• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pidana Bersyarat Menurut Hukum Pidana Islam Dan KUHP

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pidana Bersyarat Menurut Hukum Pidana Islam Dan KUHP"

Copied!
93
0
0

Teks penuh

(1)

PIDANA BERSYARAT MENURUT

HUKUM PIDANA ISLAM DAN KUHP

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (SH)

Oleh :

Asharyanto

NIM : 105045101482

KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM

PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARI'AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

(2)

PIDANA BERSYARAT MENURUT

HUKUM PIDANA ISLAM DAN KUHP

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (SH)

Oleh:

Asharyanto NIM : 105045101482

Pembimbing

Asmawi, M.Ag NIP. 150 282 394

KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM

PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARI'AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

(3)

LEMBAR PENYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan Memperoleh gelar strata I di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta,

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta,

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 2 Juni 2009

(4)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul PIDANA BERSYARAT MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM DAN KUHP telah diujikan dalam Sidang Munaqasah Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 2 Juni 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum (SH) pada Program Studi Pidana Islam.

Jakarta, 2 Juni 2009 Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum

Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP. 150 210 422

PANITIA UJIAN

1. Ketua : Asmawi, M.Ag (...) NIP. 150 282 394

2. Sekretaris : Sri Hidayati, M.Ag (...) NIP. 150 282 403

3. Pembimbing : Asmawi, M.Ag (...) NIP. 150 282 394

4. Penguji I : H. Abdul Wahab Abd Muhaimin, Lc, MA (...) NIP. 150 238 774

(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan hidayah, taufiq, serta nikmat-Nya, sehingga Alhamdulillah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Salawat serta salam senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Muhammad saw, kepada keluarganya, sahabat serta umatnya hingga akhir zaman.

Penulis menyadari bahwa dalam menyelesaikan skripsi ini tidak sedikit hambatan serta kesulitan yang penulis hadapi. Namun berkat kesungguhan hati dan kerja keras serta dorongan dan bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung, sehingga hal-hal tersebut dapat penulis atasi dengan sebaik-baiknya. Untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis berterima kasih kepada: 1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H. M.A. M.M., Dekan Fakultas

Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Bapak Asmawi, M.Ag., dan Ibu Sri Hidayati, M.Ag., sebagai Ketua dan

Sekretaris Jurusan Jinayah Siyasah, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Yang tanpa henti memberikan dorongan dan semangat kepada penulis, serta yang dengan tulus ikhlas meluangkan waktunya untuk membantu penulis dalam berbagai hal yang berhubungan dengan akademis.

(6)

3. Asmawi, M.Ag., selaku Dosen Pembimbing skripsi penulis yang dengan sabar telah memberikan banyak masukan dan saran-saran sehingga skripsi ini dapat selesai dengan baik. Semoga apa yang telah bapak ajarkan dan arahkan mendapat balasan dari Allah SWT .

4. Kepada seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah mentransfer ilmunya dengan ikhlas kepada penulis, serta para pengurus perpustakaan yang telah meminjamkan buku-buku yang diperlukan oleh penulis.

5. Ayahanda Hermanto Madjahir (almarhum) atas segala, nasihat dan ilmu bermanfaat yang telah ditinggalkan sehingga terus memotivasi penulis hingga sekarang dan yang akan datang. Serta kepada Ibunda Nurhayati yang selalu mecurahkan cinta, kasih sayang, dan kesabaran yang tidak terbatas lebih-lebih dukungan moril maupun materiil.

6. Ka’ Nila, Mas Rynto, Ka’ Sari, ditambah si lucu Rafka yang terus-menerus memotivasi dan mengingatkan penulis agar cepat lulus.

7. Citra Ardhini atas segala perhatian, pengertinya dan kasih sayangnya selama ini. 8. Rekan-rekan Mahasiswa Jurusan Pidana Islam 2005 yang tidak dapat disebutkan satu persatu,yang dengan rela dan setia menemani penulis dalam menimba ilmu selama ini di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

(7)

duka. Terima kasih atas kesetian, semangat, kompetisi prestasi, dukungan tak terbendung yang kalian berikan.

10. Aploy, Aziel, Ade, Tyo dan seluruh team futsal Fantasy yang telah membantu dan mendukung sepak terjang penulis.

11. Kepada seluruh donatur beasiswa yang selama ini telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan perkuliahan di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

12. Kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan dorongan, motivasi, bantuan moril dan materiil kepada penulis dalam menyelesaikan studi terutama penulisan skripsi ini.

Akhirnya kepada Allah SWT jualah penulis serahkan, agar semua bantuan dan partisipasi dari bebagai pihak tersebut diberikan-Nya pahala yang berlipat ganda.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya. Amin.

Jakarta : ____________________________

(8)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

D. Metode Penelitian ... 7

E. Tinjauan Pustaka ... 9

F. Sistematika Penulisan ... 11

BAB II : PIDANA DAN PEMIDANAAN A. Pidana Menurut Hukum Pidana Indonesia ... 13

1. Pengertian Pidana ... 13

2. Jenis – Jenis Pidana ... 15

3. Filosofi Pemidanaan dalam Hukum Pidana Indonesia ... 18

B. Pidana Menurut Hukum Pidana Islam ... 27

1. Kategorisasi Tindak Pidana ... 27

(9)

3. Jenis – Jenis Pidana ... 40 4. Filosofi Pemidanaan dalam Hukum Pidana Islam ... 52

BAB III : PANDANGAN HUKUM PIDANA ISLAM DAN KUHP

TERHADAP PIDANA BERSYARAT

A. Pengertian Pidana Bersyarat dan Pengaturan Pidana Bersyarat dalam KUHP ... 54 B. Pengaturan Pidana dengan Syarat dalam RUU KUHP ... 66 C. Pengaturan Pidana Bersyarat dalam Hukum Pidana Islam ... 69

BAB IV : PENUTUP

A. Kesimpulan ... 80 B. Saran – Saran ... 82

(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam membahas hukum pidana, maka tidak dapat dipisahkan dari pembahasan mengenai sanksi pidana yang dikenakan bagi para pelaku tindak pidana. Para sarjana hukum mengutarakan bahwa tujuan hukum pidana adalah; Pertama, untuk menakut – nakuti orang agar jangan sampai melakukan kejahatan (prepentive). Kedua, untuk mendidik atau memperbaiki orang – orang yang sudah menandakan suka melakukan kejahatan agar menjadi orang yang baik tabiatnya (represif).1 Oleh karena itu, penjatuhan pidana bukan sekedar berat ringannya pidana, akan tetapi juga pidana itu efektif atau tidak dan pidana itu sesuai dengan nilai – nilai dan struktural yang hidup dan berkembang di masyarakat.

Bahwa hukuman atau proses pemidanaan yang sesuai dengan apa yang diperbuat si pelaku dan dapat membuat pelaku jera serta menjadikan pelaku berubah kearah yang baik, hal tersebut merupakan suatu bagian penting dalam mewujudkan penegakan hukum. Ini dapat terlihat dari hasil yang dicapai.

Akan tetapi, dilihat dari keadaan dewasa ini proses penegakan hukum masih terlihat maju mundur. Dalam artian bahwa pencapaian suatu nilai keadilan pada masa

1

(11)

sekarang ini masih sangat digantungkan pada kebijaksanaan dan kewibawaan para aparat penegak hukum.2 Dalam hal ini berkaitan dengan Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) memberikan suatu kebebasan bagi aparat penegak hukum, antara lain Jaksa sebagai penuntut umum untuk menuntut seorang terdakwa, yang menurutnya secara sah dan meyakinkan telah melakukan sebuah tindak pidana sesuai dengan ketentuan hukum yang mengaturnya. Ketentuan tersebut juga berlaku untuk hakim sebagai pemberi keputusan atas suatu tindak pidana. Namun dalam menjatuhkan putusan terhadap suatu perkara terutama perkara pidana, hakim harus mempertimbangkan banyak hal. Dalam artian ketika hakim melaksanakan tugasnya antara hukum dan keadilan tidak boleh menyimpang dari aturan normatif yang berlaku. Tetapi juga ia dapat memutus suatu perkara dengan memandang sisi sosiologis dari sebuah perkara.

Penegakan hukum dalam perkara pidana pada suatu negara dapat dikatakan berhasil, tidak hanya semata – mata hakim yang menangani perkara pidana tersebut telah menjatuhkan sanksi pidana yang adil, baik bagi si korban ataupun si pelaku itu sendiri. Namun perlu juga diperhatikan bahwa putusan yang menyangkut penjatuhan sanksi pidana tersebut, seyogyanya dapat diterapkan sebagai tindakan untuk merubah perilaku salah (menyimpang) yang dilakukan oleh pelaku tersebut.

Pidana bersyarat merupakan jenis pidana yang memberi kesan sebagai solusi dari suatu bentuk tindak pidana yang dijatuhkan oleh hakim bagi seseorang

2

(12)

agar tidak muncul pengaruh yang buruk yang lebih berbahaya lagi bagi orang tersebut apabila dimasukan kedalam lembaga permasyarakatan, sehingga hal ini hakim mempertimbangkan pengaruh pidana terhadap masa depan pelaku tindak pidana.3 Perlu diketahui bahwa dalam pemidanaan bersyarat setiap seorang terpidana yang telah dijatuhi pidana tertentu yang berkekuatan hukum tetap tidak diharus menjalani pidananya di dalam lembaga permasyarakatan akan tetapi ia dapat berada di luar penjara. Tetapi perlu dicatat terpidana tersebut tidak sertamerta bebas begitu saja, melainkan ia mempunyai dan diikat dengan syarat – syarat tertentu yang telah ditetapkan oleh majelis hakim.

Ketentuan – ketentuan yang mengatur masalah pidana bersyarat ada di dalam pasal 14a – 14f Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP) dan ditambahkan kedalam KUHP dengan Staatsblad tahun 1926 nomor 251 jo nomor 486 dan mulai diberlakukan di Indonesia pada tanggal 1 Januari 1927.4

Walaupun sering disebut dengan pidana bersyarat (Voorwaardelijke Veroordeling), tetapi sesungguhnya bukan salah satu jenis pidana, karena tidak disebut dalam pasal 10 KUHP.5 Maka pidana bersyarat bisa dikatakan sebagai suatu sistem penjatuhan pidana tertentu.

Menurut penulis masalah pidana bersyarat merupakan suatu hal yang menarik untuk disimak dan dicermati, karena pidana bersyarat merupakan suatu

3

Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponogoro, 1995), h. 105

4

P.A.F. Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, (Bandung: Amrico, 1984), h. 148

5

(13)

putusan peradilan yang berkekuatan hukum tetap, yang pada dasarnya merupakan produk pengadilan yang harus dipatuhi dan dijalankan sesuai dengan diperintahkan. Pidana bersyarat merupakan pidana bagi seorang terpidana yang telah dijatuhi pidana tertentu tetapi tidak diharuskan menjalani pidananya di dalam lembaga pemasyarakatan melainkan ia dapat berada diluar penjara. Apabila dalam waktu tertentu terpidana tersebut di pidana karena melakukan tindak pidana yang lain maka pidana yang dijatuhkan kepadanya akan menjadi lebih berat, ini di karenakan selain pidana yang dijatuhkan akibat tindak pidananya yang terakhir kemudian ditambah dengan pidana pokok yang disyaratkan sebelumnya, jadi jelaslah bahwa keberadaan pidana bersyarat disini bukan merupakan putusan bebas akan tetapi lebih cenderung di titik beratkan kepada proses permasyarakatan terpidana. Dimana bukan tidak mungkin apabila putusan yang dijatukan adalah perampasan kemerdekaan seperti penjara maka akan membuat terpidana tersebut lebih “pandai” lagi dalam melakukan tindak pidana.

(14)

yang diperbuatnya, begitu juga dengan korban mendapatkan haknya untuk melihat si pelaku tindak pidana di jatuhkan putusan yang setimpal.

Atas dasar pemikiran diatas , maka penulis merasa perlu dan berkepentingan membahas persoalan ini. Dan kemudian memberikan alasan bagi penulis untuk memberi judul "PIDANA BERSYARAT MENURUT TINJAUAN HUKUM PIDANA ISLAM”

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Salah satu aspek yang paling penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia adalah bidang hukum. Budaya masyarakat yang seringkali hanya mengetahui bahwa hukuman terhadap sebuah tindak pidana adalah penjara. Ini dikarenakan bahwa masyarakat belum memahami hukum secara mendalam. Padahal di dalam hukum positif negara Indonesia dikenal adanya putusan pidana bersyarat (pasal 14 KUHP). Pidana bersyarat itu sendiri adalah salah satu bentuk pidana yang dijatuhkan oleh hakim bagi seseorang agar tidak muncul pengaruh buruk yang lebih berbahaya lagi bagi orang tersebut apabila dimasukan kedalam lembaga permasyarakatan, sehingga dalam hal ini hakim mempertimbangkan pengaruh pidana terhadap masa depan pelaku tindak pidana.

(15)

menurut pandangan hukum pidana Islam mengenai aturan Pidana Bersyarat di Indonesia ini.

Dengan mengacu kepada idenifikasi masalah diatas, kemudian penulis menjadikan pidana bersyarat menurut tinjauan hukum pidana Islam sebagai fokus masalah dalam penelitian ini.

Setelah adanya pokok masalah di atas, penulis selanjutnya membuat perumusan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana deskripsi umum tentang pidana dan pemidanaan menurut hukum pidana Indonesia dan hukum pidana Islam?

2. Bagaimana pengaturan pidana bersyarat menurut hukum pidana Indonesia? 3. Bagaimana pandangan Hukum Pidana Islam terhadap aturan Pidana Bersyarat

di Indonesia ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Dari latar belakang dan perumusan masalah yang telah dikemukakan diatas, dapat diketahui bahwa tujuan umum dari penulisan ini adalah :

1. Menjelaskan deskripsi umum tentang pidana dan pemidanaan menurut hukum pidana Indonesia dan hukum pidana Islam.

2. Menjelaskan tentang pengaturan pidana bersyarat menurut hukum pidana Indonesia.

(16)

Hasil Penelitian ini diharapkan berguna bagi pengembangan pengetahuan ilmiah di bidang Hukum Pidana yang berwawasan keislaman. Selain itu, diharapkan pula dapat memberikan informasi tentang Pidana Bersyarat kepada masyarakat luas, yang bisa dikatakan masih awam dalam memahami jenis pemidanaan yang satu ini.

D. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

a. Adapun jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif,6 yakni penelitian yang data-datanya diungkapkan melalui kata-kata, norma atau aturan-aturan, dengan kata lain penelitian yang memanfaatkan data kualitatif. b. Penelitian Hukum Normatif – Doktriner, yakni Penelitian yang mengkaji

asas-asas dan norma-norma suatu sistem hukum. Penulis mencoba menelaah dan meninjau aspek – aspek hukum yang berkenaan dengan permasalahan ini. 7 c. Penelitian Deskriptif, yakni menjelaskan satu variabel penelitian dengan

menggambarkan masalah, mengumpulkan, menyusun dan menyeleksi data sehingga dapat diambil kesimpulannya.

d. Sumber Data

Sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah :

6

Lexi J Moleong, Metedologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2005), cet. ke-21, h. 6

7

(17)

a. Bahan Hukum primer yang digunakan, yaitu: norma atau aturan yang membahas langsung masalah ini. Diantaranya, Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan Undang – Undang Nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (KUHP).

b. Bahan Hukum sekunder yang digunakan, yaitu:berupa literatur-literatur yang terkait dengan fokus masalah penelitian.

e. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini menggunakan teknik; Studi Dokumenter, yakni dengan menelaah buku dan bahan tertulis lainnya yang relevan dengan penelitian ini.

f. Teknik Analisis Data

Dalam menganalisis data, diterapkan teknik analisis isi secara kualitatif. Dengan teknik ini penulis berusaha untuk mengkualifikasikan bahan-bahan yang telah diperoleh dan disusun, kemudian melakukan interpretasi dan formulasi. Yang mana, penulis menggambarkan objek pembahasan dengan apa adanya untuk kemudian dicermati secara mendalam.

f. Teknik Penulisan

(18)

E. Tinjauan Pustaka

Sejumlah penelitian yang memaparkan tentang masalah yang dikaji dalam skripsi ini secara spesifik belum ada. Hanya penjelasan secara umum yang banyak ditemukan pada buku – buku. Adapun buku – buku yang menjelaskan secara rinci permasalahan yang penulis bahas jumlahnya sangat sedikit bisa dikatakan jarang. Berikut ini paparan secara umum atas sebagian buku - buku tersebut.

Buku pertama merupakan buku yang paling lengkap sebagai refrensi untuk masalah Hukum Pidana Islam. buku tersebut adalah At-Tasryi’ al-jina’I al-Islamiy Muqaranan bil Qanunil Wad’iy, yang dikarang oleh Abdul Qadir Audah. Buku ini membahas tentang tindak pidana beserta hukumannya dalam koridor Hukum Islam, dimana Hudud, Qisash-Diat, maupun Takzir ada didalamnya. Namun, untuk permasalahan yang diangkat penulis mengenai “pidana bersyarat”, tidak diketemukan pembahasannya dalam buku ini. Baik secara istilah ataupun lebih mendalam lagi. Berangkat dari itu, penulis yakin dan perlu mengangkat permasalahan tersebut.

Buku selanjutnya karya Ahmad Hanafi, yang berjudul “Asas-Asas Hukum Pidana Islam”. Dalam buku ini memang menjelaskan tentang macam – macam jarimah yang ada didalam hukum Islam, baik itu jarimah hudud, qishash – diyat, maupun ta’zir. Akan tetapi, seperti pada buku sebelumnya untuk permasalahan “pidana bersyarat” tidak ditemukan pembahasannya.

(19)

hukum Islam, yang mana pembidangan dari Pidana Islam (Jinayah) membahas tentang jarimah – jarimah Hudud, Qishash-diyat, serta takzir. Untuk itu dipandang perlu mengangkat permasalahan mengenai “pidana bersyarat” yang belum dibahas dalam buku ini khususnya dan umumnya secara koridor hukum pidana Islam.

Buku lain yang membahas tentang masalah pidana bersyarat adalah buku yang ditulis oleh Wirjono Prodjodikoro, dengan judul “Asas-asas hukum pidana di Indonesia”. Buku ini berisi tentang seluk beluk dari hukum pidana salah satunya membahas tentang strafstesel (sistem hukuman pidana), yang didalamnya membahas masalah penghukuman bersyarat (pidana bersyarat). Walaupun dalam buku ini dirasa cukup dalam menjelaskan masalah pidana bersyarat, namun menurut hemat penulis tidak ada salahnya lebih mengeksplor lagi dengan mengkomparasikan antara dua tipe hukum (Hukum Pidana di Indonesia dan Hukum Pidana Islam) dalam hal suatu konsep penjatuhan pidana dan pemidanaan tentunya.

(20)

pidana bersyarat dalam konteks hukum pidana di Indonesia, sedangkan skripsi yang ditulis oleh penulis ini menjelaskan pidana bersyarat dalam tinjauan hukum Islam.

Melihat beberapa buku – buku diatas yang dijadikan tinjauan pustaka oleh penulis, cukup menggambarkan apa yang penulis akan bahas, tetapi menurut hemat penulis masih belum cukup mewakili apa yang sebenarnya terjadi dimasyarakat. Untuk itu penulis sangat merasa yakin permasalahan yang penulis ajukan dapat membuka paradigma para pembaca nantinya, karena tanpa penjelasan ataupun sosialisasi yang cukup hukum tidak dapat terlaksana dengan baik.

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan merupakan pola dasar pembahasan sripsi dalam bentuk bab – bab yang berhubungan dengan masalah yang diteliti, untuk lebih memudahkan dalam memahami masalah ini, penulis membaginya menjadi lima bab, yaitu :

Bab Pertama, merupakan bagian pendahuluan atau berisikan pengantar, yang memuat latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian dan sistematika pembahasan. Yang dimaksudkan agar para pembaca sudah dapat mengetahui garis besar penelitian. Bab pertama ini adalah pengantar.

(21)

Pidana dan Pemidanaan, serta menjelaskan tentang filosofi pemidanaan menurut Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Indonesia,.

Bab Ketiga, terdiri dari tiga sub bab yang membahasa tentang, Pertama; Pengertian Pidana Bersyarat dalam hukum Pidana Indonesia, Kedua; Pengaturan Pidana bersyarat dalam KUHP dan RUU KUHP Tahun 2004. Serta, dalam bab ini penulis melakukan analisa mengenai Pidana bersyarat dengan melakukan tinjauan menurut Hukum Pidana Islam dan KUHP.

(22)

BAB II

PIDANA DAN PEMIDANAAN

A. Pidana dan Pemidanaan Menurut Hukum Pidana Indonesia 1. Pengertian Pidana

Istilah ”Hukuman” berasal dari kata straf yang merupakan istilah yang sering digunakan sebagai sinonim dari istilah ”pidana”.8 Namun dalam referensi lain menyebutkan istilah Pidana berasal dari bahasa Hindu Jawa yang artinya hukuman, nestapa atau sedih hati.9

Istilah hukuman yang merupakan istilah umum dan konvensional, dapat mempunyai arti yang luas dan berubah – ubah karena dapat berkonotasi dengan bidang yang cukup luas. Oleh karena itu, perlu ada pembatasan istilah yang lebih khusus. Maka kebanyakan para sarjana ilmu hukum memakai istilah pidana untuk menggantikan kata hukuman.

Sudarto mendefinisikan pidana sebagai penderitaan/nestapa yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan (melanggar kententuan undang – undang) yang memenuhi syarat – syarat tertentu.

8

Niniek Suparni, Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), Ed.1, cet.2, h. 11

9

(23)

Kemudian, Roeslan Saleh mengartikan Pidana sebagai reaksi atas delik, yang berwujud suatu nestapa yang sengaja ditimpakan negara kepada pembuat delik itu.10

Adami Chazawi, berpendapat bahwa pidana adalah suatu penderitaan yang sengaja dijatuhkan atau diberikan oleh Negara pada seseorang atau beberapa orang sebagai akibat hukum (sanksi) baginya atas perbuatan yang telah melanggar larangan hukum pidana.11

Muladi dan Barda Nawawi menjelaskan tentang arti dari pidana, yaitu : a. Pidana merupakan suatu pengenaan atau nestapa atau akibat-akibat

lain yang tidak menyenangkan.

b. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (wewenang).

c. Pidana dikenakan kepada seorang yang telah melakukan tindak pidana menurut Undang-undang. 12

Berdasarkan pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa pidana adalah menjatuhkan suatu tindakan yang tidak enak dirasakan, atau siksaan bagi pelanggar peraturan hukum yang telah dibuat oleh negara, yang semua itu merupakan suatu balasan bagi orang yang melanggar hukum (Undang-undang) demi untuk terpelihara

10

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: PT Alumni, 2005), h. 2

11

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, h. 24

12

(24)

ketertiban di masyarakat. Untuk itu, penulis lebih memilih kata pidana dalam menafsirkan arti dari ‘straf’ ketimbang kata hukuman.

2. Jenis-Jenis Pidana

Bagian terpenting dari KUHP adalah stesel pidananya, karena KUHP tanpa stesel pidana tidak ada artinya. Pidana merupakan bagian mutlak dari hukum pidana. Jenis pidana tercantum didalam pasal 10 KUHP. Jenis pidana ini dibedakan antara pidana pokok dan pidana tambahan. Urutan pidana dalam pasal 1013 tersebut dibuat menurut beratnya jenis pidana.14

a. Pidana Pokok

Pidana pokok ialah pidana inti dalam setiap jenis tindak pidana. Pidana okok dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana tambahan. Dimana jenis pidana pokok dapat berbentuk:

1. Pidana Mati, adalah Pidana yang dilaksanakan untuk menghilangkan nyawa terhukum.15

2. Pidana Penjara, adalah bentuk pidana berupa kehilangan kemerdekaan. Menurut pasal 12 ayat 1-4 KUHP dikatakan bahwa pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu. Pidana penjara selama waktu

13

Moeljatno, KUHP (Wetboek van Strafrecht), (Jakarta: Bumi Aksara, 1999), h. 5

14

Sistem pemidanaan di Indonesia mengenal batas minimum tetapi tidak mengenal batas maksimum pada umumnya. Dimana batas minimum satu hari terhadap kebebasan terhukum. Sedangkan mengenai hal batas maksimum setiap delik menentukan batas maksimumnya sendiri.

15

(25)

tertentu paling singkat adalah satu hari dan paling lama lima belas tahun berturut-turut.

3. Pidana Kurungan (vrijheidstraf), adalah pidana terhadap seseorang yang lebih ringan dari pidana penjara. Pidana kurungan diadakan di daerah tempat kediaman terhukum (pasal 21 KUHP), pekerjaan yang dibebankan kepada terpidana lebih ringan dari pidana penjara (pasal 19 ayat 2 KUHP). Menurut pasal 18 ayat 1-3 pidana kurungan paling sedikit adalah satu hari dan paling banyak selama satu tahun, kemudian jika ada pemberatan pidana yang dikarenakan perbarengan atau pengulangan atau karena ketentuan pasal 52 dan 52a, maka pidana kurungan dapat ditambah menjadi satu tahun empat bulan, dan pidana kurungan tidak boleh lebih dari satu tahun empat bulan.

4. Pidana Denda (vermogenstraf), berarti Pidana yang berupa keharusan membayar dengan uang atau juga dalam arti uang dibayarkan sebagai pemidanaan karena melanggar hukum. Jadi pidana denda adalah hukuman kekayaan. Pada masa modern ini pidana denda dijatuhkan terhadap delik-delik ringan, berupa pelanggaran atau kejahatan ringan. Pidana denda satu-satunya pidana yang dapat dipikul orang lain, karena tidak ada larangan jika denda itu secara sukarela dibayarkan oleh orang lain atas nama terpidana.

(26)

Pidana tambahan ialah pidana yang tidak dapat dijatuhkan tersendiri, jadi selalu dijatuhkan bersama-sama dengan pidana pokok. Jenis pidana tambahan dapat berbentuk:

1. Pencabutan hak-hak tertentu. Pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu tidak berarti hak-hak-hak-hak terpidana dapat dicabut. Pencabutan tersebut tidak meliputi pencabutan hak-hak kehidupan dan juga hak-hak sipil (perdata) serta hak-hak ketatanegaraan. Dalam pencabutan hak-hak tertentu disini harus ditetapkan dengan putusan hakim serta ada jangka waktunya tidak berlaku selama seumur hidup ini pun dengan suatu putusan hakim (Pasal 35 KUHP).

2. Perampasan barang-barang tertentu. Pidana perampasan merupakan pidana kekayaan, seperti juga halnya dengan pidana denda. Ada dua macam barang yang dapat dirampas, yaitu pertama barang-barang yang didapat karena kejahatan dan kedua, barang-barang yang dengan sengaja digunakan dalam melakukan kejahatan (Pasal 39 ayat 1-3 KIHP).

(27)

terpidana dan juga nama baik terpidana tercemar atau menjadi tidak baik.16

3. Filosofi Pemidanaan dalam Hukum Pidana Indonesia

Dalam uraian tentang filosofi pemidanaan ini akan diketengahkan mengenai teori – teori hukum pidana (Strafrechtstheorien) dan aliran – aliran dalam hukum pidana (Strafrechtscholen) kemudian barulah tentang tujuan dari pemidanaan itu sendiri.

Para penulis Jerman membagi pemidanaan ke dalam tiga golongan pokok, yaitu teori pembalasan, teori tujuan dan teori gabungan.

1. Teori Pembalasan (Absolut, Vergelding)

Teori pembalasan membenarkan pemidanaan karena seseorang telah melakukan suatu tindak pidana, sehingga pelakunya mutlak dijatuhkan pidana yang merupakan pembalasan terhadap tindakan tadi. Tidak dipersoalkan akibat dari pemidanaan bagi terpidana. Bahkan pertimbangan untuk pemidanaan hanyalah masa lampau, maksudnya masa terjadinya tindak pidana itu. Masa datang bermaksud memperbaiki penjahat tidak dipersoalkan. Jadi seorang penjahat mutlak harus dipidana.17

16

Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: PT RINEKA CIPTA, 1994), cet.2, h. 175

17

(28)

2. Teori Tujuan (Relatif)

Teori ini bertujuan untuk melindungi masyarakat atau mencegah terjadinya kejahatan, supaya orang jangan melakukan kejahatan (ne peccetur). Sebenarnya teori ini lebih tepat disebut Teori Perbaikan/Perlindungan. Perbedaan dari beberapa teori yang termasuk dalam kelompok teori tujuan ini, terletak pada cara untuk mencapai tujuan dan penilaian terhadap kegunaan pidana. Diancamkannya dan dijatuhkannya suatu pidana dimaksudkan untuk menakut-nakuti calon penjahat atau penjahat bersangkutan, untuk memperbaiki penjahat, untuk menyingkirkan penjahat.18

Jadi teori ini bisa dikatakan menentang teori absolute, dimana teori ini mendasarkan pidana bukan kepada balas dendam melainkan menekankan kepada tujuan atau maksud dari setiap pemidanaan.

3. Teori Gabungan (vereeningings-theorie)

Teori ini muncul dengan mendasarkan pemidanaan kepada perpaduan teori pembalasan dengan teori tujuan, yang disebut sebagai teori gabungan. Penganut dari teori ini Binding, beliau mengatakan bahwa teori pembalasan dan teori tujuan masing – masing mempunyai kelemahan – kelemahan. Pada teori pembalasan (vegelding) sama sekali tidak memberi rasa kepuasan terhadap masyarakat, dimana pidana dijadikan sifatnya sebagai pembalasan. Sedang hukum pidana diadakan untuk masyarakat.

(29)

Adapun di dalam teori relatif, Binding merasa keberatan, karena melihat kepada siapa pidana berat itu harus dijatuhkan , jika pidana itu hanya untuk menakut – nakuti saja, baik kepada umum ataupun perseorangan.

Jadi teori gabungan mengajarkan tujuan pidana itu untuk mempertahankan ketertiban masyarakat, dengan memepertimbangkan rasa keseimbangan antara pidana yang dijatuhkan dengan kejahatan yang telah dilakukan.19

Setelah melihat penjelasan tentang teori pemidanaan, penulis akan menjelaskan tentang aliran-aliran dalam hukum pidana, dimana penulis mencoba menemukan sinkronisasi antara teori pemidanaan dengan aliran dalam hukum pidana. Aliran-aliran tersebut antara lain:

1. Aliran Klasik (Deklassieke School)

Aliran ini timbul pada abad ke-18 di Perancis, dimana pada waktu itu sering terjadi ketidak-pastian hukum, ketidak-samaan dalam hukum dan ketidak-adilan. Tujuan hukum pidana adalah untuk melindungi individu dari kekuasaan penguasa atau negara. Maka aliran ini memberikan pendapat tentang tujuan pemidanaan, yaitu untuk memperjuangkan hukum pidana yang lebih adil, objektif dengan penjatuhan pidana yang lebih menghormati individu.20 Dalam artian pemidanaan dilihat dari perbuatan (daadstrafrecht) yang dilakukan bukan terhadap subjek yang melakukan.

19

Ibid., h. 58 - 62

20

(30)

Dalam hal pidana dan pemidanaan, aliran ini pada awal timbulnya sangat membatasi kebebasan hakim untuk menetapkan jenis pidana dan ukuran pemidanaan. Dikenallah pada waktu itu sistem “the definite sentence” yang sangat kaku (rigid) seperti terlihat di dalam Code Perancis 1791. Aliran klasik ini berpijak pada tiga tiang:

a. Azas legalitas, yang menyatakan bahwa tiada pidana tanpa undang-undang, tiada tindak pidana tanpa undang-undang dan tiada penuntutan tanpa undang-undang;

b. Azas kesalahan, berisi bahwa orang hanya dapat dipidana untuk tindak pidana yang disengaja atau karena kealpaan;

c. Azas pengimbalan (pembalasan) yang sekuler, yang mana pidana secara konkret tidak dikenakan dengan maksud untuk mencapai sesuatu hasil yang bermanfaaat, melainkan setimpal dengan berat-ringannya perbuatan yang dilakukan

Dua tokoh utama dari aliran klasik adalah Cesare Beccaria (1738 – 1794) dan Jeremy Betham (1748 – 1832).

(31)

Untuk itu Beccaria tidak yakin terhadap pidana yang berat atau kejam. Pencegahan akan datang, tiada dari pidana yang berat, tetapi dari pidana yang patut (appropriate), yang tepat (promp), dan pasti (inevitable).

Kemudian seorang filosof Inggris yang ahli dalam hukum Jeremy Betham, memberikan pendapatnya tentang pemidanaan. “ Pidana bukan suatu bentuk balas dendam tetapi sebagai sarana untuk mencegah kejahatan atau kerugian yang lebih besar”. Jadi Betham lebih menekankan kepada tujuan yang hendak dicapai dalam suatu pemidanaan. 21

Jika melihat pemaparan diatas, penulis menganalisis tentang konsep pemidanaan dari aliran ini. Aliran ini lebih menekankan bahwa pidana yang dijatuhkan harus sesuai dengan kejahatan yang dilakukan artinya adalah perbuatannya, dengan tujuan pidana tersebut tidak memihak pada individu ataupun golongan tertentu. Karena perbuatan tersebut merupakan tindak pidana yang oleh hukum (undang-undang) dilarang atau dinyatakan salah.

Sinkronisasi yang terlihat dalam aliran modern ini dengan teori pemidanaan ialah, bisa dianggap aliran ini memakai teori pembalasan sebagai bentuk pemidanaan. Ini diakibatkan karena pada masa tersebut sering terjadi ketidak-pastian hukum dan pada akhirnya perampasan keadilan dan kesamaan hak dimata hukum. Dimana teori pembalasan lebih menekankan kepada perbuatan dilakukan bukan kepada subjek yang melakukan. Walaupun teori pembalasan lebih keras lagi menyatakan tentang

21

(32)

berat yang ditanggung korban harus setimpal dengan pidana yang akan dijatuhkan kepada si pembuat.

2. Aliran Moderen (Modern School)

Alran ini timbul pada abad ke-19 dan yang menjadi pusat perhatiannya adalah si pembuat. Aliran ini sering disebut aliran positif. Menurut aliran ini, perbuatan seseorang tidak dapat dilihat secara abstrak dari sudut yurudis semata-mata terlepas dari orang yang melakukannya, tetapi harus dilihat secara konkret bahwa perbuatan seseorang itu dipengaruhi oleh watak pribadinya, faktor biologis, dan faktor lingkungan kemasyarakatannya.

Perkembangan ilmu kemasyarakatan telah juga turut memperkembangkan ilmu pengetahuan hukum pidana. Kriminologi yang objek penelitiannya antara lain adalah tingkah laku orang perseorangan dan atau masyarakat adalah salah satu ilmu yang memperkaya IPHP (Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana). Pengaruh kriminologi sebagai bagian dari “Social Science” menimbulkan satu aliran baru yang menganggap bahwa tujuan peraturan hukum pidana adalah untuk memberantas kejahatan agar terlindung kepentingan hukum dan masyarakat.22 Tokoh aliran ini antara lain Lombroso, Lacassagne dan Ferri.

22

(33)

Jadi poin penting dalam aliran ini adalah bahwa kejahatan yang dilakukan pertanggungjawabannya bukan kepada perbuatannya tetapi kepada sifat berbahaya atau tidakkah si pembuat (etat dangereux).23

Hal-hal yang telah dijelaskan diatas menjadi suatu penerangan tentang teori pemidanaan yang digunakan dalam aliran ini. Dimana poin penting seperti subjektifitas (keadaan si pembuat) dan masa yang akan datang (proses rehabilitasi) merupakan bagian penting dalam aliran ini. Untuk itu penulis melakukan sinkronisasi antara aliran modern dengan teori pemidanaan.

Bahwa aliran ini bisa dianggap memakai teori pemidanaan yang berdasarkan dengan tujuan atau biasa disebut dengan teori relatif. Teori relatif ini lebih menekankan kepada perbaikan si pembuat dan perlindungan terhadap masyarakat.

Akan tetapi, menurut penulis aliran ini tidak hanya didasarkan kepada teori tujuan (relatif), melainkan aliran ini juga mengadopsi teori gabungan. Dimana tujuan pemidanaan tidak harus mengurangi nilai dari pidana yang dijatuhkan terhadap si pembuat.

Setelah melihat pemaparan tentang teori pemidanaan dan aliran-aliran dalam hukum pidana. Sampailah kepada penjelasan tentang tujuan pemidanaan. Dimana tujuan pemidanaan merupakan bagian penting dari jatuhkannya sebuah pidana dan pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana. Salah satu tujuan pemidanaan terhadap

23

(34)

pelaku tindak pidana adalah mencegah atau menghalangi pelaku tindak pidana dan orang-orang yang mempunyai maksud melakukan kejahatan. Yang mana pencegahan ini mempunyai aspek ganda, yaitu:

1. Pencegahan individual; bilamana penjahat dapat dicegah melakukan suatu kejahatan di kemudian hari apabila ia sudah mengalami dan sudah meyakini bahwa kejahatan itu membawa penderitaan baginya. (pada bagian ini pidana dianggap mempunyai daya untuk memperbaiki diri)

2. Pencegahan khusus; pencegahan ini memiliki beberapa segi faktor yang harus dilihat, yaitu:

a. Faktor tipologi kejahatan (jenis) tekanan emosional dan kelainan jiwa. b. Faktor karakteristik dan personalitas pelaku kejahatan (kedudukan

ekonomi, sosial, latarbelakang keluarga pelaku)

c. Faktor kepastian dan kecepatan penjatuhan pidana (resiko ditangkap dan penanganan perkaranya secara cepat).24

Jika kita menilik pada KUHP yang merupakan warisan Belanda, yang berlaku sampai sekarang, tidaklah diatur sama sekali mengenai tujuan pemidanaan ini.

Namun dalam naskah Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (WvS) Konsep 2004 (untuk selanjutnya disebut RUU KUHP), tujuan pemidanaan

24

(35)

atau hukuman ini ditentukan dengan tegas. Yang tercantum dalam Bab III pasal 54 RUU KUHP25 :

(1) Pemidanaan bertujuan:

a. mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat;

b. memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna;

c. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat;dan

d. membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

(2) Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia.

Jadi, pidana hendaknya dipertahankan sebagai salah satu sarana social

defence dalam arti melindungi masyarakat terhadap kejahatan dengan memperbaiki atau memulihkan kembali (rehabilitate) si pembuat tanpa mengurangi keseimbangan perorangan (pembuat) dan masyarakat.

Melihat dari uraian diatas bisa dikatakan tujuan yang akan dicapai melalui adanya pemidanaan, yaitu:

 Memperbaiki pribadi dari penjahat itu sendiri.

25

(36)

 Untuk membuat orang menjadi jera untuk melakukan kejahatan.

 Untuk membuat penjahat-penjahat tertentu menjadi tidak mampu untuk

melakukan kejahatan yang lain, yakni penjahat – penjahat yang sudah tidak dapat diperbaiki lagi dengan cara lain.

B. Pidana dan Pemidanaan Menurut Hukum Pidana Islam 1. Kategorisasi Tindak Pidana

Sebelum memaparkan permasalahan tentang macam – macam pidana atau hukuman (uqubah), penulis mencoba menjelaskan macam-macam tindak pidana (jarimah) dalam hukum pidana Islam yang didasarkan pada berat-ringannya hukuman atau pidana yamg diancamkan. Yaitu sebagai berikut:

a. Jarimah Hudud

Jarimah hudud adalah tindak pidana yang diancamkan hukuman hudud atau had, yaitu hukuman yang telah ditentukan jenis dan jumlahnya dan menjadi hak Allah SWT.26 Dimana hukuman had tidak memiliki batas terendah dan batas tertinggi. Jarimah hudud ini ada tujuh macam, yaitu:

1. Zina, adalah memasukan zakar kedalam faraj secara melawan hukum (syar’I). Para ulama dalam memberikan definisi zina ini berbeda redaksinya, namun dalam substansinya sama. Dari pengertian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa zina, adalah hubungan kelamin

26

(37)

laki dan perempuan di luar nikah. Dasar hukumnya surat al-Israa’ ayat 32 :





)

ﺀاﺮﺴﻹا

:

٣٢

(

Artinya: “dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.” (QS. al-Israa/17 : 32) 2. Qadzaf , adalah menuduh orang berzina. Dasar hukumnya surat an-Nur

ayat 4 :



















﴿

روﻨﻠا

/

٢٤

:

٤

Artinya: “dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik27 (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik. (Q.S. An – Nuur / 24 : 4)

3. Syurb’ Khamr, adalah meminum segala sesuatu yang memabukan baik sedikit ataupun banyak. Dasar hukumnya surat al-Ma’idah ayat 90 :

















)

ةﺪﺌﺂﻤﻠا

/

٥

׃

٩٠

(

27
(38)

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (Q.S. al-Ma’idah/5 : 90)

Jadi, yang diharamkan disini adalah zatnya bukan kadar banyak ataupun sedikitnya meminum-minuman khamr (berakohol).

4. Mencuri, adalah mengambil harta orang lain secara sembunyi-sembunyi tahu dengan jalan menyembunyikan. Dasar hukumnya surat al-Ma’idah ayat 38 :











)

ةﺪﺌﺂﻤﻠا

/

٥:٣٨

(

Artinya: “laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Q.S. al-Ma’idah/5 : 38)

5. Hirabah (perampokan)28, adalah keluar dengan mengambil harta orang lain secara terang-terangan dan dengan cara mengalahkan. Dasar hukumnya surat al-Ma’idah ayat 33 :

28

(39)





























)

ةﺪﺌﺂﻤﻠا

/

٥

׃

٣٣

(

Artinya: “Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik29, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar.” (Q.S. al-Ma’idah/5 : 33)

6. Murtad, adalah keluarnya seseorang dari agama Islam. Dasar hukumnya adalah surat al-Baqarah ayat 217 :

...

















﴿

ةرﻘﺒﻠا

/

٢

׃

٢١٧

Artinya: ”... Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu Dia mati dalam kekafiran, Maka mereka Itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka Itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (Q.S. Al – Baqarah / 2 : 217)

7. Al-Baghyu (memberontak), adalah keenganan untuk mentaati imam (pemimpin) yang sah tanpa alasan yang benar (tanpa hak = bi ghair

29

(40)

haqa) serta dengan mengangkat atau menggunakan senjata.30 Dasar hukumnya ialah surat al-Hujurat ayat 9 :







﴿

ﺖاﺮﺠﺤﻠا

/

٤٩

׃

٩

(

Artinya: “dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar Perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar Perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. kalau Dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu Berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang Berlaku adil.” (QS. Al-Hujaraat /49 : 9)

b. Jarimah Kisas-Diat 31

Jarimah kisas dan diat adalah jarimah yang diancamkan pidana Qishash atau diat. Arti ’kisas’ ialah si pelaku jarimah dihukum seperti perbuatan yang dilakukannya. Sedangkan arti ’diat’ ialah pembayaran sejumlah harta sebagai ganti rugi kepada pihak korban.32 Kisas dan diat merupakan hak individu yang kadar jumlahnya telah ditentukan. Arti ’telah ditentukan”

30

K.H. Alie Yafi, dkk., Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, Judul Asli: At-Tasryi’ al-jina’I al-Islamiy Muqaranan bil Qanunil Wad’iy, Pengarang: Abdul Qadir Audah, (Jakarta: Kharisma Ilmu, 2007), Jilid 1, h. 99

31

Para fuqaha terkadang mengistilahkan tindak pidana kisas dan diat dengan jinayah, tetapi sebagian lain mengistilahkan dengan jirah dan ada juga yang mengistilahkan dengan ad-dima.

32

(41)

disini ialah tidak memiliki batas minimum dan batas maksimum. Kemudian arti ’hak inividu” ialah bahwa si korban atau walinya boleh memaafkan si pelaku jika mau, dan jika dimaafkan maka pemaafan tersebut menggugurkan pidana yang dimaafkan. Jarimah qishash dan diat ada lima macam, yaitu:

1. Pembunuhan yang disengaja (al-qatlul ’amdu), merupakan perbuatan menghilangkan nyawa seseorang dengan sengaja. Dengan demikian kematian korban dikehendaki oleh si pelaku.

2. Pembunuhan yang menyerupai sengaja (al-qatlu syibhul ’amdi), perbuatan yang sengaja dilakukan namun salah dalam membunuh. Maksudnya bahwa perbuatan yang dilakukan bukan disengajakan untuk membunuh namun mengakibatkan kematian. Contohnya; memukul seseorang dengan benda atau alat yang biasanya tidak bisa membunuh atau bukan untuk membunuh, seperti tangan, tongkat, dan lain-lain. 3. Pembunuhan tersalah atau tidak sengaja (al-qatlul khata’), pembunuhan

yang dilakukan secara tidak sengaja, baik perbuatannya maupun akibatnya. Seperti menembak burung tapi ternyat terkena orang lain dan mengkibatkan terbunuhnya orang tersebut.

(42)

5. Penganiayaan yang tersalah (al-jarhul khata’), pencederaan anggota badan secara tidak sengaja dan tidak sampai meninggal dunia.33

Dasar hukum pada jarimah kisas dan diat adalah :

 Surat al-Baqarah ayat 178 :





































﴿

ةرﻘﺒﻠا

/

٢

:

١٧٨

Artinya: ”Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka Barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih.34 (Q.S. al-Baqarah / 2 : 178)

 Surat al-Ma’idah ayat 45 :

33

Muhammad Ichsan dan M. Endrio Susila, Hukum Pidana Islam: Sebuah Alternatif, (Yogyakarta: Lab Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 2008), h. 94 -97

34

(43)



























)

ةﺪﺌﺂﻤﻠا

/

٥

׃

٤٥

(

Artinya: “dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.” (Q.S. al-Ma’idah/5 : 45)

 Surat al-Nisa’ ayat 92 :

)

ﺀﺂﺴﻨﻠا

/

٤

׃

٩٢

(

Artinya: ”dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan Barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar dia tyang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. (Q.S. an-Nisa’/4: 92)

c. Jarimah Takzir

(44)

jarimah – jarimah yang belum ditentukan oleh syar’i hukumannya.35 Dimana takzir merupakan sekumpulan hukuman yang belum ditentukan jumlahnya, yang dimulai dari hukuman yang paling ringan, seperti nasihat dan teguran, sampai kepada hukuman yang paling berat, yaitu kurungan dan dera, bahkan sampai kepada hukuman mati dalam tindak pidana berbahaya. Jadi, hukum Islam tidak menentukan macam-macam pidana dan pemidanaan untuk tindak pidana takzir, dalam hal ini hakim diberi kebebasan untuk memilih pidana yang sesuai dengan macam tindak pidana takzir serta keadaan si pelaku. Singkatnya pidana pada jarimah takzir tidak ditentukan banyaknya dan jumlahnya seperti jarimah hudud atau qishas-diat. Syara’ hanya menentukan sebagian jarimah takzir, yaitu perbuatan-perbuatan yang selamanya akan tetap dianggap sebagai tindak pidana, seperti; riba, mengkhianati janji, memaki orang, menyuap dan sebagainya. Adapun sebagian besar dari tindak pidana takzir diserahkan kepada penguasa untuk menentukannya dengan maksud mengatur masyarakat dengan menjauhkan dari perbuatan maksiat (kemaslahatan umum) dan memelihara kepentingannya tanpa keluar atau berlawanan dengan syar’i.

35

(45)

Setelah melihat pemaparan diatas, perlu diketahui juga beberapa hal pentingnya pembagian jarimah menjadi hudud, qishash-diat, dan takzir. Yaitu sebagai berikut :36

Segi Pengampunan, pada jarimah hudud tidak ada pengampunan sama sekali, baik dari si korban maupun dari penguasa tertinggi (kepala negara). Adapun pada jarimah kisas, pengampunan dapat diberikan oleh si korban ataupun walinya. Dalam hal ini, pengampunan yang diberikan mempunyai pengaruh atau akibat hukum lain. Dimana si korban memberikan pemaafan pidana qishash untuk diganti dengan pidana diat sebagaimana ia juga bisa membebaskan si pelaku dari pidana diat. Kepala negara dalam jarimah qishash tidak dapat memberikan pengampunan karena pengampunan disini hanya dimiliki (yang mempunyai hak) oleh korban dan walinya.

Dalam jarimah takzir penguasa diberi hak untuk membebaskan si pelaku dari hukuman, dengan syarat tidak mengganggu hak pribadi si korban. Si korban juga bisa memberikan pengampunan dalam batas-batas yang berhubungan dengan hak pribadinya, tetapi hanya sebatas meringankan bukan menghapuskan pemidanaan karena jarimah yang dilakukan si pelaku menyinggung hak masyarakat. Jadi didalam jarimah takzir seorang hakim mempunyai kekuasaan dalam mempertimbangkan keadaan-keadaan yang meringankan serta peringanan pidana.

36

(46)

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tipe substrat berpengaruh terhadap laju pertumbuhan semaian lamun Enhalus acoroides, dimana laju pertumbuhan panjang daun semaian lamun

Seiring dengan berkembangnya pembangunan diberbagai sektor khususnya pembangunan transportasi jalan raya dan jembatan Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Barat

Praktek Pengenalan Lapangan adalah suatu kegiatan kurikuler yang wajib dilaksanakan oleh seluruh mahasiswa Universitas Negeri Semarang khususnya jurusan kependidikan

Hal ini mengandung makna bahwa memberikan peran yang lebih besar kepada Apratur pemerintah daerah dalam perencanaan dan pengendalian APBD, serta penerapan akuntansi keuangan

merumuskan masalah yang akan dibahas dalam Laporan Akhir ini adalah “ Bagaimana membuat dan merancang suatu aplikasi penilaian jabatan fungsional dengan Daftar Usulan

KAMPANYE GREENPEACE DALAM USAHA PENGHENTIAN PENGGUNAAN MIXED TROPICAL HARDWOOD (MTH) OLEH PRODUSEN MATTEL PADA TAHUN 2009-2013. Program Studi Hubungan Internasional,

Tiga kelompok ternak diisolasi dari pejantan selama 7 minggu, kemudian ternak jantan dimasukkan secara tiba-tiba di setiap kelompok yang sebelumnya telah diberi

Kematian bayi kedua lebih tinggi dari pada bayi pertama karena lebih sering terjadi gangguan sirkulasi plasenta setelah bayi pertama lahir, lebih banyak