• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemodelan Spasial Kesesuaian Habitat Orangutan Sumatera (Pongo Abelii Lesson, 1827) Di Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) Resort Sei Betung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pemodelan Spasial Kesesuaian Habitat Orangutan Sumatera (Pongo Abelii Lesson, 1827) Di Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) Resort Sei Betung"

Copied!
69
0
0

Teks penuh

(1)

PEMODELAN SPASIAL KESESUAIAN HABITAT

ORANGUTAN SUMATERA

(Pongo abelii

Lesson

,

1827

)

DI TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER (TNGL)

RESORT SEI BETUNG

SKRIPSI

MUHAMMAD GOJALI HARAHAP 091201038

MANAJEMEN HUTAN

PROGRAM STUDI KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

ABSTRAK

MUHAMMAD GOJALI HARAHAP : Pemodelan Spasial Kesesuaian Habitat Orangutan Sumatera (Pongo abelii Lesson, 1827) di Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) Resort Sei Betung. Dibimbing oleh PINDI PATANA dan SITI LATIFAH.

Orangutan sumatera adalah spesies kunci yang keberadaannya sangat terancam. Areal restorasi Sei Betung merupakan kawasan yang dikelola oleh OIC

dan dijadikan sebagai kawasan pelepasliaran orangutan. Penelitian ini menganalisis spasial kesesuaian habitat orangutan berdasarkan penilaian dari kebutuhan hidup satwa tersebut yang selanjutnya dalam Sistem Informasi Geografis (SIG) disebut dengan layer. Layer yang digunakan adalah jarak dari jalan, jarak dari desa, jarak dari sumber air, dan nilai NDVI. Nilai bobot ditentukan dengan Principle Component Analysist (PCA).

Analisis SIG menghasilkan 4 peta kesesuaian habitat yaitu peta kesesuaian jarak dari jalan, peta kesesuaian jarak dari desa, peta kesesuaian jarak dari sumber air, dan peta nilai NDVI. Model kesesuaian habitat terdiri dari lima kelas kecuali peta nilai NDVI (tanpa kelas kesesuaian sangat rendah). Lima kelas kesesuaian yang dihasilkan adalah kelas kesesuaian sangat rendah, kelas kesesuaian rendah, kelas kesesuaian sedang, kelas kesesuaian tinggi, kelas kesesuaian sangat tinggi. Analisis PCA menghasilkan persamaan Y = (1,917. X1 ) + (1,917.X2) + (1,917 . X3) + (1,044 . X4). Hasil penelitian menunjukkan bahwa areal restorasi Sei Betung layak dijadikan sebagai kawasan pelepasliaran orangutan, tentu dengan lokasi yang sesuai berdasarkan peta kesesuaian habitat orangutan.

(3)

ABSTRACT

MUHAMMAD GOJALI HARAHAP : Modeling Spatial of Sumatran Orangutan Habitat Suitability (Pongo abelii Lesson ,1827 ) in the Gunung Leuser National Park (TNGL) Resort of Sei Betung. Under the Supervision of PINDI PATANA and SITI LATIFAH .

Sumatran orangutan is a key species whose existence is seriously threatened. The Restoration area of Sei Betung is managed by the OIC and serve as the area of orangutan reintroduction. This research analyzed the spatial habitat suitability of orangutan based on assessment of the needs of the animals which further in Geographic Information Systems (GIS) is called by layer. Layer used is the distance from the road, the distance from the settlement, the distance from the water source, and values of the NDVI. The weight value is determined by the Principle Component Analysist (PCA).

GIS analysis resulted in four habitat suitability map is a map of suitability distance from roads, map of suitability distance from the settelment, map of suitability distance from the water sources, and map of NDVI values. Habitat suitability model consists of five classes except map of NDVI value (without very low suitability class). Five suitability classes generated is very low, low, medium, high, very high . PCA analysis resulted in the equation Y = (1,917 . X1) + (1,917 .

X2) + (1,917 . X3) + (1,044 . X4). The results showed that the restoration area of

Sei Betung deserve to be as orangutan reintroduction area, of course with the appropriate location based on orangutan habitat suitability map.

(4)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pintu Padang pada tanggal 12 Februari 1991 dari ayah Baginda Nahombang Harahap dan ibu Siti Rasni Siregar. Penulis merupakan putra bungsu dari delapan bersaudara.

Tahun 2009 penulis lulus dari PP. DARUL FALAH Langgapayung dan pada tahun yang sama masuk Fakultas Pertanian USU melalui jalur PMP. Penulis memilih minat Manajemen Hutan, Program Studi Kehutanan.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif diberbagai kegiatan organisasi. Pernah menjabat sebagai Ketua BKM Baytul Asyjaar periode 2010/2011. Aktif sebagai Tim MAI FP USU periode 2010/2011 dan 2011/2012. Pernah aktif dalam anggota KAMMI NUSANTARA USU. Selanjutnya penulis juga aktif menjadi asisten dosen untuk menangani berbagai mata kuliah praktikum, seperti Praktikum Klimatologi 2011, Praktikum Pemanenan Hasil Hutan 2012, Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan 2012, dan terakhir adalah Praktikum AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) 2013.

(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, atas segala rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal penelitian yang berjudul “Pemodelan Spasial Kesesuaian Habitat Orangutan Sumatera (Pongo abelii Lesson, 1827) di Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) Resort Sei Betung”.

Pada kesempatan ini penulis menghaturkan pernyataan terima kasih sebesar-besarnya kepada kedua orangtua penulis yang telah membesarkan, memelihara, dan mendidik penulis selama ini. Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Pindi Patana, S.Hut., M.Sc., dan Siti Latifah, S.Hut., M.Si., Ph.D., selaku ketua dan anggota komisi pembimbing yang telah membimbing dan memberikan berbagai masukan berharga kepada penulis dalam penyelesaian hasil penelitian ini. Khusus untuk Orangutan Information Center (OIC), penulis menyampaikan banyak terima kasih atas bantuan materi maupun bantuan dalam pengumpulan data.

(6)

DAFTAR ISI

Sistem Informasi Geografis (SIG) ... 9

(7)

Tahapan Penelitian ... 16

Pengolahan PetaTematik ... 18

Analisis Spasial ... 20

Analisis Komponen Utama / Principal Component Analysis (PCA) ... 21

HASIL DAN PEMBAHASAN Titik Sebaran Sarang Orangutan ... 23

Jarak Sarang Orangutan Dari Jalan Setapak ... 24

Jarak Sarang Orangutan Dari Pemukiman ... 28

Jarak Sarang Orangutan Dari Sumber Air ... 32

Tutupan Vegetasi (Normalization Difference Vegetation Indeks) ... 35

Ketersediaan Pohon Pakan ... 39

Analisis Komponen Utama / Principal Component Analysis (PCA) ... 43

Peta Kesesuaian Habitat Orangutan ... 45

Validasi ... 48

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 51

Saran ... 51

DAFTAR PUSTAKA ... 52

(8)

DAFTAR TABEL

No. Hal.

1. Titik sebaran sarang orangutan ... 23

2. Luas tiap kesesuaian kelas berdasarkan jarak dari jalan ... 27

3. Luas tiap kesesuaian kelas berdasarkan jarak dari pemukiman ... 31

4. Luas tiap kesesuaian kelas berdasarkan jarak dari sumber air ... 34

5. Luas tiap kesesuaian kelas berdasarkan nilai NDVI ... 38

6. Jenis pohon pakan orangutan resort Sei Betung ... 40

7. Jenis pohon non pakan orangutan ... 42

8. Keragaman total yang disajikan ... 44

9. Vektor ciri dari PCA ... 44

10. Bobot masing-masing tiap variabel ... 45

11. Skor tiap variabel ... 46

12. Luas masing-masing kelas kesesuaian habitat orangutan ... 48

(9)

DAFTAR GAMBAR

No. Hal.

1. Peta lokasi penelitian ... 13

2. Bagan alir tahapan penelitian ... 17

3. Proses pembuatan peta ... 18

4. Proses pembuatan peta NDVI ... 19

5. Peta jarak dari jalan ... 25

6. Keadaan jalan menuju Pondok Lalang ... 28

7. Peta jarak dari desa ... 29

8. Pemukiman masyarakat Afdeling 2 Putri Hijau ... 31

9. Peta jarak dari sumber air ... 33

10.Sumber air pada lokasi penelitian ... 35

11.Peta NDVI ... 36

12.Tipe penutupan lahan restorasi Sei Betung ... 39

13.Pucuk muda daun tanaman sawit bekas pakan orangutan ... 41

(10)

ABSTRAK

MUHAMMAD GOJALI HARAHAP : Pemodelan Spasial Kesesuaian Habitat Orangutan Sumatera (Pongo abelii Lesson, 1827) di Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) Resort Sei Betung. Dibimbing oleh PINDI PATANA dan SITI LATIFAH.

Orangutan sumatera adalah spesies kunci yang keberadaannya sangat terancam. Areal restorasi Sei Betung merupakan kawasan yang dikelola oleh OIC

dan dijadikan sebagai kawasan pelepasliaran orangutan. Penelitian ini menganalisis spasial kesesuaian habitat orangutan berdasarkan penilaian dari kebutuhan hidup satwa tersebut yang selanjutnya dalam Sistem Informasi Geografis (SIG) disebut dengan layer. Layer yang digunakan adalah jarak dari jalan, jarak dari desa, jarak dari sumber air, dan nilai NDVI. Nilai bobot ditentukan dengan Principle Component Analysist (PCA).

Analisis SIG menghasilkan 4 peta kesesuaian habitat yaitu peta kesesuaian jarak dari jalan, peta kesesuaian jarak dari desa, peta kesesuaian jarak dari sumber air, dan peta nilai NDVI. Model kesesuaian habitat terdiri dari lima kelas kecuali peta nilai NDVI (tanpa kelas kesesuaian sangat rendah). Lima kelas kesesuaian yang dihasilkan adalah kelas kesesuaian sangat rendah, kelas kesesuaian rendah, kelas kesesuaian sedang, kelas kesesuaian tinggi, kelas kesesuaian sangat tinggi. Analisis PCA menghasilkan persamaan Y = (1,917. X1 ) + (1,917.X2) + (1,917 . X3) + (1,044 . X4). Hasil penelitian menunjukkan bahwa areal restorasi Sei Betung layak dijadikan sebagai kawasan pelepasliaran orangutan, tentu dengan lokasi yang sesuai berdasarkan peta kesesuaian habitat orangutan.

(11)

ABSTRACT

MUHAMMAD GOJALI HARAHAP : Modeling Spatial of Sumatran Orangutan Habitat Suitability (Pongo abelii Lesson ,1827 ) in the Gunung Leuser National Park (TNGL) Resort of Sei Betung. Under the Supervision of PINDI PATANA and SITI LATIFAH .

Sumatran orangutan is a key species whose existence is seriously threatened. The Restoration area of Sei Betung is managed by the OIC and serve as the area of orangutan reintroduction. This research analyzed the spatial habitat suitability of orangutan based on assessment of the needs of the animals which further in Geographic Information Systems (GIS) is called by layer. Layer used is the distance from the road, the distance from the settlement, the distance from the water source, and values of the NDVI. The weight value is determined by the Principle Component Analysist (PCA).

GIS analysis resulted in four habitat suitability map is a map of suitability distance from roads, map of suitability distance from the settelment, map of suitability distance from the water sources, and map of NDVI values. Habitat suitability model consists of five classes except map of NDVI value (without very low suitability class). Five suitability classes generated is very low, low, medium, high, very high . PCA analysis resulted in the equation Y = (1,917 . X1) + (1,917 .

X2) + (1,917 . X3) + (1,044 . X4). The results showed that the restoration area of

Sei Betung deserve to be as orangutan reintroduction area, of course with the appropriate location based on orangutan habitat suitability map.

(12)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Orangutan Sumatera (Pongo abelii Lesson, 1827) adalah salah satu jenis kera besar yang hidup di hutan tropika Indonesia dan Malaysia, khususnya di Pulau Kalimantan dan Sumatera. Orangutan merupakan satwa yang dilindungi berdasarkan UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, PP. No. 7 Tahun 1999 Tentang Pengawetan Tumbuhan dan Satwa Liar, dan SK. Menhut No. 301/Kpts-II/1991 tanggal 10 Juni 1991. Adapun status konservasi orangutan berdasarkan International Union for Consevation of Nature and Natural Roseurces (IUCN, 2004) masuk dalam kategori endangered species atau jenis terancam punah, sedangkan dalam

Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) orangutan sudah termasuk kategori Appendix I.

Orangutan dianggap sebagai umbrella spesies, karena kelestarian orangutan dapat menjamin kelestarian hutan yang menjadi habitatnya. Jika ditinjau dari sisi ilmu pengetahuan orangutan sangat menarik, karena kemiripan karakter biologi satwa itu dengan manusia. Walaupun keberadaannya telah dilindungi oleh undang-undang, populasinya di alam terus menurun. Hal ini disebabkan karena banyaknya berbagai ancaman seperti perburuan liar serta pembukaan hutan untuk berbagai keperluan. Selain ancaman tersebut, faktor habitat yang tidak sesuai dengan orangutan juga menjadi penyebab penurunan populasi orangutan.

(13)

pengelolaan satwaliar, disebabkan karena kurangnya perhatian untuk memperbaiki keadaan habitatnya. Dilain pihak juga telah dibuktikan pula bahwa hasil pengelolaan suatu taman buru, suaka margasatwa ataupun penangkaran, disebabkan karena adanya campur tangan manusia untuk mempertahankan kondisi habitatnya (Alikodra, 1980).

Penelitian ini akan dilakukan di Resort Sei Betung, wilayah Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) yang merupakan kerja sama antara TNGL dengan Orangutan Information Center (OIC). Kawasan ini akan menjadi lokasi pelepasliaran orangutan. Menurut pihak OIC kawasan ini sangat berpotensi untuk dijadikan sebagai lokasi pelepasliaran orangutan, yang ditandai dengan mudahnya menjumpai sarang orangutan dalam jumlah yang banyak. Namun penelitian lebih lanjut tentang faktor-faktor kesesuaian habitat orangutan belum dilakukan. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan menganalisis kesesuaian habitat orangutan dengan menganalisis faktor habitat dan faktor gangguan.

(14)

Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuat model spasial kesesuaian habitat orangutan Sumatera di Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), Resort Sei Betung dengan menggunakan aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG).

Manfaat

(15)

TINJAUAN PUSTAKA

Klasifikasi dan Morfologi Orangutan Sumatera (Pongo abelii)

Klasifikasi ilmiah orangutan Sumatera menurut Groves (2001) adalah sebagai berikut :

Kerajaan : Animalia Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Kelas : Mamalia Bangsa : Primata Keluarga : Homonidae Subkeluarga : Pongoninae Marga : Pongo

Jenis : Pongo abelii Lesson, 1827.

Secara morfologis orangutan Sumatera dan Kalimantan sangat serupa, tetapi kedua spesies ini dapat dibedakan berdasarkan warna bulunya (Napier dan Napier, 1967). Orangutan Kalimantan bila sudah dewasa warna bulunya mengarah pada warna coklat kemerahan dan orangutan Sumatera berwarna lebih pucat (Galdikas, 1978).

(16)

kg dan yang dipelihara dapat mencapai 70 kg, bayi yang baru lahir memiliki berat badan antara 1-2 kg (rata-rata 1,8 kg) dengan kulit muka dan tubuh biasanya berwarna pucat, warna rambutnya coklat muda (Meijaard dkk, 2001). Selanjutnya Payne dkk, (2000) menjelaskan bahwa orangutan Sumatera jantan terbesar tingginya mencapai 1,4 m dengan rentangan antara kedua tangan mencapai 2,4 m, sedangkan dewasa jauh lebih kecil.

Hidung orangutan sangat pesek dan bibir atasnya tidak mempunyai parut bibit. Telinganya yang sangat kecil tidak ditumbuhi oleh rambut. Dahi orangutan muda masih rambut, tetapi lambat laun rambut tersebut tidak berkembang sejalan dengan bertambah umur. Orangutan jantan dewasa mempunyai kantung udara (air sac) yang terdapat pada lehernya, dapat mengambil serta menyimpan beberapa liter udara yang digunakan untuk membuat seruan panjang atau long call

(MacKinnon, 1972).

Habitat Orangutan

Orangutan hidup dan tersebar pada hutan-hutan primer dataran rendah sampai hutan dataran tinggi atau pegunungan yang banyak ditumbuhi tanaman dari famili Dipterocarpaceae (MacKinnon, 1971 dalam Rijksen, 1978). Kemudian Rijksen (1978) menyatakan struktur hutan yang dihuni orangutan terdiri atas pohon-pohon tinggi berkisar 35-50 meter.

(17)

getahnya dan berbagai jenis serangga. Dengan demikian pembukaan hutan tropik sangat berpengaruh terhadap perkembangan populasinya, seperti di Pulau Kalimantan, orangutan kehilangan lebih dari habitatnya, dimana dari areal hutan seluas ± 415.000 km² saat ini tersisa seluas ± 165.000 km² (± 39,76%), sedangkan di Sumatera, dari areal hutan seluas ± 89.000 km² saat ini tersisa seluas ±23.000 km² (± 25,84%) (Supriatna dan Wahyono, 2000).

Perilaku Orangutan

Maple (1980) menyatakan bahwa aktivitas utama orangutan dipenuhi oleh aktivitas makan, selanjutnya istirahat, berjalan-jalan, bermain dan aktivitas yang dilakukan dalam prosentase waktu yang relatif sedikit adalah aktivitas mebuat sarang. Di alam liar secara umum orangutan turun dari sarang tidurnya sekitar 30 menit sebelum matahari terbit (MacKinnon 1974 dalam Maple 1980). Orangutan masuk ke sarangnya ketika hari sudah mulai gelap. Setiap harinya orangutan selalu bergerak dan berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain dengan jarak rata-rata 500 m. Aktivitas orangutan cukup lamban dan malas (MacKinnon 1974

dalam Maple 1980).

(18)

kali sedang pohon-pohon yang berbuah lebat dari spesies yang kurang disenangi diabaikan, bahkan kadang-kadang tidak dijamah sama sekali (Galdikas, 1978).

Orangutan sering berpindah-pindah, maka tiap harinya pula ia membuat sarang-sarang baru (Wardaningsih, 1992). Setiap malam orangutan dewasa dan pradewasa umumnya tidur sendiri dalam sarang yang terbuat dari dahan dan daun-daun yang ditempatkan pada ketiak cabang pohon. Kebanyakan disesuaikan dengan strategi dan pohon makanan terakhir yang dikunjunginya. Sarang dibuat dari ranting yang daunnya masih segar, biasanya pada ketinggian 15-20 meter dari permukaan tanah (Walkers, 1983).

Djojosudharmo (1978) menyebutkan sarang dibangun dari ranting-ranting yang daunnya masih segar, kebanyakan ranting-ranting tersebut mempunyai daun yang berukuran sama. Dikatakan lebih lanjut dalam Rijksen (1978) bahwa sarang orangutan umumnya terbuat dari sekumpulan dedaunan yang dianyam kuat. Pada beberapa sampel sarang, orangutan juga menggunakan liana dan tumbuhan pemanjat lainnya sebagai material sarang. Terkadang material tersebut harus diambil dipetik dari pohon lain. Daun-daun diproleh dari vegetasi yang ada disekitarnya, bahkan samapai 15 meter jaraknya dari tempat bersarang. Dalam kasus lain, dijumpai kerangka utama sarang dibuat dengan menggunakan cabang kecil dari 2 jenis pohon berbeda.

(19)

tertentu juga memakan daun-daunan, bunga-bunga tumbuhan, efipit, liana, dan kulit pohon.

Perilaku Bersarang Orangutan

Sarang orangutan tidak permanen sifatnya (Sugardjito, 1983). Lebih lanjut Rijksen (1978), menyatakan bahwa orangutan seringkali membuat sarang baru di lokasi yang berbeda atau dengan memperbaiki sarang lama. Sarang-sarang tersebut dapat digunakan selama dua malam atau lebih, sedangkan ketahanan sarang orangutan dapat bervariasi dari dua minggu sampai lebih dari satu tahun.

Orangutan dapat membuat dua hingga tiga sarang setiap harinya. Klasifikasi yang diberikan oleh Van Schaik dkk (1994), mengenai posisi sarang adalah :

Posisi I : Posisi sarang terletak di dekat batang utama.

Posisi II : Sarang berada di pertengahan atau di pinggir percabangan tanpa menggunakan pohon atau percabangan pohon lainnya.

Posisi III : Sarang terletak di puncak pohon.

Posisi IV : Sarang terletak di antara dua cabang atau lebih, dari tepi pohon yang berlainan.

Menurut Atmoko dkk (2011), sarang orangutan terdiri atas 5 jenis, yaitu: 1. Tipe sarang A (sarang baru) dicirikan dengan keadaan daun yang segar dan

keseluruhan masih terlihat hijau serta mengeluarkan bau yang khas.

(20)

3. Tipe sarang C merupakan sarang yang masih dalam keadaan utuh namun semua daun sudah berwarna coklat bahkan sebagian daunnya juga sudah hilang serta terlihatnya lubang-lubang kecil dari bawah permukaan sarang. 4. Tipe sarang D apabila struktur dari sarang tersebut sudah mulai rusak, dan

daun mulai banyak yang hilang sehingga akan terlihat lubang-lubang cukup besar jika dilihat dari bawah.

5. Tipe sarang E yaitu sarang yang kondisinya sudah tidak utuh lagi atau sudah mengalami kerusakan total dan tidak terdapat daun karena struktur sarang yang hanya tinggal ranting saja.

Sistem Informasi Geografis (SIG)

SIG adalah sistem informasi yang digunakan untuk memasukkan, menyimpan, memanggil kembali, mengolah, menganalisis, dan menghasilkan data bereferensi geografis atau data geospatial, untuk mendukung pengambilan keputusan dalam perencanaan dan pengelolaan penggunaan lahan, sumber daya alam, lingkungan, transportasi, fasilitas kota, dan pelayanan umum lainnya. (Murai, 1999 dalam Elly, 2009).

(21)

Aplikasi SIG

Kekuatan SIG tampak pada kemampuannya menganalisis data spasial dan atribut secara bersamaan. Di sinilah SIG menunjukkan kemampuannya mengolah data peta, seperti pemetaan yang terotomatisasi dengan menggunakan sistem komputer. Kemampuan analisis SIG ini antara lain proses klasifikasi lahan, operasi overlay, operasi neighbourhood, dan fungsi konektifitas (Elly, 2009).

Penggunaan SIG dalam penelitian dan pengelolaan sumberdaya alam khususnya satwaliar telah banyak dilakukan antara lain :

1. Pemodelan Kesesuaian Habitat Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae Pocock, 1929) di Resort Ipuh-Seblat Taman Nasional Kerinci Seblat.

2. Pemodelan Spasial Kesesuaian Habitat Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus Linneaus, 1760) di Suaka Margasatwa Sungai Lamandau Kalimantan Tengah.

3. Sebaran Pohon Pakan Orangutan Sumatera (Pongo abelii Lesson, 1827) Menggunakan Aplikasi Sistem Informasi Geografis.

Aplikasi SIG dalam penelitian ini adalah membuat peta kesesuaian habitat orangutan Sumatera dengan menggunakan layer jarak dari sumber air, jarak dari desa, jarak dari jalan, dan nilai NDVI (Normalization Difference Vegetation Index). Analisis yang dilakukan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode skoring, pembobotan dan overlay.

Penginderaan Jarak Jauh

(22)

benda atau objek, target, sasaran maupun daerah dan fenomena tanpa menyentuh atau kontak langsung dengan benda atau target tersebut (Soenarmo 2003). Lo (1996) juga menyebutkan, penginderaan jauh merupakan suatu teknik untuk mengumpulkan informasi mengenai objek dan lingkungannya dari jarak jauh tanpa sentuhan fisik.

Menurut Soenarmo (2003) untuk memperoleh data dengan sensor jauh, sangat penting peranan media perantara, dalam hal ini adalah gelombang elektromagnetik yang berasal dari spektrum radiasi matahari. Selanjutnya Soenarmo juga menyebutkan, sistem sensor jauh yang digunakan ada dua macam, yaitu sistem sensor pasif yakni dengan memanfaatkan gelombang elektromagnetik yang secara langsung dapat diperoleh dari alam dan sistem sensor aktif menggunakan gelombang elektromagnetik yang dipisahkan oleh rekayasa manusia sesuai dengan keperluan.

Sistem sensor pasif pada umumnya memanfaatkan gelombang cahaya tampak, infra merah dekat dan infra merah tengah serta panjang gelombang mikro tertentu. Sedangkan sistem sensor aktif pada umumnya menggunakan panjang gelombang mikro radar yang tidak dapat digunakan secara langsung dari alam, tetapi melalui tahap pemisahan (Soenarmo, 2003).

NDVI adalah indeks yang menggambarkan tingkat kehijauan suatu tanaman. Indeks vegetasi merupakan kombinasi matematis antara band merah dan band NIR (Near-Infrared Radiation) yang telah lama digunakan sebagai indikator keberadaan dan kondisi vegetasi (Lillesand dan Kiefer, 1997).

(23)

data sensor satelit. Untuk pemantauan vegetasi, dilakukan proses pembandingan antara tingkat kecerahan kanal cahaya merah (red) dan kanal cahaya inframerah dekat (near infrared). Fenomena penyerapan cahaya merah oleh klorofil dan pemantulan cahaya inframerah dekat oleh jaringan mesofil yang terdapat pada daun akan membuat nilai kecerahan yang diterima sensor satelit pada kanal-kanal tersebut akan jauh berbeda. Pada daratan non-vegetasi, termasuk diantaranya wilayah perairan, pemukiman penduduk, tanah kosong terbuka, dan wilayah dengan kondisi vegetasi yang rusak, tidak akan menunjukkan nilai rasio yang tinggi (minimum). Sebaliknya pada wilayah bervegetasi sangat rapat, dengan kondisi sehat, perbandingan kedua kanal tersebut akan sangat tinggi (maksimum). Nilai perbandingan kecerahan kanal cahaya merah dengan cahaya inframerah dekat atau NIR/RED, adalah nilai suatu indeks vegetasi (yang sering disebut ”simple ratio”) yang sudah tidak dipakai lagi. Hal ini disebabkan karena nilai dari rasio NIR/RED akan memberikan nilai yang sangat besar untuk tumbuhan yang sehat (Sudiana dan Diasmara, 2008).

Menurut Ryan (1997) perhitungan NDVI didasarkan pada prinsip bahwa tanaman hijau tumbuh secara sangat efektif dengan menyerap radiasi di daerah spektrum cahaya tampak (PAR atau Photosynthetically Aktif Radiation),

(24)

citra Landsat 8, titik pemukiman terdekat, titik sumber air pada setiap jalur transek, track jalan berupa polyline, titik sebaran orangutan dan data bioekologi habitat orangutan pada titik sebaran orangutan.

Jenis Data Yang Dikumpulkan

Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan sekunder. Data primer adalah data utama yang diperlukan dalam penelitian. Data primer yang dikumpulkan merupakan data spasial berupa :

1. Peta batas kawasan penelitian 2. Titik pemukiman terdekat

3. Titik sumber air pada jalur transek 4. Track jalan berupa polyline

5. Citra landsat 8

6. Jenis jenis pohon dan tumbuhan untuk identifikasi ketersedian pakan. 7. Data lapangan yaitu titik sebaran orangutan dan data bioekologi habitat

pada titik sebaran orangutan.

Data sekunder yang dikumpulkan adalah data yang digunakan untuk mendukung data lapangan dan analisis data. Data ini diperoleh dari buku, literatur, jurnal dan sumber pustaka lainnya.

Metode Pengumpulan Data

Data peta digital berupa peta batas kawasan penelitian (Resort Sei Betung) diperoleh dari OIC. Sedangkan citra Landsat 8 diunduh dari situs

(25)

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2013 sampai bulan Oktober 2013. Lokasi penelitian adalah di Taman Nasional Gunung Leuser, Resort Sei Betung, Kabupaten Langkat. Peta lokasi penelititan dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Peta lokasi penelitian

Alat dan Bahan

(26)

citra Landsat 8, titik pemukiman terdekat, titik sumber air pada setiap jalur transek, track jalan berupa polyline, titik sebaran orangutan dan data bioekologi habitat orangutan pada titik sebaran orangutan.

Jenis Data Yang Dikumpulkan

Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan sekunder. Data primer adalah data utama yang diperlukan dalam penelitian. Data primer yang dikumpulkan merupakan data spasial berupa :

1. Peta batas kawasan penelitian 2. Titik pemukiman terdekat

3. Titik sumber air pada jalur transek 4. Track jalan berupa polyline

5. Citra landsat 8

6. Jenis jenis pohon dan tumbuhan untuk identifikasi ketersedian pakan. 7. Data lapangan yaitu titik sebaran orangutan dan data bioekologi habitat

pada titik sebaran orangutan.

Data sekunder yang dikumpulkan adalah data yang digunakan untuk mendukung data lapangan dan analisis data. Data ini diperoleh dari buku, literatur, jurnal dan sumber pustaka lainnya.

Metode Pengumpulan Data

Data peta digital berupa peta batas kawasan penelitian (Resort Sei Betung) diperoleh dari OIC. Sedangkan citra Landsat 8 diunduh dari situs

(27)

Potensi mengenai ketersediaan pohon pakan di setiap jalur transek akan diinventarisasi untuk mengetahui jenis-jenis pohon pakan yang tersedia di kawasan resort Sei Betung. Pohon pakan yang disukai orangutan akan diketahui dengan melakukan studi literatur dari berbagai buku maupun hasil penelitian yang sudah dilakukan. Data ini digunakan sebagai data tambahan yang dapat mendukung mengenai kesesuaian habitat orangutan di resort Sei Betung.

Lokasi sebaran orangutan akan ditentukan melalui identifikasi titik keberadaan orangutan dengan menggunakan GPS. Identifkasi titik dilakukan dengan mendeteksi jejak. Dalam hal ini jejak yang dimaksud adalah sarang orangutan, karena menurut Meijard dkk (2001) sarang adalah bukti keberadaan orangutan yang paling mudah diamati, karena sangat mencolok berada diatas pohon dengan bentuk berbeda dengan sekelilingnya.

(28)

transek. Data bioekologi habitat akan digunakan sebagai data pendukung dalam menjelaskan kesesuaian habitat orangutan.

Tahapan Penelitian

Penyusunan model spasial habitat orangutan dimulai dengan pengumpulan data yang terdiri dari penelusuran literatur, data peta digital dan survey lapang. Data input atau data masukan bersumber pada peta digital diperoleh dari analisis peta dan observasi lapang. Proses analisis peta ini menghasilkan 4 peta tematik (layer) yang digunakan dalam pemodelan spasial habitat, yaitu peta jarak dari desa, peta jarak dari jalan, peta jarak dari sumber air dan peta nilai Normalization Difference Vegetation Index (NDVI).

Kemudian data titik sebaran atau peta distribusi orangutan diidentifikasi

(29)

Analisis Peta

Peta Jarak Dari Desa

Identifikasi Titik (ArcView)

Analasis Statistik (PCA)

Bobot

Validasi

Akurasi Model

Survey Lapang

Citra Landsat

Peta Jarak Dari Jalan

Peta NDVI Peta Jarak Dari Air

Jalur

(Transect)

Tumpang Tindih (Overlay) a X1 + b X2 + c X3+ d X4

(30)

Pengolahan Peta Tematik

Parameter Yang Digunakan

Pemodelan kesesuaian habitat orangutan Sumatera merupakan proses peninjauan dan penilaian kebutuhan hidup (life requisites) orangutan terhadap faktor-faktor habitat dan faktor-faktor gangguan. Faktor-faktor habitat yang digunakan adalah ketersediaan air yang diwakilkan oleh jarak dari air dan ketersediaan cover yang diwakilkan oleh nilai Normalization Difference Vegetation Index (NDVI). Faktor gangguan berasal dari aktivitas manusia yang diidentifikasi melalui jarak darijalan dan jarak dari pemukiman.

Pembuatan Peta Tematik

Peta tematik yang dibuat adalah peta jarak dari air, peta jarak dari jalan dan peta jarak dari desa. Peta jarak dari jalan, peta jarak dari sungai, dan peta jarak dari desa dibuat dengan memanfaatkan fasilitas buffer pada Arc View 3.3.

Proses pembuatan peta ini dapat dilihat pada Gambar 3.

Measure Titik desa, air, dan track jalan

Buffering

Peta jarak ke sungai, peta jarak ke jalan, peta jarak ke desa

Gambar 3. Proses pembuatan peta

(31)

Pembuatan peta NDVI

Peta NDVI dibuat dari citra Landsat 8. Produk citra ini mulai open acces

sejak tanggal 30 Mei 2013. Citra Landsat 8 digunakan karena tidak memiliki

striping (kelemahan landsat 7 setelah tahun 2003), sehingga tidak perlu dilakukan penabalan. Citra landsat tersebut kemudian dilakukan stacking dengan menggunakan software Erdas Imagine 8.5. Selanjutnya dianalisis dengan menggunakan software Arc View 3.3. Perhitungan NDVI menurut Sudiana dan Diasmara (2008) dilakukan menurut rumus :

Proses pembuatan peta NDVI disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4. Proses pembuatan peta NDVI

NIR – Red NDVI =

NIR + Red

Stacking (Erdas Imagine 8.5) Citra Landsat

Subset (Arc View 3.3)

Peta NDVI NDVI (Arc View 3.3)

Categorize(Arc View 3.3)

(32)

Analisis Spasial

Titik sebaran orangutan Sumatera dianalisis dengan faktor-faktor spasial yang meliputi jarak dari sumber air, jarak dari jalan, jarak dari desa, dan dari nilai

NDVI. Analisis spasial dilakukan dengan metode tumpang tindih (overlay), pembagian kelas (class), pengharkatan (skoring) dan pembobotan.

Pemberian klasifikasi kelas didasarkan atas nilai kepentingan atau kesesuaian bagi habitat orangutan sumatera. Klasifikasi kelas kesesuaian terdiri dari 5 kelas. Model Matematika sederhana yang digunakan adalah menurut rumus Oktalina (2010) sebagai berikut :

1. Nilai selang skor klasifikasi kesesuaian habitat orangutan Sumatera ditentukan berdasarkan rumus sederhana berikut :

Keterangan :

Selang = nilai dalam penetapan selang klasifikasi kesesuaian habitat Smaks = nilai tertinggi

Smin = nilai terendah

K = banyaknya klasifikasi kesesuaian habitat

2. Nilai validasi klasifikasi kesesuaian habitat orangutan Sumatera Smaks - Smin

Selang = K

n

(33)

Keterangan:

Validasi = persentase kepercayaan

n = jumlah titik pertemuan orangutan yang ada pada satu klasifikasi kesesuaian

N = jumlah total titik pertemuan orangutan hasil survey

Analisis Komponen Utama / Principal Component Analysis (PCA)

Pada dasarnya analisa komponen utama digunakan untuk menerangkan struktur ragam-peragam melalui kombinasi linier variabel-variabel, dengan konsep utama mereduksi data dan menginterpretasikannya. Atau dengan kata lain analisis komponen utama digunakan untuk menyusutkan dimensi dari sekumpulan variabel yang tak bertata untuk keperluan analisis dan interpretasi, sehingga variabel yang jumlahnya cukup banyak akan diganti dengan variavel atau fungsi variabel yang jumlahnya lebih sedikit tanpa diiringi hilangnya obyektivitas analisis (Wahana Komputer, 2004).

PCA digunakan untuk mengetahui faktor yang paling berpengaruh terhadap distribusi orangutan Sumatera, berdasarkan titik distribusi orangutan yang ditemukan dengan masing-masing layer (jarak dari sumber air, jarak dari jalan, jarak dari desa dan nilai NDVI). Berdasarkan hasil tersebut selanjutnya dapat ditentukan bobot dari masing-masing faktor yang mempengaruhi habitat orangutan. Analisis PCA tersebut dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak SPSS 17.0. Hasil PCA akan menghasilkan persamaan sebagai berikut:

(34)

Keterangan :

Y = kesesuaian habitat X2 = jarak dari desa (m)

a-d = nilai bobot PCA tiap variabel X3 = jarak dari sumber air (m)

X1 = jarak dari jalan (m) X4 = nilai NDVI

(35)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Titik Sebaran Sarang Orangutan

Kegiatan identifikasi penyebaran titik sarang orangutan di enam transek berbeda menghasilkan sebanyak 51 titik. Jalur transek yang paling banyak ditemukan titik sarang orangutan berada pada transek kedua dengan jumlah 19 titik. Sedangkan pada jalur transek keempat sama sekali tidak ditemukan sarang orangutan. Data sebaran titik sarang orangutan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Titik sebaran sarang orangutan

(36)

33 S6T3 E 3 10 M. tapak gajah (Macaranga gigantea)

Setelah dilakukan overlay (tumpang tindih) antara peta kawasan restorasi Sei Betung dengan titik sebaran orangutan yang diproleh, ternyata sebagian titik sebaran berada di luar kawasan penelitian, khususnya transek keenam yang memang disengaja dilakukan di luar kawasan penelitian sebagai data perbandingan dan data tambahan. Dengan demikian titik sebaran orangutan yang berada di luar kawasan tidak dipakai dalam membuat peta kesesuaian habitat orangutan. Titik sarang orangutan yang berada di kawasan penelitian terdapat sebanyak 38 titik.

Jarak Sarang Orangutan Dari Jalan Setapak

(37)

%

Peta Jarak Sarang Orangutan Dari Jalan Areal Restorasi Sei Betung, Taman Nasional Gunung Leuser

(38)

Kriteria kesesuaian habitat berdasarkan jarak sarang orangutan dari jalan adalah sebagai berikut :

 Kesesuaian sangat rendah dengan jarak ke jalan (0 – 416 m)

 Kesesuaian rendah dengan jarak ke jalan (417 – 832 m)

 Kesesuaian sedang dengan jarak ke jalan (833 – 1248 m)

 Kesesuaian tinggi dengan jarak ke jalan (1249 -1664 m)

 Kesesuaian sangat tinggi dengan jarak ke jalan (1665 - >2080 m)

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa jarak sarang orangutan ke jalan sangat mempengarui penyebaran orangutan di lokasi restorasi. Seperti terlihat pada Gambar 5, dimana pada gambar tersebut dapat dilihat bahwa semakin jauh jarak dari jalan maka kawasan tersebut semakin sesuai untuk dijadikan sebagai habitat orangutan. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Koeswara (2010) mengenai pemodelan spasial kesesuaian habitat satwa jenis lain yang menyatakan bahwa semakin jauh jarak suatu kawasan dengan jalan, maka di kawasan tersebut akan semakin banyak dijumpai jejak satwa.

(39)

Tabel 2. Luas tiap kesesuaian kelas berdasarkan jarak dari jalan

Tabel 2 menunjukkan bahwa luas yang paling besar terdapat pada kelas kesesuaian sangat rendah dengan luas 129,226 Ha. Luas ini dikarenakan jalan yang digunakan setiap hari untuk menuju lokasi penginapan pekerja tepat membelah kawasan restorasi. Adapun luas yang paling sedikit terdapat pada kelas kesesuaian sangat tinggi dengan luas sebesar 16,751 Ha. Meskipun luas kawasan kelas ini tidak besar, namun sarang yang ditemukan cukup banyak. Tidak seperti kelas kesesuaian sangat rendah.

Jika diperhatikan pada peta jarak dari jalan terlihat bahwa sebaran sarang hanya terdapat pada arah barat peta. Sedangkan bagian timur tidak terdapat sarang sama sekali. Hal ini dikarenakan areal restorasi pada kawasan tersebut sebagian tanaman pohon baru mulai besar, bahkan sebagian lagi baru dilakukan penanaman sehingga tanaman pohon masih kecil sekali.

Jalan yang digunakan mulai masuk kawasan hingga tiba pada lokasi pondok lalang dapat dikatakan cukup jauh. Adapun keadaan jalan itu sendiri sangat sulit untuk dilalui. Selain keadaan jalan yang rusak parah, juga ditambah dengan naik turun bukit. Apalagi saat musim hujan, jalan tersebut benar-benar sulit untuk dilewati. Suara kendaraan yang lengket akan semakin keras dan tentu

(40)

sangat mengganggu aktivitas hidup orang utan. Hal inilah yang menyebabkan orangutan memilih menjauh dalam memilih lokasi habitat yang lebih sesuai. Keadaan jalan menuju pondok lalang dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Keadaan jalan menuju Pondok Lalang

Jarak Sarang Orangutan Dari Pemukiman

(41)
(42)

Kriteria kesesuaian habitat berdasarkan jarak sarang orangutan dari pemukiman adalah sebagai berikut :

 Kesesuaian sangat rendah dengan jarak ke pemukiman (0 – 420 m)

 Kesesuaian rendah dengan jarak ke pemukiman (421 – 839 m)

 Kesesuaian sedang dengan jarak ke pemukiman (840 – 1259 m)

 Kesesuaian tinggi dengan jarak ke pemukiman (1260 -1679 m)

 Kesesuaian sangat tinggi dengan jarak ke pemukiman (1680 - >2100 m)

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa jarak sarang orangutan dari pemukiman juga sangat mempengaruhi penyebaran orangutan di lokasi restorasi. Pada Gambar 7 dapat dilihat bahwa semakin jauh jarak dari pemukiman maka kawasan tersebut semakin sesuai untuk dijadikan sebagai habitat orangutan.

(43)

Tabel 3. Luas tiap kesesuaian kelas berdasarkan jarak dari pemukiman

Tabel 3 menunjukkan bahwa luas yang paling besar terdapat pada kelas kesesuaian sangat tinggi dengan luas 111,077 Ha. Luas ini dikarenakan jalan yang digunakan setiap hari untuk menuju lokasi penginapan pekerja tepat membelah kawasan restorasi. Adapun luas yang paling sedikit terdapat pada kelas kesesuaian sangat rendah dengan luas 3,763 Ha.

Pemukiman Afdeling 2 merupakan pemukiman masyarakat yang bekerja pada PT. Putri Hijau. Perusahaan ini bergerak dibidang perkebunan kelapa sawit. Secara administratif, letak geografis pemukiman ini belum terdata pada peta wilayah administratif Kabupaten Langkat yang diproleh dari Badan Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah I Sumut. Keadaan pemukiman dapat dilihat pada Gambar 8.

No. Kelas Interval Jarak (m)

Luas (Ha)

Persentase (%)

1 Sangat rendah 0 - 420 3,763 1,07

2 Rendah 421 - 839 44,421 12,62

3 Sedang 840 - 1259 85,858 24,39

4 Tinggi 1260 - 1679 106,907 30,37 5 Sangat tinggi 1680 - > 2100 111,077 31.55

Jumlah - 352,026 100 %

(44)

Jarak Sarang Orangutan Dari Sumber Air

Titik air yang dijadikan sebagai dasar pembuatan peta buffer (jarak dari sumber air) adalah titik air yang dilalui pada jalur transek. Titik sumber air tersebut diyakini dapat dimanfaatkan oleh orangutan jika memang dibutuhkan oleh satwa tersebut. Peta jarak dari sumber air dapat dilihat pada Gambar 9.

Kriteria kesesuaian habitat berdasarkan jarak sarang orangutan dari sumber air adalah sebagai berikut :

 Kesesuaian sangat rendah dengan jarak ke sumber air (0 - 58 m)

 Kesesuaian rendah dengan jarak ke sumber air (59 - 116 m)

 Kesesuaian sedang dengan jarak ke sumber air (117 - 174 m)

 Kesesuaian tinggi dengan jarak ke sumber air (175 - 232 m)

 Kesesuaian sangat tinggi dengan jarak ke sumber air (233 - >290 m)

Berdasarkan hasil overlay dapat diketahui bahwa jarak sarang orangutan dari sumber air juga sangat mempengaruhi penyebaran orangutan di lokasi restorasi. Pada Gambar 9 dapat dilihat bahwa orangutan lebih cenderung memilih untuk membuat sarang di sekitar sumber air. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Rudiansyah (2007) mengenai pemodelan spasisal kesesuaian habitat satwa jenis lain, dimana satwa tersebut cenderung mendiami habitat yang berhubungan dengan air.

(45)
(46)

dengan jarak 117-174 m ditemukan sebanyak 3 sarang. Pada kelas kesesuaian rendah dengan jarak 175-232 m serta kelas kesesuaian sangat rendah dengan jarak 233 – >290 m hanya diperoleh masing-masing 1 sarang orangutan. Luas masing-masing kelas kesesuaian berdasarkan jarak dari sumber air disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Luas tiap kesesuaian kelas berdasarkan jarak dari sumber air

Tabel 4 menunjukkan bahwa luas yang paling sedikit terdapat pada kelas kesesuaian sangat rendah dengan luas 11,032 Ha. Adapun luas yang paling besar terdapat pada kelas kesesuaian sangat rendah dengan luas 254,256 Ha. Luas ini dikarenakan bahwa tidak semua titik air yang diproleh di lokasi penelitian dijadikan sebagai dasar dalam pembuatan buffer.

Seperti diketahui bahwa titik sumber air yang digunakan adalah sumber air yang terdekat dengan sebaran sarang. Selain itu, titik air yang di sekitarnya tidak terdapat sarang sama sekali maka akan diabaikan seperti halnya pada jalur track

ke 4. Pada jalur tersebut tidak diproleh sarang sama sekali meskipun sumber air yang ditemukan di lapangan sangat tersedia. Tentu dalam hal ini dapat dimengerti. Sebagai perbandingan, titik air juga tersedia pada bagian bawah selatan lokasi penelitian. Kawasan ini tidak dilakukan identifikasi titik sarang karena kawasan

(47)

tersebut masih didominasi dengan vegetasi tutupan lahan berupa tanaman lalang dan semak belukar yang tentunya tidak terdapat sarang sama sekali. Meskipun secara jarak dari desa dan jalan kawasan tersebut sesuai untuk dijadikan sebagai habitat orangutan. Mengenai vegetasi tutupan lahan akan dibahas lebih lanjut pada sub-bab Peta NDVI (Normalization Difference Vegetation Indeks). Keadaan kondisi sumber air areal restorasi Sei Betung disajikan pada Gambar 10.

(a) (b)

Gambar 10. Sumber air pada lokasi penelitian, (a) Sungai kecil, (b) Rawa

Tutupan Vegetasi (Normalization Difference Vegetation Indeks)

Peta NDVI dianalis untuk mewakili tutupan vegetasi di areal restorasi Sei Betung. NDVI adalah perhitungan citra yang digunakan untuk mengetahui tingkat kehijauan yang sangat baik sebagai awal dari pembagian daerah vegetasi. NDVI

(48)
(49)

Kuantitas dan kualitas habitat sangat menentukan prospek kelestarian satwaliar termasuk orangutan. Tutupan vegetasi merupakan salah satu komponen biotik yang sangat mempengaruhi kualitas dan kuantitas habitat orangutan. Orangutan membutuhkan vegetasi yang cukup untuk dijadikan sebagai lokasi sarang maupun sebagai tempat berlindung. Kerapatan tajuk diketahui dengan pendekatan nilai NDVI. Nilai NDVI yang dihasilkan pada penelitian ini diketahui sebanyak 4 kelas. Sehingga kriteria tingkat kesesuaian berdasarkan nilai NDVI

adalah sebagai berikut :

 Kesesuaian rendah dengan nilai NDVI 0,32

 Kesesuaian sedang dengan nilai NDVI 0,35

 Kesesuaian tinggi dengan nilai NDVI 0,37

 Kesesuaian sangat tinggi dengan nilai NDVI 0,38

Gambar 11 menunjukkan bahwa kawasan yang paling banyak dijumpai sarang yaitu berada pada kawasan dengan nilai NDVI 0,35. Selanjutnya kawasan dengan nilai NDVI 0,37 terdapat 9 sarang. Sedangkan kawasan dengan nilai NDVI

(50)

Tabel 5. Luas tiap kesesuaian kelas berdasarkan nilai NDVI

Berdasarkan Table 5 dapat diketahui bahwa luas yang terbesar terdapat pada kelas kesesuaian tinggi dengan luas 126,54 Ha. Selanjutnya menyusul kelas kesesuaian sedang dengan luas 92,81 Ha. Sedangkan kelas kesesuain sangat tinggi adalah sebesar 88,45 Ha. Adapun luas yang paling sedikit terdapat pada kelas kesesuaian rendah dengan luas sebesar 44,57 Ha.

Secara umum tingkat kehijauan areal restorasi Sei Betung belum bisa dikatakan rapat atau baik. Kawasan yang memiliki tingkat kehijauan yang rapat setidaknya berada pada rentang NDVI dengan nilai 0,4-0,8. Sementara hasil penelitian ini menunjukkan bahwa nilai NDVI tertinggi hanya 0,38. Hal ini tentu dapat dipahami karena kawasan ini masih dalam tahap restorasi, dimana lokasi penelitian ini sebelumnya dijadikan sebagai tempat illegal loging dan perkebunan sawit. Hingga saat ini masih terlihat jelas beberapa bekas jalan yang digunakan untuk membawa kayu log. Begitu juga dengan tanaman sawit masih banyak yang hidup di areal ini. Kondisi vegetasi tutupan lahan dapat dilihat pada Gambar 12.

No. Kelas Nilai NDVI Luas (Ha) Persentase (%)

1 Sangat tinggi 0,38 88,45 25,10

2 Tinggi 0,37 126,54 34,78

3 Sedang 0,35 92,81 26,34

4 Rendah 0,32 44,57 12,65

(51)

(a) (b)

(c) (d) Gambar 12. Tipe Penutupan lahan restorasi Sei Betung, (a) Hutan sekunder, (b) Lalang, (c) Pakis hutan, (d) Semak belukar

Ketersediaan Pohon Pakan

(52)

penelitian ini dibatasi dengan hanya sebatas pengenalan jenis pohon pakan. Metode yang digunakan tidak begitu mendalam. Jenis-jenis pohon yang dijumpai di setiap jalur track survey sarang orangutan diidentifikasi dan dicocokkan dengan penelitian sebelumnya.

Jenis-jenis pohon pakan yang berhasil diidentifikasi sebagai pohon pakan orangutan dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Jenis pohon pakan orangutan resort Sei Betung

No. Jenis Pohon Suku Bagian yang dimakan 1 Arthocarpus sp. Moraceae Buah dan kulit 2 Arthocarpus elasticus Moraceae Buah, daun, dan kulit 3 Arthocarpus rigidus Moraceae Buah dan kulit 4 Diospyros ebenum Ebenaceae Buah dan daun 5 Disoxillum sp. Meliaceae Buah

6 Duriosp. Bombaceae Buah 7 Lithocarpus gracilis Fagaceae Buah

8 Litsea sp. Lauraceae Buah dan daun 9 Macaranga gigantea Euphorbiaceae Buah, daun, dan kulit 10 Macaranga sp. Euphorbiaceae Buah

11 Mallotus paniculatus Euphorbiaceae Buah 12 Nephelium sp Sapindaceae Buah

13 Shorea parvifolia Diptrocarpacea Kulit dan daun 14 Sterculia sp Sterculiaceae Buah, unga, dan daun 15 Syzygium sp. Myrtaceae Buah

Jenis yang paling mendominasi adalah dari suku Euphorbiaceae. Umumnya bagian pohon yang dimakan dari suku Euphorbiaceae adalah bagian buah, daun, dan juga kulit. Selanjutnya jenis yang mendominasi adalah dari suku Moraceae. Bagian yang dimakan umumnya adalah bagian buah dan juga kulitnya. Suku Lauraceae juga merupakan jenis yang mudah dijumpai di areal restorasi Sei Betung. Dari hasil pengamatan di lapangan diketahui bahwa selain orangutan memakan buah dari suku Lauraceae, orangutan juga sering memilih pohon ini untuk dijadikan sebagai lokasi pembuatan sarang.

(53)

literatur, seperti (Napier dan Napier, 1985) menyatakan bahwa saat sedang musim buah, pakan Orangutan dapat seluruhnya bersumber pada pakan buah, dan saat bukan musim buah, alternatif pakan Orangutan adalah dedaunan (25%), kulit kayu (37%), buah (21%), dan serangga (7%).

Berdasarkan pengamatan di lapangan, selain bagian pohon ternyata bagian daun pucuk yang muda dari tanaman sawit juga banyak dimakan orang utan seperti terlihat pada Gambar 10. Hal ini dibuktikan dengan adanya penemuan di lapangan berupa bekas pakan yang berasal dari daun muda tanaman sawit. Hal ini didukung dengan pernyataan (MacKinnon, 1974) yang menyatakan bahwa orangutan merupakan pengumpul pakan yang oportunis, yaitu memakan apa saja yang dapat diraihnya, termasuk madu pada sarang lebah. Kegemarannya pada makanan yang tidak biasa ditemui dan tertebar acak di habitatnya, menyebabkan orangutan selalu bergerak dalam rangka mencari makanan kegemarannya.

Gambar 13. Pucuk muda daun tanaman sawit bekas pakan orangutan

(54)

Tabel 7. Jenis pohon non pakan orangutan

No. Jenis Pohon Suku

1 Actinodaphne sp. Lauraceae 2 Afzelia xylocarpa Fabaceae 3 Agathis dammara Araucariaceae 4 Alsedaphne sp. Lauraceae 5 Anthocephalus sp. Rubiaceae 6 Archidendron pauciflorum Fabaceae 7 Bridelia glauca Euphorbiaceae 8 Bridelia sp. Euphorbiaceae 9 Breynia oblongifolia Phyllanthaceae 10 Callicarpa pentandra Verbenaceae 11 Cinnamomum burmannii Lauraceae 12 Citrus sp. Rutaceae 13 Dipterocarpus haseltii Dipterocarpaceae 14 Dyera costulata Apocynaceae 15 Gardenia sp. Theaceae 16 Hibiscus sp. Malvaceae 17 Homalanthus sp. Euphorbiaceae 18 Litsea sp. Lauraceae 19 Sesbania grandiflora Fabaceae 20 Sloetia elongata Moraceae 21 Spathodea campanulata Bignoniaceae 22 Symplocus sp. Symplocaceae 23 Trema orientalis Cannabaceae 24 Terminalia pyrifolia Combretaceae 25 Vitex pubescens Verbenaceae

(55)

Analisis Komponen Utama / Principal Component Analysis (PCA)

Analisis komponen utama digunakan untuk menyusutkan dimensi dari sekumpulan variabel yang tak bertata untuk keperluan analisis dan interpretasi, sehingga variabel yang jumlahnya cukup banyak akan diganti dengan variabel atau fungsi variabel yang jumlahnya lebih sedikit tanpa diiringi hilangnya obyektivitas analisis (Wahana Komputer, 2004).

PCA digunakan untuk mengetahui faktor yang paling berpengaruh terhadap distribusi orangutan Sumatera, berdasarkan titik distribusi orangutan yang ditemukan dengan masing-masing layer (jarak dari sumber air, jarak dari jalan, jarak dari desa dan nilai NDVI). Berdasarkan hasil tersebut selanjutnya dapat ditentukan bobot dari masing-masing faktor yang mempengaruhi habitat orangutan. Penentuan nilai bobot tiap variabel dilakukan dengan memanfaatkan Software SPSS 11.7. Variabel yang digunakan meliputi jarak dari jalan, jarak dari air, jarak dari desa, dan nilai NDVI.

(56)

Data yang digunakan untuk mengetahui bobot dalam analisis komponen utama adalah titik sebaran sarang orangutan yang didapatkan dari survey lapang. Terdapat 38 titik sebarang sarang orangutan yang masing-masing titik dianalisis letak spasialnya meliputi jarak dari jalan, jarak dari desa, jarak dari sumber air, dan nilai NDVI.

Dari analisis komponen utama didapatkan 4 komponen utama. Komponen yang digunakan adalah 2 komponen pertama yang persentasenya 74,026 %. Selanjutnya hasil PCA digunakan sebagai bobot dalam pemodelan spasial kesesuaian habitat. Hasil analisis PCA disajikan pada Tabel 8, 9 dan 10.

Tabel 8. Keragaman total yang dijelaskan

Komponen Total % Keragaman % Kumulatif Jarak dari jalan 1,917 47,926 47,926

Faktor bobot menggambarkan tingkat kepentingan relatif dari variabel yang digunakan dalam pemodelan kesesuaian habitat. Bobot didapatkan dari skor

(57)

Komponen 1 menjelaskan varian terbesar adalah jarak dari jalan, jarak dari desa, dan jarak dari sumber air. Sedangkan nilai NDVI merupakan varian terkecil yang dapat dijelaskan. Dengan demikian bobot untuk jarak dari jalan, jarak dari desa, dan jarak dari sumber air adalah 1,917. Komponen 2 menjelaskan bahwa varian terbesar nilai NDVI, sehingga bobot untuk nilai NDVI adalah 1,044. Untuk lebih memahami hasil dari PCA, berikut akan disajikan bobot masing-masing yang dihasilkan dari tiap variabel.

Tabel 10. Bobot masing-masing tiap variabel

Variabel Kompone Terbesar Skor Keragaman PCA Nilai Bobot

Jarak dari jalan 0,760 1,917 1,917

Jarak dari desa 0,841 1,917 1,917

Jarak dari sumber air 0,793 1,917 1,917

Nilai NDVI 0,973 1,044 1,044

Berdasarkan bobot tersebut dapat dihasilkan Indeks Kesesuaian Habitat orangutan sumatera dengan persamaan sebagai berikut.

Y = a.X1+b.X2+c.X3+d.X4

Y = (1,917. X1 ) + (1,917.X2) + (1,917 . X3) + (1,044 . X4)

Keterangan :

Y = kesesuaian habitat X2 = jarak dari desa (m)

a-d = nilai bobot PCA tiap variabel X3 = jarak dari sumber air (m)

X1 = jarak dari jalan (m) X4 = nilai NDVI

(58)

nilai NDVI memiliki pengaruh yang lebih kecil terhadap pemilihan pembuatan sarang orangutan.

Peta Kesesuaian Habitat Orangutan

Peta kesesuaian habitat diperoleh dengan melakukan overlay dari keempat peta yang dihasilkan sebelumnya. Penentuan kelas kesesuaian diperoleh dengan cara pemberian skor (skoring). Skoring adalah kegiatan pemberian nilai tertentu terhadap kriteria yang telah ditentukan sebelumnya. Pemberian nilai pada masing-masing kelas dibuat berbeda antara satu kelas dengan kelas yang lainnya. Skoring merupakan tahapan sebelum melakukan proses overlay. Proses overlay akan menghasilkan peta kesesuaian habitat orangutan. Skor tiap variabel dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11. Skor tiap variabel

Jarak Dari Jalan Jarak Dari Desa Jarak Dari Sumber Air Nilai NDVI Kelas Skor Kelas Skor Kelas Skor Kelas Skor

0-416 5 0-420 5 0-58 1 0,32 4

417-832 4 421-839 4 59-116 2 0,35 3 833-1248 3 840-1259 3 117-174 3 0,37 2 1249-1664 2 1260-1679 2 175-232 4 0,38 1 1665->2080 1 1680->2100 1 233->290 5 - -

(59)
(60)

Berdasarkan Gambar 14 dapat dilihat bahwa lokasi yang sangat sesuai untuk dijadikan sebagai tempat pelepasliaran orangutan terdapat pada bagian barat peta. Luas masing-masing kelas kesesuaian habitat orangutan dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12. Luas masing-masing kelas kesesuaian habitat orangutan

Kelas Skor Luas (Ha) Persentase (%)

Sangat Sesuai ≤ 6 5,332 1,53

Sesuai 7-12 126,880 36,42

Tidak Sesuai ≥13 216,170 62,05

Total 19 348,382 100,00

Hasil proses overlay peta menunjukkan bahwa hanya 1,53 % areal restorasi Sei Betung yang sangat sesuai untuk dijadikan sebagai lokasi pelepasliaran orangutan. Sedangkan areal yang sesuai adalah sebesar 36,42 %. Adapun lokasi yang tidak sesuai memiliki kawasan terbesar dengan 62,05%.

Berdasarkan Tabel 12 dapat diketahui bahwa lokasi yang paling luas adalah lokasi yang tidak sesuai untuk dijadikan sebagai lokasi pelepasliaran orangutan dengan luas 216,170 Ha. Sedangkan kelas kesesuaian habitat dengan kriteria sesuai adalah seluas 126,880 Ha. Adapun luas terkecil justru terdapat pada kelas kesesuaian habitat dengan kriteria sangat sesuai dengan luas 5,332 Ha. Peta kesesuaian habitat ini dapat dijadikan sebagai acuan dalam penentuan lokasi pelepasliaran orangutan di areal restorasi Sei Betung.

Validasi

(61)

kesesuaian dibagi total lalu dikali 100 %. Hasil validasi peta kesesuaian habitat orangutan dapat dilihat Tabel 13.

Tabel 13. Validasi hasil model peta kesesuaian habitat orangutan Kelas Jumlah titik sarang Validasi (%)

Sangat Sesuai 7 18,42

Sesuai 31 81,58

Tidak Sesuai 0 0

Total 19 100

Model kesesuaian habitat terdiri dari tiga kelas kesesuaian kelas yaitu kesesuaian habitat dengan kelas sangat sesuai, kesesuaian habitat dengan kelas sesuai, dan kesesuaian habitat dengan kelas tidak sesuai. Kelas tidak sesuai adalah kelas hasil pemodelan dengan skor ≥ 13. Meskipun luas kawasan kelas ini merupakan areal terluas tetapi berdasarkan hasil survey lapangan, tidak ada sarang orangutan yang ditemukan di kawasan tersebut. Hasil ini berbanding lurus dengan nilai validasi sebesar 0 %.

Kesesuaian habitat dengan kelas sesuai adalah hasil pemodelan dengan nilai skor 7 sampai 12. Meskipun luas wilayah kelas ini tidak mendominasi tetapi kawasan ini sudah cukup sesuai untuk dijadikan sebagai lokasi pelepasliaran orangutan. Hal ini didukung dengan penemuan jumlah sarang pada lokasi tersebut sebanyak 31 sarang. Hasil ini berbanding lurus dengan nilai validasi yang diperoleh sebesar 81,58 %.

(62)
(63)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Areal restorasi Sei Betung sudah cukup layak dijadikan sebagai tempat pelepasliaran orangutan. Kawasan yang layak adalah kawasan bagian barat peta. Semakin jauh jarak areal dari desa dan jalan maka areal tersebut semakin cocok untuk dijadikan sebagai tempat pelepasliaran orangutan. Orangutan cenderung memilih lokasi tempat bersarang di sekitar wilayah yang dekat dengan sumber air.

Saran

(64)

DAFTAR PUSTAKA

Alikodra, H.S. 1980. Pengelolaan Satwa Liar. Jilid I. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.

Atmoko, dkk. 2011. Panduan Sarang Orangutan. Fakultas Biologi, Universitas Nasional. Jakarta

Dewi, H. 2005. Tingkat Kesesuaian Habitat Owa Jawa (Hylobaltus moloch) di Taman Nasional Gunung Halimun Jawa Barat. Tesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Djojosudharmo, S. 1878. Beberapa Aspek Tingkah Laku Orangutan di Suaka Tanjung Puting. Universitas Nasional. Jakarta.

Elly, M. J. 2009. Sistem Infomasi Geografis. Graha Ilmu. Jakarta

Galdikas BMF. 1978. Adaptasi Orangutan di Suaka Tanjung Puting Kalimantan Tengah. UI Press. Jakarta

Groves, C. 2001. Primates Taxonomy. Smithsonian Institution Press. Washington Johnsom, dkk. 2002. Applied Multivariate Statistical Analysis. Pearson Education

International. New Jersey.

Koeswara, D.A. 2010. Pemodelan Spasial Kesesuaian Habitat Tapir (Tapirus indicus Desmarest, 1819) Di Resort Batang Suliti-Taman Nasional Kerinci-Seblat. Skripsi. Institut Pertanian Bogor.

Lillesand, T.M., dan Kiefer, R. W. 1997. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.

Lo C.P. 1996. Penginderaan Jauh Terapan. UI-Press. Jakarta

MacKinnon J.R. 1972. The Behaviour and Ecology of the Orang-Utan (Pongo pygmaeus), with Relation to the Other Apes [Thesis]. Oxford. University of Oxford.

MacKinnon. 1974. The Behaviour and Ecology if Wild Orangutan (Pongo pygmaeus. Animal Behavior 22: 3 -74.

Maple T.L. 1980. Orang-utan Behavior (Van Nostrand and Reinhold Primate Behavior and Development Series). New York. Van Nostrand Reinhold Company.

(65)

Meijard, E., dkk. 2001. Diambang Kepunahan Orangutan Liar di Awal Abad ke-21. Cetakan Pertama. The Gibbon Foundation Indonesia. Jakarta

Murai, S. 1999. GIS Wook Book. Institute of Industrial Science. University of Tokyo, 7-22-1 Roppongi, Minatoku. Tokyo

Napier J.R, Napier P.H. 1967. A Handbook of Living Primates. Academic Press. London

Oktalina, S. 2010. Tingkat Kesesuaian Dan Preferensi Habitat Leptophryne cruentata, Tschudi 1838 Di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango [Tesis]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Onrizal dan Perbatakusuma, E.A. 2011. Potensi Pohon Sumber Pakan Orangutan Sumatera untuk Kegiatan Rehabilitasi Di Blok Barat dan Timur Hutan Batang Toru, Khususnya Kawasan Koridor Orangutan Batang Toru Provinsi Sumatera Utara. TFCA Sumatera

Pareira, Y.M.Y. 1999. Karakteristik Habitat Beo Flores (Gracula religiosa martensi) di Desa Tanjung Boleng, Kabupaten Manggarai, Pulau Flores. Skripsi. Fakultas Institut Pertanian Bogor.

Payne, J., dkk. 2000. Panduan Lapangan, Mamalia di Kalimantan, Sabah, Sarawak & Brunei Darussalam. Cetakan Pertama. The Sabah Society dan Wildlife Conservation Society. Jakarta.

Rijksen, H. D. 1978. A Field Study on Sumatera Orangutan (Pongo Abelii Lesson 1827). Ecology, Behaviour and Conservation. Wageningen. The Netherlands.

Rudiansyah. 2007. Pemodelan Spasial Kesesuaian Habitat Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae Pocock, 1929) di Resort Ipuh Seblat Seksi Konservasi Wilayah II Taman Nasional Kerinci Seblat. Skripsi. Institut Pertanian Bogor.

Ryan L. 1997. Creating a Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) image Using MultiSpec. University of New Hampshire

Soenarmo SH. 2003. Penginderaan Jarak Jauh dan Pengenalan Sistem Informasi Geografi untuk bidang Ilmu Kebumian. ITB. Bandung.

Sudian dan Diasmara. 2008. Analisis Indeks Vegetasi Menggunakan Data Satelit NOAA/AVHRR dan TERRA/AQUA-MODIS. Departemen Tehnik Elektro. Fakultas Tehnik. Universitas Indonesia.

(66)

Supriatna, J. dan E.H. Wahyono. 2000. Panduan Lapangan Primata Indonesia. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Van Schaik, dkk. 1994. Estimation of Orangutan Distribution and Status in Sumatera. Plenum Press. New York.

Van Schaik, dkk. 2001. Dramatic decline in orangutan numbers in the Leuser Ecosystem, Northern Sumatra. Oryx 35(1):14-25

Wahana Komputer. 2004. 10 Model Penelitian dan Pengolahannya dengan SPSS. Penerbit Andi. Semarang

Walkers. E. P. 1983. Mammals of The World. The Johns Hopkins University Press. London.

(67)

LAMPIRAN

Lampiran 1. Dokumentasi kegiatan penelitian

Pengukuran jalur track Pengambilan titik sarang denga GPS

Areal restorasi di sekitar pondok lalang Kawasan barat areal restorasi

(68)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Areal restorasi Sei Betung sudah cukup layak dijadikan sebagai tempat pelepasliaran orangutan. Kawasan yang layak adalah kawasan bagian barat peta. Semakin jauh jarak areal dari desa dan jalan maka areal tersebut semakin cocok untuk dijadikan sebagai tempat pelepasliaran orangutan. Orangutan cenderung memilih lokasi tempat bersarang di sekitar wilayah yang dekat dengan sumber air.

Saran

(69)

GPS yang digunakan Kegiatan identifikasi jenis pohon

Sumber air di lokasi penelitian Pohon jenis Macaranga sp.

Spanduk lokasi restorasi Pondok lalang

Gambar

Gambar 1.
Gambar 2. Bagan alir tahapan penelitian
Gambar 3.  Proses pembuatan peta
Gambar 4. Proses pembuatan peta NDVI
+7

Referensi

Dokumen terkait

Bersumber dari wikipedia.com/Education in United States, dapat dilihat bahwa jenjang pendidikan di Amerika Serikat biasanya dimulai dari preschool, kindergarten, atau

Berdasarkan Berita Acara Hasil Pelelangan (BAHP) Nomor:BA-127/ULPD/WI.2/2016 Tanggal 16 Juli 2016 dan Penetapan Pemenang oleh Kelompok Kerja (Pokja) ULPD Kementerian Keuangan

Paket pengadaan ini terbuka untuk penyedia barang/jasa yang memenuhi persyaratan Bidang Jasa Periklanan dengan terlebih dahulu melakukan registrasi pada Layanan

Panitia ULP/ Panitia Pengadaan pada Satker Direktorat Advokasi dan KIE akan melaksanakan Pelelangan Sederhana dengan pascakualifikasi untuk paket pekerjaan

Dengan demikian, peneliti menyimpulkan bahwa ketrampilan menyimak cerita pendek perlu ditingkatkan lagi, karena pada hasil yang dicapai pada pembelajaran yang telah

Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kinerja guru dalam pembelajaran matematika pada materi Satuan Panjang adalah memperbaiki RPP dan pelaksanaan pembelajarn

Windmill Water Flow Top benefited from the force of gravity to the ater entering the turbine blade, so that power is generated not only from the kinetic energy comes

Tabel Hasil Output Uji Multikolinearitas Setelah Mengeluarkan Variabel Pengeluaran