Pencapresan Ical dan Dilema Golkar Iding R. Hasan*
(Dimuat di Pikiran Rakyat, 7 Juli 2012)
Akhirnya Partai Golkar secara resmi telah mengukuhkan ketua umumnya, Aburizal Bakrie (Ical) sebagai calon presiden (capres). Pengukuhan tersebut dilakukan dalam acara Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) III di Hotel Aston, Bogor, pada Jum’at malam (29/6/2012). Dukungan terhadap Ketum Golkar tersebut diberikan oleh 33 pengurus DPD tingkat I dan organisasi sayap partai seperti MKGR dan Soksi.
Sebelumnya rencana pencapresan Ical sebagai satu-satunya capres dari partai pohon beringin sempat mendapatkan penentangan dari kalangan internal. Tidak tanggung-tanggung di antara yang menentang pencapresan tersebut adalah Akbar Tanjung yang notabene merupakan salah seorang tokoh senior Golkar dan sangat berpengaruh. Ditambah pula oleh salah seorang Ketua DPP, Hajriyanto Y. Tohari yang pengaruhnya juga tidak dapat diabaikan begitu saja.
serta merta dapat memberikan peluang Ical dalam kontestasi untuk merebut kedudukan orang nomor satu di negri ini pada 2014? Ataukah masih ada ganjalan-ganjalan lain yang berpotensi melemahkan Ical dalam kontestasi tersebut?
Tidak Berbanding Lurus
Satu hal yang menarik dianalisis dalam konteks pencapresan Ical adalah fenomena adanya ketidaksinkronan antara peluang Golkar sebagai institusi partai dan Ical sebagai capres secara personal. Dalam sejumlah lembaga survei Golkar justeru mengalami grafik kenaikan yang signifikan, sementara grafik Ical kerap stagnan, kalaupun mengalami kenaikan, boleh dikatakan kenaikannya tidak terlalu signifikan.
Hasil jajak pendapat yang dilakukan dua lembaga survei tanah air dapat dijadikan indikasi kuat. Menurut Lingkaran Survei Indonesia (LSI), elektabilitias Golkar berada pada angka 20,9 persen, sementara menurut Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS), 23 persen. Besaran suara elektabilitas partai kuning tersebut ternyata mampu menggeser posisi dua partai besar lainnya, yaitu Partai Demokrat yang notabene partai berkuasa dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
Selain itu, grafik kenaikan Golkar juga berpotensi terganggu oleh pemanggilan dua orang kadernya oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang bersamaan dengan momen pengukuhan Ical sebagai capres. Yaitu Setya Novanto, Ketua Fraksi Partai Golkar, diperiksa sebagai saksi terkait kasus dugaan korupsi pembangunan venue Pekan Olahraga Nasional (PON) di Riau. Dan Zulkaernaen Djabar ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan Kitab Suci al-Qur’an di Kementerian Agama.
Problem Personalitas Ical
Di samping itu, ada sejumlah persoalan yang terkait dengan personalitas Ical yang bukan tidak mungkin akan menjadi batu sandungan. Pertama, terkait dengan lumpur Lapindo di Sidoarjo, Surabaya. Betapapun Ical berusaha “mengelak” dari penimpaan dirinya sebagai orang yang bertanggung jawab terhadap korban-korban lumpur Lapindo, misalnya melalui jalur hukum atau media-media yang dimilikinya, namun publik tetap memandangnya sebagai pihak yang bertanggung jawab.
Pada sisi lain, penanganan Ical terhadap para korban begitu sangat terlambat. Janjinya untuk menuntaskan semua permasalahan ganti rugi pada 2013 jelas terlambat dan bisa dianggap lebih bernuansa politis. Bukan hanya itu, respons yang diberikan Ical juga kerap tidak tepat sehingga menimbulkan antipati publik. Misalnya, ketika diminta komentar tentang salah seorang korban yang berjalan kaki dari Sidoarjo ke Surabaya, pernyataan Ical sangat tidak simpatik. Hal ini jelas sangat merugikan bagi pencitraan Ical sebagai capres.
Meskipun belakangan ia kerap melakukan safari politik ke berbagai daerah di Indonesia, namun tampaknya belum cukup maksimal dan juga tidak didukung oleh gaya komunikasi politik yang kuat. Ketiga, realitas bahwa Ical bukan berasal dari suku Jawa bagaimanapun masih menjadi persoalan dalam politik Indonesia. Sulit bagi seorang capres non-Jawa yang bisa memenangkan kontestasi mengingat dominasi Jawa masih berlangsung sampai saat ini.
Dilihat dari sisi ini, bagi Golkar sebagai partai sesungguhnya merupakan dilema mengusung Ical sebagai capres partai ini. Para pengurus partai, bukan tidak mungkin menyadari bahwa elektabilitas Ical sebenarnya tidak cukup kuat untuk berkontestasi pada 2014, tetapi tentu mereka tidak berani melakukan “perlawanan” terhadap ketumnya sendiri.