• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bioactivity of stem bark extracts of Simaroubaceae plants and leaf extract Tephrosia vogelii on the cabbage head caterpillar, Crocidolomia pavonana (F) (Lepidoptera Crambidae)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Bioactivity of stem bark extracts of Simaroubaceae plants and leaf extract Tephrosia vogelii on the cabbage head caterpillar, Crocidolomia pavonana (F) (Lepidoptera Crambidae)"

Copied!
78
0
0

Teks penuh

(1)

BI

IOAKTIV

D

Crocidolo

VITAS EK

TUMBU

DAUN Tep

omia pavon

PETRON

SE

INST

STRAK K

UHAN SIM

phrosia vog

nana (F.)

NELLA SY

EKOLAH

TITUT PE

B

KULIT BA

MAROUB

gelii TERH

(LEPIDO

YAHYAN

PASCASA

ERTANIA

BOGOR

2010

ATANG B

BACEAE D

HADAP L

OPTERA:

NTI NENO

ARJANA

AN BOGO

BEBERAP

DAN

LARVA

CRAMBI

OTEK

R

PA JENIS

IDAE)

(2)

   

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Bioaktivitas ekstrak kulit batang beberapa jenis tumbuhan Simaroubaceae dan daun Tephrosia vogelii terhadap larva Crocidolomia pavonana (F.) (Lepidoptera: Crambidae)” adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, September 2010

Petronella Syahyanti Nenotek

(3)

ABSTRACT

PETRONELLA SYAHYANTI NENOTEK. Bioactivity of stem bark extracts of Simaroubaceae plants and leaf extract Tephrosia vogelii on the cabbage head caterpillar, Crocidolomia pavonana (F.) (Lepidoptera: Crambidae). Under the direction of DADANG and DJOKO PRIJONO

This study was conducted to evaluate the bioactivity of methanol stem bark extracts of some Simaroubaceae plants and ethyl acetate leaf extract of Tephrosia vogelii, either separately or in mixtures against-second instar larvae

Crocidolomia pavonana, and phytotoxicity of the extracts on chinese cabbage. Bioassays with each active extract and their mixtures were done at six

concentration levels with five replications, by a leaf dip feeding method.

T. vogelii extract was 7.8 and 8.8 times more active than Quassia amara and

Q. indica extracts, respectively, at LC50 level against C. pavonana larvae.

T. vogelii extract at 0.25% inhibited feeding by C. pavonana larvae as high as

99.3% and caused 100% larval mortality. The mixture of T. vogelii and

Q. amara extract was 3.6 and 3.8 times more toxic than T. vogelii and Q. indica

mixture and had synergistic joint action both at LC50 and LC95 level. The

treatments with all active extracts delayed the development of C. pavonana larvae from second to forth instar by 1.2-5.0 days compared with control. T. vogelii and

Q. amara extracts and their mixture were not phytotoxic to chinese cabbage, and thus, they are potential to be used for controlling C. pavonana.

Keyword: Crocidolomia pavonana, botanical insecticide, bioactivity,

(4)

RINGKASAN

PETRONELLA SYAHYANTI NENOTEK. Bioaktivitas Ekstrak Kulit Batang Beberapa Jenis Tumbuhan Simaroubaceae dan Daun Tephrosia vogelii terhadap Larva Crocidolomia pavonana (F.) (Lepidoptera: Crambidae). Dibimbing oleh DADANG dan DJOKO PRIJONO.

Crocidolomia pavonana merupakan salah satu hama penting pada tanaman

famili Brassicaceae dan aktivitasnya mengakibatkan kehilangan hasil yang cukup berarti bagi petani. Oleh karena itu, petani sering mengendalikannya dengan insektisida sintetik yang dapat menimbulkan berbagai dampak negatif seperti resistensi hama, terbunuhnya organisme bukan sasaran, pencemaran lingkungan, dan terjadinya berbagai penyakit pada manusia. Dengan demikian diperlukan alternatif pengendalian yang lebih aman bagi manusia dan lingkungan, salah satunya adalah pestisida nabati.

Penelitian ini bertujuan mengetahui bioaktivitas ekstrak kulit batang

Quassia amara, Quassia indica, Irvingia malayana, Picrodendron baccatum

(Simaroubaceae) dan daun Tephrosia vogelii (Legumonisae); sifat interaksi

campuran ekstrak dua jenis tumbuhan Simaroubaceae yang aktif dan daun

T. vogelii terhadap larva C. pavonana; dan fitotoksisitas ekstrak aktif pada tanaman caisin baik secara terpisah maupun dalam bentuk campuran.

Ekstraksi kulit batang empat spesies Simaroubaceae menggunakan pelarut metanol, sedangkan ekstraksi daun T. vogelii berbunga ungu menggunakan pelarut etil asetat. Uji hayati dilakukan dalam dua tahap yaitu uji pendahuluan dan uji lanjut. Uji pendahuluan dilakukan untuk mengetahui ekstrak yang dapat mematikan larva C. pavonana ≥ 50% dan menentukan konsentrasi uji lanjut. Konsentrasi uji campuran berdasarkan pada hasil pengujian ekstrak secara terpisah. Uji hayati semua ekstrak dilakukan di laboratorium dengan menggunakan metode residu pada daun. Peubah yang diamati ialah penghambatan aktivitas makan, mortalitas larva, dan lama perkembangan larva instar II-III dan instar II-IV. Pengujian fitotoksistas dilakukan pada tanaman caisin yang berumur 2-3 minggu yang ditanam pada polibag. Peubah yang diamati adalah gejala nekrosis pada tanaman.

Ekstrak Q. amara, Q. indica, dan T. vogelii memiliki aktivitas insektisida

terhadap larva C. pavonana dengan tingkat keefektifan bervariasi. Ekstrak

T. vogelii memiliki sifat antifeedant yang lebih kuat dibandingkan dengan ekstrak

Q. amara dan Q. indica masing-masing berkisar 96.0%-99.3%, 90.0%-97.9%,

79.4%-95.0% pada pengujian terpisah. Selain itu, ekstrak T. vogelii dapat memperpanjang perkembangan larva C. pavonana instar II-III dan II-IV masing-masing berkisar 3.8-6.0 hari dan 6.0-10.0 hari; Q. amara 3.7-5.9 hari dan 5.7-8.8;

dan Q. indica berkisar 4.1-5.7 hari dan 5.9-7.4 hari, sedangkan lama

perkembangan kontrol berkisar 2.0-2.4 hari dan 4.1-4.7 hari.

Berdasarkan nilai LC50 dan LC95, ekstrak daun T. vogelii lebih toksik

(5)

8 kali (LC50) serta 14.9 kali dan 16.5 kali (LC95). Ekstrak Q. amara lebih toksik

terhadap larva C. pavonana instar II dan II+III dibandingkan dengan ekstrak

Q. indica yaitu 1.1 kali dan 1.2 kali (LC50) serta 1.4 kali dan 1.1 kali (LC95).

Campuran ekstrak T. vogelii + Q. amara lebih aktif terhadap larva

C. pavonana dibandingkan dengan campuran ekstrak T. vogelii + Q. indica. Efek

penghambatan aktivitas makan dua jenis ekstrak campuran pada larva

C. pavonana masing-masing berkisar 83.5%-98.0% dan 92.4%-98.5%, sedangkan

lama perkembangan larva instar II-III dan instar II-IV masing-masing berkisar 6.3- 8.5 hari dan 7.2-8.3 hari.

Berdasarkan kematian larva C. pavonana instar II dan II+III, campuran ekstrak T. vogelii + Q. amara lebih toksik daripada campuran esktark T. vogelii +

Q. indica yaitu 3 kali dan 3.6 kali (LC50) serta 3.8 kali (LC95).. Campuran ekstrak

T. vogelii + ekstrak Q. amara bersifat sinergistik kuat pada taraf LC50 (Indeks

Kombinasi: 0.47) dan LC95 (IK = 0.25). Pada taraf LC50 campuran ekstrak

T. vogelii + Q. indica bersifat sinergistik lemah (IK = 0.71) dan aditif (IK = 0.91) pada taraf LC95.

Ekstrak daun T. vogelii, ekstrak kulit batang Q. amara, serta campuran

kedua ekstrak tersebut tidak fitotoksik pada tanaman caisin. Sementara ekstrak

Q. indica dan campuran ekstrak T. vogelii + Q. indica bersifat fitotoksik pada

tanaman caisin. Tingkat fitotoksisitas lebih berat pada perlakuan ekstrak

Q. indica secara terpisah dibandingkan campurannya.

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa ekstrak daun

T. vogelii, ekstrak kulit batang Q. amara, dan campuran ekstrak T. vogelii +

Q. amara berpotensi sebagai insektisida nabati untuk mengendalikan hama C. pavonana. Sementara dua ekstrak kulit batang P. baccatum dan

I. malayana tidak memiliki potensi sebagai insektisida nabati.

(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa

mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan

karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya

(7)

BIOAKTIVITAS EKSTRAK KULIT BATANG BEBERAPA

JENIS TUMBUHAN SIMAROUBACEAE DAN DAUN

Tephrosia vogelii

TERHADAP LARVA

Crocidolomia pavonana

(F.) (LEPIDOPTERA: CRAMBIDAE)

PETRONELLA SYAHYANTI NENOTEK

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Mayor Entomologi, Departemen Proteksi Tanaman

 

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Judul Tesis : Bioaktivitas Ekstrak Kulit Batang Beberapa Jenis Tumbuhan Simaroubaceae dan Daun Tephrosia vogelii terhadap Larva

Crocidolomia pavonana (F.) (Lepidoptera: Crambidae). Nama : Petronella Syahyanti Nenotek

NRP : A351080031

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Dadang, M.Sc. Ir. Djoko Prijono, M.Agr.Sc.

Ketua Anggota

...

Diketahui

Ketua Program Studi/Mayor Dekan Sekolah Pascasarjana Entomologi

Dr. Ir. Pudjianto, M.Si. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.

(10)

PRAKATA

Salah satu teknologi pengendalian hama dan penyakit tumbuhan yang dikembangkan akhir-akhir ini adalah pestisida yang bahan aktifnya berasal dari tumbuhan. Famili Simaroubaceae dan T. vogelii merupakan tumbuhan yang banyak ditemukan di Indonesia dan memiliki potensi sebagai insektisida nabati. Sehubungan dengan hal tersebut, penulis berupaya memberikan informasi tentang potensi tumbuhan famili Simaroubaceae dan T. vogelii sebagai insektisida nabati terhadap ulat krop kubis Crocidolomia pavonana melalui penelitian yang berjudul “Bioaktivitas Ekstrak Kulit Batang Beberapa Jenis Tumbuhan Simaroubaceae dan Daun Tephrosia vogelii terhadap Larva Crocidolomia pavonana (F.) (Lepidoptera: Crambidae). Penelitian ini merupakan salah satu syarat memperoleh gelar Magister Sains pada Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Dalam penyelesaian penelitian, penulis mendapat banyak masukan dari berbagai pihak. Pertama, Dr. Ir. Dadang, M.Sc dan Ir. Djoko Prijono, M.Agr.Sc selaku komisi pembimbing tesis yang telah membimbing dan mengarahkan penulis dalam proses penelitian sampai tahap penulisan tesis. Kedua, teman-teman pascasarjana Mayor Entomologi dan Fitopatologi angkatan 2008 yang telah membantu dan memberikan masukan dalam penelitian dan penyusunan tesis. Ketiga, untuk suami tersayang Zakharias Manbait, AMd dan putra tercinta Aeronarvid Primus Destino Manbait, papa, mama, dan adik-adik yang memberikan semangat dan motivasi selama mengikuti pendidikan. Keempat, Rika, Linda, K’ Betty, Mba Eka, Herma, Astri, Tito, Ridho, Catur, Pak Agus, K’Adi, K’Imel, James, Ceria, Gloria, Adelita, Ibu Agnet, rekan-rekan Gamanustratim, dan rekan-rekan Persekutuan Oikumene IPB yang selalu memberikan dukungan dan motivasi bagi penulis. Kelima, kepada pimpinan Universitas Nusa Cendana yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan studi. Kepada pihak-pihak tersebut, penulis mengucapkan terima kasih atas semua bantuan yang telah diberikan. Penyelesaian penelitian dan penulisan tesis ini juga tidak terlepas dari Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan hikmat, kebijaksanaan, dan bimbingan-Nya kepada penulis. Oleh karena itu, patutlah penulis mensyukuri semua yang telah diberikan-Nya.

Bogor, September 2010

(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kupang pada tanggal 2 Januari 1977 sebagai anak pertama dari enam bersaudara dari pasangan Drs. Jaxon Thimotius Nenotek dan Sarlin Nenotek-Manoe. Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Atas Negeri 2 Kupang pada tahun 1995. Pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa Program Studi Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan, Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Nusa Cendana melalui jalur Penelusuran Minat dan Kemampuan dan lulus pada tahun 2000.

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

PENDAHULUAN  Latar Belakang ... 1 

Tujuan ... 5

Manfaat ... 5

TINJAUAN PUSTAKA Potensi Tumbuhan Tropis sebagai Insektisida Nabati ... 6

Potensi Tumbuhan Famili Simaroubaceae sebagai Insektisida Nabati . 8

Potensi Tephrosia vogelii sebagai Insektisida Nabati ... 13

Arti Ekonomi, Biologi, dan Pengendalian Crocidolomia pavonana ... 15

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ... 19

Penyediaan Tanaman Caisin ... 19

Pemeliharaan Serangga Uji ... 19

Tumbuhan Sumber Ekstrak ... 20

Ekstraksi Bahan Uji ... 20

Metode Pengujian ... 21

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Ekstraksi Bahan Uji ... 24

Bioaktivitas Ekstrak Tiga Jenis Tumbuhan terhadap Larva C . pavonana pada Pengujian Secara Terpisah ... 26

Bioaktivitas Campuran Dua Ekstrak Tumbuhan terhadap Larva C. pavonana ... 37

Fitotoksisitas Ekstrak Uji terhadap Tanaman Caisin ... 45

Pembahasan Umum ... 46

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan ... 51

Saran ... 51

(13)

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Luas panen dan produksi sayuran Brassicaceae (Kubis bunga, Kubis,

Petsai, dan Caisin) Tahun 2004-2008 ... 1 2 Rendemen dan karakteristik fisik ekstrak lima jenis tumbuhan ... 24 3 Pengaruh ekstrak lima jenis tumbuhan terhadap mortalitas larva

C. pavonana pada uji pendahuluan ... 25 4 Penghambatan aktivitas makan pada larva C. pavonana akibat

perlakuan dengan ekstrak Q. amara, Q. indica, dan T. vogeli pada konsentrasi yang berbeda ... 26 5 Pengaruh ekstrak Q. amara, Q. indica, dan T. vogelii pada konsentrasi

berbeda terhadap mortalitas C. pavonana ... 29 6 Penduga parameter toksisitas ekstrak Q. amara, Q. indica, dan

T. vogelii terhadap larva C. pavonana dengan metode residu pada

daun ... 33 7 Pengaruh ekstrak Q. amara, Q. indica, dan T. vogelii pada konsentrasi

berbeda terhadap perkembangan larva C. pavonana ... 35 8 Penghambatan akitivitas makan pada larva C. pavonana akibat

perlakuan dua jenis campuran ekstrak tumbuhan ... 38 9 Pengaruh dua jenis campuran ekstrak tumbuhan pada konsentrasi

yang berbeda terhadap larva C. pavonana ... 39 10 Penduga parameter toksisitas dua jenis campuran ekstrak tumbuhan

terhadap larva C. pavonana dengan metode residu pada daun ... 42 11 Sifat aktivitas dua jenis campuran ekstrak tumbuhan terhadap larva

C. pavonana ... 43 12 Pengaruh dua jenis campuran ekstrak tumbuhan pada konsentrasi

(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Rumus bangun quasin dan neoquasin ... 10 2 Rumus bangun rotenon, deguelin, dan tefrosin ... 15 3 Perkembangan mortalitas larva C. pavonana pada perlakuan

ekstrak Q. amara, Q. indica, dan T. vogelii ... 31 4 Perkembangan mortalitas larva C. pavonana pada perlakuan campuran

ekstrak T. vogelii + Q. amara dan ekstrak T. vogelii + Q. indica ... 40

(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Brassicaceae merupakan salah satu famili tanaman sayuran penting bagi

manusia. Di Indonesia, famili ini dikategori sebagai tanaman sayuran terpenting

kedua setelah tanaman cabai. Pada tahun 2008, luas panen cabai sebesar 211.566

ha, sementara famili Brassicaceae 116,129 ha. Produksi famili Brassicaceae

(kubis bunga, kubis, petsai, caisin) tahun 2004-2008 mengalami fluktuasi seiring

dengan berfluktuasi luas panen (Tabel 1). Data ini menggambarkan bahwa

produksi famili Brassicaceae tidak mengalami penurunan atau peningkatan yang

nyata. Kubis (Brassica oleracea var. capitata) termasuk salah satu anggota

famili Brassicaceae yang memiliki nilai ekonomi karena merupakan salah satu

sayuran komersial dan sumber pendapatan petani. Kubis dikonsumsi dalam

bentuk segar atau pelengkap masakan lain (Adiyogo et al. 2004). Selain

memiliki nilai gizi yang tinggi, kubis mengandung senyawa aktif glukosinolat

yang bersifat antikarsinogenik (Daniells 2009). Untuk memenuhi kebutuhan

masyarakat, salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah adalah memberikan

bantuan pengembangan produktivitas kubis melalui APBN 2008 pada beberapa

daerah sentra produksi kubis seperti Jawa Barat dan Jawa Tengah (Deptan 2009).

Tabel 1 Luas panen dan produksi sayuran Brassicaceae (Kubis bunga, Kubis, Petsai, dan Caisin) Tahun 2004-2008

Tahun Luas Panen (Ha) Produksi (Ton)

2004 131,669 2,067,772

2005 118,313 1,955,268

2006 124,991 1,993,663

2007 115,684 1,883,650

2008 116,129 1,889,338

Sumber: Basis data produksi pertanian komoditi hortikultura Tahun 2000-2009. http://database.deptan.go.id/bdsp/hasil-komp.asp 

Salah satu faktor pembatas dalam upaya peningkatan produksi kubis adalah

serangan hama dan penyakit. Crocidolomia pavonana (F.) (Lepidoptera:

Crambidae) merupakan salah satu hama utama tanaman kubis selain Plutella

(16)

2  

tanaman sebelum membentuk krop hingga panen dan ketika tidak ditemukan daun

atau krop, larva dapat makan batang. Serangan C. pavonana bersama-sama

P. xylostella dapat menimbulkan kehilangan hasil mencapai 100% atau terjadi

gagal panen bila tidak dilakukan tindakan pengendalian yang tepat

(Sastrosiswojo & Setiawati 1993).

Pengendalian dengan insektisida sintetik sering dilakukan di tingkat petani

untuk menurunkan populasi C. pavonana. Cara ini sangat umum dilakukan di

tingkat petani dengan beberapa alasan seperti populasi hama langsung menurun

setelah aplikasi serta insektisida sintetik mudah diperoleh dan mudah diaplikasi.

Akibatnya petani terperangkap dalam lingkaran penggunaan insektisida sintetik

secara terus menerus, yang pada akhirnya dapat menimbulkan masalah baru,

seperti terjadinya resistensi hama, resurjensi, ledakan hama sekunder, terbunuhnya

musuh alami, pencemaran lingkungan, residu insektisida pada produk pertanian,

dan terjadinya berbagai penyakit pada manusia.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor. 6 Tahun 1995 pasal 3 ditetapkan

bahwa perlindungan tanaman dilaksanakan melalui sistem pengendalian hama

terpadu (PHT). Selanjutnya dalam pasal 19 dinyatakan bahwa penggunaan

pestisida dalam rangka pengendalian organisme pengganggu tumbuhan (OPT)

merupakan alternatif terakhir dan dampak yang ditimbulkan harus ditekan

seminimal mungkin. Oleh karena itu, perlu dicari teknologi pengendalian yang

efektif terhadap hama sasaran, namun aman terhadap organisme bukan sasaran

dan lingkungan. Selain itu, kualitas produk yang dihasilkan petani dapat bersaing

di pasar bebas dan menjamin keamanan konsumen. Hal ini merupakan bagian

dari penerapan Good Agriculture Practices (Deptan 2009).

Dalam kaitannya dengan upaya meningkatkan kualitas produk pertanian,

aplikasi insektisida nabati sebagai alternatif dari insektisida sintetik pada

komoditas pertanian khususnya hortikultura perlu mendapat perhatian yang serius.

Di lain pihak, kebijakan pemerintah yang memperhatikan kelestarian lingkungan

secara global dan keprihatinan akan dampak penggunaan insektisida sintetik,

mendorong banyak peneliti untuk mengembangkan insektisida nabati yang lebih

(17)

 

back to nature di dunia termasuk Indonesia yaitu pertanian berkelanjutan yang

memenuhi persyaratan keamanan pangan, kualitas lingkungan, dan kualitas hidup

manusia (Anonim 2010b).

Teknologi pengendalian dengan insektisida nabati dalam pertanian

berkelanjutan memiliki kelebihan dibandingkan dengan insektisida sintetik.

Beberapa kelebihan tersebut antara lain insektisida nabati mudah terurai di alam

sehingga kemungkinan bahaya residu pada produk pertanian relatif rendah,

umumnya aman terhadap organisme lain termasuk musuh alami dan manusia,

komponen ekstrak dapat bersifat sinergis, dan dapat dipadukan dengan teknik

pengendalian lain (Prakash & Rao 1997; Prijono 2006). Selain itu, insektisida

nabati tidak cepat menimbulkan resistensi hama bila digunakan dalam bentuk

ekstrak kasar dan beberapa jenis insektisida nabati dapat diramu dalam bentuk

yang sederhana.

Insektisida nabati umumnya berupa senyawa metabolit sekunder yang

dihasilkan oleh tanaman. Berbagai jenis tumbuhan menghasilkan senyawa

metabollit sekunder yang bersifat racun terhadap serangga, deterrent, serta

melindungi tanaman dari gangguan organisme lain, dan memberikan sinyal pada

musuh alami(Vickery & Vickery 1981).

Simaroubaceae merupakan salah satu famili tumbuhan yang diketahui

memiliki sifat insektisida seperti Brucea amarissima, B. javanica, Eurycomma

longifolia, Quassia amara, Q. indica, dan Picrodendron baccatum (Prakash &

Rao 1997; Prijono 1999; Dadang & Prijono 2008; Lina 2010). Hasil penelitian

Lina (2010) menunjukkan bahwa ekstrak metanol buah B. javanica pada

konsentrasi 0.5% mengakibatkan kematian 97.8%, sedangkan ekstrak etil

asetatnya menimbulkan kematian 100% pada larva C. pavonana. Lewis &

Elvin-Lewis (2003) menyatakan bahwa ekstrak kulit batang Q. amara dapat menekan

pertumbuhan populasi kutu daun, sedangkan ekstrak biji dan kulit batang

Q. indica dapat bersifat antifeedant dan menghambat perkembangan larva

Spodoptera litura (Govindachari et. al 2001). Di Republika Dominika

P. baccatum digunakan untuk membunuh kutu busuk dan beberapa jenis

(18)

4  

bahwa beberapa spesies dari famili Simaroubaceae mengandung senyawa

quasinoid yang memiliki beberapa aktivitas biologi seperti antitumor, antimalaria,

antiinflammatory, antifeedant, insektisida, amoebisida, dan herbisida.

Leguminosae termasuk salah satu famili yang telah lama diketahui memiliki

sifat insektisida misalnya Derris ellipica dan Lonchocarpus nicou. Tanaman

Leguminosae yang bersifat insektisida umumnya mengandung senyawa rotenon

yang bersifat toksik terhadap beberapa serangga hama. Cabras et al. (2002)

menyatakan bahwa di Asia dan Amerika Selatan rotenon digunakan untuk

membunuh ikan, sedangkan peranan rotenon sebagai pestisida nabati pertama kali

diteliti oleh peneliti Jepang.

Tephrosia vogelii termasuk famili Leguminosae lain yang juga mengandung

senyawa rotenon. Ekstrak kloroform daun T. vogelii dapat mematikan larva

P. xylostella (Morallo-Rejesus 1996). Abizar & Prijono (2010) melaporkan

bahwa ekstrak etil asetat daun dan biji T. vogelii pada konsentrasi 0.25% dapat

mematikan larva C. pavonana ≥ 80%. Hasil penelitian Nugroho (2008) dan

Wulan (2008) menunjukkan bahwa tingkat mortalitas C. pavonana meningkat

pada perlakuan dengan fraksi heksana padatan T. vogelii dan campuran

P. cubeba + T. vegolii dengan semakin tingginya konsentrasi. Campuran fraksi

heksana padatan P. cubeba dan fraksi heksan padatan T. vogelii memiliki aktivitas

insektisida yang kuat dan bersifat sinergistik yang lemah terhadap larva

C. pavonana.

Pengembangan dan aplikasi insektisida nabati di lapangan memerlukan

sumber bahan baku dalam jumlah yang banyak. Untuk mengatasi keterbatasan

sumber bahan baku tersebut, salah satu langkah yang dapat dilakukan adalah

dengan mencampur beberapa ekstrak tumbuhan. Selain itu, pencampuran

beberapa insektisida nabati dapat meningkatkan toksisitas. Keuntungan lain yang

dijelaskan oleh Dadang & Prijono (2008) adalah memperlambat laju resistensi

serangga hama dan kemungkinan dapat mengurangi fitotoksisitas. Namun tidak

semua campuran ekstrak insektisida nabati memberikan efektivitas yang lebih

baik dibandingkan dengan perlakuan tunggal. Untuk itu perlu dilakukan uji

(19)

 

Beberapa tanaman famili Simaroubaceae banyak dimanfaatkan oleh

masyarakat sebagai obat tradisional bagi kesehatan manusia sehingga banyak

penelitian yang diarahkan pada bidang farmakologi, namun sejauh ini belum

terlalu banyak penelitian yang diarahkan pada bidang insektisida nabati. Untuk

mengetahui potensi tumbuhan famili Simaroubaceae sebagai insektisida nabati

dan kompatibilitas campuran kandidat insektisida dari famili tersebut dengan daun

ekstrak T. vogelii dalam mengendalikan larva C. pavonana serta mengurangi

fitotoksisitas, penelitian terkait perlu dilakukan.

Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk

1. mengetahui bioaktivitas ekstrak kulit batang Quassia amara, Quassia indica,

Irvingia malayana, Picrodendron baccatum, dan daun Tephrosia vogelii

terhadap larva C. pavonana;

2. mengetahui sifat interakasi campuran ekstrak daun T. vogelii + kulit batang

Q. amara dan ekstrak T. vogelii + kulit batang Q. indica terhadap larva

C. pavonana;

3. mengetahui fitotoksisitas ekstrak aktif pada tanaman baik secara terpisah

maupun dalam bentuk campuran.

Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang

bioaktivitas insektisida nabati dari kulit batang famili Simaroubaceae dan

campurannya dengan ekstrak daun T. vogelii terhadap larva C. pavonana yang

selanjutnya informasi tersebut dapat digunakan sebagai landasan dalam

pengembangan dan pemanfaatan insektisida nabati pada tanaman sayuran

(20)

TINJAUAN PUSTAKA

Potensi Tumbuhan Tropis sebagai Sumber Insektisida Nabati

Daerah tropis memiliki keanekaragaman hayati yang sangat besar termasuk tumbuhan. Keberlangsungan hidup berbagai jenis tumbuhan dimuka bumi dimungkinkan karena tumbuhan dilengkapi dengan sistem pertahanan fisik dan kimia terhadap serangan herbivora, termasuk serangga. Sistem pertahanan kimia terhadap serangga disebabkan adanya kandungan berbagai senyawa metabolit sekunder yang bersifat repellent, menghambat aktivitas makan, menghambat perkembangan, menurunkan kemampuan reproduksi, dan mematikan serangga. Sifat-sifat tersebut melandasi penelitian untuk mencari dan mengembangkan insektisida dari tumbuhan. Beberapa tumbuhan yang diketahui memiliki bioaktivitas terhadap serangga antara lain dari famili Annonaceae, Asteraceae, Clusiaceae, Labiatae, Lauraceae, Lecythidaceae, Leguminosae, Meliaceae, Piperaceae, Rutaceae (Jacobson 1989) dan masih masih banyak famili tumbuhan lain termasuk Simaroubaceae .

Beberapa tumbuhan yang dilaporkan memiliki efek antifeedant, misalnya ekstrak kasar biji Swietenia mahogany (Meliaceae) pada konsentrasi 0.2% dapat menghambat aktivitas makan (antifeedant) larva P. xylostella sampai 98.3% (Dadang & Ohsawa 2000). Contoh tanaman lain dari famili Meliaceae seperti ekstrak daun, kulit batang, dan batang Cedrela odorata dilaporkan memberikan efek penghambatan aktivitas makan terhadap kumbang Acalymma vittatum,

ekstrak air buah Melia volkensii memberikan efek antifeedant terhadap nimfa dan imago Schistocerca granaria (Jacobson 1989). Ekstrak rimpang temu Curcuma zeodaria (Zingiberaceae) mengurangi aktivitas makan larva C. binotalis berturut-turut 68.8%, 78.3%, dan 92.2% pada konsentrasi 1%, 3%, dan 5% (Minaharyati et al. 1991).

Tumbuhan tropis lain yang memiliki efek insektisida, misalnya ekstrak etanol ranting Aglaia odorata mengakibatkan kematian larva C. pavonana sebesar

98.7% pada konsentrasi 0.5%. Ekstrak metanol biji Annona squamosa dan

A. glabra mengakibatkan kematian wereng coklat masing-masing 41.4%-100%

(21)

7   

 

A.squamosa dan A. glabra juga memiliki aktivitas insektisida yang kuat terhadap larva C. pavonana (Prijono et al. 1994, 1997; Prijono 2001). Empat spesies ekstrak daun dari famili Asteraceae yaitu Blumea balsamifera, Elephanthopus scaber, Helianthus annus, dan Artemisiavulgaris selain menimbulkan mortalitas juga menghambat aktivitas makan, dan memperpanjang lama perkembangan larva

S. litura (Dewi & Dadang 2005). Aktivitas senyawa metabolit sekunder juga

memperlambat pembentukan pupa, misalnya A. montana, A. muricata, dan

A. reticulata memperlambat pembentukan kepompong C. pavonana selama 0.21-0.51 hari (Prijono et al. 1997).

Rimpang Acorus calamus (jeringau), bunga Illicium verum (lawang), daun

Pogostemon cabin (nilam), dan Vetiveria zizanioides (akar wangi) memiliki aktivitas penghambatan peneluran Callosobruchus chinensis lebih dari 90% (Dadang & Undayasari 2005), ekstrak biji S. mahogany dapat menghambat peletakan telur C. chinensis (Dadang & Ohsawa 2001).

Prospek pengembangan pestisida nabati di Indonesia cukup baik karena ditunjang oleh kekayaan flora yang beragam. Indonesia termasuk negara yang memiliki kekayaan flora terbesar kedua di dunia setelah Brasil. Kondisi alam Indonesia yang subur disebabkan oleh iklim tropis yang sangat cocok bagi pertumbuhan berbagai jenis tumbuhan. Fransworth (1966) menyatakan bahwa banyak tumbuhan di daerah subtropis dan tropis yang belum dikenal secara luas ternyata memiliki manfaat dan nilai ekonomi yang cukup tinggi, khususnya tanaman yang memiliki manfaat sebagai obat tradisional dan pestisida nabati.

Pencarian kandidat insektisida nabati dapat dilakukan melalui satu atau beberapa pendekatan. Beberapa pendekatan tersebut di antaranya penggunaan dalam pengobatan tradisional, jenis tumbuhan sekerabat atau sefamili yang telah diketahui berpotensi sebagai insektisida, dan berdasarkan pengalaman petani dalam pengendalian secara tradisional (Prijono 1999). Dengan pendekatan tersebut telah ditemukan lebih dari 40 jenis tumbuhan yang terdapat di Indonesia berpotensi sebagai insektisida nabati (Hamid & Nuryani 1992; Ditlinbun 1994

(22)

8   

 

tidak tertutup kemungkinan untuk menemukan famili tumbuhan lain yang bersifat insektisida. Selain bersifat sebagai insektisida, jenis-jenis tumbuhan tertentu juga memiliki sifat sebagai fungisida, bakterisida, nematisida, mitisida, dan rodentisida.

Sebelum insektisida sintetik digunakan secara luas, penggunaan tumbuhan sebagai agens pengendalian hama dan penyakit telah dilakukan oleh petani walaupun masih bersifat tradisional. Pada zaman Yunani dan Romawi klasik, petani memanfaatkan limbah dan atau organ tumbuhan seperti ampas zaitun, mentimun liar, dan bawang putih untuk mengendalikan beberapa jenis hama tanaman (Prijono 1999). Berdasarkan pengalaman tersebut para ahli menelusuri dan menemukan senyawa metabolit sekunder sebagai sumber pestisida nabati. Beberapa contoh senyawa metabolit sekunder yang telah diproduksi secara komersial untuk pengendalian hama tanaman antara lain (1) piretrin dari bunga

Tanacetum cinerariifolium, (2) nikotin dari daun Nicotina sp., (3) rotenon dari akar Derris sp, (4) dan azadaraktin dari biji Azadirachta indica. Kemajuan Iptek dan kesadaran masyarakat terhadap dampak negatif pestisida sintetik mendorong para peneliti terus berusaha menemukan berbagai senyawa yang bersifat toksik terhadap hama tanaman serta vektor pada manusia dan binatang.

Pemanfaatan insektisida nabati dapat berorentasi pada usahatani berinput rendah (low external input sustainable- LEISA) dan industri. LEISA merupakan pengetahuan yang diwarisi dari generasi sebelumnya atau diperoleh dari petani tetangga dan bahan tumbuhan mudah diperoleh di sekitar lahan pertanian atau tempat tinggal petani. Sementara orentasi industri melalui proses ekstraksi bahan aktif tumbuhan dengan pelarut organik tertentu, dan hasil ekstraksi dikemas dalam formulasi yang sesuai (Prijono & Triwidodo 1993).

Potensi Tumbuhan Famili Simaroubaceae sebagai Insektisida Nabati

(23)

9   

 

javanica). Selain bersifat sebagai obat tradisional, beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa tanaman famili Simaroubaceae memiliki potensi sebagai insektisida nabati, misalnya Quassia amara, Quassia indica, Picrodendron baccatum, dan E. longifolia.

Quassia amara

Q. amara merupakan tanaman asli dari Brasil dan telah tersebar di beberapa negara tropis dan subtropis seperti Suriname, Jamaika, India, Amerika Serikat,

dan Indonesia (Prakash & Rao 1997; Meerman et al. 2003). Di Indonesia,

Q. amara disebut dengan pohon paitan karena beberapa organ tumbuhan tersebut seperti biji, batang, dan kulitnya berasa pahit.

Q. amara termasuk tanaman perdu yang tingginya 4-6 m (Heyne 1987), dapat tumbuh di daerah hutan, pinggir sungai dan juga di tanah berpasir (Fernand 2003). Daunnya berbentuk seperti tungkai belakang belalang sembah, terdiri atas 3-5 helai daun per tangkai, dan panjang daun mencapai 5-16 cm. Bunga berwarna merah cerah dan selalu berbunga pada bulan Oktober dan November. Buah berbentuk polong, berukuran 8-10 cm dan berbuah pada bulan Desember sampai Januari. Batang berwarna krem (Grieve 1995; Fernand 2003).

Masyarakat mengenal tanaman Q. amara sebagai obat tradisional. Tahun 1730 seorang peneliti dari Suriname yang bernama Kwasi yang pertama kali menemukan Q. amara sebagai obat malaria (Fernand 2003), namun seiring dengan perkembangan Iptek Q. amara tidak hanya digunakan untuk menyembuhkan penyakit malaria. Hasil penelitian Cachet et al. (2009) menunjukkan bahwa kulit batang, batang, dan daun Q. amara dapat digunakan untuk menyembuhkan beberapa penyakit manusia selain malaria, di antaranya demam, hepatitis, gangguan sistem pencernaan, kanker, bisul, dan beberapa panyakit lain yang disebabkan oleh jamur. Meerman et al. (2003) menyatakan

bahwa masyarakat Amerika Selatan dan India menggunakan kulit batang

Q. amara sebagai obat antimalaria. Dijelaskan pula bahwa kulit batang Q. amara

(24)

10   

 

dehidroquasin, asam galat, asam gentisat, hidroksiquasin, isoparain, isoquasins, asam malat, metilkantin, metoksikantin, nigakilaktona A, neoquasin, norneoquasin, parain, quasialaktol, quasimarin, quasin, quasinol, quasol, dan simalikalaktona D.

Selain sebagai obat tradisional, Q. amara telah lama diketahui sebagai pestisida nabati. Batang quasia pertama kali digunakan sebagai insektisida nabati untuk mengendalikan kutu daun Phorodon humuli pada tahun 1880. Selain itu, dilaporkan juga bahwa Q. amara bersifat racun terhadap ulat melon Diaphania hyalinata dan kerawai daun Phymatocera aterrima (Ormerod 1884; Jacobson 1954; Poe 1982 dalam Prakash & Rao 1997). Kienzle et al. (2004) menyatakan bahwa ekstrak quasia digunakan untuk mengendalikan lalat buah apel

Hopoccampa testudinea Klug dan kutu daun apel Aphis phomi De Geer pada pertanian organik untuk tanaman buah terutama pada pertanaman apel.

Senyawa metabolit sekunder utama Q. amara yang bersifat insektisida termasuk golongan quasinoid, yang merupakan nama golongan senyawa aktif yang diberikan khusus untuk senyawa metabolit sekunder dari famili Simaroubaceae. Dua senyawa quasinoid yang bersifat insektisida adalah quasin dan neoquasin (Dweek 2002; Guo et al. 2005). Rumus bangun quasin dan neoquasin disajikan pada Gambar 1.

A B

(25)

11   

 

Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa umumnya sediaan quasia yang digunakan untuk mengendalikan hama-hama pertanian berasal dari kulit batang dan batang Q. amara. Hal ini menunjukkan bahwa senyawa aktif quasinoid lebih banyak terdapat pada kulit batang atau batang tumbuhan Q. amara

dibandingkan dengan bagian organ yang lain.

Quassia indica

Quassia indica (sin. Samadera indica) merupakan tanaman asli dari negara Malagasi dan dapat berkembang pada daerah subtropis (Usher 1973 dalam

Prakash & Rao 1997). Tanaman tersebut telah ditemukan di beberapa negara seperti India, Indonesia, Madagaskar, Srilanka, Myanmar, Cina, Thailand, Malaysia, dan Papua Nugini (Mal 1962; Rajewsky & Pauly 1962; Prakash & Rao 1997).

Tinggi tanaman Q. indica mencapai 21 m, susunan daunnya alternate dan sederhana. Bunga berwarna kuning merah. Panjang buah mencapai 65 mm dan berwarna merah lembayung, sedangkan bijinya berwarna kuning keemasan. Habitatnya pada daerah pesisir dan dataran tinggi (Mal 1962; Rajewsky & Pauly 1962). Karena dapat tumbuh di daerah pesisir pantai, masyarakat pesisir di Malabar memanfaatkan kulit batang sebagai bahan bangunan (Anonim 2010a).

Semua bagian Q. indica terasa pahit sehingga tumbuhan ini memiliki beberapa nama lokal yang berkaitan dengan kata pahit. Nama lokal tersebut antara lain gatep pait, humbi, kayu pait, kelpahit, kepait, manuggal, dan pait-pait (Mal 1962; Heyne 1987).

Q. indica memiliki beberapa manfaat bagi manusia. Di India Q. indica

digunakan sebagai obat kuat dan sakit perut. Di Indonesia, biji Q. indica

digunakan sebagai obat cuci perut, sakit demam, obat yang dapat menyebabkan muntah (emetic), sedangkan daun dan minyak biji Q. indica digunakan untuk membunuh bakteri dan menyembuhkan penyakit rematik (Fernand 2003).

Q. indica memiliki sifat insektisida terhadap beberapa serangga hama.

Govindachari et al. (2001) melaporkan bahwa ekstrak biji dan kulit batang

(26)

12   

 

perkembangan larva S. litura. Selain itu, Q. indica bersifat larvasida terhadap larva nyamuk (Rajkumar & Jebanesan 2004 dalam Samidurai et al. 2009). Ekstrak daun dengan menggunakan pelarut air dapat mengendalikan rayap (User 1973 dalam Prakash & Rao 1997).

Q. indica memiliki sejumlah senyawa metabolit sekunder yang berperan sebagai obat bagi manusia dan racun bagi serangga. Kitagawa et al. (1996) berhasil mengisolasi beberapa senyawa quasinoid dari batang Q. indica yang berasal dari Indonesia. Kelompok senyawa tersebut antara lain samaderin X, samaderin Y, samaderin Z, indaquasin X, 2-O-glukosilsamaderin C, samaderin B, samaderin C, samaderin E, indaquasin C, dan simarinolida. Samaderin X, samaderin Z, dan samaderin B dapat menghambat perkembangan parasit

Plasmodium falciparum. Selanjutnya Govindachari et al. (2001) melaporkan bahwa senyawa aktif Q. indica yang berpotensi sebagai insektisida adalah indaquasin C dan samaderin C.

Picrodendron baccatum

Tanaman lain dari famili Simaroubaceae adalah Picrodendron baccatum,

yang termasuk pohon besar dengan ketinggian mencapai 10-15 m. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa P. baccatum memiliki sifat insektisida pada beberapa serangga hama. Hosie et al. (1996) melaporkan bahwa pikrodendrin dari P. baccatum dapat menghambat gamma aminobutiric acid (GABA) pada sistem saraf pusat Drosophila sp. Selain bersifat sebagai insektisida, P. baccatum

(27)

13   

 

Irvingia malayana

Irvingia malayana merupakan salah satu tanaman dari famili Simaroubaceae yang kurang dikenal oleh masyarakat. I. malayana memiliki beberapa nama lokal seperti pauh bayan, pauh kijang, kayu bongin, dan sepah. Tanaman tersebut tingginya mencapai 40 m, batangnya bulat, lurus, dan diameter batang dapat mencapai 1.3 m. Batangnya dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai bahan bangunan, sedangkan lemak dari bijinya dapat digunakan untuk membuat sabun dan lilin.

Potensi I. malayana sebagai insektisida nabati belum pernah dilaporkan, namun berdasarkan pendekatan kandidat insektisida nabati seperti yang telah dijelaskan oleh Prijono (1999) potensi I. malayana sebagai insektisida nabati perlu diteliti. Pratiwi & Chairul (2008) melaporkan bahwa berdasarkan hasil penapisan fitokimia, ekstrak kulit batang I. malayana mengandung senyawa alkaloid, flavonoid, tanin, quinon, saponin, dan steroid. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian senyawa tersebut memiliki sifat insektisida terhadap beberapa serangga hama. Misalnya biji dan bunga Erythrina latissima

mengandung alkaloid yang memiliki aktivitas antifeedant pada larva instar III

S. littoralis (Cornelius et al. 2009).

Potensi Tephrosia vogelii sebagai Insektisida Nabati

Tephrosia vogelii merupakan tanaman asli dari Afrika dan sekarang tanaman ini dapat menyebar di beberapa negara tropis seperti Filipina, Indonesia,

Malaysia, dan Amerika (Hagemann et al.1972; Heyne 1987; Lu et al. 2006).

T. vogelii tumbuh secara alamiah pada berbagai habitat seperti vegetasi savana, padang rumput, pinggiran hutan, dan bahkan dapat tumbuh pada daerah yang tandus.

(28)

14   

 

putih dan ungu; biji kecil, keras, dan berwarna hitam (Heyne 1987; Kardinan 2002; Anonim 2009).

Di daerah Jawa Barat, T. vogelii disebut dengan kacang babi sedangkan pada beberapa tempat disebut sebagai kacang racun ikan karena kandungan racunnya dapat membunuh ikan. Selain sebagai insektisida dan moluskisida, daunnya dapat meningkatkan kandungan nitrogen dan kesuburan tanah, sisa material dapat digunakan sebagai mulsa atau pupuk hijau (Heyne 1987; Anonim 2009).

T. vogelii telah banyak dilaporkan sebagai insektisida nabati. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa sediaan T. vogelii selain efektif terhadap hama pertanian juga dapat mengendalikan hama di penyimpanan misalnya kumbang C. maculatus pada penyimpanan kacang-kacangan (Boeke et al. 2004).

T. vogelii pada konsentrasi 2.5% (w/w) dapat menolak Sitophilus zeamais sebesar 87.5% (Ogendo et al. 2003). Koona dan Dorn (2005) melaporkan bahwa ektrak heksana, aseton, dan etanol daun T. vogelii mengakibatkan kematian pada kumbang Acanthoscelides obtectus, Callosobruchus maculatus, dan C. chinensis

sehingga kerusakan biji dapat ditekan menjadi 7.1%. Di tingkat petani, T. vogelli

telah banyak digunakan untuk mengendalikan beberapa hama pertanian yang dilakukan secara tradisional.

Senyawa aktif T. vogelii yang bersifat sebagai insektisida nabati adalah rotenon, deguelin, dan tefrosin yang termasuk dalam golongan rotenoid (Delfel et al. 1970; Hagemann et al. 1972; Cabizza et al. 2004). Rumus bangun rotenon, degulin, dan tefrosin disajikan pada Gambar 2. Kandungan rotenon T. vogelii

lebih banyak terdapat pada daun dibandingkan dengan batang, sedangkan pada akar kandungan rotenonnya paling sedikit. Pada batang kandungan rotenon terdapat pada bagian korteks dan xylem (Delfel et al. 1970).

(29)

15   

 

metabolisme) dan koenzim Q (suatu koenzim respirasi yang bertanggung jawab untuk membawa elektron pada rantai transfer elektron) yang mengakibatkan kegagalan pada fungsi-fungsi pernapasan (Matsamura 1985; Wirawan 2006).

A B

C

Gambar 2 Rumus bangun rotenon (A) (Dweek 2002), deguelin (B) (Caboni

et al. 2004), dan tefrosin (C) (Lambert et al. 1993)

Arti Ekonomi, Biologi, dan Pengendalian Crocidolomia pavonana Arti Ekonomi

Crocidolomia pavonana merupakan salah satu hama penting pada tanaman Brassicaceae seperti kubis, brokoli, kubis bunga, sawi, dan petsai. Serangga ini tersebar di daerah tropis dan subtropis seperti Afrika, Asia Tenggara, Australia, dan Kepulauan Pasifik. Di Pulau Jawa serangga yang dikenal sebagai ulat krop kubis ini ditemukan di dataran tinggi atau dataran rendah (Kalshoven 1981).

(30)

16   

 

Tengah. Serangan hama ini mengakibatkan turunnya produksi sampai 50% per hektar (Anonim 1998 dalam Subagiya 2005). Adanya kerusakan yang serius disebabkan karena perilaku larva yang menyerang secara berkelompok dan membutuhkan banyak makanan untuk kelangsungan hidupnya. Larva instar I dan II mengonsumsi permukaan bawah daun kubis atau epidermis dan perilaku ini sedikit berbeda dengan larva instar III. Larva instar III tidak hanya makan daun tetapi makan bagian batang dan membuat terowongan. Larva kemudian memencar, merusak krop pada kubis, dan masuk ke titik tumbuh sehingga menyebabkan kegagalan panen bila tidak dikendalikan dengan tepat. Pada tanaman inang sering ditemukan kotoran larva C. pavonana (Yasin 2009).

Biologi

(31)

17   

 

Pengendalian

Pengendlian C. pavonana dapat dilakukan dengan sistem pengendalian hama terpadu (PHT) yang sesuai dengan Undang-undang No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman pasal 20, Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 1995 tentang Perlindungan Tanaman, dan Keputusan Menteri Pertanian No. 887/Kpts/OT.210/9/97 tentang Pedoman Pengendalian Organisme Pengganggu Tumbuhan. Beberapa komponen pengendalian dapat dilakukan dan dipadukan untuk menekan populasi C. pavonana. Komponen pengendalian tersebut antara lain budidaya tanaman sehat, pengendalian secara kultur teknis mekanis, fisik, hayati, dan kimia.

Budidaya tanaman yang sehat merupakan salah satu langkah awal dalam pengendalian hama C. pavonana. Hal ini dilakukan untuk mengurangi sumber infestasi dari C. pavonana dan inokulum dari beberapa patogen. Pengendalian secara kultur teknis dapat dilakukan dengan beberapa cara seperti tumpang sari, pengaturan waktu tanam, dan pergiliran tanaman. Cara-cara tersebut dilakukan untuk memutuskan siklus hidup C. pavonana. Pengendalian secara mekanis dapat dilakukan dengan menghancurkan kelompok telur atau mematikan larva dengan tangan.

Di ekosistem, C. pavonana memiliki beberapa musuh alami seperti parasitoid larva Eriborus argenteopilosus (Cameron) (Hymenoptera: Ichneumonidae) dan Sturmia inconspicuoides Bar. (Diptera: Tachinidae) (Sastrosiswojo & Setiawati 1993; Othman 1982 dalam Dono et al. 2005). Namun kinerja dari kedua musuh alami tersebut dalam menekan inangnya cukup rendah. Hal ini disebabkan adanya reaksi pertahanan fisiologi larva inang C. pavonana

melalui proses enkapsulasi terhadap parasitoid tersebut seperti E. argenteopilosus

(Othman 1982 dalam Dono et al. 2005). Pengendalian hayati lain yang dikembangkan adalah pemanfaatan cendawan entomopatogen Metarrhizium anisopliae dengan dosis 1010 spora per hektar dan Fusarium sp. dengan kerapatan spora 105-107 spora/hektar (Adiyogo et al. 2004).

(32)

18   

 

petani belum terlalu memanfaatkannya karena cara kerja yang lambat dalam mematikan serangga hama. Hasil penelitian Mahathir (2010) menunjukkan bahwa formulasi Bt secara tunggal dan atau campuran dengan formulasi emamektin benzoat (EB) efektif terhadap larva C. pavonana. Campuran Bt dan EB dengan perbandingan 94.737:1 memiliki sifat sinergistik lemah.

Di lapangan, pengendalian dengan menggunakan insektisida sintetik merupakan salah satu teknik yang sering dilakukan oleh petani. Beberapa insektisida sintetik yang sering digunakan untuk mengendalikan hama kubis di Indonesia antara lain klorfluazuron, teflubenzuron, sipermetrin, permetrin, deltametrin, profenofos, protiofos, emamamektin benzoat, klorpirifos, abamektin, spinosad, fentoat, dan asefat (Parker et al. 1995; Adiyogo et al. 2004; Rauf et al.

2004). Hasil survei oleh Rauf et al. (2004) tentang pengendalian serangga hama pada pertanaman kubis di Jawa Barat menunjukkan terdapat 35 formulasi

insektisida yang digunakan untuk mengendalikan hama kubis terutama

P. xylostella dan C. pavonana. Bahan aktif dari formulasi insektisida tersebut terdiri atas 6 jenis golongan organofosfat, 6 jenis golongan piretroid, 5 jenis golongan karbamat, 3 jenis insektisida mikroba, dan 4 jenis insektisida sintetik lainnya.

Komponen pengendalian secara kimia lainnya adalah insektisida nabati. Beberapa ekstrak tumbuhan yang dilaporkan efektif terhadap C. pavonana adalah

ekstrak biji A. squamosa, daun dan biji T. vogelii, buah Piper cubeba, daun

A. indica, daun Ayapana triplinervis, daun Lantana camara, dan biji Barringtonia asiatica (Facknath 1999; Herminanto et al. 2004; Abdurrohim 2008; Abizar 2010).

Pengendalian larva C. pavonana menggunakan insektisida nabati memerlukan bahan baku yang cukup banyak sehingga perlu mencari kandidat insektsida nabati lain seperti dari famili Simaraobaceae. Kandidat insektisida nabati yang telah diketahui memberikan efek biologi terhadap larva C. pavonana

(33)

19   

 

(34)

20   

 

Activity of Simalikalactone E, A New Quassinoid From Quassia amara L. (Simaroubaceae). Abstrak. Journals ASM.org. Di akses: 16 Febuari 2010.

Grieve 1995. Botanical. Com –A Moderen Herbal Quassia. Botanical.com Home Page.

http://www.botanical/botanical/mgmh/q/quassi01.htm. Diakses: 16 Febuari

(35)

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Fisiologi dan Toksikologi

Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian

Bogor, yang berlangsung sejak April 2009 sampai Juli 2010.

Penyediaan Tanaman Caisin

Tanaman caisin digunakan sebagai pakan serangga uji serta untuk uji hayati

dan fitotoksisitas. Bibit caisin yang digunakan diperoleh dari kelompok tani

Pertanian Organik Dramaga, Bogor. Bibit caisin ditanam di polibag berukuran

20 cm x 20 cm x 20 cm yang telah diisi tanah dan pupuk kandang dengan

perbandingan 3:1 (v/v). Setiap polibag berisi satu bibit caisin. Pemeliharaan

caisin meliputi penyiraman, pemupukan, dan pengendalian hama dengan cara

mekanis. Daun caisin yang berumur sekitar 2 minggu digunakan sebagai pakan

dan uji hayati, sedangkan pengujian fitotoksisitas menggunakan tanaman yang

berumur sekitar 2-3 minggu.

Pemeliharaan Serangga Uji

Serangga uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah larva C. pavonana.

Imago C. pavonana dipelihara dalam kurungan (40 cm x 40 cm x 40 cm)

berdinding kasa dan plastik. Imago diberi larutan madu 10% sebagai makanan

yang diserapkan pada kapas. Dalam kurungan tersebut diletakkan daun caisin

bertangkai bebas pestisida sebagai tempat peletakan telur, tangkainya dimasukkan

dalam botol film berisi air. Kelompok telur yang diletakkan pada daun caisin

dikeluarkan dari kurungan dan dibiarkan selama 2-3 hari. Sebelum telur menetas

dengan tanda warna telur kuning kecokelatan, daun caisin bertangkai tersebut

dipindahkan ke kotak plastik yang telah dialasi dengan kertas stensil. Setelah

telur menetas, larva diberi pakan daun caisin bebas insektisida. Menjelang

(36)

20

serbuk gergaji steril sebagai media untuk menjadi pupa. Pupa-pupa yang

terbentuk kemudian diletakkan dalam kurungan sampai menjadi imago.

Tumbuhan Sumber Ekstrak

Sumber insektisida nabati yang digunakan dalam penelitian ini adalah kulit

batang Q. amara, Q. indica, I. malayana, P. baccatum yang diperoleh dari Kebun

Raya Bogor dan daun T. vogelii bunga unguyang diperoleh dari pertanian organik

Bina Sarana Bakti Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

Ekstrasi Bahan Uji

Setiap bahan tumbuhan dipotong-potong menjadi bagian yang lebih kecil

kemudian diletakkan di atas nampan plastik yang dialasi koran. Potongan bahan

tumbuhan tersebut dikeringudarakan pada suhu kamar selama 6-12 hari tanpa

terkena cahaya matahari secara langsung atau melalui pemanasan, lalu digiling

dengan menggunakan blender atau mesin penggiling. Hasil gilingan diayak

dengan menggunakan pengayak kawat kasa berjalinan 0.5 mm. Serbuk kulit

batang Q. amara, Q. indica, P. baccatum, dan I. malayana masing-masing

sebanyak 200 g direndam dalam pelarut metanol 2000 ml dalam labu erlenmeyer.

Perendaman pertama dilakukan selama sekurang-kurangnya 24 jam. Setelah itu,

cairan rendaman tersebut disaring dengan menggunakan kertas saring kasar dan

Whatman No. 41 yang diletakkan pada corong kaca dan hasil saringan ditampung

dalam labu erlenmeyer. Cairan hasil saringan diuapkan dengan rotary evaporator

pada suhu 50 0C dan tekanan 337 mbar. Pelarut hasil penguapan digunakan untuk

merendam kembali ampas dan langkah ini terus dilanjutkan berulang-ulang

sampai hasil penyaringan menjadi agak bening atau tidak berwarna. Hasil ekstrak

yang diperoleh ditimbang kemudian disimpan di dalam lemari es pada suhu ± 4 0C

sampai digunakan untuk pengujian. Serbuk daun T. vogelii direndam dalam

pelarut etil asetat dan pelarut dalam ekstrak diuapkan pada tekanan 240 mbar.

Langkah-langkah selanjutnya dilakukan sama seperti pada ekstraksi bahan

(37)

Metode Pengujian Uji Pendahuluan

Uji pendahuluan dilakukan untuk menentukan ekstrak yang aktif terhadap

larva C. pavonana. Ekstrak Q. amara, Q. indica, P. baccatum, dan I. malayana

diuji pada konsentrasi 0.25% dan 1.00%, sedangkan ekstrak T. vogelii diuji pada

konsentrasi 0.25% dan 0.50%. Ekstrak T. vogelii, Q. amara, dan Q. indica

diencerkan dengan campuran metanol, aseton, dan Tween-80 (perbandingan

15:5:4, konsentrasi akhir 1.2%) kemudian ditambahkan akuades hingga mencapai

volume suspensi yang diinginkan. Larutan kontrol berupa akuades yang

mengandung campuran metanol, aseton, dan Tween-80 pada perbandingan yang

sama seperti pada perlakuan. Ekstrak P. baccatum dan I. malayana diencerkan

dengan metanol pada konsentrasi 1.2%, kemudian ditambahi akuades hingga

mencapai volume yang diinginkan, sedangkan kontrol berupa akuades yang

mengandung metanol 1.2%.

Potongan daun caisin bebas insektisida yang berukuran 4 cm x 4 cm

dicelupkan satu per satu dalam suspensi ekstrak yang telah disiapkan (sesuai

perlakuan) selama 30 detik kemudian dikeringanginkan di atas kertas stensil.

Sebanyak 15 ekor larva instar II C. pavonana yang baru ganti kulit dimasukkan ke

dalam cawan petri berdiameter 9 cm yang telah dialasi tisu kemudian dimasukkan

satu potong daun caisin perlakuan. Larva diberi makan daun caisin perlakuan

selama 2 x 24 jam masing-masing sebanyak satu daun kemudian diganti dengan

daun segar tanpa perlakuan. Pengamatan dilakukan 24 jam setelah perlakuan

(JSP) hingga 72 JSP dengan menghitung jumlah larva yang mati. Setiap

perlakuan diulang tiga kali.

Uji Lanjut

Ekstrak yang menimbulkan mortalitas ≥ 80% pada uji pendahuluan diuji

lebih lanjut pada rentang konsentrasi yang diharapkan mengakibatkan kematian

antara 10% dan 90%. Ekstrak Q. amara diuji pada konsentrasi 0.20%, 0.28%,

(38)

22

0.87%, dan 1.20%; dan T. vogelii 0.05%, 0.07%, 0.10%, 0.13%, 0.18%, dan

0.25%. Pada setiap pengujian disertakan kontrol. Setiap perlakuan diulang

sebanyak lima kali. Cara membuat suspensi dan prosedur pekerjaan selanjutnya

sama seperti pada uji pendahuluan, namun pengamatan dilakukan sampai larva

mencapai instar IV untuk mengetahui lama perkembangan larva C. pavonana.

Peubah yang diamati meliputi penghambatan aktivitas makan, persentase

mortalitas, dan lama perkembangan larva instar II ke III dan II ke IV. Data

penghambatan aktivitas makan dan lama perkembangan larva yang diperoleh

dianalisis dengan sidik ragam dan pembandingan nilai tengah dilakukan dengan

uji Duncan menggunakan program SAS (Statistical Analysis System) (SAS

Institute 1990). Data kematian larva instar II dan instar II+III diolah dengan

analisis probit program POLO-PC (LeOra Software 1987). Lama perkembangan

larva dihitung dari larva instar II menjadi instar III dan instar II menjadi instar IV.

Sifat Aktivitas Campuran

Konsentrasi campuran ekstrak T. vogelii + Q. amara dibuat pada

perbandingan 1:4 dan campuran ekstrak T. vogelii + Q. indica pada perbandingan

1:4.8. Suspensi setiap ekstrak dibuat secara terpisah kemudian dicampur dengan

volume yang sama. Konsentrasi campuran ekstrak T. vogelii + Q. amara

berturut-turut 0.05%, 0.07%, 0.10%, 0.13%, 0.18%, dan 0.25%. Sementara konsentrasi

campuran ekstrak T. vogelii + Q. indica adalah 0.15%, 0.21%, 0.29%, 0.38%,

0.50%, dan 0.73%. Pengujian dua jenis campuran ekstrak juga disertai dengan

kontrol dan setiap perlakuan diulang lima kali. Tahapan pekerjaan selanjutnya

sama seperti pengujian ekstrak secara terpisah.

Sifat aktivitas campuran insektisida nabati tersebut dianalisis dengan model

cara kerja berbeda untuk menghitung indeks kombinasi (IK) pada taraf LC50 dan

LC95 (Chou & Talalay 1984 dalam Dadang & Prijono 2008):

LCx1(cm) LCx2(cm) LCx1(cm) LCx2(cm) IK = + + x

(39)

LCx1 dan LCx2 masing-masing merupakan LCx komponen dua ekstrak yang aktif

pada pengujian terpisah, LCx1(cm) dan LCx2(cm) masing-masing merupakan

komponen ekstrak dalam campuran yang mengakibatkan mortalitas x (konsntrasi

contoh 50% dan 95%), nilai LCx dalam campuran merupakan hasil perkalian LCx

campuran dengan proporsi konsentrasi komponen dalam campuran bahan

tambahan.

Sifat interaksi campuran dibagi dalam empat kategori (diadaptasi dari

Kosman & Cohen 1996), yaitu

1. bila IK < 0.5, komponen campuran bersifat sinergik kuat;

2. bila IK 0.5-0.77, komponen campuran bersifat sinergik lemah;

3. bila IK > 0.77-1.43, komponen campuran bersifat aditif;

4. bila IK > 1.43, komponen campuran bersifat antagonistik.

Uji Fitotoksisitas

Uji fitotoksisitas dilakukan pada tanaman caisin yang berumur 2-3 minggu

yang ditanam pada polibag berukuran 20 cm x 20 cm x 20 cm. Sediaan ekstrak

yang diujii ialah ekstrak Q. amara, Q. indica, T. vogelii, serta dua ekstrak

campuran, yaitu campuran ekstrak T. vogelii + Q. amara dan campuran ekstrak

T. vogelii + Q. indica. Setiap jenis ekstrak diuji pada konsentrasi yang setara

LC95 masing-masing ekstrak dengan kontrol yang sesuai. Sediaan ekstrak

disemprotkan secara merata pada permukaan daun caisin (2-3 helai daun per

tanaman). Setiap perlakuan diulangi sebanyak tiga kali. Pengamatan dilakukan 3

hari setelah perlakuan dengan mengamati gejala seperti nekrosis pada daun atau

(40)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Ekstraksi Bahan Uji

Ekstrak kulit batang Q. amara, Q. indica, P. baccatum, I. malayana, dan

daun T. vogelii berbunga ungu memiliki ciri-ciri yang berbeda. Ciri-ciri fisik

yang diamati ialah bobot ekstrak, bentuk, dan warna ekstrak. Ekstraksi kulit

batang Q. amara, Q. indica, P. baccatum, dan I. malayana masing-masing

sebanyak 200 g dengan pelarut metanol 2 L menghasilkan ekstrak kasar

berturut-turut 20.7 g (10.4%), 17.9 g (8.9%), 48.0 g (24.0%), dan 27.3 g (13.7%).

Ekstraksi serbuk daun T. vogelii sebanyak 200 g dengan menggunakan pelarut etil

asetat 2 L menghasilkan 17.5 g (8.8%) ekstrak kasar (Tabel 2).

Tabel 2 Rendemen dan karakteristik fisik ekstrak lima jenis tumbuhan

Sumber ekstraka Bobot awal (g)

Rendemen (%)

Bentuk Warna

Q. amara 200 10.4 Campuran

padatan dan minyak

Hijau tua

Q. indica 200 8.9 Campuran

padatan dan minyak

Hijau tua

P. baccatum 200 24.0 Kristal Merah hati

I. malayana 200 13.7 Padatan Hijau

T. vogelii 200 8.8 Pasta Hijau tua

a Ekstrak etil asetat bagian daun untuk T. vogelii dan ekstrak metanol kulit batang untuk empat spesies dari famili Simaroubaceae.

Hasil uji pendahuluan menunjukkan bahwa ekstrak T. vogelii

mengakibatkan kematian larva C. pavonana lebih tinggi dibandingkan dengan

ekstrak Q. amara dan Q. indica. Pada konsentrasi 0.25% dan 1%, ekstrak

T. vogelii mengakibatkan kematian larva C. pavonana masing-masing sebesar

100%. Sementara ekstrak Q. amara dan Q. indica pada konsentrasi 0.25% hanya

mengakibatkan kematian larva C. pavonana masing-masing sebesar 23.3% dan

[image:40.612.124.505.339.532.2]
(41)

25   

97.8% dan 80.0% (Tabel 3). Ekstrak P. baccatum dan I. malayana tidak toksik

terhadap larva C. pavonana pada konsentrasi 1%.

Ekstrak Q. amara, Q. indica, dan T. vogelii memiliki potensi sebagai

insektisida nabati. Disebutkan demikian karena pada konsentrasi ≥ 0.50% ekstrak

tiga jenis tumbuhan tersebut mengakibatkan kematian larva C. pavonana ≥ 80%.

Dadang & Prijono (2008) menyatakan bahwa insekstisida nabati yang diekstrak

dengan pelarut organik dikatakan memiliki potensi yang baik bila pada

konsentrasi ≤ 1% sudah dapat mengakibatkan mortalitas serangga uji ≥ 80%.

Tabel 3 Pengaruh ekstrak lima jenis tumbuhan terhadap mortalitas larva C. pavonana pada uji pendahuluan

Jenis ekstrak Konsentrasi (%, w/v) Mortalitasa

Q. amara 0.25 23.3

1.00 97.8

Kontrol 0.0

Q. indica 0.25 4.4

1.00 80.0

Kontrol 0.0

P. baccatum 0.25 0.0

1.00 0.0

Kontrol 0.0

I. malayana 0.25 0.0

1.00 0.0

Kontrol 0.0

T. vogelii 0.25 100.0

0.50 100.0

Kontrol 0.0 a

[image:41.612.108.506.311.638.2]
(42)

26   

Bioaktivitas Ekstrak Tiga Jenis Tumbuhan terhadap Larva

C. pavonana pada Pengujian Secara Terpisah

Penghambatan Aktivitas Makan (Antifeedant)

Ekstrak Q. amara, Q. indica, dan T. vogelii yang diuji secara terpisah

memiliki efek penghambatan aktivitas makan (feeding inhibitor/antifeedant/

PAM) pada larva C. pavonana pada pengamatan 24 jam setelah perlakuan dengan

metode tanpa pilihan. Efek antifeedant ekstrak tiga jenis tumbuhan tersebut

terhadap larva C. pavonana berkisar dari 79% sampai 99% yang berbeda dengan

kontrol (Tabel 4).

Tabel 4 Penghambatan aktivitas makan pada larva C. pavonana akibat perlakuan dengan ekstrak Q. amara, Q. indica, dan T. vogelii pada konsentrasi yang berbeda

Jenis ekstrak Konsentrasi (%) Rerata PAM ± SD(%)a

Q. amara 1.00 97.9 ± 1.8 a

0.73 96.6 ± 0.3 a

0.53 95.0 ± 0.7 ab 0.40 93.3 ± 2.0 bc 0.28 91.5 ± 2.2 cd 0.20 90.0 ± 3.8 d

Q. indica 1.20 95.0 ± 3.2 a

0.87 94.4 ± 3.3 a

0.63 89.5 ± 9.3 ab 0.48 89.0 ± 10.0 ab 0.33 84.5 ± 14.7 bc 0.24 79.4 ± 9.5 c

T. vogelii 0.25 99.3 ± 0.2 a

0.18 99.2 ± 0.5 a

0.13 98.6 ± 0.5 ab

0.10 97.7 ± 0.8 bc

0.07 97.1 ± 1.4 c

[image:42.612.91.506.358.691.2]
(43)

27   

a

SD = standar deviasi. Rataan pada lajur yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji selang berganda Duncan (α = 0.05)..

Efek PAM (antifeedant) ekstrak T. vogelii pada larva C. pavonana lebih

tinggi dibandingkan dengan ekstrak Q. amara dan Q. indica. Efek PAM ekstrak

T. vogelii berkisar dari 96% sampai 99% pada konsentrasi 0.05%-0.25%.

Kuatnya efek PAM ekstrak T. vogelii pada larva C. pavonana kemungkinan

disebabkan oleh beberapa faktor, misalnya larva C. pavonana mengenali senyawa

aktif yang terdapat pada pakan sebagai racun sehingga serangga uji tidak

mengonsumsi pakan yang diberikan. Kemungkinan lain serangga uji mengetahui

racun pada saat mengonsumsi sehingga secara perlahan-lahan berhenti makan.

Senyawa metabolit sekunder yang telah diuji memiliki efek antifeedant di dalam

ekstrak daun T. vogelii adalah rotenon. Lu et al. (2006) menyatakan bahwa

setelah serangga terpapar oleh rotenon, secara perlahan-lahan serangga berhenti

makan dan lama kelamaan akan mati beberapa jam kemudian.

Pada penelitian lain diketahui bahwa ekstrak T. vogelii memiliki efek

antifeedant yang kuat terhadap beberapa spesies serangga terutama dari ordo

Lepidoptera seperti larva Pieris rapae, S. litura, Mythimna separata, dan

P. xylostella. Pengujian antifeedant dengan metode pilihan dapat menghambat

aktivitas makan larva instar V P. rapae sebesar 87.3%, sedangkan efek PAM pada

larva S. litura dan M. separata masing-masing 65.8% dan 100%. Pada perlakuan

tanpa pilihan efek PAM ekstrak T. vogelii terhadap larva instar V P. rapae

mencapai 94.2% pada 24 jam setelah perlakuan dan terhadap larva instar IV

P. xylostella berkisar dari 65.9% sampai 100% pada konsentrasi 0.01, 0.05, dan

0.1 µg ekstrak/L (Zang et al. 2000 dalam Lu et al. 2006).

Ekstrak Q. amara dan Q. indica memiliki efek PAM terhadap larva

C. pavonana masing-masing berkisar dari 90% sampai 97.9% pada konsentrasi

0.20%-1% dan 79.4%-95.0% pada konsentrasi 0.24%-1.20%. Lina et al. (2010)

melaporkan bahwa sediaan insektisida nabati dari salah satu spesies tanaman lain

famili Simaroubaceae, formulasi ekstrak buah B. javanica 20 EC dapat

menghambat aktivitas makan larva C. pavonana dan P. xylostella masing-masing

(44)

28   

Efek PAM ketiga jenis ekstrak uji terhadap larva C. pavonana semakin

tinggi seiring dengan meningkatnya konsentrasi ekstrak. Pada konsentrasi yang

lebih tinggi tampaknya serangga uji mampu mengenali senyawa-senyawa asing

yang tidak dibutuhkan oleh tubuh sehingga salah satu bentuk respons dari

serangga uji adalah menghindar atau menjauh dari sumber pakan yang diberikan.

Hal ini terlihat pada pengamatan secara visual sekitar 30-60 menit setelah

diberikan pakan perlakuan serangga uji umumnya mengelompok pada bagian

tutup cawan petri. Perilaku ini umumnya terjadi pada konsentrasi tertinggi

khususnya pada ekstrak Q. amara dan Q. indica. Selain itu, pada konsentrasi

tinggi kandungan senyawa aktifnya lebih tinggi yang mengakibatkan serangga uji

tidak mau mengonsumsi pakan yang diberikan.

Mortalitas Larva

Ekstrak Q. amara, Q. indica, dan T. vogelii mengakibatkan mortalitas larva

C. pavonana instar II dan instar III dan mortalitas umumnya lebih banyak

ditemukan pada larva instar II. Mortalitas larva C. pavonana lebih tinggi pada

perlakuan dengan ekstrak T. vogelii, kemudian disusul pada perlakuan ekstrak

Q. amara dan Q. indica. Perlakuan ekstrak T. vogelii mengakibatkan kematian

≥ 98% pada konsentrasi ≥ 0.13%. Sementara pada perlakuan ekstrak Q. amara dan Q. indica kematian masing-masing 88.0% dan 79.0% pada konsentrasi ≥ 1%

(Tabel 5).

Mortalitas larva C. pavonana yang diberi perlakuan ekstrak T. vogelii mulai

terjadi pada hari pertama setelah perlakuan. Pada hari kedua, kematian larva

meningkat pada semua konsentrasi terutama pada konsentrasi 0.25% dan 0.18%

yaitu kematian mencapai 100%. Pada konsentrasi 0.13%, kematian larva

C. pavonana sebesar 98.7% dan pada hari ketiga tidak terjadi peningkatan

mortalitas sampai akhir pengamatan. Pada perlakuan tiga konsentrasi tersebut

mortalitas larva terjadi pada instar II. Berbeda dengan konsentrasi yang lebih

rendah mortalitas larva ditemukan pada larva instar II dan III. Pada konsentrasi

0.1%, mortalitas larva instar III sebesar 5.5%, kemudian disusul oleh konsentrasi

(45)

29   

bahwa racun yang terkandung di dalam ekstrak T. vogelii bekerja relatif lambat.

Selain itu, kemungkinan masih ditemukan residu yang tertinggal di dalam tubuh

larva yang menimbulkan peracunan setelah larva mencapai instar III.

Tabel 5 Pengaruh ekstrak Q. amara, Q. indica, dan T. vogelii pada konsentrasi berbeda terhadap mortalitas larva C. pavonana

Jenis ekstrak Konsentrasi (%)

Mortalitas larva (%)

Instar II Instar III Instar II+III

Q. amara 1.00 85.3 2.7 88.0

0.73 45.3 8.0 53.3

0.53 45.3 5.3 50.6

0.40 25.3 6.7 32.0

0.28 10.7 12.0 22.7

0.20 8.0 8.0 16.0

Kontrol 0.0 0.0 0.0

Q. indica 1.20 73.3 5.3 78.6

0.83 68.1 6.7 74.8

0.63 40.0 1.3 41.3

0.48 28.5 2.7 31.2

0.33 22.1 2.7 24.8

0.28 10.7 0.0 10.7

Kontrol 0.0 0.0 0.0

T. vogelii 0.25 100.0 0.0 100.0

0.18 100.0 0.0 100.0

0.13 98.7 0.0 98.6

0.10 56.0 5.3 61.3

0.07 22.7 4.0 26.7

0.05 14.7 2.7 17.4

Kontrol 0.0 0.0 0.0

Pada perlakuan ekstrak Q. amara, mortalitas larva instar II mulai tampak

pada hari pertama setelah perlakuan dan terus meningkat sampai pada hari ke-8

setelah perlakuan pada semua tingkat konsentrasi. Kematian

Gambar

Tabel 1   Luas panen dan produksi sayuran Brassicaceae (Kubis bunga, Kubis, Petsai, dan Caisin) Tahun 2004-2008
Gambar 1  Rumus bangun quasin (A) dan neoquasin (B) (Guo et al.  2005)
Gambar 2 Rumus bangun rotenon (A) (Dweek 2002), deguelin (B) (Caboni
Tabel 2 Rendemen dan karakteristik fisik ekstrak lima jenis tumbuhan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “ Aktivitas Insektisida Ekstrak Biji Srikaya ( Annona squamosa L.) dari Lokasi Berbeda dan Sinergismenya dengan Ekstrak Buah Sirih Hutan

Aktivitas insektisida ekstrak biji srikaya ( Anona squamosa ) dari lokasi berbeda dan sinergismenya dengan ekstrak buah sirih hutan ( Piper aduncum L.) terhadap larva