• Tidak ada hasil yang ditemukan

Korelasi kultur sekolah terhadap pembentukan akhlak siswa di SMP al-Manar Azhari Islamic Boarding School

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Korelasi kultur sekolah terhadap pembentukan akhlak siswa di SMP al-Manar Azhari Islamic Boarding School"

Copied!
128
0
0

Teks penuh

(1)

DI SMP AL-MANAR AZHARI

ISLAMIC BOARDING SCHOOL

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

Untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)

Oleh :

HIDAYATUS SYARIFAH

NIM : 1110011000078

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

KORELASI KULTUR SEKOLAH TERHADAP

PEN{BENTUKAN

AI(HLAK

STSWA

DI

SN{P

AL-MANAR

AZHARI

ISLAMIC

B OARDIIVG S CHO OL

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguiuan

Untuk Memeuuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.l)

Oleh :

IIIDAYATUS

SYARTF'AI{

NIM:

1110011000078

Drs. Zaimuddin. M.Ag.

NIP. 19s9070s 199103 1 002

JURUSAN PENDIDIKAN

AGAMA ISLAM

FAKULTAS

ILMU

TARBIYAFI DAN KEGURUAN

UIN SYARIF

HIDAYATULLAH

JAKARTA

20ts

(3)

Skripsi bejudul Korelasi Kultur Sekolah Terhadap Pembentukan Akhlak Siswa di

SMP Al-Manar Azhan Islamic Boarding School,

di

susurl oleh Hidayatus

Syarifah,

NIM

1110011000078, Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu

Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Telah rnelalui bimbingan dan dinyatakan sah sebagai karya ilmiah yang berhak

untuk diujikan pada sidang munaqasafr sesuai ketentuan yang ditetapkan oleh

fakultas.

Jakarta, 18 Januari 2015 Yang mengesahkan,

(4)

Hidayatus Syarifah Nomor Induk Mahasiswa 1i10011000078, diajukan kepada Fakultas Ilmu farbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarla dan telah dinyatakan lulus dalam Ujian Munaqasah pada tanggal 17 Maret2015 di hadapan dewan penguji. Karena itu, penulis berhak memperoleh gelar Sarjana

Sl

(S.Pd.l) dalam bidang Pendidikan Agama Islam.

Iakarta,08 April 2015

Panitia Ujian Munaqasah

Ketua Panitia (Ketua Jurusan PAI)

Dr.

NIP. 19580707 198703 1 005

S ekretari s (S ekretarisJurusan,PAl)

Marhamah Saleh. Lc. MA NrP 19720313 200801 2 010

Penguji I

Yudhi Munadi. MA

NIP. 19701203 199803

I

003

Penguji II

Ialgttlr-MA

NrP r 9120712199803

Tanggal

Mengetahui:

Dekan,

Prof MA

(5)

Saya yang berlanda tangan di bawah ini:

Dosen Pembimbing

Hidayatus Syarifah

Bojonegoro I 02Mei 1992

1 1 1001 1000078

Pendidikan Agama Islam (PAI)

Korelasi Kultur Sekolah Terhadap

Pembentukan Akhlak Siswa di SMP Al-Manar

Azhari Islamic Boarding School

Drs. Zaimuddin, MA

Dengan

ini menyatakan bahwa

skripsi yang saya buat benar-benar hasil karya

sendiri dan saya bertanggung jawab secara akdemis atas apa yang saya tulis.

Pernyataan

ini

dibuat sebagai salah satu syarat menempuh

Ujian Skripsi

(Munaqasah).

Jakarta, 18 Januari 2015

Mahasiswa Ybs.

Hidavatuq Syarifah

NrM. 1110011000078 Nama

Tempat/ Tanggal Lahir

NIM

Jurusan/ Prodi

(6)

i

AKHLAK SISWA DI SMP AL-MANAR AZHARI ISLAMIC BOARDING SCHOOL

Penelitian ini dilakukan di SMP Al-Manar Azhari Islamic Boarding School, yang terletak di jalan raya Limo/ Pelita No. 10 Limo, Depok, Jawa Barat mulai dari tanggal 29 Oktober 2014. sampai dengan tanggal 18 Desember 2014.

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk menguji korelasi antara kultur sekolah terhadap pembentukan akhlak siswa, khususnya di SMP Almanar Azhari

Islamic Boarding School. Penelitian ini menggunakan penelitian kuantitatif dengan metode dekriptif-analisis dan menggunakan teknik pengumpulan data melalui angket. Dalam penelitian ini tidak diambil sampel namun merupakan penelitian populasi. Hal ini dikarenakan jumlah keseluruhan siswa/i SMP Almanar Azhari Islamic Boarding School tidak mencapai 100 orang, melainkan hanya 79 siswa.

Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang positif dan signifikan bagi kedua variabel yaitu variabel X (kultur sekolah) dan variabel Y (akhlak siswa) pada taraf yang sedang atau cukup. Sehingga bisa dikatakan bahwa kultur sekolah cukup mampu membentuk akhlak siswa. Yang berarti bahwa semakin baik kultur sekolah yang diterapkan kepada siswa, maka akan baik pula akhlak siswa.

(7)

ii

OF STUDENTS IN SMP AZHARI AL-MANAR ISLAMIC BOARDING SCHOOL”

This research was implemented in SMP Al-Manar Azhari is Islamic Boarding School, which is located on the highway Limo / Pelita No. 10 Limo, Depok, West Java, started from 29 October 2014 until the date of December 18, 2014.

The purpose of this research was to examine the correlation between school culture to the moral formation of students, especially in SMP Almanar Azhari Islamic Boarding School. This research using a quantitative research with descriptive-analysis of method and using the techniques of data collection through a questionnaire. In this research sample was not taken but a population research. This is because the total number students of SMP Almanar Azhari Islamic Boarding School does not reach 100 persons, but only 79 students.

The results in this research indicate that there is a positive and significant correlation for the both variable is the variable X (school culture) and Y (morality students) at the level of the middle or reasonably. So it could be said that the school culture reasonably capable of forming a student moral. Which means that the better implementation of school culture to the students, it will better the moral of students.

(8)

iii

Alhamdulillahirabbil „alamin, penulis panjatkan kehadirat Allah swt. sang pemilik langit dan bumi beserta isinya serta pemberi nikmat dan karunia

yang tiada tara kepada hamba-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Korelasi Kultur Sekolah Terhadap Pembentukan Akhlak Siswa di SMP Al-Manar Azhari Islamic Boarding School”, sebaga salah satu persyaratan

guna memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I).

Shalawat serta salam tak luput pula tercurahkan kepada Nabi Muhammad

saw., sang revolusioner sejati yang telah menuntun umatnya menuju jalan yang

penuh keridhoan Allah swt.

Dalam penulisan skripsi ini penulis menyadari bahwa tidak sedikit

hambatan dan kesulitan yang dihadapi, namun berkat bantuan semua pihak baik

secara moril maupun materil, Alhamdulillah hambatan-hambatan tersebut mampu

terlewati. Oleh karena itu, dalam kesempatann in penuls menyampaikan untaian

kata terimakasih yang sangat luar biasa kepada:

1. Yang terhormat Bapak Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA selaku dekan

Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Jakarta beserta seluruh stafnya.

2. Yang terhormat Bapak Drs. Abdul Majid Khon, MA. Selaku Kepala Jurusan

Pendidikan Agama Islam yang telah memberi kemudahan dalam setap

kebijakan yang belau berikan.

3. Yang terhormat Ibu Marhamah Saleh, Lc., MA selaku sekretaris Jurusan

Pendidikan Agama Islam yang memberi banyak pengarahan yang bermanfaat

bagi penulis.

4. Yang terhormat Bapak Drs. Zaimuddin, Ma. Selaku dosen pembimbing yang

sangat luar biasa, yang telah banyak sekali memberikan bimbingan,

pengarahan, wawasan ilmu baru, juga nasehat serta waktu yang sangat

menyenangkan dalam membimbing penulis.

5. Yang terhormat Bapak Khalimi, MA. Selaku pembimbing akademik yang

selalu sabar menghadapi semua keluh kesah dan nasehat-nasehat yang berguna

(9)

iv penulis.

7. Yang terhormat Bapak Faisal Achdiyatna, S.Pd., selaku Kepala Sekolah SMP

Almanar Azhari Islamic Boarding School yang telah berseda memberikan

izin, tempat, informasi dan nasehat tentang semua permasalahan yang ada

dalam laporan skripsi ini.

8. Kepada seluruh staff dan guru di SMP Almanar Azhari Islamic Boarding

School, terkhusus Bapak Ilyas dan Ibu Febi Febriyani yang telah banyak

sekali membantu dalam menyelesaikan tugas penulis, juga kepada Bapak Irfan

selaku tata usaha yang telah meluangkan waktu dan energinya untuk

membantu menyelesaikan semua administrasi dan dokumentasi guna peneltian

penulis.

9. Yang terhormat dan tercinta Ayahanda H. Imam Suyuti dan Ibunda Umi

Saidah, yang telah memberikan semua kasih sayangnya, memberikan

pelajaran hidup yang berharga, menuangkan segala norma hidup baik secara

hukum maupun Islam, menaburkan pengorbanan nan jerh payah demi

keberhasilan dan kebahagiaan penulis, sehingga dengan untaian doa di setiap

sujudnya juga hentakan motivasnya memberikan kobaran semangat dalam

menyelesaikan tugas skripsi ini.

10.Terimakasih kepada Adik kesayangan penulis, Muhammad Ubbadur Rahman

Al-Alawy yang telah memberikan kepedulian, kasih sayang, juga bantuan

dalam menyelesaikan skripsi ini. Juga kepada adinda “Fakhira Muzniya Syarifa” yang telah hadir di dunia ini sebagai hadiah indah dari Sang Maha Pemberi Kebahagiaan, yang mampu menambahkan porsi semangat dalam

penyelesaian skripsi ini.

11.Kepada seluruh keluarga penulis yang tidak dapat disebutkan satu persatu,

terimakasih atas semua doa dan dukungannya selama penyusunan skripsi ini.

12.Kepada seluruh teman seperjuangan di PAI angkatan 2010, yang tidak bisa

(10)

v

Dr. Farida Hamid, M.Pd, Bapak Bahrissalim, MA., Bapak Tanenji, MA.,

Bapak Dr. Jejen Musfah, MA., Bapak Yudhi Munadi, MA., Ka Ninna, Ka

Rahma, Ka Ais, Ka Fatimah, atas semua pelajaran, nasehat, waktu, bimbingan,

kasih sayang, motivasi juga semangat yang sangat berharga dan luar biasa

diberikan kepada penulis.

14.Kepada keluarga besar FK2i (Forum Komunikasi & Kajian Mahasiswa PAI),

penulis ucapkan ribuan terimakasih atas kesempatan dan pengalaman yang

telah di tuangkan kepada penulis.

15.Terimakasih juga kepada keluarga besar HMI (Himpunan Mahasiswa Islam)

Komisariat Tarbiyah Cabang Ciputat, kepada keluarga besar LAPENMI

(Lembaga Pendidikan Mahasiswa Islam), serta kepada keluarga besar BEM –

FITK (Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas), atas seluruh pengalaman dan

kesempatan yang sangat istimewa.

16.Kepada keluarga besar HMJ PAI (Himpunan Mahasiswa Jurusan PAI), Bang

Hasan, Syahrul, Anggun, Yumna, Yusuf, Lela, Hasan Maulana, Dena, Hudia,

Nisa, Tri, Ranti, Syifa, Rini, Aceng, Uyi, Naufal, Naufal Aim, Jamal, Miftah,

Fadhlur, Maul, Rizky, Anday, dan semuanya yang mohon maaf penulis

sampaikan tidak dapat disebutkan satu persatu, penulis ucapkan banyak

terimakasih atas kenangan indah, pengalaman berharga, dan kesempatan

istimewa bersama kalian semua.

17.Terimakasih kepada “Errots Family”, Nenek Rahma, Papa Munjir, Adinda

Syahrul, Adinda Yumna, Om Azay, Om Arif, Om Ipay, Yanda Yopi dan

semuanya, atas semua waktu terindah, kebersamaan yang hangat, kasih nan

cinta yang mendalam, juga pelajaran hidup yang sungguh luar biasa.

18.Kepada ka Ihya, ka Pram, ka Zain, ka Fuad, ka Haffas, ka Abduh, dan semua

kakak-kakak penulis yang tidak bisa disebutkan satu persatu, penulis

mengucapkan banyak terimakasih atas segala motivasi dan saran-saran yang

(11)

vi

dan kepedulian yang sangat besar, selalu sabar menghadapi keseharian

penulis, juga memberikan waktu yang sangat indah bagi penulis.

Serta hadiah terimakasih penulis kepada semua teman dan semua orang

yang dikenal oleh penulis, yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Mudah-mudahan bantuan, bimbingan, semangat dan doa yang telah diberikan menjad

pintu datangnya ridha dan kasih saying Allah SWT. di dunia dan di akhirat kelak.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penuls khususnya dan bagi khazanah

ilmu pengetahuan pada umumnya. Amin.

Jakarta, 18 Januari 2015

Penulis

(12)

vii

HALAMAN JUDUL

PERNYATAAN KARYA SENDIRI PENGESAHAN PEMBIMBING PENGESAHAN PENGUJI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 3

C. Pembatasan Masalah ... 3

D. Perumusan Masalah ... 3

E. Tujuan Penelitian ... 4

F. Kegunaan Penelitian... 4

BAB II KAJIAN TEORI A. Deskripsi Teoritik ... 5

1. Kultur Sekolah ... 5

a. Pengertian Kultur Sekolah ... 5

b. Karakteristik Kultur Sekolah ... 8

c. Fungsi Kultur Sekolah ... 10

d. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kultur Sekolah ... 11

2. Pembentukan Akhlak Siswa ... 12

a. Pengertian Pembentukan Akhlak Siswa ... 12

b. Perbedaan Akhlak, Etika dan Moral ... 15

c. Ruang Lingkup Akhlak ... 17

d. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Akhlak ... 20

(13)

viii

h. Manfaat Pembinaan Akhlak ... 30

B. Hasil Penelitian yang Relevan ... 32

C. Kerangka Berfikir... 38

D. Pengajuan Hipotesis ... 38

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 40

B. Metode Penelitian ... 40

C. Variabel Penelitian ... 40

D. Subjek Penelitian ... 42

E. Teknik Pengumpulan Data ... 42

F. Instrumen Penelitian ... 43

G. Tekhnik Pengolahan dan Analisis Data ... 46

H. Hipotesis Statistik ... 53

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Data ... 54

1. Gambaran Umum Objek Penelitian ... 54

a. Sejarah SMP Al-Manar Azhari Islamic Boarding School 54 b. Visi dan Misi SMP Al-Manar Azhari Islamic Boarding School ... 55

c. Doktrin Pesantren ... 56

2. Karakteristik Responden ... 57

B. Karakteristik Variabel ... 59

1. Uji Validitas ... 68

2. Uji Reliabilitas ... 73

C. Pengujian Persyaratan Analisis Data ... 74

1. Uji Normalitas ... 74

(14)

ix

E. Pembahasan Hasil Penelitian ... 80

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 81

B. Saran ... 81

(15)

x

Tabel 1 Variabel Penelitian ...

Tabel 2 Instrumen Penelitian ...

Tabel 3 Pengukuran Secara Deskriptif ...

Tabel 4 Rentang Nilai Besarnya Product Moment ...

Tabel 5 Jumlah Responden ...

Tabel 6 Karakteristik Responden Berdasarkan Usia ...

Tabel 7 Data Perolehan Variabel X ...

Tabel 8 Tabel Distribusi Frekuensi Variabel X ...

Tabel 9 Penggolongan Kultur Sekolah (X) ...

Tabel 10 Skor Skala Kultur Sekolah (X) ...

Tabel 11 Data Perolehan Variabel Y ...

Tabel 12 Tabel Distribusi Frekuensi Variabel Y ...

Tabel 13 Penggolongan Akhlak Siswa ...

Tabel 14 Skor Skala Akhlak Siswa (Y) ...

Tabel 15 Butir Pertanyaan Valid Pada Variabel X ...

Tabel 16 Butir Pertanyaan Tidak Valid Pada Variabel X ...

Tabel 17 Butir Pertanyaan Valid Pada Variabel Y ...

Tabel 18 Butir Pertanyaan Tidak Valid Pada Variabel Y ...

Tabel 19 Hasil Uji Reliabilitas Kultur Sekolah (X) ...

Tabel 20 Hasil Uji Reliabilitas Akhlak Siswa (Y) ...

Tabel 21 Hasil Uji Normalitas Kultur Sekolah (X) dan Akhlak Siswa (Y) ...

Tabel 22 Hasil Uji Homogenitaas Kultur Sekolah (X) dan Akhlak Siswa (Y) ...

Tabel 23 Hasil Uji Heteroskedastisitas Kultur Sekolah (X) dan Akhlak Siswa (Y)

(16)

xi Lampiran 1 Uji Referensi

Lampiran 2 Angket Penelitian

Lampiran 3 Laporan Hasil Wawancara

Lampiran 4 Nama Responden

Lampiran 5 Hasil Angket Skor Siswa Variabel X

Lampiran 6 Hasil Angket Skor Siswa Variabel Y

Lampiran 7 Jumlah Skor Angket Siswa Variabel X dan Y

Lampiran 8 Surat Bimbingan Skripsi

Lampiran 9 Surat Izin Permohonan Penelitian di SMP Almanar Azhari Islamic

Boarding School

Lampiran 10 Surat Pernyataan Telah Melakukan Penelitian di SMP Almanar

(17)

1

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan merupakan hak bagi setiap anak, tanpa memandang harkat,

martabat dan kondisi fisik. Pendidikan mampu melahirkan lapisan masyarakat

yang terdidik dan bermoral.

Pengertian pendidikan sebagaimana dikatakan oleh Yoyon, bahwa

merupakan sebuah wahana dan media yang efektif untuk menanamkan norma,

nilai, dan etos kerja di masyarakat dan dapat menjadi instrumen untuk

memperkuat identitas kepribadian bangsa.1

Melihat makna dari pendidikan tersebut, pendidikan sebagai wahana dan

media yang efektif perlu adanya usaha keras dalam menciptakan lingkungan

belajar yang nyaman dan sekaligus mampu membentuk generasi yang terdidik

dan bermoral.

Namun, berbagai permasalahan di kalangan anak bangsa semakin

meningkat. Seperti diantaranya tawuran antar pelajar, pemerasan/kekerasan,

penggunaan narkoba, dan meluasnya seks bebas, serta bentuk-bentuk

kenakalan remaja lainnya yang mana mayoritas dilakukan oleh civitas

akademik pendidikan Indonesia.

Sebagaimana dikatakan oleh Dr. Hamka bahwa praktik pendidikan di

Indonesia terasa semakin jauh dari tujuan pendidikan nasional tentang

pembentukan kualitas manusia baik dalam aspek intelektual, keterampilan dan

akhlak mulia sebagai cermin dari kualitas keimanan dan ketakwaan seorang

insan fi ahsani taqwim.2

Dengan hal ini, tentunya menjadi tanda tanya besar untuk kita semua,

dimanakah letak kesalahan dalam dunia pendidikan kita? Pendidikan yang

1

Yoyon Bahtiar Irianto, Kebijkan Pembaruan Pendidikan; Konsep, Teori dan Model, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2011), cet. 1, hal. 4-5

2

(18)

dalam maknanya membentuk sebuah kualitas diri, namun dalam praktiknya

belum menghasilkan kualitas secara maksimal.

Selain itu, dengan melihat perkembangan arus dunia yang semakin liar

tersebut, perlu adanya kritik keras terhadap pendidikan sebagai inti dari

perubahan dunia. Dengan kata lain, pendidikan memiliki peranan yang sangat

penting sebagai wujud kemajuan bangsa.

Perlu adanya kesadaran penuh untuk melakukan perubahan proses

pendidikan di negeri ini. Salah satunya, adalah dengan pelaksanaan

pendidikan akhlak mulia yang dirasakan sangat mendesak dan bahkan sangat

perlu di dalam kritik proses pendidikan sekarang ini.

Pembentukan akhlak mulia bagi para generasi bangsa tentu tidaklah

mudah, perlu usaha dan kerja keras oleh para pelaku pendidikan. Adanya

sebuah kultur yang positif di sekolah dirasa mampu menjadi jalan dalam

suksesnya pembentukan akhlak bagi siswa tersebut. Mengapa demikian?

Hal ini mampu dipahami bahwa akhlak sebagai sebuah kebiasaan dan

kultur sebagai sebuah ciri khas memiliki hubungan yang berpengaruh di antara

keduanya. Penanaman kultur yang positif pada sebuah instansi khususnya

sekolah menjadi sebuah hal yang sangat penting terlebih dalam menjalankan

seluruh aktifitasnya sebagai sebuah roda keberhasilan dalam mewujudkan visi

dan misi instansi tersebut. Sekolah yang memiliki kultur yang positif

memberikan pelajaran yang sesungguhnya atau dengan kata lain sebagai

media yang sangat efektif dalam mengajarkan dan menanamkan nilai-nilai

positif terhadap para pelaku pendidikan di sekolah tersebut, khususnya bagi

siswa. Dengan demikian, seorang siswa akan berakhlak mulia dengan

sendirinya jika ia tumbuh dalam lingkungan yang positif.

Berdasarkan paparan latar belakang tersebut, maka peneliti termotivasi

untuk mengetahui secara lebih jelas tentang seberapa besar pengaruh

hubungan yang diciptakan antara kultur sekolah dengan pembentukan akhlak

siswa di sekolah tersebut. Kemudian penulis kembali termotivasi untuk

(19)

Pembentukan Akhlak Siswa di Sekolah Menengah Pertama Al-Manar Azhari

Islamic Boarding School”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, masalah mendasar yang dapat

diidentifikasi terdiri dari permasalahan-permasalahan, yaitu:

1. Praktik pendidikan yang belum berjalan sesuai dengan tujuan pendidikan

secara maksimal, sehingga nilai-nilai dalam sebuah pendidikan tidak

tertanam secara maksimal kepada para civitas akademika.

2. Masih kurangnya dalam penerapan kultur sekolah yang baik dan yang

mampu menjadi penunjang dalam keberhasilan pendidikan, terutama

pembentukan akhlak siswa.

3. Kurangnya pendidikan akhlak dalam pembentukan karakter yang dimiliki

para generasi bangsa Indonesia, sehingga dalam aplikasi kehidupan masih

banyak terjadi perilaku yang menyimpang seperti korupsi, seks bebas, dan

lain sebagainya.

C. Pembatasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah di atas, maka pembatasan masalah yang

akan dikaji dan diteliti dalam tulisan ini adalah tentang korelasi antara kultur

sekolah dengan akhlak pada siswa di Sekolah Menengah Pertama Al-Manar

Azhari Islamic Boarding School.

D. Perumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka masalah yang dirumuskan

dan akan dikaji serta diteliti oleh penulis dalam tulisan ini adalah “Apakah

terdapat korelasi yang positif dan signifikan antara kultur sekolah terhadap

pembentukan akhlak siswa di Sekolah Menengah Pertama Al-Manar Azhari

(20)

E. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji korelasi kultur Sekolah

Menengah Pertama Al-Manar Azhari Islamic Boarding School terhadap

pembentukan akhlak siswa.

F. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah:

a. Secara teoritis, hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat berupa

tambahan wawasan ilmu pengetahuan, khususnya tentang kultur sekolah

dengan akhlak siswa.

b. Secara Praktis semoga dapat menyelesaikan permasalahan yang ada di

(21)

5

A. Deskripsi Teoritik 1. Kultur Sekolah

a. Pengertian Kultur Sekolah

Kamus Sosiologi Modern menyatakan sebagaimana dikutip oleh

Rika, bahwa “kultur adalah totalitas dalam sebuah organisasi, way of

life, termasuk nilai-nilai, norma-norma dan karya-karya yang

diwariskan oleh antar generasi”.3

Menurut Raymond William, sebagaimana dikutip oleh Kusdi

menyatakan bahwa “istilah kultur pada awalnya dipakai untuk

menyebut aktivitas membudidayakan tanaman atau hewan”.4

Namun Kusdi menambahkan bahwa “pengertian [kultur] ini

diperluas kepada manusia dengan anggapan bahwa masyarakat

“membentuk” manusia melalui melalui institusi keluarga, komunitas, sekolah, agama dan sebagainya”.5

Menurut Kusdi, “kultur dilihat sebagai salah satu faktor penjelas

bagi perilaku manusia di dalam organsisasi, dengan mengasumsikan

bahwa organisasi adalah kelompok (grup)yang cenderung berinteraksi

secara reguler dan berulang-ulang, sehingga memunculkan pola

keteraturan”.6

Nanang mengutip pendapat Suwarno dalam Pengantar Umum

Pendidikan, bahwa “sekolah berasal dari istilah Yunani “schola” yang

memiliki arti sebuah waktu luang yang digunakan untuk berdiskusi

dalam rangka menambah ilmu pengetahuan dan mencerdaskan akal”.7

3Rika Rachmita Sujatma, “Pengembangan Kultur Sekolah”,

Jurnal Pendidikan, 2008, h. 2

4

Kusdi, Budaya Organisasi; Teori, Penelitian dan Praktik, (Jakarta: Salemba Empat, 2011), h. 47

5 Ibid. 6

Ibid, h. 15

7

(22)

Menurut Tirtarahardja dan La Sulo sebagaimana dikutip oleh

Nanang menyebutkan bahwa “sekolah sebagai pusat pendidikan

berfungsi untuk menyiapkan manusia menjadi individu, warga

masyarakat, negara, dan dunia di masa depan yang diharapkan mampu

mengembangkan potensi anak, meningkatkan mutu kehidupan dan

martabat manusia dalam mencapai tujuan nasional.”8

Menurut Suwarno, yang dikutip oleh Nanang bahwa “sekolah

sebagai salah satu lembaga pendidikan yang mempunyai peranan

penting dalam mensosialisasikan pengalaman hidup anak di keluarga,

karena seorang anak mengalami perubahan dan perkembangan

perilaku sosial setelah masuk ke sekolah.”9

Sedangkan menurut Webster sebagaimana dikutip oleh Nanang menyebutkan bahwa sekolah memiliki dua pengertian, pertama sebagai komponen fungsi yang merupakan tempat untuk mengajar dan melatih para siswa dalam hal keilmuan dan keterampilan tertentu. Kedua, sebagai komponen fisik yakni merupakan satu kompleks bangunan yang memiliki laboratorium dan fasilitas fisik lainnya sebagai pusat kegiatan pembelajaran.10

Nanang berpendapat bahwa “sekolah adalah salah satu

institusi/lembaga pendidikan formal yang khusus didirikan untuk

pelayanan dan sosialisasi pendidikan dalam rangka menyiapkan

manusia menjadi individu, warga masyarakat, negara, dan dunia di

masa depan.”11

Berdasarkan beberapa konsepsi sekolah tersebut, dapat

disimpulkan bahwa sekolah merupakan salah satu institusi/lembaga

pendidikan formal untuk menambah wawasan ilmu pengetahuan dan

pengalaman seseorang agar menjadi manusia sebagai pribadi dan

warga masyarakat yang bermutu dan bermasrtabat di masa depan.

Menurut Deal dan Peterson, sebagaimana dikutip oleh Rika,

bahwa “kultur sekolah adalah pola nilai, keyakinan dan tradisi yang

8 Ibid. 9

Ibid., h. 78

10 Ibid. 11

(23)

terbentuk melalui sejarah sekolah.”12 Sedangkan menurut Stolp dan

Smith dalam Rika menyatakan bahwa “kultur sekolah adalah pola

makna yang dipancarkan secara historis yang mencakup norma, nilai,

keyakinan, seremonial, ritual, tradisi dan mitos dalam derajat yang

bervariasi oleh warga sekolah.”13

Selain itu, menurut Deal dan Kent sebagaimana dikutip oleh

Moerdiyanto mendefinisikan bahwa “kultur sekolah sebagai keyakinan

dan nilai-nilai milik bersama yang menjadi pengikat kuat kebersamaan

sebagai warga suatu masyarakat”.14

Menurut Zamroni dalam kutipan Rika, bahwa “kultur sekolah

adalah budaya sekolah yang menggambarkan pemikiran-pemikiran

bersama (shared ideas), asumsi-asumsi (assumptions), nilai-nilai

(values), dan keyakinan (belief) yang dapat memberikan identitas

(identity) sekolah yang menjadi standar perilaku yang diharapkan”.15

Menurut Vembriarto sebagaimana dikutip oleh Ariefa E, bahwa

“kebudayaan sekolah ialah a complex set of beliefs [kompleksitas kepercayaan], values and traditions [nilai-nilai dan tradisi], ways of

thinking and behaving [cara berfikir dan kebiasaan] yang

membedakannya dari institusi-institusi lainnya”.16

Menurut Mulyadi, bahwa “kultur sekolah itu mengandung nilai

-nilai, perilaku, pembiasaan, yang dengan sengaja dibentuk atau

diciptakan oleh kepala sekolah dalam perjalanan panjang sekolah

untuk mencapai tujuan yang di inginkan oleh lembaga pendidikan

tersebut.”17

Dari beberapa konsepsi tentang pengertian kultur dan kultur

sekolah, maka dapat disimpulkan bahwa kultur sekolah merupakan

12 Ibid. 13

Ibid.

14 Moerdiyanto, “Fungsi Kultur Sekolah Menengah Atas Untuk Mengembangkan Karakter

Siswa Menjadi Generasi 2045”, Artikel Konaspi VII, 2012, h. 3

15

Rika Rachmita Sujatma, loc. cit.

16 Ariefa Efianingrum, “Kultur Sekolah Untuk Mengembangkan

Good School”, Makalah Pengabdian Pada Masyarakat Universitas Negeri Yogyakarta, 2008, h. 3

17

(24)

pola nilai, keyakinan, pemikiran-pemikiran bersama, dan tradisi yang

terbentuk melalui sejarah sekolah yang dapat memberikan identitas

sekolah dalam standar perilaku yang diharapkan serta yang

membedakannya dari institusi-institusi lainnya. Atau singkatnya, bisa

dikatakan bahwa kultur sekolah adalah kehidupan sekolah yang

menjadi ciri khas sekolah.

b. Karakteristik Kultur Sekolah

Menurut Moerdiyanto, “kultur sekolah terdiri dari kultur positif,

kultur negatif dan kultur netral. Kultur positif adalah budaya yang

membantu mutu sekolah dan mutu kehidupan bagi warganya. ... Kultur

positif yang kuat mampu menjadi modal dalam melakukan perubahan

dan perbaikan”.18

Adapun contoh dari kultur positif ini seperti disiplin, kajian atau

belajar bersama, sifat saling tenggang rasa, sopan, semangat belajar

dan lain sebagainya. Kultur positif wajib diciptakan dan diterapkan di

instansi sekolah agar visi, misi dan tujuan sekolah dapat tercapai.

Sedangkan kultur negatif menurut Moerdiyanto, merupakan budaya organisasi yang bersifat anarkhis, negatif, beracun, bias, dan dominatif. Sekolah yang merasa puas dengan apa yang telah dicapai merupakan bagian dari kultur negatif, karena mereka cenderung tidak ingin melakukan perubahan dan takut mengambil risiko terhadap perubahan. Akibatnya kualitas akan menurun.19 Selain itu, contoh dari kultur negatif ini seperti kurangnya

pembiasaan kerja sama antar siswa dalam pemecahan masalah, budaya

menghukum siswa yang kemudian menjadikan siswa terbebani baik

secara mental maupun fisik, dan kurangnya keteladanan dari pendidik

serta lain sebagainya. Adanya kultur negatif ini perlu dihindari untuk

diterapkan di sekolah, karena bersifat menghambat dan merugikan

sekolah.

18 Moerdiyanto, “Fungsi Kultu

r Sekolah Menengah Atas Untuk Mengembangkan Karakter

Siswa Menjadi Generasi 2045”, Artikel Konaspi VII, 2012, h. 5

19

(25)

Kemudian Moerdiyanto menjelaskan bahwa kultur netral adalah

“aspek-aspek yang netral tak terkait dengan visi, misi dan tujuan sekolah”.20 Kultur netral ini ada dan berjalan di kehidupan sekolah,

namun tidak dapat dikategorikan ke dalam kultur positif ataupun

negatif.

Adapun contoh dari kultur netral ini sebagaimana dikemukakan

oleh Moerdiyanto yaitu “(1) kegiatan arisan sekolah, (2) jenis kelamin

kepala sekolah, (3) proporsi guru laki-laki dan perempuan, (4) jumlah

siswa wanita yang dominan”.21

Menurut Rika, bahwa lembaga sekolah sebagai pihak internal seharusnya membangun kultur sekolah berdasarkan pemikiran-pemikiran lembaga yang ditunjang oleh gaya kepemimpinan kepala sekolah, perilaku guru dan siswa serta pegawai dalam memberikan layanan kepada para siswa, orang tua, dan lingkungannya sebagai pihak eksternal.22

Selanjutya menurut Rika, “pada umumnya setiap sekolah telah

memiliki kulturnya sendiri namun sekolah yang berhasil adalah

sekolah yang memiliki kultur positif yang sejalan dengan visi dan misi

sekolah”.23

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kultur memiliki

karakteristik yang berbeda, yakni kultur positif yang harus diterapkan

di sekolah karena bersifat menguntungkan dan cocok, kultur negatif

yang harus dihindari karena bersifat merugikan dan menghambat, serta

netral yang bersifat netral tidak terkait kepada adanya visi, misi dan

tujuan sekolah. Selain itu, salah satu indikator keberhasilan sekolah

adalah adanya kesesuaian antara kultur positif yang diciptakan dengan

visi, misi dan tujuan sekolah.

20

Ibid., h. 9

21

Ibid., h. 10

22Rika Rachmita Sujatma, “Pengembangan Kultur Sekolah”,

Jurnal Pendidikan, 2008, h. 2

(26)

c. Fungsi Kultur Sekolah

Pendapat Kotter dalam Moerdiyanto menjelaskan bahwa “kultur

sekolah yang baik merupakan fungsi terbentuknya karakter warga

sekolah yang baik pula”.24

Menurut Rika, bahwa “dalam upaya meningkatkan mutu, maka

sekolah dituntut untuk terus menerus melakukan perbaikan dan

pengembangan kualitasnya melalui peningkatan kultur sekolah”.25

Selanjutnya meurut Rika, kultur sekolah memegang peranan penting dalam peningkatan mutu karena memiliki empat fungsi, yaitu:

1) Sebagai alat untuk membangun identitas (jati diri).

2) Kultur sekolah akan mendorong warga sekolah untuk memiliki komitmen yang tinggi.

3) Kultur sekolah akan mendorong terbentuknya stabilitas dan dinamika sosial yang berkualitas. Hal ini penting agar lingkungan sekolah menjadi kondusif tidak terganggu oleh konflik yang akan menghambat peningkatan mutu pendidikan. 4) Kultur sekolah akan membangun keberartian lingkungan yang

positif bagi warga sekolah. 26

Dalam sumber lainnya dikatakan bahwa kultur sekolah memiliki

lima fungsi, sebagimana dikemukakan oleh Taliziduhu Ndraha, yaitu:

1) Sebagai identitas dan citra suatu lembaga pendidikan yang

membedakan antara sekolah dengan sekolah yang lain, yang

terbentuk oleh berbagai faktor, seperti sejarah, kondisi, dan sistem

nilai dilembaga tersebut.

2) Sebagai sumber, yang mana kultur sekolah merupakan sebuah

sumber inspirasi, kebanggaan dan sumber daya yang dapat

dijadikan arah kebijakan (strategi) lembaga pendidikan tersebut.

3) Sebagai pola perilaku, dimana kultur sekolah menentukan

batas-batas perilaku yang telah disepakati oleh seluruh warga sekolah.

4) Sebagai mekanisme adaptasi terhadap perubahan lingkungan.

Perubahan kultur sekolah dengan berbagai strategi yang tepat perlu

24

Moerdiyanto, op. cit., h. 11

25

Rika Rachmita Sujatma, op. cit., h. 2

26

(27)

dilakukan dalam menghadapi perubahan era globalisasi dunia yang

semakin pesat.

5) Sebagai tata nilai, yaitu kultur sekolah merupakan gambaran

perilaku yang diharapkan dari warga sekolah dalam mewujudkan

tujuan institusi pendidikan tersebut.27

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa

fungsi-fungsi kultur sekolah yaitu sebagai alat untuk membangun

identitas (jati diri) dan citra, sebagai alat untuk membentuk stabilitas

dan dinamika sosial yang berkualitas, sebagai sumber inspirasi,

sebagai pola perilaku, sebagai mekanisme adaptasi terhadap

lingkungan, dan sebagai tata nilai.

d. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kultur Sekolah

Adanya sebuah kultur sekolah tentu memiliki faktor-faktor yang

dapat mempengaruhi penciptaan kultur sekolah tersebut. Sebagaimana

dikemukakan oleh Taliziduhu Ndraha, terbentuknya kultur sekolah

memiliki faktor-faktor sebagai berikut:

1) Faktor internal yaitu faktor yang bersumber dari dalam lingkungan

sekolah itu sendiri. Dalam hal ini, yang dimaksud adalah visi dan

misi para pendiri organisasi yang dipengaruhi oleh nilai yang

termuat di dalam hidupnya, latar belakang sosial, lingkungan

dimana mereka dibesarkan serta jenis dan tingkat pendidikan

formal yang pernah ditempuhnya. Selain itu adalah faktor dari

aspek-aspek lembaga pendidikan, yaitu tenaga pengajar,

administrasi, manajerial dan lingkungan dalam lembaga itu.

Perubahan sebuah kultur lembaga sekolah, memerlukan sebuah

strategi yang tepat dalam memanage seluruh aspek lembaga

pendidikan, sehingga perubahan tersebut dapat dikatakan berhasil

atau tidak.28

27

Taliziduhu Ndraha, Budaya organisasi, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2003), h. 45

28

(28)

2) Faktor eksternal yaitu faktor yang bersumber dari lingkungan luar

sekolah. Maksudnya yaitu seperti perkembangan IPTEK dalam

globalisasi dunia yang berkembang semakin pesat, sehingga

menimbulkan dampak yang sangat kuat terhadap berbagai bidang

kehidupan, termasuk pada dunia pendidikan.29

Dari paparan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa kultur

sekolah terbentuk karena adanya pengaruh internal (dalam lingkungan

sekolah seperti sistem di sekolah) dan eksternal (luar lingkungan

sekolah seperti globalisasi dunia), yang mana keduanya memiliki

pengaruh yang sama-sama kuat. Sehingga tugas daripada pemimpin

sekolah seperti pendiri sekolah dan kepala sekolah adalah mereview

kembali sistem yang sudah diberlakukan di sekolah.

2. Pembentukan Akhlak Siswa

a. Pengertian Pembentukan Akhlak Siswa

Pembentukan merupakan proses merubah sesuatu menjadi sesuatu

yang lain. Sedangkan proses pembentukan akhlak bagi anak usia dini

melalui proses pendidikan. Dengan kata lain, proses pendidikanlah

yang mempunyai pengaruh besar terhadap kualitas pembentukan

akhlak anak.

Menurut Mahyuddin, “kata Akhlak berasal dari bahasa Arab yang

sudah diindonesiakan, yang diartikan sebagai perangai atau kesopanan.

Kata Akhlak adalah jama’ taksir dari kata khuluq”.30

M. Jamil mengemukakan bahwa “kata akhlak berasal dari fi’il

(kata kerja) akhlaqa-yukhliqu, maka isim masdar-nya adalah ikhlaqa

dan bukan akhlaq. Dengan demikian, kata akhlak adalah isim jamid

yang berdiri sendiri”.31

Dalam al-Qur’an, Allah swt. telah memuji moralitas akhlak Nabi

Muhammad saw. dengan menjadikan Nabi Muhammad saw. sebagai

29

Ibid., h. 51

30

Mahyuddin, Kuliah Akhlaq Tasawuf, (Jakarta: Kalam Mulia, 2003), cet. 5, h. 1

31

(29)

suri tauladan. Dalam firmannya:





dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (QS. Al-Qalam 68 : 4).32

Quraish Shihab menjelaskan bahwa akhlak dalam ajaran agama tidak dapat disamakan dengan etika, jika etika dibatasi pada sopan santun antarsesama manusia, serta hanya berkaitan dengan tingkah laku lahiriah. Akhlak lebih luas maknanya daripada yang telah dikemukakan terdahulu [kelakuan baik buruk dan objek perlakuan baik buruk] serta mencakup pula beberapa hal yang tidak merupakan sifat lahiriah. Misalnya yang berkaitan dengan sikap batin maupun pikiran.33

Dalam jurnal ilmiah berbahasa Inggris berjudul Ethics in Islam: a

Critical Survey yang dikemukakan oleh Mohd. Nasir Omar, bahwa:

In Islam, ethics (akhlaq) is inseparable from religion and is built entirely upon it. Naturally, therefore, the Qur’an and the Sunnah are the ultimate sources for Muslim ethics. The books on adab (good manners) and makarim alakhlaq (noble qualities of character), which have embodied the earliest works on ethics in Islam demonstrate the extant to which they utilize the Qur’an and the Sunnah.34

Menurut Imam Ghazali dalam Abuddin, “akhlak adalah sifat yang

tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan

dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan

pertimbangan”.35

Terdapat lima ciri yang terdapat dalam perbuatan akhlak

sebagaimana dikatakan Abuddin Nata, yaitu:

1) telah tertanam kuat dalam jiwa seseorang, sehingga telah menjadi

32

Departemen Agama RI, Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahannya, (Semarang: PT. Karya Toha Putra, tt), h. 153

33

Muhammad Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: PT Misan Pustaka, 2003), cet. XIV, h. 261

34

Mohd. Nasir Omar, Ethics in Islam: A Critical Survey, Islamiyyat, Bab 8A.pmd 11/29/2010, 2:24 PM, h. 157

35

(30)

kepribadiannya,

2) dilakukan dengan mudah dan tanpa pemikiran,

3) timbul dari dalam diri orang yang mengerjakannya, tanpa ada

paksaan atau tekanan dari luar,

4) dilakukan dengan sesungguhnya, bukan main-main atau karena

berrsandiwara,

5) dilakukan karena ikhlas semata-mata karena Allah, bukan karena

ingin dipuji orang lain.36

Menurut Hamka, “akhlak mempunyai makna yang lebih dari

sekedar budi pekerti atau kelakuan. Akhlak adalah hubungan yang

khusus antara makhluq dan Khaliq”.37

Selanjutnya, Hamka megemukakan kembali bahwa “akhlak mulia

adalah perwujudan dari sikap mental seorang abdillah yang tunduk

patuh pada kehendak Khaliq, pasrah dan taat menerapkan aturan

(syariat) yang telah ditetapkan Khaliq (Tuhan Sang Maha Pencipta)”.38

Sedangkan menurut Sjarkawi, inti ajaran akhlak adalah berlandas pada niat atau iktikad untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu sesuai dan mencari ridha Allah, Tuhan semesta alam. Nilai-nilai yang dijunjung tinggi antara lain, kasih sayang, kebenaran, kebaikan, kejujuran, kebenaran, keindahan, amanah, tidak menyakiti orang lain, dan sejenisnya.39

Berbicara masalah pembentukan akhlak sama dengan berbicara

tentang tujuan pendidikan, karena banyak sekali dijumpai pendapat

para ahli yang mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah

pembentukan akhlak. Menurut Mansur Ali Rajab dalam Abuddin,

mengatakan bahwa “akhlak tidak perlu dibentuk, karena akhlak adalah

insting (garizah) yang dibawa manusia sejak lahir.”40

36

Ibid., h. 4-6

37

Hamka Abdul Aziz, Pendidikan Karakter Berpusat Pada Hati, (Jakarta: Al-Mawardi Prima, 2012), cet. 3, h. 202

38

Ibid., h. 204

39

Sjarkawi, Pembentukan Kepribadian Anak, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2008), Cet. 2, h. 32

40

(31)

Sedangkan pendapat yang berbeda tentang pembentukan akhlak

sebagaimana dikatakan oleh Imam Ghazali yang dikutip oleh Abuddin,

bahwa “akhlak adalah hasil dari pendidikan, latihan, pembinaan dan

perjuangan keras dan sungguh-sungguh”.41

Menurut Abuddin, “pembentukan akhlak dapat diartikan sebagai

usaha sungguh-sungguh dalam rangka membentuk anak, dengan

menggunakan sarana pendidikan dan pembinaan yang terprogram

dengan baik dan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan

konsisten.”42

Jadi, dapat disimpulkan bahwa akhlak adalah tingkah laku yang

menjadi kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan

pembentukan akhlak siswa merupakan sebuah proses merubah perilaku

atau budi pekerti seorang siswa sebagai hamba Allah yang harus selalu

memberikan pencerahan, kebaikan dan kedamaian kepada sesama

makhluk, serta sebagai pembeda pribadi siswa tersebut dengan yang

lainnya melalui pendidikan dan pembinaan yang terprogram baik serta

pengaplikasian yang sungguh-sungguh dan konsisten.

b. Perbedaan Akhlak, Etika, dan Moral

Definisi akhlak telah disebutkan di atas, yang mana mampu

menjadi pembeda dalam istilah akhlak dengan etika, moral dan

karakter.

Dalam bukunya, Beni menjelaskan bahwa “kata “etika” berasal

dari bahasa Yunani, yaitu “ethos”, artinya adat kebiasaan.”43

Etika menurut Abuddin, sebagaimana dikutip oleh M. Jamil,

secara etimologi berarti watak kesusilaan atau adat. Etika membahas

perbuatan manusia namun bersumber pada akal pikiran dan filsafat,

sehingga sifatnya menjadi tidak absolut dan implikasi kebenaran yang

41

Ibid., h. 134

42

Ibid., h 135

43

(32)

dikandungnya tidak universal.44

M.. Jamil berpendapat bahwa, “selain itu, dikarenakan merupakan

konsepsi yang merupakan produk akal pikiran, maka etika juga dapat

berubah-ubah sesuai degan perubahan tempat dan zaman termasuk

perubahan nilai-nilai kemanusiaan yang disepakati oleh manusia.”45

Etika menurut Beni, bahwa “cara pandang manusia tentang

tingkah laku yang baik dan buruk, dan dari cara pandang itu dapat

digali dari berbagai sumber, kemudian dijadikan sebagai tolok ukur

bagi suatu tindakan dengan pendekatan rasional dan filosofis.”46

Sedangkan moral menurut Jamil, “secara etimologi moral berasal

dari kata mores (bentuk jamak dari kata mos dalam bahasa Latin) yang

memiliki arti adat kebiasaan.47

Secara terminologi, menurut Jamil, “ moral adalah sebuah ukuran

baik dan buruk yang diakui oleh sebuah komunitas masyarakat atau

kelompok tertentu yang menyepakatinya baik didasarkan pada agama

maupun tidak.”48

Menurut Beni, “pengertian moral sama dengan akhlak karena

secara bahasa artinya sama, yaitu tindakan atau perbuatan.”49

Lebih

lanjut menurut Beni, “perbedaan dari kedua konsep tersebut, yaitu

akhlak dan moral terletak pada standar atau rujukan normatif yang

digunakan. Akhlak merujuk pada nilai-nilai agama, sedangkan moral

merujuk pada kebiasaan.50

Menurut Solihin dalam kutipan Jamil, etika dan moral pada dasarnya memiliki pembahasan yang sama yaitu mengenai perbuatan manusia dan nilainya. Namun demikian, keduanya memiliki perbedaan. Moral atau moralitas digunakan untuk perbuatan yang sedang dinilai sedangkan etika digunakan untuk pengkajian sistem yang ada. Keduanya juga memiliki tolok ukura

44

M. Jamil, Akhlak Tasawuf, (Ciputat: Referensi, 2013), h. 9

45 Ibid.

46

Saebani,op. cit., h. 30

47

M. Jamil, loc. cit. 48

Ibid. 49

Saebani, op. cit., h. 33

(33)

yang berbeda. Tolok ukur moral adalah norma-noorma yang tumbuh dan berkembang di masyarakat, sedangkan tolok ukur etika adalah akal pikran atau rasio pikiran manusia.51

Berdasarkan beberapa konsepsi diatas, dapat disimpulka bahwa

antara akhlak, etika dan moral memiliki kesamaan dan perbedaan.

Adapun kesamaannya adalah sama-sama mengkaji tentang perbuatan

manusia. Namun yang membedakannya adalah terhadap ide-ide

dasarnya. Jika akhlak berdasar kepada nilai-nilai agama, etika kepada

nilai-nilai rasionalitas, sedangkan moral berkaitan dengan nilai-nilai

adat istiadat masing-masing masyarakat.

c. Ruang Lingkup Akhlak

Menurut M. Jamil, “dikarenakan akhlak merupakan sikap atau

perbuatan yang muncul dari dalam diri seseorang, maka akhlak

tersebut dapat dimanifestasikan ke dalam berbagai ruang lingkup, yaitu

(1) akhlak terhadap khaliq (pencipta), dan (2) akhlak terhadap

makhluk”.52

Kemudian diluar dua hal tersebut, M. Jamil juga

menuliskan bahwa terdapat juga akhlak kepada lingkungan.53

Sedangkan Quraish Shihab menjelaskan sasaran akhlak islamiyyah

itu terdiri atas tiga aspek yaitu (1) akhlak terhadap Allah, (2) akhlak

terhadap sesama manusia, dan (3) akhlak terhadap lingkungan.54

Adapun penjelasan secara lebih rinci dari ketiga hal tersebut yaitu:

1) Akhlak terhadap Allah (Pencipta)

Menurut Quraish Shihab, “titik tolak akhlak terhadap Allah

adalah pengakuan dan kesadaran bahwa tiada Tuhan melainkan

Allah. Dia memiliki sifat-sifat terpuji; demikian agung sifat itu,

yang jangankan manusia, malaikat pun tidak akan mampu

menjangkau hakikat-Nya”.55

51

M. Jamil, loc. cit. 52

M. Jamil, Akhlak Tasawuf, (Ciputat: Referensi, 2013), h. 4-5

53

Ibid., h. 6

54

Muhammad Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: PT Misan Pustaka, 2003), cet. XIV, h. 261-269

55

(34)

Menurut M. Jamil, “akhlak dalam lingkup ini diartikan sebagai

sikap yang ditunjukkan oleh manusia kepada Pencipta alam

semesta termasuk dirinya sendiri”.56 Selanjutnya, M. Jamil

menambahkan bahwa “intinya, semua perilaku seseorang yang memiliki akhlak yang baik kepada Allah harus tercermin dalam

tingkah laku sehari-harinya yang sesuai dengan syariat Allah”.57

2) Akhlak terhadap sesama manusia (Makhluk)

Menurut M. Jamil, “dalam konteks hubungan sebagai sesama

muslim, maka Rasulullah mengumpamankan bahwa hubungan

tersebut sebagai sebuah anggota tubuh yang saling terkait dan

merasakan penderitaan jika salah satu organ tubuh tersebut

mengalami sakit”.58

Lebih lanjut, M. Jamil menambahkan bahwa “akhlak terhadap

sesama manusia juga harus ditunjukkan kepada orang yang bukan

Islam di mana mereka ini tetap dipandang sebagai makhluk Allah

yang harus disayangi”.59

Sedangkan menurut Quraish Shihab, bahwa banyak rincian

yang telah dituliskan dalam al-Quran tentang tingkah laku terhadap

sesama manusia baik berupa larangan terhadap hal-hal negatif yang

bersifat fisik seperti membunuh orang maupun non fisik seperti

menceritakan aib seseorang.60

Menurut M. Jamil, “penjabaran dari akhlak kepada manusia

bisa juga mencakup kepada berbagai aspek kehidupan lainnya.

Misalnya akhlak sebagai warganegara yang baik dan akhlak kepada

lingkungan”.61

56

M. Jamil, Akhlak Tasawuf, (Ciputat: Referensi, 2013), h. 4

57 Ibid. 58

Ibid., h. 5

59 Ibid. 60

Muhammad Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: PT Misan Pustaka, 2003), cet. XIV, h. 255-267

61

(35)

3) Akhlak terhadap Lingkungan (Alam)

Menurut M. Jamil, “akhlak kepada lingkungan ini adalah sikap

seseorang terhadap lingkungan (alam) di sekelilingnya”.62

Menurut Quraish Shihab, “yang dimaksud lingkungan di sini

addalah segala sesuatu yang berada di sekitar manusia, baik

binatang, tumbuh-tumbuhan, maupun benda-bend atak

bernyawa”.63

Selanjutnya M. Jamil mengatakan, bahwa “manusia adalah

makhluk Allah [yang] sejak dahulu merasa mampu melaksanakan

amanah yang diberikan Allah kepadanya baik dalam bentuk

peribadahan kepada Allah maupun memelihara bumi dan langit

tersebut dari kerusakan yang dibuat oleh tangan mereka”.64

Dalam firman Allah surat Al-Ahzab ayat 72 dijelaskan, yaitu:











Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu Amat zalim dan Amat bodoh. (QS. Al-Ahzab: 72).65

Menurut Quraish Shihab, dalam pandagan akhlak Islam,

seseorang tidak dibenarkan mengambil buah sebelum matang, atau

memetik bunga sebelum mekar, karena hal ini berarti tidak

62

M. Jamil, Op.cit., h. 6

63

Shihab, Op. cit., h. 269-270

64

M. Jamil, loc. cit. 65

(36)

memberi kesempatan kepada makhluk untuk mencapai tujuan

penciptaannya”.66

Selanjutnya, menurut Quraish bahwa “setiap perusakan

terhadap lingkungan harus dinilai sebagai perusakan pada diri

manusia sendiri”.67

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa tiga ruang

lingkup akhlak yaitu (1) akhlak terhadap Allah yang merupakan

sebuah pengakuan dengan penuh kesadaran tentang ke-Esa-an Allah

sebagai Tuhan dan melakukan perbuatan-perbuatan baik dalam

kehidupan sehari-harinya sebagai cerminan dari sifat-sifat terpuji Allah

swt. (2) akhak terhadap sesama manusia yaitu melakukan perbuatan

baik kepada sesama manusia dengan tidak memandang bulu darimana

mereka berasal dan apa latar belakang agamanya. Namun semua sama

sebagai saudara dan makhluk Allah yang harus disayangi. dan (3)

akhlak terhadap lingkungan yakni manusia sebagai khalifah di bumi

haruslah menjaga perdamaian dan kenyamanan bumi. Manusia harus

berlaku adil dan menyayangi kepada semua makhluk di bumi seperti

hewan, tumbuhan dan lain-lainnya. Karena pada dasarnya manusia dan

lingkungan saling membutuhkan bagi keberlangsungan hidup

masing-masing.

d. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Akhlak

Menurut Mulyadi yang dikutip oleh Nanang, pembentukan akhlak

manusia dipengaruhi oleh faktor hereditas (keturunan) dan lingkungan.

Terdapat perbedaan pendapat dari para ahli tentang faktor yang

mempengaruhi perkembangan akhlak anak tersebut, memunculkan

beberapa teori tentang pembentukan akhlak anak disertai beberapa

jenis aliran yang menjelaskan tentang terbentuknya akhlak manusia.68

66

Shihab, Op. cit., h. 270

67 Ibid. 68

(37)

Lebih lanjut Nanang menjabarkan bahwa beberapa jenis aliran

yang menjelaskan tentang terbentuknya akhlak manusia, yaitu aliran

Nativisme yang menyatakan bahwa perkembangan tingkah laku dan

pendidikan manusia terjadi semata-mata ditentukan oleh pembawaan

yang dibawa sejak lahir. Sedangkan lingkungan tidak berpengaruh

terhadap perkembangan tersebut. Selanjutnya adalah aliran Empirisme

yang bertolak belakang terhadap aliran Nativisme. Aliran ini

berpandangan bahwa jiwa manusia waktu lahir adalah putih bersih

bagaikan kertas yang belum ditulis apapun, dan perkembangan baik

buruk anak ditentukan hanya oleh faktor lingkungan.69

Dalam pada itu, muncul aliran Konvergensi yang merupakan

gabungan dua aliran yaitu nativisme dan empirisme. Menurut Nanang,

konvergensi ditandai dengan adanya interaksi antara faktor hereditas

dan faktor lingkunga dalam proses perkembangan tingkah laku.

Menurut aliran ini, hereditas tidak akan berkembang secara wajar,

apabila tidak diberi rangsangan dari faktor lingkungan, sebaliknya

rangsangan dari lingkungan tidak akan membina perkembnagan

tingkah laku anak yang ideal, tanpa dipengaruhi oleh faktor hereditas.70

Menurut Arifin yang dikutip oleh Abuddin, bahwa aliran

konvergensi berpendapat tentang pembentukan akhak dipengaruhi oleh

faktor internal yakni pembawaan si anak, dan faktor eksternal yaitu

pendidikan dan pembinaan dalam lingkungan sosial. Fithrah dan

kecenderungan ke arah yang baik yang ada di dalam diri mausia dibina

secara intensif melalui berbagai metode.71

Sedangkan Abuddin menyimpulkan dalam bukunya, bahwa

“faktor yang mempengaruhi pembinaan akhlak di anak ada dua, yaitu

faktor dari dalam yaitu potensi fisik, intelektual dan hati (rohaniah)

yang dibawa si anak dari sejak lahir, dan faktor dari luar yang dalam

69

Ibid., h. 4-7

70

Ibid., h. 4-7

71

(38)

hal ini adalah kedua orang tua di rumah, guru ddi sekolah, dan

tokoh-tokoh serta pemimpin di masyarakat.”72

Selanjutnya menurut Abuddin, “melalui kerja sama yang baik

antara tiga lembaga pendidikan tersebut, maka aspek kognitif

(pengetahuan), afektif (penghayatan), dan psikomotrik (pegalaman)

ajaran yang diajarkan akan terbentuk pada diri anak Dan inilah yang

selanjutnya dikenal dengan istilah manusia seutuhnya.”73

Dalam sumber lain sebagaimana dikemukakan oleh Saebani dan

Hamid bahwa, akhlak manusia dapat dibentuk oleh berbagai pengaruh

internal maupun eksternal. Pengaruh internal berada dalam diri

manusia sendiri. Ada yang berpendapat bahwa yang dimaksudkan

pengaruh internal adalah watak, yaitu sifat dasar yang sudah menjadi

pembawaan sejak manusia dilahirkan. Akan tetapi, pengaruh eksternal

pun dapat membentuk watak tertentu. Lingkungan, mata pencaharian,

makanan dan minuman, pergaulan sehari-hari dengan kawan sejawat,

istri atau suami, dan sebagainya yang selalu terlibat dalam kehidupan

manusia secara terus menerus dapat membentuk watak manusia. Ada

pula yang berpendapat bahwa faktor geografis, pendidikan, situasi dan

kondisi sosial dan ekonomi, serta kebudayaan masyarakat pun dapat

membentuk watak.74

Jadi berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa faktor

yang mempengaruhi pembentukan akhlak anak ini ada pada faktor

potensi dalam diri anak dan faktor dari lingkungan, yakni keluarga,

sekolah dan masyarakat. Dengan kata lain, seorang anak yang

berakhlak adalah yang memiliki potensi berakhlak dalam dirinya dan

memiliki lingkungan yang berakhlak pula sebagai wadah

pengembangan potensinya.

72

Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2013), cet. 12, h. 146

73 Ibid. 74

(39)

e. Akhlak Terpuji dan Akhlak Tercela

Akhlak dapat terbagi menjadi 2 (dua) jenis yaitu akhlak terpuji

(mahmudah) dan akhlak tercela (madzmumah). Menurut Imam

Al-Ghazali dalam Ahmad Mustofa, bahwa Al-Al-Ghazali menggunakan juga

istilah “munjiyat” untuk akhlak mahmudahdan “munlihat” untuk yang madzmumah.75

Menurut M. Sholihin yang dikutip oleh M. Jamil, bahwa akhlak

terpuji mencakup karakter-karakter yang diperintahkan Allah dan

Rasul untuk dimiliki seperti:

1) Rasa belas kasihan dan lemah lembut (ar-rahman).

2) Pemaaf dan mau bermusyawarah (al-afwu).

3) Sikap dapat dipercaya dan mampu menepati janji (amanah).

4) Manis muka dan tidak sombong (anisatun).

5) Tekun dan merendahkan diri di hadapan Allah Swt (Khusyu’ dan

Tadharru’).

6) Sifat malu (haya’).

7) Persaudaraan dan perdamaian (al-ikhwan dan al-islahi).

8) Berbuat baik dan beramal shaleh (al-shalihat).

9) Sabar (al-Shabr).

10)Suka saling tolong menolong (ta’awun).

11)dan lain sebagainya.76

Selanjutnya, adalah akhlak tercela yang mana akhlak ini adalah

akhlak yang disuruh oleh Allah untuk ditinggalkan. Menurut M.

Sholihin dalam M. Jamil, bahwa diantara akhlak-akhlak tercela yang

dilarang dalam al-Quran adalah:

1) Egois (al-nani’ahi).

2) Kikir (al-bukhl).

3) Suka berdusta (al-buhtan).

4) Tidak menepati janji (khianat)

5) Pengecut (al-Jubn).

75

A. Mustofa, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), cet V, h. 197

76

(40)

6) Menggunjing dan mengumpat (ghibah).

7) Dengki (hasad).

8) Berbuat kerusakan.

9) Berlebih-lebihan (al-israf).

10) Berbuat zalim (al-zulm).

11) Berbuat dosa besar (al-fawahisy).77

Beni Ahmad berpendapat bahwa indikator akhlak yang terpuji

(baik) dan tercela (buruk) dapat dipandang melalui beberapa sudut

yakni dalam sudut pandang agama, filsafat, ilmu, dan budaya. Dalam

sudut pandang agama, indikator utama dari perbuatan baik yaitu:

a) Perbuatan yang sesuai dengan nash al-Qur’an dan Hadist nabi

b) Perbuatan yang mendatangkan kemaslahatan dunia dan akhirat

c) Perbuatan yang meningkatkan martabat kehidupan manusia di

mata Allah dan sesama manusia

d) Perbuatan yang menjadi bagian dari tujuan syariat Islam78

Sedangkan indikator perbuatan yang buruknya adalah:

a) Perbuatan yang didorong oleh hawa nafsu setan

b) Perbuatan yang dimotivasi oleh ajaran thoghut

c) Perbuatan yang membahayakan kehidupan dunia dan merugikan

kehidupan akhirat

d) Perbuatan yang menyimpang dari tujuan syari’at Islam

e) perbuatan yang menimbulkan permusuhan

f) Perbuatan yang menimbulkan bencana

g) Perbuatan yang membudayakan keserakhan dan nafsu setan

h) Perbuatan yang melahirkan konflik, peperangan dan dendam

yang tidak berkesudahan.79

Selain itu, menurut pandangan filsafat melahirkan berbagai aliran

dalam filsafat etika. Seperti contoh Socrates yang mengatakan bahwa

77

Ibid., h. 16-21

78

Saebani, Beni Ahmad, dan Abdul Hamid, Ilmu Akhlak, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), h. 206

(41)

benar dan baik adalah nilai objektif yang harus dijunjung tinggi semua

orang. Aristoteles melahirkan ajran akhlak filosofinya seperti ajaran

yang memberikan hikmah tentang adanya kekuasaan yang Mahamutlak.

Dan masih banyak lagi aliran-aliran filsafat etika ini speerti

Neoplatonisme, Augustinus an lain sebagianya.80

Selanjutnya Beni Ahmad menjelaskan bahwa dalam perspektif

ilmu, akhlak yang benar adalah yang didasarkan pada rasio dan

pengalaman. Dalam perspektif ini melahirkan dua aliran yakni aliran

rasionalisme dan empirisme. Sedangkan dalam perspektif budaya,

bahwa akhlak baik dan buruk sifatnya sangat relatif karena sistem

normatif yang dijadikan standar baik dan buruh adalah tradisi yang

telah terlembagakan.81

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, memang sangat beragam

akhlak manusia baik dalam sisi terpuji maupun tercela. Secara garis

besar, yang dinamakan akhlak terpuji adalah tindak laku yang baik dan

menguntungkan baik bagi Allah swt., orang lain ataupun dirinya

sendiri. Sedangkan akhlak tercela adalah yang berlaku sebaliknya.

f. Kriteria Seseorang Berakhlak

Dikatakan oleh Quraish Shihab, bahwa “kecenderungan manusia

kepada kebaikan terbukti dari persamaan konsep-konsep pokok moral

pada setiap peradaban dan zaman. Perbedaan –jika terjadi– terletak

pada bentuk, penerapan, atau pengertian yang tidak sempurna terhadap

konsep-konsep moral, yang disebut ma’ruf dalam bahasa

Al-Qur’an”.82

Menurut Shihab, “Tolok ukur kelakuan baik dan buruk mestilah merujuk kepada ketentuan Allah. Demikian rumus yang diberikan oleh kebanyakan ulama. Perlu ditambahkan bahwa apa yang dinilai baik oleh Allah, pasti baik dalam esensinya. Demikian

80

Ibid., h. 212-216

81

Ibid., h. 216-224

82

(42)

pula sebaliknya, tidak mungkin Dia menilai kebohongan sebagai kelakuan baik, karena kebohongan esensinya buruk”.83 Al-Qur’an suci surat Thaha: 8 menegaskan:







....Dialah Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Dia mempunyai Al asmaaul husna (nama-nama yang baik)”. (QS. Thaha: 8).84

Menurut Imam Ghazali yang dikutip oleh M. Jamil, bahwa

Al-Ghazali mengemukakan sebuah istilah yang disebut sebagai ra’sul

akhlaq yakni induk dari akhlak. Hal ini dicapai ketika manusia terus

menerus melakukan akhlak yang baik. Induk akhlak ini ada empat

sikap yaitu:

1) Bijaksana (al-hikmah)

2) Menjaga kesucian diri (al-„iffah)

3) Berani (al-syaja’ah)

4) Adil (al-„adl)85

Menurut Hamka, “seseorang yang berakhlak mulia berarti dia

memahami perananannya sebagai makhluk ciptaan Sang Khaliq yang

harus selalu memberikan pencerahan, kebaikan dan kedamaian kepada

sesama makhluq”.86

Namun menurut Mustofa, bahwa “mempersoalkan baik dan buruk

pada perbuatan manusia maka ukuran dan karakternya selalu dinamis,

sulit dipecahkan. Namun demikian karakter baik dan buruk perbuatan

manusia dapat diukur menurut fitrah manusia.”87

Beni Ahmad Saebani berpendapat, bahwa akhlak umat Islam akan selalu berada dalam kesadarannya yang maksimal jika ia merenungi perintah Allah swt. dan Rasulullah saw. tentang wajibnya menuntut ilmu, sehingga menjadi sangat logis ketika

83

Ibid., h. 259

84

Departemen Agama RI, Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahannya, (Semarang: PT. Karya Toha Putra, tt), h. 249

85

M. Jamil, Akhlak Tasawuf, (Ciputat: Referensi, 2013), h. 21-22

86

Hamka Abdul Aziz, Pendidikan Karakter Berpusat Pada Hati, (Jakarta: Al-Mawardi Prima, 2012), cet. 3, h. 204

87

(43)

Rasulullah saw. menarik ketetapan wajibnya perbuatan manusia apabila manusia dalam keadaan tidak sadar atau akalnya belum dewasa.88

Hal tersebut bermakna bahwa manusia khususnya umat Islam

yang berakhlak adalah yang menjalankan perintah Allah swt. dan

menjauhi larangan-Nya. Salah satunya adalah dengan menuntut ilmu,

karena ilmu adalah gerbang menuju pengetahuan luas.

Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa kriteria

seseorang yang berakhlak adalah seseorang yang berperilaku sesuai

ajaran Allah swt dan syari’at-Nya. meskipun secara mendasar kecenderungan sifat manusia adalah kepada kebaikan, namun tidak

banyak pula manusia yang menjerumuskan dirinya sendiri kepada

keburukan. Seseorang yang berakhlak adalah yang berlaku bijaksana

dalam menentukan langkah bagi keinginan hati, menjaga kesucian diri

dari hal-hal yang hina dan buruk, berani mengambil keputusan dan

mengambil langkah pada jalan kebenaran, serta berlaku adil pada

semua urusan kehidupannya yakni yang mampu menempatkan s

Gambar

Tabel 1 Variabel Penelitian
Tabel 2 Instrumen Penelitian
Tabel 3 Pengukuran Secara Deskripsi
Tabel 4 Rentang Nilai Besarnya Product Moment
+7

Referensi

Dokumen terkait

Siswa pada tingkat 3 mampu membuat masalah yang “baru” dengan lancar (fasih) miskipun cara penyelesaian masalah itu tunggal atau dapat membuat masalah yang beragam

Kata Kunci : Kesepian, Kecanduan Internet , Dewasa Awal. Individu dalam tahapan dewasa awal memiliki tugas perkembangan yang salah satunya adalah untuk membentuk hubungan

Penelitian ini dengan melihat analisis data yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa infrastruktur ICT, belajar mandiri, efikasi diri dan model TAM terhadap

Kuntarakennelain säätämisen yhteydessä otettiin kantaa myös kuntaliitosten yhteydessä tapahtuviin omaisuusjärjestelyihin. Hallituksen esityksessä 125/2009 on koottuna

Sedangkan variabel persepsi remaja terhadap mode Korea berpengaruh negatif pada perilaku pembelian pernak-pernik Korea dengan koefisien sebesar -0.204, yang memiliki arti

Setiap kebijkakan tentu akan menghasilkan (Outcome) hasil yang berupa produk atau jasa pelayanan yang dapat dirasakan perubahannya setelah implementasi suatu

6. Google akan memilih halaman dengan memadukan gambar, video yang terkait pada tulisan. Google memilih halaman yang terkandung kata kunci / keyword yang berkaitan. Semua itu

Namun, bisa juga dibuat cetakan tetap dari fiber (untuk kapasitas industri) seperti cetakan yang ada di desa Cikahuripan yang berdasarkan desain perahu asal