• Tidak ada hasil yang ditemukan

Makna Hidup Pada Pelacur High Class

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Makna Hidup Pada Pelacur High Class"

Copied!
133
0
0

Teks penuh

(1)

MAKNA HIDUP PADA PELACUR HIGH CLASS

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh

ANITA PRATIWI

031301061

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

SKRIPSI

MAKNA HIDUP PADA PELACUR

HIGH CLASS

Dipersiapkan dan disusun oleh

ANITA PRATIWI 031301061

Telah dipertahankan didepan Dewan Penguji Pada tanggal

Mengesahkan, Dekan Fakultas Psikologi

Prof. Dr. Chairul Yoel, Sp. A (K) NIP. 140 080 762

(3)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul :

Makna Hidup Pada Pelacur High Class

Adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan disuatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila dikemudian hari ditemukan adanya kecurangan didalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, Desember 2008

(4)

ABSTRAK

Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara

Fenomena pelacuran telah cukup lama berlangsung khususnya di Indonesia. Pelacuran sendiri telah berlangsung sejak zaman kerajaan Mojopahit. Banyak wanita di Indonesia masuk kedunia pelacuran karena motivasi-motivasi tertentu. Motivasi tersebut yang akan mengklasifikasikan apakah ia termasuk kedalam pelacur low class atau high class. Pelacur high class memiliki ciri-ciri, berpendidikan tinggi, paktik kerja yang terselubung, memiliki tarif yang tinggi dan berwajah menarik, selain itu uang bukan merupakan motivasi utama seseorang ketika menjadi pelacur high class. Motivasi-motivasi tersebut antara lain adalah karena kesepian, kehilangan kasih sayang, untuk bersenang-senang dan lainnya. Wanita yang bekerja sebagai pelacur high class selalu memiliki materi yang berlimpah, namun dengan materi yang berlimpah tersebut tidak secara otomatis membuat semua pelacur high class menjadi bahagia. Apakah dengan menjadi seorang pelacur maka makna hidupnya akan ditemukan atau dengan menjadi seorang pelacur membuat makna itu semakin tidak terlihat semua itu tergantung kepada pelacur high class itu sendiri. Untuk itu seseorang harus melalui lima tahap dalam penemuan dan pemenuhan makna hidup yaitu tahap derita, tahap penerimaan diri, tahap penemuan makna hidup, tahap realisasi makna dan tahap penghayatan hidup bermakna. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran makna hidup pada seorang pelacur high class dilihat dari tahap-tahap penemuan dan pemenuhan makna hidup.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif karena peneliti ingin melihat pengalaman subjektif seorang pelacur high class. Bagaimana ia memaknai pekerjaannya sebagai seorang pelacur high class. Apakah pekerjaannya sebagai seorang pelacur membantunya dalam menemukan makna hidup. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam. Penelitian ini melibatkan seorang wanita yang bekerja sebagai pelacur high class dan berada dikota Medan sebagai subjek penelitian.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari kedua pelacur hanya satu pelacur yang menemukan dan memenuhi makna hidupnya, dan pelacur yang berikutnya hanya sampai kepada tahap penemuan makna hidup dan belum terpenuhi. kedua pelacur berbeda dalam menemukan makna hidupnya. Mereka melewati semua tahap penemuan makna hidup namun tidak berurutan.

Implikasi dari penelitian ini berguna untuk pelacur high class itu sendiri agar belajar dari pengalaman pelacur high class dalam penelitian ini dalam menemukan makna hidupnya dan juga orang-orang disekitar pelacur high class itu sendiri dapat memahami latar belakang penyebab seseorang menjadi pelacur sehingga wanita yang menjadi pelacur high class dapat diminimalisir.

(5)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrhmanirrahim, Puji dan syukur saya ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan kesempatan kepada saya sehingga saya dapat menyelesaikan penelitian ini dengan sebaik-baiknya.

Skripsi yang penulis selesaikan ini berjudul “MAKNA HIDUP PADA PELACUR HIGH CLASS” yang diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat untuk mencapai gelar sarjana Psikologi di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, karena keterbatasan kemampuan, baik pengetahuan maupun keterampilan penulis tentang makna hidup pada pelacur high class. Oleh karena itu penulis memohon saran dan kritik yang bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi ini.

Skripsi ini dapat selesai dengan tidak terlepas dari banyak pihak yang telah memberikan bantuan, dukungan ataupun semangat kepada penulis. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Chairul Yoel Sp. A (K) selaku Dekan Psikologi USU yang telah memberikan masukan, kritikan dan nasehat kepada saya selama mengerjakan penelitian ini. Nasehat dari bapak mengingatkan saya untuk tetap berjuang dan berusaha untuk selalu mandiri dalam mengerjakan segala sesuatu. Terima kasih om…

(6)

curhatan saya selama mengerjakan penelitian ini dan tetap tersenyum walaupun pekerjaan saya banyak yang salah.

3. Ibu Raras Sutatminingsih, M. si, Psi selaku dosen penguji saya. 4. Ibu Namora Lumongga Lubis, MSc selaku dosen penguji saya.

5. Ibu Dra. Sri Mulyani M. Si sebagai dosen pembimbing akademik saya.

6. Kepada Bapak Ali Umri SH. Mkn yang telah menjadi abang yang paling baik dan menjadi motivator saya untuk menyelesaikan skripsi ini lewat pertanyaannya “kapan tamatnya tiwi?”

7. Kepada kak Yosi dan kak Beby, terima kasih atas kesempatan dan waktunya, telah bersedia membantu dalam penelitian ini.

8. Kepada seluruh dosen dan pegawai tata usaha Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

9. Kepada teman-teman saya Teambush’03 Indra, Rio, Bobby, Susi, Yulia, Nani, Mimi, cici, Frans, Along dan ulfi. Tempat saya bernaung dan memberikan warna dan keceriaan tersendiri selama kuliah Psikologi USU. Viva Teambush ever after

10.Kepada teman-teman 03 yang selalu bersama penulis sebagai tempat sharing masalah skripsi, oma Yulia, Boby, Nina, Rima, Nella, Mimi, Mira, Anita, Arum, Reni, Ema dan lainnya yang tidak bisa saya sebutkan satu-persatu.

(7)

tante-tante penulis, tante Cicik, tante Ita, tante Wiwik dan tante Inur sebagai tempat curhat yang bisa menjadi tante sekaligus teman bagi penulis.

Kepada semua pihak yang telah membantu saya baik secara moril, materil ataupun dengan doanya yang tidak bisa saya ucapkan terimakasih satu persatu.

Akhir kata penulis mengharapkan semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pembaca dan mahasiswa fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

Medan, Desember 2008

Hormat saya

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK………i

KATA PENGANTAR……….v

DAFTAR ISI……….………...vii

DAFTAR TABEL...xii

DAFTAR GAMBAR BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah……...1

B. Perumusan Masalah…...12

C. Tujuan Penelitian...12

D. Manfaat Penelitian...13

1. Manfaat Teoritis...13

2. Manfaat Praktis...13

E. Sistematika penulisan...14

BAB II LANDASAN TEORITIS A. Makna Hidup...15

A. 1. Definisi Makna Hidup...15

A. 2. Karakteristik Makna Hidup...16

A. 3. Sumber-Sumber Makna Hidup...17

A. 4. Komponen Penentu Keberhasilan Makna Hidup...18

A. 5. Kelompok Orang yang Mencari Makna Hidup...19

(9)

A. 7. Penghayatan Hidup Tanpa Makna...24

B. Pelacuran...25

B. 1. Definisi Pelacuran...25

B. 2. Definisi Pelacur...25

B. 3. Alasan Menjadi Pelacur...27

B. 4. Jenis-Jenis Pelacur...28

a. Pelacur Jalanan (low Class)...28

b. Gadis Panggilan (High Class)...29

C. Makna Hidup pada Pelacur High Class……….31

BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan Kualitatif...36

B. Responden Penelitian...37

B. 1. Karakteristik Partisipan Penelitian...37

B. 2. Jumlah Partisipan Penelitian...38

B. 3. Prosedur Pengambilan Sampel Penelitian...38

C. Metode Pengumpulan Data...38

C. 1. Wawancara Mendalam (Depth Interview)...39

D. Alat Bantu Pengumpulan Data...40

D. 1. Tape recorder………....40

D. 2. Pedoman Wawancara………41

E. Prosedur Analisa Data………...41

(10)

A. 1. Gambaran Diri Responden I………44

A. 2. Gambaran Penderitaan yang Dialami Responden I……….48

A. 3. Pembahasan Penemuan Makn Hidup Responden I………..56

B. Interpretasi Data Responden I………...67

C. Analisis Kasus Responden II……….73

C. 1. Gambaran Diri Responden II……….73

C. 2. Gambaran Penderitaan yang Dialami Oleh Responden II….79 C. 3. Pembahasan Penemuan Makna Hidup Responden II………87

D. Interpretasi Data Responden II………..93

E. Perbandingan Proses Penemuan Makna Hidup Antar Responden I dan Responden II………98

F. Penjelasan Perbedaan Proses Penemuan Makna Hidup Antar Responden I dan Responden II……….100

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan………..105

A. 1. Gambaran Proses Penemuan Makna Hidup Yang Dialami Oleh Pelacur High Class……….106

A. 2. Gambaran Makna Hidup Pelacur High Class……….108

B. Diskusi……….111

C. Saran………115

C. 1. Saran Praktis………115

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

(12)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1 Perbedaan pelacur high class dengan pelacur low class…………...…...31 Tabel 2 Perbandingan tahap penemuan makna hidup Bastaman (1996) dengan

tahap penemuan makna hidup responden I……….68 Tabel 3 Perbandingan tahap penemuan makna hidup Bastaman (1996) dengan

tahap penemuan makna hidup responden II………93 Tabel 4 Perbandingan proses penemuan makna hidup responden I dengan

(13)

DAFTAR GAMBAR

(14)

ABSTRAK

Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara

Fenomena pelacuran telah cukup lama berlangsung khususnya di Indonesia. Pelacuran sendiri telah berlangsung sejak zaman kerajaan Mojopahit. Banyak wanita di Indonesia masuk kedunia pelacuran karena motivasi-motivasi tertentu. Motivasi tersebut yang akan mengklasifikasikan apakah ia termasuk kedalam pelacur low class atau high class. Pelacur high class memiliki ciri-ciri, berpendidikan tinggi, paktik kerja yang terselubung, memiliki tarif yang tinggi dan berwajah menarik, selain itu uang bukan merupakan motivasi utama seseorang ketika menjadi pelacur high class. Motivasi-motivasi tersebut antara lain adalah karena kesepian, kehilangan kasih sayang, untuk bersenang-senang dan lainnya. Wanita yang bekerja sebagai pelacur high class selalu memiliki materi yang berlimpah, namun dengan materi yang berlimpah tersebut tidak secara otomatis membuat semua pelacur high class menjadi bahagia. Apakah dengan menjadi seorang pelacur maka makna hidupnya akan ditemukan atau dengan menjadi seorang pelacur membuat makna itu semakin tidak terlihat semua itu tergantung kepada pelacur high class itu sendiri. Untuk itu seseorang harus melalui lima tahap dalam penemuan dan pemenuhan makna hidup yaitu tahap derita, tahap penerimaan diri, tahap penemuan makna hidup, tahap realisasi makna dan tahap penghayatan hidup bermakna. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran makna hidup pada seorang pelacur high class dilihat dari tahap-tahap penemuan dan pemenuhan makna hidup.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif karena peneliti ingin melihat pengalaman subjektif seorang pelacur high class. Bagaimana ia memaknai pekerjaannya sebagai seorang pelacur high class. Apakah pekerjaannya sebagai seorang pelacur membantunya dalam menemukan makna hidup. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam. Penelitian ini melibatkan seorang wanita yang bekerja sebagai pelacur high class dan berada dikota Medan sebagai subjek penelitian.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari kedua pelacur hanya satu pelacur yang menemukan dan memenuhi makna hidupnya, dan pelacur yang berikutnya hanya sampai kepada tahap penemuan makna hidup dan belum terpenuhi. kedua pelacur berbeda dalam menemukan makna hidupnya. Mereka melewati semua tahap penemuan makna hidup namun tidak berurutan.

Implikasi dari penelitian ini berguna untuk pelacur high class itu sendiri agar belajar dari pengalaman pelacur high class dalam penelitian ini dalam menemukan makna hidupnya dan juga orang-orang disekitar pelacur high class itu sendiri dapat memahami latar belakang penyebab seseorang menjadi pelacur sehingga wanita yang menjadi pelacur high class dapat diminimalisir.

(15)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Masalah pelacuran bukanlah menjadi hal yang baru di Indonesia. Pelacuran sendiri merupakan profesi yang sangat tua usianya, setua umur kehidupan manusia itu sendiri (Kartono, 1997). Koentjoro (2004) mengatakan bahwa pelacuran di Indonesia sudah terjadi sejak zaman Mojopahit. Fenomena tersebut kemudian berlanjut di dalam kurun waktu antara 1942-1945, pada masa penjajahan Jepang banyak wanita Indonesia yang dijadikan sebagai seorang pelacur yang disebut sebagai Jugun Ian Fu. Fenomena pelacuran tersebut berlangsung hingga saat ini. Sebagaimana di kota Jakarta sebagai salah satu kota metropolitan bisa diibaratkan sebagai lokasi strategis untuk menemukan sejumlah tempat hiburan plus yang tersebar hampir di setiap sudut kota dari kalangan bawah sampai ke kalangan atas (Emka, 2005).

Tidak berbeda jauh dengan kota Jakarta khususnya di kota Medan, dalam segi pelacuran, eksploitasi perempuan hiburan malam memiliki cerita tersendiri dan hampir menyerupai Jakarta. Kawasan diseputar jalan Nibung Raya, pusat perbelanjaan Medan Mall, Thamrin Plaza dan Deli Plaza sudah terkenal sebagai transaksi masalah pelacuran (Sabili, 2003).

(16)

26.510 hektar atau 265,10 km² ini dikenal sebagai salah satu barometer hiburan malam dan pelacuran untuk wilayah Sumatera (Popular, 2005).

Definisi pelacuran sendiri merupakan suatu bentuk transaksi bisnis yang disepakati oleh pihak yang terlibat sebagai suatu yang bersifat jangka pendek yang memungkinkan satu orang atau lebih mendapatkan kepuasan seks dengan metode yang beraneka ragam (Perkins & Bannet dalam Koentjoro 2004). Pihak-pihak yang terlibat adalah pelacur dengan pihak lain yaitu pelanggan.

(17)

Banyak hal dan peristiwa sosial yang menyebabkan timbulnya pelacuran. Kurangnya lapangan pekerjaan untuk wanita, meningkatnya persaingan dalam mencari pekerjaan, tekanan ekonomi, faktor kemiskinan dan petimbangan-pertimbangan lain, juga peristiwa urbanisasi tanpa adanya jalan keluar menyebabkan tidak ada pilihan lain untuk mendapatkan kesempatan kerja bagi wanita kecuali dengan menjadi seorang pelacur (Kartono, 1997).

Hal itu juga dipengaruhi oleh latar belakang sosial bagi wanita yang menjadi seorang pelacur (Hoigard & Finstad dalam Phoenix, 2000). Kebanyakan dari wanita tersebut melacurkan diri dan memilih profesi tersebut dalam keadaan sadar dan suka rela. Hwang (2003) mengatakan bahwa berdasarkan penelitian yang ia lakukan, terdapat sekitar 82% alasan seseorang menjadi pelacur adalah karena keinginannya dan pilihannya sendiri. Pilihan-pilihan tersebut berdasarkan kepada motivasi-motivasi tertentu yang berbeda pada setiap pelacur (Kartono, 1997).

Hull (1997) mengatakan bahwa secara umum masuknya para wanita ke dalam industri seks ini di dorong oleh hasrat untuk memperoleh penghasilan yang relatif lebih besar dalam jangka waktu yang singkat (instant money). Daya tarik kemakmuran yang diperoleh dengan mudah seiring dengan peningkatan kesejahteraan ekonomi tetap merupakan faktor penggerak utama untuk masuk dan bekerja seseorang ke dalam industri seks.

(18)

uang yang cukup banyak dalam waktu yang singkat dengan cara menjadi seorang pelacur tanpa memerlukan kerja keras dan pengalaman dalam bekerja. Jumlah pelacur dengan latar belakang seperti ini berkisar antara 13% dari beberapa pelacur yang ada di Taiwan. Fenomena tersebut sesuai dengan fenomena yang terjadi di Indonesia, untuk menjadi seorang pelacur tidak memerlukan kerja keras dan pendidikan yang tinggi. Hull(1997) mengatakan bahwa studi tentang pelacuran di Indonesia secara konsisten menunjukkan bahwa pendapatan pelacur relatif lebih tinggi dibandingkan dengan pekerja pada jabatan jenis lain yang banyak di dominasi oleh tenaga kerja perempuan.

(19)

” Aku ini perlunya duit...ini lah karna perut sejengkal ini. Duit dari mana aku kalo nggak jual ini (menunjuk kemaluan), nggak mungkin la aku pilih-pilih yang mana yang mau make’ aku. Yaa nggak makan-makan la...” (Komunikasi personal, 21 Mei 2008)

Berdasarkan wawancara diatas, dapat di gambarkan bahwa kebanyakan para pelacur low class masuk kedunia pelacuran karena memiliki kebutuhan mendesak akan uang yang akan mereka pergunakan untuk membeli kebutuhan primer mereka seperti kebutuhan untuk membeli makanan dan lain sebagainya. Bahkan menurut penelitian Hwang (2003) yang ia lakukan di China, beberapa pelacur low class menggunakan penghasilan mereka untuk membayar hutang keluarga.

Berbeda dengan ciri-ciri pelacur low class yang telah dijabarkan diatas, pelacur high class memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan pelacur low class. Berdasarkan usia, pelacur high class umumnya berkisar antara 17-25 tahun. Pelacur high class selalu beroperasi di daerah yang tidak menunjukkan adanya lokasi yang terbuka seperti yang biasanya dilakukan oleh pelacur low class (Mudjiono, 2005). Koentjoro (2004) juga menambahkan bahwa pelacur high class sangat mengutamakan kerahasiaan, sehingga mereka tidak dapat di kunjungi langsung oleh pelanggan. Pelacur jenis high class seperti ini bahkan sering digunakan sebagai alat untuk memperlacar dan untuk mempermudah transaksi dalam dunia bisnis dan politik (Mudjiono, 2005).

(20)

pelacur high class dianggap lebih bergengsi (Koentjoro, 2004). Mereka yang tergabung dalam kelompok high class umumnya terdiri dari mahasiswi, pegawai wanita, istri-istri simpanan dan yang lainnya (Kartono, 1997).

Pelacur high class memiliki motivasi berbeda dalam menjalankan perannya sebagai seorang pelacur, jika pelacur low class mengatakan bahwa motivasi utama mereka ketika bekerja sebagai seorang pelacur adalah untuk memenuhi kebutuhan primer, maka untuk seorang pelacur high class, materi bukanlah merupakan satu-satunya alasan utama.

Seorang pelacur high class yang bernama Cindy (nama samaran), berdasarkan komunikasi personal kepada peneliti mengungkapkan bahwa,

”Sebenernya ni gara-gara keadaan juga. Orang tua aku tuh uda sama sekali gak peduli sama aku..aku adik-adik aku ditelantarin gitu aja..sebenarnya aku Cuma mau cari perhatian mereka aja, karena orang tua ku itu udah sibuk sama urusannya masing-masing...”

(Komunikasi personal, 22 Mei 2008)

Berdasarkan pengakuan diatas, seorang pelacur high class yang bernama Cindy mengatakan bahwa motivasi utamanya masuk kedalam dunia pelacuran adalah sebagai pelarian atas masalah yang sedang dihadapinya di keluarganya. Cindy berusaha untuk mencari perhatian orang tuanya dengan menjadi seorang pelacur. Dengan menjadi seorang pelacur Cindy berharap kedua orangtuanya kembali menyayanginya. Uang dan kekayaan merupakan alasan kedua Cindy untuk menjadi seorang pelacur.

Pada dasarnya uang dan penghasilan yang diperoleh seorang pelacur high class hanya untuk berfoya-foya, namun kenyataannya terdapat beberapa pelacur

(21)

yang akan datang (Monto, 2001). Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh seorang pelacur high class kepada peneliti,

”Aku sekarang lagi nabung, begini-begini aku inget nabung juga lho...aku pengen beli rumah yang besar buat aku dan keluarga ku. Tapi aku nggak tau kapan itu terjadi, punya rumah, punya keluarga..entahlah....”

(Komunikasi personal, 8 Juni 2008)

Berdasarkan pemaparan di atas, terlihat bahwa pelacur high class juga menginginkan perubahan dalam hidupnya. Walaupun pada dasarnya pelacur high class selalu hidup dengan materi yang berlimpah namun tidak menjamin bahwa hidup para pelacur high class tersebut akan bahagia. Hal ini juga dialami oleh pelacur high class yang bernama Maria (dalam Emka, 2005),

” Hidup ini semu, aku nggak pernah tau gimana rasanya cinta sejati. Pria yang pernah membuat aku jatuh cinta pergi begitu aja menelantarkan aku sia-sia. Aku sekarang easy going dan enjoy aja nikmatin hidup. Duit itu seakan ngak ada artinya karena aku sebenarnya butuh kasih sayang dan cinta sejati dari seorang lelaki.”

(22)

Perilaku ini menurut Bastaman (1996) merupakan salah satu komponen dalam pencarian makna hidup. Komponen ini disebut dengan pemahaman diri (self insight), yakni meningkatnya kesadaran atas buruknya kondisi diri pada saat ini dan keinginan untuk melakukan perubahan kearah kondisi yang lebih baik lagi. Mereka berupaya untuk merubah hidupnya dengan cara menabung untuk membeli rumah agar mendapatkan masa depan yang lebih cerah walaupun mereka tidak memastikan kapan mereka bisa merubah hidup mereka.

Berbeda dengan Cindy dan Maria, Sarah salah seorang pelacur high class lain yang peneliti temui mengungkapkan bahwa,

”hmm...aku sih emang suka aja kerja kayak beginian, emang sih dulu awanya aku pernah sebel sama cowok aku. Dia yang jerumusin aku ke pekerjaan ini, tapi aku ngak nyesel juga.Soalnya lama-lama kerja beginian enak sih. Udah dapat duit banyak terus bisa puas lagi ...”

. (Komunikasi personal, 23 April 2008)

Jika dilihat dari kasus yang dialami oleh Sarah, masuknya ia ke dalam dunia pelacuran adalah karena kebutuhannya akan berhubungan seks yang cukup tinggi. Pada awalnya Sarah merasa marah karena dijerumuskan ke dunia malam oleh kekasihnya. Namun lama-kelamaan Sarah menjadi menikmati pekerjaan ini, karena pada dasarnya ia juga memiliki kebutuhan seksual yang harus dipenuhi.

Hal yang sama juga di dukung dengan pengakuan yang dilakukan oleh Cindy kepada peneliti,

(23)

Pernyataan yang diungkapkan oleh Cindy turut menguatkan yang telah dialami oleh Sarah. Sarah merupakan salah seorang pelacur high class yang menganggap bahwa pekerjaan sebagai seorang pelacur merupakan sebuah hiburan untuknya. Ia tidak menganggap masuknya ia kedalam dunia pelacuran karena sebuah penderitaan. Selain itu uang yang ia peroleh juga ia pergunakan sebagai pemasukan tambahan dan untuk memenuhi segala kebutuhannya.

Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Mudjiono (2005), ia mengatakan bahwa hiburan juga merupakan salah satu motivasi seseorang ketika masuk kedalam dunia pelacuran. Bahkan beberapa diantara pelacur high class yang kemudian di jadikan sebagai istri simpanan yang di ”simpan” di daerah pinggiran kota atau di daerah peristirahatan dengan fasilitas rumah mewah, lengkap dengan perabotan dan juga mobil (Kartono, 1997). Fasilitas rumah mewah dan lain sebagainya merupakan sebagian dari kesenangan yang di miliki oleh pelacur high class.

Senada dengan apa yang diungkapkan oleh Sarah, yang merupakan seorang pelacur high class kepada peneliti,

”Nyantai aja lah dulu...hidup ini musti dinikmati say...aku ngga perduli orang-orang pada ngomong apa. Yang penting aku have fun..sekarang ya sekarang, nanti ya nanti...bener ga...”

(Komunikasi personal, 11 Mei 2008 )

(24)

bahwa pada saat itu Cindy memang telah menemukan makna hidupnya. Karena pada saat itu Cindy menikmati hidupnya dengan bekerja sebagai seorang pelacur. Ia tidak memperdulikan apa yang di katakan oleh orang lain mengenai dirinya karena ia menyukai dan menikmati pekerjaaannya sebagai seorang pelacur.

Crumbaugh dan Maholich (Koeswara dalam Bukhori, 2006) mengatakan bahwa ciri-ciri kebermaknaan hidup adalah memiliki tujuan hidup, kepuasan hidup, kebebasan memilih, gairah hidup, dan tanggung jawab. Mereka yang memiliki kebermaknaan hidup akan memiliki tujuan hidup yang jelas, baik tujuan jangka pendek maupun jangka panjang. Kegiatan mereka menjadi terarah dan mereka juga merasakan sendiri kemajuan-kemajuan yang telah mereka capai (Bukhori, 2006). Hal yang sama juga diungkapkan oleh Savolaine & Granello (2002), mereka mengatakan bahwa dengan adanya makna didalam hidup maka makna tersebut akan mempengaruhi perilaku individu menjadi kearah yang lebih baik dan lebih positif. Individu yang tidak berhasil dalam menghayati makna hidup biasanya akan menimbulkan frustasi eksistensial dan kehampaan eksistensial yang ditandai dengan hilangnya minat, berkurangnya insiatif, munculnya perasaan absurd dan hampa, gersang, merasa tidak memiliki tujuan hidup, merasa hidup tidak berarti serta bosan dan apatis (Koeswara, 1992).

(25)

Anggriani (dalam Bukhori, 2006) mengatakan bahwa makna hidup berarti penghayatan seseorang mengenai kualitas, tujuan dan harapan dalam hidupnya agar dapat berarti bagi diri sendiri dan sesamanya. Pendapat ini didukung oleh penelitian Reker dan Butler (dalam Bee, 1996) bahwa individu yang mempunyai misi dan arah, memiliki tujuan dalam hidupnya lebih sehat secara mental dan psikologis dari pada individu yang makna hidupnya tidak jelas. Untuk dapat berhasil menghayati hidup bermakna, sebelumnya individu harus dapat menemukan suatu makna kehidupannya.

Berdasarkan uraian diatas, terlihat bahwa seorang yang bekerja sebagai pelacur high class walaupun memiliki pekerjaan yang sama antara satu dengan lainnya, ketika memutuskan untuk masuk ke dalam pekerjaan tersebut tentunya masing-masing memiliki motivasi dan tujuan yang berbeda. Karena pada dasarnya setiap individu juga bervariasi dalam mencari dan menemukan makna hidupnya. Schultz (1991) mengatakan bahwa makna hidup bisa berbeda-beda antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya dan berbeda setiap hari bahkan jam.

(26)

mereka yang buruk, padahal makna hidup itu sendiri tetap ada. Hal itu tergantung kepada kesadaran individu akan makna. Akan tetapi tidak semua individu langsung berhasil menemukan makna hidupnya. Ada kalanya individu tidak berhasil menemukan makna hidupnya karena dia memang tidak segera menyadari makna tersebut dan menyadari panggilan tersebut. Maka individu merasakan hidupnya hampa dan tidak bermakna (Frankl, 1984)

Berdasarkan permasalahan yang dijabarkan di atas, peneliti ingin mengetahui bagaimana makna hidup bagi seorang pelacur high class di Indonesia, dan bagaimana proses dari penemuan makna hidup jika dilihat berdasarkan kepada tahap-tahap dalam penemuan makna hidup tersebut.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, maka peneliti merumuskan beberapa pertanyaan yang akan dijawab melalui penelitian ini. Dengan demikian dapat dirumuskan masalah utama dari penelitian ini adalah :

1. Bagaimanakah makna hidup bagi seorang pelacur high class?

2. Bagaimanakah proses pencarian makna hidup bagi seorang pelacur high class dan bagaimana mereka menemukannya?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengungkapkan makna hidup pada seorang pelacur high class dan menjelaskan bagaimana proses pencarian dan pemenuhan makna hidup dilihat dari tahap-tahap menemukan makna hidup itu sendiri.

(27)

1. Manfaat Teoritis

Berdasarkan hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk perkembangan ilmu psikologis, khususnya dibidang Psikologi Klinis dalam rangka perluasan teori, terutama berkenaan dengan makna hidup pada pelacur high class dan dapat digunakan sebagai bahan penunjang penelitian lebih lanjut.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi para pelacur high class lainnya yaitu sebagai media inspiratif, dimana diharapkan dengan

membaca penelitian ini dapat memberi masukan para pelacur high class lainnya untuk melihat pengalaman dari pelacur high class yang menjadi partisipan dalam penelitian ini bagaimana cara mereka dalam menemukan makna hidupnya.

Selain itu penelitian ini memberikan wacana bagi masyarakat umum untuk mengetahui motivasi-motivasi atau hal-hal apa saja yang bisa mempengaruhi seseorang untuk mejadi seorang pelacur high class.

E. Sistematika Penulisan

Penelitian ini dirancang dengan susunan sebagai berikut : BAB I : Pendahuluan

Berisikan latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian serta sistematika penulisan.

BAB II :Landasan Teori

Bagian ini berisikan tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam pembahasan masalah.

(28)

Dalam Bab ini akan dijelaskan metode penelitian yang digunakan oleh peneliti dalam hal ini adalah metode penelitian kualitatif, metode pengumpulan data, responden dan lokasi penelitian, alat bantu pengumpulan data, prosedur penelitian serta analisis data. Selain itu juga memuat teknik pengambilan subjek/ responden yang akan digunakan dalam penelitian.

BAB IV : Hasil dan Analisis Hasil Penelitian

Berisi uraian singkat hasil penelitian dan interpretasi data. BAB V : Kesimpulan, Diskusi dan Saran

(29)

BAB II LANDASAN TEORI

A. Makna Hidup

A. 1. Definisi Makna Hidup

Istilah makna hidup dikemukakan oleh Victor Frankl, seorang dokter ahli penyaki saraf dan jiwa yang landasan teorinya disebut logoterapi. Kata logoterapi berasal dari kata ”logos” yang artinya makna (meaning) atau rohani (spiritualy), sedangkan ”terapi” adalah penyembuhan atau pengobatan. Logoterapi secara umum mengakui adanya dimensi kerohanian pada manusia disamping dimensi ragawi dan kejiwaan, serta beranggapan bahwa makna hidup (the meaning of life) dan hasrat untuk hidup bermakna (the will to meaning) merupakan motivasi utama manusia guna meraih taraf kehidupan bermakna (the meaningfull life) yang didambakan (Frankl dalam Bastaman 2007). Pencarian akan makna hidup akan berlangsung setua manusia itu sendiri. Hal ini adalah karakteristik utama yang membedakan keberadaan manusia dengan hewan (Lukas, 1986).

(30)

dalam derita” (meaning in suffering) atau ”hikmah dalam musibah” (blessing in disguise) menunjukkan bahwa dalam penderitaan sekalipun makna hidup akan

tetap dapat ditemukan. Bila hasrat ini dapat dipenuhi maka kehidupan akan dirasakan berguna, berharga dan berarti (meaningfull) akan dialami. Sebaliknya bila hasrat ini tidak terpenuhi akan menyebabkan kehidupan dirasakan tidak bermakna (meaningless), hampa dan tidak berguna (Bastaman, 2007).

Makna hidup merupakan bagian dari kenyataan hidup yang dapat dijumpai di dalam setiap kehidupan. Oleh karena itu, makna hidup dapat berubah-ubah sewaktu-waktu. Makna hidup tidak dapat diberikan oleh siapapun, tetapi hanya dapat dipenuhi jika dicari dan ditemukan oleh diri sendiri (Frankl, 1984). Individu dalam mencapai makna hidupnya harus menunjukkan tindakan dari komitmen yang muncul dalam dirinya. Melalui komitmen tersebut seseorang akan menjawab tantangan yang ada dan memberikan sesuatu kepada hidup individu yang mencarinya (Koeswara, 1992).

A. 2. Karakteristik Makna Hidup

Makna hidup sebagaimana dikonsepkan oleh Frankl (dalam Bastaman, 2007) memiliki beberapa karakteristik :

(31)

b. Makna hidup itu spesifik dan nyata, makna hidup dapat ditemukan dalam pengalaman dan kehidupan sehari-hari serta tidak selalu dikaitkan dengan hal-hal yang abstrak, tujuan-tujuan idealistis dan prestasi-prestasi akademis.

c. Makna hidup memberi pedoman dan arah tujuan terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan

A. 3. Sumber-Sumber Makna Hidup

Makna hidup menuntut keaktifan dan tanggung jawab individu untuk memenuhinya (Koeswara, 1992). Makna hidup tidak hanya ditemukan dalam keadaan yang menyenangkan, namun juga dapat ditemukan pada saat penderitaan. Dalam kehidupan, terdapat tiga bidang potensial yang mengandung nilai-nilai yang memungkinkan seseorang menemukan makna hidupnya. Ketiga nilai (values) ini merupakan sumber-sumber makna hidup, yang terdiri dari (Frankl,

1984) adalah :

a. Nilai-nilai kreatif (Creative Values)

Merupakan salah satu dari cara yang dikemukakan oleh logoterapi dalam memberikan arti bagi kehidupan yaitu dengan “melihat apa yang dapat diberikan bagi kehidupan ini (what we give to life). Melalui tindakan-tindakan kreatif dan menciptakan suatu karya seni, menekuni suatu pekerjaan dan meningkatkan keterlibatan pribadi terhadap tugas serta berusaha untuk mengerjakan dengan sebaik-baiknya (Frankl dalam Bastaman 2007).

(32)

Cara kedua adalah dengan melihat ”apa yang dapat kita ambil dari dunia ini” (what we take form the world). Dengan mengalami sesuatu, melalui kebaikan,

kebenaran dan keindahan, dengan menikmati alam dan budaya atau dengan mengenal manusia lain dengan segala keunikannya. Selain itu cinta kasih dapat menjadikan seseorang menghayati perasaan berarti dalam kehidupannya. Dengan mencintai dan merasa dicintai seseorang akan merasakan hidupnya penuh dengn pengalaman hidup yang membahagiakan (Frankl, dalam Bastaman 2007)

c. Nilai-nilai bersikap (Attitudinal Values)

Cara ketiga adalah “sikap yang diambil untuk tetap bertahan terhadap penderitaan yang tidak dapat dihindari” (the attitude we take toward unavoidable suffering), Yaitu menerima dengan penuh ketabahan, kesabaran

dan keberanian segala bentuk penderitaan yang tidak mungkin dielakkan lagi. Dalam hal ini yang diubah bukan keadaan namun sikap yang dapat diambil dalam menghadapi keadaan itu.

A. 4. Komponen-komponen yang Menentukan Keberhasilan dalam Pencarian Makna Hidup

Bastaman (1996) mengemukakan komponen-komponen yang menentukan berhasilnya seseorang dalam merubah hidup dari penghayatan hidup tidak bermakna menjadi lebih bermakna. Komponen-komponen tersebut adalah:

(33)

2. Makna Hidup (Meaning of Life), yakni nilai-nilai penting dan sangat berarti bagi kehidupan pribadi seseorang yang berfungsi sebagai tujuan hidup yang harus dipenuhi dan pengarah-pengarah kegiatannya.

3. Pengubahan Sikap (Changing Attitude), dari yang semula tidak tepat menjadi tepat dalam menghadapi masalah, kondisi hidup, dan musibah yang tidak dapat terelakkan.

4. Keikatan Diri (Self Commitment), terhadap makna hidup yang ditemukan dan tujuan yang di tetapkan.

5. Kegiatan Terarah (Directed Activities), yakni upaya-upaya yang dilakukan secara sadar dan sengaja berupa pengembangan potensi-potensi pribadi, bakat, kemampuan, keterampilan yang positif serta pemanfaatan relasi antarpribadi untuk menunjang tercapainya makna hidup dan tujuan.

6. Dukungan Sosial (Social Support), yakni hadirnya seseorang atau sejumlah orang yang akrab, dapat dipercaya dan selalu bersedia membantu pada saat-saat diperlukan.

A. 5. Kelompok Orang yang Mencari Makna

Frankl (1884) membagi dua kelompok orang yang mencari makna: a. People in Doubt

(34)

Pencarian makna ini jika tersangkut dalam suatu kondisi permanen keraguan, dan tidak ada perkembangan, mungkin akan menghasilkan neurotis serius, psikotis dan depresi.

b. People in Despair

People ini despair adalah mereka yang tadinya memiliki orientasi hidup

yang bermakna, tetapi kemudian kehilangan makna itu akibat hilangnya rasa percaya diri atau menemukan bahwa makna tersebut mengecewakan. Kelompok ini terdiri dari mereka yan pernah mengejar dalam kesenangan, kekuasaan, kesejahteraan, menyadari mereka mengejar sesuatu yang tidak memiliki kelanjutan dan sekarang masih merasa kosong. Realitas ini dapat mengarah pada kemunduran, perasaan tidak bermakna dan pemikiran untuk bunuh diri.

A. 6. Penghayatan Hidup Bermakna

Individu yang menghayati hidup bermakna menunjukkan corak kehidupan penuh semangat dan gairah hidup serta jauh dari perasaan hampa dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Tujuan hidup, baik tujuan jangka panjang maupun jangka pendek akan lebih jelas terlihat dan kegiatan individu tersebut akan menjadi terarah (Frankl dalam Bastaman 2007).

(35)

keinginan untuk menjadi orang yang berguna untuk orang lain, apakah itu anak, istri, keluarga dekat, komunitas dan negara dan bahkan umat manusia (Ancok dalam Frankl 2003). Bastaman (1996) berdasarkan pada teori Frankl mengajukan suatu proposisi mengenai urutan pengalaman dan tahap-tahap kegiatan seseorang dalam mengubah penghayatan hidup dari kondisi tidak bermakna (meaningless) menjadi bermakna (meaningfull). Proses tersebut digambarkan dalam skema 1 sebagai berikut :

Penghayatan tidak bermakna (meaningless life)

Pemahaman diri (self insight)

Pengubahan Sikap (changing attitude)

Penemuan Makna dan Tujuan Hidup (finding meaning and purpose of life)

Pengalaman tragis (tragic events)

(36)

Selanjutnya tahap-tahap ini dapat di kategorikan atas lima kelompok tahapan berdasarkan urutannya, yaitu (Bastaman, 1996) :

a. Tahap derita (peristiwa tragis, penghayatan tanpa makna)

Individu berada dalam kondisi hidup tidak bermakna. Mungkin ada peristiwa tragis atau kondisi hidup yang tidak menyenangkan.

b. Tahap penerimaan diri (pemahaman diri, pengubahan sikap)

Muncul kesadaran diri untuk mengubah kondisi diri menjadi lebih baik lagi. Biasanya muncul kesadaran diri ini disebabkan banyak hal, misalnya perenungan diri, konsultasi dengan para ahli, mendapat pandangan dari seseorang, hasil doa dan ibadah, belajar dari pengalaman orang lain atau peristiwa-peristiwa tertentu yang secara dramatis mengubah hidupnya selama ini.

c. Tahap penemuan makna hidup (penemuan makna dan penentuan tujuan hidup)

Kebahagiaan (Happiness) Hidup Bermakna (Meaningfull Life)

(37)

Menyadari adanya nilai-nilai berharga atau hal-hal yang sangat penting dalam hidup, yang kemudian ditetapkan sebagai tujuan hidup. Hal-hal yang dianggap penting dan berharga itu mungkin saja berupa nilai-nilai kreatif, seperti berkarya, nilai-nilai penghayatan seperti penghayatan keindahan, keimanan, keyakinan dan nilai-nilai bersikap yakni menentukan sikap yang tepat dalam menghadapi kondisi yang tidak menyenangkan tersebut.

d. Tahap realisasi makna (keikatan diri, kegiatan terarah dan pemenuhan makna hidup)

Semangat hidup dan gairah kerja meningkat, kemudian secara sadar membuat komitmen diri untuk melakukan berbagai kegiatan nyata yang lebih terarah. Kegiatan ini biasanya berupa pengembangan bakat, kemampuan dan keterampilan.

e. Tahap kehidupan bermakna (penghayatan bermakna, kebahagiaan)

Pada tahap ini timbul perubahan kondisi hidup yang lebih baik dan mengembangkan penghayatan hidup bermakna dengan kebahagiaan sebagai hasil sampingnya.

Bastaman (1996) mengatakan bahwa kenyataannya urutan proses tersebut dapat tidak diikuti secara tepat sesuai dengan konstruksi teori yang ada.

A. 7. Penghayatan Hidup Tanpa Makna

(38)

ditemukan dan kemudian dikembangkan (Bastaman, 1996). Ada individu yang tidak dapat melihat adanya makna hidup dalam keadaan mereka yang buruk padahal makna hidup akan tetap ada. Terkadang kehidupan baru dapat mengandung suatu arti ketika berhadapan dengan situasi yang dipenuhi dengan penderitaan (Schultz, 1991).

Ketidakberhasilan menghayati makna hidup biasanya menimbulkan frustasi eksistensial dan kehampaan eksistensial yang ditandai dengan hilangnya minat, berkurangnya insiatif, munculnya perasaan absurd dan hampa, gersang, merasa tidak memiliki tujuan hidup, merasa tidak berarti, serta bosan dan apatis (Koeswara, 1992). Kebosanan adalah ketidakmampuan seseorang untuk membangkitkan minat, sedangkan apatis merupakan ketidakmampuan dalam mengambil prakarsa (Bastaman, 2007).

Penghayatan-penghayatan seperti digambarkan di atas mungkin saja tidak terungkap secara nyata, tetapi menjelma dalam berbagai upaya kompensasi dan kehendak yang berlebihan untuk berkuasa (the will to power), bersenang-senang mencari kenikmatan (the will to pleasure) termasuk kegiatan seksual (the will to sex), bekerja (the will to work), dan mengumpulkan uang (the will to money)

(Frankl dalam Bastaman 2007).

B. PELACURAN B. 1. Definisi Pelacuran

(39)

Phaterson (1990) dalam Koentjoro (2004) mengatakan bahwa pelacuran merupakan suatu jenis perburuhan seks perempuan yang membentuk suatu kotinum dari mulai pertukaran jangka pendek uang dan seks, barang dan seks, hingga pertukaran jangka panjang seks dengan pelayanan domestik dan reproduksi seperti dalam pernikahan. Perkins & Bannet dalam Koentjoro 2004) juga mendefinisikan bahwa pelacuran sebagai transaksi bisnis yang disepakati oleh pihak yang terlibat sebagai sesuatu yang bersifat kontrak jangka pendek yang memungkinkan satu orang atau lebih mendapatkan kepuasan seks dengan metode yang beraneka ragam.

B. 2. Definisi Pelacur

Pelacur adalah seseorang yang melacur di dunia pelacuran (Koentjoro, 2004). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989), pelacur adalah perempuan yang melacur. Istilah pelacur menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989) berkata dasar lacur yang berarti malang, celaka, gagal, sial atau tidak jadi. Pelacur menurut Pheterson (1996) mengacu kepada mereka yang secara terbuka menawarkan dan menyediakan seks, adalah sebuah status sosial yang telah terstigmasi dan bersifat kriminal.

(40)

Selain pelacur dan PSK, kemudian berkembang istilah WTS (wanita tuna susila) karena menganggap bahwa perempuan yang melacurkan diri tidak menuruti aturan susila yang berlaku di masyarakat. Secara legal, pemerintah Indonesia mengeluarkan surat Keputusan Menteri Sosial No. 23/HUK/96 (dalam Koentjoro, 2004) yang menyebut pelacur dengan istilah WTS. Namun menurut Koentjoro (2004) upaya pemerintah saat itu sebenarnya tidak lain untuk melebihhaluskan istilah pelacur.

Secara lebih tegas, Koentjoro (2004) menolak istilah WTS atau PSK dan memilih untuk menggunakan pelacur. Hal ini disebabkan karena (1) arti pelacur baik secara denotatif maupun konotatif lebih lengkap dan lebih spesifik (2) istilah pekerja seks berlaku terlalu luas, tidak spesifik dan bermakna ganda (3) istilah pekerja seks dapat diartikan sebagai pengakuan bahwa melacur merupakan pekerjaan.

Pelacur sendiri menurut Fieldman dan Mac Cullah (dalam Koentjoro 2004) adalah seseorang yang menggunakan tubuhnya sebagai komoditas untuk menjual seks dalam satuan harga tertentu. Mukherji dan Hantrakul (dalam Koentjoro 2004) mendefinisikan seorang pelacur sebagai seorang perempuan yang menjual dirinya untuk kepentingan seks pada beberapa pria berturut-turut yang dirinya sendiri tidak memiliki kesempatan untuk memilih pria mana yang menjadi langganannya.

(41)

Perempuan berperan sebagai budak dan dibayar oleh laki-laki atas jasa seks mereka.

B. 3. Alasan Menjadi Pelacur

Koentjoro (2004) mengatakan bahwa secara umum terdapat lima alasan yang paling mempengaruhi dalam menuntun seorang perempuan/wanita menjadi seorang pelacur, adalah :

1. Materialisme

Materialisme atau aspirasi untuk mengumpulkan kekayaan merupakan sebuah orientasi yang mengutamakan hal-hal fisik dalam kehidupan. Orang yang hidupnya berorientasi materi akan menjadikan banyaknya jumlah uang yang bisa dikumpulkan dan kepemilikan materi yang dapat mereka miliki sebagai tolak ukur keberhasilan hidup.

2. Modelling

Modelling adalah salah satu cara sosialisasi pelacuran yang mudah dilakukan

dan efektif. Terdapat banyak pelacur yang telah berhasil mengumpulkan kekayaan di komunitas yang menghasilkan pelacur sehingga masyarakat dapat dengan mudah menemukan model.

3. Dukungan Orang tua

Dalam beberapa kasus, orang tua dan suami menggunakan anak perempuan/istri mereka sebagai sarana untuk mencapai aspirasi mereka akan materi.

(42)

Jika sebuah lingkungan sosial bersikap permisif terhadap pelacuran berarti kontrol tersebut tidak berjalan sebagaimana mestinya. Jika sebuah komunitas sudah lemah kontrol lingkungannya maka pelacuran akan berkembang di dalam komunitas tersebut.

5. Faktor ekonomis

Coleman & Cressey (1984) mengatakan bahwa dalam melakukan pekerjaanya sebagai seorang pelacur, terdapat unsur penting di dalamnya yaitu ada kompensasi berupa uang.

B. 4. Jenis-jenis Pelacur

Seperti jenis kelompok pekerjaan yang lain, pelacuran juga memiliki keragaman. Feldman dan MacCulloch (dalam Koentjoro, 2004) mengatakan bahwa pelacuran terdiri dari dua jenis yaitu pelacur jalanan dan gadis panggilan. Penggolongan pelacur ditentukan oleh usia (Kartono, 1997), lokasi, tingkat pendidikan dan daya tarik (Koentjoro, 2004).

1. Pelacur Jalanan (Low Class)

Untuk tarif pelayanan seks terendah ditawarkan oleh para pelacur jalanan, pelacur seperti ini sering beroperasi selalu berpraktik di tepi jalan atau di lokalisasi liar, di kawasan kumuh, di pasar, di kuburan, di sepanjang rel kereta api dan di lokasi lain yang sulit dijangkau bahkan kadang-kadang berbahaya untuk dapat berhubungan dengan pelacur tersebut (Hull dkk, 1997). Pelacur seperti ini digolongkan kedalam pelacur low class (Kartono, 2003).

(43)

ini sangat rendah dibandingkan dengan pelacur high class (Hull, 1997). Untuk pelacur tingkat rendah (low class),mbiasanya berusia 11-15 tahun yang belum berpengalaman walaupun banyak diantara pelacur low class yang berusia lebih dari itu (Kartono, 1997). Untuk seorang pelacur low class, jumlah uang yang mereka keluarkan hanya untuk kebutuhan primer dan mendasar seperti makanan, tempat tinggal dan lain sebagainya (Mudjiono, 2005).

Koentjoro (2004) juga menambahkan beberapa hal yang memotivasi seorang pelacur low class untuk menjadi seorang pelacur yaitu:

a. Kemiskinan

b. Pendapatan rendah c. Pendidikan rendah

d. Tidak memiliki keterampilan e. Pengangguran

2. Gadis Panggilan (High Class)

(44)

berhubungan dengan tarif pelayanan (Koentjoro, 2004). Semakin tinggi pendidikan pelacur, tarif yang diberikan akan semakin mahal. Harga pelayanan seksual dengan pelacur terpelajar jauh lebih mahal dibandingkan dengan pelacur biasa (low class) karena pelanggan menganggapnya lebih bergengsi (Koentjoro, 2004).

Julian (1986) mengatakan bahwa untuk menjadi seorang pelacur high class, pelacur high class tersebut harus menjalani pelatihan selama lebih kurang

dua atau tiga bulan. Pelatihan tersebut berisi tentang sikap dan perilaku yang harus mereka berikan kepada pelanggan. Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Fieldman dan MacCullah (dalam Koentjoro, 2004), ia mengatakan bahwa untuk menjadi pelacur yang profesional diperlukan adanya pelatihan. Oleh karena itu berdasarkan kriteria diatas gadis panggilan digolongkan kedalam pelacur high class.

Para pelacur high class memiliki motivasi dasar untuk bekerja sebagai seorang pelacur. Motivasi tersebut adalah :

1. Kesenangan (Mudjiono, 2005)

2. Uang dan atau narkoba (Koentjoro, 2004)

3. Kekuasaan dan status (Schmopkler dalam Koentjoro, 2004)

Untuk menyederhanakan dan melihat perbedaan antara pelacur low class dengan pelacur high class dapat dilihat melalui tabel 1. berikut ini :

Tabel 1. Perbedaan pelacur high class dan Pelacur low class

Pelacur Low Class Pelacur High Class

(45)

2003)

(berdasarkan observasi peneliti, pelacur low class juga banyak yang berusia diatas 30 tahun).

antara 17 - 25 tahun (Kartono, 2003).

Lokasi Lokalisasi liar, kawasan kumuh, pasar, kuburan, rel kereta api (Hull dkk, 1997)

Tidak terbuka untuk umum (Mudjiono, 2005). Tidak dapat dihubungi langsung oleh pelanggan (Koentjoro, 2004). Daya tarik (tidak ada) Wajah dan tubuh yang menarik

(Koentjoro, 2004) Tingkat

pendidikan

SMU (Kartono, 2003) Wanita Karier dan Mahasisiwi (Kartono, 2003)

Motivasi Uang (Kartono, 2003) Kesenangan (Mudjiono, 2005) Uang dan atau narkoba (Koentjoro, 2004), kekuasaan dan status (Schmopkler dalam Koentjoro, 2004)

C. Makna Hidup pada Pelacur High Class

Pilihan untuk menjadi seorang pelacur merupakan pilihan yang sulit. Karena reaksi sosial, adat istiadat dan norma-norma sosial yang cukup menentang adanya praktik pelacuran (Kartono, 1997). Terlebih lagi rakyat di Indonesia merupakan rakyat yang beragama sehingga pelacuran menjadi sangat dilarang dan dianggap berdosa (Koentjoro, 2004). Namun karena pada dasarnya manusia memiliki kebutuhan dasar (basic need), maka kebutuhan inilah yang harus dipenuhi oleh setiap manusia (Maslow dalam Sarwono, 2000).

(46)

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa pelacur menurut Feldman dan MacCulloch (dalam Koentjoro, 2004) terdiri dari dua jenis yaitu pelacur jalanan dan gadis panggilan. Walaupun pada umumnya motivasi utama untuk menjadi seorang pelacur yaitu uang (Coleman & Cressey, 1984), namun David dan Satz (dalam Koentjoro, 2004) mengatakan bahwa terdapat segelintir pelacur yang tidak hanya dapat dipandang dari sisi ekonomis semata. Lebih lanjut lagi mereka mengatakan bahwa perempuan tidak lagi memasuki dunia pelacuran karena alasan untuk keluar dari tekanan ekonomi, namun karena adanya kebutuhan lain (David & Satz dalam Koentjoro, 2004). Menurut Koentjoro (2004) uang hanya merupakan mediasi bagi sebuah tujuan, dan orang yang di dominasi oleh orientasi material akan berjuang untuk kekuasaan dan status (Schmopkler dalam Koentjoro, 2004). Selain kekuasaan dan status, motivasi lain adalah hiburan (Mudjiono, 2005) dan kesepian (Kartono, 1997). Motivasi-motivasi inilah yang menjadi motif utama seorang pelacur high class atau gadis panggilan. Berbeda dengan pelacur low class, mereka menjadi pelacur hanya untuk memenuhi basic need atau

kebutuhan dasar dalam hidupnya (Hull, 1997).

(47)

dan kemewahan hidup mungkin saja akan merasa bahagia dengan bekerja sebagai seorang pelacur.

Bagi beberapa pelacur high class yang lain, mungkin saja dengan masuknya ia kedalam dunia pelacuran bukannya akan mengubah keadaan menjadi lebih baik, sebaliknya masuknya ia kedunia pelacuran hanya akan menambah rumitnya masalah hidup yang telah ia temui sebelum masuknya ia kedunia pelacuran. Akibatnya muncul perasaan-perasaan yang tidak menyenangkan yang dialami oleh beberapa pelacur high class. Bentuk perasaan yang tidak menyenangkan tersebut salah satunya adalah perasaan kesepian, hampa, kebosanan dan tidak memiliki tujuan hidup.

Perasaan hampa yang dialami oleh pelacur high class ini menyebabkan munculnya kecemasan dan konflik-konflik batin (Kartono, 1997). Konflik-konflik dan kecemasan ini tidak banyak berkaitan kepada masalah moral, namun lebih kepada konflik mengenai perasaan ingin dicintai, selalu merasakan kekosongan dan kehampaan karena tidak menemukan cinta sejati selama berprofesi menjadi seorang pelacur (Kartono, 2005). Perasaan hampa, gersang, tidak memiliki tujuan hidup merupakan karakteristik seseorang yang penghayatan hidupnya tidak bermakna (Frankl dalam Bastaman, 2007).

(48)

sehingga kehidupan mereka akan bersemangat, bergairah dan bahagia (bastaman, 1996).

Pelacur yang tidak bisa melihat makna dibalik penderitaan maka ia akan tenggelam oleh penderitaan yang ia alami dan mengalami beberapa penghayatan hidup yang tidak menyenangkan seperti hampa, gersang, tidak memiliki tujuan hidup, merasa hidupnya tidak berarti dan lain sebagainya (Bastaman, 2007) yang akan mempengaruhi kehidupannya selanjutnya. Sementara individu yang berhasil melihat adanya makna dibalik penderitaan maka ia akan menujukkan corak kehidupan penuh semangat dan gairah hidup serta jauh dari perasaan hampa dalam menjalani kehidupan sehari-harinya. Tujuan hidupnya baik tujuan jangka pendek maupun jangka panjang akan jelas bagi mereka dan dengan demikian kegiatan mereka pun akan lebih terarah sesuai dengan tujuan hidup yang ingin mereka capai.

Frankl (1984) juga mengatakan bahwa individu yang mempunyai pandangan hidup yang jelas akan bertahan hidup dan sanggup menghadapi masalah yang sulit sekalipun (Frankl dalam Schultz, 1991).

Oleh sebab itu dalam penelitian ini akan dilihat gambaran makna hidup bagi beberapa pelacur high class pada saat mereka masih berstatus sebagai pelacur high class. Apakah pekerjaan mereka sebagai pelacur high class mempengaruhi

(49)
(50)

BAB III

METODE PENELITIAN

III. A. Pendekatan Kualitatif

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif karena yang ingin diteliti adalah penghayatan subjektif individu dalam mencari makna hidupnya. Suprayogo dan Tobroni (2001) mengatakan bahwa pendekatan kualitatif dapat memahami gejala sebagaimana responden mengalaminya sehingga diperoleh gambaran yang sesuai dengan diri paritisipan dan bukan semata-mata untuk menarik sebab akibat yang dipaksakan. Patton (dalam Poerwandari, 2001) mengatakan bahwa pendekatan kualitatitf memungkinkan individu untuk memfokuskan variasi pengalaman dan individu-individu atau kelompok-keompok yang berbeda.

Menurut Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2000) metode penelitian kualitatif merupakan prosedur penelitian yang akan menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Pendekatan ini juga digunakan untuk menggambarkan dan menjawab pertanyaan seputar subjek penelitian beserta konteksnya.

(51)

Padgett (1998) mengemukakan beberapa alasan mengapa menggunakan penelitian kualitatif. Alasan-alasan adalah sebagai berikut:

1. Penelitian kualitatif digunakan jika peneliti ingin menggali suatu topik yang masih sedikit diketahui.

2. Jika topik yang ingin diteliti memiliki tingkat kedalaman sensitivitas dan emosional.

3. Penelitian tersebut diharapkan dapat menggambarkan “pengalaman hidup” dari perspektif orang yang hidup di dalamnya dan menciptakan arti darinya. 4. Diharapkan dapat memasuki “kotak hitam” dari program dan intervensi. 5. Seorang peneliti kuantitatif yang mencapai jalan buntu dalam mengumpulkan

data atau dalam menjelaskan penemuan. B. Responden Penelitian

1. Karakterisik Responden Penelitian

Karakteristik partsipan dalam penelitian ini adalah : a. Wanita yang berstatus sebagai pelacur high class

Responden dalam peneltian ini adalah wanita yang berstatus sebagai pelacur high class. Penentuan pelacur high class dalam hal ini ditentukan oleh ciri-ciri

dan motivasinya.

b. Berdomisili di Kota Medan

Responden dalam penelitian ini berdomisili dikota Medan karena peneliti peneliti berdomisili di kota Medan dan Medan dikenal sebagai salah satu kota yang menjadi barometer hiburan malam di Sumatera.

(52)

Sampel dalam penelitian kualitatif tidak diarahkan pada jumah sampel yang besar, melainkan pada kasus-kasus tipikal sesuai kekhususan masalah penelitian. Pada dasarnya jumlah responden dalam penelitian kualitatif tidak ditentukan secara tegas diawal penelitian (Sarantakos dalam Poerwandari, 2001). Pada penelitian ini, jumlah responden yang akan diambil adalah sebanyak dua orang.

3. Prosedur Pengambilan Sampel Penelitian

Prosedur pengambilan sampel dalam penelitian ini berdasarkan konstruk operasional (theory-based/operational constuct sampling). Sampel dipilih berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan, berdasarkan teori atau konstruk operasional sesuai dengan studi sebelumnya, atau sesuai dengan tujuan penelitian (Poerwandari, 2001).

C. Metode Pengumpulan Data

Tipe-tipe pengumpulan data dalam penelitian kualitatif sangat beragam, disesuaikan dengan masalah, tujuan penelitian dan sifat objek yang diteliti. Wawancara, observasi, diskusi kelompok terfokus, analisis terhadap karya, analisis dokumen, analisis catatan pribadi, studi kasus, studi riwayat hidup adalah jenis pengumpulan data dalam penelitian kualitatif (Poerwandari, 2001)

Metode yang digunakan dalam pengumpulan data peneitian ini adalah wawancara mendalam (in-depth interviewing) sebagai metode utama dan observasi pada saat wawancara dilakukan dengan alasan seperti yang akan diuraikan selanjutnya.

(53)

Untuk memperoleh pemahaman yang lebih luas dan mendalam terhadap peristiwa yang dialami dan dirasakan responden penelitian, maka metode yang tepat digunakan adalah wawancara. Jenis wawancara ini mengharuskan pewawancara membuat kerangka dan garis besar pokok-pokok yang drumuskan tidak perlu ditanyakan secara berurutan (Poerwandari, 2001).

Wawancara juga dilakukan dengan maksud untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang dipahami individu berkenaan dengan topik yang ingin diteliti dan bermaksud untuk melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut.hal ini merupakan keunggulan pendekatan kualitatif (Banister dkk, dalam Poerwandari 2001). Dengan begitu wawancara mendalam akan memungkinkan peneliti untuk mengungkapkan semua aspek-aspek yang ingin diungkapkan dalam penelitian ini.

Pedoman wawancara berisi “open-ended question” yang bertujuan agar arah wawancara tetap sesuai dengan tujuan peneliti yang memungkinkan responden bebas mengekspresikan diri mereka (Poerwandari, 2001).

(54)

D. Alat Bantu Pengumpulan Data

Untuk dapat mengumpulkan data-data penelitian yang diperoleh dari wawancara mendalam dan observasi, maka diperlukan alat bantu yang digunakan untuk membantu mengumpulkan data penelitian tersebut. Alat bantu penumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

1. Tape recorder (alat perekam)

Menurut Poerwandari (2001), sedapat mungkin suatu wawancara perlu direkam dan dibuat transkripnya secara verbatim (kata demi kata). Tidak bijaksana hanya mengandalkan ingatan saja, karena indera manusia terbatas yang memungkinkan peneliti untuk melewatkan hal-hal yang tidak terseleksi oleh indera yang dapat mendukung penelitian.

Dengan tape recorder peneliti tidak perlu sibuk mencatat jalannya pembicaraan. Selain itu peneliti dapat melakukan observasi terhadap responden selama wawancara berlangsung. Semuanya ini memungkinkan tercapainya keakuratan analisa data penelitian.

Penggunaan alat perekam ini dilakukan dengan seizin subyek. Selain itu penggunaan tape recorder memungkinkan peneliti untuk lebih berkonsentrasi pada apa yang dikatakan oleh subyek, tape recorder dapat merekam nuansa suara dan bunyi serta aspek-aspek dari wawancara seperti tertawa, desahan dan sarkasme secara tajam (Padgett, 1998).

2. Pedoman Wawancara

(55)

bantu untuk mengkategorisasikan jawaban sehingga memudahkan pada tahap analisis data. Pedoman ini disusun tidak hanya berdasarkan tujuan penelitian, tapi juga berdasarkan pada berbagai teori yang berkaitan dengan masalah yang ingin dijawab (Poerwandari, 2001).

E. Prosedur Analisa Data

Prosedur analisa data dalam penelitian kualitatif adalah sebagai berikut (Poerwandari, 2001) :

1. Organisasi data secara sistematis untuk memperoleh kualitas data yang baik, mendokumentasikan analisis yang dilakukan dan penyampaian data dan analisis yang berkaitan dengan penyelesaian penelitian.

2. Koding dan Analisis. Mula-mula peneliti menyusun transkripsi verbatim atau catatan lapangan sedemikian rupa sehingga ada kolom kosong yang cukup besar sebelah kanan dan kiri transkrip untuk tempat kode-kode atau catatan tertentu, kemudian secara urut dan kontinu neakukan penomoran pada baris-baris transkip. Selanjutnya peneliti mulai memberikan perhatian pada substansi data yang telah dikumpulkan.

(56)

4. Strategis anakisis. Proses analisis dapat melibatkan konsep-konsep yang muncul dari jawaban atau kata-kata subyek maupun konsep yang dipilih atau dikembangkan peneliti untuk menjelaskan fenomena yang dianalisis. Kata kunci dapat diambil dari istilah yang dipakai oleh subjek.

(57)

BAB IV

ANALISA DAN INTERPRETASI

A. Analisa Kasus Responden I Tempat wawancara : Restoran

Tanggal : - 10 Agustus 2008 - 23 Agustus 2008 - 13 September 2008 Data Kontrol :

Nama : Ayu ( Nama Samaran) Usia : 27 tahun Agama : Kristen

Suku : Manado

Status Perkawinan : Belum Menikah Anak ke : 1

Dari : 3 Bersaudara Pendidikan terakhir : D 3

(58)

A. I. Gambaran Diri Responden I

Responden I dalam penelitian ini adalah Ayu, seorang wanita berusia 27 tahun dan bersuku Manado. Ayu merupakan seorang pelacur high class sejak dua tahun yang lalu. Peneliti mengenal Ayu dari seorang kerabat keluarga peneliti yang juga mengenal Ayu.

Ayu adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Pada awalnya Ayu bertempat tinggal di Jakarta, namun karena Ayu memiliki masalah dalam keluarganya maka ia pergi ke kota Medan. Awal permasalahan dalam keluarganya inilah sebagai penentu masuknya Ayu kedalam dunia pelacuran high class di kota Medan.

Awalnya Ayu berasal dari sebuah keluarga yang harmonis. Ayah Ayu merupakan salah seorang pengusaha yang cukup sukses di Jakarta. Sedangkan ibu Ayu adalah seorang ibu rumah tangga. Sekian waktu berjalan, keluarga Ayu dilihat sebagai keluarga yang cukup harmonis karena jarang sekali muncul sebuah konflik besar dalam keluarga itu.

Konflik muncul dikarenakan terdengar kabar bahwa ayah Ayu berselingkuh dengan wanita lain. Namun kabar tersebut tidak dipercaya oleh Ayu dan keluarga. Terlebih lagi ibu Ayu merupakan seorang ibu yang tidak memiliki kekuatan didalam kehidupan rumah tangga mereka, sehingga tidak muncul pemberontakan.

(59)

keluarga Ayu menjadi semakin tidak kondusif. Sering terjadi pertengkaran karena ibu Ayu banyak bertanya-tanya kepada ayah Ayu mengenai kebenaran kabar yang mengatakan bahwa ayah Ayu berselingkuh dengan lain. Namun ayah Ayu tetap membantah dan semakin marah, sedangkan ibu Ayu malah tidak dapat berbuat apa-apa.

Dua adiknya Ayu yang masih kecil hanya memandang ketakutan melihat pertengkaran ayah dan ibunya. Ayu yang telah dewasa hanya bisa menemani dan menenangkan ibunya saat sedih. Ayu juga tidak bisa berbuat apa-apa karena ayahnya yang otoriter dan selalu dominan di dalam keluarga mereka.

Keadaan semakin diperparah karena pada suatu hari ayah Ayu pulang kerumah sambil membawa seorang wanita yang kemudian diperkenalkan oleh ayah Ayu sebagai wanita idaman lain yang akan menggantikan sosok ibunya Ayu. Melihat itu langsung membuat ibu Ayu yang memang sudah sakit-sakitan semenjak mendengar ayah Ayu berselingkuh menjadi pingsan dan koma sehingga dibawa kerumah sakit. Pada saat ibu Ayu dibawa kerumah sakit dan dirawat di sana, posisi ibu Ayu digantikan dengan wanita yang merupakan kekasih baru dari ayah Ayu tersebut.

(60)

Tak berapa lama, yaitu kira-kira dua minggu kemudian, prediksi dokter yang mengatakan bahwa usia ibu Ayu tidak lama lagi ternyata benar. Ibu Ayu kemudian meninggal dunia meninggalkan Ayu dan kedua adiknya. Meninggalnya ibu Ayu dan munculnya konflik dalam keluarga, membuat Ayu menjadi sosok yang labil. Ayu merasa tidak siap untuk menghadapi semua ini. Ia seperti kehilangan sandaran hidup karena ditinggal oleh dua orang yang ia sayangi, ayah dan ibunya. Ibu Ayu meninggalkan Ayu karena penyakit yang dideritanya sementara ayah Ayu meninggalkan Ayu karena telah memiliki wanita lain sebagai pengganti ibunya. Walaupun Ayu bertemu dengan ayahnya setiap hari di rumah, namun ia seakan-akan tidak memiliki ayah. Ayahnya kini seutuhnya hanya milik ibu tirinya saja, karena ayahnya jarang sekali memperhatikan Ayu dan adik-adiknya. Otomatis Ayu di rumah berubah peran, selain menjadi kakak ia juga menjadi ibu dan ayah untuk adik-adiknya. Ia merasa tidak ada lagi orang lain yang menyayangi dan peduli terhadapnya.

(61)

tidak berlangsung lama karena ternyata Ayu telah di booking oleh tamu dan tamunya sudah menunggu disebuah kamar hotel.

Pada saat pertama kali bertemu dengan Ayu, peneliti tidak sempat untuk membuat janji untuk bertemu lagi. Kesepakatan untuk bertemu lagi dengan Ayu peneliti lakukan melalui SMS. Pertemuan selanjutnya peneliti dengan Ayu terjadi pada tanggal 23 Agustus 2008 pada pukul 1 dini hari. Pada saat itu Ayu baru saja selesai bertemu dengan salah seorang tamunya. Pertemuan itu terjadi di sebuah restoran di kota Medan. Pada awalnya perbincangan masih kaku dan hanya berbasa-basi. Namur tak berapa lama kemudian obrolan pun mengalir hingga tidak terasa waktu satu setengah jam telah berlalu.

Pada pertemuan kali ini Ayu cukup kooperatif dalam menjawab semua pertanyaan peneliti. Ayu terlihat begitu santai dan tidak menjaga jarak dengan peneliti sehingga memudahkan peneliti untuk bertanya lebih lanjut. Ia bercerita mengenai bagaimana awalnya ia bisa masuk kedalam dunia pelacuran seperti ini, apa yang ia rasakan ketika menjadi seorang pelacur dan bagaimana ia menjalani kehidupannya sebagai seorang pelacur. Pada akhir pertemuan pertama, peneliti juga tidak menyepakati waktu yang tepat untuk bertemu lagi. Hal ini dikarenakan karen jadwal Ayu yang cukup padat karena menerima booking-an dari tamu-tamunya.

(62)

menjawab pertanyaan yang lebih mendalam yang berkisar seputar masalah keluarga yang ia hadapi sebelum terjun kedunia pelacuran. Bagaimana ia menghadapi saat-saat sulit pada saat ia kehilangan ibunya, melihat ayahnya berselingkuh dan bagaimana ia menjaga adik-adiknya.

Ayu juga cukup terbuka dalam menjawab pertanyaan seputar pekerjaannya sebagai seorang pelacur. Apa yang ia rasakan ketika sedang melayani tamunya, bagaimana respon dari lingkungan di sekitanya, keluarganya dan lain sebagainya. A. 2. Gambaran penderitaan yang dialami responden I

(63)

Sehingga ibunya tidak merasa kesepian ditinggal sendiri oleh suaminya karena masih ada anak-anaknya yang menyayanginya.

Tak lama setelah terdengar bahwa ayah Ayu memiliki wanita simpanan lain dan tidak terlihat adanya pemberontakan dari ibu Ayu, ayah Ayu menjadi semakin berani dalam mempertontonkan kemesraannya dengan wanita tersebut. Ayah Ayu mulai membawa wanita tersebut ke rumah dan memperkenalkannya kepada Ayu dan adik-adiknya sehingga membuat ibu Ayu jatuh pingsan dan harus dirawat dirumah sakit.

Beberapa waktu kemudian ibu Ayu pun meninggal dunia, karena terkena serangan jantung. Peristiwa tersebut membuat Ayu menjadi lebih terpukul karena merasa di tinggalkan oleh orang yang ia sayangi pada saat-saat yang seharusnya ia membutuhkan kasih sayang seorang ibu. Dan semenjak ibunya meninggalkan ia dan adik-adiknya otomatis sejak saat itu peran Ayu di rumah mulai berubah dari peran sebagai seorang kakak kini menjadi pengganti ayah dan ibu bagi adik-adiknya,

” Kami tuh kayak udah nggak punya pegangan hidup lagi...aku yang ngurusin semuanya. Saat itu aku udah bener-bener nggak tahan lagi wi..aku stress banget.” (Subjek 1/WIB0093-WIB0099/Lampiran A/Hal 20)

(64)

Ayu merasa masuknya ia kembali ke dunia perkuliahan untuk melanjutkan pendidikannya hanya akan menjadi sia-sia belaka.

” Oh..itu..iya sih aku males. Malesnya tuh karena harus belajar-belajar lagi..kayaknya aku udah nggak niat buat nyambung ke S1. tar kalo di turut-turutin malah jadi nggak selesai lagi. Nambah-nambahin masalah aja”

(Subjek 1/WIB0733-WIB0740/Lampiran A/Hal34)

Ia merasa tidak ada lagi orang tua yang akan mendukungnya dan memberinya semangat ketika ia kembali menuntut ilmu di tingkat S1 nanti. Selain itu ayah Ayu kini tidak pernah mempertanyakan bagaimana kelanjutan perkuliahannya dan bagaimana perkembangan sekolah adik-adiknya.

” Ada sih...tapi itu dulu..tetep aja aku bilang nggak mau kuliah lagi. Sekarang sih udah ngak di tanya-tanya lagi sama papa...”

(Subjek 1/WIB0746-WIB750/Lampiran A/Hal 34)

(65)

Hal itu diketahui dan dimanfaatkan oleh kekasih Ayu. Pada suatu ketika kekasih Ayu mengajak Ayu untuk pergi kesebuah kafe di kota Jakarta, disana kekasih Ayu mengajak Ayu untuk minum-minuman keras dan mencoba berbagai obat-obatan terlarang. Berbeda dengan biasanya, Ayu hanya diam dan menurut dengan apa yang diperintahkan oleh kekasihnya. Pada saat itu Ayu sendiri juga melihat bahwa kekasihnya memasukkan sebuah obat kedalam minumannya dan memaksa Ayu untuk meminumnya. Ayu tidak menolak dan langsung meminum minuman yang telah diberi obat tersebut. Setelah itu Ayu diajak ke sebuah hotel dengan sadar Ayu melakukan hubungan seksual dengan kekasihnya itu.

” Kakak itu nggak nyesal karena di pergaulan kakak itu anak nggak perawan itu udah nggak masalah wi..yah kakak nyantai aja lah. Lagian kakak juga pengen ngerasain gimana sih rasanya tidur sama cowok itu.hahaha...lagian waktu dikasi minum sama cowok aku kemaren aku masih sadar kok. Kalo aku mau aku bisa aja ngelawan atau berontak, tapi aku kemaren itu diem aja. Ya udah..gitu sih ceritanya...(Subjek 1/WIB0017-WIB0033/Lampiran A/Hal 18-19)

Ayu tidak menyesali perbuatannya itu. Baginya hidupnya kini hanya miliknya dan dia berhak untuk mengatur hidupnya sendiri. Ia merasa bahwa ayahnya kini tentu tidak akan memperdulikan apa yang ia lakukan bersama kekasihnya.

” Iya, lagian kan siapa yang mau perduli sama diri aku. Waku itu aku lagi nggak stabil banget. Ngedrop pas mama meninggal, papa ketauan selingkuh..itu kejadiannya beruntun banget..”(Subjek 1/WIB0037-WIB0044/Lampiran A/Hal 19)

(66)

dengan teman-teman barunya yang ia temui disebuah diskotik. Teman-teman barunya tersebut berasal dari latar belakang yang berbeda. Kebanyakan dari mereka berasal dari keluarga kaya yang menganut paham free sex atau seks bebas. Pada suatu ketika seorang temannya mengatakan bahwa seorang pengusaha kaya memerlukan seorang wanita yang masih perawan. Ayu yang saat itu sedang memerlukan uang karena tidak pernah lagi diberikan pemasukan oleh ayahnya dan kebutuhannya juga semakin banyak yang belum terpenuhi maka ia langsung mengiyakan ajakan tersebut dan mengatakan kepada teman-temannya bahwa ia masih perawan.

” Makanya aku juga jadi sering lari ke temen-temen aku, curhat sama mereka. Kebetulan temen aku nawarin aku, katanya bos itu nyari perawan. Aku bilang aja sama temen aku kalo aku masih perawan. Padahal kan udah enggak lagi..ya udah aku terima aja tawaran itu.”

( Subjek I/W1B00102-WIB00112/Lampiran A/ Hal 20)

”Yaah...Aku pikir kalo aku terima tawaran itu paling enggak aku bisa dapet uang lebih banyak. Dari papa udah nggak bisa diharapkan lagi lah..semua harta papa udah dipegang sama perempuan itu. Aku jamin perempuan itu pasti Cuma mau sama harta papa aja. Lebih mending aku kerja kayak begini. Uangnya banyak lagi..”

( Subjek 1/WIB0114-WIB0136/Lampiran A/ Hal 20-21)

Gambar

Tabel 2, Perbandingan Tahap Penemuan Makna Hidup Bastaman (1996) dengan Tahap Penemuan Makna Hidup Responden I

Referensi

Dokumen terkait

Hasil dari pengujian geser yang ditunjukan pada tabel 1 didapat pengujian geser tertinggi terdapat pada spesimen no 2 pada variasi penambahan gula sebanyak 1 gr

Hasil penelitian menunjukan bahwa kandungan E.coli terbesar adalah air pada tambak 3 yang berlokasi di Slamaran yaitu sebesar 93 MPN/gr, dan kandungan E.coli terkecil

Setelah mengetahui adanya lowongan kerja dan lowongan tersebut cocok dengan yang dicari maka orang akan membuat surat lamaran kerja, mengirimkan surat lamaran kerja

Kupersembahkan sebuah karya kecil ini untuk kedua orang tuaku tercinta, yang tidak pernah berhenti mendo’akan, memberi semangat, nasihat dan kasih sayang serta pengorbanan

Pada pembahasan dikemukakan mengenai hasil penelitian yaitu Terdapat empat faktor yang terbentuk adalah faktor tampilan luar warung makan yang unik, keragaman menu, penyajian

 Tidak ada partisipasi dari masyarakat sekitar untuk merubah arah kiblat, sehingga membuat merasa putus asa. penolakannya terhadap taqlid semakin jelas. Akan tetapi ia

Hutan mangrove yang berada di Kabupaten Serang menurut luasannya tahun 2014, yang terletak di Pantai Tirtayasa, Lontar, Tanjung Pontang, Pulau Dua, Pulau

Untuk menyelesaikan permasalahan yang dimiliki oleh IDS, maka kolaborasi antar IDS, IDS dengan operasi manajemen jaringan, IDS dengan mekanisme keamanan jaringan