(
P
(
Ann
SINERGI
Piper adun
nona squa
ISMENYA
ncum
L.) T
(LE
SE
INS
amosa
L.) D
A DENGA
TERHADA
EPIDOPTE
GATOT
EKOLAH
STITUT P
DARI LO
AN EKSTR
AP LARV
ERA: CRA
BUDI SA
H PASCAS
PERTANIA
BOGOR
2011
OKASI BE
RAK BUA
VA
Crocido
AMBIDA
ANTOSO
SARJANA
AN BOGO
RBEDA D
AH SIRIH
olomia pav
AE)
A
OR
DAN
H HUTAN
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Aktivitas Insektisida Ekstrak Biji Srikaya (Annona squamosa L.) dari Lokasi Berbeda dan Sinergismenya dengan Ekstrak Buah Sirih Hutan (Piper aduncum L.) terhadap Larva Crocidolomia pavonana (F.) (Lepidoptera: Crambidae)” adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Desember 2011
Gatot Budi Santoso
ABSTRACT
GATOT BUDI SANTOSO. Insecticidal Activity of Sugar-Apple (Annona squamosa L.) Seed Extracts from Different Locations and Synergism of the Most Active Extract with Spiked-Pepper (Piper aduncum L.) Fruit Extract Against
Crocidolomia pavonana (F.) (Lepidoptera: Crambidae) Larvae. Under direction of DJOKO PRIJONO and DADANG.
Results of leaf-residue bioassays of methanolic sugar-apple (Annona squamosa L.) seed extracts from eight locations in Central Java and Papua showed that LC50 of the extracts against Crocidolomia pavonana larvae ranged
from 27.6 to 374 ppm, whereas the range of LC95 was 160.8-6067.8 ppm.
Sugar-apple extract from Sumber Lawang-Blora, Central Java had the lowest LC50
value, while the extract from Cepu-Blora had the lowest LC95. The difference in
the slope of probit regression of sugar-apple extracts resulted in the difference in LC95/LC50 ratio. Spiked-pepper (Piper aduncum L.) fruit extract (LC50 867 ppm
and LC95 3122.7 ppm) was much less active than the most active sugar-apple
extract. The mixture of sugar-apple seed extract and spiked-pepper fruit extract (1:10) (LC50 66.3 ppm and LC95 1686.9 ppm) had strongly synergistic joint action
at LC50 level (combination index 0.30) but antagonistic at LC95 level (combination
index 1.59). In a semifield experiment, addition of spiked-pepper extract, neem (Azadirachta indica) seed extract or an optical brightener did not significantly increase the effectiveness of sugar apple seed extract against C. pavonana larvae on polybagged chinese cabbage plants.
RINGKASAN
GATOT BUDI SANTOSO
.
Aktivitas Insektisida Ekstrak Biji Srikaya (Annonasquamosa L. ) dari Lokasi Berbeda dan Sinergismenya dengan Ekstrak Buah Sirih Hutan (Piper aduncum L.) terhadap larva Crocidolomia pavonana (F.) (Lepidoptera: Crambidae). Dibimbing oleh DJOKO PRIJONO dan DADANG.
Ulat krop kubis, Crocidolomia pavonana (F.) (Lepidoptera: Crambidae), merupakan salah satu hama penting pada tanaman famili Brassicaceae seperti kubis, caisin, brokoli, petsai, sesawi, mostar, dan lobak. Di lapangan tidak ada musuh alami yang efektif untuk menekan populasi hama tersebut sehingga petani mengandalkan insektisida sintetik—yang dapat menimbulkan berbagai dampak negatif—untuk mengendalikan hama tersebut. Salah satu alternatif yang dapat digunakan untuk menggantikan sebagian peranan insektisida sintetik ialah insektisida nabati yang tidak merusak lingkungan dan relatif aman terhadap organisme bukan sasaran. Selain digunakan secara tunggal, insektisida nabati dapat digunakan dalam bentuk campuran, terutama bila campuran tersebut bersifat sinergis.
Penelitian ini bertujuan menguji aktivitas insektisida ekstrak biji srikaya (Annona squamosa L. ) dari enam lokasi berbeda di Jawa Tengah dan dua lokasi berbeda di Papua terhadap larva C. pavonana di laboratorium; menguji sinergisme campuran ekstrak biji srikaya dan buah sirih hutan (Piper aduncum L.) terhadap larva C. pavonana di laboratorium; serta menguji efek residu sediaan ekstrak biji srikaya dan campurannya dengan ekstrak buah sirih hutan, ekstrak biji mimba (Azadirachta indica), dan optical brightener (OB) terhadap larva C. pavonana pada tanaman caisin pada skala semilapangan.
Serbuk biji srikaya dan buah sirih hutan serta gerusan biji mimba masing-masing diekstrak dengan pelarut metanol dengan metode perendaman (maserasi). Hasil ekstrak biji srikaya dari enam lokasi di Jawa Tengah berkisar dari 16.1% (Cepu-Blora) sampai 32.3% (Kalioso-Sragen), sementara hasil ekstrak srikaya dari dua lokasi di Papua, yaitu Arso-Keerom dan Sentani-Jayapura, masing-masing 27.6% dan 26%. Hasil ekstrak buah sirih hutan dan biji mimba masing-masing 11.4% dan 15.7%.
Pengujian semilapangan dilakukan dengan menggunakan tanaman caisin dalam polybag kapasitas 2.5 liter yang diletakkan dengan jarak 40 cm x 20 cm di kebun sayuran organik milik petani di Dramaga, Bogor. Ekstrak srikaya yang paling aktif
pada taraf LC50 (Sumber Lawang, Blora) diuji pada konsentrasi yang setara dengan 6
x LC95 terhadap larva instar II C. pavonana berdasarkan pengujian di laboratorium.
Percobaan disusun dalam rancangan acak kelompok dengan perlakuan (1) ekstrak biji srikaya (EBS) 0.125%, (2) EBS 0.125% + OB 0.2%, (3) EBS 0.125% + ekstrak buah sirih hutan 0.15%, (4) EBS 0.125% + ekstrak biji mimba 0.5%, dan (5) kontrol (akuades yang mengandung metanol 1% dan Tween 80 0.2%). Setiap perlakuan diulang lima kali. Data jumlah larva yang ditemukan kembali pada 3, 4, dan 7 hari setelah infestasi diolah dengan sidik ragam yang dilanjutkan dengan uji selang berganda Duncan pada taraf nyata 5%.
Perkembangan mortalitas larva C. pavonana akibat perlakuan dengan ekstrak biji srikaya dari delapan lokasi menunjukkan pola yang lebih kurang serupa. Pada 1 HSP, mortalitas serangga uji umumnya masih rendah kecuali pada beberapa konsentrasi tertinggi. Antara 2 dan 4 HSP terjadi peningkatan mortalitas yang cukup besar dan setelah itu tingkat mortalitas larva secara umum hanya sedikit mengalami peningkatan. Peningkatan mortalitas larva C. pavonana akibat perlakuan dengan ekstrak buah sirih hutan terjadi secara lebih bertahap dari 1 sampai 7 HSP dengan peningkatan yang paling besar terjadi antara 2 dan 4 HSP.
Hasil analisis probit terhadap data mortalitas serangga uji pada 7 HSP menunjukkan bahwa toksisitas ekstrak srikaya yang teraktif dari Jawa Tengah, yaitu
dari Sumber Lawang–Blora (LC50 27.6 ppm), sekitar tujuh kali lebih tinggi daripada
ekstrak yang toksisitasnya paling lemah, yaitu dari Gemolong–Sragen (LC50 197.5
ppm). Sementara itu, ekstrak srikaya dari Arso–Keerom (106.9 ppm) sekitar 3.5 kali
lebih toksik daripada ekstrak srikaya dari Sentani–Jayapura (LC50 374 ppm). Pada
taraf LC95, di antara ekstrak srikaya dari Jawa Tengah, ekstrak srikaya dari Cepu–
Blora (LC95 160.8 ppm) memiliki toksisitas paling tinggi dan ekstrak dari Gemolong–
Sragen (LC95 555.4 ppm) toksisitasnya juga paling rendah seperti pada taraf LC50.
Sementara itu, ekstrak srikaya dari Arso–Keerom (LC95 410.8 ppm) sekitar 14.8 kali
lebih toksik daripada ekstrak srikaya dari Sentani–Jayapura (LC95 6067.8 ppm).
Pada 7 HSP, perlakuan dengan ekstrak buah sirih hutan 2000-3000 ppm mengakibatkan mortalitas larva C. pavonana sebesar 89%-97% dan mortalitas larva
pada perlakuan konsentrasi 200-1500 ppm berkisar dari 5% sampai 64%. LC50
ekstrak buah sirih hutan 32.5 kali lebih besar daripada LC50 ekstrak srikaya teraktif
(Sumber Lawang–Blora, LC50 27.6 ppm) dan LC95-nya sekitar 19.4 kali lebih besar
daripada LC95 ekstrak srikaya teraktif (Cepu–Blora, LC95 160.8 ppm).
Mortalitas larva C. pavonana pada perlakuan dengan campuran ekstrak biji srikaya dari Sumber Lawang–Blora dan ekstrak buah sirih hutan secara umum juga
makin besar dengan lebih tingginya konsentrasi uji. LC50 campuran ekstrak tersebut
(66.3 ppm) lebih mendekati nilai LC50 ekstrak srikaya Sumber Lawang– Blora (27.6
ppm) sedangkan LC95-nya (1686.9 ppm) lebih mendekati nilai LC95 ekstrak sirih
hutan (3122.7 ppm). Berdasarkan perhitungan indeks kombinasi (IK), campuran
ekstrak srikaya dan sirih hutan bersifat sinergistik kuat pada taraf LC50 (IK 0.30) dan
antagonistik pada taraf LC95 (IK 1.59). Perbedaan sifat interaksi campuran pada taraf
LC50 dan LC95 disebabkan oleh rendahnya nilai b campuran ekstrak (1.170) dibandingkan dengan nilai b ekstrak srikaya Sumber Lawang–Blora (1.878) dan sirih hutan (2.956) secara terpisah.
Selain mengakibatkan kematian, perlakuan dengan ekstrak biji srikaya hutan juga dapat memperlambat perkembangaan larva C. pavonana yang bertahan hidup. Pada perlakuan dengan ekstrak srikaya, lama perkembangan larva C. pavonana yang dari instar II ke instar III lebih panjang sampai 2 hari dan dari instar II ke instar IV lebih panjang sampai 2.4 hari dibandingkan dengan serangga kontrol.
Pada pengujian semilapangan, pada 1 HSP jumlah larva C. pavonana yang ditemukan kembali pada tanaman caisin yang diberi perlakuan ekstrak srikaya 0.125% nyata lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan campuran ekstrak srikaya 0,125% dan biji mimba 0,15% serta kontrol, tetapi tidak berbeda nyata dengan
perlakuan ekstrak srikaya yang ditambahi OB 0.2% serta campuran ekstrak srikaya
dan sirih hutan. Pada 3 HSP, jumlah larva yang ditemukan kembali makin menurun pada semua perlakuan ekstrak dan pada kontrol jumlah larva yang ditemukan kembali hanya 24%. Jumlah larva C. pavonana yang ditemukan kembali pada perlakuan ekstrak srikaya tunggal tidak berbeda nyata dengan semua perlakuan lain. Pada 5 HSP tidak ada larva yang dapat ditemukan kembali pada semua perlakuan ekstrak, sedangkan pada kontrol jumlah larva yang ditemukan kembali hanya 10.7%. Pada siang dan sore hari kelima setelah perlakuan curah hujan cukup tinggi (35 mm) sehingga dapat mencuci larva yang terdapat pada tanaman. Selain itu, sebagian larva kemungkinan juga dimangsa oleh predator.
Berdasarkan hasil penelitian yang dipaparkan di atas dapat disimpulkan bahwa ekstrak biji srikaya dari lokasi tertentu dan campurannya dengan ekstrak buah sirih hutan berpotensi untuk digunakan mengendalikan hama C. pavonana.
Kata kunci: Insektisida nabati, Crocidolomia pavonana, campuran ekstrak, kerja bersama insektisida, persistensi.
© Hak cipta milik IPB, tahun 2011
Hak cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian data atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.
a. Pengutipan hanya dapat untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah.
b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
AKTIVITAS INSEKTISIDA EKSTRAK BIJI SRIKAYA
(
Annona squamosa
L. ) DARI LOKASI BERBEDA DAN
SINERGISMENYA DENGAN EKSTRAK BUAH SIRIH HUTAN
(
Piper aduncum
L.) TERHADAP LARVA
Crocidolomia pavonana
(F.)
(LEPIDOPTERA: CRAMBIDAE)
GATOT BUDI SANTOSO
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Mayor Entomologi, Departemen Proteksi Tanaman
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Tesis : Aktivitas Insektisida Ekstrak Biji Srikaya (Annona squamosa L.) dari Lokasi Berbeda dan Sinergismenya dengan Ekstrak Buah Sirih Hutan (Piper aduncum L.) terhadap Larva Crocidolomia pavonana (F.) (Lepidoptera: Crambidae)
Nama Mahasiswa : Gatot Budi Santoso
NRP : A351080081
Disetujui,
Komisi Pembimbing
Ketua Anggota
Ir. Djoko Prijono, MAgrSc. Prof. Dr. Ir .Dadang. M.Sc.
NIP 19590827 198303 1 005 NIP 19640204 199002 1 002
Diketahui,
Ketua Mayor Entomologi Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Pudjianto, M.Si Dr. Ir. Dahrul Syah. MSc.Agr.
NIP 19580825 198503 1 002 NIP 19650814 199002 1 001
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Solo (Jawa Tengah) pada tanggal 14 Juni 1970 sebagai anak bungsu dari sepuluh bersaudara dari pasangan Bapak Syakti Moelyatto dan Ibu Sri Supantinah.
Pada tahun 1989 penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Atas YPPK Taruna Dharma Kotaraja Jayapura. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Pattimura Ambon tahun 1996.
PRAKATA
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan karunia-Nya yang dicurahkan dengan tiada henti-hentinya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Tesis yang berjudul “Aktivitas Insektisida Ekstrak Biji Srikaya (Annona squamosa,L.) dari Lokasi Berbeda dan Sinergismenya dengan Ekstrak Buah Sirih Hutan (Piper aduncum L.) terhadap Larva Crocidolomia pavonana (F.) (Lepidoptera: Crambidae)” ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Fisiologi dan Toksikologi Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Institut Pertanian Bogor dari Maret hingga November 2010 dengan sumber dana dari Pemerintah Provinsi Papua.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ir. Djoko Prijono, MAgrSc. sebagai Ketua Komisi Pembimbing yang telah
memberikan keteladanan yang mendalam akan arti ilmu pengetahuan. Terima kasih juga yang sedalam-dalamnya atas segala arahan, bimbingan, motivasi, dan ide-ide yang cerdas yang diberikan kepada penulis sejak penyusunan proposal hingga selesainya penelitian dan juga tidak henti-hentinya memberikan semangat tanpa pamrih apapun kepada penulis.
2. Prof. Dr. Ir. Dadang, M.Sc., sebagai Anggota Komisi Pembimbing, yang telah
banyak memberikan pengarahan, bimbingan, saran, motivasi, dan masukan selama penelitian dan penulisan tesis ini.
3. Bagian Pengembangan Sumber Daya Manusia Biro Kepegawaian Setda Provinsi
Papua, Dinas Perkebunan dan Peternakan Provinsi Papua atas bantuan pendanaan tugas belajar.
4. Orang tua penulis tercinta dan semua keluarga besar penulis dan tak lupa isteri dan
anak-anak penulis (Wahyuni, Agintha, dan Agatha) yang selalu mendoakan siang dan malam dan merelakan ditinggal ketika penulis menyelesaikan studi di IPB.
5. Staf Laboratorium Fisiologi dan Toksikologi Serangga, Bp. Agus Sudrajat, Herma
Amalia, Astri Febrianni, Catur Hertika, Ridho Putrotomo, dan Anugerah Panggraito yang memberikan waktunya sedikit untuk selalu menemani dan membantu dalam penelitian ini.
6. Teman-teman Program Studi Entomologi Angkatan 2008 serta semua pihak atas
semua bantuan yang telah diberikan.
Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi kepentingan orang banyak dan bagi perkembangan khazanah ilmu pengetahuan terutama di bidang entomologi.
Bogor, Desember 2011
Gatot Budi Santoso
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ... xiv
DAFTAR GAMBAR ... xv
PENDAHULUAN ... 1
Latar Belakang ... 1
Tujuan Penelitian ... 4
Ruang Lingkup Penelitian ... 4
Manfaat Penelitian ... 4
TINJAUAN PUSTAKA ... 7
Srikaya (Annona squamosa L,) ... 7
Ciri Umum dan Kegunaan ... 7
Sifat Insektisida dan Senyawa Aktif ... 7
Sirih Hutan (Piper aduncum L,) ... 9
Ciri Umum dan Kegunaan ... 9
Sifat Insektisida dan Senyawa Aktif ... 10
Pengaruh Perbedaan Lokasi terhadap Aktivitas Insektisida Nabati .... 11
Persistensi Insektisida Nabati ... 12
Potensi Campuran Insektisida Nabati ... 13
Bioekologi dan Pengendalian Crocidolomia pavonana ... 14
BAHAN DAN METODE ... 17
Tempat dan Waktu Penelitian ... 17
Penyediaan Tanaman Caisin ... 17
Pemeliharaan Serangga Uji ... 17
Pengumpulan Bahan Tumbuhan Sumber Ekstrak ... 18
Ekstraksi Biji Srikaya, Buah Sirih Hutan, dan Biji Mimba ... 18
Uji Toksisitas Ekstrak Tunggal ... 19
Uji Toksisitas Ekstrak Campuran ... 20
Uji Semilapangan ... 21
HASIL DAN PEMBAHASAN ... 23
Hasil Ekstraksi ... 23
Pengaruh Ekstrak Uji terhadap Mortalitas Larva C. pavonana ... 23
Ekstrak Srikaya ... 23
Ekstrak Buah Sirih Hutan ... 28
Campuran Ekstrak Srikaya dan Sirih Hutan ... 30
Lama Perkembangan Larva C. pavonana pada Perlakuan Ekstrak Srikaya ... 31
Halaman
Pembahasan Umum ... 35
SIMPULAN DAN SARAN ... 39
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Kondisi tempat pengumpulan biji srikaya sebagai sumber ekstrak ... 18
2 Hasil ekstraksi biji srikaya dari delapan lokasi, buah sirih hutan, dan biji
mimba dengan pelarut metanol ... 23
3 Penduga parameter toksisitas ekstrak biji srikaya dari delapan lokasi berbeda, ekstrak buah sirih hutan, dan campuran ekstrak biji srikaya dan
buah sirih hutan terhadap larva C. pavonana ... 29
4 Lama perkembangan larva C. pavonana yang diberi perlakuan dengan
ekstrak biji srikaya dari lokasi berbeda ... 33
5 Persentase jumlah larva C. pavonana yang ditemukan kembali pada
tanaman caisin yang diberi perlakuan ekstrak srikaya dan campurannya
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Biji srikaya ... 7
2 Daun dan buah sirih hutan ... 10
3 Perkembangan mortalitas larva C. pavonana yang diberi perlakuan
ekstrak biji srikaya dari Cepu-Blora, Gemolong-Sragen, dan
Gundih-Purwodadi ... 25
4 Perkembangan mortalitas larva C. pavonana yang diberi perlakuan
ekstrak biji srikaya dari Kalioso-Sragen, Sumber Lawang-Blora, dan
Wirosari-Blora ... 26
5 Perkembangan mortalitas larva C. pavonana yang diberi perlakuan
ekstrak biji srikaya dari Arso-keerom dan Sentani-Jayapura ... 27
6 Perkembangan mortalitas larva C. pavonana yang diberi perlakuan
ekstrak buah sirih hutan ... 30
7 Perkembangan mortalitas larva C. pavonana yang diberi perlakuan
campuran ekstrak biji srikaya dan buah sirih hutan ... 31
8 Data curah hujan di daerah Darmaga Bogor selama berlangsungnya percobaan semilapangan terhadap larva C. pavonana (Stasiun
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Crocidolomia pavonana (F.) (Lepidoptera: Crambidae) merupakan salah satu
hama utama tanaman kubis selain Plutella xylostella (L.) (Lepidoptera:
Yponomeutidae). Di Jawa Barat dan Sulawesi Utara, kehilangan hasil yang
ditimbulkan oleh serangan ulat C. pavonana bersama-sama dengan ulat daun P.
xylostella pada musim kemarau dapat mencapai 100% (Sastrosiswojo & Setiawati
1993; Korinus 1995). Pada bulan November 2009, hama ulat menyerang pertanaman
kubis milik petani di Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang, Nusa
Tenggara Timur dengan luas serangan mencapai 10 hektar sehingga petani tidak
dapat memanen hasilnya (Anonim 2010).
Insektisida sintetik masih menjadi andalan petani dalam pengendalian hama C.
pavonana, meskipun pengendalian hama terpadu (PHT) pada tanaman kubis telah
dikembangkan sejak akhir tahun 1980-an (Sastrosiswojo & Setiawati 1993).
Pengendalian kimiawi umum dilakukan petani karena dapat menurunkan populasi
hama dengan cepat serta insektisida sintetik mudah diperoleh dan dapat diterapkan
dengan mudah pada areal yang luas. Namun, penggunaan insektisida secara
terus-menerus dapat mengakibatkan berbagai dampak samping yang tidak diharapkan
seperti terjadinya resistensi dan resurjensi hama, ledakan hama sekunder,
terbunuhnya musuh alami, terjadinya pencemaran lingkungan, dan terdapatnya residu
insektisida pada produk pertanian (Metcalf 1982; Matsumura 1985).
Untuk menekan berbagai dampak negatif akibat penggunaan insektisida sintetik
dan mendukung penerapan PHT pada tanaman kubis, perlu dikembangkan sarana
pengendalian yang efektif terhadap hama sasaran namun aman terhadap organisme
bukan sasaran dan lingkungan. Salah satu sarana pengendalian yang memenuhi
persyaratan tersebut ialah insektisida dari tumbuhan (insektisida nabati) (Prakash &
Rao 1997; Dadang & Prijono 2008). Selain mudah terurai di lingkungan dan relatif
resistensi hama bila digunakan dalam bentuk ekstrak kasar, komponen ekstrak dapat
bersifat sinergis, dan penggunaannya dapat dipadukan dengan teknik pengendalian
hama lainnya (Prakash & Rao 1997; Schmutterer 1997; Prijono 1999).
Srikaya (Annona squamosa L., Annonaceae) merupakan salah satu jenis
tumbuhan yang memiliki potensi sebagai sumber insektisida nabati. Ekstrak biji
srikaya dilaporkan aktif terhadap berbagai serangga dari ordo Hemiptera, Coleoptera
dan Lepidoptera, termasuk larva C. pavonana (Ohsawa et al. 1994; Prakash & Rao
1997; Prijono et al. 1997). Prijono et al. (1997) melaporkan bahwa ekstrak aseton
biji srikaya memiliki aktivitas insektisida yang kuat terhadap larva instar III C.
pavonana dengan LC50 0.016% pada 3 hari setelah perlakuan (HSP). Sediaan biji srikaya yang diekstrak dengan air yang ditambahi diterjen “Rinso” 1 g/l juga aktif
terhadap serangga tersebut dengan LC50 0.197% pada 3 HSP (Basana & Prijono
1994).
Senyawa aktif utama dalam biji srikaya adalah skuamosin dan asimisin yang
termasuk golongan asetogenin (Londershausen et al. 1991; Ohsawa et al. 1994)
Senyawa aktif lain yang terkandung dalam biji srikaya yang mempunyai aktivitas
insektisida yang cukup kuat antara lain anonasin, bulatasin, dan neonanin (Kawazu et
al. 1989; Rupprecht et al. 1990). Ohsawa et al. (1994) melaporkan bahwa perlakuan
skuamosin dan asimisin dengan metode residu pada daun menghambat
perkembangan larva C. pavonana masing-masing dengan ED90 20 µg/cm2 dan ED50
20 µg/cm2, serta mematikan larva P. xylostella masing-masing dengan LD50 20
µg/cm2 dan menghambat perkembangan larva tersebut masing-masing dengan ED90 2
µg/cm2 dan ED50 2 µg/cm2.
Bahan tumbuhan yang berasal dari lokasi berbeda dapat memiliki aktivitas
insektisida yang berbeda. Sebagai contoh, penghambatan pertumbuhan larva
Spodoptera litura (F.) (Lepidoptera: Noctuidae) yang diberi perlakuan ekstrak 10
sampel biji srikaya pada konsentrasi 250 ppm berkisar dari 33% sampai 92%
(Leatemia & Isman 2004). Perbedaan aktivitas insektisida ekstrak biji srikaya
tersebut dapat disebabkan oleh perbedaan kandungan senyawa aktif dalam sampel biji
genetika dan umur tumbuhan, kondisi tanah dan vegetasi di sekitar lokasi tumbuhan
sumber, serta kondisi musim saat pengambilan bahan tumbuhan (Kaufman et al.
2006).
Selain Annonaceae, famili tumbuhan lain yang sifat insektisidanya telah sering
dilaporkan ialah Piperaceae. Salah satu spesies Piperaceae yang berpotensi sebagai
sumber insektisida nabati tetapi belum banyak diteliti di Indonesia yaitu sirih hutan
(Piper aduncum L.). Ekstrak metanol daun sirih hutan memiliki aktivitas insektisida
yang cukup kuat terhadap wereng hijau Nephotettix virescens (Distant) (Homoptera:
Jassidae) dan larva P. xylostella (Dadang 1999).
Dilapiol merupakan komponen aktif utama yang bersifat insektisida dalam
ekstrak daun sirih hutan. Bernard et al. (1995) melaporkan bahwa perlakuan dengan
dilapiol pada konsentrasi 0.1 ppm menyebabkan kematian larva nyamuk Aedes
atropalpus sebesar 92%. Baru-baru ini, Hasyim (2011) melaporkan bahwa fraksi
heksana ekstrak buah sirih hutan yang aktif terhadap larva C. pavonana mengandung
dilapiol sebagai komponen utama (68.8% dari toral area puncak kromatogram gas).
Insektisida nabati dapat digunakan secara tunggal atau dalam bentuk campuran.
Ekstrak beberapa spesies Piperaceae dapat bersifat sinergis bila dicampur dengan
ekstrak lain. Misalnya campuran ekstrak metanol buah Piper retrofractum dan daun
Tephrosia vogelii (nisbah konsentrasi 1:1) (Saryanah 2008) serta campuran ekstrak
etil asetat buah Piper cubeba dan daun T. vogelii (9:5). (Abizar & Prijono 2010)
bersifat sinergis terhadap larva C. pavonana. Baik buah P. retrofractum maupun P.
cubeba mengandung sejumlah senyawa yang memiliki gugus metilendioksifenil
(Parmar et al. 1997). Scott et al. (2008) melaporkan bahwa pencampuran beberapa
senyawa aktif tanaman Piperaceae yang mengandung gugus tersebut dapat bersifat
sinergistik. Gugus tersebut merupakan bagian aktif dari berbagai jenis senyawa yang
dikenal sebagai sinergis insektisida (Matsumura 1985; Perry et al. 1998). Dilapiol
yang merupakan senyawa aktif insektisida utama dalam tanaman sirih hutan juga
memiliki gugus metilendioksifenil sehingga ekstrak sirih hutan yang mengandung
Insektisida nabati memiliki efek residu yang terbatas pada pertanaman. Sebagai
contoh, Ginting (2003) melaporkan bahwa campuran ekstrak metanol ranting Aglaia
odorata dan Swietenia mahogany 7:3 pada konsentrasi 0.5% mengakibatkan
mortalitas yang tinggi pada larva P. xylostella, yaitu sebesar 97%, tetapi
mortalitasnya menurun menjadi 40% setelah ekstrak terpapar cahaya matahari selama
3 hari. Persistensi insektisida nabati yang singkat secara ekonomi tidak
menguntungkan bagi petani karena diperlukan aplikasi yang berulang-ulang,
sementara di pihak lain sifat tersebut memungkinkan aplikasi insektisida nabati
beberapa saat menjelang panen (Dadang & Prijono 2008).
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan
1) menguji aktivitas insektisida ekstrak biji srikaya dari delapan lokasi berbeda
terhadap larva C. pavonana di laboratorium;
2) menguji sinergisme campuran ekstrak biji srikaya yang paling aktif dan ekstrak
buah sirih hutan terhadap larva C. pavonana di laboratorium;
3) menguji efek residu ekstrak biji srikaya dan campurannya dengan bahan lain pada
tanaman caisin terhadap larva C. pavonana pada skala semilapangan.
Ruang Lingkup Penelitian
1) Pengujian aktivitas insektisida ekstrak metanol biji srikaya dari delapan lokasi
berbeda – enam lokasi di Jawa Tengah dan dua lokasi di Papua – terhadap larva C.
pavonana.
2) Pengujian sinergisme campuran ekstrak metanol biji srikaya yang paling aktif dan
ekstrak methanol buah P. aduncum terhadap larva C. pavonana.
3) Pengujian efek residu ekstrak metanol biji srikaya yang paling aktif dan
campurannya dengan ekstrak metanol buah sirih hutan, ekstrak metanol biji mimba
(Azadirachta indica), dan optical brightener pada tanaman caisin terhadap larva C.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang perbedaan
aktivitas ekstrak biji srikaya dari lokasi berbeda terhadap larva C. pavonana, sifat
sinergisme campuran ekstrak biji srikaya dan buah sirih hutan terhadap larva C.
pavonana, serta persistensi ekstrak biji srikaya dan campurannya dengan bahan lain,
yang dapat digunakan sebagai landasan dalam mengembangkan insektisida nabati
C p b m e d s B S h S Ciri Umum Srikay pohon kecil bola berlilin
manis, dan b
et al. 1975).
Srikay
dan ditanam
1987). Buah
srikaya digu
Biji srikaya
Serbuk biji
humanus L.)
Sifat Insekt
m dan Kegun
ya (Annona
dengan ting
n dengan ga
biji (Gambar
ya mudah dij
m untuk diam
h srikaya me
unakan untuk
(Gambar 1
srikaya se
).
tisida dan S
TINJA
Srikaya (
naan
squamosa L
ggi 2-7 m. B
aris tengah 5
r 1) dari bua
jumpai di pe
mbil buahny engandung b k menyembu 1) memiliki ering diguna Gam enyawa Akt
AUAN PU
(Annona squ
L., Annonac
Buah srikaya
5-10 cm. D
ah masak be
ekarangan ru
ya, yang bi
banyak vitam
uhkan penya
kulit yang
akan untuk
mbar 1 Biji s
tif
STAKA
uamosa L.)
ceae) merup a merupakan Daging buah erwarna hitam umah-rumah iasanya diko
min A dan C
akit kudis, di
keras dan b
membunuh
srikaya
pakan perdu
n buah majem
h berwarna
m mengkilap
h pedesaan d
onsumsi lan
C. Secara tra
iare, dan irit
berwarna hit
h kutu kepa
u tahunan at
muk berbent
putih, rasan
ap (van Steen
di daerah Jaw
gsung (Hey
adisional da
tasi pada kul
Sifat insektisida biji srikaya telah lama diketahui (Heyne 1987; Prakash & Rao
1997). Ekstrak biji srikaya dilaporkan aktif terhadap berbagai serangga perusak
tanaman dan hama gudang yang termasuk ordo Lepidoptera, Coleoptera, dan
Hemiptera (Ohsawa et al. 1994; Prakash & Rao 1997).
Rangkuman oleh Prakash & Rao (1997) menunjukkan bahwa ekstrak atau
serbuk biji srikaya bersifat sebagai racun perut dan racun kontak serta bersifat sebagai
insektisida, repellent (penolak serangga) dan antifeedant (penghambat makan).
Serangga yang dilaporkan rentan terhadap sediaan biji srikaya mencakup lebih dari
40 spesies, antara lain Plutella xylostella, Crocidolomia pavonana, Spodoptera
littoralis, Dysdercus koenigii, Nephottetix virescens, dan Nilaparvata lugens.
Prijono (1996) melaporkan bahwa perlakuan dengan ekstrak aseton biji srikaya
0.25% dengan metode celup daun mengakibatkan kematian larva instar III C.
pavonana sebesar 95% dan dengan metode kontak pada permukaan cawan petri
menyebabkan kematian kumbang Callosobruchus maculatus sebesar 100%. Lebih
lanjut, Prijono et al. (1997) melaporkan bahwa ekstrak aseton biji srikaya
menunjukkan aktivitas insektisida yang kuat terhadap larva C. pavonana dengan LC50
0.017 dan 0.016% pada 2 dan 3 hari setelah perlakuan (HSP).
Istiaji (1998) melaporkan bahwa LC50 ekstrak metanol biji srikaya terhadap
larva P. xylostella dengan metode celup daun dan periode kontaminasi pakan selama
6, 12, dan 24 jam berturut-turut 0.032%, 0.014%, dan 0.016% berdasarkan
pengamatan mortalitas larva pada 3 HSP. Sementara itu, ekstrak biji srikaya cukup
beracun secara kontak terhadap imago parasitoid Diadegma semiclausum. LC50
ekstrak biji srikaya terhadap parasitoid tersebut pada 1-4 HSP menurun dari 0.027%
menjadi 0.023% berdasarkan pemaparan imago parasitoid tersebut pada residu
ekstrak biji srikaya dalam tabung gelas selama 24 jam. Jadi, pada konsentrasi yang
efektif terhadap hama P. xylostella, ekstrak biji srikaya juga dapat membunuh
parasitoid D. semiclausum.
Selain aktif dalam bentuk ekstrak yang diperoleh dengan pelarut organik,
sediaan biji srikaya juga aktif dalam bentuk ekstrak airnya. Basana & Prijono (1994)
diterjen “Rinso” 1 g/l memiliki LC50 terhadap larva C. pavonana yang menurun dari 0.208% menjadi 0.181% dari 2 sampai 5 HSP.
Senyawa aktif utama yang bersifat insektisida dalam biji srikaya ialah asimisin
dan skuamosin yang termasuk dalam golongan astogenin (Rupprecht et al. 1990;
Zafra-Polo et al. 1995). Senyawa aktif tersebut selain mematikan juga bersifat
menghambat makan serta menghambat pertumbuhan dan perkembangan serangga
(Ohsawa et al. 1994). Senyawa aktif lain dalam biji srikaya yang bersifat insektisida
antara lain anonasin, bulatasin, dan neonanin (Kawazu et al. 1989; Londershausen et
al.1991).
Ohsawa et al. (1994) melaporkan bahwa skuamosin dan asimisin bersifat
insektisida terhadap larva P. xylostella dengan LD50 masing-masing 20 µg/cm2
berdasarkan pengujian dengan metode residu pada daun. Kedua senyawa tersebut
juga menghambat perkembangan larva C. pavonana dengan ED90 skuamosin 20
µg/cm2 dan ED50 asimisin 20 µg/cm2. Pada penelitian lain, Londershausen et al.
(1991) melaporkan bahwa perlakuan dengan skuamosin 20 ppm dapat mematikan
larva Aedes aegyptii sampai 100%. Pada tingkat seluler, skuamosin dan asimisin
bekerja sebagai racun respirasi sel dengan menghambat transfer elektron pada
kompleks I dari rantai transport elektron di dalam mitokondria (Londershausen et al.
1991; Zafra-Polo et al., 1995). Hal tersebut mengakibatkan penurunan produksi ATP
sehingga serangga kekurangan energi dan akhirnya mengakibatkan kematian.
Sirih Hutan (Piper aduncum L.)
Ciri Umum dan Kegunaan
Sirih hutan (Piper aduncum) (Gambar 2) merupakan salah satu jenis tumbuhan
dari famili Piperaceae yang telah tersebar luas di berbagai daerah di Indonesia dan
dikenal dengan beberapa nama daerah seperti sirih hutan (bahasa Indonesia) dan
seuseureuhan atau gedebong (Sunda). Tumbuhan sirih hutan berasal dari Amerika
s t D n d E l S t n p t b y r semak-sema tumbuh deng
Daun sirih h
nanah, dan p
dilaporkan m
Ekstrak ters
luteus, dan E
Sifat Insekt
Peneli
terbatas. Be
n-heksana, f
pada konsen
turut sebesa
bahwa ekstr
yang kuat te
residu pada
ak atau poho
gan baik pad
hutan secara
penolak sera
memiliki ak
sebut juga b
Escherichia
tisida dan S
tian tentang
ernard et al.
fraksi dikloro
ntrasi 100 pp
ar 26%, 72%
rak heksana
erhadap larv
daun masin
on kecil dan
da ketinggian a tradisional angga (Agust ktivitas molu bersifat ant coli (Orjala Gambar 2 enyawa Akt
g sifat insekt
(1995) di K
ometana, fra
pm dapat me
%, 2%, dan
sirih hutan
va C. pavona
ng-masing 1
n tumbuh. D
n 90-1000 m
l dimanfaatk
ta 2000). Ek
uskisida terh
tibakteri terh
a et al. 1993)
Daun dan b
tif
tisida sirih h
anada melap
aksi etil aseta
ematikan larv
0%.
Baru-dan fraksi a
ana dengan
290 dan 339
Di daerah-da
m dpl (Heyne
kan sebagai
kstrak petro
hadap siput
hadap Bacil
).
uah sirih hut
hutan, khusu
porkan bahw
at, dan fraks
va nyamuk A
-baru ini Ha
aktifnya mem
LC50 pada
9.3 ppm. S
aerah terten
e 1987).
obat sakit p
leum eter da
(Biomphala
llus subtilis
tan
usnya di Ind
wa perlakuan
si metanol da
Aedes atropa
asyim (2011
miliki aktivi
pengujian d
Senyawa akt
tu, sirih hut
perut, kenci
aun sirih hut
aria glabrata
s, Micricocc
donesia, mas
n dengan frak
aun sirih hut
alpus berturu
1) melapork
itas insektisi
dengan meto
bersifat insektisida dalam fraksi diklorometana daun sirih hutan ialah dilapiol
(Bernard et al. 1995). Hasyim (2011) melaporkan bahwa senyawa utama dalam
fraksi aktif dari ekstrak heksana buah sirih hutan juga dilapiol (68% dari total area
puncak kromatogram gas); senyawa lain yang teridentifikasi ialah miristisin (4.87%),
β-sitosterol (3.24%) dan piperiton (2.53%).
Perlakuan dengan dilapiol pada konsentrasi 0.1 ppm dapat menyebabkan
kematian larva nyamuk A. atropalpus sebesar 92% (Bernard et al. 1995). Fazolin et
al. (2005) melaporkan bahwa minyak atsiri sirih hutan (puncak dilapiol 74%)
memiliki aktivitas insektisida yang kuat terhadap kumbang Cerotoma tingomarianus
dengan LC50 0.06 ml/cm2 pada metode kontak residu di kertas saring dan LD50 0.002
ml/mg pada aplikasi topikal. Pada penelitian lain, Estrela et al. (2006) melaporkan
bahwa minyak atsiri sirih hutan menunjukkan aktivitas insektisida terhadap kumbang
Sitophilus zeamais dengan LC50 2.87 µL/cm2 pada aplikasi kontak, LC50 0.56 µL/g
pada aplikasi fumigan, dan LD50 0.03 µL/g pada aplikasi topikal.
Pengaruh Perbedaan Lokasi terhadap Aktivitas Insektisida Nabati
Keefektifan suatu bahan tumbuhan sebagai sumber insektisida nabati
dipengaruhi oleh sifat genetika tanaman, bagian tumbuhan, ekologi tumbuhan, serta
keadaan geografi dan iklim di tempat tumbuh tumbuhan tersebut (Dadang 1999;
Kaufman et al. (2006). Schoonhoven et al. (2005) menyatakan bahwa perbedaan
ketinggian tempat mempengaruhi kuantitas dan keragaman metabolit sekunder
tumbuhan. Sekitar 16% tumbuhan di daerah beriklim sedang mengandung alkaloid,
namun di daerah tropis jumlah tersebut meningkat hingga mencapai 37%. Lebih
lanjut, kandungan senyawa tanin pada daun tumbuhan di daerah tropis tiga kali lebih
tinggi dibandingkan dengan di daerah beriklim sedang.
Daubenmire (1974) menyatakan bahwa kandungan metabolit sekunder
dipengaruhi oleh populasi tanaman dan kondisi lingkungan sekitarnya. Populasi
tanaman sekelilingnya berpengaruh terhadap kompetisi penyerapan unsur hara
sehingga dapat menimbulkan tekanan pada tanaman dan meningkatkan pembentukan
bahan tumbuhan juga dapat disebabkan oleh perbedaan kondisi unsur hara tanah;
pada tanah yang basah dengan curah hujan yang tinggi dapat terjadi pencucian hara
tanah yang lebih besar daripada di daerah kering dengan curah hujan yang rendah
(Treshow 1970).
Leatemia dan Isman (2004) melaporkan bahwa ekstrak etanol biji srikaya dari
beberapa lokasi di Maluku memiliki pengaruh yang beragam terhadap perkembangan
larva Spodotera litura. Aktivitas ekstrak biji srikaya dari Namlea–Buru paling tinggi,
yaitu mengakibatkan hambatan perkembangan larva S. litura sebesar 91.7%, dan
aktivitas ekstrak srikaya dari Negeri Lama–Ambon paling rendah (hambatan
perkembangan 33.1%).
Satasook et al. (1994) melaporkan bahwa ekstrak metanol tanaman Aglaia
odorata yang berasal dari Thailand Selatan dapat menghambat perkembangan larva
Peridroma saucia hampir 10 kali lipat lebih kuat dibandingkan dengan ekstrak
tanaman A. odorata dari Thailand Utara. Hal serupa juga terjadi pada tanaman dari
Hawaii, bahkan dengan jarak hanya beberapa meter ekstrak daun A. odorata memiliki
perbedaan aktivitas penghambatan perkembangan terhadap P. saucia lebih dari 35
kali lipat.
Persistensi Insektisida Nabati
Persistensi merupakan jangka waktu senyawa aktif insektisida bertahan di
lingkungan. Persistensi insektisida di lingkungan dipengaruhi oleh berbagai faktor
seperti radiasi sinar matahari, curah hujan, serta faktor biotik dan abiotik di dalam
tanah (Matsumura 1985). Tingkat persistensi biasanya dapat diketahui dengan
melakukan analisis residu dengan menggunakan prosedur yang akurat dan peralatan
analisis dengan tingkat ketelitian tinggi. Cara tersebut dapat mendeteksi residu
insektisida yang sangat rendah di lingkungan. Dalam kaitan dengan keefektifan
pengendalian hama, dikenal istilah persistensi hayati, yaitu jangka waktu keefektifan
suatu insektisida terhadap hama sasaran tertentu setelah insektisida tersebut terpapar
Ginting (2003) melaporkan bahwa persistensi residu campuran ekstrak A.
odorata dan Swietenia mahagoni (OM) 7:3 0.5 %; OM 5:5 0.5 %; S. mahoni dan
Alpinia galanga (MG) 3:7 1% serta dan S. mahoni dan Tinospora tuberculata (MT)
7:3 1% pada tanaman brokoli terhadap larva P. xylostella menurun dengan cepat
setelah terpapar cahaya matahari. Mortalitas larva C. pavonana yang diberi pakan
daun brokoli segera setelah perlakuan dengan keempat macam campuran ekstrak
tersebut berturut-turut 50.0%, 73.3%, 63.3%, dan 53.3%, yang menurun menjadi
40.0%, 40.0%, 43.3%, dan 50.0% pada perlakuan dengan residu ekstrak yang telah
terpapar cahaya matahari selama 3 hari. Mortalitas serangga uji makin menurun
masing-masing menjadi 40.0%, 36.7%, 26.7%, dan 23.3% pada perlakuan dengan
residu ekstrak yang telah terpapar cahaya matahari selama 7 hari.
Syahputra (2003) melaporkan bahwa perlakuan dengan formulasi emulsifiable
concentrate ekstrak kulit batang Callophyllum soulattri 100% segera setelah
perlakuan mengakibatkan mortalitas larva C. pavonana sebesar 65.3%. Pada
perlakuan dengan residu umur 2, 3, dan 7 hari dari sediaan insektisida nabati tersebut,
mortalitas larva uji menurun masing-masing menjadi 100%, 100%, dan 96.7%.
Potensi Campuran Insektisida Nabati
Insektisida nabati dapat digunakan secara tunggal atau dalam bentuk campuran.
Penggunaan campuran insektisida nabati yang bersifat sinergistik dapat
meningkatkan efisiensi aplikasi karena insektisida campuran digunakan pada dosis
yang lebih rendah dibandingkan dengan dosis komponen masing-masing secara
terpisah. Dengan kata lain, penggunaan campuran insektisida nabati yang bersifat
sinergistik dapat mengurangi jumlah pemakaian bahan baku dibandingkan dengan
insektisida nabati yang mengandung ekstrak tunggal (Dadang & Prijono 2008). Hal
ini dapat mengatasi keterbatasan bahan baku insektisida nabati di tingkat petani
karena tumbuhan sumber insektisida nabati tidak selalu terdapat melimpah di suatu
daerah (Abizar & Prijono 2010).
Penggunaan campuran insektisida nabati pada dosis yang lebih rendah juga
lingkungan. Selain itu, penggunaan campuran insektisida nabati yang komponennya
memiliki cara kerja berbeda dapat menunda terjadinya resistensi hama (Dadang &
Prijono 2008).
Campuran dua atau lebih ekstrak tumbuhan dapat bersifat sinergis, aditif, atau
antagonistik. Misalnya, Saryanah (2008) melaporkan bahwa campuran ekstrak
heksana daun Tephrosia vogelii dan ekstrak heksana buah Piper retrofractum (1:1)
bersifat antagonistik pada taraf LC50, tetapi bersifat aditif pada taraf LC95 terhadap
larva C. pavonana. Sementara itu, campuran ekstrak metanol daun T. vogelii dan
ekstrak methanol buah P. retrofractum (1:1) bersifat sinergistik baik pada taraf LC50
maupun LC95. Pada penelitian lain, Zarkani (2008) melaporkan bahwa campuran
fraksi 2-4 kolom kromatografi (KK) T. vogelii dan fraksi 2 kromatografi vakum cair
(KVC) P. retrofractum (5:8) bersifat antagonistik pada taraf LC50 48 JSP serta LC50
dan LC95 72 JSP tetapi bersifat aditif pada LC95 48 JSP. Campuran fraksi 2-4 KK T.
vogelii dan fraksi 3 KVC P.r. (1:4) bersifat aditif pada taraf LC50 dan sinergistik
lemah pada taraf LC95. Baru-baru ini, Abizar & Prijono (2010) melaporkan bahwa
campuran campuran ekstrak etil asetat daun T. vogelii bunga ungu dan buah P.
cubeba (5:9) bersifat sinergistik terhadap larva C. pavonana baik pada taraf LC50
maupun LC95.
Pencampuran beberapa senyawa aktif tanaman Piperaceae yang mengandung
gugus metilendioksifenil dapat bersifat sinergistik (Scott et al. 2002; 2008). Gugus
tersebut merupakan bagian aktif dari berbagai jenis senyawa yang dikenal sebagai
sinergis insektisida (Matsumura 1985; Perry et al. 1998). Tanaman sirih hutan
dilaporkan mengandung dilapiol sebagai senyawa aktif utama yang bersifat
insektisida (Bernard et al. 1995). Senyawa tersebut juga memiliki gugus
metilendioksifenil di dalam molekulnya. Berdasarkan uraian tersebut, ekstrak P.
aduncum yang mengandung dilapiol diharapkan berpotensi sinergis bila dicampur
dengan ekstrak lain.
Bioekologi dan Pengendalian Crocidolomia pavonana
Ulat krop kubis, C. pavonana merupakan salah satu hama penting pada
tanaman Brasicaceae seperti kubis, brokoli, kubis bunga, sawi, dan petsai. Serangga
tersebut tersebar di beberapa negara wilayah Afrika, Asia Tenggara, Australia, dan
Kepulauan Pasifik. Di Pulau Jawa, C. pavonana ditemukan di dataran tinggi atau
dataran rendah (Kalshoven 1981).
C. pavonana mengalami metamorfosis sempurna, yaitu melewati fase telur,
larva, pupa, dan imago dalam siklus hidupnya. Telur diletakkan secara berkelompok
oleh imago betina pada permukaan bawah daun sebanyak 30–40 butir per kelompok.
Masa inkubasi telur sekitar 4–5 hari pada suhu 25–28 °C (Prijono & Hassan 1992).
Menurut Othman (1982), masa inkubasi telur rata-rata 4 hari (3-6 hari) pada suhu
26.0–33.2 °C dengan persentase penetasan 92.4% (69.2%–100%). Fase larva merusak
tanaman. Larva instar awal hidup secara berkelompok dan makan pada permukaan
bawah daun. Selanjutnya larva memencar dan masuk ke titik tumbuh sehingga
menyebabkan kegagalan panen bila tidak dikendalikan dengan tepat. Larva instar
akhir makan semua daun kecuali tulang daun dan tanaman inang dipenuhi dengan
kotoran larva (Sastrosiswojo & Setiawati 1992).
Larva C. pavonana melalui empat instar sebelum membentuk pupa dengan
lama perkembangan larva selama 8–12 hari, rata-rata 8.7 hari. Larva instar I
berwarna kuning kehijauan dengan kepala cokelat tua dan lama stadium rata-rata
sekitar 2 hari. Instar II berwarna hijau muda dan bagian lateral abdomen berwarna
kuning dengan panjang 5.5–6.1 mm dan lama stadium rata-rata sekitar 2 hari. Instar
III berwarna hijau, dengan panjang 1.1–1.3 cm dan lama stadium rata-rata 1.5 hari.
Larva instar IV berwarna hijau dengan tiga titik hitam dan tiga garis memanjang pada
bagian dorsal serta satu garis memanjang pada sisi lateral (Prijono & Hassan 1992).
Menjelang berpupa larva instar terakhir turun ke tanah. Mulanya pupa
berwarna kuning kehijauan dan lama kelamaan menjadi cokelat. Pupa diselimuti
kokon sutera dan butiran tanah, terdapat di dalam tanah pada kedalaman 4–6 cm.
Panjang pupa 10 mm dengan lama stadium 10–15 hari pada suhu 26.0–33.2 °C dan
aktif pada malam hari. Siklus hidup imago betina berkisar 23–28 hari (rata-rata 24.8
hari) dan imago jantan 24-29 hari (rata-rata 25.1 hari) (Prijono & Hassan 1992).
Selama 2–4 minggu masa hidupnya, imago betina mampu menghasilkan telur sekitar
75-300 butir dalam 2–10 kelompok telur (Kalshoven 1981).
Pengendalian C. pavonana dapat dilakukan secara mekanis, kultur teknis,
biologi, dan kimiawi. Pengendalian secara mekanis dilakukan dengan memungut
kelompok telur dan larva instar awal yang ditemukan di pertanaman dengan
menggunakan tangan (Setiawati & Sastrosiswojo 1995). Pengendalian secara kultur
teknis dengan sistem tumpang sari tanaman kubis dengan tanaman perangkap sawi
jabung (Brassica juncea) dan rape (Brassica napus) (Prabaningrum & Sastrosiswojo
1996). Srinivasan & Moorthy (1991) melaporkan bahwa penggunaan B. juncea
sebagai tanaman perangkap dapat menarik imago C. pavonana hampir 80%.
Sastrosiswojo & Setiawati (1992) melaporkan bahwa tabuhan parasitoid
Eriborus argenteopilosus (Cameron) (Hymenoptera: Ichneumonidae) dan Palexorista
incospicuoides Baranov (Diptera: Tachinidae) telah ditemukan memarasit larva instar
III dan IV C. pavonana tetapi parasitisasinya relatif rendah, yaitu hanya sekitar
7.23%.
Dalam penerapan PHT pada tanaman kubis, insektisida selektif dapat
digunakan bila populasi hama telah mencapai ambang pengendalian, yaitu 3
kelompok telur C. pavonana per 10 tanaman (Sastrosiswojo & Setiawati 1993).
Insektisida yang dapat digunakan antara lain bioinsektisida Bacillus thuringiensis dan
insektisida yang bekerja sebagai penghambat perkembangan serangga dari golongan
asilurea.
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Fisiologi dan Toksikologi Serangga,
Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB)
dan Kebun Petani Organik di Desa Babakan, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor,
sejak Maret hingga November 2010.
Penyediaan Tanaman Caisin
Tanaman caisin (Brassica rapa var. parachinensis L.) digunakan sebagai
sumber pakan serangga uji dan untuk uji semilapangan. Bibit caisin yang digunakan
diperoleh dari kelompok tani pertanian organik Dramaga, Bogor. Bibit caisin
ditanam pada polybag kapasitas 2.5 liter yang diisi tanah dan pupuk kandang dengan
perbandingan 3:1 (v/v). Pada setiap polybag ditanam satu bibit caisin. Pemeliharaan
caisin meliputi penyiraman, pemupukan, dan pengendalian hama dengan cara
mekanis. Daun caisin yang berumur sekitar 2 minggu digunakan sebagai pakan dan
uji hayati, sedangkan pengujian skala semilapangan menggunakan tanaman yang
berumur sekitar 2-3 minggu.
Pemeliharaan Serangga Uji
Serangga uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah larva Crocido-lomia
pavonana yang berasal dari koloni yang terdapat di Laboratorium Fisiologi dan
Toksikologi Serangga, Departemen Proteksi Tanaman IPB. Imago C. pavonana
dipelihara dalam kurungan yang berdinding kain kasa dan plastic (40 cm x 40 cm x
40 cm). Imago diberi pakan larutan madu 10% yang diserapkan pada kapas. Dalam
kurungan tersebut diletakkan daun caisin sebagai tempat peletakan telur; tangkai daun
caisin tersebut dimasukkan ke dalam botol film berisi air. Kelompok telur yang
diletakkan pada daun caisin dikumpulkan setiap hari. Menjelang menetas, kelompok
telur dipindahkan ke dalam wadah plastik (28 cm x 25 cm x 5 cm) yang dialasi
II digunakan untuk pengujian dan sebagian dipelihara lebih lanjut dalam wadah
plastik (35 cm x 26 cm x 6 cm) dengan pakan daun caisin secukupnya. Menjelang
berpupa, larva dipindahkan ke dalam wadah plastik (35 cm x 26 cm x 6 cm) berisi
serbuk gergaji streil sebagai medium berpupa. Sekitar 7 hari kemudian, pupa beserta
kokonnya dipindahkan ke dalam kurungan plastik kasa seperti di atas sampai muncul
imago untuk pemeliharaan selanjutnya.
Pengumpulan Bahan Tumbuhan Sumber Ekstrak
Bahan tumbuhan yang digunakan sebagai sumber ekstrak dalam penelitian ini
ialah biji srikaya (Annona squamosa), yang dikumpulkan dari enam lokasi berbeda di
Jawa Tengah dan dua lokasi berbeda di Papua (Tabel 1), dan buah sirih hutan (Piper
aduncum) yang dikumpulkan dari areal Kampus IPB Dramaga, Bogor. Biji mimba
(Azadirachta indica A. Juss,, Meliaceae), yang ekstraknya digunakan sebagai
campuran dengan ekstrak biji srikaya dalam uji semilapangan, diperoleh dari Jember,
[image:39.612.100.510.438.643.2]Jawa Timur.
Tabel 1 Kondisi tempat pengumpulan biji srikaya sebagai sumber ekstrak
Provinsi/
Kabupaten Desa
Ketinggian
(m dpl) Topografi Kondisi daerah
Jawa Tengah
Sragen Gemolong 0-10 Datar Tergenang aira
Kalioso 8-25 Bergelombang Kering
Purwodadi Gundih 0-15 Datar Tergenang aira
Wirosari 15-25 Bergelombang Kering
Blora Cepu 10-15 Datar Kering
Sumber Lawang 0-10 Datar Tergenang aira
Papua
Keerom Arso 0-15 Datar Tergenang aira
Jayapura Sentani 0-15 Datar Kering
a
Apabila turun hujan terus menerus.
Biji srikaya digiling kasar hingga terkelupas dari kulitnya lalu digiling halus
dengan menggunakan blender. Buah sirih hutan dipotong-potong menjadi
bagian-bagian kecil kemudian dikeringudarakan pada suhu kamar selama 6-12 hari tanpa
terkena cahaya matahari secara langsung. Setelah kering potongan buah sirih hutan
digiling dengan menggunakan blender. Serbuk hasil gilingan biji srikaya dan buah
sirih hutan diayak dengan menggunakan pengayak kasa kawat berjalinan 0.5 mm.
Biji mimba dikupas kulitnya lalu dihaluskan dengan menggunakan mortar.
Serbuk biji srikaya dan buah sirih hutan serta gerusan biji mimba
masing-masing sebanyak 200 g direndam secara terpisah dalam pelarut metanol sebanyak 2
liter dalam labu erlenmeyer. Perendaman pertama dilakukan selama
sekurang-kurangnya 24 jam. Setelah itu, cairan rendaman tersebut disaring dengan
menggunakan kertas saring kasar dan kertas saring Whatman No. 41 yang diletakkan
pada corong kaca dan hasil saringan ditampung dalam labu erlenmeyer. Cairan hasil
saringan diuapkan dengan rotary evaporator pada suhu 50 °C dan tekanan 337 mbar.
Pelarut hasil penguapan digunakan untuk merendam kembali ampas dan langkah ini
dilanjutkan berulang-ulang sampai hasil penyaringan mendekati tidak berwarna.
Hasil ekstrak yang diperoleh ditimbang kemudian disimpan di dalam lemari es pada
suhu ± 4 °C sampai digunakan untuk pengujian baik uji laboratorium maupun uji
semilapangan.
Uji Toksisitas Ekstrak Tunggal
Semua pengujian laboratorium dilakukan dengan metode celup daun (Abizar &
Prijono 2010). Ekstrak biji srikaya dari enam lokasi di Jawa Tengah dan dua lokasi
di Papua (Tabel 1) masing-masing diuji pada enam taraf konsentrasi, yaitu 52, 96,
132, 216, 348, dan 628 ppm ditambah kontrol. Konsentrasi uji ekstrak buah sirih
hutan berturut-turut 200, 600, 100, 1500, 2000, 2500, dan 3000 ppm ditambah
kontrol. Konsentrasi uji tersebut ditentukan berdasarkan hasil uji pendahuluan.
Setiap perlakuan diulang lima kali.
Setiap ekstrak diencerkan dengan campuran metanol dan Tween 80 (5:1 v/v)
2010). Konsentrasi akhir metanol dan Tween 80 dalam suspensi ekstrak uji
masing-masing 1% dan 0.2% (v/v). Larutan kontrol berupa akuades yang mengandung
metanol dan Tween 80 (5:1 v/v) 1.2%.
Potongan daun caisin bebas insektisida yang berukuran 4 cm x 4 cm dicelupkan
satu per satu dalam suspensi ekstrak yang telah disiapkan (sesuai perlakuan) selama
30 detik kemudian dikeringanginkan di atas kertas stensil. Sebanyak 15 ekor larva
instar II C. pavonana yang baru ganti kulit dimasukkan ke dalam cawan petri
berdiameter 9 cm yang telah dialasi tisu kemudian dimasukkan satu potong daun
caisin perlakuan. Larva diberi makan daun caisin perlakuan selama 2 x 24 jam
masing-masing sebanyak satu daun kemudian diganti dengan daun segar tanpa
perlakuan. Pengamatan dilakukan setiap hari dari 1 hari setelah perlakuan (HSP)
sampai 7 HSP dengan menghitung jumlah larva yang mati. Data mortalitas larva
diolah dengan analisis probit (Finney 1971) menggunakan program POLO-PC
(LeOra Software 1987) untuk menentukan hubungan konsentrasi-mortalitas termasuk
nilai LC50 dan LC95.
Uji Toksisitas Ekstrak Campuran
Ekstrak biji srikaya yang paling aktif pada taraf LC50 diuji dalam bentuk
campuran dengan ekstrak buah sirih hutan dengan perbandingan konsentrasi 1:10.
Konsentrasi campuran ekstrak yang diuji berturut-turut 16.5, 31.35, 45.65, 64.9,
85.25, dan 114.4 ppm ditambah kontrol. Cara perlakuan, pengamatan, dan analisis
data mortalitas sama seperti uji toksisitas ekstrak tunggal.
Sifat aktivitas campuran ekstrak srikaya dan buah sirih hutan dianalisis dengan
model kerja sama berbeda untuk menghitung indeks kombinasi (IK) pada taraf LC50
dan LC95 (Chou & Talalay 1984 dalam Dadang & Prijono 2008):
LCx1(cm) LCx2(cm) LCx1(cm) LCx2(cm)
IK = + + x
LCx1 dan LCx2 masing-masing merupakan LCx ekstrak biji srikaya dan ekstrak buah
sirih hutan pada pengujian terpisah; LCx1(cm) dan LCx2(cm) masing-masing merupakan
konsentrasi ekstrak biji srikaya dan ekstrak buah sirih hutan dalam campuran yang
mengakibatkan mortalitas x (misal 50% dan 95%). Nilai LC tersebut diperoleh
dengan cara mengalikan LCx campuran dengan proporsi konsentrasi masing-masing
ekstrak dalam campuran.
Sifat interaksi campuran dikategori dalam empat kelompok, yang diadaptasi dari
Kosman & Cohen (1996), yaitu (1) bila IK < 0.5, komponen campuran bersifat
sinergistik kuat; (2) 0.5 ≤ IK ≤ 0.77, komponen campuran bersifat sinergistik lemah;
(3) 0.77 ≤ IK ≤ 1.43, komponen campuran bersifat aditif; dan (4) IK > 1.43,
komponen campuran bersifat antagonistik.
Uji Semilapangan
Pengujian semilapangan dilakukan untuk menentukan persistensi ekstrak biji
srikaya dan campurannya dengan ekstrak buah sirih hutan, ekstrak biji mimba, dan
optical brightener (OB) pada tanaman caisin pada kondisi semilapangan.
Pengujian dilakukan dengan menggunakan tanaman caisin dalam polybag
kapasitas 2.5 liter yang diletakkan dengan jarak 40 cm x 20 cm di kebun sayuran
organik milik petani di Dramaga, Bogor. Ekstrak srikaya yang paling aktif pada taraf
LC50 (Sumber Lawang, Blora) diuji pada konsentrasi yang setara dengan 6 x LC95
terhadap larva instar II C. pavonana berdasarkan pengujian di laboratorium.
Percobaan disusun dalam rancangan acak kelompok dengan perlakuan (1) ekstrak biji
srikaya 0.125%, (2) ekstrak biji srikaya 0.125% + OB 0.2%, (3) ekstrak biji srikaya
0.125% + ekstrak buah sirih hutan 0.15%, (4) ekstrak biji srikaya 0.125% + ekstrak
biji mimba (Azadirachta indica) 0.5%, dan (5) kontrol (akuades yang mengandung
metanol 1% dan Tween 80 0.2%). Setiap perlakuan diulang lima kali.
Setiap bahan uji disiapkan dengan cara yang sama seperti pengujian di
laboratorium. Sediaan bahan uji disemprotkan pada tanaman caisin dengan
menggunakan hand sprayer pada permukaan atas dan bawah daun hingga merata.
setelah cairan semprot mengering. Jumlah larva yang ditemukan kembali pada
tanaman dicatat pada 3, 4, dan 7 hari setelah infestasi. Data jumlah larva yang
ditemukan kembali diolah dengan sidik ragam yang dilanjutkan dengan uji selang
berganda Duncan pada taraf nyata 5%. Analisis statistika dilakukan dengan
menggunakan paket program SAS (SAS Institute 2002-2003).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Ekstraksi
Ekstrak metanol biji srikaya berupa campuran padatan dan minyak yang
berwarna cokelat muda sampai cokelat tua. Ekstrak buah sirih hutan berbentuk pasta
berwarna cokelat dan ekstrak biji mimba berupa minyak berwarna kuning emas.
Hasil ekstrak biji srikaya dari enam lokasi berbeda di Jawa Tengah berkisar dari
16.1% (Cepu–Blora) sampai 32.3% (Kalioso–Sragen), sementara hasil ekstrak biji
srikaya dari dua lokasi di Papua, yaitu Arso–Keerom dan Sentani–Jayapura,
masing-masing 27.6% dan 26%. Hasil ekstrak metanol buah sirih hutan dan biji mimba
masing-masing 11.4% dan 15.7% (Tabel 2).
Tabel 2 Hasil ekstraksi biji srikaya dari delapan lokasi, buah sirih hutan, dan biji mimba dengan pelarut metanol
Bahan tumbuhan Asal bahan Hasil ekstrak (%)
Biji srikaya Jawa Tengah
Cepu, Blora 16.1
Sumber Lawang, Blora 27.2
Gundih, Purwodadi 23.7
Wirosari, Purwodadi 18.7
Gemolong, Sragen 27.5
Kalioso, Sragen 32.3
Papua
Arso, Keerom 27.6
Sentani, Jayapura 26.0
Buah sirih hutan Area Kampus IPB Dramaga,
Bogor
11.4
Biji mimba Jember, Jawa Timur 15.7
Pengaruh Ekstrak Uji terhadap Mortalitas Larva C. pavonana
[image:44.612.103.514.368.623.2]Perlakuan dengan ekstrak biji srikaya dari enam lokasi di Jawa Tengah dan dua
lokasi di Papua mengakibatkan mortalitas larva C. pavonana yang beragam, tetapi
dengan pola perkembangan mortalitas yang lebih kurang serupa. Perlakuan dengan
ekstrak srikaya dari Cepu–Blora (Gambar 3A), Gundih–Purwodadi (Gambar 3C),
Kalioso–Sragen (Gambar 4A), dan Sumber Lawang–Blora (Gambar 4B) pada
konsentrasi tertinggi (628 ppm) mengakibatkan mortalitas larva C. pavonana ≥ 80%
pada 1 hari setelah perlakuan (HSP), sedangkan perlakuan dengan ekstrak srikaya
dari Gemolong–Sragen (Gambar 3B) dan Wirosari–Purwodadi (Gambar 4C) pada
konsentrasi yang sama mengakibatkan mortalitas serangga uji 50%–60% pada 1 HSP.
Sementara itu, perlakuan dengan ekstrak srikaya dari dua lokasi di Papua, yaitu Arso–
Keerom (Gambar 5A) dan Sentani–Jayapura (Gambar 5B) pada konsentrasi 628 ppm
mengakibatkan mortalitas serangga uji masing-masing sekitar 30% dan 10% pada 1
HSP.
Secara keseluruhan, mortalitas larva C. pavonana pada perlakuan dengan
ekstrak srikaya dari Cepu–Blora, Gundih–Purwodadi, Kalioso–Sragen, dan Sumber
Lawang–Blora pada konsentrasi 52–348 ppm berkisar dari sekitar 4% sampai sekitar
70% pada 1 HSP. Perlakuan dengan ekstrak srikaya dari Gemolong–Sragen dan
Wirosari–Purwodadi pada konsentrasi 52–348 ppm secara keseluruhan
mengakibatkan mortalitas serangga uji dari sekitar 1.33% sampai sekitar 30% pada 1
HSP. Sementara itu, perlakuan dengan ekstrak srikaya dari Arso–Keerom dan
Sentani–Jayapura pada konsentrasi 52-348 ppm mengakibatkan mortalitas serangga
uji kurang dari 30% pada 1 HSP.
Pada perlakuan dengan ekstrak srikaya dari semua lokasi, mortalitas larva C.
pavonana meningkat tajam antara 1 dan 2 HSP dan peningkatan mortalitas masih
cukup besar antara 2 dan 3 HSP. Peningkatan mortalitas serangga uji antara 3 dan 4
HSP lebih landai dibandingkan dengan peningkatan mortalitas pada 2 hari
sebelumnya, dan setelah 4 HSP hanya terjadi sedikit atau sudah tidak terjadi
peningkatan mortalitas (Gambar 3, 4, dan 5). Hal ini menunjukkan bahwa kematian
perlakuan (daun perlakuan diberikan pada 2 hari pertama) dibandingkan dengan
periode setelah daun perlakuan diganti dengan daun tanpa perlakuan.
Pada 7 HSP, mortalitas larva C. pavonana pada perlakuan dengan ekstrak
srikaya dari semua lokasi meningkat dengan lebih tingginya konsentrasi ekstrak
tersebut. Berdasarkan hasil analisis probit, toksisitas ekstrak srikaya yang paling
0 20 40 60 80 100
Mortalitas (%)
0 20 40 60 80 100
0 1 2 3 4 5 6 7
Mortalitas (%)
Waktu pengamatan (HSP) 0
20 40 60 80 100
Mortalitas (%)
Kontrol 52 ppm 96 ppm 132 ppm
216 ppm 348 ppm 628 ppm
Gambar 3 Perkembangan mortalitas larva C. pavonana yang diberi perlakuan ekstrak biji srikaya dari Cepu–Blora (A), Gemolong–Sragen (B), dan Gundih–Purwodadi (C)
0 20 40 60 80 100
Mortalitas (%)
Kontrol 52 ppm 96 ppm 132 ppm
216 ppm 348 ppm 628 ppm
0 20 40 60 80 100
Mortalitas (%)
0 20 40 60 80 100
0 1 2 3 4 5 6 7
Mortalitas (%)
Waktu pengamatan (HSP)
C
[image:47.612.102.468.102.754.2]Gambar 4 Perkembangan mortalitas larva C. pavonana yang diberi perlakuan ekstrak biji srikaya dari Kalioso–Sragen (A), Sumber Lawang–Blora (B), dan Wirosari–Purwodadi (C)
Gambar 5 Perkembangan mortalitas larva C. pavonana yang diberi perlakuan
ekstrak biji srikaya dari Arso–Keerom (A) dan Sentani–Jayapura (B)
aktif dari Jawa Tengah, yaitu dari Sumber Lawang–Blora (LC50 27.6 ppm), sekitar
tujuh kali lebih tinggi daripada ekstrak srikaya yang toksisitasnya paling lemah, yaitu
dari Gemolong–Sragen (LC50 197.5 ppm) (Tabel 3). Sementara itu, ekstrak srikaya
dari Arso–Keerom (LC50 106.9 ppm) sekitar 3.5 kali lebih toksik daripada ekstrak
srikaya dari Sentani–Jayapura (LC50 374 ppm). Pada taraf LC95, di antara ekstrak
srikaya dari Jawa Tengah, ekstrak srikaya dari Cepu–Blora (LC95 160.8 ppm)
0 20 40 60 80 100
Mortalitas (%)
Kontrol 52 ppm 96 ppm 132 ppm
216 ppm 348 ppm 628 ppm
0 20 40 60
0 1 2 3 4 5 6 7
Mortalitas (%)
Waktu pengamatan (HSP)
B
[image:48.612.98.481.116.527.2]memiliki toksisitas paling tinggi dan ekstrak dari Gemolong–Sragen (LC95 555.4
ppm) toksisitasnya juga paling rendah seperti pada taraf LC50. Sementara itu, ekstrak
srikaya dari Arso, Keerom (LC95 410.8 ppm) sekitar 14.8 kali lebih toksik daripada
ekstrak srikaya dari Sentani, Jayapura (LC95 6067.8 ppm). Besarnya perbedaan
antara LC50 dan LC95 serta perbedaan dalam urutan toksisitas pada taraf LC50 dan
LC95 di antara ekstrak srikaya yang diuji disebabkan oleh perbedaan dalam
kemiringan garis regresi probit (nilai b) (Tabel 3). Namun demikian, bila data
toksisitas dari dua lokasi pada setiap kabupatern di Jawa Tengah digabungkan, secara
umum ekstrak srikaya dari Blora paling aktif kemudian diikuti oleh ekstrak srikaya
dari Purwodadi, dan yang paling lemah adalah ekstrak srikaya dari Sragen, baik pada
taraf LC50 maupun LC95.
Ekstrak Buah Sirih Hutan
Berbeda dengan perlakuan dengan ekstrak biji srikaya, mortalitas larva C.
pavonana akibat perlakuan dengan ekstrak buah sirih hutan masih rendah pada 1
HSP, kemudian meningkat cukup tajam pada 2 dan 3 HSP, selanjutnya meningkat
secara bertahap pada 4-7 HSP. Peningkatan mortalitas serangga uji secara bertahap
mencerminkan bahwa buah sirih hutan, selain mengandung komponen yang dapat
mematikan dengan segera, tampaknya juga mengandung komponen yang dapat
mengganggu perkembangan serangga.
Pada 7 HSP, perlakuan dengan ekstrak buah sirih hutan 2000-3000 ppm
mengakibatkan mortalitas larva sebesar 89%-97% dan mortalitas larva pada
perlakuan konsentrasi 200-1500 ppm berkisar dari 5% sampai 64% (Gambar 6).
Seperti pada perlakuan dengan ekstrak srikaya, mortalitas serangga uji akibat
perlakuan dengan ekstrak sirih hutan makin besar dengan lebih tingginya konsentrasi
yang diuji. Berdasarkan hasil analisis probit, LC50 ekstrak buah sirih hutan 32.5 kali
lebih besar daripada LC50 ekstrak srikaya yang paling aktif (Sumber Lawang–Blora,
LC50 27.6 ppm), dan LC95 ekstrak buah sirih hutan sekitar 19.4 kali lebih besar
daripada LC95 ekstrak srikaya yang paling aktif (Cepu–Blora, LC95 160.8 ppm).
LC50 dan LC95 disebabkan oleh perbedaan kemiringan garis regresi probit (nilai b)
antara ekstrak buah sirih hutan dan ekstrak biji srikaya. Nilai b ekstrak sirih hutan
(2.956) berada di antara ekstrak srikaya Sumber Lawang–Blora (1.878) dan ekstrak
Gambar 6 Perkembangan mortalitas larva C. pavonana yang diberi perlakuan ekstrak buah sirih hutan
Campuran Ekstrak Srikayadan Sirih Hutan
Secara umum, pola perkembangan mortalitas larva C. pavonana akibat
perlakuan campuran ekstrak biji srikaya Sumber Lawang–Blora dan buah sirih hutan
(1:10) merupakan gabungan dari pola perkembangan mortalitas akibat perlakuan
dengan ekstrak srikaya dan ekstrak sirih hutan secara terpisah (Gambar 7). Pada 1
HSP, mortalitas larva C. pavonana yang diberi perlakuan ekstrak campuran
16.5-114.4 ppm masih rendah, yaitu sekitar 2%–9%. Mortalitas larva meningkat cukup
tajam pada 2 dan 3 HSP, sedikit meningkat pada 4 HSP dan mencapai nilai
maksimum pada 5 HSP.
Seperti pada perlakuan dengan ekstrak srikaya dan sirih hutan secara terpisah,
mortalitas larva C. pavonana pada perlakuan dengan campuran kedua ekstrak tersebut
secara umum juga makin besar dengan lebih tingginya konsentrasi yang diuji
(Gambar 7). LC50 campuran ekstrak tersebut (66.3 ppm) lebih mendekati nilai LC50
ekstrak srikaya Sumber Lawang–Blora (27.6 ppm) sedangkan LC95-nya (1686.9 ppm)
lebih mendekati nilai LC50 ekstrak sirih hutan (3122.7 ppm). Berdasarkan
0 20 40 60 80 100
0 1 2 3 4 5 6 7
Mortalitas (%)
Waktu pengamatan (HSP)
Kontrol 200 ppm 600 ppm
1000 ppm 1500 ppm 2000 ppm
[image:52.612.124.458.86.329.2]perhitungan indeks kombinasi, campuran ekstrak srikaya dan sirih hutan bersifat
sinergistik kuat pada taraf LC50 (IK 0.30) dan
Gambar 7 Perkembangan mortalitas larva C. pavonana yang diberi perlakuan
dengan campuran ekstrak biji srikaya dan buah sirih hutan 1:10
antagonistik pada taraf LC95 (IK 1.59). Perbedaan sifat interaksi campuran pada taraf
LC50 dan LC95 disebabkan oleh rendahnya nilai b campuran ekstrak (1.170)
dibandingkan dengan nilai b ekstrak srikaya Sumber Lawang–Blora (1.878) dan sirih
hutan (2.956) secara terpisah (Tabel 3). Akibatnya pada konsentrasi di atas LC50,
peningkatan konsentrasi ekstrak campuran akan mengakibatkan peningkatan
mortalitas larva yang lebih rendah dibandingkan peningkatan mortalitas larva akibat
perlakuan dengan ekstrak srikaya dan sirih hutan secara terpisah.
Lama Perkembangan Larva C. pavonana pada Perlakuan Ekstrak Srikaya
Selain mengakibatkan kematian, perlakuan dengan ekstrak biji srikaya dari
semua lokasi juga dapat memperpanjang lama perkembangan larva instar II C.
pavonana yang bertahan hidup memasuki instar III dan/atau instar IV. Lama
perkembangan larva C. pavonana dari instar II ke III dan dari instar II ke IV pada 0
10 20 30 40 50 60
0 1 2 3 4 5 6 7
Mortalitas
(%
)
Waktu pengamatan (HSP)
[image:53.612.109.470.126.368.2]perlakuan dengan ekstrak srikaya dari Cepu–