• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis ergonomi pada penyiapan lahan sawah lebak menggunakan alat tradisional tajak di Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis ergonomi pada penyiapan lahan sawah lebak menggunakan alat tradisional tajak di Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan"

Copied!
121
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS ERGONOMI PADA PENYIAPAN LAHAN SAWAH LEBAK

MENGGUNAKAN ALAT TRADISIONAL

TAJAK

DI KABUPATEN BANJAR KALIMANTAN SELATAN

INDYA DEWI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Ergonomi pada Penyiapan Lahan Sawah Lebak Menggunakan Alat Tradisional Tajak di Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan adalah karya saya dengan dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, April 2011

(3)

ABSTRACT

INDYA DEWI. Ergonomic Analysis on Land Preparation of Marshland Field Using Traditional Tool Tajak at Banjar Regency South Kalimantan. Under

direction of M. FAIZ SYUAIB and TINEKE MANDANG.

Marshland field in South Kalimantan is one of potential new source of paddy field area. Regarding marginal characteristics of teh field however, there are some obstacles need to be overcame related to farm work activities, especially land preparation activity. Traditional local farmers in South Kalimantan conventionally do the field preparation by using a traditional tool named “tajak”. This typical traditional tool is very appropriate for land preparation in marshland field which is enabling to cultivate without raising the pirit (FeS2) layer. However, it is quite difficult, hard and dangerous to operate tajak, and it’s difficult to learn by a novis operator as well. Therefore, ergonomics study will be beneficial to develop more convenient, safe and effective tajak. This study focused in workload and human-tool suitability analyses. Workload analysis was conducted based on heart rate (HR) parameter,while human tool suitability analysis was conducted based on anthropometri and motion study. The result of workload analysis revealed that tajak operation is an “extremey hard” workload, whichs the avarage of IRHR is 2,14. The workload level of tajak operation is indicatively by workload intencity and swing elevation. Regarding the Total energy cost per weight (TEC’) and hours of work (JOK) , the tajak operation consumes 5,36 kcal/kg.hour and need 61.07 hour/ha in average. Anthropometri and motion study analysed revealed that the dimentional suitability of tajak tool is strongly related to shoulders and waist heightly, arms length, and hands grips diameter. Based on the result of tajak anthropometri and motion analyses, for better design of tajak’s handle was recommended 75.70 cm.

(4)

RINGKASAN

INDYA DEWI. Analisis Ergonomi pada Penyiapan Lahan Sawah Lebak Menggunakan Alat Tradisional Tajak di Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan. Dibimbing oleh M. FAIZ SYUAIB dan TINEKE MANDANG.

Lahan rawa merupakan lahan alternatif penting mengatasi keterbatasan pertanian di Pulau Jawa, karena memiliki beberapa keunggulan. Disisi lain, marjinalitas lahan yang selalu terendam, rendahnya kerapatan lindak, dan adanya lapisan pirit (FeS2) merupakan kendala aktivitas pertanian khususnya penyiapan

lahan, sehingga diperlukan sistem pengendalian air dan penyiapan lahan yang tepat.

Kearifan budaya lokal (indegeneus knowledge) yang telah dilakukan selama ratusan tahun telah mengajarkan kepada petani lokal tradisional di Kalimantan Selatan untuk melakukan penyiapan lahan secara konvensional menggunakan alat tradisional yang dinamakan tajak. Alat ini berfungsi menebas gulma dan membalik sedikit lapisan top soil tanpa menyebabkan terangkatnya pirit (minimum tillage). Namun demikian pengoperasian alat ini sangat sulit dan berbahaya, serta hanya dapat digunakan dengan baik oleh operator yang berpengalaman. Oleh karena itu, studi ergonomi pada pengoperasian tajak perlu dilakukan. Sehingga tajak dapat dioperasikan dengan aman, nyaman dan efektif. Hasil studi ergonomi ini diharapkan menjadi dasar pengembangan alat yang lebih modern dan sesuai dengan antropometri masyarakat setempat.

Penelitian ini bertujuan untuk; (1) Menganalisis tingkat beban kerja subjek pada pengolahan tanah secara manual menggunakan alat tradisional tajak di lahan rawa lebak Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan, (2) Menganalisis kesesuaian dimensi tajak terhadap penggunanya melalui analisis gerak (motion analysis) dan pendekatan antropometri, (3) Menguji efektifitas penggunaan tajak di lahan rawa lebak dengan paremeter gulma yang terangkat.

Penelitian ini meliputi; (1) Penelitian pendahuluan, (2) Pengambilan data antropometri dan denyut jantung pada saat kalibrasi dan aktivitas menajak empat subjek utama, (3) Pengukuran antropometri dan dimensi tajak 60 petani pengguna tajak di Kecamatan Martapura Barat, (4) Perekaman aktivitas menajak, (5) Pengukuran efektifitas tajak terhadap gulma yang terangkat, serta (6) Pengolahan dan analisis data.

Hasil analisis kualitatif menunjukkan rerata IRHR kerja pada aktivitas menajak di lahan rawa lebak Kabupaten Banjar Kalimanta Selatan adalah 1,78-2,47 denyut/menit, sehingga beban kerja pada aktivitas menajak adalah ’Berat’-’Luar Biasa Berat’ dengan rerata kerja ’Sangat Berat’. Sedangkan analisis kuantitatif menunjukkan total energi kerja perberat badan (TEC’) 4.39-6.33 kkal/kg.Jam dan rerata 5.36 kkal/kg.Jam.

(5)

Berdasarkan hasil perhitungan didapatkan panjang tangkai untuk persentil ke-5, persentil ke-50, dan persentil ke-95 adalah 70.41 cm, 75.7cm dan 79.10 cm. Panjang tangkai tajak yang akan didesain menggunakan data antropometri persentil ke-50 yaitu 75.70 cm agar orang yang memiliki lengan atas dan bawah yang panjang ataupun pendek tetap dapat menggunakannya.

Pengukuran efektifitas tajak terhadap parameter gulma yang terangkat adalah 87.05% -93.65% dengan rerata 89.9%, serta memerlukan jam orang kerja (JOK) 47.93-75.67 jam/ha dengan rerata 61.07 jam/ha. Besarnya konsumsi energi untuk aktivitas menajak di lahan rawa lebak adalah 210.43 kkal/kg.ha-406.33 kkal/kg.ha serta rerata 328.18 kkal/kg.ha.

(6)

@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(7)

ANALISIS ERGONOMI PADA PENYIAPAN LAHAN SAWAH LEBAK

MENGGUNAKAN ALAT TRADISIONAL

TAJAK

DI KABUPATEN BANJAR KALIMANTAN SELATAN

Indya Dewi

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Teknik Mesin Pertanian dan Pangan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Judul Tesis : ANALISIS ERGONOMI PADA PENYIAPAN LAHAN SAWAH LEBAK MENGGUNAKAN ALAT

TRADISIONAL TAJAK DI KABUPATEN BANJAR KALIMANTAN SELATAN

Nama : Indya Dewi

NIM : F151080111

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. M. Faiz Syuaib, M.Agr Prof. Dr. Ir. Tineke Mandang, M.S

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Teknik Mesin Pertanian dan Pangan

Dr. Ir. Setyo Pertiwi, M.Agr Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah dengan judul Analisis Ergonomi pada Penyiapan Lahan Sawah Lebak Menggunakan Alat Tradisional Tajak di Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan berhasil diselesaikan. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Februari 2010 sampai dengan Oktober 2010 di Kecamatan Martapura Barat Kalimantan Selatan

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. M. Faiz Syuaib, M.Agr selaku pembimbing pertama atas segala bimbingan, arahan dan masukannya selama proses penelitian berlangsung hingga penulisan tesis ini selesai dan Ibu Prof. Dr. Ir. Tineke Mandang, M.S selaku pembimbing kedua atas segala koreksi, bimbingan dan arahannya dalam menyusun tesis ini, serta Bapak Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, M.S sebagai dosen penguji luar komisi.

Penulis juga menyampaikan penghargaan kepada Dr. Ir. Setyo Pertiwi, M.Agr selaku Ketua Mayor Teknik Mesin Pertanian dan Pangan, Universitas Lambung Mangkurat khususnya Program Studi Agronomi Fakultas Pertanian atas kesempatan yang diberikan, Program Hibah Kompetisi (PHKI) Tema B sebagai penyandang dana, dan Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan yang turut membantu dana penelitian, seluruh Staf Pengajar Mayor Teknik Mesin Pertanian dan Pangan beserta staf, dan teman-teman TMP 2008 atas semangat dan kebersamaannya selama ini.

Rasa syukur dan ucapan terimakasih yang tak terhingga saya persembahkan untuk suami tercinta M. Dwi Tanjuri, anak-anakku yang kucintai Shofiya Rahma Syahida dan Raisya Farras Tsabita, ibunda Hj. Nursuhaida, ayahanda Suparing (alm.) serta mertua saya, H. Darto dan Hj. Ratna Mustikaningsih atas segala doa, motivasi, dan pengorbanannya selama ini.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Banjarmasin pada tanggal 12 Nopember 1978. Penulis merupakan anak ke lima dari enam bersaudara, putri dari Bapak Suparing (alm) dan Ibu Hj. Nursuhaida.

Penulis menyelesaikan sekolah menengah di SMU Negeri 1 Banjarbaru dan lulus pada tahun 1998. Penulis diterima di Program Studi Agronomi Universitas Lambung Mangkurat Kalimantan Selatan pada tahun 1998 dan lulus sebagai Sarjana Pertanian pada tahun 2004. Selama kuliah penulis aktif sebagai asisten dosen. Selanjutnya penulis menjadi sebagai staf pengajar Program Studi Agronomi dengan spesifikasi Mekanisasi Pertanian di almamater pada tahun 2004 hingga sekarang. Pertengahan Agustus 2008 penulis diterima di Mayor Teknik Mesin Pertanian dan Pangan, Departemen Teknik Pertanian Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

(12)

DAFTAR ISI

2.5 Pertanian Tradisional di Lahan Rawa Kalimantan Selatan ... 7

2.5.1 Penyemaian (Meneradak atau Menugal) ... 9

2.8 Kearifan Lokal Penyiapan Lahan di Kalimantan Selatan ... 14

(13)

3.3.7 Pengukuran Efektivitas Tajak terhadap Gulma ... 43

3.3.8 Kesesuaian Antropometri Subjek dengan Dimensi Tajak ... 43

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 45

4.1 Pengukuran Beban Kerja ... 45

4.1.1 Pengukuran Metabolisme Basal (BME) ... 45

4.1.2 Pengukuran IRHR, WECST dan WEC Kerja ... 46

4.1.3 Beban Kerja Kualitatif dan Kuantitatif ... 50

4.2 Analisis Gerak (Motion Analysis) dan Dimensi Tajak... 51

4.3 Analisis Antropometri ... 53

4.3.1 Analisis Antropometri Petani Pengguna Tajak ... 53

4.3.2 Analisis Panjang Tangkai Tajak ... 55

4.4 Efektifitas Kerja Tajak ... 61

4.4.1 Efektivitas Kerja Tajak terhadap Parameter Terangkatnya Gulma ... 61

4.4.2 Kebutuhan JOK pada Penyiapan Lahan Menggunakan Tajak ... 62

4.4.3 Konsumsi Energi pada Aktivitas Menajak... 63

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 65

5.1 Kesimpulan ... 65

5.2 Saran ... 65

DAFTAR PUSTAKA ... 66

LAMPIRAN ... 69

(14)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Selang gerakan dari beberapa zona ... 25

2 Konversi BME ekuivalen dengan VO2 berdasarkan luas permukaan tubuh ... 29

3 Kategori pekerjaan berdasarkan IRHR ... 33

4 Pengambilan Sampel Petani Pengguna Tajak Desa di Kecamatan Martapura Barat ... 35

5 Pengukuran data antropometri ... 40

6 Pengukuran dimensi tajak ... 40

7 Karakteristik antropometri dan nilai BME masing-masing subjek ... 46

8 IRHR subyek pada KST ... 47

9 Nilai IRHR dan WECST subjek pada KST ... 48

10 Persamaan kalibrasi dan WEC pada saat menajak... 49

11 Beban kerja kualitatif dan kuantitatif aktivitas menajak ... 50

12 Intensitas ayunan, sudut maksimum, dan tinggi angkat tajak ... 51

13 Dimensi tajak yang dipergunakan subjek ... 52

14 Parameter antropometri yang terkait dengan gerakan menajak ... 55

15 Penjelasan Gambar 30 ... 59

16 Perhitungan panjang tangkai tajak ... 60

17 Efektifitas tajak terhadap pertumbuhan gulma ... 62

18 Kebutuhan jam orang kerja pada aktivitas menajak ... 62

19 Konsumsi energi kerja pada aktivitas menajak ... 63

(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Pembagian zona lahan rawa di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) ... 5

2 Kegiatan pertanian tradisional di Kalimantan Selatan ... 8

3 Benih yang telah disemai (diteradak) ... 9

4 Pemindahan bibit pertama (meampak) ... 10

5 Pemindahan bibit kedua (melacak) ... 10

6 Penanaman akhir ... 11

7 Tajak surung, tajak bulan dan tajak bedandan (bungkul) ... 12

8 Gerakan menajak ... 13

9 Sistem tajak, puntal, hambur ... 14

10 Distribusi normal dan perhitungan persentil ... 23

11 Macam-macam selang gerakan ... 26

12 Macam-macam selang gerakan pada saat menajak ... 27

13 Step Test Kalibrasi ... 31

14 Ilustrasi pengukuran parameter nomor 2 sampai 11 ... 36

15 Ilustrasi pengukuran parameter nomor 12 sampai 16 ... 36

16 Ilustrasi pengukuran parameter nomor 17 sampai 18 ... 37

17 Ilustrasi pengukuran parameter nomor 24 sampai 31 ... 37

18 Ilustrasi pengukuran parameter nomor 32 sampai 36 ... 38

19 Ilustrasi pengukuran parameter nomor 37 sampai 41 ... 38

20 Bagian-bagian tajak ... 39

21 Distribusi normal dan perhitungan persentil ... 41

22 Diagram alir penelitian ... 42

23 Diagram alir penelitian ... 44

24 Hasil pengukuran denyut jantung KST Subjek P1... 46

25 Grafik korelasi WECST dan IRHRST Subjek ... 48

26 Grafik IRHR Kerja Subjek P1 Ulangan Ke-1 ... 49

27 Karakteristik kerja subjek ... 51

28 Petani dalam melakukan gerakan menajak ... 54

29 Posisi mata tajak saat tepat menebas gulma... 56

(16)

31 Subjek pada posisi mata tajak tepat menebas gulma ... 57

32 Ilustrasi analisis panjang tangkai tajak ... 58

33 Ilustrasi perhitungan tinggi titik D ... 60

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Data antropometri sampel penelitian Anindita (2003) ... 71

2 Nilai z (z-score) ... 73

3 Hasil pengukuran denyut jantung KST Subjek ... 74

4 Data antropometri petani di Kecamatan Martapura Barat ... 75

5 Jenis dan dimensi tajak di Kecamatan Martapura Barat ... 84

6 Hasil pengukuran denyut jantung KST subjek P1 ... 87

7 Hasil pengukuran denyut jantung KST subjek P2 ... 88

8 Hasil pengukuran denyut jantung KST subjek P3 ... .. 89

9 Hasil pengukuran denyut jantung KST subjek P4 ... 90

10 Denyut jantung aktivitas menajak subjek P1 ... 91

11 Denyut jantung aktivitas menajak subjek P2 ... 93

12 Denyut jantung aktivitas menajak subjek P3 ... .. 96

(18)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pertanian bagi bangsa Indonesia bukan hanya sekedar bercocok tanam untuk menghasilkan bahan pangan. Pertanian merupakan bagian dari budaya dan sekaligus urat nadi kehidupan sebagian masyarakatnya. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan kalau dikatakan bahwa maju mundurnya bangsa Indonesia sangat bergantung pada keberhasilan dalam membangun sektor pertaniannya.

Penduduk Indonesia pada tahun 2010 mencapai 238 juta jiwa, dengan laju pertambahan penduduk 1.4% dan 99% mengkonsumsi nasi sebagai pangan utama, tentu akan memerlukan tambahan pangan yang besar (SUSENAS 2010).

Pulau Jawa masih memegang peranan sebagai pemasok utama pangan secara nasional. Adanya tekanan jumlah penduduk, urbanisasi dan perkembangan industri mengakibatkan terjadinya alih fungsi dan fragmentasi lahan pertanian, sehingga mengakibatkan produksi tanaman pangan tidak lagi dapat mengandalkan lahan pertanian di Jawa. Salah satu alternatif mengatasi keterbatasan lahan pertanian di Jawa yaitu memberdayakan lahan pertanian di pulau lain yang memiliki potensi untuk pengembangan pertanian seperti pengembangan lahan rawa di Kalimantan.

Indonesia mempunyai kawasan rawa yang sangat luas, oleh Nugroho et al. (1991) diperkirakan mencapai 33.4 juta hektar atau hampir 20% dari luas daratan kepulauan nusantara (197.944 juta hektar), sebagian besar tersebar di Pulau Kalimantan, Sumatera, Papua, Sulawesi, dan sebagian kecil Maluku.

Pilihan rawa sebagai sumber pertumbuhan baru produk pertanian, khususnya pangan disebabkan karena lahan rawa mempunyai beberapa keuntungan antara lain: (1) ketersediaan air yang melimpah, (2) topografi nisbi datar, (3) letak yang tidak jauh dari sungai sehingga memudahkan pencapaian menggunakan alur sungai, (4) memungkinkan pemilikan lahan yang luas atau ideal bagi pengembangan usaha tani secara mekanis yaitu 2.0 ha per kepala keluarga dapat tersedia (Noor 2004).

(19)

tanah yang mempunyai sifat baik fisika, kimia dan biologi lebih lebih jelek dari tanah mineral umumnya (Hardjoso dan Darmanto 1996).

Penggunaan alat mekanis seperti traktor sebagai alat pengolah tanah di Kalimantan Selatan saat ini belum sepenuhnya dilaksanakan, khususnya di beberapa daerah pertanian lahan rawa yang belum beririgasi maupun karena marginalitas lahan itu sendiri seperti struktur lahan yang rapuh, resiko terangkatnya lapisan pirit, dalamnya lapisan gambut, topografi yang tidak merata, serta penggunaan varietas lokal dengan indeks pertanaman 100%.

Pengetahuan tradisional mengandung sejumlah besar data empiris yang berhubungan dengan fenomena, proses dan sejarah perubahan lingkungan, sehingga membawa implikasi bahwa sistem dapat memberikan gambaran informasi yang berguna bagi perencanaan dan proses pembangunan. Dalam hal ini, keyakinan tradisional dipandang sebagai kearifan lokal (indigenous knowledge), dan merupakan sumber informasi empiris dan pengetahuan penting yang dapat ditingkatkan untuk melengkapi dan memperkaya keseluruhan pemahaman ilmiah.

Kearifan lokal (indegeneus knowladge) dalam bidang pertanian merupakan suatu pengetahuan yang utuh berkembang dalam budaya atau etnik tertentu untuk memenuhi kebutuhannya secara subsisten sesuai kondisi lingkungan yang ada. Kearifan budaya lokal yang turun temurun menunjukkan keunggulannya sehingga modernisasi pertanian tidak harus diartikan sebagai menghapus pertanian tradisional yang sudah mengakar di masyarakat (Pawluk et al. dalam Sutanto 2001).

Petani lokal tradisional di Kalimantan Selatan secara konvensional melakukan penyiapan lahan menggunakan tajak. Pengolahan tanah seperti ini berlangsung turun temurun. Fakta di lapangan, penggunaan alat ini tidak menyebabkan terangkatnya pirit (FeS2) ke permukaan, sehingga lahan rawa yang

bermasalah dapat digunakan sebagai areal pertanaman khususnya padi.

(20)

Sebagai alternatif areal pertanaman, dalam berbagai tinjauan aspek lahan rawa sudah banyak diteliti dan dikembangkan, namun aspek keteknikannya hanya sedikit sekali tersentuh. Tajak sebagai alat tradisional yang digunakan pada proses penyiapan lahan belum banyak diteliti. Alat ini dapat dikembangkan menjadi alat yang lebih ergonomis, modern dan mampu bekerja di lahan rawa, sebagai mana berkembangnya berbagai alat mekanis dengan teknologi canggih serta sesuai dengan antropometri pengguna, namun dikembangkan dari alat tradisional dan sederhana yang berkembang dimasyarakat.

Pengembangan lahan rawa secara umum harus memenuhi tiga syarat yaitu, secara teknis bisa dilaksanakan dan diterima masyarakat, secara ekonomi layak dan menguntungkan, serta tidak merusak lingkungan. Kedepan kebijakan pemanfaaatan lahan rawa sebagai alternatif lahan pertanian memerlukan banyak usaha dan dukungan, antara lain dari penelitian. Termasuk didalamnya adalah pengembangan tajak sebagai alat penyiapan lahan yang tepat di lahan rawa. 1.2 Tujuan Penelitian

1. Menganalisis tingkat beban kerja subjek pada pengolahan tanah secara manual menggunakan alat tradisional tajak di lahan rawa lebak Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan

2. Menganalisis kesesuaian dimensi tajak terhadap penggunanya melalui analisis gerak (motion analysis) dan pendekatan antropometri

(21)
(22)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Lahan Rawa

Rawa adalah wilayah sepanjang pantai, aliran sungai, danau atau lebak yang masuk ke pedalaman atau sejauh dirasakan pengaruh gerakan pasang, sehingga rawa dapat dikatakan sebagai lahan yang mendapat pengaruh pasang surut air laut atau sungai sekitarnya. Pada saat musim hujan lahan tergenang sampai satu meter, tetapi pada musim kemarau menjadi kering bahkan sebagian muka air tanah turun mencapai jeluk (depth) > 50 cm dari permukaan tanah (Noor 2004).

Rawa mempunyai beberapa istilah padanan, antara lain disebut swamp, marsh, atau bog. Secara khusus, tanah rawa disebut dengan flooded soils, waterlogged atau submerged soils (Moorhan dan Breemen 1976; Ponnamperuma 1977 dalam Noor 2004).

Hasil pertemuan Nasional Pengembangan Pertanian Lahan Rawa Pasang Surut di Cisarua, Bogor tahun 1992 disepakati istilah rawa pasang surut mempunyai dua pengertian, yaitu rawa pasang surut (tidal swamp) dan rawa lebak (swampy atau nontidal swamps). Rawa pasang surut diartikan sebagai daerah rawa yang mendapat pengaruh langsung atau tidak langsung oleh ayunan pasang surutnya air laut atau sungai sekitarnya, sedangkan rawa lebak diartikan sebagai daerah rawa yang mengalami genangan selama lebih dari tiga bulan dengan tinggi genangan terendah antara 25-50 cm (Noor 2004).

2.2 Tipologi Lahan Rawa

(23)

yaitu (1) tanah gambut (peat soil), (2) tanah marin sulfat masam (acid sulphate soils), dan (3) tanah aluvial non sulfat masam, termasuk tanah salin (Subagyo, 2006). Pembagian zona lahan rawa di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Pembagian zona lahan rawa di sepanjang daerah aliran sungai (Subagyo 2006)

2.3 Kendala Pengembangan Lahan Rawa

(24)

kesuburan lahan yang rendah diakibatkan oleh adanya tanah sulfat masam dan gambut (Sarwani 1994; Noor 1996; Widjaya Adi 1997).

Rifani (1998) mengemukakan kendala agrofisik lahan rawa itu dapat berupa tanah yang masam, kesuburan tanah yang rendah, kemungkinan terjadinya keracunan aluminium dan besi, lapisan pirit yang terdapat pada permukaan tanah, gambut terlalu tebal, fluktuasi air pasang dan surut, perubahan kuantitas dan kualitas air pada musim hujan dan kemarau yang dapat berdampak buruk terhadap tanaman pertanian.

Menurut Buman dan Driessen (1985) dalam Adimiharja et al. (2004), sifat kimia yang menjadi masalah utama adalah kemasaman yang tinggi, kadar Al +3, Fe+2, dan sulfat yang tinggi , salinitas, kahat hara makro dan sebagian hara mikro. Sifat dan watak lahan rawa antara lain sifat fisika yang jelek, kerapatan lindak yang rendah, sifat kering tak balik, serta ketahanan penetrasi yang rendah sehingga menyulitkan dalam mekanisasi pertanian. Noor dan Saragih (1997) mengungkapkan kurang matangnya tanah, kadar lempung dan gambut yang nisbi tinggi membuat tanah bersifat lunak sehingga tidak mampu menahan tekanan berat.

Reaksi pembentukan pirit dari besi oksida (Fe2O3) sebagai sumber Fe digambarkan sebagai berikut:

Fe2O3 + SO42- + 8CH2O + 1/2O2 2FeS2 + 8HCO3- + 4H2O

sulfat bahan organik PIRIT karbonat

Pirit akan membahayakan tanaman apabila terangkat kepermukaan dan teroksidasi sehingga menjadi racun. Oleh karena itu, diperlukan kehati-hatian melakukan pengolahan tanah di lahan rawa (Noor 2004).

(25)

Alihamsyah (1993) menyatakan keragaman kondisi lahan, tata ruang, keterpencilan lokasi, ketersediaan suku cadang, dan egroekosistem yang spesifik menyebabkan alsintan yang cocok untuk dikembangkan di daerah pasang surut masih sangat terbatas. Hasil program penelitian dan mekanisasi pertanian di Balittra Banjarbaru mengungkapkan kenyataan bahwa sebagian alat dan mesin pertanian, baik yang diimpor maupun di produksi dalam negeri belum banyak dimanfaatkan petani karena kurang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi petani. Selain itu, kebijakan dan penerapan alat mekanisasi yang ada kurang tepat, sehingga perkembangannya terhambat.

2.4 Lahan Rawa Lebak

Rawa lebak adalah wilayah daratan yang mempunyai genangan hampir sepanjang tahun minimal tiga bulan dengan ketinggian minimal 50 cm. Rawa lebak yang dimanfaatkan untuk pengembangan pertanian disebut dengan lahan rawa lebak (Noor 2004).

Mac Kinnon et al. (2000) menyebutkan rawa lebak sebagai danau-danau dataran banjir yang mempunyai dasar lebih luas dari sungai umumnya dan selalu mendapatkan luapan banjir dari sungai besar di sekitarnya. Selain dari luapan sungai, genangan dapat juga bersumber dari curah hujan setempat atau banjir kiriman.

Menurut Nugroho et al. (1991) luas lahan rawa lebak mencapai 13.28 juta hektar. Lahan ini memiliki prospek sebagai penghasil produksi pertanian tidak hanya pada musim hujan, tetapi juga pada musim kemarau panjang dengan jumlah yang lebih luas dan beragam. Potensi lahan rawa lebak pada musim kemarau merupakan kelebihan yang tidak ditemukan pada agroekologi lainnya. Karena pada musim kemarau, rawa yang tadinya membentang sejauh mata memandang akan berubah menjadi kawasan hijau pertanian dengan berbagai ragam komoditas dari padi, jagung, kedelai, ubi jalar, buah-buahan dan berbagai macam sayuran (Noor 2004).

2.5 Pertanian Tradisional di Lahan Rawa Kalimantan Selatan

(26)

dan tergenang di musim hujan, serta adanya ’bahaya’ dari kondisi tanah menyebabkan petani tradisional harus mengembangkan cara penyiapan lahan, teknik bertanam yang tepat, serta pemilihan jenis padi yang sesuai.

Sifat tanah yang masam dan tingginya genangan air di lahan rawa mengakibatkan tidak semua varietas padi dapat dikembangkan. Varietas lokal lebih tahan akan kemasaman, muka air yang tinggi, batang kuat, pertumbuhannya mengikuti tinggi muka air, dan lebih tahan rebah.

Penyesuaian kondisi iklim dengan kegiatan pertanaman padi juga dilakukan petani. Gambar 2 memberikan informasi bagaimana petani lokal tradisional pada lahan gambut dan lahan rawa umumnya di Kalimantan Selatan dalam mempersiapkan lahannya (Ramonteu et al. 2000).

Gambar 2 Kegiatan pertanian tradisional di Kalimantan Selatan (Ramonteu et al. 2000)

(27)

Gambar 2 memberikan gambaran aktivitas pertanian tradisional di Kalimantan Selatan (Ramonteu, et al. 2000). Penanaman padi oleh masyarakat banjar meliputi penyemaian (meneradak), pembesaran bibit (meampak dan melacak), penyiapan lahan (menajak), penanaman dan panen.

2.5.1 Penyemaian (Meneradak atau Menugal)

Penyemaian benih disebut juga menugal atau meneradak, karena prosesnya menggunakan alat tugal (Tim Inventarisasi Istilah dan Alat-Alat Pertanian Pasang Surut Kalimantan Selatan 1969). Penyemaian benih padi dilakukan pada saat musim hujan di atas pematang yang tidak tergenang air, atau di tempat lain yang terhindar dari bahaya terendam apabila curah hujan tinggi. Benih dibiarkan tumbuh hingga agak besar, kira-kira berumur 35-40 hari (Rifani 1998).

Gambar 3 Benih yang telah disemai (diteradak) 2.5.2 Pemindahan Bibit Pertama (Meampak)

(28)

Gambar 4 Pemindahan bibit pertama (meampak) 2.5.3 Pemindahan Bibit Kedua (Melacak)

Melacak adalah pemindahan tahap kedua bibit yang telah diampak, dengan tujuan merangsang perbanyakan anakan untuk memperoleh bibit yang cukup dan menunggu waktu tinggi permukaan air untuk pertanaman akhir yang tepat.

Gambar 5 Pemindahan bibit kedua (melacak)

(29)

2.5.4 Penanaman Akhir

Sebulan setelah melacak, lahan yang tersisa disiapkan untuk penanaman akhir. Hasil melacak yang telah mempunyai anakan melimpah digali untuk ditanam, setelah bagian atas dan akarnya dipangkas. Setiap lubang diisi dengan 2-3 bibit tergantung varietas yang digunakan.

Gambar 6 Penanaman akhir 2.6 Jenis – Jenis dan Bagian Tajak

Tajak mula-mula dikembangkan dari kecamatan Nagara, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan. Alat ini dikembangkan petani sejak ratusan tahun silam sebagai bentuk peralatan adaptif yang sekaligus dapat mencegah terbongkarnya lapisan pirit pada bagian bawah, yang dapat menyebabkan kemasaman tanah dan meracuni tanaman.

Ada beberapa jenis dan istilah tajak yang digunakan, menurut Team Inventarisasi Pasang Surut Kalimantan Selatan (1969) ada dua tipe tajak, yaitu tajak bulan, berbentuk bulan sabit dan tajak surung, disebut juga tajak bedandan dengan bentuk mata lurus dan ujung mata agak rata dan besar.

Menurut Sjarifuddin dan Wahyudi (1992) ada tiga tipe tajak, pertama tajak surung, bentuk matanya lurus dan ujung matanya agak rata dan besar, kedua tajak bungkul, bentuk matanya seperti parang biasa, tajak ini paling banyak dipakai masyarakat, dan ketiga tajak bulan, matanya berbentuk seperti bulan sabit.

(30)

dua jenis tajak yang digunakan, yaitu tajak bulan dan tajak surung, dengan penjelasan yang sama dengan Rifani (1998).

Gambar 7 Tajak surung (a), tajak bulan (b)dan tajak bedandan (c) Menurut Sjarifuddin dan Wahyuhadi (1992) tajak surung umumnya digunakan pada sawah dataran rendah yang terletak di tepi sungai besar yang sering disebut sawah pasang surut. Untuk di Kalimantan Selatan terletak ditepi sungai Barito. Tajak ini memiliki teknik cara pengoperasian yang lebih sulit. Tajak bulan digunakan untuk menebas rumput pada sawah dataran tinggi dan membalik lapisan atas tanah. Tajak bedandan (tajak bungkul) lebih umum digunakan oleh masyarakat dan teknik pengoperasiannya relatif lebih mudah, terutama pada kedalaman air 10-15cm. Digunakan di sawah tadah hujan, sawah pasang surut dan sawah beririgasi yang digenangi air. Namun sulit digunakan pada lahan kering.

Tajak terdiri beberapa bagian, yaitu mata dengan lebar 10 cm, gagang (tangkai), puting (penghubung tangkai dan hulu) yang terbuat dari besi, salut (penguat sambungan puting dan hulu) terbuat dari kuningan, besi atau tembaga, serta hulu (pengangan) yang terbuat dari kayu. Berat alat ini mencapai 3 kg dengan sudut antara gagang dan mata condong ke muka mencapai 85°.

Cara mempergunakannya yaitu tangan kiri memegang hulu, tangan kanan pada gagang. Tajak diangkat ke atas setinggi kepala, diayunkan ke bawah tepat pada permukaan tanah seperti bermain golf, sambil dikemudikan. Selanjutnya tajak ditarik, dimana rerumputan yang dipotong terbawa kesamping (Gambar 8). Prinsip kerja alat tajak ini adalah memotong atau memangkas rumput-rumputan, gulma maupun sisa tanaman padi tahun sebelumnya dengan mengupas tipis lapisan tanah kurang dari 5 cm jika air surut (Hidayat 2010).

(31)

Gambar 8 Gerakan menajak

2.7 Penyiapan Lahan

Menurut Noor, (2004) penyiapan lahan rawa dapat dilakukan secara fisik-mekanik, kimia dan hayati. Namun sebagian petani lokal tradisional di Kalimantan Selatan lebih mengandalkan cara fisik, yaitu menggunakan tajak. Umumnya kegiatan penyiapan lahan meliputi menajak, memuntal, dan mehambur. Pada dasarnya prinsip pengolahan tanah yang dilakukan hanya ditujukan untuk memotong atau mengikis rumput dan gulma yang tumbuh di sawah. Pertumbuhan gulma di lahan rawa, khususnya lahan sulfat masam sangat cepat yang setiap musim dapat menghasilkan antara 2-3 ton bahan kering perhektar.

Menurut Balittra (2001) dalam Noor (2004), gulma yang tumbuh pada pertanaman padi di lahan rawa berjumlah 19 jenis. Species gulma yang dominan adalah purun tikus (Eleocharis dulcis) dan dari genus rumput liar (Cyperus sp). Gulma pururn tikus ini tergolong sukar dikendalikan, dan tumbuh spesifik pada lahan sulfat masam karena tahan terhadap kemasaman tanah yang tinggi (pH 2,5 – 3,5) sehingga menjadi vegetasi indikator untuk tanah sulfat masam.

2.7.1 Menajak

(32)

2.7.2 Memuntal

Pada kegiatan penyiapan lahan menggunakan tajak, gulma ditebas, dibentuk menjadi tumpukan-tumpukan sebesar bola kaki (puntal), yang selanjutnya dibiarkan terendam air selama 1-2 bulan sambil menunggu bibit padi cukup besar dan kuat untuk ditanam (lacak). Gumpalan tumpukan gulma dan sisa panen ini sewaktu-waktu dibalik untuk mempercepat dan meratakan perombakan secara alamiah. Adakalanya dipotong-potong atau dicincang. Ada kalanya tumpukan gulma ditumpuk memanjang, dinamakan baluran.

2.7.3 Mehambur

Gumpalan gulma (puntalan) yang telah membusuk akan disebarkan ke permukaan lahan secara merata (hambur), proses ini dinamakan mehambur. Penyiapan lahan secara tradisional ini dikenal dengan sistem tajak-puntal-hambur (Noor 1996). Kondisi ini tidak selalu sama, tergantung situasi dan kondisi. Pada kondisi air yang cukup dalam, gulma hasil menajak hanya dibusukkan dan terurai sebagai bahan organik hingga masa tanam tiba, dan jika kondisi yang sudah cukup dekat dengan musim tanam, tebasan gulma hanya diangkut ke tepi sebagai galangan.

Gambar 9 Sistem tajak (a), puntal (b), hambur (c) 2.8Kearifan Lokal Penyiapan Lahan di Kalimantan Selatan

Model pembangunan yang saat ini berlaku di negara-negara berkembang termasuk Indonesia memiliki kelemahan dasar yakni selalu memandang rendah terhadap sektor tradisional yang berkembang di masyarakat setempat. Model sektor tradisional dianggap sebagai suatu sektor yang bersifat konservatif dan

(33)

statis. Dimana indikator pertanian akan berhasil apabila petani mau menerima atau mengadopsi teknologi pertanian baru. Namun sistem pertanian tradisional yang berkembang dalam budaya lokal selama berabad-abad telah menunjukkan kemampuanya dalam menyediakan makanan bagi satu generasi petani ke generasi berikutnya. Sehingga pengetahuan tentang pengelolaan sumberdaya tradisional dapat digunakan sebagai masukan terhadap pembangunan pertanian saat ini (Sutanto 2005).

Pengetahuan lokal adalah bagian sistematis dari pengetahuan yang diperoleh oleh masyarakat lokal melalui akumulasi pengalaman-pengalaman informal, dan pemahaman mendalam tentang lingkungan sebagai suatu kultur (Hidayat 2010).

Wahyu (2007) menggunakan konsep kearifan lokal, yang dalam terminologi budaya dapat diinterpretasikan sebagai pengetahuan yang berasal dari budaya masyarakat yang unik, mempunyai hubungan dengan alam dalam sejarah panjang, beradaptasi dengan sistem ekologi setempat, bersifat dinamis dan selalu terbuka dengan tambahan pengetahuan baru.

Sistem pertanian tradisional yang berkembang dalam budaya lokal selama berabad-abad menunjukkan bahwa sistem ini telah menunjukkan kemampuannya dalam menyediakan makanan bagi satu generasi ke generasi berikutnya. Salah satu aspek penting dalam pertanian tradisional adalah indegeneous knowledge atau yang disebut kearifan lokal. Kearifan lokal dalam bidang pertanian merupakan suatu pengetahuan yang utuh berkembang dalam budaya atau etnik tertentu untuk memenuhi kebutuhannya secara subsisten sesuai kondisi lingkungan yang ada (Pawluk et al. dalam Sutanto 2001). Masyarakat mengumpulkan informasi dan hasil pengamatannya terhadap kondisi lingkungan lokal untuk memecahkan masalah produksi pertanian. Selanjutnya disampaikan secara oral dari generasi ke generasi, sehingga terjadi pemahaman cukup mendalam terhadap sumberdaya alam lokal dan proses-proses yang berlangsung.

(34)

sehingga modernisasi pertanian tidak harus diartikan sebagai menghapus pertanian tradisional yang sudah mengakar di masyarakat.

Penyiapan lahan sistem tajak-puntal-hambur secara tradisional oleh suku Banjar di Kalimantan Selatan memiliki sejumlah kelebihan. Penggunaan tajak sebagai alat penyiapan lahan tidak mengakibatkan terangkatnya pirit ke permukaan sehingga aman bagi pertumbuhan tanaman. Pembenaman bahan organik hasil perombakan gulma juga menyumbangkan sejumlah hara ke tanah. Hasil penelitian Djajakirana et al. (1999) dalam Noor (2004) menunjukkan bahwa penyiapan lahan dengan pembenaman bahan organik (puntal) menurunkan reaksi kemasaman air tanah dari pH 3,0 sebelum penyiapan lahan menjadi pH 6,20 sesudah penyiapan lahan. Cara penyiapan sistem tajak-puntal-hambur juga berhasil menaikkan pH dari 3,9 sebelum penyiapan lahan menjadi pH 5,8 sesudah penyiapan lahan.

Tradisi turun temurun melakukan persiapan lahan menggunakan alat tradisional tajak dirasakan lebih nyaman bagi masyarakat setempat. Terlebih masa penyiapan lahan yang cukup lama dan indeks pertanaman 100%, petani memiliki waktu yang cukup untuk mengolah tanah tanpa terburu-buru, sehingga tajak tetap dipilih sebagai alat penyiapan lahan dan pengolah tanah.

Pengembangan peralatan pertanian modern di lahan rawa pasang surut untuk mendukung sistem pertanian modern juga diintroduksi melalui program-program bantuan teknik. Petani diperkenalkan dengan peralatan baru seperti traktor tangan (hand tractor), sabit bergerigi, dan mesin perontok gabah (power thresher). Khusus untuk traktor tangan, penggunaannya di lahan rawa pasang surut masih belum banyak diminati. Kendala teknis sifat fisik lahan rawa pasang surut yang umumnya merupakan lahan sulfat masam sehingga pengolahan tanah dengan traktor tangan dapat menyebabkan lapisan pirit teroksidasi serta terangkat ke permukaan tanah dan meracuni tanaman padi.

(35)

Kegiatan pengolahan tanah tradisional di lahan rawa pasang surut tipe B, C, dan D Kalimantan Selatan masih banyak menggunakan peralatan tajak. Khusus untuk di tipe A, selain peralatan tajak petani menggunakan parang untuk membersihkan gulma pada saat pengolahan tanah.

Menurut Hidayat (2010) pengetahuan menyangkut sistem peralatan yang digunakan dalam usahatani di lahan rawa pasang surut merupakan hasil pemikiran dan upaya mencoba-coba (trial and error) sehingga akhirnya ditemukan peralatan-peralatan yang adaptif bagi lingkungan setempat

Selama ini penelitian mengenai aspek teknik tajak sebagai alat penyiapan lahan yang paling tepat di lahan rawa belum banyak dilakukan. Dengan mempelajari aspek ergonomi pada proses menajak akan menjadi dasar dalam pengembangan aspek teknik tajak sebagai alat penyiapan lahan yang tepat di lahan rawa, membantu memperbaiki pola gerak untuk mengurangi kelelahan kerja, serta berguna untuk pengembangan alat ini menjadi alat yang lebih ergonomis serta mekanis.

2.9Ergonomi

2.9.1 Definisi dan Aplikasi Ergonomi

Istilah “ergonomi” berasal dari bahasa latin yaitu ergon (kerja) dan nomos (hukum alam) dan dapat didefinisikan sebagai studi tentang aspek-aspek manusia dalam lingkungan kerjanya yang ditinjau secara anatomi, fisiologi, psikologi, engineering, manajemen dan desain/perancangan. Ergonomi dapat diterapkan pada aktivitas rancang bangun (desain) ataupun rancang ulang (re-design) meliputi perangkat keras maupun lingkungan kerja (working enviroment). Disamping itu ergonomi juga memberikan peranan penting dalam meningkatkan factor keselamatan dan kesehatan kerja (Nurmianto 2005).

(36)

Ergonomi merupakan ilmu perancangan berbasis manusia Human Centered Design) dirasakan menjadi penting hingga saat ini. Hal ini menjadi penting, sebab manusia merupakan sumber utama dari sebuah sistem, adanya regulasi nasional mapun internasonal mengenai sistem kerja dimana manusia terlibat di dalamnya serta para pekerja adalah human being.

Ilmu terapan yang banyak berhubungan dengan fungsi tubuh manusia adalah anatomi dan fisiologi. Untuk menjadi ergonomi diperlukan pengetahuan dasar tentang fungsi dari sistem kerangka otot. Yang berhubungan dengan hal tersebut adalah Kinesiologi Biomekanika, yaitu aplikasi ilmu mekanika teknik untuk analisis system kerangka-otot manusia. Ilmu ini akan memberikan modal dasar untuk mengatasi masalah postur dan pergerakan tubuh manusia di tempat dan ruang kerjanya. Disamping itu, hal yang vital pada penerapan ilmiah untuk ergonomi adalah antropometri, yaitu kalibrasi tubuh manusia. Dalam hal ini, terjadi penggabungan dan pemakaian data antropometri dengan ilmu-ilmu statistik yang menjadi prasyarat utamanya (Nurmianto 2005).

Pertambahan jumlah penduduk menuntut ketersediaan pangan yang lebih banyak. Sementara itu, tenaga kerja dibidang pertanian semakin sulit didapat. Mekanisasi pertanian menjadi salah satu solusi mengatasi masalah ini. Namun selama ini banyak alat-alat pertanian yang diimpor dari luar negeri, dimana desain yang digunakan menggunakan ukuran tubuh masyarakat setempat, sehingga desain tidak sesuai dengan ukuran tubuh masyarakat Indonesia. Disisi lain berkembang alat dan mesin yang desain yang hanya didasarkan proses trial and error. Dengan mempelajari dan menerapkan prinsip-prinsip ergonomi di bidang mekanisasi pertanian diharapkan akan membantu tersedianya alat dan mesin pertanian yang sesuai dengan dimensi tubuh (antropometri) masyarakat Indonesia, meningkatkan efisiensi, kesehatan, keselamatan, kenyamanan dan kepuasan dalam proses kerja.

2.9.2 Pengukuran Beban Kerja

(37)

Secara umum jenis kerja dibedakan menjadi dua bagian yaitu kerja fisik (otot) dan kerja mental. Kondisi fisik subjek yang berpengaruh terhadap beban kerja antara lain jenis kelamin, usia, berat badan, tinggi, dan riwayat penyakit. Fisik lelaki umumnya lebih kuat dari wanita, sedangkan usia memiliki tingkatan yang berbeda. Pada usia 25 – 35 tahun merupakan kondisi tubuh paling prima dari manusia, dan pada usia di atas 40 tahun, kondisi fisik tubuh semakin jauh menurun. Pada kerja mental pengeluaran energi relatif kecil dibandingkan pada kerja fisik dimana tubuh akan menghasilkan perubahan dalam konsumsi oksigen, heart rate, temperature tubuh dan perubahan senyawa kimia dalam tubuh.

Perlunya menganalisa konsumsi energi yang dipakai pada beberapa pekerjaan tertentu adalah masih menduduki prioritas utama dan bertujuan antara lain memilih frekuensi dan periode istirahat pada manajemen waktu kerja, mencari metode alternatif pemilihan peralatan untuk mengerjakan suatu jenis pekerjaan, sebagai dasar perancangan alat dan mesin yang ergonomis, serta hal yang tidak kalah pentingnya adalah hubungannya dengan pengukuran fitness dan penerapannya untuk perancangan aktivitas kerja maupun jenis pekerjaan lainnya.

Dalam melakukan aktifitas sehari-hari, manusia membutuhkan energi. Jumlah energi yang dihasilkan melalui proses metabolisme tubuh secara keseluruhan saat melakukan aktifitas disebut dengan Total Energy Cost (TEC). Nilai TEC merupakan penjumlahan dari Basal metabolis Energy (BME) dan Work Energy Cost (WEC).

Menurut Syuaib (2003), BME merupakan konsumsi energi yang diperlukan untuk menjalankan fungsi minimal fisiologisnya. Sedangkan menurut Nurmianto (2008) metabolisme basal adalah konsumsi enegi secara konstan pada saat istirahat dengan perut dalam keadaan kosong. BME tergantung dari ukuran tubuh (berat dan tinggi badan) dan jenis kelamin (pria atau wanita). Sedangkan WEC (Work Energy Cost) merupakan jumlah energi tambahan yang harus dikeluarkan oleh tubuh ketika melakukan suatu aktivitas kerja.

Menurut Grandjean (1993) bahwa kebutuhan kalori seorang pekerja selama 24 jam ditentukan oleh tiga hal :

(38)

(23,87 kilo kalori) per 24 jam per kg BB. Sedangkan wanita dewasa memerlukan kalori untuk metabolisme basal ± 98 kilo joule (23,39 kilo kalori) per 24 jam per kg BB.

2. Kebutuhan kalori untuk kerja. Kebutuhaan kalori untuk kerja sangat ditentukan oleh jenis aktivitas kerja yang dilakukan atau berat ringannya pekerjaan.

3. Kebutuhan kalori untuk aktivitas-aktivitas lain diluar jam kerja. Rata-rata kebutuhan kalori untuk aktivitas diluar kerja adalah ± 2400 kilo joule (573 kilo kalori) untuk laki-laki dewasa dan sebesar 2000 – 2400 kilo joule (425 – 477 kilo kalori) per hari untuk wanita dewasa.

Dalam terminologi energi kerja, terdapat istilah Total Energy Cost per Weight (TEC’). TEC’ merupakan nilai dari TEC yang dinormalisasi untuk mengetahui nilai beban kerja objektif yang diterima oleh seseorang saat melakukan kerja dengan menghilangkan faktor berat, karena pada saat seseorang bekerja, energi yang harus dikeluarkan bukan hanya untuk aktivitas kerja itu sendiri, tetapi juga harus mengeluarkan energi tambahan untuk membawa berat badannya. Oleh karena nilai TEC pada masing-masing subjek harus dibagi dengan faktor berat badan yang disebut dengan Total Energy Cost per Weight (TEC’).

Dengan bertambah kompleksnya aktivitas otot, maka beberapa hal yang patut dijadikan pokok bahasan dan analisa terhadap manifestasi kerja tersebut yaitu denyut jantung (heart rate), tekananan darah (blood pressure), keluaran paru (cardiac output) , komposisi kimia darah (latic acid content), temperature tubuh (body temperature), kecepatan berkeringat (sweating rate), kecepatan membuka dan menutupnya ventilasi paru (pulmonary ventilation) serta konsumsi oksigen (oxygen consumption) (Wignjosoebroto 2008).

Pengukuran denyut jantung dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain:

a. Merasakan denyut yang ada pada arteri radial pada pergelangan tangan. b. Mendengarkan denyut dengan stetoskop.

(39)

d. Menggunakan Heart Rate Monitor (HRM), mengukur detak jantung di dada pada waktu tertentu, dilengkapi display pada receiver yang di pergelangan tangan.

Pengukuran beban kerja fisik dapat dilakukan dengan berbagai cara, denyut jantung merupakan variabel yang paling mudah untuk diukur. Pengukuran beban kerja secara tidak langsung menggunakan pencatat denyut jantung secara kontinyu membuka gambaran umum dari seluruh aktivitas yang dilakukan pada hari tersebut. Menggunakan alat ini memungkinkan untuk memisahkan berbagai macam aktivitas sesuai dengan denyut jantungnya (Astrand dan Rodalh (1977) dalam Syuaib (2003)).

Denyut jantung (Heart Rate / HR) permenit subjek direkam oleh alat Heart Rate Monitor (HRM). HRM adalah metode pengukuran yang paling umum dan paling nyaman digunakan untuk mengukur suatu beban kerja fisiologis (physiological strain). Banyak peneliti ergonomika percaya bahwa meningkatnya tingkat laju denyut jantung dapat menunjukkan beban kerja, baik secara fisik maupun mental, karena terdapat korelasi yang linier terhadap konsumsi energi fisik (physical energy cost). Oleh karena itu data kontinyu dari laju denyut jantung pada suatu aktivitas berguna sebagai indikator dari beban kerja psiko-fisiologis.

Nilai denyut jantung umumnya sangat dipengaruhi faktor-faktor personal, psikologis, dan lingkungan, sehingga untuk menghindari subyektifitas perhitungan nilai denyut jantung harus dinormalisasi agar diperoleh nilai denyut jantung yang lebih obyektif (Syuaib 2003).

2.9.3 Metode Step Test

Pengukuran beban kerja fisik di lapangan dengan metode pengukuran denyut jantung memiliki kelemahan, sebab hasil pengukuran tidak hanya dipengaruhi oleh usaha-usaha fisik, melainkan juga oleh kondisi dan tekanan mental. Kelemahan lainnya adalah bervariasinya karakter denyut jantung pada setiap orang, dan dapat pula terjadi penyimpangan lainnya.

(40)

pasti dari beban kerja dengan hanya mengubah tinggi bangku step test dan intensitas langkah. Metode ini juga lebih mudah, karena selalu tersedia dimana saja dan kapan saja, terutama di lapang, sehingga ketidak stabilan denyut jantung seseorang dapat dengan mudah di analisa. Beberapa faktor individual seperti jenis kelamin, umur, berat dan tinggi badan harus diperhatikan sebagai faktor penting untuk menentukan karakteristik individu yang diukur.

2.9.4 Antropometri

Istilah Antropometri berasal dari “antro” yang berarti manusia dan “metri” yang berarti ukuran. Secara definitif antropometri dapat dinyatakan sebagai studi yang berkaitan dengan pengukuran dimensi tubuh manusia .

Antropometri merupakan istilah yang digunakan dalam pengukuran sifat fisik tubuh manusia yang mengenai panjang, tebal, berat, atau volume maupun faktor lain yang berkaitan dengan rancangan suatu alat. Pengukuran antropometri dibedakan menjadi 2 tipe yaitu struktural atau statik dan tipe dinamik. Tipe statik menghasilkan data dimensi tubuh dalam keadaan diam, seperti tinggi badan atau tinggi bahu. Sedangkan pada tipe dinamik, pengukuran lebih memperhatikan kemampuan gerak manusia dalam melakukan aktivitas (Sanders dan McCormick 1987).

Data antropometri digunakan untuk mengetahui dimensi fisik ruang kerja, alat-alat, furnitur, dan pakaian agar terjadi kesesuaian antara manusia dan alat-alat, untuk

memastikan terhindarinya ketidak cocokan antara dimensi alat dengan dimensi pengguna.

Perbedaan ukuran tubuh pada masing-masing populasi tidak mengikuti perbandingan yang baku, karena adanya perbedaan spesifik untuk tiap anggota tubuh. Data mengenai ukuran antropometri tergantung pada rata-rata populasi yang diukur karena rata-rata ukuran tubuh manusia. Di Benua Eropa misalnya akan mempunyai perbedaan dengan ukuran rata-rata orang di Benua Asia. Demikian juga perbedaan jenis kelamin akan berpengaruh terhadap ukuran tubuh. Ukuran-ukuran tubuh sangat diperlukan dalam suatu ruang kerja yang baik sehingga dapat menurunkan beban kerja

(41)

Distribusi normal ditandai dengan adanya nilai mean (rata-rata) dan standar deviasi (Gambar 10).

Sumber : Nurmianto (2004)

Gambar 10 Distribusi normal dan perhitungan persentil

Persentil adalah suatu nilai yang menyatakan bahwa persentase tertentu dari sekelompok orang yang dimensinya sama dengan atau lebih dari nilai tersebut. Misalnya : 95% populasi adalah sama dengan atau lebih rendah dari 95 percentil; 5% dari populasi berada sama dengan atau lebih rendah dari 5 percentil. Besarnya nilai percentil dapat ditentukan dari tabel probabilitas distribusi normal (Nurmianto 2008).

2.9.5 Analisis Gerak (Motion Analysis)

Analisis gerak (motion analysis) adalah analisa yang dilakukan terhadap beberapa gerakan bagian badan pekerja dalam menyelesaikan pekerjaannya, sehingga gerakan yang kurang efektif dapat dikurangi atau bahkan dapat dihilangkan sehingga diperoleh penghematan dalam waktu kerja (Sutalaksana dkk 2004). Analisis gerak merupakan analisis dari gerakan pekerja dalam melaksanakan pekerjaannya. Sedangkan menurut Wignjosoebroto (2008), Analisis gerakan adalah suatu analisis tentang gerakan-gerakan yang dilakukan pekerja untuk menyelesaikan pekerjaan. Ilmu ini pertama kali dikembangkan oleh Frank dan Lilian Gilberth pada tahun 1885 (Barnes 1980).

(42)

Aktivitas penyiapan lahan pertanian secara tradisional oleh masyarakat suku Banjar di Kalimantan Selatan sangat unik dan berbeda dengan pola umumnya. Penggunaan tajak sebagai alat penyiapan lahan berbeda cara pengoperasiannya dengan cangkul sebagai alat pengolah tanah tradisional yang umum digunakan. Bentuk dan fungsinya yang khas perlu dipelajari pengembangan alat ini.

Menurut Openshaw (2006) dalam Rahmawan (2011), tubuh manusia memiliki suatu selang alami gerakan (SAG). Gerakan dalam SAG yang baik memperbaiki sirkulasi darah dan fleksibilitas sehingga dapat mencapai gerakan yang lebih nyaman dan

produktivitas yang lebih tinggi. Meskipun syarat untuk mencapai gerakan tersebut pengguna sebaiknya mencoba untuk menghindari gerakan berulang dan ekstrim dalam SAG nya selama periode waktu yang lama. Masih menurut Openshaw (2006), ada 4 zona berbeda yang mungkin dihadapi manusia ketika duduk dan berdiri, yaitu:

1. Zona 0 (Zona Hijau/Green Zone). Zona yang dianjurkan untuk sebagian besar gerakan-gerakan. Terdapat tekanan minimal pada otot dan sendi.

2. Zona 1 (Zona Kuning/Yellow Zone). Zona yang dianjurkan untuk sebagian besar gerakan-gerakan. Terdapat tekanan minimal pada otot dan sendi.

3. Zona 2 (Zona Merah/Red Zone). Banyak posisi yang ekstrim pada anggota-anggota tubuh. Terdapat lebih besar tekanan pada otot dan sendi.

4. Zona 3 (Melewati Zona Merah/Beyond Red Zone). Posisi paling ekstrim pada anggota-anggota tubuh, sebaiknya dihindari jika memungkinkan, terutama ketika mengangkat beban berat atau kegiatan yang berulang-ulang.

Zona-zona tersebut merupakan selang-selang dimana anggota-anggota tubuh dapat bergerak secara bebas. Zona 0 dan 1 termasuk dalam gerakan-gerakan sendi terkecil sedangkan Zona 2 dan 3 menunjukkan posisi-posisi yang lebih ekstrim. Untuk lebih rinci, Tabel 1 dan Gambar 11 berikut selang gerakan dari beberapa zona gerakan :

Tabel 1 Selang gerakan dari beberapa zona

Gerakan Selang dari zona gerakan (dalam °)

(43)

T

u

la

ng Be

lakan

g Fleksi(flexion) 0 – 10 11 – 25 26 – 45 46+

Ekstensi (extension) 0 – 5 6 – 10 11 – 20 21+

Berputar (rotational) 0 – 10 11 – 25 26 – 45 46+

Menbengkok ke samping (lateral bend) 0 – 5 6 – 10 11 – 20 21+

Le

h

er

Fleksi(flexion) 0 – 9 10 – 22 23 – 45 46+

Ekstensi (extension) 0 – 6 7 – 15 16 – 30 31+

Berputar (rotational) 0 – 8 9 – 20 21 – 40 41+

Menbengkok ke samping (lateral bend) 0 – 5 6 – 12 13 – 24 25+

Sumber : Openshaw (2006) dalam Rahmawan (2006)

Untuk dapat menggambarkan bagaimana SAG, Gambar 11 memberikan

(44)

Sumber : Openshaw (2006) dalam Rahmawan (2011)

Gambar 11 Macam-macam selang gerakan

Dari selang-selang gerakan di atas, yang terjadi pada saat melakukan menajak

(45)

Sumber : Openshaw (2006) dalam Rahmawan (2011)

Gambar 12 Macam-macam selang gerakan pada saat menajak

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di lahan rawa lebak Desa Sungai Rangas Hambuku, Kecamatan Martapura Barat, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, dari bulan Februari – Oktober 2010 meliputi penelitian pendahuluan, pengambilan data, dan pengolahan data

(46)

3.2.1 Peralatan

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Tajak Bedandan dan Tajak Surung, Heart Rate Monitor (HRM), Heart Rate Monitor Interface, Digital Metronom, bangku step test, Timbangan, Meteran, Jangka Sorong, Penggaris, Stopwatch, Thermometer, Time study sheet, Handycam, Kaset mini DVD, Software Studio Plus, dan Komputer.

3.2.2 Subyek Penelitian

Subyek yang diobservasi untuk dilakukan analisis atas aktivitas penajakan serta respon denyut jantungnya adalah petani pengguna tajak di Desa Sungai Rangas Hambuku. Laki-laki, sehat, berjumlah 4 orang, dan berusia 25-35 tahun. Disamping itu ada 60 orang petani tradisional pengguna tajak di Kecamatan Martapura Barat sebagai sampel subjek untuk diukur antropometri dan

dimensi tajak yang digunakannya. 3.3 Prosedur Penelitian

3.3.1 Tahapan Penelitian

Prosedur penelitian dibagi menjadi tiga tahap yaitu penelitian pendahuluan, pengukuran data di lapangan, dan pengolahan data dengan menggunakan komputer.

Penelitian pendahuluan bertujuan untuk menentukan lokasi penelitian yang representatif, menyesuaikan metode pengambilan data yang tepat sesuai tujuan penelitian, menentukan subjek, jumlah, dan perlakuan, serta luas lahan yang akan digunakan.

Pengukuran data di lapang meliputi pengambilan data dimensi tajak dan antropometri, sampel gulma, data kalibrasi step test, serta data serta perekaman pada aktivitas menajak. Selanjutnya pengolahan dan analisis data.

3.3.2 Pengukuran Metabolisme Basal (Basal Metabolic Energy)

Salah satu metode yang umum digunakan untuk mengetahui nilai BME adalah dengan menghitung dimensi tubuh (luas permukaan tubuh), yang kemudian dapat dikonversi ke dalam volume oksigen (VO2). Dalam persamaan

oksidasi metabolik, diketahui bahwa setiap konsumsi satu liter oksigen (O2)

(47)

permukaan tubuh dapat dihitung dengan menggunakan persaman Du’Bois

Berdasarkan perhitungan luasan tubuh dengan menggunakan persamaan tersebut, BME (ekuivalen terhadap VO2) bisa ditentukan dengan menggunakan tabel konversi yang ditunjukkan oleh Tabel 2.

Tabel 2 Konversi BME ekuivalen dengan VO2 berdasarkan luas permukaan tubuh 1/100

(*) untuk perempuan, nilai VO2 harus dikalikan 0.95 (Sumber: Syuaib, 2003)

3.3.3 Pengukuran Beban Kerja Kuantitatif

Pengambilan data dimulai dengan memberikan penjelasan prosedur kerja dan latihan menggunakan HRM kepada subjek sehingga cukup familiar dengan alat ukur HRM. Pengambilan data dimulai dengan pengambilan data kalibrasi pengukuran denyut jantung dengan metode Step Test (ST) kalibrasi menggunakan HRM. HRM terdiri dari (1) rubber belted electrode, sebagai sensor dan transmitter, yang diikatkan pada dada subyek, dan (2) digital data receiver and memory, yang dipasang pada pergelangan tangan subyek seperti sebuah jam tangan. Pemasangan rubber belted electrode dan digital data receiver and memory dilakukan pada saat subyek pengukuran sebelum mulai melakukan aktivitas.

(48)

sebagai berikut: istirahat 1 (awal) selama 10 menit – step test 1 pada frekuensi 20 – istirahat 2 selama 10 menit – step test 2 pada frekuensi 25 – istirahat 3 selama 10 menit – step test 3 pada frekuensi 30 – istirahat 4 (akhir) selama 10 menit. Pergerakan step test mengikuti irama metronom. Tinggi bangku ST yang digunakan 30 cm. Denyut jantung direkam secara kontinyu pada interval 5 detik. Kemudian pada tahapan kalibrasi ini dihitung tenaga masing-masing (Work Energy Cost/WEC) subjek yang dibutuhkan pada saat step test, dapat dicari dengan menggunakan persamaan sebagai berikut :

3

10 2 . 4

2 

  

w g f h

WECSTn

Dimana :

WECST = Work Energy Cost saat step test (kkal/menit)

n = ulangan

w = berat badan (kg)

g = percepatan gravitasi (9,8 m/detik2) f = frekuensi step test

h = tinggi bangku step test (meter)

4,2 = faktor kalibrasi satuan dari Joule menjadi kalori

Gambar 13 Step Test Kalibrasi

(49)

komputasi dengan menggunakan Interface HRM. Dari data yang didapat, kemudian diplot ke dalam bentuk grafik untuk mempermudah pencarian denyut jantung rata. Adapun ketentuan untuk menentukan nilai denyut jantung rata-rata adalah sebagai berikut :

a. Denyut jantung pada saat istirahat adalah denyut jantung rata-rata dari data stabil terendah, minimal enam data stabil. Data yang diambil adalah denyut jantung yang tidak berada pada menit-menit awal dan akhir. Hal ini dikarenakan pada menit awal dan akhir denyut jantung masih bias.

b. Pada saat KST, data yang diambil adalah denyut jantung tertinggi pada menit-menit akhir. Data yang diambil diusahakan data stabil minimal enam data.

Subyektifitas nilai denyut jantung (HR) hasil KST harus dinormalisasi agar diperoleh nilai HR yang lebih obyektif. Normalisasi dilakukan dengan cara perbandingan HR relatif saat ST ( HRSTn) terhadap HR saat istirahat. Nilai

perbandingan tersebut dinamakan Increase Ratio of Heart Rate (IRHR) dengan persamaan berikut :

Setelah diperoleh nilai IRHR masing-masing maka nilai tersebut diplotkan untuk dibuat grafik untuk melihat korelasi antara WECST dengan IRHR sehingga

dari plot titik- titik nilai tersebut diperoleh persamaan linear yang merupakan bentuk umum untuk masing-masing subyek seperti persamaan yang memiliki persamaan fungsi:

Y = aX + b

Dimana : Y = IRHR

X = WEC (kkal/menit)

Selanjutnya mencari IRHR pada saat bekerja (menajak) dengan metode yang sama dengan IRHR step test. Yaitu dengan membandingkan IRHR pada saat menajak dengan IRHR saat istirahat awal.

(50)

Nilai IRHR pada saat menajak dimasukkan ke persamaan subyek sebagai ‘y’ sehingga didapatkan nilai ‘x’ sebagai konsumsi energi kerja pada saat menajak (WECwork).

TEC ( Total Energy Cost) merupakan penjumlahan dari energi yang dibutuhkan untuk melakukan pekerjaan (Work Energy Cost) dan energi yang dibutuhkan untuk menghidupi fungsi minimal fisiologi (Basal Metabolic Energy), dijelaskan dalam persamaan berikut :

TEC = WEC + BME Dimana :

TEC = Total Energy Cost (kkal/menit) WEC = Work Energy Cost (kkal/menit) BME = Basal Metabolic Energy (kkal/menit)

Dalam terminologi kebutuhan energi kerja, terdapat istilah Total Energy Cost per Weight (TEC’). TEC’ merupakan nilai dari TEC yang dinormalisasi untuk mengetahui nilai beban kerja objektif yang diterima oleh seseorang saat melakukan kerja. Nilai TEC’ perlu dihitung untuk mengetahui nilai TEC pada masing-masing subjek dengan menghilangkan faktor berat badan. Hal ini dikarenakan berat badan seseorang mempengaruhi beban kerja yang diterima, sehingga pengaruh berat badan harus ditiadakan. Satuan nilai TEC’ yang digunakan adalah kkal/kg.Jam (Soleh, 2011). TEC’ dapat dihitung dengan persamaan :

w TEC TEC' Dimana :

TEC’ = Total Energy Cost per Weight (kal/kg.Jam) WEC = Work Energy Cost (kal/menit)

w = Berat badan (kg)

3.3.4 Pengukuran Beban Kerja Kualitatif

(51)

Heart Rate (IRHR) yang diperoleh masing subjek. Nilai kategori masing-masing tingkat beban kerja dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Kategori pekerjaan berdasarkan IRHR

Kategori Nilai IRHR

3.3.5 Studi Gerak Aktivitas Menajak di Lahan Rawa

Pengambilan video menajak diambil bersamaan dengan pengambilan data beban kerja kuantitatif. Pola gerak kegiatan menajak dipelajari dengan menggunakan software Studio Plus, software ini mampu memperlambat gerakan hingga 1/30 detik dan mebuatnya menjadi gambar-gambar, sehingga dapat dipelajari pola gerakan kegiatan menajak.

3.3.6 Pengukuran Antropometri Petani dan Dimensi Tajak

Pengukuran antropometri dilakukan tidak hanya pada empat subjek yang terlibat di dalam penelitian ini. Namun juga melibatkan mengukur antropometri petani pengguna tajak di Kecamatan Martapura Barat.

Untuk ukuran sampel, menurut Haitao Hu (2007) dalam Anindita (2003), jumlah sampel diperkirakan berdasarkan persamaan yang tersedia pada gabunganISO 15535 : 2003‘‘Persyaratan Umum dalam Membangun Data Base Antropometri”dengan selang kepercayaan 95% untuk persentil ke-5 dan ke-95:

Dimana :

N = Ukuran sampel

CV = Coefficient of Variation

Α = Percentage of Relative Accuracy Desired

Dengan

(52)

CV = Coefficient of Variation σ = Standar Deviasi

µ = Nilai rata-rata

Ukuran sampel dihitung berdasarkan data dari penelitian terdahulu yaitu pada penelitian Anindita (2003). Data ini digunakan untuk mengatasi keterbatasan waktu, tenaga dan biaya dalam penelitian, dengan asumsi antropometri petani suku Banjar tidak jauh berbeda atau mendekati antropometri petani suku Jawa. Dipilihnya parameter berat badan pada penelitian sebelumnya karena setelah dilakukan perhitungan diperoleh ukuran sampel minimum yang diambil yang terbesar ada pada parameter tersebut yaitu sebesar 57 sampel, agar data yang diperoleh lebih baik maka dalam penelitian ini diambil 60 sampel di tiap-tiap kecamatan. Dalam perhitungan ukuran sampel, nilai CV, σ, dan µ parameter berat badan sebesar CV = 0.125, σ = 7.444, dan µ = 59.525. Dengan nilai CV = 0.125 dan α dipilih 0.05, sehingga diperoleh ukuran sampel sebesar 57, diambil 60. Hasil perhitungan ukuran sampel dapat dilihat pada Lampiran 1. Pengalokasian pengambilan sampel dilihat dari persentase populasi di tiap-tiap desa. Rincian pengambilan sampel di tiap-tiap desa dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Pengambilan Sampel Petani Pengguna Tajak

No Nama Desa Σ Penduduk

(53)

Ilustrasikan pengukuran antropometri terhadap petani pengguna tajak dapat dilihat pada Gambar 14-20. Berikut penjelasan bagaimana cara pengukuran dan posisi sampel/orang yang diukur :

1. Pengukuran untuk parameter berat badan. Pengukuran dilakukan dengan timbangan dengan keadaan sampel dalam posisi badan tegap dan dalam posisi seimbang atau tidak bergerak ke kiri, kanan, depan, maupun belakang serta tidak melakukan gerakan loncatan-loncatan.

2. Pengukuran untuk parameter nomor 2 sampai 11. Pengukuran dilakukan dengan cara menyandarkan sampel pada media dinding contohnya dinding rumah dengan badan tegap, berdiri sempurna, dan kaki sedikit rapat. Dan pertemuan antara penggaris dan meteran harus tegak lurus baik tampak samping maupun tampak depan. Berikut ilustrasi pengukurannya :

Gambar 14 Ilustrasi pengukuran parameter nomor 2 sampai 11

(54)

Gambar 15 Ilustrasi pengukuran parameter nomor 12 sampai 16

4. Pengukuran untuk parameter nomor 17 dan 18. Pengukuran dilakukan dengan cara menyandarkan sampel pada media dinding contohnya dinding rumah dengan badan tegap, berdiri sempurna, dan kaki sedikit rapat. Untuk parameter nomor 17, posisi lengan ditekuk sehingga siku tangan nampak mengerucut, dan antara lengan kiri dan kanan harus segaris sedangkan parameter nomor 18 lengan tangan direbah hingga lengan tangan kanan dan kiri segaris. Dan pertemuan antara penggaris dan meteran harus tegak lurus baik tampak samping maupun tampak depan. Berikut ilustrasinya :

Gambar 16 Ilustrasi pengukuran parameter nomor 17 sampai 18

(55)

depan. Untuk parameter nomor 22 diukur dengan jangka sorong dan dicari ukuran terpanjangnya. Berikut ilustrasinya :

Gambar 17 Ilustrasi pengukuran parameter nomor 19 sampai 23

6. Pengukuran untuk parameter nomor 24 sampai 31. Pengukuran dilakukan secara duduk, posisi badan tegap, paha lurus, kaki lurus, sudut antara badan dan paha 90°, sudut antara kaki dan paha 90°. Pertemuan antara penggaris dan meteran harus tegak lurus baik tampak samping maupun tampak depan. Apabila antara kaki tidak terbentuk sudut 90°, maka gunakan bantalan untuk mengganjal kaki kemudian sesuaikan hingga terbentuk sudut 90°. Berikut ilustrasinya :

Gambar 18 Ilustrasi pengukuran parameter nomor 24 sampai 31

(56)

sudut 90°, maka gunakan bantalan untuk mengganjal kaki kemudian sesuaikan hingga terbentuk sudut 90°. Berikut ilustrasinya :

Gambar 19 Ilustrasi pengukuran parameter nomor 32 sampai 36

Pengukuran untuk parameter 37 sampai 41. Pengukuran dilakukan secara duduk. Untuk parameter nomor 38 sampai 40 menggunakan jangka sorong, sedangkan untuk parameter nomor 41 menggunakan silinder untuk digenggam dan diukur dengan meteran pita. Untuk parameter nomor 37 dilakukan dengan meteran dan dibantu penggaris, serta pertemuan antara penggaris dan meteran harus tegak lurus baik tampak samping maupun tampak depan. Berikut ilustrasinya :

(57)

tajak yang digunakan oleh petani tersebut. Tabel 6 menyajikan data dimensi tajak yang diukur.

Tabel 5 Pengukuran data antropometri

Data yang diukur ketika berdiri Data yang diukur ketika duduk

No Keterangan No Keterangan

1 Berat Badan 24 Tinggi Dudukan

2 Tinggi Badan 25 Tinggi Lutut

3 Tinggi Mata 26 Tinggi Pinggul

4 Tinggi Bahu 27 Tinggi Bahu

5 Tinggi Siku Tangan 28 Tinggi Mata

6 Tinggi Pergelangan Tangan 29 Tinggi Duduk

7 Tinggi Ujung Tangan 30 Tebal Badan

8 Tinggi Siku Kaki 31 Lebar Pantat

9 Tinngi Telapak Tangan 32 Panjang Siku ke Ujung Jari

10 Tinggi Selangkangan 33 Panjang Siku ke Pergelangan Tangan

11 Tinggi Pinggul 34 Tinggi Siku Tangan

12 Jangkauan ke Depan 35 Panjang Kedudukan hingga Siku Kaki

13 Jangkauan ke Depan (Menggenggam) 36 Panjang Kedudukan hingga Lutut

14 Panjang Lengan Atas 37 Panjang Pergelangan Tangan

15 Panjang Lengan 38 Panjang Telapak Tangan

16 Lebar Bahu 39 Lebar Telapak Tangan (4 jari)

17 Jangkauan Horizontal Siku Tangan 40 Lebar Telapak Tangan (5 jari) 18 Jangkauan Horizontal Tangan 41 Diameter Genggaman Tangan 19 Panjang Siku ke Genggaman Tangan  

20 Tinggi Genggaman Tangan    

21 Tinggi Sandaran Tangan    

22 Lebar Telapak Kaki    

(58)

Selain pengukuran terhadap antropometri petani pengguna tajak di Kecamatan Martapura Barat juga dilakukan pengukuran terhadap dimensi tajak yang digunakannya. Parameter pengukuran terhadap dimensi tajak dapat dilihat pada Tabel 6, terdiri atas delapan parameter pengukuran dengan catatan panjang tangkai tajak hanya diukur hanya mendekati posisi mata tajak, tanpa mengukur panjang sambungan antara tangkai dan mata. Hasil pengamatan di lapang panjang antara tangkai dan mata mencapai 10 cm, dan ini akan ditambahkan pada desain akhir perhitungan panjang tangkai tajak.

Tabel 6 Pengukuran dimensi tajak

No Bagian Alat yang Diukur 1 Berat total tajak (kg)

2 Diameter hulu/gagang (cm) 3 Panjang hulu/gagang (cm) 4 Panjang tangkai (cm)

5 Panjang tangkai sd gagang (cm) 6 Panjang mata (cm)

7 Lebar mata (cm)

8 Sudut kemiringan tangkai (°)

Gambar 21 Bagian-bagian tajak

Setelah didapatkan data di lapangan kemudian diolah. Tahapannya sebagai berikut:

a. Menentukan Mean

Hulu

Tangkai

(59)

Menurut Steel dan Torrie (1993), cara menghitung mean adalah dengan menggunakan rumus :

Dimana:

ndata = jumlah data

x = data ke-i

b. Menentukan Standar Deviasi

Menurut Walpole (1992), cara menghitung standar deviasi adalah dengan menggunakan rumus :

Dimana:

ndata = jumlah data

xi = data ke-i

mean = nilai rata-rata

b. Menentukan Persentil ke-5, ke-50, dan ke-95

Menurut Pheasant (2003), cara menghitung persentil adalah dengan menggunakan rumus :

Dimana:

mean = nilai rata-rata

s = standar deviasi

z = z-score (nilai z dapat dilihat pada Lampiran 2)

Gambar

Gambar 7  Tajak surung (a), tajak bulan (b)dan tajak bedandan (c)
Gambar 10  Distribusi normal dan perhitungan persentil
Gambar 12  Macam-macam selang gerakan pada saat menajak
Gambar 13  Step Test Kalibrasi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian mengenai efek hepatoprotektif pemberian jangka panjang infusa daun Sonchus arvensis L., terhadap aktivitas serum ALT- AST pada tikus jantan galur Wistar terinduksi

Analisis SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, dan Threats). Analisis SWOT diawali dengan terlebih dahulu melakukan identifikasi terhadap faktor lingkungan strategis,

4.Sınıf yönetiminin temel işlevi aşağıdakilerden hangisidir? A)Öğrenciler arasındaki problemleri çözmek. B)Öğrencilere karşı otoriteyi oluşturmak. C)Öğretim

Untuk itulah menarik untuk melihat bagaimana merancang arsitektur yang tak hanya kontekstual akan iklim lingkungannya namun juga jamannya melalui arsitektur De Driekleur,

Salah satu bidang yang mendapatkan dampak yang cukup berarti dengan perkembangan teknologi ini adalah bidang pendidikan, dimana pada dasarnya pendidikan merupakan

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi guru dalam mengembangkan karakter peserta didik untuk membentuk watak serta perilaku sebagai pribadi yang baik di lingkungan

(pengembangan pendidikan dan karakter bangsa, 2010). Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam puncak peringatan Hari Pendidikan Nasional dan Hari Kebangkitan Nasional tahun

Langkah preventif pencegahan pembentukan kerak dapat dilakukan melalui penggunaan inhibitor kimia EDTA (Ethylene diamine tetra-acetic acid), ion-ion kalsium dan magnesium