vesikuler. Secara berangsur, produktifitas akuifer di daerah lereng Gunung Gede makin membesar ke arah kaki gunungnya. Hal ini disebabkan oleh aliran tanah dari daerah puncak bergerak secara alami ke arah kaki gunung, disamping oleh tahanan batuan sedimen terlipat yang lebih tua di daerah Sukabumi yang bertindak sebagai penghalang aliran air tanah.

(40)

manusia. Kualitas air sungai cukup baik dan merupakan sumber air utama bagi kota-kota yang terdapat di sekitarnya. Lebar sungai di hulu berkisar 1 – 2 meter dan di hilir mencapai 3-5 meter dengan debit air yang cukup tinggi. Kondisi fisik sungai ditandai dengan kondisi yang sempit dan berbatu besar pada tepi sungai bagian hilir.

3.1.6.Ekosistem

Secara umum tipe-tipe ekosistem di dalam kawasan TNGGP dapat dibedakan menurut ketinggiannya, antara lain (a) ekositem hutan pegunungan bawah; (b) ekosistem hutan pegunungan atas; dan (c) ekosistem sub alpin.

Selain ketiga tipe ekosistem utama tersebut, ditemukan beberapa tipe ekosistem khas lainnya yang tidak dipengaruhi oleh ketinggian tempat. Ekosistem tersebut yaitu (a) ekosistem rawa; (b) ekosistem kawah; (c) ekosistem alun-alun; (d) ekosistem danau; dan (e) ekosistem hutan tanaman.

(a) Ekosistem Hutan Pegunungan Bawah dan Hutan Pegunungan Atas

Tipe ekosistem hutan pegunungan bawah terdapat pada ketinggian 1.000 - 1.500 m dpl, dan ekosistem hutan pegunungan atas terdapat pada ketinggian 1.500 – 2.400 m dpl. Pada umumnya tipe ekosistem hutan pegunungan bawah dan pegunungan atas dicirikan oleh keanekaragaman spesies vegetasi yang tinggi, dengan pohon-pohon besar dan tinggi yang membentuk tiga strata tajuk. Tinggi tajuk hutan di dalam kawasan TNGGP sekitar 30 – 40 m, dan strata tertinggi didominasi oleh spesies-spesies Litsea spp dan

Castanopsis spp.

(b) Ekosistem Hutan Sub Alpin

(41)

22

(c) Ekosistem Rawa

Di dalam kawasan TNGGP terdapat dua areal lahan basah yang sudah dikenal, yaitu Rawa Gayonggong dan Rawa Denok. Rawa Gayonggong terletak pada ketinggian 1.400 m.dpl dan berjarak sekitar 1.800 m dari pitu masuk Cibodas. Rawa kemungkinan terbentuk oleh bekas kawah mati yang kemudian menampung aliran air dari tempat yang lebih tinggi. Erosi tanah ditempat yang lebih tinggi telah menyebabkan sedimentasi Lumpur yang memungkinkan tumbuhnya berbagai spesies rumput-rumputan terutama rumput gayonggong yang tampak mendominasi rawa ini. Sementara itu rawa Denok yang terletak pada ketinggian 1.820 .mdpl, berjarak sekitar 3.400 m dari pintu masuk Cibodas hanya berukuran 5 x 5 m2, karena adanya invasi tumbuhan.

(d) Ekosistem Kawah

Kondisi lingkungan yang steril, batuan asam dan pancaran gas beracun sangat mempengaruhi kehidupan vegetasi dalam ekosistem ini. Tumbuhan yang dapat beradaptasi dengan kondisi demikian antara lain : Selligues feei, Vaccinium varigiaefolium dan Rhododendron retusum. Pada jarak yang agak jauh dan pengaruh pancaran gas beracun sudah berkurang.

(e) Ekosistem Alun-Alun

Dalam kawasan TNGGP terdapat dua buah alun-alun, yaitu Alun-alun Suryakencana di Gunung Gede dan Alun-alun Mandalawangi di dekat Gunung Pangrango. Alun-alun Suryakencana memiliki luas sekitar 40 Ha, sementara Alun-alun Mandalawangi memiliki luas sekitar 5 Ha. Factor-faktor yang diduga sebagai penyebab tidak terbentuknya hutan di daerah ini adalah kondisi lingkungan yang ekstrim seperti tanah yang tandus dan sering terjadi kabut dingin.

(f) Ekosistem Danau

(42)

hutan tanaman damar disekitar danau membuat kondisi lingkungan daerah ini cukup menarik untuk areal wisata.

Sementara itu, Telaga Biru yang terletak pada ketingian 1.575 mdpl dan berjarak 1,5 km dari pitu masuk Cibodas, diperkirakan memiliki luas sekitar 500 m2 dan kedalaman air rata-rata 2 m dengan permukaan air berwarna biru.pada awalnya danau ini merupakan tempat penampungan air tetapi karena proses alami yang berlangsung lama membuat danau ini seperti terbentuk secara lami pula.

(g) Ekosistem Hutan Tanaman

Spesies Damar (Agathis lorantifolia) merupakan tanaman dominan dalam satuan ekosistem ini. Spesies ini ditanam pada tahun 1920 dengan luas 2,5 ha.

3.1.7.Flora

TNGGP dikenal dan banyak dikunjungi karena memiliki potensi hayati yang tinggi, terutama keanekaragaman spesies flora. Di kawasan ini hidup lebih dari 1000 spesies flora, yang tergolong tumbuhan berbunga (Spermatophyta) sekitar 900 spesies, tumbuhan paku lebih dari 250 spesies, lumut lebih dari 123 spesies, ditambah berbagai spesies ganggang, Spagnum, jamur dan spesies-spesies

Thalophyta lainnya.

Pohon rasamala terbesar dengan diameter batang 150 cm dan tinggi 40 m dapat ditemukan di kawasan ini di sekitar jalur pendidikan wilayah pos Cibodas. Spesies puspa terbesar dengan diameter batang 149 cm dan tinggi 40 m terdapat di jalur pendakian Selabinta – Gunung Gede. Sedangkan pohon jamuju terbesar ditemukan di wilayah Pos Bodogol.

(43)

24

3.1.8.Fauna

Keanekaragaman flora di kawasan ini membentuk keanekaragaman habitat berbagai spesies satwa liar antara lain ; mamalia, reptilia, amfibia, aves, insecta dan kelompok satwa tak bertulang belakang. Dari kelompok burung (Aves) hidup 251 spesies atau lebih dari 50 % dari spesies burung yang hidup di Jawa. Salah satunya adalah “elang jawa” (Spizaetus bartelsi) yang ditetapkan sebagai “Satwa Dirgantara” melalui Keputusan Presiden No. 4 tanggal 9 Januari 1993. Dari kelompok mamalia tercatat sekitar 110 spesies, diantaranya owa jawa (Hylobates moloch) yang langka, endemik dan unik; anjing hutan (Cuon alpinus) yang sudah semakin langka dan kijang (Muntiacus muntjak). Selain itu terdapat serangga (insecta) lebih dari 300 spesies, reptilia sekitar 75 spesies, katak sekitar 20 spesies dan berbagai spesies binatang lunak (molusca).

3.2. Sejarah Introduksi Spesies Tumbuhan Asing Invasif di TNGGP

Kawasan hutan TNGGP merupakan salah satu kawasan terbasah dengan curah hujan yang tinggi. Angin yang berhembus merupakan angin Muson yang bergerak dengan kecepatan tinggi (Cyclon Tropic) terutama di musim hujan sehingga sering menyebabkan kerusakan hutan. Kecepatan angin yang tinggi terutama di bulan Desember hingga Maret selain mampu merobohkan pohon juga turut mengakomodasi penyebaran dan dominasi spesies asing tertentu ke dalam kawasan terutama di areal-areal terbuka (Gap) hutan.

Banyaknya tumbuhan asing yang telah menginvasi kawasan hutan TNGGP ini tidak terlepas dari sejarah berdirinya kawasan konservasi ini. Sejak tahun 1800-an kawasan ini telah dilindungi dan di gunakan untuk tujuan penelitian oleh pihak Pemerintah Kolonial Belanda yang ditunjukkan oleh terbitnya buku

(44)

Gunung Pangrango. Kebun pegunungan inilah yang selanjutnya menjadi cikal bakal berdirinya Kebun Raya Cibodas yang kini dikelola oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Baru pada tahun 1889 kawasan ini ditetapkan menjadi Cagar Alam Cibodas yang memiliki luas 240 ha. Kesadaran akan pentingnya kawasan konservasi untuk menyelamatkan ekosistem hutan pegunungan Jawa yang masih tersisa, menyebabkan Pemerintah Indonesia kemudian menetapkan kawasan ini menjadi taman nasional pada tahun 1980 dengan luas 15.961 ha dimana spesies-spesies asing yang dimasukkan masih tetap dalam kawasan konservasi. Pada tahun 2003 TNGGP mengalami perluasan menjadi 22.851 ha dimana areal perluasan tersebut merupakan areal ex hutan produksi yang dikelola PT Perhutani dengan spesies tanaman asing monokultur seperti pinus dan damar. Walaupun tidak bersifat invasif, kondisi ini juga memerlukan penanganan untuk segera dikembalikan ke ekosistem aslinya.

Tumbuhan asing yang ditemukan di kawasan hutan TNGGP juga berasal dari kawasan yang berbatasan atau berdekatan dengan kawasan ini, namun diduga ada beberapa spesies yang berasal dari wilayah yang jauh dari kawasan. Hal ini dimungkinkan karena terbawanya biji-biji tumbuhan yang berasal dari wilayah yang jauh oleh kawanan burung yang bermigrasi setiap tahun dimana kawasan TNGGP merupakan salah satu jalur dan tempat persinggahan sementara bagi burung-burung tersebut. Terbentuknya celah akibat robohnya pohon oleh penyakit atau sebab-sebab alam lain memungkinkan masuknya sinar matahari yang merangsang tumbuhnya dan memberi kesempatan tumbuh dan berkembangnya biji-biji spesies asing di dalam kawasan.

Menurut Tjitrosemito (2004), walaupun tumbuhan asing non invasif berasal dari luar habitat alaminya namun karena keberadaannya tidak bersifat mengancam ekosistem suatu kawasan maka keberadaannya masih dapat ditolerir. Tumbuhan asing yang bersifat invasif atau lebih dikenal dengan invasive alien plant species

(45)

26

berdasarkan prioritisasi terhadap kecepatan tumbuhan ini berkembang dan mengancam keberadaan tumbuhan asli TNGGP.

3.3. Jumlah dan Penyebaran

Identifikasi dan inventarisasi alien species atau tumbuhan asing yang dilaksanakan pada tahun 2006 khususnya di kawasan hutan sub montana, montana dan sub alpin berhasil menemukan 35 spesies tumbuhan asing/alien species yang terdiri dari 6 spesies yang bersifat invasif (IAS), 1 kelompok spesies tanaman monokultur yang ditanam secara luas sehingga perlu dikendalikan dan 28 spesies lainnya bersifat tidak invasif yang tersebar pada ketinggian 1200 sampai dengan 2700 mdpl.

Tujuh spesies tumbuhan asing /alien species yang bersifat invasif dan perlu dikendalikan adalah sebagai berikut:

1. Kirinyuh (Austroeupatorium inulaefolium Kunth R. M. King & H. Rob) yang berasal dari Amerika Tengah dan Amerika Selatan ini ditemukan pada tepi kawasan yang berbatasan dengan penggunaan kawasan perluasan. Umumnya spesies ini menyebar dan berpengaruh ke dalam kawasan sampai tingkat tiang, pengaruh ini dicirikan dengan sifatnya yang mempunyai percabangan banyak, semak menahun dan seringkali mencapai ketinggian 7 m.

Laju perkembangbiakannya sangat cepat, memiliki senyawa

allelopaty pada anakan pohon, berkompetisi sangat kuat untuk mendapatkan unsur hara tanah dan terlindung dari herbivora karena memiliki minyak esensial dan senyawa sekunder yang tidak disukai oleh satwa (Carrol, 1992). Selain itu spesies ini merupakan pesaing penting bagi regenerasi vegetasi asli, memiliki dampak yang jauh lebih besar terhadap kebakaran di daerah yang berbatasan dengan lahan pertanian, kepadatan populasinya dapat menentukan resiko dari bahaya kebakaran, karena memiliki minyak esensial yang tinggi untuk proses kebakaran.

(46)

dilakukan rutin oleh petugas TNGGP diketahui bahwa penyebaran kirinyuh saat ini sudah mencapai kawasan sub alpin hingga Puncak Pangrango.

2. Kicente (Lantana nitrida) yang mempengaruhi tingkatan semai dan pancang termasuk tumbuhan antropokari yang di introduksikan secara sengaja tetapi tidak terkait dengan kegiatan manusia dalam pemencarannya karena telah diambil alih oleh pemencar alami yaitu burung. Spesies tumbuhan ini berasal dari Amerika (Julien, 1992). Spesies Kicente dapat ditemukan di semua resort pada tepi-tepi kawasan TNGGP yang berbatasan dengan penggunaan kawasan perluasan, kebun masyarakat dan kebun teh. Dari nilai INP terlihat bahwa spesies ini melimpah di temukan di Resort Sarongge dan Bodogol.

3. Spesies tumbuhan asing yang paling mengancam dan dan tergolong IAS di dalam kawasan TNGGP adalah Konyal (Passiflora suberosa dan Passiflora edulis) yang berasal dari Amerika Selatan yang dimanfaatkan oleh penduduk sekitar kawasan untuk meningkatkan pendapatan mereka. Spesies ini menyebar dan dapat beradaptasi pada ketinggian 1.500 mdpl – 1.750 mdpl, merupakan spesies asing yang merusak dan menginvasi hampir di setiap celah hutan, bijinya menyebar keseluruh hutan dan tumbuh dengan agresif pada saat terbentuknya celah hutan baru. Spesies tumbuhan ini sangat berkompetisi dengan spesies asli dan menghambat regenerasi hutan.

Menurut Sutasurya (1998) penyebaran ini terprediksi akan berlanjut pada setiap celah hutan baru setelah badai tahunan dari bulan Desember sampai bulan Januari dan berpindah ke areal lain melalui tepi atau batas kawasan hutan. Spesies tumbuhan ini sangat berkompetisi atau menjadi pesaing dengan spesies asli dan menghambat regenerasi hutan. Dari nilai INP terlihat bahwa spesies ini sangat melimpah ditemukan di Blok Bobojong Resort Gunung Putri dan di Resort Mandalawangi.

(47)

28

5. Kecubung atau bunga terompet (Brugmansia suaveolens) merupakan tumbuhan asing yang umum di jumpai hampir di seluruh kawasan TNGGP. Spesies ini berasal dari Brazilia Amerika Selatan dan merupakan spesies invasif di TNGGP. Berdasarkan nilai INP spesies ini sangat melimpah ditemukan di Blok Telaga Biru dan Airt Terjun Cibeureum Resort Mandalawangi.

6. Teklan (Austroeupatorium riparium) juga merupakan spesies asing yang bersifat invasif yang tersebar hampir di seluruh kawasan TNGGP. Spesies ini berasal dari Amerika Selatan dan merupakan gulma di areal pertanian penduduk. Kecepatan angin yang tinggi di dalam kawasan menyebabkan penyebarannya cepat dan mendominasi areal-areal terbuka. Daya adaptasi yang tinggi, toleransi terhadap naungan menyebabkan spesies ini ditemui merata di dalam kawasan hingga ketinggian lebih dari 2.000 mdpl.

7. Satu kelompok spesies hutan tanaman yaitu Kidamar (Agathis damara) merupakan tumbuhan asing yang berasal dari Australia yang ditemukan di Resort Cimungkat Seksi Konservasi Wilayah I Sukabumi dan Resort Cimande, Seksi Konservasi Wilayah II Bogor. Spesies ini ditanam secara luas dan menutupi hampir seluruh kawasan perluasan TNGGP di resort-resort tersebut.

Spesies tumbuhan lain yang ditemukan pada tepi kawasan TNGGP khususnya di Resort Cimande dan Resort Bodogol adalah Afrika (Maesopsis eminii). Spesies ini berasal dari Afrika dan berada dalam kawasan karena sengaja ditanam pada tahun 1920. Selain itu di kawasan ini juga ditemukan Pinus (Pinus merkusii) yang berasal dari Pulau Sumatra. Spesies-spesies tersebut memang tidak bersifat invasif, namun ditanam secara luas di areal yang saat ini masuk ke dalam kawasan taman nasional, sehingga, secara bertahap harus dieradikasi.

(48)
(49)

30

3.4. Dampak Ekologi, Sosial dan Ekonomi

Invasi dan dominasi spesies tumbuhan asing invasif pada areal terbuka di TNGGP mengakibatkan terhambatnya regenerasi spesies tumbuhan asli. Dalam banyak hal pertumbuhan dan perkembangan spesies asing invasif, kerapatan tajuk, banyaknya biji yang dihasilkan sepanjang tahun serta kemampuan untuk menghasilkan dan melepaskan senyawa allelopathy yang dimilikinya sehingga mengakibatkan kematian anakan spesies pohon endemik atau lokal karena lambatnya pertumbuhan serta kekalahan dalam memperebutkan sumberdaya baik unsur hara dari dalam tanah maupun cahaya matahari.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Utomo (2006) diketahui bahwa terdapat 17 spesies pohon endemik yang populasinya terancam menurun sebagai dampak adanya spesies tumbuhan asing invasif di hutan pegunungan bawah dan 19 spesies pohon endemik di hutan pegunungan atas TNGGP. Spesies-spesies tersebut diantaranya adalah rasamala (Altingia excelsa), puspa (Schima wallichii), manglid (Maglonia blumei), suren (Toona sureni), kisireum (Syzigium rostrattum), salam (Eugenia clavimirtus), serta berbagai spesies tumbuhan obat dan jasad renik. Populasi yang menurun dari spesies pohon endemik tersebut terlihat dari sedikitnya jumlah permudaan pohon di daerah invasi baik di tingkat semai, pancang maupun tiang, bahkan beberapa spesies diantaranya sama sekali tidak memiliki permudaan.

Disebutkan pula bahwa konyal (Passiflora suberosa) dan kirinyuh (Austroeupatorium inulaefolium) merupakan 2 spesies tumbuhann asing invasif yang sangat membahayakan kelestarian spesies endemik di TNGGP. Konyal mampu memanjat dan menutup tajuk pohon endemik diantaranya rasamala (Altingia excelsa), puspa (Schima wallichii), manglid (Maglonia blumei), suren (Toona sureni) dan pada akhirnya seluruh tajuk akan tertutup oleh daun-daun konyal sehingga menyebabkan kematian pada pohon yang dirambatinya. Dengan patahnya dahan dan atau robohnya pohon akan menyebabkan masuknya sinar matahari dan menstimulir tumbuh dan berkembangnya spesies tumbuhan asing invasif lainnya.

(50)

berpengalaman hampir 30 tahun), bahwa terdapat 7 spesies tumbuhan endemik yang saat ini terancam oleh IAS yaitu :

a. Kibima (Podocarpus amarus), hanya tinggal 10 pohon di wilayah penyebaran aslinya,

b. Jamuju (Dacrycarpus imbricatus) c. Kiputri (Podocarpus nerifolius) d. Saninten (Castanopsis argentea) e. Pasang Batu (Lithocarpus inditus) f. Huru Koneng (Litsea tomentosa) g. Sintok (Cinnamomum sintox)

Penyebab turunnya populasi ketujuh spesies tersebut adalah karena:

a. Habitatnya telah di dominasi IAS terutama aster dan pisang kole (Musa acuminata)

b. Perkecambahan dan pertumbuhan anakan terhambat oleh IAS

c. Penyebaran biji yang tidak terlalu jauh dari habitat induk, selain itu tidak ada agen (satwa/angin/manusia) yang dapat menyebarkan ke aeral yang lebih luas.

d. Gangguan iklim pada masa reproduksi seperti tingkat kelembaban tinggi, angin dan curah hujan yang tinggi.

e. Hama dan penyakit tanaman pada biji,

f. Proses eradikasi IAS yang turut membunuh biji dan bibit tumbuhan.

Keberadaan IAS di kawasan TNGGP berdasarkan hasil inventarisasi dan identifikasi telah memperlihatkan bahwa:

a. Beberapa spesies spesies IAS seperti babakoan, kirinyuh, pisang kole dan teklan telah terkolonisasi secara lokal di wilayah-wilayah tertentu di TNGGP; b. Pada beberapa wilayah kolonisasi tersebut tidak ditemukan tumbuhan lain

selain spesies IAS yang mengkolonisasi tersebut (lantai hutan telah tertutup secara rapat)

(51)

32

d. Banjir / kecepatan air permukaan meningkat karena tidak adanya pohon2 besar yang mampu menahan air terutama di areal2 yang telah terkolonisasi oleh IAS.

e. Perubahan perilaku satwa. Berdasarkan hasil pemantauan di lapangan terlihat bahwa telah terjadi proses adaptasi beberapa satwa primata seperti lutung dan owa terhadap keberadaan pohon konyal (Passiflora suberosa dan Passiflora edulis) dimana buah konyal telah menjadi salah satu sumber pakan bagi mereka.

Keanekaragaman hayati TNGGP merupakan investasi terbesar untuk perekonomian nasional melalui pemanfaatan berkelanjutan sumber daya alam seperti plasma nutfah, air dan keragaman ekosistem. Penyebaran IAS yang tidak terkendali akan menyebabkan menurunnya atau hilangnya potensi keanekaragaman hayati TNGGP serta menimbulkan dampak negatif yang membutuhkan biaya mitigasi yang tinggi untuk mengendalikannya.

Selama ini, pengelolaan IAS di TNGGP telah melibatkan dan bekerjasama dengan relawan (volunteer) serta mayarakat lokal yang berada di sekitar kawasan. Beberapa spesies IAS menghasilkan buah yang memiliki pasar dan nilai jual untuk masyarakat lokal. Pada tahun 2007-2008, masyarakat lokal dan BBTNGGP melakukan kerjasama dalam mengeradikasi konyal (Passiflora suberosa dan

Passiflora edulis). Pengambilan konyal oleh masyarakat dilakukan untuk membantu kehidupan ekonomi mereka dengan cara menjualnya. Namun kegiatan ini, ternyata memiliki dampak seperti terganggunya kehidupan satwa dan dimungkinkan membantu penyebaran spesies konyal itu sendiri sehingga upaya ini dihentikan.

(52)
(53)

IV.

METODOLOGI

4.1 Waktu dan Lokasi

Penelitian dilakukan selama 1 (satu) bulan yaitu pada bulan Mei 2012 di kawasan Resort Pengelolaan Taman Nasional Model Mandalawangi pada Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah I Cibodas, Bidang Pengelolaan Taman Nasional Wilayah I Cianjur, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP). Lokasi penelitian merupakan jalur trekking/pendakian Cibodas – Puncak Pangrango sepanjang 11 km pada ketinggian 800 mdp – 3019 mdpl.

Analisis data dilakukan di Laboratorium Analisis Spasial Lingkungan, Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Gambar 4 Peta area studi Resort Cibodas TNGGP

4.2. Pemilihan Spesies

Gambar

Gambar 3  Peta penyebaran spesies tumbuhan asing invasif di TNGGP (menurut Citra Landsat)
Gambar 4  Peta area studi Resort Cibodas TNGGP
Tabel 1  Peubah-peubah ekologi sebagai variabel-variabel penduga
Gambar 6  Peta sebaran titik objek pada plot contoh
+7

Referensi

Dokumen terkait