• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prevalensi pasien TB paru yang mengalami hepatitis imbas OAT dan faktor risiko yang berhubungan di RSUP Persahabatan Jakarta dan RSPG Cisarua pada tahun 2012

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Prevalensi pasien TB paru yang mengalami hepatitis imbas OAT dan faktor risiko yang berhubungan di RSUP Persahabatan Jakarta dan RSPG Cisarua pada tahun 2012"

Copied!
81
0
0

Teks penuh

(1)

RISIKO YANG BERHUBUNGAN DI RSUP

PERSAHABATAN JAKARTA DAN RSPG CISARUA PADA

TAHUN 2012

Laporan Penelitian ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk

Memperoleh gelar SARJANA KEDOKTERAN

OLEH :

Nurazminah Alwi

NIM: 1110103000004

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UINSYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)

v Assalamualaikum wr.wb.

Puji serta syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas segala rahmat dan karunia-Nya saya dapat menyelesaikan penelitian ini. Shalawat serta salam semoga tetap tercurah limpahkan pada Nabi besar Muhammad SAW, beserta keluarganya, sahabatnya, serta umatnya.

Akan sangat sulit bagi saya untuk dapat menyelesaikan penelitian ini jika tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, saya mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1. Prof. DR. (hc) dr. M.K. Tadjudin, Sp. And selaku Dekan FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang selalu membimbing dan memberikan kesempatan kepada saya untuk menempuh pendidikan di Program Studi Pendidikan Dokter FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. dr. Witri Ardini, M.Gizi, SpGK selaku Ketua Program Studi Program Studi Pendidikan Dokter FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, serta seluruh dosen di prodi ini yang selalu membimbing serta memberikan ilmu kepada saya selama menjalani masa pendidikan di Program Studi Pendidikan Dokter FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. dr. Mukhtar Ikhsan, Sp.P(K), MARS dan Zeti Harryati,SSi M.Biomed selaku dosen pembimbing penelitian saya, yang selalu membimbing dan mengarahkan dalam berjalannya penelitian ini.

4. Kedua orang tua tercinta, H.Saemu Alwi, SE, MS dan Hj.Nurlian Arfa, S.ag, MA, yang selalu memberikan cinta dan kasih sayangnya, memberikan doa, nasihat, serta semangat sepanjang hidup saya. Juga pada kedua adik saya, Muhammad Azharan Alwi dan Muhammad Azdahar Alwi yang senantiasa memberikan dorongan dan motivasi

(6)

vi

dan memotivasi saya dalam menyelesaikan penelitian ini.

7. Seluruh mahasiswa PSPD 2010 dan semua teman, sahabat saya yang sudah saling mengingatkan, membantu, dan menyemangati satu sama lain. 8. Untuk kakak kelas PSPD 2009, Wildan Acalipha Wilkensia yang selalu

memberikan doa, membantu, dan menyemangati saya dalam menyelesaikan skripsi ini.

9. Untuk segenap staf rekam medik RSUP persahabatan Jakarta dan RSPG Cisarua yang telah banyak membantu dalam pengambilan data.

Saya menyadari laporan penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan. Kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sangat saya harapkan demi kesempurnaan laporan penelitian ini.

Demikian laporan penelitian ini saya tulis, semoga dapat memberikan manfaat bagi penulis khususnya dan para pembaca pada umumnya.

Ciputat, 13 September 2013

(7)

vii

Nurazminah Alwi. 2013. Prevalensi pasien TB paru yang mengalami hepatitis imbas OAT dan faktor risiko yang berhubungan di RSUP Persahabatan Jakarta dan RSPG Cisarua pada tahun 2012. Program Studi Pendidikan Dokter Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Obat anti tuberkulosis merupakan regimen yang diberikan dalam penatalaksanaan penyakit tuberkulosis. Obat anti tuberkulosis memiliki efek samping gangguan fungsi hati yang dapat dilihat secara klinis maupun melalui hasil tes fungsi hati dengan melihat nilai enzim-enzim transaminase dalam serum yang terdiri dari aspartate amino transaminase (AST/GOT) yang diekskresikan secara paralel dengan alanine amino transferase/glutamate pyruvate transaminase (ALT/GPT) yang merupakan penanda lebih spesifik untuk mendeteksi adanya kerusakan hepar. Banyak faktor yang mempengaruhi kejadian hepatitis imbas OAT, yaitu usia, jenis kelamin, status gizi, riwayat konsumsi alkohol, riwayat penyakit hati sebelumnya, dan lain-lain. Penelitian ini dilakukanuntuk mengetahui prevalensi pasien tuberkulosis yang mengalami hepatitis imbas OAT dan faktor apa saja yang mempengaruhi pada tahun 2012. Hasil penelitian menunjukkan prevalensi hepatitis imbas OAT tahun 2012 adalah 52,2 %. Faktor risiko yang bermakna (p value <0,05) adalah jenis kelamin, status gizi, riwayat konsumsi alkohol, dan konsumsi rokok. Sedangkan faktor risiko lain seperti usia,riwayat penyakit hati sebelumnya, dan konsumsi obat lain tidak bermakna. Dapat disimpulkan bahwa prevalensi hepatitis imbas OAT tinggi di Indonesia dan ini berhubungan dengan faktor risiko seperti jenis kelamin, status gizi, alkohol, dan rokok.

Kata kunci: Tuberkulosis, Hepatitis imbas OAT, faktor risiko, OAT, Tes fungsi hati

ABSTRACT

Nurazminah Alwi. 2013. Prevalence of pulmonary tuberculosis patients who have OAT-induced hepatitis and its risk factors in RSUP Persahabatan Jakarta and Cisarua RSPG on 2012. Medical Education Program State Islamic University Syarif Hidayatullah Jakarta.

Anti-tuberculosis drug regimen is given in the management of tuberculosis. Antituberculosis drugs have side effects liver dysfunction that can be seen clinically as well as through the results of liver function tests to see the value of transaminase enzymes in serum consisting of aspartate amino transaminase (AST / GOT), which is excreted in parallel with alanine amino transferase / glutamate pyruvate transaminase (ALT / GPT) which is a more specific marker to detect the presence of liver damage. Many factors affect the incidence of hepatitis, such as age, sex, nutritional status, alcohol, previous history of liver disease, and etc. This study was conducted to determine the prevalence of tuberculosis patients who have OAT induced hepatitis and the factors that influence in 2012. Results showed the prevalence of OAT-induced hepatitis in 2012 was 52.2%. Significant risk factor (p value <0.05) were gender, nutritional status, history of alcohol consumption, and cigarette consumption. While other risk factors such as age, previous history of liver disease, and other drug consumption is not significant. It can be concluded that the high prevalence of OAT induced hepatitis in Indonesia it is influenced by gender, nutritional status, alcohol, and cigarettes.

(8)

viii

1.1 Latar belakang ... 1.2 Rumusan masalah ... 1.3 Tujuan penelitian ... 1.3.1 Tujuan umum ... 1.3.2 Tujuan khusus ... 1.4 Manfaat penelitian ...

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan teori ... 2.1.1 Tuberkulosis ... 2.1.2 Pengobatan tuberkulosis ...

2.1.2.1 Isoniazid ... 2.1.2.2 Rifampisin ... 2.1.2.3 Etambutuol ... 2.1.2.4 Pirazinamid ... 1.1.2.5 Streptomisin ... 2.1.3 Definisi hepatitis imbas OAT ... 2.1.4 Epidemiologi hepatitis imbas OAT ... 2.1.5 Patofisiologi ... 2.1.6 Gejala klinis ... 2.1.7 Faktor risiko ... 2.2 Kerangka teori ... 2.3 Kerangka konsep ... 2.4 Definisi operasional ...

BAB 3 METODE PENELITIAN

1.1 Desain penelitian ... 1.2 Waktu dan tempat penelitian ...

(9)

ix

1.6 Pengambilan sampel ... 1.7 Pengolahan dan penyajian data ... 1.8 Cara kerja penelitian ... 1.8.1 Izin pengambilan data sekunder ... 1.8.2 Alur penelitian ... 3.10 Etika penelitian ...

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil penelitian ...

BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN

(10)

x

Tabel 2.1: Tingkat kemampuan OAT menimbulkan DIH ... Tabel 2.2: Derajat hepatitis imbas OAT ... Tabel 2.3: Insidensi dan faktor risiko ... Tabel 4.1: Pola distribusi responden ... Tabel 4.2: Prevalensi hepatitis imbas OAT ... Tabel 4.3: Distribusi data kejadian hepatitis imbas OAT berdasarkan usia…..

Tabel 4.4: Distribusi data kejadian hepatitis imbas OAT berdasarkan jenis

kelamin………..

Tabel 4.5: Distribusi data kejadian hepatitis imbas OAT berdasarkan riwayat

konsumsi alkohol………

Tabel 4.6: Distribusi data kejadian hepatitis imbas OAT berdasarkan riwayat

konsumsi rokok……….

Tabel 4.7: Distribusi data kejadian hepatitis imbas OAT berdasarkan riwayat

penyakit hati sebelumnya………..

Tabel 4.8:Distribusi data kejadian hepatitis imbas OAT berdasarkan status

gizi……….

Tabel 4.9 Distribusi data kejadian hepatitis imbas OAT berdasarkan riwayat

konsumsi obat lain……….

10 11 26 28 30 30

31

33

34

35

(11)

xi

Gambar 2.1: Alur diagnosis TB ... Gambar 2.2: Rumus kimia isoniazid ... Gambar 2.3: Rumus kimia etambutol ... Gambar 2.4: Rumus kimia pirazinamid ... Gambar 4.1: Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin ... Gambar 4.2: Distribusi responden berdasarkan derajat DIH ...

(12)

xii

Lampiran 1: Sebaran karakteristik responden ... Lampiran 2: Hubungan DIH dengan variabel bebas ... Lampiran 3: Riwayat hidup peneliti ...

(13)

1.1. Latar Belakang Masalah

Penyakit tuberkulosis masih merupakan masalah kesehatan dunia. Tuberkulosis masih merupakan penyakit menular yang paling sering menyebabkan morbiditas dan mortalitas. Indonesia merupakan negara dengan penderita terbanyak ke-5 didunia setelah India, Cina, Afrika Selatan, dan Nigeria.1,2

Merujuk pada angka kejadian yang tinggi, Indonesia bekerjasama dengan World Health Organization (WHO) menggalang strategi penanggulangan TB di Indonesia yang kemudian disebut strategi Directly Observed Treatment Short Course (DOTS).4 Salah satu programnya adalah melaksanakan pengobatan tuberculosis dengan Obat Anti Tuberkulosis (OAT).

Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi dua fase, yakni fase intensif (2-3 bulan) dan fase lanjutan (4 atau 7 bulan).5 Obat lini pertama yang digunakan adalah isoniazid, rifampisin, pirazinamid, streptomisin, dan etambutol.5 Obat lini pertama inilah yang paling sering digunakan dan menimbulkan beragam efek samping.

Waktu pemakaian yang lama tentu saja dapat menimbulkan efek samping seperti reaksi kulit, gangguan gastrointestinal, gangguan neurologis.6 Efek samping yang hampir dimiliki oleh semua jenis OAT lini pertama adalah hepatitis. Efek ini pula lah yang dapat berdampak paling serius. Hepatitis imbas OAT adalah peradangan pada organ hati yang diakibatkan oleh reaksi obat anti tuberkulosis. Pada penelitian yang dilakukan di berbagai Negara, angka kejadian hepatitis imbas OAT menunjukkan jumlah yang beragam. Contohnya pada penelitian yang dilakukan di Nepal prevalensi hepatitis imbas OAT mencapai 38%, di Iran prevalensi hepatitis imbas OAT mencapai 27%.

(14)

lain yang mempengaruhi adalah faktor risiko yang dimiliki oleh para pasien sendiri. Menurut beberapa penelitian, faktor risiko yang menyebabkan hepatitis imbas OAT diantaranya adalah umur, jenis kelamin, status gizi, riwayat penyakit hati sebelumnya, memiliki penyakit infeksi lain seperti HIV, konsumsi alkohol, karier hepatitis B atau hepatitis C, pemakaian obat yang tidak sesuai aturan dan status asetilatornya.7

Penelitian tentang angka kejadian hepatitis imbas OAT beserta faktor-faktor yang berhubungan masih sedikit jumlahnya di Indonesia dan sudah cukup lama tidak dilakukan lagi sehingga data yang didapat juga kurang. Melihat hal ini maka penelitian mengenai jumlah pasien tuberkulosis paru yang mengalami hepatitis imbas OAT dan faktor-faktor yang berhubungan perlu utnuk dilakukan lagi. Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan Jakarta dan RSPG Cisarua yang keduanya merupakan rumah sakit rujukan nasional dalam penanganan TB paru di Indonesia. Sehingga diharapkan data yang didapat akan lebih beragam dan valid.

Diharapkan dengan diketahuinya angka kejadian pada hepatitis imbas OAT dan faktor yang berhubungan, para tenaga medis, khususnya dokter umum dan dokter paru yang menangani kasus-kasus pasien TB menjadi lebih waspada dan gencar dalam melakukan edukasi terhadap pasien, terlebih pasien-pasien TB paru yang memiliki faktor risiko untuk mengalami gangguan fungsi hati dan dapat pula menjadi pertimbangan dan antisipasi dalam pemberian OAT. Jika faktor risiko diketahui lebih dahulu diharapkan biaya pengobatan pun dapat diminimalisir. Bagi pasien TB paru sendiri, khususnya yang memiliki faktor risiko tertentu untuk mengalami hepatitis imbas OAT diharapkan menjadi lebih waspada dan sedapat mungkin menghindari faktor-faktor pencetus.

1.2.RumusanMasalah

Dari uraian diatas dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:

(15)

1.2.2. Faktor-faktor risiko apa saja yang berhubungan dengan hepatitis imbas OAT?

1.3.Tujuan penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui angka kejadian hepatitis imbas OAT pada penderita TB setelah mendapatkan terapi OAT

1.3.2. Tujuan Khusus

Mengetahui faktor-faktor risiko apa sajakah yang mempengaruhi terjadinya hepatitis imbas OAT dan bagaimanakah hubungannya

1.4. Manfaat penelitian 1.4.1. Bagi Peneliti

• Mengetahui prevalensi hepatitis imbas OAT di RSUP Persahabatan dan RSPG Cisarua.

• Mengetahui faktor risiko hepatitis imbas OAT. • Menambah wawasan mengenai hepatitis imbas OAT.

• Sebagai salah satu persyaratan mendapat gelar sarjana kedokteran. • Mengimplementasikan ilmu metodologi penelitian yang telah

didapat selama perkuliahan di PSPD FKIK UIN Jakarta.

1.4.2. Bagi Institusi dan Keilmuan

• Merupakan implementasi Tri Dharma Perguruan Tinggi pada bidang penelitian

(16)

1.4.3. Bagi Masyarakat

• Mengetahui tentang hepatitis imbas OAT.

• Mengetahui faktor risiko terjadinya hepatitis imbas OAT.

(17)

2.1. Landasan Teori 2.1.1. Tuberkulosis

Tuberkulosis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium Tuberculosis.5,8 Bakteri ini berbentuk batang, tidak berspora, dan tidak berkapsul dengan dinding yang sangat kompleks yang membuat bakteri ini tahan asam pada pemeriksaan atau biasa disebut Basil

Tahan Asam (BTA)5. Umumnya M. Tuberculosis menyerang paru, tetapi

pada sepertiga kasus menyerang organ lain seperti kelenjar limfe, tulang, meningens, dll yang biasa disebut TB ekstra paru.5

Tuberkulosis merupakan penyakit dengan angka kejadian yang sangat tinggi, hampir sepertiga penduduk dunia terkena TB.8 Setiap tahunnya, 1000 dari 100.000 penduduk terinfeksi TB dan 10% diantaranya akan menjadi sakit TB.8 Angka insidensi yang begitu tinggi tersebut berbanding lurus dengan angka kematian. Angka kematian akibat TB diperkirakan setiap harinya 8000 setiap harinya.5,8 Karena data

tersebut, WHO menjadikan TB sebagai ‘Global Emergency’ dengan

strategi DOTS (Directly observed Treatment Short-course) sebagai

penanggulangannya.5,8

Diagnosis TB ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan bakteriologi, pemeriksaan radiologi, dan pemeriksaan

penunjang lainnya.5,8 Gejala klinis yang dapat timbul dibagi menjadi dua,

gejala lokal dan gejala sistemik.5,8 Pada pasien TB paru, gejala lokal yang timbul yaitu gejala respiratorik terdiri dari batuk lebih dari 3 minggu,

kadang disertai darah, sesak napas, dan nyeri dada.5,8 Sedangkan untuk TB

ekstraparu, gejala lokal tergantung pada organ yang terkena.5 Gejala sistemik yaitu penurunan berat badan, malaise, keringat malam, tidak nafsu makan, dan demam.5,8 Pada pemeriksaan fisik, kelainan dijumpai

(18)

napas bronkial amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma dan mediastinum.5 Pemeriksaan bakteriologik

merupakan diagnosis pasti TB, yaitu menemukan kuman M.

Tuberculosis.5,8 Bahan pemeriksaan bakteriologik ini dapat berasal dari

berbagai sumber tergantung TB jenis apa.5 Umumnya untuk TB paru

bahan pemeriksaannya berasal dari dahak dengan cara pengambilan SPS (Sewaktu Pagi Sewaktu).5 Untuk TB ekstraparu dapat berasal dari cairan pleura, liquor cerebrospinal (LCS), urin, feses, dan jaringan biopsi.5 Pemeriksaan radiologik yang umumnya digunakan untuk TB adalah foto toraks.5,8 Diagnosis ditegakan jika ditemukan lesi perkapuran di apeks

paru.5 Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan tetapi jarang adalah

pemeriksaan BACTEC, PCR (Polymerase Chain Reaction), ICT

(19)

+ _ +

-

Gambar 2.1 Skema Alur Diagnosis TB paru pada orang dewasa

Sumber: : Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. 2006.5 Gejala Klinis +

PF

Sputum BTA Foto

Toraks

TB paru BTA

(+) TB paru BTA (-)

Meragu kan

Penyakit paru lain

Foto lama

ada

Foto lama tidak ada

Lakukan pemeriksaan penunjang lainnya sesuai

kebutuhan dan fasilitas atau terapi eksjuvantibus

untuk TB

Evaluasi foto toraks 1-2 bulan

Menetap Perburukan

Bekas TB TB Paru (bila

penyakit paru lain telah

tersingkirkan Perburukan Perbaikan

(20)

2.1.2. Pengobatan Tuberkulosis

Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri yang tumbuh lebih lambat dari bakteri lain, oleh karena itu antibiotik yang sangat efektif untuk sel yang sedang tumbuh tidak cukup efektif untuk bakteri ini. Selain

itu, Mycobacterium tuberculosis juga mampu menjadi dorman sehingga

semakin sulit untuk diobati atau dapat terbunuh namun lambat. Dinding sel Mycobacterium tuberculosis juga kaya akan lipid dan tidak permeabel

terhadap banyak obat. Hal-hal tersebutnya membuat Mycobacterium

tuberculosis mampu membentuk resistensi, kombinasi dua obat atau lebih mampu mengatasi kemungkinan resistensi dan karena bakteri ini lama berespon terhadap kemotrapi maka diberikan selama bulanan hingga tahunan.

Pengobatan TB dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut :

1. OAT tidak diberikan monoterapi melainkan dikombinasi beberapa

jenis obat dimana jumlah dan dosisnya disesuaikan dengan kategori pengobatan. OAT KDT lebih menguntungkan dan sangat direkomendasikan.8,9

2. Adanya PMO (pengawas minum obat).8,9

3. Diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan tahap lanjutan.8,9

2.1.2.1. Isoniazid

Isoniazid yang secara struktur mirip piridoksin merupakan obat anti mikobakterium yang paling aktif dalam terapi tuberkulosis namun kurang efektif untuk mikobakterium atipik. Isoniazid bersifat bakterisid karena mampu menghambat kebanyakan tuberkel, obat ini juga mampu penetrasi kedalam makrofag sehingga aktif untuk membunuh bakteri yang ada didalam intrasel maupun ekstrasel. Obat ini bekerja dengan cara menghambat sintesis asam mikolat yang merupakan struktur penting

(21)

Secara farmakodinamik isoniazid diabsorpsi dari saluran cerna dan akan mencapai kadar puncak dalam plasma dalam 1-2 jam kemudian. Metabolisme isoniazid terutama asetilasi oleh N-asetiltransferase hati dan waktu paruhnya berkisar antara 1-3 jam dan bentuk metabolit isoniazid terutama diekskresi dalam urin.10

Gambar 2.2 Rumus kimia isoniazid

Sumber: Katzung, Bertram G. Basic & clinical pharmacology 10 th ed. 2006.10

2.1.2.2. Rifampisin

Rifampisin merupakan turunan semisintetik rifamisin, antibiotik

yang dihasilkan oleh Streptomyces mediterranei. Rifampisin bekerja

dengan menghambat sintesis RNA dengan cara berikatan dengan subunit β

RNA polymerase dependen-DNA milik bakteri. RNA polymerase manusia tidak dapat berikatan dengan rifampisin sehingga sintesis RNA tidak terganggu. Rifampisin merupakan obat antibiotik yang bersifat bakterisid terhadap mikobakterium. Obat ini mampu penetrasi kedalam sel makrofag

dan dapat membunuh organisme yang sulit dijangkau oleh obat lainnya.10

(22)

dan jaringan tubuh.10 Rifampisin bersifat inducer terhadap kebanyakan isoform sitokrom P450 seperti CYP 1A2, 2C9, 2C19, 2D6 dab 3A4 yang meningkatkan eliminasi berbagai obat seperti metadon, antikoagulan, siklosporin, beberapa antikonvulsan, penghambat protease, kontrasepsi dan obat lain sehingga menurunkan kadar semua obat tersebut didalam plasma.

2.1.2.3. Etambutol

Etambutol menghambat arabinosil transferase mikobakterium yang berperan dalam reaksi polimerasi arabinoglikan sehingga sintesis dinding sel terhambat. Etambutol diabsorpsi dengan baik dari usus, dan mencapai kadar puncak dalam serum 2-4 jam kemudian. Ekskresi utama obat ini adalah melalui ginjal dan sedikit melalui tinja.10

Gambar 2.3 Rumus kimia etambutol

Sumber: Katzung, Bertram G. Basic & clinical pharmacology 10 th ed. 2006.10

2.1.2.4. Pirazinamid

Pirazinamid merupakan obat yang tidak aktif pada pH netral, namun pada pH 5,5 obat ini akan diubah menjadi asam pirazinoat yang merupakan bentuk aktif obat ini oleh pirazinamidase mikobakterium. Pirazinamid akan difagosit oleh makrofag dan berefek pada

mikobakterium dalam lisosom yang bersifat asam.10

(23)

plasma dicapai dalam 1-2 jam. Waktu paruhnya 8-11 jam. Dimetabolisme oleh hati dan metabolit aktifnya dibuang melalui ginjal.10

Gambar 2.4 Rumus Kimia pirazinamid

Sumber: Katzung, Bertram G. Basic & clinical pharmacology 10 th ed. 2006.10

2.1.2.5. Streptomisin

Streptomisin termasuk golongan aminoglikosida yang didapat dari diisolasi dari galur Streptomyces griseus. Di dalam sel bakteri, obat ini akan berikatan dengan reseptor pada subunit 30S protein ribosom bakteri. Obat ini akan menghambat sintesis protein ribosom dengan cara

mengganggu inisiasi pembentukan peptida, menyebabkan misreading

mRNA yang menyebabkan penggabungan asam amino yang salah ke dalam peptida dan menguraikan polisom menjadi monosom yang tidak berfungsi.10

Streptomisin apabila diberikan secara oral, akan diabsorpsi sedikit oleh saluran cerna dan kebanyakan secara utuh diekresikan melalui tinja. Apabila diberikan secara intramuskular, absorpsi baik dan mencapai kadar puncak dalam darah 30-90 menit. Obat ini biasanya diberikan secara intravena dalam infus selama 30-60 menit.10

2.1.3. Definisi Hepatitis imbas OAT

(24)

Secara klinis, manifestasi yang ditimbulkan hepatitis imbas OAT

serupa dengan hepatitis viral akut.11 Hepatitis imbas OAT bisa

menyebabkan variasi hepatotoksisitas yang beragam, mulai dari kenaikan serum hati secara asimptomatik hingga timbul gejala berat.11 Hepatitis imbas OAT sendiri memiliki definisi beragam menurut beberapa penelitian, tetapi secara umum definisi hepatotoksisitas adalah peningkatan kadar ALT 1,5 kali dari kadar normal yang muncul setelah terapi, minimal 4 minggu tanpa gejala hepatitis.11 Masing-masing dari OAT itu sendiri dapat mengakibatkan hepatitis imbas OAT, tetapi tingkat kemampuan masing-masing obat berbeda. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 2.1. Tingkat Kemampuan OAT dalam menimbulkan hepatitis imbas

OAT11

Tingkat kemampuan OAT Nama Obat

Tinggi Isoniazid, Rifampisin, Rifabutin,

Pirazinamid

Rendah Streptomisin, Etambutol

Sumber: Drug induced hepatitis with anti-tubercular chemotherapy. 2007.11

Pasien tuberkulosis bisa dikatakan mengalami hepatitis imbas OAT jika:11,17,23

1. Nilai fungsi hati dalam batas normal sebelum diberikan terapi OAT.

2. Tidak mengkonsumsi alkohol dan zat kimia lainnya minimal 10 hari sebelum pengobatan TB dimulai.

3. Pasien harus mendapatkan obat isoniazid, pirazinamid, dan rifampisin

(25)

4. Ketika sedang mendapatkan terapi OAT terjadi peningkatan nilai fungsi hati di luar batas normal, dan atau terjadi peningkatan bilirubin total >1,5 mg/dl.

5. Tidak ada sebab lain yang jelas ketika nilai tes fungsi hati meningkat.

6. Ketika obat dihentikan, nilai fungsi hati menjadi normal atau menurun

dari nilai yang sebelumnya tinggi.

Hepatitis Imbas OAT dapat diklasifikasikan menurut derajat keparahannya yang dinilai berdasarkan kenaikan SGOT dan SGPT serum.

Tabel 2.2. Derajat keparahan hepatitis imbas OAT

Definisi hepatitis imbas OAT menurut WHO Adverse drug reaction terminology

Definisi hepatitis imbas OAT menurut WHO

Sadium 1 (ringan) Meningkat < 2 kali dari nilai normal (ALT

51-125 U/L)

Stadium 2 (ringan) Meningkat 2,5-5 kali dari nilai normal (ALT 126-250 U/L)

Stadium 3 (sedang) Meningkat 5-10 kali dari nilai normal (ALT 251-500 U/L)

Stadium 4 (berat) Meningkat lebih dari 10 kali dari nilai normal

(ALT >500)

Sumber: Drug induced hepatitis with anti-tubercular chemotherapy. 2007.11

2.1.4. Epidemiologi Hepatitis imbas OAT

(26)

mengalami hepatitis imbas OAT setelah konsumsi obat dalam hitungan hari sangat sedikit.11

Insidensi timbulnya hepatitis imbas OAT sangat beragam, karena tergantung dari definisi peneliti mengenai hepatitis imbas OAT pada berbagai populasi studi.12 Hepatitis imbas OAT lebih sering terjadi pada negara berkembang. Pada penelitian yang dilakukan di Nepal ditemukan

insidensi hepatitis imbas OAT mencapai 38%.12 Penelitian lain yang

dilakukan di Malaysia menyebutkan bahwa prevalensi hepatitis imbas

OAT mencapai 9,7%.13

Ras oriental dilaporkan memiliki angka tertinggi, terutama India. Kejadian hepatotoksik di sub sahara Afrika dilaporkan pada beberapa literatur, namun untuk insidensinya sendiri tidak tercatat dengan jelas jumlahnya sehingga tidak dapat dilaporkan.13

Pada sebuah studi survei yang dilakukan oleh The U.S Public Health Service dilaporkan bahwa seseorang yang mengkonsumsi alkohol memiliki risiko 2 kali lipat untuk terkena hepatitis akibat obat isoniazid dan risiko akan semakin meningkat hingga 4-5 kali lipat pada seseorang

yang mengkonsumsi alkohol setiap hari.12

Beberapa penelitian telah dilakukan guna mengetahui insidensi dan faktor risiko hepatitis imbas OAT pada berbagai populasi seperti Asia, Amerika, Amerika Selatan, Eropa, Afrika. Untuk lebih jelasnya dapat di lihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 2.3. Insidensi dan faktor risiko terjadinya hepatitis imbas OAT pada beberapa wilayah.12

Proporsi

Faktor Risiko Populasi

2,0 AST >6x batas normal dan dikonfirmasi dengan

(27)

pemeriksaan berulang NA+SA: 1%

2,3 ALT >5x setelah terapi OAT Usia Tua As India,

Pakistan: 70%, E:30%, 2,6 ALT/AST >10x nilai normal Alkohol, Carrier

Hepatitis B,

3,0 ALT >3x nilai normal Usia Tua, Perempuan,

HIV, Ras Asia

5,3 ALT/AST >3x nilai normal Perempuan, Usia Tua As(

Singapura) 8,1 ALT/AST >5x nilai normal Nilai tes fungsi hati

yang abnormal, Status

10,7 ALT> 5x nilai normal Penggunaan

flukonazol, Nilai CD4 <100, Bilirubin > 13 mmol/L atau ALT > 61 U/L

E: 80%, Af: 34%, Lainnya 5%

(28)

15,0 ALT> 3x nilai normal Usia Tua, Status gizi dibawah normal, Asetilator yang lambat, CYP2E1 genotip c1/o1

As (Taiwan)

16,1 ALT/AST >5x nilai normal, atau peningkatan disertai gejala klinis

Usia Tua As ( India)

19,0 ALT/AST> 3x nilai normal HIV atau hepatitis C Tidak disebutkan 27,7 ALT> 3x nilai normal

dengan atau ALT>5x nilai normal tanpa gejala

Tidak ada faktor risiko yang signifikan

*Wilayah Populasi: Af, Africa: As, Asia: CSA, Central and South America: E, Europe: NA, North America:

Sa, South America.

*NO ( No Incidence) :Studi Potong-lintang * Nilai normal menurut kriteria WHO = 50 IU/L

Sumber: Pengenalan Kembali Obat Anti Tuberkulosa Pada Penderita Hepatitis Imbas Obat Akibat Obat Anti Tuberkulosa. 201112

2.1.5. Patofisiologi

Berbagai penelitian telah mengatakan bahwa terdapat keterkaitan HLA-DR2 dengan tuberkulosis paru pada berbagai populasi dan keterkaitan variasi gen NRAMP1 dengan kerentanan terhadap tuberkulosis, sedangkan risiko hepatotoksisitas imbas obat tuberkulosis ditemukan berkaitan dengan fenotipe asetilator dan polimorfisme genetik lainnya, termasuk sitokrom P450 2E1 dan glutathione S-transferase M1,

dan beberapa major histocompatibility kompleks kelas II terkait HLA-DQ

(29)

HLA-DQB1*0201 disamping usia lanjut, albumin serum <3,5 gr/dl dan tingkat penyakit yang moderat atau tingkat lanjut berat.14

Hepatitis imbas OAT dapat diakibatkan langsung dari senyawa utama, hasil metabolit, atau dapat disebabkan oleh respon imunologis yang dapat mempengaruhi hepatosit, sel-sel epitel empedu dan atau pembuluh darah hati.14 Pada beberapa penelitian uji klinis dengan hewan coba yang di uji dengan dosis tertentu, memiliki tingkat serangan yang lebih tinggi dan cenderung terjadi cepat..14 Tetapi perlu diketahui beberapa penelitian lain menunjukkan hepatitis imbas OAT dapat juga merupakan reaksi idiosinkronisasi yang tidak berhubungan dengan farmakologi obat. Hal ini menunjukkan bahwa setiap individu memiliki lokus minoris tersendiri dimana setiap individu memiliki kerentanan tersendiri terhadap efek hepatitis ketika mengkonsumsi obat. Beberapa orang mengalami hepatitis pada dosis tertentu sedangkan beberapa orang lainnya tidak terjadi pada dosis berapapun. Idiosinkronisasi dapat mengenai berbagai sistem organ. Hipersensitivitas terhadap OAT dapat terjadi pada beberapa OAT imbas hepatotoksisitas, apalagi ketika pasien datang dengan ruam kulit, atrhalgia, dan eosinophilia.15

Pada suatu penelitian disebutkan bahwa beberapa regimen OAT yakni isoniazid dan rifampisin terbukti meningkatkan lipid peroksidase, hal ini menunjukkan bahwa isoniazid dan rifampisin menimbulkan hepatotoksisitas melalui kerusakan oksidasi. Salah satu mekanisme yang sinergis untuk menimbulkan efek hepatotoksisitas dari isoniazid dan rifampisin adalah melalui enzim hati yang menginduksi sistem hidrolase sehingga meningkatkan toksisitas dari zat metabolit obat.14,15

2.1.6. Gejala Klinis

(30)

yang akan timbul biasanya adalah nausea, ikterik, muntah, dan

asthenia.13,17 Semua gejala ini tidak menunjukkan kespesifikan yang dapat

membedakan sebab dari gangguan hati. Oleh karena itu pengecekan pada laboratorium sangat diperlukan guna menegakkan diagnosis yang benar dan menyingkirkan hal-hal lain yang dapat membuat rancu dalam mendiagnosis.

Keluhan hepatotoksisitas akibat OAT sebagian besar dapat dihilangkan jika pengobatan dihentikan sementara, tetapi jika terapi tidak dihentikan dapat berakibat fatal bagi pasien itu sendiri.13,17

2.1.7. Faktor Risiko

Faktor risiko untuk obat-obat yang menginduksi hepatitis imbas OAT selama pengobatan tuberkulosis meliputi usia tua, penyakit tuberkulosis yang luas, malnutrisi, alkoholisme, infeksi kronis akibat penyakit hepatitis B atau hepatitis C, serta infeksi HIV.13,15,16

Salah satu penelitian kohort dari Spanyol menunjukkan kejadian hepatitis imbas OAT (serum transaminase naik lebuh dari tiga kali batas normal) menjadi signifikan pada kelompok yang memiliki faktor risiko dengan persentase 18,2%, sedangkan kelompok tanpa risiko memiliki presentase 5,8%. Hepatitis berat (transaminase serum > 10 kali nilai normal) terjadi pada kelompok yang memiliki faktor risiko dengan persentase 6,9% sedangkan pada kelompok yang tidak memiliki faktor risiko terjadi dengan persentase 0,4%.13,15

Pasien dengan infeksi hepatitis kronis atau infeksi HIV lebih rentan 3-5 kali terkena hepatitis imbas OAT. Infeksi kronis hepatitis B dan C memiliki relevansi tertentu di banyak negara Asia. Infeksi HIV juga kini

mengalami pelonjakan pada beberapa negara Asia.13

(31)
(32)
(33)

2.3. Kerangka Konsep

Umur

Jenis kelamin

Riw. konsumsi alkohol

Status gizi kurang atau buruk

Riw. Penyakit hati sebelumnya

Konsumsi obat lain

Konsumsi rokok

Hepatitits imbas OAT

(34)

2.4. Definisi Operasional

Tabel 2.3.1 Definisi : perasional: Variabel, Pengukur, Alat Ukur, Cara Pengukuran, dan Skala Pengukuran.

(35)
(36)

24 

METODE PENELITIAN

3.1. Desain Penilitian

Penelitian ini dilakukan secara deskriptif kategorik secara cross sectional.

3.2. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari sampai bulan Maret 2013 di Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan Jakarta dan RSPG Cisarua.

3.3. Kriteria Inklusi dan Eksklusi

1. Kriteria inklusi

Kriteria inklusi adalah Pasien penderita TB yang diterapi OAT kategori 1 di Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan Jakarta dan RSPG Cisarua.

2. Kriteria eksklusi

• Pasien penderita TB yang diterapi OAT dan saat ini mengalami penyakit hati.

• Pasien TB paru yang mendapatkan terapi OAT kategori 2.

(37)

3.4. Besar Sampel

n = (Zα)2 x p x q

d2

n = (1,96)2 x 0,38x 0,62 = 90 orang 0,12

Keterangan:

n = besar sampel minimal

= standar variasi, untuk α = 0,05%, Zα bernilai 1,96

P = prevalensi (proporsi responden pada data sebelumnya) Q = 1-p

d = derajat ketepatan yang diinginkan, dlm hal ini 10%

3.5. Variabel penelitian

1. Variabel tergantung

Variabel tergantung pada penelitian ini adalah hepatitis imbas OAT. Hepatitis imbas OAT merupakan peradangan pada organ hati setelah

mendapatkan terapi OAT.

Penanda dini dari hepatitis imbas OAT adalah peningkatan enzim-enzim transaminase dalam serum yang terdiri dari aspartate amino transaminase (AST/GOT) yang diekskresikan secara paralel dengan

alanine amino transferase/glutamate pyruvate transaminase

(ALT/GPT) yang merupakan penanda lebih spesifik untuk mendeteksi adanya kerusakan hepar.

2. Variabel bebas

(38)

3.6. Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel di lakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan Jakarta dan RSPG Cisarua dengan cara melihat rekam medis pasien yang mengkonsumsi OAT kategori 1 sepanjang tahun 2012.

3.7. Pengolahan dan Penyajian Data

Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan program SPSS for Windows versi 16,0. Data disajikan dalam bentuk tekstular, grafikal, dan tabular. Lalu dilakukan analisis deskriptif

3.8. Cara Kerja Penelitian

3.8.1. Izin Pengambilan Data Sekunder penelitian

(39)

3.8.2. Alur Penelitian

Pengolahan Data Pasien TB yang diterapi

OAT Kriteria Inklusi

dan Kriteria

Eksklusi Sampel Penelitian

Pasien TB paru yang mendapat terapi OAT kategori 1 pada tahun 2012

Rekam Medik Pasien FKIK UIN

Izin Rumah Sakit

Pengambilan Data Bagian Rekam Medik

Prevalensi pasien yang mengalami hepatitis imbas OAT dan faktor

(40)

3.9. Etika penelitian

Sebelum dilakukan penelitian akan dimintakan terlebih dahulu rekomendasi dari program studi pendidikan dokter UINSH Jakarta. Kerahasiaan informasi pasien dalam rekam medik dijamin oleh peneliti dan hanya kelompok data tertentu saja yang akan dilaporkan sebagai hasil penelitian.

(41)

29  4.1. Hasil Penelitian

Penelitian ini dilakukan di RSUP Persahabatan Jakarta dan RS paru Dr

Goenawan Partowidigdo Cisarua sepanjang tahun 2012.Berdasarkan rumus besar

sampel yang digunakan dalam penelitian deskriptif kategorik, jumlah sampel

minimal yang harus dimiliki adalah 90 pasien tuberkulosis.Teknik pengambilan

sampel yang dilakukan peneliti adalah simple random sampling.

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui prevalensi dan dengan tujuan

khusus mencari faktor risiko kejadian hepatitis imbas OAT pada pasien

tuberkulosis di RSUP Persahabatan Jakarta dan RSPG Cisarua pada tahun 2012.

Adapun faktor risiko yang diteliti dalam penelitian ini adalah: umur, jenis

kelamin, riwayat konsumsi alkohol, status gizi, riwayat penyakit hati sebelumnya,

dan riwayat konsumsi obat lain.

4.1.1. Pola Distribusi Responden (Statistik Deskriptif)

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, distribusi usia responden

yang menjadi sampel penelitian, jenis kelamin, riwayat konsumsi alkohol, status

gizi, riwayat penyakit hati sebelumnya, riwayat konsumsi obat lain selama

(42)

Tabel 4.1. Pola Distribusi Reponden

Variabel Frekuensi (n) Persentase (%)

Umur

Riw. Konsumsi obat lain

(43)

 

  Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa distribusi responden berdasarkan usia adalah untuk kategori usia 15-60 tahun berjumlah 76 orang (84,4%), untuk usia

diatas 60 tahun berjumlah 14 orang (15,6%). Untuk jenis kelamin, responden

laki-laki berjumlah 66 orang (73,3%), perempuan berjumlah 24 orang (26,7%).

Sedangkan distribusi berdasarkan faktor risiko lainnya: riwayat konsumsi alkohol

25 orang (27,8%), status gizi kurang berjumlah 46 orang (51,1%), status gizi

buruk 23 orang (25,6%), sedangkan responden yang masih memiliki status gizi

baik berjumlah 21 orang (23,3%), konsumsi rokok 62 orang (68,9%), riwayat

penyakit hati sebelumnya 9 orang (10 %), riwayat konsumsi obat lain berumlah 7

orang (7,8%).

Berikut adalah gambaran histogram pola distribusi responden berdasarkan

jenis kelamin.

Gambar 4.1. Distribusi karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin

Drug-induced-hepatitis (DIH) merupakan suatu bentuk peradangan pada organ

hati diakibatkan oleh obat anti tuberkulosis. Di Indonesia disebut dengan istilah

66 

24 

0  10  20  30  40  50  60  70 

Jenis Kelamin 

(44)

hepatitis imbas OAT. Obat anti tuberkulosis (OAT) merupakan regimen yang

digunakan untuk mengobati penyakit tuberkulosis. Hepatitis imbas OAT sendiri

memiliki definisi beragam menurut beberapa penelitian, tetapi secara umum

definisi hepatitis imbas OAT adalah peningkatan kadar ALT 1,5 kali dari kadar

normal yang muncul setelah terapi, minimal 4 minggu. Prevalensi hepatitis imbas

OAT hampir berbeda tiap negara, tetapi negara berkembang cenderung lebih

menunjukkan prevalensi yang tinggi.17 Sebagai negara berkembang, Indonesia

menunjukkan prevalensi yang tinggi pada kejadian hepatitis imbas OAT.

Persentase prevalensi hepatitis imbas OAT di RSUP Persahabatan dan RSPG

Cisarua pada tahun 2012 dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 4.2. Prevalensi pasien TB paru yang nengalami hepatitis imbas OAT di RSUP Persahabatan Jakarta dan RSPG Cisarua pada tahun 2012.

Variabel Frekuensi (n) Persentase (%)

DIH

Tidak mengalami DIH

47

43

52,2%

47,8%

Tabel diatas merupakan akumulasi total prevalensi dari dua rumah sakit yakni

RSUP Persahabatan dan RSPG Cisarua. Untuk jumlah responden yang

mengalami hepatitis imbas OAT masing-masing rumah sakit didapatkan data

yaitu pada RSUP Persahabatan 14 pasien mengalami hepatitis imbas OAT dan 21

orang tidak mengalami hepatitis imbas OAT, sedangkan pada RSPG Cisarua

didapatkan data yaitu 33 responden mengalami hepatitis imbas OAT dan 22 orang

lainnya tidak mengalami hepatitis imbas OAT.

Hepatitis imbas OAT dibagi menjadi 4 stadium menurut derajat keparahannya.

Berikut merupakan gambaran distribusi karakterisitik responden berdasarkan

(45)

Gambar 4.2. Distribusi karakteristik responden berdasarkan klasifikasi DIH.

Diketahui bahwa jumlah responden yang tidak mengalami hepatitis imbas

OAT sebanyak 43 orang (47,8%). Sedangkan yang mengalami hepatitis imbas

OAT berjumlah 47 orang (52,2%). Berdasarkan stadium keparahan, responden

yang mengalami hepatitis imbas OAT derajat 1 sebanyak 36 orang (40%),

hepatitis imbas OAT derajat 2 sebanyak 9 orang (10%), hepatitis imbas OAT

derajat 3 sebanyak 2 orang (2,2%), dan tidak terdapat responden dengan hepatitis

imbas OAT derajat 4.

4.2. Hubungan Antara Usia Responden dengan Hepatitis Imbas OAT

Tabel 4.3. Distribusi data kejadian hepatitis imbas OAT berdasarkan usia

Klasifikasi_DIH

Total (n)

p-value

Non DIH

(n)

DIH 1

(n)

DIH 2

(n)

DIH 3

(n)

Usia 15-60 37 29 8 2 76 1,00

>60 6 7 1 0 14

Total 43 36 9 2 90

Setelah dilakukan uji statistik chi square, terdapat 3 sel yang memiliki

nilai expected count kurang dari 5 sehingga dilakukan uji alternatifnya yaitu uji

43 

36 

0  Klasi;ikasi DIH 

(46)

Kolmogorov-Smirnov. Hasil penelitian menunjukan bahwa proporsi responden

dengan usia 15-60 tahun sebanyak 37 orang (41%) yang tidak mengalami

hepatitis imbas OAT, sebanyak 29 orang (32%) mengalami hepatitis imbas OAT

derajat 1, sebanyak 8 orang (8,8) yang mengalami hepatitis imbas OAT derajat 2,

dan sebanyak 2 orang (2,2%) mengalami hepatitis imbas OATderajat 3.

Sedangkan responden dengan usia >60 tahun yang tidak mengalami hepatitis

imbas OAT sebanyak 6 orang (6,6%), sebanyak 7 orang (7,7%) mengalami

hepatitis imbas OAT derajat 1, 1 orang (1,1%) mengalami hepatitis imbas OAT

derajat 2.

Berdasarkan uji statistik didapatkan bahwa tidak terdapat hubungan yang

bermakna antara usia dengan kejadian hepatitis imbas OAT. Hasil uji statistik ini

sama dengan hasil uji statistik pada penelitian sebelumnya dimana tidak terdapat

hubungan yang bermakna antara usia dengan kejadian hepatitis imbas OAT.6Hal

ini berbeda dengan beberapa teori yang menyatakan usia memegang perananan

dalam hal hepatitis imbas OAT.20,21 Semakin tua umur pasien yang mendapat

terapi OAT, maka akan semakin rentan pula untuk terkena efek samping dari

OAT, termasuk hepatitis imbas OAT. Hepatitis imbas OAT pada pasien yang

lebih tua diakibatkan oleh penurunan fungsi organ hati sehingga fungsi fisiologis

pun akan semakin menurun.20,21 Ketika organ hati yang fungsinya sudah menurun

pada usia tua harus memetabolisme sejumlah obat anti tuberkulosis dalam jangka

waktu yang cukup lama, maka akan semakin rentanlah pasien menderita hepatitis

imbas OAT. Dari sini terlihat perbedaan antara teori dengan penelitian, hal ini

bisa disebabkan oleh variasi responden dimana responden usia produktif (15-60)

(47)

4.3. Hubungan Antara Jenis Kelamin Responden dengan Hepatitis Imbas OAT

Tabel 4.4. Distribusi data kejadian hepatitis imbas OAT berdasarkan jenis kelamin

Dari uji statistic yang dilakukan diketahui terdapat hubungan antara jenis

kelamin dengan hepatitis imbas OAT. Hasil penelitian menunjukan bahwa

proporsi responden yang tidak mengalami hepatitis imbas OATpada laki-laki

sebanyak 24 orang (26,6%), hepatitis imbas OAT derajat 1 sebanyak 34 orang

(37,7%), hepatitis imbas OAT derajat 2 sebanyak 8 orang (8,8%), dan tidak ada

pasien yang mengalami hepatitis imbas OAT derajat 3 dan 4. Sedangkan pada

perempuan yang tidak mengalami hepatitis imbas OAT sebanyak 19 orang

(21,1%), hepatitis imbas OAT derajat 1 sebanyak 2 orang (2,2%), hepatitis imbas

OAT derajat 3 sebanyak 2 orang (2,2%), dan tidak ada pasien yang mengalami

hepatitis imbas OAT derajat 4.

Berdasarkan uji statistik dan penelitian sebelumnya dikatakan jenis

kelamin memberikan pengaruh terhadap kejadian hepatitis imbas OAT.Pada

penelitian sebelumnya disebutkan bahwa perempuan cenderung lebih rentan

mengalami hepatitis imbas OAT.17 Hal ini dikarenakan biotransformasi pada

perempuan lebih lambat dibanding laki-laki.17 Alasan kedua adalah asetilator pada

(48)

obat. Fungsi asetilator adalah untuk proses detoksifikasi serta mengubah senyawa

obat menjadi metabolit tidak aktif, lebih bersifat polar agar selanjutnya mudah

untuk diekskresikan. Jika asetilator lambat maka akan menurunkan jumlah dan

aktivitas dari enzim N-Asetiltransferase menjadi sangat lambat sehingga

menyebabkan perubahan obat menjadi metabolit tidak aktif juga menjadi

lambat.17 Dari sini terlihat perbedaan antara teori dengan penelitian, pada

penelitian ini didapatkan laki-laki memiliki hubungan dengan kejadian hepatitis

imbas OAT. Hal ini dapat dipengaruhi oleh variasi responden dimana responden

laki-laki lebih banyak daripada responden perempuan.

4.4. Hubungan Antara Alkohol dengan Hepatitis Imbas OAT

Tabel 4.5. Distribusi data kejadian hepatitis imbas OAT berdasarkan riwayat konsumsi alkohol

Dari penelitian diketahui hubungan antara konsumsi alkohol dengan

hepatitis imbas OAT. Konsumsi alkohol diduga dapat mempengaruhi kejadian

hepatitis imbas OAT. Hasil penelitian menunjukan bahwa proporsi responden

yang mengalami hepatitis imbas OAT derajat 1 dengan kebiasaan konsumsi

(49)

kebiasaan konsumsi alkohol sebanyak 7 orang (7,7%), sedangkan pada yang tidak

konsumsi alkohol sebanyak 38 orang (42,2%) yang tidak mengalami hepatitis

imbas OAT, 23 orang (25,5%) mengalami hepatitis imbas OAT derajat 1, 2 orang

(2,2%) mengalami hepatitis imbas OAT derajat 2, dan 2 orang (2,2%) mengalami

hepatitis imbas OAT derajat 3.

Dari uji statistik yang dilakukan hasil yang didapat sesuai dengan

teori-teori yang dikemukakan oleh peneliti-peneliti sebelumnya, bahwa alkohol

merupakan suatu faktor risiko yang dapat menyebabkan terjadinya hepatitis imbas

OAT.6 Hal ini dikarenakan alkohol memiliki kandungan etanol.19 Proses

pemecahan etanol dapat menghasilkan bahan kimia yang bersifat toksik seperti

aseltadehid. Bahan toksik ini memicu peradangan yang menghancurkan sel-sel

hati. Beberapa waktu berikutnya jaringan hati yang sehat digantikan oleh jaringan

parut yang ditimbulkan akibat luka peradangan.19 Hal ini akan mengganggu

fungsi fisiologis hati, ditambah lagi hati harus memetabolisme OAT dalam jumlah

yang banyak dan kurun waktu yang lama.

Dalam agama Islam sendiri alkohol memang merupakan sesuatu yang

diharamkan untuk dikonsumsi. Sebagaimana firman Allah SWT pada surat

Al-Maidah ayat 90 :“Hai orang-orang beriman, sesungguhnya meminum khamar,

berjudi, berkorban untuk berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah

termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu

mendapat keberuntungan”. Sebagai dokter muslim penting untuk dilakukan

edukasi tanpa bersifat menggurui kepada pasien tentang dampak buruk alkohol

dan aturan islam yang memang mengharamkan alkohol karena memiliki

(50)

4.5. Hubungan Antara Riwayat Merokok dengan Hepatitis Imbas OAT

Tabel 4.6. Distribusi data kejadian hepatitis imbas OAT berdasarkan riwayat konsumsi rokok

Dari uji statistik yang dilakukan didapatkan hasil bahwa terdapat

hubungan antara konsumsi rokok dengan hepatitis imbas OAT. Hasil penelitian

menunjukan bahwa proporsi responden yang tidak mengalami hepatitis imbas

OAT dengan riwayat merokok sebanyak 22 orang (24,4%), sedangkan pada yang

tidak mempunyai riwayat merokok sebanyak 21 orang (23,3%). Pada hepatitis

imbas OAT derajat 1 sebanyak 32 orang (35,5%) mengkonsumsi rokok, dan 4

orang (4,4%) tidak mengkonsumsi rokok. Pada hepatitis imbas OAT derajat 2

terdapat 8 orang (8,8%) yang mengkonsumsi rokok, dan hanya 1 orang (1,1%)

yang tidak mengkonsumsi rokok. Pada hepatitis imbas OAT derajat 3 terdapat 2

orang (2,2%) yang tidak mengkonsumsi rokok.

Berdasarkan uji statistik yang dilakukan diperoleh hasil bahwa konsumsi

rokok dapat mempengaruhi hepatitis imbas OAT. Penelitian sebelumnya

dikatakan bahwa rokok tidak menjadi faktor risiko untuk terjadinya hepatitis

imbas OAT secara langsung, tetapi rokok dapat memperparah gangguan fungsi

hati jika dibarengi dengan pemberian alkohol.22 Pada teori dikemukakan bahwa

(51)

hepatic glutathione peroxidase yang berperan sebagai antioksidan dan

antitoksin.23 Rokok juga menurunkan aktivitas superoksida dismutase yang

merupakan salah satu enzim antioksidan yang dihasilkan oleh tubuh dan paling

banyak di hati.23 Efek negatif lain dari rokok adalah meningkatkan aktifitas lipid

peroksidase, ini merupakan suatu produk dari radikal bebas.23 Semua hal diatas

akan memudahkan hati mengalami peradangan dan infeksi.

Perbedaan pada penelitian ini dengan penelitian sebelumnya bisa

disebabkan oleh variasi responden yang mayoritas merupakan perokok aktif.

Dalam Islam sendiri merokok tidak dibenarkan karena banyak

menimbulkan efek negatif. Utamanya efek negatif terhadap kesehatan tubuh. Dan

sebaiknya seorang umat muslim tidak melakukan kegiatan sia-sia yang

membahayakan diri sendiri. Dalam surat Al-Baqarah:195 dikatakan “Janganlah

kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan”. Seperti yang telah

dilaporkan para ahli kesehatan dalam penelitian mereka bahwa rokok

menyebabkan banyak penyakit berbahaya seperti kanker, penyakit paru obstruktif

kronik (PPOK).

4.6. Hubungan Antara Riwayat Penyakit Hati Sebelumnya dengan Hepatitis Imbas OAT

(52)

Setelah dilakukan uji statistik chi square, terdapat 3 sel yang memiliki

nilai expected count kurang dari 5 sehingga dilakukan uji alternatifnya yaitu uji

Kolmogorov-Smirnov.

Hasil penelitian menunjukan bahwa proporsi responden yang memiliki

riwayat penyakit hati sebelumnya dan tidak mengalami hepatitis imbas OAT

sebanyak 2 orang (2,2%), hepatitis imbas OAT derajat 1 sebanyak 3 orang

(3,3%), hepatitis imbas OAT derajat 2 sebanyak 4 orang (4,4%). Sedangkan

pasien yang sebelumnya tidak memiliki riwayat penyakit hati dan tidak

mengalami hepatitis imbas OAT berjumlah 41 orang(45,5%), hepatitis imbas

OAT derajat 1 berjumlah 33 orang (36,6%), hepatitis imbas OAT derajat 2

berjumlah 4 orang (4,4%), dan hepatitis imbas OAT derajat 3 berjumlah 2 orang

(2,2%).

Berdasarkan uji statistik tidak terdapat hubungan antara riwayat penyakit

hati sebelumnya dengan angka kejadian hepatitis imbas OAT, berbeda dengan

teori dan penelitian sebelumnya yang menyebutkan bahwa riwayat penyakit hati

sebelumnya memiliki hubungan dengan kejadian hepatitis imbas OAT. Menurut

teori dan penelitian sebelumnya pasien yang memiliki riwayat penyakit hati

sebelumnya lebih rentan mengalami hepatitis imbas OAT dikarenakan

pasien-pasien yang memiliki penyakit hati sebelumnya cenderung memiliki jaringan ikat

fibrosis, yang merupakan bagian akhir dari proses penyembuhan ketika terjadi

penyakit hati seperti hepatitis sebelumnya.6,17,19 Adanya jaringan ikat pada organ

hati tentu akan mengganggu fungsi fisiologisnya. Apalagi ketika hati yang sudah

tidak memiliki struktur dan fungsi yang normal harus memetabolisme sejumlah

OAT dalam kurun waktu yang lama. Ini akan mengakibatkan hati lebih rentan

mengalami peradangan akibat OAT. Dari sini terlihat perbedaan antara teori

dengan penelitian, hal ini bisa disebabkan oleh variasi responden dimana

responden yang memiliki riwayat penyakit hati sebelumnya hanya sedikit

(53)

4.7. Hubungan Antara Status Gizi Terhadap Hepatitis Imbas OAT

Tabel 4.8. Distribusi data kejadian hepatitis imbas OAT berdasarkan status gizi

Klasifikasi_DIH

Hasil penelitian menunjukan bahwa proporsi responden yang mengalami

DIH kelas 1 dengan status gizi kurang sebanyak 22 orang (24,4%) dan sebanyak 3

orang (3,3%) yang mengalami DIH kelas 2 pada responden yang memiliki status

gizi kurang. Responden yang memiliki status gizi buruk sebanyak 12 orang

(13,3%) yang mengalami DIH kelas 1, dan sebanyak 6 orang (6,6%) yang

mengalami DIH kelas 2 sedangkan responden yang memiliki status gizi baik yang

mengalami DIH kelas 1 sebanyak 3 orang (3,3%).

Berdasarkan uji statistik dan penelitian sebelumnya didapatkan bahwa

status gizi memberikan pengaruh pada kejadian hepatitis imbas OAT. Status gizi

yang kurang bahkan buruk akan lebih rentan terkena hepatitis imbas OAT. Hal ini

dikarenakan pasien yang memiliki IMT rendah, <20 memiliki cadangan glutation

yang sangat rendah.17 Glutation adalahprotein yang secara alami diproduksi oleh

tubuh yang berperan penting dalam sistem kekebalan tubuh dan juga regenerasi

sel.18 Glutation berperan sebagai antioksidan dan antitoksin.18 Tanpa adanya

(54)

oksidatif.18 Pada pasien yang mengalami malnutrisi juga disebutkan bahwa proses

metabolisme obat akan menjadi lebih lambat dibandingkan dengan pasien yang

status gizinya baik.17

Mengetahui bahaya yang ditimbulkan dari status gizi yang kurang bahkan

buruk, maka disini dapat dilihat pentingnya makanan sebagai sumber asupan

nutrisi bagi tubuh. Dalam islam pun diajarkan bagaimana pola makan yang baik.

Dalam surat Al-Baqarah 168 dikatakan “Hai sekalian manusia makan-makanlah

yang halal lagi baik daripada yang terdapat di bumi dan jangan kamu mengikuti

langkah-langkah syaitan, karena syaitan musuh yang nyata bagimu”. Dari ayat

ini dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam mengkonsumsi makanan haruslah yang

halal dan baik. Hal ini juga tentunya akan memberikan manfaat dari segi

kesehatan.

4.8. Hubungan Antara Konsumsi Obat Lain dengan Hepatitis Imbas OAT

Tabel 4.9. Distribusi data kejadian hepatitis imbas OAT berdasarkan riwayat konsumsi obat lain

Klasifikasi_DIH

Total

(n)

p-value

Non

DIH (n)

DIH 1

(n)

DIH 2

(n)

DIH 3

(n)

Konsumsi obat lain Ya 1 5 1 0 7 0,362

Tidak 42 31 8 2 83

Total 43 36 9 2 90

Setelah dilakukan uji statistik chi square, terdapat 3 sel yang memiliki

nilai expected count kurang dari 5 sehingga dilakukan uji alternatifnya yaitu uji

(55)

Data yang didapat pada penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian

sebelumnya. Pada penelitian sebelumnya dikatakan bahwa konsumsi obat–obatan

lain ketika sedang sakit tuberkulosis meningkatkan risiko terjadinya hepatitis

imbas OAT. Hal ini dikarenakan kebanyakan obat dimetabolisme dihati,

sedangkan obat anti tuberkulosis itu sendiri dimetabolisme dihati.19 Hal ini akan

menambah beban kerja dari organ hati karena harus memetabolisme berbagai

macam obat dan dalam kurun waktu yang lama. Jika hal ini terus berlangsung

akan menyebabkan hati lebih rentan untuk mengalami peradangan, sehingga

menyebabkan hepatitis imbas OAT. Tetapi yang perlu dicatat disini adalah tidak

semua obat menimbulkan efek toksik pada hati, hal ini tergantung dari jenis obat

dan dosis obat. Dari sini terlihat perbedaan antara teori dengan penelitian, hal ini

bisa disebabkan oleh variasi responden dimana responden yang mengkonsumsi

obat lain hanya sedikit jumlahnya, yakni 7 dari 90 responden.

(56)

44  5.1 Kesimpulan

1. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di RSUP Persahabatan dan RSPG

Cisarua tahun 2013 diperoleh hasil bahwa prevalensi hepatitis imbas OAT

adalah sebanyak 47 orang (52,2%). Berdasarkan stadiumnya responden

yang mengalami hepatitis imbas OAT derajat 1 sebanyak 36 orang (40%),

hepatitis imbas OAT derajat 2 sebanyak 9 orang (10%), hepatitis imbas

OAT derajat 3 sebanyak 2 orang (2,2%), dan tidak terdapat responden

dengan hepatitis imbas OAT derajat 4.

2. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara usia responden dengan

prevalensi hepatitis imbas OAT di RSUP Persahabatan dan RSPG Cisarua

tahun 2012.

3. Terdapat hubungan yang bermakna antara jenis kelamin responden dengan

prevalensi hepatitis imbas OAT di RSUP Persahabatan dan RSPG Cisarua

tahun 2012. ( p value 0,003).

4. Terdapat hubungan yang bermakna antara konsumsi alkohol dengan

prevalensi hepatitis imbas OAT di RSUP Persahabatan dan RSPG Cisarua

tahun 2012. ( p value 0,01).

5. Terdapat hubungan yang bermakna antara konsumsi rokok dengan

kejadian hepatitis imbas OAT (p-value 0,005).

6. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara riwayat penyakit hati

sebelumnya dengan prevalensi hepatitis imbas OAT di RS Persahabatan

dan RSPG Cisarua tahun 2012.

7. Terdapat hubungan yang bermakna antara status gizi dengan kejadian

hepatitis imbas OAT di RSUP Persahabatan dan RSPG Cisarua tahun

2012 (p value 0,000).

8. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara konsumsi obat lain dengan

prevalensi hepatitis imbas OAT di RS persahabatan dan RSPG Cisarua

(57)

5.2 Saran

• Pasien yang akan mendapat terapi OAT harus ditanyakan terlebih dahulu apakah memiliki faktor risiko hepatitis Imbas OAT.

• Dokter harus lebih waspada ketika meresepkan OAT

(58)

46

1. Brazilian Thoracic Association. Guidelines on Tuberculosis. J, Bras.

Pneumol. Vol. 35 no. 10. São Paulo Oct. 2009

2. WHO Report. Global tuberculosis control: Epidemiology, strategy,

financing. 411:1-301. Geneva. 2009.

3. Departemen Kesehatan Republik Indonesia., Pedoman Nasional

Pengendalian Tuberkulosis . 2011.

4. Direktorat Jenderal PPM & PLP, Departemen Kesehatan: Gerakan

Terpadu Nasional Penanggulangan Tuberkulosis: Jakarta; 1999.

5. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis

dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru

Indonesia; 2006.

6. Hussain Z, Kar P, HussainSA, Antituberculosis Drug-Induced Hepatitis:

Risk Factors, Prevention, And Management. Indian J Exp Biol. 2003

7. Jasmer, R.M, Saukkonen J.J, Blumberg H.M. Short-Course Rifampicyn

and Pyrazinamide Company Latent Tuberculosis Infection: A Multicenter

Clinical Trial. Annals. of. Int Med, 137: 640-7. 2002.

8. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman Nasional Penanggulangan

Tuberkulosis Ed.2. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. 2006.

9. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.

Ed. 4. Jilid II. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam

FKUI, 2006.

10.Katzung, Bertram G. Basic & clinical pharmacology 10 th ed. McGraw

Hill Lange ebook. San francisco.2006.

11.Kishore P.V, Palaian, Paudel R, Mishra P, Shankar, Prabhu. Drug Induced

Hepatitis With Anti-Tubercular Chemotherapy: Challenges and

Difficulties in treatment: Kathmandu University Medical Journal, Vol. 5,

No. 2, Issue 18, 256-260 ; 2007.

12.Ramdhani Meivina P, Alwinsyah, Keliat E, Zuhriat. Pengenalan Kembali

Obat Anti Tuberkulosa Pada Penderita Hepatitis Imbas Obat Akibat Obat

(59)

13.O.A Marzuki, A.R Fauzi, Ayoub S, Kamarul Imran M. Prevalences and Risk Factors Of Anti-Tuberculosis Drug-Induced Hepatitis in Malaysia: Department of Medicine, School of Medical Sciences, UniversitiSains Malaysia Health Campus, KubangKerian 16150, Malaysia ; 2008.

14.J. Jussi, Saulkonen, L. David. American thoracic society document; Hepatotoxicity Of Anti-Tuberculosis Therapy. 2006.

15.Wing wai yew, Leung chi-chiu. Antituberculosis Drugs and

Hepatotoxicity; Grantam Hospital, China ; 2007.

16.Van Crevel R, Alisjahbana B, de lange, Low Plasma Concentrations Of

Rifampicin In Tuberculosis Patients In Indonesia. 2002.

17.Shakya Rajani, Rao B.S, Shrestha Bhawna. Evaluation of risk factors for

antituberculosis drugs-induced hepatotoxicity in Nepalese population.

Kathmandu University Journal Of Science, Engineering and Technology

Vol.II, No.1, February, 2006.

18.Kerksick Chad, Darryn Willoughby. The Antioxidant Role of Glutathione

amd N-Acetylcysteine supplements and Exercises-Induced Oxidative

Stress; Journal of the International Society of Sports Nutrition, 2005.

19.Butura Angelica. Drug and Alcohol Induced Hepatotoxicity. Karolinka

Institutet, Stokholm. 2008.

20.JG Stine, P.Sateesh, J.H Lewis. Drug Induced Liver Injury In The Elderly.

Division of Gastroenterology, Hepatology Section, Department of Internal

Medicine, Georgetown University Hospital, Washington, DC 20007,

USA. 2013.

21.Alimahassenali, Tefera Belachew, Almeshet Yami. Anti-Tuberculosis

Drug Induced Hepatotoxicity among TB/HIV Co-Infected Patients at

Jimma University Hospital. Ethiopia Nested Case-Control Study. 2013.

22.Wannamethesee SG, Shaper SG, Cigarettesmoking and serum liver

enzymes: the role of alcohol and inflammation. Department of Primary

Care and Population Health. London. 2010.

23.Kumar Pramod Avti, Kumar Surender, Mohanpathak Chander, Kim

Vaipei. Smokeless tobacco impairs the antioxidant devense in liver, lung,

(60)

24.Jaime R dkk. Antituberculosis Drug-Indeuced Hepatotoxicity The Role of

Hepatitis C Virus and The Human Immunodeficiency Virus. American

Journal Of Respiratory and Critical Care Medicine VOL 157. The

University of Miami School of Medicine, Division of Pulmonary Diseases

and Critical Care Medicine, Division of Gastroenterology, Department of

Internal Medicine. 1998

(61)

Lampiran 1

Sebaran karakteristik responden

Frekuensi Usia Pada Responden

 

Frekuensi Jenis Kelamin Pada Responden

Jeniskelamin

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Valid Laki-laki 66 73.3 73.3 73.3

Perempuan 24 26.7 26.7 100.0

Total 90 100.0 100.0

Usia

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Valid 15-60 76 84.4 84.4 84.4

>60 14 15.6 15.6 100.0

(62)

 

Frekuensi Responden Yang Mengkonsumsi Alkohol

Riwayat_konsumsi_alkohol

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Valid Ya 25 27.8 27.8 27.8

Tidak 65 72.2 72.2 100.0

(63)

 

 

Frekuensi Responden Berdasarkan Status Gizi

Status_Gizi

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Valid Baik 21 23.3 23.3 23.3

Kurang 46 51.1 51.1 74.4

buruk 23 25.6 25.6 100.0

(64)

Frekuensi Responden Berdasarkan Riwayat Penyakit Hati Sebelumnya

Riwayat_Penyakit_Hati_Sebelumnya

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Valid Ya 9 10.0 10.0 10.0

Tidak 81 90.0 90.0 100.0

(65)

 

Frekuensi Responden Berdasarkan Riwayat Konsumsi Rokok

Riwayat_Merokok

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Valid Ya 62 68.9 68.9 68.9

Tidak 28 31.1 31.1 100.0

Total 90 100.0 100.0

 

Frekuensi Responden Berdasarkan Riwayat Konsumsi Obat Lain

Konsumsi_Obat_Lain

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Valid Ya 7 7.8 7.8 7.8

Tidak 83 92.2 92.2 100.0

(66)

 

(67)

Lampiran 2

Hubungan DIH dengan variabel bebas

Hubungan Hepatitis Imbas OAT denganUsia

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

usia *

Kadar_SGPT_Sesudah_Kon

sumsi_OAT

90 100.0% 0 .0% 90 100.0%

 

usia * Kadar_SGPT_Sesudah_Konsumsi_OATCrosstabulation

Kadar_SGPT_Sesudah_Konsumsi_OAT

Total

<51 51-125 126-250 251-500

usia 15-60 Count 37 29 8 2 76

Expected Count 36.3 30.4 7.6 1.7 76.0

>60 Count 6 7 1 0 14

Expected Count 6.7 5.6 1.4 .3 14.0

Total Count 43 36 9 2 90

Expected Count 43.0 36.0 9.0 2.0 90.0

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig.

(2-sided)

Pearson Chi-Square 1.002a 3 .801

Likelihood Ratio 1.300 3 .729

Linear-by-Linear Association .017 1 .897

(68)

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig.

(2-sided)

Pearson Chi-Square 1.002a 3 .801

Likelihood Ratio 1.300 3 .729

Linear-by-Linear Association .017 1 .897

a. 3 cells (37.5%) have expected count less than 5. The minimum

expected count is .31.  

Two-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

Frequencies

usia N

Kadar_SGPT_Sesudah_Kon

sumsi_OAT

15-60 76

>60 14

Total 90

Test Statisticsa

Kadar_SGPT_S

esudah_Konsum

si_OAT

Most Extreme Differences Absolute .060

Positive .058

Negative -.060

Kolmogorov-Smirnov Z .207

Asymp. Sig. (2-tailed) 1.000

(69)

Hubungan Hepatitis Imbas OAT dengan Jenis Kelamin

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

jeniskelamin *

Kadar_SGPT_Sesudah_K

onsumsi_OAT

90 100.0% 0 .0% 90 100.0%

jeniskelamin * Kadar_SGPT_Sesudah_Konsumsi_OATCrosstabulation

Kadar_SGPT_Sesudah_Konsumsi_OAT

Total

<51 51-125 126-250 251-500

jeniskelamin Laki-laki Count 24 34 8 0 66

Expected

Count 31.5 26.4 6.6 1.5 66.0

Perempuan Count 19 2 1 2 24

Expected

Count 11.5 9.6 2.4 .5 24.0

Total Count 43 36 9 2 90

Expected

Count 43.0 36.0 9.0 2.0 90.0

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig.

(2-sided)

Pearson Chi-Square 21.567a 3 .000

Likelihood Ratio 23.630 3 .000

Linear-by-Linear Association 3.641 1 .056

Gambar

Gambar 2.1: Alur diagnosis TB ......................................................................
Gambar 2.1 Skema Alur Diagnosis TB paru pada orang dewasa
Gambar 2.2 Rumus kimia isoniazid
Gambar 2.3 Rumus kimia etambutol
+7

Referensi

Dokumen terkait

Simpulan penelitian pengembangan ini adalah (1) Dihasilkan modul pembelajaran fisika dengan strategi inkuiri terbimbing pada materi fluida statis yang tervalidasi; (2)

skor penilaian yang diperoleh dengan menggunakan tafsiran Suyanto dan Sartinem (2009: 227). Pengkonversian skor menjadi pernyataan penilaian ini da- pat dilihat

KONTRIBUSI POWER TUNGKAI DAN KESEIMBANGAN DINAMIS TERHADAP HASIL DRIBBLE-SHOOT DALAM PERMAINAN FUTSAL.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

bahwa dalam rangka peningkatan pelayanan pemeriksaan kesehatan hewan, pembinaan dan pengawasan serta untuk menyesuaikan kondisi perekonomian saat ini, maka Peraturan

Pembelajaran Matematika dengan Model CORE melalui Pendekatan Keterampilan Metakognitif untuk Meningkatkan Kemampuan Penalaran Matematis Siswa Sekolah Menengah Pertama

Tidak ada pengatasnamaan atau jaminan, baik secara langsung maupun tidak langsung dari BNI SEKURITAS atau pun pihak-pihak lain dari Grup BNI, termasuk pihak-pihak lain

keamanan, persepsi kemudahan penggunaan, kualitas layanan, kepercayaan pelanggan, pelanggan internet banking signifikan terhadap adopsi internet banking sedangkan umpan