• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pada bab ini penulis memberikan jawaban dari permasalahan yang dibahas dengan efektif dan efisien mungkin, agar dapat di pahami secara keseluruhan, dan sekaligus membuat saran-saran yang konstruktif dan inovatif bagi para pembaca skripsi ini.

Terakhir adalah daftar pustaka serta lampiran wawancara yang merupakan referensi penulis dalam menulis skripsi ini.

BAB II

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

A. Letak Geografis

Di bagian utara Surabaya, tepatnya di Bangunsari/Bangunrejo, kecamatan Krembangan. Tak jauh dari situ, ada lagi bisnis jasa seks di Kremil. Para pelacur di kedua tempat ini melayani kalangan kelas bawah, terutama para awak kapal dari Tanjung Perak.

Di bagian barat, sekitar 15 kilometer dari pusat kota Surabaya, terdapat komplek pelacuran Moroseneng, di desa Sememi, Kecamatan Benowo. Berdampingan dengan lokasi ini, tumbuh juga kegiatan pelacuran di Desa Klakah Rejo, kecamatan Benowo. Kedua kawasan ini biasa digunakan untuk kalangan menengah.

Kawasan Dolly, yang mencakup RW 12 dan RW 6 dan hanya sepanjang sekitar 150 meter, diperkirakan mempunyai 55 wisma dan sekitar 530 PSK. Masing-masing wisma menampung sekitar 10-30 PSK. Itu menurut data terakhir yang dihimpun Yayasan Abdiasih, lembaga swadaya masyarakat di Dolly. Di lokalisasi Jarak perkampungan seberang Dolly yang seluas sekitar tiga hektar, itu ada 400-an wisma dengan 2.155 PSK yang tersebar di RW 10, RW 11, dan RW 3.

1. Gang Dolly utamanya terletak di pinggiran kota sekitar 100 meter dari pusat atau perbatasan kota yang berada pada wilayah industri. Hasil pengamatan terdahulu memperlihatkan bahwa daerah pinggiran kota banyak berperan pada proses migrasi. Baik migrasi dari luar maupun migrasi dari dalam kota sendiri.

2. Gang Dolly merupakan daerah pemukiman wilayah Surabaya, dengan atribut ‘kawasan industri’. Sampai saat penelitian ini di laksanakan di sekitar Gang Dolly telah berdiri industri dan pabrik-pabrik.

3. Gang Dolly terletak tidak jauh dari terminal bis yang dapat berfungsi dua, yaitu: - Sebagai pusat transportasi dan lalu lintas penumpang antar kota dan antar provinsi.

- Sebagai pemukiman penduduk pinggir kota. Adanya terminal bis tersebut mempermudah pendatang untuk keluar masuk daerah tersebut.

Saat ini, ada enam kawasan pelacuran besar di Surabaya. Dolly adalah lokalisasi paling terkenal yang tumbuh sejak tahun 1960-an. Bersebelahan dengan Dolly, ada lokalisasi Jarak. Para pelacur dan germo di situ merupakan pindahan dari Jagir, Wonokromo.

Sejarah prostitusi di Surabaya hampir setua sejarah Ibukota Jawa Timur ini. Pada mulanya, pelacuran ini merebak di kawasan pesisir, lantas merambah daerah pinggiran. Kini, Surabaya di kepung bisnis jasa seks itu.

Prostitusi di Surabaya tumbuh seiring dengan perkembangan kota itu sebagai kota pelabuhan, pangkalan Angkatan Laut, dan tujuan akhir kereta api. Saat penjajahan Belanda pada abad ke-19, Surabaya sudah di kenal dengan kegiatan pelacuran. Catatan resmi Kota Surabaya menyebutkan, tahun 1864, terdapat 228 pelacur di rumah-rumah bordil di kawasan Bandaran di pinggir Pelabuhan Tanjung Perak.

Jumlah itu belum memperhitungkan praktik prostitusi liar yang berlangsung di beberapa titik., seperti di kompleks makam Kembang Kuning-Sido Kumpul, di kawasan Jalan Diponegoro, atau di kawasan Monumen Bambu Runcing di Jalan Panglima Sudirman. Apa mau di kata, Kota Surabaya seperti di kepung praktik pelacuran. Wajar saja, jika tahun 1980-an, kota ini sempat diolok-olok “Kota Prostitusi”.

Di antara enam kawasan pelacuran itu, Dolly-lah yang menjadi primadona. Saking masyhurnya, sampai-sampai banyak kalangan yang beranggapan, Dolly sudah jadi salah satu ikon Kota Surabaya. Para pelancong belum terasa menginjakkan kaki di kota itu kalau belum mampir ke sana.

Terlepas dari kacamata moral, lokalisasi justru penting untuk mengumpulkan dan mengontrol “barang najis” di satu kawasan tertentu. Di situ, pemerintah bisa mengawasi persoalan kesehatan, keamanan, narkoba, dan penyebaran HIV/AIDS. Jika lokalisasi ditutup, barang najis itu akan berceceran ke mana-mana dan menjadi semakin sulit di kendalikan.

Para penduduk yang menempati lingkungan lokalisasi,sebagian besar merupakan PSK, mucikari/germo, pengelola wisma. Dan sebagian besar mata pencarian mereka bersumber dari bisnis “sex".

Bersamaan dengan roda bisnis seks yang berputar, ekonomi rakyat juga berdenyut. Itu terlihat dari ratusan mobil dan motor yang memenuhi teras rumah penduduk yang di sulap jadi lahan parkir. Tarif parkir mobil sekitar Rp. 20.000, motor Rp. 3.000. Jika menginap, tarifnya bisa berlipat.

Para penjaja makanan, penganan kecil, minuman, dan rokok tak mau ketinggalan. Jalan yang sesak itu pun menjadi riuh oleh “teng-teng” tukang nasi goreng, kepulan asap tukang sate, atau dentingan minuman keras. Taksi, becak, bahkan pengemis pun turut memeriahkan jalanan sempit itu.

“Sudah lima tahun saya jualan di sini. Pendapatan kotor rata-rata Rp. 400.000 per malam,” kata Supin (46), pedagang kaki lima yang menjual aneka rokok di Jalan Jarak, di ujung Gang Dolly.

Suasana di lokalisasi Jarak, yang tersebar di perkampungan di seberang Dolly, juga begitu. Tak hanya malam hari, perputaran ekonomi juga menggeliat pada pagi dan siang hari, ketika para PSK sedang beristirahat. Saat itu, banyak ibu rumah tangga mencucikan baju para PSK, pedagang pakaian menawarkan pembelian kredit, dan para pedagang minuman memasok bir atau bermacam minuman keras lain.

“Cuci satu baju Rp. 1.000, celana panjang Rp. 1.500, satu singlet Rp. 500. Satu hari, saya bisa dapat Rp. 30.000,” kata Narti (37), warga Putat Jaya yang menekuni jasa cuci baju sejak lima tahun berakhir.

Keramaian di Dolly dan Jarak menggambarkan, betapa banyak orang yang kecipratan rezeki. Keberadaan bisnis seks itu terlanjur memberikan multiplying effect (dampak berganda) yang menghidupkan ekonomi rakyat setempat. Pada titik tertentu, bahkan sebagian masyarakat sudah menggantungkan kebutuhan hidup dari situ.

Jika Dolly identik dengan jasa seks bagi kalangan kelas menengah, Jarak lebih murah dan banyak didatangi kelas bawah. Jasa PSK di Dolly sekitar Rp. 70.000 – Rp. 130.000 untuk sekali kencan selama satu jam. Di Jarak, tamu hanya perlu merogoh kocek Rp. 60.000 – Rp. 70.000 sekali kencan.

Sebenarnya berapa jumlah uang yang beredar di Dolly-Jarak setiap malam?

Jika satu PSK melayani 10 tamu per malam dengan tarif rata-rata Rp 100.000 sekali kencan, uang yang beredar di Dolly sekitar Rp 530 juta per malam. Dengan penghitungan satu PSK di Jarak punya tiga tamu dengan tarif Rp. 70.000 sekali kencan, maka transaksi bisnis seks di situ mencapai RP 452,55 juta per malam.

Jadi, total uang beredar di Dolly dan Jarak mencapai Rp 982,55 juta per malam. Jika hitungan itu diperpanjang selama satu bulan, total peredaran uang di dua kawasan itu berkisar Rp 29,476 miliar per bulan! Itu pun hanya menghitung jasa pelayanan seks oleh PSK, belum mencakup penjualan minuman, makanan, dan lain-lain yang mencapai ratusan juta rupiah.

Taruhlah jika satu wisma menjual dua kerat bir seharga sekitar Rp 250.000 per kerat, maka transaksi penjualan bir dari 455 wisma di Dolly-Jarak mencapai Rp 227,5 juta per malam. “Itu hitungan minimal. Pendapatan kami dari menjual bir malah sering Rp 1 juta per malam,” kata Bambang (42) pengelola wisma dan karaoke di kawasan Dolly.

Roda ekonomi miliaran rupiah itu berpangkal pada jasa pelayanan seks oleh PSK. Dari total tarif jasa pelayanan kencan, seorang PSK rata-rata hanya menerima separuhnya, bahkan kurang. Separuh lagi masuk kantong germo atau mucikari. Sebagian kecil disimpan sebagai laba bersih, sebagian lagi untuk membiayai operasional wisma, membayar makelar, preman, keamanan, dan berbagai pungutan lain.

Begitulah, dalam bisnis seks PSK adalah mesin industri yang menghidupkan hampir semua lini. Mereka dieksploitasi untuk mendulang uang yang dinikmati banyak kalangan. Jika sudah beranjak tua dan kehilangan pesona seksual, dengan sendirinya PSK itu bakal tersingkir.

Di luar hitung-hitungan bisnis tadi, sebagian masyarakat Surabaya menginginkan, Dolly-Jarak dipindah saja ke wilayah pinggiran kota. Alasannya, praktik pelacuran itu menyalahi aturan dan moral agama. Apalagi, kawasan tersebut berada di tengah kota yang padat pemukiman sehingga dikhawatirkan berdampak buruk bagi masyarakat.

C. Sosial Kemasyarakatan

Meski kerap disebut “lokalisasi”, yang berarti pembatasan pada suatu kawasan tertentu, hampir semua kawasan pelacuran di Kota Surabaya bersinergi dengan masyarakat setempat. Rumah bordil dan rumah tangga biasa kerap berbaur dalam satu lingkungan.

Di Dolly-Jarak, rumah warga biasa sering ditempeli tulisan “rumah tangga”, sedangkan rumah bordil disebut wisma. Namun, penghuni rumah tangga, termasuk anak-anak bebas saja berkeliaran di tengah suasana mesum itu.

Anak-anak kecil di Jarak, misalnya, leluasa bermain di antara para perempuan bergincu yang

mejeng sejak sore. Saat malam, ketika musik dangdut koplo berdentum-dentum, anak-anak masih

blusukan di gang-gang sempit yang jadi tempat transaksi seks.

“Kami bentengi anak-anak dengan belajar mengaji di masjid. Kami selalu kontrol agar mereka tidak keluyuran,” kata Dwi (27), warga yang hidup di tengah lokalisasi di Jarak. Dua anaknya, Ari (9) dan Adi (2), tampak tumbuh baik-baik saja.

Di Bangunrejo, Moroseneng, atau Kremil (tiga kawasan pelacuran lain di Surabaya), juga tak ada batas antara lingkungan hunian umum dan wisma bordil. selama ini suasana hampir damai-damai saja.

Dan ironis ketika peneliti menemukan sebuah kegiatan agama berupa pengajian rutin malam jumat, dimana para peserta pengajian itu adalah para PSK dan di imami oleh pengurus masjid itu,akan

tetapi selepas mereka melakukan aktivitas tersebut mereka kembali memperdagangkan diri mereka. sebagai pemuas nafsu birahi kaum lelaki (PSK)

Dan yang lebih ironisnya adalah ternyata sang pengurus masjid tersebut adalah seorang mucikari yang mempunyai Wisma di kawasan Gang Dolly. Sehingga di kawasan Prostitusi Gang Dolly sangat terkenal istilah STMJ (Sholat Tetap Maksiat Jalan)

BAB III

TRAFFICKING, PROSTITUSI DAN PERMASALAHANNYA

A. Trafficking

1. Definisi trafficking

Definisi trafficking : Perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan, atau penerimaan

seseorang, dengan ancaman, atau penggunaan kekerasan, atau bentuk-bentuk pemaksaan lain, penculikan, penipuan, kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, atau memberi atau menerima bayaran atau manfaat untuk memperoleh ijin dari orang yang mempunyai wewenang atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi. 16

Tabel di bawah ini, yang di sarikan dari Definisi PBB di atas, adalah alat yang berguna untuk menganalisa masing-masing kasus untuk menentukan apakah kasus tersebut termasuk trafficking atau tidak. Agar suatu kejadian dapat di katakan sebagai trafficking, kejadian tersebut harus memenuhi paling tidak satu unsur dari ketiga kriteria yang terdiri dari proses, jalan/cara dan tujuan.

Process + Cara/Jalan + Tujuan

Perekrutan Atau Pengiriman Atau Pemindahan Atau Penampungan Atau D A N Ancaman Atau Pemaksaan Atau Penculikan Atau Penipuan Atau D A N Prostitusi Atau Pornografi Atau Kekerasan/Eksploitasi Seksual Atau

Kerja Paksa/dengan upah yang tidak layak

16

Sari, Dian Kartika. “Perdagangan Manusia Khususnya Perempuan & Anak DalamTinjauan Hukum” (makalah di sampaikan pada semiloka sehari Woman Trafficking dalam Perspektif Agama & Budaya, Jakarta, 8 Agustus, 2002)

Penerimaan Kebohongan Atau Kecurangan Atau Penyalahgunaan Kekuasaan Atau

Perbudakan/Praktek-praktek lain serupa perbudakan

1 + 1 + 1

PERSETUJUAN KORBAN TIDAK RELEVAN

Jika satu unsur dari masing-masing ketiga kategori di atas muncul, maka hasilnya adalah

trafficking. Persetujuan korban tidak relevan apabila sudah ada salah satu dari jalan/cara diatas. Untuk anak-anak, persetujuan korban tidak relevan dengan atau tanpa jalan/cara di atas.

Terminologi istilah perdagangan orang (perdagangan perempuan) termasuk hal yang baru di Indonesia. Fenomena tentang perdagangan orang telah ada sejak tahun 1949 yaitu sejak di tandatangani

Convention on Traffic in Person. Hal ini kemudian berkembang ketika banyak laporan tentang terjadinya tindakan perdagangan perempuan pada Beijing Plat Form of Action yang dilanjutkan dengan Convention on Elimination of All Form of Descrimination Agains Women (CEDAW) dan telah di ratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-Undang No. 7 tahun 1984 tentang Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. Kemudian di pertegas dalam agenda Global Alliance Agains Traffic in Women (GAATW) di Thailand tahun 1994.

Definisi lain yang secara substansial lebih rinci dan operasional di keluarkan oleh PBB dalam protokol yaitu Protokol untuk mencegah, menekan dan menghukum perdagangan orang, terutama perempuan anak-anak. Tambahan untuk konvensi PBB menentang Kejahatan Teroganisir Transnasional

tahun 2000 menyebutkan definisi perdagangan yang paling di terima secara umum dan di gunakan secara luas. Pasal 3 protokol ini menyatakan sebagai berikut :

a. Perdagangan Manusia adalah perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penampungan atau penerimaan orang, baik di bawah ancaman atau secara paksa atau bentuk-bentuk lain dari

kekerasan, penculikan, penipuan, kecurangan atau penyalahgunaan wewenang atau situasi rentan atau pemberian atau penerimaan pembayaran atau keuntungan guna memperoleh persetujuan dari seseorang yang memiliki kontrol atas orang lain untuk melacurkan orang lain atau bentuk-bentuk eksploitasi seksual yang lain, kerja paksa atau wajib kerja paksa, perbudakan atau praktek-praktek yang sangat mirip dengan perbudakan, penghambaan atau pengambilan organ tubuh.

b. Persetujuan korban perdagangan manusia atau eksploitasi yang dimaksud dalam ayat (a) pasal ini menjadi tidak relevan ketika cara-cara yang disebutkan pada ayat (a) digunakan ;

c. Perekrutan, pengangkutan, pemindahan dan penampungan atau penerimaan anak-anak untuk tujuan eksploitasi harus di anggap sebagai

perdagangan manusia walaupun ketika hal ini tidak melibatkan cara-cara yang di sebutkan dalam ayat (a) pasal ini;

d. Anak-anak adalah seseorang yang berusia kurang dari 18 tahun.

2. Sebab-sebab Terjadinya Trafficking

Latar belakang keluarga dengan ekonomi yang sangat lemah dan miskin, keadaan atau kondisi keluarga dengan pendidikan yang sangat rendah, keterbatasan kesempatan, ketidaktahuan akan hak, keterbatasan informasi, serta gaya hidup konsumtif, merupakan faktor yang melemahkan ketahanan keluarga. Sementara itu sosial budaya, seolah merupakan hak milik yang dapat di perlakukan sekehendak orang tuanya, ketidakadilan gender, atau posisi perempuan yang di anggap lebih rendah masih tumbuh di tengah kehidupan masyarakat desa dan termarjinalkan.

Maka perempuan sebagai objek utama trafficking, akan terus-menerus menjadi korban, baik itu korban ekploitasi seksual, di pekerjakan dengan tanpa di beri upah/gaji, ataupun berbagai korban kekerasan lainnya. Dan biasanya perdagangan perempuan selalu bermuara pada eksploitasi seksual. Selain itu mengingat bahwa kemajuan bisnis pariwisata di seluruh dunia yang juga menawarkan pariwisata seks, termasuk yang mendorong tingginya angka perdagangan perempuan, untuk memenuhi bisnis ilegal ini. Khususnya di Kota Surabaya, orang asing yang berdatangan di kota heterogen ini bukan hanya untuk melakukan usaha dan bisnis semata, tetapi juga karena tertarik akan pelayanan seksual yang mudah didapat dan murah di lokalisasi gang Dolly.

a. Ekonomi dan Sosial Budaya Masyarakat

Ekonomi merupakan faktor yang sangat menentukan dalam memenuhi kebutuhan hidup. Kondisi ekonomi yang memprihatinkan seringkali membuat orang lupa diri dan dengan mudahnya melakukan tindak pidana dengan faktor ekonomi sebagai alasan pembenarnya.

Demikian pula dengan perdagangan perempuan. Faktor utama maraknya trafficking terhadap perempuan dan anak adalah kemiskinan. Kemiskinan yang begitu akut dan langkanya kesempatan kerja mendorong jutaan penduduk Indonesia untuk berimigrasi ke luar ataupun di dalam negeri guna menemukan cara agar dapat menghidupi diri mereka dan keluarga mereka sendiri. Kemiskinan akibat multi krisis, kurangnya kesempatan kerja dan peluang berusaha menyebabkan orang tua tega menjual anaknya.

Keinginan untuk hidup layak dan dengan kemampuan yang minim serta kurang mengetahui informasi pasar kerja menyebabkan perempuan dan anak yang terjebak dalam lilitan hutang pada penyalur tenaga kerja dan menyeret mereka kedalam praktik prostitusi.

Selain itu materialisasi dan gaya konsumtif merupakan faktor yang menjerat gaya hidup anak baru gede (ABG) sehingga mendorong mereka memasuki dunia pelacuran secara dini.

Di samping itu dari sisi bisnis, trafficking ini merupakan bisnis yang menguntungkan hingga mencapai milyaran dolar setahun. Bahkan perdagangan perempuan dan anak ini di anggap sebagi sumber keuntungan terbesar ketiga bagi kriminal yang terorganisir di dunia, setelah perdagangan obat-obatan terlarang dan senjata. Mereka bisa menghasilkan atau meraup keuntungan milyaran dolar setiap tahunnya

Perdagangan perempuan tidak terlepas dari keberadaan lingkungannya dan hubungannya dengan kondisi sosial masyarakat. Faktor sosial menjadi faktor yang dominan ketika dia berhadapan dengan korban yang memiliki pendidikan rendah Pendidikan merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan apakah seorang perempuan dapat di rekrut dengan cara penipuan untuk kemudian di perdagangkan "Buta huruf dan pendidikan rendah merupakan faktor yang turut menyebabkan kerentanan terhadap perdagangan, rendahnya pendidikan dan kurangnya keterampilan menyebabkan para perempuan sulit untuk mendapatkan pekerjaan lain untuk menghidupi keluarga mereka.

Penyebab maraknya kasus trafficking, di sebabkan oleh faktor-faktor ekonomi miskin, budaya patriarkhis seperti budaya pemaksaan menikah dini, pembatasan akses bagi anak dan perempuan dan keinginan orang tua yang menginginkan anaknya secepatnya bekerja tanpa di bekali dengan pendidikan dan keterampilan yang memadai. Di lain pihak, para calo secara gencar mendatangi penduduk miskin untuk membujuk dan merayu para orang tua dan anak-anak untuk bekerja di kota atau di luar negeri. Anak-anak di rekrut oleh calo melalui pendekatan dari rumah ke rumah di pedesaan dan pegunungan. Para calo menjanjikan penempatan kerja ke kota, bergaji tinggi dan hidup mewah. Berbagai tipu daya di lakukan guna mengajak dan merayu anak-anak desa untuk bekerja di lain tempat.

b. Politik

Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW), yang kemudian di ratifikasi oleh pemerintah negara RI melalui UU No 7/1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, merupakan konvensi Internasional yang menjadi salah satu dasar dari penerbitan UU PTPPO,No. 23 tahun 2004.

. Sidang umum PBB membentuk sebuah komite ad hoc dalam mengelaborasi sebuah konvensi melawan kejahatan terorganisir lintas batas. Konvensi PBB ini meliputi sebuah protokol untuk mencegah, menekan dan menghukum trafficking (perdagangan) manusia terutama perempuan dan anak. Kemudian pada bulan Maret 2007, Indonesia telah menerbitkan Undang-undang No. 21 tahun 2007 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO). Definisi tentang trafficking pada UU PTPPO, sebagai berikut :

“Perdagangan orang adalah tindakan Perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman atau penggunaan kekerasan, atau bentuk-bentuk lain dari pemaksaan, penculikan, penipuan, kebohongan atau penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau memberi atau menerima pembayaran atau memperoleh keuntungan agar dapat memperoleh persetujuan dari seseorang yang berkuasa atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi. Eksploitasi termasuk paling tidak, eksploitasi untuk melacurkan orang lain, atau bentuk-bentuk lain dari eksploitasi seksual, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktek-praktek serupa perbudakan, penghambaan atau pengambilan organ tubuh”.:

Faktor penting dalam pengertian diatas dalam konteks di Indonesia yaitu bahwa Persetujuan dari korban tidak di anggap sebagai persetujuan, apabila terjadi penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penipuan dan kecurangan. Karena meningkatnya perempuan dan anak-anak Indonesia yang mencari pekerjaan keluar desa, kota bahkan ke luar negeri.

Seorang anak (setiap manusia di bawah usia 18 tahun) yang telah di rekrut, di kirim, di pindahkan dari satu tempat ke tempat lain, di tampung atau di terima untuk tujuan eksploitasi haruslah di kategorikan sebagai seorang “korban trafficking” meskipun anak tersebut tidak di ancam, di paksa, di culik, di tipu, di aniaya,dijual ataupun di sewakan

Secara singkat kita dapat kenali trafficking dengan unsur-unsur : Adanya tindakan/proses (transportasi,transfer dll)

Adanya sarana (paksaan, penipuan, kecurangan dll) Adanya tujuan (eksploitasi)

Berbagai konvensi yang terkait dengan perempuan dalam kedudukannya sebagai warga negara yang mempunyai hak dan kewajiban seperti warga negara lainnya, telah di keluarkan lewat lembaga

Internasional, dan berbagai negara ikut menandatangani dan meratifikasi konvensi tersebut termasuk negara Indonesia. Di antara konvensi yang di tandatangani oleh negara Indonesia adalah konvensi mengenai hak-hak Politik Perempuan (Convention On The Political Right of Woman) pada tanggal 16 Desember 1958, bahkan lebih dahulu dari yang di lakukan oleh negara Amerika Serikat yang baru meratifikasi tanggal 8 april 1976.17

Dan permasalahannya terdapat pada Kendala struktural yang berkaitan dengan berbagai kebijakan baik yang umum maupun yang khusus di tujukan pada kaum perempuan yang secara prinsipil justru bertentangan dengan prinsip-prinsip yang ada dalam konvensi ini seperti dalam pasal 1, dapat di simpulkan bahwa pemenuhan dan penghargaan terhadap Hak Asasi Manusia adalah prasyarat mutlak untuk dapat terlaksananya konvensi ini. Namun tampaknya ada ketidakkonsistenan dari pemerintah, di satu pihak menandatangani dan meratifikasi konvensi hak asasi manusia lainnnya, seperti konvensi Internasional tentang hak-hak sipil dan politik dan konvensi Internasional tentang hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya.18

c. Hukum

Sejak di sahkannya Undang- Undang No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana PerdaganganOrang yaitu bulan April 2007, maka yang di maksud dengan perdagangan orang termasuk perdagangan perempuan adalah

Dokumen terkait