• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen ya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen ya"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

“Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen yang Menjadi Korban Iklan Menyesatkan”

I. Pendahuluan

1.1Latar Belakang

Perkembangan perekonomian, perdagangan, dan perindustrian yang kian

hari kian meningkat telah memberikan kemanjaan yang luar biasa kepada

konsumen karena ada beragam variasi produk barang dan jasa yang bisa

dikonsumsi.Dengan kemajuan teknologi telekomunikasi dan informatika, dimana

terjadi perkembangan dalam bertransaksi barang dan jasa yang melintasi

batas-batas wilayah suatu negara, yang pada akhirnya konsumen dihadapkan pada

berbagai jenis barang dan jasa yang ditawarkan secara variatif, baik yang berasal

dari produksi dalam negeri maupun barang-barang import.

Kecenderungan masyarakat konsumtif merupakan lahan sekaligus

tantangan bagi para pelaku usaha untuk memasarkan sebanyak-banyaknya produk

barang dan jasa. Dalam menghadapi masa perdagangan bebas dan persaingan

usaha, para pelaku usaha berusaha mengerahkan berbagai macam cara penjualan

untuk memasarkan produknya. Untuk mencapai target penjualan dan kemampuan

untuk meraih pangsa pasar dalam mencari keuntungan, para pelaku usaha akan

berusaha memproduksi barang dengan harga yang dapatterjangkau oleh

masyarakat. Untuk menarik daya beli konsumen berbagai cara yang menarik

(2)

merayu konsumen pun bermunculan. Hal-hal tersebut yang menyebabkan pelaku

usaha menjual produk menjadi lebih beragam di tengah masyarakat dikarenakan

persaingan yang semakin kompetitif.

Periklanan merupakan salah satu media informasi yang terpenting dalam

rangka promosi atau pemasaran suatu produk. Iklan erat hubungannya dengan

dunia usaha dimana dengan iklan menjadi jalan bagi para pelaku usaha untuk

memperkenalkan produknya kepada konsumen. Tanpa adanya iklan, para pelaku

usaha tidak akan dapat menjual produknya, sedangkan di sisi lain para konsumen

tidak akan memiliki informasi yang memadai mengenai produk-produk yang

tersedia di pasar.

Belakangan ini telah terjadi begitu banyak pelanggaran-pelanggaran yang

dilakukan pelaku usaha karena banyak faktor, diantaranya kurangnya kesadaran

konsumen akan haknya karena kurangnya pendidikan formal konsumen yang

memadaidan kedudukan antara konsumen dan pelaku usaha yang tidak seimbang

dimana posisi konsumen sangat lemahsehingga konsumen sering dijadikan objek

aktivitas bisnis oleh pelaku usaha untuk meraup keuntungan yang

sebesar-besarnya.Jika tidak berhati-hati dalam memilih produk barang/jasa yang

diinginkan, konsumen hanya akan menjadi objek eksploitas dari pelaku usaha

yang tidak bertanggung jawab. Tanpa disadari, konsumen menerima begitu saja

barang/jasa yang dikonsumsinya.

Para pelaku usaha yang bersaing harus mempunyai strategi pemasaran

(3)

mampu memiliki sistem pemasaran produk yang baik. Pelaku usaha harus

melakukan promosi kepada konsumen mengenai produk yang dihasilkan agar

konsumen tertarik untuk membeli dan menggunakan produk tersebut. Promosi

merupakan salah satu hal penting dalam konsep pemasaran yaitu 4P yang pertama

kali diperkenalkan oleh E. Jerome McCathy antara lain: Product (produk), Place

(tempat), Price (harga), dan Promotion(promosi).

Pelaku usaha yang saling berlomba dalam melakukan pemasaran

produknya akan menyebabkan timbulnya persaingan yang tidak sehat. Pelaku

usaha akan mulai menghalalkan segala cara agar produk miliknya mempunyai

nilai jual yang tinggi , yaitu dengan membuat produknya seakan-akan berkualitas

dengan memuat informasi-informasi yang menyesatkan dengan menjanjikan

bahwa berbagai hal kegunaan/manfaat produk tersebut untuk menarik minat beli

konsumen. Namun pada kenyataannya hal-hal tersebut tidak sesuai dengan

pernyataan pelaku usaha.

Hingga saat ini Indonesia belum memiliki peraturan khusus setingkat

undang-undang guna mengatur kegiatan periklanan, akibatnya terjadi pluralisme

ketentuan periklanan dalam hukum positif yang berlaku, misalnya diatur didalam

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang perlindungan Konsumen, Kitab

Undang-undang Hukum Perdata, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,

Peraturan Pemerintah, dan Peraturan Menteri yang bersifat Administratif.

Sehingga menyisakan beberapa permasalahan berkenaan penentuan hak dan

kewajiban pelaku usaha periklanan, bentuk-bentuk penyesatan iklan yang

(4)

Periklanan Indonesia sebagai badan pengawas iklan, sampai pada sanksi yang

dapat dijatukan kepada pelaku usaha akibat melanggar ketentuan tersebut

Konsumen perlu diberikan suatu perlindungan khusus terhadap informasi

iklan barang dan jasa yang menyesatkan. Perlunya peraturan yang mengatur

perlindungan konsumen karena lemahnya posisi konsumen dibandingkan posisi

pelaku usaha, karena mengenai proses sampai hasil produksi barang atau jasa

yang telah dihasilkan tanpa campur tangan konsumen sedikitpun sehingga

kenyataannya konsumen selalu berada dalam posisi yang dirugikan. Campur

tangan negara sendiri dimaksudkan untuk melindungi hak-hak konsumen.

Namun demikian, realitas yang terjadi dimasyarakat tidak selamanya

berjalan sebagaimana yang diharapkan. Sering kali ditemukan pelaku usaha

menyampaikan informasi yang menyesatkan melalui iklan. Hal tersebut dapat

dibuktikan dari hasil data Badan Pengawas Periklanan Persatuan Perusahaan

Periklanan Indonesia (PPPI). Berdasar data Badan Pengawas Periklanan (BPP)

PPPI periode 2005-2008, ditemukan 346 iklan bermasalah. Sekitar 277 iklan di

antaranya dinyatakan melanggar etika pariwara periklanan.

Konsumen yang menggunakan suatu produk dan tidak mendapatkan hasil

yang diharapkan, sudah pasti merasa kecewa dan merasa dirugikan oleh produk

tersebut serta merasa ditipu iklan yang dibuat oleh pelaku usaha. Namun pada

kenyataannya para konsumen pun tidak terlalu mempedulikan kerugian yang

(5)

memeriksakan bukti yang didapat ke laboratorium atau membayar ongkos

perkara.

Sudah seharusnya aparat pemerintah dapat mengambil langkah-langkah

yang harus diambil dalam menghadapi pelaku usaha yang melanggar ketentuan

yang ada, dengan tidak mengurangi hak konsumen. Namun Sampai sekarang

belum ada tindakan serius yang diambil oleh pemerintah mengenai permasalahan

yang ada di dalam dunia periklanan. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka

dengan ini penulis ingin melakukan penelitian untuk mencari solusi, sehingga

konsumen memperoleh perlindungan hukum dari tindakan pelaku usaha yang

tidak bertanggung jawab, yaitu dengan judul “ Perlindungan Hukum Bagi Konsumen yang Menjadi Korban Iklan yang Menyesatkan”.

1.2Rumusan Masalah

1. Bagaimana perlindungan hukum terhadap konsumen yang menjadi korban

missrepresentasi dari suatu iklan yang memuat informasi tidak benar?

1.3Tujuan Penelitian

1. Untuk mendeskripsikan perlindungan hukum kepada konsumen yang

menjadi korban missrepresentasi atas suatu iklan yang yang memuat

informasi tidak benar.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Secara Praktis

Agar masyarakat dapat mengetahui perlindungan hukum apa yang

(6)

korban missrepresentasi dari suatu iklan yang memuat informasi yang

tidak benar.

2. Secara Teoritis

Sebagai sumber dan kajian-kajian teoritis di bidang hukum

mengenai perlindungan hukumyang akan diberikan kepada konsumen

yang menjadi korban missepresentasi atas suatu iklan yang memuat

informasi yang tidak benar.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Perlindungan Konsumen

Pengertian perlindungan konsumen terdapat dalam Pasal 1 angka 1

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

(selanjutnya disebut Undang- Undang Perlindungan Konsumen/UUPK), yaitu

segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi

perlindungan kepada konsumen

Rumusan pengertian perlindungan konsumen yang terdapat dalam

Pasal 1 angka 1 Undang -Undang Perlindungan Konsumen tersebut cukup

(7)

sewenang- wenang yang merugikan pelaku usaha hanya demi untuk

kepentingan perlindungan konsumen.14

Kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen itu

antara lain adalah dengan meningkatkan harkat dan martabat konsumen serta

membuka akses informasi tentang barang dan/atau jasa baginya, dan

menumbuhkan sikap pelaku usaha yang jujur dan bertanggung jawab. 15

Tujuan yang ingin dicapai dalam perlindungan konsumen umumnya dapat

dibagi dalam tiga bagian utama, yaitu:16

a) Memberdayakan konsumen dalam memilih, menentukan barang

dan/atau jasa kebutuhannya, dan menuntut hak-haknya (Pasal 3 huruf

c);

b) Menciptakan sistem perlindungan konsumenyang memuat unsur-unsur

kepastian hukum, keterbukaan informasi, dan akses untuk mendapatkan

informasi itu (Pasal 3 huruf d);

c) Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai perlindungan

konsumen sehingga tumbuh sikap jujur dan bertanggung jawab (Pasal 3

huruf e).

Pada hakikatnya, perlindungan konsumen menyiratkan keberpihakan

kepada kepentingan-kepentingan (hukum) konsumen. Adapun kepentingan

konsumen menurut Resolusi perserikatan bangsa-Bangsa Nomor 39/284 tentang

Guidelines for Consumer Protection, sebagai berikut:17

a. Perlindungan konsumen dari bahaya-bahaya terhadap kesehatan dan

(8)

b. Promosi dan perlindungan kepentingan sosial ekonomi konsumen.

c. Tersedianya informasi yang memadai bagi konsumen untuk

memberikan kemampuan mereka melakukan pilihan yang tepat sesuai

kehendak dan kebutuhan pribadi.

d. Pendidikan konsumen.

e. Tersedianya upaya ganti rugi yang efektif.

f. Kebebasan untuk membentuk organisasi konsumen atau organisasi

lainnya yang relevan dan memberikan kesempatan pada organisasi

tersebut untuk menyuarakan pendapatnya dalam proses pengambilan

keputusan yang menyangkut kepentingan mereka.

2.2 Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen

Dalam Pasal 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, asas

perlindungan konsumen adalah:

Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan,

keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum.

Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama

berdasarkan 5 (lima) asas yang relevan dalam pembangunan nasional, yaitu:18

1) Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya

dalam menyelenggarakan perlindungankonsumen harus memberikan

manfaat yang sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku

usaha secara keseluruhan.

2) Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat

(9)

konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan

melaksanakan kewajibannya secara adil;

3) Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan

antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti

materiil dan spiritual.

4) Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk

memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen

dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa

yang dikonsumsi atau digunakan.

5) Asas kepastian hukum dimaksudkan agar pelaku usaha maupun

konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam

menyelenggarakan perlindungan konsumen, serta negara menjamin

kepastian hukum.

Memperhatikan substansi Pasal 2 Undang-Undang Perlindungan

Konsumen demikian pula penjelasannya, tampak bahwa perumusannya mengacu

pada filosofi pembangunan nasional yaitu pembangunan manusia Indonesia

seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah bangsa negara Republik Indonesia.19

Kelima asas yang disebutkan dalam pasal tersebut, bila diperhatikan

substansinya, dapat dibagi menjadi 3 (tiga) bagian asas yaitu:20

1. Asas kemanfaatan yang di dalamnya meliputi asas keamanan dan

keselamatan konsumen.

2. Asas keadilan yang di dalamnya meliputi asas keseimbangan.

(10)

Asas-asas Hukum Perlindungan Konsumen yang dikelompokkan dalam

3 (tiga) kelompok diatas yaitu asas keadilan, asas kemanfaatan, dan kepastian

hukum. Dalam hukum ekonomi keadilan disejajarkan dengan asas keseimbangan,

kemanfaatan disejajarkan dengan asas maksimalisasi, dan kepastian hukum

disejajarkan dengan asas efisiensi. Asas kepastian hukum yang disejajarkan

dengan asas efisien karena menurut Himawan bahwa : “Hukum yang berwibawa adalah hukum yang efisien, di bawah naungan mana seseorang dapat

melaksanakan hak-haknya tanpa ketakutan dan melaksanakan kewajibannya tanpa

penyimpangan”.21

Tujuan perlindungan konsumen juga diatur dalam Pasal 3

Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yaitu:

1) Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen

untuk melindungi diri.

2) Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara

menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau

jasa.

3) Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan

dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen.

4) Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung

unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk

(11)

5) Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya

perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan

bertanggung jawab dalam berusaha.

6) Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin

kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan,

kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

Pasal 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini, merupakan isi

pembangunan nasional sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 sebelumnya,

karena tujuan perlindungan konsumen yang ada itu merupakan sasaran akhir yang

harus dicapai dalam pelaksanaan pembangunan di bidang hukum perlindungan

konsumen.

Keenam tujuan khusus perlindungan konsumen yang disebutkan di atas

bila dikelompokkan ke dalam tiga tujuan hukum secara umum, maka tujuan

hukum untuk mendapatkan keadilan terlihat dalam rumusan huruf c, dan huruf e.

Sementara tujuan untuk memberikan kemanfaatan dapat terlihat dalam rumusan

huruf a, dan d, serta huruf f. Terakhir tujuan khusus yang diarahkan untuk tujuan

kepastian hukum terlihat dalam rumusan huruf d. Pengelompokkan ini tidak

berlaku mutlak, oleh karena seperti yang dapat dilihat dalam rumusan pada huruf

a sampai dengan huruf f terdapat tujuan yang harus dikualifikasi sebagai tujuan

ganda.

2.3 Konsumen

(12)

Konsumen sebagai istilah yang sering dipergunakan dalam percakapan

sehari-hari yang perlu untuk diberikan batasan pengertian agar dapat

mempermudah pembahasan tentang perlindungan konsumen. Berbagai pengertian

tentang “konsumen” yang dikemukakan baik dalam Rancangan Undang-Undang

Perlindungan Konsumen, sebagai upaya ke arah terbentuknya Undang-Undang

Perlindungan Konsumen maupun dalam Undang-Undang Perlindungan

Konsumen, adalah sebagai berikut:

Pengertian konsumen dalam Rancangan Undang-Undang Perlindungan

Konsumen yang diajukan oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia,

yaitu:

Konsumen adalah pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam

masyarakat, bagi kepentingan diri sendiri atau keluarganya atau orang

lain yang tidak untuk diperdagangkan kembali.

Sebagai akhir dari usaha pembentukan Undang-Undang Perlindungan

Konsumen yaitu dengan lahirnya Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yang

di dalamnya dikemukakan pengertian konsumen dalam Pasal 1 angka 2

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah sebagai

berikut:

Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.

Penjelasan mengenai pengertian konsumen berdasarkan Pasal 1 angka 2

menurut Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo dalam bukunya yang berjudul Hukum

(13)

Dalam kepustakaan ekonomi dikenal konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk, sedangkan Konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses produksi suatu produk lainnya. Pengertian konsumen dalam undang-undang ini adalah konsumen akhir. Dapat diketahui pengertian konsumen dalam UUPK lebih luas daripada pengertian konsumen pada Rancangan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, karena dalam UUPK juga meliputi pemakaian barang untuk kepentingan makhluk hidup lain. Hal ini berarti bahwa UUPK dapat memberikan perlindungan kepada konsumen yang bukan manusia (hewan, maupun tumbuh-tumbuhan). Pengertian yang luas seperti itu, sangat tepat dalam rangka memberikan perlindungan seluas-luasnya kepada konsumen.

Az. Nasution dalam bukunya yang berjudul Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar menegaskan beberapa batasan tentang konsumen,

yakni:

a. Konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang atau jasa digunakan untuk tujuan tertentu;

b. Konsumen antara adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan/jasa untuk digunakan dengan tujuan membuat barang/jasa lain atau untuk diperdagangkan (tujuan komersial);

c. Konsumen akhir adalah setiap orang alami yang mendapat dan menggunakan barang dan/atau jasa untuk tujuan memenuhi kebutuhan hidupnya pribadi, keluarga dan atau rumah tangga dan tidak untuk diperdagangkan kembali (nonkomersial).

Sehubungan dengan hal tersebut, menurut Hans W.Miklitz, secara garis besar dapat dibedakan dua tipe konsumen yaitu:

1. Konsumen yang terinformasi (well informed) yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

a. Memiliki tingkat pendidikan tertentu;

b. Mempunyai sumber daya ekonomi yang cukup, sehingga dapat berperan dalam ekonomi pasar bebas;

c. Lancar berkomunikasi.

2. Konsumen yang tidak terinformasi yang memiliki ciri-ciri: a. Kurang berpendidikan;

b. Termasuk kategori ekonomi kelas menengah ke bawah; c. Tidak lancar dalam berkomunikasi.

(14)

Dalam Pasal 4 Undang-Undang Perlindungan Konsumen diatur mengenai

hak konsumen. Hak konsumen adalah :

1) Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam

4) Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan.

5) Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.

6) Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen.

7) Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.

8) Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.

9) hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Hak konsumen sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 Undang-Undang

Perlindungan Konsumen lebih luas daripada hak-hak dasar konsumen

sebagaimana pertama kali dikemukakan oleh Presiden Amerika serikat J.F.

Kennedy di depan Kongres pada tanggal 15 Maret 1962, yang terdiri dari:

a. hak memperoleh keamanan;

b. hak memilih;

c. hak mendapat informasi;

d. hak untuk didengar.

Keempat hak tersebut merupakan bagian dari Deklarasi Hak-Hak Asasi

Manusia yang dicanangkan PBB pada tanggal 10 Desember 1948, masing-masing

(15)

(Organization of Consumer Union - IOCU) ditambahkan empat hak dasar

konsumen lainnya, yaitu:

a. Hak untuk memperoleh kebutuhan hidup.

b. Hak untuk memperoleh ganti rugi.

c. Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen.

d. Hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat.

Disamping itu, Masyarakat Eropa (Europese Ekonomische Gemeenschap

atau EEG) juga telah menyepakati lima hak dasar konsumen sebagai berikut:33

a. Hak perlindungan kesehatan dan keamanan (recht op bescherming van

zijn gezendheid en veiligheid).

b. Hak perlindungan kepentingan ekonomi ( recht op bescherming van zijn

economische belangen).

c. Hak mendapat ganti rugi (recht op schadevergoeding).

d. Hak atas penerangan (recht op voorlichting en vorming).

e. Hak untuk didengar (recht om te worden gehord).

Beberapa rumusan tentang hak-hak konsumen yang telah

dikemukakan,secara garis besar dapat dibagi dalam tiga hak yang menjadi prinsip

dasar, yaitu:

1. Hak yang dimaksudkan untuk mencegah konsumen dari kerugian, baik

kerugian personal, maupun kerugian harta kekayaan.

2. Hak untuk memperoleh barang dan/atau jasa dengan harga yang wajar.

3. Hak untuk memperoleh penyelesaian yang patut terhadap permasalahan

(16)

Oleh karena itu, ketiga hak prinsip dasar tersebut merupakan himpunan

beberapa hak konsumen sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perlindungan

Konsumen, maka hal tersebut sangat esensial bagi konsumen, sehingga dapat

dijadikan/ merupakan prinsip perlindungan konsumen di Indonesia.

Selain hak konsumen, kewajiban konsumen juga diatur di dalam Pasal 7

Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Kewajiban konsumen antara lain:

1) Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau

jasa.

2) Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.

3) Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen

secara patut.

Menyangkut kewajiban konsumen beriktikad baik hanya tertuju pada

transaksi pembelian barang dan/atau jasa. Hal ini tentu saja disebabkan karena

bagi konsumen, kemungkinan untuk dapat merugikan produsen mulai pada saat

melakukan transaksi dengan produsen. Berbeda dengan pelaku usaha

kemungkinan terjadinya kerugian bagi konsumen dimulai sejak barang

dirancang/diproduksi oleh produsen (pelaku usaha).

Kewajiban lain yang perlu mendapat penjelasan lebih lanjut adalah

kewajiban konsumen mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa

perlindungan konsumen secara patut. Kewajiban ini dianggap sebagai hal baru,

sebab sebelum diundangkannya Undang-Undang Perlindungan Konsumen hampir

(17)

sementara dalam kasus pidana tersangka/terdakwa lebih banyak dikendalikan oleh

aparat kepolisian dan/atau kejaksaan.

Adanya kewajiban seperti ini diatur dalam Undang-Undang Perlindungan

Konsumen dianggap tepat, sebab kewajiban ini adalah untuk mengimbangi hak

konsumen untuk mendapatkan upaya penyelesaian sengketa perlindungan

konsumen secara patut. Hak ini akan menjadi lebih mudah diperoleh jika

konsumen mengikuti penyelesaian sengketa secara patut. Hanya saja kewajiban

konsumen ini, tidak cukup untuk maksud tersebut jika tidak diikuti oleh

kewajiban yang sama dari pihak pelaku usaha.

2.4 Pelaku Usaha

2.4.1 Pengertian Pelaku Usaha

Istilah “Pelaku Usaha” terdapat dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu sebagai berikut:

Pelaku Usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.

2.4.2 Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha

Berdasarkan ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen, untuk menciptakan kenyamanan berusaha bagi

para pelaku usaha dan sebagai keseimbangan atas hak-hak yang diberikan kepada

konsumen maka kepada pelaku usaha juga diberikan hak sebagai berikut:

(18)

b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik.

c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen.

d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.

e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Adapun dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen sebagai konsekuensi dari hak konsumen yang telah

disebutkan pada uraian terdahulu, maka kepada pelaku usaha juga dibebankan

pula mengenai kewajiban pelaku usaha yaitu sebagai berikut:

a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahany.

b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.

c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.

d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku.

e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan.

f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.

g. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Berdasarkan kewajiban-kewajiban pelaku usaha tersebut merupakan

manifestasi hak konsumen dalam sisi lain yang ditargetkan untuk menciptakan

budaya tanggung jawab pada diri pelaku usaha itu sendiri.

(19)

Menurut Pasal 19 Undang-Undang Perlindungan Konsumen pelaku usaha

mempunyai tanggung jawab. Tanggung jawab pelaku usaha adalah:

1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.

2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-sundangan yang berlaku.

3) Pemberian gantirugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.

4) Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.

5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.

Memperhatikan substansi Pasal 19 ayat (1) dapat diketahui bahwa

tanggung jawab pelaku usaha, meliputi:

a. Tanggung jawab ganti kerugian atas kerusakan; b. Tanggung jawab kerugian atas pencemaran;

c. Tanggung jawab kerugian atas kerugian konsumen.

Berdasarkan hal ini, maka adanya produk barang dan/atau jasa yang cacat

bukan merupakan satu-satunya dasar pertanggungjawaban pelaku usaha. Hal ini

berarti bahwa tanggung jawab pelaku usaha meliputi segala kerugian yang dialami

konsumen.

2.5 Hubungan Hukum Antara Pelaku Usaha dengan Konsumen 2.5.1 Hubungan Langsung

Menurut Ahmadi Miru dalam bukunya Prinsip-Prinsip Perlindungan

(20)

Hubungan langsung yang dimaksudkan adalah hubungan antara produsen dan konsumen yang terikat secara langsung dengan perjanjian. Tanpa mengabaikan jenis perjanjian-perjanjian lainnya, pengalihan barang dari produsen kepada konsumen, pada umumnya dilakukan dengan perjanjian jual beli, baik yang dilakukan secara lisan maupun tertulis.

Berkaitan dengan hal tersebut, salah satu bentuk perjanjian tertulis adalah

perjanjian baku. Dimana perjanjian baku didasarkan pada asas kebebasan

berkontrak yang diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yaitu:

Semua perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Pengertian “sah” tersebut di atas yaitu telah memenuhi syarat sahnya suatu

perjanjian berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata, sebagai berikut:

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.

3. Suatu hal tertentu.

4. Suatu sebab yang halal.

Sehubungan dengan hal tersebut, R. Soetojo Prawirohamidjojo dan

Marthalena Pohan dalam bukunya yang berjudul Hukum Perikatan, menyatakan

bahwa:

Namun demikian, dipenuhinya keempat syarat di atas belum menjamin sempurnanya perjanjian yang dimaksud, karena masih ada ketentuan lain yang harus diperhatikan untuk menentukan apakah perjanjian tersebut sah tanpa ada alasan pembatalan, sehingga perjanjian tersebut mengikat sebagaimana mengikatnya undang-undang. Ketentuan yang dimaksud adalah kesempurnaan kata sepakat, karena apabila kata sepakat diberikan dengan adanya paksaan, kekhilafan atau penipuan, maka perjanjian tersebut tidak sempurna sehingga masih ada kemungkinan dibatalkan

(21)

Menurut Ahmadi Miru dalam bukunya Prinsip-Prinsip Perlindungan

Hukum Bagi Konsumen di Indonesia, menyatakan sebagai berikut:

Hubungan tidak langsung yang dimaksudkan pada bagian ini adalah hubungan antara produsen dengan konsumen yang tidak secara langsung terikat dengan perjanjian, karena adanya pihak diantara pihak konsumen dengan produsen. Ketiadaan hubungan langsung dalam bentuk perjanjian antara pihak produsen dengan konsumen ini tidak berarti bahwa pihak konsumen yang dirugikan tidak berhak menuntut ganti kerugian kepada produsen dengan siapa dia tidak memiliki hubungan perjanjian, karena dalam hukum perikatan tidak hanya perjanjian yang melahirkan (merupakan sumber) perikatan, akan tetapi dikenal ada dua sumber perikatan, yaitu perjanjian dan undang-undang. Sumber perikatan yang berupa undang-undang ini masih dapat dibagi lagi dalam undang-undang saja dan undang-undang karena perbuatan manusia, yaitu yang sesuai hukum dan yang melanggar hukum. Berdasarkan pembagian sumber perikatan tersebut, maka sumber perikatan yang terakhir, yaitu undang-undang karena perbuatan manusia yang melanggar hukum merupakan hal yang penting dalam kaitannya dengan perlindungan konsumen.

2.6 Penyelesaian Sengketa Konsumen

Pada dunia perdagangan antara konsumen dan pelaku usaha mempunyai

kepentingan yang berbeda. Adanya perbedaan kepentingan tersebut sehingga

dapat menimbulkan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha. Untuk

menyelesaikan sengketa konsumen maka dibutuhkan upaya penyelesaian

sengketa. Berkaitan dengan penyelesaian sengketa, Ahmadi Miru menyatakan

bahwa:

Penyelesaian sengketa dalam dunia bisnis diharapkan sedapat mungkin tidak merusak hubungan bisnis selanjutnya dengan siapa dia pernah terlibat dalam suatu sengketa.

Pasal 45 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen, mengatur penyelesaian sengketa sebagai berikut:

(22)

konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.

(2) Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.

(3) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam Undangundang.

(4) Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa.

Sejalan dengan hal tersebut, di dalam Undang-Undang Perlindungan

Konsumen terdapat penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Lembaga

penyelesaian sengketa di luar pengadilan adalah Badan Penyelesaian Sengketa

Konsumen. Tugas dan wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen diatur

dalam Pasal 52 UUPK, sebagai berikut:

a. Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi.

b. Memberikan konsultasi perlindungan konsumen.

c. Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku.

d. Melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam undangundang ini.

e. Menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen. f. Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan

konsumen.

g. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen.

h. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap undangundang ini. i. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi,

saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada huruf g dan huruf h, yang tidak bersedia memenuhi panggilan badan penyelesaian sengketa konsumen.

j. Mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan.

(23)

l. Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen.

m. Menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan undangundang ini.

2.7 Iklan

2.7.1 Pengertian Iklan

Iklan berasal dari kata arab I'lan yg artinya memberitahukan. Iklan adalah

setiap bentuk komunikasi yang dimaksudkan untuk memotivasi seseorang

pembeli potensial dan mempromosikan penjual suatu produk atau jasa, untuk

mempengaruhi pendapat publik, memenangkan dukungan publik untuk berpikir

atau bertindak sesuai dengan keinginan si pemasang iklan.

Pengertian iklan didalam Pasal 1 angka 13 Peraturan Menteri Kesehatan

Republik Indonesia No. 329/Men.Kes/PER/X11/76 tentang Produksi dan

Peredaran Makanan disebutkan:

“Iklan adalah usaha dengan cara apa pun untuk meningkatkan penjualan. baik secara langsung maupun tidak langsung”.

Sedangkan dalam Pasal 1 angka 16 Undang-Undang Pangan Nomor 7

Tahun

1996 disebutkan:

“Iklan pangan adalah setiap keterangan atau pernyataan mengenai pangan dalam bentuk gambar, tulisan, atau bentuk lain yang dilakukan dengan berbagai cara untuk pemasaran dan atau perdagangan pangan”.

Yurisprudensi di Indonesia, belum memberikan batasan secara tegas

mengenai apa yang dimaksud dengan iklan. Tetapi, dalam putusan Mahkamah

(24)

Good Year Sumatra Plantantions Ltd. Cs. Terlihat bahwa iklan memuat

unsur-unsur sebagai berikut :

1. Pengumuman;

2. Memuat kata-kata dan tentang format;

3. Untuk (mengejar) suatu maksud atau tujuan;

4. Tentang patokan (tidak melampaui) batasan-batasan dari yang

diperlukan.

Secara mendasar pengertian iklan sebagaimana dimaksud dalam

yurisprudensi Mahkamah Agung telah mencakup unsur-unsur periklanan pada

umumnya, yaitu berupa unsur pemberian informasi, unsur bentuk dan format

iklan, unsur pencapaian tujuan bisnis (memperkenalkan atau meningkatkan

penjualan produk), dan iklan tidak boleh melanggar aturan-aturan hukum yang

berlaku untuk mencapai tujuan bisnisnya dengan mengorbankan kepentingan

konsumen akan informasi yang benar dan jujur.

2.7.2 Tujuan dan Makna Iklan

Pada pokoknya semua makna iklan itu dapat dibedakan dalam 5 (lima)

kategori, yaitu:

1. Informasi

Semua iklan berisikan informasi sebab mengiklankan sebenarnya

berarti menginformasikan. Informasi yang ada pada iklan, yaitu segala hal

mengenai apa (produk) yang diiklankan itu.

(25)

Iklan dapat juga bermakna ajakan/undangan, yaitu mengajak atau

mengundang masyarakat konsumen supaya datang memenuhi maksud dari

pelaku usaha.

3. Pengaruh/bujukan

Selain berisikan informasi, iklan juga dapat berupa

pengaruh/bujukan, yaitu mempengaruhi/membujuk masyarakat

sedemikian rupa supaya mau membeli atau memakai/mengkonsumsi

produk yang diiklankan.

4. Janji/jaminan

Selain itu, iklan dapat pula mengandung janji- janji dari pelaku

usaha sedemikian rupa bahwa konsumen akan mendapatkan

kemanfaatan/kegunaan tertentu lebih dari produk lainnya kalau

memakai/mengkonsumsi produk yang diiklankan. Atau dapat juga

berisikan sejumlah jaminan yang diberikan oleh pelaku usaha akan

diperoleh konsumen kalau memakai/ mengkonsumsi produk yang

ditawarkan.

5. Peringatan

Di samping makna iklan yang disebut di atas, iklan juga mungkin

mengandung peringatan bagi konsumen akan kegunaan, kualitas, dan

hal-hal lain dari produk yang diiklankan. Juga, peringatan mengenai

kemungkinan dapat diperoleh di tempat tertentu, kemungkinan adanya

barang tiruan34.

(26)

Menurut kamus lengkap Bahasa Indonesia Kata menyesatkan berasal dari

kata sesat yang berarti salah, keliru, berbuat menyimpang dari kebenaran,

sedangkan kata menyesatkan mengandung arti yaitu membawa ke jalan yang

sesat, menyebabkan sesat, keliru. Jika dikaitkan dengan Hukum perlindungan

konsumen dari Iklan barang dan jasa yang menyesatkan, maka makna

menyesatkan dapat berarti tidak sesuai dengan fakta atas produk yang diiklankan

atau kebenarannya tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Beberapa isu tentang iklan di Indonesia sebagai berikut:

1. Deceptive advertising merupakan salah satu pelanggaran hak konsumen yang

masih terjadi pada iklan di Indonesia. Deceptive advertising bisa

dikategorikan dalam tiga tipe:

a) Fraudulent advertising, iklan yang tidak dapat dipercaya (straightforward

lie).

b) False advertising, klaim terhadap manfaat produk atau jasa yang hanya

dapat dipenuhi berdasarkan ”syarat dan ketentuan berlaku” (under certain

conditions) yang tidak di jelaskan secara gamblang di iklan.

c) Comparative advertising merupakan iklan yang berpotensi menimbulkan

masalah dari pihak konsumen atau pesaing.

2. Misleading advertising, iklan ini melibatkan antara klaim dan kepercayaan,

(27)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Suatu penelitian ilmiah mutlak menggunakan metode, karena metode itu

berarti penyelidikan yang berlangsung menurut suatu rencana tertentu, artinya

penelitian tidak bekerja secara acak-acakan melainkan setiap langkah diambil

harus jelas serta ada pembatasan-pembatasan tertentu untuk menghindari jalan

yang menyesatkan dan tidak terkendali. Demikian pula dalam penelitian ini,

digunakan langkah- langkah penelitian sebagai berikut :

3.1.1 Tipe Penelitian

Sebagai konsekuensi pemilihan topik permasalahan yang akan dikaji

dalam penelitian yang objek permasalahannya hukum maka tipe penelitian yang

digunakan adalah penelitian yuridis normative, maksudnya penelitian ini

difokuskan untuk mengkaji kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum

positif.

3.1.2 Pendekatan Masalah

Sehubungan dengan tipe penelitian yang digunakan adalah tipe penelitian

yuridis normative, maka pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Pendekatan perundang-undangan (statue approach). Pendekatan ini

dimaksudkan melakukan pengkajian peraturan perundang-undangan

(28)

2. Pendekatan konseptual (conceptual approach) yaitu dengan cara

mengidentifikasi dan menganalisa konsep-konsep hukum dalam teori

maupun praktik hukum.

3.1.3 Sumber Bahan Hukum

Adapun sumber bahan hukum yang digunakan untuk mengkaji

permasalahan dalam penelitian ini adalah terdiri dari :

1. Bahan hukum primer, yaitu peraturan perundang undangan yang berkaitan

dengan masalah yang akan dibahas diantaranya :

1. Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen;

2. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran;

3. Undang-Undang Nomor. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan;

4. Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers;

5. Surat Keputusan Menteri Yang Mengatur Pengawasan Kegiatan Periklanan.

6. Kitab Undang-undang Hukum Perdata;

7. Kitab Undang-undang Hukum Pidana;

8.Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2006 Tentang Tata Cara

Mengajukan Keberatan Terhadap Putusan Badan Penyelesaian Sengketa

Konsumen.

9. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia No.

350/MPP/kep/12/2001 tentang pelaksanaan tugas dan wewenang badan

penyelesaian sengketa konsumen.

2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang terdiri dari buku-buku teks,

(29)

3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk atau

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, dalam

hal ini berupa kamus hukum maupun media internet yang relevan dengan

penelitian ini.

3.1.4 Pengumpulan Bahan Hukum

Seluruh bahan hukum yang ada dilakukan dengan cara memilih,

menseleksi dan menginventarisasi serta mengklarifikasi menggunakan sistem

kartu. Bahan-bahan hukum yang relevan dengan pokok permasalahan yang dikaji

selanjutnya dipaparkan, dan disistimatisasi sesuai dengan kajian.

3.1.5. Analisis Bahan Hukum

Setelah bahan hukum terkumpul, baik bahan hukum primer, sekunder,

maupun bahan hukum tersier maka selanjutnya dilakukan analisa.

Langkah-langkah analisa dalam penelitian hukum normative ini adalah sesuai dengan

pendapat Peter Mahmud Marzuki sebagai berikut:

1. Mengidentifikasi fakta hukum dan mengeliminasi hal-hal yang tidak

relevan;

2. Mengumpulkan bahan-bahan hukum dan bahan non hukum yang

relevan dengan isu hukum;

3. Menelaah isu hukum berdasarkan bahan yang dikumpulkan

4. Menarik kesimpulan dalam argumentasi sesuai isu hukum;

5. Memberikan preskripsi berdasarkan argumentasi yang telah dibangun.

Hasil analisa bahan hukum dibahas menggunakan metode deduktif,

(30)

Kemudian dianalisa dan dituangkan dalam bentuk preskripsi, sehingga

dapat mencapai tujuan yang diinginkan yaitu menjawab rumusan

masalah yang ada.

KERANGKA KONSEPTUAL

Hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen

yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah bersifat mengatur dan juga

mengandung sifat yang melindungi kepentingan konsumen. Secara umum

dan

mendasar hubungan antara pelaku usaha dengan konsumen merupakan

hubungan

yang terus menerus dan kesinambungan. Hubungan tersebut terjadi karena

keduanya memang saling menghendaki dan mempunyai tingkat

ketergantungan

yang cukup tinggi antara yang satu dengan yang lain.

Hal tersebut secara sistematis dimanfaatkan oleh pelaku usaha dalam suatu

sistem distribusi dan pemasaran produk barang atau jasa guna mencapai

suatu

tingkat produktivitas dan efektivitas tertentu dalam rangka mencapai

sasaran

usaha. Sampai pada tahapan tertentu, penyaluran tersebut menghasilkan

(31)

hubungan yang sifatnya massal. Karena sifatnya massal maka peran

negara sangat

dibutuhkan dalam rangka melindungi kepentingan konsumen pada

umumnya.

Informasi Iklan yang benar dan bertanggungjawab dapat membantu

konsumen menetapkan pilihan yang tepat artinya sesuai kebutuhan dan

kemampuannya. Cara pemasaran yang wajar akan mendukung putusan

pilihan

konsumen yang menguntungkannya. Mayoritas konsumen di Indonesia

masih

terlalu rentan dalam menyerap informasi iklan barang dan jasa yang tidak

sehat

karena itu sangat beresiko kiranya apabila tidak diadakan pengawasan

yang

memadai dan konsumen dibiarkan menimbang-nimbang serta memutuskan

sendiri

iklan apa yang pantas untuk dipercaya.

Posisi yang tidak berimbang antara produsen dan konsumen akan mudah

untuk disalahgunakan (matchpositie) oleh pihak yang lebih kuat. Hal ini

akan

berdampak lebih buruk jika pihak pelaku usaha yang lebih kuat itu

(32)

fasilitas yang memungkinkan bertindak secara monopolis. Berdasarkan

pada

pemikiran hal tersebut diatas bahwa konsumen diharapkan dapat bersikap

lebih

kritis dalam menilai iklan barang dan jasa serta dapat bertindak dan

berusaha

memperoleh hak-haknya serta kepentingannya itu. Melalui sikap-sikap

yang

demikian kerugian yang dialami oleh konsumen akibat mengkonsumsikan

produk

barang dan jasa dapat berkurang atau dengan perkataan lain kerugian dapat

diperkecil37.

Undang-undang Perlindungan Konsumen berasaskan manfaat, keadilan,

keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian

hukum.

Berbagai peraturan yang berkaitan dengan upaya perlindungan konsumen

pada

dasarnya sama dengan peraturan-peraturan lain yang ketentuannya

mengandung

ide-ide atau konsep-konsep yang boleh digolongkan abstrak, yang

idealnya

meliputi ide tentang keadilan, kepastian dan kemanfaatan sebagaimana

(33)

Persoalan hak konsumen untuk memperoleh perlindungan maupun untuk

mendapatkan informasi yang benar terhadap suatu barang atau jasa sebagai

bagian

dari suatu sistem hukum akan berkaitan dengan upaya mewujudkan ide-

ide

37 Zulkarnaen, Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Barang-barang,

Tesis pada

Program Magister Ilmu Hukum UNDIP,Semarang, 2008

38 J. Supranto. 1995. Pengantar Statistik Bidang Hukum. Jakarta: Rineka

Cipta.1995

tersebut, bahkan seringkali negara harus ikut campur tangan karena adanya

kekuatan pengaruh yang menuntut hal demikian agar bekerjanya hukum

dapat

efektif, khususnya dalam hal ini adalah mengenai penyelenggaraan

struktur

hukum yang berupa lembaga- lembaga penegak hukum sebagai sarana

bagi pihak

yang dirugikan untuk memperoleh keadilan. Dengan demikian diharapkan

sistem

hukum dalam upaya perlindungan konsumen dapat berjalan dengan baik.

Berdasarkan Teori kedaulatan Negara yang dikemukakan oleh Jean

Boudin dan George Jellinek, kekuasaan tertinggi ada pada Negara dan

(34)

mengatur kehidupan anggota masyarakat. Negara yang berdaulat

melindungi

anggota masyarakat. Dalam hal ini negara mengeluarkan

peraturan-peraturan

yang berfungsi sebagai panduan seluruh warga negara Indonesia dan

warga

negara asing yang memiliki kepentingan terhadap hal-hal yang berkaitan

dengan

kehidupan hukum dan ekonomi di Indonesia39.

Negara Indonesia yang menganut paham walfare state (Negara

kesejahteraan rakyat) membuat negara ikut campur dalam perekonomian

rakyatnya melalui berbagai kebijakan yang berwujud dalam bentuk

peraturan

perundang-undangan, termaksud dalam hubungan kontraktual antara

pelaku usaha

dengan konsumen. Sesuai dengan fungsi kehadiran Negara, maka

pemerintah

sebagai lembaga eksekutif bertanggung jawab memajukan kesejahteraan

rakyatnya40.

39 Syukri, “Analisis Terhadap Perlindungan Hukum Konsumen Listrik:

Studi Pada PT.

PLN Ranting Dewantara di Kabupaten Aceh Utara”, Tesis pada

(35)

Sumatera Utara, 2009.

40 Dedi Harianto. Perlindungan Hukum bagi Konsumen terhadap Iklan

yang

Menyesatkan. Ghalia Indonesia. Bogor. 2010.

1

2a

3 2b

4

4

5

5

5

Dari paparan diatas penulis menggambarkan kerangka konseptual untuk

mengabstraksi langkah- langkah yang digunakan penulis dalam

memecahkan isu

Referensi

Dokumen terkait

Dengan melakukan koordinasi yang tepat antar project management team akan meminimalisasi terjadinya konflik atau kesalahpahaman internal, apabila memang akhirnya terjadi

Bersama Ketua Komite Keperawatan memimpin pelaksanaan dan pembinaan etika dan disiplin profesi agar seluruh tenaga keperawatan memahami dan melaksanakan kode etik profesi mereka,

Sedangkan, dalam hal implementasi dengan menggunakan (DSK) TMS320C6713 melalui Code Composer Studio (CCS) dapat diambil kesimpulan bahwa sistem komunikasi fraktal ini memiliki

Dan pada sampel 2 dari alat EDX yaitu Alumunium, Silika, Besi, dan Kobalt, dan hasil dari penelitian lapangan yang telah dilakukan dengan menggunkan SEM-EDX dan FTIR,

Sebagai bagian dari teologi liberal, paham pluralisme agama menawarkan toleransi antarumat beragama. Akan tetapi, paham ini ternyata malah menimbulkan masalah baru bagi agama-agama.

Daftar Peserta Seminar Nasional Pengelolaan Lahan Berkelanjutan untuk Mendukung Ketahanan Pangan Nasional, Kerjasama HITI Komda Aceh, Fakultas Pertanian Universitas

This study then attempted to explore the antioxidant activity of those oyster mushroom and taurine on the kidneys exposed by paraquat with parameters of study were oxidative

Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota berkewajiban menyelenggarakan seluruh fasilitasi sesuai dengan kemampuan yang tersedia untuk kegiatankegiatan kesenian yang