• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemetaan kesesuaian habitat Rafflesia rochussenii (Teijsm. et Binn.) di resort tapos Taman Nasional Gunung Gede Pangrango

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pemetaan kesesuaian habitat Rafflesia rochussenii (Teijsm. et Binn.) di resort tapos Taman Nasional Gunung Gede Pangrango"

Copied!
84
0
0

Teks penuh

(1)

GUNUNG GEDE PANGRANGO

AMRI MUHAMMAD SAADUDIN

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

(2)

GUNUNG GEDE PANGRANGO

AMRI MUHAMMAD SAADUDIN

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

(3)

AMRI MUHAMMAD SAADUDIN. Pemetaan Kesesuaian Habitat Rafflesia rochussenii (Teijsm. et Binn.) di Resort Tapos Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Dibimbing oleh AGUS HIKMAT dan LILIK BUDI PRASETYO.

Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) mempunyai keanekaragaman tumbuhan yang tinggi, salah satunya adalah Rafflesia rochussenii Teijsm. et Binn. Spesies R. rochussenii termasuk suku Rafflesiaceae yang merupakan tumbuhan holoparasit. Populasi R. rochussenii di TNGGP mengalami penurunan dan keberadaannya semakin terancam apabila tidak dilakukan upaya konservasi. Salah satu kendala upaya konservasi adalah minimnya informasi mengenai distribusi R. rochussenii. Pemetaan kesesuaian habitat dapat menjadi salah satu upaya pemecahan masalah ini. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan faktor fisik yang berpengaruh, model dan luas kesesuaian habitat R. rochussenii di Resort Tapos TNGGP.

Pengambilan data dilaksanakan di Resort Tapos TNGGP pada bulan Desember 2010. Pengolahan data dilakukan di Lab. Analisis Lingkungan dan Permodelan Spasial, Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan IPB pada bulan Januari – Februari 2011. Penelitian ini menggunakan variabel fisik habitat yaitu ketinggian, kemiringan lereng, nilai LAI (Leaf Area Index), dan jarak dari sungai. Pengolahan peta menggunakan software

ArcGIS 9.3 dan Erdas Imagine 9.1. Pengolahan foto LAI mengguanakan software

Hemiview 2.1. Penentuan bobot model menggunakan Analisis Komponen Utama. Berdasarkan Analisis Komponen Utama diperoleh 3 komponen utama dengan nilai vektor ciri sebesar 1,358; 1,079 dan 0,908. Faktor fisik yang paling berpengaruh terhadap model kesesuaian habitat adalah kemiringan lereng dan ketinggian. Model yang digunakan untuk menentukan kesesuian habitat R. rochussenii di Resort Tapos TNGGP adalah sebagai berikut : skor kumulatif kesesuaian habitat (Y) = (1,358 x Kemiringan lereng) + (1,079 x Nilai LAI) + (1,079 x Jarak dari sungai) + (0,908 x Ketinggian). Model kesesuaian habitat diklasifikasikan menjadi 3 kelas yaitu kesesuaian tinggi, kesesuaian sedang, dan kesesuaian rendah. Habitat yang mempunyai kesesuaian tinggi mempunyai luas sebesar 289,44 ha; luas kesesuaian sedang sebesar 623,34 ha; dan luas kesesuaian rendah sebesar 213,75 ha. Peta kesesuaian habitat R. rochussenii dapat diterima dengan nilai validasi sebesar 96,26% untuk kelas kesesuaian habitat tinggi.

(4)

rochussenii (Teijsm. et Binn.) in Tapos Resort Mounts Gede Pangrango National Park". Under supervision of AGUS HIKMAT and LILIK BUDI PRASETYO.

Mounts Gede Pangrango National Park (MGPNP) has high diversity of flora, and Rafflesia rocussenii Teijsm. et Binn. is one of the species which compose the flora of MGPNP. R. rochussenii is the family of Rafflesiaceae and known as a holoparasitic plant. Population of R. rochussenii in MGPNP has decreased significantly and could be endangered if there is no further conservation efforts. Lack of information on R. rochussenii distribution is one of the challenges for its conservation efforts. Mapping of its habitat suitability can be one of the options to address the challenges. This study was aimed to identify physical factors which highly influence habitat suitability of R. rochussenii, to determine habitat suitability model and develop spatial mapp of habitat suitability area of the species.

The research was carried out in Tapos Resort MGPNP in December 2010. Data analysis was conducted from January-February 2011. The research used physical variables of the habitat as follows : altitude, slope, LAI (Leaf Area Index) and distance from river. Spatial analysis was conducted using ArcGIS 9.3 and Erdas Imagine 9.1 softwares, while photo analysis to determine LAI was done using Hemiview 2.1. Model weighting were determined using Principal Component Analysis.

Based on the Principal Component Analysis, three principal components with characteristic vectors 1.358; 1.079 and 0.908 were obtained. Pysical habitat factors which gave significant effect on habitat suitability model were slope and habitat; 623.34 ha of medium suitability habitat and 213.75 ha of low suitability habitat. It was concluded that the habitat suitability map of R. rochussenii can be accepted with validation score of 96.26% for the high habitat suitability.

(5)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pemetaan Kesesuaian Habitat Rafflesia rochussenii Teijsm. et Binn. di Resort Tapos Taman Nasional Gunung Gede Pangrango adalah benar-benar hasil karya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutif dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Mei 2011

(6)

Pangrango

Nama : Amri Muhammad Saadudin

NIM : E34062547

Menyetujui,

Pembimbing I, Pembimbing II,

Dr. Ir. Agus Hikmat, M.Sc.F Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc.

NIP 196208181989031002 NIP 196203161988031002

Mengetahui:

Ketua Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, M.S. NIP 195809151984031003

(7)

Puji dan syukur penulis panjatkan ke Hadirat Allah SWT atas limpahan rahmat, hidayah, dan kasih sayang-Nya, atas selesainya skripsi ini. Skripsi yang berjudul “Pemetaan Kesesuaian Habitat Rafflesia rochusseni (Teijsm. et Binn.) di Resort Tapos Taman Nasional Gunung Gede Pangrango”, merupakan salah satu syarat dalam rangka penulisan skripsi untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Penelitian tentang pemetaan kesesuaian habitat R. rochussenii dilakukan dengan menggunakan sistem informasi geografis dan teknologi penginderaan jarak jauh.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Agus Hikmat, M.Sc.F dan Bapak Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc.F sebagai dosen pembimbing dalam penyusunan usulan penelitian dan skripsi. Penulis juga mengucapkan terima kasih atas bantuan yang didapat selama penelitian dan penulisan skripsi ini kepada Ir. Agus Wahyudi, MM, Bapak Susilo, Bapak Yusuf, Ibu Nur Masripatin, Bapak Heru Sularso, Gamma Nur Merrillia Sularso, teman-teman di Laboratorium Analisis Lingkungan dan Permodelan Spasial, dan seluruh staf dan pegawai Taman Nasional Gunung Gede Pangrango serta seluruh keluarga besar DKSHE Fahutan IPB. Penulis berterima kasih kepada orang tua dan keluarga atas segala dukungan, kesabaran, doa, dan kasih sayang yang diberikan.

Harapan penulis semoga skripsi ini dapat bermanfaat.

(8)

Penulis dilahirkan di Cianjur, Jawa Barat pada tanggal 3 Desember 1987 sebagai anak pertama dari 8 bersaudara pasangan H. Abdul Goni Murod dan Oom Samsiah. Penulis adalah lulusan SMA Negeri 1 Cianjur dan lulus masuk IPB melalui jalur SPMB pada tahun 2006. Pada tahun 2007 penulis memilih Departemen Koservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakutas Kehutanan IPB.

Selama mengikuti perkuliahan di Fakultas Kehutanan penulis mengikuti kegiatan di Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (Himakova) sebagai anggota kelompok pemerhati mamalia (KPM) dan menjabat sebagai ketua kampus konservasi pada tahun 2008-2009. Pada tahun 2008 mengikuti Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) di Taman Nasioanal Bukit Baka Bukit Raya, Kalimantan Barat dan tahun 2009 di Taman Nasional Manupeu Tanah Daru, Nusa Tenggara Timur. Pada tahun 2008 penulis melakukan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan di Cilacap dan Baturaden, tahun 2009 melakukan Praktek Pengelolaan Hutan di Hutan Pendidikan Gunung Walat. Pada tahun 2010 penulis melakukan Praktek Kerja Lapang Profesi di Taman Nasional Meru Betiri.

(9)

Puji syukur kehadiat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Bapak dan Ibu tercinta, adik-adik (Zenal Haq, Havid Zenal Muttaqin, Mamay Maspupah, Khoirunnisa, Wawa Musyarofah, Inez Nurbayani, Mila Khoirummilah), Gamma Nur Merrillia Sularso serta keluarganya (Dr. Ir. Nur Masripatin, M.For.Sc, Ir. Heru Sularso, M.Sc, Alva Nurvina Sularso, M.Sos dan Betha Nur Avicenia Sularso, S.H) atas doa, kasih sayang, dukungan, dan kesabaran yang selalu diberikan kepada penulis. 2. Dr. Ir. Agus Hikmat, M.Sc.F dan Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc

selaku dosen pembimbing atas bimbingan, saran, dan pesan kepada penulis.

3. Prof. Dr. Ir. Ervizal Amir Muhammad Zuhud, MS selaku ketua sidang komprehensif dan Istie Sekartining Rahayu, S.Hut, M.Si selaku dosen penguji sidang komprehensif.

4. Ir. Agus Wahyudi, MM selaku Kepala Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango serta staf dan pegawai Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango yang telah memberikan izin, sarana dan prasarana yang diberikan selama penelitian.

5. Bapak Yusuf dan Bapak Hasan yang telah mendampingi selama pengambilan data di lapang.

6. Staf TU Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata serta keluarga besar Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata yang telah membantu dalam administrasi sehingga dapat benjalan lancar. 7. Laboratorium Analisis Lingkungan dan Permodelan Spasial atas bantuan

sarana dan prasana yang diberikan selama penyusunan skripsi.

8. Keluarga besar HIMAKOVA IPB dan Kelompok Pemerhati Mamalia (KPM) “Tarsius” atas kekeluargaannya.

(10)

Nieci Valentino, Rangga Wisanggra, Redi Satriawan, Ahmad S. Hasibuan, Novriadi Zulvida, I Putu Indra Divayana, Rahmat Muslim, Dicky Kristia Dinata Sinaga dan Surahman atas bantuan saran, pemikiran dan dukungan yang diberikan.

(11)

Halaman

2.1.3 Habitat dan penyebaran R. Rochussenii ... 4

2.2 Spesies Tetrastigma leucostaphylum (Dennst.) Alston ex Mabb. ... 5

2.3 Sistem Informasi Geografi (SIG) ... 7

2.3.1 Pengertian SIG ... 7

2.3.2 Subsistem SIG ... 7

2.3.3 Komponen SIG ... 8

2.3.4 Aplikasi SIG dalam konservasi tumbuhan ... 9

2.4 Penginderaan Jauh ... 10

2.4.1 Definisi ... 10

2.4.2 Citra landsat ... 10

2.4.3 NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) ... 12

2.5 Global Positioning System (GPS) ... 12

3.3.2.2 Pembuatan peta ketinggian dan kemiringan lereng ... 16

3.3.2.3 Pembuatan peta jarak dari sungai ... 17

3.3.2.4 Pembuatan Leaf Area Index (LAI) ... 17

3.4.3 Analisis data ... 18

3.4.3.1 Analisis komponen utama ... 18

(12)

3.3.3.4 Validasi model ... 19

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Sejarah dan Status Kawasan ... 21

4.2 Keaadan Fisik ... 22

4.3 Keadaan Biotik ... 23

4.3.1 Flora ... 23

4.3.2 Fauna ... 25

4.4 Potensi Wisata Alam ... 25

4.5 Sosial Budaya Masyarakat Sekitar Kawasan ... 26

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penutupan Lahan dan Keberadaan Rafflesia rochussenii Teijsm. et Binn. ... 27

5.2 Faktor-faktor Penentu Kesesuaian Habitat ... 31

5.2.1 Ketinggian tempat ... 31

5.2.2 Kemiringan lereng ... 35

5.2.3 Jarak dari sungai ... 39

5.2.4 LAI (Leaf Area Index) ... 43

5.3 Model Kesesuaian Habitat R. rochussenii ... 48

5.4 Peta Kesesuaian Habitat R. rochussenii ... 49

5.5 Validasi Model Kesesuaian Habitat ... 51

5.6 Kerapatan R. rochussenii Berdasarkan Kesesuaian Habitat ... 52

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 55

6.2 Saran ... 55

DAFTAR PUSTAKA ... 56

(13)

No. Halaman

1. Kandungan kimia T. leucostaphylum ... 6

2. Aplikasi prinsip dan saluran spektral tematik mapper ... 12

3. Luas dan presentase tiap tipe penutupan lahan di Resort Tapos ... 27

4. Jumlah individu dan titik keberadaan R. rochusseni pada tipe penutupan lahan ... 28

5. Jumlah R. rochussenii berdasarkan ketinggian ... 31

6. Luas R. rochussenii berdasarkan tiap ketinggian ... 31

7. Jumlah R. rohussenii berdasarkan kemiringan lereng ... 35

8. Jumlah R. rochussenii berdasarkan kelas kemiringan lereng ... 35

9. Penyebaran R. rochussenii berdasarkan jarak dari sungai ... 39

10. Jumlah R. rochussenii berdasarkan kelas jarak dari sungai ... 40

11. Jumlah R. rochussenii berdasarkan nilai LAI ... 44

12. Jumlah R. rochussenii berdasarkan kelas nilai LAI ... 44

13. Keragaman total komponen utama ... 48

14. Vektor ciri PCA ... 48

15. Bobot masing-masing variabel kesesuaian habitat ... 49

16. Skor tiap variabel ... 49

17. Skor dan luas kesesuaian habitat ... 50

18. Validasi tiap kelas kesesuaian habitat R. rochussenii ... 51

(14)

No. Halaman

1. Rafflesia rochussenii ... 3

2. Knop Rafflesia rochussenii ... 4

3. Tetrastigma leucostaphylum ... 5

4. Peta lokasi penelitian ... 14

5. Diagram alir pengolahan citra ... 16

6. Diagram alir pembuatan peta ketinggian dan kemiringan lereng ... 16

7. Diagram alir pembuatan peta jarak dari sungai ... 17

8. Diagram alir proses analisis peta kesesuaian habitat R. rochussenii ... 20

9. Foto (a) hutan primer dan kondisi R. rochussenii (b) knop hidup (c) mekar mati (d) mekar hidup ... 29

10. Peta penutupan lahan Resort Tapos TNGGP ... 30

11. Peta ketinggian Resort Tapos TNGGP ... 33

12. Peta kelas ketinggian Resort Tapos TNGGP ... 34

13. Peta kemiringan lereng Resort Tapos TNGGP ... 37

14. Peta kelas kemiringan lereng Resort Tapos TNGGP ... 38

15. Peta jarak dari sungai Resort Tapos TNGGP ... 41

16. Peta kelas jarak dari sungai di Resort Tapos TNGGP ... 42

17. Pengambilan foto di bawah tajuk ... 43

18. Peta LAI (Leaf Area Index) Resort Tapos TNGGP ... 46

19. Peta kelas LAI (Leaf Area Index) Resort Tapos TNGGP ... 47

20. Peta skor akumulasi model kesesuaian habitat R. rochussenii di Resort Tapos TNGGP ... 53

(15)

No. Halaman

1. Rekapitulasi data survei lapang ... 58

2. Nilai overall classification accuracy ... 64

3. Nilai LAI pada setiap foto ... 65

(16)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) merupakan salah satu bentuk kawasan pelestarian alam yang berfungsi sebagai pelindung sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman spesies satwa dan tumbuhan, serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekositemnya. Kawasan tersebut merupakan perwakilan hutan hujan tropis pegunungan di Jawa Barat. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 174/Kpts-II/2003, luas kawasan TNGGP yaitu 22.851 ha. Kawasan TNGGP mempunyai keanekaragaman tumbuhan yang tinggi, salah satunya adalah tumbuhan langka

Rafflesia rochussenii Teijsm. et Binn.

Spesies R. rochussenii merupakan salah satu tumbuhan yang dilindungi karena statusnya sudah langka. Spesies R. rochussenii termasuk suku Rafflesiaceae yang merupakan tumbuhan holoparasit, yaitu tumbuhan yang sepenuhnya bergantung pada tumbuhan inang untuk kebutuhan makanannya. Spesies Tetrastigma leucostaphylum (Dennst.) Alston ex Mabb. merupakan jenis tumbuhan yang berfungsi sebagai inang dari spesies R. rochussenii. Penyebaran R. rochussenii meliputi Jawa dan Sumatera. Penyebaran R. rochusseni di Jawa meliputi Gunung Salak dan Gunung Gede Pangrango, dan di Sumatera meliputi Gunung Leuser, Berastagi dan Tapanuli (Zuhud et al. 1998; Nais 2001).

Populasi R. rochussenii di TNGGP mengalami penurunan yang diakibatkan oleh pembusukan knop, gangguan manusia dan gangguan satwa. Selain holoparasit, R. rochussenii juga termasuk tumbuhan berumah dua sehingga menyulitkan dalam bereproduksi. Faktor lain yang menyebabkan penurunan populasi spesies ini yaitu adanya pengambilan oleh masyarakat. Pengambilan R. rochussenii terjadi karena tumbuhan ini mempunyai harga jual yang sangat tinggi, terutama bagi kolektor tumbuhan langka (Agustini et al. 2004).

(17)

habitat dapat menjadi salah satu upaya pemecahan masalah ini. Sampai saat ini, belum ada penelitian mengenai pemetaan kesesuaian habitat R. rochussenii

khususnya di TNGGP. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian pemetaan kesesuaian habitat R. rochusseni di TNGGP sebagai informasi dalam upaya konservasi spesies tersebut.

1.2 Tujuan Penelitian

Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk :

1. Menentukan faktor fisik yang berpengaruh terhadap kesesuaian habitat R. rochussenii

2. Menentukan model kesesuain habitat R. rochussenii 3. Menentukan luas kesesuaian habitat R. rochussenii.

1.3 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dalam konservasi

(18)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Spesies Rafflesia rochussenii Teijsm. et Binn.

2.1.1 Klasifikasi dan morfologi

Zuhud et al. (1998) menyatakan bahwa klasifikasi Rafflesia rochussenii Teijsm. et Binn. dapat dikelompokan dalam:

Divisi (Deviso) : Spermatophyta Kelas (Clasis) : Angiospermae Anak Kelas (Sub class) : Dicotyledoneae Bangsa (Ordo) : Aristolochiales Suku (Familia) : Rafflesiaceae Marga (Genus) : Rafflesia

Jenis (Species) : Rafflesia rochussenii Teijsm. et Binn.

Gambar 1 Rafflesia rochussenii.

(19)

2.1.2 Bioekologi

Siklus hidup spesies R. rochussenii diawali dengan pertumbuhan knop pertama hingga bunga akan mekar dalam kurun waktu 739 hari, bunga akan mekar hingga mekar sempurna dalam kurun waktu 35 hari, bunga mekar hingga layu dalam kurun waktu 7 hari, bunga layu hingga berbiji dalam kurun waktu 133 hari, dan dari biji hingga knop pertama selama 2 tahun.

Gambar 2 Knop Rafflesia rochussenii.

Pertumbuhan rata-rata knop R. rochussenii adalah 0,017 cm per hari. Pertumbuhan tidak selalu sama pada tiap individu knop, karena semakain besar knop maka laju pertumbuhan diameternya semakin lambat. Satu batang T. leucostaphylum dapat ditumbuhi 0 – 18 individu R. rochussenii dengan akar berdiameter 0,5 – 2,5 cm yang tumbuh tersebar di lapisan tanah teratas. Akar tersebut mudah terlukai oleh jejak kaki dan kuku satwa. Sehingga tinggi kemungkinan biji R. rochussenii terinfeksi ke jaringan perakaran T. leucostaphylum (Nugroho 1991, diacu dalam Zuhud et al. 1998).

2.1.3 Habitat dan penyebaran R. rochussenii

(20)

dan Mg tanah relatif rendah, dengan kandungan K dan Na relatif sedang. Vegetasi paling dominan untuk tingkat pohon pada habitat R. rochussenii di Gunung Salak adalah Altingia excelsa, Schima wallichii, sedangkan untuk tumbuhan bawah didominasi oleh Cycas rumphii.

Peran hewan sangat penting dalam kehidupan R. rochussenii yaitu sebagai penyerbuk dan penyebar biji. Hewah penyerbuk yaitu lalat hijau (Lucilia sp.), lalat abu-abu (Sarcphaga sp.) dan lalat buah (Drosophila melanogaster). Hewan penyebar biji diduga dari spesies hewan berkuku seperti landak (Hystrix brachyura), tupai (Tupaia glis), babi hutan (Sus scrofa), musang luak (Paradoxurus hermaproditus) dan serangga seperti rayap tanah (Macrotermes sp.) dan semut (Polyergus sp.).

2.2 Spesies Tetrastigma leucostaphylum (Dennst.) Alston ex Mabb.

Spesies Tetrastigma leucotaphylum (Dennst.) Alston ex Mabb. merupakan salah satu inang dari R. rochusssenii. Zuhud et al. (1998) menyatakan bahwa klasifikasi dunia tumbuhan T. leucostaphylum dikelompokkan ke dalam:

Divisi : Spermatophyta Kelas : Angiospermae Anak Kelas : Dicotyledonae Bangsa : Rhamnales Suku : Vitaceae Marga : Tetrastigma

Spesies : Tetrastigma leucostaphylum (Dennst.) Alston ex Mabb.

(21)

Spesies T. leucostaphylum mempunyai batang yang tebal, berkayu dan panjang, daun majemuk dengan bentuk menjari (palmately) terdiri dari 1 sampai 3 helai daun atau berbentuk bangun kaki (pedately) terdiri dari 4 sampai 6 daun, mempunyai sulur, (tendril), tanpa cakram (diskus) yang melekat. Tetrastigma dapat digambarkan sebagai tumbuhan pemanjat yang besar, buah berkelopak (berry), berbentuk bulat (globose) atau elips (ellipsoid). Tumbuhan berbiji dan berumah dua. Biji berjumlah 1 sampai 4 buah, berkerut melintang diatas ventral, ukuran biji relative kecil (Backer & van den Brink 1963, diacu dalam Julianti 2006). Anakan T. leucostaphylum pada awal pertumbuhannya untuk sementara waktu tidak berbeda dengan penampilan pohon-pohon muda dan semak-semak. Proses selanjutnya terjadi pemanjangan pada internode bagian atas, batang muda terjadi lentur dan muda melengkung sehingga menuntut suatu peyangga.

Spesies T. leucostaphylum memberikan sebagian karbohidratnya untuk kebutuhan hidup R. rochussenii. Kandungan karbohidrat T. leucostaphylum yang ditumbuhi R. rochussenii di Gunung Salak mencapai 17,032 % (Zuhud et al. 1994). Mukmin (2008) menyatakan bahwa kandungan karbohidrat T. leucostaphylum yang ditumbuhi Rafflesia lebih rendah yaitu sebesar 16,05 % sedangkan kandungan karbohidrat yang tidak ditumbuhi R. rochussenii sebesar 26,17 %. Selain kandungan karbohidrat, T. leucostaphylum memiliki kandungan kimia yang tersaji pada Tabel 1.

Tabel 1 Presentase kandungan kimia T. leucostaphylum

No. Kandungan kimia T. leucostaphylum (%)

(22)

2.3 Sistem Informasi Geografis (SIG) 2.3.1 Pengertian SIG

Sistem yang menangani masalah informasi yang bereferensi geografis dalam berbagai cara dan bentuk disebut SIG. Masalah informasi tersebut mencakup tiga hal, yaitu:

1. Pengorganisasian data dan informasi. 2. Penempatan informasi pada lokasi tertentu.

3. Melakukan komputasi, memberikan ilustrasi keterhubungan antara satu dengan lainnya, serta analisa spasial lainnya.

Hasil penggabungan dua sistem dari SIG, yaitu antara sistem komputer untuk bidang kartografi CAC (Computer Aided Cartography) atau sistem komputer untuk bidang perancangan CAD (Computer Aided Design) dengan teknologi basis data (database). Oleh karena itu, SIG mempunyai keunggulan inheren karena penyimpanan data dan presentasinya dipisahkan sehingga data dapat dipresentasikan dalam berbagai cara dan bentuk (Prahasta 2001).

Puntodewo et al. (2003) menyatakan bahwa secara harfiah SIG diartikan sebagai komponen yang terdiri dari perangkat keras, perangkat lunak, data geografis, dan sumberdaya manusia yang bekerjasama secara efektif untuk menangkap, menyimpan, memperbarui, mengelola, memanipulasi, mengintegrasikan, menganalisa, dan menampilkan data dalam suatu informasi berbasis geografis. Definisi tersebut dapat diartikan SIG adalah suatu sistem yang terdiri dari berbagai komponen dan tidak dapat berdiri sendiri.

2.3.2Subsistem SIG

Berdasarkan definisi mengenai SIG yang telah disebutkan, Prahasta (2001) menguraikan SIG dalam beberapa subsistem yaitu:

(23)

2. Data Output pada subsistem menampilkan atau menghasilkan keluaran (seluruh atau sebagian) basisdata, baik dalam bentuk softcopy maupun hardcopy seperti table, grafik, peta, dan lainnya.

3. Data Management pada subsistem mengorganisasikan data spasial dan atribut menjadi sebuah basisdata yang sedemikian rupa, sehingga akan mudah dipanggil, di-update, dan di-edit.

4. Data Manipulation and Analysis pada subsistem menentukan informasi yang dapat di hasilkan oleh SIG. Subsistem ini juga melakukan manipulasi dan pemodelan data untuk menghasilkan informasi yang diharapkan.

2.3.3Komponen SIG

Gistut (1994) diacu dalam Prahasta (2001) menyatakan bahwa SIG merupakan suatu sistem yang kompleks, dan biasanya terintegrasi dengan lingkungan sistem-sistem komputer lainnya pada tingkat fungsional dan jaringan. Sistem SIG terdiri dari beberapa komponen, yaitu:

1. Perangkat keras yang sering digunakan untuk SIG adalah komputer (PC), mouse, digitizer, printer, plotter, dan scanner. Hingga saat ini SIG tersedia untuk berbagai platform perangkat keras seperti PC, desktop, workstatsion, dan multiuser host yang dapat digunakan secara bersamaan oleh banyak orang dalam jaringan komputer yang luas, berkemampuan tinggi, mempunyai ruang penyimpanan (harddisk) yang besar, serta mempunyai kapasistas memori (RAM) yang besar.

2. Perangkat lunak yang tersusun secara modular dimana basisdata memegang peranan kunci.

3. Data dan informasi diperlukan baik secara tidak langsung (import dari perangkat lunak SIG lainnya) maupun secara langsung (mendijitasi data spasial dari peta dan memasukan data attributnya dari tabel-tabel dan laporan dengan menggunakan keyboard).

(24)

2.3.4 Aplikasi SIG dalam konservasi tumbuhan

Penggunaan SIG untuk kehutanan tropis di negara-negara berkembang belum cukup lama dimulai dan bervariasi di setiap negara dalam hal tujuan, aplikasi, skala operasional, kesinambungan, dan pembiayaan (Puntodewo et al. 2003). Hingga saat ini aplikasi SIG telah cukup banyak digunakan oleh para peneliti termasuk didalamnya para peneliti dari bidang kehutanan, contohnya untuk memonitoring pergerakan satwa dan membuat model kesesuaian habitat flora dan fauna.

Beberapa penelitian pada bidang konservasi yang menggunakan aplikasi SIG adalah :

1. Pemetaan kesesuian habitat Rafflesia patma Blume di Cagar Alam dan Taman Wisata Alam Pananjung Pangandaran dengan menggunakan aplikasi SIG yang dilakukan oleh Gamasari (2007). Penelitian ini bertujuan untuk memetakan kesesuaian habitat R. patma Blume berdasarkan faktor-faktor fisik yaitu ketinggian, kemiringan lereng, jarak dari sungai dan leaf area index yang signifikan berpengaruh terhadap R. patma. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan software ArcView GIS 3.3 dan Erdas Imagine 8.5. Pengolahan LAI menggunakan software Hemiview 2.1. Analisis regresi linier berganda dilakukan untuk mengetahui seberapa pengaruh variabel yang diuji dengan jumlah R. patma. Berdasarkan hasil penelitian model yang digunakan untuk menentukan kesesuaian habitat R. patma yaitu Y = - 0,642 – (0,557 x ketinggian) + (0,465 x kemiringan lereng) + (0,423 x LAI). Faktor yang sinifikan berpengaruh terhadap jumlah R. patma yaitu ketinggian, kemiringan lereng dan LAI. Hubungan antara varabel bebas (ketinggian, kelerengan, jenis tanah, buffer sungai, LAI) dengan variabel bergantung (jumlah R. patma) sebesar 54,8%.

(25)

(3,077 x jarak dari sungai) + (3,077 x kelompok tanah) + (1,148 x ketinggian) + (1,148 x kemiringan lereng) + (1,148 x nilai LAI). Nilai validasi untuk kelas kesesuaian habitat tinggi sebesar 93%.

2.4 Penginderaan Jauh

2.4.1 Definisi

Lillesand dan Kiefer (1990) mendefinisi pengindraan jauh sebagai ilmu dan seni untuk memperoleh informasi mengenai suatu obyek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan menggunakan alat tanpa adanya kontak langsung dengan obyek, daerah, atau fenomena yang dikaji. Penginderaan jauh memberikan kemampuan kepada manusia untuk melihat sesuatu yang tidak tampak mata.

Definisi lain mengenai penginderaan jauh juga diuraikan oleh Lo (1996), dimana pengindraan jauh merupakan suatu teknik untuk mengumpulkan informasi mengenai objek dan leingkungannya dari jarak jauh tanpa adanya sentuhan fisik. Teknik ini akan menghasilkan bentuk citra yang selanjutnya perlu diproses dan diinterpretasi untuk menghasilkan data yang bermanfaat misalnya dalam aplikasi di bidang pertanian, arkeologi, kehutanan, geografi, perencanaan, dan lainnya. 2.4.2Citra Landsat

(26)

geometerik. Pencitraan TM merupakan suatu sensor optik yang beroperasi pada saluran tampak, inframerah, dan saluran spektral yang secara rinci dapat dilihat pada Tabel 2.

Lillesand dan Kiefer (1990) menjelaskan bahwa aplikasi remote sensing dalam pemakaian citra landsat untuk studi penutupan lahan atau penggunaan lahan sebaiknya disajikan pada peta secara terpisah dan tidak dijadikan satu seperti sistem USGS (United States Geological Survey). Tetapi kegiatan ini akan lebih efisien apabila menggabungkan dua sistem tersebut apabila data penginderaan jauh digunakan sebagai sumber data utama untuk kegiatan pemetaannya. Sistem klasifikasi penggunaan lahan dan penutupan lahan USGS disusun berdasarkan kriteria sebagai berikut :

1. Tingkat ketelitian interpretasi minimum dengan menggunakan peginderaan jauh harus tidak kurang dari 85%.

2. Ketelitian interpretasi untuk beberapa kategori harus lebih sama.

3. Hasil yang dapat diulang harus dapat diperoleh dari penafsir yang satu ke yang lain dan dari satu saat penginderaan ke saat yang lain.

4. Sistem klasifikasi harus dapat diterapkan untuk daerah yang luas.

5. Kategorisasi harus memungkinkan penggunaan lahan ditafsir dari tipe penutupan lahannya.

6. Sistem klasifikasi harus dapat digunakan dengan data penginderaan jauh yang diperoleh pada waktu yang berbeda.

7. Kategori harus dapat dirinci kedalam subkategori yang lebih rinci yang dapat diperoleh dari citra skala besar atau survei lapangan.

8. Pengelompokan kategori harus dapat dilakukan.

9. Membandingkan data penutupan lahan dan penggunahan lahan pada masa yang akan datang.

(27)

Tabel 2 Aplikasi prinsip dan saluran spektral tematik mapper Saluran

(Band)

Panjang

Gelombang (µm) Potensi Pemanfaatan

1 0,45 – 0,52 Dirancang untuk penetrasi badan air, sehingga bermanfaat untuk pemetaan perairan pantai. Berguna juga untuk membedakan antara tanah dengan vegetasi, tumbuhan berdaun lebar dan daun jarum.

2 0,52 – 0,69 Dirancang untuk mengukur puncak pantulan hijau saluran tampak bagi vegetasi guna penilaian ketahanan.

3 0,63 – 0,69 Saluran absorpsi klorofil yang penting untuk diskriminasi vegetasi.

4 0,76 – 0,90 Bermanfaat untuk menentukan kandungan biomassa dan untuk dilineasi badan air.

5 1,55 – 1,75 Menunjukan kandungan kelembaban vegetasi dan kelembaban tanah. Juga bermanfaat untuk membedakan salju dan awan. 6 10,40 – 12,50 Saluran inframerah termal yang penggunaannya untuk analisis

pemetaan vegetasi, diskriminasi kelembaban tanah, dan pemetaan termal.

7 2,08 – 2,35 Saluran yang diseleksi karena potensinya untuk membedakan tipe batuan dan untuk pemetaan hidrotermal.

Sumber : Lo (1996).

2.4.3 NDVI (Normalized Difference Vegetation Index)

NDVI merupakan salah satu parameter awal yang dapat ditentukan dari data satelit. Pigmen pada daun, klorofil, menyerap glombang tampak (0,4 – 0,7 µm). Sementara itu, struktur sel daun memantulkan gelombang inframerah dekat (0,7 – 1,1 µm). Oleh karena itu, estimasi NDVI berbasis data satelit merupakan perhitungan kanal cahaya tampak dan inframerah dekat. Nilai NDVI menggambarkan tingkat kehijauan biomassa dan merupakan indikator yang baik untuk menentukan status (kesehatan, kerapatan) vegetasi pada suatu wilayah namun tidak berhubungan langsung dengan ketersediaan air tanah di wilayah tersebut (Hung 2000).

2.5 GPS (Global Positioning System)

(28)

dihitung. Hingga saat ini, sedikitnya terdapat 24 satelit GPS yang dioperasikan oleh Departemen Pertahanan Amerika Serikat, satelit tersebut mengorbit selama 12 jam (dua orbit per hari) pada ketinggian 11.500 mil dan bergerak dengan kecepatan 2000 mil per jam

2.6 Ketelitian GPS

Ketelitian GPS tergantung dari tipe GPS, yaitu sebagai berikut:

1. Tipe navigasi pada umumnya digunakan untuk penentuan posisi absolute secara instan yang tidak menunutut ketelitian yang terlalu tinggi. Receiver navigasi tipe sipil ini dapat memberikan ketelitian posisi sekitar 50-100 m, dan tipe militer sekitar 10-2-m.

2. Tipe pemetaan umumnya data yang diperoleh direkam kemudian dipindahkan (down-load) ke komputer untuk dapat diproses lebih lanjut. Selanjutnya sama halnya seperti receiver tipe navigasi, receiver tipe pemetaan ini dapat digunakan untuk penentuan posisi secara diferensial, dan dalam hal ini ketelitian yang dapat diperoleh adalah sekitar 1-5 meter.

(29)

BAB III

METODOLOGI

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Pengambilan data lapang dilakukan di Resort Tapos Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Pengolahan data dilakukan Laboratorium Analisis Lingkungan dan Permodelan Spasial, Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan IPB. Penelitian dilakukan selama 3 bulan pada bulan Desember 2010 – Februari 2011. Pengambilan data lapang dilakukan selama 1 bulan, dan pengolahan data dilakukan selama 2 bulan. Peta lokasi penelitian tersaji pada Gambar 4.

Gambar 4 Peta lokasi penelitian.

3.2 Alat dan Bahan

(30)

3.3 Metode Penelitian

3.3.1 Pengumpulan data

Data sekunder diperoleh melalui studi pustaka seperti bio-ekologi R. rochussenii Teijsm. et Binn., kondisi umum lokasi penelitian, Citra landsat dan peta-peta digital seperti Peta kontur, Peta batas Resort Tapos dan batas TNGGP, dan Peta jaringan sungai TNGGP. Data primer yang akan digunakan dalam penelitian ini diperoleh langsung dari lapangan. Berikut data-data yang diambil langsung dari lapangan:

1. Ground Control Point (GCP) untuk setiap penutupan lahan. Data ini diperoleh dengan mengambil titik menggunakan GPS

2. Titik keberadaan R. rochussenii dan Tetrastigma leucostaphylum. Data ini di peroleh dengan mengambil titik dengan GPS

3. Nilai LAI (Leaf Area Index) di setiap penutupan lahan dan di setiap R. rochussenii ditemukan. LAI diambil dengan metode hemispherical photograph

(hemipot). Data ini diperoleh dengan cara mengambil foto dari bawah (lantai hutan), dengan menggunakan kamera berlensa fisheye yang diletakkan pada tripod. Data yang dihasilkan merupakan data foto.

3.3.2 Pengolahan data

3.3.2.1 Pengelolaan citra

a. Pemulihan Citra (image restoration)

Pemulihan citra merupakan prosedur operasi yang bertujuan untuk memperoleh data permukaan bumi sesuai dengan aslinya atau tanpa distorsi (Purwadhi 2001). Adapun langkah yang dikakukan meliputi koreksi geometri yang bertujuan untuk memperbaiki distorsi geometri.

b. Pemotongan citra (subsetimage)

Pemotongan citra bertujuan untuk membatasi wilayah penelitian, yaitu dengan memotong batas wilayah mengunakan peta batas Resort Tapos TNGGP. c. Klasifikasi citra (image classification)

(31)

classification sehingga diperoleh peta penutupan lahan. Proses pengolahan citra dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5 Diagram alir pengolahan citra.

3.4.2.2 Pembuatan peta ketinggian dan peta kemiringan lereng

Peta kontur diolah dengan program Erdas Imagine 9.1. Pada kajian analisis topografi akan menghasilkan peta 3D surfacing berupa data raster. Setelah data

3D surfacing terbentuk, dilakukan pengolahan untuk menghasilkan output berupa peta ketinggian. Untuk mengasilkan peta kemiringan lereng, data 3D Surfacing

diolah melalui surface slope. Proses pembuatan peta ketinggian dan kemiringan lereng dapat dilihat pada Gambar 6.

(32)

3.4.2.3 Pembuatan peta jarak dari sungai

Peta jarak sungai dibuat dari peta digital jaringan sungai yang dianalisis menggunakan software ArcGIS 9.3. Hasil pengolahan peta jarak dari sungai merupakan data raster. Proses pembuatannya dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7 Diagram alir pembuatan peta jarak dari sungai.

3.4.2.4 Pembuatan peta leaf area index (LAI)

Pembuatan peta LAI dilakukan dengan cara analisis spasial model persamaan regresi linear sederhana antara pengaruh NDVI (Normalization Difference Vegetation Index) terhadap LAI. Nilai NDVI merupakan nilai tengah dari spektral yang didapat dari gelombang elektromagnetik merah dan inframerah terdekat. Perhitungan NDVI dengan Erdas Imagine 9.1 menggunakan rumus:

NDVI = band 4 - band 3 band 4 + band 3

Model persamaan regresi linear sederhana yang digunakan adalah sebagai berikut:

Y = a + b X

Keterangan : Y = LAI

a = konstanta regresi

b = koefisien

X = NDVI

(33)

koefisien determinan (R square). Nilai koefisien semakin tinggi maka nilai Y yang dijelaskan terhadap X akan semakin besar.

3.4.3 Analisis Data

3.4.3.1 Analisis komponen utama (principle component analysis/PCA)

Model kesesuaian habitat R. rochussenii diperoleh dengan menggunakan Analisis komponen utama. Analisis kompenen utama merupakan metode yang digunakan untuk meminimumkan masalah multikolineritas tanpa harus mengeluarkan variabel bebas yang terlibat hubungan kolinear. Prosedur analisis komponen utama pada dasarnya bertujuan untuk menyederhanakan variabel yang diamati dengan cara menyusutkan (mereduksi) dimensinya. Hal ini dilakukan dengan cara menghilangkan korelasi diantara variabel bebas melalui tranformasi variabel bebas asal menjadi variabel baru yang tidak berkorelasi sama sekali atau biasa disebut dengan principal component (Soemartini 2008).

Analisis komponen utama dilakukan dengan menggunakan software SPSS 1.6. Analisis komponen utama dilakukan untuk mengetahui faktor fisik yang paling berpengaruh terhadap R. rochussenii, berdasarkan keberadaan ditemukan

R. rochussenii dengan masing-masing layer yaitu jarak dari sungai, LAI, ketinggian, dan kemiringan lereng. Selanjutnya dari hasil analisis komponen utama dapat ditentukan bobot masing-masing faktor yang paling berpengaruh terhadap sebaran R. rochussenii.

3.4.3.2 Peta kesesuaian habitat R. rochussenii

Hasil analisis PCA digunakan untuk menentukan bobot masing-masing variabel habitat yang diteliti untuk analisis spasial, sehingga diperoleh persamaan kesesuaian habitat sebagai berikut:

Y = (aFk1 + bFk2 + cFk3 + dFk4)

Keterangan :

Y = skor akumulasi kesesuaian habitat a-d = nilai bobot setiap variabel Fk1 = faktor jarak dari sungai Fk2 = faktor LAI

(34)

3.4.3.3 Kelas kesesuaian habitat R. rochussenii

Peta kesesuaian habitat R. rochussenii yang diperoleh selanjutnya dibagi menjadi 3 kelas kesesuaian yaitu kesesuaian tinggi, kesesuaian sedang dan kesesuaian rendah. Nilai selang klasifikasi kesesuaian habitat dihitung dari nilai tertinggi dikurangi nilai terendah dimana hasilnya kemudian dibagi dengan banyaknya klasifikasi kesesuaian habitat.

Keterangan :

Smaks = nilai skor kumulatif kesesuaian habitat tertinggi Smin = nilai skor kumulatif kesesuaian habitat terendah K = banyaknya kelas kesesuaian habitat

3.4.3.4 Validasi model

Validasi model dilakukan untuk mengetahui nilai akurasi klasifikasi kesesuaian habitat. Validasi dilakukan dengan membandingkan jumlah seluruh individu R. rochussenii yang terdapat di tiap kelas kesesuaian habitat dengan jumlah seluruh jumlah individu yang digunakan untuk validasi.

Validasi = N x 100%

N Keterangan:

(35)
(36)

BAB IV

KONDISI UMUM LOKASI

4.1 Sejarah dan Status Kawasan

Sejarah kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dimulai sejak tahun 1830 dengan terbentuknya kebun raya kecil di dekat Istana Gubernur Jenderal Kolonial Belanda di Cipanas. Kebun raya kecil ini kemudian diperluas hingga menjadi Kebun Raya Cibodas seperti sekarang ini. Pada tahun 1889, berdasarkan SK Gubernur Jenderal Hindia Belanda nomor 50 tanggal 17 mei 1889 ditetapkan cagar alam dan areal hutan di atasnya seluas 240 ha sebagai contoh flora pegunungan Pulau Jawa sekaligus sebagai cagar alam tertua di Indonesia. Kemudian tanggal 11 juni 1919 kawasan tersebut diperluas hingga areal hutan di sekitar Air Terjun Cibeureum melalui SK Gubernur Jenderal Hindia Belanda nomor 33 staatsblad No. 392-15.

Berdasarkan SK Gubernur Jenderal Hindia Belanda Nomor 83 staatsblad No. 392-1, satu areal hutan lindung di lereng Gunung Pangrango dekat Desa Caringin ditetapkan sebagai Cagar Alam Cimungkat seluas 56 ha. Pada tanggal 5 januari 1925 melalui SK Gubernur Jenderal Hindia Belanda Nomor 7 staadsblad 15 ditetapkan daerah puncak Gunung Gede, Gunung Gumuruh, Gunung Pangrango, serta DAS (Daerah Aliran Sungai) Ciwalen dan Cibodas sebagai Cagar Alam Cibodas-Gunung Gede seluas 1.040 ha. SK ini menarik kembali berlakunya SK pada tahun 1889. Kemudian pada tanggal 27 Juli 1927 dikeluarkan SK Gubernur Jenderal Hindia Belanda No. 26 yang menunjuk Komplek Hutan Gunung Gede dan Gunung Pangrango di Kabupaten Daerah Tk II Bogor, Sukabumi, dan Cianjur sebagai kawasan hutan seluas ± 14.000 ha.

(37)

Pada tahun 1979, Menteri Pertanian mengeluarkan SK Nomor 108/Kpts/Um/2/1979 tanggal 10 Februari 1979 yang menunjuk Hutan Gunung Gede dan Gunung Pangrango sebagai kawasan Hutan Suaka Alam/Cagar Alam seluas ± 14.000 ha. Kemudian pada tanggal 6 maret 1980, Menteri Pertanian RI mengumumkan kawasan CA Cibodas, CA Cimungkat, CA Gunung Gede Pangrango, TWA Situgunung dan areal hutan alam di lereng hutan Gunung Gede Pangrango sebagai Taman Nasional Gunung Gede Pangrango seluas 15.196 ha.

Pada dekade kedua, melalui SK Dirjen PHPA Nomor : 12/Kpts/DJ-VI/1992 tanggal 14 Februari 1992, ditetapkan zonasi yang meliputi Zona Inti, Zona Rimba, dan Zona Pemanfaatan. Pada tanggal 22 Mei 1992 melalui SK Menteri Kehutanan Nomor 472/Kpts-II/1992, ditetapkan Komplek Hutan Gunung Gede dan Gunung Pangrango yang terletak di Daerah Tk II Bogor, Sukabumi, dan Cianjur seluas 14.100,75 ha sebagai kawasan hutan tetap dengan fungsi Hutan Suaka Alam/Cagar Alam (BTNGP 2003).

Pada dekade ketiga, kawasan TNGGP diperluas menjadi 21.975 ha melalui surat keputusan Menteri Kehutanan Nomor 174/Kpts-II/2003 tanggal 10 Juni 2003. Luasan tersebut merupakan perluasan areal eks Perum Perhutani. Berdasarkan Berita Acara Serah Terima Pengelolaan nomor 002/BAST-HUKAMAS/III/2009 nomor 1237/II-TU/2009 tanggal 6 Agustus 2009, luas kawasan yang diserahkan Perum Perhutani unit III Jawa Barat dan Banten kepada BB TNGGP adalah seluas 7.655 ha, sehingga luas total TNGGP menjadi 22.851 ha. Secara administratif TNGGP berada di 3 Kabupaten, yaitu Kabupaten Sukabumi (9.356,10 ha), Bogor (7.155,00 ha) dan Cianjur (5.463,90 ha).

4.2 Keadaan Fisik

(38)

Topografi TNGGP bervariasi mulai dari landai hingga bergunung, dengan kisaran ketinggian antara 700 - 3000 m dpl. Jurang dengan kedalaman sekitar 70 m banyak dijumpai di kawasan tersebut. Sebagian besar kawasan TNGGP merupakan dataran tinggi tanah kering dan sebagian kecil lagi merupakan daerah rawa, terutama di daerah sekitar Cibeureum yaitu Rawa Gayonggong.

TNGGP merupakan hulu dari 55 sungai, baik sungai besar maupun sungai kecil. Aliran-aliran kecil mengalir dari dinding kawah menuju bawah dan menghilang pada tanah vulkanik yang mempunyai porositas tinggi. Umumnya kondisi sungai di dalam kawasan ini masih terlihat baik dan belum rusak oleh aktifitas manusia. Kualitas air sungai cukup baik dan merupakan sumber air utama bagi kota-kota yang terdapat di sekitarnya. Lebar sungai di hulu berkisar 1 - 2 m dan di hilir mencapai 3 - 5 m dengan debit air yang cukup tinggi. Kondisi fisik sungai ditandai dengan kondisi yang sempit dan berbatu besar pada tepi sungai bagian hilir (BTNGP 2003).

4.3 Keadaan Biotik

4.3.1 Flora

TNGGP dikenal dan banyak dikunjungi karena memiliki potensi hayati yang tinggi, terutama keanekaragaman flora. Di kawasan ini hidup lebih dari 1000 spesies tumbuhan, yang tergolong tumbuhan berbunga (Spermatophyta) sekitar 900 spesies, tumbuhan paku lebih dari 250 jenis, lumut lebih dari 123 jenis, ditambah berbagai spesies ganggang, spagnum, jamur dan spesies Thalophyta lainnya (BTNGP 2003).

van Steenis (2006) menyatakan bahwa setiap zona memiliki berbagai spesies tumbuhan yang berbeda sehingga spesies tumbuhan dapat mewakili tipe vegetasi pada masing-masing zona. Keadaan vegetasi pada setiap zona di TNGGP, yaitu :

a) Zona Sub Montana

(39)

argentea), pasang (Quercus sp.), rasamala (Altingia excelsa) dan sebagainya. Perdu yang terdapat pada zona ini adalah Ardisia fuliginbia,

Pandanus sp., Pinanga sp. Blune dan Laportea stimulans. Sedangkan spesies tumbuhan bawah pada zona sub montana adalah Begonia sp., Cyrtandra picta dan Curculigo latifolia.

b) Zona Montana

Keadaan vegetasi di zona montana dalam hal keanekaragaman spesies dan kerapatannya tidak jauh berbeda dengan keadaan zona sub montana. Pohon yang dominan adalah jamuju (Podocarpus imbricatus), pasang (Quercus sp.), kiputri (Podocarpus neriifolius), Castanopsis sp. dan rasamala (Altingia excelsa). Sedangkan spesies tumbuhan bawah yang terdapat pada zona montana adalah Strobilanthes cermuis, Begonia sp. dan Melastoma sp.

Pada ketinggian antara 2100-2400 mdpl banyak dijumpai paku-pakuan atau kelompok tanaman epifit, yaitu Cythea tomentosa, paku sarang burung (Asplenium nidus) dan Plagiogria glauca. Sedangkan anggrek, antara lain adalah Dendrobium sp., Arundina sp., Cymbiddium sp., Eriates sp., Chynanthus radicans dan Calanthesp.

c) Zona Sub Alpin

(40)

4.3.2Fauna

Berdasarkan potensi keanekaragaman satwaliarnya, TNGGP merupakan kawasan yang memiliki spesies burung tertinggi di pulau jawa. Sekitar 53 % atau 260 spesies dari 460 spesies burung di jawa dapat ditemukan di kawasan ini. Disamping itu, 19 dari 20 spesies burung endemik di Pulau Jawa hidup di kawasan ini, termasuk spesies yang langka dan dilindungi undang-undang, salah satunya adalah elang jawa (Spizaetus bartelsi) yang ditetapkan sebagai “Satwa Dirgantara” melalui Keputusan Presiden No. 4 tanggal 9 Januari 1993, celepuk gunung (Otus angelinae) dan berecet (Psaltria exilis).

Kelompok mamalia tercatat sekitar 110 jenis, 5 spesies diantaranya adalah kelompok primata yaitu monyet (Macaca fascicularis), surili (Presbytis commata), owa jawa (Hylobates moloch) lutung (Trachipytecus auratus) dan kukang (Tarsius bancanus). Beberapa spesies mamalia berukuran besar yang hidup di wilayah ini antara lain babi hutan (Sus scrofa linnaeus), mencek (Muntiacus muntjak) dan anjing hutan (Cuon alpinus) serta beberapa spesies mamalia yang berukuran kecil yaitu sigung (Mydaus javanensis), Mustella flavigula, Rattus lepturus dan ajag (Crocidura fuliginosa). Terdapat juga beberapa spesies musang dari genus Herpestes, Viverricula, Paradoxurus dan Megalole. Selain itu terdapat serangga (insekta) lebih dari 300 spesies, reptilia sekitar 75 spesies, katak sekitar 20 spesies dan berbagai spesies binatang lunak (moluska).

4.4 Potensi Wisata Alam

(41)

lagi yaitu Cisarua yang memiliki Bumi Perkemahan Barubolang dan Air Terjun Beret (Tim PKLP TNGP 2010).

4.5 Sosial Budaya Masyarakat Sekitar Kawasan

(42)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Penutupan Lahan dan Keberadaan Rafflesia rochussenii Teijsm. et Binn.

Hasil Klasifikasi citra Landsat 7 ETM+ path/row 122/065 waktu perekaman tanggal 6 Agustus 2009, terdapat 9 tipe penutupan lahan yaitu hutan primer, hutan sekunder, hutan tanaman, kebun campuran, semak belukar, sawah, tegalan, lahan terbuka, dan pemukiman (lahan terbangun). Nilai overall classification accuracy dari hasil klasifikasi citra Landsat tahun 2009 sebesar 94,12%. Luas dan persentase luas tiap tipe penutupan lahan di Resort Tapos disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Luas dan persentase luas tiap tipe penutupan lahan di Resort Tapos

No. Tipe penutupan lahan Luas (ha) Persentase luas (%)

1 Hutan primer 444,87 39,67

9 Pemukiman (lahan terbangun) 12,06 1,08

Hutan primer memiliki luas area tertinggi dibandingkan dengan tipe penutupan lahan lainnya. Luas hutan primer sebesar 444,87 ha (39,67%) sedangkan sawah memiliki luas area terendah sebesar 8,64 ha (0,77%). Hutan primer di Resort Tapos terdiri atas hutan hujan tropika dan hutan hujan pegunungan. Bila luas area hutan primer dan hutan sekunder diakumulasikan maka Resort Tapos memiliki kawasan hutan seluas 629,37 ha atau sekitar 56,12% dari total luas kawasan Resort Tapos. Kawasan hutan merupakan area yang mendominasi Resort Tapos dibandingkan kawasan non-hutan didalamnya.

(43)

keberadaannya pada tipe penutupan lahan disajikan pada Tabel 4. Peta penutupan lahan Resort Tapos tersaji pada Gambar 10.

Tabel 4 Jumlah individu dan titik keberadaan R. rochussenii pada tipe individu dengan total 100 knop (baik hidup maupun mati) dan 46 individu dalam keadaan mekar. Pada hutan sekunder hanya terdapat 4 individu dengan total 3 knop (baik hidup maupun mati) dan 1 individu dalam keadaan mekar yang telah membusuk. Jumlah R. rochussenii yang hidup di hutan primer memiliki persentase sebesar 97,33% sedangkan di hutan sekunder hanya sebesar 2,67%. Persentase tersebut menunjukkan bahwa R. rochussenii pada hutan primer memiliki kelangsungan hidup yang lebih tinggi. Tingginya kelangsungan hidup R. rochussenii didukung oleh faktor fisik dan biotik yang ada di habitat tersebut. Faktor fisik pendukung kelangsungan hidup R. rochussenii antara lain ketinggian, kemiringan lereng dan jarak dari sungai. Faktor biotik pendukung antara lain penutupan tajuk (LAI) dan satwa yang berinteraksi dengan R. rochussenii.

(44)

Gambar 9 Foto (a) hutan primer dan kondisi R. rochussenii; (b) knop hidup; (c) mekar mati; (d) mekar hidup.

(45)
(46)

5.2 Faktor Penentu Kesesuaian Habitat Rafflesia rochussenii Teijsm. et Binn.

5.2.1 Ketinggian tempat

Berdasarkan hasil pengukuran di lapang, spesies R. rochussenii ditemukan pada ketinggian tempat berkisar antara 1246 – 1488 m dpl. Jumlah R. rochussenii terbanyak ditemukan pada ketinggian 1382 m dpl sebanyak 38 individu. Jumlah R. rochussenii berdasarkan ketinggian tempat disajikan pada Tabel 5 dan peta ketinggian Resort Tapos disajikan pada Gambar 11.

Tabel 5 Jumlah R. rochussenii berdasarkan ketinggian tempat

Titik Jumlah

Pada ketinggian 1246 – 1488 m dpl ditemukan 150 individu R. rochussenii. Jumlah knop pada seluruh titik ketinggian tempat sebanyak 104 knop dengan persentase knop hidup sebesar 48,54% sedangkan persentase knop mati sebesar 51,46%. Jumlah individu mekar pada seluruh ketinggian tempat sebanyak 46 individu dengan persentase individu mekar hidup sebesar 22,45% sedangkan persentase individu mekar yang telah mati atau membusuk sebesar 77,55%. Jumlah R. rochussenii berdasarkan kelas ketinggian disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Jumlah R. rochussenii berdasarkan kelas ketinggian

No. Kelas ketinggian (m dpl) Luas (ha) Jumlah R. rochussenii (ind) Jumlah titik

1 700 – 1000 430,83 0 0

2 1000 – 2300 700,11 150 12

(47)

700 – 1000 m dpl dengan luas terendah sebesar 430,83 ha. Peta kelas ketinggian Resort Tapos disajikan pada Gambar 12.

Berdasarkan data yang diperoleh menurut kelas ketinggian, seluruh individu R. rochussenii ditemukan pada kelas ketinggian 1000 – 2300 m dpl. Hal ini menunjukkan bahwa R. rochussenii hanya tumbuh pada hutan hujan pegunungan, sesuai dengan Zuhud et al. (1998) yang menyatakan bahwa R. rochussenii memiliki tempat tumbuh pada ketinggian 1350 m dpl. Berbeda dengan spesies Rafflesia lainnya seperti R. patma yang ditemukan di Cagar Alam (CA) Sancang pada ketinggian 13 – 138 m dpl (Herdiyanti 2009) dan di CA Pangandaran pada ketinggian 0 – 26 m dpl (Gamasari 2007), serta R. zollingeriana di Taman Nasional (TN) Meru Betiri pada ketinggian dibawah 100 m dpl (Zuhud 1989).

Pada penelitian ini, data ketinggian yang diperoleh dari pengukuran di lapang kemudian direferensikan dengan hasil penelitian R. rochussenii yang telah dilakukan oleh para peneliti sebelumnya. Hal ini dimaksudkan agar pada saat penentuan kesesuaian habitat dilakukan, faktor ketinggian yang digunakan telah teruji dan sesuai dengan referensi yang relevan. Ketinggian tempat yang diperoleh dalam penelitian ini berkisar antara 1246 – 1488 m dpl merupakan kisaran ketinggian tempat yang sesuai dengan Nais (2001) dan Agustini et al. (2004). Nais (2001) menyatakan bahwa R. rochussenii dapat ditemukan pada kisaran ketinggian antara 700 – 1500 m dpl. Agustini et al. (2004) menyatakan bahwa R. rochussenii yang ditemukan di Resort Tapos berada pada kisaran ketinggian antara 1150 – 1300 m dpl.

(48)

Gambar 11 Peta ketinggian tempat Resort Tapos TNGGP.

3

(49)

Gambar 12 Peta kelas ketinggian tempat Resort Tapos TNGGP.

(50)

5.2.2 Kemiringan lereng

Berdasarkan hasil pengukuran di lapang, Resort Tapos memiliki kemiringan lereng berkisar antara 0 – 131 %, dengan bentuk lereng bervariasi mulai dari datar hingga sangat curam. Spesies R. rochussenii ditemukan pada kemiringan lereng berkisar antara 7 – 43 %. Jumlah R. rochussenii terbanyak ditemukan pada kemiringan lereng 40% sebanyak 38 individu. Jumlah R. rochussenii berdasarkan kemiringan lereng disajikan pada Tabel 7. Peta kemiringan lereng Resort Tapos disajikan pada Gambar 13.

Tabel 7 Jumlah R. rochussenii berdasarkan kemiringan lereng

Titik Jumlah

Pada penelitian ini, klasifikasi kemiringan lereng dilakukan dengan membagi 3 kelas kemiringan lereng yaitu 0 – 15 % dengan bentuk lereng datar, 15 – 45 % dengan bentuk lereng curam, dan lebih dari 45% dengan bentuk lereng sangat curam. Pengklasifikasian kemiringan lereng umumnya dibagi menjadi 5 kelas kemiringan lereng namun dalam pengukuran di lapang diketahui bahwa titik keberadaan R. rochussenii kurang menyebar di setiap kelas. Penggabungan kelas kemiringan lereng menjadi 3 kelas saja dimaksudkan untuk merelevansi penyebaran titik keberadaan R. Rochussenii berdasarkan kelas kemiringan lereng di lapang. Jumlah R. rochussenii berdasarkan kelas kemiringan lereng tersaji pada Tabel 8.

Tabel 8 Jumlah R. rochussenii berdasarkan kelas kemiringan lereng

No. Kelas lereng (%) Luas (ha) Jumlah R. rochussenii (ind) Jumlah titik

1 0 – 15 160,38 39 2

2 15 – 45 503,82 111 10

(51)

Berdasarkan 12 titik keberadaan, R. rochussenii tersebar di dua kelas kemiringan lereng. Titik keberadaan R. rochussenii terbanyak ditemukan pada kelas kemiringan lereng 15 – 45 % yaitu 10 titik dengan jumlah 111 individu. Titik keberadaan R. rochussenii paling sedikit ditemukan pada kelas kemiringan lereng lebih dari 0 – 15 % yaitu 2 titik dengan jumlah 39 individu. Penyebaran R. rochussenii melimpah pada kemiringan lereng 15 – 45 %, berbeda dengan Agustini et al. (2004) yang menyatakan bahwa R. rochussenii di Resort Tapos melimpah pada kemiringan lereng 10 – 20 %. Perbedaan dapat disebabkan telah terjadi perluasan penyebaran R. rochussenii saat pengamatan di lapang. Pada kelas kemiringan lereng lebih dari 45 % tidak ditemukan R. rochussenii. Hal ini dapat diduga bahwa pada kemiringan lereng lebih dari 45 % menyulitkan satwa (penyebar biji) beraktifitas pada daerah tersebut karena curam. Peta kelas kemiringan lereng Resort Tapos disajikan pada Gambar 14.

(52)

Gambar 13 Peta kemiringan lereng Resort Tapos TNGGP.

3

(53)

Gambar 14 Peta kelas kemiringan lereng Resort Tapos TNGGP.

3

(54)

5.2.3 Jarak dari sungai

Peran sungai dalam pertumbuhan tumbuhan sangat berpengaruh karena tumbuhan memerlukan air untuk kelangsungan hidupnya. Sungai yang terdapat di Resort Tapos yaitu Sungai Cikereteg, Sungai Cibanteng, Sungai Ciherang, Sungai Ciheranggede, Sungai Cipondokmenteng, dan Sungai Cibedug. Sungai-sungai ini rata-rata mengalir sepanjang tahun.

Spesies R. rochussenii merupakan tumbuhan yang menggantungkan semua kebutuhan hidupnya terhadap inang yaitu T. leucostaphylum. Kebutuhan air sangat mempengaruhi kelangsungan hidup T. leucostaphylum untuk berfotosintesis dan menjaga turgiditas dalam batang. Semakin dekat dengan sumber air maka cadangan air tanah akan semakin melimpah. Bila T. leucostaphylum tercukupi kebutuhan airnya juga akan meningkatkan kelangsungan hidup R. rochussenii.

Resort Tapos memiliki jarak dari sungai berkisar antara 0 – 296,99 m. Spesies R. rochussenii ditemukan pada tempat yang berjarak antara 150 – 228,47 m dari sungai. Jumlah R. rochussenii terbanyak terdapat pada jarak dari sungai yaitu 161,55 m sebanyak 104 individu. Jumlah R. rochussenii berdasarkan jarak dari sungai disajikan pada Tabel 9. Peta jarak dari sungai Resort Tapos disajikan pada Gambar 15.

Tabel 9 Jumlah R. rochussenii berdasarkan jarak dari sungai

Titik Jumlah

(55)

pada jarak 161,56 m dan 216,33 m. Apabila jumlah R. rochussenii yang memiliki jarak yang sama diakumulasikan maka jumlah individu pada jarak dari sungai 216,33 m sebanyak 14 individu dan jumlah individu pada jarak dari sungai 161,55 m sebanyak 104 individu. Spesies R. rochussenii tumbuh dengan baik pada jarak dari sungai yaitu 161,55 m.

Pengklasifikasian jarak dari sungai dilakukan dengan pembagian menjadi 3 kelas yaitu 0 – 100 m, 100 – 200 m, dan lebih dari 200 m. Jumlah R. rochussenii berdasarkan kelas jarak dari sungai disajikan pada Tabel 10. Peta kelas jarak dari sungai Resort Tapos disajikan pada Gambar 16.

Tabel 10 Jumlah R. rochussenii berdasarkan kelas jarak dari sungai

No. Jarak dari sungai (m) Luas (ha) Jumlah R. rochussenii (ind) Jumlah titik disimpulkan bahwa Resort Tapos merupakan kawasan dengan jarak dari sungai tergolong rendah yaitu terdapat banyak sungai yang mengalir di kawasan tersebut. Berdasarkan banyaknya jumlah individu, R. rochussenii banyak ditemukan pada kelas 100 – 200 m sedangkan pada kelas 0 – 100 m yang seharusnya lebih banyak ditemukan namun saat pengamatan di lapang tidak ditemukan sama sekali. Pada kelas 0 – 100 m pada daerah pegunungan terdapat pada kemiringan lereng curam.

(56)

Gambar 15 Peta jarak dari sungai Resort Tapos TNGGP.

(57)

Gambar 16 Peta kelas jarak dari sungai Resort Tapos TNGGP.

(58)

5.2.4 LAI (Leaf Area Index)

Nilai LAI (Leaf Area Index) digunakan untuk memprediksi besaran cahaya dan kelembaban dengan asumsi jika kanopi semakin tertutup maka cahaya yang masuk ke lantai hutan semakin kecil dan kelembabannya semakin tinggi. Nilai LAI diperoleh dari data LAI yang diambil dari lapang berupa foto penutupan tajuk yang kemudian diolah dengan software Hemiview. Foto penutupan tajuk hasil pengambilan kamera fisheye disajikan pada Gambar 17.

Gambar 17 Pengambilan foto di bawah tajuk (a) nilai LAI sebesar 2,060 dan (b) nilai LAI sebesar 0,662.

Berdasarkan hasil analisis regresi linier, diperoleh model persamaan untuk mengetahui pengaruh NDVI (Normalization Difference Vegetation Index) terhadap LAI yaitu sebagai berikut:

LAI = 0,895 + 2,27 NDVI

Hasil analisis regresi linier membuktikan bahwa NDVI memiliki hubungan kuat dengan LAI yang ditunjukkan dengan nilai R (koefisien korelasi) sebesar 0,951 yang berarti ditemukan adanya hubungan antara LAI dan NDVI sebesar 95,1%. Hubungan antara LAI dengan NDVI juga diketahui dari perolehan nilai koefisien determinasi (R-square) sebesar 0,905 yang menunjukan bahwa 90,5% nilai LAI dapat dijelaskan oleh data NDVI sedangkan sebanyak 9,5 % belum dapat dijelaskan olah data NDVI.

(59)

pada daerah yang memiliki nilai LAI berkisar antara 1,30 – 1,90. Jumlah R. rochussenii terbanyak berada pada daerah yang memiliki nilai LAI sebesar 1,89. Jumlah R. rochussenii berdasarkan nilai LAI disajikan pada Tabel 11. Peta nilai LAI Resort Tapos disajikan pada Gambar 18.

Tabel 11 Jumlah R. rochussenii berdasarkan nilai LAI

Titik Jumlah

Nilai LAI yang diperoleh kemudian dilakukan pengklasifikasian menjadi 3 kelas LAI, yaitu < 1, 1 – 1,5, dan > 1,5. Jumlah R. rochusseni berdasarkan kelas LAI disajikan pada Tabel 12. Peta kelas nilai LAI Resort Tapos disajikan pada Gambar 19.

Tabel 12 Jumlah R. rochussenii berdasarkan kelas LAI

(60)

Nilai LAI semakin besar menunjukan bahwa penutupan tajuk semakin rapat atau tertutup, sehingga intensitas cahaya matahari ke bawah tajuk semakin kecil dan kelembaban udara di bawah tajuk akan semakin meningkat. Berdasarkan hasil pengukuran, hampir semua titik keberadaan R. rochussenii memiliki tingkat kerapatan tajuk yang tinggi sehingga intensitas cahaya matahari menembus sampai lantai hutan dapat terhalang oleh rapatnya tajuk. Rendahnya intensitas cahaya matahari yang mampu menembus sampai ke lantai hutan menyebabkan tingginya kelembaban udara yang diakibatkan oleh rendahnya tingkat evaporasi yang terjadi di bawah tajuk. Tingginya kelembaban udara menunjukkan bahwa kadar air di bawah tajuk cukup tinggi. Kondisi ini mendukung pertumbuhan R. rochussenii yang ditunjukkan dengan jumlah individu paling banyak ditemukan pada daerah dengan nilai LAI tertinggi atau pada daerah dengan penutupan tajuk yang rapat.

(61)

Gambar 18 Peta LAI (Leaf Area Index) Resort Tapos TNGGP.

4

(62)

Gambar 19 Peta kelas LAI (Leaf Area Index) Resort Tapos TNGGP.

(63)

5.3 Model Kesesuaian Habitat Rafflesia rochussenii

Hasil Principal Component Analysis (PCA) diperoleh 3 dari 4 komponen utama dengan keragaman total komponen utama disajikan pada Tabel 12. Komponen utama yang dapat digunakan dan mewakili yaitu komponen utama ketiga dengan nilai keragaman kumulatif mencapai 83,615%. Timm (1975) diacu dalam Paraira (1999) menyatakan bahwa jumlah komponen utama yang dapat digunakan dianggap cukup mewakili jika keragaman kumulatifnya mencapai 70 – 80 %.

Tabel 13 Keragaman total komponen utama

Komponen utama Akar Ciri

Total % Keragaman % Kumulatif

1 1,358 33,944 33,944

2 1,079 26,968 60,912

3 0,908 22,703 83,615

4 0,655 16,385 100,00

Hasil analisis tersebut kemudian digunakan untuk menetapkan bobot masing-masing variabel. Keeratan hubungan antara keempat variabel habitat dengan komponen utama ditunjukkan oleh vektor ciri PCA yang disajikan pada Tabel 14.

Tabel 14 Vektor ciri PCA

Variabel Komponen Utama

1 2 3

Ketinggian 0,611 0,348 0,612

Kemiringan Lereng 0,807 -0,141 1,425-5

Nilai LAI -0,421 0,777 0,240

Jarak dari sungai 0,395 0,579 -0,690

(64)

habitat. Besarnya bobot masing-masing variabel kesesuaian habitat disajikan pada Tabel 15.

Tabel 15 Bobot masing-masing variabel kesesuaian habitat

No. Variabel Nilai Bobot

1 Kemiringan lereng 1,358

2 Jarak dari sungai 1,079

3 Nilai LAI 1,079

4 Ketinggian 0,908

Nilai bobot masing-masing variabel digunakan dalam persamaan untuk mendapatkan model kesesuaian habitat R. rochussenii. Persamaan kesesuaian habitat yang digunakan yaitu sebagai berikut:

Y = (1,358 x Fk1) + (1,079 x Fk2) + (1,079 x Fk3) + (0,908 x Fk4)

Keterangan : Y = Skor kumulatif kesesuaian habitat R. rochussenii

Fk1 = Faktor kemiringan lereng Fk2 = Faktor jarak dari sungai Fk3 = Faktor nilai LAI Fk4 = Faktor ketinggian

5.4 Peta Kesesuaian Habitat R. rochussenii

Nilai kelas kesesuaian habitat yang digunakan dalam persamaan kesesuaian habitat kemudian dilakukan proses tumpang tindih (overlay) terhadap masing-masing variabel habitat yang digunakan. Nilai masing-masing-masing-masing kelas didapat dari proses pengkelasan tiap variabel habitat untuk dilakukan pengharkatan (scoring/skor) pada masing-masing variabel. Skor dari tiap kelas dalam satu variabel berbeda antara satu dengan yang lain. Nilai skor tiap variabel kesesuaian habitat disajikan pada Tabel 16.

Tabel 16 Skor tiap variabel kesesuaian habitat

Gambar

Gambar 5  Diagram alir pengolahan citra.
Gambar 7  Diagram alir pembuatan peta jarak dari sungai.
Gambar 8  Diagram alur proses analisis peta kesesuaian habitat R. rochussenii.
Tabel 3  Luas dan persentase luas tiap tipe penutupan lahan di Resort Tapos
+7

Referensi

Dokumen terkait

PCA digunakan untuk mengetahui faktor yang paling berpengaruh terhadap distribusi orangutan Sumatera, berdasarkan titik distribusi orangutan yang ditemukan dengan

Gambar 3 Contoh kuadrat plot pengamatan di Lebak Saat dan Bedogol Pengamatan di lokasi penelitian Lebak Saat dan Bedogol hanya satu kali (tidak ada ulangan) karena

Hasil validasi model menunjukkan bahwa model yang dibangun berdasarkan Analisis Regresi Logistik Biner menghasilkan 3 (tiga) kelas kesesuaian habitat kirinyuh yaitu pada

Hasil validasi model menunjukkan bahwa model yang dibangun berdasarkan Analisis Regresi Logistik Biner menghasilkan 3 (tiga) kelas kesesuaian habitat kirinyuh yaitu pada

javanica memilih habitat yang memiliki 9 komponen khusus yang dikelompokkan menjadi 6 ciri utama, yaitu: (1) kerapatan tutupan tajuk atas dengan kategori tinggi, (2) jumlah

Hasil dari model analisis spasial diketahui bahwa sebagian besar areal yang memiliki tingkat kesesuaian habitat yang tinggi bagi elang jawa berada pada kawasan

Dari vektor ciri variabel habitat dengan komponen utama dapat dilihat bahwa variabel kelompok tanah dan jarak dari sungai mempunyai hubungan yang positif dan tinggi dengan

Simpulan dari penelitian ini adalah: (1) Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP) merupakan habitat yang sesuai bagi populasi owa jawa; (2) Populasi owa jawa di TNGP berada