Bahan PA Fak. Theo UKDW 02 Februari 2016 Agung Prasetya Susanto (52140004)
Hidup kudus secara kontekstual?
1 Petrus 1:13-25
Pendahuluan
Kitab 1 Petrus merupakan salah satu karya tulis yang paling diperdebatkan dalam Perjanjian Baru, setidaknya dalam hal isi-bentuk dan penulis. Menurut Marxsen, meskipun bagian 1:1-2 dan 5:12-14 menjadi pembuka dan penutup sebuah surat, kebanyakan isi kitab ini lebih merupakan anjuran.1 Adanya jeda dalam 4:11, membuat kitab ini diduga terdiri dari dua karya, yaitu sebuah khotbah (1:3-4:11) dan surat pendek (4:12-5:14) yang ditambahkan belakangan. Munculnya tema-tema baptisan mendorong Bornemann dan Preisker mengajukan teori liturgi baptisan Kristen yang primitif.2 Teori ini disanggah oleh Marxsen, mengingat justru tidak disebutkannya proses baptisan dalam tulisan dan tema penderitaan yang mempunyai nuansa berbeda pada bagian sebelum dan sesudah jeda (4:11). Drane juga meragukan teori baptisan, dengan pertimbangan sulitnya mengidentifikasikan pelaksanaan baptisan di gereja abad pertama dan ketimpangan melihat penggabungan liturgi baptis gereja di Roma dengan surat bagi orang Kristen di Asia kecil.3 Dalam hal penulis surat. Marxsen meragukan Petrus sebagai penulisnya, dengan alasan tidak ada-nya ‘ciri Petrus’ dalam surat, terlihatnya teologi Paulus dalam beberapa bagian, tujuan surat yang merupakan Kristen non Yahudi di wilayah penginjilan Paulus serta adanya petunjuk kepada penatua dan gambaran Petrus sebagai martir. Drane mengambil posisi sebaliknya, bahwa Petruslah yang menulis, dengan alasan pengacuan beberapa tulisan Bapa Gereja (1 Klemen-96M, Polikarpus, dan Ireneus) kepada 1 Petrus, adanya hubungan antara 1 Petrus dengan khotbah Petrus dalam Kisah Rasul, dan belum adanya perhatian kepada institusi gereja serta hierarki dalam organisasi gereja.4 Namun akhirnya, walaupun belum ditemukan konsensus para ahli mengenai isi dan situasi historis surat, kesaksiannya kepada gereja mula-mula untuk bertahan dengan kondisi yang ada membuat 1 Petrus sebagai kontribusi terpenting dan menarik mengenai sejarah, teologi dan sosiologi dari gerakan Kristen mula-mula.5
(Secuil) Pendalaman perikop6
Ay. 13: Bersiap untuk berpengharapan
Struktur dari ayat ini merupakan rangkaian tiga tindakan. Siapkanlah akal budimu dalam bahasa aslinya adalah persiapkanlah kain pinggang pikiranmu, yaitu kebiasaan mengangkat (bagian bawah) jubah seseorang, mengikatkan ke pinggangnya untuk bersiap melakukan pekerjaan berat, seperti berlari, berjalan cepat, bertempur dll.7Waspadalah (νήφοντες, nepontes) tidak hanya dimengerti secara fisik (terjaga),
namun secara mental (terfokus). Kata ini juga dipakai di 4:7 (kuasailah) dan 5:8 (sadarlah), untuk menegaskan kewaspadaan spiritual dalam doa dan melawan si Jahat. Letakkanlah pengharapan menggunakan kata harapan (ἐλπίσατε, elpisate), sebuah
1 W.Marxsen, Introduction to the New Testament, terj: S.Suleeman, (Jakarta: BPK GM, 1994), h.288-296
2 Ibid. Untuk 1 Ptr sebagai khotbah baptisan, lih.W.Bornemann, “Der erst Petrusbriefe-eine Taufrede des Silvanus?”, ZNW
19 (1919-1920), h.143-165. Untuk 1 Ptr sebagai liturgi baptisan, lih. H.Preisker, dalam appendiks di H.Windisch, Die Katholischen Briefe, (Tubingen: Mohr, 1951), h.156
3 J.Drane, Introducing the New Testament, (Oxford: Lion Publishing, 1986), h.441-442 4 Ibid, h.437-448
5 J.H.Elliot, A Home for the Homeless: Sociological Exegesis of 1 Peter, Its Situation and Strategy, (Philadelphia: Fortress
Press, 1981), h.21-24
6 Penyaji mengikuti penafsiran W.Grudem, Tyndale New Testament Commentaries: 1 Peter, (Leicester: IVP, 1995) 7 Nuansa bersiap dipahami sebagai kesigapan untuk melihat karya Tuhan dan meresponinya, lih. Kel 12:11, Ay 38:3, 40:7,
istilah yang lebih kuat dari sekedar keinginan atau impian, serta mengandung nuansa keyakinan bagi seseorang untuk melakukan tindakan dengan dasar harapan tersebut. Dengan demikian, setelah penulis membahas berkat keselamatan yang telah dianugerahkan (ay 3-12), maka pembaca dianjurkan untuk dengan sigap menyiapkan diri guna bersikap dan bertindak dalam etika tertentu, yang dijelaskan penulis dalam bagian berikutnya, yaitu:
Ay. 14 – 16: Kudus seperti Allah yang kudus
Hidup sebagai anak-anak dari ketaatan.8 Pembaca diletakkan ke dalam posisi anak yang baru bergabung di dalam keluarga Tuhan dan gambaran sebagai anak-anak adalah tepat, mengingat anak-anak-anak-anak selalu ingin meniru orang tuanya. Pembaca sebagai anak-anak, diundang untuk mengikuti Dia yang memanggil keluar dari kungkungan hawa nafsu pada saat hidup mengabaikan Tuhan. Menjadi kudus seperti Allah yang kudus merupakan landasan etis bagi setiap orang yang diselamatkan.
(Refleksi: Mahasiswa yang menjalani kehidupan ‘baru’ universitas, tentunya akan mengalami perubahan perspektif apabila dibandingkan dengan masa sekolah. Adakah figur -selain Tuhan- di dalam kampus yang bisa/pernah kita ikuti? Atau sifat apa yang bisa kita jumpai dan adopsi dari para dosen? Menggunakan rumus matematika, hendaklah kamu X (x: rajin, kreatif, murah hati dll), seperti bapak/ibu dosen Y (y: nama dosen fak theo) yang X. Apa outputnya?)
Ay. 17 – 21: Hendaklah kamu takut
Hidup dengan takut (φόβῳ, phobo)9 kepada Tuhan yang menghakimi semua
orang tanpa memandang muka. Penghakiman dalam perikop ini lebih mengacu kepada pendisiplinan yang terjadi pada masa sekarang, yang akan dihadapi dalam waktu dekat (karena τὸν κρίνοντα, yang sedang menghakimi - band 4:17), ketimbang penghakiman terakhir/akhir jaman. Pembaca juga diingatkan status mereka sebagai seorang asing (τῆς παροικίας, tes paroikias), sehingga dengan segala rintangan yang dijumpai dalam keterasingan, kondisi itu justru bisa menjadi kesempatan dan tantangan untuk mewujudkan kekudusan dan ketaatan kepada Tuhan10, yang memberikan
berbagai hak istimewa melalui Kristus (ay 18-21).
Ay. 22 – 25: Saling mengasihi dalam persekutuan
Menurut penulis, menghayati kekudusan dan ketaatan harus mewujud dengan mengasihi sesama. Penulis surat 1 Petrus rupanya membedakan kasih persaudaraan
(φιλαδελφίαν-philadelphian) dengan kasih yang mendalam (ἀγαπήσατε
-agapēsate). Dengan adanya kata penghubung ‘sehingga kamu…’ apakah penulis bermaksud menyatakan bahwa kasih persaudaraan (filia) justru merupakan hasil dari kasih yang mendalam (agape)? Apapun itu, penulis menegaskan bahwa pertumbuhan kristiani tidak boleh bersifat egosentris dan individualis, namun terjadi dalam konteks persekutuan yang mendalam. Penghayatan ini (seharusnya) muncul sebagai dampak dari hidup baru yang diberikan melalui Firman yang kekal, yang sama sekali berbeda dengan hidup yang lama, yang fana (ay 24-25).
8 Secara literal, anak-anak yang taat menggunakan istilah Ibrani yang menunjukkan seolah-olah orang tua dari anak-anak itu
adalah ketaatan (as children of obedience vs obedient children).
9 Takut akan Tuhan merupakan sikap yang tepat dan baik bagi gereja yang bertumbuh dewasa. Selain itu, takut akan Tuhan
juga dihubungkan dengan pertumbuhan dalam kekudusan, lih.2 Kor 7:1, Fil 2:12, & Rom 3:18
10J.H.Elliot, A Home for the Homeless, h.35. Dalam beberapa terjemahan, (paroikias) menggunakan kata pembuangan
(exile), tinggal sementara (sojourn), menumpang (living away), perziarahan (pilgrimage).
Sebagai penutup, jika pesan mimbar pada ibadah pembuka PA minggu lalu adalah ajakan untuk tidak takut berdialog, menjadi kritis dan bersukacita dalam melihat kembali iman kita, tanpa harus khawatir kehilangan atau tawar hati, maka perikop hari ini, bisa menjadi undangan sekaligus tantangan pertama bagi kita untuk menyiapkan akal budi, mempunyai kewaspadaan dan pengharapan dalam mengelola (perasaan) keterasingan yang muncul dari perjumpaan dengan yang baru, yang lain, yang radikal di dunia teologi/akademis.
Di samping refleksi di atas, pertanyaan yang mungkin menggelitik sebagian kita: sembari berusaha setengah mati membedah-menganalisa-merekonstruksi iman Kristen di ruang kuliah atau paper, bagaimana secara praktis menghayati dan menjaga kekudusan – hidup kudus, takut akan Tuhan, saling mengasihi di dalam kampus yang kontekstual ini?
Atau dalam jangkauan yang lebih luas, bagaimana menjalani hidup kudus dengan spiritualitas keugaharian di tengah masyarakat yang dibayangi dan terancam oleh kemiskinan, ketidakadilan, kehancuran lingkungan hidup dan radikalisme (yang sedang diangkat oleh PGI)?
Selamat berdiskusi.
Pustaka
J.Drane, Introducing the New Testament, Oxford: Lion Publishing, 1986
J.H.Elliot, A Home for the Homeless: Sociological Exegesis of 1 Peter, Its Situation and Strategy, Philadelphia: Fortress Press, 1981
W.Grudem, Tyndale New Testament Commentaries: 1 Peter, (Leicester: IVP, 1995) W.Marxsen, Introduction to the New Testament, terj: S.Suleeman, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994