• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis dan evaluasi faktor yang mempengaruhi perilaku pembelian franchise (Waralaba) studi kasus Alfamart Wilayah Jabotabek

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis dan evaluasi faktor yang mempengaruhi perilaku pembelian franchise (Waralaba) studi kasus Alfamart Wilayah Jabotabek"

Copied!
108
0
0

Teks penuh

(1)

PERILAKU PEMBELIAN FRANCHISE (WARALABA)

(Studi Kasus Alfamart Wilayah Jabotabek)

Oleh

MANAL JUNAIDI

H24102045

DEPARTEMEN MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMI MANAJEMEN

(2)

Jabotabek). Di bawah bimbingan Jono M. Munandar.

Menjamurnya pertumbuhan minimarket seperti Alfamart, Indomaret, Starmart, Circle K, dan lain-lain kemudian pasar swalayan, toserba, dan pusat perbelanjaan eksklusif seperti Golden Truly, Hero, Sogo dan lain-lain, sebagai salah satu jaringan retail modern, menunjukkan situasi persaingan semakin seru. Retail yang modern merupakan sarana yang tepat untuk memperluas jangkauan pemasaran dengan frekuensi perputaran barang dan modal yang cepat. Strategi pangsa pasar yang biasa dilakukan oleh pedagang eceran skala besar adalah dengan membuka cabang (chain store). Salah satu pola yang marak dikembangkan saat ini yaitu melalui pola waralaba (franchising). Potensi pasar bisnis waralaba sangat besar terlihat dari usaha-usaha franchise yang bermunculan di tanah air, baik lokal maupun asing. Usaha franchise di Indonesia mencatat pertumbuhan yang sangat menggembirakan. Data yang ada menyebutkan, usaha franchise dan business opportunity tahun 2004 sebanyak 166 usaha. Setahun berikutnya (2005) angka tersebut melonjak tajam menjadi 273 usaha atau mengalami kenaikan sekitar 60% yang sepertiganya menawarkan jenis franchise. Adapun tujuan penelitian ini, yaitu: (1) memformulasikan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku pembelian franchise Alfamart, (2) mendeskripsikan atribut-atribut yang dianggap penting oleh franchisee pada franchise yang ditawarkan, (3) mengidentifikasi dan mengevalusi sikap franchisee Alfamart terhadap atribut franchise Alfamart dalam rangka perbaikan strategi franchise yang telah diterapkan PT. Sumber Alfaria Trijaya terhadap outlet Alfamart.

Dalam penelitian ini diambil 40 orang responden Data primer yang diperoleh kemudian diolah dengan analisis faktor, dan analisis sikap multiatribut fishbein dengan bantuan software SPSS 11.5 for windows dan Microsoft Excel. Hasil dari analisis faktor dari 25 variabel yang diteliti menunjukkan adanya enam faktor utama yang terbentuk yaitu faktor pendorong/pengaruh utama, faktor sistem dan informasi franchise, faktor analisis keuangan franchisee, faktor citra perusahaan, dan faktor citra produk franchise

Kemudian hasil analisis fishbein menunjukkan bahwa semua atribut dipertimbangkan oleh konsumen. Atribut terpenting yang dipertimbangkan oleh franchisee yaitu sistem managemen franchise, lamanya pengembalian modal, dan pelayanan toko. Sedangkan atribut pemasok adalah atribut dengan tingkat kepentingan paling rendah. Berdasarkan penilaian tingkat kepercayaan konsumen (bi) terhadap franchise Alfamart menunjukkan bahwa atribut yang paling baik

(3)

DEPARTEMEN MANAJEMEN

ANALISIS DAN EVALUASI FAKTOR-FAKTOR YANG

MEMPENGARUHI

PERILAKU PEMBELIAN FRANCHISE (WARALABA)

(Studi Kasus Alfamart Wilayah Jabotabek)

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA EKONOMI

pada Departemen Manajemen Fakultas Ekonomi dan Manajemen

Institut Pertanian Bogor

Oleh

MANAL JUNAIDI

H24102045

DEPARTEMEN MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMI MANAJEMEN

(4)

ii

DEPARTEMEN MANAJEMEN

ANALISIS DAN EVALUASI FAKTOR-FAKTOR YANG

MEMPENGARUHI

PERILAKU PEMBELIAN FRANCHISE (WARALABA)

(Studi Kasus Alfamart Wilayah Jabotabek)

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA EKONOMI

pada Departemen Manajemen Fakultas Ekonomi dan manajemen

Institut Pertanian Bogor

Oleh

MANAL JUNAIDI

H24102045

Menyetujui, September 2006

Dr. Ir. Jono M. Munandar, M.Sc. Dosen Pembimbing

Mengetahui,

Dr. Ir. Jono M. Munandar, M.Sc. Ketua Departemen

(5)

iii

Manal Junaidi. Dilahirkan di Fiji South Fas pada tanggal 29 Desember

1983. Penulis adalah putri pertama dari empat bersaudara pasangan Bapak Muhyiddin Junaidi dan Ibu Srihayati.

Penulis memulai pendidikan di TK Kemuning, Bogor pada tahun 1989. Kemudian melanjutkan ke SDN Polisi 5 Bogor. Pada tahun 1996, penulis melanjutkan pendidikan di SLTP Negeri 1 Bogor dan pada tahun 1999 melanjutkan pendidikan di SMU Negeri 1 Bogor. Pada tahun 2002, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) di Departemen Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Manajemen.

(6)

iv

Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat, taufik, dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul ”Analisis Proses Keputusan Pembelian dan Pemetaan Persepsi Indomie (Studi Kasus Mahasiswa Institut Pertanian

Bogor)”. Skripsi ini disusun oleh penulis sebagai syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Ekonomi pada Departemen Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan masukan kepada pihak perusahaan dalam rangka pemilihan strategi bauran pemasaran yang efektif.

Banyak kendala yang penulis hadapi dalam menyelesaikan skripsi ini, namun berkat rahmat dan karunia dari Allah SWT serta bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak, Alhamdulillah skripsi ini dapat penulis selesaikan. Oleh karena itu pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. Ir Jono M Munandar sebagai dosen pembimbing sekaligus Ketua Departemen Manajemen FEM IPB yang telah meluangkan waktunya dalam memberikan petunjuk, pengarahan dan sumbangan pemikiran kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

2. Bapak Dr. Ir. Ma’mun Sarma MS.M.Ec dan Ibu Bea Trice Mantoroadi, SE.AK,MM selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan, dan koreksi yang sangat berguna dalam penyempurnaan skripsi ini.

3. Bapak Tommy Andri Wardhana selaku Manager Franchise Alfamart, Mba Dewi, Mba Devi, Mba Rani, Mba Fristy dan Mas Irman, terima kasih atas izin yang diberikan untuk melakukan penelitian dan bimbingan serta bantuannya selama disana.

4. Seluruh staf pengajar dan karyawan/wati FEM IPB yang telah mendidik dan memberikan ilmu serta hikmah kepada penulis selama berkuliah di IPB. Untuk Pak Acep dan Mas Adi, terimakasih untuk selalu membantu di saat-saat genting seminar maupun sidang.

(7)

v keceriaannya dalam hidupku. I love u all.

6. ‘Friends’ giftshop : ND dan Mumus (makasih atas waktunya membantu menyebar kuesioner), dan Riku (makasih ya nanasnya). Terima kasih telah menjadi sahabat sekaligus patner bisnisku selama lebih dari empat tahun ini, atas semangat, pengalaman hidup, perhatian, pengertian, keceriaan, suka maupun duka dan kegilaan yang sudah kita lalui bersama. Kalian adalah saudara kandung yang Allah lupa berikan untukku. Love u so much! Untuk Teh Ipah dan Itoh, terimakasih atas pengertiannya selama ini.

7. ‘Moshi-moshi Digital Imaging’ : Zaqie, Gege, Tulus, Diyan dan Ennie, makasih atas kebersamaannya selama ini. Dari kalian aku belajar tentang besarnya arti kepercayaaan, kejujuran, kesabaran, pengorbanan, dan kerja keras. Semoga kita masih bisa bersama lagi. Thanks for making different part in my life!

8. Teman-teman terbaikku : Desi, Uthie, Inne, Iwed, Mutia, Via, Imel, Ikoh, dan Meis, yang selalu ada dalam suka dan duka, memberikan perhatian, arti sebuah persahabatan yang indah dan semangat kepada penulis.

9. Teman-teman satu pembimbing : Desi, Evi, Dini, Vj dan Ferdy terimakasih atas kebersamaan dan bantuannya selama skripsi.

10.Rekan-rekan di FORKOM (Forum Alumni Alim Smunsa) : Ina (makasih untuk analisis faktornya) dan Teh Ba’i (makasih atas perhatian, semangat dan nasehatnya yang sangat berharga).

11.Rekan-rekan Manajemen 39 terima kasih atas kebersamaan yang selama ini tercipta dan akan menjadi kenangan indah, Arya dan Eko (makasih atas semua bantuannya), Hnanto (makasih atas bantuannya menyebar kuesioner).

12.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, yang telah memberikan dorongan dan bantuan kepada penulis sehingga terselesaikannya skripsi ini.

(8)

vi

Bogor, Mei 2006

(9)

vii

Halaman

ABSTRAK

RIWAYAT HIDUP ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

I. PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 5

1.3. Tujuan Penelitian ... 7

1.4. Kegunaan Penelitian ... 8

1.5. Batasan Penelitian ... 8

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1. Perilaku KOnsumen ... 9

2.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Proses Keputusan Pembelian .... 10

2.2.1 Faktor Lingkungan ... 11

2.2.2 Faktor Perbedaan Individu ... 12

2.2.3 Psikologi ... 14

2.3 Pemasaran ... 15

2.4. Strategi Pemasaran... 16

2.5. Bauran Pemasaran ... 17

2.6. Saluran Distribusi ... 18

2.7. Usaha Eceran ... 20

2.8. Franchise (Waralaba) ... 21

2.9. Analisis Faktor... 32

2.10. Model Sikap Multiatribut Fishbein... 32

2.11. Important Performance Matrix... 34

III. METODOLOGI PENELITIAN ... 35

3.1. Kerangka Pemikiran ... 35

3.2. Waktu dan Tempat Penelitian ... 37

3.3. Metode Penelitian ... 37

3.3.1 Penentuan contoh ... 37

3.3.2 Pengumpulan data ... 38

3.3.3 Pengolahan dan Analisis Data ... 38

a. Uji Validitas ... 38

b. Uji Reliabilitas ... 39

(10)

viii

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 45

4.1. Gambaran Umum Perusahaan ... 45

4.1.1 Sejarah Perusahaan ... 45

4.1.2 Visi, Misi, dan Target Pasar ... 45

4.1.3. Model Bisnis... 46

4.1.4. Tipe Toko ... 47

4.1.5. Model Bisnis Waralaba ... 47

4.2. Gambaran Umum Wilayah Penelitian ... 51

4.3. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas... 51

4.4. Karakteristik Responden ... 52

4.5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Proses Keputusan Pembelian Franchise Alfamart ... 55

4.5.1 Faktor Pendorong/Pengaruh Utama ... 61

4.5.2 Faktor Sistem dan Informasi Franchise... 62

4.5.3 Faktor Analisa Keuangan ... 63

4.5.4 Faktor Citra Perusahaan ... 63

4.5.5 Faktor Citra Produk ... 64

4.5.6. Faktor Motivasi ... 64

4.6. Analisis Sikap Franchisee Terhadap Atribut Franchise Alfamart ... 65

4.6.1 Analisis Tingkat Kepentingan ... 65

4.6.2 Analisis Tingkat Kepercayaan... 67

4.6.3 Analisis Sikap Franchisee... 69

4.6.4 Evaluasi Atribut... 71

a. Kuadran I (Pertahankan Prestasi) ... 73

b. Kuadran II (Prioritas Utama) ... 75

c. Kuadran III (Prioritas Rendah)... 75

d. Kuadran IV (Berlebihan)... 76

KESIMPULAN DAN SARAN ... 77

1. Kesimpulan ... 77

2. Saran ... 78

DAFTAR PUSTAKA ... 79

(11)

ix

No Halaman

1

Proporsi Pasar Ritel... 2 2 Pembagian Jumlah Sampel Masing-Masing Daerah... 3 3 Data Jumlah Perusahaan Franchise... 4 Padanan Franchise dalam Bahasa Asing dan Pengertiannya ... 5 Tahapan Perkembangan Pengwaralaba Berdasarkan Jumlah

Pewaralaba ...

6 Tipe Toko Alfamart ... 7 Tarif Royalty fee ... 8 Perkiraan Biaya Investasi ... 9 Rincian Investasi Awal Toko Alfamart ...

(12)

x

No Halaman

1

Model perilaku keputusan konsumen dan faktor-faktor yang

mempengaruhinya ...

2 Model perilaku konsumen...

3 Konsep inti pemasaran ... 4 Cara pendistribusian barang dari produsen ke konsumen...

5 Diagram kartesius ... 6 Kerangka Pemikiran dalam Penelitian ...

(13)

xi

No Halaman

(14)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti makanan, minuman, serta peralatan rumah tangga lainnya, masyarakat telah dimudahkan dengan beragamnya usaha yang menawarkan alat-alat pemuas kebutuhan tersebut. Misalnya, warung di pinggir jalan, toko-toko kelontong, supermarket hingga hypermarket yang mulai banyak beroperasi khususnya di kota-kota besar. Jenis-jenis usaha di atas menjalankan apa yang dikenal dengan penjualan secara ritel atau eceran.

Menjamurnya pertumbuhan minimarket seperti Alfamart, Indomaret, Starmart, Circle K, pasar swalayan, toserba, dan pusat perbelanjaan eksklusif seperti Golden Truly, Hero, Sogo dan lain-lain, sebagai salah satu jaringan retail modern menunjukkan situasi persaingan semakin seru. Retail yang modern merupakan sarana yang tepat bagi usaha memperluas jangkauan pemasaran dengan frekuensi perputaran barang dan modal yang cepat. Bagi pedagang eceran skala besar maka strategi pangsa pasar adalah penting sekali. Salah satu cara untuk memperolehnya adalah dengan membuka cabang (chain store).

(15)

Tabel 1. Proporsi Pasar Ritel 1

Tipe Pasar Tahun Proporsi (%)

Tradisional 2000 78.1

2001 75.1

2002 74.8

2003 73.7

2004 69.6

Modern 2000 21.8

2001 24.8

2002 25.1

2003 25.4

2004 30.4

Sumber: AC Nielsen/Aprindo

Menanggapi kebutuhan dan tuntutan konsumen tersebut, perusahaan-perusahaan ritel modern lebih cerdik dan tanggap bertindak melalui strategi penjualan jitu, yang tidak hanya menawarkan produk berkualitas dengan harga yang lebih rendah (implikasi dari biaya per unit produksi rendah) bagi konsumen tetapi juga berbagai kenyamanan lain, seperti tersedianya lahan parkir, pendingin ruangan, garansi, penitipan barang, dan lain sebagainya. Lokasi yang tersebar di berbagai wilayah juga menambah kenyamanan bagi konsumen dalam berbelanja. Konsumen tidak perlu berpergian jauh untuk dapat memperoleh barang yang dibutuhkan. Karena salah satu elemen yang penting bagi uasaha ritel yaitu lokasi yang strategis. Lokasi yang dapat dipilih pun beragam, ada yang menyatu dengan pusat perbelanjaan tertentu, atau berdiri sendiri.

Bisnis ritel dengan konsep modern terus berkembang walaupun kondisi perekonomian sempat mengalami kemunduran akibat krisis ekonomi. Pada 2004, total bisnis retail secara nasional mencapai Rp 120 triliun. Sebanyak Rp 35 triliun dihasilkan oleh para peritel yang tergabung dalam asosiasi. Sisanya, yang mencapai 70%, masih dikuasai oleh small retailer. Sedangkan untuk tahun ini (2005), hingga akhir tahun target secara nasional yang ingin dicapai sebesar Rp 150 triliun. Aprindo sendiri menargetkan Rp.

1

(16)

45-50 triliun 2. Jumlah peritel yang ada di Indonesia dapat dilihat pada Lampiran 9.

Dengan jumlah penduduk yang besar sekitar 220 juta jiwa, persentase kebutuhan untuk konsumsi masyarakat Indonesia mencapai 52,83% dari rata-rata pengeluaran perkapita perbulan yang digunakan untuk konsumsi yang berhubungan dengan produk-produk makanan. Berdasarkan data tersebut, maka pasar yang dapat dinikmati oleh perusahaan ritel sangat menjanjikan. Terlebih lagi kebutuhan makanan yang merupakan kebutuhan primer akan selalu dicari oleh konsumen tanpa meliahat musim atau kondisi lainnya.

Jumlah pasar yang besar dan banyaknya perusahaan ritel yang menawarkan pemenuhan kebutuhan akan makanan serta keperluan rumah tangga lainnya, seperti mini market, supermarket, dan hypermarket, menyebabkan persaingan cenderung semakin ketat. Dengan kata lain kehadiran perusahaan ritel modern mengundang berbagai bentuk kekuatiran, yakni berupa tergilasnya pedagang eceran kecil atau hancurnya pasar-pasar tradisional. Di tengah persaingan yang sengit ini terbukti retail modern tumbuh pesat sementara beberapa yang lain – kebanyakan non-chain – tak tahan dan mati dimangsa pesaingnya.

Melihat fenomena diatas perusahaan ritel modern berlomba-lomba mengembangkan dan mempertahankan eksistensi usahanya dengan membuka cabang (chain-store) di tempat-tempat strategis. Salah satu pola yang marak dikembangkan saat ini yaitu melalui pola waralaba (franchising). Potensi pasar bisnis waralaba sangat besar terlihat dari populasi usaha-usaha franchise yang bermunculan di tanah air, baik lokal maupun asing3.

Usaha franchise di Indonesia mencatat pertumbuhan yang sangat menggembirakan. Data yang ada menyebutkan, usaha franchise dan business opportunity tahun 2004 sebanyak 166 usaha. Setahun berikutnya (2005) angka tersebut melonjak tajam menjadi 273 usaha atau mengalami kenaikan sekitar 60% yang sepertiganya menawarkan jenis franchise. Jika dihitung rata-rata, baik lokal maupun asing, pertumbuhan usaha franchise mencapai

2

Handaka Santosa. Peritel Harus Menekan Cost. Marketing. Ibid, hal 45

3

(17)

10,3%. Tahun ini (2006) usaha franchise dan business opportunity menunjukkan gairah yang juga menggembirakan. Indikatornya bisa dilihat dari setiap pameran franchise dan business opportunity yang diikuti penambahan partisipan baru sekitar 20%. Pertumbuhan usaha franchise itu sendiri diperkirakan masih tetap sama sekitar 10% 4 (Tabel 3).

Tabel 3. Data Jumlah Perusahaan Franchise Data perusahaan franchise di Indonesia sebelum krisis

Asing Lokal Total 1992 29 6 35 1995 117 15 132 1996 210 20 230 1997 235 30 265

Data perusahaan franchise di Indonesia setelah krisis

Asing Lokal Total 1997 235 30 265 1999 202 32 234 2001 238 42 280 2002 212 47 259 2003 190 49 239

Sumber: Asosiasi Franchise Indonesia (AFI) 2005

Implikasinya adalah dengan semakin banyaknya franchise yang bermunculan menyebabkan persaingan yang sangat ketat pada usaha franchise di Indonesia. Hal tersebut juga membuat franchisee dihadapkan pada berbagai pilihan brand. Sehingga franchisor perlu mengetahui kebutuhan dan keinginan franchisee agar dapat menciptakan dan menjual franchise yang dapat diterima oleh franchisee. Salah satu cara adalah dengan mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi proses keputusan pembelian franchisee terhadap franchise yang ditawarkan berdasarkan penilaian mereka atas berbagai atribut yang ada pada franchise. Diharapkan

4

(18)

dengan penelitian tersebut dapat memberikan implikasi pada strategi pemasaran dalam rangka menghadapi persaingan pasar.

1.2. Perumusan Masalah

Salah satu keunggulan industri ritel adalah karakteristiknya yang tahan banting. Situasi sulit hingga saat ini yang ditandai dengan menurunnya daya beli masyarakat tidak berpengaruh banyak terhadap sektor ini. Potensi pasarnya terus bergairah, terutama untuk produk kebutuhan sehari-hari karena masyarakat tidak pernah berhenti berkonsumsi.

Tahun 2005, total omset ritel nasional secara keseluruhan mancapai Rp. 450 triliun. Tetapi untuk produk-produk kategori perdagangan kebutuhan sehari-hari pada tahun lalu mencapai Rp. 45 triliun. Dari angka itu, minimarket Alfamart menguasai 33% market share, berada di posisi kedua setelah Indomaret yang market sharenya mencapai 35% 5. Hal itu berarti, potensi minimarket sangat besar. Peluangnya pun hingga saat ini masih terbuka sangat lebar. Dari data yang ada, satu minimarket di Jabotabek melayani sekitar 35.000 jiwa. Masih terlalu besar. Perbandingannya dengan Jepang, satu minimarket melayani 15.000 jiwa, Singapura satu minimarket melayani 11.000 jiwa. Dari data tersebut, terlihat bahwa peluang usaha minimarket masih sangat besar.

Jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 220 juta jiwa membutuhkan lebih dari dua juta titik outlet untuk melayani mereka. Idealnya, satu outlet melayani 1000 orang. Dari data yang ada, baik dari AC Nielson, dari lembaga riset Frontier dan dari beberapa riset perusahaan seperti Unilever dan Coca Cola, jumlah titik pengecer di seluruh Indonesia berkisar antara 1,9 hingga 2,3 juta. Jika dari jumlah itu seperempatnya saja yang dibutuhkan minimarket, maka harus tersedia sekitar 400.000 outlet. Sedangkan yang tersedia dari Alfamart dan Indomaret baru sekitar 3.000 outlet. Misalnya ditambah AMPM, Circle K dan sejumlah outlet minimarket lainnya,

5

(19)

jumlahnya tidak lebih dari 3.500 outlet 6. Dengan demikian, kebutuhannya masih sangat besar. Maka peluang franchise usaha ritel pun sangat tinggi. Ditambah lagi kondisi dimana orang sulit mencari pekerjaan, maka pilihan terbaik adalah berwirausaha atau wiraswasta. Hal itu, mendorong orang untuk berdagang atau jadi pengecer (ritel). Sementara untuk membuat produk sendiri atau menggunakan merek sendiri resikonya sangat tinggi, membeli franchise bisa menjadi alternatif yang paling memungkinkan karena resikonya sangat rendah. Maka, kondisi ini pun memberi peluang bagi para pengusaha untuk memperluas jaringannya dengan cara waralaba (franchising).

Saat ini, para pemain di minimarket masih dikuasai oleh Alfamart dan Indomaret. Beberapa franchise ritel minimarket dari luar negeri seperi AMPM, Circle K dan sebentar lagi akan masuk 712 dan Watson yang berasal dari Hongkong. Kehadiran para pemain asing ini belum dapat dikatakan telah mencukupi “koleksi” minimarket untuk kebutuhan masyarakat Indonesia.

Alfamart menujukkan pertumbuhan yang fantastik. Meskipun pada kurun 1999-2002, Alfamart yang sebelumnya bernama Alfa Minimarket mencatat pertumbuhan yang sangat lambat. Namun setelah dibeli Sampoerna dan mulai dijadikan franchise, pertumbuhan outletnya sangat fantastik. Jumlahnya mencapai sekitar 1.300-an. Dari jumlah itu, sejumlah 30% dimiliki masyarakat melalui franchise maupun operator mandiri. Kalau kepemilikan melalui franchise, investor membeli cabang Alfamart, tetapi kalau operator mandiri, investor tanpa keluar modal, hanya punya tanah saja yang tokonya dibangun oleh Alfamart.

AC Nielson media research pernah melakukan penelitian terhadap Alfamart dan membandingkannya dengan kompetitor. Alfamart yang baru berumur enam tahun yang dari sisi umur kalah jauh dibandingkan dengan kompetitornya mencatat pertumbuhan yang sangat pesat, tidak tertinggal jauh oleh pesaingnya yang lebih awal dan lebih lama menggarap pasar yang sama. Jika dibandingkan dengan Indomaret, total selisih jumlah outlet

6

(20)

Alfamart tertinggal sekitar 100 toko. Padahal perbedaan waktunya cukup panjang.

Fakta-fakta di atas menunjukkan bahwa Alfamart patut dipertimbangkan dalam jajaran usaha ritel di Indonesia. Alfamart memiliki keunggulan-keunggulan yang menjadi daya tarik investor (franchisee). Oleh karena itu, sebagai franchisor, Alfamart perlu mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi franchisee dalam membuat keputusan pembelian franchise sehingga dapat menentukan strategi franchise yang efektif dalam rangka menghadapi persaingan pasar baik untuk mempertahankan pasar yang sudah ada maupun memperluas pasar.

Pemahaman yang mendalam mengenai franchisee akan memungkinkan franchisor dapat mempengaruhi keputusan franchisee, sehingga mau membeli apa yang ditawarkan. Agar dapat bersaing di pasar, franchisor harus dapat menjual dan melakukan yang lebih baik dari pesaingnya. Dengan semakin banyaknya franchise baru yang bermunculan, menuntut para franchisor untuk dapat menciptakan franchise yang sesuai kebutuhan franchisee.

Berdasarkan uraian di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi franchisee dalam proses keputusan pembelian franchise Alfamart?

2. Atribut-atribut apa saja yang dianggap penting oleh franchisee pada franchise yang ditawarkan?

3. Bagaimana sikap franchisee Alfamart terhadap atribut franchise Alfamart dan atribut apa saja yang harus mendapat evalusi dalam rangka perbaikan strategi franchise yang telah diterapkan PT. Sumber Alfaria Trijaya terhadap outlet Alfamart?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini berdasarkan perumusan masalah yang telah diuraikan diatas adalah sebagai berikut :

(21)

2. Mendeskripsikan atribut-atribut yang dianggap penting oleh franchisee pada franchise yang ditawarkan.

3. Mengidentifikasi dan mengevalusi sikap franchisee Alfamart terhadap atribut franchise Alfamart dalam rangka perbaikan strategi franchise yang telah diterapkan PT. Sumber Alfaria Trijaya terhadap outlet Alfamart.

1.4. Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk:

1. Pihak manajemen perusahaan sebagai bahan pertimbangan bagi kelangsungan dan pengembangan sistem franchise (waralaba) yang telah dilaksanakan.

2. Pelaku usaha bisnis retail (terutama minimarket) yang akan menerapkan sistem franchise (waralaba) untuk mengembangkan usahanya.

3. Lingkungan akademik sebagai bahan diskusi dan rujukan serta untuk penelitian lebih lanjut.

4. Pengalaman nyata bagi penulis dalam menerapkan ilmu-ilmu yang telah diperoleh dari bangku kuliah dan kesesuaiannya yang ada pada dunia nyata.

1.5. Batasan Penelitian

Karena keterbatasan waktu, tenaga, dan dana, maka penelitian ini dibatasi pada:

1. Produk yang diteliti hanya franchisee Alfamart, dan dalam penelitian ini analisis difokuskan pada perilaku franchisee terhadap franchise Alfamart.

2. Objek penelitian adalah franchisee Alfamart wilayah Jabotabek.

(22)

2.1. Perilaku Konsumen

Definisi perilaku konsumen menurut Engel, dkk (1995) adalah tindakan yang langsung terlibat dalam mendapatkan, mengkonsumsi, serta menghabiskan produk dan jasa, termasuk proses keputusan yang mendahului dan mengikuti tindakan ini. Istilah perilaku konsumen menurut Schiffman dan Kanuk dalam Sumarwan (2003), diartikan sebagai perilaku yang diperlihatkan konsumen dalam mencari, membeli, menggunakan, mengevaluasi, serta menghabiskan produk dan jasa yang diharapkan dapat memuaskan kebutuhannya.

Perilaku konsumen menurut Engel, dkk (1995) dipengaruhi dan dibentuk oleh faktor pengaruh lingkungan, perbedaan individu dan proses psikologis. Model dikembangkan untuk berbagai macam kegunaan, tetapi tujuan utama dari pengembangan model perilaku konsumen adalah : (1) membantu pengembangan teori yang mengarahkan penelitian perilaku konsumen, dan (2) sebagai bahan dasar untuk mempelajari pengetahuan yang terus berkembang tentang perilaku konsumen. Salah satu model yang telah dikembangkan, seperti yang disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Model perilaku keputusan konsumen dan faktor-faktor yang mempengaruhinya (Engel, dkk, 1995)

Pengaruh Lingkungan - Budaya

- Kelas sosial - Pengaruh pribadi - Keluarga - Situasi

Perbedaan Individu - SDM

- Motivasi dan keterlibatan - Sikap

- Kepribadian, gaya hidup dan

demografi.

Proses Keputusan - Pengenalan

Kebutuhan

- Pencarian informasi - Evaluasi alternatif - Pembelian

- Hasil

Proses Psikologi - Pengolahan

informasi - Pembelajaran - Perubahan

(23)

2.2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Proses Keputusan Pembelian

Banyak faktor yang mempengaruhi proses keputusan pembelian konsumen, bisa berasal dari dalam diri konsumen maupun dari luar. Kottler (2002) mengemukakan ada empat faktor yang mempengaruhi konsumen dalam memutuskan pembelian suatu produk, yaitu:

1. Faktor Budaya

Faktor budaya yang mempengaruhi proses keputusan pembelian oleh konsumen terdiri dari budaya, sub budaya, kelas sosial, keluarga, dan situasi.

2. Faktor Sosial

Faktor sosial yang mempengaruhi proses keputusan pembelian oleh konsumen terdiri dari kelompok acuan, keluarga, peran, dan status. 3. Faktor Pribadi

Terdiri dari usia, pekerjaan dan ekonomi individu, gaya hidup, dan kepribadian.

4. Faktor Psikologis

Mengemukakan empat faktor psikologis yang mempengaruhi proses keputusan pembelian. Terdiri dari motivasi, persepsi, pembelajaran, dan keyakinan / sikap.

(24)

Gambar 2. Model perilaku konsumen (Engel, dkk, 1995)

2.2.1. Faktor Lingkungan

Pengaruh lingkungan memainkan peranan yang cukup besar terhadap perilaku konsumen. Informasi yang lengkap mengenai faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi perilaku konsumen memberikan masukan yang sangat berarti terhadap strategi dan taktik pemasaran sebuah perusahaan. Faktor lingkungan ini terdiri dari budaya, kelas sosial, pengaruh pribadi dan keluarga.

Budaya adalah kumpulan nilai, persepsi, preferensi, serta perilaku keluarga dan lembaga-lembaga penting lainnya. Budaya adalah penentu keinginan dan perilaku yang paling mendasar (Kotler, 2000). Budaya menurut Engel, dkk (1995), mengacu pada seperangkat nilai, gagasan, artefak dan simbol bermakna lainnya yang membantu individu berkomunikasi, membuat tafsiran dan melakukan evaluasi sebagai anggota masyarakat. Budaya tidak mencakupi naluri dan tidak pula mencakupi idiosinkratik yang terjadi sebagai pemecahan sekali saja untuk suatu masalah yang unik. Budaya melengkapi orang dengan rasa identitas dan pengertian akan perilaku yang dapat diterima di dalam masyarakat.

Kelas sosial adalah pembagian di dalam masyarakat yang terdiri atas individu yang berbagai nilai, minat, dan perilaku yang sama atau kelompok-kelompok yang relatif homogen dalam suatu masyarakat lama yang tersusun secara hierarki (Kotler, 2000). Kelas sosial yang berbeda cenderung memunculkan perilaku konsumsi yang berbeda.

Kelas sosial mengacu pada pengelompokkan orang yang sama dalam perilakunya menurut posisi ekonomi di dalam pasar. Kelompok

Pengaruh Lingkungan

Pengaruh Individu

Proses Keputusan

Proses Psikologis

(25)

status mencerminkan suatu harapan komunitas akan gaya hidup di kalangan masing-masing kelas dan juga estimasi sosial yang positif atau negatif tentang kehormatan yang diberikan kepada masing-masing kelas.

Pengaruh pribadi adalah tekanan yang dirasakan untuk menyesuaikan diri dengan norma dan harapan yang diberikan oleh orang lain. Sebagai konsumen, perilaku orang sering dipengaruhi oleh hal yang berhubungan erat. Dalam hal ini, keluarga sangat penting di dalam studi konsumen karena dua alasan. Pertama keluarga adalah unit pemakaian dan pembelian untuk banyak produk konsumen. Kedua keluarga adalah pengaruh utama pada sikap dan perilaku individu (Kotler, 2000).

Keluarga adalah kelompok yang terdiri atas dua orang atau lebih yang dihubungkan melalui darah, perkawinan atau adopsi dan yang tinggal bersama. Rumah tangga berbeda dengan keluarga berdasarkan pendeskripsikan semua orang, baik yang berkerabat maupun yang tidak yang menempati suatu unit perumahan. Proses pengambilan keputusan mungkin sama dengan masing-masing kategori, walaupun kategori rumah tangga mencakupi kelompok non tradisional yang tumbuh jauh lebih cepat dari keluarga.

Anggota keluarga (atau rumah tangga) memegang berbagai peranan yang mencakup penjaga pintu (pemikiran keluarga), pemberi pengaruh, pengambil keputusan, pembeli dan pemakai. Pengaruh pasangan hidup, anak atau anggota lain dalam keluarga bervariasi menurut sumber daya anggota keluarga, jenis produk, tahap dalam siklus kehidupan dan tahap dalam keputusan pembelian. Peubah ini penting dalam memahami keputusan keluarga dibandingkan dengan peranan keluarga yang sudah dianggap berasal dari satu jenis kelamin atau yang lainnya.

2.2.2. Faktor Perbedaan Individu

(26)

pengetahuan, (4) sikap, serta (5) kepribadian, gaya hidup dan demografi (Engel, dkk, 1995).

Sumber daya yang dimiliki konsumen atau apa yang tersedia dimasa datang berperan penting dalam keputusan pembelanjaan. Sumber daya konsumen terdiri atas waktu, uang dan perhatian (penerimaan informasi dan kemampuan pengolahan). Ketiga sumber daya ini dibawa ke dalam setiap situasi pengambilan keputusan.

Perilaku yang termotivasi diprakarsai oleh pengaktifan kebutuhan atau pengenalan kebutuhan. Kebutuhan atau motif diaktifkan, ketika ada ketidakcocokan antara yang diinginkan dengan kondisi yang diinginkan dengan kondisi aktual (Engel, dkk, 1995).

Pengetahuan dapat diartikan secara sederhana sebagai informasi yang disimpan di dalam ingatan. Pengetahuan konsumen sebagai informasi yang disimpan di dalam ingatan. Himpunan bagian dari informasi total yang relevan dengan fungsi konsumen di dalam pasar disebut pengetahuan konsumen (Engel, dkk, 1995). Pengetahuan konsumen mencakup informasi tentang ketersediaan dan karakteristik produk, dimana dan kapan untuk membeli, serta bagaimana menggunakan produk. Pengetahuan adalah faktor penentu utama perilaku konsumen. Apa yang dibeli, dimana dan kapan membeli, akan tergantung pada pengetahuan yang relevan dengan keputusan.

Manfaat pengetahuan konsumen dibagi menjadi tiga kategori, yaitu (1) pengetahuan produk mencakup kesadaran produk, atribut produk dan kepercayaan merek, (2) pengetahuan pembelian (dimana membeli dan kapan membeli), serta (3) pengetahuan pemakaian mencakup informasi yang tersedia di dalam ingatan mengenai bagaimana suatu produk dapat digunakan dan apa yang diperlukan, agar benar-benar menggunakan produk tersebut (Engel, dkk, 1995).

(27)

suatu obyek. Sikap sangat penting dalam membentuk pangsa pasar dan pangsa target. Sikap merupakan keseluruhan evaluasi yang dilakukan konsumen (Engel, dkk, 1995). Kotler (2000) menyatakan bahwa sikap (attitude) adalah evaluasi perasaan emosional dan kecenderungan tindakan menguntungkan atau tidak menguntungkan dan bertahan lama dari seseorang terhadap beberapa obyek atau gagasan.

Kepribadian, nilai dan gaya hidup merupakan sikap yang penting untuk mengerti mengapa orang memperlihatkan perbedaan dalam mengkonsumsi produk dan preferensi merek. Kepribadian didefinisikan sebagai respon yang konsistensi terhadap stimulus lingkungan. Rokeach dalam Engel, dkk (1995) mendefinisikan nilai sebagai kepercayaan abadi bahwa modus perilaku tertentu atau keadaan akhir dari keberadaan.

Nilai yang digunakan oleh individu didasarkan pada nilai inti dari masyarakat tempat tinggal, tetapi dimodifikasi oleh nilai dari kelompok lain, dimana menjadi anggota dan situasi kehidupan atau kepribadian. Sedangkan gaya hidup didefinisikan sebagai pola dimana orang hidup dan menghabiskan waktu, serta uang (Engel, dkk, 1995). Seseorang yang berasal dari sub budaya, kelas sosial dan pekerjaan yang sama dapat mempunyai gaya hidup yang berbeda.

Demografi mendeskripsikan pangsa konsumen dalam istilah seperti usia, pendidikan dan pendapatan. Usia merupakan salah satu karakteristik individu yang mempengaruhi persepsi seseorang dalam membuat keputusan, menerima segala sesuatu sebagai hal yang baru, serta dapat mempengaruhi selera seseorang terhadap beberapa barang dan jasa (Kotler, 2000).

2.2.3. Faktor Psikologis

(28)

Motivasi adalah suatu dorongan dalam diri seseorang untuk memenuhi kebutuhan dan keinginannya yang diarahkan pada tujuan untuk memperoleh kepuasan. Dengan kata lain, motivasi adalah keinginan untuk memuaskan kebutuhan yang ada pada diri manusia.

Persepsi merupakan proses individu dalam memilih, mengorganisasikan, dan menafsirkan masukan-masukan informasi yang dapat menimbulkan preferensi terhadap produk dan merek-merek tertentu ini tercermin dalam perilaku pembeliannya.

Pengetahuan yang ada dalam pikiran manusia merupakan hasil penggunaan panca inderanya (Guhardja, dkk dalam Parinduri, 2004). Seseorang dapat memperoleh pengetahuan dari pendidikan formal maupun informal. Media yang dapat mentransfer pengetahuan pada seseorang, antara lain buku-buku pustaka, majalah, televisi, radio, surat kabar, dan orang lain (seperti orang tua, teman dan tetangga). Dalam hal ini, keyakinan adalah suatu pemikiran deskriptif yang dimiliki seseorang tentang sesuatu .

2.3. Pemasaran

Pemasaran umumnya dipandang sebagai tugas untuk menciptakan, memperkenalkan, dan menyerahkan barang dan jasa kepada konsumen dan perusahaan (Kotler, 2000). Pemasaran bersandar pada konsep inti sebagai berikut : kebutuhan (needs), keinginan (wants), dan permintaan (demands); Produk (barang, jasa dan gagasan); nilai, biaya dan kepuasan; pertukaran dan transaksi; hubungan dan jaringan; pasar; serta pemasar dan calon pembeli konsep-konsep ini diilustrasikan dalam Gambar 3 (Kotler, 1997)

Gambar 3. Konsep inti pemasaran (Kotler, 1997)

Untuk mencapai pasar sasaran menurut Kotler (2000), pemasar menggunakan tiga jenis saluran pemasaran. Pertama saluran komunikasi

Kebutuhan, keinginan, dan permintaan

Produk (barang, jasa dan gagasan)

Nilai, biaya dan Kepuasan

Pertukaran dan

transaksi Hubungan dan jaringan

Pasar Pemasar dan

(29)

digunakan untuk menyerahkan dan menerima pesan dari pembeli sasaran. Kedua saluran distribusi untuk memamerkan atau menyerahkan produk fisik atau jasa kepada pembeli atau pengguna. Ketiga saluran penjualan untuk mempengaruhi transaksi dengan pembeli potensial, saluran ini tidak hanya mencakup distributor dan pengecer melainkan juga bank dan perusahaan asuransi yang memudahkan transaksi.

Lingkungan pemasaran terdiri dari lingkungan tugas dan lingkungan luas. Lingkungan tugas mencakup aktor-aktor dekat yang terlibat dalam memproduksi, menyalurkan, dan mempromosikan tawaran. Sedangkan lingkungan luas terdiri dari enam komponen, yaitu : lingkungan demografis, lingkungan ekonomi, lingkungan alam, lingkungan teknologi, lingkungan hukum-politik, dan lingkungan sosial-budaya. Lingkungan luas mengandung kekuatan yang dapat membawa dampak utama bagi para pelaku di lingkungan tugas (Kotler, 2000).

2.4. Strategi Pemasaran

Pemasaran merupakan suatu proses sosial dan manajerial yang didalamnya individu dan kelompok mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan inginkan dengan menciptakan, menawarkan dan mempertukarkan produk yang bernilai dengan pihak lain (Kotler, 2000). Pemasaran tidak hanya menjual produk-produk perusahaan, tetapi juga sebagai seni untuk mengidentifikasi dan memahami kebutuhan pelanggan dan menciptakan kepuasan pelanggan, memberikan keuntungan pada perusahaan dan pemodal di perusahaan tersebut.

Suatu perusahaan harus mampu merumuskan strategi pemasaran yang tepat agar dapat bersaing dengan perusahaan kompetitor lainnya dalam suatu industri. Strategi dirumuskan sebagai sarana untuk mencapai tujuan akhir selain itu strategi bukanlah sekedar suatu rencana (Jauch dan Glueck dalam Kotler, 2000). Strategi merupakan rencana yang disatukan, mengikat semua bagian perusahaan menjadi satu bagian dan bersifat menyeluruh pada tiap bidang di suatu perusahaan.

(30)

Strategi pemasaran mengandung keputusan dasar tentang pengeluaran pemasaran, bauran pemasaran dan alokasi pemasaran. Perusahaan harus menetapkan anggaran pemasaran untuk mencapai tujuan pemasarannya sehingga diperlukan analisa biaya pengeluaran perusahaan yang dialokasikan untuk pemasaran.

Strategi pemasaran yang dijalankan oleh perusahaan dapat ditelaah melalui bauran pemasaran (marketing mix). Bauran pemasaran adalah suatu campuran dari variabel-variabel pemasaran (produk, harga, saluran distribusi, dan promosi) yang dapat dikendalikan dan dipergunakan oleh suatu perusahaan untuk mengejar tingkat penjualan yang diinginkan dalam pasar sasaran (Kotler, 2000). Bauran pemasaran membantu perusahaan dalam menetapkan strategi perusahaan serta digunakan sebagai alat pengambil keputusan sehingga membantu keberhasilan bidang pemasaran bagi perusahaan. Bauran pemasaran terdiri dari 4 unsur, dikenal dengan 4P : Product, Price, Place, dan Promotion. Dalam penelitian ini terkait dengan bauran distribusi yang dilakukan oleh industri ritel.

2.5. Bauran Pemasaran

Di dalam strategi pemasaran terdapat suatu konsep kunci dalam pemasaran modern yang dikenal dengan bauran pemasaran. Bauran pemasaran adalah seperangkat alat pemasaran yang digunakan perusahaan untuk mencapai tujuan pemasarannya dalam pasar sasaran (Kotler, 2000). Bauran pemasaran produk terdiri atas empat kelompok, yaitu (Kotler, 2000) : 1. Product (produk)

Produk adalah sesuatu yang ditawarkan individu, rumah tangga maupun organisasi ke dalam pasar dan dapat memuaskan keinginan dan kebutuhan konsumen. Macam produk dapat dicirikan fisik, jasa layanan, prestise tempat, organisasi maupun ide.

2. Price (harga)

(31)

3. Place (tempat distribusi)

Menyediakan produk kepada konsumen pada tempat, kualitas dan jumlah yang tepat. Tempat yang dimaksud adalah di mana konsumen dapat memperoleh produk tersebut atau saluran distribusi (cabang). Saluran distribusi adalah himpunan perusahaan dan perorangan yang mengambil hak atau membantu dalam pengalihan hak atas barang atau jasa selama berpindah dari produsen ke konsumen. Dalam pendistribusian, perusahaan membutuhkan penyalur baik dari internal perusahaan maupun eksternalperusahaan. Macam distributor antara lain agen, penyalur, distributor, pedagang besar, pengecer dan perwakilan dagang di luar negeri.

4. Promotion (promosi)

Promosi menunjukkan pada berbagai kegiatan yang dilakukan perusahaan untuk mengkomunikasikan kebaikan produknya, membujuk dan mengingatkan para pelanggan dan konsumen sasaran untuk membeli produk tersebut.

2.6. Saluran Distribusi

(32)

konsumsi. Antara ketiga kegiatan tersebut ada saling interaksi dan ketergantungan satu sama lain. Untuk sampai pada konsumen ada berbagai cara pendistribusian barang, langsung maupun tidak langsung.

MANUFAKTUR ---KONSUMEN MANUFAKTUR --- PENGECER ---KONSUMEN MANUFAKTUR ---PEDAGANG BESAR --- PENGECER ---KONSUMEN MANUFAKTUR----PEDAGANG BESAR---JODBER---PENGECER ---KONSUMEN

Gambar 4. Cara pendistribusian barang dari produsen ke konsumen

Makin panjang rantai distribusi, makin besar biaya yang timbul, sehingga harga barang ketika sampai ke tangan konsumen makin mahal. Kebijaksanaan pemilihan saluran distribusi harus sedemikian rupa, sehingga barang yang disalurkan bisa ke tangan konsumen dalam waktu yang tepat, pada tempat dan harga yang tepat, artinya barang yang disalurkan tersedia di tempat-tempat penjualan pada saat konsumen timbul keinginan untuk membeli dengan harga yang sesuai kemampuannya.

Salah satu jenis pasar yang penting ialah yang berkaitan dengan pasar konsumen. Pada umumya kita ketahui jalur distribusinya panjang dan kompleks, yang berbeda dengan pasar untuk barang-barang industri. Alasannya sederhana saja, yaitu karena konsumennya menyebar disegala penjuru. Dalam pola tata niaga pedagang eceran mempunyai kedudukan kunci, yaitu merupakan ujung tombak dan pos terdepan dari kegiatan distribusi produk.

Pedagang eceran berhadapan langsung dengan konsumen sehingga sukses tidaknya pemasaran tergantung bagaimana ia berperan. Pola umum saluran distribusi barang konsumsi terbentuk karena beberapa faktor, yaitu: 1. Faktor-faktor yang bersifat intern.

a. Sifat dan luasnya pasar, serta perkembangan sarana penunjangnya. b. Faktor historis.

(33)

Adapun faktor-faktor diatas masih berada dalam jangkauan pertimbangan manajemen.

2. Faktor-faktor yang bersifat ekstern.

Misalnya peraturan-peraturan yang berasal dari pemerintah setempat dan lain-lainnya yang membatasi pertimbangan produsen dalam menentukan jumlah dan jenis penyalur barang-barang yang dihasilkan. Contohnya, Pemerintah melarang masuknya modal asing dalam bisnis eceran. Faktor ini diluar jangkauan perusahaan.

2.7. Usaha eceran

Definisi ritel menurut Kotler (2002) adalah Usaha Eceran meliputi semua kegiatan terlibat dalam penjualan barang atau jasa secara langsung kepada konsumen akhir untuk penggunaan pribadi dan bukan bisnis. Pengecer atau toko eceran adalah usaha bisnis yang volume penjualannya terutama berasal dari penjualan eceran.

Melihat evolusi outlet retail, dari yang primitif sampai yang paling modern dan canggih, telah mengambil bentuk yang bermacam-macam seperti dibawah ini:

1. Perdagangan eceran skala kecil yang bertujuan memenuhi kebutuhan non-masal:

a. Berlokasi di halaman rumah sendiri tanpa bangunan permanen. b. Pasar mingguan yang aktif hanya seminggu satu atau dua hari

seminggu.

c. Menjajakan barang secara keliling (semacam pedagang kaki lima). d. Warung dengan bangunan semi permanen di halam sendiri atau

dekat rumah.

e. Pasar dengan bangunan tetap dan aktif setiap hari.

2. Perdagangan eceran skala besar yang bertujuan memenuhi kebutuhan massal:

a. Kios dan toko b. Specialty store c. Convinience store

(34)

e. Departemen store f. Supermarket g. Chain store

h. Franchise

2.8. Franchise (Waralaba)

2.8.1. Pengertian Franchise (Waralaba)

Kata franchise berasal dari bahasa Perancis affanchir yang berarti bebas dari kungkungan/belenggu (free from servitude). Di sini hakekat dari pengertian waralaba adalah mandiri/bebas. Waralaba berasal dari kata wara (lebih/istimewa) dan laba (untung). Jadi waralaba berarti suatu bentuk kemitraan usaha antara pengwaralaba (franchisor) dengan pewaralaba (franchisee), yang saling menguntungkan dan diatur oleh Standard Operation Prosedure (SOP). SOP ini ditetapkan oleh pengwaralaba (franchisor) untuk menjaga bentuk produk, standarisasi mutu dan pelayanan.

Dalam bahasa Indonesia kata franchise dipadankan dengan kata waralaba. Kata waralaba pertama kali diperkenalkan oleh Lembaga Pendidikan dan Pembinaan Manajemen (LPPM) UI, sebagai padanan kata franchise. Tetapi waralaba bukan terjemahan langsung dari kata franchise.

Dalam konteks bisnis, franchise berarti kebebasan untuk menjalankan usaha secara mandiri di wilayah tertentu. Rincian padanan kata untuk sistem keterkaitan usaha waralaba dengan franchise dari kata Inggris dan Indonesia beserta pengertiannya terdapat pada Tabel 5.

(35)

menanggung resiko kerugian. Franchisor (pengwaralaba) mengendalikan distribusi barang dan/atau jasanya melalui suatu kontrak dengan mengatur aktivitas dalam hubungannya untuk mencapai standarisasi. Hal ini juga dijelaskan oleh Mendelshon (1993) yang menyatakan bahwa franchising merupakan karakter dagang dimana seorang yang terkenal atau suatu karakter yang telah tercipta, memberikan franchise (lisensi) kepada orang lain, dimana dengan lisensi tersebut mereka berhak untuk menggunakan sebuah nama. Tabel 4. Padanan Franchise dalam Bahasa Asing dan Pengertiannya

Sumber: LPPM UI dan Depperindag,1993.

Organisasi Franchise adalah asosiasi kontraktual antara franchisor, yaitu produsen, pedagang besar, atau organisasi jasa dengan franchisee, yaitu usahawan bebas (independen) yang memberi hak untuk memiliki dan mengoperasikan satu atau beberapa unit dalam sistem franchise. Organisasi franchise biasanya didasarkan atas beberapa produk, jasa atau metode bisnis yang unik atau merek dagang, atau paten atau hak atas suatu goodwig yang dikembangkan oleh franchisee tersebut (Kotler,1997).

Dalam PP 16 Tahun 1997, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan franchisor adalah badan usaha atau perorangan yang memberikan hak kepada pihak lain untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimilikinya. Dalam penjelasan lebih lanjut pengwaralaba lazim disebut franchisor. Sedangkan pewaralaba adalah badan usaha atau perorangan yang diberikan hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan Inggris Indonesia Pengertian

Franchise Waralaba Suatu sistem keterkaitan usaha vertikal yang saling memberikan keuntungan

(36)

atau ciri khas yang dimiliki franchisor. Dalam penjelasan lebih lanjut, pewaralaba lazim disebut franchisee.

Walaupun terdapat perbedaan dalam merumuskan definisi franchise yang telah disebutkan di atas, namun pada umumnya franchise memiliki unsur-unsur sebagai berikut:

a. Franchise merupakan perjanjian timbal balik antara franchisor dengan franchisee dimana masing-masing pihak mempunyai hak dan kewajiban yang ditentukan dalam perjanjian;

b. Tujuan hubungan kerjasama tersebut untuk efisiensi pemasaran dari suatu produk atau jasa dalam suatu wilayah tertentu;

c. Hubungan kerja sama terjalin secara erat dan terus menerus antara franchisor dengan franchisee;

d. Franchisee berkewajiban untuk membayar fee kepada franchisor; e. Franchisee diijinkan menjual dan mendistibusikan barang atau jasa

franchisor menurut cara yang telah ditentukan franchisor atau mengikuti metode bisnis yang dimiliki franchisor;

f. Substansi franchisee menggunakan merek, nama perusahaan, atau simbol-simbol komersial franchisor.

2.8.2. Karakteristik Dasar Franchise

Terdapat beberapa karakteristik yang membedakan antara franchise dengan tipe usaha lain (Purba,1995):

a. Kerjasama antara franchisor dan franchisee dilaksanakan dalam bentuk perjanjian atau kontrak yang sifatnya saling menguntungkan dan antara franchisor dengan franchisee harus ada kesepakatan bersama;

b. Paket usaha yang difranchisekan merupakan suatu paket standar dan bisa dipasarkan dimana saja;

(37)

d. Untuk membuka usaha baru franchisee harus menanamkan modalnya tanpa ada penyertaan kepemilikan usaha dari pihak franchisor dan franchisor bisa membantu dalam bentuk pengadaan peralatan atau gedung yang dicicil oleh franchisee;

e. Franchisee harus memiliki cabang usaha tersebut. Dengan kepemilikan ini maka franchisee berhak dan wajib mengelola bisnisnya, sedangkan franchisor wajib mensupervisi jalannya usaha franchisee. Sebagai imbalan dari pembed hak pengelolaan usaha tersebut, franchisee harus membayar fee kepada franchisor.

2.8.3. Mekanisme Pola Franchise

a. Jenis dan Metode Operasi Franchise

Berdasarkan substansi kemitraannya (Depperindag, 1998), franchise dibedakan dalam beberapa jenis yaitu:

1. Produk dan merek dagang.

Franchisee boleh membuat produk (membuat turunannya/menggandakan aslinya, seperti kaset lagu) dan menggunakan merek dagang dari franchisor serta mengedarkan (menjual) untuk wilayah tertentu. Franchisee juga bebas menggunakan cara-cara dalam mengedarkan (menjual), tetapi wajib memenuhi persyaratan mutu, desain dan kemasan produk serta bentuk huruf dan wama dari merek dagang. Contohnya: kaset lagu barat yang diedarkan di Indonesia, produk-produk sepatu Bata, tas dan ikat pinggang dengan merek-merek dari luar neged (bukan bajakan), dan pompa bensin. 2. Manufaktur (Manufacturing)

(38)

Bahan-bahan inti disuplai oleh franchisor, dan tidak diperkenankan dibuat oleh franchisee. Franchisee berhak mengedarkan (menjual) produk tersebut dengan menggunakan merek dagang dari franchisor dan bebas dalam cara mengedarkannya. Pada dasamya fee atau royalty yang dibayar oleh franchisee tidak pemah dihitung sebagai bagian yang tersendiri tetapi dimasukkan dalam harga bahan baku inti yang mencapai tidak kurang dari 12% dari Net Sales. Selain memberikan hak tunggal penggunaan merek untuk wilayah tertentu, franchisor juga memberikan pelatihan, bimbingan maupun on going services berupa marketing co-opt (bantuan biaya periklanan yang besamya masing-masing 50% untuk brand building, quality control, audit dan training, serta operating system advice).

3. Franchise Format Business (Business Format)

Business format merupakan jenis franchise yang paling populer dikalangan franchisee yang pengalamannya dalam mengelola dan mengorganisir suatu usahamasih sedikit. Hal ini disebabkan karena semua aspek dalam mengelola dan mengorganisir usaha yang difranchisekan tersebut telah distandarisasikan oleh franchisee sehingga mudah bagi franchisee untuk menguasai dan mengoperasikannya. Termasuk dalam jenis ini adalah restoran,ritel dan hotel.

(39)

dihasilkan oleh pengwalaba. Contohnya adalah pendistribusian kendaraan bermotor dan mesin penjual dengan mata uang logam/vending machine1. Conversion franchising mempunyai keunggulan yaitu matangnya pengalaman franchisee dalam menjalankan bisnis, bantuan manajemen dan teknik dari franchisor, jaringan (network) pemasaran yang telah berkembang luas, dan hak penggunaan merek dagang (Karamoy, 1996). Perbedaan tipe ini dengan tipe franchise lainnya teletak pada franchisor yang merupakan perusahaan yang berpengalaman dalam mengoperasikan usaha, bukan perusahaan baru atau perusahaan yang sedang belajar bisnis. Tipe ini berkembang cukup pesat di negara Amerika Serikat dan umumnya diterapkan dalam bidang usaha seperti perhotelan, otomotif, konsultan dan toko (retail).

Menurut Mendelshon (1993), terdapat 6 metode dalam mengembangkan usaha franchise yaitu:

1. Operasi oleh pemilik perusahaan.

Dalam metode ini franchisor membangun operasinya sendiri sehingga membutuhkan sumber keuangan dan tenaga kerja yang besar untuk menjalankan operasinya.

2. Franchising langsung

Metode ini melibatkan franchisor dalam penyediaan sokongan dasar serta dukungan langsung secara berkesinambungan kepada setiap franchisee yang disertai dengan pembukaan cabang tambahan.

3. Operasi cabang

Pembukaan operasi cabang disebabkan karena dua keadaan yaitu untuk memberikan layanan kepada franchisee langsung dan sebagai basis regional untuk

1

(40)

memberikan layanan kepada franchisee di wilayah tersebut.

4. Subsidiary Company/Sub Franchising

Perusahaan tambahan berfungsi sebagai; (1) pemberi layanan kepada franchisee langsung, (2) franchisor memberikan hak master franchise kepada subsidiary untuk membuka operasinya sendiri atau dengan sub franchising, (3) subsidiary dapat ikut serta dalam partner joint venture, (4) subsidiary dapat dipakai sebagai basis regional untuk memberikan pelayanan kepada sub franchisee atau sub franchisor di wilayah tersebut. Contoh perusahaan yang menerapkan metode ini adalah Wendy's Restaurant.

5. Pengaturan master franchise

Sub franchisor memiliki hak untuk membuka outlet-nya sendiri atau membuat sub franchise. Sub franchisor pada dasarnya mewakili franchisor di suatu negara serta mewakili semua tujuan dan kehendak franchisor atas sistem di wilayah tersebut. Contoh perusahaan yang menerapkan metode ini adalah Mc Donald's.

6. Joint Venture/Area Development Franchise

(41)

Perbedaan antara model master franchising, model sub franchising dan model area development franchising terletak pada on going relationship antara franchisor dan Franchisee, dari siapa Franchisee harus mendapatkan dukungan (support) dan kepada siapa fee dan royalty harus dibayar (Depperindag,1998). Pada model master franchising, master franchise memberikan initial training dan support sedangkan on going support diberikan oleh franchisor. Dalam hal ini master franchisee mendapatkan bagian dari royalty dan advertising fee yang dibayarkan oleh franchisee kepada franchisor.

Pada model sub franchising, sub franchisor memberikan training, initial support dan on going support. Royalty dan fee termasuk juga advertising fee dibayar oleh franchisee kepada sub franchisor, dan kemudian sub franchisor membayar sebagian tertentu kepada franchisor. Pada model ini franchisor memberikan training, support, dan on going support kepada franchisee. Area developer membayar front end fee dan franchisee membayar royalty langsung kepada franchisor, akan tetapi area developer tidak mendapat bagian dari royalty maupun advertaising fee. Ia hanya mendapat bagian dari keuntungan dari tiap unit, apabila ia mempunyai saham di dalamnya.

b. Persyaratan Menjalankan Sistem Franchise

(42)

perolehan finansial yang didapatkan dari operasi bisnis franchise harus memungkinkan franchisee untuk mendapatkan return on asset yang layak, (5) franchisor dapat memperoleh laba yang layak secara terns-menerus, dari uang franchise (franchise fee).

(43)
[image:43.612.98.507.102.725.2]

Tabel 5. Tahapan Perkembangan Franchisor Berdasarkan Jumlah Franchisee

Jumlah Franchisee Keterangan

1 – 10 Pada tahap ini Franchisor masih meraba-raba cara yang dipilihnya. Ini terjadi ketika ia mengetahui apakah dia telah cukup cermat atau belum dalam melakukan uji coba terhadap konsepnya. Franchisor sangat rentan terhadap pengalamannya dalam menyeleksi franchisee. Dia merasa tidak sabar karena telah menginvestasikan sumber dayanya dalam mempersiapkan pemasaran franchisenya dan terus menjual franchisenya untuk mendapatkan anus kas

11 – 40 Franchisor sekarang telah mengatasi rintangan pertamanya, namun dia menghadapi masalah dengan empat atau lima dari sepuluh franchiseenya yang bdak puas. Sdat kebdakpuasan ini mungkin tidak nyata, tetapi dapat menyita banyak waktu franchisor. Pada tahap ini, seandainya franchise belum tersusun dengan baik, bermacam-macam stress dan ketegangan dapat timbul. Pada titik ini pun franchisor akan mengembangkan infrastruktur organisasinya untuk mengatasi peninakatan iumlah franchisee serta pertumbuhan bisnisnya. Kehati-hatian harus diambil untuk menjamin bahwa angka pertumbuhan tidak melebihi sumber daya dan kapasitas franchisor.

41 – 100 Pada tahap ini bisnis franchise relatif telah dewasa. Franchisor sudah terorganisir dengan baik dan telah menikmati penghasilan yang memadai dari aktifitasnya. Franchisor mengalihkan perhatiannya untuk meletakkan dasar bagi ekspansi bisnisnya. Pada tahap ini franchisor juga akan perlu mengevaluasi apa yang telah tejadi di dalam bisnisnya. Saat ini cukup memungkinkan franchisor menyesuaikan diri dengan kemajuan dan perubahan serta pelayanan yang terbaik terhadap franchiseenya.

Lebih dari 100 Di sini franchisor mencapai kematangan dan seluruh informasi yang relevan yang diperlukan untuk menilai sistem franchise telah tersedia. Franchisee yang ada akan menyediakan sumber informasi yang berharga tentang kualitas Franchisor dan sistem franchise serta hubungan yang ada diantara mereka. Keberhasilan franchisor untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan dan memberikan respon terhadap perkembangan dan peluang-peluang pasar juga akan menjadi nyata terlihat.

(44)

mungkin pada tipe bisnis yang sama dengan sistem franchise, (2) franchisee yang puas dengan dirinya sendiri, (3) franchisee yang penakut, (4) franchisee yang fdak mengikuti sistem, (5) franchisee yang dipengaruhi oleh keluarga atau teman yang usil, (6) franchisee yang berharap terlalu banyak, (7) franchisee yang tidak mempunyai bakat yang cocok.

c. Dampak Pola Franchise bagi Franchisor

Keunggulan pola bisnis franchise dapat dikemukakan dengan mengidentifikasikan keuntungan-keuntungan yang diperoleh oleh franchisor dan franchisee. Melalui pola franchise, franchisor dapat meningkatkan efisiensi dan produktivltasnya, karena tanpa menambah investasi modal, kegiatan usahanya bertambah luas, bukan saja dalam negeri tapi juga di luar negeri. Menurut Mendelshon (1993), keuntungan-keuntungan yang diperoleh franchisor adalah sebagai berikut:

1.Franchise dapat menghasilkan keuntungan yang memadai tanpa pedu terlibat dengan resiko modal yang tinggi maupun dengan masalah-masalah dan detail sehari-hari yang timbul di dalam manajemen outlet eceran yang kecil. 2.Franchisor mempunyai kemampuan untuk memperluas

jaringan secara lebih cepat pada tingkat nasional dan internasional dengan menggunakan modal yang risikonya seminimal mungkin.

d. Dampak Pola Franchise bagi Franchisee

(45)

Franchisee juga dapat menikmati hasil riset, pengembangan sistem, usaha peduasan pemasaran, dan sistem pengelolaan keuangan yang lebih mutakhir dari franchisor. Dengan kata lain franchisee memiliki akses kepada rahasia dagang atau rumus-rumus dan metode yang dimiliki oleh franchisor.

2.9. Analisis Faktor

Analisis faktor adalah sebuah metode yang pertama kali diperkenalkan oleh Spearman yang bertujuan menemukan hubungan (interrelationship) antar banyak peubah berkorelasi yang sulit diamati menjadi peubah yang sedikit dan berarti secara konseptual dan relative bebas disebut factor (Sartono, et al. 2003).

Analisis faktor adalah sebuah metode peubah ganda yang bertujuan menjelaskan hubungan antara banyak variabel berkorelasi yang sulit diamati menjadi variabel yang sedikit dan berarti secara konseptual dan relatif bebas, yang disebut faktor. Proses analisis faktor mencoba menemukan hubungan (interrelationship) antar sejumlah variabel yang saling independen satu dengan yang lain, sehingga bisa dibuat satu atau beberapa kumpulan variabel yang lebih sedikit dari jumlah variabel awal. Kumpulan variabel disebut faktor, dimana faktor tersebut tetap mencerminkan variabel-variabel aslinya (Santoso, 2003).

2.10. Model Sikap Multiatribut Fishbein

Menurut Engel, dkk. (1994) formulasi Fishbein merupakan model multiatribut yang paling terkenal. Model tersebut mengemukakan bahwa sikap terhadap objek tertentu (misalnya merek) didasarkan pada perangkat kepercayaan yang diringkas mengenai atribut objek yang bersangkutan, yang diberi bobot oleh evaluasi terhadap atribut ini.

(46)

Model tersebut menggambarkan bahwa sikap konsumen terhadap produk atau merek ditentukan oleh dua hal yaitu, kepercayaan terhadap atribut yang dimiliki produk atau merek dan evaluasi pentingnya atribut dari produk tersebut. Model tersebut biasanya digunakan untuk mengukur sikap konsumen terhadap berbagai merek dari suatu produk. Komponen ei

mengukur evaluasi kepentingan atribut-atribut yang dimiliki oleh objek tersebut sedangkan bi mengukur kepercayaan konsumen terhadap atribut

yang dimiliki oleh masing-masing merek.

Sumarwan (2003) mengemukakan tiga konsep utama dari Model Fishbein sebagai berikut:

1. Atribut (Salient Belief)

Atribut adalah karakter dari objek sikap (Ao). Salient belief adalah kepercayaan konsumen bahwa produk memiliki berbagai atribut, sering disebut sebagai attribute-object beliefs. Para peneliti sikap harus mengidentifikasi berbagai atribut yang akan dipertimbangkan konsumen ketika mengevaluasi suatu objek sikap (Ao, suatu produk).

2. Kepercayaan (Belief)

Kepercayaan adalah kekuatan kepercayan bahwa suatu produk memiliki atribut tertentu. Konsumen akan mengungkapkan kepercayaan terhadap berbagai atribut yang dimiliki suatu merek dan produk yang dievaluasinya, langkah ini digambarkan oleh bi yang mengukur kepercayaan konsumen terhadap atribut yang dimiliki oleh masing-masing merek.

3. Evaluasi Atribut

Merupakan evaluasi terhadap baik buruknya suatu atribut dari produk, yaitu menggambarkan pentingnya suatu atribut bagi konsumen. Konsumen akan mengidentifikasi atribut-atribut atau karakteristik yang dimiliki oleh objek yang akan dievaluasi. Konsumen akan menganggap atribut produk memiliki tingkat kepentingan yang berbeda.

2.11. Important Performance Martrix

(47)

Kepentingan

= Y

= X

[image:47.612.152.485.188.386.2]

lurus pada titik (X, Y), dimana X merupakan rataan skor tingkat kepuasan pelanggan terhadap kinerja perusahaan. Sedangkan Y merupakan rataan skor tingkat kepentingan seluruh atribut yang mempengaruhi kepuasan pelanggan. Diagram tersebut dapat dilihat pada Gambar 5 berikut ini:

Gambar 5. Diagram kartesius (Supranto, 2001)

Kepuasan Prioritas Utama

A

Prioritas Rendah B

Berlebihan D

(48)

3.1.Kerangka Pemikiran

Gejala yang tampak dalam perekonomian masyarakat akhir-akhir ini adalah semakin berkembangnya perdagangan eceran (retailing), baik yang berskala besar modern, maupun kecil informal. Konsumsi barang terutama consumer goods seperti kebutuhan sehari-hari, kebutuhan rumah tangga tidak akan pernah berhenti apapun kondisinya, bisa berkurang tetapi tidak untuk berhenti. Sehingga tidak salah, bila sektor konsumsi masih menjadi primadona. Indikasinya, industri ritel pertahunnya tetap tumbuh. Tidak hanya tumbuh dari sisi jumlah outletnya, namun juga dari sisi sales volume. Menurut data, hingga saat ini total outlet ritel di Indonesia mencapai 5000 outlet dengan total sales sebesar Rp. 140 triliun. Angka sebesar itu membuktikan bahwa bisnis ritel sangat menjanjikan.

Seiring dengan pesatnya perkembangan bisnis ritel modern, terlebih pada sektor minimarket, membawa dampak yang signifikan terhadap pola berbelanja masyarakat di perkotaan maupun di daerah pelosok sekalipun. Mereka mulai cenderung meninggalkan outlet tradisional dan memilih outlet modern dalam berbelanja. Adapun pola pengembangan pasar bisnis ritel modern yang tengah mengalami perkembangan yang fantastik adalah melalui pola waralaba (franchising) selain lisensi dan keagenan. Beberapa pemain bisnis ritel di Indonesia seperti Indomaret, Alfamart, Starmart, AMPM, maupun Circle K menjadi besar dan sukses, salah satunya karena praktek franchising-nya.

(49)

franchisee Alfamart melalui evaluasi perilaku franchisee. Kerangka pemikiran penelitian lebih jelasnya bisa dilihat pada Gambar 6.

[image:49.612.95.506.305.663.2]

Data diperoleh melalui survei dengan penyebaran kuesioner kepada responden, dan diperoleh skor tingkat kepentingan dan kepercayaan terhadap atribut franchise Alfamart, dan skor mengenai seberapa penting pengaruh variabel-variabel yang diduga mempengaruhi franchisee dalam pembelian franchise. Kemudian data diolah dengan analisis faktor untuk mengelompokkan variabel-variabel yang mempengaruhi keputusan pembelian franchise ke dalam faktor-faktor yang nantinya akan terbentuk, kemudian analisis sikap multiatribut Fishbein untuk mengetahui sikap franchisee terhadap atribut franchise Alfamart.

Gambar 6. Kerangka Pemikiran dalam Penelitian Analisis

Faktor

Potensi Bisnis Ritel yang Menjanjikan

Identifikasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi

Perilaku Pembelian Franchise

Ketatnya Persaingan Usaha Minimarket Dengan Sistem franchise

Studi Perilaku Franchisee

Evaluasi Perilaku Franchisee

RekomendasiPerbaikan Strategi Franchise Alfamart

Model Fishbein + Matriks

(50)

3.2.Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilakukan dengan pengambilan data melalui kuesioner yang disebar ke outlet-outlet franchise Alfamart di wilayah Jabotabek untuk diisi oleh franchisee. Yang meliputi Distribution Center (DC) Cileungsi, Bekasi dan Serpong. Hal ini berdasarkan pengamatan penulis bahwa di wilayah Jabotabek keberadaan Alfamart tengah menjamur dan berkembang pesat. Sehingga penelitian akan lebih mudah dilakukan. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni – Agustus 2006.

3.3. Metode Penelitian

3.3.1. Penentuan Contoh

Populasi dari penelitian ini adalah semua outlet franchise Alfamart yang berada di wilayah DC Cileungsi, DC Bekasi dan DC Serpong yang meliputi daerah Bogor, Depok, Jakarta, Bekasi, dan Serpong. Jumlah sampel ditentukan dengan menggunakan metode kuota, yaitu pembagian jumlah outlet sesuai dengan proporsinya. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Pembagian jumlah sampel masing-masing daerah.

NO DC

JUMLAH OUTLET

FRANCHISE PROPORSI

JUMLAH CONTOH

1 Cileungsi 57 0.53 30

2 Bekasi 28 0.26 7

3 Serpong 22 0.21 5

JUMLAH 107 1,00 42

(51)

3.3.2. Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari franchisee Alfamart dengan menggunakan perangkat kuisioner di tempat-tempat survei. Selain itu dilakukan juga pengamatan, wawancara dan pencatatan langsung di lapangan. Wawancara dilakukan dengan PT. Sumber Alfaria Trijaya (SAT) sebagai pemegang lisensi merek dagang Alfamart. Untuk menunjang data primer, wawancara juga dilakukan terhadap beberapa informan. Data sekunder diperoleh dari literatur yang relevan, yang dipublikasikan oleh perusahaan sendiri maupun literatur-literatur lain yang diperoleh dari berbagai sumber diantaranya dari Asosiasi Franchise Indonesia (AFI), majalah ‘FRANCHISE’ dan ‘MARKETING’, dan literatur lainnya. Situs-situs ekonomi dan bisnis juga turut melengkapi data-data yang dibutuhkan.

3.3.3. Pengolahan dan Analisis Data

Data primer yang telah diperoleh dengan melakukan wawancara dengan franchisee Alfamart akan ditabulasi dan diolah dengan rumus statistika menggunakan program Microsoft Excel 2003 dan SPSS for windows ver.11.5 Adapun tahap pengolahannya adalah yang pertama melalui proses uji validitas-reliabilitas terlebih dahulu. Setelah kuesioner dinyatakan valid dan andal, maka selanjutnya dilakukan analisis data menggunakan Analisis Faktor dan Model Fishbein.

a. Uji Validitas

(52)

membuktikan hipotesis hubungan dua variabel atau lebih adalah sama. Rumus dari teknik ini adalah sebagai berikut :

) (

2 2

=

y x

xy

rxy ... (2)

Dimana :

rxy = Korelasi antara variabel x dengan y

x = ( )

_

x

i x

y = ( )

_

y

i y

atau dengan rumus berikut :

{

∑ ∑

}{

}

− = 2 2 2

2 ( ) ( )

) )( ( i i i i i i i i xy y y n x x n y x y x n

r ... (3)

Dengan :

Ho = instrumen dinyatakan tidak valid Ha = instrumen dinyatakan valid

Kemudian rxy di bandingkan dengan rtabel dengan taraf kesalahan

tertentu. Jika rhitung lebih besar dari harga rtabel, maka Ho ditolak dan

terima Ha.

b. Uji Reliabilitas

Uji Reliabilitas sangat penting dalam suatu penelitian. Menurut Supranto (2001), ada dua manfaat dalam memiliki skala dengan keandalan tinggi (high reliability); yaitu :

1. Dapat membedakan antara berbagai tingkatan kepuasan lebih baik daripada skala dengan keandalan rendah.

2. Besar kem

Gambar

Tabel 1. Proporsi Pasar Ritel 1
Tabel 3. Data Jumlah Perusahaan Franchise
Gambar 1. Model perilaku keputusan konsumen dan faktor-faktor
Gambar 2. Model perilaku konsumen (Engel, dkk, 1995)
+7

Referensi

Dokumen terkait