TRAFFICKING DAN PROSTITUSI
STUDI KASUS
Gang Dolly Surabaya
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora Untuk Memenuhi Syarat-Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora ( S.Hum)
Oleh:
KHILFA ADIB
NIM: 103022027511JURUSAN SEJARAH PERADABAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
ABSTRAKSI
Berbicara tentang perempuan tidak akan habisnya persoalan hidup yang merongrong kehidupan
kaum hawa ini. Bahkan sejak Indonesia belum merdeka hingga mencapai kejayaannya nasib perempuan
Indonesia masih belum juga banyak berubah. Walaupun pada saat ini perjuangan perempuan dalam
menyuarakan persamaan hak dan derajatnya mulai menunjukan eksistensinya, namun di satu sisi tidak
dapat di pungkiri bahwa masih banyak perempuan Indonesia yang ditempatkan dalam kedudukan yang
termarginalkan trafficking, prostitusi merupakan problem sosial yang sangat tua dia ada sejak manusia
hadir di muka bumi ini, hingga kini prostitusi masih menjadi momok bagi struktur dan sistem sosial
masyarakat, praktik prostitusi di Gang Dolly Surabaya, merupakan bagian dari problematika sosial yang
terjadi di salah satu kota di Indonesia yaitu: Surabaya, praktik ini telah menjadi bisnis yang meraksasa
yang relatif sulit menghapuskannya, di balik dinamika bisnis Gang Dolly Surabaya itu, pastinya selalu ada
pihak-pihak yang merasa "di korbankan" atau yang "mengorbankan".
Berbagai kekerasan dan eksploitasi terhadap perempuan telah menjadi masalah yang krusial. Mulai
dari kekerasan rumah tangga, hingga perdagangan manusia. Perempuan menjadi bagian di dalam
DAFTAR ISI
ABSTRAKSI ... i
DAFTAR ISI ... ii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah... 3
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian... 5
D. Kerangka Konseptual... 6
E. Metode Penelitian ... 8
F. Sistematika Penulisan ... 11
BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A Letak Geografis ... 13
B Penduduk dan Mata Pencahariannya ... 15
C Sosial Kemasyarakatan ... 18
BAB III TRAFFICKING, PROSTITUSI DAN PERMASALAHANNYA A. TRAFFICKING ... 20
1 Definisi Trafficking... 20
2 Sebab-sebab Terjadinya Trafficking... 23
a Ekonomi dan Sosial Budaya Masyarakat ... 24
b Politik ... 26
c Hukum ... 29
3 Bentuk-bentuk Trafficking... 32
4 Pelaku Trafficking... 34
5 Korban Trafficking... 36
B. PROSTITUSI ... 37
1 Definisi Prostitusi ... 37
2 Sebab-sebab Terjadinya Prostitusi... 39
a Ekonomi dan Sosial Budaya Masyarakat ... 39
b Politik ... 41
c Hukum ... 42
d Agama ... 43
BAB IV PERKEMBANGAN TRAFFICKING DAN PROSTITUSI, DAMPAK SERTA UPAYA PENANGGULANGANNYA A. Perkembangannya... 45
1 Trafficking... 45
2 Prostitusi... 47
B. Dampak Trafficking dan Prostitusi Terhadap Sosial . Kemasyarakatan ... 51
C. Upaya Penanggulangan Trafficking dan Prostitusi... 54
1 Political will Pemerintah Dalam Penanggulangan Trafficking dan Prostitusi... 54
2 Masyarakat dan Lingkungan ... 62
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 66
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Adanya hukum sebagai kaidah sosial tidak berarti bahwa pergaulan antar manusia dan masyarakat
hanya diatur oleh hukum. Selain oleh hukum kehidupan manusia dalam masyarakat yang bermoral,
munusia juga di atur pula oleh agama, kaidah-kaidah susila, kesopanan, adat kebiasaan dan kaidah-kaidah
lainnya.1
Dalam perkembangan masyarakat dewasa ini tentu akan timbul pula berbagai masalah baru, yang
kesemuanya ini membutuhkan peninjauan baik dari segi hukum, kesusilaan serta kaidah-kaidah sosial
lainnya.
Salah satu masalah yang sangat mengkhawatirkan generasi penerus, adalah meningkatnya praktik
trafficking dan prostitusi.
Bahwa prostitusi dapat menghancurkan betapapun besarnya sistem sosial, ia dapat membuat
masyarakat bobrok moral bangsa, demi kepentingan moral dan tata susila.2
Meski di sadari bahwa praktik prostitusi dapat mengancam sendi-sendi moral masyarakat dan pada
kenyataannya masih banyak masyarakat kita terjerumus di dalamnya.
Dalam masyarakat modern, sebagai produk dari kemajuan teknologi misalnya, mekanisasi,
industrialisasi migrasi dan urbanisasi dari desa–kota memunculkan banyak masalah sosial.
Masalah-masalah sosial pada zaman modern yang di anggap sebagai sakit secara sosial atau secara
populer di kenal sebagai penyakit masyarakat itu, sebagai fungsi struktural dari totalitas sistem sosial,
dengan kata lain penyakit masyarakat demikian ini merupakan produk sampingan atau konsekuensi yang
tidak di harapkan dari sistem Sosio-Kultural zaman sekarang, dan berfungsi sebagai gejala sendiri.3
1
Chaidir Ali. Filsafat Hukum, Memories Book, Bandung 1972 hal. 5
2
AS Adam, SH. Tinjauan tentang zinah dalam rangkaian delik susila pada KUHP. Swada, Jakarta 1969 hal. 17
3
Prostitusi merupakan salah satu bentuk penyakit masyarakat, yang telah ada sejak manusia
mengenal perkawinan, sebab suatu penyimpangan dari norma-norma perkawinan yang sah, bisa
merupakan prostitusi karena itulah masalah prostitusi ini merupakan masalah sosial yang tertua seperti
halnya kemiskinan dan kemelaratan.
Dengan adanya perkembangan masyarakat dewasa ini, maka perwujudan dari pelacuran pun
semakin sulit dapat di kontrol oleh karena di samping bertambah banyaknya pelaku prostitusi itu sendiri,
juga sangat sulit pula untuk mencari jalan keluarnya, wanita pelacur adalah wanita yang menjual dirinya
kepada laki-laki dengan menerima pembayaran atas servis yang di berikannya.
Prostitusi yaitu penyerahan diri dari wanita kepada banyak laki-laki dengan pembayaran.4
Gang Dolly Surabaya merupakan salah satu tempat yang menjadi lahan praktik trafficking dan
prostitusi tumbuh subur dan berkembang, karenanya penulis mencoba mengangkat kasus ini di karenakan
Gang Dolly merupakan Lokalisasi terbesar di Asia Tenggara. Gang Dolly juga menjadi lokalisasi tertua di
Indonesia dan di Legalkan oleh Pemerintah Daerah, serta di jadikan pemasukan khas pajak daerah dari
bisnis lendir itu.
Serta masih banyak sekali lika-liku Gang Dolly Surabaya yang patut untuk di ketahui. Serta
sampai sejauh manakah usaha-usaha Pemerintah untuk mengatasi praktik trafficking dan prostitusi di
Gang Dolly Surabaya.
Hukum timbul bersama-sama dengan timbulnya rakyat dan menjadi kuatnya rakyat, dan akhirnya
berangsur-angsur lenyap manakala suatu bangsa kehilangan suatu kepribadian rasionalnya.5
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah
Wanita-wanita yang menjadi pelacur (lepas dari latar belakang mereka) adalah sudah menjadi
kebiasaan, yang cukup lama dan telah mengakar di masyarakat karena itu menanggulangi perilaku
mereka agak sulit dan perlu penanganan yang unik. Namun demikian perlu terus di support sampai sejauh
4
P.J De Bruine Ploos Van Astal dalam Soedjono, S.H 1970 hal. 57
5
manakah usaha-usaha pemerintah untuk mengatasi praktek trafficking dan prostitusi di Gang Dolly
Surabaya.
Di antara kesulitan tidak semua orang membenarkan untuk mencari nafkah hidup yang sangat
melampaui batas norma-norma masyarakat apalagi mengacu pada aturan agama maupun per
Undang-undangan. Namun ada beberapa alasan mengapa kaum pria menyokong praktik prostitusi. Sebagai suatu
jalan keluar dari kekurangan kebutuhan sex, dan dalam arti lain, hal ini dalam penggantian yang lebih
murah dari pada mengawini atau bergaul dengan seorang gadis.6 Dengan jalan ini mereka dapat
melupakan tanggung-jawab lainnya atau ke khawatiran akan kehamilan.
Yang berbahaya lagi ialah adanya wanita yang bersuami melakukan praktek melacurkan dirinya
untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan perbuatannya itu malah terkadang mendapat izin dari
suaminya. Terutama dengan kasus trafficking yang kini sedang marak dilakukan oleh oknum-oknum yang
bekerja untuk membawa gadis desa yang lugu dan dengan perekonomian yang sangat kurang, terutama
para gadis di bawah umur, mereka diiming-imingi kerja dan gaji yang sangat besar Rp.5.000.000 an
perbulan tetapi mereka tidak di pekerjakan, tetapi di jual kemucikari seharga Rp.2.000.000 perorang,7
para
korban terdiri atas perempuan-perempuan muda yang berusia 16-23 tahun yang rata-rata berasal dari
keluarga petani yang kurang mampu.
Dengan banyaknya tempat-tempat untuk melacur yang di sediakan oleh mucikari, maka pelacuran
akan semakin sulit dapat di kontrol, mereka dapat dengan mudah berpindah-pindah dari satu tempat ke
tempat lain dalam melakukan operasinya dengan aman, bahkan hal demikianlah yang lebih
memungkinkan banyaknya pengaruh jelek terhadap masyarakat di sekitarnya.
Dalam realitasnya keadaan semacam ini perlu di Interpretasikan dan di deskripsikan sebagai
sebuah kebebasan menuju ke arah kemajuan peradaban. Namun pada hakekatnya kemajuan yang ada
6
Kincy dalam Soedjono,PathologiSosial. S.H. 1970 hal. 24)
7
merupakan sinyal akan adanya dekonstruksisosio-kultural bangsa sebagai akibat adanya hegemoni budaya
asing terhadap budaya lokal.
Karena demikian luas dan kompleknya masalah itu, maka penelitian ini akan di batasi pada
permasalahan: (1) keterlibatan perempuan dalam dunia prostitusi apakah sebagai profesi atau
dieksploitasi (2) jika sebagai profesi atau di ekploitasi faktor apa yang menyebabkan realitas itu (3)
bagaimana usaha pemerintah untuk mengatasi atau meminimalisir perilaku tersebut.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berbarengan dengan membludaknya pelacur di suatu daerah, barangkali erat kaitannya dengan
istilah urbanisasi desa-kota, sebab urbanisasi merupakan salah satu faktor dasar yang mempengaruhi
pertumbuhan penduduk.8
Secara faktual, hingga kini perdagangan anak dan perempuan (trafficking) untuk prostitusi masih
terus berlangsung, tanpa ada usaha cukup memadai dari Pemerintah untuk menanganinya.
Berdasarkan atas apa yang di temui oleh penulis di lapangan penelitian ini bertujuan untuk
mendeskripsikan sebab musabab dan faktor-faktor perempuan terjun ke dunia prostitusi dan lika liku
kehidupan di Gang Dolly Surabaya, serta mencoba untuk mengangkat kasus trafficking dan prostitusi
Gang Dolly Surabaya yang pastinya belum pernah di angkat lebih detail sebagai penelitian perbandingan
secara mendalam di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, serta untuk menggugah sensitivitas gender
masyarakat dan Civitas Akademik yang bersikap apatis terhadap issue trafficking dan prostitusi.
Penelitian ini juga dapat bermanfaat bagi perbaikan moral bangsa melalui jalur akademik, hingga
mayoritas rakyat Indonesia memiliki sensitivitas gender yang selama ini masih terbelenggu oleh nilai-nilai
moral yang secara kultural selalu menomor duakan kaum perempuan.
Sehingga pada akhirnya di harapkan juga dapat bermanfaat bagi pihak terkait atau instansi terkait
yang bertugas menangani permasalahan ini.
8
D. Kerangka Konseptual
Dalam penulisan skripsi ini penulis mencoba menggunakan kerangka berfikir secara Induktif.
Bahwa perempuan selalu menjadi korban atas segala ketidakmampuan dan termarjinalkan sehingga
banyak perempuan yang di jadikan alat untuk mengeruk keuntungan terutama dalam eksploitasi seksual.
Bermula dari rasa kemanusiaan dan keingintahuan saya sebagai penulis ingin mendeskripsikan praktik
trafficking dan prostitusi di Gang Dolly Surabaya. Terutama yang berperan langsung dalam proses
terjadinya praktik tersebut seperti mucikari atau germo serta aparat-aparat yang tidak bertanggung jawab,
yang di sebabkan keterbatasan pengetahuan serta lemahnya hukum di Indonesia. Dalam perkembangannya
praktik trafficking dan prostitusi tetap tumbuh subur di Indonesia terutama di Gang Dolly Surabaya.
Di mana pada praktiknya mempunyai peran masing-masing dan saling berkaitan, seperti calo yang
mempunyai peran mencari wanita untuk bisa di tipu dengan bermacam iming-iming janji, lalu setelah
terjerat di bawalah wanita tersebut untuk di tampung oleh mucikari yang berperan sebagai menampung
untuk selanjutnya di perdagangkan untuk eksploitasi seksual yang mana praktik seperti ini juga di bekingi
oleh para oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.
Kerangka berpikir ini di tunjang oleh hasil temuan peneliti di lokasi penelitian Gang Dolly
Surabaya, terutama dengan kasus Trafficking yang sedang marak di lakukan oleh oknum-oknum yang
bekerja untuk membawa gadis desa yang lugu dengan perekonomian yang sangat kurang, mereka di
iming-imingi kerja dan gaji yang sangat besar 5.000.000 an perbulan, tetapi mereka tidak diperkerjakan,
tetapi dijual kemucikari seharga Rp. 2.000.000 perorang,9 dan para korban terdiri atas kaum perempuan.
Di karenakan sekitar 81,2 % penduduk Indonesia bermukim di daerah sekitar pedesaan.10sedang
hanya 18,8 % saja yang bermukim di kota-kota besar. Kenyataan ini tentunya akan mengakibatkan bahwa
kesempatan untuk mengejar uang di kota jauh lebih besar kemungkinannya di bandingkan dengan di
daerah pedesaan.
9
Wawancara dengan oknum trafficking (disamarkan)
10
Manusia tidak lagi mampu membedakan antara keinginan dan kebutuhan, yang bermoral dan
amoral, realita dan fantasi. Kondisi mental dan spiritual mereka berpusat pada satu titik yang tidak
menentu sehingga mereka kehilangan makna sampai akhirnya bersifat permisif, apatis dan amoral karena
standar moralitas dan agama telah hilang dalam kehidupan mereka.
Dalam realitasnya keadaan semacam ini di interpretasikan sebagai sebuah kebebasan menuju ke
arah kemajuan peradaban. Namun, pada hakekatnya kemajuan yang ada merupakan sinyal akan adanya
dekonstruksi sosio-kultural sebagai akibat adanya hegemoni budaya asing terhadap budaya lokal.
Peninjauan trafficking secara regional ini nampaknya penting pula untuk di telaah secara khusus,
mengapa mereka bisa di perjualbelikan sebagai ekploitasi seksual di Gang Dolly yang merupakan daerah
perkotaan yang berpenduduk padat sisi dan di sisi lain mereka melakukan usaha prostitusi, dalam
memenuhi kebutuhan sehari-harinya.
E. Metode Penelitian
Studi kasus11 merupakan: Penyelidikan mendalam (indepth studi) mengenai suatu unit sosial
sedemikian rupa sehingga menghasilkan gambaran yang terorganisasikan dengan baik dan lengkap
mengenai unit sosial tersebut. Cakupan studi kasus dapat meliputi keseluruhan siklus kehidupan atau
dapat pula hanya meliputi segmen-segmen tertentu saja dapat terpusat pada beberapa faktor yang spesifik
dan dapat pula memperhatikan keseluruhan elemen atau peristiwa.
Penelitian studi kasus ini di gunakan untuk mendapatkan suatu hal yang terperinci tentang
seseorang atau sesuatu unit selama kurun waktu tertentu, dan kita akan mendapatkan informasi yang
mendalam dan menyeluruh terhadap tingkah laku seorang individu.12
Tujuan studi kasus dan penelitian lapangan adalah mempelajari secara intensif latar belakang,
status terakhir dan interaksi sosial seperti individu, kelompok. Lembaga, atau komunitas. Dengan
menggunakan studi kasus dapat beberapa keuntungan, antara lain, kita dapat melakukan penelitian lebih
11
Azwar. S (2005) metode penelitian Yogyakarta Pustaka Belajar
12
mendalam. Dengan menggali lebih dalam seluruh kepribadian seseorang,yakni dengan memeperhatikan
keadaannya sekarang, pengalaman masa lampau, latar belakang lingkungannya, mungkin kita dapat
mengetahui kenapa orang itu berperilaku atau bersikap seperti itu. Serta dapat mendeskripsikan dan
menganalisa secara lebih intensif terhadap satu sistem terbatas seperti seorang individu, suatu program,
suatu peristiwa, suatu intervensi, atau suatu komunitas.
Walaupun demikian, studi kasus juga mempunyai kelemahan, di antaranya,13 karena anggota
sampel yang terlalu kecil, sehingga sulit di buat inferensi kepada populasi. Studi kasus sangat di pengaruhi
pandangan subyektif dalam pemilihan kasus karena adanya sifat khas yang dapat saja terlalu di
besar-besarkan. Dan dalam penempatan konteks yang bermakna menjurus pada Interpretasi subyektif, bahwa
menggunakan metode deskriptif ialah untuk dapat melukiskan realitas sosial yang kompleks sehingga
dapat diketahui relevansinya antara satu dengan yang lain.14
Terhadap proses-proses mengapa terjadi kasus-kasus trafficking dan prostitusi dan faktor-faktor
apa yang mempengaruhi perempuan terjun di dalamnya, serta usaha pemerintah untuk dapat mengatasi
dan meminimalisir perilaku tersebut. Lokasi penelitian di tetapkan di Surabaya,15
dengan pertimbangan
kasus-kasus trafficking cukup sering terjadi di wilayah ini. Selain itu, peneliti memiliki akses untuk
menggali data dari informan penelitian ini. Data di kumpulkan melalui metode wawancara bebas dan studi
analisis isi (content analysis). Analisis isi digunakan untuk mendapatkan data dari bahan primer library
reseach Fakih Mansoer, Analisis Gender & Tranformasi Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996, dan
Field research untuk mendapatkan data yang menyangkut permasalahan dan implementasinya yang
berkaitan dengan kasus trafficking untuk prostitusi, dilakukan wawancara bebas terhadap PSK sebagai
korban dan penghuni lokasi penelitian, calo/makelar, mucikari/germo, aparat-aparat yang terkait. Data dari
wawancara bebas dan analisis isi, selanjutnya di analisis secara deskriptif dan di sajikan secara naratif dan
13
.Yin. R.K (2000) Studi kasus Jakarta PT Raja Grafindo Persada
14
J. Vredenbreg, Metode dan Teknik Penelitian Masyarakat, Gramedia Jakarta 1978 : 31-33
15
runut untuk dapat menggambarkan upaya aparat penegak hukum dalam melindungi korban trafficking dan
prostitusi.
Adapun data di peroleh dengan melalui alat pendekatan pengamatan mendalam dan wawancara.
Teknik ini digunakan untuk memperoleh data mengenai motivasi dan alasan-alasan para pelaku dan
korban trafficking serta kegiatan-kegiatan usaha mereka. Wawancara bebas, digunakan untuk
mendapatkan data yang menggambarkan situasi umum obyek penelitian, sehingga dapat ditentukan
masalah-masalah yang relevan dengan subjek penelitian, teknik ini sebenarnya digunakan pada tahap
penciuman pengamatan mendalam, dimaksud untuk memperoleh data mengenai perilaku sosial baik yang
berkaitan dengan usaha mereka maupun yang berhubungan dengan aspek-aspek kehidupan. Kemudian
data yang telah terkumpul di pilah untuk di klasifikasikan. Untuk selanjutnya di deskripsikan dan di
narasikan
F. Sistematika Penulisan
Penulisan ini di buat berdasarkan sistimatika pendekatan diakronis karangan di bagi dalam lima
bab yang dapat di uraikan secara singkat, dengan tujuan untuk memudahkan penulisan skripsi ini yaitu
sebagai berikut:
Bab 1. Pendahuluan
Dalam bab ini menguraikan masalah-masalah yang akan diteliti yaitu berangkat dari suatu
kerangka mengapa sesuatu itu dipermasalahkan sehingga jawabannya akan tercermin melalui penelitian,
dari pendahuluan ini yang meliputi latar belakang masalah, identifikasi, pembatasan dan perumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka konseptual, metode penelitian, dan sistematika
Bab II. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Dalam bab ini dikemukakan gambaran umum geografis penelitian yang meliputi desa dan
keadaan alamnya, penduduk dan mata pencahariaannya, keadaan sosial dan lingkungan serta yang paling
menonjol dalam pembahasan bab ini adalah pelaku dan korban trafficking dan prostitusi serta pola
hubungan sosial yang mereka lakukan.
Bab III. Trafficking, Prostitusi dan Permasalahannya
Dalam bab ini menjelaskan definisi trafficking dan Prostitusi dan permasalahannya, sebab
terjadinya trafficking dan prostitusi ditinjau dari aspek Ekonomi dan Sosial Budaya, Politik, Hukum, dan
Agama. Bentuk-bentuk trafficking, pelaku trafficking, dan korban trafficking dan prostitusi
Bab IV. Perkembangan Trafficking dan Prostitusi, Dampak Serta upaya Penanggulangannya
Dalam bab ini membahas perkembangan trafficking dan prostitusi serta peran pemerintah dan
masyarakat dalam upaya penanggulangannya dan dampak trafficking dan prostitusi terhadap sosial
kemasyarakatan.
Bab V. Kesimpulan dan Saran
Pada bab ini penulis memberikan jawaban dari permasalahan yang dibahas dengan efektif dan
efisien mungkin, agar dapat di pahami secara keseluruhan, dan sekaligus membuat saran-saran yang
konstruktif dan inovatif bagi para pembaca skripsi ini.
Terakhir adalah daftar pustaka serta lampiran wawancara yang merupakan referensi penulis dalam
BAB II
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
A. Letak Geografis
Di bagian utara Surabaya, tepatnya di Bangunsari/Bangunrejo, kecamatan Krembangan. Tak jauh
dari situ, ada lagi bisnis jasa seks di Kremil. Para pelacur di kedua tempat ini melayani kalangan kelas
bawah, terutama para awak kapal dari Tanjung Perak.
Di bagian barat, sekitar 15 kilometer dari pusat kota Surabaya, terdapat komplek pelacuran
Moroseneng, di desa Sememi, Kecamatan Benowo. Berdampingan dengan lokasi ini, tumbuh juga
kegiatan pelacuran di Desa Klakah Rejo, kecamatan Benowo. Kedua kawasan ini biasa digunakan untuk
kalangan menengah.
Kawasan Dolly, yang mencakup RW 12 dan RW 6 dan hanya sepanjang sekitar 150 meter,
diperkirakan mempunyai 55 wisma dan sekitar 530 PSK. Masing-masing wisma menampung sekitar
10-30 PSK. Itu menurut data terakhir yang dihimpun Yayasan Abdiasih, lembaga swadaya masyarakat di
Dolly. Di lokalisasi Jarak perkampungan seberang Dolly yang seluas sekitar tiga hektar, itu ada 400-an
wisma dengan 2.155 PSK yang tersebar di RW 10, RW 11, dan RW 3.
1. Gang Dolly utamanya terletak di pinggiran kota sekitar 100 meter dari pusat atau perbatasan kota
yang berada pada wilayah industri. Hasil pengamatan terdahulu memperlihatkan bahwa daerah
pinggiran kota banyak berperan pada proses migrasi. Baik migrasi dari luar maupun migrasi dari
dalam kota sendiri.
2. Gang Dolly merupakan daerah pemukiman wilayah Surabaya, dengan atribut ‘kawasan industri’.
Sampai saat penelitian ini di laksanakan di sekitar Gang Dolly telah berdiri industri dan
pabrik-pabrik.
3. Gang Dolly terletak tidak jauh dari terminal bis yang dapat berfungsi dua, yaitu:
- Sebagai pemukiman penduduk pinggir kota. Adanya terminal bis tersebut mempermudah
pendatang untuk keluar masuk daerah tersebut.
Saat ini, ada enam kawasan pelacuran besar di Surabaya. Dolly adalah lokalisasi paling terkenal
yang tumbuh sejak tahun 1960-an. Bersebelahan dengan Dolly, ada lokalisasi Jarak. Para pelacur dan
germo di situ merupakan pindahan dari Jagir, Wonokromo.
Sejarah prostitusi di Surabaya hampir setua sejarah Ibukota Jawa Timur ini. Pada mulanya,
pelacuran ini merebak di kawasan pesisir, lantas merambah daerah pinggiran. Kini, Surabaya di kepung
bisnis jasa seks itu.
Prostitusi di Surabaya tumbuh seiring dengan perkembangan kota itu sebagai kota pelabuhan,
pangkalan Angkatan Laut, dan tujuan akhir kereta api. Saat penjajahan Belanda pada abad ke-19,
Surabaya sudah di kenal dengan kegiatan pelacuran. Catatan resmi Kota Surabaya menyebutkan, tahun
1864, terdapat 228 pelacur di rumah-rumah bordil di kawasan Bandaran di pinggir Pelabuhan Tanjung
Perak.
Jumlah itu belum memperhitungkan praktik prostitusi liar yang berlangsung di beberapa titik.,
seperti di kompleks makam Kembang Kuning-Sido Kumpul, di kawasan Jalan Diponegoro, atau di
kawasan Monumen Bambu Runcing di Jalan Panglima Sudirman. Apa mau di kata, Kota Surabaya seperti
di kepung praktik pelacuran. Wajar saja, jika tahun 1980-an, kota ini sempat diolok-olok “Kota
Prostitusi”.
Di antara enam kawasan pelacuran itu, Dolly-lah yang menjadi primadona. Saking masyhurnya,
sampai-sampai banyak kalangan yang beranggapan, Dolly sudah jadi salah satu ikon Kota Surabaya. Para
pelancong belum terasa menginjakkan kaki di kota itu kalau belum mampir ke sana.
Terlepas dari kacamata moral, lokalisasi justru penting untuk mengumpulkan dan mengontrol
“barang najis” di satu kawasan tertentu. Di situ, pemerintah bisa mengawasi persoalan kesehatan,
keamanan, narkoba, dan penyebaran HIV/AIDS. Jika lokalisasi ditutup, barang najis itu akan berceceran
ke mana-mana dan menjadi semakin sulit di kendalikan.
Para penduduk yang menempati lingkungan lokalisasi,sebagian besar merupakan PSK,
mucikari/germo, pengelola wisma. Dan sebagian besar mata pencarian mereka bersumber dari bisnis
“sex".
Bersamaan dengan roda bisnis seks yang berputar, ekonomi rakyat juga berdenyut. Itu terlihat dari
ratusan mobil dan motor yang memenuhi teras rumah penduduk yang di sulap jadi lahan parkir. Tarif
parkir mobil sekitar Rp. 20.000, motor Rp. 3.000. Jika menginap, tarifnya bisa berlipat.
Para penjaja makanan, penganan kecil, minuman, dan rokok tak mau ketinggalan. Jalan yang sesak
itu pun menjadi riuh oleh “teng-teng” tukang nasi goreng, kepulan asap tukang sate, atau dentingan
minuman keras. Taksi, becak, bahkan pengemis pun turut memeriahkan jalanan sempit itu.
“Sudah lima tahun saya jualan di sini. Pendapatan kotor rata-rata Rp. 400.000 per malam,” kata
Supin (46), pedagang kaki lima yang menjual aneka rokok di Jalan Jarak, di ujung Gang Dolly.
Suasana di lokalisasi Jarak, yang tersebar di perkampungan di seberang Dolly, juga begitu. Tak
hanya malam hari, perputaran ekonomi juga menggeliat pada pagi dan siang hari, ketika para PSK sedang
beristirahat. Saat itu, banyak ibu rumah tangga mencucikan baju para PSK, pedagang pakaian
menawarkan pembelian kredit, dan para pedagang minuman memasok bir atau bermacam minuman keras
lain.
“Cuci satu baju Rp. 1.000, celana panjang Rp. 1.500, satu singlet Rp. 500. Satu hari, saya bisa
dapat Rp. 30.000,” kata Narti (37), warga Putat Jaya yang menekuni jasa cuci baju sejak lima tahun
Keramaian di Dolly dan Jarak menggambarkan, betapa banyak orang yang kecipratan rezeki.
Keberadaan bisnis seks itu terlanjur memberikan multiplying effect (dampak berganda) yang
menghidupkan ekonomi rakyat setempat. Pada titik tertentu, bahkan sebagian masyarakat sudah
menggantungkan kebutuhan hidup dari situ.
Jika Dolly identik dengan jasa seks bagi kalangan kelas menengah, Jarak lebih murah dan banyak
didatangi kelas bawah. Jasa PSK di Dolly sekitar Rp. 70.000 – Rp. 130.000 untuk sekali kencan selama
satu jam. Di Jarak, tamu hanya perlu merogoh kocek Rp. 60.000 – Rp. 70.000 sekali kencan.
Sebenarnya berapa jumlah uang yang beredar di Dolly-Jarak setiap malam?
Jika satu PSK melayani 10 tamu per malam dengan tarif rata-rata Rp 100.000 sekali kencan, uang
yang beredar di Dolly sekitar Rp 530 juta per malam. Dengan penghitungan satu PSK di Jarak punya tiga
tamu dengan tarif Rp. 70.000 sekali kencan, maka transaksi bisnis seks di situ mencapai RP 452,55 juta
per malam.
Jadi, total uang beredar di Dolly dan Jarak mencapai Rp 982,55 juta per malam. Jika hitungan itu
diperpanjang selama satu bulan, total peredaran uang di dua kawasan itu berkisar Rp 29,476 miliar per
bulan! Itu pun hanya menghitung jasa pelayanan seks oleh PSK, belum mencakup penjualan minuman,
makanan, dan lain-lain yang mencapai ratusan juta rupiah.
Taruhlah jika satu wisma menjual dua kerat bir seharga sekitar Rp 250.000 per kerat, maka
transaksi penjualan bir dari 455 wisma di Dolly-Jarak mencapai Rp 227,5 juta per malam. “Itu hitungan
minimal. Pendapatan kami dari menjual bir malah sering Rp 1 juta per malam,” kata Bambang (42)
pengelola wisma dan karaoke di kawasan Dolly.
Roda ekonomi miliaran rupiah itu berpangkal pada jasa pelayanan seks oleh PSK. Dari total tarif
jasa pelayanan kencan, seorang PSK rata-rata hanya menerima separuhnya, bahkan kurang. Separuh lagi
masuk kantong germo atau mucikari. Sebagian kecil disimpan sebagai laba bersih, sebagian lagi untuk
Begitulah, dalam bisnis seks PSK adalah mesin industri yang menghidupkan hampir semua lini.
Mereka dieksploitasi untuk mendulang uang yang dinikmati banyak kalangan. Jika sudah beranjak tua dan
kehilangan pesona seksual, dengan sendirinya PSK itu bakal tersingkir.
Di luar hitung-hitungan bisnis tadi, sebagian masyarakat Surabaya menginginkan, Dolly-Jarak
dipindah saja ke wilayah pinggiran kota. Alasannya, praktik pelacuran itu menyalahi aturan dan moral
agama. Apalagi, kawasan tersebut berada di tengah kota yang padat pemukiman sehingga dikhawatirkan
berdampak buruk bagi masyarakat.
C. Sosial Kemasyarakatan
Meski kerap disebut “lokalisasi”, yang berarti pembatasan pada suatu kawasan tertentu, hampir
semua kawasan pelacuran di Kota Surabaya bersinergi dengan masyarakat setempat. Rumah bordil dan
rumah tangga biasa kerap berbaur dalam satu lingkungan.
Di Dolly-Jarak, rumah warga biasa sering ditempeli tulisan “rumah tangga”, sedangkan rumah
bordil disebut wisma. Namun, penghuni rumah tangga, termasuk anak-anak bebas saja berkeliaran di
tengah suasana mesum itu.
Anak-anak kecil di Jarak, misalnya, leluasa bermain di antara para perempuan bergincu yang
mejeng sejak sore. Saat malam, ketika musik dangdut koplo berdentum-dentum, anak-anak masih
blusukan di gang-gang sempit yang jadi tempat transaksi seks.
“Kami bentengi anak-anak dengan belajar mengaji di masjid. Kami selalu kontrol agar mereka
tidak keluyuran,” kata Dwi (27), warga yang hidup di tengah lokalisasi di Jarak. Dua anaknya, Ari (9) dan
Adi (2), tampak tumbuh baik-baik saja.
Di Bangunrejo, Moroseneng, atau Kremil (tiga kawasan pelacuran lain di Surabaya), juga tak ada
batas antara lingkungan hunian umum dan wisma bordil. selama ini suasana hampir damai-damai saja.
Dan ironis ketika peneliti menemukan sebuah kegiatan agama berupa pengajian rutin malam
tetapi selepas mereka melakukan aktivitas tersebut mereka kembali memperdagangkan diri mereka.
sebagai pemuas nafsu birahi kaum lelaki (PSK)
Dan yang lebih ironisnya adalah ternyata sang pengurus masjid tersebut adalah seorang mucikari
yang mempunyai Wisma di kawasan Gang Dolly. Sehingga di kawasan Prostitusi Gang Dolly sangat
BAB III
TRAFFICKING, PROSTITUSI DAN PERMASALAHANNYA
A. Trafficking
1. Definisi trafficking
Definisi trafficking : Perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan, atau penerimaan
seseorang, dengan ancaman, atau penggunaan kekerasan, atau bentuk-bentuk pemaksaan lain, penculikan,
penipuan, kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, atau memberi atau menerima
bayaran atau manfaat untuk memperoleh ijin dari orang yang mempunyai wewenang atas orang lain,
untuk tujuan eksploitasi. 16
Tabel di bawah ini, yang di sarikan dari Definisi PBB di atas, adalah alat yang berguna untuk
menganalisa masing-masing kasus untuk menentukan apakah kasus tersebut termasuk trafficking atau
tidak. Agar suatu kejadian dapat di katakan sebagai trafficking, kejadian tersebut harus memenuhi paling
tidak satu unsur dari ketiga kriteria yang terdiri dari proses, jalan/cara dan tujuan.
Process + Cara/Jalan + Tujuan
Penerimaan Kebohongan
Atau
Kecurangan
Atau
Penyalahgunaan
Kekuasaan
Atau
Perbudakan/Praktek-praktek lain serupa
perbudakan
• 1 + 1 + 1
PERSETUJUAN KORBAN TIDAK RELEVAN
Jika satu unsur dari masing-masing ketiga kategori di atas muncul, maka hasilnya adalah
trafficking. Persetujuan korban tidak relevan apabila sudah ada salah satu dari jalan/cara diatas. Untuk
anak-anak, persetujuan korban tidak relevan dengan atau tanpa jalan/cara di atas.
Terminologi istilah perdagangan orang (perdagangan perempuan) termasuk hal yang baru di
Indonesia. Fenomena tentang perdagangan orang telah ada sejak tahun 1949 yaitu sejak di tandatangani
Convention on Traffic in Person. Hal ini kemudian berkembang ketika banyak laporan tentang terjadinya
tindakan perdagangan perempuan pada Beijing Plat Form of Action yang dilanjutkan dengan Convention
on Elimination of All Form of Descrimination Agains Women (CEDAW) dan telah di ratifikasi oleh
Indonesia dengan Undang-Undang No. 7 tahun 1984 tentang Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi
terhadap Perempuan. Kemudian di pertegas dalam agenda Global Alliance Agains Traffic in Women
(GAATW) di Thailand tahun 1994.
Definisi lain yang secara substansial lebih rinci dan operasional di keluarkan oleh PBB dalam
protokol yaitu Protokol untuk mencegah, menekan dan menghukum perdagangan orang, terutama
tahun 2000 menyebutkan definisi perdagangan yang paling di terima secara umum dan di gunakan secara
luas. Pasal 3 protokol ini menyatakan sebagai berikut :
a. Perdagangan Manusia adalah perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penampungan atau
penerimaan orang, baik di bawah ancaman atau secara paksa atau bentuk-bentuk lain dari
kekerasan, penculikan, penipuan, kecurangan atau penyalahgunaan wewenang atau situasi rentan
atau pemberian atau penerimaan pembayaran atau keuntungan guna memperoleh persetujuan dari
seseorang yang memiliki kontrol atas orang lain untuk melacurkan orang lain atau bentuk-bentuk
eksploitasi seksual yang lain, kerja paksa atau wajib kerja paksa, perbudakan atau praktek-praktek
yang sangat mirip dengan perbudakan, penghambaan atau pengambilan organ tubuh.
b. Persetujuan korban perdagangan manusia atau eksploitasi yang dimaksud dalam ayat (a) pasal ini
menjadi tidak relevan ketika cara-cara yang disebutkan pada ayat (a) digunakan ;
c. Perekrutan, pengangkutan, pemindahan dan penampungan atau penerimaan anak-anak untuk
tujuan eksploitasi harus di anggap sebagai
perdagangan manusia walaupun ketika hal ini tidak melibatkan cara-cara
yang di sebutkan dalam ayat (a) pasal ini;
d. Anak-anak adalah seseorang yang berusia kurang dari 18 tahun.
2. Sebab-sebab Terjadinya Trafficking
Latar belakang keluarga dengan ekonomi yang sangat lemah dan miskin, keadaan atau kondisi
keluarga dengan pendidikan yang sangat rendah, keterbatasan kesempatan, ketidaktahuan akan hak,
keterbatasan informasi, serta gaya hidup konsumtif, merupakan faktor yang melemahkan ketahanan
keluarga. Sementara itu sosial budaya, seolah merupakan hak milik yang dapat di perlakukan sekehendak
orang tuanya, ketidakadilan gender, atau posisi perempuan yang di anggap lebih rendah masih tumbuh di
Maka perempuan sebagai objek utama trafficking, akan terus-menerus menjadi korban, baik itu
korban ekploitasi seksual, di pekerjakan dengan tanpa di beri upah/gaji, ataupun berbagai korban
kekerasan lainnya. Dan biasanya perdagangan perempuan selalu bermuara pada eksploitasi seksual.
Selain itu mengingat bahwa kemajuan bisnis pariwisata di seluruh dunia yang juga menawarkan
pariwisata seks, termasuk yang mendorong tingginya angka perdagangan perempuan, untuk memenuhi
bisnis ilegal ini. Khususnya di Kota Surabaya, orang asing yang berdatangan di kota heterogen ini bukan
hanya untuk melakukan usaha dan bisnis semata, tetapi juga karena tertarik akan pelayanan seksual yang
mudah didapat dan murah di lokalisasi gang Dolly.
a. Ekonomi dan Sosial Budaya Masyarakat
Ekonomi merupakan faktor yang sangat menentukan dalam memenuhi kebutuhan hidup. Kondisi
ekonomi yang memprihatinkan seringkali membuat orang lupa diri dan dengan mudahnya melakukan
tindak pidana dengan faktor ekonomi sebagai alasan pembenarnya.
Demikian pula dengan perdagangan perempuan. Faktor utama maraknya trafficking terhadap
perempuan dan anak adalah kemiskinan. Kemiskinan yang begitu akut dan langkanya kesempatan kerja
mendorong jutaan penduduk Indonesia untuk berimigrasi ke luar ataupun di dalam negeri guna
menemukan cara agar dapat menghidupi diri mereka dan keluarga mereka sendiri. Kemiskinan akibat
multi krisis, kurangnya kesempatan kerja dan peluang berusaha menyebabkan orang tua tega menjual
anaknya.
Keinginan untuk hidup layak dan dengan kemampuan yang minim serta kurang mengetahui
informasi pasar kerja menyebabkan perempuan dan anak yang terjebak dalam lilitan hutang pada penyalur
tenaga kerja dan menyeret mereka kedalam praktik prostitusi.
Selain itu materialisasi dan gaya konsumtif merupakan faktor yang menjerat gaya hidup anak baru
Di samping itu dari sisi bisnis, trafficking ini merupakan bisnis yang menguntungkan hingga
mencapai milyaran dolar setahun. Bahkan perdagangan perempuan dan anak ini di anggap sebagi sumber
keuntungan terbesar ketiga bagi kriminal yang terorganisir di dunia, setelah perdagangan obat-obatan
terlarang dan senjata. Mereka bisa menghasilkan atau meraup keuntungan milyaran dolar setiap tahunnya
Perdagangan perempuan tidak terlepas dari keberadaan lingkungannya dan hubungannya dengan
kondisi sosial masyarakat. Faktor sosial menjadi faktor yang dominan ketika dia berhadapan dengan
korban yang memiliki pendidikan rendah Pendidikan merupakan salah satu faktor yang sangat
menentukan apakah seorang perempuan dapat di rekrut dengan cara penipuan untuk kemudian di
perdagangkan "Buta huruf dan pendidikan rendah merupakan faktor yang turut menyebabkan kerentanan
terhadap perdagangan, rendahnya pendidikan dan kurangnya keterampilan menyebabkan para perempuan
sulit untuk mendapatkan pekerjaan lain untuk menghidupi keluarga mereka.
Penyebab maraknya kasus trafficking, di sebabkan oleh faktor-faktor ekonomi miskin, budaya
patriarkhis seperti budaya pemaksaan menikah dini, pembatasan akses bagi anak dan perempuan dan
keinginan orang tua yang menginginkan anaknya secepatnya bekerja tanpa di bekali dengan pendidikan
dan keterampilan yang memadai. Di lain pihak, para calo secara gencar mendatangi penduduk miskin
untuk membujuk dan merayu para orang tua dan anak-anak untuk bekerja di kota atau di luar negeri.
Anak-anak di rekrut oleh calo melalui pendekatan dari rumah ke rumah di pedesaan dan pegunungan. Para
calo menjanjikan penempatan kerja ke kota, bergaji tinggi dan hidup mewah. Berbagai tipu daya di
lakukan guna mengajak dan merayu anak-anak desa untuk bekerja di lain tempat.
b. Politik
Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW), yang
kemudian di ratifikasi oleh pemerintah negara RI melalui UU No 7/1984 tentang Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, merupakan konvensi Internasional yang menjadi salah satu
. Sidang umum PBB membentuk sebuah komite ad hoc dalam mengelaborasi sebuah konvensi
melawan kejahatan terorganisir lintas batas. Konvensi PBB ini meliputi sebuah protokol untuk mencegah,
menekan dan menghukum trafficking (perdagangan) manusia terutama perempuan dan anak. Kemudian
pada bulan Maret 2007, Indonesia telah menerbitkan Undang-undang No. 21 tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO).
Definisi tentang trafficking pada UU PTPPO, sebagai berikut :
“Perdagangan orang adalah tindakan Perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman atau penggunaan kekerasan, atau bentuk-bentuk lain dari pemaksaan, penculikan, penipuan, kebohongan atau penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau memberi atau menerima pembayaran atau memperoleh keuntungan agar dapat memperoleh persetujuan dari seseorang yang berkuasa atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi. Eksploitasi termasuk paling tidak, eksploitasi untuk melacurkan orang lain, atau bentuk-bentuk lain dari eksploitasi seksual, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktek-praktek serupa perbudakan, penghambaan atau pengambilan organ tubuh”.:
Faktor penting dalam pengertian diatas dalam konteks di Indonesia yaitu bahwa Persetujuan dari
korban tidak di anggap sebagai persetujuan, apabila terjadi penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan,
penipuan dan kecurangan. Karena meningkatnya perempuan dan anak-anak Indonesia yang mencari
pekerjaan keluar desa, kota bahkan ke luar negeri.
Seorang anak (setiap manusia di bawah usia 18 tahun) yang telah di rekrut, di kirim, di pindahkan
dari satu tempat ke tempat lain, di tampung atau di terima untuk tujuan eksploitasi haruslah di kategorikan
sebagai seorang “korban trafficking” meskipun anak tersebut tidak di ancam, di paksa, di culik, di tipu, di
aniaya,dijual ataupun di sewakan
Secara singkat kita dapat kenali trafficking dengan unsur-unsur :
• Adanya tindakan/proses (transportasi,transfer dll)
• Adanya sarana (paksaan, penipuan, kecurangan dll)
• Adanya tujuan (eksploitasi)
Berbagai konvensi yang terkait dengan perempuan dalam kedudukannya sebagai warga negara
Internasional, dan berbagai negara ikut menandatangani dan meratifikasi konvensi tersebut termasuk
negara Indonesia. Di antara konvensi yang di tandatangani oleh negara Indonesia adalah konvensi
mengenai hak-hak Politik Perempuan (Convention On The Political Right of Woman) pada tanggal 16
Desember 1958, bahkan lebih dahulu dari yang di lakukan oleh negara Amerika Serikat yang baru
meratifikasi tanggal 8 april 1976.17
Dan permasalahannya terdapat pada Kendala struktural yang berkaitan dengan berbagai kebijakan
baik yang umum maupun yang khusus di tujukan pada kaum perempuan yang secara prinsipil justru
bertentangan dengan prinsip-prinsip yang ada dalam konvensi ini seperti dalam pasal 1, dapat di
simpulkan bahwa pemenuhan dan penghargaan terhadap Hak Asasi Manusia adalah prasyarat mutlak
untuk dapat terlaksananya konvensi ini. Namun tampaknya ada ketidakkonsistenan dari pemerintah, di
satu pihak menandatangani dan meratifikasi konvensi hak asasi manusia lainnnya, seperti konvensi
Internasional tentang hak-hak sipil dan politik dan konvensi Internasional tentang hak-hak ekonomi,
sosial, dan budaya.18
c. Hukum
Sejak di sahkannya Undang- Undang No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
PerdaganganOrang yaitu bulan April 2007, maka yang di maksud dengan perdagangan orang termasuk
perdagangan perempuan adalah
Tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan
seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan,
penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang, atau memberi bayaran
atau mamfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain
17
Apik, Perisai Perempuan Kesepakatan Internasional Untuk Perlindungan Perempuan Bogor, 1996, hal. 118
18
tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar Negara, untuk tujuan eksploitasi atau
mengakibatkan orang tereksploitasi.
Pengertian perdagangan orang dalam Undang-Undang No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Perdagangan Orang itu tidak jauh berbeda dengan pengertian dalam protokol yang
dikeluarkan oleh PBB.
Begitu lambatnya penanganan perdagangan manusia ini oleh pemerintah, sampai-sampai
Departemen Luar Negeri Amerika memasukkan Indonesia ke dalam kelompok tier 3, yaitu kelompok
negera-negara dengan penanganan perdagangan manusia terburuk. Lemahnya perangkat hukum,
mudahnya petugas di bayar, banyaknya daerah perbatasan antarnegara yang tidak di jaga dengan baik,
adalah faktor yang menyebabkan perdagangan manusia di Indonesia di kategorikan terburuk.
Di sisi lain, undang-undang sebagai landasan hukum menghadang perdagangan manusia pun di
Indonesia tidak memadai untuk menjerat dan menghukum si pelaku.
Kelemahan KUHP Menangani Tindak Kekerasan pada Perempuan
Perkosaan: Dalam KUHP, perkosaan dibatasi bila hanya terjadi penetrasi. Yaitu, masuknya alat
kelamin laki-laki ke dalam vagina. Sehingga dalam pembuktiannya sangat sulit dilakukan. Karena harus
adanya bukti sperma. Pasal yang mengatur tegas adalah pasal 285, 381 KUHP.
Masalah Pelecehan Seksual: Dalam KUHP, perbuatan itu hanya di kenal dengan istilah
perbuatan cabul. Sementara, perbuatan ini sendiri lebih banyak terjadi kepada korban yang berada
dalam relasi kekuasaan yang tidak seimbang. Pasal yang mengatur adalah pasal 387, 294 KUHP.
Perdagangan Perempuan: Secara umum, perbuatan ini adalah dalam sektor pemaksaan
kehendak. Seperti memaksa seseorang untuk menjadi pelacur, tenaga kerja ataupun pekerjaan lainnya
Kekerasan Dalam Rumah Tangga: Dalam peristiwa ini, baik KUHP maupun rancangan KUHP
tidak memuat secara tegas pasal-pasal yang mengatur atau memberikan ketegasan. Namun ada beberapa
pasal seperti 338, 339 dan 340 tentang penganiayaan yang bisa dipakai menjerat para pelaku.
Pornografi: Dalam KUHP, pornografi diatur dalam pasal 282, yang terkait erat dengan pasal
281. Untuk pasal 282 sendiri, lebih di fokuskan untuk melindungi kesusilaan dan gangguan melalui
media tulisan atau gambar.
Aborsi: Hukum kita dengan jelas melarang hal apapun mengenai hal ini, terkecuali dengan alasan medis
bagi si pengandung. Bahkan, sanksi yang diberikan menurut pasal 346 KUHP adalah empat tahun
penjara. Sementara untuk pasal lainnya mengacu pada UU Kesehatan no 23 Tahun 1992 dan pasal 374,
375 KUHP.
d. Agama
Begitulah dari sisi mana kita melihat, akan menentukan warna pandangan. Sementara perilaku
jual-beli itu tak pernah berubah dari abad ke abad. Dan semakin terbelah sikap memandang, semakin
bervariasi pula spektrum warna pandangan. Nilai sosial pun yang relatif. kecuali barangkali jika
dikembalikan pada sumber nilai yang paling asasi, prinsip agama. Tapi sejauh manakah prinsip agama
masih fungsional dalam kehidupan sosial? Jika prinsip agama beranjak dari rasa taqwa pada Tuhan, dan
ini sifatnya sangat individual, siapakah yang menganggapnya masih relevan terhadap kehidupan sosial
dalam lingkungan pelacur. Mau tak mau di sini agama di ajak bersikap adil dalam menilai. Keadilan
hanya arti memberikan apa yang menjadi hak seseorang.
Lalu bagaimana perkiraan tentang hak sosial seorang pelacur? Lalu sampai berapa jauh batas
toleransi akan hak sosial itu?
Kesemuanya pertanyaan tentang tak mungkin memperoleh jawaban dari prinsip-prinsip yang
Karena itu gambaran tanpa prasangka di perlukan agar kehidupan penjaja seks ini bisa di kendali lebih
dalam lagi.
Remangkah kehidupannya, ataukah cemerlang dalam pesta pora eksekutif, sebenarnya menyatu dalam
sikap dasar yang sama, sikap dasar ini bertolak dari pandangan mengenai tubuh sendiri, dan makna seks
bagi dirinya. Bahwa tubuh merupakan modal kerja, dan seks adalah aktivitas yang punya nilai
jangkauannya tidak sebatas rumah tangga. Dari sikap dasar semacam ini lahirlah motif yang beraneka.
3. Bentuk-Bentuk Trafficking
Ada beberapa bentuk trafficking manusia yang terjadi pada perempuan dan anak perempuan:
• Kerja paksa dan eksploitasi seks, baik di luar negeri maupun di dalam negeri. Dalam banyak
kasus perempuan dan anak-anak di janjikan bekerja sebagai buruh migran. PRT, pekerja restoran,
penjaga toko atau pekerjaan-pekerjaan tanpa keahlian tetapi kemudian di paksa bekerja pada
industri seks saat mereka tiba di daerah tujuan.
• Pembantu rumah tangga (PRT) -baik di luar negeri maupun di dalam negeri. Di eksploitasi ke
dalam kondisi pekerjaan yang sewenang-wenang termasuk : jam kerja sangat panjang,
penyekapan, upah yang tidak di bayar atau di potong, kerja karena jeratan hutang, penyiksaan fisik
ataupun psikologis, penyerangan seksual, tidak di beri makan atau kurang makanan dan tidak
boleh menjalankan agamanya atau di perintah untuk melanggar agamanya. Beberapa majikan dan
agen menyita paspor dan dokumen lainnya untuk memastikan para pembantu tersebut tidak
mencoba melarikan diri.
• Bentuk lain dari kerja migran- baik di luar negeri maupun di wilayah Indonesia, meskipun
banyak orang Indonesia yang bermigrasi sebagai PRT, yang lainnya di janjikan mendapatkan
migran ini di eksploitasi ke dalam kondisi pekerjaan yang sewenang-wenang dan berbahaya
dengan bayaran sedikit atau bahkan tidak di bayar sama sekali.
• Penari penghibur dan pertukaran budaya, terutama di luar negeri, perempuan dan anak-anak di
janjikan bekerja sebagai duta budaya, penyanyi atau penghibur di negara asing, pada saat
kedatangannya banyak dari perempuan di paksa untuk bekerja di industri seks atau pada pekerjaan
dengan kondisi yang sangat mirip dengan perbudakan.
• Pengantin pesanan- terutama di luar negeri, beberapa perempuan dan anak yang bermigrasi
sebagai istri dari orang berkebangsaan asing, telah di tipu dengan perkawinan. dalam kasus
semacam itu. Para suami mereka memaksa istri-istri baru itu untuk bekerja untuk keluarga dengan
kondisi yang sangat mirip dengan perbudakan, atau mereka menjual ke industri seks.
• Beberapa bentuk buruh/pekerja anak- terutama di indonesia beberapa anak yang berada di
jalanan untuk mengemis, mencari ikan di lepas pantai seperti jermal, dan bekera di perkebunan
telah di eksploitasi ke dalam situasi yang mereka hadapi saat ini.
• Trafficking/penjualan bayi- baik di luar negeri ataupun di Indonesia. Beberapa buruh migran
Indonesia (TKI) ditipu dengan perkawinan palsu saat negeri dan kemudian mereka di paksa untuk
menyerahkan bayinya untuk di adopsi secara ilegal.
4. Pelaku Trafficking
• Perusahaan perekrut tenaga kerja/PJTKI
• Agen/calo tenaga kerja
• Aparat pemerintah, jika memalsukan dokumen, membiarkan terjadinya pelanggaran, dan
memfasilitasi penyebrangan melintasi perbatasan secara ilegal
• Majikan, jika menempatkan pekerja secara eksploitatif . tidak membayar gaji, menyekap pekerja,
melakukan kekerasan seksual, fisik, memaksa terus bekerja aau menjerat pekerja dengan hutan
• Orang tua, sanak saudara dapat di anggap sebagai pelaku manakala mereka secara sadar menjual
anak atau saudarannya baik langsung atau melalui calo kepada majikan di sektor industri seks atau
lainnya. Atau jika mereka menerima pembayaran di muka dengan penghasilan yang akan di terima
oleh anak mereka nantinya.
• Suami juga bisa menjadi pelaku, jika ia menikahi perempuan tetapi kemudian mengirim istrinya ke
tempat baru untuk mengeksploitasinya demi keuntungan ekonomi, menempatkannya dalam status
budak atau memaksanya melakukan praktik prostitusi.
Ancaman Hukuman Bagi Pelaku Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan
Pasal Hukuman Tindak Pidana
387 R. KUHP 2 Tahun Pelecehan seksual
281 KUHP 2 Tahun Tindak pidana pornografi
374 R. KUHP 4 Tahun Aborsi
375 R. KUHP 5 Tahun Pelaku aborsi
346 KUHP 4 Tahun Tindak pidana aborsi
282 KUHP 2 Tahun Penyebaran gambar porno
338 KUHP 15 Tahun Perkosaan di sertai pembunuhan
339 KUHP 20 Tahun Pembunuhan di sertai tindak pidana
340 KUHP Seumur Hidup Pembunuhan dengan perencanaan
295 KUHP 7 Tahun Perbuatan cabul
393 R. KUHP 3 Tahun Penjualan wanita
296 KUHP 5 Tahun Membiarkan perbuatan cabul
285 KUHP 12 Tahun Perkosaan dengan kekerasan
381 R.KUHP 3 Tahun Persetubuhan di sertai pencabulan
Populasi penelitian ini ialah daerah Gang Dolly Surabaya terutama para pelaku Trafficking dan
Prostitusi mucikari di Gang Dolly Surabaya. Pengambilan kasus ini dengan pertimbangan bahwa Gang
Dolly sudah terkenal sejak lama, merupakan lokalisasi Surabaya. Adapun sampelnya secara purposive
dengan mengambil perilaku mucikari dan perilaku prostitusi dan pelaku trafficking.
Korban perdagangan anak tidak pandang bulu, siapa saja (setiap orang) dapat menjadi korban
perdagangan khususnya perempuan dan anak?
• Anak-anak jalanan
• Orang yang sedang mencari pekerjaan dan tidak mempunyai pengetahuan/informasi yang benar
mengenai pekerjaan yang akan di pilihnya
• Perempuan dan anak di daerah konflik dan yang menjadi pengungsi
• Perempuan dan anak miskin di kota atau pedesaan
• Perempuan dan anak yang berada di wilayah perbatasan antar negara
• Perempuan dan anak yang keluarganya di\ terjerat hutang
• Perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga
• Perempuan yang menjadi korban perkosaan
Adapun pengertian korban kejahatan berdasarkan deklarasi PBB dalam “Declaration of Basic
Principles of Justice for Victim of Crime and Abuse of Power 1985” pada angka 1 di sebutkan bahwa
korban kejahatan adalah :
“Victims means person who, individually or collectively, heve suffered harm, including physical or
mental injury, emotional suffering, economic loss or substansial impairment of their fundamental right,
through acts or omissions that are in violation of criminal laws operative within member state, including
those laws proscribing criminal abuse of power”.
Bahwa penulis mengatakan:
“Korban (Victims) adalah orang-orang yang baik secara individual maupun kolektif telah
menderita kerugian, termasuk kerugian fisik atau mental, emosional, ekonomi, atau gangguan
substansial terhadap hak-haknya yang fundamental, melalui perbuatan atau komisi yang
Pada tahap ini korban akan menderita kerugian sebagai korban kejahatan dan sebagai korban
struktural.19
B. PROSTITUSI
1. Definisi Prostitusi
Prostitusi yaitu penyerahan diri dari wanita kepada banyak laki-laki dengan
pembayaran.20penyebab dan dampaknya di katakan bahwa praktik prostitusi merupakan profesi tertua di
dunia. Semenjak ada kehidupan manusia, telah ada praktik prostitusi, dan akan terus ada selama masih ada
kehidupan manusia.
Hal ini berdasarkan pendapat penulis melalui hasil penelitiannya dapat di simpulkan bahwa di
dalam praktek prostitusi terdapat unsur-unsur atau ciri-ciri sebagai berikut:
1. Para pelaku atau subyek prostitusi adalah orang laki-laki dan orang perempuan di luar hubungan
pernikahan.
2. Peristiwa yang dilakukan adalah hubungan seksual atau hubungan persetubuhan, yang di
lakukan atas kesepakatan bersama antara kedua pihak, atau bukan karena paksaan.
3. Tujuannya adalah pemenuhan kebutuhan biologis (bagi laki-laki), dan kebutuhan uang (bagi
perempuan)
.Bahwa seksualitas merupakan hubungan kuasa yang di hasilkan melalui interaksi yang kompleks
dari diskursus plural (discursive practices) dan praktik kelembagaan dari aparat seksualitas sampai abad
ke-20.21
Kata prostitusi atau pelacuran selalu menggiring pikiran dan imaji orang tentang seksualitas yang
di tabukan atau di nistakan karena secara moral di anggap bertentangan dengan nilai agama dan
19
Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, Jakarta: Akademika Presindo, 1993.
20
P.J De Bruine Ploos Van Astal dalam Soedjono, S.H 1970 hal. 57
21
kesusilaan. Pandangan demikian biasanya berasal dari kelompok orang atau penguasa yang hanya melihat
prostitusi sebagai bentuk pelampiasan seksual yang tidak sejalan dengan norma sosial masyarakat umum.
Seks sebagai “komoditi” telah menimbulkan suatu profesi yang memerlukan totalitas dari sebagai
modal kerja. Hubungan seks antara dua jenis manusia sudah setua adanya manusia di muka bumi ini.
2. Sebab-Sebab Terjadinya Prostitusi
Fenomena arus globalisasi yang membawa implikasi perubahan negatif pada pergaulan
perempuan, menuntut keberanian perempuan untuk mengcounter budaya free-sex, pornografi, poligami
yang senantiasa merebak meracuni pola hidup masyarakat modern.
Masalah "Drive Thru Girl" (penjualan diri) yang di lakukan oleh laki-laki dan perempuan ABG di
luar sekolah, seiring dengan maraknya gaya hidup dunia gemerlap tidak bisa di diamkan begitu saja.
Menyimak kehidupan malam yang di lakukan oleh sebagian remaja yang masih sekolah di menengah atas
(SMA) dan perguruan tinggi (PT) menarik di cermati. Betapa pendidikan yang di tempuhnya tidak bisa
mengatur diri mereka, hingga larut dalam budaya free-sex yang sebenarnya melanggar aturan etika,
norma, agama dan sosial.
a. Ekonomi dan Sosial Budaya Masyrakat
Dari aspek ekonomi, yang bekerjanya atas dasar hubungan supply and demand, jelas bahwa di
dalam praktek prostitusi terlihat sebagaimana.tekanan ekonomi sebagai akibat di tinggal suami merupakan
alasan klasik untuk timbulnya prostitusi, yang akan terus berkembang sesuai dengan perkembangan
keadaan (kuantitas dan kualitas kehidupan) manusia khususnya di daerah-daerah perkotaan.
Maka faktor-faktor yang menyebabkan timbul dan berkembangnya prostitusi antara lain:
1). Kondisi kependudukan, yang antara lain: jumlah penduduk yang besar dengan komposisi
penduduk wanita lebih banyak dari pada penduduk laki-laki.
plastik, alat-alat dan/atau obat pencegah kehamilan; teknologi dalam telekomunikasi dan transportasi.
Dalam hal ini yang jelas adalah penyalahgunaan terhadap produk-produk perkembangan teknologi di
bidang industri.
3). Lemahnya penerapan, dan ringannya sanksi hukum positif yang di terapkan terhadap
pelanggaran hukum. Pelanggaran hukum tersebut dapat di lakukan oleh pelaku (subyek) prostitusi,
mucikari, pengelola hotel/penginapan, dan lain-lain. Mahalnya biaya (resmi) pernikahan, sulitnuya
prosedur perceraian juga merupakan faktor pengembangan praktek prostitusi secara kuantitas.
4). Kondisi lingkungan, baik lingkungan sosial maupun lingkungan alam (fisik) yang menunjang.
Kurangnya kontrol di lingkungan permukiman oleh masyarakat sekitar, serta lingkungan alam seperti:
jalur-jalur jalan, taman-taman kota, atau tempat-tempat lain yang sepi dan kekurangan fasilitas penerangan
di malam hari, sangat menunjang untuk terjadinya praktik prostitusi.
Pada tingkat pasar, misalnya, penggunaan tubuh perempuan untuk keperluan iklan barang-barang
konsumtif, menunjukkan telah terjadi pergeseran seksualitas dan tubuh dari domain "privat" ke domain
"publik";
Menunjukkan bahwa masalah pelacuran adalah masalah yang multikompleks, yang tidak berhenti
pada masalah ekonomi, namun juga kelonggaran "culture" masyarakat di sekitarnya, pengaruh gaya
hidup, "tradition" setempat, juga persepsi para pelacur dan keluarganya terhadap profesi tersebut.
Hal-hal itulah yang ditangkap para cukong atau para "penyalur" dengan memanfaatkan jaringan
yang sangat rapi dan tak jarang malahan di dukung oleh "backing" aparat keamanan.
b. Politik
Dalam konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (di ratifikasi Pemerintah RI
Bangsa-Bangsa (PBB) perdagangan perempuan serta prostitusi paksa di masukkan sebagai bentuk
kekerasan terhadap perempuan.22
Nuansa pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam penanganan masalah prostitusi selama ini
sangat tinggi. Sejak awal rekrutmen, nuansa ekonomis, kemiskinan, dan beban eksploitasi sangat kental
dialami perempuan yang dilacurkan, yang umumnya berasal dari keluarga miskin. Setelah terjebak di
dalam dunia prostitusi pun mereka tak memiliki banyak kesempatan untuk keluar, hanya mampu berharap
suatu saat jalan itu terbuka.
c. Hukum
Nuansa bias gender di sini terjadi selain dalam bentuk stigmatisasi, juga diskriminasi, karena
jarang laki-laki sebagai konsumen, germo atau mucikari, serta pengusaha tempat prostitusi di tangkap dan
diproses secara hukum. Kalaupun ada laki-laki yang tertangkap, aparat hanya mendata, memberi
penyuluhan, dan menyuruh pulang. Sementara para perempuan yang terjaring, di data, di beri penyuluhan
dan di suruh membayar denda, atau di masukkan ke panti rehabilitasi selama beberapa bulan. Mereka juga
sangat rentan pelecehan seksual oleh aparat selama proses penertiban.
Kasus prostitusi yang menggerakkan pemerintah untuk memproduksi sebuah undang-undang
(KUHP) sepertinya bukan khas kebingungan Indonesia. Bila di Indonesia kebingungan itu lebih pada
menyoal menentukan batas moral dan amoral – yang sama-sama kabur, di negara lain praktik prostitusi di
perdebatkan karena beberapa perkara. Misalnya prostitusi di jerat sebagai aktivitas kriminal. Pandangan
ini menyakini bahwa prostitusi merupakan sebentuk perbudakan wanita. Karena itu, tidaklah berlebihan
bila prostitusi di haramkan, dan pelakunya harus di jebloskan penjara.
d. Agama
22
Demikian pula dalam hal sulitnya menindak pelacuran. Agama tidak bisa langsung bertindak
sebagai "Lembaga Inkuisisi" dengan menjatuhkan sanksi (‘uqubat) terhadap pelacuran. Dalam fikih Islam
sendiri terdapat ragam beda pendapat, misalnya dalam kasus pelacuran. Menurut Abu Hanifah, perbuatan
seks dengan wanita bayaran tidak bisa di kenai hukum Hadd karena hukum transaksinya (al-Ijarah) masih
samar (syubhat), sedangkan pelaksanaan hukum Hadd, seperti di sabdakan nabi, harus bebas dari segala
kesamaran.23
Persoalan mendasar membangun ideologi patriarkhi bersumber pada pemegang kekuasaan dan
pemilik pengetahuan yang tidak netral. Setiap kuasa pengetahuan mempengaruhi wacana yang
membangun perspektif kultural dan praktik sosial di masyarakat. Gagasan kebebasan untuk memberikan
peran lebih luas dengan persaingan yang kompetitif selalu berbentur pada kepentingan yang mempunyai
modal besar.
Seringkali kehendak penafsir dalam memberikan pendapat atau menentukan aturan (role)
membelenggu kesadaran perempuan. Seperti banyaknya penafsiran tentang poligami dari sudut pandang
laki-laki, di kaitkan dengan kehendak dan perintah Tuhan. Perempuan hanya di jadikan subjek dari hasil
penafsiran tanpa sedikitpun terlibat dalam produksi tafsir yang kreatif.
.Jika menelaah kitab tafsir klasik banyak pendapat yang bias gender, karena penafsirnya laki-laki,
sehingga secara nyata kepentingan laki-laki masuk dalam penafsiran mereka. Untuk memberikan
imbangan pada realitas saat ini, maka perempuan perlu mampu mengakses kitab suci dan memberikan
interpretasi sesuai dengan kepentingan dan kepekaan yang di miliki oleh kaum perempuan. Misalnya,
berkenaan dengan masalah reproduksi, perempuan harus berbicara dan berpendapat tentang apa yang di
alami oleh tubuhnya ketika menstruasi, hamil dan melahirkan serta menyusui,. Laki-laki tidak akan bisa
memahami secara nyata, karena laki-laki tidak bisa menggantikan atau mengalami peran reproduksi
kalangan perempuan.
23
BAB IV
PERKEMBANGAN TRAFFICKING DAN PROSTITUSI, DAMPAK SERTA UPAYA
PENANGGULANGANNYA
A. PERKEMBANGANNYA
1. Trafficking
Meningkatnya jumlah korban trafficking dari tahun ke tahun membuat resah. Berdasarkan hasil
survei di Provinsi Jawa Timur dalam satu tahun terakhir tahun 2008, jumlah kasus trafficking meningkat
300 %. Jika pada tahun 2005 jumlah kasus trafficking hanya 28.892 kasus, pada 2006 melonjak 86.676
kasus24 Angka peningkatan kekerasan yang merisaukan.
Selain itu mengingat bahwa kemajuan bisnis Pariwisata di seluruh dunia yang juga menawarkan
Pariwisata seks, termasuk yang mendorong tingginya angka perdagangan perempuan, untuk memenuhi
bisnis ilegal ini.
Jawa yang dalam sejarah terkenal sebagai pemasok perempuan untuk kerajaan dan sampai
sekarang daerah tersebut masih terkenal sebagai pemasok perempuan untuk di perdagangkan, daerah
tersebut adalah Jawa Barat (Indramayu, Karawang, Kuningan), Jawa Tengah (Semarang,DI Yogyakarta,
Pati, Jepara, Wonogiri), Jawa Timur (Surabaya, Blitar, Malang, Banyuwangi, Lamongan).
Faktor-faktor yang menyebabkan kejahatan perdagangan manusia dan sangat perlu di perhatikan di
antaranya adalah sebagai berikut
a. Faktor Ekologis, kepadatan penduduk dan mobilitas sosial; kota dan
pedesaan; dan urbanisasi.
b. Faktor Ekonomi, sebab pengaruh kemiskinan dan kemakmuran
c. Faktor Budaya, sebab kejahatan karena masalah-masalah suku, agama,
d. Kelompok Minoritas
24