PERCERAIAN DAN AKIBATNYA YANG DILAKUKAN
PEGAWAI NEGERI SIPIL DILINGKUNGAN
KOTA TEBING TINGGI MENURUT
UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi TugasDalam Memenuhi Syarat MencapaiGelar Sarjana Hukum
Oleh
080200197 Muhammad Karami
DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
M E D A N
PERCERAIAN DAN AKIBATNYA YANG DILAKUKAN
PEGAWAI NEGERI SIPIL DILINGKUNGAN
KOTA TEBING TINGGI MENURUT
UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Dalam Memenuhi Syarat Mencapai
Gelar Sarjana Hukum
Oleh
080200197
MUHAMMAD KARAMI
DISETUJUI OLEH :
KETUA DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN
NIP. 196603031985081004 Dr.H.Hasim Purba,SH,M.Hum
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Dr.Ramlan Yusuf Rangkuty, MA R
NIP. 195103171980031002 NIP. 195902051986012001
abiatul Syahriah,SH.,M.Hum
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
ABSTRAK
Muhammad karami*
Dr. Ramlan Yusuf Rangkuti, MA** Rabiatul Syahriah, SH, M. Hum***
Perceraian adalah putusnya suatu perkawinan yang sah didepan hakim pengadilan berdasarkan syarat-syarat yang ditentukan undang-undang. Oleh karena itu perlu dipahami jiwa dari peraturan mengenai perceraian itu serta sebab akibat-akibat yang mungkin timbul setelah suami-istri itu perkawinannya putus. Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan perceraian harus memperoleh izin terlebih dahulu dari pejabat setempat. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana paya-upaya yang dilakukan Pemerintah Kota Tebing Tinggi terhadap Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan peceraian? Bagaimana sanksi bagi Pegawai Negeri Sipil yang melakukan perceraian 1
Metode penelitian yang digunakan untuk penulisan skripsi ini adalah penelitian normatif dan penelitian empiris. Bahan-bahan untuk melakukan penulisan skripsi ini diperoleh dengan cara penelitian kepustakaan (library research) dan penelitian lapangan (field research)
dengan pendekatan yuridis. Data yang dikumpulkan meliputi bahan hukum primer yaitu UUD NKRI 1945 (Setelah Amandemen), KUHPerdata, UU No.1 tahun 1974, Kompilasi Hukum Islam, PP No. 45 tahun 1990, PP No. 10 tahun 1983, PP No. 9 tahun 1975, Hukum Adat, Surat Edaran Nomor : 48/SE/1990, Surat Edaran, Nomor 08/SE/1983. Bahan sekunder yaitu buku-buku hasil karya dari pakar hukum dan pendapat dari para sarjana, bahan hukum tersier yaitu kamus dan alat penelitian berupa wawancara terhadap salah satu pegawai Badan Kepegawaian Daerah Pemerintah Kota Tebing Tinggi.
dilingkungan Pemerintah Kota Tebing Tinggi? Bagaimana putusan Pengadilan Negeri tentang perceraian Pegawai Negeri Sipil dilingkungan Pemerintah Kota Tebing Tinggi?
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pasal 3 PP No. 45 Tahun 1990, Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan perceraian, wajib memperoleh izin atau surat keterangan lebih dahulu dari Pejabat dengan mengajukan permintaan secara tertulis. Pegawai negeri sipil yang tidak menaatinya dapat berupa hukuman disiplin atas pelanggaran ketentuan-ketentuannya, berupa pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaannya sendiri. Pemerintah Kota Tebing Tinggi sebagai instansi awal yang harus dihadapi oleh Pegawai Negeri Sipil yang ingin melakukan peceraian hendaknya lebih mengedepankan upaya preventif yaitu bukan hanya melakukan pencegahan melalui prosedur administratif melainkan harus lebih aktif untuk melakukan mediasi-mediasi terhadap Pegawai Negeri sipil yang mengalami permasalahan dalam hubungan pekawinan dan lebih aktif melakukan sosialisasi dikalangan internal Pegawai Negeri Sipil mengenai dampak negatif akibat dari perceraian baik tehadap anak maupun kelangsungan status Pegawai Negeri Sipil dirinya sendiri serta paradigma masyarakat terhadap Pemerintahan Kota Tebing Tinggi selaku pengayom masyarakat.
Kata Kunci : Perceraian, Pegawai Negeri Sipil
* Mahasiswa Departemen Hukum Perdata Fakultas Hukum USU
KATA PENGANTAR
Assalammu’alaikum. Wr. Wb.
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan karuniaNya yang
diberikan kepada penulis sehingga dapat menyusun skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk
mencapai gelar sarjana (S1) dari Departemen Hukum Perdata BW Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
Penulis membuat penulisan hukum dengan judul “Perceraian dan Akibatnya Yang
Dilakukan Pegawai Negeri Sipil Dilingkungan Kota Tebing Tinggi Menurut
Perundang-undagan Yang Berlaku”.
Penulis sadar bahwa dalam penyusunan skripsi ini terdapat banyak kekurangan karena
adanya keterbatasan waktu, tenaga, biaya dan pengetahuan. Oleh karena itu, penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun bagi penulis.
Dalam penyusunan skripsi ini penulis menyadari bahwa tanpa bimbingan dan
petunjuk dari berbagai pihak, tentulah penyusunan skripsi ini tidak dapat terlaksana.
Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya
kepada :
1. Bapak Dekan Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M.Hum.
2. Bapak Pembantu Dekan I Prof. Dr. Budiman Ginting, SH., M.Hum.
3. Bapak Pembantu Dekan II Syaifuddin Hasibuan, SH., MH DFM.
4. Bapak Pembantu Dekan III Muhammad Husni, SH., MH.
5. Bapak Dr. H. Hasim Purba, SH., M.Hum sebagai Ketua Departemen Hukum Keperdataan
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
6. Bapak Dr. Ramlan Yusuf Rangkuti, MA selaku sebagai Dosen Pembimbing I penulis
7. Ibu Rabiatul Syahriah, SH, M.Hum selaku sebagai Dosen Pembimbing II penulis yang
telah sabar membimbing saya dalam penyusunan skripsi ini.
8. Seluruh keluargaku terutama Ayahku Ir. Hermansyah M.Si, Ibuku Drg. Dina Kamarina,
M.Kes dan Adikku Amalia Sabrina, Safira Hani Pati yang selalu memberikan do’a dan
restu serta mendukung dalam penyelesaian skripsi ini.
9. Untuk Tri Citra dan abgda Syahrahmad yang telah memberikan aku do’a, semangat dan
kepercayaan serta selalu memotivasi ku semasa di perkuliahan.
10.Seluruh staf dan karyawan tata usaha Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
11.Seluruh Pegawai Badan Kepegawaian Daerah Tebing Tinggi yang telah banyak membantu
penulis dalam memperoleh data yang penulis butuhkan guna menyelesaikan skripsi ini.
12.Untuk seluruh kawan-kawan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) komisariat FH USU.
13.Untuk seluruh stambuk 2008, Panca, Ujek, Barita, Ryan, Nanda, Iman, Obet, Anggi batak,
Saleh, Agus, Febry, Dirga, Hendi, Rama, Rendi, dan semua stambuk 2008 yang tak
mungkin disebutkan satu persatu serta kawan-kawan diskusi di kantin bunda Aris, Dedek,
Incus, Ilham, Mulkan, Randa, Ivo, Iqbal, Dirgan dan seluruh jajaran mahasiswa yang tak
mungkin disebutkan satu persatu.
Semoga penulisan ini dapat bermanfaat bagi yang membacanya.
Wassalammu’alaikum. Wr. Wb.
Medan, November 2012
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAKSI. ... i
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ... iii
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Permasalahan ... 7
C. Manfaat Penulisan ... 8
D. Tujuan Penulisan ... 8
E. Metode Penelitian ... 9
F. Keaslian Penulisan ... 12
G. Sistematika Penulisan ... 13
BAB II. TINJAUAN UMUM TENTANG PERCERAIAN ... 15
A. Pengertian Umum Tentang Perkawinan ... 15
B. Putusnya Perkawinan Dan Alasan-alasannya ... 26
C. Akibat Hukum Putusnya Perkawinan ... 49
BAB III. PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL ... 59
A. Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil ... 58
B. Syarat-syarat Perceraian Pegawai Negeri Sipil ... 61
BAB IV. AKIBAT PERCERAIAN YANG DILAKUKAN PEGAWAI
NEGERI SIPIL DILINGKUNGAN PEMERINTAH
KOTA TEBING TINGGI ... 71
A. Upaya-Upaya Yang Dilakukan Pemerintah Kota Tebing Tinggi Terhadap Pegawai Negeri Sipil Yang Akan Melakukan Perceraian.... ... 71
B. Sanksi Bagi Pegawai Negeri Sipil Yang Melakukan Perceraian di Lingkungan Pemerintah Kota Tebing Tinggi ... ... 78
C. Putusan Pengadilan Agama Tentang Perceraian Pegawai Negeri Sipil Yang Melakukan Perceraian Dilingkungan Pemerintah Kota Tebing Tinggi 81 BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 93
A. Kesimpulan ... 93
B. Saran ... 94
DAFTAR PUSTAKA ... 95
ABSTRAK
Muhammad karami*
Dr. Ramlan Yusuf Rangkuti, MA** Rabiatul Syahriah, SH, M. Hum***
Perceraian adalah putusnya suatu perkawinan yang sah didepan hakim pengadilan berdasarkan syarat-syarat yang ditentukan undang-undang. Oleh karena itu perlu dipahami jiwa dari peraturan mengenai perceraian itu serta sebab akibat-akibat yang mungkin timbul setelah suami-istri itu perkawinannya putus. Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan perceraian harus memperoleh izin terlebih dahulu dari pejabat setempat. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana paya-upaya yang dilakukan Pemerintah Kota Tebing Tinggi terhadap Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan peceraian? Bagaimana sanksi bagi Pegawai Negeri Sipil yang melakukan perceraian 1
Metode penelitian yang digunakan untuk penulisan skripsi ini adalah penelitian normatif dan penelitian empiris. Bahan-bahan untuk melakukan penulisan skripsi ini diperoleh dengan cara penelitian kepustakaan (library research) dan penelitian lapangan (field research)
dengan pendekatan yuridis. Data yang dikumpulkan meliputi bahan hukum primer yaitu UUD NKRI 1945 (Setelah Amandemen), KUHPerdata, UU No.1 tahun 1974, Kompilasi Hukum Islam, PP No. 45 tahun 1990, PP No. 10 tahun 1983, PP No. 9 tahun 1975, Hukum Adat, Surat Edaran Nomor : 48/SE/1990, Surat Edaran, Nomor 08/SE/1983. Bahan sekunder yaitu buku-buku hasil karya dari pakar hukum dan pendapat dari para sarjana, bahan hukum tersier yaitu kamus dan alat penelitian berupa wawancara terhadap salah satu pegawai Badan Kepegawaian Daerah Pemerintah Kota Tebing Tinggi.
dilingkungan Pemerintah Kota Tebing Tinggi? Bagaimana putusan Pengadilan Negeri tentang perceraian Pegawai Negeri Sipil dilingkungan Pemerintah Kota Tebing Tinggi?
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pasal 3 PP No. 45 Tahun 1990, Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan perceraian, wajib memperoleh izin atau surat keterangan lebih dahulu dari Pejabat dengan mengajukan permintaan secara tertulis. Pegawai negeri sipil yang tidak menaatinya dapat berupa hukuman disiplin atas pelanggaran ketentuan-ketentuannya, berupa pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaannya sendiri. Pemerintah Kota Tebing Tinggi sebagai instansi awal yang harus dihadapi oleh Pegawai Negeri Sipil yang ingin melakukan peceraian hendaknya lebih mengedepankan upaya preventif yaitu bukan hanya melakukan pencegahan melalui prosedur administratif melainkan harus lebih aktif untuk melakukan mediasi-mediasi terhadap Pegawai Negeri sipil yang mengalami permasalahan dalam hubungan pekawinan dan lebih aktif melakukan sosialisasi dikalangan internal Pegawai Negeri Sipil mengenai dampak negatif akibat dari perceraian baik tehadap anak maupun kelangsungan status Pegawai Negeri Sipil dirinya sendiri serta paradigma masyarakat terhadap Pemerintahan Kota Tebing Tinggi selaku pengayom masyarakat.
Kata Kunci : Perceraian, Pegawai Negeri Sipil
* Mahasiswa Departemen Hukum Perdata Fakultas Hukum USU
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia adalah negara hukum yang menjamin setiap warga negaranya untuk
membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah sesuai dengan
Pasal 28 b Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.2Perkawinan merupakan
kebutuhan hidup seluruh umat manusia, sejak zaman dahulu hingga kini, karena perkawinan
merupakan masalah yang aktual untuk dibicarakan di dalam maupun di luar percaturan
hukum. Akibat perkawinan akan timbul hubungan hukum antara suami-istri yang kemudian
dengan lahirnya anak-anak, menimbulkan hubungan hukum antara orang tua dan anak-anak
mereka. Dari perkawinan mereka memiliki harta kekayaan dan timbullah hubungan hukum
dengan antara mereka dengan harta kekayaan tersebut.3
Budaya perkawinan dan aturannya yang berlaku pada suatu masyarakat atau pada suatu
bangsa tidak terlepas dari pengaruh budaya dan lingkungan dimana masyarakat itu berada
serta pergaulan masyarakatnya. Ia dipengaruhi oleh pengetahuan, pengalaman, kepercayaan,
dan keagamaan yang dianut masyarakat bersangkutan. Seperti halnya aturan perkawinan
bangsa Indonesia bukan saja dipengaruhi adat budaya masyarakat setempat, tetapi juga
dipengaruhi ajaran agama Hindu, Budha, Islam, dan Kristen, bahkan dipengaruhi budaya
perkawinan barat, hal mana berakibat lain padang lain belalang lain lubuk lain ikannya, lain
masyarakat lain aturannya.4
2
Pasal 28 (b) Undang-Undang Dasar 1945 (setelah amandemen)
3 Martiman prodjohmidijojo,
Hukum Perkawinan Indonesia, Indonesia Legal Center Publishing, Jakarta, 2007, hal. 1.
4
Salah satu produk badan legislatif di negara kita yang menyentuh secara langsung
perikehidupan masyarakat bangsa kita adalah Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974
(LNRI 1974 No. 1 TAMBAHAN LNRI No. 3019). Undang-undang Perkawinan nasional yang
diundangkan tanggal 2 Januari 1974 ini berlaku secara efektif tanggal 1 Oktober 1975 yakni
sejak berlakunya Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 sevagai peraturan pelaksananya.
Untuk kelancaran pelaksanaan dari ketentuan-ketentuan UU Perkawinan dan Peraturan
Pelaksanaannya tersebut, dikeluarkan pula petunjuk pelaksanaannya, antara lain termuat
dalam Peraturan Menteri Agama No. 3 Tahun 1975, Peraturan Menteri Agama No. 4 Tahun
1975, Instruksi Direktur Jendaral Bimbingan Masyarakat Islam No. D/INS/117/1975, dan
petunjuk-petunjuk Mahkamah Agung Mengenai Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 dan
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tanggal 20 Agustus 1975 No. MA/Pemb/0808/75.
Tujuh setengah tahun kemudian setelah Undang-undang Perkawinan berlaku secara efektif,
keluarlah Pila Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang perubahan atas Peraturan
Pemerintah No. 10 Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri
Sipil (TAMBAHAN LNRI No. 3250) yang mulai berlaku sejak diundangkannya tanggal 21
April 1983. Ketentuan-ketentuan teknis Peraturan Pemerintah ini termuat di dalam Surat
Edaran Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara No. 48/SE/1990.5
Kehadiran Undang-undang yang mengatur segala masalah perkawinan yang selaras
dengan perkembangan dan dinamika masyarakat ini, sebenarnya sudah lama sekali
didambakan oleh masyarakat bangsa kita, bahkan sejak tahun lima puluhan, akan tetapi karena
beberapa hambatan maka baru pada awal tahun 1974 berhasil diciptakan Undang-undang
5
Perkawinan nasional yang bersifat unifikasi yang berlaku bagi seluruh warga negara
Indonesia6
Sementara itu, perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah ikatan
lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa.7
Dalam rumusan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 itu tercantum
juga tujuan perkawinan yaitu untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal, ini berarti bahwa perkawinan dilangsungkan bukan untuk sementara atau untuk jangka
waktu tertentu yang direncanakan, akan tetapi untuk seumur hidup atau selama-lamanya dan
tidak boleh diputuskan begitu saja, karenanya tidak diperkenankan perkawinan yang hanya
dilangsungkan untuk sementara waktu saja seperti kawin kontrak, pemutusan perkawinan
dengan perceraian hanya diperbolehkan dalam keadaan terpaksa.8
Sebelum perkawinan dilangsungkan seringkali didahului dengan peristiwa pertunangan.
Tetapi peristiwa pertunangan ini bukan lembaga yang wajib diikuti, terserah kepada kedua
belah pihak. Apabila telah ada kesepakatan antara kedua belah pihak untuk melangsungkan
perkawinan, dan kedua belah pihak menghendaki adanya pertunangan. Lembaga pertunangan
tidak diatur dengan perundang-undangan, tetapi tumbuh sebagai perkembangan hukum.
Kesepakatan ini tentunya didahului dengan lamaran, yaitu permintaan atau tawaran yang
dilakukan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan.9
6 Ibid.
7 Undang-Undang No. 1 tahun 1974 8
Riduan Syahrani, Op.cit, hal. 13.
9
Setelah mencapai kesepakatan antara mempelai pria dan mempelai wanita barulah
perkawinan dapat dilangsungkan. Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk
melangsungkan perkawinan menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 adalah sebagai
berikut ini, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 6 s/d 12:10
1. Adanya persetujuan kedua calon mempelai;
2. Adanya izin kedua orangtua/wali bagi calon mempelai yang berusia dibawah 21 tahun; 3. Usia calon mempelai pria sudah mencapai 19 tahun dan mempelai wanita sudah mencapai
16 tahun;
4. Antara calon mempelai pria dan calon mempelai wanita tidak dalam hubungan darah yang tidak boleh kawin;
5. Tidak berada dalam ikatan perkawinan dengan pihak lain;
6. Bagi suami isttri yang telah bercerai lalu kawin lagi satu sama lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, agama dan kepercayaan tidak melarang mereka kawin untuk ketiga kalinya;
7. Tidak berada dalam waktu tunggu bagi calon mempelai wanita yang janda.
Di Indonesia sendiri, masih berdasarkan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dinyatakan juga bahwa syarat untuk sahnya suatu perkawinan harus berdasarkan
hukum agama dan harus dilakukan pndaftaran perkawinan di lembaga pencatatan perkawinan
setempat. Sehingga perkawinan yang dilakukan oleh warga negara Indonesia di Luar Negeri
dapat diakui sebagai perkawinan yang sah apabila telah didaftarkan di lembaga pencatatan
setempat dan mendapat surat bukti perkawinan.11
Selain adanya syarat pencatatan di negara setempat, hukum perkawinan kita juga
mensyaratkan kepada setiap warga negara Indonesia yang melangsungkan perkawinan di Luar
Negeri untuk segera mendaftarkan perkawinannya tersebut di lembaga pemerintah
sekembalinya ke Indonesia.12
Jika perkawinan yang tidak harmonis keadaannya, tidak baik dibiarkan berlarut-larut,
sehingga demi kepentingan kedua belah pihak suami-istri, perkawinan yang demikian diputus
10 Riduan Syahrani, Loc.cit
11
Hukum Online, Tanya Jawab Hukum Perkawinan dan Perceraian, Lentera Hati, Ciputat, 2010, hal. 7.
cerai. Tentu berakibat pada anak-anak putra-putrinya, yang tidak pernah berbuat salah
menanggung akibat perbuatan orang tuanya.13 Salah satu prinsip dalam Hukum Perkawinan
Nasional yang seirama dengan ajaran agama ialah mempersulit terjadinya perceraian (cerai
hidup), karena perceraian berarti gagalnya tujuan perkawinan untuk membentuk keluarga yang
bahagia, kekal, dan sejahtera, akibat perbuatan manusia. Lain halnya terjadi putus perkawinan
karena kematian yang merupakan takdir dari Tuhan Yang Maha Esa yang tidak dapat
dielakkan oleh manusia. Nampaknya baik dalam KUH Perdata maupun Undang-undang No. 1
Tahun 1974 putusnya perkawinan karena kematian hampir tidak diatur sama sekali.14
Adapun Perceraian itu sendiri merupakan suatu proses dimana sebelumnya pasangan
tersebut sudah (pasti) berusaha untuk mempertahankannya namun mungkin jalan terbaiknya
adalah suatu perceraian. Perlu diketahui bahwa proses perceraian di Indonesia hanya dapat
dilakukan di Pengadilan Agama (khusus untuk beragama Islam) atau di Pengadilan Negeri
(khusus untuk yang non-Islam). Pengadilan Agama untuk yang beragama Islam dan
Pengadilan Negeri untuk yang beragama non-Muslim. Indonesia merupakan negara yang
masih menjunjung tinggi adat ketimuran, dimana pernikahan dianggap sebagai sesuatu yang
sakral. Namun demikian, angka perceraian kerap melonjak tinggi di beberapa Pengadilan
Agama di Indonesia.15
Mengapa perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus antara suami dan istri yang
tidak bisa diharapkan akan hidup rukun kembali dalam rumah tangga ini dijadikan sebagai
salah satu alasan perceraian oleh pembuat Undang-undang? Kiranya hal ini mudah saja
dipahami, sebab perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus antara suami dan istri
13
Martiman Prodjohamidjojo, loc.cit 14 Hilman Hadikusuma,
Op.cit, hal. 149.
15
Siti Nuraini, Perkawinan dan Perceraian, Internet,
membuat rumah tangga laksana neraka dunia, dimana suami istri di dalamnya tersiksa, jauh
dari rasa ketenangan, ketentraman, dan kebahagiaan yang justru menjadi tujuan perkawinan.16
Apa saja yang melatar-belakangi terjadi perselisihan dan pertengkaran antara suami dan
istri ini, tentu macam-macam sebabnya, bisa karena tekanan ekonomi rumah tangga, bisa
karena cara hidup dan pandangan hidup yang berbeda, bisa karena kehidupan beragama yang
berbeda dan sebagainya. Sampai sejauh mana perselisihan dan pertengkaran antara suami dan
istri itu mengakibatkan suami istri yang bersangkutan tidak bisa diharapkan lagi hidup rukun
dalam rumah tangga adalah persoalan yang relatif sifatnya. Hakimlah yang menilai dan
menetapkannya dengan sebaik-baiknya berdasarkan bukti-bukti yang ada.17
Sedangkan Pegawai Negeri Sipil adalah unsur aparatur negara, abdi negara dan abdi
masyarakat yang harus menjadi teladan yang baik bagi masyarakat dalam tingkah laku,
tindakan, ketaatan kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk dapat
melaksanakan kewajiban yang demikian itu, maka kehidupan Pegawai Negeri Sipil harus
ditunjang dengan kehidupan berkeluarga yang serasi, sehingga setiap Pegawai Negeri Sipil
dalam melaksanakan tugasnya tidak akan banyak terganggu dengan masalah-masalah dalam
keluarganya.18 Atas dasar pokok fikiran tersebut di atas, maka telah ditetapkan Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai
Negeri Sipil.19
16
Wila Chandrawila, Hukum Perkawinan Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2002, hal. 65.
Jadi, Pegawai Negeri Sipil yang ingin melangsungkan perceraian harus
mengikuti ketentuan-ketentuan sesuai perundang-undangan yang berlaku, agar Pegawai
Negeri Sipil terhindar dari sanksi-sanksi berat akibat dari melanggar peraturan-peraturan
tersebut.
17 Riduan Syahrani
, Op.cit, hal. 56.
18
Pasal 1 huruf (e) Surat Edaran, Nomor 08/SE/1983
19
Berdasarkan uraian di atas dan berbagai masalah hukum yang timbul yang berkaitan
dengan perceraian yang dilakukan oleh Pegawai Negeri Sipil, telah mendorong untuk meneliti
dan menelaah masalah tersebut yang selanjutnya akan dituangkan dalam judul skripsi
mengenai “PERCERAIAN DAN AKIBATNYA YANG DILAKUKAN PEGAWAI NEGERI
SIPIL DI LINGKUNGAN KOTA TEBING TINGGI MENURUT
PERUNDANG-UNDANGAN YANG BERLAKU” .
Judul ini sangat menarik, dikarenakan agar para Pegawai Negeri Sipil tidak semena-mena
melakukan perceraian tanpa mengindahkan syarat-syarat yang ada, dan alangkah baiknya
Pegawai Negeri Sipil untuk mengikuti syarat-syarat yang ada agar terhindar dari sanksi-sanksi
pelanggaran disiplin berat.
B. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas dapat dirumuskan permasalahan
sebagai berikut :
1. Upaya-upaya apa yang dilakukan Pemerintah Kota Tebing Tinggi terhadap Pegawai
Negeri Sipil yang akan melakukan perceraian?
2. Bagaimana sanksi bagi Pegawai Negeri Sipil yang melakukan perceraian di lingkungan
Pemerintah Kota Tebing Tinggi?
3. Bagaimana putusan Pengadilan Agama tentang Pegawai Negeri Sipil yang melakukan
C. Manfaat Penulisan
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoretis maupun praktis
bagi pembaca.
Adapun kedua manfaat tersebut adalah sebagai berikut :
1. Secara teoretis
Manfaat penelitian yang bersifat teoretis adalah sebagai bahan masukan yang dapat
dijadikan bahan kajian lebih lanjut bagi para pembaca yang ingin memperdalam kajian
dan pengetahuan tentang perceraian, khususnya perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil.
2. Secara praktis
Manfaat penelitian bersifat praktis diharapkan agar tulisan ini dapat dijadikan sebagai
bahan rujukan dalam mempelajari hukum perkawinan dan perceraian, khususnya pada
perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil, praktisi hukum perkawinan dan perceraian, dan
pihak-pihak terkait lainnya
D. Tujuan Penulisan
Adapun diantaranya yang menjadi tujuan penulis melakukan penelitian dan penulisan
skripsi ini adalah :
1. Untuk mengetahui upaya-upaya apa saja yang dilakukan Pemerintah Kota Tebing Tinggi
terhadap Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan perceraian
2. Untuk mengetahui apa saja sanksi yang diberikan kepada Pegawai Negeri Sipil yang
3. Untuk mengetahui bagaimana putusan Pengadilan Negeri tentang perceraian Pegawai
Negeri Sipil yang melakukan peceraian dilingkungan Pemerintah Kota Tebing Tinggi.
E. Metode Penelitian
Metode adalah cara kerja atau tata kerja untuk dapat memahami obyek yang menjadi
sasaran dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan.20 Penelitian merupakan suatu kerja ilmiah
yang bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis dan
konsisten.21 Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode,
sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari sesuatu atau beberapa
gejala hukum tertentu dengan cara menganalisisnya.22 Penelitian pada dasarnya merupakan
suatu upaya pencarian dan bukannya sekedar mengamati sesuatu objek yang mudah terpegang
oleh tangan.23 Pada dasarnya sesuatu yang dicari tidak lain adalah pengetahuan atau lebih
tepatnya pengetahuan yang benar, dimana pengetahuan yang benar ini nantinya dapat dipakai
untuk menjawab pertanyaan atau ketidaktahuan tertentu. Dengan demikian, metode penelitian
adalah suatu upaya ilmiah untuk memahami dan memecahkan suatu masalah berdasarkan
metode tertentu.24
Penulisan skripsi ini berusaha untuk mengumpulkan informasi dan data-data yang
diperlukan untuk menjadi bahan dalam penulisan skripsi. Bahan-bahan tersebut haruslah
20
Mukti Fajar Nurdewata, Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010, hal. 94.
21
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hal. 1.
22
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hal. 38. 23
Ibid., hal. 27. 24
mempunyai hubungan satu sama lainnya yang berhubungan dengan judul skripsi ini. Dalam
penulisan skripsi ini digunakan metode penelitian sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian dan Sifat Penelitian
a. Jenis Penelitian/Sifat Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian normatif dan
penelitian empiris. Penelitian normatif merupakan penelitian kepustakaan atau studi
dokumen yang dilakukan atau ditujukan pada peraturan-peraturan tertulis dan bahan
hukum lain.25
Penelitian ini meliputi asas-asas hukum, sumber-sumber hukum, peraturan
perundang-undangan, dan beberapa buku mengenai perkawinan dan perceraian,
khususnya pada perceraian Pegawai Negeri Sipil.
Penelitian empiris merupakan penelitian berupa studi lapangan dengan
melakukan wawancara kepada Pejabat setempat dan Pegawai Negeri Sipil yang
melakukan perceraian di lingkungan Pemerintah Kota Tebing Tinggi dengan metode
pendekatan yuridis.
Tujuan penelitian normatif dan penelitian empiris ini adalah untuk mengetahui
upaya-upaya yang dilakukan Pemerintah Kota Tebing Tinggi terhadap Pegawai Negeri
Sipil yang akan bercerai. Untuk mengetahui sanksi yang diberikan Pemerintah Kota
Tebing Tinggi terhadap Pegawai Negeri Sipil yang akan bercerai, dan untuk
mengetahui apa akibat hukum dari perceraian tersebut.
Dengan demikian syarat-syarat yang harus dilakukan Pegawai Negeri Sipil
yang akan melakukan perceraian dapat berjalan sebagaimana mestinya dan juga agar
Pegawai Negeri Sipil terhindar dari sanksi pelanggaran disiplin berat.
25
2. Data dan Sumber Data
Pada umumnya data dibagi dalam dua jenis yaitu data primer dan data sekunder. Data
primer (primary data) adalah data yang diperoleh langsung dari masyarakat.26
Data pokok dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari:
a. Bahan hukum primer, yaitu Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Kompilasi Hukum
Islam, Hukum Adat, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, dan Surat Edaran Nomor :
48/SE/1990 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun
1990 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Tentang
Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan
mengenai bahan hukum primer, seperti hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah
lainnya,situs internet, pendapat dari kalangan pakar hukum yang relevan dengan objek
telaahan penelitian.27
c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus
umum, majalah dan jurnal ilmiah. surat kabar dan majalah mingguan juga menjadi
tambahan bahan bagi penulisan skripsi ini sepanjang memuat informasi yang relevan
dengan penelitian ini.
3. Alat Pengumpulan Data
Dalam penulisan ini, penulis mengumpulkan data-data yang diperlukan untuk menjawab
semua masalah yang menjadi objek penelitian dengan cara :
26
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Op.Cit., hal. 12. 27
a. Penelitian kepustakaan (library research). Penelitian kepustakaan dilakukan dengan
mempelajari peraturan perundang-undangan, buku, situs internet yang berkaitan
dengan judul skripsi ini yang bersifat teoretis ilmiah yang dapat dipergunakan sebagai
dasar dalam penelitian.28
b. Penelitian lapangan (field research) yakni dengan mengadakan wawancara kepada
Pejabat setempat dan Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan perceraian di
lingkungan Pemerintah Kota Tebing Tinggi.
4. Analisis Data
Analisis data merupakan proses mengatur urutan data, mengorganisasikan ke dalam
bentuk suatu pola, kategori dan satuan uraian dasar.29 Analisis data dilakukan secara kualitatif,
rangkaian kegiatan analisis data dimulai setelah terkumpulnya data sekunder, kemudian
disusun menjadi sebuah pola dan dikelompokkan secara sistematis. Analisis data lalu
dilanjutkan dengan membandingkan data sekunder terhadap data primer untuk mendapatkan
penyelesaian permasalahan yang diangkat.
F. Keaslian Penulisan
Penelitian ini dilakukan atas gagasan dari peneliti sendiri juga melalui masukkan yang
berasal dari berbagai pihak guna membantu penelitian dimaksud. Sepanjang yang telah
ditelusuri dan diketahui di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, penelitian
tentang, ”PERCERAIAN DAN AKIBATNYA YANG DILAKUKAN PEGAWAI NEGERI
SIPIL DI LINGKUNGAN KOTA TEBING TINGGI MENURUT
PERUNDANG-UNDANGAN YANG BERLAKU belum pernah dilakukan. Oleh karenanya penelitian ini
28
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, Universitas Indonesia (UI-Perss, 2007, hal. 21.
29
sangat jauh dari unsur plagiat. Penelitian ini merupakan karya ilmiah yang asli, dan dapat
dipertanggungjawabkan secara akademis.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan ini dibagi dalam beberapa tahapan yang disebut dengan bab, dan
setiap bab dibagi dalam beberapa sub bab yang masing-masing bab diuraikan masalahnya
secara tersendiri, namun masih dalam konteks yang saling berkaitan antara satu dengan yang
lainnya. Secara sistematis penulis menempatkan materi pembahasan keseluruhan ke dalam 5
(lima) bab terperinci.
Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :
Bab I Pendahuluan, dalam bab ini diuraikan apa yang menjadi latar belakang
permasalahan, penulisan, manfaat penelitian, metode penelitian, keaslian penelitiaan serta
sistematika penelitian.
Bab II Tinjauan Umum Tentang Perceraian, dalam bab ini menjelaskan tentang pengertian
perceraian, syarat sah nya perceraian, pembagian harta dalam perceraian.
Bab III Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil, dalam bab ini diuraikan mengenai putusnya
perkawinan karena perceraian, putusnya perkawinan karena kematian, dan akibat hukum yang
timbul dari putusnya perkawinan tersebut.
Bab IV Akibat Perceraian Yang Dilakukan Pegawai Negeri Sipil Di Lingkungan Kota
Tebing Tinggi, dalam bab ini merupakan uraian hasil penelitian yang mencakup upaya-upaya
yang dilakukan Pemerintah Kota terhadap PNS yang bercerai, sanksi bagi PNS yang bercerai,
Bab V Penutup, bab ini adalah bagian yang memuat kesimpulan dan saran, pada bagian
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERCERAIAN
A. Pengertian Perceraian
Perceraian adalah putusnya suatu perkawinan yang sah di depan hakim pengadilan
berdasarkan syarat-syarat yang ditentukan undang-undang. Oleh karena itu perlu dipahami
jiwa dari peraturan mengenai perceraian itu serta sebab akibat-akibat yang mungkin timbul
setelah suami-istri itu perkawinannya putus. Kemudian tidak kalah urgensinya adalah
alasan-alasan yang mendasari putusnya perkawinan itu serta sebab-sebab apa terjadi perceraian.30
Perceraian merupakan bagian dari perkawinan. Karena itu perceraian senantiasa diatur
oleh hukum perkawinan. Hukum perkawinan di Indonesia tidak hanya satu macam, tetapi
berlaku berbagai peraturan hukum perkawinan untuk pelbagai golongan warga negara dan
untuk pelbagai daerah. Hal ini disebabkan oleh ketentuan-ketentuan yang tersebut dalam Pasal
163 IS (Indische Staatsregeling) yang telah membagi golongan penduduk Indonesia menjadi
tiga golongan, yaitu : golongan Eropa, golongan Timur Asing, dan golongan Indonesia Asli
(Bumiputera).31
Perceraian hanya dapat terjadi apabila dilakukan di depan pengadilan, baik itu suami
karena suami yang telah menjatuhkan cerai (thalaq), ataupun karena istri yang menggugat
cerai atau memohonkan hak talak sebab sighat taklik talak. Meskipun dalam ajaran agama
Islam, perceraian telah dianggap sah apabila diucapkan seketika itu oleh si suami, namun
harus tetap dilakukan di depan pengadilan. Tujuannya untuk melindungi segala hak dan
kewajiban yang timbul sebagai dari akibat hukum atsa perceraian tersebut.32
30 Martiman Prodjohamidjojo,
Op.cit, hal. 41.
31
Djamil Latif, Aneka Hukum Perceraian di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981, hal. 15
32
Di mata hukum, perceraian tentu tidak bisa terjadi begitu saja. Artinya, harus ada
alasan-alasan yang dibenarkan oleh hukum untuk melakukan sebuah perceraian. Itu sangat mendasar,
terutama bagi pengadilan yang notabene berwenang memutuskan, apakah sebuah perceraian
layak atau tidak untuk dilaksanakan. Termasuk segala keputusan yang menyangkut
konsekuensi terjadinya perceraian, juga sangat ditentukan oleh alasan melakukan perceraian.
Misalnya soal hak asuh anak, serta pembagian harta gono-gini.33
Perceraian adalah hal yang tidak diperbolehkan baik dalam pandangan Agama maupun
dalam lingkup Hukum Positif. Agama menilai bahwa perceraian adalah hal terburuk yang
terjadi dalam hubungan rumah tangga. Namun demikian, Agama tetap memberikan
keleluasaan kepada setiap pemeluk Agama untuk menentukan jalan islah atau terbaik bagi
siapa saja yang memiliki permasalahan dalam rumah tangga, sampai pada akhirnya terjadi
perceraian. Hukum Positif menilai bahwa perceraian adalah perkara yang sah apabila
memenuhi unsur-unsur cerai, diantaranya karna terjadinya perselisihan yang menimbulkan
percek-cokan yang sulit untuk dihentikan, atau karna tidak berdayanya seorang suami untuk
melaksanakan tanggung jawab sebagai kepala rumah tangga. 34
Secara garis besar, prosedur gugatan perceraian dibagi kedalam 2 (dua) jenis, tergantung
pihak mana yang mengajukan gugatannya. Pertama, gugatan perceraian yang diajukan oleh
pihak istri (disebut gugat cerai). Kemudian dalam mengajukan gugatan percearaian, yang juga
harus diperhatikan adalah pengadilan mana yang berwenang untuk menerima gugatan
tersebut, untuk selanjutnya memeriksa perkara perceraian yang diajukan, berdasarkan
kompetensi absolutnya (peradilan umum atau peradilan agama).35
33
Ibid, hal. 21.
34 Ibid.
35
Umumnya proses pengajuan gugatan perceraian ditempuh melalui sejumlah tahapan, yaitu
sebagai berikut :
1. Mengajukan permohonan atau gugatan perceraian.
2. Pengadilan dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari setelah permohonan tersebut
diajukan, harus memanggil pasangan suami-istri terkait untuk dimintai penjelasan atas
alasan gugatan perceraian yang diajukan. Namun sebelumnya, pengadilan harus
mengupayakan jalan perdamaian.
3. Proses persidangan mulai dari pengajuan gugatan sampai dengan putusan.
4. Tahap eksekusi.
Sejumlah dampak yang timbul akibat eksekusi perceraian adalah sebagai berikut:
a. Terhadap suami maupun istri, hubungan ikatan perkawinan menjadi putus.
b. Terhadap anak, adanya penjatuhan hak asuh anak.
c. Terhadap harta benda, harta bersama dibagi rata, terkecuali harta bawaan dan
perolehan, selama tidak diatur lain dalam perjanjian, dan di luar penentuan kewajiban
nafkah pria untuk mantan istri dan anak.36
Adapun sebelum agama Islam lahir, perceraian dalam kalangan orang Arab Jahiliyah
mudah dan sering kali terjadi. Para suami menceraikan istrinya dengan melakukan
thalaq 37dan rujuk di dalam ‘iddah38
36
Martiman, Op.cit, hal. 71.
yang tidak ada batasnya. Begitu suami marah, begitu
dengan mudah ia mel;akukan thalaq. Tetapi begitu marahnya hilang begitu ia melakukan
rujuk dan hidup sebagai suami istri lagi. Perbuatan ini dilakukannya tanpa kenal batas, bahkan
jika ia ingin menyakiti istrinya,setiap hampir habis ‘iddahnya suami melakukan rujuk kembali,
37 Thalaq
: Melepas tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami isteri
38
kemudian melakukan thalaq kembali, dan setiap hampir habis ‘iddahnya, suami melakukan
rujuk kembali. Begitulah perbuatan suami terhadap istrinya terus-menerus tanpa ada batasnya.
Terjadilah pada waktu itu pasaran thalaq. Wanita atau istri waktu itu tidak berharga, ia laksana
bola permainan laki-laki belaka.39
Islam hanya memperbolehkan thalaq yang boleh rujuk dalam ‘iddah dua kali saja,
sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an :
“Thalaq (yang dapat dirujuk) dua kali, setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang
ma’ruf atau menceraikannya dengan cara yang baik”.40
Apabila suami telah melakukan thalaq kali ketiga, maka habislah hak thalaq suami,
karena itu hilanglah pula haknya untuk rujuk kepada istrinya. Kecuali jika bekas istrinya
menikah dengan suami yang lain (bukan nikah muhallil) dan telah disempurnakan kehidupan
perkawinan itu serta telah di thalaq pula oleh suami yang lain itu maka barulah terbuka
kesempatan bagi bekas suami pertama untuk kembali kepada bekas istrinya dengan melakukan
perkawinan baru, sebagaimana firman Allah:
“kemudian jika si suami menthalaqnya (sesudah thalaq yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya, sampai ia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan istri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkanNYA kepada kaum yang (mau) mengetahuinya”.41
Menurut KUH Perdata (BW) putusnya perkawinan dipakai istilah ‘pembubaran
perkawinan’ (otbinding des huwelijks) yang diatur dalam Bab X dengan tiga bagian, yaitu
tentang ‘Pembubaran Perkawinan Pada Umumnya’ (Pasal 199), tentang Pembubaran
39 Djamil Latif,
Op.cit, hal. 27.
40
Al-Qur’an: 229, S: 2 (Al-Baqarah)
41
Perkawinan Setelah Pisah Meja dan Ranjang’ (Pasal 200-206(b)), tentang ‘Perceraian
Perkawinan’ (Pasal 207-232(a)) dan yang tidak dikenal dalam Hukum Adat atau Hukum
Agama (Islam) walaupun kenyataanya juga terjadi ialah Bab XI tentang ‘Pisah Meja dan
Ranjang (Pasal 233-249).42
Pasal 199 BW menyebutkan bahwa perkawinan itu terputus karena :
1. Oleh karena meninggal dunia
2. Oleh karena keadaan tidak hadirnya salah seorang suami istri selama sepuluh tahun dan
diikuti dengan perkawinan baru sesudah itu oleh istri atau suaminya sesuai dengan
ketentuan-ketentuan dalam bagian kelima bab delapan belas
3. Oleh karena putusan hakim setelah adanya perpisahan meja dan tempat tidur (perceraian
gantung) dan pendaftaran putusnya perkawinan itu dalam register catatan sipil, sesuai
dengan ketentuan-ketentuan bagi kedua bab ini
4. Oleh karena perceraian sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam bagian ketiga bab ini.43
Selanjutnya dikatakan ‘jika suami dan istri pisah meja dan ranjang’, baik karena salah satu
dari alasan-alasan yang tercantum dalam Pasal 233, maupun atas permohonan kedua belah
pihak, dan perpisahan itu tetap berlangsung selama lima tahun penuh tanpa perdamaian antara
kedua pihak, maka mereka masing-masing bebas untuk menghadapkan pihak lain ke
Pengadilan dan menuntut agar perkawinan mereka dibubarkan (Pasal 200). Tuntutan itu harus
segera ditolak bila pihak tergugat, setelah tiga kali dari bulan ke bulandipanggil ke pengadilan
tidak muncul-muncul atau datang dengan mengadakan perlawanan terhadap tuntutan itu atau
menyatakan bersedia untuk berdamai dengan pihak lawan (Pasal 201).
Gugatan perceraian perkawinan harus diajukan ke Pengadilan Negeri yang di daerah
hukumnya si suami mempunyai tempat tinggal pokok pada waktu mengajukan permohonan
termaksud dalam Pasal 831 Reglemen Acara Perdata atau tempat tinggal yang sebenarnya bila
tidak mempunyai tempat tinggal pokok. Jika pada waktu mengajukan surat permohonan
tersebut di atas si suami tidak mempunyai tempat tinggal pokok atau tempat tinggal
sesungguhnya di Indonesia, maka gugatan itu harus diajukan kepada Pengadilan Negeri
tempat kediaman istri yang sebenarnya (Pasal 207) perceraian perkawinan sekali-kali tidak
dapat terjadi hanya dengan persetujuan bersama (Pasal 208).45
BW berlaku bagi orang Eropa dan Cina sedangkan HOCI berlaku bagi orang Indonesia
Asli Kristen Jawa, Minahasa, dan Ambon. Bagi orang-orang yang beragama Kristen yang
berada di luar daerah-daerah tersebut berlaku ketentuan-ketentuan asli dari agama mereka
sendiri.46
Sebenarnya HOCI dalah kombinasi antara BW dan Hukum Adat karena syarat-syarat
perkawinan banyak persamaan antara HOCI dengan BW dengan perlunakan sana-sini, sedang
mengenai harta perkawinan adalah Hukum Adat, yakni mengikuti prinsip pemisahan harta
kekayaan dalam perkawinan. Satu hal yang oleh umum dianggap sebagai salah satu sendi dari
Agama Kristen ialah hal monogami, yaitu ketentuan bahwa seorang laki-laki tidak
diperbolehkan mempunyai istri lebih dari seorang. Sistem monogami ini telah dianut oleh BW
(Pasal 27 BW) dan HOCI (Pasal 2 S 1993 No. 74).47
Menurut Pasal 51 S. 1933 No.74 (HOCI), menyebutkan bahwa perkawinan yang
dilakukan menurut Staatsblad ini adalah putus karena :
45 Ibid.
46
Djamil Latif, Op.cit, hal. 85.
1. Oleh karena meninggal dunia
2. Oleh karena suami atau istri meninggalkan tempat kediamannya selama dua tahun tanpa
adanya kabar tentang hidup atau matinya dan bersambung oleh suatu perkawinan baru
oleh suami atau istri yang ditinggalkan setelah mendapatkan izin dari Pengadilan Negeri
di tempat kediaman dari suami atau istri yang meninggalkan tempat kediaman itu, setelah
mendengar keterangan jika mungkin dari Kepala Desanya, dan lagi sekedar dianggap
perlu oleh Pengadilan Negeri harus dilakukan pemanggilan dengan perantaraan apa saja
terhadap yang bepergian itu. Kalau satu sama lain ini terjadi, maka Pengadilan Negeri
baru akan memberi izin untuk perkawinan yang baru itu, apabila memang ternyata tidak
masuk kabar tentang masih hidupnya orang yang bepergian itu.48
Kalangan gereja tidak membenarkan adanya perceraian perkawinan. Agama Kristen
Katholik sendiri sama sekali tidak memungkinkan perceraian perkawinan, sedang Agama
Kristen Protestan mengenal adanya perceraian akan tetapi dengan alasan zina, sedang alasan
lain tidak diperebolehkan. Tetapi orang-orang Indonesia yang beragama Protestan biasanya
mengakui beberapa perkara yang berat sebagai alasan-alasan buat perceraian : zina (oleh
laki-laki dan oleh perempuan), penganiayaan berat, peninggalan dengan niat jahat,
terkadang-kadang juga kemajiran.49
Walaupun agama Kristen-Katholik sama sekali tidak memungkinkan perceraian
perkawinan dan hanya kematianlah yang dapat memutuskan perkawinan, namun di Indonesia
dan di lain-lain negara juga, perihal perkawinan diantara orang-orang Kristen pada umunya
dianut suatu prinsip bahwa suatu perkawinan oleh Undang-undang dipandang hanya selaku
48
Ibid, hal. 92.
49
suatu perhubungan perdata belaka antara suami dan istri, artinya terlepas dari pada peraturan
agama si suami dan istri. Hal ini bisa kita jumpai dalam Pasal 26 BW dan Pasal 1 S. 1993 No.
74 (HOCI). Karena itu peraturan dari BW dan HOCI yang memungkinkan perceraian
perkawinan (echtsheiding) berlaku juga bagi orang-orang yang beragama Kristen-Katholik.
Bandingkan dengan Pasal 1 Undang-undang Perkawinan, Undang-undang No. 1 Tahun
1974.50
Menurut Hukum Adat, perkawinan itu termasuk “urusan keluarga dan kerabat,”
51
walaupun dalam pelaksanaannya pribadi yang bersangkutan yang menentukan untuk
berlangsung terus atau terputusnya suatu perkawinan, karena “berkumpulnya dua orang untuk
pergaulan suami istri adalah urusan yang bersifat perseorangan.”52
1. Untuk memungkinkan pertumbuhan secara tertib daripada masyarakat, kerabat kearah angkatannya.
Karena itu perkawinan
menurut Hukum Adat mempunyai berbagai fungsi :
2. Anak-anak yang lahir dalam perkawinan itu meneruskan masyarakat sanak saudaranya. 3. Meneruskan bagian clan, suku, dan keluarga
4. Mempertahankan masyarakat dusun dan wilayah sebagai kesatuan-kesatuan masyarakat. 5. Mempertahankan hubungan golongan-golongan sanak saudara satu sama lain.
6. Meneruskan hubungan yang timbal balik.53
Fungsi-fungsi tersebut berpengaruh pula atas alasan-alasan dan kemungkinan untuk
perceraian.54
Dalam Hukum Adat, pada umumnya kerabat dan masyarakat menginginkan agar
perkawinan yang sekali dilangsungkan dapat bertahan buat selama-lamanya. Tapi dapat timbul
keadaan-keadaan, dimana kepentingan kerabat dan masyarakat menghendaki putusnya
perkawinan itu, disamping itu ada hal-hal yang bersifat perseorangan oleh masyarakat
dianggap sebagai alasan untuk bercerai.55
Hukum Adat memungkinkan perceraian perkawinan. Perceraian mungkin dimana
kepentingan kerabat dan masyarakat menghendaki keputusan perkawinan itu, disamping itu
ada hal-hal yang bersifat perseorangan oleh masyarakat dianggap sebagai alasan untuk
bercerai.
56
Tetapi yang pada umumnya dianggap sebagai alasan untuk perceraian ialah zina
dari pihak si istri.57
Undang-undang perkawinan yakni Undang-undang No. 1 Tahun 1974 jo. Peraturan
Pemerintah No. 9 Tahun 1975 jo. Peraturan Menteri Agama No. 3 Tahun 1975, mengadakan
klasifikasi perceraian sebagai berikut :
Penjelasan umum tentang Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 menyebutkan bahwa,
sesuai dengan landasan falsafah pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, maka
undang-undang ini disatu pihak harus dapat mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, sedang dilain pihak harus dapat menampung
segala kenyataan yang hidup dalam masyarakat dewasa ini. Karena itu pula undang-undang ini
telah menampung di dalamnya unsur-unsur dan ketentuan-ketentuan hukum agamanya dan
kepercayaannya itu dari yang bersangkutan, sehingga tidak ada perkawinan di luar
masing-55
Ibid, hal. 180.
56
Soekanto, Meninjau Hukum Adat Indonesia, Soeroengan, Jakarta, 1954, hal. 108.
masing hukum agamanya dan kepercayaannya sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945,58
disamping tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku.59
Jadi jelaslah bahwa dengan berlakunya undang-undang ini yang pelaksanaannya secara
efektif mulai berlaku pada tanggal 1 Oktober 1975 berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 9
Tahun 1975, berlaku pula hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu sebagai
hukum positif untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan,
termasuk perceraian. Karena itu bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk kawin dengan
melanggar hukum agamanya sendiri dan tidak pula kemungkinan untuk cerai dengan
melanggar hukum agamanya sendiri. Demikian juga bagi orang Kristen, bagi orang Hindu
atau Budha.
Karena tidak ada perkawinan di luar hukum masin-masing agamanya dan kepercayaannya,
maka konsekuensinya tidak ada pula perceraian di luar hukum masing-masing agama dan
kepercayaannya.
60
Karena itu Undang-undang ini telah menentukan beberapa prinsip atau asas-asas
mengenai perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berlandaskan
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya sesuai dengan Undang-undang Dasar
1945, yang telah disesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan zaman.61
Prinsip-prinsip dan asas-asas tersebut adalah sebagai berikut :
1. Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami
istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
58
Pasal 2 ayat (1) PP No. 9-1975
59 Pasal 2 ayat (2) PP No. 9-1975 60
Hilman Hadikusuma, Op.cit, hal. 104.
61
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa62
2. Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu, disamping menurut perundang-undangan yang berlaku.
. Karena itu perkawinan bukanlah hanya sekedar
hubungan perdata semata-mata tetapi mempunyai hubungan yang erat sekali dengan
agama sehingga perkawinan mempunyai unsur lahir (jasmani) dan batin (rohani).
63
3. Perkawinan berasaskan monogami dan bagi mereka yang karena hukum dan agamanya
membolehkan beristri lebih dari seorang (poligami), menunjukkan poligami itu di bawah
pengawasan Hakim.
Dengan
demikian hukum agama tentang perkawinan menjadi hukum positif.
64
4. Perkawinan dimana calon suami istri itu ditentukan batas umur untuk kawin, yakni 19
tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita, untuk mencegah kawin di bawah umur65
5. Perkawinan dimana menganut prinsip mempersukar terjadinya perceraian.
, demi
generasi selanjutnya.
66
6. Perkawinan dimana hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan
suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, dimana
suami sebagai kepala rumah tannga dalam pergaulan masyarakat, dimana suami sebagai
kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga yang masing-masing pihak berhak
melakukan perbuatan hukum.67
7. Penentuan pengadilan berdasarkan keagamaan seseorang untuk perkawinan dan segala
sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan termasuk perceraian, yakni : Pengadilan
Agama bagi mereka yang beragama Islam dan Pengadilan Umum bagi mereka yang
beragama bukan Islam.68
Prinsip dan asas-asas yang dianut oleh undang-undang ini sebagaimana tersebut di atas
adalah sejalan dengan prinsip dan asas-asas yang dianut oleh Islam berdasarkan Al-Qur’an dan
hadist Rasul.
B. Putusnya Perkawinan Dan Alasan-alasannya
Dasar-dasar syarat pengajuan gugatan perceraian disebutkan dalam Undang-undang
secara limitatife, artinya selain syarat-syarat serta alasan-alasan yang disebut dalam
Undang-undang bukan merupakan syarat-syarat perceraian. Dengan demikian alasan-alasan lain tidak
bisa diajukan sebagai dasar gugatan.
Menurut Pasal Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang perkawinan, adapun
alasan-alasan yang sah yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian adalah sebagai berikut :
1. Salah satu pihak, suami atau isteri, berbuat zinah, pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain
sebagainya yang sukar disembuhkan.
Alasan ini dapat digunakan untuk mengajukan gugatan perceraian, karena bila seseorang
telah berbuat zina berarti dia telah melakukan pengkhianatan terhadap kesucian dan
kesaklaran suatu perkawinan. Termasuk perbuatan menjadi pemabuk, pemadat, dan
penjudi yang merupakan perbuatan melanggar hukum agama dan hukum positif.
2. Salah satu pihak (suami atau istri) meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun
berturut-turut tanpa mendapat izin dari pihak lain. Serta tanpa alasan yang sah, karena hal lain di
luar kemampuannya.
68
Hal ini terkait dengan kewajiban memberikan nafkah baik lahir maupun batin, yang bila
kemudian salah satu pihak meninggalkan pihak lain dalam waktu lama tanpa seizin
pasangannya tersebut, maka akan berakibat pada tidak dilakukannya pemenuhan
kewajiban yang harus diberikan kepada pasangannya. Sehingga bila pasangannya
kemudian tidak rela, maka dapat mengajukan alasan tersebut untuk menjadi dasar
diajukannya gugatan perceraian di pengadilan.
3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun, atau yang lebih berat setelah
perkawinan berlangsung.
Hampir sama dengan poin b, poin ini juga dapat dijadikan sebagai alasan untuk
mengajukan gugatan perceraian tersebut. Sebab, jika salah satu pihak sedang menjalani
hukuman selama 5 (lima) tahun atau lebih, itu artinya yang bersangkutan tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai seorang suami/istri.
4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat, yang dapat
membahayakan pihak lain.
Poin ini menitkberatkan pada kemaslahatan atau manfaat dari perkawinan, dibandingkan
dengan keselamatan invidi/salah satu pihak. Bila suatu perkawinan tetap dipertahankan
namun akan berdampak pada keselamatan individu, maka akan lebih baik jika perkawinan
itu diputus dengan perceraian. Dalam hal ini, harus benar-benar bisa dibuktikan, mengenai
tindakan atau ancaman yang bisa membahayakan keselamatan seseorang/salah satu pihak.
Dengan demikian, alasan tersebut dapat diterima oleh Majelis Hakim pemeriksa perkara
di pengadilan.
5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat
6. Tidak dapat dipungkiri bahwa bila ikatan perkawinan dipengaruhi faktor-faktor jasadiah,
terutama kebutuhan biologis. Ketika salah satu pihak tidak dapat menjalankan
lewajibannya sebagai seorang suami/istri dikarenakan cacat badan atau penyakit yang
dimilikinya, maka hal tersebut dapat dijadikan sebagai alasan oleh salah satu pihak untuk
mengajukan gugatan perceraian.
7. Antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran, serta tidak ada
harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Tidak ada kehidupan umah tangga yang rukun, tentram, dan nyaman, apalagi, bila
pertengkaran tersebut tak terelakkan dan tak terselesaikan. Jika hal itu berlangsung
terus-menerus, dan dapat menimbulkan dampak buruk yang lebih besar ke depan, maka
diperbolehkan untuk mengajukan gugatan perceraian kepada pengadilan setempat.69
Setelah terpenuhinya alasan-alasan di atas, maka persyaratan yang harus dipenuhi dalam
melakukan proses perceraian adalah sebagai berikut :
Bagi mereka yang beragama Islam dapat diajukan ke Pengadilan agama.
a. Bila suami yang mengajukan perceraian, permohonan diajukan kepada pengadilan, yang
daerah hukumnya meliputi tempat kediaman termohon (Pasal 66 UU No. 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama), dengan memberikan alasan-alasan mengapa ia hendak
menceraikan istrinya. Untuk permohonan itu, ia harus melampirkan beberapa surat
keterangan dari lurah, surat nikah, dan saksi-saksi dari keluarga atau orang yang dekat
dengan permohonan dan termohon. Bukti-bukti lainnya, apakah cukup untuk bercerai,
maka pengadilan akan memeriksa permohonan tersebut dengan memanggil kedua belah
pihak, dengan membawa saksi-saksi yang hendak didengar.
69
b. Bila isteri yang mengajukan perceraian, permohonan dapat diajukan kepada pengadilan,
yang daerah hukumnya meliputi tempat kedaiaman penggugat (pasal 73 UU No. 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama) , pada prinsipnya samadengan sarana, surat nikah, dan
bukti yang harus dibawa oleh istri yang hendak menceraikan suaminya, seperti diuraikan
tersebut di atas.70
Bila mereka yang bukan beragama Islam, gugatan perceraian diajukan oleh suami atau
istri atau kuasanya di Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman
tergugat. Gugatan diajukan ke Pengadilan ditempat kediaman penggugat, jika alamat orang
yang digugat (Tergugat) tidak jelas atau tidak diketahui. Bilamana tergugat berada di Luar
Negeri, maka gugatan diajukan ditempat kediaman tergugat. Pengadilan akan menyampaikan
gugatan itu kepada tergugat (PP 9-1975, Pasal 20 ayat (3)) melalui Perwakilan RI di Luar
Negeri itu.71
Apabila pihak suami ataupun istri diwakilkan oleh kuasa hukum nya maka persyaratan
yang harus dipenuhi dalam melakukan proses perceraian adalah sebagai berikut :
a. Bila tidak didampingi advokat/pengacara
- Mempersiapkan surat gugatan : setelah memahami segala sesuatunya tentang proses
perceraian (dengan meminta saran serta nasihat dari pihak yang memahami soal
perceraian), maka selanjutnya seorang Penggugat dapat mempersiapkan surat
gugatannya.
- Menyiapkan uang administrasi yang nantinya harus dibayarkan ke bagian pendaftaran
gugatan di Pengadilan. Setelah membayar uang administrasi, si Penggugat tersebut
akan menerima SKUM (Surat Keterangan Untuk Membayar).
70
Martiman Prodjohamidjojo, Op.cit, hal. 42.
- Mempersiapkan apa yang akan diajukan pada pengadilan, tentang rencana perceraian
tersebut. Untuk mempersiapkannya, disarankan agar berdiskusi kembali dengan
orang-orang/pihak yang memahami soal ini.
- Mempersiapkan bukti-bukti dan saksi-saksi, untuk diajukan dalam proses pembuktian
di persidangan. Dengan demikian, gugatan akan lebih mudah diproses oleh
pengadilan.
b. Bila didampingi advokat/pengacara
- Jika Penggugat memilih untuk didampingi pengacara, maka terlebih dahulu
pengacara tersebut harus membuat surat kuasa yang kemudian harus ditandatangani
oleh Penggugat tadi. Surat kuasa adalah surat yang menyatakan bahwa Penggugat
(sebagai pemberi kuasa) memberikan kuasa kepada pengacara (sebagai penerima
kuasa), untuk mewakili penggugat dalam pengurusan penyelesaian perkara perceraian
di pengadilan. Yaitu, mulai dari pembuatan surat-surat seperti surat
gugatan/permohonan perceraian, surat jawaban, surat replik, surat duplik, surat daftar
alat bukti, kesimpulan. Kemudian beracara di depan sidang pengadilan, menghadap
institusi atau orang yang berwenang dalam rangka pengurusan penyelesaian perkara
perceraian, sampai kepada meminta salinan putusan pengadilan dan lain sebagainya.
- Menyiapkan surat gugatan. Bila surat kuasa tersebut telah ditandatangani oleh
Penggugat, maka selanjutnya pengacara (kuasa hukum/pengacara) akan mengurus
pembuatan surat gugatan dan surat-surat lainnya yang dibutuhkan selama proses
hukum berjalan.
- Siapkan sejumlah uang untuk keperluan administrasi, yang akan dibayarkan ke
bagian pendaftaran gugatan di Pengadilan. Usai membayar, biasanya akan diberi
- Lalu, siapkan untuk pembayaran jasa pengacara, terutama bila pengacara yang
dibayar diminta bantuannya adalah pengacara yang dibayar sesuai dengan
kesepakatan sebelumnya.72
Sebelum meminta nasihat hukum, sebaiknya Penggugat terlebih dahulu menyiapkan
surat-surat atau dokumen penting yang terkait dengan kasus perceraiannya, seperti Surat
Nikah Asli, Aktra Kelahiran Anak, Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu Keluarga (C-1) dan
surat-surat yang berhubungan dengan proses pengajuan perceraian beserta akibatnya.73
Dalam menghadapi sidang kasus perceraian, baik di Pengadilan Negeri maupun
Pengadilan Agama, ada beberapa hal yang perlu diketahui. Jika si Penggugat memiliki
pengetahuan yang cukup mengenai hukum, ada baiknya meminta nasihat hukum dari seorang
pengacara, konsultan hukum atau orang yang sudah berpengalaman dalam proses pengajuan
perceraian. Sebaiknya penggugat tidak menganggap remeh persoalan yang dihadapi, sekalipun
kasus tersebut tidak terlalu rumit, karena akonsekuensi hukum yang akan dihadapi nantinya,
bersifat mengikat dan memaksa. Oleh karena itu, jangan menunda sampai saat-saat posisi
Penggugat sudah terjepit alias tidak diuntungkan.
74
Biasanya kasus perceraian disertai pula dengan pembagian harta gono-gini, karena itu
sebaiknya Penggugat juga menyediakan surat-surat yang terkait dengan harta benda
perkawinannya. Seperti Akta Jual-Beli Tanah, Kuitansi, Bon Jual-Beli, Surat Bukti
Kepemilikan, Slip Gaji dan semacamnya,. Hal ini memudahkan si Penggugat dan
pengacaranya dalam memahami persoalan hukum yang sedang dihadapi. Selain itu, Penggugat
72 Budi Susilo,
Op.cit, hal. 27.
73 Ibid.
74
juga dapat meminta nasihat hukum dari seorang konsultan atau pengacara, dengan kebebasan
memilih untuk didampingi/tidak di dalam sidang pengadilan nanti.75
Setelah memahami sejumlah alasan serta syarat-syarat pengajuan gugatan perceraian,
maka selanjutnya juga perlu dimengerti tentang beberapa langkah yang harus ditempuh dalam
mengajukan gugatan cerai. Secara garis besar, berikut beberapa tahapan yang perlu dilalui
dalam mengajukan gugatan tersebut.
a. Memantapkan Niat, Menyediakan Dana dan Waktu
Bagaimanapun, perceraian merupakan keputusan yang membutuhkan pemikiran serius,
kedewasaan bertindak serta niat yang kuat untuk menjalaninya. Mau tidak mau perceraian
akan melahirkan sejumlah dampak serius, baik secara psikologis, yuridis, dan lainnya.
Bukan hanya terhadap pasangan yang bersangkutan, namun juga kepada anak
keturunannya, keluarga besar, serta harta yang diusahakan selama menjalani kehidupan
berkeluarga. Untuk itu, kemantapan niat mutlak diperlukan sebelum seseorang
mengajukan permohonan atau gugatan perceraian. Perceraian harus dilatarbelakangi oleh
niat dan keinginan untuk melangkah menuju kebaikan, dan bukan didasari oleh hal-hal
yang bersifat material semata. Perceraian harus benar-benar menjadi jalan keluar bagi
pasangan yang memang sudah tidak cocok lagi, dan tidak dapat mempertahankan
keutuhan rumah tangganya lagi.
b. Meminta pertimbangan dari beberapa orang terdekat
Sekalipun seorang Penggugat sudah memantapkan niatnya untuk mengajukan
permohonan atau gugatan perceraian, namun tidak ada salahnya bila meminta pendapat
sejumlah orang terdekat. Paling tidak, itu bisa menjadi bahan pertimbangan untuk
memperkuat argumen/alasan pengajuan gugatan perceraian, atau justru membuat si
Penggugat membatalkan niatnya bercerai, mengingat sejumlah pertimbangan penting,
terutama mengenai keselamatan dan masa depan keluarga.
c. Menentukan perlu atau tidaknya kuasa hukum atau pengacara
Keberadaan kuasa hukum/pengacara harus dipertimbangkan secara matang, tidak saja
terkait dengan dana yang harus disiapkan untuk membayar jasa pendampingnya. Namun
juga mengingat efektivitas penggunaan jasa kuasa hukum/pengacara tersebut, terutama
saat dilihat dari rencana perolehan target yang ingin dicapai. Bila hasil yang akan diraih
cukup optimal dengan tanpa didampingi kuasa hukum/pengacara, maka jasa dan
keberadaan kuasa hukum/pengacara tidak diperlukan. Demikian juga sebaliknya, jika si
Penggugat merasa perlu didampingi oleh kuasa hukumn/pengacara, karena buta soal
hukum serta bingung mengikuti jalannya persidangan, maka kuasa hukum/pengacara
menjadi pilihan tepat.
d. Mengajukan surat pemberitahuan atau surat permohonan perceraian
Bila semua sudah disiapkan, dan niat untuk mengajukan gugatan perceraian sudah
mantap, maka langkah selanjutnya adalah menyusun permohonan gugatan perceraian.
Yaitu, berisi tentang identitas pihak yang berperkara; alasan mengajukan permohonan
perceraian, dimulai dengan kronologis perkawinan, serta kehidupan selama mengarungi
bahtera rumah tangga. Kemudian, alasan yang menyebabkan berketetapan mengajukan
perceraian (posita); disertai dengan permohonan atas putusan yang akan diperoleh
nantinya seperti apa (petitum).biasanya permohonan itu menyatakan bahwa perkawinan
putus karena perceraian, kemudian diikuti dengan masalah hadhanah (hak asuh anak),
nafkah terutang, nafkah iddah, pembagian harta bersama dan sebagainya. Bila
melangsungkan perkawinan secara Islam di Kantor Urusan Agama (KUA), dan di
Pengadilan Negeri bagi yang melangsungkan perkawinan di Kantor Catatan Sipil.76 Harus
diperhatikan, bahwa pengajuan permohonan atau gugatan perceraian secara Islam,
dilakukan di Pengadialan Agama tempat domisili si istri berada. Dengan tidak melihat
posisi apakah sebagai Pemohon/Penggugat atau sebagai Termohon/Tergugat. Sedang bagi
yang mengajukan perceraian di Pengadilan Negeri, berlaku ketentuan dalam Hukum
Acara Perdata, dimana gugatan diajukan di Pengadialan Negeri tempat domisili Tergugat
berada atau bermukim.77
e. Melakukan proses sidang perceraian
Proses perceraian bisa dilakukan, bila gugatan atau permohonan perceraian sudah
didaftarkan dan diregister oleh panitera di Pengadilan yang berwenang mengadilinya.
Kemudian Ketua Pengadilan terkait, akan menunjuk Majelis Hakim yang bertugas untuk
menyidangkan kasus tersebut, sekaligus menetukan jadwal sidang pertama dari gugatan
tersebut.
Dalam setiap sidang perceraian, hakim akan selalu menanyakan apakah ada kemungkinan
bagi pihak untuk berdamai. Apabila kedua belah pihak sudah tidak mungkin untuk
berdamai, maka proses beracara di persidangan dapat dilanjutkan. Secara umum proses
beracara di persidangan perceraian, sebenarnya sama dengan apa yang telah diatur dalam
Hukum Acara Perdata. Hanya saja, sidang perceraian bersifat tertutup, kecuali dalam
putusannya harus dilakukan dengan sidang yang terbuka untuk umum. Hal ini diatur
demikian, mengingat persoalan perceraian merupakan aib keluarga. Dimana dalam proses
pembuktian gugatannya, dimungkinkan muncul sejumlah hal mengenai rahasia keluarga
76
Budi Susilo, Op.cit, hal. 38.
77