• Tidak ada hasil yang ditemukan

U % U # # # # # # # # # ### # # # # # # # # # # ## # # # # # # # # # # ## # # Afdeling 2 400 0 400 Meters 394000 394000 394500 394500 395000 395000 395500 395500 396000 396000 396500 396500 397000 397000 445500 445500 446000 446000 446500 446500 447000 447000 447500 447500 N Legenda 0 - 416 1249 - 1664 1665 - >2080 417 - 832 833 - 1248 % U % U # Titik Sarang Pemukiman Pondok Lalang Jalan Jarak Jalan Sumber : OIC (2013)

Kec. Sei Besitang

Kawasan TNGL

Peta Jarak Sarang Orangutan Dari Jalan Areal Restorasi Sei Betung, Taman Nasional Gunung Leuser

Kriteria kesesuaian habitat berdasarkan jarak sarang orangutan dari jalan adalah sebagai berikut :

 Kesesuaian sangat rendah dengan jarak ke jalan (0 – 416 m)

 Kesesuaian rendah dengan jarak ke jalan (417 – 832 m)

 Kesesuaian sedang dengan jarak ke jalan (833 – 1248 m)

 Kesesuaian tinggi dengan jarak ke jalan (1249 -1664 m)

 Kesesuaian sangat tinggi dengan jarak ke jalan (1665 - >2080 m)

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa jarak sarang orangutan ke jalan sangat mempengarui penyebaran orangutan di lokasi restorasi. Seperti terlihat pada Gambar 5, dimana pada gambar tersebut dapat dilihat bahwa semakin jauh jarak dari jalan maka kawasan tersebut semakin sesuai untuk dijadikan sebagai habitat orangutan. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Koeswara (2010) mengenai pemodelan spasial kesesuaian habitat satwa jenis lain yang menyatakan bahwa semakin jauh jarak suatu kawasan dengan jalan, maka di kawasan tersebut akan semakin banyak dijumpai jejak satwa.

Jumlah titik sarang pada jarak antara 1249 – 1664 m adalah sebanyak 24 sarang. Sedangkan pada jarak antara 1665 - >2080 m ditemukan sarang orangutan sebanyak 9 sarang. Adapun pada kelas kesesuaian sedang dengan jarak 833 – 1248 m hanya ditemukan sebanyak 1 sarang. Kelas kesesuaian rendah dengan jarak 417 – 832 m dapat ditemukan titik sarang sebanyak 4 sarang. Sarang yang ditemukan pada kelas ini terdapat di sekitar pondok lalang. Selanjutnya pada kelas kesesuaian sangat rendah tidak ditemukan sarang sama sekali. Luas masing-masing kelas kesesuaian habitat berdasarkan jarak dari jalan dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Luas tiap kesesuaian kelas berdasarkan jarak dari jalan

Tabel 2 menunjukkan bahwa luas yang paling besar terdapat pada kelas kesesuaian sangat rendah dengan luas 129,226 Ha. Luas ini dikarenakan jalan yang digunakan setiap hari untuk menuju lokasi penginapan pekerja tepat membelah kawasan restorasi. Adapun luas yang paling sedikit terdapat pada kelas kesesuaian sangat tinggi dengan luas sebesar 16,751 Ha. Meskipun luas kawasan kelas ini tidak besar, namun sarang yang ditemukan cukup banyak. Tidak seperti kelas kesesuaian sangat rendah.

Jika diperhatikan pada peta jarak dari jalan terlihat bahwa sebaran sarang hanya terdapat pada arah barat peta. Sedangkan bagian timur tidak terdapat sarang sama sekali. Hal ini dikarenakan areal restorasi pada kawasan tersebut sebagian tanaman pohon baru mulai besar, bahkan sebagian lagi baru dilakukan penanaman sehingga tanaman pohon masih kecil sekali.

Jalan yang digunakan mulai masuk kawasan hingga tiba pada lokasi pondok lalang dapat dikatakan cukup jauh. Adapun keadaan jalan itu sendiri sangat sulit untuk dilalui. Selain keadaan jalan yang rusak parah, juga ditambah dengan naik turun bukit. Apalagi saat musim hujan, jalan tersebut benar-benar sulit untuk dilewati. Suara kendaraan yang lengket akan semakin keras dan tentu

No. Kelas Interval jarak (m) Luas (Ha) Persentase (%) 1 Sangat rendah 0 - 416 129,226 36,70 2 Rendah 417 - 832 100,793 28,63 3 Sedang 833 - 1248 51,286 14,56 4 Tinggi 1249 - 1664 54,038 15,35 5 Sangat tinggi 1665 -> 2080 16,751 4,76 Jumlah - 352,094 100 %

sangat mengganggu aktivitas hidup orang utan. Hal inilah yang menyebabkan orangutan memilih menjauh dalam memilih lokasi habitat yang lebih sesuai. Keadaan jalan menuju pondok lalang dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Keadaan jalan menuju Pondok Lalang

Jarak Sarang Orangutan Dari Pemukiman

Pemukiman (desa) yang dipilih untuk diambil titiknya adalah pemukiman yang terdekat dengan kawasan penelitian dan dianggap aktifitas masyarakat di desa tersebut cukup mengganggu kehidupan orangutan. Dalam hal ini pemukiman yang dipilih adalah Pemukiman Afdeling 2. Sebenarnya masih ada pemukiman yang relatif lebih dekat. Pemukiman tersebut adalah Pondok Rapala. Tetapi pemukiman tersebut sangat sunyi karena sebagian masyarakat sudah berpindah dan pada saat ini, (ketika penelitian berlanjut) hanya sedikit masyarakat yang tinggal di pemukiman tersebut. Peta jarak dari desa dapat dilihat pada Gambar 7.

Kriteria kesesuaian habitat berdasarkan jarak sarang orangutan dari pemukiman adalah sebagai berikut :

 Kesesuaian sangat rendah dengan jarak ke pemukiman (0 – 420 m)

 Kesesuaian rendah dengan jarak ke pemukiman (421 – 839 m)

 Kesesuaian sedang dengan jarak ke pemukiman (840 – 1259 m)

 Kesesuaian tinggi dengan jarak ke pemukiman (1260 -1679 m)

 Kesesuaian sangat tinggi dengan jarak ke pemukiman (1680 - >2100 m) Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa jarak sarang orangutan dari pemukiman juga sangat mempengaruhi penyebaran orangutan di lokasi restorasi. Pada Gambar 7 dapat dilihat bahwa semakin jauh jarak dari pemukiman maka kawasan tersebut semakin sesuai untuk dijadikan sebagai habitat orangutan.

Jumlah sarang yang paling banyak ditemukan terdapat pada jarak antara 1680 – >2100 m dengan jumlah sarang sebanyak 21 sarang, jarak tersebut merupakan kesesuaian habitat dengan kelas sangat tinggi. Sedangkan pada kelas kesesuaian tinggi dengan jarak antara 1260 - 1679 m, ditemukan sarang sebanyak 17 sarang. Adapun pada kelas kesesuaian sedang dengan jarak 840 – 1259 tidak ditemukan sarang sama sekali. Begitu juga pada kelas kesesuaian rendah dengan jarak 421 – 839 m serta kelas kesesuaian sangat rendah dengan jarak 0 – 420 m tidak ditemukan sarang sama sekali. Luas kelas masing-masing kesesuaian disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Luas tiap kesesuaian kelas berdasarkan jarak dari pemukiman

Tabel 3 menunjukkan bahwa luas yang paling besar terdapat pada kelas kesesuaian sangat tinggi dengan luas 111,077 Ha. Luas ini dikarenakan jalan yang digunakan setiap hari untuk menuju lokasi penginapan pekerja tepat membelah kawasan restorasi. Adapun luas yang paling sedikit terdapat pada kelas kesesuaian sangat rendah dengan luas 3,763 Ha.

Pemukiman Afdeling 2 merupakan pemukiman masyarakat yang bekerja pada PT. Putri Hijau. Perusahaan ini bergerak dibidang perkebunan kelapa sawit. Secara administratif, letak geografis pemukiman ini belum terdata pada peta wilayah administratif Kabupaten Langkat yang diproleh dari Badan Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah I Sumut. Keadaan pemukiman dapat dilihat pada Gambar 8.

No. Kelas Interval Jarak (m) Luas (Ha) Persentase (%) 1 Sangat rendah 0 - 420 3,763 1,07 2 Rendah 421 - 839 44,421 12,62 3 Sedang 840 - 1259 85,858 24,39 4 Tinggi 1260 - 1679 106,907 30,37 5 Sangat tinggi 1680 - > 2100 111,077 31.55 Jumlah - 352,026 100 %

Jarak Sarang Orangutan Dari Sumber Air

Titik air yang dijadikan sebagai dasar pembuatan peta buffer (jarak dari sumber air) adalah titik air yang dilalui pada jalur transek. Titik sumber air tersebut diyakini dapat dimanfaatkan oleh orangutan jika memang dibutuhkan oleh satwa tersebut. Peta jarak dari sumber air dapat dilihat pada Gambar 9.

Kriteria kesesuaian habitat berdasarkan jarak sarang orangutan dari sumber air adalah sebagai berikut :

 Kesesuaian sangat rendah dengan jarak ke sumber air (0 - 58 m)

 Kesesuaian rendah dengan jarak ke sumber air (59 - 116 m)

 Kesesuaian sedang dengan jarak ke sumber air (117 - 174 m)

 Kesesuaian tinggi dengan jarak ke sumber air (175 - 232 m)

 Kesesuaian sangat tinggi dengan jarak ke sumber air (233 - >290 m) Berdasarkan hasil overlay dapat diketahui bahwa jarak sarang orangutan dari sumber air juga sangat mempengaruhi penyebaran orangutan di lokasi restorasi. Pada Gambar 9 dapat dilihat bahwa orangutan lebih cenderung memilih untuk membuat sarang di sekitar sumber air. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Rudiansyah (2007) mengenai pemodelan spasisal kesesuaian habitat satwa jenis lain, dimana satwa tersebut cenderung mendiami habitat yang berhubungan dengan air.

Gambar 9 menunjukkan bahwa jumlah sarang yang paling banyak ditemukan terdapat pada jarak antara 0-58 m dengan jumlah sarang sebanyak 17 sarang, jarak tersebut merupakan kesesuaian habitat dengan kelas sangat tinggi. Sedangkan pada kelas kesesuaian tinggi dengan jarak antara 59 - 116 m, ditemukan sarang sebanyak 16 sarang. Adapun pada kelas kesesuaian sedang

dengan jarak 117-174 m ditemukan sebanyak 3 sarang. Pada kelas kesesuaian rendah dengan jarak 175-232 m serta kelas kesesuaian sangat rendah dengan jarak 233 – >290 m hanya diperoleh masing-masing 1 sarang orangutan. Luas masing-masing kelas kesesuaian berdasarkan jarak dari sumber air disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Luas tiap kesesuaian kelas berdasarkan jarak dari sumber air

Tabel 4 menunjukkan bahwa luas yang paling sedikit terdapat pada kelas kesesuaian sangat rendah dengan luas 11,032 Ha. Adapun luas yang paling besar terdapat pada kelas kesesuaian sangat rendah dengan luas 254,256 Ha. Luas ini dikarenakan bahwa tidak semua titik air yang diproleh di lokasi penelitian dijadikan sebagai dasar dalam pembuatan buffer.

Seperti diketahui bahwa titik sumber air yang digunakan adalah sumber air yang terdekat dengan sebaran sarang. Selain itu, titik air yang di sekitarnya tidak terdapat sarang sama sekali maka akan diabaikan seperti halnya pada jalur track

ke 4. Pada jalur tersebut tidak diproleh sarang sama sekali meskipun sumber air yang ditemukan di lapangan sangat tersedia. Tentu dalam hal ini dapat dimengerti. Sebagai perbandingan, titik air juga tersedia pada bagian bawah selatan lokasi penelitian. Kawasan ini tidak dilakukan identifikasi titik sarang karena kawasan

No. Kelas Interval Jarak (m) Luas (Ha) Persentase (%) 1 Sangat tinggi 0 - 58 11,032 3,13 2 Tinggi 59 - 116 27,05 7,68 3 Sedang 117 - 174 31,806 9,03 4 Rendah 175 - 232 27,93 10,98 5 Sangat rendah 233 - > 290 254,256 72,22 Jumlah - 352,074 100 %

tersebut masih didominasi dengan vegetasi tutupan lahan berupa tanaman lalang dan semak belukar yang tentunya tidak terdapat sarang sama sekali. Meskipun secara jarak dari desa dan jalan kawasan tersebut sesuai untuk dijadikan sebagai habitat orangutan. Mengenai vegetasi tutupan lahan akan dibahas lebih lanjut pada sub-bab Peta NDVI (Normalization Difference Vegetation Indeks). Keadaan kondisi sumber air areal restorasi Sei Betung disajikan pada Gambar 10.

(a) (b)

Gambar 10. Sumber air pada lokasi penelitian, (a) Sungai kecil, (b) Rawa

Tutupan Vegetasi (Normalization Difference Vegetation Indeks)

Peta NDVI dianalis untuk mewakili tutupan vegetasi di areal restorasi Sei Betung. NDVI adalah perhitungan citra yang digunakan untuk mengetahui tingkat kehijauan yang sangat baik sebagai awal dari pembagian daerah vegetasi. NDVI

dapat menunjukkan parameter yang berhubungan dengan parameter vegetasi. Rentang nilai NDVI adalah antara - 1.0 hingga +1.0. Nilai yang lebih besar dari 0.1 biasanya menandakan peningkatan derajat kehijauan dan intensitas dari vegetasi. Peta NDVI dapat dilihat pada Gambar 11.

Kuantitas dan kualitas habitat sangat menentukan prospek kelestarian satwaliar termasuk orangutan. Tutupan vegetasi merupakan salah satu komponen biotik yang sangat mempengaruhi kualitas dan kuantitas habitat orangutan. Orangutan membutuhkan vegetasi yang cukup untuk dijadikan sebagai lokasi sarang maupun sebagai tempat berlindung. Kerapatan tajuk diketahui dengan pendekatan nilai NDVI. Nilai NDVI yang dihasilkan pada penelitian ini diketahui sebanyak 4 kelas. Sehingga kriteria tingkat kesesuaian berdasarkan nilai NDVI

adalah sebagai berikut :

 Kesesuaian rendah dengan nilai NDVI 0,32

 Kesesuaian sedang dengan nilai NDVI 0,35

 Kesesuaian tinggi dengan nilai NDVI 0,37

 Kesesuaian sangat tinggi dengan nilai NDVI 0,38

Gambar 11 menunjukkan bahwa kawasan yang paling banyak dijumpai sarang yaitu berada pada kawasan dengan nilai NDVI 0,35. Selanjutnya kawasan dengan nilai NDVI 0,37 terdapat 9 sarang. Sedangkan kawasan dengan nilai NDVI

0,32 terdapat sarang sebanyak 8 sarang. Adapun kawasan dengan nilai NDVI 0,38 tidak terdapat sarang sama sekali. Peta NDVI menunjukkan bahwa kawasan dengan nilai NDVI 0,35 lebih banyak terdapat dibagian arah Barat areal restorasi. Sedangkan nilai NDVI tertinggi berada dibagian tengah areal restorasi. Meskipun kawasan ini memiliki vegetasi yang baik, tetapi kawasan ini sangat dekat dengan jalan. Sehingga orangutan tidak memilih lokasi tersebut untuk dijadikan tempat bersarang. Hal ini dibuktikan dengan adanya survey yang peneliti lakukan di kawasan tersebut. Luas masing-masing kelas berdasarkan nilai NDVI dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Luas tiap kesesuaian kelas berdasarkan nilai NDVI

Berdasarkan Table 5 dapat diketahui bahwa luas yang terbesar terdapat pada kelas kesesuaian tinggi dengan luas 126,54 Ha. Selanjutnya menyusul kelas kesesuaian sedang dengan luas 92,81 Ha. Sedangkan kelas kesesuain sangat tinggi adalah sebesar 88,45 Ha. Adapun luas yang paling sedikit terdapat pada kelas kesesuaian rendah dengan luas sebesar 44,57 Ha.

Secara umum tingkat kehijauan areal restorasi Sei Betung belum bisa dikatakan rapat atau baik. Kawasan yang memiliki tingkat kehijauan yang rapat setidaknya berada pada rentang NDVI dengan nilai 0,4-0,8. Sementara hasil penelitian ini menunjukkan bahwa nilai NDVI tertinggi hanya 0,38. Hal ini tentu dapat dipahami karena kawasan ini masih dalam tahap restorasi, dimana lokasi penelitian ini sebelumnya dijadikan sebagai tempat illegal loging dan perkebunan sawit. Hingga saat ini masih terlihat jelas beberapa bekas jalan yang digunakan untuk membawa kayu log. Begitu juga dengan tanaman sawit masih banyak yang hidup di areal ini. Kondisi vegetasi tutupan lahan dapat dilihat pada Gambar 12.

No. Kelas Nilai NDVI Luas (Ha) Persentase (%)

1 Sangat tinggi 0,38 88,45 25,10

2 Tinggi 0,37 126,54 34,78

3 Sedang 0,35 92,81 26,34

4 Rendah 0,32 44,57 12,65

(a) (b)

(c) (d) Gambar 12. Tipe Penutupan lahan restorasi Sei Betung, (a) Hutan sekunder, (b) Lalang, (c) Pakis hutan, (d) Semak belukar

Ketersediaan Pohon Pakan

Menurut Van Schaik (1986) pengambilan data ketersediaan pakan orangutan ditentukan dengan metode fenologi (monitoring pohon pakan), yakni mengetahui ketersediaan pohon pakan yang dilihat dari daun muda, buah masak dan belum masak, serta bunga. Tetapi metode ini membutuhkan waktu, materi, dan tenaga yang banyak. Sehingga potensi ketersediaan pohon pakan pada

penelitian ini dibatasi dengan hanya sebatas pengenalan jenis pohon pakan. Metode yang digunakan tidak begitu mendalam. Jenis-jenis pohon yang dijumpai di setiap jalur track survey sarang orangutan diidentifikasi dan dicocokkan dengan penelitian sebelumnya.

Jenis-jenis pohon pakan yang berhasil diidentifikasi sebagai pohon pakan orangutan dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Jenis pohon pakan orangutan resort Sei Betung

No. Jenis Pohon Suku Bagian yang dimakan 1 Arthocarpus sp. Moraceae Buah dan kulit 2 Arthocarpus elasticus Moraceae Buah, daun, dan kulit 3 Arthocarpus rigidus Moraceae Buah dan kulit 4 Diospyros ebenum Ebenaceae Buah dan daun 5 Disoxillum sp. Meliaceae Buah

6 Duriosp. Bombaceae Buah 7 Lithocarpus gracilis Fagaceae Buah

8 Litsea sp. Lauraceae Buah dan daun 9 Macaranga gigantea Euphorbiaceae Buah, daun, dan kulit 10 Macaranga sp. Euphorbiaceae Buah

11 Mallotus paniculatus Euphorbiaceae Buah 12 Nephelium sp Sapindaceae Buah

13 Shorea parvifolia Diptrocarpacea Kulit dan daun 14 Sterculia sp Sterculiaceae Buah, unga, dan daun 15 Syzygium sp. Myrtaceae Buah

Jenis yang paling mendominasi adalah dari suku Euphorbiaceae. Umumnya bagian pohon yang dimakan dari suku Euphorbiaceae adalah bagian buah, daun, dan juga kulit. Selanjutnya jenis yang mendominasi adalah dari suku Moraceae. Bagian yang dimakan umumnya adalah bagian buah dan juga kulitnya. Suku Lauraceae juga merupakan jenis yang mudah dijumpai di areal restorasi Sei Betung. Dari hasil pengamatan di lapangan diketahui bahwa selain orangutan memakan buah dari suku Lauraceae, orangutan juga sering memilih pohon ini untuk dijadikan sebagai lokasi pembuatan sarang.

Tabel 6 menunjukkan bahwa bagian pohon yang paling didominasi dan dimakan oleh orangutan adalah buah. Hal ini sesuai dengan pernyataan berbagai

literatur, seperti (Napier dan Napier, 1985) menyatakan bahwa saat sedang musim buah, pakan Orangutan dapat seluruhnya bersumber pada pakan buah, dan saat bukan musim buah, alternatif pakan Orangutan adalah dedaunan (25%), kulit kayu (37%), buah (21%), dan serangga (7%).

Berdasarkan pengamatan di lapangan, selain bagian pohon ternyata bagian daun pucuk yang muda dari tanaman sawit juga banyak dimakan orang utan seperti terlihat pada Gambar 10. Hal ini dibuktikan dengan adanya penemuan di lapangan berupa bekas pakan yang berasal dari daun muda tanaman sawit. Hal ini didukung dengan pernyataan (MacKinnon, 1974) yang menyatakan bahwa orangutan merupakan pengumpul pakan yang oportunis, yaitu memakan apa saja yang dapat diraihnya, termasuk madu pada sarang lebah. Kegemarannya pada makanan yang tidak biasa ditemui dan tertebar acak di habitatnya, menyebabkan orangutan selalu bergerak dalam rangka mencari makanan kegemarannya.

Gambar 13. Pucuk muda daun tanaman sawit bekas pakan orangutan

Selain jenis pohon pakan, dalam penelitian ini juga diinventarisasi jenis pohon non pakan orangutan. Jenis yang teridentifikasi disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7. Jenis pohon non pakan orangutan

No. Jenis Pohon Suku

1 Actinodaphne sp. Lauraceae 2 Afzelia xylocarpa Fabaceae 3 Agathis dammara Araucariaceae 4 Alsedaphne sp. Lauraceae 5 Anthocephalus sp. Rubiaceae 6 Archidendron pauciflorum Fabaceae 7 Bridelia glauca Euphorbiaceae 8 Bridelia sp. Euphorbiaceae 9 Breynia oblongifolia Phyllanthaceae 10 Callicarpa pentandra Verbenaceae 11 Cinnamomum burmannii Lauraceae 12 Citrus sp. Rutaceae 13 Dipterocarpus haseltii Dipterocarpaceae 14 Dyera costulata Apocynaceae 15 Gardenia sp. Theaceae 16 Hibiscus sp. Malvaceae 17 Homalanthus sp. Euphorbiaceae 18 Litsea sp. Lauraceae 19 Sesbania grandiflora Fabaceae 20 Sloetia elongata Moraceae 21 Spathodea campanulata Bignoniaceae 22 Symplocus sp. Symplocaceae 23 Trema orientalis Cannabaceae 24 Terminalia pyrifolia Combretaceae 25 Vitex pubescens Verbenaceae

Peneliti meyakini bahwa jenis-jenis pohon yang disajikan pada Tabel 7 belumlah semua jenis pohon non pakan yang terdapat di areal restorasi Sei Betung. Jika dilakukan pengamatan yang mengkhususkan inventarisasi keragaman jenis seperti metoda jalur berpetak, maka penulis yakin bahwa jenis pohon yang berhasil diidentifikasi tentu lebih banyak. Penelitian ini dibatasi hanya dalam hal pengenalan jenis dan tidak sampai dalam kegiatan inventarisasi keragaman jenis.

Analisis Komponen Utama / Principal Component Analysis (PCA)

Analisis komponen utama digunakan untuk menyusutkan dimensi dari sekumpulan variabel yang tak bertata untuk keperluan analisis dan interpretasi, sehingga variabel yang jumlahnya cukup banyak akan diganti dengan variabel atau fungsi variabel yang jumlahnya lebih sedikit tanpa diiringi hilangnya obyektivitas analisis (Wahana Komputer, 2004).

PCA digunakan untuk mengetahui faktor yang paling berpengaruh terhadap distribusi orangutan Sumatera, berdasarkan titik distribusi orangutan yang ditemukan dengan masing-masing layer (jarak dari sumber air, jarak dari jalan, jarak dari desa dan nilai NDVI). Berdasarkan hasil tersebut selanjutnya dapat ditentukan bobot dari masing-masing faktor yang mempengaruhi habitat orangutan. Penentuan nilai bobot tiap variabel dilakukan dengan memanfaatkan Software SPSS 11.7. Variabel yang digunakan meliputi jarak dari jalan, jarak dari air, jarak dari desa, dan nilai NDVI.

Bobot masing-masing tiap variabel ditentukan dengan menggunakan analisis komponen utama. Pada prinsipnya PCA akan menghasilkan jumlah komponen sebanyak jumlah variabel yang digunakan. Namun banyaknya komponen utama yang digunakan tergantung pada jumlah varian yang dapat dijelaskan. Jumlah komponen utama yang digunakan adalah sudah memadai jika total keragaman yang dapat diterangkan berkisar 70-80% (Timm, 1975 dalam Paraira, 1999). Dengan demikian PCA digunakan untuk meringkas variabel yang banyak jumlahnya menjadi beberapa komponen utama yang mengandung variabel-variabel tertentu.

Data yang digunakan untuk mengetahui bobot dalam analisis komponen utama adalah titik sebaran sarang orangutan yang didapatkan dari survey lapang. Terdapat 38 titik sebarang sarang orangutan yang masing-masing titik dianalisis letak spasialnya meliputi jarak dari jalan, jarak dari desa, jarak dari sumber air, dan nilai NDVI.

Dari analisis komponen utama didapatkan 4 komponen utama. Komponen yang digunakan adalah 2 komponen pertama yang persentasenya 74,026 %. Selanjutnya hasil PCA digunakan sebagai bobot dalam pemodelan spasial kesesuaian habitat. Hasil analisis PCA disajikan pada Tabel 8, 9 dan 10.

Tabel 8. Keragaman total yang dijelaskan

Komponen Total % Keragaman % Kumulatif Jarak dari jalan 1,917 47,926 47,926 Jarak dari desa 1,044 26,100 74,026

Jarak dari sumber air 0,588 14,705 88,731

Nilai NDVI 0,451 11,269 100,000

Tabel 9. Vektor ciri dari PCA

Variabel

Komponen

1 2

Jarak dari jalan 0,760 -0,280 Jarak dari desa 0,841 0,119 Jarak dari sumber air 0,793 0,064

Nilai NDVI 0,063 0,973

Faktor bobot menggambarkan tingkat kepentingan relatif dari variabel yang digunakan dalam pemodelan kesesuaian habitat. Bobot didapatkan dari skor

PCA masing-masing komponen utama dan vektor ciri masing-masing komponen (Dewi, 2005).

Komponen 1 menjelaskan varian terbesar adalah jarak dari jalan, jarak dari desa, dan jarak dari sumber air. Sedangkan nilai NDVI merupakan varian terkecil yang dapat dijelaskan. Dengan demikian bobot untuk jarak dari jalan, jarak dari desa, dan jarak dari sumber air adalah 1,917. Komponen 2 menjelaskan bahwa varian terbesar nilai NDVI, sehingga bobot untuk nilai NDVI adalah 1,044. Untuk lebih memahami hasil dari PCA, berikut akan disajikan bobot masing-masing yang dihasilkan dari tiap variabel.

Tabel 10. Bobot masing-masing tiap variabel

Variabel Kompone Terbesar Skor Keragaman PCA Nilai Bobot

Jarak dari jalan 0,760 1,917 1,917

Jarak dari desa 0,841 1,917 1,917

Jarak dari sumber air 0,793 1,917 1,917

Nilai NDVI 0,973 1,044 1,044

Berdasarkan bobot tersebut dapat dihasilkan Indeks Kesesuaian Habitat orangutan sumatera dengan persamaan sebagai berikut.

Y = a.X1+b.X2+c.X3+d.X4

Y = (1,917. X1 ) + (1,917.X2) + (1,917 . X3) + (1,044 . X4)

Keterangan :

Y = kesesuaian habitat X2 = jarak dari desa (m)

a-d = nilai bobot PCA tiap variabel X3 = jarak dari sumber air (m)

X1 = jarak dari jalan (m) X4 = nilai NDVI

Persamaan tersebut menunjukkan bahwa variabel jarak dari jalan, jarak dari pemukiman, dan jarak dari sumber air mempunyai pengaruh yang sama kuat terhadap pemilihan pembuatan sarang orangutan pada suatu lokasi. Sedangkan

nilai NDVI memiliki pengaruh yang lebih kecil terhadap pemilihan pembuatan sarang orangutan.

Peta Kesesuaian Habitat Orangutan

Peta kesesuaian habitat diperoleh dengan melakukan overlay dari keempat peta yang dihasilkan sebelumnya. Penentuan kelas kesesuaian diperoleh dengan cara pemberian skor (skoring). Skoring adalah kegiatan pemberian nilai tertentu terhadap kriteria yang telah ditentukan sebelumnya. Pemberian nilai pada masing-masing kelas dibuat berbeda antara satu kelas dengan kelas yang lainnya. Skoring merupakan tahapan sebelum melakukan proses overlay. Proses overlay akan menghasilkan peta kesesuaian habitat orangutan. Skor tiap variabel dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11. Skor tiap variabel

Jarak Dari Jalan Jarak Dari Desa Jarak Dari Sumber Air Nilai NDVI Kelas Skor Kelas Skor Kelas Skor Kelas Skor

0-416 5 0-420 5 0-58 1 0,32 4

417-832 4 421-839 4 59-116 2 0,35 3 833-1248 3 840-1259 3 117-174 3 0,37 2 1249-1664 2 1260-1679 2 175-232 4 0,38 1 1665->2080 1 1680->2100 1 233->290 5 - -

Kombinasi dari keempat kriteria tersebut akan menghasikan skor maksimal sebesar 19 dan skor minimal sebesar 1. Nilai maksimal dan minimal akan dibagi menjadi 3 selang, yaitu skor ≤ 6 (sangat sesuai), skor 7 samai 12 (sesuai), dan skor ≥ 13 (tidak sesuai). Skor tersebut dijadikan acuan (bobot) untuk menentukan peta kesesuaian habitat orangutan yang disajikan pada Gambar 14.

Berdasarkan Gambar 14 dapat dilihat bahwa lokasi yang sangat sesuai untuk dijadikan sebagai tempat pelepasliaran orangutan terdapat pada bagian barat

Dokumen terkait