• Tidak ada hasil yang ditemukan

ARTI PENTING UNITED NATIONS IMPLEMENTING AGREEMENT 1995 (UNIA) BAGI INDONESIA DALAM KAITANNYA DENGAN KONSERVASI DAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA PERIKANAN DI LAUT LEPAS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ARTI PENTING UNITED NATIONS IMPLEMENTING AGREEMENT 1995 (UNIA) BAGI INDONESIA DALAM KAITANNYA DENGAN KONSERVASI DAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA PERIKANAN DI LAUT LEPAS"

Copied!
133
0
0

Teks penuh

(1)

ARTI PENTING UNITED NATIONS IMPLEMENTING AGREEMENT1995 (UNIA) BAGI INDONESIA DALAM KAITANNYA DENGAN

KONSERVASI DAN PENGELOLAANSUMBER DAYA

PERIKANAN DI LAUT LEPAS (Skripsi)

Oleh

YOPIE SEPTIAN RIYADI 0412011260

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(2)

ABSTRAK

ARTI PENTING UNITED NATIONS IMPLEMENTING AGREEMENT 1995 (UNIA) BAGI INDONESIA DALAM KAITANNYA DENGAN

KONSERVASI DAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA PERIKANAN DI LAUT LEPAS

Oleh

YOPIE SEPTIAN RIYADI

Sumber daya perikanan, khususnya sumber daya perikanan laut lepas dewasa ini mengalami penurunan drastis. Berdasarkan kondisi tersebut, negara-negara mengadakan Konferensi Hukum Laut Internasional sebanyak tiga kali. Konferensi Hukum Laut Ketiga disebut juga dengan United Nations Convention on the Law of the Sea of 10 December 1982 (UNCLOS). Konferensi yang merupakan implementasi dari UNCLOS salah satunya adalah Agreement for the Implementation of the Provisions of the United Nations Convention on the Law of the Sea of 10 December 1982 relating to the Conservation and Management of Straddling Fish Stocks and Highly Migratory Fish Stocks, selanjutnya disebut UNIA.

Berdasarkan uraian di atas, yang menjadi pokok permasalahan adalah bagaimana pengaturan mengenai konservasi dan pengelolaan sumber daya perikanan laut lepas menurut UNIA dan bagaimana arti penting UNIA bagi Indonesia dalam kaitannya dengan konservasi dan pengelolaan sumber daya perikanan di laut lepas. Metode pendekatan yang digunakan dalam membahas permasalahan skripsi ini adalah penelitian normatif.

(3)

Yopie Septian Riyadi

(4)

ARTI PENTING UNITED NATIONS IMPLEMENTING AGREEMENT 1995 (UNIA) BAGI INDONESIA DALAM KAITANNYA DENGAN

KONSERVASI DAN PENGELOLAANSUMBER DAYA

PERIKANAN DI LAUT LEPAS

Oleh

YOPIE SEPTIAN RIYADI

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(5)

Judul Skripsi : ARTI PENTING UNITED NATIONS IMPLEMENTING AGREEMENT 1995

(UNIA) BAGI INDONESIA DALAM

KAITANNYA DENGAN KONSERVASI

DAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA PERIKANAN DI LAUT LEPAS

Nama Mahasiswa : Yopie Septian Riyadi Nomor Pokok Mahasiswa : 0412011260

Program Studi : Hukum Internasional Fakultas : Hukum

MENYETUJUI 1. Komisi Pembimbing

A. Baharuddin Naim, S.H, M.H. Dharma Setiawan, S.H., M.H. NIP. 131925386 NIP. 131755944

2. Ketua Bagian Hukum Internasional

(6)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : A. Baharuddin Naim, S.H., M.H. ……….

Sekretaris/Anggota : Dharma Setiawan, S.H., M.H. ……….

Penguji Utama : A. Muthalib Tahar, S.H., M.H. ………..

2. Dekan Fakultas Hukum

Hi. Adius Semenguk, S.H., M.S. NIP. 130934469

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 5 September 1986, anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Drs. Suyatno dan Ibu Hj. Dida, Amd.Kes.

Penulis memulai pendidikan formal di Taman Kanak-Kanak (TK) Amanah Tangerang diselesaikan pada tahun 1992, Sekolah Dasar (SD) Negeri Karawaci Baru 2 Perumnas II Tangerang selesai pada tahun 1998, Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 19 Perumnas II Tangerang selesai pada tahun 2001, dan Sekolah Menengah Atas (SMA) di SMA Negeri 7 Tangerang, diselesaikan pada tahun 2004.

(8)

tetapi juga membuka wawasan penulis dan memberikan banyak ide untuk penulisan skripsi ini.

Pada tahun 2007 penulis berkesempatan untuk mengikuti Kompetisi Peradilan Semu Pidana Prof. Soedarto yang diadakan oleh Universitas Diponegoro Semarang. Penulis menjadi bagian dalam tim sebagai official dan pembuat berkas. Dalam kompetisi ini, tim Unila berhasil masuk 5 besar. Pada tahun ini pula penulis mengikuti Seminar Nasional Pidana yang diadakan oleh Himpunan Mahasiswa (HIMA) Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Pada tahun 2008 penulis mengikuti Seminar Nasional dan Kompetisi Peradilan Semu Pidana Tingkat Nasional Mutiara Djokosoetono yang diadakan Universitas Indonesia, penulis sebagai tim penyeleksi dan pembuat berkas. Dalam kompetisi ini tim Unila hanya sampai pada babak penyisihan grup.

(9)

!

"

"

#!

(10)

! ! ! !

" # # "

# # # ! #

!

$" ! ! # # "# % "

(11)

SANWACANA

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah S.W.T atas berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk dapat mencapai gelar Sarjana Hukum pada Universitas Lampung dengan judul “Arti Penting United Nations Implementing Agreement 1995 (UNIA) Bagi Indonesia Dalam Kaitannya Dengan Konservasi dan Pengelolaan Sumber Daya Perikanan di Laut Lepas”

Dalam proses penyusunan skripsi ini banyak sekali pihak yang telah memberikan bantuan kepada penulis baik berupa bimbingan, kritik, saran dan masukan. Penulis berharap skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang Hukum Internasional serta berbagai pihak pada umumnya. Dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Allah SWT yang mempunyai kuasa atas jiwa-jiwa lemah yang terbalut dalam kesempurnaan berselubung ketidaksempurnaan, tempatku bersimpuh, berserah diri, memanjatkan segala doa. Sesungguhnya manusia hanya bisa berusaha, Engkaulah yang mempunyai kuasa atas segalanya.

2. Bapak Adius Semenguk, S.H., M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

(12)

Ketua Bagian Hukum Internasional

6. Ibu Darnetty Dae, S.H., M.H. sebagai Pembahas II yang telah memberikan masukan dan saran kepada penulis.

7. Bapak Heryandi, S.H., M.S. yang telah banyak memberi saran dan masukan serta arahan yang sangat membantu dalam memulai penyusunan skripsi ini. 8. Ibu Nikmah Rosidah, S.H., M.H. sebagai Pembimbing Akademik yang telah

banyak memberikan masukan, bimbingan dan bantuan kepada penulis. 9. Seluruh Dosen Fakultas Hukum khususnya Dosen Bagian Hukum

Internasional yang telah berbagi ilmu kepada penulis.

10. Seluruh staf Tata Usaha, khususnya Mas Marjiono, Spd. yang telah banyak memberikan motivasi bagi penulis dan membantu dalam proses administrasi.

11. Pak Fuad, Pak Rifky dan Pak Rusmana Biro Hukum Departemen Kelautan dan Perikanan, terima kasih telah meluangkan waktu berbagi pikiran dan ide untuk skripsi ini.

12. Papah, Mamah dan Ade Yokie, keluarga kecil bahagia yang selalu memberikan cahaya terang dan kebahagiaan yang sempurna.

13. Kawan-kawan FH’04, Nazar, Dwita, Aziz, Apri, Nike, Nitha, Bunga, Arif, Sofyan², Noya, Vivi, Safta ‘meho’, Dian ‘ibu haji gile’, Mae, Abas, dan lain-lain yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

(13)

Dine, Sari, Dina Sirait, Ivin, Aji, Virly, Sarmaida, Susi dll. (Tim MCC Undip dan Tim MCC Mutdjok, terima kasih telah memberikan pengalaman dan pembelajaran yang sangat berharga kepada penulis). Tetap Semangat Majukan PSBH… !!

15. Kawan-kawan HI COMMUNITY 04 Ali, Desni’bull’, Diah, Bram, Asta, Rizki, Joel, Yeyen, Nine, Rama, Marfuah, Andi, Suci, Agus.

16. Aldilla Moniqa, yang selama ini telah setia menemani dan memberikan kasih sayang serta motivasi kepada penulis.

17. Para Sahabat, saudara seperjuangan: Ershad ‘poo’, Andi ‘Bembenk’, Zuhdi ‘Uud’ Ferdy ‘dagienk’, Hapit, Jaksa Pedro, Jefry, Indra ‘Mandra’,

18. Tauners: Mawar, Bim-Bim, Ibu Dini, Inang

19. Teman-teman 7, Arief ‘Mbe’, Fajar Siregar, Ibul, Nanda, Yudi.

Pada akhirnya penulis hanya dapat menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah banyak memberikan bantuan kepada penulis dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Bandar Lampung, 14 Mei 2009

Penulis

(14)

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR GAMBAR

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 8

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 8

D. Sistematika Penulisan ... 9

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian-pengertian ... 12

1. Perjanjian Internasional ... 12

2. Pengertian Konservasi... 13

3. Pengertian Perikanan ... 14

4.Pengertian Pengelolaan Perikanan ... 14

5. Pengertian Laut Lepas ... 14

6. Pengertian Organisasi Internasional ... 15

B. Latar Belakang Lahirnya Hukum Laut ... 17

C. Klasifikasi Perjanjian Internasional ... 19

1. Klasifikasi Perjanjian Internasional Dari Segi Pihak yang Mengadakan Perjanjian ... 19

2. Klasifikasi Perjanjian Internasional Ditinjau Dari Jumlah Peserta yang Mengadakan ... 20

3. Klasifikasi Perjanjian Ditinjau Dari Sudut Bentuknya ... 21

(15)

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis dan Tipe Penelitian ... 29

B. Pendekatan Masalah ... 29 A. Pengelolaan dan Konservasi Sumber Daya Perikanan Laut lepas ... 33

1. Tujuan UNIA ... 33

2. Konservasi dan Pengelolaan Sediaan ikan yang Beruaya Terbatas dan Sediaan Ikan yang Beruaya Jauh ... 34

2.1. Penerapan Pendekatan Kehati-hatian ... 35

2.2. Kesesuaian Tindakan Konservasi dan Pengelolaan ... 37

3. Kerjasama Antar Negara ... 38

3.1. Organisasi Pengelolaan Perikanan Laut Lepas ... 39

3.2. Syarat Pembentukan Organisasi dan Pengaturan ... 40

3.3. Fungsi Organisasi dan Pengaturan Pengelolaan Perikanan ... 41

3.4. Organisasi Pengelolaan Perikanan di Sekitar Indonesia ... 42

4. Kerjasama Internasional Dalam Penegakan Hukum ... 53

4.1. Kerjasama Regional dan Sub Regional Dalam Penegakan Hukum ... 54

B. Arti Penting UNIA Bagi Indonesia ... 58

1. Status Perikanan Tuna dan Sediaan Ikan yang Beruaya Terbatas (Straddling Fish Stocks) ... 58

2. Sediaan Ikan yang Beruaya Jauh (Highly Migratory Fish Stocks)... 59

3. Arti Penting UNIA Bagi Indonesia Dari Berbagai Aspek ... 60

3.1. Arti Penting UNIA Ditinjau Dari Aspek Ekonomi ... 61

(16)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 70 B. Saran ... 72

(17)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

(18)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada tahun 1982, tepatnya tanggal 10 Desember 1982 bertempat di Jamaika merupakan hari bersejarah bagi perkembangan Hukum Laut Internasional. Saat itu diadakan Konferensi Hukum Laut PBB ketiga. Konvensi Hukum Laut PBB ketiga ini merupakan puncak karya dari PBB mengenai peraturan kelautan. United Nations Convention on the Law of the Sea 1982 (selanjutnya disebut UNCLOS 1982) telah disepakati oleh kurang lebih 130 negara, termasuk Indonesia. UNCLOS mengatur secara lengkap dan menyeluruh segala hal mengenai laut. Bagi Indonesia, UNCLOS merupakan sebuah pencapaian yang sangat luar biasa, karena usulan Indonesia mengenai negara kepulauan akhirnya disetujui. Indonesia telah meratifikasi UNCLOS dengan Undang-Undang No. 17 Tahun 1985 Tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea, karena itu Indonesia telah terikat kepada setiap peraturan yang tercantum dalam UNCLOS.

Peraturan-peraturan dalam UNCLOS 1982 yang berkenaan dengan laut lepas tercantum dalam Bab VII, dari Pasal 86 hingga Pasal 120. Laut lepas merupakan bagian-bagian laut yang terletak berdampingan dan berada di luar Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) suatu negara,1 maksudnya adalah laut lepas tidak termasuk dalam

1

Muthalib Tahar, Abdul. 2007. Zona-zona Maritim Berdasarkan KHL PBB 1982 dan

(19)

yurisdiksi suatu negara, sehingga tidak ada negara yang dapat memiliki atau menguasainya.

Terdapat beberapa prinsip kebebasan di laut lepas berdasarkan UNCLOS 1982. Prinsip kebebasan di laut lepas meliputi:

a. Kebebasan berlayar (freedom of navigation)

b. Kebebasan melakukan penerbangan (freedom of over flight)

c. Kebebasan meletakkan kabel dan pipa bawah laut (freedom to lay submarine cabels and pipelines)

d. Kebebasan mendirikan pulau buatan dan instalasi lain yang berdasarkan izin hukum internasional (freedom to construct artificial island and other installations permitted under international law)

e. Kebebasan melakukan penangkapan ikan (freedom of fishing)

f. Kebebasan untuk melakukan riset ilmiah kelautan (freedom of scientific research).2

Dari enam prinsip kebebasan di laut lepas tersebut, salah satunya adalah prinsip kebebasan melakukan penangkapan ikan. Kebebasan-kebebasan tersebut bukan merupakan sebuah kebebasan yang memberikan kekuasaan bagi pihak manapun, tetapi kebebasan diberikan dengan konsep perlindungan, sehingga kegiatan yang dilakukan di wilayah laut lepas tidak sampai merusak perairan dan sumber daya alam hayatinya.3

2

Pasal 87 UNCLOS 1982

3

(20)

Sumber daya perikanan merupakan salah satu sumber daya yang memiliki potensi yang besar. Salah satu wilayah laut yang termasuk laut lepas adalah Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Menurut data Departemen Kelautan dan Perikanan tahun 2001, kawasan Samudera Hindia memiliki potensi sebesar 1,078 juta ton/tahun, Laut Cina Selatan 1,057 juta ton/tahun dan Samudera Pasifik 632,72 juta ton/tahun.4 Besarnya potensi sumber daya perikanan di laut lepas menimbulkan adanya persaingan negara-negara yang berusaha untuk menguasainya.

Guna mencegah terjadinya kepunahan sumber daya perikanan di laut lepas, diperlukan adanya peraturan mengenai pengelolaan dan konservasi. UNCLOS 1982 mengatur mengenai sumber kekayaan hayati di laut lepas dalam Bagian 2 Bab VII tentang Laut Lepas. Bagian 2 Bab VII mengatur mengenai Hak untuk Menangkap Ikan di Laut Lepas, Kewajiban Negara untuk Mengadakan Tindakan Bertalian Dengan Warga negaranya untuk Konservasi Sumber Kekayaan Hayati di Laut Lepas, Kerjasama Negara-negara dalam Konservasi dan pengelolaan Sumber Kekayaan Hayati, Konservasi Sumber Kekayaan Hayati di Laut Lepas, dan Mamalia Laut.

Pengaturan mengenai pengelolaan dan konservasi sumber daya perikanan di laut lepas yang terdapat dalam UNCLOS 1982 memerlukan ketentuan internasional lain yang bersifat khusus, karena itu masih perlu diadakan konvensi selanjutnya sebagai peraturan pelaksanaannya. Konvensi yang mengatur lebih rinci tentang pengelolaan sumber daya perikanan di laut lepas adalah :

4

(21)

a. Agreement to Promote Compliance with International Conservation and Management Measures by Fishing Vessels on the High Seas 1993. (Persetujuan Untuk Memajukan Penaatan Terhadap Tindakan Konservasi Dan Pengelolaan Secara Internasional Oleh Kapal-Kapal Ikan Di Laut Lepas, 1993)

b. Code of Conduct for Responsible Fisheries. (Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab)

c. Agreement for the Implementation of the Provisions of the United Nations Convention on the Law of the Sea of 10 December 1982 relating to the Conservation and Management of Straddling Fish Stocks and Highly Migratory Fish Stocks. (Persetujuan untuk Melaksanakan Ketentuan-Ketentuan Dari Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut Tanggal 10 Desember 1982 yang Berkaitan Dengan Konservasi dan Pengelolaan Sediaan Ikan yang Beruaya Terbatas dan Sediaan Ikan yang Beruaya Jauh).

(22)

sebagian besar dunia, yang dianggap sebagai penyebab berkurangnya sediaan jenis-jenis ikan yang bernilai komersial tinggi.

Indonesia sebagai negara yang secara geografis terletak diantara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia merupakan jalur perlintasan khususnya bagi jenis-jenis ikan yang beruaya jauh, dengan demikian Indonesia memiliki potensi ekonomi yang besar untuk dikembangkan.

Apabila Indonesia telah meratifikasi UNIA, maka Indonesia akan mempunyai hak dan kewajiban untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan konservasi dan pengelolaan sediaan ikan yang beruaya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh sebagai pelaksanaan dari Pasal 63 tentang persediaan jenis ikan yang terdapat di Zona Ekonomi Eksklusif dua negara pantai atau lebih atau baik di dalam Zona Ekonomi Eksklusif maupun di dalam suatu daerah di luar serta berdekatan dengannya, dan Pasal 64 UNCLOS 1982 tentang persediaan ikan yang bermigrasi jauh.5

Berdasarkan Pasal 38 UNIA, maka setiap negara yang akan menjadi Negara Pihak harus melakukan pengesahan (ratifikasi). Perjanjian ini telah berlaku efektif pada tanggal 11 Desember 2001 setelah negara ke-30 yaitu Malta mendepositkan instrumen ratifikasinya pada tanggal 11 November 2001.6

Berdasarkan ketentuan Pasal 8 UNIA tentang kerjasama untuk pengelolaan dan konservasi, konservasi dan pengelolaan jenis-jenis ikan yang beruaya terbatas maupun jenis-jenis ikan yang beruaya jauh dimandatkan untuk diatur lebih lanjut

5

Naskah Akademis Ratifikasi UNIA 1995

6

(23)

melalui organisasi pengelolaan perikanan regional (Regional Fisheries Management Organizations, selanjutnya disingkat RFMOs). Organisasi ini juga merupakan interpretasi dari ketentuan Pasal 118 UNCLOS 1982.

RFMOs merupakan organisasi internasional yang mempunyai tujuan untuk menjamin konservasi dan meningkatkan tujuan pemanfaatan optimal jenis ikan yang demikian di seluruh kawasan. Anggota dari organisasi ini adalah negara pantai dan negara penangkap ikan jarak jauh yang warga negaranya memanfaatkan jenis ikan yang bermigrasi jauh (highly migratory species) di kawasan tersebut.

Salah satu syarat untuk menjadi anggota beberapa RFMOs, setiap negara terlebih dahulu harus meratifikasi UNIA. Sampai saat ini Indonesia belum meratifikasi perjanjian tersebut, sehingga Indonesia belum menjadi anggota dan di beberapa RFMOs, Indonesia baru menjadi negara peninjau (observer). Posisi Indonesia yang hanya sebagai negara peninjau menyebabkan jatah penangkapan ikan-ikan tertentu di laut lepas menjadi terbatas, padahal terdapat beberapa ikan ekonomis yang berkembang biak di wilayah Indonesia.

(24)

Peraturan mengenai sumber daya perikanan yang dimiliki Indonesia saat ini adalah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118). Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 merupakan rujukan dari diratifikasinya UNCLOS 1982 dengan Undang-Undang No. 17 Tahun 1985 Tentang Pengesahan United Nations Convention on The Law of the Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut). Sebagai konsekuensi hukum diratifikasinya UNCLOS 1982, Indonesia memiliki hak untuk melakukan pemanfaatan, konservasi, dan pengelolaan sumber daya ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dan laut lepas yang dilaksanakan berdasarkan persyaratan atau standar internasional yang berlaku.7

Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan, tujuan pengelolaan perikanan antara lain adalah menjamin kelestarian sumber daya ikan, lahan pembudidayaan ikan, dan tata ruang.8 Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004, ketentuan mengenai pengelolaan perikanan diatur dalam Bab IV tentang pengelolaan perikanan. Mengenai kerjasama internasional pengelolaan sumber daya perikanan terdapat dalam Pasal 10, antara lain kewajiban negara dalam mempublikasikan secara berkala hal-hal yang berkenaan dengan langkah konservasi dan pengelolaan sumber daya ikan, dan juga keikutsertaan pemerintah dalam keanggotaan organisasi atau badan pengelolaan perikanan regional maupun internasional.

7

Penjelasan Ketentuan Umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan.

8

(25)

Berdasarkan uraian di atas, penulis mencoba melakukan penelitian yang akan dituangkan dalam bentuk skripsi dengan judul Arti Penting United Nations Implementing Agreement 1995 (UNIA) Bagi Indonesia Dalam Kaitannya Dengan Konservasi dan Pengelolaan Sumber Daya Perikanan di Laut Lepas.

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup 1. Permasalahan

Dari uraian latar belakang permasalahan diatas, yang menjadi permasalahan dalam penulisan ini adalah :

1. Bagaimana pengaturan tentang konservasi perikanan laut lepas menurut United Nations Implementing Agreement (UNIA)?

2. Bagaimana arti penting UNIA bagi Indonesia dalam kaitannya dengan konservasi dan pengelolaan sumber daya perikanan di laut lepas?

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian ini secara substantif mengenai perlindungan sumber daya perikanan di laut lepas yang diatur dalam United Nations Implementing Agreement (UNIA) dan arti penting UNIA bagi Indonesia.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

(26)

2. Untuk mengetahui dan menjelaskan arti penting UNIA bagi Indonesia dengan aspek ekonomi, hukum, aspek hukum, dan aspek konservasi dan pengelolaan sebagai indikatornya.

2. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini mempunyai 2 (dua) aspek kegunaan yaitu kegunaan praktis dan kegunaan teoritis.

1. Kegunaan Praktis

a) Sebagai salah satu sarana untuk memperluas pengetahuan bagi peneliti di bidang Hukum Internasional, khususnya mengenai sejauh mana UNIA mengatur perlindungan sumber daya perikanan laut lepas

b) Sebagai upaya untuk pelatihan dan pengembangan wawasan keilmuan penulis di bidang Hukum Internasional.

2. Kegunaan Teoritis

a) Sebagai bahan pemikiran mahasiswa bahwa ilmu hukum mempunyai bidang penerapan yang luas tidak hanya terbatas pada satu bidang saja

b) Penelitian ini sebagai sumber informasi dan bacaan dari berbagai pihak yang memerlukan.

D. Sistematika Penulisan

(27)

I. PENDAHULUAN

Bab Pendahuluan merupakan sebuah pengantar awal untuk memasuki isi dari penelitian ini. Bab ini berisikan latar belakang, permasalahan, tujuan dan kegunaan penelitian serta sistematika penulisan skripsi sebagai arahan pada penulisan. Diharapkan, bab pendahuluan ini dapat memberikan gambaran umum mengenai ketentuan konservasi sumber daya perikanan di laut lepas yang terdapat dalam hukum UNIA.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini merupakan pemahaman kepada pengertian umum tentang pokok-pokok bahasan dalam hal ini mengenai ketentuan konservasi sumber daya perikanan di laut lepas yang menjadi dasar penelitian ini.

III. METODE PENELITIAN

Bab ini menguraikan metode-metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini yaitu tentang langkah-langkah yang digunakan penulis dalam melakukan pendekatan masalah, yaitu dalam hal memperoleh dan mengklasifikan sumber dan jenis data, prosedur pengumpulan dan pengolahan data. Dari proses pengolahan data kemudian diuraikan dengan cara melakukan analisis data.

IV. PEMBAHASAN

(28)

V. PENUTUP

(29)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian-pengertian 1. Perjanjian Internasional

Perjanjian internasional menurut Mochtar Kusumaatmadja adalah perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat-akibat hukum tertentu.1

Sedangkan menurut ketentuan Pasal 1 huruf (a) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, yang dimaksud perjanjian internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam Hukum Internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik.2

Pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan perjanjian internasional telah terjawab dengan adanya Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional. Walaupun perjanjian ini tidak berlaku surut namun dapat diterapkan pada perjanjian sebelumnya yang telah dibuat, karena konvensi ini merupakan hasil kerja Komisi Hukum Internasional yang mantap.

1

Kusumaatmadja, Mochtar. Pengantar Hukum Internasional.Cet. Keempat 1982

2

(30)

Komisi Hukum Internasional telah menyelesaikan rancangan konvensi hukum perjanjian internasional antara negara-negara dan organisasi internasional atau antara dua organisasi internasional atau lebih. Rancangan konvensi mengambil contoh model Konvensi Wina bagi hukum perjanjian, sekalipun belum ada konferensi diplomatik yang telah diadakan untuk mempertimbangkan dan mengambil rancangan itu sebagai suatu konvensi.

2. Pengertian Konservasi

Konservasi sumber daya ikan menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan adalah semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumber daya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumber daya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati.3

Menurut Compliance Agreement, tindakan pengelolaan dan konservasi internasional adalah tindakan untuk melindungi dan mengelola satu atau beberapa spesies sumber kekayaan hayati laut yang disetujui dan diterapkan sesuai dengan peraturan terkait dengan hukum internasional sebagaimana tercantum dalam UNCLOS 1982.4

3

UU No. 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan

4

(31)

3. Pengertian Perikanan

Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkugannya mulai dari pra produksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan.5

4. Pengertian Pengelolaan Perikanan

Pengelolaan perikanan adalah semua upaya termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumber daya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumber daya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati.6

Tindakan konservasi dan pengelolaan berarti tindakan untuk melindungi dan mengelola satu atau beberapa spesies sumber daya hayati yang disetujui dan diterapkan konsisten dengan ketentuan yang terkait dari hukum internasional sebagaimana tercantum dalam UNIA. 7

5. Pengertian Laut Lepas

Laut lepas adalah semua bagian dari laut yang tidak termasuk dalam zona ekonomi eksklusif, dalam laut teritorial atau dalam perairan pedalaman suatu negara atau dalam perairan kepulauan suatu negara kepulauan. Hal ini tidak

(32)

mengakibatkan pengurangan apapun terhadap kebebasan yang dinikmati semua negara di Zona Ekonomi Eksklusif.8

Sedangkan menurut UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, laut lepas adalah bagian dari laut yang tidak termasuk dalam Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI), laut territorial Indonesia, perairan kepulauan Indonesia, dan perairan pedalaman Indonesia.9 Secara simple laut lepas didefinisikan sebagai “bagian laut yang terletak di luar dan berdampingan dengan laut teritorial. 10

Daerah ini tidak dapat di klain kedaulatannya oleh negara manapun. Laut lepas berada di luar batas 200 mil laut Zona Ekonomi Eksklusif. Laut ini terbuka bagi semua negara dengan tetap memperhatikan dan mempertimbangkan kepentingan-kepentingan negara lain.

6. Pengertian Organisasi Internasional

Sampai saat ini tidak ada pengertian yang baku tentang organisasi internasional. Bowett D.W. mengatakan :

“… dan tidak ada definisi organisasi internasional yang diterima secara umum. Pada umumnya, bagaimanapun juga organisasi ini adalah organisasi permanen (misalnya, di bidang postel atau administrasi kereta api), yang didirikan atas dasar perjanjian internasional, yang kebanyakan merupakan perjanjian multilateral daripada perjanjian bilateral dan dengan tujuan tertentu”.11

Sedangkan menurut Boer Mauna, organisasi internasional adalah suatu perhimpunan negara-negara yang merdeka dan berdaulat yang bertujuan untuk mencapai kepentingan bersama melalui organ-organ dari perhimpunan itu

(33)

sendiri.12 Walaupun tidak mempunyai pengertian yang pasti, organisasi internasional mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :

a) Mempunyai organ permanen.

b) Obyeknya merupakan kepentingan semua orang / negara, bukan untuk mencari keuntungan.

c) Keanggotaannya terbuka untuk setiap individu atau kelompok dari setiap negara.13

Organisasi internasional juga dapat diklasifikasikan yang dimaksudkan untuk mengetahui fungsi, tujuan serta ruang lingkup aktivitas lembaga tersebut. Berdasarkan fungsi, organisasi internasional dapat dibagi menjadi fungsi politis, fungsi administratif, fungsi yudisial, fungsi ekonomis, fungsi sosial dan fungsi legislatif. Sedangkan berdasarkan ruang lingkup; organisasi global atau universal dan organisasi regional.

Menurut Bowett D.W., organisasi internasional dapat diklasifikasikan berdasarkan kompetensinya menjadi 2 yaitu, organisasi internasional yang mempunyai kompetensi universal dan organisasi internasional yang kompetensinya terbatas. Sedangkan menurut Schwarzenberger, organisasi internasional mempunyai lima fungsi.14

5 fungsi organisasi menurut Schwarzenberger, yaitu :

1. Lamanya yang diharapkan, ad-hoc, professional dan lembaga yang permanen.

2. Sifat kekuasaannya : judicial, conciliatory, governmental, administrative, co-odative dan lembaga legislative. Jika lemabag memberikan bantuan secara menyeluruh atau sebagian dari kekuasaannya, maka alembaga tersebut adalah komprehensif, sebaliknya apabila tidak, disebut non- komprehensif.

3. Sifat homogen atau heterogen sasarannya, yakni lembaga memiliki satu atau beberapa maksud dan tujuan sejalan dengan sifat sesungguhya, juga tujuannya adalah politis dan fungsional yang disebutkan dalam ekonomi, social serta kemnusiaan dan kelembagaan.

4. Bidang yurisdiksinya :

a. Personal scope (ratione personae) menyangkut universal, universalist dan sectional. Terhadap lembaga yang bertujuan hidup bersama-sama, tetapi tidak cukup mencapai obyeknya, keadaan Negara ini diistilahkan dengan universalist. Sedangkan apabila Negara-negara anggota termaksud diuji kebenaran lembaga-lembaga terbatas tersebut saling berlawanan jajarannya, maka mereka sectional group.

b. Geographical scope ( ratione loci ) berupa : global, regional dan local

c. Substantive scope ( ratione materiae ), berbentuk general dan limited.

d. Temporal scope ( rationae temporis ), dimana yurisdiksi lembaga pengadilan internasional fungsinya terbatas pada perselisihan yang timbul setelah diadakan perjanjian tertentu.

(34)

UNCLOS 1982 merumuskan Organisasi Internasional sebagai suatu organisasi antar pemerintah yang dibentuk oleh negara-negara yang kepadanya telah dialihkan oleh negara-negara anggotanya kompetensi mengenai hal-hal yang di atur oleh Konvensi ini, termasuk kompetensi untuk membuat perjanjian yang berkenaan dengan hal-hal tersebut.15

Organisasi internasional yang bergerak dalam pengelolaan perikanan di laut lepas disebut Regional Fisheries Management Organization (RFMOs). RFMOs merupakan organisasi internasional yang bersifat sub regional, regional dan internasional yang melakukan pengelolaan perikanan di laut lepas. Organisasi ini merupakan interpretasi dari ketentuan Pasal 118 UNCLOS 1982.

RFMOs merupakan organisasi internasional yang mempunyai tujuan untuk menjamin konservasi dan meningkatkan tujuan pemanfaatan optimal jenis ikan yang demikian di seluruh kawasan. Anggota dari organisasi ini adalah negara pantai dan negara penangkap ikan jarak jauh yang warga negaranya memanfaatkan jenis ikan yang bermigrasi jauh (highly migratory species) di kawasan tersebut.

B. Latar Belakang Lahirnya Hukum Laut

Bumi yang dihuni oleh umat manusia 70 % terdiri atas air atau lautan. Air merupakan sebuah komponen bumi yang sangat penting. Manusia membutuhkan air, baik secara langsung maupun tidak langsung. Kebutuhan terhadap air secara langsung contohnya adalah untuk keperluan sehari-hari, seperti mandi, mencuci, minum dan lain-lain. Sedangkan kebutuhan tidak langsungnya adalah kebutuhan

(35)

manusia terhadap kekayaan sumber daya alam yang terdapat di dalam air, seperti ikan.

Kekayaan alam yang terkandung dalam air, dalam hal ini adalah laut, sangat banyak, baik itu kekayaan alam hayati maupun mineral. Karena itu wajar saja apabila manusia, dalam hal ini negara, berusaha untuk mengeksploitasinya sedemikian rupa bahkan menguasainya. Pada abad ke-16 timbul dua pemikiran mengenai siapa yang berhak memiliki laut. Pertama adalah Mazhab Res Communis yang dicetuskan Hugo Grotius pada tahun 1609. Mazhab ini beranggapan bahwa laut merupakan milik bersama seluruh umat manusia, sehingga tidak ada satupun negara yang berhak untuk menguasainya. Pada saat itu kegunaan laut hanya untuk pelayaran dan penangkapan ikan. Pelopornya adalah Kekaisaran Romawi. Yang kedua adalah Mazhab Res Nullius yang beranggapan bahwa laut dapat dimiliki apabila yang berhasrat untuk memilikinya bisa menguasai dengan mendudukinya. Seiring dengan perkembangan zaman, pada akhirnya dapat ditemukan sebuah titik temu diantara kedua mazhab tersebut, yaitu bahwa pada dasarnya laut merupakan milik bersama seluruh umat manusia. Walaupun begitu, negara masih mempunyai wilayah perairan dengan batas-batas yang telah ditentukan.

(36)

tujuh belas) negara peserta termasuk Indonesia dan dua satuan bukan negara. Dibandingkan dengan Konvensi Jenewa tahun 1958 tentang Hukum Laut, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut tersebut mengatur rezim-rezim hukum laut secara lengkap dan menyeluruh.

C. Klasifikasi Perjanjian Internasional

Secara formal, perjanjian internasional tidak dapat digolongkan atau diklasifikasikan. Walaupun begitu, beberapa sarjana berpendapat bahwa perjanjian internasional dapat diklasifikasikan dalam beberapa macam yang ditinjau dari beberapa segi atau beberapa hal sebagai berikut :

1) Subyek (pihak-pihak) yang mengadakan perjanjian; 2) Jumlah pihak yang mengadakan perjanjian;

3) Corak atau bentuk dari perjanjian itu sendiri; 4) Proses atau tahapan pembentukan perjanjian; 5) Sifat pelaksanaan perjanjian itu sendiri; dan

6) Fungsi dari perjanjian internasional itu sendiri dalam pembentukan hukum.

Berikut adalah penjelasan secara singkat dari masing-masing jenis klasifikasi perjanjian tersebut secara berurutan.16

1. Klasifikasi Perjanjian Internasional Dari Segi Pihak yang Mengadakan Perjanjian

Berdasarkan pihak-pihak yang mengadakan perjanjian maka perjanjian internasional dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

16

Syahmin, A.K, S.H. 1985. Hukum Perjanjian Internasional (Menurut Konvensi Wina

(37)

a) Perjanjian antar negara. Perjanjian ini adalah perjanjian antar negara dengan negara lainnya yang didasari atas kesetaraan bersama.

b) Perjanjian antara negara dengan subyek hukum internasional lainnya. Perjanjian ini misalnya dengan organisasi internasional, atau dengan Kursi Suci (Vatikan) yang merupakan subyek hukum internasional dalam arti yang terbatas.

c) Perjanjian antara subyek hukum internasional lain selain negara satu sama lainnya. Perjanjian khususnya antara satu organisasi internasional lainnya. Misalnya perjanjian internasional yang diadakan antara negara-negara yang tergabung di dalam sebuah organisasi internasional dengan organisasi internasional lainnya.

2. Klasifikasi Perjanjian Internasional Ditinjau dari Jumlah Peserta yang Mengadakan

Perjanjian ini dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu :

(38)

b) Perjanjian Multilateral adalah perjanjian yang diadakan oleh banyak pihak (negara), yang pada umumnya merupakan perjanjian terbuka (open verdrag). Hal-hal yang diatur didalamnya adalah hal-hal yang lazim menyangkut kepentingan umum yang tidak hanya menyangkut kepentingan pihak-pihak yang mengadakan perjanjian itu saja, melainkan menyangkut pula kepentingan lain yang bukan peserta perjanjian. Perjanjian multilateral inilah yang umumnya dikategorikan “Law Making Treaties” atau perjanjian yang membentuk hukum, bersama-sama dengan “treaty contract” termasuk dalam klasifikasi ke-6 yang mempunyai hubungan erat dengan kedudukan perjanjian sebagai sumber hukum internasional.

3. Klasifikasi Perjanjian Ditinjau dari Sudut Bentuknya

Penggolongan perjanjian berdasarkan atas corak atau bentuknya, dapat dibedakan atas tiga macam.

a) Perjanjian antar kepala negara (head of state form). Pihak peserta dari perjanjian ini lazimnya disebut “High Contracting State” (pihak peserta Agung). Dalam praktek, pihak yang mewakili negara dalam pembuatan perjanjian itu dapat pula diwakilkan/dikuasakan kepada menteri luar negeri atau duta besar sebagai pejabat “kuasa penuh” (full powers/plenipotentiaries).

(39)

ditunjuk menteri luar negeri atau duta besar yang diakreditasikan pada negara dimana perjanjian itu diadakan. Pihak peserta perjanjian umumnya tetap disebut “contracting state” walaupun para pesertanya dan perjanjian itu sendiri dinamakan perjanjian antar pemerintah (inter-government form).

c) Perjanjian antar negara (inter state form). Di dalam perjanjian ini, pihak peserta perjanjian sesuai dengan namanya, disebut negara. Sebagai pejabat yang berkuasa penuh mewakilinya adalah dapat pula ditunjuk menteri luar negeri atau duta besar.

4. Klasifikasi Perjanjian Berdasarkan Tahap Pembentukannya

Penggolongan perjanjian berdasarkan atas tahap pembentukannya dapat dibedakan atas 2 macam, yaitu :

a) Perjanjian yang diadakan menurut tiga tahap pembentukan, yakni perundingan, penandatanganan dan ratifikasi yang lazimnya diadakan untuk hal-hal yang dianggap badan perwakilan rakyat. Menurut Mochtar Kusumaatmadja, untuk perjanjian ini dapat digunakan kata “perjanjian internasional atau traktat”.

(40)

D. Peranan Hukum Internasional dalam Pembentukan Hukum Nasional

Dalam hubungan antara hukum internasional dengan hukum nasional terdapat dua teori utama yang dikenal, yaitu monisme dan dualisme.

1 Monisme

Teori monisme didasarkan pada pemikiran bahwa satu kesatuan dari seluruh hukum yang mengatur hidup manusia.17 Penulis-penulis yang mendukung konstruksi monistik sebagian besar berusaha menemukan dasar pandangannya pada analisis yang benar-benar ilmiah mengenai struktur intern dari sistem-sistem hukum tersebut.

Pengikut-pengikut teori monisme menganggap semua hukum sebagai ketentuan tunggal yang tersusun dari kaidah-kaidah hukum yang mengikat, baik berupa kaidah yang mengikat negara-negara, individu-individu, atau kesatuan lain yang bukan negara. Menurut pendapat mereka, ilmu pengetahuan hukum merupakan kesatuan bidang pengetahuan dan point yang menentukan, karenanya adalah apakah hukum internasional itu merupakan hukum yang sebenarnya atau bukan.

Perangkat hukum nasional dan hukum internasional mempunyai hubungan yang hierarkis. Hubungan hierarkis dalam teori monisme melahirkan dua pendapat berbeda dalam menentukan hukum mana yang lebih utama antara hukum nasional dan hukum internasional. Ada pihak yang menganggap hukum nasional lebih utama dari hukum internasional. Paham ini dalam teori monisme disebut sebagai paham monisme dengan primat hukum nasional. Paham lain beranggapan hukum

17

(41)

internasional lebih tinggi dari hukum nasional. Paham ini disebut dengan paham monisme dengan primat hukum internasional.

Menurut paham monisme dengan primat hukum nasional, hukum internasional merupakan perpanjangan tangan dari hukum nasional, atau dapat dikatakan bahwa hukum internasional hanya sebagai hukum nasional untuk urusan luar negeri. Paham ini melihat bahwa kesatuan hukum nasional dan hukum internasional pada hakikatnya adalah hukum internasional bersumber dari hukum nasional. Alasan yang dikemukakan adalah sebagai berikut:

a) tidak adanya suatu organisasi di atas negara-negara yang mengatur kehidupan negara-negara;

b) dasar hukum internasional dapat mengatur hubungan antar negara terletak pada wewenang negara untuk mengadakan perjanjian internasional yang berasal dari kewenangan yang diberikan oleh konstitusi masing-masing negara.18

Monisme dengan primat hukum internasional berangapan bahwa hukum nasional bersumber dari hukum internasional. Menurut paham ini hukum nasional tunduk pada hukum internasional yang pada hakikatnya berkekuatan mengikat berdasarkan pada pendelegasian wewenang dari hukum internasional.19

2. Dualisme

Penganut aliran dualistik melihat hukum nasional dan hukum internasional sebagai tidak saling tergantung satu dengan lainnya. Kedua sistem itu mengatakan

18

Mochtar Kusumaatmadja, op cit, hal 60-61

19

(42)

pokok permasalahan yang berbeda. Hukum internasional mengatur hubungan antara negara yang berdaulat sementara hukum nasional mengatur urusan dalam negeri negara bersangkutan, contohnya hubungan antar eksekutif dengan warga negaranya dan hubungan antar warga negara dengan yang lainnya secara individual. Sejalan dengan itu, aliran dualis berpendapat bahwa kedua sistem saling tolak menolak satu sama lain dan tidak bisa mempunyai kontak satu sama lain. Jika hukum internasional diterapkan dalam negara, hanyalah karena hukum internasional telah secara jelas dimasukkan ke dalam hukum nasional.

Aliran dualisme bersumber pada teori bahwa daya ikat hukum internasional bersumber pada kemauan negara, hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua sistem atau perangkat hukum yang terpisah.20 Terdapat beberapa alasan yang dikemukakan oleh aliran dualisme, antara lain:

a) sumber hukum, paham ini beranggapan bahwa hukum nasional dan hukum internasional mempunyai sumber hukum yang berbeda, hukum nasional bersumber pada kemauan negara, sedangkan hukum internasional bersumber pada kemauan bersama dari negara-negara sebagai masyarakat hukum internasional

b) subjek hukum internasional, subjek hukum nasional adalah orang baik dalam hukum perdata, sedangkan pada hukum internasional adalah negara; c) struktur hukum, lembaga yang diperlukan untuk melaksanakan hukum pada realitasnya terdapat mahkamah dan organ eksekutif yang hanya terdapat dalam hukum nasional. Hal yang sama tidak terdapat dalam hukum internasional

20

(43)

d) kenyataan, pada dasarnya keabsahan dan daya laku hukum nasional tidak dipengaruhi oleh kenyataan seperti hukum nasional bertentangan dengan hukum internasional. Dengan demikian hukum nasional tetap berlaku secara efektif walaupun bertentangan dengan hukum internasional.21

3. Transformasi dan Adopsi Khusus

Uraian di atas tampaknya belum lengkap jika tanpa menyinggung secara ringkas beberapa teori yang berkenaan dengan hukum internasional di dalam lingkungan hukum nasional.

Kaum positivisme telah mengemukakan pandangan bahwa kaidah-kaidah hukum internasional tidak dapat diberlakukan secara langsung di dalam lingkungan hukum nasional oleh pengadilan nasional atau oleh siapapun, untuk memberlakukan kaidah tersebut harus menjalani suatu proses adopsi khusus ke dalam hukum nasional. Menurut teori kaum positivisme, hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua sistem yang sama sekali terpisah dan berbeda secara struktural, sistem yang pertama tidak dapat menyinggung sistem hukum nasional kecuali sistem hukum nasional adalah sistem hukum yang sepenuhnya logis, memperkenankan perangkat konstitusinya dipakai untuk tujuan tersebut. Berkaitan dengan kaidah-kaidah traktat, dikatakan bahwa harus ada suatu transformasi traktat yang bersangkutan, dan transformasi traktat ke dalam hukum nasional ini, yang bukan hanya menjadi syarat formal, melainkan merupakan syarat substantif, dengan sendirinya mengesahkan perluasan berlakunya kaidah yang dimuat dalam traktat-traktat terhadap individu-individu.

21

(44)

Teori-teori transformasi bersandar pada sifat konsensual hukum yang berbeda dengan sifat non-konsensual dari hukum nasional. Secara khusus teori transformasi yang didasarkan atas suatu anggapan adanya perbedaan antara traktat di satu pihak dan undang-undang atau peraturan-peraturan nasional di pihak lain menurut teori ini ada perbedaan antara traktat yang memiliki sifat janji-janji (promises) dan perundang-undangan nasional dengan sifat perintah (commands). Akibat dari perbedaan mendasar ini adalah diperlukannya suatu transformasi dari satu tipe ke tipe yang lain baik secara formal maupun secara substantif. Penentang teori transformasi berpendapat bahwa hal perbedaan tersebut tampak dibuat-buat, mereka berpendapat bahwa apabila diperhatikan fungsi sebenarnya dari ketentuan-ketentuan dalam traktat atau undang-undang maka akan tampak bahwa tidak ada satupun yang terlalu melebih-lebihkan “janji-janji” daripada “perintah-perintah”. Tujuan dari traktat dan undang-undang yang menjadi landasan umum adalah untuk menetapkan bahwa keadaan tertentu dari fakta akan menimbulkan akibat hukum tertentu, perbedaan antara janji dan perintah memang relevan dengan bentuk dan prosedur, akan tetapi tidak pada karakter hukum yang sebenarnya dari instrumen ini. Oleh karena itu tidak benar menganggap bahwa transformasi dari sistem yang satu ke sistem yang lain merupakan hal yang penting secara material.

(45)
(46)

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis dan Tipe Penelitian

Penelitian ini termasuk penelitian normatif yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara mempelajari bahan-bahan pustaka berupa peraturan perundang-undangan, buku-buku, atau literatur hukum serta bahan-bahan lain yang sesuai dengan pembahasan dalam penulisan skripsi ini.

B. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah merupakan proses pemecahan atau penyelesaian masalah melalui tahap-tahap yang telah ditentukan, sehingga mencapai tujuan penelitian.1

Pendekatan masalah dalam penelitian ini dilakukan secara yuridis teoritis, yaitu kajian terhadap peraturan perundang-undangan beserta peraturan-peraturan lainnya yang memiliki keterkaitan dengan permasalahan yang akan diteliti dalam skripsi ini.

C. Data dan Sumber Data

Data adalah informasi atau keterangan-keterangan yang diperlukan dalam penelitian ini. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder,

1

(47)

yaitu data yang bersumber dari data kepustakaan. Data sekunder terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.

1. Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum mengikat yang bersumber dari peraturan perundang-undangan, terdiri dari :

a) United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982

b) Agreement for the Implementation of the Provisions of the United Nations Convention on the Law of the Sea of 10 December 1982 relating to the Conservation and Management of Straddling Fish Stocks and Highly Migratory Fish Stocks 1995

c) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan

2. Bahan hukum sekunder adalah bahan-bahan yang memberikan penjelasan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer, misalnya artikel-artikel ilmiah, buku-buku, hasil penelitian hukum atau bahan-bahan yang berhubungan dengan pembahasan mengenai pengelolaan sumber daya perikanan di laut lepas.

(48)

D. Pengumpulan Data

Pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan studi pustaka, yaitu menelaah literatur-literatur yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini, perjanjian-perjanjian internasional, dan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pengelolaan perikanan laut lepas. Kegiatan studi pustaka dilakukan dengan tahap-tahap sebagai berikut:

1) Menentukan sumber data sekunder berupa peraturan perundang-undangan, dokumen hukum, catatan hukum, dan literatur hukum.

2) Identifikasi data sekunder yang diperlukan yaitu proses mencari dan mengenal bahan hukum berupa ketentuan pasal perundang-undangan, nama dokumen hukum, nama catatan hukum dan judul, nama pengarang, tahun terbit dan halaman karya tulis bidang hukum.

3) Inventarisasi data yang relevan dengan rumusan masalah dengan cara mengutip atau pencatatan.

4) Pengkajian data yang sudah terkumpul guna menentukan relevansinya dengan kebutuhan dan rumusan masalah.

E. Pengolahan Data

Setelah data-data terkumpul, maka dilakukan pengolahan data yang dilakukan dengan cara:

(49)

2) Penandaan data yaitu memberikan catatan atau tanda yang menyatakan jenis sumber data seperti buku, literatur, perundang-undangan atau dokumen.

3) Rekonstruksi data yaitu menyusun ulang data secara teratur, berurutan, dan logis sehingga mudah dipahami dan diinterpretasikan.

4) Sistematisasi data yaitu menempatkan data menurut kerangka sistematika bahasan berdasarkan urutan masalah.

F. Analisis Data

(50)

IV. PEMBAHASAN

A. Pengelolaan dan Konservasi Sumber Daya Perikanan Laut Lepas

Pada pembahasan ini akan diuraikan konservasi dan pengelolaan sumber daya perikanan laut lepas menurut United Nations Implementing Agreement (selanjutnya disingkat UNIA).

1. Tujuan UNIA

Tujuan dari UNIA berdasarkan Pasal 2 adalah untuk menjamin konservasi jangka panjang dan penggunaan berkelanjutan atas sediaan ikan yang beruaya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh melalui pelaksanaan yang efektif atas ketentuan-ketentuan yang terkait dari UNCLOS 1982.

Perjanjian ini menggalakkan ketertiban di laut melalui konservasi dan pengelolaan sumber daya alam di laut lepas secara efektif, antara lain dengan secara rinci menetapkan standar internasional minimum untuk konservasi dan pengelolaan jenis-jenis ikan yang berada di ZEE dua negara (beruaya terbatas) serta jenis ikan yang bermigrasi jauh.1

1

Kusumaatmadja, Mochtar & Etty R. Agoes. Pengantar Hukum Internasional. Alumni, 2003, hal

(51)

2. Konservasi dan Pengelolaan Sediaan Ikan Yang Beruaya Terbatas dan Sediaan Ikan Yang Beruaya Jauh

Adapun prinsip-prinsip umum yang digunakan dalam konservasi dan pengelolaan sumber daya perikanan laut lepas menurut Pasal 5 adalah:

a) Mengambil tindakan-tindakan untuk menjamin kelestarian jangka panjang sediaan ikan yang beruaya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh dan memajukan tujuan penggunaan optimum mereka;

b) Menjamin bahwa tindakan-tindakan tersebut didasarkan pada bukti ilmiah terbaik yang ada dan dirancang untuk memelihara atau memulihkan sediaan ikan pada tingkat yang dapat menjamin hasil maksimum yang lestari, sebagaimana ditentukan oleh faktor ekonomi dan lingkungan yang terkait termasuk kebutuhan khusus negara berkembang dan dengan memperhatikan pola penangkapan ikan, saling ketergantungan sediaan jenis ikan dan standar minimum internasional yang dianjurkan secara umum, baik di tingkat sub regional, regional, maupun global;

c) Menerapkan pendekatan kehati-hatian sesuai dengan Pasal 6;

d) Mengukur dampak dari penangkapan ikan, kegiatan manusia lainnya dan faktor-faktor lingkungan terhadap sediaan target dan spesies yang termasuk dalam ekosistem yang sama atau berhubungan dengan atau tergantung pada sediaan target tersebut;

e) Mengambil, apabila diperlukan, tindakan konservasi dan pengelolaan untuk spesies dalam ekosistem yang sama atau berhubungan dengan atau tergantung pada sediaan target tersebut, dengan tujuan untuk memelihara atau memulihkan populasi dari spesies tersebut diatas tingkat dimana reproduksinya dapat sangat terancam;

f) Meminimalkan pencemaran, sampah barang-barang buangan serta tangkapan yang tidak berguna atau alat tangkap yang ditinggalkan, tangkapan spesies yang bukan target, baik ikan maupun bukan spesies ikan, (selanjutnya disebut sebagai spesies non target) dan dampak terhadap spesies berhubungan atau tergantung, khususnya spesies yang terancam, melalui tindakan termasuk, yang lazim, pengembangan dan penggunaan yang selektif, alat tangkap dan teknik yang aman secara lingkungan dan murah;

g) Melindungi keanekaragaman hayati pada lingkungan laut;

h) Mengambil tindakan untuk mencegah atau mengurangi kegiatan penangkapan ikan yang berlebihan dan penangkapan ikan yang melebihi kapasitas dan untuk menjamin bahwa tingkat usaha penangkapan tidak melebihi tingkat yang sepadan dengan penggunaan lestari sumber daya ikan;

i) Memperhatikan kepentingan nelayan artisanal dan subsisten;

(52)

sebagaimana tercantum di dalam Lampiran I, juga informasi dari program riset nasional dan internasional;

k) Memajukan dan melaksanakan riset ilmiah dan mengembangkan teknologi yang tepat dalam mendukung konservasi dan pengelolaan ikan; dan

l) Melaksanakan dan menerapkan tindakan konservasi dan pengelolaan melalui pemantauan, pengawasan dan pengamatan.2

2.1. Penerapan Pendekatan Kehati-hatian

Sumber daya perikanan laut lepas merupakan sumber daya yang bersifat kompleks. Kompleksitas tersebut tidak hanya berkaitan dengan sistem alam itu sendiri, tetapi juga dalam penentuan seberapa besar sumber daya perikanan yang terkandung di dalamnya, agar dapat diketahui batasan dalam mengeksploitasi sumber daya tersebut. Dimensi kompleksitas dalam pengelolaan sumber daya perikanan juga ditandai dengan tingginya tingkat ketidakpastian (uncertainty) dan resiko pengelolaan yang ditimbulkan. Jumlah stok ikan, misalnya, tidak pasti. Selain itu, tidak ada input yang digunakan, seperti halnya pakan dalam budi daya, untuk mengendalikan pertumbuhan ikan. Pengetahuan tentang pertumbuhan ikan, migrasi, dan mortalitas sangat fragmentary.3 Sampai saat ini alasan utama untuk dibutuhkannya usaha konservasi dan pengelolaan dikarenakan jumlah tangkapan yang kian menurun setiap tahunnya.

Sulit diketahuinya jumlah potensi sumber daya perikanan di laut lepas menyebabkan usaha konservasi dan pengelolaan memerlukan penerapan pendekatan kehati-hatian dari setiap negara yang melakukan eksploitasi. Pendekatan kehati-hatian dilakukan agar eksploitasi tidak dilakukan secara besar-besaran, sedangkan jumlah potensinya belum diketahui secara pasti. Penerapan

2

Naskah terjemahan UNIA 1995 Pasal 5

3

(53)

pendekatan kehati-hatian dilakukan sampai diperoleh data yang akurat mengenai besarnya sediaan ikan yang dimiliki, sehingga dapat dilakukan konservasi jangka panjang.

Dalam Pasal 6 ayat 3, dalam melaksanakan pendekatan kehati-hatian, negara-negara harus:

a) Meningkatkan pengambilan keputusan untuk konservasi dan pengelolaan sumber daya ikan dengan mendapatkan dan membagikan informasi ilmiah terbaik yang tersedia dan menerapkan teknik lanjutan untuk menangani risiko dan ketidakpastian;

b) Menerapkan petunjuk pelaksanaan sebagaimana ditentukan di dalam Lampiran II dan menetapkan, atas dasar informasi ilmiah terbaik yang tersedia, titik-titik referensi khusus sediaan dan tindakan yang dilakukan apabila mereka terlampaui;

c) Mempertimbangkan, antara lain, ketidakpastian yang berkaitan dengan ukuran dan produktivitas dari sediaan, titik referensi, kondisi sediaan dalam kaitan dengan titik referensi tersebut, tingkat-tingkat dan distribusi pertumbuhan perikanan dan dampak dari kegiatan perikanan pada spesies non target dan berhubungan atau tergantung, serta kondisi saat ini dan prakiraan lautan, lingkungan, dan sosial ekonomi; dan

d) Mengembangkan pengumpulan data dan program riset untuk menilai dampak atas penangkapan pada spesies non target, berhubungan atau tergantung, dan lingkungan mereka, dan menyetujui perencanaan yang diperlukan untuk menjamin konservasi spesies tersebut dan untuk melindungi habitat yang mendapatkan perhatian khusus.4

Dalam hal penangkapan ikan baru, atau eksploratori, negara-negara harus mengambil tindakan konservasi pengelolaan, termasuk antara lain batas penangkapan dan batas-batas upaya secara sangat berhati-hati. Tindakan tersebut harus dilakukan sampai diperoleh data yang akurat untuk memungkinkan penilaian terhadap dampak dari penangkapan ikan untuk kelestarian jangka panjang sediaan tersebut. Negara-negara juga harus mengambil tindakan-tindakan

4

(54)

dengan basis darurat apabila kegiatan perikanan mengakibatkan ancaman yang serius bagi kelestarian sumber daya tersebut.

2.2. Kesesuaian Tindakan Konservasi dan Pengelolaan

Setiap negara yang warga negaranya melakukan penangkapan ikan di laut lepas harus menyesuaikan tindakannya dengan konvensi, tanpa mengabaikan hak berdaulat negara-negara pantai untuk tujuan eksplorasi dan eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber daya hayati kelautan di bawah yurisdiksi nasional. Kewajiban negara-negara yang melakukan penangkapan sediaan ikan yang beruaya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh antara lain:

a) Untuk sediaan ikan yang beruaya terbatas, negara-negara meminta secara langsung ataupun melalui mekanisme yang sesuai untuk kerjasama dengan negara lain yang wilayahnya berdampingan dengan laut lepas untuk menyetujui tindakan-tindakan yang diperlukan untuk konservasi sediaan-sediaan ikan tersebut.

b) Untuk sediaan ikan yang beruaya jauh, negara-negara yang warga negaranya melakukan penangkapan sediaan ikan tersebut pada suatu regional tertentu harus melakukan kerjasama, baik secara langsung atau melalui mekanisme yang sesuai untuk melakukan kerjasama sebagaimana ditentukan dalam Bagian III UNIA, baik di dalam maupun di luar wilayah yurisdiksi nasional dengan tujuan untuk menjamin konservasi dan meningkatkan tujuan penggunaan optimum dari sediaan tersebut pada seluruh regional tersebut. 5

5

(55)

Dari kerjasama yang telah dilakukan, negara-negara wajib memberikan informasi secara teratur setiap tindakan yang telah mereka setujui untuk sediaan ikan beruaya terbatas maupun sediaan ikan yang beruaya jauh di dalam wilayah di bawah yurisdiksi nasional mereka dan pengaturan kegiatan-kegiatan kapal perikanan yang mengibarkan bendera mereka yang melakukan penangkapan ikan di laut lepas kepada negara-negara lain yang melakukan penangkapan ikan di laut lepas di dalam regional maupun sub regional yang sesuai.

3. Kerjasama Antar Negara

Sesuai dengan amanat yang terdapat dalam Pasal 7 UNIA, setiap negara yang warga negaranya melakukan penangkapan sediaan ikan yang beruaya terbatas maupun sediaan ikan yang beruaya jauh harus bekerjasama dalam upaya konservasi dan pengelolaan. Pasal 8 berisi tentang mekanisme kerjasama antar negara tersebut.

Dalam upaya konservasi dan pengelolaan sediaan ikan yang beruaya terbatas maupun sediaan ikan yang beruaya jauh dibagi menjadi wilayah sub regional dan regional berdasarkan wilayah migrasi ikan tersebut. Setiap negara yang akan melakukan penangkapan sediaan ikan tersebut wajib untuk mengikuti kerjasama yang berkaitan dengan sediaan ikan tersebut.

(56)

baik. Konsultasi dapat dimulai atas permintaan negara yang bersangkutan untuk merumuskan pengaturan yang memadai untuk menjamin konservasi dan pengelolaan sediaan tersebut dengan menjadikan UNIA sebagai acuan pengaturannya dengan tetap memperhatikan hak, kepentingan dan kewajiban negara lain. Apabila mempunyai efek yang besar terhadap tindakan konservasi yang telah ditetapkan oleh organisasi atau pengaturan sub regional maupun regional yang kompeten, negara yang akan melakukan tindakan tersebut harus berkonsultasi melalui organisasi atau pengaturan tersebut dengan anggota atau pesertanya.

3.1. Organisasi Pengelolaan Perikanan Laut Lepas

Kerjasama antar negara yang warga negaranya melakukan penangkapan ikan di laut lepas sesuai dengan Pasal 8 UNIA tersebut diamanatkan dalam bentuk organisasi pengelolaan perikanan. Organisasi pengelolaan perikanan dibagi menjadi dua berdasarkan wilayah pengelolaannya, yaitu organisasi pengelolaan perikanan sub regional dan organisasi pengelolaan perikanan regional. Dalam hal suatu negara akan melakukan permintaan untuk tindakan konsultasi, negara tersebut dapat melakukan permintaan konsultasi terhadap organisasi pengelolaan perikanan sub regional maupun regional sesuai dengan wilayah pengelolaannya.

(57)

tersebut, atau dengan menyetujui untuk melaksanakan ketentuan yang telah dirumuskan organisasi pengelolaan perikanan atau pengaturan tersebut.

Keuntungan menjadi anggota dalam sebuah organisasi pengelolaan perikanan salah satunya adalah negara anggota mempunyai akses terhadap spesies sumber daya ikan yang telah ditetapkan tindakan pengelolaannya. 6

Apabila tidak ada organisasi pengelolaan sumber daya perikanan untuk merumuskan tindakan konservasi dan pengelolaan sediaan ikan yang beruaya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh, maka negara-negara yang berkepentingan terhadap spesies tersebut dan negara pantai yang terkait harus bekerjasama untuk membentuk organisasi dan berpartisipasi dalam kerja organisasi tersebut, dan membuat pengaturan lain yang sesuai dalam upaya menjamin kelestarian sumber daya perikanan di laut lepas.

3.2. Syarat Pembentukan Organisasi dan Pengaturan

Dalam pembentukan pengaturan maupun organisasi pengelolaan perikanan sub regional dan regional untuk sediaan ikan yang beruaya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh, berdasarkan Pasal 9 UNIA, negara-negara harus menyetujui:

a) Sediaan terhadap mana tindakan-tindakan konservasi dan pengelolaan diterapkan, dengan memperhatikan karakteristik biologis dari sediaan dimaksud dan sifat dari perikanan yang terkait;

b) Wilayah penerapan, dengan memperhatikan Pasal 7 ayat 1, dan karakteristik dari sub regional atau regional termasuk faktor-faktor sosial ekonomi, geografis dan lingkungan;

c) Hubungan antara bekerjanya organisasi atau pengaturan baru tersebut dan peranan, tujuan dan operasi dari setiap organisasi atau pengaturan pengelolaan perikanan terkait yang telah ada; dan

6

(58)

d) Mekanisme dengan mana organisasi atau pengaturan akan mendapatkan pengarahan ilmiah dan perubahan status dari sediaan tersebut, termasuk apabila dimungkinkan, pendirian suatu badan penasehat ilmiah.

Negara-negara pembentuk pengaturan atau organisasi pengelolaan perikanan sub regional atau regional tersebut selain mempunyai beberapa hal yang harus disetujui di atas, juga terikat pada kewajiban untuk memberikan informasi kepada negara-negara lain yang diketahui memiliki kepentingan nyata dalam kerja pengaturan atau organisasi yang diusulkan.7

3.3. Fungsi Organisasi dan Pengaturan Pengelolaan Perikanan

Adapun fungsi pengaturan dan organisasi pengelolaan perikanan sub regional dan regional yang juga merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh negara-negara menurut Pasal 10 UNIA adalah:

a) Menyetujui dan mengikuti tindakan konservasi dan pengelolaan untuk menjamin kelestarian jangka panjang dari sediaan ikan yang beruaya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh;

b) Menyetujui, jika sesuai, pada hak keikutsertaan antara lain alokasi tangkapan yang diperbolehkan atau tingkat usaha penangkapan perikanan; c) Menyetujui dan menerapkan setiap standar umum minimum internasional

yang direkomendasikan untuk tata laksana yang bertanggung jawab untuk operasi penangkapan ikan;

d) Menghasilkan dan mengevaluasi saran ilmiah, perubahan status sediaan tersebut dan menilai dampak penangkapan ikan pada spesies non target dan berhubungan atau bergantung;

e) Menyetujui standar untuk pengumpulan, pelaporan, verifikasi dan pertukaran data perikanan untuk sediaan tersebut;

f) Mengumpulkan dan menyebarluaskan data statistik yang akurat dan lengkap, sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran I, untuk menjamin bahwa bukti ilmiah terbaik tersedia, serta memelihara keterbatasan apabila diperlukan;

g) Memajukan dan melaksanakan penilaian ilmiah dari sediaan tersebut dan riset yang relavan dan penyebarluasan hasil-hasilnya;

h) Merumuskan mekanisme kerja sama yang memadai untuk pemantauan, pengawasan, pengamatan dan penegakan hukum yang efektif;

7

(59)

i) Menyetujui sarana dengan mana kepentingan-kepentingan penangkapan dari anggota-anggota baru dari organisasi atau peserta baru dalam pengaturan akan diakomodasikan;

j) Menyetujui prosedur pengambilan keputusan yang memfasilitasi persetujuan tindakan konservasi dan pengelolaan secara cepat dan efektif; k) Memajukan penyelesaian sengketa secara damai sesuai dengan Bagian

VIII;

l) Menjamin kerja sama penuh dari badan-badan dan industri nasional yang terkait dalam pelaksanaan rekomendasi dan keputusan dari organisasi atau pengaturan; dan

m) Melakukan publikasi tindakan konservasi dan pengelolaan yang telah dirumuskan oleh organisasi atau pengaturan.8

3.4. Organisasi Pengelolaan Perikanan di Sekitar Indonesia

Organisasi pengelolaan perikanan laut lepas dapat disebut juga Regional Fisheries Management Organizations atau selanjutnya disingkat RFMOs. Saat ini telah terbentuk beberapa RFMOs yang wilayah pengelolaannya berada di sekitar wilayah Indonesia, antara lain Indian Ocean Tuna Commission (selanjutnya disingkat IOTC), Commission For The Conservation Of Southern Bluefin Tuna (selanjutnya disingkat CCSBT), dan Western and Central Pacific Fisheries Commission (selanjutnya disingkat WCPFC).

a. Indian Ocean Tuna Commission (IOTC)

Perjanjian pembentukan Indian Ocean Tuna Commission (IOTC) disetujui melalui Resolusi 1/105 pada Sidang ke 105 Dewan FAO, tanggal 25 Desember 1993 dan mulai berlaku efektif pada tanggal 27 Maret 1996. Sebelum adanya IOTC, terdapat suatu badan yang terlebih dahulu dibentuk, yaitu The Indo-Pacific Tuna Development and Management Programme (selanjutnya disingkat IPTP). IPTP dibentuk pada tahun 1982 di Colombo, Srilanka, dengan pendanaan dari

8

Referensi

Dokumen terkait

Instrumen yang digunakan untuk observasi, penilaian diri, dan penilaian antarpeserta didik adalah daftar cek atau skala penilaian ( rating scale ) yang disertai

Tabel 4.9b Hasil Kuesioner Tanggapan Siswa Aspek Penyajian Materi

From the experience of joining the boards in the students’ research report defence, teaching education research methodology, and classroom action research, the researcher

Sehubungan dengan tahap evaluasi dan pembuktian kualifikasi dalam proses pengadaan paket Pengadaan Gerobak Sampah, dengan ini kami mengundang Saudara untuk menghadiri

PENGADAAN OBAT DAN PERBEKALAN KESEHATAN ( BELANJA JASA PELAYANAN KESEHATAN – JASA SARANA ) DI DINAS KESEHATAN KOTA MOJOKERTO TAHUN 2013(Lelang Ulang ) dengan nilai total HPS

Poverty is multi-dimensional, and so is this volume, with chapters on just about everything that goes into successful pov- erty reduction, from growth and pricing policy

Perancangan Tugas Akhir ini menggunakan Video Game sebagai media utama untuk memperkenalkan cerita rakyat tradisional yaitu legenda Anglingdarma Konsep dari video

KELOMPOK KERJA (POKJA) PENGADAAN BARANG /JASA..