• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kealergenikan Serbuk Sari Indonesia pada Manusia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kealergenikan Serbuk Sari Indonesia pada Manusia"

Copied!
91
0
0

Teks penuh

(1)

KEALERGENIKAN SERBUK SARI INDONESIA

PADA MANUSIA

IRIS RENGGANIS

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER

INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Kealergenikan Serbuk Sari

Indonesia pada Manusia adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing

dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi di mana pun.

Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak

diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam

Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Juni 2009

Iris Rengganis

(3)

ABSTRAK

IRIS RENGGANIS. Kealergenikan Serbuk Sari Indonesia pada Manusia. Dibimbing oleh ALEX HARTANA, EDI GUHARDJA, MIEN A. RIFAI, SAMSURIDJAL DJAUZI, dan SRI BUDIARTI.

Alergi adalah reaksi hipersensitivitas tipe cepat pada manusia terhadap alergen. Alergi terjadi ketika tubuh membuat antibodi IgE secara berlebihan sebagai tanggapan atas suatu alergen. Serbuk sari merupakan alergen lingkungan penting di negara subtropik yang dapat menyebabkan penyakit alergi pada musim berbunga. Meskipun tumbuhan berbunga terjadi sepanjang tahun di Indonesia, namun alergi serbuk sari belum banyak dipelajari. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi serbuk sari dari tumbuhan di suatu wilayah di Indonesia yang dapat menyebabkan alergi pada manusia. Alat penangkap serbuk sari Burkard dipasang selama tujuh hari di Lebak Bulus, Jakarta Selatan, sedangkan penangkap serbuk sari pasif dengan gelas objek berperekat dipasang di wilayah Darmaga Bogor, Pasar Minggu dan Jagakarsa di Jakarta Selatan. Serbuk sari yang tertangkap diidentifikasi dibawah mikroskop cahaya dan scanning electron microscope (SEM), yaitu serbuk sari akasia (Acacia auriculiformis), alang-alang (Imperatacylindrica), kelapa genjah (Cocos nucifera), kelapa sawit (Elaeis guineensis), jagung (Zea mays), padi (Oryza sativa), dan pinus (Pinus merkusii). Bobot molekul profil protein ekstrak serbuk sari didominasi oleh pita-pita berukuran 10-70 kD pada analisis sodium dodecyl sulfate-polyacrylamidegelelectrophoresis (SDS-PAGE). Ekstrak protein serbuk sari tersebut dan ekstrak serbuk sari campuran rumput komersial (Grasses mix) digunakan sebagai pembanding, diuji pada orang dengan riwayat alergi dan tanpa riwayat alergi, masing-masing 69 orang dengan menggunakan metode uji tusuk kulit. Ketujuh serbuk sari dari tanaman yang tertangkap di Indonesia bersifat alergenik. Sensitivitas orang terhadap serbuk sari alang-alang dan akasia lebih banyak dibandingkan dengan serbuk sari lainnya, tetapi masih lebih sedikit dibandingkan dengan sensitivitas orang terhadap Grasses mix. Sensitivitas orang terhadap serbuk sari alang-alang pada kelompok dengan riwayat alergi lebih banyak dibandingkan dengan kelompok tanpa riwayat alergi, sedangkan terhadap serbuk sari akasia tidak berbeda pada kedua kelompok tersebut. Serbuk sari alang-alang dan akasia berpotensi sebagai bahan alergen untuk uji tusuk kulit di Indonesia. Akasia perlu dipertimbangkan kembali sebagai pohon peneduh, karena serbuk sarinya ternyata berpotensi menyebabkan reaksi sensitivitas pada manusia.

(4)

ABSTRACT

IRIS RENGGANIS. Allergenicity of Indonesian Pollen in Human. Supervised by ALEX HARTANA, EDI GUHARDJA, MIEN A.RIFAI, SAMSURIDJAL DJAUZI, and SRI BUDIARTI.

Allergy is a human immediate hypersensitive reaction to allergens. It occurs when the body produces an excess of IgE antibody as response to allergen. Pollens are important environmental allergens in subtropical countries which contribute to significant morbidity especially during the pollination period. Despite the all year long of plants flowering in Indonesia, pollen allergy has not been well studied. The objectives of this study were to identify pollen from plants in a given area in Indonesia which may cause allergy in human. A Burkard spore trap was set for seven days sampling in Lebak Bulus, district in South Jakarta, while a passive collectors with adhesive object glass were placed in Darmaga Bogor, Pasar Minggu and Jagakarsa in South Jakarta. Using light and scanning electron microscopes (SEM), pollens that were trapped and identified were acacia (Acacia auriculiformis), cogon grass (Imperatacylindrica), coconut (Cocos nucifera), palm trees (Elaeis guineensis), maize (Zea mays), rice (Oryza sativa), and pine (Pinus merkusii). Molecular weight of protein profiles from those pollen extract using sodium dodecyl sulfate-polyacrylamide gel electrophoresis analysis (SDS-PAGE) were dominated by 10-70 kD bands. Allergenicity in human to those pollen commercial Grasses mix extract was also included in the test to people with and without history of allergy, 69 people each, using the skin prick test method. The seven pollen of plants trapped in Indonesia are allergenic. Human sensitivity to Cogon grass and acacia pollen are more severe than to the rest of other pollen, however, the sensitivity was most found to commercial allergens of Grasses mix. People with respiratory allergy was more sensitive than people without history of allergy. Meanwhile, human sensitivity to acacia was the same in those two groups of people. Pollen of Cogon grass and acacia are potential allergens to be used for skin prick test in Indonesia. Acacia trees are not recommended to be utilized as a shading tree since their pollen showed sensitivity reaction in human.

Keywords: pollen, allergen, sensitivity, skin prick test.

(5)

RINGKASAN

Alergi adalah suatu penyakit yang berupa perubahan reaksi tubuh yang berlebihan terhadap suatu bahan di lingkungan yang disebut alergen. Reaksi alergi timbul segera dalam beberapa menit setelah ada rangsangan alergen pada seseorang yang hipersensitif. Salah satu bentuk alergi adalah alergi pernapasan, misalnya rinitis alergi dan asma bronkial. Alergi merupakan penyakit yang diturunkan dan muncul akibat interaksi antara faktor genetik dan lingkungan. Oleh karena itu, alergi tidak dapat diobati secara tuntas, tetapi pemicu yang terdapat di lingkungan dapat dikontrol dan dihindari dengan cara memberi penyuluhan pada pasien.

Salah satu alergen lingkungan yang penting namun terabaikan adalah serbuk sari tumbuhan. Di negara dengan empat musim, alergi pernapasan yang ditimbulkan serbuk sari biasanya kambuh secara musiman saat dengan berbunganya tumbuhan di musim semi sampai musim panas. Penyebaran serbuk sari ini sangat bergantung dari geografi, iklim, dan vegetasi. Sebagian besar serbuk sari yang menyebabkan alergi di negara empat musim berasal dari rumput-rumputan. Di Indonesia, tumbuhan berbunga sepanjang tahun dan penyebaran serbuk sari terjadi setiap saat. Namun sampai kini belum terdapat studi yang menyeluruh tentang serbuk sari tumbuhan mana saja yang berpotensi menyebabkan alergi pernapasan pada manusia, yaitu rinitis alergi dan asma bronkial. Kondisi ini cukup memprihatinkan karena Indonesia merupakan negara dengan keanekaragaman flora yang tinggi, sehingga kemungkinan terjadinya pajanan terhadap serbuk sari sangat besar. Diketahui serbuk sari kelapa sawit, kelapa genjah, jagung dan pinus alergenik pada hewan. Oleh karena itu diperlukan penelitian tentang sensitivitas terhadap serbuk sari tumbuhan yang ada di Indonesia pada manusia.

Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi serbuk sari tumbuhan yang berada di suatu daerah di Indonesia yang dapat menimbulkan reaksi alergi pada manusia dan membuat ekstrak serbuk sari, serta melihat profil bobot molekul (BM) protein alergen serbuk sari dengan analisis sodium dodecyl sulfate-polyacrylamide gel electrophoresis (SDS-PAGE), untuk mengetahui potensi kealergenikannya dilakukan uji klinis pada manusia dengan cara uji tusuk kulit, baik pada orang dengan riwayat alergi maupun tanpa riwayat alergi.

Kegiatan penelitian ini meliputi penangkapan serbuk sari dengan alat penangkap pasif dan alat penangkap Burkard, identifikasi serbuk sari menggunakan mikroskop cahaya dan scanning electron microscope (SEM), penentuan BM protein serbuk sari alergenik menggunakan analisis SDS-PAGE. Alergen serbuk sari diuji secara klinis pada kelompok orang dengan riwayat alergi dan tanpa riwayat alergi, masing-masing 69 orang dengan cara uji tusuk kulit.

(6)

Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati Bioteknologi (PPSHB) IPB dan Laboratorium Morfologi Anatomi dan Sitologi Tumbuhan, Bidang Botani Pusat Penelitian Biologi LIPI Cibinong. Pengamatan ultrastruktur serbuk sari dengan SEM dilakukan di Laboratorium Bidang Zoologi Pusat Penelitian Biologi LIPI Cibinong. Ukuran serbuk sari yang didapat berkisar antara 20-100 µm.

Pembuatan ekstrak alergen serbuk sari untuk uji tusuk kulit dilakukan di Laboratorium Kelompok Penelitian Rekayasa Protein Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Cibinong. Uji tusuk kulit dilakukan di Poliklinik Alergi Imunologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit (RS) Cipto Mangunkusumo, Klinik Alergi Imunologi RS Pondok Indah, Klinik Bulog dan Klinik Alergi Imunologi Sisingamangaraja, Jakarta. Analisis SDS-PAGE dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi dan Biokimia PPSHB IPB. Bahan untuk ekstrak protein berupa serbuk sari yang dipilih adalah akasia (Acacia auriculiformis), alang-alang (Imperata cylindrica), jagung (Zea mays), kelapa genjah (Cocos nucifera), kelapa sawit (Elaeis guineensis), padi (Oryza sativa), dan pinus (Pinus merkusii). Selain itu digunakan alergen ekstrak serbuk sari Grasses mix 1. Bent grass (Agrostos sp), 2. Bermuda grass

(Cynodon dactylon), 3. Bromus (Bromus sp), 4. Cocksfoot grass (Dactylis glomerata),

5. Meadow fescue (Festuca elatior), 6. Meadow grass (Poa pratensis), 7. Oat grass

(Arrhenatherum elatius), 8. Rye grass (Lolium perenne), 9. Sweet vernal grass

(Anthoxanthum odoratum),10. Timothy grass (Phleum pratense), 11. Wild oat (Avena fatua), dan 12. Yorkshire fog (Holcus lanatus). Juga digunakan alergen tungau debu rumah jenis Dermatophagoides pteronisinnus (Der.p) dan Dermatophagoides farinae

(Der.f), kontrol positif histamin, dan untuk kontrol negatif dipakai phosphate buffer saline (PBS) yang digunakan sebagai pelarut. Responden penelitian untuk uji tusuk kulit terdiri dari kelompok orang dengan riwayat alergi dan tanpa riwayat alergi, masing-masing 69 orang dengan rentang usia antara 19-55 tahun. Derajat sensitivitas dikategorikan berdasarkan besarnya bentol pada uji tusuk kulit, yaitu positif (+) 1 bila bentol berukuran 3-5 mm, +2: 6-10 mm, +3: 11-20 mm dan + 4: > 20 mm. Hasil penelitian menunjukkan bahwa serbuk sari alang-alang dan akasia paling banyak menghasilkan reaksi positif pada uji tusuk kulit yang menunjukkan telah terjadi sensitisasi. Selain itu, alergen komersial Grasses mix menghasilkan sensitivitas yang lebih tinggi pada kedua kelompok dibanding terhadap serbuk sari alang-alang dan akasia. Di dalam ekstrak alergen Grasses mix terdapat serbuk sari Cynodon dactylon, yang ternyata merupakan salah satu jenis rumput yang banyak terdapat di Indonesia. Karena itu sebaiknya dilakukan uji sensitivitas juga terhadap Cynodon dactylon untuk mengetahui seberapa besar telah terjadi sensitisasi. Hasil analisis SDS-PAGE protein serbuk sari, mendapatkan rentang BM antara 10-70 kD, yang merupakan rentang BM protein alergenik.

Sebagai simpulan, penelitian ini berhasil mendapatkan ekstrak alergen serbuk sari dari tujuh jenis tumbuhan di Indonesia, yaitu alang-alang, akasia, jagung, kelapa genjah, kelapa sawit, padi, dan pinus. Uji tusuk kulit terhadap serbuk sari alang-alang pada kelompok dengan riwayat alergi menunjukkan sensitivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok tanpa riwayat alergi. Selain itu, sensitivitas terhadap serbuk sari akasia sama tingginya pada kedua kelompok. Dengan demikian, serbuk sari alang-alang dan akasia berpotensi sebagai bahan alergen untuk uji tusuk kulit di Indonesia. Akasia perlu dipertimbangkan kembali sebagai pohon peneduh, karena serbuk sarinya ternyata berpotensi menyebabkan reaksi sensitivitas pada manusia. Kata kunci: serbuk sari, alergen, sensitivitas, uji tusuk kulit

(7)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2009

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh Disertasi ini tanpa

mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,

penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah.

(8)

KEALERGENIKAN SERBUK SARI INDONESIA

PADA MANUSIA

IRIS RENGGANIS

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Biologi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)

Penguji Luar Komisi

Ujian Tertutup: Dr. Rita Megia, DEA Departemen Biologi

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor

Ujian Terbuka: Prof. Dr. dr. Putu Gede Konthen, SpPD, K-AI Divisi Alergi Imunologi

Bagian Ilmu Penyakit Dalam

Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga

Prof. Dr. dr. Heru Sundaru, SpPD, K-AI Divisi Alergi Imunologi Klinik

Departemen Ilmu Penyakit Dalam

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

(10)

Judul Disertasi : Kealergenikan Serbuk Sari Indonesia pada Manusia Nama : Iris Rengganis

NIM : G361040081

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof.Dr.Ir.Alex Hartana, MSc. Prof.Dr.Ir.Edi Guhardja, MSc.

Ketua Anggota

Prof.Dr.Mien A.Rifai, MSc. Prof.Dr.dr.Samsuridjal Djauzi, SpPD, KA-I, FACP

Anggota Anggota

Dr.dr.Sri Budiarti Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Biologi Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr.Ir.Dedy Duryadi Solihin, DEA Prof.Dr.Ir.Khairil A. Notodiputro, MS

(11)
(12)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, Tuhan yang Maha Pengasih dan Penyayang, atas rahmat dan karunia Nya sehingga Disertasi ini berhasil diselesaikan. Penelitian dimulai sejak bulan Maret 2005 hingga Mei 2008, dengan judul Kealergenikan Serbuk Sari Indonesia pada Manusia.

Pada kesempatan ini, pertama-tama penulis menyampaikan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada para pembimbing, Prof. Dr. Ir. Alex Hartana MSc, Prof. Dr. Ir. Edi Guhardja, MSc, Prof. Dr. Mien A. Rifai, MSc, Prof. Dr. dr. Samsuridjal Djauzi, Sp.PD, K-AI, FACP, dan Dr. dr. Sri Budiarti atas bimbingan, kesabaran, pengkayaan wawasan, kritik, saran dan dukungan moril yang sangat besar dalam penyelesaian Disertasi ini.

Begitu juga ucapan terima kasih yang tulus penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA, Ketua Program Studi Biologi Pasca Sarjana IPB yang banyak memberi pengarahan pada awal penelitian ini. Kepada Dr. Ir. Kiagus Dahlan selaku Wakil Dekan dan Dr. Rita Megia, DEAselaku penguji luar komisi yang telah berkenan dan meluangkan waktu pada saat ujian tertutup.

Selain itu ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis sampaikan pula kepada: Prof. Pakit Vichyanond, MD dari Faculty of Medicine Mahidol University, Siriraj Hospital, Bangkok Thailand yang telah memberi pengarahan pada awal penelitian ini. Prof. Boonchua Dhorranintra, MD dan Kanda Kasetsinsombat dari Palinology Siriraj Hospital, Bangkok Thailand yang telah memberi pengarahan mengenai cara penangkapan serbuk sari dan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pelatihan serbuk sari di Bangkok.

Chew Fook Tim, PhD dan Ong Tan Ching dari Department of Biological Sciences, National University of Singapore yang telah memberi informasi dan pengarahan mengenai pembuatan alergen serbuk sari.

Prof. Dr. dr. Putu Gede Konthen, SpPD, K-AI dari Divisi Alergi Imunologi, Departemen Penyakit Dalam RS Dr.Sutomo, Dra. Siti Farida, SpFRS, Apt dan Ibu Wiwid di Bagian Produksi Alergen Laboratorium Instalasi Farmasi, RS Dr.Sutomo Surabaya yang telah mengijinkan penulis untuk mengikuti prosedur berbagai jenis pembuatan alergen.

Dr. Ir. Juliarni, MAgr. dari Departemen Biologi FMIPA IPB yang telah membimbing dengan sabar selama penulis mengikuti mata kuliah khusus Uji Penangkapan Serbuk Sari. dr. Murdiati Umbas dari Dinas Kesehatan Kota DKI yang telah membantu dalam melengkapi data penyakit di Puskesmas DKI.

Ir. Catharina Suryowati, MSi, Dra. Marfuah, MSi, Nuning Hendria Sari, SP, Sdri.Wijiastuti SSi, Bapak Tono, dan Bapak Ivan Nurcahyo dari Dinas Pertamanan DKI yang telah membantu melengkapi data tanaman di wilayah Jakarta dan telah mengijinkan pemasangan alat penangkap serbuk sari pasif di Kebun Bibit Ciganjur, Jagakarsa, Jakarta Selatan.

(13)

Dr. Arief Budi Witarto, MEng. dari Laboratorium Kelompok Penelitian Rekayasa Protein Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Cibinong, Nina Maryana, SSi. dan Suwarti, MSi. dari Protein Indonesia Institute, Ibu Ika Malikhah dan Bapak Iwa Sutiwa dari Laboratorium Mikrobiologi dan Biokimia Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati Bioteknologi (PPSHB) IPB, Ibu Dewi dari Laboratorium Bioteknologi Hewan dan Biomedis PPSHB IPB, serta Bapak Sutiyo dari Laboratorium Tumbuhan PPSHB IPB yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian ini. Ir. Endang Purwaningsih, Kartika Dewi, MSi, dan Yuni Apriyanti yang telah membantu pembuatan foto SEM dari Laboratorium Bidang Zoologi Pusat Penelitian Biologi LIPI Cibinong. Juga kepada Himmah Rustiami, MSc. dan Eka Fatmawati T, SSi. yang telah membantu pembuatan preparat serta foto serbuk sari dengan mikroskop cahaya di Laboratorium Morfologi Anatomi dan Sitologi Tumbuhan, Bidang Botani Pusat Penelitian Biologi LIPI Cibinong. Kepada teman sejawat dr. H. Muh. A. Aristyawan yang mengijinkan uji tusuk kulit pada pasien alergi di Klinik Bulog Jakarta Selatan. Juga kepada Bapak Moh. Thamrin dan Ibu Asri Wahyuni dari Klinik Alergi Imunologi Sisingamangaraja yang telah membantu pelaksanaan uji tusuk kulit, serta Bapak H. Firdaus Alamhudi yang banyak memberi motivasi dan pengembangan wawasan pada penelitian ini.

Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng yang telah memberi dorongan untuk dapat mempergunakan internet serta komputer secara mandiri sejak awal penulis mengikuti S3 di IPB. Dr. Ir. Y. Purwanto, APU dan Dr. Rugayah, MSc. dari Herbarium Bogoriense LIPI Bogor yang banyak memberi masukan pada saat mulainya penelitian ini, serta rekan-rekan di IPB, Nor Sholekhah Damayanti, SSi, MSi, Dr. Fitmawati SSi, MSi, Dr. Nunik Sri Ariyanti, MSi, Dr. Ir. Amin Retnoningsih, Msi, Dr.Ir.Donata S.Pandin, MSi. dan Ir. Dorly yang telah banyak membantu selama penulis menjalani penelitian ini. Juga kepada Ibu Henny Nurhayati dari Bagian Akademik IPB, Ibu Yenny Rosmalawaty, Ibu Eti Suhaeti dan Bapak Djoni Sudjadi di Departemen Biologi yang membantu dalam penyelesaian Disertasi ini. Dr. drh. Retno D.Soejoedono, MS, dan Dr. drh. I Wayan Teguh Wibawan, MS, dari Fakultas Kedokteran Hewan IPB yang telah banyak memberi wawasan di bidang Imunologi.

Prof. Dr. Azis Rani, SpPD, K-GEH yang telah memberi izin kepada penulis untuk masuk dalam program S3 di IPB dan Dr.dr.C.Heriawan Soejono, SpPD, K-Ger, M.Epid selaku Kepala Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM yang selalu memberi dorongan untuk menyelesaikan Disertasi ini. Prof.Dr.dr. Dina Mahdi, SpPD, K-AI, SH dan Prof.Dr.dr.Heru Sundaru,SpPD, K-K-AI, guru saya, dr. Nanang Sukmana, SpPD, K-AI, selaku Ketua Divisi Alergi Imunologi Klinik, rekan-rekan sejawat dr. Teguh HK, SpPD, K-AI, dr. Sukamto Koesnoe, SpPD, dr.Evy Yunihastuti, SpPD, dr. Okki Ramadian, SpPD, dr. Moch. Iqbal Hassarief Putra, dr. Budi Amarta Putra, juga kepada Enna Meilina, S.Si, Mutiaz Hayati, SST, Upi Fitria Diana, Skom, Parama Puspita, Tini Rohmani, Elva Afianti, Moh.Yunus serta semua perawat Zr.Wiwi Wahyuni, AMK, Zr.Maryati, Zr.Sumirah di Divisi Alergi Imunologi Klinik yang telah banyak membantu dan memberi semangat kepada penulis.

Ungkapan terima kasih yang mendalam dan penghargaan sebesar-besarnya penulis haturkan kepada ayahanda Karnen Garna Baratawidjaja, ibunda Wachjuni Baratawidjaja, kepada suami R. Putra dan keempat anak saya Gladys, Andrew, Zaki, Yasser, juga kepada ketiga adik saya Ambara, Prasna Pramita, Farah Prashanti, serta seluruh keluarga, atas segala doa, kasih sayang, pengertian, kesabaran, pengorbanan serta semua bantuan moril maupun materiil hingga terselesaikannya studi doktor ini.

Semoga Allah SWT membalas seluruh kebaikan dengan berlipat ganda. Sebagian dari penelitian ini telah ditulis dan diterbitkan dalam Majalah Kedokteran Indonesia, Volume: 58, Nomor: 9, September 2008 dengan judul Sensitivitas terhadap Serbuk Sari

(14)

pada Pasien Alergi Pernapasan. Mudah-mudahan Disertasi ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan masyarakat. Bogor, Juni 2009

(15)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 29 Juni 1958 sebagai anak sulung dari empat bersaudara, dari pasangan Prof. Dr. dr. Karnen Garna Baratawidjaja, SpPD, K-AI, FAAAAI dan dr. Wachjuni Baratawidjaja, MHA. Pendidikan sarjana ditempuh di FKUI (Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia) pada tahun 1977 dan lulus pada tahun 1983. Pada tahun 1984, penulis mengawali tugas dari Departemen Kesehatan sebagai dokter Puskesmas Kelurahan Cikoko, Kecamatan Mampang Prapatan di Jakarta Selatan, DKI. Pada tahun 1988 penulis mendapat penghargaan sebagai dokter teladan Jakarta Selatan. Setelah menyelesaikan ikatan dinas dari Departemen Kesehatan selama 5 tahun, pada tahun 1989 penulis diterima di Program Studi Spesialis 1 Pascasarjana FKUI bidang Ilmu Penyakit Dalam dan menamatkannya pada tahun 1994. Kemudian penulis diterima sebagai staf pengajar di Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI dan sekaligus meneruskan ke Program Studi Spesialis 2 (Konsultan) di bidang Alergi Imunologi.

Pada tahun 1995, penulis menjalankan ikatan dinas yang kedua dari Departemen Kesehatan sebagai Internis di RS Haji Jakarta selama 2,5 tahun. Selama bertugas di RS Haji Jakarta, penulis mendirikan Klinik Alergi dan Edukasi Asma, serta Klub Senam Asma. Setelah selesai tugas pemerintah pada tahun 1998, penulis kembali ke FKUI sebagai staf pengajar dan menamatkan Konsultan Alergi Imunologi pada tahun 2000. Pada tahun yang sama, penulis bertugas sebagai Tenaga Kesehatan Haji Indonesia (TKHI) dari RSCM (RS dr.Cipto Mangunkusumo), dan ditugaskan sebagai Dokter Kloter selama 40 hari di Arab Saudi. Pada tahun 2002, penulis bertugas kembali sebagai TKHI Non Kloter dari RSCM, dan menduduki jabatan sebagai Kepala Balai Pengobatan Haji Indonesia (BPHI) di Madinah selama 70 hari.

(16)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ...xv

DAFTAR GAMBAR ...xvi

DAFTAR LAMPIRAN ...xvii

DAFTAR SINGKATAN ...xviii

1. PENDAHULUAN ...1

2. TINJAUAN PUSTAKA ...5

Penyakit Alergi ...5

Rinitis Alergi ... 8

Asma Bronkial ... 11

Dermatitis Atopi ...12

Diagnosis dan Penatalaksanaan Penyakit Alergi...12

Serbuk Sari ...14

Penangkapan Serbuk Sari ...15

Identifikasi Serbuk Sari ...16

Serbuk Sari sebagai Alergen Penting di Udara ...18

3. BAHAN DAN METODE ... 22

Waktu dan Tempat Penelitian ...22

Penangkapan, Identifikasi, dan Pengumpulan Serbuk Sari ...23

Pembuatan Alergen ... 26

Analisis SDS-PAGE Protein Serbuk Sari... 27

Etika Penelitian …... 27

Uji Klinis... 28

4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 30

Identifikasi Serbuk Sari ...32

Analisis Bobot Molekul (BM) Protein Serbuk Sari ...34

Uji Klinis Sensitivitas terhadap Serbuk Sari...36

Perbedaan hasil uji tusuk kulit antara kelompok riwayat alergi dan kelompok tanpa riwayat alergi ... 45

5. SIMPULAN ...52

DAFTAR PUSTAKA ...53

(17)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 Jenis-jenis reaksi hipersensitivitas menurut Gell dan Coombs………... 6

Tabel 2 Perbedaan persentase uji tusuk kulit positif terhadap alergen berbeda

(18)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1 Pajanan alergen yang memacu produksi IgE dan degranulasi sel mast 7

Gambar 2 Alat penangkap serbuk sari yang dipasang di Darmaga ………... 24

Gambar 3 Alat Burkard volumetric spore trap yang dipasang di Lebak Bulus.. 24

Gambar 4 Drum yang dilengkapi pita transparan “Melinex” dan perekat silikon.. ... 25 Gambar 5 Alat penangkap dengan gelas objek berperekat silikon yang dipasang di Pasar Minggu dan Jagakarsa... 26

Gambar 6 Uji Tusuk Kulit... 28

Gambar 7 Serbuk sari akasia dilihat di bawah mikroskop cahaya dan SEM …. 32

Gambar 8 Serbuk sari kelapa genjah dan kelapa sawit dilihat di bawah mikroskop cahaya dan SEM ... 32

Gambar 9 Serbuk sari pinus dilihat di bawah mikroskop cahaya dan SEM ... 33

Gambar 10 Serbuk sari alang-alang, jagung dan padi dilihat di bawah mikroskop cahaya dan SEM ………... 33

Gambar11 SDS-PAGE protein serbuk sari dengan pulasan CBB ... 34

Gambar12 SDS-PAGE protein serbuk sari dengan pulasan perat nitrat...34

Gambar 13 Perbedaan sensitivitas kedua kelompok terhadap serbuk sari akasia.37

Gambar 14 Perbedaan sensitivitas kedua kelompok terhadap serbuk sari alang- alang... 38

Gambar 15 Perbedaan sensitivitas kedua kelompok terhadap serbuk sari jagung 39

Gambar 16 Perbedaan sensitivitas kedua kelompok terhadap sewrbuk sari kelapa genjah ……… 40

Gambar 17 Perbedaan derajat sensitivitas kedua kelompok terhadap serbuk sari

kelapa sawit ... 41

Gambar 18 Perbedaan sensitivitas kedua kelompok terhadap serbuk sari padi ...42

Gambar 19 Perbedaan sensitivitas kedua kelompok terhadap serbuk sari pinus..42

Gsmbar 20 Perbedaan sensitivitas kedua kelompok terhadap Grasses mix...43

Gambar 21 Derajat sensitivitas uji tusuk kulit pada kelompok riwayat alergi...48

(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Peta DKI Jakarta ... 66

Lampiran 2 Peta Jakarta Selatan ... 67

Lampiran 3 Lembar Informasi Penelitian... 68

Lampiran 4 Lembar Persetujuan Menjadi Peserta Penelitian ... 69

(20)

DAFTAR SINGKATAN

AAAAI American Academy of Allergy, Asthma and Immunology

BM bobot molekul

CBB coomassie brilliant blue

CDC Center for Disease Control

C. dactylon Cynodon dactylon

Cyn d 1 Cynodon dactylon 1

Cyn d 7 Cynodon dactylon 7

Der.p Dermatophagoides pteronyssinus

Der.f Dermatophagoides farinae

D. glomerata Dactylis glomerata

DKI Daerah Khusus Ibu Kota

DKK Dinas Kesehatan Kota

FKUI Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

GINA Global Initiative for Asthma

IDI Ikatan Dokter Indonesia

IgE Imunoglobulin E

IgG Imunoglobulin G

IgM Imunoglobulin M

IL-4 Interleukin-4

IL-13 Interleukin-13

IPB Institut Pertanian Bogor

ISAAC International Study of Asthma and Allergies in Childhood

kD kilo Dalton

KNAA Konsensus Nasional Asma pada Anak

LMW low molecule weight

L. perenne Lolium perenne

mA mili Amper

mm milimeter

μm mikrometer

(21)

PERALMUNI Perhimpunan Alergi Imunologi Indonesia

Phl p 1 Phleum pratense 1

PPSHB Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati Bioteknologi

RAST radioallergosorbent test

RS Rumah Sakit

RSCM Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo

SEM scanning electron microscope

SDS-PAGE sodium dodecyl sulphate polyacrilamide gel electrophoresis

Th2 T helper 2

tris-HCl tris(hydroxymethyl)aminomethane hydrochloride

WAO World Allergy Organization

w/v weight per volume

Zea m1 Zea mays1

(22)

1.

PENDAHULUAN

Alergi adalah suatu penyakit yang berupa perubahan reaksi tubuh yang

berlebihan terhadap suatu bahan di lingkungan yang disebut alergen. Reaksi alergi

timbul segera dalam beberapa menit setelah ada rangsangan alergen pada

seseorang yang hipersensitif. Efeknya terlihat dalam bentuk rinitis alergi, asma

bronkial (asma) dan dermatitis atopi (Rabson et al. 2005; Kuby et al. 2007).

Dalam dua dekade akhir, penyakit alergi meningkat di hampir semua

negara di dunia, terutama negera-negara maju (Singh & Kumar 2003; Folletti et

al. 2008). Setelah tahun 1990, jumlah pasien asma yang berobat ke dokter dan

dirawat di rumah sakit juga tak menurun (Akinbami & Schoendorf 2002).

Berdasarkan penelitian International Study of Asthma and Allergies in Childhood

(ISAAC), prevalensi penyakit alergi di negara-negara maju lebih tinggi

dibandingkan di negara-negara berkembang. Penelitian ISAAC menemukan

sekitar 20-30% kasus alergi berupa rinitis alergi, 5-15% asma dan 0,33-20,5%

dermatitis atopi pada populasi di dunia (Beasley et al. 1998). Namun penelitian

seperti ini belum banyak dilakukan di Indonesia, sehingga pengetahuan alergi di

sini sangat minim, informasi akurat tentang seberapa besar prevalensi penyakit

alergi dan statistik insiden penyakit alergi juga jarang diperoleh di negeri ini.

Beberapa penelitian yang sudah dilaporkan di antaranya penelitian di Utan

Kayu, Jakarta Pusat, menunjukkan persentase prevalensi asma pada penduduk

berusia lebih dari 14 tahun sebesar 6,9% (Sundaru & Sukmana 1990). Selain itu,

penelitian ISAAC di Indonesia tahun 1996 dilakukan pada anak usia 13-14 tahun,

melibatkan tujuh kota besar yaitu Medan, Palembang, Jakarta, Bandung,

Denpasar, Manado, dan Ujung Pandang. Penelitian ini menyimpulkan, bahwa

prevalensi di berbagai daerah tersebut menunjukkan rentang yang cukup

besar, yaitu rinitis alergi berkisar 22,57-61,94%, asma 2,09-9,01%, dan

dermatitis atopi 0,39-18,8% (Baratawidjaja et al. 2006).

Kini penderita alergi ditemukan di semua lapisan masyarakat di dunia,

dengan tingkat keparahan berbeda-beda, mulai dari yang ringan, sedang sampai

(23)

pasien, dan akhirnya menurunkan kualitas hidupnya. Tak hanya itu, pengobatan

alergi dengan menggunakan jasa dokter, obat, kunjungan gawat darurat, atau

perawatan rumah sakit perlu biaya yang tidak sedikit (Wijk 2002). Masalah ini

tentunya akan sangat memberatkan masyarakat menengah ke bawah yang menjadi

mayoritas penduduk kita.

Penyebab alergi ditimbulkan oleh interaksi antara faktor genetik dan

lingkungan. Faktor genetik merupakan faktor bawaan yang diwarisi penderita dari

salah satu atau kedua orang tuanya. Orang tua penderita alergi cenderung

memiliki anak yang berbakat alergi pula. Selain hal tersebut, ada faktor lain yang

tidak kalah pentingnya yaitu pola hidup penderita serta keadaan lingkungan yang

banyak dipenuhi alergen. Alergen itu sendiri bisa berasal dari dalam rumah

(indoor allergens) atau dari luar rumah (outdoor allergens). Alergen dalam rumah

bermacam-macam, antara lain tungau debu rumah, spora jamur, kecoa, atau

serpihan kulit hewan piaraan seperti anjing dan kucing, sedangkan alergen luar

rumah dapat berupa spora jamur dan serbuk sari (pollen) yang bersifat musiman,

terutama di negara yang mempunyai 4 musim (Church & Holgate 1995; Lilly

2005; Schoefer et al. 2008).

Penyakit alergi adalah penyakit inflamasi yang berjalan kronis dan sulit

disembuhkan selama masih ada pemicunya. Terapi yang diberikan pada saat

kambuh umumnya bersifat simptomatik, artinya ditujukan untuk mengurangi

gejala saja. Rekomendasi penting penanganan penyakit alergi dimulai dengan

menghindari alergen. Oleh karena itu penatalaksanaan penyakit alergi selain

pengobatan, ditekankan pada kontrol lingkungan agar terhindar kontak dengan

alergen (Luskin 2005; Bacharier et al. 2008; Bateman et al. 2008). Untuk itu,

sebagai dasar antisipasi alergi, setiap pasien alergi perlu mengetahui bahan-bahan

apa yang dapat memicu reaksi alergi pada dirinya. Hingga kini belum ada terapi

yang dapat menghilangkan atau menyembuhkan penyakit alergi sampai tuntas.

Pengobatan alergi hanya dapat mengendalikan penyakitnya agar tidak kambuh

dengan cara menghindari pemicu. Penanganan memerlukan kontrol lingkungan

yang ketat melalui penyuluhan pada pasien (Batemanet al. 2008).

Di negara dengan empat musim, alergi pernapasan seperti rinitis alergi dan

(24)

penyakitnya muncul bergantung dari geografi, iklim, dan vegetasi (D’Amato et al.

2007; Mandal et al. 2008). Penelitian di lapangan menunjukkan, penyebaran

serbuk sari di udara berfluktuasi sesuai musim, sehingga dapat dibuat kalender

yang menunjukkan fluktuasi jumlah serbuk sari di udara dalam satu tahun.

Kalender tersebut diperlukan oleh pasien alergi dalam upaya menghindari

pajanan, sehingga kekambuhan penyakit alergi akan dapat diperkirakan

berdasarkan jenis serbuk sari di musim tertentu (Platt-Mills et al. 1998; Gossage

2000; Kuhl 2001).

Penelitian epidemiologi yang banyak dilakukan para peneliti telah

meningkatkan pemahaman dan penanganan penyakit alergi. Berbagai penelitian

itu membuktikan, serbuk sari rumput merupakan penyebab penyakit alergi penting

di seluruh dunia, sehingga perlu diwaspadai serbuk sari sebagai salah satu alergen

utama pemicu alergi pernapasan (Phanichyakam et al. 1989, Silvestri et al. 1996;

Bufe et al. 1998; Sridhara et al. 2002).

Di Amerika dan Eropa, berbagai alergen baik dalam maupun luar rumah

sudah banyak diteliti dan diketahui (Gossage 2000; Kuhl 2001). Ekstrak serbuk

sari rumput-rumputan sebagai alergen pada uji tusuk kulit telah digunakan sebagai

gold standard dalam diagnosis penyakit alergi (Wodehouse 1965; Nelson 2000;

Koshak 2006). Dewasa ini di Indonesia umumnya dipakai alergen komersial

untuk uji tusuk kulit, yang berarti hanya terbatas pada bahan yang dibuat di Eropa

atau Amerika. Walau alergen komersial cukup banyak dan bervariasi untuk

mendeteksi pencetus alergi yang umum, namun alergen serbuk sari tumbuhan

tropik tidak tersedia sehingga besar kemungkinan akan tetap tidak terdeteksi.

Sebuah penelitian uji sensitivitas yang dilakukan pada pasien alergi

pernapasan di sebuah Klinik Alergi Imunologi di Jakarta terhadap 8 jenis alergen

dalam rumah asal Singapura, dengan hasil positif tinggi pada uji tusuk kulit

terhadap jenis tungau debu rumah Dermatophagoides farinae, Dermatophagoides

pteronyssinus, dan Blomia tropicalis (Baratawidjaja et al. 1998a). Penelitian

selanjutnya uji tusuk kulit dilakukan di klinik yang sama di Jakarta terhadap

alergen regional asal Singapura pada pasien alergi pernapasan dengan persentase

reaksi positif terhadap Dermatophagoides pteronyssinus 77,57%, Blomia

(25)

22,43%, Acacia auriculiformis 12,15%, Dicranopteris spp 11,21%, Curvularia

fallax 8,41%, dan Exserohilum rostratum 13,08% (Baratawidjaja et al. 1999).

Pada sisi lain, hasil penelitian tersebut belum banyak memberikan

informasi tentang alergi secara menyeluruh di Indonesia. Untuk faktor alergen

misalnya, selama ini yang lebih banyak diteliti adalah faktor alergen dalam

rumah, sedangkan faktor alergen di luar rumah seperti terabaikan. Padahal di

daerah tropis seperti Indonesia ini, rumput-rumputan tumbuh tersebar di

mana-mana sepanjang tahun. Serbuk sari yang disebarkan angin dari berbagai pohon

dan rumput mengandung sejumlah alergen terutama protein (Gossage 2000; Puc

2003).

Berdasarkan latar belakang tersebut, tampaknya sampai saat ini belum

terdapat studi tentang alergen serbuk sari tumbuhan di Indonesia dan

kemungkinannya sebagai penyebab alergi pada manusia. Kondisi ini cukup

memprihatinkan karena Indonesia merupakan negara dengan keanekaragaman

flora yang memiliki sumber serbuk sari yang tersedia sepanjang tahun,

kemungkinan terjadinya sensitisasi terhadap serbuk sari sangat besar. Oleh karena

itu penelitian khusus tentang sensitivitas terhadap serbuk sari asal tumbuhan

Indonesia sangat perlu dilakukan untuk dapat mengungkapkan dan

mengidentifikasi serbuk sari yang tersebar di udara serta seberapa jauh manusia

telah tersensitisasi.

Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi serbuk sari tumbuhan yang

berada di suatu daerah di Indonesia yang dapat menimbulkan reaksi alergi pada

manusia dan membuat ekstrak serbuk sari, serta melihat profil bobot molekul

(BM) protein alergen serbuk sari dengan analisis sodium dodecyl sulfate

polyacrylamide gel electrophoresis (SDS-PAGE), untuk mengetahui

kealergenikannya dilakukan uji klinis pada manusia dengan cara uji tusuk kulit,

baik pada orang dengan riwayat alergi maupun tanpa riwayat alergi.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi tentang seberapa

besar telah terjadi pajanan terhadap alergen serbuk sari pada manusia. Serbuk sari

yang berpotensi tinggi sebagai alergen dapat digunakan dalam panel uji tusuk

(26)

2. TINJAUAN PUSTAKA

Penyakit Alergi

Dalam imunologi, banyak istilah yang kerap tumpang tindih untuk

menggambarkan penyakit alergi. Selain istilah alergi, dikenal istilah atopi dan

hipersensitivitas. Ketiga istilah sering dipakai bergantian tanpa mempengaruhi

makna kalimat, meskipun sebenarnya masing-masing mempunyai batasan

tersendiri. Istilah alergi diperkenalkan pertama kali pada tahun 1906 oleh Clemens

Peter Freiherr von Pirquet, seorang dokter anak dari Austria yang mendalami

bidang bakteriologi dan imunologi. Alergi berasal dari bahasa Yunani allos

(artinya: perubahan atau penyimpangan) dan ergon (artinya: reaksi). Oleh karena

itu, alergi didefinisikan sebagai reaksi penyimpangan sistem imun terhadap

bahan-bahan alergen yang tidak berbahaya. Pengaktifan sistem imun yang tidak

diinginkan serta berpotensi merusak jaringan tubuh disebut hipersensitivitas.

Bakat atau kecenderungan seseorang untuk mengalami reaksi hipersensitivitas

disebut atopi, yang berasal dari bahasa Yunani atopia yang berarti tanpa tempat,

karena reaksi hipersensitivitas dapat bermanifestasi secara menyeluruh pada tubuh

(sistemik). Kata atopi pertama diperkenalkan oleh Coca pada tahun 1928, yaitu

istilah yang dipakai untuk sekelompok penyakit pada orang yang mempunyai

kepekaan dalam keluarganya.

Penyakit-penyakit alergi sering dihubungkan dengan organ tertentu, yaitu

hidung (rinitis alergi), mata (konjungtivitis alergi), rongga hidung di belakang

wajah (sinusitis), paru (asma bronkial/asma), kulit (dermatitis atopi/ekzema dan

urtikaria/kaligata) (Rabson et al. 2005; Kuby et al. 2007).

Dahulu semua jenis hipersensitivitas disebut alergi, tetapi sekarang alergi

hanya merupakan satu dari empat jenis reaksi hipersensitivitas (Tabel 1). Alergi

adalah reaksi hipersensitivitas tipe 1 yang disebut juga tipe cepat atau anafilaksis,

ditandai dengan produksi antibodi Imunoglobulin E (IgE) berlebihan sebagai

respons atas rangsangan alergen yang memicu aktivasi sel-sel imun tertentu untuk

melepaskan zat perantara (mediator) kimiawi seperti histamin, dan menimbulkan

respons inflamasi berupa asma, rinitis alergi, dan dermatitis atopi (Platt-Mills et

(27)

6

Tabel 1 Jenis reaksi hipersensitivitas menurut Gell dan Coombs (Platt-Mills 2006)

Tipe Nama reaksi Perantara Contoh penyakit

1 Alergi/cepat/anafilaksis IgE Asma, rinitis alergi, dermatitis atopi

2 Sitotoksik IgG, IgM Anemia hemolitik autoimun

3 Kompleks imun IgG, IgM Lupus eritematosus sistemik

4 Lambat Sel T Dermatitis kontak

Suatu alergen akan menimbulkan gejala klinik bila seseorang telah

mengalami sensitisasi yang merupakan hasil interaksi antara kemampuan

seseorang secara genetik untuk merespons pemajanan oleh alergen. Sensitisasi

ditandai dengan produksi IgE, sebagai petanda respons imun terhadap alergen

yang merangsang. Pemajanan oleh alergen kepada orang yang tidak sensitif,

meskipun dalam jumlah besar tidak akan menimbulkan gejala, sementara bagi

orang yang sensitif, hanya dibutuhkan sejumlah kecil alergen untuk menimbulkan

gejala alergi. Sensitisasi terhadap alergen dapat terjadi sejak masa kandungan,

kanak-kanak, dan bahkan dewasa (Rabson et al. 2005; Kuby et al. 2007).

Penyakit alergi ditandai oleh respons imun terhadap alergen dalam

lingkungan yang menimbulkan inflamasi imunologik di jaringan dan kelainan

fungsi organ dengan dibentuknya antibodi IgE spesifik. Alergen masuk ke dalam

tubuh melalui beberapa cara, yaitu alergen hirup melalui saluran napas (tungau

debu rumah, serpihan kulit binatang, serbuk sari, dan spora jamur), alergen

ingestan melalui mulut (makanan dan obat-obatan), alergen injektan (obat suntik)

dan alergen kontaktan seperti logam, karet, dan wangi-wangian (Al-Frayh &

Hasnain 2000). Manifestasi alergi dapat terjadi di organ pernapasan berupa asma

dan rinitis alergi, di kulit berupa dermatitis atopi dan urtikaria (kaligata/biduran),

serta reaksi alergi yang mengancam nyawa bersifat sistemik yang disebut

anafilaksis (Rabson et al. 2005, Chapel et al. 2006; Kuby et al. 2007).

Alergen yang masuk tubuh akan memacu sel limfosit B untuk

memproduksi IgE yang kemudian diikat oleh reseptornya pada sel mast yang

terdapat di jaringan tubuh dan basofil yang berada dalam sirkulasi. Selanjutnya

alergen yang sama masuk tubuh pada pajanan ulang akan diikat oleh IgE tersebut.

Ikatan IgE dan alergen spesifiknya akan mengaktifkan sel mast dan basofil untuk

melepas histamin dan mediator lainnya yang berperan dalam timbulnya gejala

(28)

7

Gambar 1 Pajanan alergen yang memacu produksi IgE dan degranulasi sel mast (dimodifikasi dari Rabson et al. 2005)

Pasien alergi yang sudah tersensitisasi terhadap alergen spesifik akan

menunjukkan reaksi kulit positif berupa bentol dan merah pada uji tusuk kulit. Sel

limfosit B dan produknya yang berupa antibodi IgE merupakan elemen utama

respons imun humoral. Produksi antibodi oleh sel limfosit B dikendalikan dan

dirangsang oleh sel limfosit T dengan profil sitokin T helper2 (Th2),

meningkatkan sintesis Interleukin-4 (IL-4) dan Interleukin-13 (IL-13) yang

memacu sintesis antibodi IgE. Sel mast ditemukan dalam berbagai jaringan seperti

kulit, konjungtiva mata, saluran cerna serta saluran napas bagian atas dan bawah.

Di tempat-tempat tersebut sel mast terpajan dengan berbagai bahan eksternal. Sel

mast juga ditemukan sekitar saraf dan pembuluh darah. Sebaliknya basofil tetap

dalam sirkulasi yang merupakan sekitar 0,5% dari leukosit (sel darah putih). Bila

sel mast dan basofil diaktifkan, akan berdegranulasi dan melepas berbagai

mediator baik yang sudah ada dalam sel (preformed) yang menimbulkan awal

respons alergi dan yang dibentuk baru (newly generated/synthesize) (Rabson et al.

2005; Platt-Mills 2006).

Respons alergi dibagi menjadi fase dini dan fase lambat. Sel mast

merupakan sel utama yang berperan dalam fase dini, melepas mediator yang

sudah terbentuk sebelumnya seperti histamin dan Platelet Activating Factor

(PAF), dan mediator yang baru disintesis seperti leukotrin. Efek histamin adalah

bronkokonstriktor, meningkatkan sekresi mukus dan kontraksi otot polos saluran

napas, vasodilatasi, dan peningkatan permeabilitas vaskular (Bachert 2002;

MacGlashan 2003). Leukotrin merupakan kemoatraktan leukosit poten,

menginduksi kontraksi otot polos, bronkokonstriksi dan peningkatan sekresi

mukus, sedangkan mediator PAF berfungsi sebagai kemoatraktan eosinofil poten Alergen IgE Sel Mast Mediator Reaksi hipersensitivitas tipe 1/alergi/cepat

(29)

8

(Edwards 2003). Eosinofil ditemukan pada tahun 1879 oleh Paul Ehrlich, sel ini

dianggap berperan penting dalam inflamasi alergi. Eosinofil memproduksi dan

melepas berbagai mediator, salah satunya Protein Dasar Utama (Major Basic

Protein) yang merusak jaringan dan memacu inflamasi pada penyakit alergi

(Romagnini 2004).

.

Rinitis alergi

Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi kronik lapisan lendir (mukosa)

hidung yang terletak di saluran napas atas, diperantarai antibodi IgE setelah

dipicu oleh pajanan alergen. Gejala-gejalanya dapat berupa bersin-bersin, hidung

berair, hidung tersumbat dan gatal, seringkali disertai mata gatal, merah dan

berair. Berdasarkan kemunculannya, rinitis alergi dibagi menjadi rinitis

intermiten dan persisten. Berdasarkan keparahannya, rinitis alergi dibagi menjadi

ringan, sedang, dan berat. Rinitis alergi adalah penyakit multifaktorial dengan

banyak faktor risiko yang dipicu oleh interaksi gen dan lingkungan. Rinitis alergi

dan asma adalah penyakit alergi pernapasan, dengan konsep one airway one

disease, yang berarti pada orang yang menderita rinitis alergi seringkali disertai

asma, karena merupakan satu saluran pernapasan. Rinitis alergi adalah penyakit

alergi pada saluran pernapasan atas, sedangkan asma pada saluran pernapasan

bawah (Huang 2007).

Pencetus rinitis alergi adalah alergen, baik alergen dalam rumah atau luar

rumah di daerah beriklim sedang. Alergen dalam rumah terpenting adalah tungau

debu rumah, kecoa, serpihan kulit hewan piaraan seperti kucing dan anjing.

Alergen luar rumah terpenting adalah serbuk sari. Spora jamur merupakan alergen

dalam dan luar rumah, Aspergillus dan Penicillium adalah spesies yang paling

banyak ditemukan dalam rumah, sedang Alternaria dapat ditemukan di dalam

maupun luar rumah (Matsui & Wood 2007). Penyakit rinitis yang dicetuskan

serbuk sari disebut polinosis. Sejak lama masyarakat di negara 4 musim

menyadari bahwa pada musim panas, orang-orang tertentu akan mengalami rinitis

alergi yang dikenal dengan istilah hay fever. Semula mereka menganggap

penyakit ini disebabkan oleh bunga mawar pada awal musim panas dan oleh

tanaman goldenrod di akhir musim panas. Kenyataannya, hay fever dicetuskan

(30)

9

serbuk sari gulma ragweed yang tumbuh di sekitar goldenrod. Hay fever pada

awal musim panas berbarengan dengan berbunganya rumput-rumputan,

sedangkan pada akhir musim panas sejalan dengan berbunganya ragweeds dan

goldenrods. Selain rumput-rumputan dan ragweed, banyak tumbuhan lain

penyebab hay fever (Wodehouse 1965). Di Amerika Utara, ragweed jenis

Ambrosia artimisifolia (Asteraceae) merupakan serbuk sari gulma terpenting oleh

karena dapat disebarkan dengan jarak ratusan kilometer. Reaksi alergi terhadap

serbuk sari tersebut terjadi pada akhir musim panas dan berlangsung sampai bulan

Oktober. Sekalipun demikian, di Florida Selatan orang yang tersensitisasi dapat

menunjukkan gejala alergi di luar musim tersebut. Hal ini disebabkan di daerah

pantai itu, serbuk sari di produksi sepanjang tahun. Dewasa ini ragweed juga

ditemukan di Korea, Jepang, Australia dan Eropa (Gossage 2000).

Cynodon dactylon disebut juga Bermuda grass, serbuk sarinya merupakan

sumber polinosis yang sangat banyak di seluruh dunia, pencetus asma, rinitis

alergi, dan konjungtivitis alergi yang kuat, dikenal sebagai salah satu spesies

rumput yang sering menyebabkan reaksi alergi dan terdapat di berbagai wilayah

seperti Eropa, Amerika, Afrika Selatan, Australia, India, dan Jepang

(Sompolinsky et al.1984; Adler et al.1985; Weber 2002). Serbuk sari C. dactylon

merupakan alergen tersering penyebab rinitis alergi pada anak-anak yang

dibuktikan dengan uji IgE spesifik (Halonen et al. 1997) dan juga berhubungan

bermakna dengan sinusitis (Lombardi et al. 1996).

Selain di daerah beriklim sedang, reaksi alergi terhadap serbuk sari

C. dactylon juga ditemukan di Asia Tropik. Pada penelitian di Thailand, 17% dari

100 orang pasien alergi rinitis menunjukkan uji IgE spesifik terhadap alergen

C. dactylon (Pumhirun 1997). Di Semenanjung Malaysia, serbuk sari C. dactylon

dilaporkan merupakan serbuk sari yang paling alergenik di antara serbuk sari

rumput-rumputan (Sam 1998). Bahkan di Kuwait, negara yang terdapat di gurun

pasir, mendapatkan serbuk sari C. dactylon sebagai salah satu alergen yang paling

sering ditemukan pada 505 orang dewasa muda dengan prevalensi 53,6%, sedikit

lebih banyak dari tungau debu rumah (52,7%) (Ezeamuzie 1997). Dari 810 pasien

asma atau rinitis alergi di Kuwait, IgE spesifik terhadap C. dactylon terdeteksi

(31)

10

6-64 tahun, IgE spesifik terhadap C. dactylon didapatkan pada 55% orang

(Dowaisan 2000). Di Uni Emirat Arab, 33% dari 263 pasien alergi pernapasan

didapatkan sensitif terhadap C. dactylon (Lestringant et al. 1999). Di Arab Saudi,

IgE spesifik terhadap C. dactylon merupakan salah satu alergen yang sering

dijumpai pada pasien dewasa maupun anak-anak dengan asma dan rinitis alergi

(Al-Anazy 1997; Sorensen 1986). C. dactylon juga merupakan alergen yang

menonjol di Afrika Selatan pada anak-anak dengan asma dan rinitis alergi (Green

1997; Potter 1991).

Alergen Serbuk Sari Poaceae pencetus rinitis alergi. Protein serbuk sari

poaceae yang dapat mencetuskan alergi telah diteliti luas dan dibagi menjadi 13

grup. Alergen grup 1 meliputi glikoprotein yang mempunyai BM antara 27-35

kD. Alergen ini berada baik di sitoplasma maupun di eksin butir serbuk sari dan

merupakan alergen utama dari ekstrak serbuk sari rumput. Sekitar 90% orang

yang alergi serbuk sari rumput memperlihatkan reaktivitas antibodi IgE terhadap

alergen grup 1 (Matthiesen et al. 1991; Han et al. 1993; Schramm et al. 1996).

Alergen ini merupakan glikoprotein yang sering menyebabkan reaktivitas silang

dengan serbuk sari berbagai rumput lainnya (Grobe et al. 1999; Schenk et al.

1996; Hiller et al. 1997). Pada serbuk sari C. dactylon terpenting adalah alergen

grup 1 (Cyn d 1) dengan BM 30 kD (Shen et al. 1988; Ford & Baldo 1987;

Matthiesen et al. 1991) dan grup 7 (Cyn d 7) (Smith et al. 1997; Suphioglu et al.

1997).

Alergen grup 2 dan 3 meliputi protein non-glikosilat dengan kisaran BM

10-12 kD. Alergen grup 4 merupakan glikoprotein pengikat IgE dengan BM

50-67 kD dan awalnya diidentifikasi dari rumput Phleum pratense yang sering

disebut Timothy grass, Lolium perenne dikenal dengan nama Perennial rye grass,

dan Dactylis glomerata atau Orchard grass (Brodard et al. 1993). Sebanyak 80%

orang yang alergi terhadap serbuk sari rumput memperlihatkan reaktivitas IgE

terhadap alergen grup 4, sehingga kelompok ini dianggap sebagai alergen mayor

(Leduc-Brodard et al. 1996). Alergen grup 5 mirip dengan grup 1, mempunyai

BM antara 27-33 kD. Alergen grup 6 adalah sitokrom, sejauh ini hanya ditemukan

pada P. pratense, yang merupakan protein non-glikosilat bersifat asam dengan

(32)

11

sekelompok protein kecil dengan BM 8,7-8,8 kD, ditemukan pada rumput C.

dactylon dan P. pratense (Smith et al. 1997, Niederberger et al. 1996, Puc 2003).

Alergen grup 11 pertama ditemukan dari serbuk sari L. perenne yang merupakan

glikoprotein pengikat IgE berukuran 18 kD (Ree et al 1995). Alergen grup 12

merupakan keluarga protein yang disebut profilin berukuran 14 kD (Sohn et al

1994), dan grup 13 merupakan kelompok terakhir yang ditemukan pada serbuk

sari rumput-rumputan dengan BM sekitar 55-60 kD (Sohn et al. 1994).

Asma bronkial

Asma bronkial adalah penyakit inflamasi kronik di paru yang terletak di

saluran napas bawah, berupa episode penyempitan dan peradangan jalan napas

yang disertai produksi lendir (mukus) berlebihan sebagai respons terhadap satu atau

lebih pencetus. Batasan teknis dari Global Initiative for Asthma (GINA)

mendefinisikan asma sebagai gangguan inflamasi kronik saluran napas dengan

peran berbagai sel, terutama sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Inflamasi pada

orang yang peka mengakibatkan episode mengi berulang, sesak napas, rasa dada

tertekan, dan batuk terutama malam dan dini hari (Bateman et al. 2008). Batasan

praktis dari Pedoman Nasional Penanganan Asma Anak adalah mengi berulang dan

atau batuk persisten dengan karakteristik timbul secara episodik, cenderung pada

malam dan dini hari, musiman, setelah aktivitas fisik, dan dapat membaik dengan

atau tanpa pengobatan serta adanya riwayat asma atau atopik lain pada pasien dan

atau keluarganya [UKK Pulmonologi IDAI 2002].

Faktor pencetus serangan asma antara lain adalah alergen (tungau debu

rumah, kecoa, serpihan kulit hewan piaraan, spora jamur, serbuk sari), asap rokok,

polusi udara, dan infeksi virus. Alergen merupakan faktor terpenting tidak hanya

dalam mencetuskan asma, tetapi juga menentukan keparahan dan menetapnya

gejala-gejala asma (Nelson 2000). Secara patologis, asma ditandai oleh

hiperreaktivitas bronkus. Orang atopi adalah orang yang rentan untuk mengalami

hiperreaktivitas bronkus, tetapi hanya 10-30% yang akhirnya mengalami asma.

Bukti bahwa asma memiliki komponen genetik berasal dari studi pada keluarga,

yang memperkirakan bahwa kontribusi faktor genetik terhadap atopi dan asma

(33)

12

dan melibatkan banyak gen, sehingga kerentanan terhadap asma melibatkan

interaksi berbagai faktor genetik dan lingkungan (Kuby et al. 2007).

Dermatitis atopi

Dermatitis atopi atau ekzema adalah peradangan kronik kulit dengan

gejala gatal yang seringkali mengganggu tidur. Pada bayi, ekzema umumnya

berupa ruam merah yang sangat gatal di wajah, kulit kepala, belakang telinga,

badan, lengan dan tungkai. Pada anak balita, ruam sering kali ditemukan di lipatan

kulit sekitar lutut dan siku. Menjelang remaja ekzema umumnya menghilang dan

dapat bermanifestasi menjadi asma. Alergen pemicu biasanya berupa makanan

(susu, makanan laut, kacang tanah, coklat, dan lain-lain). Reaksi alergi makanan

selain berupa dermatitis atopi, dapat juga berupa reaksi bentol, kemerahan dan

gatal yang dikenal dengan sebutan urtikaria, nama lainnya biduran atau kaligata

(Rabson et al. 2005).

Diagnosis dan Penatalaksanaan Penyakit Alergi

Terjadinya alergi ditentukan faktor atopi, yaitu predisposisi genetik

seseorang untuk memproduksi antibodi IgE dalam tubuhnya bila terpajan alergen

yang terdapat di lingkungannya. Atopi tidak selalu menimbulkan gejala alergi,

tetapi cenderung untuk berkembang menjadi penyakit alergi. Atopi dapat

diketahui dengan pemeriksaan IgE (Bousquet et al. 2008). Ditemukannya antibodi

IgE spesifik terhadap alergen tertentu merupakan uji terpenting dalam diagnosis

dan penatalaksaan penyakit alergi dalam upaya pencegahan. Pemeriksaan adanya

IgE dapat dilakukan dengan cara uji tusuk kulit (skin prict test) danpemeriksaan

darah cara radioallergosorbent test (RAST) (Rusznak & Davies 1998; Jarvis &

Burney 2004; Koshak 2006)

Diagnosis penyakit alergi terutama ditegakkan berdasarkan wawancara

(anamnesis) tentang riwayat penyakit. Anamnesis yang cermat merupakan kunci

keakuratan diagnosis, meliputi riwayat timbulnya gejala, frekuensi serangan,

intensitas gejala, riwayat berbagai faktor pencetus, dan kondisi rumah serta

lingkungan (Church & Holgate 1995). Pada pemeriksaan fisis rinitis alergi dapat

(34)

13

Pemeriksaan fisis pasien asma pada masa di luar serangan umumnya normal. Pada

saat serangan dapat ditemukan sesak napas disertai bunyi napas mengi yang khas

(Rabson et al. 2005). Setiap pasien yang dicurigai menderita asma atau rinitis

alergi harus dievaluasi adanya sensitisasi terhadap alergen dengan cara uji tusuk

kulit guna mengetahui faktor pencetus yang ada di lingkungannya (Church &

Holgate 1995).

Uji tusuk kulit pertama kali diperkenalkan oleh Lewis dan Grant pada

tahun 1924, namun baru dipergunakan secara luas setelah dimodifikasi oleh Pepys

pada tahun 1974. Ekstrak alergen dan cairan kontrol diteteskan pada permukaan

volar lengan bawah. Bagian superfisial kulit ditusuk menggunakan jarum khusus

tanpa berdarah. Untuk setiap alergen harus digunakan jarum yang berbeda untuk

menghindari tercampurnya cairan uji. Dalam melakukan uji tusuk kulit, sebagai

kontrol positif dipakai histamin dan untuk kontrol negatif dipakai bahan pelarut

(Mygind et al. 1994). Tes dibaca setelah 15 menit, reaksi positif dinyatakan

adanya kemerahan dan bentol pada kontrol positif histamin dengan minimal

diameter 3 mm lebih besar dibanding dengan kontrol negatif. Keunggulan uji

tusuk kulit adalah sederhana, pembacaan dapat dilakukan dengan cepat,

mempunyai sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi serta dapat menguji sejumlah

besar alergen sekaligus (Rusznak & Davies 1998; Jarvis & Burney 2004).

RAST merupakan pemeriksaan darah yang akurat untuk mengukur kadar

IgE spesifik dalam darah. Umumnya, terjadinya alergi akan ditandai dengan

adanya peningkatan kadar IgE yang spesifik. Pada RAST, alergen akan

ditempatkan di suatu paper discs atau polyurethane caps dan kemudian

direaksikan dengan sampel serum yang diambil dari pembuluh darah vena pasien.

Pengikatan IgE spesifik terhadap alergen tersebut terdeteksi melalui enzyme

linked-human IgE antibody pada reaksi kolorometrik. Pemeriksaan RAST spesifik

untuk menentukan alergen penyebab reaksi alergi, digunakan bila uji tusuk kulit

tidak dapat dilakukan pada orang-orang dengan penyakit kulit tertentu seperti

ekzema berat, atau pada orang yang mendapat terapi obat-obatan yang

mengganggu akurasi hasil uji tusuk kulit. Keuntungan RAST tidak perlu

menghentikan obat-obat tertentu dan tidak ada risiko anafilaksis, hanya harganya

(35)

14

diinterpretasikan bersama dengan hasil pemeriksaan alergi lainnya seperti

anamnesis dan uji tusuk kulit untuk memperoleh diagnosis yang lebih baik

(Chapel et al. 2006).

Serbuk Sari

Serbuk sari adalah alat reproduksi tumbuhan guna mempertahankan

jenisnya dari kepunahan. Serbuk sari berupa butiran halus yang mengandung

mikrogametofit, yang menghasilkan gamet jantan tumbuhan berbiji. Dinding

serbuk sari terdiri atas 2 lapisan yaitu lapisan luar yang disebut eksin dan lapisan

dalam intin. Lapisan eksin terdiri dari bahan yang sangat kuat disebut

sporopolenin, dibagi menjadi lapisan seksin eksternal dan neksin internal. Seksin

merupakan lapisan yang memiliki ornamen berupa lubang-lubang sirkular atau

galur-galur longitudinal atau keduanya, dan neksin tidak. Struktur eksin

merupakan salah satu karakter yang digunakan dalam mengidentifikasi, dan

memiliki aviditas untuk zat pewarna dasar (fuchsin dan phenosaffranin).

Pelepasan serbuk sari atau antesis biasanya terjadi pasif, karena anter pecah bila

menjadi kering (Faegri et al. 1964).

Studi terhadap serbuk sari disebut palinologi dan istilah palinologi

diperkenalkan oleh Hyde dan Williams pada tahun 1945. Palinologi juga berkaitan

dengan bidang ilmu lainnya seperti biologi polinasi dan biologi reproduktif.

Untuk kepentingan taksonomi, penekanan diberikan pada ciri-ciri komparatif

serbuk sari, khususnya pada apertura dan struktur dinding (Stuessy 1990).

Aplikasi studi serbuk sari di bidang kedokteran antara lain dalam mengidentifikasi

alergen sebagai pencetus penyakit alergi dan imunoterapi (Mildenhall et al. 2006).

Penyerbukan pada tumbuhan dapat melalui beberapa cara yaitu anemofili

(dibantu angin) seperti padi, jagung, rumput, akasia dan pinus, hidrofili (dibantu

air) seperti tanaman air, entomofili (dibantu serangga) seperti pada anggrek,

ornitofili (dibantu burung) seperti benalu, kiropterofili (dibantu kelelawar) seperti

durian, malakofili (dibantu siput) dan antropofili (dibantu manusia) seperti pada

vanili. Serbuk sari tumbuhan anemofili biasanya kecil, halus, amat ringan, dan

diproduksi dalam jumlah yang sangat besar. Di antara tumbuhan entomofili,

(36)

15

memiliki anter terbuka, serbuk sari yang kurang lengket dapat melepaskan cukup

banyak serbuk sari ke udara; tumbuhan seperti ini disebut amfifili karena secara

parsial dapat menggunakan angin sebagai cara penyebaran serbuk sari

(Wodehouse1965; Sornsathapornkul &Owens1998; Smith 2000).

Aerobiologi adalah ilmu tentang partikel biologis yang terdapat di udara.

Aerobiologi antara lain bertujuan untuk memahami penyebaran partikel biologis

yang terdapat di udara yang menyebabkan penyakit pada manusia, hewan, dan

tumbuhan sebagai upaya pencegahan. Sebagai contoh, banyak orang mengalami

reaksi alergi karena partikel biologis yang dihirup, adakalanya bersifat alergen

terhadap manusia. Serbuk sari merupakan salah satu contoh dari partikel biologis

yang terdapat di udara yang menjadi objek aerobiologi (Lacey & West 2006).

Penangkapan Serbuk Sari

Untuk mengetahui serbuk sari apa yang ada di udara, dapat dilakukan

penangkapan dengan beberapa cara, yaitu dengan menggunakan kolektor pasif

berupa kolektor aeroalergen dasar yang secara total tergantung pada angin dan

gravitasi untuk membawa objek di udara ke permukaan pengumpul. Yang paling

banyak dipakai adalah gelas objek berperekat yang ditempatkan tak terlindung

dalam posisi terpajan terhadap udara bebas dalam waktu singkat (Smith 2000).

Alat penangkap lain seperti slit-type volumetric spore trap merupakan cara

terbaik pengumpulan serbuk sari dengan mesin slit-type yang menggunakan alat

penghisap. Alat ini mengeluarkan udara melalui satu atau beberapa ventilasi agar

udara terhisap ke dalam mesin melalui celah sempit berukuran 0,04x0,55 inci.

Kipas dan pompa udara digunakan untuk mengeluarkan udara dan menciptakan

kondisi bertekanan rendah yang memungkinkan udara masuk dan berganti melalui

celah. Slit-type volumetric spore trap yang banyak dipakai adalah alat Burkard.

Alat Burkard volumetric spore trap terdiri dari bagian luar dan bagian dalam

dengan drum yang dapat berputar dengan mekanisme pengaturan waktu 7 hari

terus-menerus. Drum ini dilengkapi dengan pita plastik transparan “Melinex”

yang dilekatkan di sekelilingnya. Alat Burkard juga dilengkapi dengan sebuah

pompa vakum yang dapat menarik udara sebanyak 10 liter per menit, sehingga

dapat menarik serbuk sari maupun spora dari udara melalui celah, yang kemudian

(37)

16

dibawa, dapat digunakan dalam segala cuaca, dan mudah dioperasikan. Burkard

merupakan alat yang direkomendasikan oleh World Allergy Organization

(WAO) dan mendapat sertifikasi dari The American Academy of Allergy,

Asthma and Immunology (AAAAI) (Lacey & West 2006, Hasnain et al. 2007).

Identifikasi Serbuk Sari

Untuk mengidentifikasi serbuk sari dapat dilakukan dengan mikroskop

cahaya dan pengamatan ultrastruktur dengan SEM, identifikasi berdasarkan

karakteristik berupa ukuran, bentuk, apertura, dan permukaan eksin (Faegri et al.

1964; Smith 2000).

Ukuran.Ukuran dan volume serbuk sari bervariasi secara alamiah karena

faktor genetik dan lingkungan yang berbeda. Ukuran dapat berubah dari bunga ke

bunga atau dari anter ke anter pada bunga yang sama. Temperatur dan

ketersediaan air juga dilaporkan mempengaruhi ukuran serbuk sari. (Smith 2000).

Bentuk. Bentuk serbuk sari ditentukan secara genetik dan lingkungan.

Bentuk butir serbuk sari dapat dilihat dari pandangan polar dan equatorial,

ditentukan berdasarkan perbandingan antar panjang aksis polar (P) dan diameter

ekuatorial (E), diekspresikan dalam bentuk indeks polar/ekuatorial (P/E Index),

yaitu rasio panjang dari kutub ke kutub dibandingkan lebar ekuatorial. Ekuator

adalah zona berjarak sama (equidistant) di antara kutub-kutub (Kapp 1969).

Serbuk sari dari spesies tumbuhan yang sama atau berkerabat dekat cenderung

memiliki morfologi yang serupa. Faktor lingkungan internal dan eksternal juga

turut berperan membentuk serbuk sari. Jika lingkungan internal tidak sama,

bentuk serbuk sari dari spesies yang berkerabat dekat atau bahkan sama mungkin

menghasilkan perbedaan nyata. Serupa dengan itu, jika faktor lingkungan

eksternal tidak sama, serbuk sari akan sangat berbeda tanpa memandang

kedekatan kekerabatannya. Kecenderungan kemiripan serbuk sari antar spesies

yang berkerabat dapat ditekan oleh perkembangan karakter yang dicetuskan oleh

pengaruh luar sehingga sedikit kemiripan yang dapat dikenali (Wodehouse 1965;

Smith 2000).

Apertura. Apertura atau bukaan adalah suatu area tipis pada eksin yang

berhubungan dengan perkecambahan serbuk sari, berfungsi sebagai titik keluar

(38)

17

ketika mengalami hidrasi atau pengeringan. Apertura melintas dari eksin ke intin,

dan dibedakan menjadi dua tipe yang bermanfaat untuk mengidentifikasi, yaitu

berupa celah memanjang disebut kolpi/kolpus (furrow) dan yang celah pendek

atau berbentuk bulat disebut porus/pori (pore). Pada bagian tengah pori beberapa

serbuk sari tampak suatu tudung sirkular (operkulum) yang merupakan sisa

perkembangan dinding serbuk sari sebelumnya, dan seringkali gugur saat

penyebaran serbuk sari yang telah matang. Pori pada serbuk sari dikelompokkan

berdasarkan jumlahnya. Serbuk sari inapertura tidak mempunyai pori pada

permukaannya. Serbuk sari yang mempunyai satu, dua, atau tiga pori-pori

berturut-turut disebut monoporat, diporat, dan triporat. Serbuk sari lainnya

mempunyai kolpus di permukaannya, dengan satu, dua, tiga, dan empat kolpi,

berturut-turut disebut monokolpat, dikolpat, trikolpat, dan tetrakolpat (Faegri et

al. 1964; Smith 2000).

Permukaan eksin. Serbuk sari juga mempunyai karakteristik permukaan

berdasarkan tipe ornamentasi eksin yang menjadi alat mengidentifikasi. Tipe

ornamentasi dapat dibedakan berdasarkan ukuran, bentuk, dan susunan

ornamentasinya, yaitu: psilat, perforat, foveolat, skabrat, verukat, gernat, klavat,

pilat, ekinat, rugulat, striat, dan retikulat. Permukaan psilat (Yunani: psilos-halus,

rata) tidak menampakkan gambaran apa pun di permukaannya dan tampak halus

rata, contohnya serbuk sari rumput. Di luar itu, ciri permukaan serbuk sari

digolongkan menjadi dua kelompok, yaitu yang tampak sebagai penekanan atau

ridges pada eksin (retikulata, rugulata, dan striata), dan gambaran yang

merupakan tonjolan dari eksin (bakulata, klavata, ekinata, gemata, skabrata, dan

verukata). Permukaan retikulata (Latin: rete=jaring) adalah permukaan serbuk sari

yang mirip jaring. Permukaan rugulata (Latin: ruga=keriput) mempunyai

permukaan yang tidak teratur dengan garis-garis keriput yang tidak paralel.

Permukaan striata (Latin: stria=garis) mempunyai permukaan bergaris halus yang

tersusun hampir sejajar. Permukaan eksin bakulata (Latin: baculum=batang)

adalah tonjolan berbentuk batang dengan diameter terbesar kurang dari tinggi

tonjolan. Permukaan klavata (Latin: clava=gada) berbentuk tonjolan gada atau

raket tenis yang apeks-nya lebih lebar dari dasarnya. Permukaan ekinata (Latin:

Gambar

Tabel 1 Jenis reaksi hipersensitivitas menurut Gell dan Coombs (Platt-Mills 2006)
Gambar 1  Pajanan alergen yang memacu produksi IgE dan degranulasi sel  mast
Gambar 2  Alat penangkap serbuk sari yang dipasang di Darmaga: a. di ladang jagung dan b
Gambar  4  Drum yang dilengkapi pita transparan “Melinex” dan perekat silikon
+7

Referensi

Dokumen terkait

Ada keuntungan besar dari program pengendalian kualitas yang efektif yaitu perusahaan akan mendapatkan kenaikan keuntungan yang dengan efektif menggunakan kualitas sebagai

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek ekstrak etanolik daun Sambung nyawa (Gynura procumbens (Luor) Merr) pada proliferasi sel kanker payudara tikus yang

kesehatan sebelum dan sesudah dilakukan pendidikan kesehatan pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol, Ini sesuai dengan penelitian dari Mega tahun 2014 tentang

Selisih total waktu yang dihasilkan sebelum dan sesudah penelitian adalah 0,5 jam, jarak untuk penelitian pertama dengan rute berdasarkan kapasitas angkut

Bila dibandingkan dengan diagram scattered yang lain, yaitu Gambar 4.1 s/d Gambar 4.7, hasil uji coba skenario 1 pada dataset 4 ini menunjukkan sebaran data yang lebih

Dari data hotspot pada tahun 2011, daerah yang paling banyak terdeteksi di Kabupaten Pulang Pisau dengan jumlah hotspot 605 titik dan Kabupaten Kotawaringin Timur

Dasar Terori yang digunakan adalah terori manajemen Sumber Daya Manusia, dengan hipotesis yaitu Hipotesis pertama adalah kepemimpinan demokratis dan kepemimpinan

Dari segi lain, filsafat juga bisa kita pahami sebagai suatu sikap hidup, sebagai suatu metode, sebagai kelompok persoalan, sebagai kelompok teori atau sistem pemikiran,