• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efektivitas Pemberian Ekstrak Ethanol 70 % Daun Kecombrang (Etlingera elatior) Terhadap Larva Instar III Aedes aegypti sebagai Biolarvasida Potensial

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Efektivitas Pemberian Ekstrak Ethanol 70 % Daun Kecombrang (Etlingera elatior) Terhadap Larva Instar III Aedes aegypti sebagai Biolarvasida Potensial"

Copied!
55
0
0

Teks penuh

(1)

EFEKTIVITAS PEMBERIAN EKSTRAK ETHANOL 70 % DAUN KECOMBRANG (Etlingera elatior) TERHADAP LARVA INSTAR III

Aedes aegypti SEBAGAI BIOLARVASIDA POTENSIAL

Oleh : Sulaiman 0918011022

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA KEDOKTERAN

pada

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG

(2)

ABSTRAK

Efektivitas Pemberian Ekstrak Ethanol 70 % Daun Kecombrang (Etlingera elatior) Terhadap Larva Instar III Aedes aegypti sebagai Biolarvasida Potensial

Oleh

Sulaiman

Penyakit demam berdarah dengue merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di negara – negara yang memilki iklim tropis, termasuk Indonesia. Penyakit DBD mempunyai perjalanan klinis yang sangat cepat dan sering menyebabkan kematian akibat penanganan yang terlambat. Upaya pengendalian dan pemberantasan terhadap vektor penyakit DBD telah banyak dilakukan. Penggunaan insektisida buatan sebagai larvasida merupakan cara yang paling umum digunakan oleh masyarakat untuk mengendalikan pertumbuhan vektor tersebut. Namun, penggunaan insektisida buatan dapat menimbulkan bahaya bagi kesehatan maupun lingkungan. Bahaya penggunaan insektisida buatan tersebut dapat diminimalisir dengan menggunakan insektisida alami, salah satunya tanaman Kecombrang (Etlingera elatior) . Tanaman Kecombrang memiliki kandungan senyawa aktif yaitu saponin dan flavonoid yang memiliki potensi sebagai larvasida.

(3)

Dibagi menjadi 6 kelompok uji yaitu ; 1. kelompok 1 ( kontrel negatif ) 0 % 2. kelompok 2 dengan konsentrasi 0,25 % 3. kelompok 3 dengan konsentrasi 0,5 % 4. kelompok 4 dengan konsentrasi 0,75 % 5. kelompok 5 dengan konsentrasi 1 % 6. kelompok 6 ( kontrol positif ) abate 1 %

Jumlah sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah 480 larva. Masing-masing kelompok berisi 20 larva dalam 200 ml larutan yang berisi ekstrak ethanol daun Kecombrang. Pengulangan dilakukan 4 kali dan diberi makanan ikan selama penelitian. Uji yang digunakan adalah uji Kruskal- wallis (p < 0,05), uji Post-hoc Man Whitney (p < 0,05) dan uji Probit untuk mencari nilai LC50 dan LT50.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata jumlah larva yang mati sebesar 72,50 % pada konsentrasi 0,25 %; 80,00 % pada kosentrasi 0,5 %; 93,50 % pada konsentrasi 0,75 % dan 100 % pada konsentrasi 1 %. Berdasarkan hasil tersebut konsentrasi yang paling efektif yaitu konsentrasi 1 % karena daya bunuhnya lebih cepat dan jumlah kematiannya sama dengan abate 1 %. Nilai LC50 adalah 4,38 % di menit ke-20; 1,64 % menit ke-40; 1,04 % menit ke60; 0,82 % menit ke-120; 0,67 % menit ke-240; 0,56 % menit ke-480; 0,47 % di menit ke-1440; 0,27 % di menit ke-2880 dan 0,15 % pada menit ke-4320 . Nilai LT50 adalah 290,2 menit pada konsentrasi 0,75 % dan 148,2 menit pada konsentrasi 1 %.

(4)
(5)
(6)

i

4. Kandungan kimia dalam tanaman kecombrang ... 21

(7)

ii

F. Definisi Operasional variabel ... 35

G. Prosedur Penelitian ... 36

1. Tahap Persiapan ... 36

a. Sterilisasi alat ... 36

b. Persiapan sampel ... 37

c. Persiapan ekstrak daun kecombrang ... 37

(8)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejak tahun 1968 hingga tahun 2009, World Health Organization (WHO) mencatat negara Indonesia sebagai negara dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara. Di Indonesia, kasus DBD pertama kali ditemukan di kota Surabaya pada tahun 1968, sebanyak 58 orang terinfeksi dan 24 orang meninggal dunia. Sejak saat itu, penyakit ini menyebar luas ke seluruh Indonesia. Sampai akhir tahun 2008 juga belum ditemukan obat yang secara efektif dapa tmengobati penyakit DBD (Depkes RI, 2010). Berdasarkan data Dinas Kesehatan kota Bandar Lampung Januari hingga 14 Februari 2012, ditemukan 440 kasus Demam Berdarah Dengue di puskesmas dan rumah sakit kota Bandar Lampung dengan korban meninggal dunia sebanyak empat orang (Tribun Lampung, 2012).

(9)

Pemberantasan larva merupakan salah satu pengendalian vektor Aedes aegypti yang diterapkan hampir diseluruh dunia. Penggunaan insektisida sebagai larvasida merupakan cara yang paling umum digunakan oleh masyarakat untuk mengendalikan pertumbuhan vektor tersebut. Insektisida yang sering digunakan di Indonesia adalah Abate. Penggunaan abate di Indonesia sudah ada sejak tahun 1976. Empat tahun kemudian yakni tahun 1980, temephos 1% (abate) ditetapkan sebagai bagian dari program pemberantasan massal Aedes aegypti di Indonesia (Daniel, 2008).

Penggunaan insektisida kimiawi yang berulang akan menimbulkan dampak kontaminasi residu pestisida dalam air, terutama air minum. Selain itu, Biaya yang tinggi dari penggunaan pestisida kimiawi dan munculnya resistensi dari berbagai macam spesies nyamuk yang menjadi vektor penyakit menjadi perhatian penting yang harus dicermati (Ndione RD, 2007). Laporan resistensi larva Aedes aegypti terhadap Temephos sudah ditemukan di beberapa negara seperti Brazil, Bolivia, Argentina, Kuba, French Polynesia, Karibia, dan Thailand.Selain itu juga telah dilaporkan resistensi larva Aedes aegypti terhadap temephos di Surabaya (Raharjo B, 2006).

(10)

aktivitas makan dan peneluran, pengatur pertumbuhan dan perkembangan serangga, kematian/mortalitas, dan sebagainya; serta memenuhi syarat-syarat untuk digunakan dalam pengendalian vektor, seperti efektif, efisien, dan aman (Dadang dan Prijono, 2008).

Indonesia merupakan Negara tropis yang memiliki banyak jenis tumbuhan yang memiliki potensi sebagai insektisida alami. Menurut Arnason et al. (1993) dalam Syahputra (2001), famili tumbuhan yang dianggap sebagai sumber potensial insektisida nabati adalah Meliaceae, Annonaceae, Asteraceae, Piperaceae, dan Rutaceae. Namun hal ini tidak menutup kemungkinan untuk ditemukannya famili tumbuhan yang baru. Salah satu tanaman yang dianggap memiliki potensi insektisida adalah Kecombrang (Etlingera elatior). Kecombrang mengandung senyawa flavonoid dan saponin. Selain itu, kecombrang juga mengandung polifenol dan minyak atrisi (Sitanggang dkk, 2008).

(11)

Penelitian yang dilakukan oleh Novitha tahun 2012 mengenai efek ekstrak Batang Kecombrang sebagai larvasida menunjukan bahwa terdapat efek ekstrak batang Kecombrang (Etlingera elatior) sebagai larvasida terhadap larva Aedes aegypti instar III. Berdasarkan penelitian tersebut diketahui bahwa kematian larva dimulai dari menit ke-40 pada konsentrasi 0,75% dengan rerata kematian larva sebesar 6,25%. Kematian larva uji pada konsentrasi 0,75% terus berlanjut hingga mencapai 100% pada menit ke-2880 dengan nilai LT50 259,06 menit dan LC50 0,569%. Pada konsentrasi 1% kematian larva dimulai pada menit ke-20 dengan persentase rerata kematian larva uji sebesar 2,5%. Kematian larva uji terus berlanjut hingga mencapai 100% pada konsentrasi 1% di menit ke-240 dengan nilai LT50 158,34 menit dan LC50 0,634%.

B. Rumusan masalah

Deman berdarah dengue ( DBD) atau Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) adalah penyakit virus yang ditularkan melalui Nyamuk Aedes aegypti sangat berbahaya karena dapat menyebabkan penderita meninggal dalam waktu sangat singkat. Nyamuk Aedes aegypti mempunyai siklus hidup mulai dari telur, larva, pupa, dan dewasa. Salah satu pencegahan penyebaran DBD dapat dilakukan dengan memberantas vektor penyebabnya atau memutuskan siklus hidupnya dengan larvasida.

(12)

sehingga dinding traktus digestivus pada larva menjadi korosif dan menyebabkan kematian pada larva.

Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti dapat merumuskan masalah sebagai berikut :

Apakah ada efek ekstrak ethanol 70% daun kecombrang (Etlingera elatior) sebagai biolarvasida Aedes aegypti instar III.

C. Tujuan penelitian

1. Tujuan umum

Untuk mengetahui efektifitas ekstrak ethanol 70% daun kecombrang (Etlingera elatior) sebagai biolarvasida Aedes aegypti Instar III.

2. Tujuan khusus

a. Mengetahui konsentrasi yang paling efektif dari ekstak ethanol 70% daun kecombrang (Etlingera elatior ) sebagai biolarvasida Aedes aegypti instar III.

b. Mengetahui Lethal Time 50 % (LT50) ekstrak daun Kecombrang (Etlingera elatior) sebagai biolarvasida terhadap larva Aedes aegypti instar III.

(13)

D. Manfaat penelitian

Dari penelitian yang dilakukan diharapkan penelitian ini dapat bermanfaat bagi :

1. Peneliti

Dapat meningkatkan pengetahuan tentang efektifitas ektrak ethanol 70% daun kecombrang (Etlingera elatior) sebagai biolarvasida Aedes aegypti instar III.

2. Institusi pendidikan

Dapat menambah wawasan dan sebagai sumber informasi ilmiah untuk pembaca dan untuk penelitian selanjutnya.

3. Masyarakat

(14)

E. Kerangka Penelitian

1. Kerangka teori

Gambar 1. Kerangka teori

(Etlingera elatior)

1. Menurunkan tegangan permukaan selaput mukosa traktus digestivus

larva sehinga dinding traktus

digetivus larva menjadi korosif dan

mati.

2. Menurunkan aktivitas enzim pencernaan dan penyerapan

makanan

!

"! #

(15)

$

2. Kerangka konsep

Gambar 2. Kerangka konsep

F. Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini adalah ekstrak ethanol 70% daun kecombrang (Etlingera elatior) efektif sebagai Biolarvasida Aedes aegypti instar III.

Gangguan Metamorfose dan penurunan nafsu makan

(16)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Nyamuk Aedes aegypti

1. Taksonomi Aedes aegypti

Urutan klasifikasi dari nyamuk Aedes aegypti adalah sebagai berikut:

Kingdom : Animalia

Phylum : Arthropoda

Subphylum : Uniramia

Kelas : Insekta

Ordo : Diptera

Subordo : Nematosera

Familia : Culicidae

Sub family : Culicinae

Tribus : Culicini

Genus : Aedes

Spesies : Aedes aegypti

(17)

2. Morfologi Aedes aegypti

Aedes aegypti mengalami metamorfosis sempurna, yaitu mengalami

perubahan bentuk morfologi selama hidupnya dari stadium telur berubah

menjadi stadium larva kemudian menjadi stadium pupa dan menjadi

stadium dewasa.

Gambar 3. Daur HidupAedes aegypti

(sumber : Aminah, NS. dkk, 2001)

Aedes aegypti dewasa berukuran lebih kecil jika dibandingkan dengan

ukuran nyamuk rumah (Culex quinquefasciatus), mempunyai warna dasar

yang hitam dengan bintik putih pada bagian badannya terutama pada

(18)

a. Stadium telur Aedes aegypti

Seekor nyamuk betina rata-rata dapat menghasilkan 100 butir telur

setiap kali bertelur dan akan menetas menjadi larva dalam waktu 2 hari

dalam keadaan telur terendam air. Telur Aedes aegypti berwarna hitam,

berbentuk ovale, kulit tampak garis-garis yang menyerupai sarang

lebah, panjang 0,80mm, berat 0,0010-0,015 mg. Telur Aedes aegypti

dapat bertahan dalam waktu yang lama pada keadaan kering. Hal

tersebut dapat membantu kelangsungan hidup spesies selama kondisi

iklim yang tidak memungkinkan (Depkes RI, 2007).

Pada umumnya nyamuk Aedes aegypti akan meletakan telurnya pada

suhu sekitar 20° sampai 30°C. Pada suhu 30°C, telur akan menetas

setelah 1 sampai 3 hari dan pada suhu 16°C akan menetas dalam waktu

7 hari. Telur nyamuk Aedes aegypti sangat tahan terhadap kekeringan

(Sudarmaja JM dan Mardihusodo, 2009).

Pada kondisi normal, telur Aedes aegypti yang direndam di dalam air

akan menetas sebanyak 80% pada hari pertama dan 95% pada hari

kedua. Berdasarkan jenis kelaminnya, nyamuk jantan akan menetas

lebih cepat dibanding nyamuk betina, serta lebih cepat menjadi dewasa.

Faktor-faktor yang mempengaruhi daya tetas telur adalah suhu, pH air

perindukkan, cahaya, serta kelembaban disamping fertilitas telur itu

(19)

Gambar 4. Telur Aedes aegypti ( Sumber : entnemdept.ufl.edu )

b. Stadium Larva Aedes aegypti

Larva nyamuk Aedes aegypti selama perkembangannya mengalami 4

kali pergantian kulit larva instar I memiliki panjang 1-2 mm, tubuh

transparan, siphon masih transparan, tumbuh menjadi larva instar II

dalam 1 hari. Larva intar II memiliki panjang 2,5 – 3,9 mm, siphon

agak kecoklatan, tumbuh menjadi larva instar III selama 1-2 hari. Larva

instar III berukuran panjang 4-5 mm, siphon sudah berwarna coklat,

tumbuh menjadi larva instar IV selama 2 hari. Larva instar IV

berukuran 5-7 mmm sudah terlihat sepasang mata dan sepasang antena,

tumbuh menjadi pupa dalam 2-3 hari. Umur rata-rata pertumbuhan

larva hingga pupa berkisar 5-8 hari. Posisi istirahat pada larva ini

adalah membentuk sudut 450 terhadap bidang permukaan air

(20)

Gambar 5. Larva Aedes aegypti

(Sumber : Dept. Entomology ICPMR 2002)

c. Stadium Pupa Aedes aegypti

Pada stadium pupa tubuh terdiri dari dua bagian, yaitu cephalothorax

yang lebih besar dan abdomen. Bentuk tubuh membengkok. Pupa tidak

memerlukan makan dan akan berubah menjadi dewasa dalam 2 hari.

Dalam pertumbuhannya terjadi proses pembentukan sayap, kaki dan

alat kelamin (Depkes RI, 2007).

Gambar 6. Pupa Aedes aegypti

(21)

d. Nyamuk dewasa Aedes aegypti

Tubuh nyamuk dewasa terdiri dari 3 bagian, yatu kepala (caput), dada

(thorax) dan perut (abdomen). Badan nyamuk berwarna hitam dan

memiliki bercak dan garis-garis putih dan tampak sangat jelas pada

bagian kaki dari nyamuk Aedes aegypti. tubuh nyamuk dewasa

memiliki panjang 5 mm. Pada bagian kepala terpasang sepasang mata

majemuk, sepasang antena dan sepasang palpi, antena berfungsi sebagai

organ peraba dan pembau. Pada nyamuk betina, antena berbulu pendek

dan jarang (tipe pilose). Sedangkan pada nyamuk jantan, antena berbulu

panjang dan lebat (tipe plumose). Thorax terdiri dari 3 ruas, yaitu

prothorax, mesotorax, dan methatorax. Pada bagian thorax terdapat 3

pasang kaki dan pada ruas ke 2 (mesothorax) terdapat sepasang sayap.

Abdomen terdiri dari 8 ruas dengan bercak putih keperakan pada

masing-masing ruas. Pada ujung atau ruas terakhir terdapat alat

kopulasi berupa cerci pada nyamuk betina dan hypogeum pada nyamuk

jantan (Depkes RI, 2007).

Nyamuk jantan dan betina dewasa perbandingan 1:1, nyamuk jantan

keluar terlebih dahulu dari kepompong, baru disusul nyamuk betina,

dan nyamuk jantan tersebut akan tetap tinggal di dekat sarang, sampai

nyamuk betina keluar dari kepompong, setelah jenis betina keluar,

maka nyamuk jantan akan langsung mengawini betina sebelum mencari

(22)

Pada nyamuk betina, bagian mulutnya mempunyai probosis panjang

untuk menembus kulit dan penghisap darah. Sedangkan pada nyamuk

jantan, probosisnya berfungsi sebagai pengisap sari bunga atau

tumbuhan yang mengandung gula. Nyamuk Aedes aegypti betina

umumnya lebih suka menghisap darah manusia karena memerlukan

protein yang terkandung dalam darah untuk pembentukan telur agar

dapat menetas jika dibuahi oleh nyamuk jantan. Setelah dibuahi

nyamuk betina akan mencari tempat hinggap di tempat tempat yang

agak gelap dan lembab sambil menunggu pembentukan telurnya,

setelah menetas telurnya diletakkan pada tempat yang lembab dan

basah seperti di dinding bak mandi, kelambu, dan kaleng-kaleng bekas

yang digenangi air (Hoedojo R dan Zulhasril, 2008).

Gambar 7. Aedes aegypti dewasa

(23)

Tempat pembangkitan tersebut berupa :

1) Tempat penampungan air (TPA) yaitu tempat menampung air guna

keperluan sehari-hari seperti drum, tempayan, bak mandi, bak WC

dan ember.

2) Bukan tempat penampungan air (non TPA) yaitu tempat-tempat

yang biasa digunakan untuk menampung air tetapi bukan untuk

keperluan sehari-hari seperti tempat minum hewan piaraan, kaleng

bekas, ban bekas, botol, pecahan gelas, vas bunga dan perangkap

semut.

3) Tempat penampungan air alami (TPA alami) seperti lubang pohon,

lubang batu, pelepah daun, tempurung kelapa, kulit kerang, pangkal

pohon pisang dan potongan bambu.

3. Pengendalian vektor

Pengendalian nyamuk dapat dibagi menjadi tiga yaitu :

1. Pengendalian secara mekanik

Cara ini dapat dilakukan dengan mengubur kaleng-kaleng bekas atau

tempat-tempat sejenis yang dapat menampung air hujan dan

membersihkan lingkungan yang berpotensial dijadikan sebagai sarang

nyamuk Aedes aegypti misalnya got dan potongan bambu.

Pengendalian mekanis lain yang dapat dilakukan adalah pemasangan

kelambu dan pemasangan perangkap nyamuk baik menggunakan

(24)

2. Pengendalian secara biologis

Intervensi yang didasarkan pada pengenalan organisme pemangsa,

parasit, pesaing untuk menurunkan jumlah Aedes aegypti.

Pengendalian ini biasa dilakukan dengan memelihara ikan yang

relative kuat dan tahan, misalnya ikan mujaer di bak atau tempat

penampungan air lainnya sehingga sebagai predator bagi jentik dan

pupa.

3. Pengendalian secara kimia

Penggunaan insektisida secara sembarangan untuk pencegahan dan

pengontrolan infeksi dengue harus dihindari. Selama periode sedikit

atau tidak ada aktifitas virus dengue, tindakan reduksi sumber secara

rutin yang diuraikan dalam bagian metode pelaksana lingkungan dapat

dipadukan dengan penggunaan larvasida dalam wadah yang tidak

dapat dibuang di tutup, diisi atau ditangani dengan cara lain. Untuk

pengendalian emergensi menekan epidemik virus dengue atau untuk

mencegah ancaman wabah, suatu program penghancuran yang tepat

(25)

B.Kecombrang (Etlingera elatior)

1. Klasifikasi

Urutan Klasifikasi tanaman Kecombrang (Etlingera elatior) adalah

sebagai berikut :

Kingdom : Plantae

Subkingdom : Tracheobionta

Super Divisi : Spermatophyta

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Liliopsida

Sub Kelas : Commelinidae

Ordo : Zingiberales

Famili : Zingiberaceae

Genus : Etlingera

Spesies : Etlingera elatior

(26)

2. Morfologi kecombrang (Etlingera elatior)

Kecombrang termasuk dalam famili Zingiberaceae. Tanaman

kecombrang (Etlingera elatior) merupakan tanaman tahunan yang

berbentuk semak dengan tinggi 1-3 m. Tanaman ini mempunyai batang

semu, tegak, berpelepah, membentuk rimpang, dan berwarna hijau.

Daunnya tunggal, lanset, ujung dan pangkal runcing tetapi rata,

panjang daun sekitar 20-30 cm dan lebar 5-15 cm, pertulangan daun

menyirip, dan berwarna hijau. Bunga kecombrang merupakan bunga

majemuk yang berbentuk bongkol dengan panjang tangkai 40-80 cm.

Panjang benang sari ± 7,5 cm dan berwarna kuning. Putiknya kecil dan

putih. Mahkota bunganya bertaju, berbulu jarang dan warnanya merah

jambu. Biji kecombrang berbentuk kotak atau bulat telur dengan warna

putih atau merah jambu. Buahnya kecil dan berwarna coklat. Daunnya

berbentuk serabut dan berwarna kuning gelap (DepKes, 2005).

Gambar 8. Tumbuhan Kecombrang (Etlingera elatior)

(27)

3. Manfaat Kecombrang

Menurut Hasbah dkk. (2005) tanaman kecombrang dapat dipakai

untuk mengobati penyakit-penyakit yang tergolong berat yaitu kanker

dan tumor. Bunga dari tanaman ini bisa digunakan sebagai bahan

kosmetik alami dimana bunganya dipakai untuk campuran cairan

pencuci rambut dan daun serta rimpangnya dipakai untuk bahan

campuran bedak oleh penduduk lokal (Chan dkk, 2007).

Di Malaysia, bunga kecombrang direbus. Air rebusannya dijadikan

untuk obat sakit telinga. Sedangkan daun kecombrang digunakan

untuk pencuci luka. Selain bunganya, daun muda kecombrang juga

berkhasiat menghilangkan bau badan. Juga berkhasiat memperbanyak

air susu ibu. Honje, nama lain kecombrang, dapat dimanfaatkan

sebagai sabun dengan dua cara yaitu mengosokkan langsung batang

pohon honje ke tubuh dan wajah atau dengan mememarkan pelepah

batang daun honje hingga keluar busa yang harum yang dapat

langsung digunakan sebagai sabun. Tumbuhan ini juga dapat

digunakan sebagai obat untuk penyakit yang berhubungan dengan

kulit, termasuk campak. Bunga pokok ini yang berwarna merah muda

banyak digunakan sebagai gubahan hiasan manakala tunas bunga ini

dijadikan bahan memasak dalam masakan Melayu seperti laksa.

Tumbuhan ini mengandung banyak bahan antioksidan yang amat baik

(28)

4. Kandungan kimia dalam tanaman kecombrang

Kandungan bahan aktif yang terdapat dalam tanaman adalah saponin,

flavonoid, polifenol dan minyak atsiri (Warta, 2008).

1. Flavonoid

Flavonoid merupakan senyawa metabolit sekunder yang terdapat

pada tanaman hijau, kecuali alga. Flavonoid merupakan termasuk

senyawa fenolik alam yang potensial sebagai antioksidan dan

mempunyai bioaktifitas sebagai obat.

Beberapa fungsi flavonoid bagi tumbuhan adalah pengaturan

tumbuh, pengaturan fotosintesis, kerja antimikroba dan antivirus,

fitoaleksin merupakan komponen abnormal yang hanya dibentuk

sebagai tanggapan terhadap infeksi atau luka dan kemudian

menghambat fungus menyerangnya, mengimbas gen pembintilan

dalam bakteria bintil nitrogen (Yunilda D, 2011).

Flavonoid dapat dikelompokkan berdasarkan rantai C3 yaitu :

a. Katekin dan proantosianidin

Katekin dan proantosianidin adalah dua golongan senyawa

yang mempunyai banyak kesamaan, terdapat pada tumbuhan

kayu. Katekin ditemukan dalam paku-pakuan dan dua spesies

Equisetum. Tiga jenis katekin yaitu katekin (+) dan katekin (-)

hidrogen-2 dan hidrogen-3 nya trans. Beberapa katekin terdapat

sebagai ester asam galat. Proantosianidin adalah senyawa yang

(29)

b. Flavanon dan flavanonol

Berwarna kuning sedikit karena kosentrasinya rendah.

Flavanon sering terjadi sebagai aglikon tetapi beberapa

glikosidanya dikenal sebagai hesperidin dan naragin dari kulit

jeruk. Flavononol merupakan flavonoid yang paling kurang

dikenal, senyawa ini stabil dalam asam klorida panas tetapi

terurai oleh basa hangat menjadi kalkon. Menurut Dinata

(2009). Flavonoid merupakan senyawa pertahanan tumbuhan

yang dapat bersifat menghambat makan serangga dan juga

bersifat toksik.

Gambar 9. Rumus bangun flafon dan flavonol (sumber: http//: repository.usu.ac.id)

2. Saponin

Saponin merupakan senyawa glikosida triterpenoida atau glikosida

Steroida yang merupakan senyawa aktif permukaan dan bersifat

seperti sabun serta dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya

membentuk busa dan menghemolisa sel darah merah

( Harborne JB, 1996 ). Keberadaan saponin sangat dapat ditandai

(30)

dikocok menimbulkan buih yang stabil. Saponin merupakan

senyawa berasa pahit menusuk dan dapat menyebabkan bersin dan

bersifat racun bagi hewan berdarah dingin, banyak di antaranya

digunakan sebagai racun ikan (Gunawan D dan Mulyani S, 2004).

Menurut Nio (1989). Sifat-sifat saponin adalah sebagai berikut :

1. Mempunyai rasa pahit.

2. Dalam larutan air membentuk busa yang stabil.

3. Menghemolisa eritrosit.

4. Merupakan racun kuat untuk ikan dan amfibi.

5. Membentuk persenyawaan dengan kolesterol dan

hidroksisteroid lainnya.

6. Sulit untuk dimurnikan dan diidentifikasi.

7. Berat molekul relatif tinggi, dan analisis hanya menghasilkan

formula empiris yang mendekati.

Berdasarkan struktur aglikonnya, saponin dibedakan menjadi dua

tipe, yaitu tipe steroida dan tipe triterpenoida.

a. Steroida

Saponin steroida terdapat pada tumbuhan monokotil maupun

dikotil, contohnya diosgenin yang terdapat pada Dioscorea

hispida dan hecogenin yang terdapat pada Agave americana

(31)

b. Triterenoida

Saponin triterpenoida banyak terdapat pada tumbuhan dikotil

seperti: gipsogenin terdapat pada Gypsophylla sp. dan asam

glisiretat terdapat pada Glycyrrhiza glabra (Gunawan dan

Mulyani, 2004).

Saponin memiliki aksi sebagai insektida dan larvasida. Saponin

dapat menurunkan tegangan permukaan selaput mukosa traktus

digestivus larva sehinga dinding traktus digetivus larva menjadi

korosif (Aminah dkk, 2001). Saponin yang terdapat dalam

makanan yang dikonsumsi serangga dapat menurunkan aktivitas

enzim pencernaan dan penyerapan makanan (Dinata A, 2009).

Gambar 10. Rumus Bangun Saponin

( sumber: http//: repository.usu.ac.id )

3. Minyak atrisi

Minyak atsiri merupakan salah satu senyawa metabolit sekunder

yang mudah menguap (volatil) dan bukan merupakan senyawa

(32)

berasal dari golongan terpenoid (Guenther E, 2006). Minyak atsiri

terdiri dari campuran zat yang mudah menguap dengan komposisi

dan titik didih yang berbeda beda. Minyak atsiri yang mudah

menguap terdapat dalam kelenjar minyak khusus didalam kantung

minyak atau di dalam ruang antar sel dalam jaringan tanaman.

Minyak atrisi umumnya terdiri dari berbagai campuran

persenyawaan kimia yang terbentuk dari unsur carbon

( C ), Hidrogen ( H ), Oksigen ( O ) dan beberapa senyawa kimia

yang mengandung unsur Nitrogen ( N ) dan Belerang ( S )

(Guenther E, 2006).

C.Ekstrak

Bioaktifitas tanaman sangat dipengaruhi oleh kandungan senyawa kimia

yang terdapat didalamnya. Sedangkan untuk mendapatkan senyawa kimia

yang bersifat aktif tersebut dipengaruhi oleh metode pemisahan meliputi

cara ekstraksi dan pelarut yang digunakan. Perbedaan kandungan senyawa

kimia yang ada menunjukkan perbedaan aktifitas farmakologis dari

tanaman yang bersangkutan (Halimah, 2010).

Tujuan ekstraksi adalah untuk menarik dan memisahkan senyawa yang

mempunyai kelarutan berbeda–beda dalam berbagai pelarut komponen

kimia yang terdapat dalam bahan alam baik dari tumbuhan, hewan, dan

biota laut dengan menggunakan pelarut organik tertentu. Proses ekstraksi

(33)

sel dan masuk ke dalam rongga sel secara osmosis yang mengandung zat

aktif Zat aktif akan larut dalam pelarut organik dan karena adanya

perbedaan konsentrasi antara di dalam dan di luar sel, mengakibatkan

terjadinya difusi pelarut organik yang mengandung zat aktif keluar sel.

Proses ini berlangsung terus menerus sampai terjadi keseimbangan

konsentrasi zat aktif di dalam dan di luar sel (Dirjen POM, 2000 dan

Harborne 1987). Metode ekstraksi menggunakan pelarut dapat dilakukan

secara dingin yaitu maserasi dan perkolasi, dan secara panas yaitu refluks,

soxhlet, digesti, infus, dan dekok (Dirjen POM, 2000).

Metode maserasi merupakan cara penyarian yang sederhana. Maserasi

dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari.

Cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga

sel yang mengandung zat aktif, zat aktif akan larut dan karena adanya

perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dengan yang

diluar sel, maka larutan yang terpekat di desak keluar. Peristiwa tersebut

berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan diluar

sel dan didalam sel. Maserasi digunakan untuk penyarian simplisia yang

mengandung zat aktif yang mudah larut dalam cairan penyari, tidak

mengandung zat yang mudah mengembang dalam cairan penyari, tidak

mengandung benzoin, stiraks dan lain-lain. Keuntungan cara penyarian

dengan maserasi adalah cara pengerjaan dan peralatan yang digunakan

(34)

Cairan penyari yang digunakan dapat berupa air, ethanol, air-ethanol atau

pelarut lain. Bila cairan penyari digunakan air maka untuk mencegah

timbulnya kapang, dapat ditambahkan bahan pengawet, yang diberikan

pada awal penyarian. Maserasi pada umumnya dilakukan dengan cara

memasukkan 10 bagian simplisia dengan derajat halus yang cocok

kedalam sebuah bejana, ditambahkan dengan 75 bagian penyari, dan

ditutup, serta dibiarkan selama 5 hari, terlindung dari cahaya sambil

sekali-kali diaduk. Setelah 5 hari sari diserkai, ampas diperas. Ampas

ditambah cairan penyari secukupnya kemudian diaduk dan diserkai,

sehingga diperoleh seluruh sari sebanyak 100 bagian. Bejana kemudian

ditutup dan dibiarkan ditempat sejuk, terlindung dari cahaya, selama 2

hari. Kemudian endapan dipisahkan (Dirjen POM, 2000).

Pada penyarian dengan cara maserasi, perlu dilakukan pengadukan.

Pengadukan diperlukan untuk meratakan konsentrasi larutan di luar butir

serbuk simplisia, sehingga dengan pengadukan tersebut tetap terjaga

adanya derajat perbedaan konsentrasi yang sekecil-kecilnya antara larutan

di dalam sel dengan larutan di luar sel. Hasil penyarian dengan cara

maserasi perlu dibiarkan selama waktu tertentu. Waktu tersebut diperlukan

untuk mengendapkan zat-zat yang tidak diperlukan tetapi ikut terlarut

(35)

Adapun metode ekstraksi yang dapat digunakan selain maserasi adalah:

1) Perkolasi

Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai

sempurna (exhaustive extraction) yang umumnya dilakukan pada

temperatur ruangan. Proses terdiri dari tahapan pengembangan bahan,

tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetapan atau

penampungan ekstrak) yang jumlahnya 1–5 bahan.

2) Refluks

Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya,

selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan

dengan adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan

proses pada residu pertama sampai 3–5 kali sehingga dapat termasuk

proses ekstraksi sempurna.

3) Soxhlet

Soxhlet adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang

umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi

kontinyu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya

pendingin balik.

4) Digesti

Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinyu) pada

temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan (kamar), yaitu

(36)

5) Infus

Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air

(bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur

96–980C) selama waktu tertentu 15–20 menit.

6) Dekok

Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama (>300C) dan

(37)

III. METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode eksperimental laboratorium

dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) atau completely randomized

design yang terdiri dari 4 perlakuan dan 2 kontrol, yaitu positif dan

negatif dengan pengulangan sebanyak 4 kali. Rancangan Acak

Lengkap merupakan jenis rancangan percobaan yang paling sederhana.

Metode ini dipilih karena satuan percobaan yang digunakan bersifat

homogen atau tidak ada faktor lain yang mempengaruhi respon di luar

faktor yang diteliti.

B. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Parasitologi Fakultas

Kedokteran Univeritas Lampung, prosedur uji efektivitas larvasida di

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas

Lampung, proses ekstraksi daun kecombrang (Etlingera elatior).

(38)

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah larva instar

III Aedes aegypti yang diperoleh dari dari Loka Litbang P2B2

Ciamis dalam bentuk kering dengan media kertas saring. Untuk

memudahkan dalam penentuan sampel maka dipakai kriteria

inklusi dan ekslusi sebagai berikut :

a. Kriteria Inklusi

1) Larva Aedes aegypti yang telah mencapai instar III

2) Larva bergerak aktif

b. Kriteria Eksklusi

1) Larva Aedes aegypti instar I dan II

2) Larva yang sudah mati sebelum pengujian

3) Larva yang telah berubah menjadi pupa atau nyamuk

dewasa

4) Bukan larva bebas

2. Sampel

Menurut Wulandari et al (2006) larva pada tahap instar III dipakai

sebagai bahan penelitian karena tahap ini dianggap cukup mewakili

kondisi larva. Ukuran larva instar III tidak terlalu kecil sehingga

mudah untuk diamati dan larva ini merupakan bentuk yang aktif

mencari makan. Menurut acuan WHO tahun 2005 besar sampel

(39)

instar III untuk masing-masing perlakuan dengan pengulangan

sebanyak 4 kali untuk setiap perlakuan. Pada penelitian ini, besar

sampel adalah 20 ekor larva dengan 4 kali pengulangan sehingga

pada penelitian ini diperlukan total sampel sebanyak 480 larva.

Adapun rincian sampel yang digunakan adalah sebagai berikut :

Perlakuan Jumlah larva (ekor) x jumlah

pengulangan Total (ekor)

Kontrol (-) : 0% 20 larva x 4 80 larva

Perlakuan I : 0,25% 20 larva x 4 80 larva

Perlakuan II : 0,50%

20 larva x 4 80 larva

Perlakuan III : 0,75%

20 larva x 4 80 larva

Perlakuan IV : 1% 20 larva x 4 80 larva

Kontrol (+) : Temephos 1% abate 20 larva x 4 80 larva

Jumlah total larva yang

dipakai dalam penelitian 480 larva

(40)

D. Alat dan Bahan

1. Alat

Adapun Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah

sebagai beriku :

a. Alat Untuk Preparasi Bahan Uji

1. Nampan plastik dengan ukuran 30 x 15 cm

2. Kain kasa

3. Gelas plastik

4. Sangkar nyamuk berukuran 40 x 40 x 40 cm

b. Alat Untuk Pembuatan Larutan Uji

1. Neraca analitik ( timbangan )

2. Blender

3. Toples

4. Baskom

5. Saringan

c. Alat Untuk Uji Efektifitas

1. Pipet larva

2. Pipet tetes

3. Daun pengaduk

4. Gelas ukur 250 ml

5. Kontainer atau gelas plastik

(41)

2. Bahan

Adapun Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai

berikut :

a. Daun kecombrang (Etlingera elatior)

b. Larva Aedes aegypti instar III

c. larutan ethanol 70 %

d. Temephos 1% (abate)

e. aquadest

f. Fish food untuk makanan larva

E. Identifikasi Variabel

1. Identifikasi Variabel

Variabel pada penelitian ini terdiri atas :

a. Variabel Bebas

Variabel bebas atau independent variable penelitian ini adalah

berbagai konsentrasi ekstrak daun Kecombrang (Etlingera

elatior) dengan lima level konsentrasi yaitu 0%, 0,25%, 0,5%,

0,75% dan 1% dan larva Aedes aegypti instar III.

b. Variabel Terikat

Variabel terikat atau dependent variable penelitian ini adalah

(42)

level konsentrasi yang paling efektif untuk kematian larva

Aedes aegypti instar III.

F. Definisi Operasional Variabel

Untuk memudahkan pelaksanaan penelitian dan agar penelitian tidak

menjadi terlalu luas maka dibuat definisi operasional sebagai berikut :

Tabel 2. Definisi Operasional

Variabel Definsi Skala

Efektivitas larvasida ekstrak daun Kecombrang

(Etlingera elatior)

Pengaruh pemberian ekstrak daun Kecombrang (Etlingera elatior) yang dapat dilihat dari mortalitas atau jumlah kematian larva

Aedes aegypti instar III.

Kategorik

Ekstrak daun Kecombrang

(Etlingera elatior)

Daun Kecombrang

( Etlingera elatior ) yang telah melalui prosedur pencucian dan

Kematian larva Aedes aegypti

yang ditandai dengan larva yang tidak bergerak saat disentuh dengan jarum di daerah siphon atau lehernya. Larva yang hampir mati juga dikategorikan kedalam larva yang mati dimana ciri-ciri larva yang hampir mati adalah larva terebut tidak dapat meraih permukaan air atau tidak bergerak ketika air digerakkan

(WHO guideline, 2005).

Numerik

Larva instar III

Aedes aegypti

Larva instar III berukuran 4-5 mm berumur tiga sampai empat hari setelah telur menetas, duri-duri dada mulai jelas dan corong pernapasan berwarna coklat kehitaman (Sikka, 2009).

(43)

Berbagai konsentrasi ekstak 0% yang kemudian akan dicari dosis subletalnya yaitu LC50 yang akan ditentukan dengan analisis

kematian pada 50 % hewan uji. Numerik

Lethal Time 50 ( LT50 ) Merupakan panjang waktu saat 50 % hewan uji sudah mati dan 50 %

hewan uji lainnya masih hidup. Numerik

Konsentrasi efektif Konsentrasi ekstrak daun Kecombrang ( Etlingeraelatior ) yang paling banyak membunuh larva Aedes aegypti instar III.

Kategorik

G. Prosedur Penelitian

Prosedur penenilian ini terdiri dari tiga tahap, yakni tahap persiapan,

tahap pelaksanaan dan tahap analisis data.

1. Tahap Persiapan

a. Sterilisasi alat

Alat dan bahan yang akan digunakan terlebih dahulu disiapkan,

kemudian dibersihkan. Bahan-bahan yang akan digunakan

ditimbang dengan neraca analitik terlebih dahulu sesuai dengan

kebutuhan. Setelah itu, alat dan bahan disterilisasi dengan

autoklaf selama 15 menit pada suhu 1210C dengan tekanan

(44)

b. Persiapan Sampel

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah telur

nyamuk Aedes aegypti yang diperoleh dari Ruang Insektarium

Loka Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit

Bersumber Binatang Ciamis, Pangandaran, Jawa Barat. Telur

kemudian diletakkan di dalam nampan plastik yang berukuran

30 x 15 cm berisi air bersih ± 1000 cc untuk pemeliharaan larva

agar tidak mati. Telur akan menetas menjadi larva dalam waktu

1-2 hari. Kemudian telur yang sudah menetas menjadi larva

dipisahkan dengan menggunakan kasa untuk pengkolonisasian

dan diberi fish food sebagai makanan larva. Dalam waktu

kurang lebih 4 hari, larva akan mencapai instar III. Setelah usia

larva mencapai instar III larva dipindahan dengan

menggunakan pipet larva ke dalam gelas plastik yang berisi

ekstrak daun Kecombrang (Etlingera elatior).

c. Persiapan ekstrak daun Kecombrang

Daun Kecombrang (Etlingera elatior) ini didapat dari

lingkungan sekitar tempat tinggal peneliti. Daun kecombrang

sebelumnya diidentifikasi terlebih dahulu di Laboratorium

Kimia FMIPA Universitas Lampung. Dan ditimbang sebanyak

20gr kemudian dicuci menggunakan air sampai bersih. Daun

yang sudah bersih, dicacah terlebih dahulu kemudian

dihaluskan menggunakan blender kering tanpa menggunakan

(45)

dikeringkan. Pengeringan tidak boleh dilakukan langsung

dibawah terik matahari karena akan menghilangkan senyawa

kimia yang terkandung didalam daun kecombrang. Daun

kecombrang diekstraksi menggunakan metode meserasi dan

menggunakan pelarut alkohol (etanol 70%).

Metode Maserasi adalah proses pengekstraksian simplisia

dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali

pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan

(kamar). Secara teknologi termasuk ekstraksi dengan prinsip

metode pencapaian konsentrasi pada keseimbangan. Maserasi

kinetik berarti dilakukan pengadukan yang kontinu

(terus-menerus). Remaserasi berarti dilakukan pengulangan

penambah pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat

pertama, dan seterusnya (dirjen POM depkes RI, 2000).

Potongan halus daun Kecombrang direndam selama 24 jam ke

dalam ethanol 70 % sebanyak 25 ml. Setelah direndam

selanjutnya bahan tersebut disaring sehingga diperoleh hasil

akhirnya berupa ekstrak Kecombrang dengan konsentrasi

(46)

Untuk membuat berbagai konsentrasi yang diperlukan dapat

digunakan digunakan rumus V M = V M .

Keterangan :

V = Volume larutan yang akan diencerkan (ml)

M = Konsentrasi ekstrak daun Kecombrang yang tersedia (%)

V = Volume larutan (air + ekstrak) yang diinginkan (ml)

M = Konsentrasi ekstrak daun Kecombrang yang akan dibuat

(%)

Tabel 3. Jumlah Ekstrak Daun Kecombrang yang Dibutuhkan

M V M V = V . M

M

Pengulangan (V x 4)

100 % 200 ml 1 % 2 ml 8 ml

100 % 200 ml 0,75 % 1,5 ml 6 ml

100 % 200 ml 0,5 % 1 ml 4 ml

100 % 200 ml 0,25 % 0,5 ml 2 ml

Total 20 ml

2. Tahap Pelaksanaan

1) Pembagian kelompok

Penelitian ini dibagi menjadi 6 ( enam ) kelompok yang terdiri

dari 4 perlakuan dan 2 kontrol dengan berbagai konsentrasi

(47)

a) Kelompok 1

Kontrol negatif (-) : Ekstrak ethanol daun kecombrang

dengan level konsentrasi 0 %

b) Kelompok 2

Perlakuan I : Ekstrak ethanol daun kecombrang dengan

level konsentrasi 0,25 %

c) Kelompok 3

Perlakuan II : Ekstrak ethanol daun kecombrang dengan

level konsentrasi 0,50 %

d) Kelompok 4

Perlakuan III : Ekstrak ethanol daun kecombrang dengan

level konsentrasi 0,75 %

e) Kelompok 5

Perlakuan IV : Ekstrak ethanol daun kecombrang dengan

level konsentrasi 1 %

f) Kelompok 6

Kontrol positif (+) : Ekstrak ethanol daun kecombrang

dengan penambahan temephos 1% (abate)

2) Uji Efektivitas

Uji efektifitas ini dilakukan untuk menentukan nilai LC50

(Lethal Consentration 50), LT50 (Lethal Time 50) dan level

konsentrasi yang paling efektif sebagai larvasida larva Aedes

aegypti. Ekstrak daun Kecombrang (Etlingera elatior) dengan

(48)

plastik. Larva diletakkan ke dalam gelas plastik yang berisi

berbagai konsetrasi daun Kecombrang (Etlingera elatior)

dengan menggunakan pipet larva. Perlakuan menggunakan

ekstrak daun Kecombrang (Etlingera elatior) hanya diberikan

pada kelompok eksperimen sebanyak 200 ml ekstrak daun

Kecombrang (Etlingera elatior) pada tiap ulangan, sedangkan

pada kelompok kontrol diberikan perlakuan mengunakan air

galon dengan volume 200 ml pada tiap ulangan.

Masing-masing perlakuan berisi 20 larva Aedes aegypti instar III

dengan jumlah pengulangan sebanyak 4 kali. Jumlah sampel

dan pengulangan berdasarkan kriteria WHO tahun 2005.

Pengukuran pada kelompok-kelompok sampel dilakukan dalam

24 jam dan pembagian pencatatan waktu selama perlakuan

yaitu dengan interval waktu 10, 20, 40, 60, 120, 240, 480,

1440, 2880, dan pengukuran berakhir pada menit ke 4320

dengan cara menghitung jumlah larva yang mati.

3) Menentukan Nilai LC50 dan LT50

Kelompok perlakuan terdiri dari 1 kontrol negatif, 4 level

konsentrasi ekstrak daun Kecombrang dan 1 kontrol positif.

Tiap kelompok perlakuan dilakukan pengulangan sebanyak 4

kali dan diamati pada menit ke-20, 40, 60, 120, 240, 480, 1440,

2880, dan 4320. Pengamatan dilakukan dengan menghitung

jumlah larva yang mati kemudian dihitung presentase rata-rata

(49)

rata-rata kematian masing-masing kelompok perlakuan pada

tiap masing-masing waktu pengamatan dianalisis dengan

menggunakan analisis Probit hingga diperoleh nilai LC50 dan

LT50.

4) Alur Penelitian

Untuk memperjelas proses penelitian, maka dibutuhkan

diagram alur penelitian sebagai berikut :

Gambar 11. Diagram Alir Uji Efek Ekstrak Daun Kecombrang (Etlingera elatior) sebagai Larvasida

Tiap kelompok dilakukan pengulangan sebanyak 4 kali

(50)

3. Tahap Analisis Data

1. ANOVA satu arah

Uji varian satu arah digunakan untuk mengetahui ada tidaknya

perbedaan rata-rata kematian nyamuk Aedes aegypti pada

berbagai kelompok konsentrasi ekstrak daun kecombrang

(Etlingera elatior). Untuk mengetahui adanya perbedaan antara

perlakuan yang diberikan maka digunakan analisis ANOVA

satu arah, tetapi bila sebaran data tidak normal atau varians

data tidak sama dapat dilakukan uji alternatif yaitu uji

Kruskal-Wallis. Uji ini bertujuan untuk mengetahui paling tidak

terdapat perbedaan antara dua kelompok perlakuan. Apabila

pada uji tersebut didapatkan hasil yang signifikan (bermakna)

yaitu p value < 0,05 maka dilakukan analisis post-hoc untuk

mengetahui kelompok perlakuan yang bermakna. Uji post-hoc

untuk ANOVA satu arah adalah Bonferroni sedangkan untuk

uji Kruskal-Wallis adalah Mann Whitney.

2. Uji Probit.

Untuk menilai toksisitas suatu insektisida dapat menggunakan

suatu metode pengujian dengan menggunakan analisis probit.

Lethal consentration merupakan suatu ukuran untuk mengukur

daya racun dari jenis pestisida. Pada uji efektifitas ditunjukan

LC50 yang berarti berapa ppm atau persen konsentrasi yang

(51)

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat ambil beberapa kesimpulan yaitu :

1. Ekstrak daun Kecombrang (Etlingera elatior) mempunyai efek sebagai larvasida terhadap larva Aedes aegypti instar III.

2. Level Konsentrasi yang efektif dalam membunuh larva Aedes aegypti instar III adalah konsentrasi 1%.

3. Nilai LC50 ekstrak daun Kecombrang (Etlingera elatior) sebagai larvasida terhadap larva Aedes aegypti instar III adalah 0,82%pada menit 120; 0,67% pada menit 240; 0,56% pada menit ke-480; 0,47% pada menit ke-1440; 0,27%pada menit ke-2880,dan 0,15% pada menit ke-4320.

(52)

B. Saran

Dari hasil penelitian yang diperoleh, peneliti menyarankan agar : 1. Dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai biolarvasida dengan

metode Fraksi n-heksana daun kecombrang yang berfungsi sebagai larvasida alami sebagai pengganti larvasida sintetik.

2. Dilakukan penelitian lebih banyak lagi mengenai Manfaat dan fungsi tanaman kecombrang.

3. Ekstrak daun kecombrang diteliti sebagai larvasida pada spesies larva nyamuk lainnya yang berpotensi sebagai vektor penyakit. 4. Penelitian dengan menggunakan pelarut lain untuk mendapatkan

(53)

DAFTAR PUSTAKA

AgoesR, 2005. Entomologimedik.Fakultaskedokteranunpad. Jatinangor.Halaman 343

Chan dkk, 2007. Antioxidant and antibacterial activity of leavesof Etlingera species (Zingiberaceae) in Peninsular Malaysia. Food Chemistry 104: pp.1586–1593.

Dadang dan Prijono, 2008. Insektisida Nabati: Prinsip, Pemanfaatan, dan Pengembangan. Departemen Proteksi Tanaman. Institut PertanianBogor, Bogor.

Daniel, 2008. Ketika Larva dan Nyamuk Dewasa Sudah Kebal Terhadap Insektisida. FARMACIA. Vol.7 No.7.

Depkes RI. 2000. Parameter standar umum ekstrak tumbuhan obat. Dirjen pom. Jakarta. Halaman 13-38.

Depkes RI, 2007. Inside ( inspirasi dan ide) litbangkes p2b2 vol ii : aedes aegypti vampir mini yang mematikan. Badan penelitian dan pengembangan kesehatan depkes RI. Jakarta.

DepKes, 2005. Nicolaia Speciosa Horan. http://iptek.apjii.or.id/ artikel

/ttg_tanaman_ obat/DepKes/buku1/1-205.pdf. diakses tanggal 16 september 2012.

(54)

Dinata A, 2009. Mengatasi dbd dengan kulit jengkol. Www. Miqraindonesia. Blogspot.com. Diakses tanggal 16 september 2012.

Djakaria S, 2004. Pendahuluanentomologi.Parasitologikedokteranedisi ke-3.Fakultaskedokteranuniversitasindonesia. Jakarta. Halaman 343.

Guenther E, 2006. The Essential Oil. Vol I. Robert W. Kringer, Article Publishing Co., Inc. Huntington, New York.

Gunawan D dan Mulyani S, 2004. Ilmu obat alam (farmakognosi). Jilid pertama. Penebar swadaya. Jakarta.

Halimah, 2010. Uji Fiokimia dan Uji Toksisitas ekstrak tanaman Anting-Anting (acalypha indica Linn) terhadap larva udang (Artemia salina

Leach).Skripsi.Jurusan Kimia Fakultas Sains dan Teknologi. Universitas IslamNegeri Maulana Malik Ibrahim, Malang.

Harborne JB, 1996. Metode Fitokimia: Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan. Institut Teksnologi Bandung. Bandung.

Hoedojo R dan Zulhasril, 2008. Buku ajar parasitologi kedokteran edisi keempat. Jakarta: balai penerbit fakultas kedokteran universitas indonesia.

Nio OK, 1989. Zat-zat Toksik yang secara alamiah ada pada bahan makanan Nabati. http:/www.kable.co.id/files/cdk/files/58 10 zat zat toksik

alamiah.pdf/58_10_zat-zattoksikalamiah.html. diakses tanggal 13 september 2012.

Raharjo B, 2006. Uji Kerentanan (Susceptibility test) Aedes aegypti (Linnaeus) dari Surabaya, Palembang dan Beberapa Wilayah di Bandung terhadap Larvasida Temephos (Abate 1 SG).Skripsi. Sekolah Ilmu dan Teknologi HayatiITB,Bandung.

Sitanggang dkk, 2008. Uji toksisitas daun murbei dan bunga kecombrang sebagai minuman alternatif bagi penderita diabetes melitus.pkmp. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Soedarto, 1992. Atlas Entomologi Kedokteran. EGC. Jakarta.

Sudarmaja IM dan Mardihusodo SJ, 2009. Pemilihan tempat bertelur nyamuk Aedes aegypti pada air limbah rumah tangga di laboratorium. Vol. 10 ( 4): 205-207.

Sukandar dkk, 2011.Karakterisasi senyawa antibakteri ekstrak air daun kecombrang (etlingera elatior). Valensi vol. 2 (3), Halaman 414-419. TjitrosoepomoG, 2005. Taksonomitumbuhanobat-obatan. Yogyakarta: Gadjah

Mada University Press. Halaman 447.

Tribun lampung. 2012. 440 kasus dbd ditemukan di bandar

(55)

World Health Organization. 2005. Guidelines for laboratory and field testing of mosquito larvicides. Who/cds/whopes/gcdpp/2005.13.

Wulandari, D. N., H. Soetjipto., dan S. P. Hastuti. 2006. Skrining Fitokimia dan Efek Larvasida Ekstrak Biji Kecubung Wulung (Datura metel L.) terhadap Larva Instar III dan IV Aedes aegypti. Berkala Ilmiah Biologi, Vol. 5(2); 101-107

Gambar

Gambar 1. Kerangka teori
Gambar 2. Kerangka konsep
Gambar 3. Daur HidupAedes aegypti (sumber : Aminah, NS. dkk, 2001)
Gambar 7. Aedes aegypti dewasa
+7

Referensi

Dokumen terkait

Selain itu, mengenai mekanisme pemilihan yang hanya diikuti oleh calon tunggal politik hukum putusan ini PHQJKHQGDNL GHQJDQ PHQJJXQDNDQ SLOLKDQ ³VHWXMX´ DWDX

Muhammad Shiddiq dalam partai Golkar di Kudus pada tahun 1972-1997 termasuk tindakan yang kontroversial, hal ini dilandasi oleh beberapa alasan, yaitu: (a)

Aspek ke 2 (dua) adalah aspek upaya penanganan sesuai kebutuhan anak mampu mengambil sikap penerimaan yang positif dengan segera mengambil inisiatif misal :

ajaran etika dalam Islam dan Zoroaster, yaitu etika yang berhubungan dengan. kehidupan sosial

Jika dua buah pipa atau lebih dipasang secara seri, semua pipa akan dilewati oleh aliran yang sama dan total rugi head pada seluruh sistem adalah jumlah kerugian pada

Selama tahun 2000 s/d 2013, sektor pertanian yang membentuk PDRB mengalami pertumbuhan.Pertumbuhan yang paling tinggi terjadi pada tahun 2008 s/d 2009 yang mencapai peningkatan Rp,

Besides, it will allocate fund of IDR250 billion to develop a new oil palm plant in South Kalimantan, while the remaining capex budget will be used to renewal and

The application is able to manage topic-map document according to standard format of XML Topic Map (XTM) including topic, occurrence, and association.. Topic- map