DI SMP AL-MANAR AZHARI
ISLAMIC BOARDING SCHOOL
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)
Oleh :
HIDAYATUS SYARIFAH
NIM : 1110011000078
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
KORELASI KULTUR SEKOLAH TERHADAP
PEN{BENTUKAN
AI(HLAK
STSWADI
SN{PAL-MANAR
AZHARI
ISLAMIC
B OARDIIVG S CHO OLSKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguiuan
Untuk Memeuuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.l)
Oleh :
IIIDAYATUS
SYARTF'AI{
NIM:
1110011000078Drs. Zaimuddin. M.Ag.
NIP. 19s9070s 199103 1 002
JURUSAN PENDIDIKAN
AGAMA ISLAM
FAKULTAS
ILMU
TARBIYAFI DAN KEGURUAN
UIN SYARIF
HIDAYATULLAH
JAKARTA
20ts
Skripsi bejudul Korelasi Kultur Sekolah Terhadap Pembentukan Akhlak Siswa di
SMP Al-Manar Azhan Islamic Boarding School,
di
susurl oleh HidayatusSyarifah,
NIM
1110011000078, Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas IlmuTarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Telah rnelalui bimbingan dan dinyatakan sah sebagai karya ilmiah yang berhak
untuk diujikan pada sidang munaqasafr sesuai ketentuan yang ditetapkan oleh
fakultas.
Jakarta, 18 Januari 2015 Yang mengesahkan,
Hidayatus Syarifah Nomor Induk Mahasiswa 1i10011000078, diajukan kepada Fakultas Ilmu farbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarla dan telah dinyatakan lulus dalam Ujian Munaqasah pada tanggal 17 Maret2015 di hadapan dewan penguji. Karena itu, penulis berhak memperoleh gelar Sarjana
Sl
(S.Pd.l) dalam bidang Pendidikan Agama Islam.Iakarta,08 April 2015
Panitia Ujian Munaqasah
Ketua Panitia (Ketua Jurusan PAI)
Dr.
NIP. 19580707 198703 1 005
S ekretari s (S ekretarisJurusan,PAl)
Marhamah Saleh. Lc. MA NrP 19720313 200801 2 010
Penguji I
Yudhi Munadi. MA
NIP. 19701203 199803
I
003Penguji II
Ialgttlr-MA
NrP r 9120712199803
Tanggal
Mengetahui:
Dekan,
Prof MA
Saya yang berlanda tangan di bawah ini:
Dosen Pembimbing
Hidayatus Syarifah
Bojonegoro I 02Mei 1992
1 1 1001 1000078
Pendidikan Agama Islam (PAI)
Korelasi Kultur Sekolah Terhadap
Pembentukan Akhlak Siswa di SMP Al-Manar
Azhari Islamic Boarding School
Drs. Zaimuddin, MA
Dengan
ini menyatakan bahwa
skripsi yang saya buat benar-benar hasil karyasendiri dan saya bertanggung jawab secara akdemis atas apa yang saya tulis.
Pernyataan
ini
dibuat sebagai salah satu syarat menempuhUjian Skripsi
(Munaqasah).
Jakarta, 18 Januari 2015
Mahasiswa Ybs.
Hidavatuq Syarifah
NrM. 1110011000078 Nama
Tempat/ Tanggal Lahir
NIM
Jurusan/ Prodi
i
AKHLAK SISWA DI SMP AL-MANAR AZHARI ISLAMIC BOARDING SCHOOL”
Penelitian ini dilakukan di SMP Al-Manar Azhari Islamic Boarding School, yang terletak di jalan raya Limo/ Pelita No. 10 Limo, Depok, Jawa Barat mulai dari tanggal 29 Oktober 2014. sampai dengan tanggal 18 Desember 2014.
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk menguji korelasi antara kultur sekolah terhadap pembentukan akhlak siswa, khususnya di SMP Almanar Azhari
Islamic Boarding School. Penelitian ini menggunakan penelitian kuantitatif dengan metode dekriptif-analisis dan menggunakan teknik pengumpulan data melalui angket. Dalam penelitian ini tidak diambil sampel namun merupakan penelitian populasi. Hal ini dikarenakan jumlah keseluruhan siswa/i SMP Almanar Azhari Islamic Boarding School tidak mencapai 100 orang, melainkan hanya 79 siswa.
Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang positif dan signifikan bagi kedua variabel yaitu variabel X (kultur sekolah) dan variabel Y (akhlak siswa) pada taraf yang sedang atau cukup. Sehingga bisa dikatakan bahwa kultur sekolah cukup mampu membentuk akhlak siswa. Yang berarti bahwa semakin baik kultur sekolah yang diterapkan kepada siswa, maka akan baik pula akhlak siswa.
ii
OF STUDENTS IN SMP AZHARI AL-MANAR ISLAMIC BOARDING SCHOOL”
This research was implemented in SMP Al-Manar Azhari is Islamic Boarding School, which is located on the highway Limo / Pelita No. 10 Limo, Depok, West Java, started from 29 October 2014 until the date of December 18, 2014.
The purpose of this research was to examine the correlation between school culture to the moral formation of students, especially in SMP Almanar Azhari Islamic Boarding School. This research using a quantitative research with descriptive-analysis of method and using the techniques of data collection through a questionnaire. In this research sample was not taken but a population research. This is because the total number students of SMP Almanar Azhari Islamic Boarding School does not reach 100 persons, but only 79 students.
The results in this research indicate that there is a positive and significant correlation for the both variable is the variable X (school culture) and Y (morality students) at the level of the middle or reasonably. So it could be said that the school culture reasonably capable of forming a student moral. Which means that the better implementation of school culture to the students, it will better the moral of students.
iii
Alhamdulillahirabbil „alamin, penulis panjatkan kehadirat Allah swt. sang pemilik langit dan bumi beserta isinya serta pemberi nikmat dan karunia
yang tiada tara kepada hamba-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Korelasi Kultur Sekolah Terhadap Pembentukan Akhlak Siswa di SMP Al-Manar Azhari Islamic Boarding School”, sebaga salah satu persyaratan
guna memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I).
Shalawat serta salam tak luput pula tercurahkan kepada Nabi Muhammad
saw., sang revolusioner sejati yang telah menuntun umatnya menuju jalan yang
penuh keridhoan Allah swt.
Dalam penulisan skripsi ini penulis menyadari bahwa tidak sedikit
hambatan dan kesulitan yang dihadapi, namun berkat bantuan semua pihak baik
secara moril maupun materil, Alhamdulillah hambatan-hambatan tersebut mampu
terlewati. Oleh karena itu, dalam kesempatann in penuls menyampaikan untaian
kata terimakasih yang sangat luar biasa kepada:
1. Yang terhormat Bapak Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA selaku dekan
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Jakarta beserta seluruh stafnya.
2. Yang terhormat Bapak Drs. Abdul Majid Khon, MA. Selaku Kepala Jurusan
Pendidikan Agama Islam yang telah memberi kemudahan dalam setap
kebijakan yang belau berikan.
3. Yang terhormat Ibu Marhamah Saleh, Lc., MA selaku sekretaris Jurusan
Pendidikan Agama Islam yang memberi banyak pengarahan yang bermanfaat
bagi penulis.
4. Yang terhormat Bapak Drs. Zaimuddin, Ma. Selaku dosen pembimbing yang
sangat luar biasa, yang telah banyak sekali memberikan bimbingan,
pengarahan, wawasan ilmu baru, juga nasehat serta waktu yang sangat
menyenangkan dalam membimbing penulis.
5. Yang terhormat Bapak Khalimi, MA. Selaku pembimbing akademik yang
selalu sabar menghadapi semua keluh kesah dan nasehat-nasehat yang berguna
iv penulis.
7. Yang terhormat Bapak Faisal Achdiyatna, S.Pd., selaku Kepala Sekolah SMP
Almanar Azhari Islamic Boarding School yang telah berseda memberikan
izin, tempat, informasi dan nasehat tentang semua permasalahan yang ada
dalam laporan skripsi ini.
8. Kepada seluruh staff dan guru di SMP Almanar Azhari Islamic Boarding
School, terkhusus Bapak Ilyas dan Ibu Febi Febriyani yang telah banyak
sekali membantu dalam menyelesaikan tugas penulis, juga kepada Bapak Irfan
selaku tata usaha yang telah meluangkan waktu dan energinya untuk
membantu menyelesaikan semua administrasi dan dokumentasi guna peneltian
penulis.
9. Yang terhormat dan tercinta Ayahanda H. Imam Suyuti dan Ibunda Umi
Saidah, yang telah memberikan semua kasih sayangnya, memberikan
pelajaran hidup yang berharga, menuangkan segala norma hidup baik secara
hukum maupun Islam, menaburkan pengorbanan nan jerh payah demi
keberhasilan dan kebahagiaan penulis, sehingga dengan untaian doa di setiap
sujudnya juga hentakan motivasnya memberikan kobaran semangat dalam
menyelesaikan tugas skripsi ini.
10.Terimakasih kepada Adik kesayangan penulis, Muhammad Ubbadur Rahman
Al-Alawy yang telah memberikan kepedulian, kasih sayang, juga bantuan
dalam menyelesaikan skripsi ini. Juga kepada adinda “Fakhira Muzniya Syarifa” yang telah hadir di dunia ini sebagai hadiah indah dari Sang Maha Pemberi Kebahagiaan, yang mampu menambahkan porsi semangat dalam
penyelesaian skripsi ini.
11.Kepada seluruh keluarga penulis yang tidak dapat disebutkan satu persatu,
terimakasih atas semua doa dan dukungannya selama penyusunan skripsi ini.
12.Kepada seluruh teman seperjuangan di PAI angkatan 2010, yang tidak bisa
v
Dr. Farida Hamid, M.Pd, Bapak Bahrissalim, MA., Bapak Tanenji, MA.,
Bapak Dr. Jejen Musfah, MA., Bapak Yudhi Munadi, MA., Ka Ninna, Ka
Rahma, Ka Ais, Ka Fatimah, atas semua pelajaran, nasehat, waktu, bimbingan,
kasih sayang, motivasi juga semangat yang sangat berharga dan luar biasa
diberikan kepada penulis.
14.Kepada keluarga besar FK2i (Forum Komunikasi & Kajian Mahasiswa PAI),
penulis ucapkan ribuan terimakasih atas kesempatan dan pengalaman yang
telah di tuangkan kepada penulis.
15.Terimakasih juga kepada keluarga besar HMI (Himpunan Mahasiswa Islam)
Komisariat Tarbiyah Cabang Ciputat, kepada keluarga besar LAPENMI
(Lembaga Pendidikan Mahasiswa Islam), serta kepada keluarga besar BEM –
FITK (Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas), atas seluruh pengalaman dan
kesempatan yang sangat istimewa.
16.Kepada keluarga besar HMJ PAI (Himpunan Mahasiswa Jurusan PAI), Bang
Hasan, Syahrul, Anggun, Yumna, Yusuf, Lela, Hasan Maulana, Dena, Hudia,
Nisa, Tri, Ranti, Syifa, Rini, Aceng, Uyi, Naufal, Naufal Aim, Jamal, Miftah,
Fadhlur, Maul, Rizky, Anday, dan semuanya yang mohon maaf penulis
sampaikan tidak dapat disebutkan satu persatu, penulis ucapkan banyak
terimakasih atas kenangan indah, pengalaman berharga, dan kesempatan
istimewa bersama kalian semua.
17.Terimakasih kepada “Errots Family”, Nenek Rahma, Papa Munjir, Adinda
Syahrul, Adinda Yumna, Om Azay, Om Arif, Om Ipay, Yanda Yopi dan
semuanya, atas semua waktu terindah, kebersamaan yang hangat, kasih nan
cinta yang mendalam, juga pelajaran hidup yang sungguh luar biasa.
18.Kepada ka Ihya, ka Pram, ka Zain, ka Fuad, ka Haffas, ka Abduh, dan semua
kakak-kakak penulis yang tidak bisa disebutkan satu persatu, penulis
mengucapkan banyak terimakasih atas segala motivasi dan saran-saran yang
vi
dan kepedulian yang sangat besar, selalu sabar menghadapi keseharian
penulis, juga memberikan waktu yang sangat indah bagi penulis.
Serta hadiah terimakasih penulis kepada semua teman dan semua orang
yang dikenal oleh penulis, yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Mudah-mudahan bantuan, bimbingan, semangat dan doa yang telah diberikan menjad
pintu datangnya ridha dan kasih saying Allah SWT. di dunia dan di akhirat kelak.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penuls khususnya dan bagi khazanah
ilmu pengetahuan pada umumnya. Amin.
Jakarta, 18 Januari 2015
Penulis
vii
HALAMAN JUDUL
PERNYATAAN KARYA SENDIRI PENGESAHAN PEMBIMBING PENGESAHAN PENGUJI
ABSTRAK ... i
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR ISI ... vii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 3
C. Pembatasan Masalah ... 3
D. Perumusan Masalah ... 3
E. Tujuan Penelitian ... 4
F. Kegunaan Penelitian... 4
BAB II KAJIAN TEORI A. Deskripsi Teoritik ... 5
1. Kultur Sekolah ... 5
a. Pengertian Kultur Sekolah ... 5
b. Karakteristik Kultur Sekolah ... 8
c. Fungsi Kultur Sekolah ... 10
d. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kultur Sekolah ... 11
2. Pembentukan Akhlak Siswa ... 12
a. Pengertian Pembentukan Akhlak Siswa ... 12
b. Perbedaan Akhlak, Etika dan Moral ... 15
c. Ruang Lingkup Akhlak ... 17
d. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Akhlak ... 20
viii
h. Manfaat Pembinaan Akhlak ... 30
B. Hasil Penelitian yang Relevan ... 32
C. Kerangka Berfikir... 38
D. Pengajuan Hipotesis ... 38
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 40
B. Metode Penelitian ... 40
C. Variabel Penelitian ... 40
D. Subjek Penelitian ... 42
E. Teknik Pengumpulan Data ... 42
F. Instrumen Penelitian ... 43
G. Tekhnik Pengolahan dan Analisis Data ... 46
H. Hipotesis Statistik ... 53
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Data ... 54
1. Gambaran Umum Objek Penelitian ... 54
a. Sejarah SMP Al-Manar Azhari Islamic Boarding School 54 b. Visi dan Misi SMP Al-Manar Azhari Islamic Boarding School ... 55
c. Doktrin Pesantren ... 56
2. Karakteristik Responden ... 57
B. Karakteristik Variabel ... 59
1. Uji Validitas ... 68
2. Uji Reliabilitas ... 73
C. Pengujian Persyaratan Analisis Data ... 74
1. Uji Normalitas ... 74
ix
E. Pembahasan Hasil Penelitian ... 80
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ... 81
B. Saran ... 81
x
Tabel 1 Variabel Penelitian ...
Tabel 2 Instrumen Penelitian ...
Tabel 3 Pengukuran Secara Deskriptif ...
Tabel 4 Rentang Nilai Besarnya Product Moment ...
Tabel 5 Jumlah Responden ...
Tabel 6 Karakteristik Responden Berdasarkan Usia ...
Tabel 7 Data Perolehan Variabel X ...
Tabel 8 Tabel Distribusi Frekuensi Variabel X ...
Tabel 9 Penggolongan Kultur Sekolah (X) ...
Tabel 10 Skor Skala Kultur Sekolah (X) ...
Tabel 11 Data Perolehan Variabel Y ...
Tabel 12 Tabel Distribusi Frekuensi Variabel Y ...
Tabel 13 Penggolongan Akhlak Siswa ...
Tabel 14 Skor Skala Akhlak Siswa (Y) ...
Tabel 15 Butir Pertanyaan Valid Pada Variabel X ...
Tabel 16 Butir Pertanyaan Tidak Valid Pada Variabel X ...
Tabel 17 Butir Pertanyaan Valid Pada Variabel Y ...
Tabel 18 Butir Pertanyaan Tidak Valid Pada Variabel Y ...
Tabel 19 Hasil Uji Reliabilitas Kultur Sekolah (X) ...
Tabel 20 Hasil Uji Reliabilitas Akhlak Siswa (Y) ...
Tabel 21 Hasil Uji Normalitas Kultur Sekolah (X) dan Akhlak Siswa (Y) ...
Tabel 22 Hasil Uji Homogenitaas Kultur Sekolah (X) dan Akhlak Siswa (Y) ...
Tabel 23 Hasil Uji Heteroskedastisitas Kultur Sekolah (X) dan Akhlak Siswa (Y)
xi Lampiran 1 Uji Referensi
Lampiran 2 Angket Penelitian
Lampiran 3 Laporan Hasil Wawancara
Lampiran 4 Nama Responden
Lampiran 5 Hasil Angket Skor Siswa Variabel X
Lampiran 6 Hasil Angket Skor Siswa Variabel Y
Lampiran 7 Jumlah Skor Angket Siswa Variabel X dan Y
Lampiran 8 Surat Bimbingan Skripsi
Lampiran 9 Surat Izin Permohonan Penelitian di SMP Almanar Azhari Islamic
Boarding School
Lampiran 10 Surat Pernyataan Telah Melakukan Penelitian di SMP Almanar
1
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan hak bagi setiap anak, tanpa memandang harkat,
martabat dan kondisi fisik. Pendidikan mampu melahirkan lapisan masyarakat
yang terdidik dan bermoral.
Pengertian pendidikan sebagaimana dikatakan oleh Yoyon, bahwa
merupakan sebuah wahana dan media yang efektif untuk menanamkan norma,
nilai, dan etos kerja di masyarakat dan dapat menjadi instrumen untuk
memperkuat identitas kepribadian bangsa.1
Melihat makna dari pendidikan tersebut, pendidikan sebagai wahana dan
media yang efektif perlu adanya usaha keras dalam menciptakan lingkungan
belajar yang nyaman dan sekaligus mampu membentuk generasi yang terdidik
dan bermoral.
Namun, berbagai permasalahan di kalangan anak bangsa semakin
meningkat. Seperti diantaranya tawuran antar pelajar, pemerasan/kekerasan,
penggunaan narkoba, dan meluasnya seks bebas, serta bentuk-bentuk
kenakalan remaja lainnya yang mana mayoritas dilakukan oleh civitas
akademik pendidikan Indonesia.
Sebagaimana dikatakan oleh Dr. Hamka bahwa praktik pendidikan di
Indonesia terasa semakin jauh dari tujuan pendidikan nasional tentang
pembentukan kualitas manusia baik dalam aspek intelektual, keterampilan dan
akhlak mulia sebagai cermin dari kualitas keimanan dan ketakwaan seorang
insan fi ahsani taqwim.2
Dengan hal ini, tentunya menjadi tanda tanya besar untuk kita semua,
dimanakah letak kesalahan dalam dunia pendidikan kita? Pendidikan yang
1
Yoyon Bahtiar Irianto, Kebijkan Pembaruan Pendidikan; Konsep, Teori dan Model, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2011), cet. 1, hal. 4-5
2
dalam maknanya membentuk sebuah kualitas diri, namun dalam praktiknya
belum menghasilkan kualitas secara maksimal.
Selain itu, dengan melihat perkembangan arus dunia yang semakin liar
tersebut, perlu adanya kritik keras terhadap pendidikan sebagai inti dari
perubahan dunia. Dengan kata lain, pendidikan memiliki peranan yang sangat
penting sebagai wujud kemajuan bangsa.
Perlu adanya kesadaran penuh untuk melakukan perubahan proses
pendidikan di negeri ini. Salah satunya, adalah dengan pelaksanaan
pendidikan akhlak mulia yang dirasakan sangat mendesak dan bahkan sangat
perlu di dalam kritik proses pendidikan sekarang ini.
Pembentukan akhlak mulia bagi para generasi bangsa tentu tidaklah
mudah, perlu usaha dan kerja keras oleh para pelaku pendidikan. Adanya
sebuah kultur yang positif di sekolah dirasa mampu menjadi jalan dalam
suksesnya pembentukan akhlak bagi siswa tersebut. Mengapa demikian?
Hal ini mampu dipahami bahwa akhlak sebagai sebuah kebiasaan dan
kultur sebagai sebuah ciri khas memiliki hubungan yang berpengaruh di antara
keduanya. Penanaman kultur yang positif pada sebuah instansi khususnya
sekolah menjadi sebuah hal yang sangat penting terlebih dalam menjalankan
seluruh aktifitasnya sebagai sebuah roda keberhasilan dalam mewujudkan visi
dan misi instansi tersebut. Sekolah yang memiliki kultur yang positif
memberikan pelajaran yang sesungguhnya atau dengan kata lain sebagai
media yang sangat efektif dalam mengajarkan dan menanamkan nilai-nilai
positif terhadap para pelaku pendidikan di sekolah tersebut, khususnya bagi
siswa. Dengan demikian, seorang siswa akan berakhlak mulia dengan
sendirinya jika ia tumbuh dalam lingkungan yang positif.
Berdasarkan paparan latar belakang tersebut, maka peneliti termotivasi
untuk mengetahui secara lebih jelas tentang seberapa besar pengaruh
hubungan yang diciptakan antara kultur sekolah dengan pembentukan akhlak
siswa di sekolah tersebut. Kemudian penulis kembali termotivasi untuk
Pembentukan Akhlak Siswa di Sekolah Menengah Pertama Al-Manar Azhari
Islamic Boarding School”.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, masalah mendasar yang dapat
diidentifikasi terdiri dari permasalahan-permasalahan, yaitu:
1. Praktik pendidikan yang belum berjalan sesuai dengan tujuan pendidikan
secara maksimal, sehingga nilai-nilai dalam sebuah pendidikan tidak
tertanam secara maksimal kepada para civitas akademika.
2. Masih kurangnya dalam penerapan kultur sekolah yang baik dan yang
mampu menjadi penunjang dalam keberhasilan pendidikan, terutama
pembentukan akhlak siswa.
3. Kurangnya pendidikan akhlak dalam pembentukan karakter yang dimiliki
para generasi bangsa Indonesia, sehingga dalam aplikasi kehidupan masih
banyak terjadi perilaku yang menyimpang seperti korupsi, seks bebas, dan
lain sebagainya.
C. Pembatasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah di atas, maka pembatasan masalah yang
akan dikaji dan diteliti dalam tulisan ini adalah tentang korelasi antara kultur
sekolah dengan akhlak pada siswa di Sekolah Menengah Pertama Al-Manar
Azhari Islamic Boarding School.
D. Perumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka masalah yang dirumuskan
dan akan dikaji serta diteliti oleh penulis dalam tulisan ini adalah “Apakah
terdapat korelasi yang positif dan signifikan antara kultur sekolah terhadap
pembentukan akhlak siswa di Sekolah Menengah Pertama Al-Manar Azhari
E. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji korelasi kultur Sekolah
Menengah Pertama Al-Manar Azhari Islamic Boarding School terhadap
pembentukan akhlak siswa.
F. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah:
a. Secara teoritis, hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat berupa
tambahan wawasan ilmu pengetahuan, khususnya tentang kultur sekolah
dengan akhlak siswa.
b. Secara Praktis semoga dapat menyelesaikan permasalahan yang ada di
5
A. Deskripsi Teoritik 1. Kultur Sekolah
a. Pengertian Kultur Sekolah
Kamus Sosiologi Modern menyatakan sebagaimana dikutip oleh
Rika, bahwa “kultur adalah totalitas dalam sebuah organisasi, way of
life, termasuk nilai-nilai, norma-norma dan karya-karya yang
diwariskan oleh antar generasi”.3
Menurut Raymond William, sebagaimana dikutip oleh Kusdi
menyatakan bahwa “istilah kultur pada awalnya dipakai untuk
menyebut aktivitas membudidayakan tanaman atau hewan”.4
Namun Kusdi menambahkan bahwa “pengertian [kultur] ini
diperluas kepada manusia dengan anggapan bahwa masyarakat
“membentuk” manusia melalui melalui institusi keluarga, komunitas, sekolah, agama dan sebagainya”.5
Menurut Kusdi, “kultur dilihat sebagai salah satu faktor penjelas
bagi perilaku manusia di dalam organsisasi, dengan mengasumsikan
bahwa organisasi adalah kelompok (grup)yang cenderung berinteraksi
secara reguler dan berulang-ulang, sehingga memunculkan pola
keteraturan”.6
Nanang mengutip pendapat Suwarno dalam Pengantar Umum
Pendidikan, bahwa “sekolah berasal dari istilah Yunani “schola” yang
memiliki arti sebuah waktu luang yang digunakan untuk berdiskusi
dalam rangka menambah ilmu pengetahuan dan mencerdaskan akal”.7
3Rika Rachmita Sujatma, “Pengembangan Kultur Sekolah”,
Jurnal Pendidikan, 2008, h. 2
4
Kusdi, Budaya Organisasi; Teori, Penelitian dan Praktik, (Jakarta: Salemba Empat, 2011), h. 47
5 Ibid. 6
Ibid, h. 15
7
Menurut Tirtarahardja dan La Sulo sebagaimana dikutip oleh
Nanang menyebutkan bahwa “sekolah sebagai pusat pendidikan
berfungsi untuk menyiapkan manusia menjadi individu, warga
masyarakat, negara, dan dunia di masa depan yang diharapkan mampu
mengembangkan potensi anak, meningkatkan mutu kehidupan dan
martabat manusia dalam mencapai tujuan nasional.”8
Menurut Suwarno, yang dikutip oleh Nanang bahwa “sekolah
sebagai salah satu lembaga pendidikan yang mempunyai peranan
penting dalam mensosialisasikan pengalaman hidup anak di keluarga,
karena seorang anak mengalami perubahan dan perkembangan
perilaku sosial setelah masuk ke sekolah.”9
Sedangkan menurut Webster sebagaimana dikutip oleh Nanang menyebutkan bahwa sekolah memiliki dua pengertian, pertama sebagai komponen fungsi yang merupakan tempat untuk mengajar dan melatih para siswa dalam hal keilmuan dan keterampilan tertentu. Kedua, sebagai komponen fisik yakni merupakan satu kompleks bangunan yang memiliki laboratorium dan fasilitas fisik lainnya sebagai pusat kegiatan pembelajaran.10
Nanang berpendapat bahwa “sekolah adalah salah satu
institusi/lembaga pendidikan formal yang khusus didirikan untuk
pelayanan dan sosialisasi pendidikan dalam rangka menyiapkan
manusia menjadi individu, warga masyarakat, negara, dan dunia di
masa depan.”11
Berdasarkan beberapa konsepsi sekolah tersebut, dapat
disimpulkan bahwa sekolah merupakan salah satu institusi/lembaga
pendidikan formal untuk menambah wawasan ilmu pengetahuan dan
pengalaman seseorang agar menjadi manusia sebagai pribadi dan
warga masyarakat yang bermutu dan bermasrtabat di masa depan.
Menurut Deal dan Peterson, sebagaimana dikutip oleh Rika,
bahwa “kultur sekolah adalah pola nilai, keyakinan dan tradisi yang
8 Ibid. 9
Ibid., h. 78
10 Ibid. 11
terbentuk melalui sejarah sekolah.”12 Sedangkan menurut Stolp dan
Smith dalam Rika menyatakan bahwa “kultur sekolah adalah pola
makna yang dipancarkan secara historis yang mencakup norma, nilai,
keyakinan, seremonial, ritual, tradisi dan mitos dalam derajat yang
bervariasi oleh warga sekolah.”13
Selain itu, menurut Deal dan Kent sebagaimana dikutip oleh
Moerdiyanto mendefinisikan bahwa “kultur sekolah sebagai keyakinan
dan nilai-nilai milik bersama yang menjadi pengikat kuat kebersamaan
sebagai warga suatu masyarakat”.14
Menurut Zamroni dalam kutipan Rika, bahwa “kultur sekolah
adalah budaya sekolah yang menggambarkan pemikiran-pemikiran
bersama (shared ideas), asumsi-asumsi (assumptions), nilai-nilai
(values), dan keyakinan (belief) yang dapat memberikan identitas
(identity) sekolah yang menjadi standar perilaku yang diharapkan”.15
Menurut Vembriarto sebagaimana dikutip oleh Ariefa E, bahwa
“kebudayaan sekolah ialah a complex set of beliefs [kompleksitas kepercayaan], values and traditions [nilai-nilai dan tradisi], ways of
thinking and behaving [cara berfikir dan kebiasaan] yang
membedakannya dari institusi-institusi lainnya”.16
Menurut Mulyadi, bahwa “kultur sekolah itu mengandung nilai
-nilai, perilaku, pembiasaan, yang dengan sengaja dibentuk atau
diciptakan oleh kepala sekolah dalam perjalanan panjang sekolah
untuk mencapai tujuan yang di inginkan oleh lembaga pendidikan
tersebut.”17
Dari beberapa konsepsi tentang pengertian kultur dan kultur
sekolah, maka dapat disimpulkan bahwa kultur sekolah merupakan
12 Ibid. 13
Ibid.
14 Moerdiyanto, “Fungsi Kultur Sekolah Menengah Atas Untuk Mengembangkan Karakter
Siswa Menjadi Generasi 2045”, Artikel Konaspi VII, 2012, h. 3
15
Rika Rachmita Sujatma, loc. cit.
16 Ariefa Efianingrum, “Kultur Sekolah Untuk Mengembangkan
Good School”, Makalah Pengabdian Pada Masyarakat Universitas Negeri Yogyakarta, 2008, h. 3
17
pola nilai, keyakinan, pemikiran-pemikiran bersama, dan tradisi yang
terbentuk melalui sejarah sekolah yang dapat memberikan identitas
sekolah dalam standar perilaku yang diharapkan serta yang
membedakannya dari institusi-institusi lainnya. Atau singkatnya, bisa
dikatakan bahwa kultur sekolah adalah kehidupan sekolah yang
menjadi ciri khas sekolah.
b. Karakteristik Kultur Sekolah
Menurut Moerdiyanto, “kultur sekolah terdiri dari kultur positif,
kultur negatif dan kultur netral. Kultur positif adalah budaya yang
membantu mutu sekolah dan mutu kehidupan bagi warganya. ... Kultur
positif yang kuat mampu menjadi modal dalam melakukan perubahan
dan perbaikan”.18
Adapun contoh dari kultur positif ini seperti disiplin, kajian atau
belajar bersama, sifat saling tenggang rasa, sopan, semangat belajar
dan lain sebagainya. Kultur positif wajib diciptakan dan diterapkan di
instansi sekolah agar visi, misi dan tujuan sekolah dapat tercapai.
Sedangkan kultur negatif menurut Moerdiyanto, merupakan budaya organisasi yang bersifat anarkhis, negatif, beracun, bias, dan dominatif. Sekolah yang merasa puas dengan apa yang telah dicapai merupakan bagian dari kultur negatif, karena mereka cenderung tidak ingin melakukan perubahan dan takut mengambil risiko terhadap perubahan. Akibatnya kualitas akan menurun.19 Selain itu, contoh dari kultur negatif ini seperti kurangnya
pembiasaan kerja sama antar siswa dalam pemecahan masalah, budaya
menghukum siswa yang kemudian menjadikan siswa terbebani baik
secara mental maupun fisik, dan kurangnya keteladanan dari pendidik
serta lain sebagainya. Adanya kultur negatif ini perlu dihindari untuk
diterapkan di sekolah, karena bersifat menghambat dan merugikan
sekolah.
18 Moerdiyanto, “Fungsi Kultu
r Sekolah Menengah Atas Untuk Mengembangkan Karakter
Siswa Menjadi Generasi 2045”, Artikel Konaspi VII, 2012, h. 5
19
Kemudian Moerdiyanto menjelaskan bahwa kultur netral adalah
“aspek-aspek yang netral tak terkait dengan visi, misi dan tujuan sekolah”.20 Kultur netral ini ada dan berjalan di kehidupan sekolah,
namun tidak dapat dikategorikan ke dalam kultur positif ataupun
negatif.
Adapun contoh dari kultur netral ini sebagaimana dikemukakan
oleh Moerdiyanto yaitu “(1) kegiatan arisan sekolah, (2) jenis kelamin
kepala sekolah, (3) proporsi guru laki-laki dan perempuan, (4) jumlah
siswa wanita yang dominan”.21
Menurut Rika, bahwa lembaga sekolah sebagai pihak internal seharusnya membangun kultur sekolah berdasarkan pemikiran-pemikiran lembaga yang ditunjang oleh gaya kepemimpinan kepala sekolah, perilaku guru dan siswa serta pegawai dalam memberikan layanan kepada para siswa, orang tua, dan lingkungannya sebagai pihak eksternal.22
Selanjutya menurut Rika, “pada umumnya setiap sekolah telah
memiliki kulturnya sendiri namun sekolah yang berhasil adalah
sekolah yang memiliki kultur positif yang sejalan dengan visi dan misi
sekolah”.23
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kultur memiliki
karakteristik yang berbeda, yakni kultur positif yang harus diterapkan
di sekolah karena bersifat menguntungkan dan cocok, kultur negatif
yang harus dihindari karena bersifat merugikan dan menghambat, serta
netral yang bersifat netral tidak terkait kepada adanya visi, misi dan
tujuan sekolah. Selain itu, salah satu indikator keberhasilan sekolah
adalah adanya kesesuaian antara kultur positif yang diciptakan dengan
visi, misi dan tujuan sekolah.
20
Ibid., h. 9
21
Ibid., h. 10
22Rika Rachmita Sujatma, “Pengembangan Kultur Sekolah”,
Jurnal Pendidikan, 2008, h. 2
c. Fungsi Kultur Sekolah
Pendapat Kotter dalam Moerdiyanto menjelaskan bahwa “kultur
sekolah yang baik merupakan fungsi terbentuknya karakter warga
sekolah yang baik pula”.24
Menurut Rika, bahwa “dalam upaya meningkatkan mutu, maka
sekolah dituntut untuk terus menerus melakukan perbaikan dan
pengembangan kualitasnya melalui peningkatan kultur sekolah”.25
Selanjutnya meurut Rika, kultur sekolah memegang peranan penting dalam peningkatan mutu karena memiliki empat fungsi, yaitu:
1) Sebagai alat untuk membangun identitas (jati diri).
2) Kultur sekolah akan mendorong warga sekolah untuk memiliki komitmen yang tinggi.
3) Kultur sekolah akan mendorong terbentuknya stabilitas dan dinamika sosial yang berkualitas. Hal ini penting agar lingkungan sekolah menjadi kondusif tidak terganggu oleh konflik yang akan menghambat peningkatan mutu pendidikan. 4) Kultur sekolah akan membangun keberartian lingkungan yang
positif bagi warga sekolah. 26
Dalam sumber lainnya dikatakan bahwa kultur sekolah memiliki
lima fungsi, sebagimana dikemukakan oleh Taliziduhu Ndraha, yaitu:
1) Sebagai identitas dan citra suatu lembaga pendidikan yang
membedakan antara sekolah dengan sekolah yang lain, yang
terbentuk oleh berbagai faktor, seperti sejarah, kondisi, dan sistem
nilai dilembaga tersebut.
2) Sebagai sumber, yang mana kultur sekolah merupakan sebuah
sumber inspirasi, kebanggaan dan sumber daya yang dapat
dijadikan arah kebijakan (strategi) lembaga pendidikan tersebut.
3) Sebagai pola perilaku, dimana kultur sekolah menentukan
batas-batas perilaku yang telah disepakati oleh seluruh warga sekolah.
4) Sebagai mekanisme adaptasi terhadap perubahan lingkungan.
Perubahan kultur sekolah dengan berbagai strategi yang tepat perlu
24
Moerdiyanto, op. cit., h. 11
25
Rika Rachmita Sujatma, op. cit., h. 2
26
dilakukan dalam menghadapi perubahan era globalisasi dunia yang
semakin pesat.
5) Sebagai tata nilai, yaitu kultur sekolah merupakan gambaran
perilaku yang diharapkan dari warga sekolah dalam mewujudkan
tujuan institusi pendidikan tersebut.27
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa
fungsi-fungsi kultur sekolah yaitu sebagai alat untuk membangun
identitas (jati diri) dan citra, sebagai alat untuk membentuk stabilitas
dan dinamika sosial yang berkualitas, sebagai sumber inspirasi,
sebagai pola perilaku, sebagai mekanisme adaptasi terhadap
lingkungan, dan sebagai tata nilai.
d. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kultur Sekolah
Adanya sebuah kultur sekolah tentu memiliki faktor-faktor yang
dapat mempengaruhi penciptaan kultur sekolah tersebut. Sebagaimana
dikemukakan oleh Taliziduhu Ndraha, terbentuknya kultur sekolah
memiliki faktor-faktor sebagai berikut:
1) Faktor internal yaitu faktor yang bersumber dari dalam lingkungan
sekolah itu sendiri. Dalam hal ini, yang dimaksud adalah visi dan
misi para pendiri organisasi yang dipengaruhi oleh nilai yang
termuat di dalam hidupnya, latar belakang sosial, lingkungan
dimana mereka dibesarkan serta jenis dan tingkat pendidikan
formal yang pernah ditempuhnya. Selain itu adalah faktor dari
aspek-aspek lembaga pendidikan, yaitu tenaga pengajar,
administrasi, manajerial dan lingkungan dalam lembaga itu.
Perubahan sebuah kultur lembaga sekolah, memerlukan sebuah
strategi yang tepat dalam memanage seluruh aspek lembaga
pendidikan, sehingga perubahan tersebut dapat dikatakan berhasil
atau tidak.28
27
Taliziduhu Ndraha, Budaya organisasi, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2003), h. 45
28
2) Faktor eksternal yaitu faktor yang bersumber dari lingkungan luar
sekolah. Maksudnya yaitu seperti perkembangan IPTEK dalam
globalisasi dunia yang berkembang semakin pesat, sehingga
menimbulkan dampak yang sangat kuat terhadap berbagai bidang
kehidupan, termasuk pada dunia pendidikan.29
Dari paparan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa kultur
sekolah terbentuk karena adanya pengaruh internal (dalam lingkungan
sekolah seperti sistem di sekolah) dan eksternal (luar lingkungan
sekolah seperti globalisasi dunia), yang mana keduanya memiliki
pengaruh yang sama-sama kuat. Sehingga tugas daripada pemimpin
sekolah seperti pendiri sekolah dan kepala sekolah adalah mereview
kembali sistem yang sudah diberlakukan di sekolah.
2. Pembentukan Akhlak Siswa
a. Pengertian Pembentukan Akhlak Siswa
Pembentukan merupakan proses merubah sesuatu menjadi sesuatu
yang lain. Sedangkan proses pembentukan akhlak bagi anak usia dini
melalui proses pendidikan. Dengan kata lain, proses pendidikanlah
yang mempunyai pengaruh besar terhadap kualitas pembentukan
akhlak anak.
Menurut Mahyuddin, “kata Akhlak berasal dari bahasa Arab yang
sudah diindonesiakan, yang diartikan sebagai perangai atau kesopanan.
Kata Akhlak adalah jama’ taksir dari kata khuluq”.30
M. Jamil mengemukakan bahwa “kata akhlak berasal dari fi’il
(kata kerja) akhlaqa-yukhliqu, maka isim masdar-nya adalah ikhlaqa
dan bukan akhlaq. Dengan demikian, kata akhlak adalah isim jamid
yang berdiri sendiri”.31
Dalam al-Qur’an, Allah swt. telah memuji moralitas akhlak Nabi
Muhammad saw. dengan menjadikan Nabi Muhammad saw. sebagai
29
Ibid., h. 51
30
Mahyuddin, Kuliah Akhlaq Tasawuf, (Jakarta: Kalam Mulia, 2003), cet. 5, h. 1
31
suri tauladan. Dalam firmannya:
“dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (QS. Al-Qalam 68 : 4).32
Quraish Shihab menjelaskan bahwa akhlak dalam ajaran agama tidak dapat disamakan dengan etika, jika etika dibatasi pada sopan santun antarsesama manusia, serta hanya berkaitan dengan tingkah laku lahiriah. Akhlak lebih luas maknanya daripada yang telah dikemukakan terdahulu [kelakuan baik buruk dan objek perlakuan baik buruk] serta mencakup pula beberapa hal yang tidak merupakan sifat lahiriah. Misalnya yang berkaitan dengan sikap batin maupun pikiran.33
Dalam jurnal ilmiah berbahasa Inggris berjudul Ethics in Islam: a
Critical Survey yang dikemukakan oleh Mohd. Nasir Omar, bahwa:
In Islam, ethics (akhlaq) is inseparable from religion and is built entirely upon it. Naturally, therefore, the Qur’an and the Sunnah are the ultimate sources for Muslim ethics. The books on adab (good manners) and makarim alakhlaq (noble qualities of character), which have embodied the earliest works on ethics in Islam demonstrate the extant to which they utilize the Qur’an and the Sunnah.34
Menurut Imam Ghazali dalam Abuddin, “akhlak adalah sifat yang
tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan
dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan
pertimbangan”.35
Terdapat lima ciri yang terdapat dalam perbuatan akhlak
sebagaimana dikatakan Abuddin Nata, yaitu:
1) telah tertanam kuat dalam jiwa seseorang, sehingga telah menjadi
32
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahannya, (Semarang: PT. Karya Toha Putra, tt), h. 153
33
Muhammad Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: PT Misan Pustaka, 2003), cet. XIV, h. 261
34
Mohd. Nasir Omar, Ethics in Islam: A Critical Survey, Islamiyyat, Bab 8A.pmd 11/29/2010, 2:24 PM, h. 157
35
kepribadiannya,
2) dilakukan dengan mudah dan tanpa pemikiran,
3) timbul dari dalam diri orang yang mengerjakannya, tanpa ada
paksaan atau tekanan dari luar,
4) dilakukan dengan sesungguhnya, bukan main-main atau karena
berrsandiwara,
5) dilakukan karena ikhlas semata-mata karena Allah, bukan karena
ingin dipuji orang lain.36
Menurut Hamka, “akhlak mempunyai makna yang lebih dari
sekedar budi pekerti atau kelakuan. Akhlak adalah hubungan yang
khusus antara makhluq dan Khaliq”.37
Selanjutnya, Hamka megemukakan kembali bahwa “akhlak mulia
adalah perwujudan dari sikap mental seorang abdillah yang tunduk
patuh pada kehendak Khaliq, pasrah dan taat menerapkan aturan
(syariat) yang telah ditetapkan Khaliq (Tuhan Sang Maha Pencipta)”.38
Sedangkan menurut Sjarkawi, inti ajaran akhlak adalah berlandas pada niat atau iktikad untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu sesuai dan mencari ridha Allah, Tuhan semesta alam. Nilai-nilai yang dijunjung tinggi antara lain, kasih sayang, kebenaran, kebaikan, kejujuran, kebenaran, keindahan, amanah, tidak menyakiti orang lain, dan sejenisnya.39
Berbicara masalah pembentukan akhlak sama dengan berbicara
tentang tujuan pendidikan, karena banyak sekali dijumpai pendapat
para ahli yang mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah
pembentukan akhlak. Menurut Mansur Ali Rajab dalam Abuddin,
mengatakan bahwa “akhlak tidak perlu dibentuk, karena akhlak adalah
insting (garizah) yang dibawa manusia sejak lahir.”40
36
Ibid., h. 4-6
37
Hamka Abdul Aziz, Pendidikan Karakter Berpusat Pada Hati, (Jakarta: Al-Mawardi Prima, 2012), cet. 3, h. 202
38
Ibid., h. 204
39
Sjarkawi, Pembentukan Kepribadian Anak, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2008), Cet. 2, h. 32
40
Sedangkan pendapat yang berbeda tentang pembentukan akhlak
sebagaimana dikatakan oleh Imam Ghazali yang dikutip oleh Abuddin,
bahwa “akhlak adalah hasil dari pendidikan, latihan, pembinaan dan
perjuangan keras dan sungguh-sungguh”.41
Menurut Abuddin, “pembentukan akhlak dapat diartikan sebagai
usaha sungguh-sungguh dalam rangka membentuk anak, dengan
menggunakan sarana pendidikan dan pembinaan yang terprogram
dengan baik dan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan
konsisten.”42
Jadi, dapat disimpulkan bahwa akhlak adalah tingkah laku yang
menjadi kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan
pembentukan akhlak siswa merupakan sebuah proses merubah perilaku
atau budi pekerti seorang siswa sebagai hamba Allah yang harus selalu
memberikan pencerahan, kebaikan dan kedamaian kepada sesama
makhluk, serta sebagai pembeda pribadi siswa tersebut dengan yang
lainnya melalui pendidikan dan pembinaan yang terprogram baik serta
pengaplikasian yang sungguh-sungguh dan konsisten.
b. Perbedaan Akhlak, Etika, dan Moral
Definisi akhlak telah disebutkan di atas, yang mana mampu
menjadi pembeda dalam istilah akhlak dengan etika, moral dan
karakter.
Dalam bukunya, Beni menjelaskan bahwa “kata “etika” berasal
dari bahasa Yunani, yaitu “ethos”, artinya adat kebiasaan.”43
Etika menurut Abuddin, sebagaimana dikutip oleh M. Jamil,
secara etimologi berarti watak kesusilaan atau adat. Etika membahas
perbuatan manusia namun bersumber pada akal pikiran dan filsafat,
sehingga sifatnya menjadi tidak absolut dan implikasi kebenaran yang
41
Ibid., h. 134
42
Ibid., h 135
43
dikandungnya tidak universal.44
M.. Jamil berpendapat bahwa, “selain itu, dikarenakan merupakan
konsepsi yang merupakan produk akal pikiran, maka etika juga dapat
berubah-ubah sesuai degan perubahan tempat dan zaman termasuk
perubahan nilai-nilai kemanusiaan yang disepakati oleh manusia.”45
Etika menurut Beni, bahwa “cara pandang manusia tentang
tingkah laku yang baik dan buruk, dan dari cara pandang itu dapat
digali dari berbagai sumber, kemudian dijadikan sebagai tolok ukur
bagi suatu tindakan dengan pendekatan rasional dan filosofis.”46
Sedangkan moral menurut Jamil, “secara etimologi moral berasal
dari kata mores (bentuk jamak dari kata mos dalam bahasa Latin) yang
memiliki arti adat kebiasaan.47
Secara terminologi, menurut Jamil, “ moral adalah sebuah ukuran
baik dan buruk yang diakui oleh sebuah komunitas masyarakat atau
kelompok tertentu yang menyepakatinya baik didasarkan pada agama
maupun tidak.”48
Menurut Beni, “pengertian moral sama dengan akhlak karena
secara bahasa artinya sama, yaitu tindakan atau perbuatan.”49
Lebih
lanjut menurut Beni, “perbedaan dari kedua konsep tersebut, yaitu
akhlak dan moral terletak pada standar atau rujukan normatif yang
digunakan. Akhlak merujuk pada nilai-nilai agama, sedangkan moral
merujuk pada kebiasaan.50
Menurut Solihin dalam kutipan Jamil, etika dan moral pada dasarnya memiliki pembahasan yang sama yaitu mengenai perbuatan manusia dan nilainya. Namun demikian, keduanya memiliki perbedaan. Moral atau moralitas digunakan untuk perbuatan yang sedang dinilai sedangkan etika digunakan untuk pengkajian sistem yang ada. Keduanya juga memiliki tolok ukura
44
M. Jamil, Akhlak Tasawuf, (Ciputat: Referensi, 2013), h. 9
45 Ibid.
46
Saebani,op. cit., h. 30
47
M. Jamil, loc. cit. 48
Ibid. 49
Saebani, op. cit., h. 33
yang berbeda. Tolok ukur moral adalah norma-noorma yang tumbuh dan berkembang di masyarakat, sedangkan tolok ukur etika adalah akal pikran atau rasio pikiran manusia.51
Berdasarkan beberapa konsepsi diatas, dapat disimpulka bahwa
antara akhlak, etika dan moral memiliki kesamaan dan perbedaan.
Adapun kesamaannya adalah sama-sama mengkaji tentang perbuatan
manusia. Namun yang membedakannya adalah terhadap ide-ide
dasarnya. Jika akhlak berdasar kepada nilai-nilai agama, etika kepada
nilai-nilai rasionalitas, sedangkan moral berkaitan dengan nilai-nilai
adat istiadat masing-masing masyarakat.
c. Ruang Lingkup Akhlak
Menurut M. Jamil, “dikarenakan akhlak merupakan sikap atau
perbuatan yang muncul dari dalam diri seseorang, maka akhlak
tersebut dapat dimanifestasikan ke dalam berbagai ruang lingkup, yaitu
(1) akhlak terhadap khaliq (pencipta), dan (2) akhlak terhadap
makhluk”.52
Kemudian diluar dua hal tersebut, M. Jamil juga
menuliskan bahwa terdapat juga akhlak kepada lingkungan.53
Sedangkan Quraish Shihab menjelaskan sasaran akhlak islamiyyah
itu terdiri atas tiga aspek yaitu (1) akhlak terhadap Allah, (2) akhlak
terhadap sesama manusia, dan (3) akhlak terhadap lingkungan.54
Adapun penjelasan secara lebih rinci dari ketiga hal tersebut yaitu:
1) Akhlak terhadap Allah (Pencipta)
Menurut Quraish Shihab, “titik tolak akhlak terhadap Allah
adalah pengakuan dan kesadaran bahwa tiada Tuhan melainkan
Allah. Dia memiliki sifat-sifat terpuji; demikian agung sifat itu,
yang jangankan manusia, malaikat pun tidak akan mampu
menjangkau hakikat-Nya”.55
51
M. Jamil, loc. cit. 52
M. Jamil, Akhlak Tasawuf, (Ciputat: Referensi, 2013), h. 4-5
53
Ibid., h. 6
54
Muhammad Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: PT Misan Pustaka, 2003), cet. XIV, h. 261-269
55
Menurut M. Jamil, “akhlak dalam lingkup ini diartikan sebagai
sikap yang ditunjukkan oleh manusia kepada Pencipta alam
semesta termasuk dirinya sendiri”.56 Selanjutnya, M. Jamil
menambahkan bahwa “intinya, semua perilaku seseorang yang memiliki akhlak yang baik kepada Allah harus tercermin dalam
tingkah laku sehari-harinya yang sesuai dengan syariat Allah”.57
2) Akhlak terhadap sesama manusia (Makhluk)
Menurut M. Jamil, “dalam konteks hubungan sebagai sesama
muslim, maka Rasulullah mengumpamankan bahwa hubungan
tersebut sebagai sebuah anggota tubuh yang saling terkait dan
merasakan penderitaan jika salah satu organ tubuh tersebut
mengalami sakit”.58
Lebih lanjut, M. Jamil menambahkan bahwa “akhlak terhadap
sesama manusia juga harus ditunjukkan kepada orang yang bukan
Islam di mana mereka ini tetap dipandang sebagai makhluk Allah
yang harus disayangi”.59
Sedangkan menurut Quraish Shihab, bahwa banyak rincian
yang telah dituliskan dalam al-Quran tentang tingkah laku terhadap
sesama manusia baik berupa larangan terhadap hal-hal negatif yang
bersifat fisik seperti membunuh orang maupun non fisik seperti
menceritakan aib seseorang.60
Menurut M. Jamil, “penjabaran dari akhlak kepada manusia
bisa juga mencakup kepada berbagai aspek kehidupan lainnya.
Misalnya akhlak sebagai warganegara yang baik dan akhlak kepada
lingkungan”.61
56
M. Jamil, Akhlak Tasawuf, (Ciputat: Referensi, 2013), h. 4
57 Ibid. 58
Ibid., h. 5
59 Ibid. 60
Muhammad Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: PT Misan Pustaka, 2003), cet. XIV, h. 255-267
61
3) Akhlak terhadap Lingkungan (Alam)
Menurut M. Jamil, “akhlak kepada lingkungan ini adalah sikap
seseorang terhadap lingkungan (alam) di sekelilingnya”.62
Menurut Quraish Shihab, “yang dimaksud lingkungan di sini
addalah segala sesuatu yang berada di sekitar manusia, baik
binatang, tumbuh-tumbuhan, maupun benda-bend atak
bernyawa”.63
Selanjutnya M. Jamil mengatakan, bahwa “manusia adalah
makhluk Allah [yang] sejak dahulu merasa mampu melaksanakan
amanah yang diberikan Allah kepadanya baik dalam bentuk
peribadahan kepada Allah maupun memelihara bumi dan langit
tersebut dari kerusakan yang dibuat oleh tangan mereka”.64
Dalam firman Allah surat Al-Ahzab ayat 72 dijelaskan, yaitu:
Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu Amat zalim dan Amat bodoh. (QS. Al-Ahzab: 72).65
Menurut Quraish Shihab, dalam pandagan akhlak Islam,
seseorang tidak dibenarkan mengambil buah sebelum matang, atau
memetik bunga sebelum mekar, karena hal ini berarti tidak
62
M. Jamil, Op.cit., h. 6
63
Shihab, Op. cit., h. 269-270
64
M. Jamil, loc. cit. 65
memberi kesempatan kepada makhluk untuk mencapai tujuan
penciptaannya”.66
Selanjutnya, menurut Quraish bahwa “setiap perusakan
terhadap lingkungan harus dinilai sebagai perusakan pada diri
manusia sendiri”.67
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa tiga ruang
lingkup akhlak yaitu (1) akhlak terhadap Allah yang merupakan
sebuah pengakuan dengan penuh kesadaran tentang ke-Esa-an Allah
sebagai Tuhan dan melakukan perbuatan-perbuatan baik dalam
kehidupan sehari-harinya sebagai cerminan dari sifat-sifat terpuji Allah
swt. (2) akhak terhadap sesama manusia yaitu melakukan perbuatan
baik kepada sesama manusia dengan tidak memandang bulu darimana
mereka berasal dan apa latar belakang agamanya. Namun semua sama
sebagai saudara dan makhluk Allah yang harus disayangi. dan (3)
akhlak terhadap lingkungan yakni manusia sebagai khalifah di bumi
haruslah menjaga perdamaian dan kenyamanan bumi. Manusia harus
berlaku adil dan menyayangi kepada semua makhluk di bumi seperti
hewan, tumbuhan dan lain-lainnya. Karena pada dasarnya manusia dan
lingkungan saling membutuhkan bagi keberlangsungan hidup
masing-masing.
d. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Akhlak
Menurut Mulyadi yang dikutip oleh Nanang, pembentukan akhlak
manusia dipengaruhi oleh faktor hereditas (keturunan) dan lingkungan.
Terdapat perbedaan pendapat dari para ahli tentang faktor yang
mempengaruhi perkembangan akhlak anak tersebut, memunculkan
beberapa teori tentang pembentukan akhlak anak disertai beberapa
jenis aliran yang menjelaskan tentang terbentuknya akhlak manusia.68
66
Shihab, Op. cit., h. 270
67 Ibid. 68
Lebih lanjut Nanang menjabarkan bahwa beberapa jenis aliran
yang menjelaskan tentang terbentuknya akhlak manusia, yaitu aliran
Nativisme yang menyatakan bahwa perkembangan tingkah laku dan
pendidikan manusia terjadi semata-mata ditentukan oleh pembawaan
yang dibawa sejak lahir. Sedangkan lingkungan tidak berpengaruh
terhadap perkembangan tersebut. Selanjutnya adalah aliran Empirisme
yang bertolak belakang terhadap aliran Nativisme. Aliran ini
berpandangan bahwa jiwa manusia waktu lahir adalah putih bersih
bagaikan kertas yang belum ditulis apapun, dan perkembangan baik
buruk anak ditentukan hanya oleh faktor lingkungan.69
Dalam pada itu, muncul aliran Konvergensi yang merupakan
gabungan dua aliran yaitu nativisme dan empirisme. Menurut Nanang,
konvergensi ditandai dengan adanya interaksi antara faktor hereditas
dan faktor lingkunga dalam proses perkembangan tingkah laku.
Menurut aliran ini, hereditas tidak akan berkembang secara wajar,
apabila tidak diberi rangsangan dari faktor lingkungan, sebaliknya
rangsangan dari lingkungan tidak akan membina perkembnagan
tingkah laku anak yang ideal, tanpa dipengaruhi oleh faktor hereditas.70
Menurut Arifin yang dikutip oleh Abuddin, bahwa aliran
konvergensi berpendapat tentang pembentukan akhak dipengaruhi oleh
faktor internal yakni pembawaan si anak, dan faktor eksternal yaitu
pendidikan dan pembinaan dalam lingkungan sosial. Fithrah dan
kecenderungan ke arah yang baik yang ada di dalam diri mausia dibina
secara intensif melalui berbagai metode.71
Sedangkan Abuddin menyimpulkan dalam bukunya, bahwa
“faktor yang mempengaruhi pembinaan akhlak di anak ada dua, yaitu
faktor dari dalam yaitu potensi fisik, intelektual dan hati (rohaniah)
yang dibawa si anak dari sejak lahir, dan faktor dari luar yang dalam
69
Ibid., h. 4-7
70
Ibid., h. 4-7
71
hal ini adalah kedua orang tua di rumah, guru ddi sekolah, dan
tokoh-tokoh serta pemimpin di masyarakat.”72
Selanjutnya menurut Abuddin, “melalui kerja sama yang baik
antara tiga lembaga pendidikan tersebut, maka aspek kognitif
(pengetahuan), afektif (penghayatan), dan psikomotrik (pegalaman)
ajaran yang diajarkan akan terbentuk pada diri anak Dan inilah yang
selanjutnya dikenal dengan istilah manusia seutuhnya.”73
Dalam sumber lain sebagaimana dikemukakan oleh Saebani dan
Hamid bahwa, akhlak manusia dapat dibentuk oleh berbagai pengaruh
internal maupun eksternal. Pengaruh internal berada dalam diri
manusia sendiri. Ada yang berpendapat bahwa yang dimaksudkan
pengaruh internal adalah watak, yaitu sifat dasar yang sudah menjadi
pembawaan sejak manusia dilahirkan. Akan tetapi, pengaruh eksternal
pun dapat membentuk watak tertentu. Lingkungan, mata pencaharian,
makanan dan minuman, pergaulan sehari-hari dengan kawan sejawat,
istri atau suami, dan sebagainya yang selalu terlibat dalam kehidupan
manusia secara terus menerus dapat membentuk watak manusia. Ada
pula yang berpendapat bahwa faktor geografis, pendidikan, situasi dan
kondisi sosial dan ekonomi, serta kebudayaan masyarakat pun dapat
membentuk watak.74
Jadi berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa faktor
yang mempengaruhi pembentukan akhlak anak ini ada pada faktor
potensi dalam diri anak dan faktor dari lingkungan, yakni keluarga,
sekolah dan masyarakat. Dengan kata lain, seorang anak yang
berakhlak adalah yang memiliki potensi berakhlak dalam dirinya dan
memiliki lingkungan yang berakhlak pula sebagai wadah
pengembangan potensinya.
72
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2013), cet. 12, h. 146
73 Ibid. 74
e. Akhlak Terpuji dan Akhlak Tercela
Akhlak dapat terbagi menjadi 2 (dua) jenis yaitu akhlak terpuji
(mahmudah) dan akhlak tercela (madzmumah). Menurut Imam
Al-Ghazali dalam Ahmad Mustofa, bahwa Al-Al-Ghazali menggunakan juga
istilah “munjiyat” untuk akhlak mahmudahdan “munlihat” untuk yang madzmumah.75
Menurut M. Sholihin yang dikutip oleh M. Jamil, bahwa akhlak
terpuji mencakup karakter-karakter yang diperintahkan Allah dan
Rasul untuk dimiliki seperti:
1) Rasa belas kasihan dan lemah lembut (ar-rahman).
2) Pemaaf dan mau bermusyawarah (al-afwu).
3) Sikap dapat dipercaya dan mampu menepati janji (amanah).
4) Manis muka dan tidak sombong (anisatun).
5) Tekun dan merendahkan diri di hadapan Allah Swt (Khusyu’ dan
Tadharru’).
6) Sifat malu (haya’).
7) Persaudaraan dan perdamaian (al-ikhwan dan al-islahi).
8) Berbuat baik dan beramal shaleh (al-shalihat).
9) Sabar (al-Shabr).
10)Suka saling tolong menolong (ta’awun).
11)dan lain sebagainya.76
Selanjutnya, adalah akhlak tercela yang mana akhlak ini adalah
akhlak yang disuruh oleh Allah untuk ditinggalkan. Menurut M.
Sholihin dalam M. Jamil, bahwa diantara akhlak-akhlak tercela yang
dilarang dalam al-Quran adalah:
1) Egois (al-nani’ahi).
2) Kikir (al-bukhl).
3) Suka berdusta (al-buhtan).
4) Tidak menepati janji (khianat)
5) Pengecut (al-Jubn).
75
A. Mustofa, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), cet V, h. 197
76
6) Menggunjing dan mengumpat (ghibah).
7) Dengki (hasad).
8) Berbuat kerusakan.
9) Berlebih-lebihan (al-israf).
10) Berbuat zalim (al-zulm).
11) Berbuat dosa besar (al-fawahisy).77
Beni Ahmad berpendapat bahwa indikator akhlak yang terpuji
(baik) dan tercela (buruk) dapat dipandang melalui beberapa sudut
yakni dalam sudut pandang agama, filsafat, ilmu, dan budaya. Dalam
sudut pandang agama, indikator utama dari perbuatan baik yaitu:
a) Perbuatan yang sesuai dengan nash al-Qur’an dan Hadist nabi
b) Perbuatan yang mendatangkan kemaslahatan dunia dan akhirat
c) Perbuatan yang meningkatkan martabat kehidupan manusia di
mata Allah dan sesama manusia
d) Perbuatan yang menjadi bagian dari tujuan syariat Islam78
Sedangkan indikator perbuatan yang buruknya adalah:
a) Perbuatan yang didorong oleh hawa nafsu setan
b) Perbuatan yang dimotivasi oleh ajaran thoghut
c) Perbuatan yang membahayakan kehidupan dunia dan merugikan
kehidupan akhirat
d) Perbuatan yang menyimpang dari tujuan syari’at Islam
e) perbuatan yang menimbulkan permusuhan
f) Perbuatan yang menimbulkan bencana
g) Perbuatan yang membudayakan keserakhan dan nafsu setan
h) Perbuatan yang melahirkan konflik, peperangan dan dendam
yang tidak berkesudahan.79
Selain itu, menurut pandangan filsafat melahirkan berbagai aliran
dalam filsafat etika. Seperti contoh Socrates yang mengatakan bahwa
77
Ibid., h. 16-21
78
Saebani, Beni Ahmad, dan Abdul Hamid, Ilmu Akhlak, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), h. 206
benar dan baik adalah nilai objektif yang harus dijunjung tinggi semua
orang. Aristoteles melahirkan ajran akhlak filosofinya seperti ajaran
yang memberikan hikmah tentang adanya kekuasaan yang Mahamutlak.
Dan masih banyak lagi aliran-aliran filsafat etika ini speerti
Neoplatonisme, Augustinus an lain sebagianya.80
Selanjutnya Beni Ahmad menjelaskan bahwa dalam perspektif
ilmu, akhlak yang benar adalah yang didasarkan pada rasio dan
pengalaman. Dalam perspektif ini melahirkan dua aliran yakni aliran
rasionalisme dan empirisme. Sedangkan dalam perspektif budaya,
bahwa akhlak baik dan buruk sifatnya sangat relatif karena sistem
normatif yang dijadikan standar baik dan buruh adalah tradisi yang
telah terlembagakan.81
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, memang sangat beragam
akhlak manusia baik dalam sisi terpuji maupun tercela. Secara garis
besar, yang dinamakan akhlak terpuji adalah tindak laku yang baik dan
menguntungkan baik bagi Allah swt., orang lain ataupun dirinya
sendiri. Sedangkan akhlak tercela adalah yang berlaku sebaliknya.
f. Kriteria Seseorang Berakhlak
Dikatakan oleh Quraish Shihab, bahwa “kecenderungan manusia
kepada kebaikan terbukti dari persamaan konsep-konsep pokok moral
pada setiap peradaban dan zaman. Perbedaan –jika terjadi– terletak
pada bentuk, penerapan, atau pengertian yang tidak sempurna terhadap
konsep-konsep moral, yang disebut ma’ruf dalam bahasa
Al-Qur’an”.82
Menurut Shihab, “Tolok ukur kelakuan baik dan buruk mestilah merujuk kepada ketentuan Allah. Demikian rumus yang diberikan oleh kebanyakan ulama. Perlu ditambahkan bahwa apa yang dinilai baik oleh Allah, pasti baik dalam esensinya. Demikian
80
Ibid., h. 212-216
81
Ibid., h. 216-224
82
pula sebaliknya, tidak mungkin Dia menilai kebohongan sebagai kelakuan baik, karena kebohongan esensinya buruk”.83 Al-Qur’an suci surat Thaha: 8 menegaskan:
“....Dialah Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Dia mempunyai Al asmaaul husna (nama-nama yang baik)”. (QS. Thaha: 8).84
Menurut Imam Ghazali yang dikutip oleh M. Jamil, bahwa
Al-Ghazali mengemukakan sebuah istilah yang disebut sebagai ra’sul
akhlaq yakni induk dari akhlak. Hal ini dicapai ketika manusia terus
menerus melakukan akhlak yang baik. Induk akhlak ini ada empat
sikap yaitu:
1) Bijaksana (al-hikmah)
2) Menjaga kesucian diri (al-„iffah)
3) Berani (al-syaja’ah)
4) Adil (al-„adl)85
Menurut Hamka, “seseorang yang berakhlak mulia berarti dia
memahami perananannya sebagai makhluk ciptaan Sang Khaliq yang
harus selalu memberikan pencerahan, kebaikan dan kedamaian kepada
sesama makhluq”.86
Namun menurut Mustofa, bahwa “mempersoalkan baik dan buruk
pada perbuatan manusia maka ukuran dan karakternya selalu dinamis,
sulit dipecahkan. Namun demikian karakter baik dan buruk perbuatan
manusia dapat diukur menurut fitrah manusia.”87
Beni Ahmad Saebani berpendapat, bahwa akhlak umat Islam akan selalu berada dalam kesadarannya yang maksimal jika ia merenungi perintah Allah swt. dan Rasulullah saw. tentang wajibnya menuntut ilmu, sehingga menjadi sangat logis ketika
83
Ibid., h. 259
84
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahannya, (Semarang: PT. Karya Toha Putra, tt), h. 249
85
M. Jamil, Akhlak Tasawuf, (Ciputat: Referensi, 2013), h. 21-22
86
Hamka Abdul Aziz, Pendidikan Karakter Berpusat Pada Hati, (Jakarta: Al-Mawardi Prima, 2012), cet. 3, h. 204
87
Rasulullah saw. menarik ketetapan wajibnya perbuatan manusia apabila manusia dalam keadaan tidak sadar atau akalnya belum dewasa.88
Hal tersebut bermakna bahwa manusia khususnya umat Islam
yang berakhlak adalah yang menjalankan perintah Allah swt. dan
menjauhi larangan-Nya. Salah satunya adalah dengan menuntut ilmu,
karena ilmu adalah gerbang menuju pengetahuan luas.
Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa kriteria
seseorang yang berakhlak adalah seseorang yang berperilaku sesuai
ajaran Allah swt dan syari’at-Nya. meskipun secara mendasar kecenderungan sifat manusia adalah kepada kebaikan, namun tidak
banyak pula manusia yang menjerumuskan dirinya sendiri kepada
keburukan. Seseorang yang berakhlak adalah yang berlaku bijaksana
dalam menentukan langkah bagi keinginan hati, menjaga kesucian diri
dari hal-hal yang hina dan buruk, berani mengambil keputusan dan
mengambil langkah pada jalan kebenaran, serta berlaku adil pada
semua urusan kehidupannya yakni yang mampu menempatkan s