• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fungi Mikoriza Arbuskula dan Keberadaan Inangnya Dapat Memperbaiki Pertumbuhan Kedelai Organik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Fungi Mikoriza Arbuskula dan Keberadaan Inangnya Dapat Memperbaiki Pertumbuhan Kedelai Organik"

Copied!
49
0
0

Teks penuh

(1)

FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA DAN KEBERADAAN

INANGNYA DAPAT MEMPERBAIKI PERTUMBUHAN

KEDELAI ORGANIK

KHOERUR ROZIQIN

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Fungi Mikoriza

Arbuskula dan Keberadaan Inangnya Dapat Memperbaiki Pertumbuhan Kedelai

Organik adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan

belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber

informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak

diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam

Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2014

Khoerur Roziqin

NIM

 

A24090186

 

(4)

ABSTRAK

KHOERUR ROZIQIN. Fungi Mikoriza Arbuskula dan Keberadaan Inangnya Dapat Memperbaiki Pertumbuhan Kedelai Organik. Dibimbing oleh MAYA MELATI dan ARUM SEKAR WULANDARI.

Kedelai (Glycine max (L) Merrill) merupakan salah satu tanaman pangan sumber protein nabati. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh dosis fungi mikoriza arbuskula (FMA) serta keberadaan tanaman sorghum sebagai inangnya terhadap pertumbuhan dan produksi kedelai organik. FMA diaplikasikan pada setiap lubang tanam kedelai berdasarkan empat dosis yaitu 0, 1, 2, 2.5 g FMA lubang-1. Keberadaan sorghum diaplikasikan di dalam petak pertanaman kedelai yang terdiri atas ada dan tidak adanya sorghum di dalam petakan. Kedua perlakuan dikombinasikan dalam Rancangan Tersarang (nested design). Dosis FMA secara umum mempengaruhi pertumbuhan dan beberapa komponen produksi kedelai. Pertumbuhan optimum dicapai pada dosis 2.08 g FMA lubang-1. Produksi kedelai diduga meningkat pada dosis FMA lebih dari 2.5 g lubang-1. Produktivitas berdasarkan dosis FMA tidak berbeda nyata, yaitu 1.35, 1.08, 1.04, dan 1.15 ton ha-1. Produktivitas kedelai tanpa sorghum lebih tinggi daripada dengan ada sorghum, yaitu 1.25 dan 1.05 ton ha-1. Penempatan sorghum yang tidak tepat mungkin telah mengakibatkan persaingan antara sorghum dan kedelai. Kata kunci: Acaulospora, Gigaspora, Glomus, infeksi akar, Sorghum bicolor

ABSTRACT

KHOERUR ROZIQIN. Arbuscular Mycorrhizal Fungi and Its Host Presence Could Improve Organic Soybean Growth. Supervised by MAYA MELATI and ARUM SEKAR WULANDARI.

Soybean (Glycine max (L) Merrill) is one of the food crops as a source of vegetable protein. The purpose of this research was to determine the effect of rates of arbuscular mycorrhizal fungi (AMF) and the existence of sorghum, as an AMF host, on the growth and production of organic soybean. AMF was applied to each planting hole of soybean based on four different rates of 0, 1, 2, 2.5 g AMF hole-1. The existence of sorghum plant on the soybean plots, consisted of the presence and absence of sorghum in the plot. Both treatments were combined in nested design. Rates of AMF, in general, affected the growth and some yield components of soybean. Maximum growth was achieved at the rate of 2.08 g AMF hole-1. Soybean production was expected to increase in rate of more than 2.5 g AMF hole-1. Soybean productivity based on AMF rates were not significantly different, they were 1.35, 1.08, 1.04, and 1.15 ton ha-1 for 0, 1, 2, 2.5 g AMF ha-1, respectively. Without sorghum, soybean productivity was higher than that with the presence of sorghum, they were 1.25 and 1.05 ton ha-1, respectively. Improper placement of sorghum in the plot might have resulted in competition with soybean.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian

pada

Departemen Agronomi dan Hortikultura

FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA DAN KEBERADAAN

INANGNYA DAPAT MEMPERBAIKI PERTUMBUHAN

KEDELAI ORGANIK

KHOERUR ROZIQIN

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(6)
(7)

Judul Skripsi : Fungi Mikoriza Arbuskula dan Keberadaan Inangnya Dapat Memperbaiki Pertumbuhan Kedelai Organik Nama : Khoerur Roziqin

NIM : A24090186

Disetujui oleh

Dr Ir Maya Melati, MS, MSc Pembimbing I

Dr Ir Arum Sekar Wulandari, MS Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr Ir Agus Purwito, MScAgr Ketua Departemen

(8)
(9)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang senantiasa memberikan rahmat-Nya, sehingga skripsi ini dapat disusun. Penelitian Fungi Mikoriza Arbuskula dan Keberadaan Inangnya Dapat Memperbaiki Pertumbuhan Kedelai Organik yang dilaksanakan sejak bulan Desember 2012 didasari atas keinginan untuk menguji pengaruh pemberian pupuk hayati mikoriza agar produksi kedelai organik meningkat.

Penulis menyampaikan terima kasih kepada Dr Ir Maya Melati MS, MSc serta Dr Ir Arum Sekar Wulandari, MS yang telah memberikan bimbingan selama pelaksanaan penelitian hingga skripsi ini dapat disusun. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada pimpinan Laboratorium Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, LPPM IPB yang telah memberikan ijin untuk menggunakan fasilitas laboratorium tersebut, Ibnu Sofwan ST (staf PT Miyuki Indonesia) dan Imron Rosyadi (direktur CV Cipta Niaga) selaku donator dalam pembiayaan penelitian ini, serta terimakasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, dan seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya.

Penulis berharap semoga hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan, perkembangan ilmu pertanian, serta masyarakat luas.

Bogor, Januari 2014

(10)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN viii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

Hipotesis 2

TINJAUAN PUSTAKA 3

Pertanian Organik 3

Budidaya Kedelai Organik 3

Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) 4

METODE 6

Tempat dan Waktu 6

Bahan dan Alat 6

Metode Rancangan 7

Pelaksanaan Penelitian 7

Pengamatan Kedelai 9

Pengamatan Fungi Mikoriza Arbuskula 9

HASIL DAN PEMBAHASAN 11

Hasil 11

Pembahasan 26

SIMPULAN DAN SARAN 29

Simpulan 29

Saran 30

DAFTAR PUSTAKA 31

LAMPIRAN 34

(11)

DAFTAR TABEL

1 Peubah vegetatif dan generatif tanaman kedelai yang diamati 9 2 Rekapitulasi hasil analisis ragam seluruh data pertumbuhan dan

produktivitas kedelai dengan perlakuan dosis FMA dan keberadaan

tanaman sorghum 13

3 Pertumbuhan kedelai dengan perlakuan dosis FMA 15 4 Pertumbuhan kedelai dengan perlakuan keberadaan tanaman sorghum 17 5 Produksi kedelai 14 MST dengan perlakuan dosis FMA 18 6 Produksi kedelai 14 MST dengan perlakuan keberadaan sorghum 20 7 Pengaruh interaksi dosis FMA dan keberadaan tanaman sorghum

terhadap karakter agronomi kedelai 20

8 Rata-rata produksi sorghum dan tagetes setiap petak dengan perlakuan

dosis FMA 22

9 Rekapitulasi hasil analisis ragam data kelimpahan spora dan tingkat infeksi akar dengan perlakuan dosis FMA serta keberadaan tanaman

sorghum 22

DAFTAR GAMBAR

1 Kurva pertumbuhan vegetatif berdasarkan dosis FMA 16

2 Kurva produksi kedelai berdasarkan dosis FMA 19

3 Kadar N daun berdasarkan interaksi dosis FMA dan keberadaan

sorghum 21

4 Kadar dan serapan P daun berdasarkan interaksi dosis FMA dan

keberadaan sorghum 21

5 Kepadatan spora sebelum dan sesudah tanam berdasarkan dosis FMA

dan keberadaan tanaman sorghum 23

6 Hubungan antara kepadatan spora dengan jumlah polong dan bobot

kering biji per tanaman 23

7 Derajat infeksi hifa mikoriza terhadap akar kedelai dan akar sorghum

berdasarkan dosis FMA 24

8 Derajat infeksi hifa mikoriza terhadap akar kedelai berdasarkan

keberadaan tanaman sorghum 24

9 Derajat infeksi hifa mikoriza terhadap akar kedelai berdasarkan dosis

FMA dan keberadaan sorghum 25

10 Sebaran genus FMA berdasarkan dosis FMA 25

DAFTAR LAMPIRAN

1 Lay out petak percobaan 34

2 Kriteria penilaian sifat-sifat kimia tanah menurut penelitian tanah

(1983) 35

3 Interpretasi nilai unsur hara mikro 35

4 Hasil analisis tanah setiap blok berdasarkan dosis FMA 35

(12)
(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kedelai (Glycine max (L) Merrill) merupakan salah satu tanaman pangan penting yang menjadi sumber protein nabati. Konsumsi kedelai masyarakat Indonesia sangat tinggi. Kebutuhan kedelai nasional pada tahun 2010 diperhitungkan sebesar 2.4 juta ton (Ghulamahdi 2009).

Paradigma baru bahwa makanan yang sehat adalah makanan dari hasil pertanian organik terus berkembang. Pertanian organik juga dianggap memiliki dampak positif bagi kehidupan karena aplikasinya yang ramah lingkungan. Sutanto (2006) menyatakan bahwa pertanian organik dapat diartikan sebagai suatu sistem produksi tanaman yang berasaskan daur ulang hara secara hayati. Daur ulang hara dapat melalui sarana limbah tanaman ternak, serta limbah lainnya yang mampu memperbaiki status kesuburan dan struktur tanah. Perhatian terhadap produk pertanian organik memerlukan informasi tentang budidaya kedelai secara orgaink. Pemupukan adalah salah satu kegiatan budidaya yang sangat mempengaruhi dalam meningkatkan produksi kedelai.

Pemupukan adalah penambahan unsur hara yang diperlukan tanaman dalam proses fisiologisnya. Pupuk yang diperlukan dalam pertanian organik berupa pupuk organik dan pupuk hayati. Suriadikarta dan Simanungkalit (2006) menyatakan bahwa pupuk organik adalah pupuk yang sebagian besar atau seluruhnya terdiri atas tanaman dan atau hewan yang telah melalui proses rekayasa, dapat berbentuk padat atau cair yang digunakan yang berfungsi untuk memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah.

Pemberian pupuk hayati dan pupuk organik ke dalam tanah dapat meningkatkan produksi pertanian baik kualitas maupun kuantitas, mengurangi pencemaran lingkungan, dan meningkatkan kualitas lahan secara berkelanjutan. Sumber pupuk hayati yang berpotensi untuk dikembangkan dalam upaya peningkatan produksi kedelai organik adalah fungi mikoriza arbuskula (FMA). Menurut Sutanto (2006), hifa mikoriza bersimbiosis dengan perakaran tanaman dan membantu penyerapan fosfat. Mikoriza dapat meningkatkan luas permukaan akar sehingga meningkatkan absorpsi hara, terutama jenis hara fosfat yang mempunyai mobilitas rendah dalam larutan tanah. Mikoriza juga membantu penyerapan air dan melindungi akar dari serangan patogen akar. Potensi FMA tersebut sangat menarik untuk dikembangkan khususnya pada budidaya kedelai organik. Aplikasi FMA yang tepat menjadi peluang tersendiri untuk dimanfaatkan sebagai upaya untuk meningkatkan produksi kedelai organik. Fosfat sangat membantu dalam proses pengisian biji kedelai, sehingga dengan keberadaannya diharapkan mampu meningkatkan produktivitas kedelai.

(14)

2

FMA ha-1, jika diasumsikan bahwa jumlah lubang tanam adalah 200.000 lubang ha-1. Dosis itu cukup besar untuk budidaya pertanian tanaman semusim. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian kembali mengenai perlakuan dosis yang lebih rendah sehingga diperoleh dosis FMA yang lebih efisien untuk meningkatkan produksi kedelai organik.

Hasil penelitian dosis tinggi inokulan FMA yang berpengaruh nyata terhadap produksi kedelai organik tidak berarti bahwa inokulan tersebut mengandung mikoriza murni sepenuhnya, melainkan turut serta bersama medium pembawanya yaitu zeolit. Simanungkalit (2006) menyatakan bahwa zeolit adalah salah satu bahan padat yang dapat digunakan sebagai medium pertumbuhan inang untuk perbanyakan FMA. Berbagai tanaman yang dapat dipakai sebagai tanaman inang untuk perbanyakan FMA misalnya jagung, rumput bahia (Paspalum

notatum), Pueraria javanica rumput guinea (Panicum maximum), kirinyu

(Chromolaena odorata), sorghum (sorghum bicolor), siranto (Macroptilium

purpureum), dan sebagainya. Tanaman inang yang diperlukan adalah tanaman

inang yang sangat responsif terhadap FMA (tingkat ketergantungannya tinggi terhadap simbiosis dengan FMA) dan memiliki sistem akar dengan massa besar. Latar belakang tersebut mendasari penelitian ini yakni dengan mempelajari perlakuan dosis FMA yang lebih rendah dari penelitian sebelumnya serta akan diimbangi dengan perlakuan keberadaan inang FMA (sorghum) yang diharapkan menjadi inang untuk perbanyakan inokulum FMA secara alami di dalam tanah. Asumsi dari kombinasi perlakuan tersebut adalah adanya interaksi antara dosis yang rendah dengan keberadaan inang sebagai sumber perbanyakan FMA secara alami, sehingga dosis FMA 5 g lubang-1 dapat disubstiusi dengan dosis FMA yang lebih rendah dan dapat dikombinasikan dengan tanaman inang FMA sebagai sumber perbanyakan FMA secara alami dalam budidaya kedelai organik.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perbedaan dosis fungi mikoriza arbuskula (FMA) serta keberadaan tanaman sorghum sebagai inangnya terhadap pertumbuhan dan produktivitas kedelai yang dibudidayakan secara organik.

Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini adalah

1. Peningkatan dosis FMA dapat meningkatkan produksi kedelai organik.

2. Adanya tanaman sorghum sebagai inang FMA dapat meningkatkan produksi kedelai organik.

(15)

3

TINJAUAN PUSTAKA

Pertanian Organik

Strategi pertanian organik adalah memindahkan hara secepatnya dari sisa tanaman, kompos, dan pupuk kandang yang menjadi biomassa tanah yang selanjutnya setelah mengalami proses mineralisasi akan menjadi hara dalam larutan tanah. Hal ini sangat berbeda dengan pertanian konvensional yang memberikan unsur hara secara cepat dan langsung dalam bentuk larutan sehingga segera diserap dengan takaran dan waktu pemberian yang sesuai dengan kebutuhan tanaman.

Kegunaan budidaya organik pada dasarnya adalah meniadikan atau membatasi kemungkinan dampak negatif yang ditimbulkan oleh budidaya secara kimiawi. Pupuk organik dan pupuk hayati mempunyai keunggulan nyata dibandingkan dengan pupuk kimia. Pupuk organik dengan sendirinya merupakan keluaran setiap budidaya pertanian, sehingga merupakan sumber unsur hara makro dan mikro yang dapat dikatakan cuma-cuma. Pupuk organik dan pupuk hayati berdaya ameliorasi ganda dengan bermacam-macam proses yang saling mendukung, bekerja menyuburkan tanah dan sekaligus mengonversikan dan menyehatkan ekosistem tanah serta menghindarkan kemungkinan terjadinya pencemaran lingkungan (Sutanto 2006).

Budidaya Kedelai Organik

Hasil dari beberapa penelitian menujukkan bahwa secara umum produksi kedelai organik lebih baik dibandingkan produksi kedelai konvensional. Penelitian Kurniasih (2006) menyimpulkan bahwa secara umum hampir semua peubah pengamatan pada budidaya organik yang diberi perlakuan pupuk hijau memberikan hasil lebih baik dibandingkan dengan budidaya konvensional dan organik tanpa pupuk hijau, tetapi masih lebih rendah dibandingkan dengan budidaya organik dengan pupuk kandang ayam. Produktivitas kedelai pada budidaya konvensional, organik dengan pupuk kandang ayam, dan organik tanpa pupuk berturut-turut adalah 1.80, 6.03, dan 2.00 ton ha-1. Rahadi (2008) menambahkan, budidaya kedelai organik dapat menghasilkan polong lebih banyak dibandingkan dengan budidaya kedelai konvesional. Berdasarkan analisis biaya produksi maka kedelai lebih baik dibudidayakan dengan perlakuan 1.5 ton pupuk kandang sapi ha-1 dan 216 kg guano ha-1.

Pupuk organik, kombinasi dan residunya dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hara tanah untuk produksi kedelai. Limbah pertanian yang dapat digunakan sebagai pupuk organik antara lain kompos dan abu sekam. Kompos merupakan sisa tanaman yang telah terdekomposisi. Fungsinya sebagai penyedia hara mungkin kecil namun yang dapat dimanfaatkan dari kompos adalah bahan organiknya. Abu sekam padi dapat menurunkan intensitas serangan hama, tetapi sebaiknya tidak diberikan secara tunggal melainkan dikombinasikan dengan pupuk organik yang lain (Melati et al. 2008).

(16)

4

tanaman yang belum terdekomposisi. Penambahan bahan organik ke dalam tanah akan menjadi sumber energi dan makanan untuk bermacam-macam mikroorganisme di dalam tanah. Bahan organik tidak hanya berperan dalam membantu ketersediaan unsur hara di dalam tanah tetapi juga turut membantu dalam perbaikan sifat fisik dan biologi tanah (Melati dan Andriyani 2005). Pupuk hijau perlu diperhatikan pada cara aplikasinya. Kurniasih (2006) menyampaikan bahwa pupuk hijau menyediakan hara secara lambat dan bertahap sehingga perlu pemberian dekomposer pada pupuk hijau untuk mempercepat ketersediaan hara bagi tanaman. Selain itu, penambahan kapur pada saat penanaman pupuk hijau diperlukan untuk membantu pertumbuhan, perkembangan, dan produktivitas tanaman kedelai.

Beberapa jenis tanaman legum yang banyak digunakan sebagai penutup tanah dan sebagai pupuk hijau di Indonesia antara lain Calopogonium mucunoides,

Centrosema pubescens, dan Pueraria javanica (Melati dan Andriyani 2005).

Umumnya tanaman yang digunakan sebagai pupuk hijau mempunyai kadar N yang tinggi. Tithonia diversivolia merupakan salah satu pupuk hijau kaya akan kadar nitogen (Kurniansyah 2010). Tiga jenis pupuk organik yakni pupuk kandang ayam, Tithonia diversifolia, dan Centrosema pubescens dapat dijadikan pilihan dalam pengembangan budidaya kedelai organik di lahan kering (Herwanti 2011).

Residu pupuk organik dapat memenuhi kebutuhan hara selama budidaya kedelai organik. Pemanfaatan residu hara dari musim tanam sebelumnya efisien dalam peningkatan produksi pada musim tanamn setelahnya (Herwanti 2011). Hasil percobaan Jumro (2011) menunjukkan bahwa residu pupuk organik

(Tithonia diversifolia, pupuk kandang ayam, dan Centrocema pubescens)

berpengaruh nyata pada bobot basah daun, bobot kering biji dan jumlah polong isi. Produktivitas kedelai dengan perlakuan pemupukan Tithonia diversifolia, pupuk kandang ayam, dan Centrocema pubescens berturut-turut adalah 2.43, 2.37, dan 2.42 ton ha-1. Ramadhani (2011) menambahkan, budidaya kedelai organik pada musim tanam II hanya memerlukan penambahan pupuk 50% dari dosis pupuk musim tanam I. Meliala (2011) juga melaporkan bahwa pemberian pupuk organik dengan dosis yang sama dengan musim tanam I tidak berpengaruh nyata terhadap produksi kedelai.

Pemanfaatan Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) dalam sistem budidaya kedelai organik juga sebelumnya telah dipelajari. Handayani (2012) memaparkan bahwa FMA memberikan pengaruh nyata terhadap kandungan P biji kedelai namun tidak berpengaruh nyata terhadap komponen pertumbuhan kedelai. Hasil percobaannya juga menunjukkan indikasi kontaminasi antara petakan yang diberikan dan tidak diberi perlakuan FMA. Untuk itu pembatas antara petakan tersebut atau isolasi jarak diperlukan untuk mengurangi peluang kontaminasi. Selain itu aplikasi FMA pada tanaman inang yang ditumpangsarikan dengan kedelai untuk penghematan biaya produksi juga diperlukan.

Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA)

(17)

5 kedua struktur ini dalam akar yang dikolonisasi. Vesikula merupakan struktur berdinding tipis berbentuk bulat, lonjong, atau tidak teratur. Struktur ini mengandung senyawa lipid. Arbuskula merupakan struktur dalam akar berbentuk seperti pohon berasal dari cabang-cabang hifa intra-radikal setelah hifa cabang menembus dinding sel korteks, dan terbentuk antara dinding sel dan membran plasma. Arbuskula merupakan tempat pertukaran hara antara mikoriza dengan tanaman inang (Simanungkalit 2006). Smith dan Gianinazzi-Pearson (1988) mencatat panjang hifa FMA pada beberapa tanaman berkisar antara 0,71-14,20 m cm-1 akar. Penelitian yang dilakukan oleh Kramadibrata et al. (1995) pada pertanaman kedelai di beberapa lokasi di Jawa Barat dan Lampung diperoleh 19 taksa FMA. Hal ini menunjukkan tingginya keanekaragaman FMA pada pertanaman kedelai.

FMA berperan penting dalam pertumbuhan tanaman, perlindungan tanaman, dan kualitas tanah. Fungi ini tersebar luas dalam sistem pertanian dan sangat relevan untuk pertanian organik karena dapat bertindak sebagai pupuk hayati dalam meningkatkan hasil tanaman. Bukti menunjukkan bahwa sistem pertanian organik dapat meningkatkan kadar inokulum FMA dan tingkat kolonisasi FMA pada tanaman sehingga serapan hara dapat lebih ditingkatkan (Mahmood dan Rizvi 2010). Mikoriza dapat menekan kebutuhan pupuk P sampai 20-30% (Sutanto 2006). Penelitian yang dilakukan oleh Ilbas dan Sahin (2005) menunjukkan bahwa inokulasi FMA dapat meningkatkan pertumbuhan kedelai dan hasil pada tingkat P tanah yang terbatas. Tingkat pemupukan P rendah dikombinasikan dengan inokulasi mikoriza memberikan hasil yang optimal.

Unsur fosfor (P) berperan dalam proses pemecahan karbohidrat untuk energi. Penyimpanan dan peredarannya ke seluruh tanaman dalam bentuk ADP dan ATP. Unsur P berperan dalam pembelahan sel melalui peranan nucleoprotein yang ada dalam inti sel, selanjutnya berperan dalam menentukan sifat-sifat kebakaan dari generasi ke generasi melalui peranan DNA. Unsur ini juga menentukan pertumbuhan akar, mempercepat kematangan dan produksi buah dan biji (Leiwakabessy dan Sutandi 2004). Tisdale et al. (1985) memaparkan bahwa fosfor di dalam tanah dapat dikelaskan menjadi bentuk organik dan inorganik.

Mobilitas hara P dalam tanah sangat rendah karena reaksi dengan komponen tanah dengan ion-ion logam dalam tanah seperti Ca, Al, Fe dan lain-lain membentuk senyawa yang kurang larut dengan tingkat kelarutan berbeda-beda (Leiwakabessy dan Sutandi, 2004). Umumnya ketersediaan fosfor bagi tanaman di dalam tanah juga rendah akibat fiksasi ion-ion logam Ca, Al, dan Fe tersebut, sehingga dapat dilakukan pemupukan fosfor di permukaan tanah. Pemupukan tersebut dapat membuat ketersediaan fosfor bagi tanaman meningkat sehingga dapat digunakan oleh tanaman (Tisdale et al. 1985).

(18)

6

memulai nodulasi dan infeksi mikoriza dalam tanaman legum, sebagian menggunakan gen yang sama, yaitu sym (Manchanda dan Garg 2007).

Taksonomi FMA terus berkembang dan saat ini dikenal 25 genus diantaranya Glomus, Acaulospora, Kuklospora, Pacispora, Gigaspora,

Scutellospora, Ambispora, dan Archaeospora (Redecker et al. 2013). Rhizobium

dan FMA sering berinteraksi secara sinergis dalam hal pengambilan nutrisi dan meningkatkan hasil panen yang lebih baik. Interaksi ini sangat jelas pada tanah-tanah yang memiliki kadar P yang rendah, terutama dengan tambahan fosfat. Interaksi yang menguntungkan ini telah diketahui pada legum berikut:

Stylosanthes guyanensis, Centrosema pubescens, Medicago sativa, Phaseolus sp.,

Glycine max, Arachis hypogea, Vygna unguiculata, Pueraria sp., Trifolium repens,

Trifolium subterranum (Rao 1994).

METODE

Tempat dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan IPB, Cikarawang, Dramaga, Bogor dan Laboratorium Pusat Penelitian Sumber Daya Hayati dan Bioteknologi, IPB. Analisis hara dan tanah dilakukan di Laboratorium Kimia Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumber Daya Lahan, Fakultas Pertanian, IPB. Pengamatan hasil panen dilakukan di Laboratorium Pasca Panen (Post Harvest)

Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, IPB.

Percobaan lapangan dilaksanakan pada bulan Desember 2012 sampai dengan Juni 2013. Adapun rinciannya adalah bulan Desember 2012 - Maret 2013 dilakukan kegiatan budidaya kedelai, bulan Maret - Mei 2013 dilakukan pengamatan hasil panen, April-Juni 2013 dilakukan pengamatan FMA.

Bahan dan Alat

Bahan tanaman yang digunakan dalam percobaan ini adalah benih kedelai varietas anjasmoro yang ditanam dengan populasi 400.000 tanaman ha-1 (200.000 lubang ha-1 dengan jumlah benih 2 tanaman lubang-1) serta benih sorghum varietas numbu sebagai tanaman inang FMA. Bahan-bahan kimia yang digunakan antara lain alkohol 70%, HCl 2%, KOH 2.5%, larutan trypan blue, dan aquades.

(19)

7 ini didasarkan pada penelitian oleh Kusheryani dan Aziz (2005) yakni penggunaan Tagetes erecta dan serai dapat menurunkan intensitas serangan hama (OPT) dan penyakit pada tanaman kedelai.

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi alat budidaya tanaman dan alat – alat untuk pengamatan. Alat yang digunakan untuk mengamati infeksi akar oleh mikoriza, ekstraksi spora, identifikasi dan menghitung spora di laboratorium meliputi mikroskop, saringan spora, pinset spora, cawan petri, pipet, kaca preparat, cover glass, gunting akar, dan timbangan analitik.

Metode Rancangan

Percobaan ini menggunakan Rancangan Tersarang (nested design) dengan dua faktor, yaitu dosis fungi mikoriza arbuskula (FMA) yang terdiri atas empat tingkat yakni 0, 1, 2, 2.5 g lubang-1 dan keberadaan sorghum sebagai inang FMA yang terdiri atas dua tingkat yakni petak tidak ditanami sorghum dan ditanami sorghum. Ulangan tersarang pada faktor dosis FMA dan faktor sorghum diacak di dalam ulangan tersebut, sehingga terdapat empat blok percobaan berdasarkan faktor dosis FMA. Jarak antar blok dosis adalah 2 - 7 m. Faktor keberadaan sorghum diulang sebanyak empat ulangan pada setiap faktor dosis FMA, sehingga terdapat 32 satuan percobaan. Faktor keberadaan sorghum merupakan hasil kajian dari penelitian Handayani (2012) yang merekomendasikan tanaman inang sebagai perlakuan alternatif untuk meningkatkan kepadatan spora secara alami. Seluruh data percobaan dianalisis dengan analisis gabungan rancangan tersarang untuk membandingkan variabel dengan perlakuan keberadaan sorghum dan antar dosis FMA. Model aditif yang digunakan sebagai alat bantu untuk menjelaskan fenomena yang terjadi adalah:

Yijk = µ + Mi +Uk|Mi + Sj + (M*S)ij + εijk, keterangan:

Yijk = Respon terhadap perlakuan dosis FMA ke-i, keberadaan sorghum ke-j, dan ulangan ke-k

µ = Rataan umum

Mi = Pengaruh utama dosis FMA ke-i (i=1,2,3,4)

Sj = Pengaruh utama keberadaan tanaman soghum ke-j (j=1,2) Uk|Mi = Pengaruh ulangan ke-k (k=1,2,3,4) tersarang pada perlakuan

dosis FMA ke-i

(M*S)ij = Pengaruh interaksi antara dosis FMA dan keberadaan tanaman sorghum, pada dosis FMA ke-i, dan keberadaan tanaman sorghum ke-j

εijk = Galat pada dosis FMA ke-i, keberadaan tanaman sorghum ke-j, dan ulangan ke-k

Data selanjutnya dianalisis menggunakan sidik ragam (ANOVA), apabila diperoleh hasil yang berpengaruh nyata pada interaksi antara dua faktor tersebut, dilakukan uji lanjut dengan Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf kesalahan 5%.

Pelaksanaan Penelitian

(20)

8

pencampuran pupuk kandang (5 ton ha-1), pupuk hijau Tithonia diversifolia (2 ton ha-1), abu sekam (2 ton ha-1), dan dolomit (2 ton ha-1) ke dalam tanah yang diaplikasikan secara merata pada masing-masing petak percobaan. Ukuran petak percobaan adalah 3 m x 2 m. Lahan percobaan dikelompokkan menjadi 4 percobaan tunggal, masing-masing percobaan tersebut didasarkan pada perlakuan dosis FMA yang berbeda.

Penanaman Kedelai. Penanaman kedelai dilakukan setelah pupuk hijau terdekomposisi bersama input lainnya yaitu pupuk kandang, abu sekam, dan dolomit. Jarak tanam yang digunakan adalah 25 cm x 20 cm. Benih kedelai ditanam sebanyak empat benih tiap lubang selanjutnya dilakukan penjarangan sehingga hanya dua tanaman tiap lubang yang dibiarkan tumbuh. Benih kedelai yang ditanam sebelumnya diberikan perlakuan seed treatment dengan inokulum

Rhizobium spp.

Penanaman Sorghum. Penanaman sorghum pada petakan yang mendapat perlakuan tanaman inang dilakukan di tengah petak secara alur mengikuti baris tanaman kedelai. Waktu penanaman dilakukan bersamaan dengan benih kedelai. Jarak tanam yang digunakan adalah 75 cm x 20 cm diantara barisan tanaman kedelai sehingga barisan sorghum berjarak 37.5 cm dari barisan kedelai. Penanaman sorghum sama dengan penanaman kedelai yakni benih sorghum ditanam sebanyak empat benih per lubang selanjutnya dilakukan penjarangan sehingga hanya dua tanaman tiap lubang yang dibiarkan tumbuh.

Penanaman Tanaman Pengendali OPT. Tanaman yang digunakan untuk mengendalikan OPT adalah Tagetes erecta dan serai (Andropogon nardus). Tanaman Tagetes erecta dan serai ditanam 2 minggu setelah penanaman kedelai dan sorghum. Tanaman Tagetes erecta ditanam dengan jarak tanam 75 cm x 20 cm di tengah petak percobaan yang tidak ditanami sorghum (perlakuan keberadaan inang). Tanaman serai ditanam di luar petakan pada setiap percobaan tunggal. Serai dapat mengeluarkan aroma yang dapat mengendalikan serangan hama.

Aplikasi FMA. percobaan dilakukan sesuai dengan rancangan yang telah disusun. Aplikasi FMA ditabur pada setiap lubang tanam, baik lubang tanam kedelai maupun sorghum. Aplikasi tersebut dilakukan bersamaan dengan penanaman benih kedelai dan sorghum.

Pemeliharaan. Pemeliharaan yang dilakukan meliputi penyulaman benih, baik tanaman kedelai maupun sorghum yang tidak tumbuh atau tumbuh abnormal pada saat umur 1 minggu setelah tanam (MST) untuk tanaman kedelai dan 1-4 MST untuk tanaman sorghum. Pemeliharaan lainnya adalah pengendalian gulma, serta pengendalian hama dan penyakit. Pengendalian gulma dilakukan secara manual dengan mencabut gulma. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan dengan cara menyemprotkan pestisida nabati berupa larutan jengkol dan serai.Kegiatan pembumbunan juga dilakukan dengan tujuan untuk mencegah tanaman rebah.

(21)

9

Pengamatan Kedelai

Pengamatan dilakukan terhadap peubah vegetatif dan generatif. Tanaman yang dijadikan sebagai tanaman contoh adalah 10 tanaman per petak. Adapun peubah yang diamati pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Peubah vegetatif dan generatif tanaman kedelai yang diamati

No Peubah Satuan Waktu 3 Jumlah daun trifoleat helai setiap minggu selama 3-8 MST 4 Diameter batang cm setiap minggu selama 5-8 MST

5 Umur berbunga kedelai MST - -

6 Jumlah bintil akar - 3, 5, 7 MST - 7 Bobot basah daun, batang,

tajuk, akar, dan bintil akar

g 3, 5, 7 MST diambil 1 tanaman per petakan 8 Bobot kering daun, batang,

tajuk, akar, dan binitil akar

16 Bobot biji kering per petak bersih

g setelah panen -

17 Bobot biji kering per petak pinggir

MST: minggu setelah tanam, OPT: organisme pengganggu tanaman

Pengamatan Fungi Mikoriza Arbuskula

(22)

10

Sampel tanah setelah tanam diperoleh dari seluruh petak percobaan yang dicampur (komposit) berdasarkan perlakuan, sehingga terdapat 8 sampel yang masing-masing diambil sebanyak ± 100 g perlakuan-1. Tanah yang yang diambil adalah 20 cm lapisan top soil dan akar yang diambil adalah akar sekunder dari tanaman kedelai maupun sorghum. Metode pengambilan sampel akar juga dilakukan sama dengan sampel tanah setelah tanam, yakni akar diambil dari beberapa tanaman kedelai dan sorghum yang berada di seluruh petak percobaan kemudian dilakukan pencampuran berdasarkan perlakuan dan tanamannya, sehingga terdapat 8 sampel akar kedelai dan 4 sampel akar sorghum.

Pengamatan infeksi akar. Pengamatan infeksi akar dilakukan dengan pewarnaan akar yang menggunakan modifikasi metode Phyllip dan Hyman (1970). Metode pewarnaan tersebut yaitu 1) potongan akar sekunder kedelai dan sorghum dibersihkan, yakni dicuci dengan air mengalir sehingga kotoran dan tanah yang melekat pada akar hilang, 2) potongan akar yang telah dibersihkan direndam dalam larutan KOH 10% hingga akar berwarna kuning bening, 3) akar kemudian dibilas dengan air mengalir dan direndam dalam larutan HCl 2% selama ±24 jam, 4) akar dibilas kembali dengan air mengalir, kemudian direndam dalam larutan staining trypan blue 0.05% hingga berwarna biru, 5) akar diangkat kemudian direndam dengan larutan destaining selama ± 1 jam sehingga warna akar tidak terlalu pekat untuk diamati.

Akar yang telah diberi pewarnaan dipotong dengan panjang ± 1 cm sebanyak 10 potong untuk masing-masing sampel akar. Sepuluh potongan tersebut diletakkan di atas preparat dan ditutup dengan cover glass. Preparat tersebut digunakan untuk pengamatan infeksi akar dengan menggunakan mikroskop. Infeksi akar diamati berdasarkan keberadaan vesikula, arbuskula, dan hifa yang menginfeksi perakaran kedelai dan sorghum.

Adapun perhitungan infeksi akar dilakukan dengan menggunakan persamaan Giovannety dan Mosse (1980) yaitu:

(23)

11

Perhitungan spora. Kepadatan spora dalam penelitian ini dapat diketahui dengan melakukan perhitungan spora yaitu mengetahui banyaknya spora yang terkandung dalam 100 g sampel tanah yang dianalisis. Kepadatan spora dapat dihitung dengan menggunakan persamaan berikut:

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Hasil analisis tanah awal berdasarkan kriteria penilaian sifat-sifat kimia tanah menurut Pusat Penelitian Tanah (1983), blok percobaan dosis FMA 1, 2, dan 2.5 g lubang-1 menunjukkan reaksi tanah agak masam yaitu dengan nilai pH secara berurutan sebesar 5.50, 5.60, 5.50, dan 5.50. Kadar C-organik untuk blok percobaan dosis 0, 2, dan 2.5 g lubang-1 tergolong rendah yakni 1.51%, 1.91%, dan 1.43%. Adapun blok percobaan dosis 1 g lubang-1 tergolong tinggi yakni sebesar 3.03%. Unsur makro Ca pada keempat blok tergolong sedang hingga tinggi, yakni 10.11, 7.42, 7.29, 11.09 me 100 g-1. Unsur makro Mg pada keempat blok juga tergolong sedang hingga tinggi yaitu 1.58, 1.37, 2.03, dan 2.97 me 100 g-1. Unsur makro K pada keempat blok tergolong rendah hingga sedang yaitu 0.22, 0.18, 0.27, dan 0.44 me 100 g-1. Kadar unsur essensial makro P pada keempat blok sangat rendah sebesar 6.20, 7.60, 6.70, dan 6.00 ppm, namun untuk unsur N tergolong rendah hingga sedang yakni 0.15, 0.29, 0.18, dan 0.14%.

Hasil analisis tanah awal menunjukkan keempat blok bersifat agak masam. Sifat agak masam dapat mengurangi optimasi penyerapan unsur P bagi tanaman kedelai karena pengaruh unsur Al yang dapat memfiksasi unsur P dalam kondisi tanah yang agak masam. Pengaruh negatif ini harus diatasi yakni dengan dilakukan penambahan kapur. Kapur yang bersifat basa dapat menetralisir sifat asam dalam tanah sehingga pengaruh negatif Al terhadap tanaman dapat ditiadakan.

Kadar C-organik pada blok percobaan dosis 0, 2, dan 2.5 g FMA lubang-1 berbeda dengan blok dosis 1 g FMA lubang-1. Hal ini disebabkan oleh dekomposisi serasah daun bambu dan tanaman pagar yang posisinya berdekatan dengan lahan dosis 1 g lubang-1. Kondisi ini tidak berpengaruh secara signifikan karena unsur makro esensial lain seperti keberadaan N, P, dan K memiliki status yang sama pada seluruh blok percobaan. Upaya untuk meningkatkan kadar C-organik adalah dengan menambahkan bahan C-organik berupa pupuk kandang sapi dan cacahan pupuk hijau Tithonia diversivolia. Menurut Handayani (2012), pupuk hijau Tithonia diversivolia unggul pada unsur hara C (54.88%), N (3.06%), K (5.75%), dan Cu (32.40%). Hal ini sekaligus dapat meningkatkan ketersediaan unsur-unsur N, K, dan Cu.

(24)

12

FMA dapat mengatasi kekurangan tersebut karena dapat meningkatkan kemampuan akar dalam menyerap unsur P secara maksimal. FMA dapat memproduksi enzim ekstraseluler asam fosfatase yang mampu mengkatalisasi pelepasan P dari kompleks organik di dalam tanah menjadi bentuk P anorganik yang tersedia bagi tanaman, sehingga hara diserap dengan mudah oleh hifa eksternal FMA dan ditransfer ke inang melalui akar yang terinfeksi (Jakobsen dan Rosendhal 1990; Marshner dan Dell 1994).

Unsur makro K memiliki peran dalam memperkuat batang tanaman, meningkatkan pembentukan warna hijau dan karbohidrat pada buah, serta meningkatkan ketahanan tanaman terhadap penyakit (Rosmarkam dan Yuwono 2002). Ketersediaan K yang sangat rendah dapat menimbulkan dampak negatif seperti tanaman mudah rebah. Abu sekam padi adalah salah satu sumber K yang dapat meningkatkan unsur K. Menurut Melati et al. (2008), abu sekam padi merupakan sumber K alternatif yang baik bahkan dapat menurunkan intensitas serangan hama dan infeksi penyakit. Rukmi (2009) menambahkan bahwa ketersediaan unsur K yang cukup secara garis besar dapat memberikan efek keseimbangan, baik pada nitrogen maupun pada fosfor.

Hasil analisis kejenuhan basa dan KTK tanah menunjukkan kondisi yang tinggi dan sedang pada keempat blok. Menurut Hardjowigeno (2007), kejenuhan basa yang tinggi harus diimbangi dengan KTK tinggi sehingga dapat meningkatkan kesuburan tanah. Nilai KTK yang tinggi dapat menjerap dan menyediakan unsur hara lebih baik daripada tanah dengan KTK rendah. Upaya untuk meningkatkan nilai KTK adalah dengan menambahkan pupuk organik. Hal ini didukung oleh Stevenson (1982) yang menyatakan bahwa semakin tinggi bahan organik tanah semakin tinggi pula KTK tanah.

Pertumbuhan vegetatif kedelai (1-7 MST) terjadi pada suhu 25.1 – 25.80C, dan perkembangan generatif yang diawali dari terbentuknya bunga (5 MST) hingga menjadi polong yang siap panen (13-14 MST) terjadi pada suhu 25.8 – 26.20C. Kondisi tersebut sesuai dengan kriteria pertumbuhan optimal kedelai menurut Sumarno dan Manshuri (2007) bahwa suhu optimum yang dikehendaki tanaman kedelai adalah 23-270C.

Curah hujan merupakan faktor lingkungan yang juga berpengaruh dalam pertumbuhan dan perkembangan kedelai. Data curah hujan dari awal penanaman hingga panen menunjukkan curah hujan hujan ideal yakni 358.8 mm bulan-1 pada fase perkecambahan, 509.8 – 406.2 mm/bulan pada fase vegetatif dan 289.8 mm bulan-1 pada fase generatif, sehingga rata-rata curah hujan keselurahan adalah 391.2 mm bulan-1. Menurut Ristek (2010) kondisi ini sesuai dengan curah hujan yang diharapkan untuk pertumbuhan optimum yaitu 100 – 400 mm/bulan.

(25)

13 akhir penuaan polong tidak mampu menahan tegaknya tanaman tersebut sehingga beberapa petak rebah kembali hingga panen.

Pertanaman sorghum tidak mengalami gangguan lingkungan yang berarti sehingga tanaman tetap tegak hingga siap panen. Keberadaanya justru menjadi inang alternatif hama yang menyerang kedelai. Hama yang terlihat menyerang tanaman sorghum adalah belalang (Valanga sp.) dan ulat bulu (Dasychira inclusa). Penyakit yang menyerang tanaman ini tidak ditemukan. Sorghum tidak menghasilkan biji bernas pada akhir masa panen. Hal ini mungkin disebabkan oleh kurangnya sumber hara P dari tanah karena terserap lebih dulu untuk pengisian polong kedelai. Kawanan burung di lokasi penelitian juga diduga menjadi penyebab kehampaan malai tersebut.

Hama dan penyakit yang menyerang kedelai cukup rendah. Hama pada fase perkecambahan adalah semut dan burung. Hama pada fase vegetatif antara lain ulat bulu (Dasychira inclusa), ulat penggulung daun (Lamprosema indicate), ulat grayak (Spodoptera litura), belalang (Valanga sp.), ayam, angsa, kambing, dan kerbau. Hama pada fase generatif atau pada saat pengisian polong yaitu kepik tungkai besar (Anaplocnemis phasina) dan kepik polong (Riptortus linearis). Pengendalian hama dilakukan pada akhir fase vegetatif (6 MST), pada saat awal pengisian polong (8 MST) dan saat penuaan polong (10 MST). Pengendalian tersebut dilakukan dengan penyemprotan pestisida nabati berupa pencampuran larutan jengkol dan serai. Keberadaan tanaman serai pada lingkungan sekitar lahan pertanian serta keberadaan tanaman tagetes yang sengaja ditanam di lingkungan petakan juga diduga turut menekan serangan hama. Penyakit yang menyerang beberapa tanaman kedelai adalah soybean mosaic virus (SMV). Upaya yang dilakukan untuk mencegah penularan virus tersebut adalah dengan melakukan eradikasi.

Analisis Ragam Seluruh Data Pertumbuhan dan Produksi Kedelai dengan Perlakuan Dosis FMA dan Keberadaan Tanaman Sorghum sebagai Inang FMA

Variabel yang diamati selama penelitian dianalisis menggunakan analisis ragam sehingga pengaruh dari perlakuan yang diberikan pada percobaan dapat diketahui. Adapun rekapitulasi hasil analisis ragam disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Rekapitulasi hasil analisis ragam seluruh data pertumbuhan dan produktivitas kedelai dengan perlakuan dosis FMA dan keberadaan tanaman sorghum

Peubah Umur FMA Sorghum M*S KK (%) (MST) (M) (S)

Tinggi tanaman (cm) 3 ** tn tn 7.45

4 ** tn tn 6.22

5 ** tn tn 4.47

6 ** tn tn 4.19

7 tn tn tn 5.34

8 tn tn tn 6.44

Jumlah daun trifoleat 3 tn tn tn 4.93

4 ** tn tn 3.54

(26)
(27)

15

Pertumbuhan Tanaman Kedelai dengan Perlakuan Dosis FMA dan Keberadaan Tanaman Sorghum

Dosis FMA yang diberikan pada pertanaman kedelai memberikan pengaruh pada peubah pertumbuhan tanaman kedelai. Pengaruh yang diberikan FMA pada dosis tertentu dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Pertumbuhan kedelai dengan perlakuan dosis FMA

(28)

16 taraf α = 1%, BB = bobot basah, BK = bobot kering. Angka yang diikuti huruf yang berbeda dalam setiap baris peubah menunjukkan berbeda nyata berdasarkan DMRT 5%.

Hubungan antara dosis FMA dengan peubah yang diamati disajikan pada Gambar 1. Gambar tersebut memperlihatkan bahwa pertumbuhan kedelai menunjukkan tren kurva kuadratik terbuka ke bawah, kecuali Gambar 1(b). Hal ini berarti bahwa pada dosis tertentu terdapat nilai optimum varibel tersebut. Dosis yang menunjukkan nilai optimum rata-rata variabel pertumbuhan dari kombinasi persamaan kuadrat Gambar 1 adalah 2.08 g lubang-1.

(29)

17

Gambar 1 Lanjutan

Perlakuan keberadaan tanaman sorghum sebagai inang FMA hanya berpengaruh nyata terhadap kadar N daun. Nilai rata-rata pertumbuhan tanaman kedelai akibat pengaruh tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Pertumbuhan kedelai dengan perlakuan keberadaan tanaman sorghum

(30)

18

Produksi Kedelai dengan Perlakuan Dosis FMA dan Keberadaan Tanaman Sorghum

Dosis FMA yang diberikan pada pertanaman kedelai memberikan pengaruh juga pada produksi kedelai, yaitu terjadi pada jumlah buku produktif, jumlah polong hampa tanaman-1, bobot kering biji per tanaman, dan bobot kering biji petak bersih. Data rata-rata produksi kedelai berdasarkan pengaruh perlakuan dosis FMA pada taraf yang berbeda diperlihatkan pada Tabel 5.

Tabel 5 Produksi kedelai 14 MST dengan perlakuan dosis FMA

Peubah Uji Dosis FMA (g lubang

(31)

19 Data produksi kedelai berdasarkan perlakuan dosis FMA memperlihatkan tren kurva kuadratik terbuka ke atas. Hal ini berarti produksi dapat ditingkatkan dengan melebihi dosis FMA tertinggi pada penelitian ini yaitu 2.5 g FMA lubang-1 atau penanaman tanpa FMA. Gambar 2 menunjukkan tren kurva produksi kedelai berdasarkan perlakuan dosis FMA.

(a)

(b)

(c)

Gambar 2 Kurva produksi kedelai berdasarkan dosis FMA: (a) Bobot kering biji tanaman per tanaman (b) Jumlah buku produktif (c) Bobot kering biji petak bersih

Keberadaan tanaman sorghum juga berpengaruh terhadap produksi kedelai yang dibudidayakan secara organik. Pengaruh tersebut terdapat pada jumlah polong hampa tanaman-1 dan produktivitas kedelai. Petakan yang ditanami sorghum memiliki jumlah polong hampa lebih tinggi dibandingkan petakan yang tidak ditanami sorghum, yaitu 44.2 dan 43.1 polong. Petakan yang ditanami sorghum memiliki produktivitas lebih rendah dibandingkan petakan yang tidak

ytanpa sorghum = 1.5924x2 - 3.6671x + 11.339

BK biji/tanaman (tanpa sorghum) BK biji/tanaman (ada sorghum)

ytanpa sorghum = 2.276x2 - 5.0385x + 18.457

Jumlah buku produktif (tanpa sorghum) Jumlah buku produktif (ada sorghum)

ytanpasorghum = 102.25x2 - 261.67x + 776.73

(32)

20

ditanami sorghum, yaitu 1.05 dan 1.25 ton ha-1. Pengaruh yang diberikan perlakuan tersebut terhadap produksi kedelai terlihat dalam Tabel 6.

Tabel 6 Produksi kedelai 14 MST dengan perlakuan keberadaan sorghum

Peubah Uji

F

Keberadaan sorghum Rata-rata Ada sorghum Tidak ada sorghum

Jumlah tanaman panen 6 m-2 tn 85.3 85.8 85.5

Pengaruh Interaksi Dosis FMA dan Keberadaan Tanaman Sorghum terhadap Karakter Agronomi Kedelai

Perlakuan dosis FMA dan keberadaan tanaman sorgum sebagai inang FMA memberikan pengaruh interaksi terhadap pertumbuhan kedelai yakni kadar N daun, kadar P daun, dan jumlah cabang 8 MST. Pengaruh interaksi tersebut terlihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Pengaruh interaksi dosis FMA dan keberadaan tanaman sorghum terhadap karakter agronomi kedelai

Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada masing – masing peubah tidak berbeda nyata dengan uji DMRT taraf α = 5%.

Tabel 7 memperlihatkan bahwa peningkatan dosis FMA dapat meningkatkan kadar N dan P daun. Keberadaan sorghum dapat menekan kebutuhan FMA untuk meningkatkan kadar N dan P daun, sehingga untuk menghasilkan kadar N dan P daun tertinggi diperlukan dosis FMA yang lebih rendah (1 g lubang-1) dibandingkan jika tanpa ada tanaman sorghum di petakan.

(33)

21 tanaman sorghum, kadar N dan P lebih tinggi daripada tanpa sorghum. Keberadaan sorghum membuat dosis optimum FMA sudah tercapai untuk menghasilkan kadar N dan P daun tertinggi. Sebaliknya jika tanpa tanaman sorghum, kebutuhuan FMA terus meningkat untuk meningkatkan kadar N dan P daun, sehingga hubungan N dan P daun cenderung membentuk pola linier positif. Kadar N daun yang cukup untuk pertumbuhan kedelai adalah 4.50 – 5.50%

(34)

22

Produksi Sorghum dan Tagetes dengan Perlakuan Dosis FMA

Keberadaan sorghum sebagai perlakuan juga dianalisis produksinya untuk melihat pengaruh dosis FMA terhadap inangnya. Data yang diperoleh menunjukkan bahwa dosis FMA mempengaruhi produksi sorghum dan jumlah tanaman tagetes sebagai tanaman sela dalam petakan yang tidak ditanami sorghum. Pengaruh dosis FMA terhadap produksi sorghum terlihat pada Tabel 8. Jumlah tanaman sorghum, bobot tajuk, dan bobot malai sorghum meningkat dengan penambahan dosis FMA. Jumlah tanaman tagetes tidak banyak dipengaruhi oleh dosis FMA.

Tabel 8 Rata-rata produksi sorghum dan tagetes setiap petak dengan perlakuan dosis FMA

Dalam setiap petak percobaan berukuran 6m2.

Kelimpahan Spora dan Tingkat Infeksi Akar Berdasarkan Dosis FMA serta Keberadaan Tanaman Sorghum

Kelimpahan spora dan tingkat infeksi akar merupakan indikator untuk mengetahui pengaruh FMA terhadap pertumbuhan dan produksi kedelai. Kelimpahan spora terdiri atas kepadatan dan kekayaan spora dalam 100 g sampel tanah dari suatu petakan sedangkan tingkat infeksi akar merupakan persentase asosiasi antara FMA dengan tanaman inang dan kedelai. Perlakuan Dosis FMA berpengaruh terhadap hampir seluruh peubah mikoriza yang diamati, namun perlakuan keberadaan sorghum tidak berpengaruh terhadap seluruh peubah tersebut. Adapun rekapitulasi hasil analisis ragam yang dapat menggambarkan data mikoriza yang diamati tergambar dalam Tabel 9.

(35)

23 Kepadatan spora sebelum tanam pada keempat blok percobaan tunggal menunjukkan perbedaan yang tidak nyata dan rata-rata yang tidak jauh berbeda. Pemberian dan penambahan FMA saat penanaman kedelai dan sorghum sebagai inang FMA terbukti memberikan pengaruh nyata sehingga kepadatan spora meningkat berdasarkan perlakuan dosis FMA 0, 1, 2 dan 2.5 g FMA lubang-1. Peningkatan kepadatan spora tersebut terlihat pada Gambar 5.

Keberadaan tanaman sorghum memperlihatkan kepadatan spora tidak berbeda nyata. Hal ini tergambar dari hasil uji statistik pada Tabel 9, walaupun berdasarkan perhitungan rata-rata petak yang mendapat perlakuan tanaman sorghum memiliki kepadatan yang lebih daripada petakan yang tidak mendapat perlakuan tanaman sorghum. Rata-rata kepadatan spora tersebut dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5 Kepadatan spora sebelum dan sesudah tanam berdasarkan dosis FMA dan keberadaan tanaman sorghum

Kepadatan spora yang tinggi berpengaruh baik terhadap tanaman karena berpotensi untuk melakukan ekstensifikasi miseliumnya. Gambar 6 memperlihatkan bahwa hubungan kepadatan spora dengan jumlah polong dan bobot kering biji tanaman-1 sebagai variabel produksi kedelai, membentuk kurva kuadratik terbuka ke atas. Pola ini sama dengan hubungan antara dosis FMA dan beberapa komponen produksi tanaman. Kepadatan spora pada rentang dosis 1 hingga 2.5 g FMA meningkatkan jumlah polong dan bobot kering biji tanaman-1 secara linier serta diduga variabel tersebut akan terus meningkat dan lebih tinggi pada dosis lebih dari 2.5 g FMA lubang-1 atau tanpa FMA.

Gambar 6 Hubungan antara kepadatan spora dengan jumlah polong dan bobot kering biji per tanaman

83.6 88.6 91.6 76.6 93.3

Sebelum tanam Sesudah tanam, tanpa sorghum Sesudah tanam, ada Sorghum

(36)

24

Ekstensifikasi erat kaitannya dengan infeksi terhadap akar tanaman. Tabel 9 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan infeksi hifa berdasarkan tingkat dosis FMA. Persentase infeksi meningkat seiring peningkatan dosis FMA yang diberikan. Hal ini terjadi pada akar kedelai dan akar sorghum. Keadaan tersebut menunjukkan korelasi antara peningkatan dosis FMA, peningkatan kepadatan spora, dan peningkatan derajat infeksi hifa mikoriza terhadap akar. Peningkatan persentase infeksi pada akar kedelai dan sorghum disajikan dalam Gambar 7. Infeksi tertinggi terhadap akar kedelai maupun akar sorghum terjadi pada perlakuan dosis FMA 2.5 g lubang-1 sedangkan infeksi terendah kedua jenis akar tersebut terjadi pada dosis FMA 0 g lubang-1.

Gambar 7 Derajat infeksi hifa mikoriza terhadap akar kedelai dan akar sorghum berdasarkan dosis FMA

Infeksi mikoriza terhadap akar kedelai berdasarkan keberadaan tanaman sorghum menunjukkan tidak berbeda nyata (Tabel 9 dan Gambar 8). Adapun infeksi mikoriza terhadap akar kedelai berdasarkan dosis FMA menunjukkan perbedaan yang nyata. Infeksi pada akar kedelai yang ditanami sorghum lebih tinggi daripada akar kedelai yang tidak ditanami sorghum pada seluruh tingkat dosis perlakuan. Hal tersebut terlihat pada Gambar 9.

(37)

25

Gambar 9 Derajat infeksi hifa mikoriza terhadap akar kedelai berdasarkan dosis FMA dan keberadaan sorghum

Genus spora yang terdapat di dalam lahan penelitian sebelum dilakukan aplikasi dosis FMA dan perlakuan keberadaan tanaman sorghum antara lain

Glomus dan Gigaspora. Perlakuan dosis mikoriza dan sorghum pada petakan

mengakibatkan adanya genus tambahan yang ditemukan sehingga pada akhir penelitian terdapat genus Glomus, Gigaspora, dan Acaulospora di dalam petakan tersebut. Hal ini terjadi karena FMA yang diberikan merupakan kombinasi dari spesies Glomusmanihotis, Gigaspora sp., dan Acaulospora sp.

Sebaran genus yang diamati pada penelitian ini (Gambar 10) menunjukkan bahwa Glomus, Gigaspora, dan Acaulospora terdapat pada petakan yang mendapat perlakuan dosis FMA yakni 1, 2, dan 2.5 g FMA lubang-1. Petakan yang tidak mendapat perlakuan dosis FMA hanya terdapat genus Glomus dan

Gigaspora sehingga sebaran genus tersebut sesuai dengan keberadaannya sebelum

diberikan perlakuan dosis FMA. Hal ini menunjukkan bahwa penelitian ini tidak menunjukkan kontaminasi genus FMA terhadap petakan yang tidak mendapat perlakuan FMA, sehingga jarak antar blok percobaan berdasarkan dosis FMA sejauh 7 m cukup untuk membuat barrier FMA tidak membuat kontaminasi antar blok.

Gambar 10 Sebaran genus FMA berdasarkan dosis FMA

(38)

26

Pembahasan

Pengaruh Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) terhadap Pertumbuhan dan Produksi Kedelai

Sebelum dilakukan aplikasi FMA, spora di lapang sudah tersedia cukup banyak (Gambar 5). Namun demikian, keberadaan spora tersebut belum tentu kompatibel dengan tanaman kedelai serta kualitas spora tersebut belum diketahui secara pasti, yakni daya aktif serta tingkat infeksinya terhadap akar. Oleh itu aplikasi FMA masih perlu dilakukan karena FMA tersebut sudah diketahui identitas serta kualitasnya.

Dosis FMA secara umum mempengaruhi pertumbuhan dan produksi kedelai (Tabel 1). Peningkatan dosis FMA meningkatkan nilai variabel pertumbuhan kedelai membentuk kurva kuadratik terbuka ke bawah. Hal ini berarti terdapat titik dosis optimum yang dapat meningkatkan pertumbuhan kedelai. Nilai rata-rata variabel pertumbuhan tertinggi yang diperoleh dari perhitungan menggunakan rumus titik optimum persamaan kuadrat menunjukkan bahwa pertumbuhan optimum kedelai dengan perlakuan FMA dicapai pada dosis 2.08 g FMA lubang-1.

Pertumbuhan kedelai yang berbanding lurus dengan pemberian dosis FMA sangat erat kaitannya dengan kadar N di dalam daun karena fungsinya sebagai pengatur pertumbuhan tanaman. Grafik kadar N daun (Gambar 3) pada tanaman kedelai juga membentuk kurva kuadratik terbuka ke bawah, sehingga kondisi tersebut membuat pola pertumbuhan tanaman secara umum setara dengan kadar N yang terkandung di dalamnya. Kondisi ini yang membuat seluruh grafik variabel pertumbuhan kedelai membentuk kurva kuadratik terbuka ke bawah dengan selang dosis optimum yang sama.

Peningkatan kadar N pada daun kedelai mungkin juga dipengaruhi keberadaan bakteri Rhizobium sp. yang diberikan pada benih kedelai di awal tanam. Rhizobium bersifat sinergis dengan mikoriza (penggunaan gen secara bersama pada tahap prekolonisasi) untuk menjalankan fungsinya masing-masing sehingga keduanya bekerja dengan maksimal. Hal ini sesuai dengan pemaparan Rao (1994) bahwa rhizobium dan FMA sering berinteraksi secara sinergis menghasilkan bintil akar, pengambilan nutrisi, dan hasil panen yang lebih baik.

(39)

27 Produksi kedelai dipengaruhi dosis FMA juga karena perannya meningkatkan ketersediaan unsur hara fosfor (P). Penelitian ini menunjukkan bahwa peningkatan dosis FMA dapat meningkatkan kepadatan spora sesudah tanam, infeksi terhadap akar kedelai dan infeksi terhadap akar sorghum. Hasil yang sama dipaparkan oleh Handayani (2012) bahwa peningkatan dosis FMA juga dapat meningkatkan kepadatan spora dan persen infeksi akar kedelai. Kepadatan spora dan infeksi akar yang tinggi mampu melakukan ekstensifikasi fungsi akar dalam menyerap unsur P dalam tanah. Hal ini terlihat pada kadar P daun yang membentuk kurva kuadratik terbuka ke bawah yang berarti terdapat peningkatan kadar P daun seiring peningkatan dosis FMA sampai dosis tertentu. Selang dosis optimum yang dapat meningkatkan kadar P daun optimum sama dengan variabel pertumbuhan lainnya yakni antara 1 hingga 2.5 g lubang-1.

Keberadaan tanaman sorghum dan tagetes yang ditanam di dalam petakan yang sama dengan tanaman kedelai sangat memungkinan persaingan dalam penyerapan hara antara tanaman. Kondisi ini yang membuat pola kurva produksi berlawanan dengan kadar P daun (kurva pertumbuhan). Kadar P daun dianalisis pada umur 7 MST sedangkan proses perkembangan kedelai yang menjadi proses produksi polong dan biji kedelai terjadi sejak 6 hingga 14 MST. Selang waktu perkembangan tersebut sangat memungkinkan terjadinya persaingan hara, sehingga proses perkembangan kedelai tidak maksimal. Dugaan ini menjadi temuan untuk rekomendasi penelitian selanjutnya bahwa pertanaman kedelai harus terhindar dari persaingan hara dengan tanaman lain.

Bobot kering 100 biji berdasarkan perlakuan 0, 1, 2, 2.5 g FMA lubang-1 adalah 16.22, 16.10, 16.14, 16.75 g. Produktivitas berdasarkan dosis tersebut berturut-turut yaitu 1.35, 1.08, 1.04, dan 1.15. Nilai tersebut lebih dari potensi bobot kering 100 biji varietas anjasmoro berdasarkan deskripsi Balitkabi (2008) yaitu 14.80-15.30 g sedangkan produktivitasnya lebih rendah dari potensi yaitu 2.03-2.25 ton ha-1 dan hasil penelitian Handayani (2012) yang mencapai 2.40 ton ha-1. Lebih rendahnya produktivitas tersebut disebabkan oleh input hara yang rendah. Akumulasi pupuk organik yang diberikan pada penelitian ini hanya 11 ton ha-1, sedangkan pupuk organik yang diaplikasikan pada penelitian Handayani (2012) mencapai 23.75 ton ha-1. Hal ini menunjukkan bahwa pupuk organik sebagai sumber hara dengan dosis 11 ton ha-1 belum dapat memenuhi kebutuhan hara tanaman. Penambahan FMA yang tidak diimbangi dengan stok sumber hara akan membuat hara yang disediakan oleh FMA untuk tanaman terbatas. Hal ini terkait dengan sifat FMA yang membantu penyediaan hara berdasarkan sumber hara yang tersedia.

Pertumbuhan dan produksi tanaman sorghum sebagai tanaman inang FMA serta pertumbuhan tanaman tagetes juga tampak dipengaruhi dosis FMA. Peningkatan dosis FMA berbanding lurus dengan peningkatan rata-rata jumlah tanaman sorghum per petak, bobot malai per petak, bobot tajuk per petak dan jumlah tanaman tagetes per petak (Tabel 8).

(40)

28

mikroorganisme tanah termasuk FMA untuk menyediakan hara tersebut sehingga dapat diserap tanaman. FMA pada pupuk organik akan lebih berperan aktif.

Pengaruh Tanaman Sorghum sebagai Inang FMA terhadap Pertumbuhan dan Produksi Kedelai

Keberadaan tanaman sorghum di dalam petakan cukup berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi kedelai. Adanya sorghum di petakan mengakibatkan kepadatan spora FMA lebih tinggi di petakan tersebut (Gambar 6). Kepadatan spora yang tinggi berpotensi untuk melakukan ekstensifikasi miseliumnya sehingga berpotensi besar berinteraksi dengan perakaran kedelai untuk menginfeksi (Gambar 7). Infeksi tersebut memicu aktivitas gen sym di dalam tanaman kedelai untuk memberikan informasi kepada akar untuk melakukan nodulasi bersama Rhizobium sehingga membentuk bintil akar dan memfiksasi N lebih banyak.

Produktivitas kedelai tanpa sorghum lebih tinggi dibandingkan dengan kedelai dengan ditanami sorghum, yaitu 1.25 ton ha-1 dan 1.05 ton ha-1. Bobot kering 100 biji dan jumlah polong sejatinya lebih tinggi pada kedelai dengan adanya tanaman sorghum, namun karena banyaknya polong yang hampa pada kedelai yang ditanami sorghum produktivitas menjadi rendah.

Brangkasan sorghum yang dihasilkan (Tabel 8) memperlihatkan pengaruh FMA terhadap pertumbuhan sorghum sendiri sebagai tanaman inang FMA. Hal ini diduga menjadi pesaing kedelai dalam proses perkembangan kedelai sehingga produktivitas kedelai tanpa sorghum lebih tinggi dibandingkan kedelai dengan ditanami sorghum. Dugaan tersebut diperkuat dengan jarak tanam sorghum yang digunakan yakni 75 cm x 20 cm dengan aplikasi tanaman sorghum ditanam di antara jarak antar tanaman tersebut, sehingga hanya berjarak 37.5 cm dari tanaman kedelai.

Perlakuan inang diperlukan untuk menduga pengaruh yang tepat serta mengurangi dosis FMA dalam budidaya kedelai. Hasil dari penelitian ini diperoleh rekomendasi bahwa tanaman inang tidak perlu ditanam di dalam petakan atau sorghum cukup ditanam di pinggir petakan saja serta ditanam lebih dulu sampai panen. Hal ini dilakukan agar persaingan antar tanaman terkurangi dan akar tanaman yang tersisa dapat terinfeksi FMA lebih awal.

Pengaruh Interaksi FMA dengan Tanaman Sorghum sebagai Inang FMA terhadap Pertumbuhan dan Produksi Kedelai

Interaksi antara dosis FMA dengan keberadaaan tanaman sorghum hanya memberikan pengaruh pada variabel pertumbuhan kedelai. Kadar N daun, kadar P daun, dan jumlah cabang 8 MST merupakan variabel yang dipengaruhi interaksi. Produksi kedelai tidak terpengaruh dengan interaksi namun kadar N dan P daun tersebut berpengaruh terhadap produksi.

(41)

29 Hal ini menunjukkan keberadaan inang FMA dapat mengurangi kebutuhan FMA untuk meningkatkan kadar N dan P daun.

Keberadaan sorghum dapat mengurangi kebutuhan FMA dalam meningkatkan kadar N dan P daun pada kedelai. Keberadaan sorghum membuat kurva kuadratik N dan P daun yang ditanami sorghum lebih tinggi daripada tanpa ditanami sorghum. Kurva kadar N daun yang ditanami sorghum membentuk pola kuadratik yang berarti dosis FMA optimum (1.33 g lubang-1) dicapai untuk menghasilkan kadar N daun kedelai maksimum (Gambar 3). Adapun kadar N daun yang tidak ditanami sorghum cenderung membentuk pola linier ke atas yang berarti peningkatan kadar N daun sangat dipengaruh penambahan dosis FMA. Kadar P tertinggi dicapai pada dosis 1.40 g FMA lubang-1 dengan ada tanaman sorghum.

Hampir seluruh tanaman dapat dijadikan sebagai inang FMA, kecuali tanaman Brassicaceae. Tanaman inang yang baik untuk perbanyakan adalah memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap FMA. Tanaman sorghum merupakan inang FMA yang sangat tergantung dengan ketersediaan FMA di dalam tanah. Perlakuan dosis 0 g FMA lubang-1 membuat sorghum tidak tumbuh, walaupun telah ditanam berulang kali (Tabel 8). Keberadaan sorghum itu sendiri juga berpengaruh dalam meningkatkan kepadatan spora dan tingkat infeksi pada akar. Hal ini terkait dengan peran akarnya sebagai inang FMA. Kombinasi sorghum dengan aplikasi FMA pada awal tanam meningkatkan kepadatan spora serta tingkat infeksi pada akar kedelai dan akar sorghum (Gambar 5, 7, dan 9).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

1. Dosis FMA secara umum mempengaruhi pertumbuhan dan beberapa komponen produksi kedelai. Pertumbuhan maksimum kedelai dicapai pada dosis optimum 2.08 g lubang-1. Belum diperoleh dosis optimum FMA untuk produksi kedelai.

2. Produktivitas berdasarkan dosis FMA yaitu 1.35, 1.08, 1.04, dan 1.15 ton ha-1, dan tidak berbeda nyata.

3. Keberadaan sorghum mengakibatkan kepadatan spora FMA lebih tinggi sehingga ekstensifikasi miselium dapat dilakukan lebih luas. Miselium tersebut dapat berinteraksi dengan perakaran kedelai untuk membentuk bintil akar sehingga dapat meningkatkan potensi pertumbuhan dan perkembangan tanaman.

4. Produktivitas kedelai tanpa sorghum lebih tinggi dibandingkan dengan kedelai dengan ditanami sorghum, yakni 1.25 ton ha-1 dan 1.05 ton ha-1. Kondisi ini disebabkan oleh kurang tepatnya letak penanaman sorghum sehingga terjadi persaingan dalam penyerapan unsur hara P antara tanaman kedelai dan sorghum yang ditanam terlalu dekat.

(42)

30

tanaman sorghum sebagai inang FMA dapat mengurangi kebutuhan FMA hingga 1 g FMA lubang-1 untuk menghasilkan kadar N dan P daun tertinggi.

Saran

(43)

31

DAFTAR PUSTAKA

Adie MM, Krisnawati A. 2007. Biologi tanaman kedelai. Di dalam: Sumarno, Suyamto, Widjono A, Hermanto, Kasim H, editor. Kedelai: Teknik Produksi

dan Pengembangannya. Bogor (ID): BPPP. hlm 45-71.

Ghulamahdi, M. 2009. Kedelai ditanam dengan sistem budidaya jenuh air.

Bangkit Tani. 3:12-14.

Giovannety, Mosse B. 1980. Host-Fungus Specificity, Recognition, and

Compatibility in Mycorrhizae, Station d’ Amelioration Des Plantes. Paris (FR):

INRA.

Handayani TA. 2012. Produksi kedelai organik berdasarkan perbedaan dosis pupuk dan fungi mikoriza arbuskula [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Herwanti TE. 2011. Residu pupuk organik mendukung produksi dua varietas kedelai organik (Glycine max (L) Merr) di lahan kering [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Ilbas AI, Sahin S. 2005. Glomus fasciculatum inoculation improves soybean production. AASSBSPS. 55(1): 287-292.doi: 10.1080/09064710500218761. Jakobsen I, Rosendhal L. 1990. Carbon flow into soil and external hyphae from

roots of mycorrhizal cucumber plants. New phytol. 115:77-83.

Jumro K. 2011. Pengaruh residu pupuk organik terhadap produktivitas dua varietas kedelai dengan budidaya jenuh air secara organik [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Kramadibrata K, Riyanti EI, Simanungkalit RDM. 1995. Arbuscular mychorhizal fungi from the rhizospheres of soybean crops in Lampung and West Java.

Biotropic. 8: 30-38.

Kurniansyah D. 2010. Produksi kedelai organik panen kering dari dua varietas kedelai dengan berbagai jenis pupuk organik [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Kurniasih W. 2006. Pengaruh jenis, dosis benih dan umur tanaman pupuk hijau terhadap produksi kedelai (Glycine max (L.) Merr) panen muda secara organik [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Kusheryani I, Aziz SA. 2005. Pengaruh jenis tanaman penolak organisme pengganggu tanaman terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman kedelai

(Glycine max (L.) Merr) yang diusahakan secara organik. Bul Agron. 34:39-45.

Leiwakabessy FM, Sutandi A. 2004. Pupuk dan Pemupukan. Bogor (ID): IPB Pr. Manchanda G, Garg N. 2007. Endomycorrhizal and rhizobial symbiosis: How

much do they share?. J Plantint. 2(2): 79-88.doi: 10.1080/17429140701558000. Mahmood I, Rizvi R. 2010. Mycorrhiza and organic farming. AJPS. 9

(5):241-248.ISSN: 1682-3974.

Marschner H, Dell B. 1994. Nurient uptake in mycorrhiza symbiosis. Plant Soil. 159:89-102.

Melati M, Andriyani W. 2005. Pengaruh pupuk kandang ayam dan pupuk hijau

Calopogonium mucunoides terhadap pertumbuhan dan produksi kedelai panen

muda yang dibudidayakan Secara Organik. Bul Agron. 33(2):8-15.

(44)

32

Meliala MG. 2011. Produksi dua varietas kedelai secara organik akibat pemberian pupuk dengan dosis yang sama dengan dosis musim tanam I [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Mueller N. 2013. History of plant analysis: Soybean leaf nutrient sufficiency ranges. Presentation [Internet]. [diunduh Januari 2014]. Tersedia pada: http://ncera-13.missouri.edu.

Pacioni G. 1992. Wet sieving and decanting techniques for the extraction of spores vesicular arbuscular fungi. Methods in Microbiol. 24:317-322.

[PPT] Pusat Penelitian Tanah. 1983. Jenis dan Macam Tanah di Indonesia untuk

Keperluan Survey dan Pemetaan Tanah Daerah Transmigrasi. Bogor (ID):

Pusat Penelitian Tanah.

Phyllip JM, Hayman DS. 1970. Improved procedures for clearing roots staining parasitics and VAM fungi for rapid accesment of infection. Trans Brit. Mycol. Soc. 46:235-244.

Rahadi VP. 2008. Pengaruh pupuk kandang sapi dan pupuk guano terhadap produksi kedelai (Glycine max (L.) Merr) organik panen muda [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Ramadhani E. 2011. Kajian aplikasi jenis pupuk untuk produksi dua varietas kedelai secara organik dengan sistem budidaya jenuh air pada dua musim tanam [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Rao NSS. 1994. Mikroorganisme Tanah dan Pertumbuhan Tanaman. Jakarta (ID): UI Pr.

Redecker, Schubler, Walker. 2013. Taxonomy. Mwn [Internet]. [diunduh Desember 2013]. Tersedia pada: http://www.schuessler.userweb.mwn.de. Ristek. 2000. Kedelai. Warintek [Internet]. [diunduh Mei 2013]. Tersedia pada:

http://www.warintek.ristek.go.id.

Rosmarkam A, Yuwono NW. 2002. Ilmu Kesuburan Tanah. Yogyakarta (ID): Kanisius.

Simanungkalit RDM. 2006. Cendawan mikoriza arbuskuler. Di dalam: Simanungkalit RDM, Suriadikarta DA, Saraswati R, Setyorini D, Hartatik W, editor. Pupuk Organik dan Pupuk Hayati: Organic Fertilizer and Biofertilizer. Bogor (ID): Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. hlm 159-169.

Smith SE, Gianinazzi-Pearson V. 1988. Physiological interactions between symbionts in vesicular-arbuscular mycorrhizal plants. Ann. Rev. Plant Physiol.

Plant Mol. Biol. 39:221-244.

Stevenson FJ. 1982. Humus Chemistry: Genesis, Composition, Reactions. New York (US): Wiley Interscience.

Sumarno, Manshuri AG. 2007. Persyaratan tumbuh dan Wilayah Produksi Kedelai di Indonesia. Di dalam: Sumarno, Suyamto, Widjono A, Hermanto, Kasim H, editor. Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangannya. Bogor (ID): BPPP. hlm 79-94.

Gambar

Tabel 1 Peubah vegetatif dan generatif tanaman kedelai yang diamati
Tabel 2  Rekapitulasi hasil analisis ragam seluruh data pertumbuhan dan
Tabel 2  Lanjutan
Tabel 3  Pertumbuhan kedelai dengan perlakuan dosis FMA
+7

Referensi

Dokumen terkait

- Pembatalan yang dilakukan lebih dari 15 hari setelah DP, maka biaya yang dibayarkan tidak dapat dikembalikan?. - Perubahan tanggal dapat dilakukan 1 kali, sesuai dengan

Davis Weather Envoy inilah yang direncanakan akan digunakan di server, untuk mengambil data dari ISS .; (9) Software AWS , pada Stasiun Cuaca di UBD sebenarnya

[r]

Pokja 12 ULP Provinsi Jawa Tengah akan melaksanakan Prakualifikasi untuk paket pekerjaan jasa konsultansi secara elektronik sebagai berikut :..

Keuntungan dari penggunaan metode ikat silang ini adalah dapat menghasilkan pati dengan swelling power yang kecil dimana hal ini akan memperkuat granula pati

Dari hasil penelitian ini juga dapat dilihat sumbangan efektif yang diberikan persepsi terhadap kecenderungan perilaku agresi, persepsi berkontribusi sebesar 62% dan sebanyak

Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2014), bahwa Perguruan Tinggi harus dapat mengintegrasikan tiga hal, yaitu (a) Sistem