• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 8 Otonomi Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "BAB 8 Otonomi Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 8

Otonomi Daerah dalam Rangka Negara Kesatuan Republik

Indonesia (NKRI)

Hakikat Otonomi Daerah

Istilah otonomi daerah dan desentralisasi pada dasarnya mempersoalkan pembagian kewenangan kepada organ-organ penyelenggara negara, sedangkan otonomi menyangkut hak yang mengikuti pembagian wewenang tersebut. Desentralisasi sebagaimana didefinisikan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) adalah:

“Desentralisasi terkait dengan masalah perlimpahan wewenang dari pemerintah pusat yang berada di ibu kota negara baik melalui cara dekonsentrasi, misalnya pendeledasian, kepada pejabat di bawahnya maupun melalui pendelegasian kepada pemerintah atau perwakilan di daerah.”

Terdapat beberapa alasan mengapa Indonesia membutuhkan desentralisasi. Pertama, kehidupan berbangsa dan bernegara selama ini sangat terpusat di Jakarta. Sementara itu, pembanguan di beberapa wilayah lain cenderung bahkan dijadikan objek “perahan” pemerintah pusat. Kedua, pembagian kekayaan secara tidak adil dan merata. Daerah-daerah yang memiliki sumber kekayaan alam melimpah, seperti Aceh, Riau, Irian Jaya (Papua), Kalimantan, dan Sulawesi, ternyata tidak menerima perolehan dana yang patut dari pemerintah pusat. Ketiga, kesenjangan sosial antara satu daerah dengan daerah lain sangat mencolok.

Pelaksanaan desentralisasi haruslah dilandasi argumentasi yang kuat baik secara teoretis ataupun empiris. Teoretis pemerintahan dan politik mengajukan sejumlah argumen yang menjadi dasar pelaksanaan desentralisasi. Di antara argumentasi dalam memilih desentralisasi otonomi daerah yaitu:

1. Untuk terciptanya efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan. Pemerintah memiliki fungsi distributif yaitu mengelola berbagai dimensi kehidupan seperti bidang sosial, kesejahteraan masyarakat, ekonomi, keuangan, politik, integrasi sosial, pertahanan, dan keamanan dalam negeri.pemerintah juga mempunyai fungsi regulatif baik yang menyangkut penyediaan barang dan jasa ataupun yang berhubungan dengan kompetensi dalam rangka penyediaan tersebut. Pemerintah mempunyai fungsi ekstraktif, yaitu memobilisasi sumber daya keuangan dalam rangka membiayai aktivitas penyelenggaraab negara. Selain memberikan pelayanan dan perlindungan kepada masyarakat, menjaga keutuhan negara-bangsa, dan mempertahankan diri dari kemungkinan serangan dari negara lain, merupakan tugas pemerintahan yang bersifat universal.

(2)

sebagaimana sekolah dasar untuk ilmu pengetahuan: Di sanalah tempat kebebasan, di sana pula tempat orang diajari bagaimana kebebasan digunakan dan bagaimana menikmati kebebasan tersebut.

Menurut John Stuart Mill, pemerintahan daerah akan menyediakan kesempatan bagi warga masyarakat untuk berpartisipasi politik, baik dalam rangka memilih atau kemungkinan untuk dipilih dalam suatu jabatan politik.

3. Pemerintahan daerah sebagai persiapan untuk karier politik lanjutan. Pemerintah daerah merupakan langkah persiapan untuk meniti karier lanjutan, terutama karier di bidang politik dan pemerintahan di tingkat nasional. Keberadaan institusi lokal, terutama pemerintahan daerah (eksekutif dan legislatif lokal), merupakan wahana yang tepat bagi penggodokan calon-calon pemimpin nasional, setelah mereka melalui karier politik di daerahnya. Melalui mekanisme penggodokan di daerah diharapkan budaya politik paternalistis yang sarat dengan budaya feudal bisa dikurangi.

4. Stabilitas politik. Menurut Sharpe, stabilits politik nasional mestinya berawal dari stabilitas politik pada tingkat lokal. Dalam konteks Indonesia, terjadinya pergolakan daerah seperti PRRI dan PERMESTA di tahun 1957-1958, karena daerah melihat kekuasaan Pemerintah Jakarta yang sangat dominan.

5. Kesetaraan politik. Melalui desentralisasi, pemerintahan akan tercipta kesetaraan politik antara daerah dan pusat. Kesetaraan politik akibat kebijakan desentralisasi otonomi daerah yang baik akan menarik minat banyak orang di daerah untuk berpartisipasi secara politik seperti dijelaskan pada bagian selanjutnya.

6. Akuntabilitas publik. Desentralisasi otonomi daerah pada dasarnya adalah transfer prinsip-prinsip demokrasi dalam pengelolaan pemerintahan maupun budaya politik. Melalui prinsip-prinsip demokrasi penyelenggaraan pemerintahan di daerah akan lebih akuntabel dan profesional karena dapat melibatkan peran serta masyarakat luas, baik dalam hal penentuan pemimpin daerah (Pilkada) maupun pelaksanaan program di daerah.

Visi Otonomi Daerah

Otonomi daerah kerangka penyelenggaraan pemerinthan mempunyai visi yang dapat dirumuskan dalam tiga ruang lingkup utama yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya: politik, ekonomi, sosial, dan budaya.

Mengingat otonomi adalah buah dari kebijakan desentralisasi dan demokrasi, karenanya visi otonomi daerah di bidang politik harus dipahami sebagai sebuah proses untuk membuka ruang bagi lahirnya kepala pemerintahan daerah yang dipilih secara demokratis, memungkinkan berlangsungnya penyelenggaraan pemerintah yang responsif terhadap kepentingan masyarakat luas, dan memelihara suatu mekanisme pengambilan keputusan yang taat pada asas pertanggungjawaban publik.

(3)

pihak lain mendorong terbukanya peluang bagi pemerintah daerah mengembangkan kebijakan lokal kedaerahan untuk mengoptimalkan pendayagunaan potensi ekonomi di daerahnya. Otonomi daerah memungkinkan lahirnya berbagai prakarsa pemerintah daerah untuk menawarkan fasilitasi investasi, memudahkan proses perizinan usaha, dan membangun berbagai infrastuktur yang menunjang perputaran ekonomi di daerah.

Visi otonomi daerah di bidang sosial dan budaya mengandung pengertian bahwa otonomi daerah harus diarahkan pada pengelolaan, penciptaan dan pemeliharaan integrasi harmoni sosial. visi otonomi daerah di bidang sosial dan budaya adalah memelihara dan mengembangkan nilai, tradisi, karya seni, karya cipta, bahasa, dan karya sastra lokal yang dipandang kondusif dalam mendorong masyarakat untuk merespons positif dinamika kehidupan di sekitarnya dan kehidupan global. Aspek sosial-budaya harus diletakkan secara tepat dan terarah agar kehidupan sosial tetap terjaga secara utuh dan budaya lokal tetap eksis dan keberlanjutan.

Sejarah Otonomi Daerah di Indonesia

Peraturan perundang-undangan yang pertama kali yang mengatur tentang pemerintahan daerah pasca-proklamasi kemerdekaan adalah UU No. 1 Tahun 1945. Ini merupakan hasil dari berbagai pertimbangan tentang sejarah pemerintahan di masa kerajaan-kerajaan serta pada masa pemerintahan kolonial. Undang-undang ini menekankan aspek cita-cita kedaulatan rakyat melalui pengaturan pembentukanm BPRD. Di dalam undang-undang ini ditetapkan tiga jenis daerah otonom, yaitu keresidenan, kabupaten, dan kota. Periode berlakunya undang-undang ini sangat terbatas. Sehingga dalam kurun waktu tiga tahun belum ada peraturan pemerintah yang mengatur mengenai penyerahan urusan kepada daerah. Undang-undang ini kemudian diganti dengan Undang-Undang No. 22 Tahun 1948.

Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 berfokus pada pengaturan tentang susunan pemerintahan daerah yang demokratis. Di dalam undang-undang ini ditetapkan dua jenis daerah otonom, yaitu daerah otonom biasa dan daerah otonom istimewa, serta tiga tingkatan daerah otonom, yaitu provinsi, kabupaten/kota besar, dan desa/kota kecil. Mengacu pada ketentuan Undang-Undang No. 22 Tahun 1948, penyerahan sebagian urusan pemerintahan kepada daerah telah mendapat perhatian pemerintah. Pemberian otonomi kepada daerah berdasarkan Undang-Undang tentang Pembentukan Daerah.

(4)

Undang-undang yang disebut terakhir mengatur pokok-pokok penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi tugas pemerintah pusat di daerah. Prinsip yang dipakai dalam pemberian otonomi kepada daerah bukan lagi “otonomi yang riil dan seluas-luasnya”, tetapi “otonomi yang nyata dan bertanggung jawab”. Pandangan otonomi daerah yang seluas-luasnya dapat menimbulkan kecenderungan pemikiran yang dapat membahayakan kebutuhan. NKRI dan tidak serasi dengan maksud dan tujuan pemberian otonomi kepada daerah sesuai dengan prinsip-prinsip yang digariskan dalam GBHN yang berorientasi pada pembangunan dalam arti luas. Undung-undang ini berumur paling panjang, yaitu 25 tahun, dan baru diganti dengan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 setelah tuntutan reformasi bergulir.

Kehadiran Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tidak terlepas dari perkembangan situasi yang terjadi pada masa itu lengsernya rezim otoriter Orde Baru dan munculnya kehendak masyarakat untuk melakukan reformasi di semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Sidang istimewa MPR Tahun 1998 yang lalu menetapkan Ketetapan MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; pengaturan, pembagian, dan pemanfataan sumber daya nasional, yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah dalam kerangka NKRI. Momentum otonomi daerah di Indonesia semakin mendapatkan tempatnya setelah MPR RI melakukan amandemen pada Pasal 18 UUD 1945 dalam perubahan kedua yang secara tegas dan eksplisit menyebutkan bahwa negara Indonesia memakai prinsip otonomi dan desentralisasi kekuasaan politik.

Tiga tahun setelah implementasi Undang-Undang No. 22 Tahun 1999, dilakukan peninjauan dan revisi terhadap undang-undang yang berakhir pada lahirnya UU No. 32 Tahun 2004 yang juga mengatur tentang pemerintah daerah. Menurut Sadu Wasistiono, hal-hal penting yang ada pada UU No. 32 Tahun 2004 adalah dominasi kembali eksekutif dan dominasinya pengaturan tentang pemilihan kepala daerah yang bobotnya hamper 25% dari keseluruhan isi UU tersebut.

Prinsip-prinsip Pelaksanaan Otonomi Daerah

Prinsip-prinsip pemberian otonomi daerah yang dijadikan pedoman dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagai berikut:

1. Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memerhatikan aspek demokrasi keadilan, pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman daerah.

2. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi lus, nyata, dan bertanggung jawab.

3. Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah kabupaten dan daerah kota, sedangkan pada daerah provinsi merupakan otonomi yang terbatas.

(5)

5. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian daerah otonom, dan karenanya dalam daerah kabupaten dan kota tidak ada lagi wilayah administrasi. Demikian pula di kawasan-kawasan khusus yang dibina oleh pemerintah atau pihak lain, seperti badan otoritas, kawasan pelabuhan, kawasan perumahan, kawasan industri, kawasan perkebunan, kawasan pertambangan, kawasan kehutanan, kawasan perkotaan baru, kawasan pariwisata, dan semacamnya berlaku ketentuan peraturan daerah otonom.

6. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif daerah, baik fungsi legislasi, fungsi pengawasan maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan pemerintahan daerah.

7. Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada daerah provinsi dalam kedudukannya sebagai wilayah administrasi untuk melaksanakan kewenangan pemerintahan tertentu yang dilimpahkan kepada gurbenur sebagai wakil pemerintah.

8. Pelaksanaan asas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari pemerintah kepada daerah, tetapi juga dari pemerintah dan daerah kepada desa yang disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskan.

Pembagian Kekuasaan dalam Kerangka Otonomi Daerah

Pembagian kekuasaan antara pusat dan daerah dilakukan berdasarkan prinsip negara kesatuan tetapi dengan semangat federalisme. Jenis kekuasaan yang ditangani pusat hampir sama dengan yang ditangani oleh pemerintah di negara-negara federal, yaitu hubungan luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter, dan agama, serta berbagai jenis urusan yang memang lebih efisien ditangani secara sentral oleh pemerintah pusat, seperti kebijakan makroekonomi, standardisasi nasional, administrasi pemerintahan, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan pengembangan sumber daya manusia.

Otonomi daerah yang diserahkan itu bersifat luas, nyata, dan bertanggung jawab. Disebut luas karena kewenangan sisa justru Nerada pada pemerintah pusat; disebut nyata karena kewenangan yang diselenggarakan itu menyangkut yang diperlukan, tumbuh dan hidup, dan berkembang di daerah; disebut bertanggung jawab karena kewenangan yang diserahkan itu harus diselenggarakan demi pencapaian tujuan otonomi daerah, yaitu peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan, dan pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah dan antardaerah. Di samping itu, otonomi seluas-luasnya juga mencakup kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraannya melalui perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian, dan evaluasi. Kewenangan yang diserahkan kepada daerah otonom dalam rangka desentralisasi harus pula disertai penyerahan dan pengalihan pembiayaan, sarana dan prasarana, dan sumber daya manusia.

(6)

desentralisasi dan dekonsentrasi. Kewenangan yang diserahkan kepada daerah otonom provinsi dalam rangka otonom provinsi dalam rangka desentralisasi mencakup:

a. Kewenangan yang bersifat lintas kabupaten dan kota, seperti kewenangan dalam bidang pekerjaan umum, perhubungan, kehutanan, dan perkebunan.

b. Kewenangan pemerintahan lainnya, yaitu perencanaan dan pengendalian pembangunan regional secara makro, pelatihan bidang alokasi sumber daya manusia potensial, penelitian yang mencakup wilayah provinsi, pengelolaan pelabuhan regional, pengendalian lingkungan hidup, promosi dagang dan budaya/pariwisata, penanganan penyakit menular, dan perencanaan tata ruang provinsi.

c. Kewenangan kelautan yang meliputi eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut, pengaturan kepentingan administratif, pengaturan tata ruang, penegakkan hukum, dan bantuan penegakkan keamanan dan kedaulatan negara.

d. Kewenangan yang tidak atau belum dapat ditangani daerah kabupaten dan daerah kota diserahkan kepada provinsi dengan pernyataan dari daerah otonom kabupaten atau kota tersebut.

Dalam rangka negara kesatuan, pemerintah pusat masih memiliki kewenangan pengawasan terhadap daerah otonom. Tetapi, pengawasan yang dilakukan pemerintah pusat terhadap daerah otonom diimbangi dengan kewenangan daerah otonom yang lebih besar, atau sebaliknya, sehingga terjadi semacam keseimbangan kekuasaan. Keseimbangan yang dimaksud ialah pengawasan ini tidak lagi dilakukan secara struktural, yaitu bupati dan gubernur bertindak sebagai wakil pemerintah pusat sekaligus kepala daerah otonom, dan tidak lagi secara preventif perundang-undangan, yaitu setiap peraturan daerah (perda) memerlukan persetujuan pusat untuk dapat berlaku.

Pemilihan, Penetapan, dan Kewenangan Kepala Daerah

(7)

Terkait dengan pembagian kewenangan antara pemerintah dengan pemerintah daerah terdapat 11 jenis kewenangan wajib yang diserahkan kepada daerah otonom kabupaten dan daerah otonom kota, yaitu:

1. Pertanahan 7. Pekerja umum

2. Pertanian 8. Perhubungan

3. Pendidikan dan kebudayaan 9. Perdagangan dan industri

4. Tenaga kerja 10. Penanaman modal

5. Kesehatan 11. Koperasi

6. Lingkungan hidup

Kabupaten atau kota yang mempunyai batas laut juga diberi kewenangan kelautan seluas 1/3 dan luas kewenangan provinsi yang 12 mil. Penjabaran kesebelas kewenangan itu, dalam arti lingkup kegiatan dan tingkat kewenangan yang akan diserahkan kepada daerah otonom kabupaten dan kota, masih harus menunggu penyesuaian sejumlah UU yang sejalan dengan paradigma dan jiwa UU No. 22 Tahun 1999 jo. UU No. 32 Tahun 2004.

Penyerahan kesebelas jenis kewenangan ini kepada daerah otonom kabupaten dan daerah otonom kota dilandasi oleh sejumlah pertimbangan sebagai berikut:

Pertama, makin dekat produsen dan distributor pelayanan publik dengan warga masyarakat yang dilayani, semakin tepat sasaran, merata, berkualitas, dan terjangkau. Hal ini disebabkan karena DPRD dan pemda sebagai produsen dan distributor pelayanan publik dinilai lebih memahami aspirasi warga daerah, lebih mengetahui kemampuan warga daerah, lebih mengetahui potensi dan kendala daerah, dan lebih mampu mengendalikan penyelenggaraan pelayanan publik yang berlingkup lokal daripada provinsi dan pusat.

Kedua, penyerahan sebelas jenis kewenangan itu kepada daerah otonom kabupaten dan daerah otonom kota akan membuka peluang dan kesempatan bagi aktor-aktor politik lokal dan bersumber daya manusia yang berkualitas di daerah untuk mengajukan prakarsa, berkreativitas, dan melakukan inovasi karena kewenangan merencanakan, membahas, memutuskan, melaksanakan, mengevaluasi sebelas jenis kewenangan. Hal ini berarti unsur-unsur budaya lokal berupa pengetahuan lokal (local knowledge), keahlian lokal (local genius), kearifan lokal (local wisdom), akan dapat didayagunakan secara maksimal.

Ketiga, karena distribusi sumber daya manusia yang berkualitas tidak merata, dan kebanyakan berada di Jakarta dan kota besar lainnya, maka penyerahan 11 jenis kewenangan ini juga dimaksudkan dapat menarik sumber daya manusia yang berkualitas di kota-kota besar untuk berkiprah di daerah-daerah otonom, yang kabupaten dan kota.

(8)

Kesalahpahaman Terhadap Otonomi Daerah

Otonomi daerah merupakan sarana yang secara politik ditempuh dalam rangka memelihara keutuhan negara bangsa. Otonomi daerah dilakukan dalam rangka memperkuat ikatan semangat kebangsaan serta persatuan dan kesatuan di antara segenap warga bangsa. Kebijakan otonomi daerah melalui UU No. 22 Tahun 1999 jo. UU No. 32 Tahun 2004 memberikan otonomi yang sangat luas kepada daerah , khususnya kabupaten dan kota. Dalam praktiknya kebijakan Otda telah banyak menimbulkan kesalahpahaman. Beberapa salah paham yang muncul dari berbagai kelompok masyarakat terkait dengan kebijakan dan implementasi otonomi daerah sebagai berikut:

Pertama, otonomi dikaitkan semata-mata dengan uang. Sudah sangat lama berkembang dalam masyarakat suatu pemahaman yang keliru tentang otonomi daerah, yaitu untuk berotonomi daerah harus mencukupi sendiri segala kebutuhannya, terutama dalam bidang keuangan. Hal itu muncul karena ada ungkapan yang dimunculkan oleh J. Wayong, pada tahun 1950-an, bahwa “otonomi identik dengan outomoney”. Ungkapan seperti ini sama sekali tidak dapat dipertanggungjawabkan. Kata kunci dari otonomi adalah “kewenangan”.

Kedua, daerah belum siap dan belum mampu. Munculnya pandangan ini merupakan pandangan yang keliru. Karena sebelum otonomi daerah yang berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 jo. UU No. 32 Tahun 2004 diterapkan, pemberian tugas kepada pemerintah daerah belum diikuti dengan pelimpahan kewenangan dalam mencari uang dan subsidi dari pemerintah pusat.

Ketiga, dengan otonomi daerah maka pusat akan melepaskan tanggung jawabnya untuk membantu dan membina daerah. Pendapat ini sama sekali tidak benar. Bersamaan dengan kebijakan otonomi daerah, pemerintah pusat tetap harus tugas dan bertanggung jawab untuk memberi dukungan dan bantuan kepada personel yang ada di daerah, ataupun berupa dukungan keuangan. UU No. 32 Tahun 2004 menganut falsafah yang sudah sangat umum dikenal di berbagai negara yaitu “No mandate without funding” (tak ada mandat tanpa dukungan dana). Artinya, setiap pemberian kewenangan dari pemerintah pusat kepada daerah harus disertai dengan dana yang jelas dan cukup apakah itu berbentuk Dana Alokasi Umum (DAU), ataupun Dana Alokasi Khusus (DAK), serta bantuan keuangan yang lainnya.

Keempat, dengan otonomi daerah maka daerah dapat melakukan apa saja. Hakikat otonomi memberikan kewenangan keadaan pemerintah daerah untuk kreatif dan inovatif dalam rangka memperkuat Negara Kesatuan RI dengan berlandaskan norma kepatutan dan keajaran dalam sebuah tata kehidupan bernegara. Daerah dapat menempuh segala bentuk kebijakan apa saja sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan hukum dan undang-undang yang berlaku secara nasional.

(9)

Korupsi (KPK), Komisi Ombdusman, Komisi Kepolisian, Komisi Kejaksaan, dan LSM yang mengawasi praktik korupsi, lembaga legislatif, dan peradilan dapat memainkan perannya sebagai pengawas jalannya pemerintahan daerah secara optimal.

Otonomi Daerah dan Pembangunan Daerah

Otonomi daerah sebagai komitmen dan kebijakan politik nasional merupakan langkah strategis yang diharapkan akan mempercepat pertumbuhan dan pembangunan daerah, di samping menciptakan keseimbagan pembanguan antardaerah di Indonesia. Kebijakan pembangunan yang sentralistis pada masa lalu dampaknya sudah diketahui, yaitu adanya ketimpangan antardaerah. Pembangunan daerah tidak akan terjadi dengan begitu saja. Tanpa proses-proses pelaksanaan pemerintahan yang akuntabel yang dilakukan oleh para penyelenggara pemerintahan di daerah, yaitu pihak legislatif, dan eksekutif di daerah. Kebijakan otonomi daerah memiliki implikasi sejumlah kewenangan yang dimiliki pemerintah daerah, terutama 11 kewenangan wajib sebagaimana ditegaskan dalam perundang-undangan. Kesebelas kewenangan wajib tersebut merupakan modal dasar yang sangat penting untuk pembanguan daerah. Terdapat faktor-faktor prakondisi yang diharapkan dari pemerintah daerah, antara lain:

1. Fasilitas. Fungsi pemerintah daerah yang sangat esensial adalah memfasilitasi segala bentuk kegiatan di daerah, terutama dalam bidang perekonomian. Segala bentuk perizinan hendaklah dipermudah dan fasilitas perpajakan yang merangsang penanaman modal. Hal itu merupakan langkah tepat bagaimana menciptakan lapangan kerja secara maksimal bagi warga masyarakat, sehingga pengangguran juga dapat dikurangi. Pembangunan di daerah akan berjalan berkesinambungan dan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah.

2. Pemerintah daerah harus kreatif. Pembangunan daerah berkaitan pula dengan inisiatif lokal dan kreativitas dari para penyelenggara pemerintahan di daerah. Kreativitas tersebut menyangkut bagaimana mencari sumber dana atau dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan mengalokasikannya secara tepat, adil, dan proposional. Kreativitas juga menyangkut kapasitas untuk menciptakan keunggulan komparatif bagi daerahnya, sehingga kalangan pemilik modal akan tertarik menanamkan modal di daerah tersebut. Kreativitas juga menyangkut kemampuan untuk menarik DAK dari pemerintah pusat melalui penyiapan program-program sosial, budaya, dan ekonomi yang berorientsi kesejahteraan masyarakat daerah.

3. Politik lokal yang stabil. Masyarakat dan pemerintah di daerah harus menciptakan suasana politik lokal yang kondusif melalui transparansi dalam pembuatan kebijakan publik dan akuntabel dalam pelaksanaannya.

(10)

mengubah apa yang sudah disepakati sebelumnya. Hal ini berdampak dunia usaha merasa tidak terlindungi dalam kesinambungan usahanya.

5. Pemerintah daerah harus komunikatif dengan LSM/Ngo, terutama dalam bidang perburuhan dan lingkungan hidup. Pemerintah daerah dituntut untuk memahami semua aspirasi yang berkembang di kalangan perburuhan, baik yang menyangkut upah minimum dan jaminan lainnya, hak-hak buruh pada umumnya, perlindungan buruh wanita, ataupun menyangkut keselamatan kerja dan kesehatan kerja. Pemerintah daerah hendaknya menjadi jembatan antara kepentingan dunia usaha dengan aspirasi kalangan pekerja/buruh. Pemerintah daerah juga harus lebih sensitif dengan masalah atau isu-isu lingkungan hidup seperti penggundulan hutan, pencemaran air dan udara, kepunahan habitat hewan dan tumbuhan tertentu, dan pemanasan global. Hal lain yang tidak kalah penting adalah keharusan pemerintah daerah untuk menjaga empat konsensus kebangsaan: Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.

Otonomi Daerah dan Pilkada Langsung

Dengan Pilkada langsung tersebut, rakyat memiliki kesempatan dan kedaulatan untuk menentukan pemimpin daerah secara langsung, bebas, rahasia, dan otonom, sebagaimana rakyat memilih presiden dan wakil presiden dan anggota DPD, DPR, DPRD. Pilkada langsung merupakan instrumen politik yang sangat strategis untuk mendapatkan legitimasi politik dari rakyat dalam kerangka kepemimpinan kepala daerah. Legitimasi adalah komitmen untuk mewujudkan nilai-nilai dan norma-norma yang berdimensi hukum, moral, sosial. Jelasnya, seorang kepala daerah yang memiliki legitimasi adalah kepala daerah yang terpilih dengan prosedur dan tata cara yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan serta melalui proses kampanye dan pemilihan yang demokratis dan sesuai dengan norma-norma sosial dan etika politik dan didukung oleh suara terbanyak.

Penyelenggaraan Pilkada harus memenuhi beberapa criteria sebagai berikut:

1. Langsung. Rakyat sebagai pemilih memiliki hak ntuk memberikan suaranya secara langsung sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara.

2. Umum. Pemilihan yang bersifat umum mengandung makna menjamin kesempatan yang berlaku menyeluruh bagi semua warga negara, tanpa diskriminasi berdasarkan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, kedaerahan, pekerjaan, dan status sosial.

3. Bebas. Setiap warga negara yang berhak memilih bebas menentukan pilihan tanpa tekanan dan paksaan dari siapa pun. Dalam melaksanakan haknya, setiap warga negara dijamin keamanannya sehingga dapat memilih sesuai kehendak hati nurani dan kepentingannya.

4. Rahasia. Dalam memberikan suaranya, pemilih dijamin dan pilihannya tidak akan diketahui oleh pihak mana pun dan dengan jalan apa pun. Pemilih memberikan suaranya pada surat suara dengan tidak diketahui oleh orang lain kepada siapa pun suaranya diberikan.

(11)

6. Adil. Dalam penyelenggaraan Pilkada, setiap pemilih dan calon/peserta Pilkada mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari kecurangan pihak mana pun.

Dari beberapa penelitian ditemukan bahwa hubungan antara prakondisi demokrasi dan efektivitas pemilihan langsung yang terbentuk tidak bersifat linear melainkan hubungan timbal balik. Artinya, jika prakondisi demokrasinya buruk, maka pemilihan langsung kepala daerah akan kurang efektif dalam peningkatan demokrasi. Jika prakondisi demokrasinya baik, maka semakin signifikan Pilkada langsung bagi peningkatan demokrasi.

Namun demikian, Pilkada langsung tidak lepas dari sejumlah kelemahan: 1. Dana yang dibutuhkan.

2. Membuka kemungkinan konflik elite dan massa. 3. Aktivitas rakyat terganggu.

Namun demikian, Pilakda langsung memiliki kelebihan-kelebihan, di antaranya: 1. Kepala daerah terpilih akan memiliki mandat dan legitimasi yang sangat kuat.

2. Kepala daerah terpilih tidak perlu terikat pada konsesi partai-partai atau fraksi-fraksi politik yangtelah mencalonkannya.

3. Sistem Pilkada langsung lebih akuntabel karena adanya akuntabilitas publik.

4. Checks and balances antara lembaga legislatif dan eksekutif dapat lebih berjalan seimbang.

5. Criteria calon kepala daerah dapat dinilai secara langsung oleh rakyat yang akan memberikan suaranya.

6. Pilkada langsung sebagai wadah pendidikan politik rakyat. 7. Kancah pelatihan dan pengembangan demokrasi.

8. Pilkada langsung sebagai persiapan untuk karier politik lanjutan. 9. Membangun stabilitas politik dan mencegah separatism.

10. Kesetaraan politik.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini akan membahas tentang penerapan model supply chain operations reference (SCOR) dan metode perbandingan berpasangan untuk pengukuran kinerja rantai pasok

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui ada tidaknya peningkatan LGS pada bahu kanan yang mengalami keterbatasan dengan menggunakan intervensi exercise therapy berupa

Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan pada hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Jadi, hipotesis pertama menyatakan bahwa variabel Actual atau

Lampiran 4 Grafik

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui penggunaan hubungan logico-semantic dalam klausa kompleks yang terdapat dalam liputan berita hiburan VOA edisi

Data terintegrasi dalam SID TKPK Desa Pemanfaatan Data di Desa TKPK Desa Koreksi Data Pusat TNP2K Musyawarah &Koordinasi Provinsi TKPK Provinsi. Musyawarah & Koordinasi

f. Pengadaan obat, vaksin, reagensia dan alat kesehatan; g. Biaya transportasi rujukan pasien.. jadwal kegiatan yang dibuat Puskesmas bagi kader dan dukun bersalin

diciptakan oleh Pemerintah kota, BUMD kota, perusahaan swasta yang kantor usahanya dalam 1 (satu) Daerah. kota, organisasi