RISIKO YANG BERHUBUNGAN DI RSUP
PERSAHABATAN JAKARTA DAN RSPG CISARUA PADA
TAHUN 2012
Laporan Penelitian ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk
Memperoleh gelar SARJANA KEDOKTERAN
OLEH :
Nurazminah Alwi
NIM: 1110103000004
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UINSYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
v Assalamualaikum wr.wb.
Puji serta syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas segala rahmat dan karunia-Nya saya dapat menyelesaikan penelitian ini. Shalawat serta salam semoga tetap tercurah limpahkan pada Nabi besar Muhammad SAW, beserta keluarganya, sahabatnya, serta umatnya.
Akan sangat sulit bagi saya untuk dapat menyelesaikan penelitian ini jika tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, saya mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1. Prof. DR. (hc) dr. M.K. Tadjudin, Sp. And selaku Dekan FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang selalu membimbing dan memberikan kesempatan kepada saya untuk menempuh pendidikan di Program Studi Pendidikan Dokter FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. dr. Witri Ardini, M.Gizi, SpGK selaku Ketua Program Studi Program Studi Pendidikan Dokter FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, serta seluruh dosen di prodi ini yang selalu membimbing serta memberikan ilmu kepada saya selama menjalani masa pendidikan di Program Studi Pendidikan Dokter FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. dr. Mukhtar Ikhsan, Sp.P(K), MARS dan Zeti Harryati,SSi M.Biomed selaku dosen pembimbing penelitian saya, yang selalu membimbing dan mengarahkan dalam berjalannya penelitian ini.
4. Kedua orang tua tercinta, H.Saemu Alwi, SE, MS dan Hj.Nurlian Arfa, S.ag, MA, yang selalu memberikan cinta dan kasih sayangnya, memberikan doa, nasihat, serta semangat sepanjang hidup saya. Juga pada kedua adik saya, Muhammad Azharan Alwi dan Muhammad Azdahar Alwi yang senantiasa memberikan dorongan dan motivasi
vi
dan memotivasi saya dalam menyelesaikan penelitian ini.
7. Seluruh mahasiswa PSPD 2010 dan semua teman, sahabat saya yang sudah saling mengingatkan, membantu, dan menyemangati satu sama lain. 8. Untuk kakak kelas PSPD 2009, Wildan Acalipha Wilkensia yang selalu
memberikan doa, membantu, dan menyemangati saya dalam menyelesaikan skripsi ini.
9. Untuk segenap staf rekam medik RSUP persahabatan Jakarta dan RSPG Cisarua yang telah banyak membantu dalam pengambilan data.
Saya menyadari laporan penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan. Kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sangat saya harapkan demi kesempurnaan laporan penelitian ini.
Demikian laporan penelitian ini saya tulis, semoga dapat memberikan manfaat bagi penulis khususnya dan para pembaca pada umumnya.
Ciputat, 13 September 2013
vii
Nurazminah Alwi. 2013. Prevalensi pasien TB paru yang mengalami hepatitis imbas OAT dan faktor risiko yang berhubungan di RSUP Persahabatan Jakarta dan RSPG Cisarua pada tahun 2012. Program Studi Pendidikan Dokter Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Obat anti tuberkulosis merupakan regimen yang diberikan dalam penatalaksanaan penyakit tuberkulosis. Obat anti tuberkulosis memiliki efek samping gangguan fungsi hati yang dapat dilihat secara klinis maupun melalui hasil tes fungsi hati dengan melihat nilai enzim-enzim transaminase dalam serum yang terdiri dari aspartate amino transaminase (AST/GOT) yang diekskresikan secara paralel dengan alanine amino transferase/glutamate pyruvate transaminase (ALT/GPT) yang merupakan penanda lebih spesifik untuk mendeteksi adanya kerusakan hepar. Banyak faktor yang mempengaruhi kejadian hepatitis imbas OAT, yaitu usia, jenis kelamin, status gizi, riwayat konsumsi alkohol, riwayat penyakit hati sebelumnya, dan lain-lain. Penelitian ini dilakukanuntuk mengetahui prevalensi pasien tuberkulosis yang mengalami hepatitis imbas OAT dan faktor apa saja yang mempengaruhi pada tahun 2012. Hasil penelitian menunjukkan prevalensi hepatitis imbas OAT tahun 2012 adalah 52,2 %. Faktor risiko yang bermakna (p value <0,05) adalah jenis kelamin, status gizi, riwayat konsumsi alkohol, dan konsumsi rokok. Sedangkan faktor risiko lain seperti usia,riwayat penyakit hati sebelumnya, dan konsumsi obat lain tidak bermakna. Dapat disimpulkan bahwa prevalensi hepatitis imbas OAT tinggi di Indonesia dan ini berhubungan dengan faktor risiko seperti jenis kelamin, status gizi, alkohol, dan rokok.
Kata kunci: Tuberkulosis, Hepatitis imbas OAT, faktor risiko, OAT, Tes fungsi hati
ABSTRACT
Nurazminah Alwi. 2013. Prevalence of pulmonary tuberculosis patients who have OAT-induced hepatitis and its risk factors in RSUP Persahabatan Jakarta and Cisarua RSPG on 2012. Medical Education Program State Islamic University Syarif Hidayatullah Jakarta.
Anti-tuberculosis drug regimen is given in the management of tuberculosis. Antituberculosis drugs have side effects liver dysfunction that can be seen clinically as well as through the results of liver function tests to see the value of transaminase enzymes in serum consisting of aspartate amino transaminase (AST / GOT), which is excreted in parallel with alanine amino transferase / glutamate pyruvate transaminase (ALT / GPT) which is a more specific marker to detect the presence of liver damage. Many factors affect the incidence of hepatitis, such as age, sex, nutritional status, alcohol, previous history of liver disease, and etc. This study was conducted to determine the prevalence of tuberculosis patients who have OAT induced hepatitis and the factors that influence in 2012. Results showed the prevalence of OAT-induced hepatitis in 2012 was 52.2%. Significant risk factor (p value <0.05) were gender, nutritional status, history of alcohol consumption, and cigarette consumption. While other risk factors such as age, previous history of liver disease, and other drug consumption is not significant. It can be concluded that the high prevalence of OAT induced hepatitis in Indonesia it is influenced by gender, nutritional status, alcohol, and cigarettes.
viii
1.1 Latar belakang ... 1.2 Rumusan masalah ... 1.3 Tujuan penelitian ... 1.3.1 Tujuan umum ... 1.3.2 Tujuan khusus ... 1.4 Manfaat penelitian ...
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan teori ... 2.1.1 Tuberkulosis ... 2.1.2 Pengobatan tuberkulosis ...
2.1.2.1 Isoniazid ... 2.1.2.2 Rifampisin ... 2.1.2.3 Etambutuol ... 2.1.2.4 Pirazinamid ... 1.1.2.5 Streptomisin ... 2.1.3 Definisi hepatitis imbas OAT ... 2.1.4 Epidemiologi hepatitis imbas OAT ... 2.1.5 Patofisiologi ... 2.1.6 Gejala klinis ... 2.1.7 Faktor risiko ... 2.2 Kerangka teori ... 2.3 Kerangka konsep ... 2.4 Definisi operasional ...
BAB 3 METODE PENELITIAN
1.1 Desain penelitian ... 1.2 Waktu dan tempat penelitian ...
ix
1.6 Pengambilan sampel ... 1.7 Pengolahan dan penyajian data ... 1.8 Cara kerja penelitian ... 1.8.1 Izin pengambilan data sekunder ... 1.8.2 Alur penelitian ... 3.10 Etika penelitian ...
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil penelitian ...
BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN
x
Tabel 2.1: Tingkat kemampuan OAT menimbulkan DIH ... Tabel 2.2: Derajat hepatitis imbas OAT ... Tabel 2.3: Insidensi dan faktor risiko ... Tabel 4.1: Pola distribusi responden ... Tabel 4.2: Prevalensi hepatitis imbas OAT ... Tabel 4.3: Distribusi data kejadian hepatitis imbas OAT berdasarkan usia…..
Tabel 4.4: Distribusi data kejadian hepatitis imbas OAT berdasarkan jenis
kelamin………..
Tabel 4.5: Distribusi data kejadian hepatitis imbas OAT berdasarkan riwayat
konsumsi alkohol………
Tabel 4.6: Distribusi data kejadian hepatitis imbas OAT berdasarkan riwayat
konsumsi rokok……….
Tabel 4.7: Distribusi data kejadian hepatitis imbas OAT berdasarkan riwayat
penyakit hati sebelumnya………..
Tabel 4.8:Distribusi data kejadian hepatitis imbas OAT berdasarkan status
gizi……….
Tabel 4.9 Distribusi data kejadian hepatitis imbas OAT berdasarkan riwayat
konsumsi obat lain……….
10 11 26 28 30 30
31
33
34
35
xi
Gambar 2.1: Alur diagnosis TB ... Gambar 2.2: Rumus kimia isoniazid ... Gambar 2.3: Rumus kimia etambutol ... Gambar 2.4: Rumus kimia pirazinamid ... Gambar 4.1: Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin ... Gambar 4.2: Distribusi responden berdasarkan derajat DIH ...
xii
Lampiran 1: Sebaran karakteristik responden ... Lampiran 2: Hubungan DIH dengan variabel bebas ... Lampiran 3: Riwayat hidup peneliti ...
1
1.1. Latar Belakang Masalah
Penyakit tuberkulosis masih merupakan masalah kesehatan dunia. Tuberkulosis masih merupakan penyakit menular yang paling sering menyebabkan morbiditas dan mortalitas. Indonesia merupakan negara dengan penderita terbanyak ke-5 didunia setelah India, Cina, Afrika Selatan, dan Nigeria.1,2
Merujuk pada angka kejadian yang tinggi, Indonesia bekerjasama dengan World Health Organization (WHO) menggalang strategi penanggulangan TB di Indonesia yang kemudian disebut strategi Directly Observed Treatment Short Course (DOTS).4 Salah satu programnya adalah melaksanakan pengobatan tuberculosis dengan Obat Anti Tuberkulosis (OAT).
Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi dua fase, yakni fase intensif (2-3 bulan) dan fase lanjutan (4 atau 7 bulan).5 Obat lini pertama yang digunakan adalah isoniazid, rifampisin, pirazinamid, streptomisin, dan etambutol.5 Obat lini pertama inilah yang paling sering digunakan dan menimbulkan beragam efek samping.
Waktu pemakaian yang lama tentu saja dapat menimbulkan efek samping seperti reaksi kulit, gangguan gastrointestinal, gangguan neurologis.6 Efek samping yang hampir dimiliki oleh semua jenis OAT lini pertama adalah hepatitis. Efek ini pula lah yang dapat berdampak paling serius. Hepatitis imbas OAT adalah peradangan pada organ hati yang diakibatkan oleh reaksi obat anti tuberkulosis. Pada penelitian yang dilakukan di berbagai Negara, angka kejadian hepatitis imbas OAT menunjukkan jumlah yang beragam. Contohnya pada penelitian yang dilakukan di Nepal prevalensi hepatitis imbas OAT mencapai 38%, di Iran prevalensi hepatitis imbas OAT mencapai 27%.
lain yang mempengaruhi adalah faktor risiko yang dimiliki oleh para pasien sendiri. Menurut beberapa penelitian, faktor risiko yang menyebabkan hepatitis imbas OAT diantaranya adalah umur, jenis kelamin, status gizi, riwayat penyakit hati sebelumnya, memiliki penyakit infeksi lain seperti HIV, konsumsi alkohol, karier hepatitis B atau hepatitis C, pemakaian obat yang tidak sesuai aturan dan status asetilatornya.7
Penelitian tentang angka kejadian hepatitis imbas OAT beserta faktor-faktor yang berhubungan masih sedikit jumlahnya di Indonesia dan sudah cukup lama tidak dilakukan lagi sehingga data yang didapat juga kurang. Melihat hal ini maka penelitian mengenai jumlah pasien tuberkulosis paru yang mengalami hepatitis imbas OAT dan faktor-faktor yang berhubungan perlu utnuk dilakukan lagi. Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan Jakarta dan RSPG Cisarua yang keduanya merupakan rumah sakit rujukan nasional dalam penanganan TB paru di Indonesia. Sehingga diharapkan data yang didapat akan lebih beragam dan valid.
Diharapkan dengan diketahuinya angka kejadian pada hepatitis imbas OAT dan faktor yang berhubungan, para tenaga medis, khususnya dokter umum dan dokter paru yang menangani kasus-kasus pasien TB menjadi lebih waspada dan gencar dalam melakukan edukasi terhadap pasien, terlebih pasien-pasien TB paru yang memiliki faktor risiko untuk mengalami gangguan fungsi hati dan dapat pula menjadi pertimbangan dan antisipasi dalam pemberian OAT. Jika faktor risiko diketahui lebih dahulu diharapkan biaya pengobatan pun dapat diminimalisir. Bagi pasien TB paru sendiri, khususnya yang memiliki faktor risiko tertentu untuk mengalami hepatitis imbas OAT diharapkan menjadi lebih waspada dan sedapat mungkin menghindari faktor-faktor pencetus.
1.2.RumusanMasalah
Dari uraian diatas dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:
1.2.2. Faktor-faktor risiko apa saja yang berhubungan dengan hepatitis imbas OAT?
1.3.Tujuan penelitian 1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui angka kejadian hepatitis imbas OAT pada penderita TB setelah mendapatkan terapi OAT
1.3.2. Tujuan Khusus
Mengetahui faktor-faktor risiko apa sajakah yang mempengaruhi terjadinya hepatitis imbas OAT dan bagaimanakah hubungannya
1.4. Manfaat penelitian 1.4.1. Bagi Peneliti
• Mengetahui prevalensi hepatitis imbas OAT di RSUP Persahabatan dan RSPG Cisarua.
• Mengetahui faktor risiko hepatitis imbas OAT. • Menambah wawasan mengenai hepatitis imbas OAT.
• Sebagai salah satu persyaratan mendapat gelar sarjana kedokteran. • Mengimplementasikan ilmu metodologi penelitian yang telah
didapat selama perkuliahan di PSPD FKIK UIN Jakarta.
1.4.2. Bagi Institusi dan Keilmuan
• Merupakan implementasi Tri Dharma Perguruan Tinggi pada bidang penelitian
1.4.3. Bagi Masyarakat
• Mengetahui tentang hepatitis imbas OAT.
• Mengetahui faktor risiko terjadinya hepatitis imbas OAT.
5
2.1. Landasan Teori 2.1.1. Tuberkulosis
Tuberkulosis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium Tuberculosis.5,8 Bakteri ini berbentuk batang, tidak berspora, dan tidak berkapsul dengan dinding yang sangat kompleks yang membuat bakteri ini tahan asam pada pemeriksaan atau biasa disebut Basil
Tahan Asam (BTA)5. Umumnya M. Tuberculosis menyerang paru, tetapi
pada sepertiga kasus menyerang organ lain seperti kelenjar limfe, tulang, meningens, dll yang biasa disebut TB ekstra paru.5
Tuberkulosis merupakan penyakit dengan angka kejadian yang sangat tinggi, hampir sepertiga penduduk dunia terkena TB.8 Setiap tahunnya, 1000 dari 100.000 penduduk terinfeksi TB dan 10% diantaranya akan menjadi sakit TB.8 Angka insidensi yang begitu tinggi tersebut berbanding lurus dengan angka kematian. Angka kematian akibat TB diperkirakan setiap harinya 8000 setiap harinya.5,8 Karena data
tersebut, WHO menjadikan TB sebagai ‘Global Emergency’ dengan
strategi DOTS (Directly observed Treatment Short-course) sebagai
penanggulangannya.5,8
Diagnosis TB ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan bakteriologi, pemeriksaan radiologi, dan pemeriksaan
penunjang lainnya.5,8 Gejala klinis yang dapat timbul dibagi menjadi dua,
gejala lokal dan gejala sistemik.5,8 Pada pasien TB paru, gejala lokal yang timbul yaitu gejala respiratorik terdiri dari batuk lebih dari 3 minggu,
kadang disertai darah, sesak napas, dan nyeri dada.5,8 Sedangkan untuk TB
ekstraparu, gejala lokal tergantung pada organ yang terkena.5 Gejala sistemik yaitu penurunan berat badan, malaise, keringat malam, tidak nafsu makan, dan demam.5,8 Pada pemeriksaan fisik, kelainan dijumpai
napas bronkial amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma dan mediastinum.5 Pemeriksaan bakteriologik
merupakan diagnosis pasti TB, yaitu menemukan kuman M.
Tuberculosis.5,8 Bahan pemeriksaan bakteriologik ini dapat berasal dari
berbagai sumber tergantung TB jenis apa.5 Umumnya untuk TB paru
bahan pemeriksaannya berasal dari dahak dengan cara pengambilan SPS (Sewaktu Pagi Sewaktu).5 Untuk TB ekstraparu dapat berasal dari cairan pleura, liquor cerebrospinal (LCS), urin, feses, dan jaringan biopsi.5 Pemeriksaan radiologik yang umumnya digunakan untuk TB adalah foto toraks.5,8 Diagnosis ditegakan jika ditemukan lesi perkapuran di apeks
paru.5 Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan tetapi jarang adalah
pemeriksaan BACTEC, PCR (Polymerase Chain Reaction), ICT
+ _ +
-
Gambar 2.1 Skema Alur Diagnosis TB paru pada orang dewasa
Sumber: : Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. 2006.5 Gejala Klinis +
PF
Sputum BTA Foto
Toraks
TB paru BTA
(+) TB paru BTA (-)
Meragu kan
Penyakit paru lain
Foto lama
ada
Foto lama tidak ada
Lakukan pemeriksaan penunjang lainnya sesuai
kebutuhan dan fasilitas atau terapi eksjuvantibus
untuk TB
Evaluasi foto toraks 1-2 bulan
Menetap Perburukan
Bekas TB TB Paru (bila
penyakit paru lain telah
tersingkirkan Perburukan Perbaikan
2.1.2. Pengobatan Tuberkulosis
Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri yang tumbuh lebih lambat dari bakteri lain, oleh karena itu antibiotik yang sangat efektif untuk sel yang sedang tumbuh tidak cukup efektif untuk bakteri ini. Selain
itu, Mycobacterium tuberculosis juga mampu menjadi dorman sehingga
semakin sulit untuk diobati atau dapat terbunuh namun lambat. Dinding sel Mycobacterium tuberculosis juga kaya akan lipid dan tidak permeabel
terhadap banyak obat. Hal-hal tersebutnya membuat Mycobacterium
tuberculosis mampu membentuk resistensi, kombinasi dua obat atau lebih mampu mengatasi kemungkinan resistensi dan karena bakteri ini lama berespon terhadap kemotrapi maka diberikan selama bulanan hingga tahunan.
Pengobatan TB dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut :
1. OAT tidak diberikan monoterapi melainkan dikombinasi beberapa
jenis obat dimana jumlah dan dosisnya disesuaikan dengan kategori pengobatan. OAT KDT lebih menguntungkan dan sangat direkomendasikan.8,9
2. Adanya PMO (pengawas minum obat).8,9
3. Diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan tahap lanjutan.8,9
2.1.2.1. Isoniazid
Isoniazid yang secara struktur mirip piridoksin merupakan obat anti mikobakterium yang paling aktif dalam terapi tuberkulosis namun kurang efektif untuk mikobakterium atipik. Isoniazid bersifat bakterisid karena mampu menghambat kebanyakan tuberkel, obat ini juga mampu penetrasi kedalam makrofag sehingga aktif untuk membunuh bakteri yang ada didalam intrasel maupun ekstrasel. Obat ini bekerja dengan cara menghambat sintesis asam mikolat yang merupakan struktur penting
Secara farmakodinamik isoniazid diabsorpsi dari saluran cerna dan akan mencapai kadar puncak dalam plasma dalam 1-2 jam kemudian. Metabolisme isoniazid terutama asetilasi oleh N-asetiltransferase hati dan waktu paruhnya berkisar antara 1-3 jam dan bentuk metabolit isoniazid terutama diekskresi dalam urin.10
Gambar 2.2 Rumus kimia isoniazid
Sumber: Katzung, Bertram G. Basic & clinical pharmacology 10 th ed. 2006.10
2.1.2.2. Rifampisin
Rifampisin merupakan turunan semisintetik rifamisin, antibiotik
yang dihasilkan oleh Streptomyces mediterranei. Rifampisin bekerja
dengan menghambat sintesis RNA dengan cara berikatan dengan subunit β
RNA polymerase dependen-DNA milik bakteri. RNA polymerase manusia tidak dapat berikatan dengan rifampisin sehingga sintesis RNA tidak terganggu. Rifampisin merupakan obat antibiotik yang bersifat bakterisid terhadap mikobakterium. Obat ini mampu penetrasi kedalam sel makrofag
dan dapat membunuh organisme yang sulit dijangkau oleh obat lainnya.10
dan jaringan tubuh.10 Rifampisin bersifat inducer terhadap kebanyakan isoform sitokrom P450 seperti CYP 1A2, 2C9, 2C19, 2D6 dab 3A4 yang meningkatkan eliminasi berbagai obat seperti metadon, antikoagulan, siklosporin, beberapa antikonvulsan, penghambat protease, kontrasepsi dan obat lain sehingga menurunkan kadar semua obat tersebut didalam plasma.
2.1.2.3. Etambutol
Etambutol menghambat arabinosil transferase mikobakterium yang berperan dalam reaksi polimerasi arabinoglikan sehingga sintesis dinding sel terhambat. Etambutol diabsorpsi dengan baik dari usus, dan mencapai kadar puncak dalam serum 2-4 jam kemudian. Ekskresi utama obat ini adalah melalui ginjal dan sedikit melalui tinja.10
Gambar 2.3 Rumus kimia etambutol
Sumber: Katzung, Bertram G. Basic & clinical pharmacology 10 th ed. 2006.10
2.1.2.4. Pirazinamid
Pirazinamid merupakan obat yang tidak aktif pada pH netral, namun pada pH 5,5 obat ini akan diubah menjadi asam pirazinoat yang merupakan bentuk aktif obat ini oleh pirazinamidase mikobakterium. Pirazinamid akan difagosit oleh makrofag dan berefek pada
mikobakterium dalam lisosom yang bersifat asam.10
plasma dicapai dalam 1-2 jam. Waktu paruhnya 8-11 jam. Dimetabolisme oleh hati dan metabolit aktifnya dibuang melalui ginjal.10
Gambar 2.4 Rumus Kimia pirazinamid
Sumber: Katzung, Bertram G. Basic & clinical pharmacology 10 th ed. 2006.10
2.1.2.5. Streptomisin
Streptomisin termasuk golongan aminoglikosida yang didapat dari diisolasi dari galur Streptomyces griseus. Di dalam sel bakteri, obat ini akan berikatan dengan reseptor pada subunit 30S protein ribosom bakteri. Obat ini akan menghambat sintesis protein ribosom dengan cara
mengganggu inisiasi pembentukan peptida, menyebabkan misreading
mRNA yang menyebabkan penggabungan asam amino yang salah ke dalam peptida dan menguraikan polisom menjadi monosom yang tidak berfungsi.10
Streptomisin apabila diberikan secara oral, akan diabsorpsi sedikit oleh saluran cerna dan kebanyakan secara utuh diekresikan melalui tinja. Apabila diberikan secara intramuskular, absorpsi baik dan mencapai kadar puncak dalam darah 30-90 menit. Obat ini biasanya diberikan secara intravena dalam infus selama 30-60 menit.10
2.1.3. Definisi Hepatitis imbas OAT
Secara klinis, manifestasi yang ditimbulkan hepatitis imbas OAT
serupa dengan hepatitis viral akut.11 Hepatitis imbas OAT bisa
menyebabkan variasi hepatotoksisitas yang beragam, mulai dari kenaikan serum hati secara asimptomatik hingga timbul gejala berat.11 Hepatitis imbas OAT sendiri memiliki definisi beragam menurut beberapa penelitian, tetapi secara umum definisi hepatotoksisitas adalah peningkatan kadar ALT 1,5 kali dari kadar normal yang muncul setelah terapi, minimal 4 minggu tanpa gejala hepatitis.11 Masing-masing dari OAT itu sendiri dapat mengakibatkan hepatitis imbas OAT, tetapi tingkat kemampuan masing-masing obat berbeda. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 2.1. Tingkat Kemampuan OAT dalam menimbulkan hepatitis imbas
OAT11
Tingkat kemampuan OAT Nama Obat
Tinggi Isoniazid, Rifampisin, Rifabutin,
Pirazinamid
Rendah Streptomisin, Etambutol
Sumber: Drug induced hepatitis with anti-tubercular chemotherapy. 2007.11
Pasien tuberkulosis bisa dikatakan mengalami hepatitis imbas OAT jika:11,17,23
1. Nilai fungsi hati dalam batas normal sebelum diberikan terapi OAT.
2. Tidak mengkonsumsi alkohol dan zat kimia lainnya minimal 10 hari sebelum pengobatan TB dimulai.
3. Pasien harus mendapatkan obat isoniazid, pirazinamid, dan rifampisin
4. Ketika sedang mendapatkan terapi OAT terjadi peningkatan nilai fungsi hati di luar batas normal, dan atau terjadi peningkatan bilirubin total >1,5 mg/dl.
5. Tidak ada sebab lain yang jelas ketika nilai tes fungsi hati meningkat.
6. Ketika obat dihentikan, nilai fungsi hati menjadi normal atau menurun
dari nilai yang sebelumnya tinggi.
Hepatitis Imbas OAT dapat diklasifikasikan menurut derajat keparahannya yang dinilai berdasarkan kenaikan SGOT dan SGPT serum.
Tabel 2.2. Derajat keparahan hepatitis imbas OAT
Definisi hepatitis imbas OAT menurut WHO Adverse drug reaction terminology
Definisi hepatitis imbas OAT menurut WHO
Sadium 1 (ringan) Meningkat < 2 kali dari nilai normal (ALT
51-125 U/L)
Stadium 2 (ringan) Meningkat 2,5-5 kali dari nilai normal (ALT 126-250 U/L)
Stadium 3 (sedang) Meningkat 5-10 kali dari nilai normal (ALT 251-500 U/L)
Stadium 4 (berat) Meningkat lebih dari 10 kali dari nilai normal
(ALT >500)
Sumber: Drug induced hepatitis with anti-tubercular chemotherapy. 2007.11
2.1.4. Epidemiologi Hepatitis imbas OAT
mengalami hepatitis imbas OAT setelah konsumsi obat dalam hitungan hari sangat sedikit.11
Insidensi timbulnya hepatitis imbas OAT sangat beragam, karena tergantung dari definisi peneliti mengenai hepatitis imbas OAT pada berbagai populasi studi.12 Hepatitis imbas OAT lebih sering terjadi pada negara berkembang. Pada penelitian yang dilakukan di Nepal ditemukan
insidensi hepatitis imbas OAT mencapai 38%.12 Penelitian lain yang
dilakukan di Malaysia menyebutkan bahwa prevalensi hepatitis imbas
OAT mencapai 9,7%.13
Ras oriental dilaporkan memiliki angka tertinggi, terutama India. Kejadian hepatotoksik di sub sahara Afrika dilaporkan pada beberapa literatur, namun untuk insidensinya sendiri tidak tercatat dengan jelas jumlahnya sehingga tidak dapat dilaporkan.13
Pada sebuah studi survei yang dilakukan oleh The U.S Public Health Service dilaporkan bahwa seseorang yang mengkonsumsi alkohol memiliki risiko 2 kali lipat untuk terkena hepatitis akibat obat isoniazid dan risiko akan semakin meningkat hingga 4-5 kali lipat pada seseorang
yang mengkonsumsi alkohol setiap hari.12
Beberapa penelitian telah dilakukan guna mengetahui insidensi dan faktor risiko hepatitis imbas OAT pada berbagai populasi seperti Asia, Amerika, Amerika Selatan, Eropa, Afrika. Untuk lebih jelasnya dapat di lihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 2.3. Insidensi dan faktor risiko terjadinya hepatitis imbas OAT pada beberapa wilayah.12
Proporsi
Faktor Risiko Populasi
2,0 AST >6x batas normal dan dikonfirmasi dengan
pemeriksaan berulang NA+SA: 1%
2,3 ALT >5x setelah terapi OAT Usia Tua As India,
Pakistan: 70%, E:30%, 2,6 ALT/AST >10x nilai normal Alkohol, Carrier
Hepatitis B,
3,0 ALT >3x nilai normal Usia Tua, Perempuan,
HIV, Ras Asia
5,3 ALT/AST >3x nilai normal Perempuan, Usia Tua As(
Singapura) 8,1 ALT/AST >5x nilai normal Nilai tes fungsi hati
yang abnormal, Status
10,7 ALT> 5x nilai normal Penggunaan
flukonazol, Nilai CD4 <100, Bilirubin > 13 mmol/L atau ALT > 61 U/L
E: 80%, Af: 34%, Lainnya 5%
15,0 ALT> 3x nilai normal Usia Tua, Status gizi dibawah normal, Asetilator yang lambat, CYP2E1 genotip c1/o1
As (Taiwan)
16,1 ALT/AST >5x nilai normal, atau peningkatan disertai gejala klinis
Usia Tua As ( India)
19,0 ALT/AST> 3x nilai normal HIV atau hepatitis C Tidak disebutkan 27,7 ALT> 3x nilai normal
dengan atau ALT>5x nilai normal tanpa gejala
Tidak ada faktor risiko yang signifikan
*Wilayah Populasi: Af, Africa: As, Asia: CSA, Central and South America: E, Europe: NA, North America:
Sa, South America.
*NO ( No Incidence) :Studi Potong-lintang * Nilai normal menurut kriteria WHO = 50 IU/L
Sumber: Pengenalan Kembali Obat Anti Tuberkulosa Pada Penderita Hepatitis Imbas Obat Akibat Obat Anti Tuberkulosa. 201112
2.1.5. Patofisiologi
Berbagai penelitian telah mengatakan bahwa terdapat keterkaitan HLA-DR2 dengan tuberkulosis paru pada berbagai populasi dan keterkaitan variasi gen NRAMP1 dengan kerentanan terhadap tuberkulosis, sedangkan risiko hepatotoksisitas imbas obat tuberkulosis ditemukan berkaitan dengan fenotipe asetilator dan polimorfisme genetik lainnya, termasuk sitokrom P450 2E1 dan glutathione S-transferase M1,
dan beberapa major histocompatibility kompleks kelas II terkait HLA-DQ
HLA-DQB1*0201 disamping usia lanjut, albumin serum <3,5 gr/dl dan tingkat penyakit yang moderat atau tingkat lanjut berat.14
Hepatitis imbas OAT dapat diakibatkan langsung dari senyawa utama, hasil metabolit, atau dapat disebabkan oleh respon imunologis yang dapat mempengaruhi hepatosit, sel-sel epitel empedu dan atau pembuluh darah hati.14 Pada beberapa penelitian uji klinis dengan hewan coba yang di uji dengan dosis tertentu, memiliki tingkat serangan yang lebih tinggi dan cenderung terjadi cepat..14 Tetapi perlu diketahui beberapa penelitian lain menunjukkan hepatitis imbas OAT dapat juga merupakan reaksi idiosinkronisasi yang tidak berhubungan dengan farmakologi obat. Hal ini menunjukkan bahwa setiap individu memiliki lokus minoris tersendiri dimana setiap individu memiliki kerentanan tersendiri terhadap efek hepatitis ketika mengkonsumsi obat. Beberapa orang mengalami hepatitis pada dosis tertentu sedangkan beberapa orang lainnya tidak terjadi pada dosis berapapun. Idiosinkronisasi dapat mengenai berbagai sistem organ. Hipersensitivitas terhadap OAT dapat terjadi pada beberapa OAT imbas hepatotoksisitas, apalagi ketika pasien datang dengan ruam kulit, atrhalgia, dan eosinophilia.15
Pada suatu penelitian disebutkan bahwa beberapa regimen OAT yakni isoniazid dan rifampisin terbukti meningkatkan lipid peroksidase, hal ini menunjukkan bahwa isoniazid dan rifampisin menimbulkan hepatotoksisitas melalui kerusakan oksidasi. Salah satu mekanisme yang sinergis untuk menimbulkan efek hepatotoksisitas dari isoniazid dan rifampisin adalah melalui enzim hati yang menginduksi sistem hidrolase sehingga meningkatkan toksisitas dari zat metabolit obat.14,15
2.1.6. Gejala Klinis
yang akan timbul biasanya adalah nausea, ikterik, muntah, dan
asthenia.13,17 Semua gejala ini tidak menunjukkan kespesifikan yang dapat
membedakan sebab dari gangguan hati. Oleh karena itu pengecekan pada laboratorium sangat diperlukan guna menegakkan diagnosis yang benar dan menyingkirkan hal-hal lain yang dapat membuat rancu dalam mendiagnosis.
Keluhan hepatotoksisitas akibat OAT sebagian besar dapat dihilangkan jika pengobatan dihentikan sementara, tetapi jika terapi tidak dihentikan dapat berakibat fatal bagi pasien itu sendiri.13,17
2.1.7. Faktor Risiko
Faktor risiko untuk obat-obat yang menginduksi hepatitis imbas OAT selama pengobatan tuberkulosis meliputi usia tua, penyakit tuberkulosis yang luas, malnutrisi, alkoholisme, infeksi kronis akibat penyakit hepatitis B atau hepatitis C, serta infeksi HIV.13,15,16
Salah satu penelitian kohort dari Spanyol menunjukkan kejadian hepatitis imbas OAT (serum transaminase naik lebuh dari tiga kali batas normal) menjadi signifikan pada kelompok yang memiliki faktor risiko dengan persentase 18,2%, sedangkan kelompok tanpa risiko memiliki presentase 5,8%. Hepatitis berat (transaminase serum > 10 kali nilai normal) terjadi pada kelompok yang memiliki faktor risiko dengan persentase 6,9% sedangkan pada kelompok yang tidak memiliki faktor risiko terjadi dengan persentase 0,4%.13,15
Pasien dengan infeksi hepatitis kronis atau infeksi HIV lebih rentan 3-5 kali terkena hepatitis imbas OAT. Infeksi kronis hepatitis B dan C memiliki relevansi tertentu di banyak negara Asia. Infeksi HIV juga kini
mengalami pelonjakan pada beberapa negara Asia.13
2.3. Kerangka Konsep
Umur
Jenis kelamin
Riw. konsumsi alkohol
Status gizi kurang atau buruk
Riw. Penyakit hati sebelumnya
Konsumsi obat lain
Konsumsi rokok
Hepatitits imbas OAT
2.4. Definisi Operasional
Tabel 2.3.1 Definisi : perasional: Variabel, Pengukur, Alat Ukur, Cara Pengukuran, dan Skala Pengukuran.
24
METODE PENELITIAN
3.1. Desain Penilitian
Penelitian ini dilakukan secara deskriptif kategorik secara cross sectional.
3.2. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari sampai bulan Maret 2013 di Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan Jakarta dan RSPG Cisarua.
3.3. Kriteria Inklusi dan Eksklusi
1. Kriteria inklusi
Kriteria inklusi adalah Pasien penderita TB yang diterapi OAT kategori 1 di Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan Jakarta dan RSPG Cisarua.
2. Kriteria eksklusi
• Pasien penderita TB yang diterapi OAT dan saat ini mengalami penyakit hati.
• Pasien TB paru yang mendapatkan terapi OAT kategori 2.
3.4. Besar Sampel
n = (Zα)2 x p x q
d2
n = (1,96)2 x 0,38x 0,62 = 90 orang 0,12
Keterangan:
n = besar sampel minimal
Zα = standar variasi, untuk α = 0,05%, Zα bernilai 1,96
P = prevalensi (proporsi responden pada data sebelumnya) Q = 1-p
d = derajat ketepatan yang diinginkan, dlm hal ini 10%
3.5. Variabel penelitian
1. Variabel tergantung
Variabel tergantung pada penelitian ini adalah hepatitis imbas OAT. Hepatitis imbas OAT merupakan peradangan pada organ hati setelah
mendapatkan terapi OAT.
Penanda dini dari hepatitis imbas OAT adalah peningkatan enzim-enzim transaminase dalam serum yang terdiri dari aspartate amino transaminase (AST/GOT) yang diekskresikan secara paralel dengan
alanine amino transferase/glutamate pyruvate transaminase
(ALT/GPT) yang merupakan penanda lebih spesifik untuk mendeteksi adanya kerusakan hepar.
2. Variabel bebas
3.6. Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel di lakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan Jakarta dan RSPG Cisarua dengan cara melihat rekam medis pasien yang mengkonsumsi OAT kategori 1 sepanjang tahun 2012.
3.7. Pengolahan dan Penyajian Data
Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan program SPSS for Windows versi 16,0. Data disajikan dalam bentuk tekstular, grafikal, dan tabular. Lalu dilakukan analisis deskriptif
3.8. Cara Kerja Penelitian
3.8.1. Izin Pengambilan Data Sekunder penelitian
3.8.2. Alur Penelitian
Pengolahan Data Pasien TB yang diterapi
OAT Kriteria Inklusi
dan Kriteria
Eksklusi Sampel Penelitian
Pasien TB paru yang mendapat terapi OAT kategori 1 pada tahun 2012
Rekam Medik Pasien FKIK UIN
Izin Rumah Sakit
Pengambilan Data Bagian Rekam Medik
Prevalensi pasien yang mengalami hepatitis imbas OAT dan faktor
3.9. Etika penelitian
Sebelum dilakukan penelitian akan dimintakan terlebih dahulu rekomendasi dari program studi pendidikan dokter UINSH Jakarta. Kerahasiaan informasi pasien dalam rekam medik dijamin oleh peneliti dan hanya kelompok data tertentu saja yang akan dilaporkan sebagai hasil penelitian.
29 4.1. Hasil Penelitian
Penelitian ini dilakukan di RSUP Persahabatan Jakarta dan RS paru Dr
Goenawan Partowidigdo Cisarua sepanjang tahun 2012.Berdasarkan rumus besar
sampel yang digunakan dalam penelitian deskriptif kategorik, jumlah sampel
minimal yang harus dimiliki adalah 90 pasien tuberkulosis.Teknik pengambilan
sampel yang dilakukan peneliti adalah simple random sampling.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui prevalensi dan dengan tujuan
khusus mencari faktor risiko kejadian hepatitis imbas OAT pada pasien
tuberkulosis di RSUP Persahabatan Jakarta dan RSPG Cisarua pada tahun 2012.
Adapun faktor risiko yang diteliti dalam penelitian ini adalah: umur, jenis
kelamin, riwayat konsumsi alkohol, status gizi, riwayat penyakit hati sebelumnya,
dan riwayat konsumsi obat lain.
4.1.1. Pola Distribusi Responden (Statistik Deskriptif)
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, distribusi usia responden
yang menjadi sampel penelitian, jenis kelamin, riwayat konsumsi alkohol, status
gizi, riwayat penyakit hati sebelumnya, riwayat konsumsi obat lain selama
Tabel 4.1. Pola Distribusi Reponden
Variabel Frekuensi (n) Persentase (%)
Umur
Riw. Konsumsi obat lain
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa distribusi responden berdasarkan usia adalah untuk kategori usia 15-60 tahun berjumlah 76 orang (84,4%), untuk usia
diatas 60 tahun berjumlah 14 orang (15,6%). Untuk jenis kelamin, responden
laki-laki berjumlah 66 orang (73,3%), perempuan berjumlah 24 orang (26,7%).
Sedangkan distribusi berdasarkan faktor risiko lainnya: riwayat konsumsi alkohol
25 orang (27,8%), status gizi kurang berjumlah 46 orang (51,1%), status gizi
buruk 23 orang (25,6%), sedangkan responden yang masih memiliki status gizi
baik berjumlah 21 orang (23,3%), konsumsi rokok 62 orang (68,9%), riwayat
penyakit hati sebelumnya 9 orang (10 %), riwayat konsumsi obat lain berumlah 7
orang (7,8%).
Berikut adalah gambaran histogram pola distribusi responden berdasarkan
jenis kelamin.
Gambar 4.1. Distribusi karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin
Drug-induced-hepatitis (DIH) merupakan suatu bentuk peradangan pada organ
hati diakibatkan oleh obat anti tuberkulosis. Di Indonesia disebut dengan istilah
66
24
0 10 20 30 40 50 60 70
Jenis Kelamin
hepatitis imbas OAT. Obat anti tuberkulosis (OAT) merupakan regimen yang
digunakan untuk mengobati penyakit tuberkulosis. Hepatitis imbas OAT sendiri
memiliki definisi beragam menurut beberapa penelitian, tetapi secara umum
definisi hepatitis imbas OAT adalah peningkatan kadar ALT 1,5 kali dari kadar
normal yang muncul setelah terapi, minimal 4 minggu. Prevalensi hepatitis imbas
OAT hampir berbeda tiap negara, tetapi negara berkembang cenderung lebih
menunjukkan prevalensi yang tinggi.17 Sebagai negara berkembang, Indonesia
menunjukkan prevalensi yang tinggi pada kejadian hepatitis imbas OAT.
Persentase prevalensi hepatitis imbas OAT di RSUP Persahabatan dan RSPG
Cisarua pada tahun 2012 dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 4.2. Prevalensi pasien TB paru yang nengalami hepatitis imbas OAT di RSUP Persahabatan Jakarta dan RSPG Cisarua pada tahun 2012.
Variabel Frekuensi (n) Persentase (%)
DIH
Tidak mengalami DIH
47
43
52,2%
47,8%
Tabel diatas merupakan akumulasi total prevalensi dari dua rumah sakit yakni
RSUP Persahabatan dan RSPG Cisarua. Untuk jumlah responden yang
mengalami hepatitis imbas OAT masing-masing rumah sakit didapatkan data
yaitu pada RSUP Persahabatan 14 pasien mengalami hepatitis imbas OAT dan 21
orang tidak mengalami hepatitis imbas OAT, sedangkan pada RSPG Cisarua
didapatkan data yaitu 33 responden mengalami hepatitis imbas OAT dan 22 orang
lainnya tidak mengalami hepatitis imbas OAT.
Hepatitis imbas OAT dibagi menjadi 4 stadium menurut derajat keparahannya.
Berikut merupakan gambaran distribusi karakterisitik responden berdasarkan
Gambar 4.2. Distribusi karakteristik responden berdasarkan klasifikasi DIH.
Diketahui bahwa jumlah responden yang tidak mengalami hepatitis imbas
OAT sebanyak 43 orang (47,8%). Sedangkan yang mengalami hepatitis imbas
OAT berjumlah 47 orang (52,2%). Berdasarkan stadium keparahan, responden
yang mengalami hepatitis imbas OAT derajat 1 sebanyak 36 orang (40%),
hepatitis imbas OAT derajat 2 sebanyak 9 orang (10%), hepatitis imbas OAT
derajat 3 sebanyak 2 orang (2,2%), dan tidak terdapat responden dengan hepatitis
imbas OAT derajat 4.
4.2. Hubungan Antara Usia Responden dengan Hepatitis Imbas OAT
Tabel 4.3. Distribusi data kejadian hepatitis imbas OAT berdasarkan usia
Klasifikasi_DIH
Total (n)
p-value
Non DIH
(n)
DIH 1
(n)
DIH 2
(n)
DIH 3
(n)
Usia 15-60 37 29 8 2 76 1,00
>60 6 7 1 0 14
Total 43 36 9 2 90
Setelah dilakukan uji statistik chi square, terdapat 3 sel yang memiliki
nilai expected count kurang dari 5 sehingga dilakukan uji alternatifnya yaitu uji
43
36
9
2
0 Klasi;ikasi DIH
Kolmogorov-Smirnov. Hasil penelitian menunjukan bahwa proporsi responden
dengan usia 15-60 tahun sebanyak 37 orang (41%) yang tidak mengalami
hepatitis imbas OAT, sebanyak 29 orang (32%) mengalami hepatitis imbas OAT
derajat 1, sebanyak 8 orang (8,8) yang mengalami hepatitis imbas OAT derajat 2,
dan sebanyak 2 orang (2,2%) mengalami hepatitis imbas OATderajat 3.
Sedangkan responden dengan usia >60 tahun yang tidak mengalami hepatitis
imbas OAT sebanyak 6 orang (6,6%), sebanyak 7 orang (7,7%) mengalami
hepatitis imbas OAT derajat 1, 1 orang (1,1%) mengalami hepatitis imbas OAT
derajat 2.
Berdasarkan uji statistik didapatkan bahwa tidak terdapat hubungan yang
bermakna antara usia dengan kejadian hepatitis imbas OAT. Hasil uji statistik ini
sama dengan hasil uji statistik pada penelitian sebelumnya dimana tidak terdapat
hubungan yang bermakna antara usia dengan kejadian hepatitis imbas OAT.6Hal
ini berbeda dengan beberapa teori yang menyatakan usia memegang perananan
dalam hal hepatitis imbas OAT.20,21 Semakin tua umur pasien yang mendapat
terapi OAT, maka akan semakin rentan pula untuk terkena efek samping dari
OAT, termasuk hepatitis imbas OAT. Hepatitis imbas OAT pada pasien yang
lebih tua diakibatkan oleh penurunan fungsi organ hati sehingga fungsi fisiologis
pun akan semakin menurun.20,21 Ketika organ hati yang fungsinya sudah menurun
pada usia tua harus memetabolisme sejumlah obat anti tuberkulosis dalam jangka
waktu yang cukup lama, maka akan semakin rentanlah pasien menderita hepatitis
imbas OAT. Dari sini terlihat perbedaan antara teori dengan penelitian, hal ini
bisa disebabkan oleh variasi responden dimana responden usia produktif (15-60)
4.3. Hubungan Antara Jenis Kelamin Responden dengan Hepatitis Imbas OAT
Tabel 4.4. Distribusi data kejadian hepatitis imbas OAT berdasarkan jenis kelamin
Dari uji statistic yang dilakukan diketahui terdapat hubungan antara jenis
kelamin dengan hepatitis imbas OAT. Hasil penelitian menunjukan bahwa
proporsi responden yang tidak mengalami hepatitis imbas OATpada laki-laki
sebanyak 24 orang (26,6%), hepatitis imbas OAT derajat 1 sebanyak 34 orang
(37,7%), hepatitis imbas OAT derajat 2 sebanyak 8 orang (8,8%), dan tidak ada
pasien yang mengalami hepatitis imbas OAT derajat 3 dan 4. Sedangkan pada
perempuan yang tidak mengalami hepatitis imbas OAT sebanyak 19 orang
(21,1%), hepatitis imbas OAT derajat 1 sebanyak 2 orang (2,2%), hepatitis imbas
OAT derajat 3 sebanyak 2 orang (2,2%), dan tidak ada pasien yang mengalami
hepatitis imbas OAT derajat 4.
Berdasarkan uji statistik dan penelitian sebelumnya dikatakan jenis
kelamin memberikan pengaruh terhadap kejadian hepatitis imbas OAT.Pada
penelitian sebelumnya disebutkan bahwa perempuan cenderung lebih rentan
mengalami hepatitis imbas OAT.17 Hal ini dikarenakan biotransformasi pada
perempuan lebih lambat dibanding laki-laki.17 Alasan kedua adalah asetilator pada
obat. Fungsi asetilator adalah untuk proses detoksifikasi serta mengubah senyawa
obat menjadi metabolit tidak aktif, lebih bersifat polar agar selanjutnya mudah
untuk diekskresikan. Jika asetilator lambat maka akan menurunkan jumlah dan
aktivitas dari enzim N-Asetiltransferase menjadi sangat lambat sehingga
menyebabkan perubahan obat menjadi metabolit tidak aktif juga menjadi
lambat.17 Dari sini terlihat perbedaan antara teori dengan penelitian, pada
penelitian ini didapatkan laki-laki memiliki hubungan dengan kejadian hepatitis
imbas OAT. Hal ini dapat dipengaruhi oleh variasi responden dimana responden
laki-laki lebih banyak daripada responden perempuan.
4.4. Hubungan Antara Alkohol dengan Hepatitis Imbas OAT
Tabel 4.5. Distribusi data kejadian hepatitis imbas OAT berdasarkan riwayat konsumsi alkohol
Dari penelitian diketahui hubungan antara konsumsi alkohol dengan
hepatitis imbas OAT. Konsumsi alkohol diduga dapat mempengaruhi kejadian
hepatitis imbas OAT. Hasil penelitian menunjukan bahwa proporsi responden
yang mengalami hepatitis imbas OAT derajat 1 dengan kebiasaan konsumsi
kebiasaan konsumsi alkohol sebanyak 7 orang (7,7%), sedangkan pada yang tidak
konsumsi alkohol sebanyak 38 orang (42,2%) yang tidak mengalami hepatitis
imbas OAT, 23 orang (25,5%) mengalami hepatitis imbas OAT derajat 1, 2 orang
(2,2%) mengalami hepatitis imbas OAT derajat 2, dan 2 orang (2,2%) mengalami
hepatitis imbas OAT derajat 3.
Dari uji statistik yang dilakukan hasil yang didapat sesuai dengan
teori-teori yang dikemukakan oleh peneliti-peneliti sebelumnya, bahwa alkohol
merupakan suatu faktor risiko yang dapat menyebabkan terjadinya hepatitis imbas
OAT.6 Hal ini dikarenakan alkohol memiliki kandungan etanol.19 Proses
pemecahan etanol dapat menghasilkan bahan kimia yang bersifat toksik seperti
aseltadehid. Bahan toksik ini memicu peradangan yang menghancurkan sel-sel
hati. Beberapa waktu berikutnya jaringan hati yang sehat digantikan oleh jaringan
parut yang ditimbulkan akibat luka peradangan.19 Hal ini akan mengganggu
fungsi fisiologis hati, ditambah lagi hati harus memetabolisme OAT dalam jumlah
yang banyak dan kurun waktu yang lama.
Dalam agama Islam sendiri alkohol memang merupakan sesuatu yang
diharamkan untuk dikonsumsi. Sebagaimana firman Allah SWT pada surat
Al-Maidah ayat 90 :“Hai orang-orang beriman, sesungguhnya meminum khamar,
berjudi, berkorban untuk berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah
termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu
mendapat keberuntungan”. Sebagai dokter muslim penting untuk dilakukan
edukasi tanpa bersifat menggurui kepada pasien tentang dampak buruk alkohol
dan aturan islam yang memang mengharamkan alkohol karena memiliki
4.5. Hubungan Antara Riwayat Merokok dengan Hepatitis Imbas OAT
Tabel 4.6. Distribusi data kejadian hepatitis imbas OAT berdasarkan riwayat konsumsi rokok
Dari uji statistik yang dilakukan didapatkan hasil bahwa terdapat
hubungan antara konsumsi rokok dengan hepatitis imbas OAT. Hasil penelitian
menunjukan bahwa proporsi responden yang tidak mengalami hepatitis imbas
OAT dengan riwayat merokok sebanyak 22 orang (24,4%), sedangkan pada yang
tidak mempunyai riwayat merokok sebanyak 21 orang (23,3%). Pada hepatitis
imbas OAT derajat 1 sebanyak 32 orang (35,5%) mengkonsumsi rokok, dan 4
orang (4,4%) tidak mengkonsumsi rokok. Pada hepatitis imbas OAT derajat 2
terdapat 8 orang (8,8%) yang mengkonsumsi rokok, dan hanya 1 orang (1,1%)
yang tidak mengkonsumsi rokok. Pada hepatitis imbas OAT derajat 3 terdapat 2
orang (2,2%) yang tidak mengkonsumsi rokok.
Berdasarkan uji statistik yang dilakukan diperoleh hasil bahwa konsumsi
rokok dapat mempengaruhi hepatitis imbas OAT. Penelitian sebelumnya
dikatakan bahwa rokok tidak menjadi faktor risiko untuk terjadinya hepatitis
imbas OAT secara langsung, tetapi rokok dapat memperparah gangguan fungsi
hati jika dibarengi dengan pemberian alkohol.22 Pada teori dikemukakan bahwa
hepatic glutathione peroxidase yang berperan sebagai antioksidan dan
antitoksin.23 Rokok juga menurunkan aktivitas superoksida dismutase yang
merupakan salah satu enzim antioksidan yang dihasilkan oleh tubuh dan paling
banyak di hati.23 Efek negatif lain dari rokok adalah meningkatkan aktifitas lipid
peroksidase, ini merupakan suatu produk dari radikal bebas.23 Semua hal diatas
akan memudahkan hati mengalami peradangan dan infeksi.
Perbedaan pada penelitian ini dengan penelitian sebelumnya bisa
disebabkan oleh variasi responden yang mayoritas merupakan perokok aktif.
Dalam Islam sendiri merokok tidak dibenarkan karena banyak
menimbulkan efek negatif. Utamanya efek negatif terhadap kesehatan tubuh. Dan
sebaiknya seorang umat muslim tidak melakukan kegiatan sia-sia yang
membahayakan diri sendiri. Dalam surat Al-Baqarah:195 dikatakan “Janganlah
kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan”. Seperti yang telah
dilaporkan para ahli kesehatan dalam penelitian mereka bahwa rokok
menyebabkan banyak penyakit berbahaya seperti kanker, penyakit paru obstruktif
kronik (PPOK).
4.6. Hubungan Antara Riwayat Penyakit Hati Sebelumnya dengan Hepatitis Imbas OAT
Setelah dilakukan uji statistik chi square, terdapat 3 sel yang memiliki
nilai expected count kurang dari 5 sehingga dilakukan uji alternatifnya yaitu uji
Kolmogorov-Smirnov.
Hasil penelitian menunjukan bahwa proporsi responden yang memiliki
riwayat penyakit hati sebelumnya dan tidak mengalami hepatitis imbas OAT
sebanyak 2 orang (2,2%), hepatitis imbas OAT derajat 1 sebanyak 3 orang
(3,3%), hepatitis imbas OAT derajat 2 sebanyak 4 orang (4,4%). Sedangkan
pasien yang sebelumnya tidak memiliki riwayat penyakit hati dan tidak
mengalami hepatitis imbas OAT berjumlah 41 orang(45,5%), hepatitis imbas
OAT derajat 1 berjumlah 33 orang (36,6%), hepatitis imbas OAT derajat 2
berjumlah 4 orang (4,4%), dan hepatitis imbas OAT derajat 3 berjumlah 2 orang
(2,2%).
Berdasarkan uji statistik tidak terdapat hubungan antara riwayat penyakit
hati sebelumnya dengan angka kejadian hepatitis imbas OAT, berbeda dengan
teori dan penelitian sebelumnya yang menyebutkan bahwa riwayat penyakit hati
sebelumnya memiliki hubungan dengan kejadian hepatitis imbas OAT. Menurut
teori dan penelitian sebelumnya pasien yang memiliki riwayat penyakit hati
sebelumnya lebih rentan mengalami hepatitis imbas OAT dikarenakan
pasien-pasien yang memiliki penyakit hati sebelumnya cenderung memiliki jaringan ikat
fibrosis, yang merupakan bagian akhir dari proses penyembuhan ketika terjadi
penyakit hati seperti hepatitis sebelumnya.6,17,19 Adanya jaringan ikat pada organ
hati tentu akan mengganggu fungsi fisiologisnya. Apalagi ketika hati yang sudah
tidak memiliki struktur dan fungsi yang normal harus memetabolisme sejumlah
OAT dalam kurun waktu yang lama. Ini akan mengakibatkan hati lebih rentan
mengalami peradangan akibat OAT. Dari sini terlihat perbedaan antara teori
dengan penelitian, hal ini bisa disebabkan oleh variasi responden dimana
responden yang memiliki riwayat penyakit hati sebelumnya hanya sedikit
4.7. Hubungan Antara Status Gizi Terhadap Hepatitis Imbas OAT
Tabel 4.8. Distribusi data kejadian hepatitis imbas OAT berdasarkan status gizi
Klasifikasi_DIH
Hasil penelitian menunjukan bahwa proporsi responden yang mengalami
DIH kelas 1 dengan status gizi kurang sebanyak 22 orang (24,4%) dan sebanyak 3
orang (3,3%) yang mengalami DIH kelas 2 pada responden yang memiliki status
gizi kurang. Responden yang memiliki status gizi buruk sebanyak 12 orang
(13,3%) yang mengalami DIH kelas 1, dan sebanyak 6 orang (6,6%) yang
mengalami DIH kelas 2 sedangkan responden yang memiliki status gizi baik yang
mengalami DIH kelas 1 sebanyak 3 orang (3,3%).
Berdasarkan uji statistik dan penelitian sebelumnya didapatkan bahwa
status gizi memberikan pengaruh pada kejadian hepatitis imbas OAT. Status gizi
yang kurang bahkan buruk akan lebih rentan terkena hepatitis imbas OAT. Hal ini
dikarenakan pasien yang memiliki IMT rendah, <20 memiliki cadangan glutation
yang sangat rendah.17 Glutation adalahprotein yang secara alami diproduksi oleh
tubuh yang berperan penting dalam sistem kekebalan tubuh dan juga regenerasi
sel.18 Glutation berperan sebagai antioksidan dan antitoksin.18 Tanpa adanya
oksidatif.18 Pada pasien yang mengalami malnutrisi juga disebutkan bahwa proses
metabolisme obat akan menjadi lebih lambat dibandingkan dengan pasien yang
status gizinya baik.17
Mengetahui bahaya yang ditimbulkan dari status gizi yang kurang bahkan
buruk, maka disini dapat dilihat pentingnya makanan sebagai sumber asupan
nutrisi bagi tubuh. Dalam islam pun diajarkan bagaimana pola makan yang baik.
Dalam surat Al-Baqarah 168 dikatakan “Hai sekalian manusia makan-makanlah
yang halal lagi baik daripada yang terdapat di bumi dan jangan kamu mengikuti
langkah-langkah syaitan, karena syaitan musuh yang nyata bagimu”. Dari ayat
ini dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam mengkonsumsi makanan haruslah yang
halal dan baik. Hal ini juga tentunya akan memberikan manfaat dari segi
kesehatan.
4.8. Hubungan Antara Konsumsi Obat Lain dengan Hepatitis Imbas OAT
Tabel 4.9. Distribusi data kejadian hepatitis imbas OAT berdasarkan riwayat konsumsi obat lain
Klasifikasi_DIH
Total
(n)
p-value
Non
DIH (n)
DIH 1
(n)
DIH 2
(n)
DIH 3
(n)
Konsumsi obat lain Ya 1 5 1 0 7 0,362
Tidak 42 31 8 2 83
Total 43 36 9 2 90
Setelah dilakukan uji statistik chi square, terdapat 3 sel yang memiliki
nilai expected count kurang dari 5 sehingga dilakukan uji alternatifnya yaitu uji
Data yang didapat pada penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian
sebelumnya. Pada penelitian sebelumnya dikatakan bahwa konsumsi obat–obatan
lain ketika sedang sakit tuberkulosis meningkatkan risiko terjadinya hepatitis
imbas OAT. Hal ini dikarenakan kebanyakan obat dimetabolisme dihati,
sedangkan obat anti tuberkulosis itu sendiri dimetabolisme dihati.19 Hal ini akan
menambah beban kerja dari organ hati karena harus memetabolisme berbagai
macam obat dan dalam kurun waktu yang lama. Jika hal ini terus berlangsung
akan menyebabkan hati lebih rentan untuk mengalami peradangan, sehingga
menyebabkan hepatitis imbas OAT. Tetapi yang perlu dicatat disini adalah tidak
semua obat menimbulkan efek toksik pada hati, hal ini tergantung dari jenis obat
dan dosis obat. Dari sini terlihat perbedaan antara teori dengan penelitian, hal ini
bisa disebabkan oleh variasi responden dimana responden yang mengkonsumsi
obat lain hanya sedikit jumlahnya, yakni 7 dari 90 responden.
44 5.1 Kesimpulan
1. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di RSUP Persahabatan dan RSPG
Cisarua tahun 2013 diperoleh hasil bahwa prevalensi hepatitis imbas OAT
adalah sebanyak 47 orang (52,2%). Berdasarkan stadiumnya responden
yang mengalami hepatitis imbas OAT derajat 1 sebanyak 36 orang (40%),
hepatitis imbas OAT derajat 2 sebanyak 9 orang (10%), hepatitis imbas
OAT derajat 3 sebanyak 2 orang (2,2%), dan tidak terdapat responden
dengan hepatitis imbas OAT derajat 4.
2. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara usia responden dengan
prevalensi hepatitis imbas OAT di RSUP Persahabatan dan RSPG Cisarua
tahun 2012.
3. Terdapat hubungan yang bermakna antara jenis kelamin responden dengan
prevalensi hepatitis imbas OAT di RSUP Persahabatan dan RSPG Cisarua
tahun 2012. ( p value 0,003).
4. Terdapat hubungan yang bermakna antara konsumsi alkohol dengan
prevalensi hepatitis imbas OAT di RSUP Persahabatan dan RSPG Cisarua
tahun 2012. ( p value 0,01).
5. Terdapat hubungan yang bermakna antara konsumsi rokok dengan
kejadian hepatitis imbas OAT (p-value 0,005).
6. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara riwayat penyakit hati
sebelumnya dengan prevalensi hepatitis imbas OAT di RS Persahabatan
dan RSPG Cisarua tahun 2012.
7. Terdapat hubungan yang bermakna antara status gizi dengan kejadian
hepatitis imbas OAT di RSUP Persahabatan dan RSPG Cisarua tahun
2012 (p value 0,000).
8. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara konsumsi obat lain dengan
prevalensi hepatitis imbas OAT di RS persahabatan dan RSPG Cisarua
5.2 Saran
• Pasien yang akan mendapat terapi OAT harus ditanyakan terlebih dahulu apakah memiliki faktor risiko hepatitis Imbas OAT.
• Dokter harus lebih waspada ketika meresepkan OAT
46
1. Brazilian Thoracic Association. Guidelines on Tuberculosis. J, Bras.
Pneumol. Vol. 35 no. 10. São Paulo Oct. 2009
2. WHO Report. Global tuberculosis control: Epidemiology, strategy,
financing. 411:1-301. Geneva. 2009.
3. Departemen Kesehatan Republik Indonesia., Pedoman Nasional
Pengendalian Tuberkulosis . 2011.
4. Direktorat Jenderal PPM & PLP, Departemen Kesehatan: Gerakan
Terpadu Nasional Penanggulangan Tuberkulosis: Jakarta; 1999.
5. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis
dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia; 2006.
6. Hussain Z, Kar P, HussainSA, Antituberculosis Drug-Induced Hepatitis:
Risk Factors, Prevention, And Management. Indian J Exp Biol. 2003
7. Jasmer, R.M, Saukkonen J.J, Blumberg H.M. Short-Course Rifampicyn
and Pyrazinamide Company Latent Tuberculosis Infection: A Multicenter
Clinical Trial. Annals. of. Int Med, 137: 640-7. 2002.
8. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis Ed.2. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. 2006.
9. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Ed. 4. Jilid II. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI, 2006.
10.Katzung, Bertram G. Basic & clinical pharmacology 10 th ed. McGraw
Hill Lange ebook. San francisco.2006.
11.Kishore P.V, Palaian, Paudel R, Mishra P, Shankar, Prabhu. Drug Induced
Hepatitis With Anti-Tubercular Chemotherapy: Challenges and
Difficulties in treatment: Kathmandu University Medical Journal, Vol. 5,
No. 2, Issue 18, 256-260 ; 2007.
12.Ramdhani Meivina P, Alwinsyah, Keliat E, Zuhriat. Pengenalan Kembali
Obat Anti Tuberkulosa Pada Penderita Hepatitis Imbas Obat Akibat Obat
13.O.A Marzuki, A.R Fauzi, Ayoub S, Kamarul Imran M. Prevalences and Risk Factors Of Anti-Tuberculosis Drug-Induced Hepatitis in Malaysia: Department of Medicine, School of Medical Sciences, UniversitiSains Malaysia Health Campus, KubangKerian 16150, Malaysia ; 2008.
14.J. Jussi, Saulkonen, L. David. American thoracic society document; Hepatotoxicity Of Anti-Tuberculosis Therapy. 2006.
15.Wing wai yew, Leung chi-chiu. Antituberculosis Drugs and
Hepatotoxicity; Grantam Hospital, China ; 2007.
16.Van Crevel R, Alisjahbana B, de lange, Low Plasma Concentrations Of
Rifampicin In Tuberculosis Patients In Indonesia. 2002.
17.Shakya Rajani, Rao B.S, Shrestha Bhawna. Evaluation of risk factors for
antituberculosis drugs-induced hepatotoxicity in Nepalese population.
Kathmandu University Journal Of Science, Engineering and Technology
Vol.II, No.1, February, 2006.
18.Kerksick Chad, Darryn Willoughby. The Antioxidant Role of Glutathione
amd N-Acetylcysteine supplements and Exercises-Induced Oxidative
Stress; Journal of the International Society of Sports Nutrition, 2005.
19.Butura Angelica. Drug and Alcohol Induced Hepatotoxicity. Karolinka
Institutet, Stokholm. 2008.
20.JG Stine, P.Sateesh, J.H Lewis. Drug Induced Liver Injury In The Elderly.
Division of Gastroenterology, Hepatology Section, Department of Internal
Medicine, Georgetown University Hospital, Washington, DC 20007,
USA. 2013.
21.Alimahassenali, Tefera Belachew, Almeshet Yami. Anti-Tuberculosis
Drug Induced Hepatotoxicity among TB/HIV Co-Infected Patients at
Jimma University Hospital. Ethiopia Nested Case-Control Study. 2013.
22.Wannamethesee SG, Shaper SG, Cigarettesmoking and serum liver
enzymes: the role of alcohol and inflammation. Department of Primary
Care and Population Health. London. 2010.
23.Kumar Pramod Avti, Kumar Surender, Mohanpathak Chander, Kim
Vaipei. Smokeless tobacco impairs the antioxidant devense in liver, lung,
24.Jaime R dkk. Antituberculosis Drug-Indeuced Hepatotoxicity The Role of
Hepatitis C Virus and The Human Immunodeficiency Virus. American
Journal Of Respiratory and Critical Care Medicine VOL 157. The
University of Miami School of Medicine, Division of Pulmonary Diseases
and Critical Care Medicine, Division of Gastroenterology, Department of
Internal Medicine. 1998
Lampiran 1
Sebaran karakteristik responden
Frekuensi Usia Pada Responden
Frekuensi Jenis Kelamin Pada Responden
Jeniskelamin
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Laki-laki 66 73.3 73.3 73.3
Perempuan 24 26.7 26.7 100.0
Total 90 100.0 100.0
Usia
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid 15-60 76 84.4 84.4 84.4
>60 14 15.6 15.6 100.0
Frekuensi Responden Yang Mengkonsumsi Alkohol
Riwayat_konsumsi_alkohol
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Ya 25 27.8 27.8 27.8
Tidak 65 72.2 72.2 100.0
Frekuensi Responden Berdasarkan Status Gizi
Status_Gizi
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Baik 21 23.3 23.3 23.3
Kurang 46 51.1 51.1 74.4
buruk 23 25.6 25.6 100.0
Frekuensi Responden Berdasarkan Riwayat Penyakit Hati Sebelumnya
Riwayat_Penyakit_Hati_Sebelumnya
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Ya 9 10.0 10.0 10.0
Tidak 81 90.0 90.0 100.0
Frekuensi Responden Berdasarkan Riwayat Konsumsi Rokok
Riwayat_Merokok
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Ya 62 68.9 68.9 68.9
Tidak 28 31.1 31.1 100.0
Total 90 100.0 100.0
Frekuensi Responden Berdasarkan Riwayat Konsumsi Obat Lain
Konsumsi_Obat_Lain
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Ya 7 7.8 7.8 7.8
Tidak 83 92.2 92.2 100.0
Lampiran 2
Hubungan DIH dengan variabel bebas
Hubungan Hepatitis Imbas OAT denganUsia
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
usia *
Kadar_SGPT_Sesudah_Kon
sumsi_OAT
90 100.0% 0 .0% 90 100.0%
usia * Kadar_SGPT_Sesudah_Konsumsi_OATCrosstabulation
Kadar_SGPT_Sesudah_Konsumsi_OAT
Total
<51 51-125 126-250 251-500
usia 15-60 Count 37 29 8 2 76
Expected Count 36.3 30.4 7.6 1.7 76.0
>60 Count 6 7 1 0 14
Expected Count 6.7 5.6 1.4 .3 14.0
Total Count 43 36 9 2 90
Expected Count 43.0 36.0 9.0 2.0 90.0
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig.
(2-sided)
Pearson Chi-Square 1.002a 3 .801
Likelihood Ratio 1.300 3 .729
Linear-by-Linear Association .017 1 .897
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig.
(2-sided)
Pearson Chi-Square 1.002a 3 .801
Likelihood Ratio 1.300 3 .729
Linear-by-Linear Association .017 1 .897
a. 3 cells (37.5%) have expected count less than 5. The minimum
expected count is .31.
Two-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Frequencies
usia N
Kadar_SGPT_Sesudah_Kon
sumsi_OAT
15-60 76
>60 14
Total 90
Test Statisticsa
Kadar_SGPT_S
esudah_Konsum
si_OAT
Most Extreme Differences Absolute .060
Positive .058
Negative -.060
Kolmogorov-Smirnov Z .207
Asymp. Sig. (2-tailed) 1.000
Hubungan Hepatitis Imbas OAT dengan Jenis Kelamin
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
jeniskelamin *
Kadar_SGPT_Sesudah_K
onsumsi_OAT
90 100.0% 0 .0% 90 100.0%
jeniskelamin * Kadar_SGPT_Sesudah_Konsumsi_OATCrosstabulation
Kadar_SGPT_Sesudah_Konsumsi_OAT
Total
<51 51-125 126-250 251-500
jeniskelamin Laki-laki Count 24 34 8 0 66
Expected
Count 31.5 26.4 6.6 1.5 66.0
Perempuan Count 19 2 1 2 24
Expected
Count 11.5 9.6 2.4 .5 24.0
Total Count 43 36 9 2 90
Expected
Count 43.0 36.0 9.0 2.0 90.0
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig.
(2-sided)
Pearson Chi-Square 21.567a 3 .000
Likelihood Ratio 23.630 3 .000
Linear-by-Linear Association 3.641 1 .056