DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Darus, Mariam. Perlindungan Konsumen Dilihat dari Perjanjian Baku (standar), Kertas Kerja Pada Simposium Aspek-aspek Hukum Masalah Perlindungan Konsumen.
Jakarta, 1980.
Kotler, Philip. Manajemen Pemasaran; Analisis, Perencanaan Implementasi, dan Pengendalian (Marketing managements; Analysis, Planning, Implementation, and Control). diterjemahkan oleh Adi Zakaria Afiff, vol II. Jakarta: Lembaga Penerbit FEUI, 1993
Kristiyanti, Celina Tri Siwi. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: Sinar Grafika, 2008.
Limberg, Godwin., Ramses Iwan, Moira Moeliono, Yayan Indriatmo, Agus Mulyana dan Nugroho Adi Utomo. Bukan Hanya Laba: Prinsip-Prinsip Bagi Perusahaan Untuk Melaksanakan Tanggung Jawab Sosial, Jakarta: SMK Grafika Desa Putera, 2009.
Miru, Ahmadi dan Sutarman Yodo. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.
Makarim, Edmon. Kompilasi Hukum Telematika, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003. Muyassarotussolichah, Aspek Hukum Dalam Bisnis, Cet. Kedua, Yogyakarta: Program
Studi Keuangan Islam (KUI) UIN Sunan Kalijaga, 2009.
Nasution, AZ. Hukum Perlindungan Konsumen, Yogyakarta: Tarawang Pers, 2001. ______________________________. Konsumen dan Hukum: Tinjauan Sosial, Ekonomi
dan Hukum pada Perlindungan Konsumen Indonesia, Cet. Pertama, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995.
Nieuwenhuis, Pokok-pokok Hukum Perikatan, terjemahan Djasadin Saragih, Surabaya: Universitas Airlangga, 1985.
Pasaribu, Chairuman dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam. Jakarta: Sinar Grafika, 1996.
Patrick, Purwahid, Dasar-Dasar Hukum Perikatan (Perikatan yang Lahir dariPerjanjian dan Undang-Undang), Bandung: Mandar Maju, 1994.
.
Sidabolok, Janus. Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006.
Saefullah, H.E. Tanggung jawab Produsen terhadap Akibat Hukum yang ditimbulkan dari Produk pada Era Pasar Bebas, Penyunting: Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati, Hukum Peerlindungan Konsumen, Bandung : Mandar Maju, 2000. Susilo, Zumrotin K. Penyambung Lidah Konsumen. Jakarta: Puspa Swara : 1999.
Sutedi, Adrian. Tanggung Jawab Produk Dalam Hukum Perlindungan Konsumen. Bogor: Ghalia Indonesia, 2008.
Siahaan,N.H.T. Hukum Konsumen: Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk, Jakarta: Panta Rei, 2005.
Artikel:
Manan, Bagir. Perspektif Perlindungan Hukum bagi Konsumen di Indonesia, makalah disajikan dalam seminar Perlindungan Konsumen dalam Era Pasar Bebas, Universitas 11 Maret Surakarta.
Peraturan Perundang-undangan:
Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen, UU No.8 Tahun 1999.
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia tentang Standar Nasional Indonesia, PP No.15 Tahun 1991.
Republik Indonesia, Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia tentang Petunjuk Penggunaan (Manual) dan Kartu Jaminan/Garansi dalam Bahasa Indonesia bagi Produk Elektronika, Kepmen No.608/MPP/Kep/10/1999.
Republik Indonesia, Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia tentang Ketentuan dan Tata Cara Pengawasan barang dan atau Jasa yang Beredar di Pasar, Kepmen No. 634/MPP/Kep/9/2002.
Republik Indonesia, Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia tentang Pendaftaran Petunjuk Penggunaan (Manual) dan Kartu Jaminan/Garansi Purna Jual dalam Bahasa Indonesia Bagi Produk Telematika dan Elektronika, Permen No. 19/M-DAG/PER/5/2009.
Subekti, R dan R. Tjitrosudibio. 2004. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta : PT. Pradnya Paramita.
Standar Nasional Indonesia Nomor 7229: 2007 tentang Ketentuan Umum Pelayanan Purna Jual.
Internet:
Anonim,
Anonim,
Siaran Pers No. 61/PIH/KOMINFO/5/2010,
Siaran Pers No. 141/PIH/KOMINFO/6/2009,
Siaran Pers No. 169/PIH/KOMINFO/8/2009,
Siaran Pers No. 175/PIH/KOMINFO/8/2009,
Siaran Pers No. 181/PIH/KOMINFO/9/2009
Anonim, tanggal 7 Agustus 2010.
BAB III
TANGGUNG JAWAB PRODUK (PRODUCT LIABILITY) DALAM LAYANAN PURNA JUAL
A. Prinsip-Prinsip Tanggung Jawab
Dalam hukum, setiap tuntutan pertanggungjawaban harus mempunyai dasar, yaitu
hal yang menyebabkan seseorang harus (wajib) bertanggung jawab. Dasar
pertanggungjawaban itu menurut hukum perdata adalah kesalahan dan risiko yang ada
dalam setiap peristiwa hukum. Secara teoritis pertanggungjawaban yang terkait dengan
hubungan hukum yang timbul antara pihak yang menuntut pertanggungjawaban dengan
pihak yang dituntut untuk bertanggung jawab dapat dibedakan menjadi: 37
a. Pertanggungjawaban atas dasar kesalahan, yang dapat lahir karena terjadinya
wanprestasi, timbulnya perbuatan melawan hukum, tindakan yang kurang
hati-hati.
b. Pertanggungjawaban atas dasar risiko, yaitu tanggung jawab yang harus dipikul
sebagai risiko yang harus diambil oleh seorang pengusaha atas kegiatan usahanya.
Terkait dengan pertanggungjawaban didalamnya terdapat prinsip tanggung jawab
yang merupakan perihal yang sangat penting dalam hukum perlindungan konsumen.
Dalam kasus-kasus pelanggaran hak konsumen, diperlukan kehati-hatian dalam
menganalisis siapa yang harus bertanggung jawab dan seberapa jauh tanggung jawab
dapat dibebankan kepada pihak-pihak terkait.38
37
Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumendi Indonesia, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2006), Hal. 101.
38
Secara umum, prinsip-prinsip tanggung jawab hukum dapat dibedakan sebagai
berikut:
1. Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (liability base on fault) 2. Prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab (presumption of liability)
3. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab (presumption of nonliabiity)
4. Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability)
5. Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (limitation of liability)
Ad.1. Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (liability base on fault)
Prinsip ini menyatakan, seseorang baru dapat dimintakan pertanggungjawabannya
secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukan. Prinsip ini dalam Pasal 1365
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dipegang secara teguh. Pasal
1365 KUHPerdata yang dikenal sebagai pasal tentang perbuatan melawan hukum,
mengharuskan terpenuhinya empat unsur pokok yaitu:
adanya perbuatan melanggar hukum;
perbuatan melanggar hukum dapat berupa melanggar hak orang lain, bertentangan
dengan kewajiban hukum si pembuat, berlawanan dengan kesusilaan dan
berlawanan dengan sikap hati-hati yang seharusnya diindahkan dalam pergaulan
masyarakat terhadap diri atau benda orang lain.39
adanya unsur kesalahan;
kesalahan ini mempunyai tiga unsur yaitu:40
39
Miru dan Yodo, Op.cit., Hal.130. 40
1. perbuatan yang dilakukan dapat disesalkan;
2. perbuatan tersebut dapat diduga akibatnya:
a. dalam arti objektif: sebagai manusia normal dapat menduga akibatnya;
b. dalam arti subjektif: sebagai seorang ahli dapat menduga akibatnya.
3. dapat dipertanggungjawabkan: debitur dalam keadaan cakap
adanya kerugian yang diderita;
pengertian menurut Nieuwenhuis adalah berkurangnya harta kekayaan pihak yang
satu yang disebabkan oleh perbuatan (melakukan atau membiarkan) yang
melanggar norma oleh pihak lain.41
Kerugian yang diderita seseorang secara garis besar dapat dibagi atas dua bagian
yaitu kerugian yang menimpa diri dan kerugian yang menimpa harta benda
seseorang, sedangkan kerugian harta benda sendiri dapat berupa kerugian nyata
yang dialami serta kehilangan yang diharapkan.42
adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian.
Prinsip ini dapat diterima karena adalah adil bagi orang yang berbuat salah untuk
mengganti kerugian bagi pihak korban. Artinya tidak jika orang yang tidak bersalah
harus mengganti kerugian yang diderita orang lain. Dan beban pembuktiannya ada
pada pihak yang mengakui mempunyai suatu hak, dalam hal ini adalah penggugat.
Ad.2. Prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab (presumption of liability)
41
Nieuwenhuis, Pokok-pokok Hukum Perikatan, terjemahan Djasadin Saragih, (Surabaya: Universitas Airlangga, 1985), Hal. 57.
42
Prinsip ini menyatakan, tergugat selalu dianggap bertanggung jawab sampai ia dapat
membuktikan kalau ia tidak bersalah. Beban pembuktian ada pada si tergugat. Ini
dikenal dengan istilah beban pembuktian terbalik.
Dalam prinsip beban pembuktian terbalik, seseorang dianggap bersalah sampai yang
bersangkutan dapat membuktikan sebaliknya, hal ini tentu bertentangan dengan asas
hukum praduga tidak bersalah yang lazim dikenal dalam hukum namun jika
diterapkan dalam kasus konsumen akan tampak asas ini cukup relevan karena yang
berkewajiban untuk membuktikan kesalahan itu ada di pelaku usaha.43
Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab hanya dikenal dalam lingkup
transaksi konsumen yang sangat terbatas dan pembatasan demikian biasanya secara
common sense dapat dibenarkan.
Ad.3. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab (presumption of nonliabiity)
44
Contohnya dapat kita lihat dalam hukum
pengangkutan, kehilangan atau kerusakan pada bagasi kabin/tangan yang biasanya
dibawa dan diawasi oleh penumpang (konsumen) adalah tanggung jawab dari
penumpang, dalam hal ini pelaku usaha tidak dapt diminta pertanggungjawabannya.45
Sekalipun demikian, dalam Pasal 44 ayat 2 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1995
tentang Angkatan Udara, ada penegasan,”prinsip praduga untuk tidak selalu
bertanggung jawab” ini tidak lagi diterapkan secara mutlak dan mengarah kepada
prinsip tanggung jawab dengan pembatasan uang ganti rugi, artinya bagasi
kabin/tangan tetap dapat dimintakan pertanggungjawabannya sepanjangbukti
43
Kristiyanti, Op.cit., Hal. 95 44
Shidarta, Op.cit., Hal.62 45
kesalahan pihak pelaku usaha dapat ditunjukkan, beban pembuktian ada padi si
penumpang.46
Di Indonesia konsep strict liability (tanggung jawab mutlak, tanggung jawab risiko) secara implisit dapat ditemukan di dalam pasal 1367 dan Pasal 1368 KUHPerdata.
Pasal 1367 KUHPerdata mengatur tentang tanggung jawab seseorang atas kerugian
yang disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah pengawasannya.
Sedangkan Pasal 1368 KUHPerdata tentang tanggung jawab pemilik atau pemakai
seekor binatang buas atas kerugian yang ditimbulkan oleh binatang itu, meskipun Ad.4. Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability)
Adalah prinsip tanggung jawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang
menentukan namun ada pengecualian-pengecualian yang memungkinkan untuk
dibebaskan dari tanggung jawab misalnya keadaan force majeur. Pada prinsip ini hubungan kausalitas antara pihak yang bertanggung jawab dengan kesalahannya
harus ada.
Strict liability adalah bentuk khusus dari tort (perbuatan melawan hukum), yaitu prinsip pertanggungjawaban dalam perbuatan melawan hukum yang tidak didasarkan
pada kesalahan (sebagaimana pada tort umumnya), tetapi prinsip ini mewajibkan pelaku usaha langsung bertanggung jawab atas kerugian yang timbul karena
perbuatan melawan hukum itu. Dengan prinsip tanggung jawab mutlak ini, maka
kewajiban pelaku usaha untuk mengganti kerugian yang diderita oleh konsumen
karena mengonsumsi produk yang cacat merupakan suatu risiko, yaitu termasuk
dalam risiko usaha. Karena itu, pelaku usaha harus lebih berhati-hati dalam menjaga
keselamatan dan keamanan pemakaian produk terhadap konsumen.
46
binatang itu dalam keadaan tersesat atau terlepas dari pengawasannya. Keadaan
tersesat atau terlepas ini sudah menjadi faktor penentu tanggung jawab tanpa
mempersoalkan apakah ada perbuatan melepaskan atau menyesatkan binatangnya.
Dengan perkataan lain, pemilik barang dan pemilik atau pemakai binatang dapat
dituntut bertanggungjawab atas dasar risiko, yaitu risiko yang diambil oleh pemilik
barang atau pemilik/pemakai binatang47
Prinsip tanggung jawab ini sangat merugikan konsumen bila ditetapkan secara
sepihak oleh pelakuusaha dan dalam UUPK seharusnya pelaku usaha tidak boleh
secara sepihak menentukan klausul yang merugikan konsumen termasuk membatasi
maksimal tanggung jawabnya, jika ada pembatasan mutlak harus berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. .
Ad.5. Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (limitation of liability)
Prinsip ini sangat disenangi oleh pelaku usaha untuk dicantumkan sebagai klausula
eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya. Dalam perjanjian jasa laundry
misalnya jika kita barang kita hilang atau rusak maka ganti kerugian hanya dibatasi
yaitu 10 kali dari biaya pencucian.
48
Tanggung jawab produk adalah terjemahan dari istilah product liability. Kata “tanggung jawab” yang dipergunakan pada pengertian tanggung jawab produk, karena
kata “tanggung jawab” tersebut sudah dipakai secara umum oleh masyarakat untuk
terjemahan responsibility dan liability dalam bahasa Inggris. Namun demikian banyak
B. Tanggung Jawab Produk (Product Liability)
47
Sidabalok, Op.cit., Hal. 115-119. 48
kalangan sarjana hukum yang memisahkan antara kata responsibility dengan liability, yaitu menerjemahkan responsibility dengan tanggung jawab sedangkan liability dengan tanggung gugat. Tanggung gugat mengandung berbagai makna. Seringkali digunakan
sinonim dengan bertanggung jawab tetapi lebih menekankan kewajiban untuk
menjawab/menjelaskan perbuatan, penegakan aturan, dan atau siap menerima hukuman
atas perbuatan yang salah.49
Product liability adalah suatu tanggung jawab secara hukum dari orang/badan yang menghasilkan suatu produk (producer, manufacturer), dari orang/badan yang bergerak dalam suatu proses untuk menghasilkan suatu produk (processor, assembler) atau mendistribusikan (seller, distributor) produk tersebut.
Penulis lebih memilih tetap menggunakan istilah tanggung
jawab produk terhadap terjemahan product liability karena istilah tersebut lebih umum dipakai sehingga diharapkan tidak menimbulkan salah pemahaman
50
Selain itu ada juga yang
berpendapat bahwa tanggung jawab produk adalah tanggung jawab para produsen untuk
produk yang telah dibawanya ke dalam peredaran, yang menimbulkan/menyebabkan
kerugian karena cacat yang melekat pada produk tersebut.51
Mengenai ciri-ciri dari product liability dengan mengambil pengalaman dari Masyarakat Eropa da terutama Negeri Balanda, dapat dikemukakan secara singkat
sebagai berikut:52
49
Godwin Limberg, et.al, Bukan Hanya Laba: Prinsip-Prinsip Bagi Perusahaan Untuk Melaksanakan Tanggung Jawab Sosial, (Jakarta: SMK Grafika Desa Putera, 2009), Hal. 9.
50
H.E Saefullah, Tanggung jawab Produsen terhadap Akibat Hukum yang ditimbulkan dari Produk pada Era Pasar Bebas, Penyunting: Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati, Hukum Peerlindungan Konsumen, (Bandung : Mandar Maju, 2000), Hal. 46.
51
Agnes M.Toar, Penyalahgunaan Keadaan dan Tanggung Jawab atas Produk di Indonesia, Makalah, Disajikan dalam Seminar Dua Hari tentang Pertanggungjawaban Produk dan Kontrak Bangunan yang diselenggarakan oleh Yayasan Pusat Pengkajian Indonesia bekerjasama dengan Badan Pembinaan Hukum Nasional, Jakarta, 25-26 Agustus 1988, Hal. 6, dalam: Miru dan Yodo,Op.cit., Hal. 23.
52
1. Yang dapat dikualifikasikan sebagai produsen adalah:
pembuat produk jadi (finished product);
penghasill bahan baku;
pembuat suku cadang;
setiap orang yang menampakkan dirinya sebagai produsen dengan jalan
mencantumkan namanya, tanda pengenal tertentu atau tanda lain yang
membedakan dengan produk asli, pada produk tertentu;
importir suatu produk dengan maksud untuk diperjualbelikan, disewakan,
disewagunakan (leasing) atau bentuk distribusi lain dalam transaksi perdagangan;
pemasok (supplier) dalam hal identitas dari produsen atau importir tidak
dapat ditentukan.
2. Yang dapat dikualifikasikan sebagai konsumen adalah konsumen akhir
(end-consumer atau ultimate (end-consumers);
3. Yang dapat dikualifikasikan sebagai produk adalah benda bergerak, sekalipun
benda bergerak tersebut telah menjadi komponen/bagian dari benda bergarak atau
benda tetap lain, listrik, dengan pengecualian produk-produk pertanian dan
perburuan;
4. Yang dapat dikualifikasikan sebagai kerugian adalah kerugian pada manusia dan
kerugian pada harta benda, selain dari produk yang bersangkutan;
5. Produk dikualifikasi sebagai mengandung kerusakan apabila produk itu tidak
memenuhi keamanan yang dapat diharapkan oleh seseorang dengan
penampilan produk;
maksud penggunaan produk;
saat ketika produk ditempatkan di pasaran
Tujuan peraturan perundang-undangan tentang tanggung jawab produk adalah
untuk53
a. Menekan tingkat kecelakaan karena produk cacat; atau :
b. Menyediakan saran ganti rugi bagi (korban) produk cacat yang tak dapat
dihindari.
Dari perkembangan product liability diberbagai negara, dapat dikemukakan bahwa product liability merupakan lembaga hukum yang tetap menggunakan kontruksi hum tort (perbuatan melawa hukum) dengan beberapa modifikasi antara lain:54
1. Produsen langsung dianggap bersalah jika terjadi kasus product liability sehingga didalamnya dianut prinsip praduga bersalah (presumption of fault) berbeda dengan praduga tidak bersalah (presumption of no fault) yang dianut oleh tort. 2. Karena produsen dianggap bersalah, konsekuensinya ia harus bertanggung jawab
untuk memberi ganti rugi secara langsung kepada pihak konsumen yang
menderita kerugian. Jenis tanggung jawab ini disebut no fault liability atau strict liability.
3. Karena produsen sudah dianggap bersalah maka konsumen yang menjadikorban
tidak perlu lagi membuktikan unsur kesalahan produsen. Dilihat dari segi ini,
konsumen jelas sangat diringankan dari beban untuk membuktikan kesalahan
53
AZ. Nasution II, Konsumen dan Hukum: Tinjauan Sosial, Ekonomi dan Hukum pada Perlindungan Konsumen Indonesia, Cet. Pertama, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995), Hal. 175.
54
produsen yang relative sangat sukar diatur seperti dianut dalam tort. Dalam hal ini beban pembuktian justru dialihkan kepada pihak produsen untuk membuktikan
bahwa ia tidak melakukan kesalahan yang menimbulkan kerugian kepada
konsumen.
Tanggung jawab produk yakni tanggung jawab hukum yang disebabkan oleh
keadaan tertentu produk (cacat atau membahayakan orang lain). Tanggung jawab ini
sifatnya mutlak (strict-liability) atau semua kerugian yang diderita seorang pemakai produk cacat atau membahayakan (diri sendiri dan orang lain) merupakan tanggung
jawab mutlak dari pembuat produk atau mereka yang dipersamakan dengannya. Dengan
diterapkannya tanggung jawab mutlak itu, pelaku usaha telah dianggap bersalah atas
terjadinya kerugian pada konsumen akibat produk cacat yang bersangkutan (tanggung
jawab tanpa kesalahan “liability without fault”), kecuali apabila ia dapat membuktikan sebaliknya bahwa kerugian itu bukan disebabkan produsen sehingga tidak dapat
dipersalahkan padanya55
Ada beberapa alasan mengapa prinsip tanggung jawab mutlak tersebut diterapkan
dalam tanggung jawab produk: .
56
1. Diantara korban/konsumen disatu pihak dan produsen dilain pihak, beban
kerugian seharusnya ditanggung oleh pihak yang memproduksi /mengeluarkan
barang-barang cacat/berbahaya tersebut di pasaran.
2. Dengan menempatkan/mengedarkan barang-barang di pasaran berarti produsen
menjamin bahwa barang-barang tersebut aman dan pantas untuk digunakan dan
bilamana terbukti tidak demikian maka dia harus bertanggung jawab.
55
Nasution II, Op.cit., Hal. 174. 56
3. Sebenarnya tanpa menerapkan prinsip tanggung jawab mutlak pun produsen yang
melakukan kesalahan tersebut dapat dituntut melalui proses penuntutan beruntun
yaitu konsumen kepada pedagang eceran, pengecer kepada grosir, grosir kepada
distributor, distributor kepada agen dan agen kepada produsen. Penerapan prinsip
strict liability ini dimaksudkan untuk menghilangkan proses yang panjang ini.
Berkenaan dengan tanggung jawab produk, seorang pelaku usaha harus
bertanggung jawab atas kerugian bagi konsumen baik kerugian fisik, kematian atau harta
benda karena produk yang cacat. Pengertian produk yang cacat adalah setiap produk yang
tidak dapat memenuhi tujuan pembuatannya baik karena kesengajaan atau kealpaan
dalam proses produksinya maupun disebabkan hal-hal lain yang terjadi dalam
peredarannya, atau tidak menyediakan syarat-syarat keamanan bagi manusia atau harta
benda dalam penggunaannya, sebagaimana diharapkan orang.57
Untuk mengetahui kapan suatu produk mengalami cacat, dapat dibedakan atas
tiga kemungkinan yaitu:58
1. Kesalahan produksi
Kesalahan produksi ini dapat dibedakan atas dua bagian yaitu pertama adalah
kesalahan yang meliputi kegagalan proses produksi, pemasangan produk,
kegagalan pada sarana inspeksi, apakah karena kelalaian manusia atau
ketidakberesan pada mesin dan yang serupa dengan itu, sedangkan yang kedua
adalah produk-produk yang telah sesuai dengan rancangan dan spesifikasi yang
dimaksudkan oleh pembuat, namun terbukti tidak aman dalam pemakaian normal.
57
Emma Suratman S.H. (Ketua Tim) Naskah Akademis Peraturan Perundang-undangan tentang Tanggung Jawab Produsen di bidang Farmasi terhadap Konsumen1990, BPHN Departemen Kehakiman RI, 1991, Hal. 9 dalam Nasution I, Op.cit, Hal.248.
58
2. Cacat desain
Pada cacat desain ini, cacat terjadi pada tingkat persiapan produk. Ini terdiri atas
desain, komposisi atau konstruksi.
3. Informasi yang tidak memadai
Informasi yang tidak memadai ini berhubungan dengan pemasaran suatu produk
dimana keamanan suatu produk ditentukan oleh informasi yang diberikan kepada
pemakai yang berupa pemberian label produk, cara penggunaan, peringatan atas
resiko tertentu atau hal lainnya sehingga produsen pembuat dan supplier dapat memberikan jaminan bahwa produk-produk mereka itu dapat dipergunakan
sebagaimana dimaksudkan. Dengan demikian, produsen berkewajiban untuk
memperhatikan keamanan produknya. Hal ini tidak berakhir hanya sampai pada
penempatan produk dalam sirkulasi.
Gugatan product liability dapat dilakukan berdasarkan tiga hal:59
1. melanggar jaminan (breach of warranty), misalnya kasiat yang timbul tidak sesuai dengan janji yang tertera dalam kemasan produk;
2. ada unsur kelalaian (negligence), misalnya produsen lalai memenuhi standar obat yang baik
3. menerapkan tanggung jawab mutlak
Seperti telah disebutkan sebelumnya dalam tanggung jawab produk ini berlaku
prinsip tanggung jawab mutlak. Prinsip pertanggungjawaban mutlak (strict liability) ini tidak mempersoalkan lagi mengenai ada atau tidak adanya kesalahan, tetapi pelaku usaha
langsung bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan oleh produknya yang cacat.
59
Pelaku usaha dianggap harus bertanggung jawab apabila telah timbul kerugian pada
konsumen karena mengkonsumsi suatu produk dan oleh karena itu pelaku usaha harus
mengganti kerugian itu. Dan sebaliknya, pelaku usahalah yang harus membuktikan
bahwa ia tidak bersalah, yaitu bahwa ia telah melakukan produksi dengan benar,
melakukan langkah-langkah pengamanan yang wajib ia ambil.
Meskipun sistem tanggung jawab pada product liability berlaku prinsip strict liability, akan tetapi pihak pelaku usaha masih dapat membebaskan diri dari tanggung jawabnya, baik untuk seluruhnya atau untuk sebagian. Hal-hal yang dapat membebaskan
tanggungjawab produsen tersebut adalah:60
a. Cacat yang menyebabkan kerugian tersebut tidak ada pada saat produk
diedarkan oleh produsen, atau terjadinya cacat tersebut baru timbul kemudian;
b. Bahwa produk tersebut tidak dibuat oleh produsen baik untuk dijual atau
diedarkan untuk tujuan ekonomis maupun dibuat atau diedarkan dalam rangka
bisnis;
c. Bahwa terjadinya cacat pada produk tersebut akibat keharusan memenuhi
kewajiban yang ditentukan dalam peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah;
d. Bahwa secara ilmiah dan teknis (state of scintific an technical knowledge, state or art defense) pada saat produk tersebut diedarkan tidak mungkin cacat;
e. Dalam hal produsen dari suatu komponen, bahwa cacat tersebut disebabkan oleh
desain dari produk itu sendiri dimana komponen telah dicocokkan atau
disebabkan kesalahan pada petunjuk yang diberikan oleh pihak produsen tersebut;
f. Bila pihak yang menderita kerugian atau pihak ketiga turut menyebabkan
terjadinya kerugian tersebut (contributory negligence);
60
g. Kerugian yang terjadi diakibatkan oleh Acts of God atau force majeur.
C. Penerapan Tanggung Jawab Produk (Product Liability) dalam Layanan Purna Jual
Sesuai dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia, seorang konsumen bila
dirugikan dalam mengkonsumsi barang atau jasa, dapat menggugat pihak yang
menimbulkan kerugian itu. Pihak tersebut di sini bisa berarti produsen/pabrik, supplier,
pedagang besar, pedagang eceran/penjual ataupun pihak yang memasarkan produk,
bergantung dari siapa yang melakukan atau tidak melakukan perbuatan yang
menimbulkan kerugian bagi konsumen.
Tuntutan ganti rugi atas kerugian yang dialami oleh konsumen sebagai akibat
penggunaan produk, baik yang berupa kerugian materi, fisik maupun jiwa, dapat
didasarkan pada beberapa ketentuan, yang secara garis besar hanya ada dua kategori,
yaitu tuntutan ganti kerugian yang berdasarkan wanprestasi dan tuntutan ganti kerugian
berdasarkan perbuatan melanggar hukum.61
a. Tuntutan berdasarkan wanprestasi
Ganti kerugian yang diperoleh karena adanya wanprestasi merupakan akibat tidak
dipenuhinya kewajiban utama atau kewajiban tambahan yang ada dalam suatu perjanjian
antara konsumen dengan produsen. Tuntutan untuk membayar ganti kerugian di sini tidak
lain daripada akibat penerapan klausula dalam perjanjian.
b. Tuntutan Berdasarkan Perbuatan Melanggar Hukum
Berbeda dengan tuntutan ganti kerugian yang didasarkan wanprestasi, tuntutan ganti
kerugian yang didasarkan pada perbuatan melanggar hukum tidak perlu didahului dengan
61
perjanjian antara pelaku usaha dengan konsumen, sehingga tuntutan ganti kerugian dapat
dilakukan oleh setiap pihak yang merasa dirugikan, walaupun tidak pernah terdapat
hubungan perjanjian antara pelaku usaha dengan konsumen sebelumnya.
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, terkait dengan tanggung jawab produk,
secara umum tanggung jawab produk adalah tanggung jawab hukum yang disebabkan
oleh keadaan tertentu produk (cacat atau membahayakan orang lain) yang sifat tanggung
jawabnya adalah mutlak (strict-liability), semua kerugian yang diderita seorang pemakai produk cacat atau membahayakan (diri sendiri dan orang lain) merupakan tanggung
jawab mutlak dari pembuat produk atau mereka yang dipersamakan dengannya.
Tanggung jawab ini dapat berupa pemberian ganti rugi, Suatu produk dikatakan cacat
jika terdapat kesalahan produksi, cacat desain atau informasi yang tidak memadai.
Berdasarkan hal tersebut diatas penerapan tanggung jawab produk dengan sifat
pertanggungjawaban mutlak hanya jika terdapat suatu produk yang cacat dan syarat
adanya produk yang cacat merupakan hal yang mutlak.
Penerapan konsep product liability ternyata tidak mudah. Sebab dalam sistem pertanggungjawaban secara konvensional, tanggung jawab produk didasarkan adanya
wanprestasi (default) dan perbuatan melawan hukum (fault). Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1365, konsumen yang menderita kerugian akibat produk
barang/jasa yang cacat bisa menuntut pelaku usaha secara langsung. Tuntutan tersebut
didasarkan pada kondisi telah terjadi perbuatan melawan hukum, atau dengan kata lain,
konsumen harus membuktikan terlebih dahulu kesalahan yang dilakukan oleh pelaku
Langkah pembuktian semacam itu sulit dilakukan karena konsumen berada pada
kondisi yang sangat lemah dibandingkan dengan posisi pelaku usaha. Disamping
sulitnya pembuktian, konsumen nantinya juga sulit untuk mendapatkan hak ganti rugi
(kompensasi) atas pelanggaran yang dilakukan pelaku usaha.
Oleh karena itu, diperlukan adanya penerapan konsep strict liability (tanggung jawab mutlak), yaitu bahwa produsen seketika itu juga harus bertanggung jawab atas
kerugian yang diderita konsumen tanpa mempersoalkan kesalahan dari pihak produsen.62
Jika performansi produk selama waktu pemakaian tertentu ternyata tidak sesuai
dengan yang dijanjikan, maka konsumen dapat menuntut pelaku usaha dengan tanggung
jawab produk karena telah memenuhi syarat yaitu adanya produk cacat yang merugikan Dengan konsep strict liability ini, setiap konsumen yang merasa dirugikan haknya bisa menuntut ganti rugi tanpa harus mempermasalahkan ada atau tidaknya unsur kesalahan
yang dilakukan pelaku usaha.
Dalam layanan purna jual yang kita ketahui lingkupnya adalah jaminan mutu,
daya tahan dan kehandalan operasional, tanggung jawab produk dapat kita terapkan.
Berkenaan dengan tanggung jawab produk, dalam layanan purna jual yang dapat
diterapkan tanggung jawab produk adalah jaminan mutu/garansi. Salah satu bentuk
layanan purna jual yang diberikan oleh pelaku usaha adalah pemberian garansi yang
disertakan dalam setiap pembelian produk oleh konsumen. Pemberian garansi merupakan
wujud pertanggungjawaban pelaku usaha kepada konsumen atas terjadinya kerusakan
prematur suatu produk atau ketidakmampuan produk untuk melaksanakan fungsi yang
diharapkan.
62
dan kriteria cacatnya adalah informasi yang tidak memadai dari pelaku usaha mengenai
produk tersebut. Dengan tanggung jawab produk ini, konsumen tidak perlu membuktikan
kesalahan karena beban pembuktian ada pada pelaku usaha.
Oleh karena tanggung jawab produk merupakan lembaga hukum yang tetap
menggunakan konstruksi hukum tort (perbuatan melawan hukum) maka ganti ruginya adalah ganti rugi karena perbuatan melawan hukum yaitu suatu bentuk ganti rugi yang
dibebankan kepada orang yang telah menimbulkan kesalahan kepada pihak yang
dirugikan dan undang-undang membatasi penggantian hanya berupa kerugian tidak
BAB IV
HAK-HAK KONSUMEN YANG TERABAIKAN DALAM LAYANAN PURNA JUAL
A. Hak-Hak Kosumen dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Sebelum membahas mengenai hak konsumen, ada baiknya kita memahami dulu
apa pengertian hak. Dalam istilah bahasa Indonesia hak mempunyai beberapa arti,
diantaranya: milik, kewenangan, kekuasaan untuk berbuat sesuatu. Sedangkan dalam
bahasa hukum hak adalah kekuasaan untuk melakukan sesuatu karena hal tersebut telah
ditentukan oleh Undang-undang atau peraturan lainnya.63
a. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsurnsi barang
dan/atau jasa;
Dari sini dapat dikatakan
bahwa hak adalah suatu kekuasaan yang pemenuhannya dilindungi oleh hukum.
Adapun hak konsumen yang diatur dalam pasal 4 UUPK, yakni:
Hak atas keamanan dan keselamatan ini dimaksudkan untuk menjamin keamanan
dan keselamatan konsumen dalam penggunaan barang dan/atau jasa yang
diperolehnya sehingga konsumen terhindar dari kerugian (fisik maupun psikis)
apabila mengkonsumsi suatu produk.64
63
Abdurrahman, Ensiklopedia Ekonomi, Keuangan dan Perdagangan, (Jakarta:PT. Pradnya paramita,1991), Hal. 154. dalam Muyassarotussolichah, Aspek Hukum Dalam Bisnis, Cet. Kedua, (Yogyakarta:Program Studi Keuangan Islam (KUI) UIN Sunan Kalijaga, 2009), Hal. 128.
64
b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa
tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
Hak memilih dimaksudkan untuk memberikan kebebasan kepada konsumen untuk
memilih produk-produk tertentu sesuai kebutuhannya, tanpa ada tekanan dari luar.
Berdasarkan hak memilih ini konsumen berhak memutuskan untuk membeli atau
tidak terhadap suatu produk, demikian pula keputusan untuk memilih baik
kualitas maupun kuantitas jenis produk yang dipilihnya.65
c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa;
Setiap produk yang diperkenalkan kepada konsumen harus disertai informasi
yang benar. Informasi ini diperlukan agar konsumen tidak sampai mempunyai
gambaran yang keliru atas produk barang dan/atau jasa. Informasi ini dapat
disampaikan dengan berbagai cara seperti lisan kepada konsumen, melalui iklan
diberbagai media atau mencantumkan dalam kemasan produk.66
d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan / atau jasa yang
digunakan;
Hak ini berkaitan erat dengan hak untuk mendapatkan informasi. Hak ini untuk
menghindari konsumen memdapatkan kerugian lebih lanjut. Ini antara lain
disebabkan oleh informasi yang diberikan pihak yang berkepentingan sering tidak
cukup memberikan kejelasan atau ada pengaduan terhadap kerugian yang diderita,
oleh karenanya konsumen berhak menggunakan hak ini dan disampaikan baik
65
Ibid., Hal. 42. 66
secara perseorangan maupun kolektif, disampaikan secara langsung atau diwakili
oleh suatu lembaga tertentu seperti LSM
e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian
sengketa perlindungan konsumen secara patut;
Hak ini dimaksudkan untuk memulihkan keadaan konsumen yang telah dirugikan,
hak ini sebenarnya juga meliputi hak untuk mendapatkan ganti kerugian.
f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
Hak ini dimaksudkan agar konsumen memperoleh pengetahuan dan keterampilan
yang diperlukan agar dapat terhindar dari kerugian akibat penggunaan produk.
Pendidikan disini tidak harus diartikan sebagai suatu proses formal yang
dilembagakan, bentuk informasi yang komprehensif sudah merupakan pendidikan
konsumen
g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif berdasarkan suku, agama, budaya, daerah, pendidikan, kaya, miskin
dan status sosial lainnya
h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila
barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak
sebagaimana mestinya;
Untuk menghindari dari kewajiban memberikan ganti kerugian, sering terjadi
pelaku usaha mencantumkan klausul-klausul eksonerasi didalam hubungan
lazim ditemukan namun pencantumannya yang secara sepihak tidak
menghilangkan hak konsumen mendapatkan ganti rugi.
i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Hak-hak konsumen sebagaimana disebutkan dalam pasal 4 UUPK lebih luas
daripada hak-hak dasar konsumen sebagaimana dikemukakan oleh Presiden Amerika
Serikat John F. Kennedy di depan kongres pada tanggal 15 Maret 1962, yaitu terdiri
atas:67
a. Hak memperoleh keamanan;
b. Hak memilih;
c. Hak mendapat informasi;
d. Hak untuk didengar.
Keempat hak tersebut merupakan bagian dari Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia yang
dicanangkan PBB pada tanggal 10 Desember 1948, yang oleh Organisasi Konsumen
Sedunia (International Organization of Consumers Union - IOCU) ditambahkan empat hak dasar konsumen lainnya, yaitu:68
a. Hak untuk memperoleh kebutuhan hidup;
b. Hak untuk memperoleh ganti rugi;
c. Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen;
d. Hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat.
Dari rumusan-rumusan hak konsumen tersebut, secara garis besar dapat dibagi dalam tiga
hak yang menjadi prinsip dasar, yaitu69
67
Miru dan Yodo, Op.cit, Hal. 38-39
68
Ibid, Hal. 39. 69
Ibid, Hal. 47.
a. Hak yang dimaksudkan untuk mencegah konsumen dari kerugian, baik kerugian
personal, maupun kerugian harta kekayaan;
b. Hak untuk memperoleh barang dan/atau jasa dengan harga yang wajar;
c. Hak untuk memperoleh penyelesaian yang patut terhadap permasalahan yang
dihadapi.
Oleh karena ketiga hak tersebut merupakan himpunan beberapa hak konsumen
sebagaimana diatur dalam UUPK maka hal tersebut sangat penting bagi konsumen
sehingga dapat dijadikan prinsip perlindungan hukum bagi konsumen. Seperti yang
dikemukan oleh Zoemrotin K. Susila bahwa “dengan kepastian hukum yang jelas
dantegas, pelaku usaha akan semakin berhati-hati dalam memproduksi barang dan/atau
jasa sehingga secara langsung memberikan perlindungan preventif terhadap
konsumen”.70
Tersedianya fasilitas layanan purna jual dengan batas waktu sekurang-kurangnya
setahun didalam UUPK (Pasal 25 ayat 1) sudah merupakan kewajiban pelaku usaha
jika memproduksi barang yang manfaatnya berkelanjutan. Oleh karena ini merupakan
kewajiban pelaku usaha maka merupakan hak konsumenlah untuk mendapatkan
B. Hak-hak Konsumen yang Terabaikan dalam Layanan Purna Jual
Dalam layanan purna jual hak konsumen secara garis besar terbagi menjadi dua
yaitu pertama, hak konsumen yang berkaitan dengan keberadaan fasilitas layanan purna
jual dan kedua, hak konsumen dalam layanan purna jual.
Ad. 1. Hak konsumen terkait keberadaan fasilitas layanan purna jual
70
fasilitas layanan purna jual ini. Jika pelaku usaha tidak menjalankan kewajibannya
dalam menyediakan fasilitas layanan purna jual baik karena sengaja atau kelalaian,
yang berarti mengabaikan hak konsumen untuk mendapatkan fasilitas tersebut maka
konsumen dapat melakukan tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen dan
pelaku usaha harus bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan
konsumen itu. Dalam hal ini BPSK berwenang menjatuhkan sanksi administrative
berupa penetapan ganti rugi paling banyak dua ratus juta rupiah sebagaimana
dinyatakan Pasal 60 UUPK.
Ad. 2. Hak konsumen dalam layanan purna jual
Jika konsumen telah memperoleh haknya yaitu mendapatkan layanan purna jual atas
barang yang dibelinya itu maka yang sering menjadi permasalahan/sengketa adalah
adanya pengabaian hak-hak konsumen.
Sebagaimana kita ketahui lingkup layanan purna jual adalah terkait dengan jaminan
mutu, daya tahan dan kehandalan operasional yang didalamnya termasuk:
pemeriksaan, perbaikan dan/atau penggantian barang atau komponennya tidak
berfungsi baik selama garansi maupun setelah garansi
penyediaan dokumen sebagai informasi kepada konsumen yang mencakup dan
tidak terbatas pada identitas dan spesifikasi barang, prosedur, buku petunjuk,
leaflet, brosur, skema/diagram/gambar atau media pendukung lainnya yang menggunakan bahasa Indonesia dan mudah dimengerti
Ketersediaan pusat pelayanan purna jual (service center)
Dalam lingkup layanan purna jual inilah hak-hak konsumen sering terabaikan dan
hak-hak itu antara lain:
Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa;
Hak untuk didengar pendapat dan keluhan atas barang dan/atau jasa yang
digunakan;
Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa
perlindungan Konsumen secara patut;
Hak untuk diperlakukan dan dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila
barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak
sebagaimana mestinya.
C. Penyelasaian Sengketa dalam Layanan Purna Jual
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya sengketa atau konflik seringkali terjadi
dalam suatu hubungan antara pelaku usaha dengan konsumen dalam melaksanakan
kegiatan bisnisnya, baik konsumen yang merasa dirugikan ataupun sebaliknya namun
biasanya konsumenlah yang selalu dirugikan.
Hal ini juga yang yang sering terjadi pada kegiatan pelayanan purna jual suatu
barang. Keadaan ini dalam banyak kasus disebabkan oleh karena tidak terpenuhinya
hak-hak konsumen, terabaikannya hak-hak-hak-hak konsumen, konsumen tidak mendapatkan apa
diberikan oleh pelaku usaha, terabaikannya hak untuk didengar keluhannya, pelayanan
tidak sesuai dengan apa yang dijanjikan dan masih banyak lagi hal-hal yang dapat
menjadi sengketa dalam layanan purna jual. Selain itu sengketa juga bisa terjadi jika
dalam memproduksi barang pelaku usaha tidak menyediakan fasilitas layanan purna jual
yang baru diketahui konsumen setelah membeli produknya.
Sengketa-sengketa yang terjadi membutuhkan upaya penyelesaian yang dapat
memberikan solusi atau keuntungan di kedua belah pihak. Upaya penyelesaian sengketa
adalah upaya atau cara mengajukan tuntutan hak secara individu atau kelompok untuk
menjamin terpenuhinya hak-hak konsumen.71
1. pengadilan
Sesuai dengan ketentuan Pasal 45 ayat 1 UUPK yang menyatakan setiap
konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas
menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang
berada di lingkungan peradilan umum. Pasal 45 ayat 2 menyatakan penyelesaian sengketa
konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan
sukarela para pihak yang bersengketa.
Berdasarkan pasal tersebut diatas penyelesaian sengketa layanan purna jual dapat
diselesaikan melalui dua cara yaitu melalui:
2. di luar pengadilan
Ad. 1. Penyelesaian sengketa melalui pengadilan
Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan diatur dalam pasal 48 UUPK,
yang menyatakan “Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu
71
pada ketentuan tentang peradilan umum yang berlaku dengan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 45”.
Merujuk pada Pasal 46 ayat (1) UUPK, bentuk gugatan yang dapat dilakukan melalui
pengadilan ada 3 macam, yaitu:
a. Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan;
b. Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentinyan yang sama;
c. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat,
yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya
menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah
untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan
sesuai dengan anggaran dasarnya;
d. pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa yang dikonsumsi
atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban
yang tidak sedikit.
Dalam hukum perlindungan konsumen, secara umum proses beracara dalam
menyelesaiakan sengketa konsumen dan pelaku usaha mengenal adanya tiga macam
gugatan, yaitu: 72
a. Small Claim, jenis gugatan yang dapat dilakukan oleh konsumen, sekalipun dilihat secara ekonomis nilai gugatannya sangat kecil. Ada tiga alasan mengapa
small claim diijinkan dalam menyelesaikan sengketa konsumen yaitu:
kepentingan dari pihak penggugat tidak dapat diukur semata karena nilai uang
kerugiannya;
keyakinan bahwa pintu keadilan terbuka bagi siapa saja;
72
untuk menjaga integritas badan-badan peradilan.
b. Class Action, adalah gugatan konsumen dimana korbanya lebih dari satu orang atau gugatan yang dilakukan oleh sekelompok orang. Gugatan kelompok ini
berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun 2002 dikenal dengan
“gugatan perwakilan kelompok”. Dalam UU Perlindungan Konsumen gugatan
kelompok ini diatur dalam pasal 46 ayat 1 (b). Pertanyaan muncul apakah LSM
dapat menjadi wakil dari para konsumen? dapat asalkan saja LSM tersebut juga
berposisi sebagai korban. Apabila dia tidak sebagai korban maka berdasar pasal
46 ayat 1 (c) (legal standing). Dalam Class Action wajib memenuhi empat syarat yang ditetapkan dalam pasal 23 US Federal Of Civil Procedure:
Numerosity, jumlah penggugat harus cukup banyak.
Commonality, adanya kesamaan soal hukum dan fakta antara pihak yang
diwakili dan pihak yang mewakili.
Typicality, adanya kesamaan jenius tuntutan hukum dan dasar pembelaan
yang digunakan antara anggota yang diwakili dan yang mewakili.
Adequacy o f Representation , adanya kemampuan klas yang mewakili dalam
mewakili pihak yang diwakili.
c. Legal Standing, adalah gugatan yang dilakukan sekelompok konsumen dengan menunjuk pihak LSM yang dalam kegiatannya berkonsentrasi pada kegiatan
konsumen untuk mewakili kepentingan konsumen atau dikenal dengan Hak
Gugat LSM. LSM tersebut haruslah berbadan hukum atau yayasan. Hal ini diatur
dalam pasal 1 angka 9 UUPK dan secara teknis diatur dalam PP Nomor 59 Tahun
Ad. 2. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan
Undang-Undang Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa konsumen dapat
menggugat pelaku usaha melalui “lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa
antara konsumen dan pelaku usaha”.73
Bentuk jaminan yang dimaksud dalam hal ini berupa pernyataan tertulis yang
menerangkan bahwa tidak akan terulang kembali perbuatan yang telah merugikan
konsumen tersebut.
Lembaga ini adalah Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen (BPSK) yang tugasnya menyelesaikan sengketa konsumen di
luar jalur pengadilan.
Dalam Pasal 47 UUPK disebutkan bahwa penyelesaian sengketa konsumen di luar
pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan
besarnya ganti rugi dan /atau mengenai tindakan tertentu untuk “menjamin” tidak
akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh
konsumen.
74
Ketentuan pasal 47 ini tidak jelas, apabila penyelesaian sengketa konsumen di luar
pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan, maka logika hukum akan
menunjuk bentuk penyelesaian sengketa secara mediasi atau konsultasi oleh BPSK
dan bukan secara arbitrase oleh karena hasil akhir penyelesaian melalui arbitrase
adalah putusan.75
73
Undang -Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,Pasal 45 ayat 1.
74
Ibid., Penjelasan Pasal 47. 75
Dari sekian banyak cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan, UUPK hanya
memperkenalkan tiga macam yaitu arbitrase, konsiliasi dan mediasi yang merupakan
bentuk atau cara penyelesaian sengketa yang dibebankan menjadi tugas BPSK.
Penyelesaian ini tidak menutup kemungkinan dilakukannya penyelesaian secara
damai oleh pihak yang bersengketa. Pada umumnya dalam setiap proses penyelesaian
sengketa selalu diupayakan untuk diselesaikan secara damai. Yang dimaksud
penyelesaian sengketa secara damai adalah penyelesaian yang dilakukan oleh kedua
belah pihak yang bersengketa (pelaku usaha dan konsumen) tanpa melalui pengadilan
atau Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dan tidak bertentangan dengan
undang-undang ini.
Hal ini juga berlaku dalam sengketa pada layanan purna jual, biasanya pelaku usaha
jika konsumen merasa pelayanan yang diberikan tidak sesuai jaminan, akan lebih
dulu menawarkan solusi dengan mengadakan negosiasi dengan konsumen bahkan
kadang lebih dahulu memberikan kompensasi kepada konsumen. Ini dilakukan
karena terkait dengan reputasi produk yang dimiliki pelaku usaha dan pada akhirnya
akan berpengaruh pada penjualan. Pelayanan purna jual saat ini merupakan hal yang
penting dan diperhitungkan pada saat konsumen membeli suatu produk sehingga
sekarang pelaku usaha tidak segan-segan mengucurkan dana untuk investasi pada
layanan purna jual seperti yang dilakukan PT Ford Motor Indonesia (FMI)
mengucurkan dana senilai Rp 35 milyar untuk memperkuat layanan purna jual (after
sales service).76
76
Augusta B. Sirait
Oleh karena itulah dalam prakteknya pelaku usaha selalu lebih
mengedepankan penyelesaian sengketa yang ada secara damai.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Lingkup layanan purna jual adalah jaminan mutu, daya tahan dan kehandalan
operasional yang didalamnya termasuk pemeriksaan, perbaikan dan/atau penggantian
barang atau komponennya tidak berfungsi baik selama garansi maupun setelah
garansi; penyediaan dokumen sebagai informasi kepada konsumen yang mencakup
dan tidak terbatas pada identitas dan spesifikasi barang, prosedur, buku petunjuk,
leaflet, brosur, skema/diagram/gambar atau media pendukung lainnya yang menggunakan bahasa Indonesia dan mudah dimengerti; ketersediaan pusat pelayanan
purna jual (service center); ketersediaan suku cadang. Dilihat dari payung hukumnya, layanan purna jual ini sudah diatur oleh beberapa peraturan yang cukup komprehensif
dan berhubungan secara harmonis dari mulai peraturan perundang-undangan sampai
dengan peraturan menteri bahkan sudah ada Standar Nasional Indonesia (SNI)
mengenai layanan purna jual ini yaitu SNI No. 7229:2007.
2. Berkenaan dengan tanggung jawab produk, dalam layanan purna jual yang dapat
diterapkan tanggung jawab produk adalah jaminan mutu/garansi. Jika performansi
produk selama waktu pemakaian tertentu ternyata tidak sesuai dengan yang
dijanjikan, maka konsumen dapat menuntut pelaku usaha dengan tanggung jawab
produk karena telah memenuhi syarat yaitu adanya produk cacat yang merugikan dan
produk tersebut. Dengan tanggung jawab produk ini, konsumen tidak perlu
membuktikan kesalahan karena beban pembuktian ada pada pelaku usaha.
3. Hak konsumen yang terabaikan dalam pelayanan purna jual adalah hak atas informasi
yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; hak
untuk didengar pendapat dan keluhan atas barang dan/atau jasa yang digunakan; hak
untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa
perlindungan Konsumen secara patut; hak untuk diperlakukan dan dilayani secara
benar dan jujur serta tidak diskriminatif; hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti
rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai
dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
B. Saran
1. Penegakkan hukum terhadap peraturan-peraturan tentang layanan purna jual
hendaknya lebih ditingkatkan dengan lebih mengedepankan koordinasi mengingat
banyaknya instansi yang terkait dalam hal ini.
2. Perlunya sosialisasi yang dilakukan oleh instansi terkait dalam layanan purna jual ini
mengenai hak-hak konsumen dan tanggung jawab produk bagi pelaku pelaku
sehingga diharapkan pengetahuan konsumen lebih bertambah dan perlindungan
BAB II
PENGATURAN LAYANAN PURNA JUAL DI INDONESIA
A. Pengertian dan Cakupan Layanan Purna Jual
Seorang konsumen didalam melakukan transaksi jual beli melalui beberapa tahap
yaitu tahap pra transaksi, tahap transaksi konsumen, tahap purna transaksi.25 Dalam tahap
pra transaksi, konsumen harus mendapatkan informasi atas barang dan/atau jasa yang
akan dibelinya secara benar, jelas dan jujur melalui brosur, label, iklan ataupun bentuk
informasi lain yang diberikan pelaku usaha. Setelah benar-benar yakin akan barang
dan/atau jasa tersebut terjadilah tahap transaksi. Pada tahap ini para pihak sudah
mencapai kesepakatan yang dituangkan dalam perjanjian baik tertulis maupun tidak
tertulis. Masalah yang banyak terjadi dalam tahap ini adalah jika terdapatnya perjanjian
baku yang lebih banyak menguntungkan pelaku usaha karena perjanjian itu dibuat secara
sepihak, posisi konsumen disini adalah lemah. Kemudian setelah terjadinya transaksi,
seorang konsumen akan melewati tahap selanjutnya yaitu tahap purna transaksi
Layanan purna jual ini sering disamakan dengan istilah garansi. Padahal keduanya
adalah hal yang berbeda. Garansi ini merupakan kesepakatan kontraktual antara pelaku
usaha dan konsumen dalam penjualan suatu produk. Salah satu pengertian dari garansi . Pada
tahap purna transaksi ini berhubungan dengan tingkat kepuasan konsumen, apakah
barang dan/atau jasa yang dibelinya sesuai dengan apa yang diiklankan, sesuai dengan
jaminan atau layanan purna jualnya sudah memadai atau belum. Layanan purna jual ini
berada pada tahap ketiga dalam tahapan transaksi konsumen.
25
adalah suatu kesepakatan dua pihak yang berupa tanggungan atau jaminan dari seorang
penjual bahwa barang yang ia jual tersebut bebas dari kerusakan yang tidak diketahui
sebelumnya oleh penjual dan lazimnya garansi atau jaminan ini punya jangka waktu
tertentu (lazimnya 1 tahun, 2 tahun atau 3 tahun).26 Garansi atau lazim pula disebut
warranty adalah surat keterangan dari suatu produk bahwa pihak produsen menjamin produk tersebut bebas dari kesalahan pekerja dan kegagalan bahan dalam jangka waktu
tertentu.27
Sedangkan mengenai layanan purna jual sendiri Undang-Undang Perlindungan
Konsumen tidak memberikan pengertian ataupun batasan tentang layanan purna jual ini.
Masalah layanan purna jual ini hanya dinyatakan dalam Pasal 25 ayat 1 UUPK yang
menyatakan bahwa pelaku usaha yang memproduksi barang yang pemanfaatannya
berkelanjutan dalam batas waktu sekurang-kurangnya satu tahun wajib menyediakan
suku cadang dan atau fasilitas purna jual
26
Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam. (Jakarta : Sinar Grafika, 1996), Hal.43-44.
dan wajib memenuhi jaminan atau garansi
sesuai dengan yang diperjanjikan. Dalam Penjelasan Pasal 25 ini dinyatakan cukup jelas,
meskipun ternyata tidak cukup jelas karena tidak ada memberikan penjelasan tentang
purna jual, jaminan ataupun garansi dan tidak menyebutkan apakah hal ini akan diatur
oleh peraturan pemerintah. Selanjutnya dalam Pasal 25 ayat 2 dinyatakan apabila pelaku
usaha tidak menyediakan atau lalai menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas perbaikan
atau tidak memenuhi atau gagal memenuhi jaminan atau garansi yang diperjanjikan maka
wajib bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen. Pasal 25
hanya menyebutkan tentang barang, sedangkan terhadap jasa dinyatakan dalam Pasal 26
27
bahwa pelaku usaha yang memperdagangkan jasa wajib memenuhi jaminan dan/atau
garansi yang disepakati dan/atau yang diperjanjikan pelaku usaha
Dapat kita lihat dari uraian di atas bahwa UUPK tidak memberikan pengertian
atau batasan terhadap layanan purna jual, dinyatakan pelaku usaha hanya wajib
memberikan fasilitas purna jual terhadap barang diproduksinya yang pemanfaatannya
sekurang-kurangnya satu tahun; terhadap jasa hanya wajib memberikan jaminan dan atau
garansi sesuai dengan kesepakatan; membedakan antara suku cadang, purna jual, jaminan
dan garansi; apabila tidak menyediakan fasiltas tersebut pelaku usaha bertanggung jawab
atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen.
Pengertian ataupun batasan tentang layanan purna jual ini juga diberikan dalam
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia No.
634/MPP/Kep/9/2002 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pengawasan Barang dan atau
Jasa yang Beredar di Pasar, Pasal 1 angka 12 disebutkan pelayanan purna jual adalah
pelayanan yang diberikan oleh pelaku usaha kepada konsumen terhadap barang dan/atau
jasa yang dijual dalam hal jaminan mutu, daya tahan, kehandalan operasional
sekurang-kurangnya selama 1 (satu) tahun.
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia ini
membuat batasan yang lebih konkrit dan luas terhadap layanan purna jual. Ini terlihat dari
diberikannya layanan purna jual ini terhadap jasa, disebutkan hal-hal apa saja yang
termasuk pelayanan purna jual yaitu jaminan mutu, daya tahan, kehandalan operasional,
waktu pemberian layanan purna jual ini sekurang-kurangnya setahun.
Kemudian Standar Nasional Indonesia (SNI) No. 7229:2007 (standar yang
Indonesia) mengenai ketentuan umum pelayanan purna jual, memberikan batasan
terhadap layanan purna jual yaitu pelayanan yang diberikan oleh prinsipal kepada
konsumen terhadap barang yang dijual dalam hal daya tahan dan kehandalan operasional.
Dalam batasan yang diberikan SNI ini menggunakan istilah “prinsipal” untuk
pelaku usaha. Prinsipal itu sendiri adalah perorangan atau badan usaha yang berbentuk
badan hukum atau bukan badan hukum di luar negeri atau di dalam negeri yang
bertanggung jawab dalam pelayanan purna jual atas penjualan barang yang
dimiliki/dikuasai dengan atau tanpa menunjuk pihak lain.28
Layanan purna jual merupakan kewajiban pelaku usaha kepada konsumen.
Kemudian pelayanan purna
jual ini hanya ditujukan terhadap barang yang dijual dan dalam hal daya tahan serta
kehandalan operasional saja. Pelayanan purna jual ini dapat dilakukan dapat dilakukan
oleh pelaku usaha itu sendiri ataupun menunjuk pihak lain untuk melaksanakannya.
Dari beberapa batasan yang diberikan dapat kita lihat bahwa:
Layanan purna jual diberikan terhadap barang yang pemanfatannya berkelanjutan
dan/atau jasa (terhadap jasa diberikan sesuai dengan kesepakatan).
Layanan purna jual ini dapat dilakukan sendiri oleh pelaku usaha atau menunjuk
pihak lain yang melakukannya.
Termasuk layanan purna jual adalah jaminan mutu, daya tahan dan kehandalan
operasional.
Jangka waktu diberikannya minimal satu tahun.
Ada dua jenis layanan purna jual yang diatur dalam SNI No. 7229:2007 yaitu:
1. Pelayanan purna jual selama masa garansi
28
Jaminan pemeriksaan, perbaikan dan/atau penggantian barang atau komponennya
tidak berfungsi dengan biaya ditanggung oleh principal selama barang
digunakan/dioperasikan.
2. Pelayanan purna jual pasca garansi
Jaminan perawatan (service) berkala, perbaikan, penggantian dan ketersediaan komponen dari barang yang bersangkutan, ketersediaan teknologi, tenaga teknis
yang kompeten serta bengkel perawatan dan perbaikan yang disediakan dengan
biaya yang dibebankan kepada konsumen.
Persyaratan umum layanan purna jual yang ditentukan dalam SNI No 7229:2007
adalah jaminan pelayanan purna jual dilakukan dengan penyediaan dokumen sebagai
informasi kepada konsumen yang mencakup dan tidak terbatas pada identitas dan
spesifikasi barang, prosedur, buku petunjuk, leaflet, brosur, skema/diagram/gambar atau media pendukung lainnya yang menggunakan bahasa Indonesia dan mudah dimengerti,
meliputi:
identitas, spesifikasi dan karakteristik barang
cara penggunaan atau pengoperasian dan perawatan
pedoman teknik atau pedoman servis
jaminan pelayanan purna jual
informasi lainnya
Selanjutnya dalam Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesai Nomor
19/M-DAG/PER/5/2009 tentang Pendaftaran Petunjuk Penggunaan (Manual) dan Kartu
Elektronika, pemberian pelayanan purna jual selama masa garansi dan pasca garansi
berupa:29
Ketersediaan pusat pelayanan purna jual (service center)
Ketersediaan suku cadang
Penggantian produk sejenis apabila terjadi kerusakan yang tidak dapat diperbaiki
selama masa garansi yang diperjanjikan dan
Penggantian suku cadang sesuai jaminan selama masa garansi yang diperjanjikan.
Dalam Lampiran II Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No.
19/M-DAG/PER/5/2009 diatur mengenai persyaratan teknis pusat pelayanan purna jual
untuk produk telematika dan elektronika yaitu:
1. Ruang kerja tetap dan/atau bergerak.
2. Tenaga teknik yang kompeten di bidang servis produk telematika dan elektronika
dan akses terhadap perkembangan teknologi perbaikan.
3. Memiliki sistem manajemen pusat pelayanan purna jual (service center), meliputi antara lain Standar Operasional Prosedur (SOP) atau pedoman teknik/pedoman
servis pemeriksaan, perawatan, perbaikan, dan penggantian.
4. Memiliki peralatan berupa mesin, alat perkakas, atau alat pengetesan/pengujian
yang diperlukan untuk perawatan dan perbaikan barang bagian, komponen,
dan/atau asesorisnya.
5. Ketersediaan bagian, komponen, dan asesoris yang mempengaruhi fungsi dan
kegunaan barang yang diperlukan untuk kegiatan perawatan, perbaikan, dan/atau
penggantian.
29
6. Ketersediaan pelatihan bagi petugas pemeriksaan, perawatan (service) berkala, perbaikan dan/atau penggantian guna meningkatkan keterampilan dan kompetensi
tenaga teknik.
7. Sarana komunikasi yang diperlukan untuk berhubungan dengan pelanggan.
Selanjutnya, layanan purna jual meliputi permasalahan yang luas dan mencakup
masalah kepastian atas:30
1. Ganti rugi jika barang dan/jasa tidak sesuai dengan perjanjian semula
2. Barang yang digunakan jika mengalami kerusakan tertentu dapat diperbaiki
secara cuma-Cuma selama jangka waktu garansi
3. Suku cadang selalu tersedia dalam jangka waktu yang relatif lama setelah
transaksi konsumen dilakukan.
B. Peraturan Layanan Purna Jual
Layanan purna jual ini mempunyai dasar hukum yang cukup kuat yaitu diatur
dalam suatu undang-undang. Undang-Undang Perlindungan Konsumen merupakan
payung hukum bagi layanan purna jual saat ini. Pasal 25 ayat 1 UUPK menyatakan
bahwa pelaku usaha yang memproduksi barang yang pemanfaatannya berkelanjutan
dalam batas waktu sekurang-kurangnya satu tahun wajib menyediakan suku cadang dan
atau fasilitas purna jual
30
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Grasindo, 2000), Hal.127.
dan wajib memenuhi jaminan atau garansi sesuai dengan yang
diperjanjikan. Selanjutnya dalam Pasal 25 ayat 2 dinyatakan apabila pelaku usaha tidak
menyediakan atau lalai menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas perbaikan atau tidak
bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen. Dan jika pelaku
usaha melanggar ketentuan Pasal 25 tersebut, menurut Pasal 60 UUPK, Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) berwenang menjatuhkan sanksi administratif
berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp 200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dengan
tata cara penetapan sanksi administratif yang akan diatur lebih lanjut dalam peraturan
perundang-undangan.
Selain didalam undang-undang, masalah mengenai layanan purna jual ini pun
diatur oleh peraturan-peraturan menteri baik yang mengatur secara langsung maupun
mengatur tentang hal yang terkait dengan layanan purna jual.
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia No.
634/MPP/Kep/9/2002 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pengawasan Barang dan atau
Jasa yang Beredar di Pasar juga banyak mengatur tentang layanan purna jual. Dalam
Keputusan Menteri ini setiap barang dan/atau jasa yang diproduksi atau diperdagangkan
oleh Pelaku Usaha wajib memenuhi persyaratan yang berlaku dalam hal standar,
pencantuman label, pembuatan/pencantuman klausula baku, pelayanan purna jual, cara
menjual atau pengiklanan.31 Pasal 1 angka 12 menyebutkan pelayanan purna jual adalah
pelayanan yang diberikan oleh pelaku usaha kepada konsumen terhadap barang dan/atau
jasa yang dijual dalam hal jaminan mutu, daya tahan, kehandalan operasional
sekurang-kurangnya selama 1 (satu) tahun. Pelaksanaan layanan purna jual ini diawasi oleh
pemerintah (Menteri dan/atau Menteri Tehnis terkait sesuai bidang tugasnya), masyarakat
dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat.32
31
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia No. 634/MPP/Kep/9/2002 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pengawasan Barang dan/atau Jasa yang Beredar di Pasar, Pasal 4 ayat 2
32
Ibid. Pasal 3.
Pengawasan ini
sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun, tidak tersedia suku cadang dan/atau fasilitas purna
jual/perbaikan dan tidak ada atau tidak terpenuhinya jaminan atau garansi sesuai dengan
yang diperjanjian.33. Apabila ada pelaku usaha yang melanggar ketentuan dalam
Keputusan ini, dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1998 tentang Perlindungan Konsumen dan Peraturan PerUndang-undang-
Perundang-undangan yang berlaku.34
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor
608/MPP/Kep/10/1999 tentang Petunjuk Penggunaan (Manual) dan Kartu
Jaminan/Garansi dalam Bahasa Indonesia bagi Produk Elektronika.
Kemudian ada beberapa peraturan yang mensyaratkan adanya layanan purna jual
untuk dapat dipasarkannya suatu barang dan/atau jasa. Peraturan-peraturan tersebut
antara lain:
Menurut Keputusan ini dalam Pasal 2, setiap produk elektronika yang beredar di
pasar Indonesia wajib dilengkapi dengan Petunjuk Penggunaan (Manual) dalam
bahasa Indonesia.
Adanya jaminan layanan purna merupakan syarat pendaftaran Petunjuk
Penggunaan (Manual) dan Kartu Jaminan/Garansi sebagaimana dinyatakan dalam
Pasal 7, dapat didaftarkan apabila yang mendaftarkan mempunyai :
a. Izin Usaha Industri (IUI) atau Tanda Daftar Industri (TDI) bagi produsen dalam
negeri, Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP), dan Angka Pengenal Impor
(API) atau Angka Pengenal Impor Terbatas (APIT) bagi importir.
b. N P W P
33
Ibid., Pasal 8 34
c. Jaminan Pelayanan Purna Jual
Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia Nomor
29/PER/KOMINFO/9/2008 tentang Sertifikasi Alat dan Perangkat
Telekomunikasi.
Setiap alat dan perangkat telekomunikasi yang dibuat, dirakit, dimasukkan untuk
diperdagangkan dan/atau digunakan di wilayah Negara Republik Indonesia wajib
memenuhi persyaratan teknis dan verifikasinya dilaksanakan melaui Sertifikasi
kecuali ditentukan lain dalam Peraturan Menteri ini, demikian dinyatakan dalam
Pasal 2 Peraturan Menteri ini.
Dalam mendapatkan sertifikat, pelaku usaha mengajukan surat permohonan
dengan melampirkan berbagai persyaratan yang salah satunya adalah surat
pernyataan kesanggupan memberikan garansi serta layanan purna jual diatas
materai, kecuali jika alat da perangkat telekomunikasi tidak untuk
diperdagangkan (Pasal 8 ayat 2 huruf f).
Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor
19/M-DAG/PER/5/2009 tentang Pendaftaran Petunjuk Penggunaan (Manual) dan Kartu
Jaminan/Garansi Purna Jual dalam Bahasa Indonesia Bagi Produk Telematika dan
Elektronika.
Dalam Pasal 2 ayat 1 Peraturan Menteri ini dinyatakan bahwa setiap produk
telematika dan elektronika yang diproduksi dan atau diimpor untuk
diperdagangkan di pasar dalam negeri wajib dilengkapi dengan petunjuk
Kemudian disebutkan dalam Pasal 3 ayat 2 bahwa kartu jaminan harus memuat
informasi sekurang-kurangnya:
a. masa garansi;
b. biaya perbaikan gratis selama masa garansi yang diperjanjikan;
c. pemberian pelayanan purna jual berupa jaminan ketersediaan suku cadang
dalam masa garansi dan pasca garansi;
d. nama dan alamat pusat pelayanan purna jual (service centre);
e. nama dan alamat tempat usaha produsen (perusahaan/pabrik) untuk produk
dalam negeri dan
f. nama dan alamat tempat usaha importir untuk produk impor
Dalam Pasal 3 ayat 3 disebutkan pemberian pelayanan purna jual selama masa
garansi dan pasca garansi berupa ketersediaan pusat pelayanan purna jual,
ketersediaaan suku cadang, penggantiaan produk sejenis apabila terjadi kerusakan
yang tidak dapat diperbaiki selama masa garansi yang diperjanjikan dan
penggantian suku cadang sesuai jaminan selama masa garansi yang diperjanjikan.
Selain itu ada ketentuan dalam Pasal 5, bagi produsen atau importir produk
telematika dan elektronika harus memiliki paling sedikit enam pusat pelayanan
purna jual yang berada di kota besar dan/atau di perwakilan daerah beredarnya
produk telematika dan elektronika, jika produsen dan importir tidak memiliki
pelayanan purna jual harus bekerja sama dengan pihak lain yang dibuktikan
dengan Surat Perjanjian Kerjasama.
Selanjutnya setiap layanan purna jual harus memenuhi standar yang telah