• Tidak ada hasil yang ditemukan

Parasitemia dan Diferensial Leukosit Kerbau Perah (Bubalus bubalis) Akibat Parasit Darah di Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatera Utara.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Parasitemia dan Diferensial Leukosit Kerbau Perah (Bubalus bubalis) Akibat Parasit Darah di Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatera Utara."

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

PARASITEMIA DAN DIFERENSIAL LEUKOSIT KERBAU

PERAH (

Bubalus bubalis

) AKIBAT PARASIT DARAH

DI KABUPATEN TAPANULI UTARA SUMATERA UTARA

BANU ARDHIYANTO

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Parasitemia dan Diferensial Leukosit Kerbau Perah (Bubalus bubalis) Akibat Parasit Darah di Kabupaten Tapanuli Utara Sumatera Utara adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2015

Banu Ardhiyanto

(4)

ABSTRAK

BANU ARDHIYANTO. Parasitemia dan Diferensial Leukosit Kerbau Perah (Bubalus bubalis) Akibat Parasit Darah di Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatera Utara. Dibimbing oleh UMI CAHYANINGSIH dan HERA MAHESHWARI.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persentase parasit darah, tingkat parasitemia berdasarkan jenis kelamin dan diferensial leukosit pada kerbau perah di Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatera Utara. Sampel darah dikoleksi dari 10 ekor kerbau jantan dewasa dan 10 ekor kerbau betina dewasa menggunakan metode ulas darah. Sampel diwarnai dengan Giemsa 10% dan diamati menggunakan mikroskop perbesaran 1000X. Parasitemia dihitung tiap 500 butir sel darah merah. Diferensial leukosit absolut dihitung dengan mengalikan diferensial leukosit relatif dengan jumlah total leukosit. Hasil menunjukkan kerbau terinfeksi oleh Anaplasma sp., Theileria sp, dan Babesia sp. Persentase tertinggi disebabkan oleh triple infections 45% (Anaplasma sp., Theileria sp.,

Babesia sp.), diikuti double infections 30% (Anaplasma sp., Theileria sp), berikutnya double infection 10% (Theileria sp., Babesia sp.) dan single infections

10% (Anaplasma sp.), selanjutnya, yang terendah adalah single infections 5% (Theileria sp.). Berdasarkan jenis kelamin nilai rataan parasitemia tidak menunjukkan beda nyata(p>0.05). Jumlah total leukosit terhadap single infection

(Anaplasma sp.) dan jumlah limfosit terhadap single infection (Anaplasma sp.),

double infections (Theileria sp., Babesia sp.) serta, triple infections (Anaplasma

sp., Theileria sp., Babesia sp) menunjukkan berbeda nyata (p<0.05). Kata kunci: diferensial leukosit, parasit darah, parasitemia

ABSTRACT

BANU ARDHIYANTO. The parasitaemia and differential leucocyte consequence of blood parasite in dairy buffaloes (Bubalus bubalis) in North Tapanuli regency, North Sumatera. Supervised by UMI CAHYANINGSIH and HERA MAHESHWARI.

(5)

Theileria sp.), double infections 10% (Theileria sp., Babesia sp.), single infection 10% (Anaplasma sp.), and the lowest by single infection 5% (Theileria sp.). By the sex of mean value parasitaemia was not showed significantly different (p>0.05). single infection (Anaplasma sp.). Total Leucocyte count about single infection (Anaplasma sp), and lymphocyte count about single infection (Anaplasma sp.), double infections (Theileria sp., Babesia sp.),and triple infections (Anaplasma sp., Theileria sp., Babesia sp.) were showed significantly different (p<0.05).

(6)
(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan

pada

Fakultas Kedokteran Hewan

PARASITEMIA DAN DIFERENSIAL LEUKOSIT KERBAU

PERAH (

Bubalus bubalis

) AKIBAT PARASIT DARAH

DI KABUPATEN TAPANULI UTARA SUMATERA UTARA

BANU ARDHIYANTO

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)
(10)
(11)

PRAKATA

Puji dan Syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta`ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Skripsi dengan judul Parasitemia dan Diferensial Leukosit Kerbau Perah (Bubalus bubalis) Akibat Parasit Darah di Kabupaten Tapanuli Utara Sumatera Utara merupakan salah satu syarat kelulusan studi program sarjana di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Drh Hj Umi Cahyaningsih, MS dan Dr Drh Hera Maheswari, Msc selaku dosen pembimbing skripsi atas segala bimbingan, dorongan, kritik, dan saran yang telah diberikan selama penelitian dan penulisan skripsi ini. Disamping itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dr Drh I Ketut Mudite Adnyane, MSi selaku dosen pembimbing akademik yang telah membimbing penulis selama menjadi mahasiswa di Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Bapak Sudjono dan Ibu Sudarmi, serta seluruh keluarga atas segala dukungan dan doa yang diberikan. Selanjutnya, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Nadia Zerlina yang selalu membantu dan mendukung penulis untuk bersemangat. Kepada para sahabat seangkatan Ganglion 48 penulis mengucapkan terima kasih atas dukungan dan kebersamaan selama ini.

Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat baik bagi penulis maupun bagi pembaca.

Bogor, Agustus 2015

(12)
(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 1

Manfaat Penelitian ... 2

TINJAUAN PUSTAKA ... 2

Kerbau Perah ... 2

Darah ... 3

Leukosit ... 3

Tipe Leukosit ... 3

Limfosit ... 3

Monosit ... 4

Neutrofil ... 4

Eosinofil ... 5

Basofil ... 5

Parasit Darah ... 6

Anaplasma sp. ... 6

Theileria sp. ... 6

Babesia sp. ... 7

METODE ... 8

Waktu dan Tempat Penelitian ... 8

Hewan Coba ... 8

Metode Pengambilan Darah ... 8

Perhitungan Jumlah Total Leukosit ... 8

Pewarnaan Preparat Ulas Darah ... 9

Pemeriksaan Parasit Darah dan Perhitungan Diferensial Leukosit ... 9

(14)

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 9

Tingkat Persentase Parasit Darah ... 9

Tingkat Parasitemia Berdasarkan Jenis Kelamin ... 11

Diferensial Leukosit ... 12

SIMPULAN DAN SARAN... 14

Simpulan ... 14

Saran ... 15

DAFTAR PUSTAKA ... 15

(15)

DAFTAR TABEL

1.Tingkat Persentase Infeksi Parasit Darah 10

2.Rataan Parasitemia Berdasarkan Jenis Kelamin 11

3.Rataan Jenis Leukosit 12

DAFTAR GAMBAR

1.

Kerbau Perah di Tapanuli Utara ... 3

2.Limfosit (Weiss dan Wardrop 2010) ... 4

3.Monosit (Weiss dan Wardrop 2010) ... 4

4.Neutrofil (Weiss dan Wardrop 2010) ... 5

5.Eosinofil (Weiss dan Wardrop 2010) ... 5

6.Basofil (Weiss dan Wardrop 2010) ... 6

7.Anaplasma sp. ( Harvey 2007) ... 6

8.Theileria sp. (Taylor et al. 2007) ... 7

9.Babesia sp. (Taylor et al. 2007) ... 7

(16)
(17)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kerbau merupakan hewan yang mudah beradaptasi dengan baik pada iklim tropis. Masyarakat Indonesia sudah mengenal peternakan kebau sejak dulu. Kerbau dapat dimanfaatkan sebagai penghasil daging, susu dan digunakan sebagai hewan kerja. Saat ini populasi ternak kerbau di Indonesia adalah 1 321 000 ekor (BPS 2014). Penyebaran populasi kerbau di Indonesia tidak merata, sebagian besar berada di pulau Sumatera (52.7%) , pulau Jawa (30.7%) dan sisanya tersebar di berbagai pulau (Ditjen PKH 2014).

Tipe kerbau lumpur banyak dimanfaatkan sebagai penghasil daging karena memiliki pertumbuhan yang lebih cepat. Kerbau yang dimanfaatkan sebagai penghasil susu dikenal dengan sebutan kerbau perah yang berasal dari tipe kerbau sungai. Sebagian besar pemanfaatan kerbau untuk penghasil susu masih menggunakan sistem tradisional. Hal tersebut membuat kondisi kesehatan kerbau tidak terjamin. Keadaan yang demikian akan mengurangi potensi kerbau perah untuk menghasilkan susu secara maksimal.

Kesehatan merupakan salah satu faktor penting bagi hewan yang digunakan sebagai penghasil susu. Gangguan kesehatan pada kerbau perah secara langsung akan mempengaruhi produksi susu kerbau. Salah satu penyakit ternak yang sering menyerang kerbau perah adalah parasit darah, seperti Anaplasma sp., Theileria sp, dan Babesia sp. Kerbau perah yang terserang parasit darah akan mengalami penurunan produksi. Keberadaan parasit darah dalam tubuh kerbau akan menimbulkan kerusakan terhadap sel darah dan organ-organ tubuh kerbau, hal tersebut akan mempengaruhi kondisi tubuh kerbau untuk menghasilkan susu. Penyebaran parasit darah Anaplasma sp., Theileria sp, dan Babesia sp. dipengaruhi oleh keberadaan caplak (Zajac dan Conboy 2013) dan kondisi geografis, iklim, manajemen peternakan, serta sosial ekonomi di daerah tersebut.

Hewan yang terserang parasit, secara alami tubuhnya akan membentuk kekebalan, salah satu yang berperan dalam kekebalan tubuh adalah sel darah putih atau leukosit. Leukosit berfungsi melindungi tubuh dari masuknya mikroorganisme asing yang dapat menimbulkan penyakit. Leukosit berjumlah lebih sedikit dibandingkan sel darah merah. Leukosit terdiri atas limfosit, monosit, neutrofil, eosinofil dan basofil. Jenis leukosit memiliki peran masing-masing dalam mengeliminasi mikroorganisme asing di dalam tubuh, termasuk parasit darah.

Tujuan Penelitian

(18)

2

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan menjadi landasan ilmiah untuk penyusunan program pengendalian parasit darah pada kerbau perah di Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatera Utara.

(Syncerus) dan Asian Buffalo (Bubalus). Kerbau Asia terdiri atas kerbau liar dan kerbau domestik. Kerbau liar meliputi kerbau liar India (Bubalus arne), Anoa dan Tamarao, sedangkan, kerbau domestik meliputi kerbau sungai / kerbau India (Bubalus bubalis) dan Kerbau lumpur (Bubalus carabanesis) (Bahri dan Talib 2007).

Ternak kerbau dapat berfungsi dwiguna, yaitu sebagai ternak perah dan penghasil daging. Kerbau lumpur memiliki pertumbuhan tubuh yang lebih cepat, sehingga digunakan sebagai penghasil daging, sedangkan produksi susu kerbau lumpur lebih rendah dibanding kerbau sungai. Kerbau sungai merupakan kerbau yang dimanfaatkan sebagai penghasil susu, sehingga kerbau sungai dikenal sebagai kerbau perah.

Kerbau sungai banyak dijumpai di daerah Asia Selatan seperti Pakistan, India, Srilangka dengan jenis utamanya kerbau Murrah, Nili-Ravi, Surti Bhadawari, Mehsana Jaffarabi yang merupakan penghasil susu terbaik (Misra 2004). Sebagian besar ternak kerbau di Indonesia adalah tipe kerbau lumpur dan sisanya dalam jumlah kecil 5% merupakan tipe kerbau sungai (Darminto et al. 2009). Populasi kerbau lumpur telah tesebar dibeberapa wilayah di Indonesia dibandingkan dengan kerbau sungai yang sebagian besar di Sumatera Utara.

(19)

3

Darah

Darah adalah jaringan yang berbentuk cair dan mengalir melalui saluran vaskuler. Umumnya volume total darah mamalia berkisar antara 7 sampai 8% dari berat badan. Bahan antar sel atau plasma darah berkisar antara 45 sampai 65% dari seluruh isi darah, sedangkan sisanya 35 sampai 45% diisi sel darah. Sel darah terdiri dari 3 macam yaitu, sel darah merah (erythrocyte), sel darah putih (Leukocyte), dan kepingan darah (Thrombocytes atau platelets). Darah berfungsi untuk memenuhi kebutuhan jaringan akan nutrisi, mentransportasikan produk-produk yang tidak berguna, mentransportasikan hormon, serta sebagai pengangkut O2 dan CO2 (Guyton dan Hall 2006).

Leukosit

Sel darah putih atau leukosit memiliki fungsi sebagai salah satu sistem pertahanan tubuh. Leukosit berfungsi mempertahankan tubuh dari serangan agen-agen patogen, zat beracun dan menyingkirkan sel-sel rusak serta abnormal. Leukosit memiliki bentuk yang khas yaitu, nukleus, sitoplasma, organel, dan semuanya bersifat mampu bergerak pada kedaan tertentu. Leukosit memiliki bentuk yang berbeda yang dibagi dalam dua kelompok, yakni granulosit yang terdiri dari eosinofil, neutrofil dan basofil, serta agranulosit yang terdiri dari limfosit dan monosit. Granulosit dan monosit dibentuk hanya di sumsum tulang belakang (bone marrow). Limfosit dan sel plasma diproduksi pada jaringan limpogenous, yakni kelenjar getah bening, limpa, timus, tonsil dan beberapa jaringan limfoid diseluruh tubuh (Guyton dan Hall 2006).

Tipe Leukosit

Limfosit

Jumlah limfosit pada sel darah putih setiap spesies berbeda-beda. Persentase limfosit pada ruminansia antara 60 sampai 70% (Weiss dan Wardrop 2010). Bentuk limfosit terdiri dari limfosit kecil yang berdiameter 6–9 µm dan limfosit besar yang berdiameter 12–15 µm. Limfosit diproduksi dibeberapa jaringan limfogenous seperti limpa, timus, tonsil dan jaringan limfoid yang tersebar ditubuh. Sumsum tulang belakang dan payer`s patches dibawah epitel usus juga

(20)

4

memproduksi limfosit (Guyton dan Hall 2006). Limfosit terdiri dari 2 jenis, yaitu sel limfosit T dan sel limfosit B. Sel limfosit T sebagai pertahanan seluler, sedangkan sel limfosit B berperan dalam pertahanan humoral.

Monosit

Monosit adalah leukosit terbesar yang berdiameter 15 sampai 20 µm dan berjumlah 3 sampai 9% dari seluruh sel darah putih (Weiss dan Wardrop 2010). Monosit dapat berubah menjadi makrofag. Makrofag adalah tahapan terakhir bentuk monosit didalam jaringan (Guyton dan Hall 2006). Salah satu fungsi Makrofag sebagai proses fagositosis agen penyakit yang menyerang tubuh.

Neutrofil

Neutrofil dewasa berdiameter 10 sampai 12 µm, memiliki butir halus dalam sitoplasma dan inti bergelambir (Weiss dan Wardrop 2010). Neutrofil merupakan garis pertahanan pertama jika terdapat invasi mikroorganisme, trauma jaringan dan beberapa signal inflamasi (Appelberg 2006). Satu neutrofil biasanya dapat memfagosit 3 sampai 20 bakteri sebelum neutrofil tersebut menjadi inaktif dan mati (Guyton dan Hall 2006).

Gambar 2. Limfosit (Weiss dan Wardrop 2010)

(21)

5

Eosinofil

Jumlah eosinofil dalam aliran darah berkisar 2% dari jumlah total leukosit (Gayton dan Hall 2006). Eosinofil berdiameter 10 sampai 15 µm, inti bergelambir 2, dikitari butir-butir asidofil yang cukup besar berukuran 0.5 sampai 0.1 µm dan jangka hidupnya 3 sampai 5 hari. Eosinofil diproduksi pada jumlah besar saat terjadi infeksi parasit seperti cacing di dalam tubuh. Eosinofil membunuh cacing dengan cara mengeluarkan enzim hidrolitik, melepaskan O2 pada parasit yang

letal dengan O2 dan memproduksi larvacidal polypeptide yang bernama major basic protein (Gayton dan Hall 2006).

Basofil

Basofil merupakan granulosit yang paling sedikit, jumlahnya sekitar 0.5% dari seluruh leukosit dalam aliran darah pada hewan yang sehat (Weiss dan Wardrop 2010). Secara morfologi basofil dikelilingi oleh cytoplasmic granul dan memiliki inti dua lobus atau bentuk tidak teratur. Basofil diproduksi selama 2.5 hari di dalam sumsum tulang. Basofil memiliki fungsi utama dalam membangkitkan reaksi hipersensitif dan terhadap inflamasi (Gayton dan Hall 2006).

Gambar 4. Neutrofil (Weiss dan Wardrop 2010)

(22)

6

Parasit Darah

Anaplasma sp.

Anaplasma sp. merupakan parasit intraseluler obligat yang hidup dalam sel darah merah mamalia (Rymaszewska dan Greda 2008). Anaplasma sp. masuk dalam ordo rickettsiales (Quinn dan Markey 2003). Taksonomi Anaplasma sp. menurut Dumler et al. (2001) sebagai berikut:

Filum : Protobacteri

Kelas : Alpha Protobacteria Ordo : Rickettsiales

Famili : Anaplasmataceae Genus : Anaplasma

Anaplasma sp. berukuran kecil 0.3 sampai 0.4 µm, berbentuk kokoid sampai elips (Boone et al. 2001). Vektor pembawa Anaplasma sp. adalah caplak

Boophilus, Rhipicephalus, Hyaloma, Dermacentor dan Ixodes (Kocan et al. 2004). Lalat penghisap darah genus Tabanu s, Stomoxy dan beberapa spesies nyamuk juga sebagai vektor mekanik Anaplasma sp. Spesies yang bersifat patogen adalah A. marginale., sedangkan A. central. tidak bersifat patogen.

Siklus hidup Anaplasma sp. terjadi secara seksual di dalam tubuh caplak dan aseksual di dalam tubuh inang. Fase aseksual terjadi proses gametogoni dan sporogoni. Sporogoni akan menghasilkan fase infektif Anaplasma sp. yaitu sporozoit. Pada fase seksual akan terjadi proses merogoni pada tubuh caplak yang menghasilkan merozoit-merozoit. Merozoit dapat menyebakan sel darah merah lisis.

Theileria sp.

Taksonomi Theileria sp berdasarkan Bishop et al. (2004) sebagai berikut: Gambar 6. Basofil (Weiss dan Wardrop 2010)

(23)

7

Theileria sp. merupakan parasit darah yang menyebabkan Theileriosis pada hewan ternak. Theileria sp. masuk dalam ordo Haemosporidia. Morfologi

Theileria sp. berbentuk bulat, koma dan berbentuk kumparan dengan ukuran 0.5 sampai 1 µm. Mikroorganisme ini terdapat pada sel darah merah dan limfosit (Zajac dan Conboy 2013) Spesies Theileria sp. yang patogen adalah T. parva.

dan T. annulata.., sedangkan spesies yang tidak patogen adalah T. mutans. Vektor parasit ini adalah Rhipichepalus, Hyalomma, Amblomma, dan Haemaphysalis

(Urquhart et al. 2003).

Siklus hidup Theileria sp. fase aseksual terjadi di tubuh inang. Fase aseksual terdiri atas stadium skizogoni dan merogoni. Stadium skizogoni dan merogoni terjadi di limfosit, setelah stadium merogoni akan menjadi piroplasma-piroplasma yang dapat menginfeksi sel darah merah. Fase seksual terjadi di dalam tubuh caplak yang terdiri atas stadium gametogoni dan sporogoni (Taylor et al. 2007)

Babesia sp.

Babesia sp. merupakan parasit darah yang menyebabkan babesiosis. Parasit ini dapat ditemukan di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Taksonomi Babesia sp. menurut Bock et al. (2004) sebagai berikut:

Babesia sp. merupakan parasit darah yang menyebabkan babesiosis.

Babesia sp. memiliki morfologi berbentuk bulat seperti buah pir, oval, piriform, dan berpasangan dengan ukuran sebesar 1.5 sampai 2.5 µm. Spesies Babesia sp. yang bersifat patogen meliputi B. bigemina., B. bovis., B. divergens., B argentina.,B. motasi., B. ovis., B. caballi., B. equi., B. traumani., dan B. canis. Penularan Babesia sp. melalui vektor capak Ixodidae seperti Boophilus microplus

Gambar 8. Theileria sp. (Taylor et al. 2007)

(24)

8

dan Boophilus annulatus yang menularkan B. bovis dan B. bigemina (Uilenberg 2006).

Fase aseksual Babesia sp. terjadi di dalam tubuh inang yang terdiri atas stadium merogoni. Stadium merogoni terjadi perubahan dari sporozoit menjadi tropozoit. Kemudian tropozoit akan bereplikasi dan menjadi merozoit. Fase seksual terjadi di tubuh caplak yang terdiri atas stadium gametogoni dan sporogoni. Zigot akan mengalami perkembangan menjadi ookinet (Uilenberg 2006). Ookinet dapat ditularkan ke larva caplak secara transovarial. Ookinet selanjutnya akan menjadi sporozoit yang dapat ditularkan dari caplak ke tubuh inang lainnya (Taylor et al. 2007).

METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Pengambilan sampel darah kerbau perah dilakukan pada bulan November tahun 2013 di BPTUHPT Siborongborong Sumatera Utara. Pengamatan sampel dilaksanakan pada bulan Juni sampai Desember 2014 di Laboratorium Protozologi, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Hewan Coba

Sampel yang diambil berasal dari 20 ekor kerbau perah di BPTUHPT Siborongborong di Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatera Utara yang terdiri dari 10 ekor betina dewasa dan 10 ekor jantan dewasa.

Metode Pengambilan Darah

Pengambilan darah dilakukan dengan menggunakan disposable syringe 10 ml dan jarum ukuran 18G sebanyak kurang lebih 3 ml darah dari vena jugularis, kemudian disimpan di dalam tabung darah bervolume 3 ml yang mengandung

Etilen Diamino Tetraacetic Acid (EDTA).

Perhitungan Jumlah Total Leukosit

(25)

9

Pewarnaan Preparat Ulas Darah

Menurut Mahmmod et al. (2011) pembuatan dan pewarnaan preparat ulas darah menggunakan sampel darah yang akan diperiksa, metanol, larutan pewarna Giemsa, aquades, kaca preparat dan timer. Pembuatan preparat ulas diawali dengan membersihkan kaca preparat (obyek gelas) kemudian sampel darah diteteskan pada satu sisi obyek gelas. Satu obyek gelas ditempatkan disisi ujung obyek gelas yang ditetesi sampel dengan membentuk sudut 45º, kemudian ditarik horisontal supaya ulasan darah pada gelas obyek terbentuk rata. Preparat selanjutnya dikeringkan di udara untuk selanjutnya dimasukkan ke dalam metil alkohol selama 5 menit dan diwarnai dengan Giemsa 10% selama 30 menit. Kemudian preparat dicuci dengan air dan dikeringkan di udara.

Pemeriksaan Parasit Darah dan Perhitungan Diferensial Leukosit

Preparat ulas darah kemudian diamati terhadap ada tidaknya parasit darah dibawah mikroskop dengan perbesaran 1000X. Persentase parasit darah dihitung dengan membagi jumlah sel yang terdapat parasit darah (Anaplasma sp., Theileria

sp.,dan Babesia sp.) dengan 500 butir sel darah merah (Alamzan et al. 2008). Diferensial leukosit relatif diperoleh dengan cara sel leukosit dalam sampel darah tersebut dihitung hingga jumlah total yang teramati mencapai 100 sel leukosit. Diferensial leukosit absolut didapat dari diferensial leukosit relatif dikalikan dengan jumlah total leukosit.

Pengolahan Data

Data yang diperoleh dianalisis mengunakan uji T (T-test) untuk membandingkan tingkat parasitemia terhadap jenis kelamin dan uji lanjut Duncan

untuk membandingkan jenis parasitemia terhadap nilai diferensial leukosit. Analisis data menggunakan program SPSS 16.0 dan Microsoft Excel 2010.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tingkat Persentase Parasit Darah

(26)

10

Tingkat persentase tertinggi disebabkan oleh triple infections (Anaplasma

sp., Theileria sp., Babesia sp.) sebesar 45%, sedangkan persentase terendah disebabkan oleh single infection Theileria sp. sebesar 5%. Persentase parasit darah dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti geografis dan keberadaan vektor (Khan et al. 2004). BPTUHP Siborongborong terletak di kabupaten Tapanuli Utara. Berdasarkan data Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG) (2015) wilayah Tapanuli Utara memiliki temperatur 21 ºC sampai 31 ºC dan kelembapan 70% sampai 96%. Keadaan iklim tersebut akan mempengaruhi populasi caplak sebagai vektor parasit darah.

Keberadaan vektor menentukan tingkat parasitemia pada kerbau. Vektor berfungsi untuk mentransmisikan parasit darah ke tubuh inang. Anaplasma sp. ditularkan secara biologis oleh caplak (Skotarczak et al. 2003) dan ditularkan secara mekanik oleh lalat penghisap darah dan beberapa spesies nyamuk (Scoles

et al. 2005), sedangkan Theileria sp, dan Babesia sp. ditularkan oleh caplak (Uilenberg 2006). Aktivitas caplak sangat dipengaruhi oleh musim. Caplak akan aktif pada kondisi hangat (Taylor et al. 2007). Aktivitas caplak mencari inang pada daerah tropis dipengaruhi oleh pergantian musim kemarau dan musim penghujan (Mullen dan Dorden 2002). Pengambilam sampel untuk penelitian ini dilakukan pada bulan November saat mengalami pergantian musim kemarau ke musim penghujan, sehingga keberadaan caplak menurun.

Infeksi parasit darah pada kerbau perah didominasi oleh infeksi gabungan (Coinfections) yang disebabkan oleh lebih dari 1 jenis parasit darah. Infeksi gabungan yang diidentifikasi terdiri dari 6 sampel positif double infections

(Anaplasma sp., Theileria sp.), dua sampel positif double infections (Theileria sp.,

Babesia sp.), serta 9 sampel positif triple infections (Anaplasma sp., Theileria sp, ., Babesia sp.). Hasil yang sama didapat oleh penelitian Berggoetz et al. (2014) yang menyatakan mayoritas infeksi parasit darah yang diidentifikasi sebanyak 77.9% disebabkan oleh lebih dari 1 jenis parasit darah, dengan frekuensi kombinasi 3 spesies sebanyak 37%. Kocan et al. (2000) juga menyatakan bahwa anaplasmosis dan babesiosis sering terjadi pada hewan yang sama. Anaplasma sp.,

Theileria sp, dan Babesia sp. memiliki sifat intraselular obligat yang hidup di dalam sel darah merah, sehingga dapat menginfeksi hewan yang sama.

Tabel 1 Tingkat Persentase Infeksi Parasit Darah

Jenis Parasit Darah Jumlah sampel Jumlah Sampel Positif Persentase (%)

(27)

11 Tingkat Parasitemia Berdasarkan Jenis Kelamin

Berdasarkan hasil perhitungan rataan parasitemia Anaplasma sp., Theileria

sp, dan Babesia sp. terhadap jenis kelamin jantan dan betina tidak menunjukkan nilai berbeda nyata (p<0.05). Persentase parasitemia yang diperoleh adalah di bawah 1%. Tingkat parasitemia diklasifikasikan ringan (mild reaction) jika ditemukan 1–4 parasit per 500 eritrosit (parasitosis<1%) (Camacho 2004). Rendahnya parasitemia disebabkan oleh perilaku khusus yang dimiliki kerbau. Perilaku kerbau berkubang dan berendam dalam air sebagai ekspresi untuk mengatur termoregulasi dan proteksi terhadap ektoparasit (Napolitano et al.2013).

Rataan parasitemia pada kerbau perah betina cenderung lebih tinggi dibandingkan kerbau jantan, meskipun tidak beda nyata (p>0.05), hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa jenis kelamin mempengaruhi tingkat parasitemia. Hal tersebut didukung dengan pernyataan Atif et al. (2012) bahwa jenis kelamin betina menunjukkan tingkat parasitemia Anaplasma sp., Theileria sp, dan Babesia

sp. meningkat dibanding jantan saat usia dewasa. Hasil yang sama juga diperoleh Rajput et al. (2005) yang melaporkan tingkat parasitemia T. annulata, dan A. marginale. yang tertinggi pada jenis kelamin betina. Kondisi tubuh ternak mempengaruhi banyak tidaknya parasit pada ternak. Kondisi stres menyebabkan tubuh kerbau kehilangan energi dan kekurangan asupan nutrisi, sehingga akan memperlemah sistem kekebalan tubuh kerbau. Keadaan yang demikian akan mempercepat proses infeksi parasit darah. Kerbau betina memiliki kerentanan mengalami stres saat masa kebuntingan, melahirkan dan laktasi. Pernyataan ini di perkuat oleh Kocan et al. (2010) bahwa keadaan imunosupresi pada ruminansia saat kebuntingan dan laktasi dapat meningkatkan infeksi Anaplasma sp.

Tabel 2 Rataan Parasitemia Berdasarkan Jenis Kelamin Jenis

Angka pada kolom yang sama yang di ikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji T-test)

(28)

12

Diferensial Leukosit

Kerbau perah yang terinfeksi oleh Anaplasma sp., Theileria sp, dan Babesia

sp. akan menunjukkan respon pertahanan tubuh. Jumlah diferensial leukosit digunakan untuk melihat respon jenis-jenis sel darah putih terhadap keberadaan parasit darah tersebut (Tabel 3).

Tabel 3 Rataan Jenis Leukosit

Parasit Darah N

Jumlah Total Leukosit (103/µL)

Rataan Jenis Leukosit (103/µL)

Limfosit Monosit Neutrofil Eosinofil Basofil

A 2 16.9±5.23e 11.9±6.43de 1.1±0.04a 3.8±0.66abc 0.1±0.09a 0.0±0.0a AT 6 9.44±9.14cd 6.6±8.0abcd 0.7±0.4a 2.1±1.6ab 0.1±0.1a 0.0±0.0a TB 2 8.8±3.3bcd 4.7±2.9abc 1.0±0.11a 2.8±0.67abc 0.3±0.24a 0.0±0.05a ATB 9 6.3±6.4abcd 4.0±4.83abc 0.7±0.87a 1.6±1.21ab 0.1±0.08a 0.0±0.05a

N: Jumlah sampel; A: Anaplasma sp.; AT: Anaplasma sp., Theileria sp.; TB: Theileria sp., Babesia sp.;

ATB: Anaplasma sp., Theileria sp., Babesia sp.; Angka pada kolom yang sama yang diikuti huruf yang sama

tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji lanjut Duncan).

Babesia sp.

Theileria sp.

(29)

13 Hasil perhitungan yang diperoleh dari jumlah total leukosit pada kerbau yang hanya terinfeksi Anaplasma sp, dan pada limfosit kerbau yang terinfeksi

single infection (Anaplasma sp.), double infections (Theileria sp.,Babesia sp.), serta triple infections (Anaplasma sp., Theileria sp., Babesia sp.) menunjukkan perbedaan nyata (p<0.05). Jumlah total leukosit pada kerbau normal adalah 8.41±0.28 × 103/µ L (Osman dan Al-Gaabary 2007). Peningkatan jumlah tertinggi diperoleh pada infeksi Anaplasma sp. sedangkan, jumlah total leukosit terendah pada sampel yang terkena triple infections (Anaplasma sp., Theileria sp., Babesia

sp.). Infeksi Anaplasma sp. pada kerbau dapat menyebabkan leukositosis. Menurut Nazili et al. (2012) menyatakan sapi yang diinfeksi A. marginale. akan mengalami peningkatan jumlah sel darah putih. Berbeda halnya dengan penurunan jumlah total leukosit akibat triple infections (Anaplasma sp., Theileria

sp., Babesia sp.). Osman dan Al-Gabaary (2007) menyatakan kerbau yang terinfeksi Theileria sp. akan mengalami penurunan jumlah sel darah putih. Menurut penelitian Mahmmod et al. (2011) kerbau yang diinfeksi T. annulata.

akan mengalami penurunan jumlah total leukosit secara signifikan dari 9.1±0.4 × 103/µL berkurang menjadi 5.0±0.3 × 103/µL. Adanya Babesia sp. juga dapat berpengaruh terhadap jumlah sel darah putih dalam tubuh kerbau. Hal tersebut dinyatakan oleh Sevinc et al. (2013) domba yang diinfeksi B. ovis dengan tingkat parasitemia sangat tinggi (>2.5) mengalami penurunan jumlah total leukosit.

Limfosit memiliki fungsi utama dalam memproduksi antibodi sebagai respon terhadap benda asing yang difagosit makrofag (Tizard 2000). Jumlah limfosit pada kerbau yang hanya terinfeksi Anaplasma sp. mengalami peningkatan signifikan. Kerbau normal memiliki nilai normal 4.6±0.3 × 103/µL (Mahmmod et al. 2011). Hasil yang sama diperoleh Ashuma et al. (2013) menyatakan 63.33% hewan yang positif anaplasmosis mengalami leukositosis yang mengindikasikan adanya stimulasi organ limfoid.

Double infections (Theileria sp., Babesia sp.) dan Triple infections

(Anaplasma sp., Theileria sp., Babesia sp.) menyebabkan jumlah limfosit mengalami penurunan secara signifikan. Osman dan Al-Gaabary (2007) menyatakan kerbau yang terinfeksi T. annulata. akan mengalami limfositopenia. Limfositopenia terjadi karena rusaknya sel limfosit di dalam organ limfoid (Omer

et al. 2002). Kerusakan organ limfoid ditandai dengan munculnya gejala klinis pembesaran superficial limfonodus prescapular dan prefemoral (Mahmmod et al.

2011). Faktor menurunnya jumlah limfosit juga disebabkan oleh siklus hidup

Theileria sp. yang menggunakan leukosit untuk berkembang biak. Sporozoit

Theileria sp. akan bertransformasi menjadi skizon dan melipat gandakan jumlahnya didalam leukosit (Sivakumar 2014), selanjutnya, merozoit Theileria sp. akan melisis sel leukosit dan akan menginfeksi sel darah merah. Keberadaan

Babesia sp. juga berpengaruh terhadap penurunan limfosit. Hal ini di buktikan dengan penelitian Sevinc et al. (2013) yang menyatakan domba yang mengalami babesiosis ringan (0.1–0.3%) hingga berat (>2.5%) menunjukkan penurunan jumlah limfosit dibandingkan dengan kondisi normal. Persamaan kerbau dan domba yang merupakan hewan ruminansia dapat memperkuat pernyataan tersebut.

(30)

14

pada kerbau adalah 0.39±0.02 × 103/µL (Osman dan Al-Gaabary 2007). Mayoritas sampel yang diamati mengalami kenaikan jumlah monosit. Monosit akan bermigrasi ke jaringan membentuk makrofag (Weiss dan Wardrop 2010). Stafford et al. (2002) menyatakan makrofag berfungsi untuk membatasi replikasi mikroorganisme intraseluler. Makrofag juga berfungsi sebagai pertahanan tubuh untuk melawan mikroorganisme seperti Rickettsia dan Theileria sp. (Weiss dan Wardrop 2010). Anaplasma sp., Theileria sp, dan Babesia sp. merupakan parasit intraseluler obligat yang menyebakan eritrolitik. Eritrosit yang rusak akan difagositosis oleh makrofag (Weiss dan Wardrop 2010).

Netrofil merupakan jenis sel darah putih yang mempunyai respon yang cepat terhadap keberadaan mikroorganisme patogen di dalam tubuh. Jumlah neutrofil pada kerbau normal 2.92±0.31 × 103/µL (Osman dan Al-Gaabary 2007). Hasil yang diperoleh menunjukkan kenaikan neutrofil pada sampel yang hanya terinfeksi Anaplasma sp. Neutrofil berfungsi sebagai pertahanan tubuh untuk melawan mikroorganisme khususnya bakteri (Harvey 2012). Anaplasma sp. adalah bakteri Gram negatif dari ordo Rickettsiales yang bersifat intaseluler obligat (Ashraf et al. 2013). Nazifi et al. (2012) menyatakan sapi yang terinfeksi

A. marginale. akan mengalami peningkatan neutrofil. Respon neutrofil terhadap anaplasmosis diduga juga dipengaruhi oleh spesies Anaplasma sp. yang menginfeksi kerbau tersebut, hal tersebut disebabkan spesies A. marginale. lebih patogen dibandingkan A. central. yang tidak patogen terhadap kerbau.

Eosinofil dan basofil merupakan diferensial sel darah putih yang memiliki jumlah paling sedikit pada sel darah putih. Eosinofil berfungsi sebagai respon pertahanan tubuh terhadap helmintiasis, sedangkan basofil memiliki fungsi sebagai repon terhadap alergi (Weiss dan Wardrop 2010). Nilai rataan eosinofil dan basofil pada kerbau normal adalah 0.17±0.01 × 103/µ L dan 0.01±0.002 × 103/µL (Osman dan Al-Gaabary 2007). Pengamatan terhadap semua sampel menunjukkan penurunan pada nilai rataan eosinofil dan adanya respon terhadap jumlah basofil, meskipun penurunannya tidak signifikan apabila dibandingkan dengan literatur. Kerbau yang diinfeksi oleh T. anulata. akan mengalami penurunan jumlah eosinofil dan tidak menunjukkan perubahan nyata terhadap basofil (Osman dan Al-Gabaary 2007). Menurut Mahmmod et al. (2011) kerbau yang terinfeksi T. annulata. akan mengalami eosinopenia. Infeksi A. marginale

pada sapi dapat menurunkan nilai eosinofil (Nazifi et al. 2012). Adanya respon terhadap jumlah basofil diduga disebabkan oleh reaksi alergi yang disebabkan oleh gigitan caplak. Hasil histopatologi pada lesio akibat gigitan caplak dapat ditemukan infiltrasil sel basofil (Van der Heijden et al. 2005).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan pemeriksaan mikroskopik di temukan infeksi parasit darah

Anaplasma sp., Theileria sp, dan Babesia sp. pada kerbau perah di Tapanuli Utara. Hasil prevalensi tertinggi adalah triple infections (Anaplasma sp., Theileria

(31)

15

infections (Theileria sp., Babesia sp.) dan single infection (Anaplasma sp.), selanjutnya, yang terendah adalah single infections (Theileria sp.). Jenis kelamin tidak menunjukkan berpengaruh (p>0.05) terhadap nilai rataan parasitemia anaplasmosis, theileriosis dan babesiosis. Jumlah total leukosit terhadap single infection (Anaplasma sp.) dan jumlah limfosit terhadap single infection

(Anaplasma sp.), double infections (Theileria sp., Babesia sp.) serta, triple infections (Anaplasma sp., Theileria sp., Babesia sp.) menunjukkan berbeda nyata (p<0.05).

Saran

Program pencegahan dan pengendalian parasit darah pada kerbau perah di BPTUHPT Siborongborong diperlukan untuk menghentikan rantai penularan parasit darah dari caplak ke kerbau.

DAFTAR PUSTAKA

Alamzan C, Medrano C, Ortiz M, Fuente JDL. 2008. Genetic diversity of

Anaplasma marginale stains from an outbreak of bovine anaplasmosis in an endemic area. Veterinary Parasitol. 158: 101–109.

Appelberg R. 2006. Neutrophils and intacellular pathogens: beyond phagocytosi and killing. Trends Microbiology. 15: 87–92.

Ashraf QUA, Khan AU, Khattak RM, Ali M, Shaikh RS, Ali M, Iqbal F. 2013. A report on the high prevalence of Anaplasma sp. in buffaloes from two provinces in Pakistan. Tick and Tick-borne Diseases. 4: 395–398.

Ashuma, Sharma A, Singla LD, Kaur P, Bal MS, Batth BK, Juyal PD. 2013. Prevalence and haemato-biochemical profile of Anaplasma marginale infection in dairy animal of Punjab (India). Asian Pacific Journal of Tropical Medicine.

139–144.

Atif FA, Muhammad SK, Hafiz JI, Ghulam MA, Ejaz A, Sami U. 2012. Prevalence of Anaplasma marginale, Babesia bigemina and Theileria annulata

infections among cattle in Sargodha District, Pakistan. African Journal of Agricultural Research. 7(22): 3302‒3307.doi.10.5897/AJAR11.2051.

Bahri S dan Talib C. 2007. Strategi pengembangan ternak kerbau. Didalam: Bamualim, editor. Seminar dan Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau; 2007 juni 22-23; Jambi, Indonesia. Bogor (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. hlm 1–11.

Berggoetz M, Schmid M, Ston D, Wyss V, Chevillon C, Pretorius AM, Gern L. 2014. Tick-borne pathogens in the blood of wild and domestic ungulates in south Africa: interplay of game and livestock. Tick and Tick-borne Diseases. 5: 166–175.

(32)

16

[BMKG] Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. 2015. Prakiraan Cuaca provinsi Sumatera Utara [Internet]. [Diunduh 2015 April 16]. Tersedia pada:

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Populasi Ternak Tahun 2000-2014. Jakarta (ID): Badan Pusat Statistik Republik Indonesia.

Camacho T. 2004. Roles of the maltese cross form of Babesia micorti in the development of parasitemia in B. micorti infection. Infection and Immunity.

72(8):4929‒4930.doi:10.1128/IAI.72.8.4929-4930.2004.

Darminto, Triwulanningsih E, Anggraeni A, Widiawati Y. 2009. Aplikasi inovasi teknologi peternakan untuk meningkatkan produktivitas kerbau lokal. Didalam: Talib et al. editor. Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau; 2009 Nov 11–13, Brebes, Indonesia. Bogor (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan.hlm 13–24.

Ditjen PKH. 2014. Statistik Peternakan 2014. Jakarta (ID): Direktorat Jenderal Peternakan dan Ksehatan Hewan RI.

Dumler JS, Barbet AF, Bekker CPJ, Dasch GA, Palmer GH, Ray SC, Rikihisa Y, Rurangirwa FR. 2001. Reorganization of the genera in the families Rickettsiaceae and Anaplasmataceae in the order Rickettsiales: unification of some species of Ehrlichia with Anaplasma, Cowdria with Ehrlichia and

Ehrlichia with Neorickettsia, descriptions of six new species combinations and designation of Ehrlichia equi and “HGE agent” as subjective synonyms of Ehrlichia phagocytophila. International Journal of Systematic and Evolutionary of Microbiology. 51:2145‒2165.

Guyton AC dan Hall JE. 2006. Textbook of Medical Physiology 11th ed. Philadelphia (US): Elsevier.

Harvey JW. 2010. Anaplasmosis. Merck Vet Manual[Internet]. [diunduh 2014 Des 27]. Tersedia pada: http://merckmanuals.com/vet/circulatory_system/ blood_parasites/anaplasmosis.html.

Harvey JW. 2012. Veterinary Haematology: A Diagnostic Guide and Color Atlas. Missouri (US): Elsevier.

Khan MQ, Zahoor A, Jahangir M, Mirza MA, 2004. Prevalence of blood parasites in cattle and buffaloes. Pakistan Veterinary Journal. 24 (4): 193– 195.

Kocan KM, De la FJ, Blouin EF, Garcia-Garcia JC. 2004. Anaplasma marginale

(Rickettsiales:Anaplasmataceae) recent advances in defining host-pathogen adaptations of a tick-borne rickettsia. Parasitology. 129: 285–300.

Kocan KM, Feunte JDL, Blouin EF, Coetzee JF, Swing SA. 2010. Review-The natural history of Anaplasma marginale. Veterinary Parasitology. 167:

95‒107.

Kocan KM, Blounin EF, Barbet AF, 2000. Anaplasmosis control. past, present, and future. Annals of the New York of Academic Science. 916: 501–509.

(33)

17 province, Egypt. Tick and Tick-borne Diseases. 2: 168–171.

Misra AK. 2004. Advances in embryo technologies in water buffaloes. Proceding of the 7th World Buffalo Congress, Manila, Philippines, 20-23 october , pp. 140–156.

Mullen G, Dorden L. 2002. Medical and Veterinary Entomology. California (US): Academic Pr.

Napolitano F, Pacelli C, Grasso F, Braghieri A, De Rosa G. 2013. The behavior and welfare of buffaloes (Bubalus bubalis) in modern dairy enterprises.

Animal.10 (7): 1704–1713.doi.10.1017/S1751731113001109.

Nazifi S, Razavi SM, Kaviani F, Rakhshandehroo. 2012. Acute phase response in cattle infected with Anaplasma marginale. Veterinary Microbiology.155: 267– 271.

Omer OH, El-Malik KH, Mahmoud OM, Haroun EM, Hawas A, Sweeney D, Magzoub M. 2002. Haematological profiles in pure bred cattle naturally infected with Theileria annulata in Saudi Arabia. Veterinary parasitology. 107: 161–168.

Osman SA dan Al-Gaabary MH. 2007. Clinical, haematological and therapeutic studies on tropical theileriosis in water buffaloes (Bubalus bubalis) in Egypt.

Veterinary parasitology. 146: 337–340.

Quinn PJ dan Markey BK. 2003. Concise Review of Veterinay Microbiology.

Oxford (UK): Blackwell.

Rajput ZI, Song-hua HU, Arijo AG, Habib M, Khalid M (2005). Comparative study of Anaplasma parasites in tick carrying buffaloes and cattle. Journal Zhejiang University Science B. 6 (11 ): 1057–1062.

Rymaszewska A dan Grenda S. 2008. Bacteria of the genus Anaplasma

characteristics of Anaplasma and their vector: a review. Veterinary Medicine. 53 (11): 573–584.

Scoles GA, Broce AB, Lysyk TJ, Palmer GH. 2005. Relative efficiency of biological transmission of Anaplasma marginale (Rickettsiales: Anaplasmataceae) by Dermacentor andersoni (Acari: Ixodidae) compared with mechanical transmission by Stomoxys calcitrans (Diptera: Muscidae). Journal Medicine Entomology. 42: 668–675.

Sevinc F, Sevinc M, Ekici OD, Yildiz R, Isik N, Aydogdu U. 2013. Babesia ovis infectiouns: detailed clinical and laboratory observations in the pre-and post-treatment periods of 97 field case. Veterinary Parasitology.191: 35–44.

Skotarczak B, Rymaszewska A, Wodecka B, Sawczuk M. 2003. Molecular evidence of coinfection of Borrelia burgdorferi sensu lato, human granulocytic ehrlichiosis agent and Babesia microti in ticks from north-western Poland.

Journal Parasitology. 89 (1): 194–196.

Sitorus AJ dan Anggraeni A. 2008. Karakteristik morfologi dan estimasi jarak genetic kerbau rawa, sungai (Murrah) dan silanganya di Sumatera Utara. Di dalam: Bamualim A , editor. Seminar dan Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau; 2008 okt 24–26; Tanah Toraja, Indonesia. Bogor (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan.hlm 38–54.

(34)

18

Stafford JL, Neumann NF, Belosevic M. 2002. Macrophage-mediated innate host defense against protozoan parasites. Critical Review in Microbiology. 28: 187– 284.

Taylor MA, Coop RL, Wall RL. 2007. Veterinary Parasitology 3rd ed. Oxford(UK). Blackwell.

Tizard IR. 2000. Veterinary Immunology: An Introduction (paperback). Philadelphia (US): Saunders.

Tripaldi C. 2005. Buffalo Milk Quality. In: Buffalo Production and Research Italy (IT): FAO.

Uilenberg G. 2006. Babesia—a historical overview. Veterinary Parasitology. 138: 3–10.doi: 10.1016/j.vetpar.2006.01.035.

Urquhart GM, Armour J, Ducan JL, Dunn AM, Jennings FW. 2003. Veterinary Parasitology 2nd ed. Scotland (GB): Blackwell.

Van Der Heijden KM, Szabo MI, Pereira MC, Matushima ER. 2005. Histopathology of tick-bite lessions in naturally infested capybaras (Hydrochoerus hydrochaeris) in Brazil. Experimental and applied Acarology. 37 (3–4): 245–255.

Weiss DJ dan Wardrop KJ. 2010. Schalm`s Veterinary Hematology 6th ed. Lowa (US): Wiley-Blackwell.

(35)

19

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama lengkap Banu Ardiyanto. Penulis lahir di Kediri pada tanggal 11 Januari 1993 dari pasangan Bapak Sudjono dan Ibu Sudarmi. Penulis merupakan anak tunggal di dalam keluarga tersebut.

Jenjang pendidikan formal yang telah ditempuh oleh penulis di antaranya adalah lulusan SDN 1 Jagung Pagu Kediri pada tahun 2005, lulusan SMPN 1 Gampengrejo Kediri pada tahun 2008, dan lulusan SMAN 2 Pare Kediri pada tahun 2011. Pada tahun 2011, penulis diterima di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor melalui jalur undangan Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Selama perkuliahan penulis aktif dalam kegiatan organisasi kemahasiswaan, yaitu anggota Himpunan Minat dan Profesi Ruminasia (2013–2015) dan pernah menjadi Ketua Pengurus Cabang Ikatan Mahasiswa Kedokteran Hewan Indonesia (IMAKAHI) Fakultas kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (2014–2015).

Bogor, Agustus 2015

Gambar

Tabel 2 Rataan Parasitemia Berdasarkan Jenis Kelamin

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini merupakan penelitian hukum empiris, dan bersifat deskriptif analisis yang berusaha memahami faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya sengketa

Kapan lagi, Anda bisa mendapatkan fasilitas gratisan di facebook marketing beserta penunjang ilmunya. Berupa teknik facebook graph yang nantinya akan membantu Anda dalam membuka

Rumusan masalah dalam penelitian ini secara umum adalah: Apakah ada hubungan antara paparan Korean wave melalui media informasi dengan body image dan risiko eating disorders

Pada Ultrasonic Testing (UT) Ultrasonic Testing (UT) , untuk memeriksa tebal bahan dan atau adanya , untuk memeriksa tebal bahan dan atau adanya cacat dalam bahan dengan

keseluruhan situasi mengajar. Ini berarti bahwa alat peraga merupakan salah satu unsur yang harus dikembangkan guru. Alat peraga dalam pengajaran penggunaannya integral dengan tujuan

Pelarut yang digunakan dalam penelitian ini adalah etanol 70 %, karena dapat melarutkan saponin dan flavonoid yang merupakan zat yang terkandung dalam daun

Tujuan dari uji komunikasi serial ini adalah untuk mengetahui apakah rangkaian mikropengendali Arduino Uno telah dapat mengirimkan data suhu dan asap dari

2.4.3 Jarak dari Garis Pantai Jarak dari garis pantai merupakan parameter penting dalam kajian resiko tsunami, Berdasarkan kejadian Tsunami Flores, banyak warga pesisir yang