• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengetahuan Lokal Tentang Pengelolaan Hutan Rakyat Di Desa Pasir Jambu Dan Desa Gunung Karung Kecamatan Maniis Kabupaten Purwakarta Propinsi Jawa Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengetahuan Lokal Tentang Pengelolaan Hutan Rakyat Di Desa Pasir Jambu Dan Desa Gunung Karung Kecamatan Maniis Kabupaten Purwakarta Propinsi Jawa Barat"

Copied!
159
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRACT

BUDI YAHNA WIHARJA (E14050422). Local Knowledge Private Forest Management in Pasir Jambu and Gunung Karung Villages Maniis Sub District Purwakarta District West Java Province. Under supervision of DIDIK SUHARJITO.

This research aims to describe the local knowledge private forest management and explain the changes of local knowledge as well as the factors that influencing it. This research was carried in Pasir Jambu and Gunung Karung Villages Maniis Sub District Purwakarta District in January to February 2011. The method used for this study was survey by conduction interview techniques, observation and secondary data collection. Data analysis was done on a descriptive and presented in the form of narrative text and tabulations.

Local communities ideas and actions about private forest management include land preparation, seed preparation, planting, maintenance and harvesting. Land preparation is an efforts by farmers so that the condition of land are ready for plantation and planted crops can grow properly. Preparation of seeds is done so that the condition of the tree seedlings that are ready to be planted can grow properly. Plantation is done so that the growth of trees seedlings which is planted in the ground can grow properly. Maintenance is done so that the condition of the crops planted remained well so that the optimal results for production can be obtained. Harvesting is done in order to obtain forest product as a timber which is ready to cut. Along with the advanced age, local knowledge private forest management changes. Factors that affect these changes is affected by the orientation of the economic needs of the private forest farmers households and the advancements of information technology, such as news papers and other audio -visual media.

(2)

ABSTRAK

BUDI YAHNA WIHARJA (E14050422). Pengetahuan Lokal Tentang Pengelolaan Hutan Rakyat di Desa Pasir Jambu dan Desa Gunung Karung Kecamatan Maniis Kabupaten Purwakarta Propinsi Jawa Barat. Dibimbing oleh DIDIK SUHARJITO.

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pengetahuan lokal tentang pengelolaan hutan rakyat dan menjelaskan perubahan pengetahuan lokal serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Pasir Jambu dan Desa Gunung Karung Kecamatan Maniis Kabupaten Purwakarta pada bulan Januari 2011 sampai Februari 2011. Metode yang digunakan adalah survei melalui teknik wawacara, observasi dan pengumpulan data sekunder. Analisis data dilakukan secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk teks narasi dan tabulasi.

Gagasan dan tindakan masyarakat lokal tentang pengelolaan hutan rakyat mencakup persiapan lahan, persiapan bibit, penanaman, pemeliharaan dan pemanenan. Persiapan lahan merupakan bentuk usaha petani agar kondisi lahan siap ditanami dan tanaman yang ditanam dapat tumbuh dengan baik. Persiapan bibit dilakukan agar kondisi bibit pohon yang siap tanam dapat tumbuh dengan baik. Penanaman dilakukan agar pertumbuhan bibit pohon yang ditanam di dalam tanah dapat tumbuh dengan baik. Pemeliharaan dilakukan agar kondisi tanaman yang ditanam tetap baik sehingga hasil produksi diperoleh secara optimal. Pemanenan dilakukan agar dapat memperoleh hasil hutan berupa kayu yang sudah siap tebang. Seiring dengan kemajuan jaman, pengetahuan lokal tentang pengelolaan hutan rakyat mengalami perubahan. Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan tersebut dipengaruhi oleh adanya orientasi kebutuhan ekonomi rumah tangga petani hutan rakyat (RTP-HR) dan kemajuan teknologi pengetahuan/informasi, seperti media cetak dan media audio-visual.

(3)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hutan rakyat sebagai salah satu alternatif dalam pemenuhan kebutuhan kayu nasional, saat ini masih memerlukan beberapa kajian dalam pengembangannya. Pengembangan hutan rakyat dari aspek pengelolaan yang ada saat ini terkendala pada pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat lokal. Masyarakat lokal yang melakukan pengelolaan hutan rakyat cenderung berpendidikan rendah dan memiliki keterbatasan terhadap informasi mengenai pengelolaan.

Pengelolaan hutan rakyat yang dilakukan saat ini masih sebatas pada pengetahuan lokal. Pengetahuan lokal hadir berdasarkan pemahaman mereka yang terjadi sesuai dengan pengalaman dan pengetahuan yang diwariskan secara turun- temurun, akan tetapi untuk mengembangkan pengetahuan lokal tersebut agar dapat diimplementasikan kedalam pengelolaan hutan yang lebih baik, perlu dilakukan sebuah kajian; salah satunya mengenai pengetahuan lokal tentang pengelolaan hutan rakyat.

(4)

1.2 Perumusan Masalah

Pengetahuan masyarakat lokal akan berkembang jika masyarakat lokal tersebut dapat membuka diri terhadap sesuatu yang baru. Masyarakat lokal harus menyadari betul bahwa suatu perubahan itu tidak akan tercipta tanpa adanya kemauan untuk merubah diri, terkurung dalam suatu budaya dan norma yang mengikat belum tentu akan membuat segalanya lebih baik. Salah satu contoh pengetahuan masyarakat lokal yang perlu dikembangkan adalah pengetahuan petani terkait dengan pengelolaan hutan rakyat. Pengetahuan masyarakat lokal tersebut dapat digali dan dikembangkan melalui beberapa cara, yaitu penelitian (reseach), kegiatan penyuluhan, media informasi audio-visual (seperti radio dan televisi), buku dan sarana komunikasi lainnya.

Pengetahuan lokal suatu masyarakat petani yang hidup di lingkungan wilayah yang spesifik pada umumnya diperoleh berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang diwariskan secara turun-temurun. Keragaman pengetahuan lokal yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya hutan di setiap daerah sangat penting untuk digali dan dipelajari. Beberapa parameter yang dijadikan fokus dalam penelitian ini adalah mengenai sistem pengetahuan masyarakat lokal dan sistem mata pencaharian masyarakat lokal dalam kegiatan pengelolaan hutan rakyat dilihat dari tema budaya, pola sosial, gagasan, tindakan dan alat-alat budaya serta perubahan pengetahuan masyarakat lokal tentang pengelolaan hutan rakyat dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.

1.3 Tujuan Penelitian

1. Mendeskripsikan pengetahuan masyarakat lokal tentang pengelolaan hutan rakyat

2. Menjelaskan perubahan pengetahuan masyarakat lokal tentang pengelolaan hutan rakyat dan faktor-faktor yang mempengaruhinya

1.4 Manfaat Penelitian

(5)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hutan Rakyat dan Pengelolaannya

Hutan rakyat adalah suatu lapangan yang berada di luar kawasan hutan negara yang bertumbuhan pohon-pohonan sedemikian rupa sehingga secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati lingkungan yang pemilikiannya berada pada rakyat (Direktorat Jendral Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan Departemen Kehutanan 1995). Menurut SK menteri Kehutanan No.49/Kpts-II/1997 tentang Pendanaan dan Usaha Hutan Rakyat, pengertian hutan rakyat adalah hutan yang dimiliki oleh rakyat dengan luas minimal 0,25 hektar dengan penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan dan atau jenis lainnya lebih dari 50% dan atau tanaman sebanyak minimal 500 tanaman tiap hektar.

Salah satu alternatif pemecahan masalah tekanan sumberdaya hutan adalah pembangunan hutan rakyat. Hal ini merupakan cara yang tepat karena pembangunan hutan rakyat dilakukan pada tanah rakyat yang status kepemilikkannya sudah jelas. Salah satu usaha untuk mengembangkan pemanfaatan lahan kering ataupun lahan kritis yang tidak produktif adalah dengan menanam tanaman berkayu yang mempunyai nilai komersial di lahan milik penduduk, sekaligus menjawab permasalahan terutama masalah pembangunan sosial ekonomi penduduk di desa-desa (Suharjito 2000)

Balai Informasi Pertanian (1982) diacu dalam Suwardi (2010) membagi hutan rakyat berdasarkan jenis tanaman menjadi tiga bentuk, yaitu :

a. Hutan rakyat murni, yaitu hutan rakyat yang hanya terdiri dari satu jenis tanaman pohon berkayu yang ditanam dan diusahakan secara homogen atau monokultur.

b. Hutan rakyat campuran, yaitu hutan rakyat yang terdiri dari berbagai jenis pohon-pohonan yang ditanam secara campuran.

(6)

Secara formal ditegaskan bahwa hutan rakyat adalah yang dibangun di atas tanah milik. Pengertian seperti itu, kurang mempertimbangkan kemungkinan adanya hutan di atas tanah milik yang tidak dikelola oleh rakyat melainkan oleh perusahaan swasta. Penekanan pada kata “rakyat” kiranya lebih ditujukan kepada pengelola yaitu “rakyat” kebanyakan, bukan pada status pemilikan tanahnya. Apabila istilah hutan rakyat yang berlaku saat ini akan tetap dipertahankan maka diperlukan penegasan kebijakan yang menutup peluang perusahaan swasta menguasai tanah milik tersebut untuk mengusahakan hutan. Namun, tidak menutup kemungkinan rakyat pemilik tanah berkoperasi mengusahakan hutan rakyat (Suharjito dan Darusman 1998)

Friday et al. (1999) menyatakan bahwa pengelolaan hutan rakyat seperti agroforestry terdiri dari :

a. Pemilihan lokasi

Lokasi yang dipilih untuk ditanami pohon milik rakyat sebaiknya dipilih kawasan-kawasan yang tidak dapat dijadikan lahan untuk pertanian secara permanen. Apabila lahan-lahan tersebut sudah ada tanaman-tanaman yang berupa pohon, maka pohon dapat dilaksanakan sebagai tanaman sisipan diantara tanaman lain yang sudah ada, sehingga seluruh akan menjadi lebih produktif.

b. Persiapan lahan

Tanah–tanah yang akan ditanami pohon pada umumnya berupa tanah yang telah menjadi kebun dan terdapat tanaman lainnya serta tidak mengandung tanaman liar. Karena itu untuk menanam pohon tidak perlu dibersihkan secara keseluruhan. Untuk setiap bibit yang akan ditanam cukup disiapkan lubang tanam yang berukuran kurang lebih 30 cm x 30 cm dengan kedalaman 30 cm yang sekelilingnya dibersihkan dan diameter lubangnya ± 100 cm (sistem cemplongan). Apabila pohon akan ditanam bersama-sama dengan tanaman palawija dengan sendirinya persiapan lahan dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan.

c. Pemilihan jenis kayu

(7)

lain-lain yang merupakan jenis kayu yang sudah dikenal dan telah mempunyai pasaran yang teratur baik sebagai bahan untuk kayu konstruksi maupun sebagai bahan baku untuk industri.

d. Pengadaan bibit

Pengadaan bibit dapat dilaksanakan secara vegetatif dengan bibit yang berasal dari batang atau cabang dan secara generatif. Untuk pengadaan bibit secara vegetatif dapat dilakukan dengan cara stek dan cangkokkan pada tanaman muda, sedangkan persiapan bibit secara generatif yang berasal dari biji maka penanamannya dapat dilaksanakan langsung dengan menanamkan biji di lapangan atau dibuat bibit dalam persemaian tergantung sifat dan jenis kayu yang bersangkutan.

e. Pengangkutan

Mengangkut bibit dari persemaian ke lokasi penanaman perlu diperhatikan, karena pengangkutan yang tidak baik dapat menyebabkan rusaknya bibit. Bahaya terbesar adalah kekurangan air dan kerusakan akar, sehingga diusahakan untuk memilih lokasi persemaian yang dekat dengan lokasi penanaman, memiliki sumber air yang tersedia sepanjang tahun dan kondisi tanah yang datar.

f. Penanaman

(8)

dilakukan pada musim penghujan dan diberi pupuk dasar bila memungkinkan. Selain itu, diberi bahan mulsa yang digunakan di sekitar pohon yang dapat diambil dari hasil penyiangan tentunya yang tidak membahayakan.

g. Pemeliharaan tanaman

Pada dasarnya tanaman kayu yang masih muda harus dijaga dari gulma dan semak serta alang-alang yang berlebihan. Oleh karena itu, untuk mengurangi biaya pemeliharaan sebaiknya diantara larikan ditanam palawija yang tidak mengganggu, seperti kacang tanah, jagung, kacang kedelai, kacang wijen dan lain-lain. Kegiatan pemeliharaan seperti pemupukkan, penyiangan melingkar, meminimalkan persaingan, pemangkasan yang tepat dan melindungi pohon dari hama dan penyakit. Pemeliharaan yang berupa penjarangan dan penyiangan akan sangat membantu pertumbuhan kayunya.

h. Penebangan

Penebangan pohon–pohon tergantung dari beberapa faktor, yaitu : tujuan penanaman, kondisi alami dari tanaman, kondisi pasar dan cara menebang. Berdasarkan pengalaman penebangan dengan orientasi pasar, penebangan sebaiknya dilaksanakan secara tebang pilih. Perlu diperhatikan bahwa setiap penebangan harus ditanam kembali secepatnya. Apabila penebangan berupa pemeliharaan, yaitu penjarangan maka perlu diperhatikan bahwa kayu yang ditebang sudah harus mencapai suatu ukuran yang dapat dimanfaatkan sehingga kayu yang dihasilkan dapat dipasarkan atau sebagai kayu bakar.

i. Penanaman kembali

Di bekas pohon yang ditebang harus segera ditanami kembali, sehingga jumlah tanaman akan selalu tetap. Oleh karena itu, setiap akan melakukan penebangan petani sudah menyiapkan bibit untuk ditanam sebagai pengganti pohon yang akan ditebang.

j. Kemurnian tanaman

(9)

tidak saling mengganggu. Diantara tanaman yang dianjurkan sebagai tanaman sela adalah jenis tanaman palawija, tanaman ekonomi, umbi-umbian dan lain-lain. Bahkan padi gogo dan jagung juga banyak digunakan sebagai tanaman campurannya. Tanaman campuran tersebut hanya dapat ditanam sampai dengan daun pohonnya tidak terlalu rapat menutupi bagian bawah pohon dan sinar mataharinya masih tetap dapat menjangkau tanaman palawija yang ada di bawahnya.

2.2 Pengetahuan Lokal

Pengetahuan indigenous (pengetahuan lokal) secara umum diartikan sebagai pengetahuan yang digunakan oleh masyarakat lokal untuk bertahan hidup dalam suatu lingkungan yang khusus (Warren 1991). Indigenous berarti asli atau pribumi. Kata indigenous dalam pengetahuan indigenous merujuk pada masyarakat indigenous. Yang dimaksud dengan masyarakat indigenous di sini adalah penduduk asli yang tinggal di lokasi geografis tertentu yang mempunyai sistem budaya dan kepercayaan yang berbeda daripada sistem pengetahuan internasional.

Menurut Johnson (1992) pengetahuan indigenous adalah sekumpulan pengetahuan yang diciptakan oleh sekelompok masyarakat dari generasi ke generasi yang hidup menyatu dan selaras dengan alam. Pengetahuan seperti ini berkembang dalam lingkup lokal, menyesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat. Pengetahuan masyarakat lokal seperti sistem kepercayaan, norma dan budaya yang diekspresikan kedalam suatu tradisi dan mitos yang dianut dalam jangka waktu yang cukup lama akan menjadi suatu tindakan yaitu kearifan lokal.

(10)

interpretasi logis petani. Pembentukan pengetahuan lokal sifatnya kurang formal dibandingkan pengetahuan ilmiah.

Menurut Mitchell et al. dalam Arafah (2002) Konsep pengetahuan lokal berakar dari sistem pengetahuan dan pengelolaan lokal atau tradisional. Pengetahuan lokal adalah kumpulan pengetahuan dan cara berpikir yang berakar dalam kebudayaan suatu kelompok masyarakat yang merupakan hasil pengamatan selama kurun waktu yang lama.

Menurut Sunaryo dan Joshi (2003) pengetahuan lokal yang diterapkan oleh petani berasal dari pengalaman bertani mereka maupun para pendahulunya. Melalui aktivitas penelitian dan pengembangan secara informal, para petani menghasilkan pengetahuan baru yang pada gilirannya bisa digunakan untuk menghasilkan teknologi-teknologi baru.

2.3 Perubahan Pengetahuan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya Scoones dan Thompson mengungkapkan bahwa para petani di negara-negara berkembang memiliki segudang simpananan pengetahuan, yang umumnya sudah selaras dengan kebutuhan, tujuan dan akses terhadap sumberdaya setempat. Artinya pengetahuan petani, seperti halnya profesional, bersifat dinamis, dipengaruhi dan berubah oleh faktor internal dan eksternal. Dewasa ini, sedang berkembang konsensus diantara profesional bahwa petani yang berbeda mempunyai jenis dan kedalaman pengetahuan yang berbeda. Perbedaan dikarenakan oleh adanya perbedaan minat, tujuan dan sumberdaya yang dikuasai diantara mereka (Sunaryo dan Joshi 2003).

Perlu disadari bahwa pengetahuan petani, seperti halnya pengetahuan ilmiah, masih belum sempurna, dinamis dan terus-menerus berubah karena pengaruh faktor internal maupun eksternal. Pengetahuan petani dapat menjadi kompleks, kualitatif, logis walaupun kadang-kadang juga saling bertentangan. Berkaitan dengan pengetahuan lokal ini, peran ilmuwan yang diharapkan adalah bagaimana memperkuat pengetahuan petani dengan menghasilkan pengetahuan yang tidak dapat dihasilkan oleh petani itu sendiri (Clarke 1991).

(11)
(12)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Kerangka Pemikiran

Sistem pengetahuan dan sistem mata pencaharian hidup merupakan bagian dari unsur pokok kebudayaan universal. Koentjaraningrat (2002) menjelaskan tujuh unsur pokok kebudayaan universal diantaranya: bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian hidup, sistem religi dan kesenian. Unsur pokok kebudayaan universal tersebut diperinci kedalam sistem budaya (adat istiadat), sistem sosial (aktivitas sosial) dan benda kebudayaan (alat-alat). Selanjutnya masing-masing pemerincian tersebut dapat diuraikan pada beberapa rincian berikut ini:

1. Dari sistem budaya (adat istiadat) dapat diperinci kedalam beberapa kompleks budaya. Lalu kompleks budaya tersebut dapat diperinci lebih lanjut kedalam beberapa tema budaya, sehingga pada perincian terakhir yaitu gagasan.

2. Dari sistem sosial (aktivitas sosial) dapat diperinci kedalam beberapa kompleks sosial. Lalu kompleks sosial tersebut dapat diperinci lebih lanjut kedalam beberapa pola sosial, sehingga pada perincian terakhir yaitu tindakan.

3. Dari ketujuh unsur kebudayaan universal itu masing-masing mempunyai wujud fisik, walaupun tidak ada satu wujud fisik untuk keseluruhan dari satu unsur kebudayaan universal. Itulah sebabnya kebudayaan fisik tidak perlu diperinci menurut keempat tahap pemerincian seperti yang dilakukan pada sistem budaya (adat istiadat) dan sistem sosial (aktivitas sosial). Namun semua unsur kebudayaan fisik sudah tentu secara khusus terdiri dari benda-benda kebudayaan (alat-alat).

(13)

Gambar 1 Pemerincian kebudayaan kedalam unsur-unsurnya yang khusus (Koentjaraningrat 2002).

3.2 Definisi Operasional

Dalam bidang kehutanan, salah satu unsur pokok yang ada pada kebudayaan universal yaitu sistem pengetahuan dan sistem mata pencaharian hidup yang merupakan dua sistem yang akan dikombinasikan. Kombinasi kedua sistem ini dapat diperinci kedalam sistem budaya (adat istiadat) dan sistem sosial (aktivitas sosial) yaitu sistem budaya (adat istiadat) yang turun-temurun dilakukan oleh masyarakat di seluruh dunia dan didalamnya terdapat sistem sosial (aktivitas sosial) berupa kegiatan pengelolaan sumberdaya hutan berdasarkan fungsinya berupa aspek ekonomi, aspek ekologi dan aspek sosial. Beberapa parameter mengenai pengetahuan lokal tentang pengelolaan hutan rakyat diklasifikasikan kedalam komplek budaya dan komplek sosial yang selanjutnya diperinci kedalam tema budaya dan pola sosial, gagasan dan tindakan serta kebudayaan fisik (alat-alat budaya). Untuk memudahkan dalam menggali dan mempelajari

parameter-Kebudayaan Universal

Kebudayaan Fisik (ala-alat) Sistem Sosial (aktivitas)

sosial) Sistem Budaya (adat)

Tema Budaya Pola Sosial

Gagasan Tindakan

Sistem Pengetahuan dan Sistem Mata Pencaharian Hidup

Komplek Budaya Komplek Sosial

Kebudayaan Fisik (ala-alat)

(14)

parameter tersebut dalam penelitian ini, maka dibuat pemerincian subtema budaya kedalam gagasan, tindakan dan alat yang disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Pemerincian subtema budaya kedalam gagasan, tindakan dan alat Subtema budaya

 Tema budaya: perspektif petani mengenai mengapa parameter ini ada dalam melakukan persiapan lahan

 Pola sosial: bagaimana parameter ini berjalan dalam kegiatan yang dilakukan pada persiapan lahan

 Alat–alat: bentuk peralatan yang digunakan dalam persiapan lahan serta alasan fungsi dan cirinya

Pembersihan lahan

 Gagasan: alasan dari perspektif petani, mengapa melakukan pembersihan lahan

 Tindakan: proses kegiatan yang dilakukan pada pembersihan lahan serta alasannya

 Alat–alat: bentuk peralatan yang digunakan dalam pembersihan lahan serta alasan fungsi dan cirinya

Pengolahan tanah

 Gagasan: alasan dari perspektif petani, mengapa melakukan pengolahan tanah

 Tindakan: proses kegiatan yang dilakukan pada pengolahan tanah serta alasannya

 Alat–alat: bentuk peralatan yang digunakan dalam pengolahan tanah serta alasan fungsi dan cirinya Persiapan bibit

a. Tema budaya: perspektif petani mengenai mengapa parameter ini ada dalam melakukan persiapan bibit

b. Pola sosial: bagaimana parameter ini berjalan dalam kegiatan yang dilakukan pada persiapan bibit

c. Alat–alat: bentuk peralatan yang digunakan dalam persiapan bibit serta alasan fungsi dan cirinya

Pengadaan benih

 Gagasan: alasan dari perspektif petani, mengapa melakukan pengadaan benih

 Tindakan: proses kegiatan yang dilakukan pada pengadaan benih serta alasannya

 Alat–alat: bentuk peralatan yang digunakan dalam pengadaan benih serta alasan fungsi dan cirinya Persemaian

 Gagasan: alasan dari perspektif petani, mengapa melakukan persemaian

 Tindakan: proses kegiatan yang dilakukan pada persemaian serta alasannya

(15)

Tabel 1 Pemerincian subtema budaya kedalam gagasan, tindakan dan alat

a. Tema budaya: perspektif petani mengenai mengapa parameter ini ada dalam melakukan penanaman

b. Pola sosial: bagaimana parameter ini berjalan dalam kegiatan yang dilakukan pada penanaman

c. Alat–alat: bentuk peralatan yang digunakan dalam penanaman serta alasan fungsi dan cirinya

Pembuatan jarak tanam

 Gagasan: alasan dari perspektif petani, mengapa melakukan pembuatan jarak tanam

 Tindakan: proses kegiatan yang dilakukan pada pembuatan jarak tanam serta alasannya

 Alat–alat: bentuk peralatan yang digunakan dalam pembuatan jarak tanam serta alasan fungsi dan cirinya

Pembuatan lubang tanam

 Gagasan: alasan dari perspektif petani, mengapa melakukan pembuatan lubang tanam

 Tindakan: proses kegiatan yang dilakukan pada pembuatan lubang tanam serta alasannya

 Alat–alat: bentuk peralatan yang digunakan dalam pembuatan lubang tanam serta alasan fungsi dan cirinya

Memasukkan bibit ke dalam lubang tanam

a. Gagasan: alasan dari perspektif petani, mengapa melakukan memasukan bibit ke dalam lubang tanam

b. Tindakan: proses kegiatan yang dilakukan pada memasukan bibit ke dalam lubang tanam serta alasannya

c. Alat–alat: bentuk peralatan yang digunakan dalam memasukan bibit ke dalam lubang tanam serta alasan fungsi dan cirinya

Pemeliharaan

a. Tema budaya: perspektif petani mengenai mengapa parameter ini ada dalam melakukan pemeliharaan b. Pola sosial: bagaimana parameter ini

berjalan dalam kegiatan yang dilakukan pada pemeliharaan

c. Alat–alat: bentuk peralatan yang digunakan dalam pemeliharaan serta alasan fungsi dan cirinya

Pemupukan

 Gagasan: alasan dari perspektif petani, mengapa melakukan pemupukan

 Tindakan: proses kegiatan yang dilakukan pada pemupukan serta alasannya

(16)

Tabel 1 Pemerincian subtema budaya kedalam gagasan, tindakan dan alat  Gagasan: alasan dari perspektif

petani, mengapa melakukan penanggulangan hama dan penyakit

 Tindakan: proses kegiatan yang dilakukan pada penanggulangan hama dan penyakit serta alasannya  Alat–alat: bentuk peralatan yang

digunakan dalam penanggulangan hama dan penyakit serta alasan fungsi dan cirinya

Perlindungan lahan dan tanaman

 Gagasan: alasan dari perspektif petani, mengapa melakukan perlindungan lahan dan tanaman  Tindakan: proses kegiatan yang

dilakukan pada perlindungan lahan dan tanaman serta alasannya  Alat–alat: bentuk peralatan yang

digunakan dalam perlindungan lahan dan tanaman serta alasan fungsi dan cirinya

Pemanenan

a. Tema budaya: perspektif petani mengenai mengapa parameter ini ada dalam melakukan pemanenan

b. Pola sosial: bagaimana parameter ini berjalan dalam kegiatan yang dilakukan pada pemanenan

c. Alat–alat: bentuk peralatan yang digunakan dalam pemanenan serta alasan fungsi dan cirinya

Penebangan

 Gagasan: alasan dari perspektif petani, mengapa melakukan penebangan

 Tindakan: proses kegiatan yang dilakukan pada penebangan serta alasannya

 Alat–alat: bentuk peralatan yang digunakan dalam penebangan serta alasan fungsi dan cirinya

Penyaradan atau pengangkutan

 Gagasan: alasan dari perspektif petani, mengapa melakukan penyaradan dan pengangkutan  Tindakan: proses kegiatan yang

dilakukan pada penyaradan dan pengangkutan serta alasannya  Alat–alat: bentuk peralatan yang

(17)

Selanjutnya, dari setiap parameter yang disajikan pada Tabel 1 diperinci lagi kedalam beberapa pengklasifikasian gagasan atau tindakan menurut perspektif petani. Pengklasifikasian terhadap gagasan atau tindakan menurut perspektif petani dapat dilihat pada Lampiran 3.

Sistem mata pencaharian hidup pada komplek budaya dan komplek sosial tentang pengelolaan hutan rakyat meliputi perburuan, perladangan, pertanian, peternakan, perdagangan, perkebunan, kerajinan. Dari setiap sub-unsur tersebut diperinci lagi kedalam tema budaya dan pola sosial, gagasan dan tindakan serta kebudayaan fisik (alat-alat budaya). Pemerincian mata pencaharian hidup dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Pemerincian mata pencaharian petani

(18)

3.4 Metode Pemilihan Responden

Pemilihan responden sebagai sampel (contoh) dilakukan secara acak sederhana (random sampling), yaitu dengan cara pengundian (sistem kocok) responden sehingga setiap responden memiliki kesempatan yang sama untuk dipilih. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survai, yaitu suatu penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data yang pokok (Singarimbun dan Effendi 1987). Responden yang dipilih adalah petani hutan rakyat (P-HR) yang merupakan anggota kelompok tani Saluyu (Desa Pasir Jambu) dan Karang Mulya (Desa Gunung Karung). Jumlah populasi anggota kelompok tani Saluyu dan Karang Mulya sebanyak 60 P-HR, yaitu 30 P-HR dari kelompok tani Saluyu dan 30 P-HR dari kelompok tani Karang Mulya. Adapun responden yang dipilih sebanyak 30 P-HR, yaitu 15 P-HR dari kelompok tani Saluyu dan 15 P-HR dari kelompok tani Karang Mulya.

3.5 Jenis Data

Data yang dihasilkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Adapun data yang termasuk kedalam data primer dan sekunder sebagai berikut:

1. Data primer yang diperlukan meliputi: akses informasi, keadaan umum masyarakat di lokasi penelitian, data diri responden, luas lahan milik dan lahan yang diusahakan serta pengetahuan tentang pengelolaan hutan rakyat.

2. Data sekunder yang diperlukan meliputi: peta lokasi penelitian, keadaan lingkungan biofisik tempat penelitian, daftar kelompok tani program hutan rakyat, dokumen-dokumen pemerintah setempat dan hasil-hasil penelitian sebelumnya.

3.6 Metode Pengumpulan Data

(19)

kualitatif sebagai pendekatan kualitatif yang diucapkan langsung berupa kata-kata yang dituliskan subyek penelitian dan informan tentang perilaku manusia yang diamati (Sitorus 1998). Data-data tersebut diperoleh dengan menggunakan beberapa metode sebagai berikut:

1. Teknik survai, yaitu melakukan wawancara responden dengan menggunakan kuesioner terbuka dan tertutup, yaitu beberapa pertanyaan yang mengenai sistem pengetahuan masyarakat lokal dan sistem mata pencaharian masyarakat yang diterapkan dalam pengelolaan hutan rakyat. 2. Teknik observasi, yaitu melakukan pengamatan langsung terhadap objek

penelitian seperti kebun/hutan rakyat, pekarangan dan lain-lain.

3. Studi pustaka, yaitu mencatat dan mempelajari dokumen-dokumen (data-data statistik) yang diperoleh dari Kantor Desa, Kantor Kecamatan dan Kantor Kabupaten serta pihak lain yang terkait dengan penelitian ini.

3.7 Metode Pengolahan dan Analisis Data

Data yang diperoleh, diolah dan dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif dengan menggunakan metode deskriptif melalui langkah-langkah sebagai berikut:

a. Pengumpulan informasi dari hasil wawancara maupun observasi langsung b. Pemilahan informasi sesuai dengan kategori-kategorinya

c. Penyajian dalam bentuk uraian penjelasan dan tabulasi d. Penarikan kesimpulan

(20)

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Keadaan Biofisik

4.1.1 Letak dan Aksesibilitas

Berdasarkan buku Dinas Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Purwakarta (2010) Dinas Kehutanan Purwakarta merupakan instansi pemerintah yang menaungi kelompok tani di delapan desa yang ada di Kabupaten Purwakarta diantaranya Desa Cijati, Desa Gunung Karung, Desa Pasir Jambu, Desa Citamiang, Desa Sinargalih, Desa Tegal Datar, Desa Cirama Hilir dan Desa Sukamukti. Fokus lokasi penelitian ini adalah Desa Pasir Jambu (kelompok tani „Saluyu‟) dan Desa Gunung Karung (kelompok tani „Karang Mulya‟). Desa Pasir Jambu merupakan pemekaran dari Desa Cirama Hilir. Lokasi Desa Cirama Hilir berada di sebelah timur Desa Pasir Jambu. Desa Pasir Jambu memiliki empat kelompok tani yaitu kelompok tani „Sri Rahayu‟, kelompok tani „Srimahi‟, kelompok tani „Jambualas‟ dan kelompok tani „Saluyu‟. Desa Gunung Karung memiliki empat kelompok tani yaitu kelompok tani „Karang Mulya‟, kelompok tani „Garapan tani‟, kelompok tani „Mandiri‟ dan kelompok tani „Mekar Jaya‟.

Desa Pasir Jambu dan Desa Gunung Karung merupakan dua desa yang termasuk ke dalam wilayah administratif Kecamatan Maniis Kabupaten Purwakarta. Jarak Desa Pasir Jambu ke Kecamatan Maniis 18 km sedangkan jarak Desa Pasir Jambu ke Kabupaten Purwakarta 43 km. Jarak Desa Gunung Karung ke Kecamatan Maniis 6 km sedangkan jarak Desa Gunung Karung ke Kabupaten Purwakarta 26 km. Jarak Kecamatan Maniis ke Kabupaten Purwakarta 45 km.

Batas-batas Desa Pasir Jambu adalah sebagai berikut:

1. Sebelah utara berbatasan dengan wilayah Desa Sukamukti Kecamatan Maniis 2. Sebelah selatan berbatasan dengan wilayah Kecamatan Cikalong Kulon

Kabupaten Cianjur

(21)

Batas-batas Desa Gunung Karung adalah sebagai berikut:

1. Sebelah utara berbatasan dengan wilayah Desa Sukamukti Kecamatan Maniis 2. Sebelah selatan berbatasan dengan wilayah Desa Tegal Datar Kecamatan

Maniis

3. Sebelah barat berbatasan dengan wilayah Desa Cirama Hilir Kecamatan Maniis 4. Sebelah timur berbatasan dengan wilayah Desa Cijati Kecamatan Maniis

Berdasarkan buku Dinas Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Purwakarta (2010) Kondisi jalan Desa Pasir Jambu dan Desa Gunung Karung cukup baik. Akses jalan penghubung desa (Pasir Jambu dan Gunung Karung) ke Kecamatan Maniis masih berupa bebatuan dan tanah sedangkan akses jalan penghubung Kecamatan Maniis ke Kabupaten Purwakarta sudah diaspal. Waktu tempuh dari Desa Pasir Jambu ke Kecamatan Maniis ±30 menit sedangkan waktu tempuh dari Desa Pasir Jambu ke Kabupaten Purwakarta ±150 menit. Waktu tempuh dari Desa Gunung Karung ke Kecamatan Maniis ±15 menit sedangkan waktu tempuh dari Desa Gunung Karung ke Kabupaten Purwakarta ±120 menit. Kendaraan umum yang biasa digunakan masyarakat dari Desa Pasir Jambu maupun Desa Gunung Karung ke Kecamatan Maniis yaitu kendaraan ojeg. Waktu tempuh dari Kecamatan Maniis ke Kabupaten Purwakarta ±90 menit dan kendaraan umum yang biasa digunakan masyarakat yaitu kendaraan umum atau angkot (angkutan kota). Kondisi jalan penghubung dapat dilihat pada Gambar 2.

(a) (b) (c)

(22)

penghubung antara Desa Gunung Karung dan Kecamatan Maniis (c) Kondisi jalan penghubung antara Kecamatan Maniis dengan Kabupaten Purwakarta.

4.1.2 Topografi, Luas dan Pola Penggunaan Lahan

Berdasarkan buku Dinas Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Purwakarta (2010) Desa Pasir Jambu terletak pada titik 107º28‟ BT dan 6º 69‟ LS, ketinggian 800 mdpl, tingkat kemiringan tanah 20º, curah hujan 1.300 mm/tahun, jumlah bulan hujan 7 bulan, suhu rata-rata harian 30ºC, kelembaban udara 75%, jenis tanah berupa tanah latosol dan warna tanah merah kehitaman serta tekstur liat dan debu. Desa Gunung Karung terletak pada titik 107º30‟ BT dan 6º 68‟ LS, ketinggian 600 mdpl, tingkat kemiringan tanah 85º, curah hujan 1.300 mm/tahun, jumlah bulan hujan 7 bulan, suhu rata-rata harian 45ºC, kelembaban udara 65%, jenis tanah berupa tanah latosol dan warna tanah merah kehitaman serta tekstur liat dan debu.

Pola penggunaan lahan Desa Pasir Jambu dan Desa Gunung Karung berupa sawah irigasi teknis, sawah irigasi ½ teknis dan sawah tadah hujan. Sawah irigasi teknis adalah sawah yang sumber airnya berasal dari saluran irigasi yang permanen dan sudah ditata dengan baik. Sedangkan sawah irigasi ½ teknis adalah sawah yang sumber airnya berasal dari irigasi yang tidak permanen/sederhana yaitu menggunakan bahan material dari tumpukan batu yang tidak ditata dengan baik. Hutan rakyat yang dikembangkan oleh masyarakat termasuk perkebunan rakyat.

(23)

lahan yang dimanfaatkan untuk mendirikan gedung pemerintahan berupa sekretariat desa ataupun instansi pemerintah lain yang ada di desa. Penggunaan lahan oleh pihak kehutanan yaitu hutan lindung, hutan konsevasi dan hutan produksi yang semuanya diatur dan dimanfaatkan oleh pihak kehutanan. Luas wilayah Desa Pasir Jambu dan Desa Gunung Karung menurut penggunaan lahannya dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Luas wilayah Desa Pasir Jambu dan Desa Gunung Karung menurut penggunaan lahannya

No Penggunaan

Desa Pasir Jambu Desa Gunung Karung

(24)

6

0,35

0,50

1,78

402,59

107,23

92,83

89,60

112,93

770,19

52,3

100,0

1,00

0,25

2,50

438,50

137,38

93,38

103,38

104,38

849,75

51,6

100,0

Sumber : Dinas Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Purwakarta (2010)

Berdasarkan Tabel 3, penggunaan lahan di Desa Pasir Jambu yang paling luas adalah lahan hutan yaitu 402,59 ha (52,3%) yang tediri dari hutan lindung 107,23 ha, hutan produksi 92,83 ha, hutan konservasi 89,60 ha dan hutan rakyat 112,93 ha serta penggunaan lahan yang paling sempit adalah lahan basah yaitu 11,00 ha (1,4%). Hal ini terlihat dari keadaan desa yang masih terdapat banyak hutan.

Penggunaan lahan di Desa Gunung Karung yang paling luas adalah lahan hutan yaitu 438,50 ha (51,6%) yang tediri dari hutan lindung 137,38 ha, hutan produksi 93,38 ha, hutan konservasi 103,38 ha dan hutan rakyat 104,38 ha. Hal ini terlihat dari keadaan desa yang masih terdapat banyak hutan. Sedangkan penggunaan lahan yang paling sempit adalah lahan yang dimanfaatkan untuk fasilitas umum yaitu 8,75 ha (1,0%) yang terdiri dari lahan milik desa 5,00 ha, lapangan olahraga 1,00 ha, perkantoran pemerintah 0,25 ha dan tempat pemakaman 2,50 ha.

(25)

buruh tani hutan rakyat Desa Gunung Karung lebih banyak daripada jumlah petani dan buruh tani hutan rakyat Desa Pasir Jambu (lihat Tabel 6).

4.2 Keadaan Sosial dan Ekonomi 4.2.1 Administrasi Pemerintahan

Desa Pasir Jambu terbagi kedalam empat Rukun Warga (RW) dan delapan Rukun Tetangga (RT) yaitu Dusun Cimanggu, Dusun Cijambu, Dusun Cimahi dan Dusun Cikaret. Dalam struktur pemerintahan, Desa Pasir Jambu terdiri atas kepala desa, sekretaris desa, urusan pemerintahan, urusan keamanan dan ketertiban (Kamtib), urusan perekonomian dan urusan pembangunan.

Desa Gunung Karung terbagi kedalam enam Rukun Warga (RW) dan sepuluh Rukun Tetangga (RT) yaitu Dusun Cidahu, Dusun Ciwareng, Dusun Gunung Karung, Dusun Maniis, Dusun Tegal Datar dan Dusun Pasir Karang. Dalam struktur pemerintahan, Desa Gunung Karung terdiri atas kepala desa, urusan pemerintahan, Keamanan dan Ketertiban (Kamtib), urusan perekonomian, urusan pembangunan dan urusan sosial ekonomi.

4.2.2 Demografi

Berdasarkan buku Dinas Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Purwakarta (2010) jumlah penduduk Desa Pasir Jambu sebanyak 3.188 orang yang terdiri dari laki-laki sebanyak 1.620 orang (50,8%) dan perempuan sebanyak 1.568 orang (49,2%). Rasio penduduk perempuan adalah 97 orang perseratus orang laki-laki. Luas wilayah Desa Pasir Jambu 770,19 ha atau 7,70 km2 dengan jumlah penduduk 3.188 orang, maka kepadatan penduduk Desa Pasir Jambu adalah 414,03 orang/km2.

(26)

orang perseratus orang laki-laki. Luas wilayah Desa Gunung Karung 849,75 ha atau 8,50 km2 dengan jumlah penduduk 4.152 orang, maka kepadatan penduduk Desa Gunung Karung adalah 488,47 orang/km2.

Berdasarkan kelas umurnya, pembagian kelas umur masyarakat Desa Pasir Jambu dan Desa Gunung karung terbagi kedalam beberapa kelas umur. Umur 0-5 tahun digolongkan kedalam kriteria umur bayi dan umur balita, yaitu anak-anak yang masih kecil dan memerlukan perawatan dari orang tuanya; umur 6-14 tahun digolongkan kedalam kriteria umur anak-anak dan masih sekolah; umur 15-55 tahun digolongkan kedalam kriteria umur produktif manusia yaitu kriteria umur yang termasuk angkatan kerja; umur 56 keatas digolongkan kedalam kriteria umur tidak produktif manusia dalam angkatan kerja yaitu kriteria umur para lanjut usia (Lansia). Jumlah penduduk Desa Pasir Jambu dan Desa Gunung Karung berdasarkan kelompok umur dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Jumlah penduduk Desa Pasir Jambu dan Desa Gunung Karung berdasarkan kelompok umur

No Kelompok Umur (tahun)

Desa Pasir Jambu Desa Gunung Karung

(27)

12

Sumber : Dinas Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Purwakarta (2010)

Berdasarkan Tabel 4, Desa Pasir Jambu memiliki 1.663 orang penduduk yang tergolong kelas umur produktif dan 930 orang penduduk yang tergolong kelas umur tidak produktif. Rasio jumlah penduduk yang tergolong kelas umur tidak produktif dengan jumlah penduduk yang tergolong kelas umur produktif sebesar 56%, artinya penduduk yang tergolong kelas umur tidak produktif berjumlah 56 orang per 100 orang penduduk yang tergolong kelas umur produktif. Desa Gunung Karung memiliki 2.362 orang penduduk yang tergolong kelas umur produktif dan 917 orang penduduk yang tergolong kelas umur tidak produktif. Rasio jumlah penduduk yang tergolong kelas umur tidak produktif dengan jumlah penduduk yang tergolong kelas umur produktif sebesar 39%, artinya penduduk yang tergolong kelas umur tidak produktif berjumlah 39 orang perseratus orang penduduk yang tergolong kelas umur produktif.

4.2.3 Agama dan Pendidikan

Penduduk Desa Pasir Jambu dan Desa Gunung Karung seluruhnya menganut agama Islam. Dilihat dari tingkat pendidikan, penduduk Desa Pasir Jambu dan Desa Gunung Karung memiliki tingkat pendidikan yang rendah yaitu sekitar 0,1%-0,3%, hal ini terlihat pada sedikitnya jumlah penduduk yang menyandang gelar diploma dan sarjana. Jumlah penduduk Desa Pasir Jambu dan Desa Gunung Karung berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Jumlah penduduk Desa Pasir Jambu dan Desa Gunung Karung berdasarkan tingkat pendidikan

Desa Pasir Jambu Desa Gunung Karung

(28)

No. Tingkat Pendidikan (orang) (%) (orang) (%)

Sumber: Dinas Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Purwakarta (2010)

Berdasarkan Tabel 5, jumlah tingkat pendidikan penduduk Desa Pasir Jambu yang paling banyak adalah tamat SD yaitu 1.341 orang (42,1%) dan jumlah tingkat pendidikan penduduk Desa Pasir Jambu yang paling sedikit adalah Strata 1, 2 dan 3 yaitu 2 orang (0,1%). Disamping faktor perekonomian masyarakat yang kurang memadai, faktor pola pikir masyarakat terhadap dunia pendidikan yang kurang luas pun menjadi salah satu sebab, yaitu masyarakat menganggap bahwa bekerja lebih mudah daripada belajar dan jika bersekolah di perguruan tinggi pun maksimal hanya sampai jenjang Diploma saja, hal ini dapat dilihat dari jumlah Strata 1, 2 dan 3 di Desa Pasir Jambu lebih sedikit dibandingkan Desa Gunung Karung.

(29)

Selain itu, jumlah penduduk Desa Gunung Karung yang menamatkan sekolah ditingkat SLTP dan SLTA masing-masing sebanyak 1.036 orang (25,0%) dan 660 orang (15,9%) lebih banyak daripada jumlah penduduk Desa Pasir Jambu yang menamatkan sekolah ditingkat SLTP dan SLTA masing-masing sebanyak 811 orang (25,4%) dan 86 orang (2,7%). Hal ini disebabkan lokasi bangunan SLTP berada di Kecamatan Maniis, dimana jarak Desa Gunung Karung lebih dekat ke Kecamatan Maniis jika dibandingkan dengan jarak Desa Pasir Jambu ke Kecamatan Maniis.

Bangunan-bangunan untuk pendidikan yang ada di Desa Pasir Jambu diantaranya bangunan Sekolah Dasar (SD) sebanyak dua buah dan bangunan lembaga pendidikan agama sebanyak dua buah. Sedangkan Bangunan-bangunan untuk pendidikan yang ada Desa Gunung Karung diantaranya bangunan Taman Kanak-kanak (TK) sebanyak dua buah, bangunan SD sebanyak tiga buah, bangunan SLTP sebanyak satu buah dan bangunan pondok pesantren sebanyak satu buah.

4.2.4 Mata Pencaharian dan Perekonomian Masyarakat

Pengelompokan jenis pekerjaan yang ada di Desa Pasir Jambu dan Desa Gunung Karung meliputi petani, buruh tani, buruh swasta, wiraswasta, PNS, TNI/polisi, pengrajin dan peternak. Jumlah tenaga kerja di Desa Pasir Jambu dan Gunung Karung menurut jenis pekerjaan dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Jumlah tenaga kerja di Desa Pasir Jambu dan Desa Gunung Karung menurut jenis pekerjaan

No Jenis Pekerjaan

Desa Pasir Jambu Desa Gunung Karung

Jumlah (orang)

Persentase (%)

Jumlah (orang)

Persentase (%)

(30)

2

Sumber : Dinas Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Purwakarta (2010)

Berdasarkan Tabel 6, sebagian besar penduduk Desa Pasir Jambu bekerja sebagai petani sebanyak 1.492 orang (46,8%) sedangkan pekerjaan yang paling sedikit persentasenya adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebanyak 16 orang (0,5%). Sebagian besar penduduk Desa Gunung Karung bekerja sebagai petani yaitu 1.798 orang (43,3%) sedangkan pekerjaan yang paling sedikit persentasenya adalah pengrajin sebanyak 18 orang (0,4%). Desa Pasir jambu dan Desa Gunung Karung memiliki persentase jenis pekerjaan sebagai petani yang lebih besar jumlahnya karena sebagian besar masyarakat memiliki lahan garapan sedangkan persentase jenis pekerjaan sebagai PNS serta pengrajin lebih kecil jumlahnya karena memiliki tingkat keminatan serta kemampuan masyarakat yang kurang.

Berdasarkan buku Dinas Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Purwakarta (2010) pengelompokan jenis komoditas Desa Pasir Jambu dan Desa Gunung Karung meliputi pertanian, perkebunan dan peternakan. Jumlah jenis komoditas di Desa Pasir Jambu dan Gunung Karung dapat dilihat pada Tabel 7.

(31)

No Jenis Komoditas

Desa Pasir Jambu Desa Gunung Karung

(32)

3

Sumber : Dinas Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Purwakarta (2010)

(33)

Tabel 8 Kepemilikan lahan di Desa Pasir Jambu dan Desa Gunung Karung

No Penggunaan Lahan

Desa Pasir Jambu Desa Gunung Karung

Luas lahan

Sumber : Dinas Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Purwakarta (2010)

Berdasarkan Tabel 8, dapat diketahui bahwa jumlah kepemilikan lahan pada sektor pertanian di Desa Pasir Jambu yang paling luas adalah pada luasan kurang dari 0,50 ha yaitu 168 rumah tangga petani hutan rakyat (RTP-HR) dan jumlah kepemilikan lahan pada sektor pertanian yang paling sempit adalah pada luasan lebih dari 1,00 ha yaitu 18 RTP-HR. Jumlah kepemilikan lahan pada sektor perkebunan yang paling luas adalah pada luasan kurang dari 0,50 ha yaitu 415 RTP-HR dan jumlah kepemilikan lahan pada sektor perkebunan yang paling luas adalah pada luasan lebih dari 1,00 ha yaitu 12 RTP-HR.

(34)

124 RTP-HR dan jumlah kepemilikan lahan pada sektor perkebunan yang paling sempit adalah pada luasan 0,50 ha sampai dengan 1,00 ha yaitu 16 RTP-HR.

Lembaga kemasyarakatan yang ada di Desa Pasir Jambu antara lain Rukun Tetangga, Rukun Warga, Penyuluhan Keterampilan Keluarga (PKK), Karang Taruna, Kader Posyandu, Kader Desa Siaga (KDS), Kader Ibu Arisan, Dewan Kelompok Tani, Lembaga Adat, Lembaga Keamanan Masyarakat Desa (LKMD), Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa (LPMD), Kelompok Gotong Royong, dan Organisasi Pemuda.

Lembaga kemasyarakatan yang ada di Desa Gunung Karung antara lain Rukun Tetangga, Rukun Warga, Penyuluhan Keterampilan Keluarga (PKK), Posyandu, Karang Taruna, Kelompok Tani, Lembaga Adat, Dewan Kepengurusan Mesjid (DKM), Lembaga Keamanan Masyarakat Desa (LKMD), Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa (LPMD), Kelompok Gotong Royong, Organisasi Pemuda dan Organisasi Perempuan, Kader Desa Siaga (KDS).

(35)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengelolaan hutan rakyat yang ada di Desa Pasir Jambu dan Desa Gunung Karung menerapkan sistem campuran, yang biasa masyarakat sebut dengan ngebon huma. Pengelolaan hutan rakyat (ngebon huma)adalah suatu pemanfaatan dan pelestarian lahan yang dilakukan oleh masyarakat lokal dengan mengkombinasikan kegiatan kehutanan, pertanian dan perkebunan. Tujuan dari kegiatan ngebon huma ini adalah untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan dan papan masyarakat Desa Pasir Jambu dan Desa Gunung Karung serta untuk melestarikan alam.

Pada sektor kehutanan jenis tanaman yang ditanam oleh petani pada kegiatan ngebon huma ini pada umumnya yaitu tanaman jengjen (sengon), karet, rambutan, jati, kadu (durian) dan mahoni. Akan tetapi, diantara jenis tanaman hutan tersebut yang lebih dominan ditanam yaitu jenis tanaman jengjen atau sengon (Paraserianthes falcataria) dan karet (Hevea brasiliensis). Hal ini disebabkan oleh banyaknya keunggulan yang dimiliki oleh tanaman jengjen atau sengon dan karet jika dibandingkan dengan tanaman lainnya, diantaranya yaitu lebih efektif, lebih ekonomis, jangka tebang pendek, memiliki kualitas yang lebih baik, banyak dan mudahnya ketersediaan bibit serta kecocokan struktur tanah dengan tanaman tersebut.

(36)

Pada sektor perkebunan jenis tanaman yang ditanam oleh petani diantaranya mangga, jeruk, durian, rambutan, sawo, pisang, melinjo, ketimun, tomat, cabe dan bawang. Hasil panen dari sektor perkebunan tersebut pada umumnya dijual secara langsung oleh petani (tanpa melalui tengkulak) ke Pasar Tradisional Kecamatan Plered, hal ini disebabkan oleh dekatnya jarak antara Desa Pasir Jambu dan Desa Gunung Karung dengan Pasar Tradisional Kecamatan Plered yang merupakan salah satu pusat perdagangan tradisional yang ada di Kabupaten Purwakarta.

Status lahan ngebon huma (hutan rakyat) merupakan lahan yang dimiliki oleh petani dan bengkok desa (kas desa). Hutan rakyat merupakan hutan yang dimiliki oleh masyarakat yang dinyatakan oleh kepemilikan lahan, karenanya hutan rakyat disebut juga hutan milik (Hardjanto 1990). Rata-rata luas lahan yang dimiliki oleh petani Desa Pasir Jambu dan Desa Gunung Karung ±1,36 hektar per RTP-HR.

Pengelolaan lahan milik petani terbagi kedalam dua sistem, yaitu sistem penggarapan sendiri dan sistem ngulikeun (penggarapan dengan menggunakan jasa buruh tani). Petani yang memiliki lahan garapan kurang dari 0,5 hektar pada umumnya menggarap lahannya sendiri sedangkan petani yang memiliki lahan garapan lebih dari 1,00 hektar pada umumnya memberikan tanggung jawab kepada buruh tani untuk mengelola/menggarap lahannya.

Sistem upah yang diterapkan dalam pengelolaan lahan ngebon huma terbagi ke dalam dua sistem, yaitu sistem borongan dan sistem bedug (harian). Pembagian upah pada sistem borongan bergantung pada besar kecilnya jumlah buruh tani yang dipekerjakan sedangkan pembagian upah pada sistem bedug (harian) bergantung pada tingkat intensitas kerja buruh tani per hari.

(37)

rakyat dan oleh rakyat. Dengan adanya kerjasama pengelolan hutan rakyat Dinas Desa dan Dinas Kehutanan, kelompok tani yang sudah dibentuk dan penyuluh sebagai pendampingnya berkesempatan untuk melakukan komunikasi langsung (verbal) dalam hal pengetahuan/informasi tentang bagaimana cara pengelolaan hutan rakyat yang baik dan benar.

5.1 Pengetahuan Lokal pada Pengelolaan Hutan Rakyat

Pengetahuan lokal yang dikaji dan dipelajari mencakup gagasan dan tindakan, kebudayaan fisik (alat-alat) dan perilaku sosial dalam pengelolaan hutan rakyat dapat dilihat dari tahapan kegiatan yaitu persiapan lahan, persiapan bibit, penanaman, pemeliharaan dan pemanenan. Pada umumnya pengetahuan masyarakat lokal tentang pengelolaan hutan rakyat (ngebon huma) yang dilakukan petani didapat dari pengetahuan dan pengalaman yang diwariskan secara turun-temurun serta adapula pengetahuan yang disampaikan oleh petugas lapang (penyuluh) Dinas Kehutanan, Dinas Pertanian dan Dinas Perkebunan.

5.1.1 Persiapan Lahan

Kegiatan persiapan lahan di Desa Pasir Jambu dan Desa Gunung Karung mencakup pembersihan lahan dan pengolahan tanah. Dalam kegiatan persiapan lahan petani tidak melakukan upacara ritual khusus karena seiring perkembangan jaman, masyarakat sudah membuka diri untuk hal baru yang positif dan berpikir untuk meninggalkan hal-hal yang dianggap tidak perlu dilakukan. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Nurasiah (2009) bahwa masyarakat lokal di Desa Cijagang dan Desa Sukamulya dalam kegiatan persiapan lahan masih melakukan upacara ritual untuk permohonan ijin.

(38)

bahasa lokal yang digunakan masyarakat lokal dalam peng-istilah-an untuk tindakan-tindakan pembersihan lahan dan pengolahan tanah. Dalam kegiatan pembersihan lahan, petani melakukan penyemprotan dengan menggunakan jenis Efektif Mikroorganisme-4 (contoh kompos EM-4) dan alat yang digunakan yaitu tangki semprot (handsprayer). Tindakan ini dilakukan petani agar lahan yang siap tanam benar-benar bebas/bersih dari hama dan penyakit tanaman. Tindakan penyemprotan biasanya membutuhkan waktu satu hari serta membutuhkan tenaga kerja 1-2 orang. Kondisi lahan dalam tahap kegiatan persiapan lahan dapat dilihat pada Gambar 3.

(a) (b)

Gambar 3 Persiapan Lahan: (a) hasil kegiatan babad (b) hasil kegiatan ngesrik

(39)

Tindakan pertama yang dilakukan petani dalam pembersihan lahan yaitu tindakan ngored atau babad (pembersihan). Tindakan ngored atau babad adalah suatu tindakan pemangkasan habis semak belukar dan sisa tebangan pohon yang dianggap dapat mengganggu pertumbuhan tanaman yang akan ditanam. Alat yang digunakan untuk tindakan ngored atau babad mencakup beudog (golok), arit, parang, dan gacok (cangkul kecil). Tindakan ini pada umumnya dilakukan pada musim kemarau karena dapat memudahkan dalam tahap kegiatan pembersihan lahan dan waktu yang dibutuhkan selama dua hari atau lebih serta membutuhkan tenaga kerja sebanyak 2-6 orang.

Tindakan kedua yang dilakukan petani dalam pembersihan lahan dan pengolahan tanah yaitu tindakan ngesrik (perapihan). Tindakan ngesrik adalah suatu tindakan mengumpulkan hasil dari tindakan ngored atau babad sehingga membentuk sebuah gundukan. Alat yang digunakan untuk tindakan ngesrik mencakup pacul (cangkul), sapu ijuk dan karung goni. Tindakan ngesrik ini dilakukan agar gundukan tadi pada saat dibakar, apinya tidak menjalar ke lahan garapan petani lain.

Tindakan ketiga yang dilakukan petani dalam pembersihan lahan yaitu tindakan durukan (pembakaran gundukan). Alat yang digunakan untuk tindakan durukan yaitu korek api. Dalam melakukan durukan,perlu diperhatikan kecepatan dan arah angin agar api tidak menjalar kemana-mana terutama menjalar ke lahan garapan petani lainnya. Sebagai contoh pada tahap durukan seperti membakar gundukan sampah organik dan anorganik yang diusahakan jauh lokasi pembakarannya dari lokasi lahan petani lain.

(40)

5.1.2 Persiapan Bibit

Kegiatan persiapan bibit mencakup pengadaan benih dan ipukan (persemaian). Pengadaan benih dilakukan petani dengan dua cara. Cara pertama yaitu petani membeli benih dari pedagang keliling atau memperoleh bibit dari bantuan Dinas Kehutanan. Pada umumnya jenis benih yang diperoleh dari Dinas Kehutanan yaitu jenis benih jengjen atau sengon (Paraserianthes falcataria) dan jenis benih karet (Hevea brasiliensis). Kedua jenis benih ini dipilih karena adanya kecocokan tanah dan iklim dengan jenis benih tersebut. Cara kedua yaitu petani mencari/mengumpulkan biji dari pohon yang dianggap bagus, setelah biji terkumpul maka biji tersebut dibawa ke tempat ipukan (persemaian) untuk diproses lebih lanjut yaitu biji dimasukkan ke dalam plastik polybag berukuran 0,25 kg atau 0,5 kg yang berisi campuran tanah dan pupuk. Selanjutnya di sekeliling plastik polybag tersebut dibuat sobekan-sobekan kecil, tindakan ini dilakukan agar asupan energi seperti air untuk biji tetap teratur sehingga biji yang ditanam di plastik polybag tetap subur.

Persiapan bibit dilakukan sebelum penanaman. Dalam persiapan bibit, petani melakukan proses ipukan (persemaian) dibangun sederhana di halaman belakang rumah petani atau di sekitar lahan tanam. Pembuatan tempat persemaian pada umumnya dilakukan pada saat musim kemarau, agar asupan energi seperti sinar matahari yang menyinari bibit dengan merata dan teratur. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam pembuatan persemaian terdiri dari pembukaan lahan, perlakuan terhadap bibit dan penyeleksian bibit.

(41)

dimaksudkan agar bibit mendapatkan asupan energi secara merata. Alat yang digunakan untuk pembukaan lahan mencakup pacul (cangkul), gacok (pacul kecil), parang, ajir (patok yang terbuat dari bambu), garpu, pupuk kompos dan alat jaring yang berfungsi untuk penyeimbang asupan sinar matahari.

Media tanam yang dibutuhkan adalah campuran tanah dan bekatul (pupuk kompos). Cara membuat media tanam tersebut adalah dengan mencangkul lahan yang tersedia dan menggemburkannya dengan garpu, kemudian tanah diberi media lainnya seperti pupuk kompos sehingga media campuran tadi bercampur/menyatu dengan tanah. Setelah tanah dan pupuk kompos menyatu lalu bahan media tanam tersebut diendapkan selama satu bulan, agar bau dan warna dari bahan media tanam benar-benar hilang dan berwarna hitam pekat. Tanah yang telah dicampur dengan campuran media tersebut digunakan sebagai bahan media tanam bibit yang bersifat sementara selama bibit ditanam di dalam plastik polybag. Bibit ditanam di tempat persemaian selama 4-7 bulan. Bibit dengan umur tersebut pada umumnya memiliki struktur bibit yang kokoh atau sudah menjadi kayu yang berarti bahwa bibit tersebut sudah siap ditanam di lahan tanam yang sudah dipersiapkan sebelumnya.Tempat persemaian yang dimiliki petani dapat dilihat pada Gambar 4.

(a) (b)

(42)

Perlakuan terhadap bibit adalah suatu tindakan dimana petani harus memperhatikan kondisi bibit dan asupan kadar energi yang dibutuhkan oleh bibit seperti asupan sinar matahari, air dan pupuk karena setiap bibit memiliki kadar asupan energi yang berbeda. Alat yang digunakan untuk perlakuan terhadap bibit mencakup pancong (cangkul kecil), selang air, drum penampung air, tank penyemprot air (handsprayer), ember, gunting dan plastik polybag, Setelah satu hari dari proses penyimpanan bibit di tempat persemaian, bibit disiram dengan air.

Pada musim kemarau, penyiraman dilakukan dua kali dalam sehari yaitu pagi dan sore sedangkan pada musim hujan tidak dilakukan penyiraman melainkan pemupukan karena jika terlalu banyak air akibat hujan akan berakibat kurang baik bagi kondisi bibit yang disemaikan. Pemupukan hanya dilakukan satu kali dalam seminggu, hal ini disebabkan kondisi perekonomian petani yang kurang memadai. Akan tetapi, jika bibit yang tersedia berasal dari benih yang bagus dan tidak rentan terhadap penyakit serta lokasi persemaian benar-benar cocok dengan bibit, pada umumnya bibit tidak memerlukan perlakuan khusus.

(43)

(a) (b)

Gambar 5 Kondisi bibit: (a) bibit yang siap jual di kios bibit (b) bibit yang gagal terjual karena kualitas rusak (bees).

Selain mendapatkan bibit dari tempat persemaian yang dilakukan sendiri oleh petani, petani pun memperoleh bibit dari bantuan Dinas Kehutanan, Purwakarta. Program pengalokasian bibit untuk masing-masing kelompok tani dari Dinas Kehutanan biasanya dilakukan dua kali dalam dua tahun yaitu bulan Februari dan bulan Oktober. Jenis bibit yang banyak dialokasikan untuk masing-masing kelompok tani adalah jenis bibit jengjen atau sengon (Paraserianthes falcataria) dan jenis bibit karet (Hevea brasiliensis). Untuk jenis bibit tersebut pada umumnya bibit sudah siap tanam setelah umur empat bulan.

Adapula petani yang mendapatkan bibit dengan cara membeli bibit dari pedagang keliling dan kios serta Jenis bibit yang dijual oleh pedagang keliling dan kios meliputi jengjen (sengon), jati bondol, suren, jati mas, mahoni, cikrih (mindi), bayur, akasia, sukun, rambutan, peuteuy (pete), kadu (durian) dan mangga. Bibit yang disediakan pedagang keliling dan kios pada umumnya berasal dari daerah Purworejo, Jawa Tengah. Khusus untuk tanaman jengjen atau sengon, bibit dapat diperoleh dari tunas yang tumbuh di tunggul pohon yang sudah ditebang. Daftar harga setiap jenis bibit yang dijual oleh pedagang keliling bibit dan kios bibit dapat dilihat pada Tabel 9.

(44)

No Jenis bibit Nama latin Harga (rupiah) Satuan*

Sumber : kios bibit dan penjual bibit keliling

Keterangan (*) : satu ikat sama dengan 10 batang

5.1.3 Penanaman

Pada umumnya petani melakukan kegiatan penanaman di lahan garapannya pada musim hujan yaitu bulan Desember dan Februari bulan karena pada musim hujan petani tidak kesulitan dalam hal ketersediaan air. Kegiatan penanaman yang dilakukan petani mencakup beberapa tindakan yaitu pembuatan jarak tanam (digaritan), pembuatan lubang tanam (ngalombang) dan pemasukan bibit ke dalam lubang tanam. Tindakan penanaman ini dilakukan oleh 2-4 orang. Petani membutuhkan waktu satu hari penuh untuk melakukan penanaman. Pada hari berikutnya petani melakukan pemeliharaan tanaman.

(45)

et al. 1999). Tindakan pembuatan jarak tanam bertujuan untuk mengatur kerapatan tajuk tanaman, sehingga dalam pertumbuhannya tidak mengganggu tanaman lain. Alat-alat yang digunakan petani dalam pembuatan jarak tanam ini mencakup meteran, ajir (patok bambu berukuran 1-2 meter) dan tali rapia/tambang.

Petani melakukan pembuatan jarak tanam dengan berbagai ukuran seperti 2m x 3m, 3m x 4m dan 4m x 5m. Akan tetapi, dari berbagai ukuran jarak tanam tersebut petani lebih dominan menggunakan ukuran jarak tanam 2m x 3m karena lahan garapan yang digunakan tidak terlalu luas (kurang dari 0,5 hektar). Pembuatan jarak tanam diawali dengan pengukuran dari titik awal (letak ajir/patok yang telah ditentukan) ke titik berikutnya, setelah diukur lalu dibuat lagi titik dengan ukuran jarak yang sama dengan jarak antar titik sebelumnya dan seterusnya.

Setelah pembuatan jarak tanam selesai dilakukan, selanjutnya dilakukan pembuatan lubang tanam (ngalombang). Pembuatan lubang tanam adalah suatu tahap tindakan yang dilakukan petani untuk membuat media tanam di lahan garapannya. Alat-alat yang digunakan petani dalam pembuatan lubang tanam adalah linggis dan pancong (kored).

Kedalaman lubang tanam yang sering dibuat oleh petani yaitu 12-30 cm. Kedalaman lubang tanam tersebut tergantung pada ukuran bibit yang akan ditanam, semakin besar ukuran bibit yang akan ditanam maka semakin besar pula kedalaman lubang tanam yang dibuat begitupun sebaliknya. Lubang tanam yang telah dibuat tersebut lalu diberi pupuk dengan ketebalan 2 cm. Pupuk yang sering digunakan petani yaitu pupuk kandang (pupuk kompos) dan pupuk urea. Setelah lubang tanam tadi diberi pupuk selanjutnya lubang tanam tersebut ditimbun tanah dengan ketebalan 5 cm.

(46)

kembali dengan tanah. Selanjutnya di sekeliling bibit diberi pupuk. Pemberian pupuk disesuaikan dengan kondisi lingkaran tajuk bibit, yaitu sesuai dengan garis lingkaran terluar tajuk bibit.

Kegiatan penanaman dapat dilakukan dengan dua cara yaitu sistem perorangan dan sistem guyuban (kerjasama). Sistem perorangan adalah suatu sistem dimana proses penanaman dilakukan sendiri oleh petani tanpa dibantu oleh orang lain. Hal ini tergantung pada luasan lahan yang akan digarap, jika luasan lahan yang akan digarap kurang dari 0,50 hektar, petani menggunakan sistem perorangan sedangkan jika luasan lahan yang akan digarap lebih dari 0,50 hektar maka petani menggunakan sistem guyuban. Kegiatan pada proses penanaman dapat dilihat pada Gambar 6.

(a) (b)

Gambar 6 Tahap penanaman: (a) pembuatan jarak tanam (b) pembuatan lubang tanam (c) Lahan yang ditanami tanaman sengon (Paraseriantes falcataria).

5.1.4 Pemeliharaan

(47)

Pemupukan (digemuk) adalah salah satu tindakan yang dilakukan petani dalam kegiatan pengelolaan hutan rakyat (ngebon huma) khususnya kegiatan pemeliharaan untuk memberikan asupan tambahan energi organik maupun anorganik agar tanaman dapat tetap subur dan tahan terhadap penyakit. Jenis alat dan bahan yang digunakan petani dalam pemupukan terdiri dari karung, ember, pacul (cangkul), sekop, sarung tangan, pupuk kompos (pupuk kandang) dan pupuk kimia (pupuk pabrikan).

Jenis pupuk kimia yang sering digunakan petani dalam pemupukan yaitu NPK (Nitrogen Phospor Kalium), KCL (Kalium Chlorida), TSP (Triple Super Phosphat) dan urea. Sedangkan pupuk kompos adalah pupuk buatan yang diolah sendiri oleh petani dari campuran tanah dan kotoran hewan seperti kotoran ayam, kotoran kambing dan kotoran sapi. Pembuatan pupuk kompos dilakukan petani dengan cara mencampurkan tanah dan kotoran hewan, setelah tercampur lalu diaduk dengan sekrup atau pacul sampai rata. Selanjutnya campuran tersebut diendapkan dan ditutup dengan terpal selama 30 hari agar baunya hilang dan berwarna hitam pekat. Setelah 30 hari atau lebih, pupuk kompos tersebut sudah siap digunakan.

Pada umumnya dalam melakukan pemupukan, petani lebih sering menggunakan pupuk kompos, hal ini disebabkan oleh kondisi perekonomian petani yang kurang memadai. Semakin mahal harga pupuk kimia maka semakin banyak petani yang menggunakan pupuk kompos. Selain itu, petani beranggapan bahwa pupuk kompos lebih efisien dari segi bahan karena salah satu bahannya berasal dari kotoran ternak (pupuk kompos).

(48)

(a) (b)

Gambar 7 Pemeliharaan Tanaman: (a) pupuk kandang yang siap pakai (b) kegiatan penanggulangan hama dan penyakit.

Penanggulangan hama dan penyakit merupakan salah satu dari tindakan petani dalam kegiatan pemeliharaan. Tujuan dari tindakan ini adalah untuk menjaga ketahanan tanaman dari hama dan penyakit. Tindakan penanggulangan hama dan penyakit ini mencakup penyemprotan obat tanaman, pemangkasan bagian pohon yang dianggap mati dan pembasmian tanaman pengganggu seperti semak belukar, jamur, gulma dan alang–alang yang berlebihan serta tanaman pengganggu lainnya. Alat yang digunakan petani untuk tindakan penanggulangan hama dan penyakit antara lain ember, tank handsprayer, kapak, parang, beudog (golok) , gacok, kored dan pacul (cangkul).

Proses penyemprotan obat tanaman dilakukan dengan cara menyemprotkan obat tanaman ke beberapa bagian pohon seperti batang, ranting dan daun yang dianggap perlu. Obat tanaman yang digunakan petani untuk tindakan penyemprotan antara lain Darmabas Dencis, Hopsin, dan Rodap. Pemakaian jenis obat tanaman disesuaikan dengan kondisi tanaman. Jjika tanaman terserang hama serangga maka petani sering menggunakan jenis obat tanaman Darmabas, yaitu jenis obat tanaman insektisida.

(49)

pohon. Salah satu penanggulangan yang dilakukan petani yaitu dengan cara memotong batang yang terkena hama. Sedangkan serangan penyakit yang sering terjadi pada pohon karet berasal dari jamur dan rayap. Pada umumnya jamur dan rayap menyerang salah satu bagian pohon terutama akar.

Salah satu cara penanggulangan yang dilakukan petani atau buruh tani yaitu dengan melakukan penyemprotan obat pestisida (rodap) atau membakar bagian-bagian pohon tertentu yang terkena serangan hama dan penyakit. Hal ini dimaksudkan agar serangan hama dan penyakit tersebut tidak menyebar ke bagian pohon yang lain.

Perlindungan lahan dan tanaman perlu dilakukan oleh petani, yaitu dengan cara membuat pagar pembatas yang terbuat dari bambu. Hal ini dimaksudkan agar tanaman tidak terserang hewan ternak seperti ayam, kambing, sapi dan kerbau. Selain dengan menggunakan pagar pembatas, petani juga melakukan perlindungan lahan dan tanaman dengan bantuan anjing yang berfungsi untuk menakut-nakuti/mengusir hewan pengganggu tadi.

5.1.5 Pemanenan

(50)

Sistem perijinan dalam penebangan kayu rakyat dilakukan dengan disertai dokumen/surat perijinan (legalitas) dari Kantor Kelurahan dan Dinas Kehutanan. Hal ini dimaksudkan agar kayu hasil tebangan dapat terkontrol dengan baik oleh pihak Dinas Kehutanan. Akan tetapi, petani yang memiliki luasan lahan kurang dari 0,25 hektar jarang sekali sistem ini diterapkan, hal ini disebabkan penebangan yang dilakukan hanya skala kecil yaitu sebatas memenuhi kebutuhan papan saja, sehingga tidak untuk dijual.

Sistem tebang pilih adalah suatu sistem penebangan dimana dilakukan pemilihan terhadap pohon yang akan ditebang berdasarkan faktor umur pohon dan kebutuhan RTP-HR untuk mencegah terjadinya erosi. Sistem tebang ini pada umumnya dilakukan pada tanaman campuran dan luasan lahan kurang dari 0,50 hektar. Keputusan petani untuk memilih pohon mana yang akan ditebang pada sistem tebang pilih ini sangat berperan karena petani adalah pemilik tunggal hasil panen pada lahan garapannya.

Jenis pohon jengjen/sengon (Paraserianthes falcataria) merupakan jenis pohon yang paling banyak dibutuhkan petani untuk bahan bangunan dan meningkatkan penghasilan rumah tangga. Hal ini disebabkan karena jenis pohon tersebut memiliki masa tebang yang singkat dan memiliki nilai jual yang tinggi.

Pada umumnya jenis pohon jengjen/sengon (Paraserianthes falcataria) pada umur 5 tahun sudah siap untuk ditebang/dipanen. Petani Desa Pasir Jambu dan Desa Gunung Karung dalam sistem penebangannya lebih menerapkan sistem tebang pilih dan borongan. Sistem tebang pilih diterapkan pada proses penebangan jenis pohon jengjen/sengon (Paraserianthes falcataria) disebabkan tanaman tersebut ditanam pada waktu tanam yang berbeda-beda.

(51)

mempercepat proses tumbuhnya tunas di atas tunggul dan menjaga serat kayu agar tidak rusak.

Pada umumnya jenis pohon karet (Hevea brasiliensis) pada umur 15 tahun sudah siap untuk ditebang/dipanen. Pada saat umur pohon karet (Hevea brasiliensis) 8 tahun, petani mulai melakukan penyadapan getah karet. Penyadapan getah karet dilakukan dua kali dalam sehari yaitu pada waktu pagi hari dan sore hari. Alat yang digunakan petani untuk proses penyadapan adalah kadukul/pisau sadap (alat khusus koak). Hasil dari penyadapan getah karet tersebut pada umumnya dijual kepada pemborong (tengkulak) dengan harga Rp 10.000/kg. Kegiatan yang dilakukan petani pada proses pemanenan dapat dilihat pada Gambar 8.

(a) (b)

Gambar 8 Tahap pemanenan: (a) tunggul jengjen atau sengon (Paraseriantes falcataria) (b) proses penyadapan getah pada pohon karet (Hevea brasiliensis).

Gambar

Gambar 1 Pemerincian kebudayaan kedalam unsur-unsurnya yang khusus
Tabel 1  Pemerincian subtema budaya kedalam gagasan, tindakan dan alat
Tabel 1 Pemerincian subtema budaya kedalam gagasan, tindakan dan alat (lanjutan)
Tabel 1 Pemerincian subtema budaya kedalam gagasan, tindakan dan alat (lanjutan)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Agar setiap orang dapat mengetahu inya, memerinta hka n pengu ndangan Peratu ran D aerah in i dengan pencmpatannya da la m Lemb aran D aerah Kab u paten Pacitan... Agar setiap

mengurangkan masalah dalam hubungan manusia dan untuk memperbaiki kehidupan melalui interaksi manusia yang lebih baik.Selain itu,terdapat ramai pekerja dalam profesion bantuan

Yang meliputi ketrampilan membuat macam-macam fragmen dasar, penyelesaian busana dengan berbagai sistem secara manual maupun machinal.Tujuannya adalah untuk mengetahui

penilaian dan evaluasi dari Semua Data dalam surat penawaran harga.. perusahaan ternyata rekanan / perusahaan tersebut telah

[r]

Permasalahan teknis komputer yang digunakan pada saat mengoperasikan SPAMKODOK (penyedia), sehingga proses tidak bekerja sebagaimana mestinya, antara lain gangguan

Berdasarkan hasil survei pendahuluan yang telah dilakukan di Puskesmas Kramat melalui wawancara dengan petugas kesehatan menunjukkan dari ke lima desa wilayah kerja Puskesmas

Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan konsep rancangan combination tool yang merupakan alat bantu pembuatan produk menggunakan bahan dasar lembaran pelat