• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Yuridis Kekuatan Eksekutorial Jaminan Fidusia Bukti Pemilikan Kendaraan Bermotor Yang Telah Didaftarkan (Studi Pada Kantor Wilayah Kementrian Hukum Dan HAM Sumatera Utara)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Yuridis Kekuatan Eksekutorial Jaminan Fidusia Bukti Pemilikan Kendaraan Bermotor Yang Telah Didaftarkan (Studi Pada Kantor Wilayah Kementrian Hukum Dan HAM Sumatera Utara)"

Copied!
89
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-Buku

Ali, Zainuddin. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2009.

Aten Affandi dan Wahyu Affandi. Tentang Melaksanakan Putusan Hakim Perdata. Bandung: Alumni, 1983.

Bachir, Djazuli. Eksekusi Putusan Perkara Perdata : Segi Hukum Dan Penegakan Hukum. Jakarta: Akademika Pressindo, 2008.

Djais, Mochammad. Hukum Eksekusi Sebagai Wacana Baru Dibidang Hukum. Semarang: Fakultas Hukum Universitas Dipenogoro, 2000.

Fuady, Munir. Jaminan Fidusia. Bandung: Citra Aditya, 2000.

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani. Jaminan Fidusia. Jakarta: Grafindo Persada, 2000.

Harahap, M.Yahya. Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata. Jakarta: Gramedia, 1998.

Mertokusumo, Sudikno. Hukum Acara Perdata Indonesia. Jogjakarta: Liberty, 1989.

Purwahid Patrick dan Kashadi. Hukum Jaminan Fidusia. Semarang: Fakultas Hukum Universitas Dipenogoro, 2008.

Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata. Hukum Acara Perdata Dalam Teori Dan Praktek. Bandung: Mandar Maju, 1997.

Salim, H.S Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007.

Satrio, J. Hukum Jaminan Hak-Hak Kebendaan. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia, 2005.

(2)

B. Skripsi

Tampubolon, Leo Tuah. Suatu Tinjauan Mengenai Pelaksanaan Sita Eksekutorial Yang Dilakukan Oleh Pengadilan Negeri. Universitas Sumatera Utara: Program Sarjana Fakultas Hukum, 2000.

Siregar, Dian Puspita Sari. Hak Eksekutorial Kreditur Preferen Dalam Kepailitan Debitor. Universitas Sumatera Utara: Program Sarjana Fakultas Hukum, 2008.

D. Undang-Undang dan Peraturan Pelaksanaan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijke Wetboek).

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.

Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria.

(3)

BAB III

TINJAUAN UMUM TENTANG EKSEKUTORIAL

A. Pengertian Eksekusi

Kata eksekusi berasal dari bahasa asing yang diterjemahkan ke dalam

bahasa Indonesia, yang artinya adalah pelaksanaan. Dalam bahasa Inggris, eksekusi

dikenal dengan eksecutie. Dan dalam bahasa Belanda, eksekusi disebut dengan

uitvoering.

Pengertian eksekusi sama dengan pengertian “menjalankan putusan” (ten uitvoer legging van vonnissen), yakni melaksanakan “secara paksa” putusan pengadilan dengan bantuan kekuatan hukum apabila pihak yang telah kalah

(tereksekusi atau pihak tergugat) tidak mau menjalankannya secara sukarela.

Dengan kata lain, eksekusi (pelaksanaan putusan) adalah tindakan yang dilakukan

secara paksa terhadap pihak yang telah kalah dalam perkara.28

Eksekusi merupakan pelaksanaan dari suatu putusan pengadilan yang telah

mempunyai kekuatan hukum yang tetap (in kracht van gewijsde) yang dijalankan secara paksa oleh karena pihak yang telah kalah dalam perkara tidak mau mematuhi

pelaksanaan acara putusan pengadilan.

Dalam Pasal 207 RBG, dikatakan bahwa: “Hal menjalankan putusan

Pengadilan Negeri dalam perkara yang pada tingkat pertama diperiksa oleh

Pengadilan Negeri adalah atas perintah dan tugas pimpinan Ketua Pengadilan

(4)

Negeri yang pada tingkat pertama memeriksa perkara itu menurut cara yang telah

diatur.”

Eksekusi adalah tindakan paksa yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri

terhadap pihak yang telah kalah dalam perkara supaya pihak yang kalah dalam

perkara menjalankan Amar Putusan Pengadilan sebagaimana mestinya.29

Eksekusi dapat dijalankan oleh Ketua Pengadilan Negeri apabila terlebih dahulu

ada permohonan dari pihak yang telah menang dalam perkara kepada Ketua

Pengadilan Negeri agar putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum

yang tetap dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya.

Sebelum menjalankan eksekusi putusan pengadilan yang telah mempunyai

kekuatan hukum yang tetap, maka Ketua Pengadilan Negeri melakukan teguran

(aanmaning) kepada pihak yang telah kalah dalam perkara agar dalam waktu 8 (delapan) hari sesudah Ketua Pengadilan Negeri melakukan teguran (aanmaning) maka pihak yang telah kalah dalam perkara harus mematuhi Amar Putusan

Pengadilan tersebut.

Apabila telah lewat 8 (delapan) hari ternyata pihak yang telah kalah dalam

perkara tidak mau melaksanakan putusan pengadilan tersebut, maka Ketua

Pengadilan Negeri dapat memerintah Panitera atau Jurusita Pengadilan Negeri

untuk melaksanakan sita eksekusi atas objek yang terperkara dan kemudian dapat

meminta bantuan alat-alat negara seperti Kepolisian untuk membantu pengamanan

dalam hal pelaksanaan proses eksekusi tersebut.

(5)

Menurut pendapat M. Yahya Harahap dalam bukunya “Ruang Lingkup

Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata”, eksekusi merupakan suatu tindakan

hukum yang dilakukan oleh pengadilan kepada pihak yang telah kalah dalam suatu

perkara, merupakan suatu aturan dan tata lanjutan di dalam proses pemeriksaan

perkara. Oleh karena itu eksekusi tiada berkesinambungan dari seluruh proses

hukum acara perdata”.30

Menurut R. Subekti, eksekusi adalah upaya dari pihak yang dimenangkan

dalam putusan guna mendapatkan apa yang telah menjadi haknya dengan bantuan

kekuatan hukum dan memaksa pihak yang dikalahkan untuk melaksanakan

putusan.31

Lebih lanjut dikemukakan bahwa pengertian eksekusi atau pelaksanaan

putusan mengandung arti bahwa pihak yang dikalahkan tidak mau melaksanakan

putusan tersebut secara sukarela, sehingga putusan itu harus dipaksakan kepadanya

dengan bantuan kekuatan hukum. Dengan bantuan kekuatan hukum ini

dimaksudkan pada angkatan bersenjata.32

Sejalan dengan kedua pendapat di atas, dapat dilihat pendapat dari Sudikno

Mertokusumo yang menyatakan bahwa eksekusi ialah realisasi dari kewajiban

pihak yang bersangkutan untuk memenuhi prestasi yang tercantum dalam putusan

tersebut.33

30 Ibid., hlm. 1.

31 Subekti, Huk um Acara Perdata, (Bandung: Bina Cipta, 1989), hlm.128. 32 Ibid, hlm. 130.

(6)

Pendapat yang sama dikemukakan juga oleh Retnowulan Sutantio dan

Iskandar Oeripkartawinata yang menyatakan bahwa eksekusi adalah tindakan

paksaan oleh pengadilan terhadap pihak yang telah kalah dan tidak mau

melaksanakan putusan dengan sukarela.34

Berdasarkan pendapat dari para pakar hukum di atas, dapat dijelaskan

bahwa eksekusi diartikan sebagai upaya untuk merealisasikan kewajiban dari pihak

yang telah kalah dalam perkara guna memenuhi prestasi sebagaimana yang telah

ditentukan dalam putusan hakim, melalui perantaraan Panitera atau Jurusita atau

Jurusita Pengganti pada Pengadilan tingkat pertama dengan cara paksa karena tidak

dilaksanakannya secara sukarela. Pelaksanaan putusan hakim tersebut merupakan

proses terakhir dari proses penyelesaian perkara perdata dan pidana yang sekaligus

juga merupakan prestise dari lembaga peradilan itu sendiri.

Sementara itu di dalam Pasal 29 Undang-undang Nomor 42 tahun 1999

tentang Jaminan Fidusia, dikatakan bahwa “eksekusi adalah pelaksanaan titel

eksekutorial oleh penerima fidusia, berarti eksekusi langsung dapat dilaksanakan

tanpa melalui pengadilan dan bersifat final serta mengikat para pihak untuk

melaksanakan putusan tersebut.”35

Jika bertitik tolak pada title keempat Rbg, maka pengertian eksekusi itu

sama dengan pengertian menjalankan putusan pengadilan yang tidak lain adalah

melaksanakan isi dari segala putusan pengadilan yakni melaksanakan secara paksa

putusan pengadilan yang telah ditetapkan dengan bantuan kekuatan umum

34 Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Huk um Acara Perdata Dalam Teori dan Prak tek, (Bandung: Mandar Maju, 1997), hlm 10.

(7)

bila pihak yang telah kalah dalam pengadilan (pihak tereksekusi atau pihak

tergugat) tidak mau menjalankan secara sukarela.36

Hukum eksekusi sebenarnya tidak diperlukan apabila yang dikalahkan di

dalam pengadilan dengan sukarela mentaati bunyi putusan dari pengadilan tersebut.

Akan tetapi dalam kenyataannya, tidak semua pihak mentaati bunyi putusan dengan

sepenuhnya. Oleh karena itu, diperlukan suatu aturan bila putusan itu tidak ditaati

dan bagaimana tata cara pelaksanaannya.

Bila melihat pengertian eksekusi di atas, tampak bahwa pengertian eksekusi

terbatas pada eksekusi oleh pengadilan (putusan hakim). Padahal yang juga dapat

dieksekusi menurut hukum acara perdata yang berlaku di dalam Rbg yang juga

dapat dieksekusi adalah salinan atau grosse akta yang memuat irah-irah “Demi

Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” yang berisi kewajiban untuk

membayar sejumlah uang.37

Pendapat mengenai pengertian eksekusi yang lebih luas juga dikemukakan

oleh Mochammad Dja’is yang menyatakan bahwa: “eksekusi adalah upaya dari

kreditur untuk merealisasi hak secara paksa dikarenakan debitur tidak mau secara

sukarela memenuhi kewajibannya. Dengan demikian, eksekusi merupakan bagian

dari proses penyelesaian sengketa hukum. Menurut pandangan hukum eksekusi,

objek eksekusi tidak hanya putusan hakim dan grosse akta saja.38

36 M. Yahya Harahap, op.cit, hlm. 5.

37 Aten Affandi dan Wahyu Affandi, Tentang Melak sanak an Putusan Hak im Perdata, (Bandung: Alumni, 1983), hlm. 32.

(8)

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pengertian eksekusi

dalam perkara perdata adalah upaya kreditur untuk merealisasikan haknya secara

paksa jika debitur tidak secara sukarela memenuhi kewajibannya yang tidak hanya

putusan hakim saja, tetapi juga pelaksanaan grosse akta serta pelaksanaan putusan

dari institusi yang berwenang atau bahkan kreditur secara langsung.

B. Jenis-Jenis Eksekusi

Pada dasarnya ada 2 bentuk eksekusi ditinjau dari sasaran yang hendak

dicapai oleh hubungan hukum yang tercantum dalam putusan pengadilan, yaitu

melakukan suatu tindakan nyata atau tindakan riil yang disebut dengan eksekusi

riil, dan melakukan pembayaran sejumlah uang yang disebut dengan eksekusi

pembayaran uang.39

Menurut M. Yahya Harahap, ada 2 jenis dari eksekusi yaitu:40

1. Eksekusi Riil.

Eksekusi riil adalah eksekusi yang menghukum kepada pihak yang kalah

dalam perkara untuk melakukan suatu perbuatan tertentu. Misalnya:

menyerahkan barang, mengosongkan tanah atau bangunan, membongkar,

menghentikan suatu perbuatan tertentu dan lain-lain sejenis itu. Eksekusi ini

dapat dilakukan secara langsung (dengan perbuatan nyata) sesuai dengan

amar putusan tanpa melalui proses pelelangan.

(9)

Apabila orang yang dihukum itu tidak mau memenuhi surat perintah hakim

untuk mengosongkan benda tetap itu, maka hakim akan merintahkan kepada

Jurusita dengan bantuan Panitera pengadilan untuk mengosongkannya. Jika

perlu dengan bantuan alat hukum negara, agar barang tetap itu dikosongkan

oleh orang yang dihukum beserta keluarganya.

2. Eksekusi Pembayaran Sejumlah Uang.

Eksekusi pembayaran sejumlah uang adalah eksekusi yang mengharuskan

kepada pihak yang kalah untuk melakukan pembayaran sejumlah uang

(terdapat pada Pasal 208 R.Bg).

Eksekusi ini adalah kebalikan dari eksekusi riil dimana pada eksekusi

bentuk kedua ini tidaklah dapat dilakukan secara langsung sesuai dengan

amar putusan seperti pada eksekusi riil, melainkan haruslah melalui proses

pelelangan terlebih dahulu dikarenakan yang akan dieksekusi adalah

sesuatu yang bernilai uang.

Apabila seseorang enggan untuk dengan sukarela memenuhi bunyi putusan

dimana ia dihukum untuk membayar sejumlah uang, maka sebelum putusan

dijatuhkan telah dilakukan sita jaminan, maka setelah sita jaminan itu

dinyatakan sah dan berharga menjadi sita eksekutorial, kemudian eksekusi

dilakukan dengan cara melelang barang milik orang yang dikalahkan.

Sehingga mencukupi jumlah yang harus dibayar menurut putusan hakim,

ditambah biaya sehubungan dengan pelaksanaan putusan tersebut.41

(10)

Berdasarkan obyeknya, eksekusi dapat dibedakan menjadi :

1. Eksekusi Putusan Hakim.

2. Eksekusi Benda Jaminan.

3. Eksekusi Grosse Akta.

4. Eksekusi terhadap sesuatu yang mengganggu hak dan kewajiban.

5. Eksekusi Surat Peryataan bersama.

6. Eksekusi Surat Paksa.

Berdasarkan prosedurnya, dapat dibedakan menjadi:

1. Eksekusi putusan hakim yang menghukum pihak yang dikalahkan untuk

membayar sejumlah uang.

2. Eksekusi Riil, dapat dibedakan menjadi :

a. Eksekusi Riil terhadap putusan hakim untuk mengosongkan suatu

benda tetap dan menyerahkan kepada yang berhak.

b. Eksekusi Riil terhadap obyek lelang.

Eksekusi Riil berdasarkan Undang-undang, diatur dalam di pasal

666 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

c. Eksekusi Riil berdasarkan perjanjian.

Perjanjian dengan kuasa dan perjanjian dengan penegasan terhadap

piutang sebagai jaminan dan benda miliknya sendiri.

3. Eksekusi putusan yang menghukum orang untuk melakukan perbuatan,

mengingat dalam perkara perdata tidak boleh dilakukan siksaan badan.

Maka eksekusi ini perbuatan yang harus dilakukan dapat dinilai dengan

(11)

4. Eksekusi dengan pertolongan hakim, yaitu eksekusi atas grosse akta.

5. Pareta eksekusi atau eksekusi langsung.

6. Eksekusi dengan penjualan dibawah tangan, yang dimaksud disini adalah

eksekusi dilakukan dengan penjualan dibawah tangan sebagaimana telah

diperjanjikan sebelumnya.

7. Penjualan di pasar atau bursa.

Dalam hal obyek jaminan gadai atau fidusia adalah barang perdagangan

atau efek yang dapat diperdagangkan atau dijual dipasar atau bursa, maka

jika debitor wanprestasi, maka pihak kreditor pemegang gadai fidusia dapat menjual obyek jaminan gadai atau fidusia dipasar bursa. Terdapat pada

Pasal 1155 (2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dan Pasal 31

Undang-Undang tentang Jaminan Fidusia yaitu Undang-Undang Nomor 42

Tahun 1999.

8. Eksekusi berdasarkan ijin hakim.

Eksekusi berdasarkan ijin hakim. Dalam hal debitor wanprestasi, pemegang

gadai dapat mengajukan permohonan kepada hakim untuk menentukan cara

penjualan obyek gadai atau menentukan suatu jumlah uang tertentu sebagai

harga barang yang harus dibayar oleh penerima gadai kepada pemberi gadai,

selanjutnya obyek gadai pemberi gadai, selanjutnya obyek gadai menjadi

milik penerima gadai sesuai dengan Pasal 1156 Kitab Undang-Undang

(12)

Menurut Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, pembagian

jenis eksekusi meliputi:42

1. Eksekusi pembayaran sejumlah uang.

2. Eksekusi yang menghukum seseorang melakukan sesuatu perbuatan.

3. Eksekusi Riil yang dalam praktek banyak dilakukan tetapi tidak diatur di

dalam peraturan perundang-undangan.

Sudikno Mertokusumo juga mengemukakan jenis-jenis eksekusi sebagai

berikut:43

1. Eksekusi putusan yang menghukum untuk membayar sejumlah uang. Diatur

di dalam Pasal 208 Rbg.

2. Eksekusi putusan yang menghukum orang untuk melakukan atau tidak

melakukan suatu perbuatan. Diatur di dalam Pasal 259 Rbg.

Pasal tersebut mengatur pelaksanaan putusan hakim yang telah ditetapkan

dimana seseorang dihukum untuk melakukan suatu perbuatan dan wajib

untuk dilakukannya. Misalnya: memperbaiki pagar, pekarangan rumah serta

saluran air yang telah dirusak olehnya, memasang kembali pipa gas yang

karena kesalahannya untuk telah diangkat dan lain sebagainya. Perbuatan

semacam itu tidak dapat dilaksanakan dengan cara paksa. Seandainyapun

ada penghukuman uang paksa untuk tiap hari keterlambatan memperbaiki

misalnya, tergugat dihukum untuk membayar uang paksa sebesar Rp. 1000,-

(13)

apabila tergugat tidak mau membayarnya, maka ia tidak dapat dipaksakan

untuk melakukannya.

Tidak dapat misalnya tergugat telah dibawa ke kantor polisi untuk ditahan,

tidak dapat misalnya disuruh untuk mengerjakan apa yang ia harus kerjakan

itu dengan ditodong atau ditunggu atau diawasi oleh pihak yang berwajib.44

3. Eksekusi Riil, yaitu pelaksanaan putusan hakim yang memerintahkan untuk

melakukan pengosongan benda tetap. Telah diatur di dalam Pasal 1033 RV.

Dalam pelaksanaan eksekusi tersebut, ada beberapa proses tahapan yang

harus dilewati, antara lain:

1. Eksekusi Riil

Menjalankan eksekusi riil adalah merupakan tindakan nyata yang dilakukan

secara langsung guna melaksanakan apa yang telah dihukumkan dalam

amar putusan, dengan tahapan:

a. Adanya permohonan dari penggugat (pemohon eksekusi) kepada

Ketua Pengadilan (Terdapat pada Pasal 207 ayat (1) R.Bg).

b. Adanya peringatan (aanmaning) dari Ketua Pengadilan kepada termohon eksekusi agar ianya dalam waktu yang telah ditentukan

berdasarkan putusan pengadilan yang tetap yaitu tidak lebih dari 8

(delapan) hari dari sejak aanmaning dilakukan, melaksanakan isi putusan tersebut secara sukarela (Terdapat pada Pasal 207 ayat (2)

R.Bg), dengan cara:

(14)

1) Melakukan pemanggilan terhadap termohon eksekusi

dengan menentukan hari, tanggal, jam dan tempat.

2) Memberikan peringatan (jika ia datang), yaitu dengan cara:

a) Dilakukan dalam sidang insidentil yang dihadiri

Ketua Pengadilan, Panitera dan termohon eksekusi.

b) Dalam sidang tersebut diberikan peringatan atau

teguran agar termohon eksekusi dalam waktu 8

(delapan) hari untuk melaksanakan isi putusan

tersebut.

c) Membuat berita acara sidang insidentil (aanmaning), yang mencatat peristiwa yang terjadi dalam

persidangan tersebut.

d) Berita acara sidang aanmaning tersebut akan dijadikan bukti bahwa kepada termohon eksekusi

telah dilakukan peringatan atau teguran untuk

melaksanakan amar putusan secara sukarela, yang

selanjutnya akan dijadikan dasar dalam

mengeluarkan perintah eksekusi.

Apabila setelah dipanggil secara patut, termohon eksekusi ternyata

tidak hadir dan ketidak hadirannya disebabkan oleh halangan yang

sah (dapat dipertanggung jawabkan), maka ketidak hadirannya

masih dapat dibenarkan dan ianya harus dipanggil kembali untuk di

(15)

Akan tetapi apabila ketidak hadirannya itu tidak ternyata adanya

alasan yang sah (tidak dapat dipertanggung jawabkan), maka

termohon eksekusi harus menerima akibatnya, yaitu hilangnya hak

untuk dipanggil kembali dan hak untuk di aanmaning serta Ketua Pengadilan terhitung sejak termohon eksekusi tidak memenuhi

panggilan tersebut, dapat langsung mengeluarkan surat penetapan

(beschikking) tentang perintah menjalankan eksekusi.

c. Setelah tenggang waktu 8 (delapan) hari ternyata termohon eksekusi

masih tetap tidak bersedia melaksanakan isi putusan tersebut secara

sukarela, maka ketua pengadilan mengeluarkan penetapan dengan

mengabulkan permohonan pemohon eksekusi dengan disertai surat

perintah eksekusi, dengan ketentuan:

1) Berbentuk tertulis berupa penetapan (beschikking).

2) Ditujukan kepada Panitera atau Jurusita ataupun Jurusita

Pengganti.

3) Berisi perintah agar menjalankan eksekusi sesuai dengan

amar putusan.

d. Setelah menerima perintah menjalankan eksekusi dari Ketua

Pengadilan, maka Panitera atau Jurusita atau Jurusita Pengganti

merencanakan atau menentukan waktu serta memberitahukan

tentang eksekusi kepada termohon eksekusi, Kepala Desa, Lurah,

(16)

e. Proses selanjutnya, pada waktu yang telah ditentukan, Panitera atau

Jurusita atau Jurusita Pengganti langsung ke lapangan guna

melaksanakan eksekusi dengan ketentuan:

1) Eksekusi dilaksanakan oleh Panitera atau Jurusita atau

Jurusita Pengganti (Terdapat pada Pasal 209 ayat 1 R.Bg.

2) Eksekusi dibantu oleh 2 (dua) orang saksi (Terdapat pada

Pasal 200 R.Bg), dengan syarat-syarat:

a) Warga Negara Indonesia.

b) Berusia minimal 21 Tahun.

c) Dapat Dipercaya.

3) Eksekusi dijalankan di tempat dimana barang (obyek) itu

berada.

4) Membuat berita acara eksekusi, dengan ketentuan memuat:

a) Waktu (hari, tanggal, bulan, tahun dan jam)

pelaksanaan.

b) Jenis, letak, ukuran dari barang yang dieksekusi.

c) Tentang kehadiran termohon eksekusi.

d) Tentang pengawas barang (obyek) yang dieksekusi.

e) Penjelasan tentang Niet Bevinding (barang atau obyek yang tidak diketemukan atau tidak sesuai

dengan amar putusan).

f) Penjelasan tentang dapat atau tidaknya eksekusi

(17)

g) Keterangan tentang penyerahan barang (obyek)

kepada pemohon eksekusi.

h) Tanda tangan Panitera atau Jurusita atau Jurusita

Pengganti (eksekutor), 2 (dua) orang saksi yang

membantu menjalankan eksekusi. Kepala Desa,

Lurah, atau Camat dan termohon eksekusi itu sendiri.

Untuk tanda tangan Kepala Desa atau Lurah atau

Camat dan termohon eksekusi tidaklah merupakan

keharusan. Artinya tidaklah mengakibatkan tidak

sahnya eksekusi, akan tetapi akan lebih baik jika

mereka turut tanda tangan guna menghindari hal-hal

yang tidak diingini.

5) Memberitahukan isi berita acara eksekusi kepada termohon

eksekusi (Terdapat pada Pasal 209 R.Bg), yang dilakukan

ditempat dimana eksekusi dijalankan (jika termohon

eksekusi hadir pada saat eksekusi dijalankan), atau ditempat

kediamannya (jika termohon eksekusi tidak hadir pada saat

eksekusi dijalankan).

2. Eksekusi Pembayaran Sejumlah Uang.

Untuk sampai pada realisasi penjualan lelang sebagai syarat dari eksekusi

pembayaran sejumlah uang, maka eksekusi tersebut perlu melalui proses

(18)

a. Adanya permohonan dari pemohon eksekusi kepada Ketua

Pengadilan.

b. Adanya peringatan atau teguran (aanmaning) dari Ketua Pengadilan kepada termohon eksekusi agar ianya dalam waktu tidak lebih dari

8 (delapan) hari, sejak aanmaning dilakukan, melaksanakan amar putusan.

c. Setelah masa peringatan atau teguran (aanmaning) dilampaui, termohon eksekusi masih tetap tidak memenuhi isi putusan berupa

pembayaran sejumlah uang, maka sejak saat itu ketua pengadilan

secara ex afficio mengeluarkan surat penetapan (beschikking) berisi perintah kepada panitera/jurusita/jurusita pengganti untuk

melakukan sita eksekusi (executorial beslag) terhadap harta kekayaan jika sebelumnya tidak diletakkan sita jaminan sesuai

dengan ketentuan yang diatur di dalam Pasal 208 R.Bg (tata cara sita

eksekusi hampir sama dengan sita jaminan).

d. Adanya perintah penjualan lelang, dilanjutkan dengan penjualan

lelang setelah terlebih dahulu dilakukan pengumuman sesuai dengan

ketentuan pelelangan. Lalu diakhiri dengan penyerahan uang hasil

lelang kepada pemohon eksekusi.

(19)

Sebagai realisasi dari putusan hakim terhadap pihak yang telah kalah dalam

suautu perkara di pengadilan, maka masalah eksekusi telah diatur di dalam berbagai

ketentuan antara lain:

1. Pasal 206 - Pasal 240 R.Bg dan Pasal 258 R.Bg (tentang tata cara eksekusi

secara umum).

2. Pasal 259 R.Bg (tentang putusan yang menghukum tergugat untuk

melakukan suatu perbuatan tertentu).

3. Sedangkan pada Pasal 242 - Pasal 257 R.Bg, yang mengatur tentang sandera

(gijzeling) tidak lagi diberlakukan secara efektif.

4. Pasal 191 R.Bg, Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2000 dan

Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2001 (tentang pelaksanaan

putusan yang belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap, yaitu serta

merta).

5. Pasal 54 dan Pasal 55 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 (tentang

pelaksanaan putusan pengadilan).

Djazuli Bachir SH menyatakan bahwa sumber hukum eksekusi adalah:45

1. Hukum Acara Perdata.

Hukum Acara Perdata yang berlaku sekarang ini diatur di dalam Herziene Inlandsch Reglement (HIR) yang berlaku secara khusus untuk daerah Jawa dan Madura.

(20)

Sedangkan Hukum Acara Perdata yang berlaku untuk daerah luar Jawa dan

Madura diatur di dalam Rechtsreglement voor de Buitengewesten (RBG). Di dalam HIR telah diatur tentang eksekusi putusan pengadilan pada bagian

kelima, yaitu pada Pasal 195 sampai dengan Pasal 224 HIR. Sedangkan di

dalam R.Bg diatur pada bagian keempat, yaitu pada Pasal 206 sampai

dengan Pasal 225. Sampai saat sekarang, belum ada dibuat suatu Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Perdata atau HIR atau RBG yang lain. Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Perdata, HIR, dan RBG merupakan produk

hukum di jaman penjajahan Belanda yang masih tetap berlaku sebagai

Hukum Acara Perdata yang harus dipedomani oleh lembaga peradilan dan

para praktisi hukum.

2. Hukum Acara Perdata Lain Yang Berhubungan.

Di dalam Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan

Kehakiman, dikatakan bahwa pelaksanaan putusan pengadilan dalam

perkara perdata dilaksanakan oleh panitera dan jurusita serta dipimpin oleh

ketua Pengadilan Negeri. Selanjutnya di dalam Undang-Undang No. 49

Tahun 2009 tentang Peradilan Umum, dikatakan bahwa di dalam perkara

perdata maka panitera Pengadilan Negeri bertugas untuk melaksanakan

putusan pengadilan.

(21)

Di dalam Undang-Undang 5 Tahun 2004 Tentang Mahkamah Agung,

dikatakan bahwa Mahkamah Agung dapat meninjau atau membatalkan

suatu putusan perdata atas dasar alasan:

a. Apabila putusan tersebut dengan jelas memperlihatkan suatu

kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang mencolok.

b. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari

yang dituntut.

c. Apabila mengenai suatu bagian dari tuntutan yang belum diputus

tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya.

d. Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu hal yang

sama atas dasar yang sama oleh pengadilan yang sama atau yang

sama tingkatnya telah diberikan putusan yang satu sama lain

bertentangan.

e. Apabila dalam suatu putusan pengadilan terdapat

ketentuan-ketentuan yang satu sama lain bertentangan.

f. Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu

muslihat dari pihak lawan yang diketahui setelahnya perkara diputus

atau pada keterangan saksi atau surat-surat bukti yang kemudian

oleh hakim pidana dinyatakan palsu.

g. Apabila setelah perkara diputus diketemukan surat-surat bukti yang

bersifat menentukan pada waktu perkara diperiksa, surat-surat

(22)

Dengan demikian, dalam praktek hukum masih ada upaya hukum yang luar

biasa untuk dapat membatalkan suatu putusan pengadilan yang telah

mempunyai kekuatan hukum yang bersifat tetap, dan upaya hukum yang

luar biasa tersebut dikenal dengan derden verzet atau permohonan Peninjauan Kembali pada putusan Mahkamah Agung (permohonan P.K).

4. Surat Edaran Mahkamah Agung

Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4 tahun 1975 dikatakan bahwa

Mahkamah Agung tentang gijzeling (penyanderaan) sebagaimana diakui di dalam Pasal 209 HIR/Pasal 242 R.Bg tidak dibenarkan lagi untuk

dilaksanakan dalam Hukum Acara Perdata di peradilan di Indonesia oleh

karena bertentangan dengan perikemanusiaan. Dengan demikian Hukum

Acara Perdata di Indonesia tidak lagi mengenal adanya penyanderaan

(gijzeling) apabila seseorang tidak mampu membayar hutangnya dalam hal pengeksekusian tersebut.

Selain peraturan peraturan di atas masih ada peraturan lain yang dapat

menjadi dasar dari penerapan eksekusi yaitu:

1. Undang-undang tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman, Pasal 33

ayat (4) yaitu tentang kewajiban hukum yang bersendikan norma-norma

moral, dimana dalam melaksanakan putusan pengadilan diusahakan supaya

perikemanusiaan dan perikeadilan tetap terpelihara.

2. Mengenai pelaksanaan putusan Pengadilan Agama diatur di dalam

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, menyatakan sesudah itu keputusan

(23)

keputusan-keputusan Pengadilan Umum. Dalam perkara ini, Stb. 1937 No. 63-639,

pasal 3 ayat (5) alinea 3 berbunyi, sesudah itu keputusan dapat dijalankan

menurut aturan-aturan menjalankan keputusan sipil Pengadilan Negeri

(Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 pasal 4 ayat (5) dan

pasal-pasal lain yang berhubungan).

3. Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1980 yang disempurnakan. Di

dalam pasal 5 dinyatakan bahwa permohonan Peninjauan Kembali tidak

menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan eksekusi.

4. SEMA No. 4 Tahun 1975 yang menyatakan bahwa penyanderaan ditujukan

pada orang yang sudah tidak mungkin lagi dapat melunasi

hutang-hutangnya. Dan kalau disandera ia akan kehilangan kebebasan bergerak, ia

tidak ada lagi kesempatan untuk berusaha mendapatkan uang atau

barang-barang untuk melunasi hutangnya.

D. Aturan-Aturan Pelaksanaan Eksekusi

Di dalam melaksanakan eksekusi, ada beberapa aturan-aturan ataupun tata

cara yang harus dilaksanakan antara lain:

1. Pelaksanaan Eksekusi Riil.

Menjalankan eksekusi riil merupakan tindakan nyata yang dilakukan secara

langsung guna melaksanakan apa yang telah dihukumkan dalam amar

putusan, dengan tahapan:

a. Adanya permohonan dari penggugat (pemohon eksekusi) kepada

(24)

b. Adanya peringatan (aanmaning) dari ketua pengadilan kepada termohon eksekusi agar ianya dalam waktu tidak lebih dari 8

(delapan) hari dari sejak aanmaning dilakukan, melaksanakan isi putusan tersebut secara sukarela. Terdapat pada Pasal 207 ayat (2)

R.Bg, dengan cara:

1) Melakukan pemanggilan terhadap termohon eksekusi

dengan menentukan hari, tanggal, jam dan tempat.

2) Memberikan peringatan (kalau ianya datang), yaitu dengan

cara:

a) Dilakukan dalam sidang insidentil yang dihadiri oleh

ketua pengadilan, panitera dan termohon eksekusi.

b) Dalam sidang tersebut diberikan peringatan atau

teguran agar termohon eksekusi dalam waktu 8

(delapan) hari dapat melaksanakan isi putusan

tersebut.

c) Membuat berita acara sidang insidentil (aanmaning), yang mencatat peristiwa yang terjadi dalam

persidangan tersebut.

d) Berita acara sidang aanmaning tersebut akan dijadikan bukti bahwa kepada termohon eksekusi

telah dilakukan peringatan ataupun teguran untuk

(25)

selanjutnya akan dijadikan dasar dalam

mengeluarkan perintah eksekusi.

Apabila setelah dipanggil secara patut, termohon eksekusi ternyata

tidak hadir dan ketidak hadirannya disebabkan oleh halangan yang

sah (dapat dipertanggung jawabkan), maka ketidakhadirannya

masih dapat dibenarkan dan ianya harus dipanggil kembali untuk di

aanmaning. Akan tetapi apabila ketidak hadirannya itu tidak ternyata adanya alasan yang sah (tidak dapat dipertanggung

jawabkan), maka termohon eksekusi harus menerima akibatnya,

yaitu hilangnya hak untuk dipanggil kembali dan hak untuk di

aanmaning serta ketua pengadilan terhitung sejak termohon eksekusi tidak memenuhi panggilan tersebut, dapat langsung

mengeluarkan surat penetapan (beschikking) tentang perintah menjalankan eksekusi.

c. Setelah tenggang waktu 8 (delapan) hari ternyata termohon eksekusi

masih tetap tidak bersedia melaksanakan isi putusan tersebut secara

sukarela, maka ketua pengadilan mengeluarkan penetapan dengan

mengabulkan permohonan pemohon eksekusi dengan disertai surat

perintah eksekusi, dengan ketentuan:

1) Berbentuk tertulis berupa penetapan (beschikking).

Ditujukan kepada panitera atau jurusita atau jurusita

(26)

2) Berisi perintah agar menjalankan eksekusi sesuai dengan

amar putusan.

d. Setelah menerima perintah menjalankan eksekusi dari ketua

pengadilan, maka panitera atau jurusita atau jurusita pengganti

merencanakan atau menentukan waktu serta memberitahukan

tentang eksekusi kepada termohon eksekusi, kepala desa atau lurah

atau kecamatan ataupun kepolisian setempat.

e. Proses selanjutnya pada waktu yang telah ditentukan, panitera atau

jurusita atau jurusita pengganti langsung ke lapangan guna

melaksanakan eksekusi dengan ketentuan:

1) Eksekusi dilaksanakan oleh panitera atau juru sita ataupun

juru sita pengganti. Terdapat pada Pasal 209 ayat 1 R.Bg.

2) Eksekusi dibantu oleh 2 (dua) orang saksi dengan

syarat-syarat:

a) Warga Negara Indonesia (WNI).

b) Berusia minimal 21 tahun.

c) Dapat dipercaya.

3) Eksekusi dijalankan di tempat dimana barang (objek) itu

berada.

4) Membuat berita acara eksekusi, dengan ketentuan memuat:

a) Waktu (hari, tanggal, bulan, tahun dan jam)

pelaksanaan.

(27)

c) Tentang kehadiran termohon eksekusi.

d) Tentang pengawas barang (objek) yang dieksekusi.

e) Penjelasan tentang Niet Bevinding (barang atau objek yang tidak diketemukan atau tidak sesuai dengan

amar putusan).

f) Penjelasan tentang dapat atau tidaknya eksekusi

dijelaskan.

g) Keterangan tentang penyerahan barang (objek)

kepada pemohon eksekusi.

h) Tanda tangan panitera atau jurusita atau jurusita

pengganti (eksekutor), 2 (dua) orang saksi yang

membantu menjalankan eksekusi, kepala desa atau

lurah atau camat dan termohon eksekusi itu sendiri.

Untuk tanda tangan kepala desa atau lurah ataupun

camat dan termohon eksekusi tidaklah merupakan

keharusan. Artinya tidaklah mengakibatkan tidak

sahnya eksekusi, akan tetapi akan lebih baik jika

mereka turut tanda tangan guna menghindari hal-hal

yang tidak diingini.

5) Memberitahukan isi berita acara eksekusi kepada termohon

eksekusi yang dilakukan di tempat dimana eksekusi

(28)

dijalankan), atau ditempat kediamannya (jika termohon

(29)

BAB IV

ANALISIS YURIDIS KEKUATAN EKSEKUTORIAL JAMINAN FIDUSIA BUKTI PEMILIKAN KENDARAAN BERMOTOR YANG TELAH DIDAFTARKAN (STUDI PADA KANTOR WILAYAH KEMENTRIAN

HUKUM DAN HAM SUMATERA UTARA)

A. Kekuatan Eksekutorial Jaminan Fidusia Bukti Pemilikan Kendaraan Bermotor Yang Telah Didaftarkan Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Jaminan Fidusia

Pada masa sekarang ini, perkembangan hukum jaminan sangatlah

memerlukan lembaga yang dapat memberikan perlindungan kepada para pihak,

baik pada pihak yang memberikan jaminan (debitor) maupun pihak yang menerima

jaminan (kreditor). Untuk memenuhi hal tersebut, maka dapat dilakukan dengan

cara melakukan pendaftaran.

Begitu pula dengan jaminan fidusia. Dengan didaftarkannya jaminan

fidusia, tentu saja akan memberikan perlindungan terhadap semua pihak baik itu

pihak debitor maupun kreditor. Pendaftaran dilakukan untuk memenuhi unsur

publikasi dari adanya jaminan fidusia tersebut. Perlindungan hukum yang dapat

diberikan dengan adanya pendaftaran jaminan fidusia tersebut adalah adanya

kemudahan untuk melaksanakan eksekusi jaminan utangnya dalam hal debitur

(30)

Sebagai upaya untuk memperkuat perlindungan hukum bagi para pihak, maka

kantor pendaftaran fidusia akan mengeluarkan alat tanda bukti tentang adanya

jaminan fidusia atas barang atau benda tersebut. Yang diantaranya mencantumkan

nama pemberi dan pemegang jaminan fidusia, objek dari jaminan fidusia, nilai

penjaminan atas jaminan fidusia, akta jaminan fidusia serta perjanjian pokok yang

mendasari adanya akta jaminan fidusia. Surat itu disebut dengan Sertifikat Jaminan

Fidusia sebagai salinan dari Buku Daftar Fidusia. Buku daftar fidusia merupakan

tempat lahirnya jaminan fidusia yaitu dengan dicatatkan di dalamnya.

Sertifikat jaminan fidusia merupakan alat bukti dari jaminan fidusia yang

telah di daftarkan yang di dalamnya tercantum irah-irah ”Demi Keadilan

Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dengan demikian memiliki kekuatan

eksekutorial yang dipersamakan dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai

kekuatan hukum yang tetap.

Dengan kekuatan eksekutorial yang memberikan kepada penerima jaminan

fidusia untuk dapat melakukan pelaksanaan eksekusi tanpa perlu adanya suatu

putusan pengadilan, maka penerima jaminan fidusia memiliki kekuatan yang kuat

dan dilindungi oleh undang-undang. Inilah yang akan memberikan rasa aman bagi

penerima jaminan fidusia dan rasa percaya terhadap pemberi jaminan fidusia.

Hal ini sejalan dengan pendapat dari Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani

yang menyatakan bahwa ”sertifikat jaminan fidusia mempunyai kekuatan

eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh

(31)

jaminan fidusia dapat langsung melaksanakan proses eksekusi melalui pelelangan

umum atas objek jaminan fidusia tanpa melalui pengadilan.”46

Kekuatan eksekutorial atas sertifikat jaminan fidusia memberikan hak

kepada penerima jaminan fidusia untuk dapat mengeksekusi jaminan fidusianya

dengan syarat debitor atau pemberi jaminan fidusia tersebut telah melakukan cidera

janji (wanprestasi), dengan menjalankan cara yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.

Undang-Undang tentang Jaminan Fidusia juga memberi kemudahan dalam

melaksanakan eksekusi melalui lembaga parate eksekusi. Kemudahan dalam

pelaksanaan eksekusi ini tidak semata-mata merupakan monopoli jaminan fidusia,

karena di dalam hal gadai juga dikenal lembaga yang serupa.47

Pada Pasal 29 ayat (1), memberikan hak kepada penerima jaminan fidusia

untuk melakukan eksekusi dengan cara:48

1. Eksekusi Berdasarkan Titel Eksekutorial.

Titel eksekutorial seperti di atas mempunyai kekuatan yang sama dengan

putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

Karena dipersamakan dengan putusan pengadilan, maka prosedur dan tata

cara dari pelaksanaan eksekusi dilaksanakan sesuai dengan pelaksanaan dari

putusan pengadilan.

2. Eksekusi Berdasarkan Penjualan Benda Yang Menjadi Objek Jaminan

Fidusia Atas Kekuasaan Penerima Sendiri Melalui Pelelangan Umum.

46 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, op.cit, hlm. 158. 47 Ibid.,

(32)

Pelaksanaan eksekusi sesuai dengan ketentuan di atas dilandaskan pada

kekuasaan sendiri dari penerima jaminan fidusia yaitu dengan cara

melakukan parate eksekusi.

3. Penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan

pemberi dan penerima jaminan fidusia jika dengan cara demikian dapat

diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan para pihak.

Ketentuan penjualan di bawah tangan ini disediakan oleh pembuat

undang-undang agar antara pemberi dan penerima jaminan fidusia dapat

menentukan berdasarkan kesepakatan mereka dengan perkiraan akan

memperoleh harga yang lebih tinggi, dan menjual secara di bawah tangan.

Jadi pada prinsipnya adalah bahwa penjualan benda yang menjadi objek

jaminan fidusia haruslah melalui pelelangan umum, karena dengan cara ini

diharapkan dapat diperoleh harga yang paling tinggi. Namun demikian

dalam hal penjualan melalui pelelangan umum diperkirakan tidak akan

mengahasilkan harga tertinggi yang menguntungkan baik pemberi jaminan

fidusia ataupun penerima jaminan fidusia, maka dimungkinkan penjualan

di bawah tangan asalkan hal tersebut telah disepakati oleh pemberi

jaminan fidusia dan juga penerima jaminan fidusia dan syarat jangka

waktu pelaksanaan penjualan tersebut dipenuhi.

Khusus untuk point ketiga, pelaksanaan penjualan tersebut dilakukan

setelah waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pemberi

(33)

berkepentingan dan diumumkan sedikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar

di daerah yang bersangkutan.49

Di dalam surat kuasa perjanjian pembiayaan kendaraan bermotor berupa

mobil yang telah didaftarkan pada Kantor Wilayah Kementrian Hukum dan Ham

Sumatera Utara yang dilakukan oleh debitor dan PT Toyota Astra Financial selaku

kreditor, terdapat kekuatan eksekutorial jaminan kendaraan bermotor berupa mobil

tersebut terhadap pemegang jaminan fidusia.

Di dalam surat kuasa tersebut dikatakan bahwa kreditor berhak untuk

melakukan tindakan-tindakan yang telah disetujui oleh kedua belah pihak apabila

debitor lalai dalam melakukan salah satu ataupun seluruh kewajibannya sesuai

dengan perjanjian yang telah disepakati, yang meliputi:

1. Berhak mengambil secara langsung kendaraan bermotor tersebut yang

apabila diperlukan dapat menggunakan bantuan dari pihak Kepolisian

dan/atau pihak berwenang lainnya.

2. Kreditor diperbolehkan memasuki areal kantor, gudang, pabrik, areal parkir

ataupun tempat lain dimana barang tersebut berada. Dan hal tersebut tidak

akan dianggap sebagai memasuki tempat atau bangunan tanpa izin

huisvredeberuk” dan membuka setiap pintu gerbang, pintu, ataupun

pengikat dan melepaskan serta membongkar barang-barang lainnya dimana

barang tersebut berada dan secara fisik mengangkatnya. Dimana perbuatan

tersebut bukanlah suatu tindak pidana dan debitor bertanggung jawab atas

(34)

segala kerusakan pada tanah ataupun bangunan yang disebabkan proses

pelepasan tersebut.

3. Kreditor berhak untuk mengambil STNK, barang, ataupun dokumen lainnya

yang sehubungan dengan barang yang disimpan atau ada dalam kuasa dari

pihak debitor maupun pihak lain siapapun adanya dan membawanya ke

tempat yang dipandang baik oleh pihak kreditor.

4. Kreditor mendapatkan persetujuan untuk mengadakan pemblokiran atas

STNK atau BPKB serta mengurus dan menyelesaikan balik nama kendaraan

tersebut di atas guna kepentingan kreditor atas biaya dari pihak debitor.

5. Kreditor berhak untuk menjual kendaraan tersebut di atas pada pihak ketiga

atau siapapun adanya menurut cara dan harga yang dianggap patut oleh

kreditor tersebut, membayar ongkos pengambilan dan penjualan dari hasil

penjualan tersebut serta menggunakan sebagian atau seluruh hasil penjualan

bersih tersebut untuk pembayaran hutang dari pihak debitor kepada kreditor.

Berdasarkan isi dari contoh salah satu surat kuasa di atas, maka dapat

ditegaskan bahwa jaminan fidusia berupa bukti pemilikan kendaraan bermotor yang

telah didaftarkan memiliki kekuatan eksekutorial dan juga memberikan

perlindungan hukum terhadap pemegang jaminan fidusia.

Dalam hal ini, kreditor sebagai pemegang jaminan fidusia berhak untuk

melakukan eksekusi tanpa melalui proses pengadilan atas kendaraan bermotor yang

dimiliki oleh debitor (pemberi jaminan fidusia) apabila debitor tersebut lalai dalam

(35)

B. Proses Pelaksanaan Eksekusi Terhadap Jaminan Fidusia Bukti Pemilikan Kendaraan Bermotor Yang Telah Didaftarkan

Fidusia merupakan salah satu jenis jaminan hutang yang memiliki

unsur-unsur yang cepat, murah dan pasti. Dalam praktiknya hal tersebut banyak

dikeluhkan karena selama belum keluarnya Undang-Undang tentang Jaminan

Fidusia, tidak ada kejelasan mengenai bagaimana caranya mengeksekusi jaminan

fidusia tersebut. Sehingga banyak yang menafsirkan eksekusinya memakai

prosedur gugatan biasa, yaitu melalui pengadilan dengan prosedur biasa yang

panjang, mahal dan sangat melelahkan.50

Salah satu ciri dari jaminan hutang kebendaan yang baik adalah manakala

hak agunan tersebut dapat dieksekusi secara cepat dengan proses yang sederhana,

efisien dan mengandung kepastian hukum.51 Misalnya, ketentuan eksekusi jaminan

fidusia di Amerika Serikat yang memperbolehkan pihak kreditor mengambil sendiri

barang objek jaminan fidusia asalkan dapat menghindarkan pertengkaran atau

perkelahian. Barang tersebut dapat dijual di depan umum, atau dijual di bawah

tangan, asalkan dilakukan dengan itikad yang baik.52

Dalam praktiknya, proses pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia di bawah

tangan sangatlah jarang digunakan.53 Salah satu terobosan yang dilakukan oleh

Undang-Undang tentang Jaminan Fidusia ini adalah dengan mengambil pola

eksekusi hak tanggungan yang dikembangkan oleh Undang-Undang No. 4 Tahun

50 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, op. cit, hlm. 57. 51 Munir Fuady, op. cit, hlm. 57.

(36)

1996 tentang Hak Tanggungan, yaitu dengan mengatur eksekusi jaminan fidusia

secara bervariasi, sehingga para pihak dapat memilih model eksekusi yang

diinginkan.

Model-model eksekusi jaminan fidusia menurut Undang-Undang Nomor 42

Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia adalah sebagai berikut:54

1. Eksekusi Jaminan Fidusia Dengan Titel Eksekutorial.

Ada beberapa akta yang mempunyai titel eksekutorial yang disebut dengan

istilah grosse akta, yaitu : a. Akta Hipotek.

b. Akta Pengakuan Hutang.

c. Akta Hak Tanggungan (berdasarkan pada Undang-Undang No. 4

Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan).

d. Akta Fidusia (berdasarkan pada Undang-Undang No. 42 Tahun

1999 tentang Jaminan Fidusia).

Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata, setiap akta

yang mempunyai titel eksekutorial dapat dilakukan langsung proses

eksekusi. Akta ini dibuat dihadapan notaris di Indonesia yang kepalanya

berbunyi, ”Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Akta yang memiliki irah-irah tersebut berkekuatan sama dengan

suatu keputusan hakim dari pengadilan. Jadi berdasarkan titel eksekutorial

ini, penerima jaminan fidusia dapat langsung melaksanakan proses eksekusi

(37)

melalui pelelangan umum atas objek jaminan fidusia tanpa melalui proses

pengadilan.

Jika tidak ada jalan damai, maka surat yang demikian di eksekusi

dengan perintah dan di bawah pimpinan ketua Pengadilan Negeri yang

dalam daerah hukumnya tempat tinggal debitor itu atau tempat kedudukan

yang dipilihnya, yaitu menurut cara yang dinyatakan dalam pasal-pasal

sebelumnya. Tetapi dengan pengertian bahwa paksaan badan hanya boleh

dilakukan jika sudah diizinkan oleh keputusan hakim.

Dengan demikian, akta tersebut tinggal di eksekusi tanpa perlu lagi

adanya suatu putusan pengadilan. Yang dimaksud dengan fiat eksekusi

adalah eksekusi atas sebuah akta seperti mengeksekusi suatu putusan

pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, yakni dengan cara

menerima fiat dari Ketua Pengadilan, yaitu memohon penetapan untuk melaksanakan eksekusi. Maka Ketua Pengadilan akan memimpin eksekusi

tersebut.

2. Eksekusi Jaminan Fidusia Secara Parate Eksekusi Lewat Pelelangan

Umum.

Eksekusi jaminan fidusia dapat juga dilakukan dengan jalan melalui

lembaga parate eksekusi yaitu melalui lembaga pelelangan umum yaitu

kantor lelang. Dimana hasil dari pelelangan tersebut diambil untuk melunasi

pembayaran piutang-piutangnya.

Pasal 1155 angka 1 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

(38)

maka si berpiutang adalah berhak jika si berutang atau si pemberi gadai

cidera janji untuk membayar dan menyuruh menjual barangnya dimuka

umum menurut kebiasaan-kebiasaan setempat serta syarat-syarat yang

lazim berlaku, dengan maksud untuk mengambil pelunasan jumlah

piutangnya beserta bunga dan biaya dari pendapatan penjualan tersebut.”55

Pada prinsipnya bahwa penjualan benda yang menjadi objek

jaminan fidusia haruslah melalui pelelangan umum, karena dengan cara ini

diharapkan dapat diperoleh harga yang paling tinggi.

3. Eksekusi Jaminan Fidusia Secara Parate Eksekusi (Penjualan Dibawah

Tangan).

Jaminan fidusia dapat juga dieksekusi secara parate eksekusi

(mengeksekusi tanpa melalui pengadilan) dengan cara menjual benda objek

jaminan fidusia tersebut secara di bawah tangan, apabila penjualan melalui

pelelangan umum diperkirakan tidak akan menghasilkan harga tertinggi

yang menguntungkan kedua belah pihak baik pemberi jaminan fidusia

maupun penerima jaminan fidusia.

Penjualan di bawah tangan dapat dilakukan asalkan memenuhi

syarat-syarat yang terdapat di dalam Undang-Undang tentang Jaminan

Fidusia, yaitu:

a. Dilakukan berdasarkan kesepakatan antara pembeli dengan

penerima jaminan fidusia.

(39)

b. Jika dengan cara penjualan di bawah tangan tersebut dicapai harga

tertinggi yang menguntungkan para pihak.

c. Diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan atau penerima

jaminan fidusia kepada pihak-pihak yang berkepentingan.

d. Diumumkan dalam sedikit-dikitnya dua surat kabar yang beredar di

daerah yang bersangkutan.

e. Pelaksanaan penjualan dilakukan setelah lewat waktu 1 (satu) bulan

sejak diberitahukan secara tertulis.

Pemberi fidusia diwajibkan untuk menyerahkan benda yang menjadi

objek jaminan fidusia dalam rangka pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia.

Dalam hal pemberi jaminan fidusia tidak menyerahkan benda yang menjadi

objek jaminan fidusia tersebut pada waktu proses eksekusi dilaksanakan,

penerima jaminan fidusia berhak untuk mengambil benda yang menjadi

objek jaminan fidusia dan apabila perlu dapat meminta bantuan dari pihak

yang berwenang.

4. Eksekusi jaminan fidusia secara mendaku.

Istilah mendaku disini maksudnya adalah membuat menjadi aku

punya, sehingga yang dimaksud dengan eksekusi jaminan fidusia secara

mendaku adalah eksekusi jaminan fidusia dengan cara mengambil barang

fidusia untuk menjadi milik kreditor secara langsung tanpa melalui suatu

transaksi apa pun.56

(40)

Eksekusi jaminan fidusia secara mendaku ini dalam

Undang-Undang tentang Jaminan Fidusia dengan tegas dilarang. Hal ini tertera di

dalam Pasal 33 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan

Fidusia yang menyatakan bahwa ”setiap janji yang memberikan

kewenangan kepada penerima jaminan fidusia untuk memiliki benda yang

menjadi jaminan fidusia apabila debitor cidera janji akan batal demi

hukum.”57

Dalam proses pelaksanaan eksekusi terhadap jaminan fidusia bukti

pemilikan kendaraan bermotor yang telah didaftarkan, kreditor mendapatkan hak

preferen atas objek jaminan fidusia berupa kendaraan bermotor yang diterimanya.

Di dalam Undang-Undang tentang Jaminan Fidusia, dikatakan bahwa hak preferen

adalah hak dari penerima jaminan fidusia untuk mengambil pelunasan piutangnya

atas hasil eksekusi benda yang menjadi objek jaminan fidusia. Hak preferen

tersebut lahir pada saat pendaftaran jaminan fidusia dilakukan. Jadi selama jaminan

fidusia tidak didaftarkan pada Kantor Pendaftaran Fidusia, kreditor penerima

jaminan fidusia tidak memiliki hak preferen.

Kreditor dapat mengambil pelunasan piutangnya dengan cara melaksanakan

eksekusi yang dilakukan secara lelang atau penjualan di muka umum yang harus

dilakukan melalui prosedur yang telah ditentukan oleh Undang-Undang, dan setiap

prosedur yang dijalani membutuhkan waktu baik yang telah ditentukan oleh

(41)

ketentuan perundang-undangan ataupun tidak ditentukan di dalam ketentuan

perundang-undangan.

Selain dari proses pelaksanaan eksekusi yang dilakukan secara lelang atau

penjualan di muka umum, proses pelaksanaan eksekusi terhadap jaminan fidusia

bukti pemilikan kendaraan bermotor yang telah didaftarkan juga dapat dilakukan

dengan cara menjual kendaraan bermotor tersebut secara di bawah tangan. Hal ini

dilakukan apabila penjualan melalui lelang atau penjualan umum diperkirakan tidak

akan menghasilkan harga tinggi yang menguntungkan kedua belah pihak baik

pemberi jaminan fidusia maupun penerima jaminan fidusia.

C. Hambatan Dan Upaya Penyelesaian Dalam Proses Pelaksanaan Eksekusi Terhadap Jaminan Fidusia Bukti Pemilikan Kendaraan Bermotor Yang Telah Didaftarkan

Jika telah terjadi cidera janji (wanprestasi), pemberi jaminan fidusia wajib menyerahkan benda yang menjadi objek jaminan fidusia tersebut yaitu kendaraan

bermotor dalam rangka proses pelaksanaan eksekusi terhadap jaminan fidusia bukti

pemilikan kendaraan bermotor yang telah didaftarkan. Idealnya pada waktu akan

dilakukan proses eksekusi, objek jaminan fidusia yaitu kendaraan bermotor tersebut

sudah dikuasai oleh kreditor sebagai penerima jaminan fidusia tersebut.

Akan tetapi pada kenyataannya tidak jarang pada saat proses eksekusi akan

dilaksanakan, kreditor menemui banyak permasalahan. Permasalahan tersebut

(42)

penguasaan debitor. Oleh karena masih dikuasai objek jaminan tersebut,

masyarakat umumnya menganggap benda jaminan tersebut adalah miliknya.

Secara umum hambatan-hambatan yang dihadapi dalam proses pelaksanaan

eksekusi jaminan fidusia adalah:

1. Objek Jaminan Fidusia Tidak Diserahkan Oleh Debitor.

Apabila dalam hal terjadi cidera janji (wanprestasi), debitor tidak mau menyerahkan objek jaminan fidusia yaitu kendaraan bermotor dan

menghalang-halangi pengambilan kendaraan bermotor, sedangkan pada

Pasal 30 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia

telah ditentukan bahwa pemberi jaminan fidusia wajib menyerahkan benda

yang menjadi objek jaminan fidusia yaitu kendaraan bermotor namun tidak

menyerahkan kendaraan bermotor pada waktu proses eksekusi

dilaksanakan, penerima jaminan fidusia berhak mengambil kendaraan

bermotor tersebut. Apabila perlu dapat meminta bantuan dari pihak yang

berwenang, dalam hal ini aparat Kepolisian dengan cara mengajukan

permohonan permintaan tertulis dan melampirkan dokumen (foto copy

sertifikat jaminan bukti pemilikan kendaraan bermotor). Perlu sekali adanya

sanksi yang tegas yang harus ditetapkan di dalam Undang-Undang apabila

debitor tidak mau menyerahkan kendaraan bermotor tersebut.

2. Terhadap Objek Jaminan Fidusia, Persediaan Barang Saat Dieksekusi

Objeknya Tidak Ada.

Pemberi jaminan fidusia dalam jangka waktu tertentu atau setiap waktu

(43)

terperinci kepada penerima jaminan fidusia tentang adanya serta keadaan

dari objek jaminan fidusia yaitu kendaraan bermotor dan juga perubahannya

disertai dengan bukti yang sah. Daftar rincian dan laporan tersebut

merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari akta jaminan fidusia. Benda

persediaan atau stock barang yang dijadikan objek jaminan fidusia yaitu

kendaraan bermotor tersebut biasanya diasuransikan oleh pemberi jaminan

fidusia untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan, seperti: bahaya

kebakaran dan kehilangan. Semua premi asuransi harus ditanggung dan

dibayar oleh pemberi jaminan fidusia kendaraan bermotor tersebut.

3. Objek Jaminan Fidusia Telah Beralih Pada Pihak Ketiga.

Objek jaminan fidusia yaitu kendaraan bermotor beralih ke pihak ketiga

dapat dilakukan dengan cara jual beli, tukar menukar dan lain-lain.

Umumnya hal ini terjadi terhadap objek jaminan fidusia berupa barang

bergerak seperti kendaraan bermotor ini.

Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang tentang Jaminan Fidusia secara tegas

melarang pemberi jaminan fidusia untuk mengalihkan, menggadaikan

ataupun menyewakan kepada pihak lain benda yang menjadi objek jaminan

fidusia yang tidak merupakan benda persediaan, kecuali dengan persetujuan

tertulis dari penerima jaminan fidusia. Perlindungan kepentingan kreditor

terhadap kemungkinan penyalahgunaan debitor atau pemberi jaminan

fidusia dengan ketentuan pidana Pasal 36 Undang-Undang tentang Jaminan

Fidusia diancam pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling

(44)

4. Nilai Objek Jaminan Fidusia Berubah.

Kendaraan bermotor sebelum ditetapkan sebagai jaminan fidusia harus

dinilai terlebih dahulu kelayakannya. Sebagaimana penilaian yang

seharusnya diikuti, terhadap barang bergerak juga harus dinilai dari segi

hukum, segi ekonomi, dan ditetapkan nilai taksasinya yang wajar dengan

memperhatikan margin pengaman yang ditetapkan untuk masing-masing

jenis barang bergerak.

Harga dari objek jaminan fidusia berupa kendaraan bermotor tersebut selalu

berubah-ubah dari saat awal penjamin karena objek jaminan fidusia

mengalami penyusutan (depresiasi), sehingga nilainya setelah dieksekusi menjadi kurang ketika dilakukan pembayaran utang kepada kreditor.

Apabila hasil dari eksekusi objek jaminan fidusia oleh kreditor tidak

mencukupi dalam pembayaran pinjaman kepada kreditor, maka debitor

tetap bertanggung jawab atas hutang yang belum terbayar tersebut.

5. Mahalnya Biaya Lelang Dan Penyelenggaraan Lelang.

Dalam hal parate eksekusi dilakukan melalui lembaga lelang, beberapa

faktor penghambat yang menimbulkan masalah dalam pelaksanaan tugas ini

yaitu adanya komisi. Prosedur yang wajib ditempuh ketika akan melakukan

lelang eksekusi adalah pengumuman lelang, pemberian prioritas (hak

didahulukan) dan penentuan pemohon lelang atau pemimpin lelang, dan

(45)

dikenakan bea lelang dan penyelenggaraan lelang. Peraturan lelang

menetapkan persen yang lebih tinggi untuk bea lelang barang bergerak

seperti kendaraan bermotor dibandingkan dengan persenan bea lelang untuk

barang tidak bergerak. Hal ini disebabkan karena biasanya barang tidak

bergerak harganya lebih mahal dari pada barang bergerak seperti kendaraan

bermotor tersebut. Biaya penyelenggaraan lelang lainnya yang biasanya

memberatkan debitor adalah biaya iklan di surat kabar. Biaya iklan ini

dibebankan kepada debitor sebagai pemilik objek jaminan fidusia

kendaraan bermotor tersebut.

Dalam menghadapi hambatan-hambatan dalam proses pelaksanaan

eksekusi terhadap jaminan fidusia bukti pemilikan kendaraan bermotor yang telah

didaftarkan, terdapat upaya-upaya dalam penyelesaiannya. Antara lain:

1. Kreditor harus menguasai objek jaminan fidusia yaitu kendaraan bermotor

tersebut. Dalam hal ini debitor sebagai pemberi jaminan fidusia kendaraan

bermotor tersebut harus menyerahkan kendaraan bermotor tersebut kepada

kreditor. Apabila kendaraan bermotor yang dijadikan sebagai objek jaminan

fidusia digunakan oleh debitor, maka debitor harus menyerahkan bukti

pemilikan kendaraan bermotor tersebut kepada kreditor. Hal ini untuk

menghindari kemungkinan terjadinya masalah dalam proses

pengeksekusian apabila debitor lalai dalam melaksanakan kewajibannya.

2. Pemberi jaminan fidusia dalam jangka waktu tertentu atau setiap waktu

harus memberikan laporan tertulis secara terperinci kepada penerima

(46)

jaminan fidusia yaitu kendaraan bermotor tersebut dan juga perubahan yang

mungkin terjadi disertai dengan bukti yang sah. Hal ini penting untuk

dilakukan agar kreditor mengetahui keadaan dan kemungkinan terjadinya

perubahan dari kendaraan bermotor yang dijadikan objek jaminan fidusia

tersebut. Hal ini dilakukan untuk menghindari kemungkinan terjadinya

kesalahpahaman antara kreditor dan debitor pada saat proses pelaksanaan

eksekusi yang mungkin terjadi atas kendaraan bermotor tersebut.

3. Kendaraan bermotor yang dijadikan sebagai objek jaminan fidusia antara

kreditor dan debitor tidaklah boleh beralih tangan kepada pihak ketiga.

Dalam hal ini kendaraan bermotor tersebut tidak boleh dijual, disewakan

ataupun ditukar dengan kendaraan bermotor yang lain tanpa persetujuan

dari kreditor tersebut. Hal ini dikarenakan kreditor adalah pemilik dari

kendaraan bermotor yang dijadikan sebagai objek jaminan fidusia selama

debitor masih memiliki hutang kepada kreditor tersebut.

4. Kendaraan bermotor sebelum ditetapkan sebagai objek jaminan fidusia

antara kreditor dan debitor harus dinilai terlebih dahulu kelayakannya.

Kendaraan bermotor ini harus dinilai terlebih dahulu dari segi hukum, segi

ekonomi, dan ditetapkan nilai taksasinya yang wajar dengan memperhatikan

margin pengaman yang ditetapkan untuk masing-masing jenis barang

bergerak. Hal ini dikarenakan harga dari objek jaminan fidusia berupa

kendaraan bermotor tersebut selalu berubah-ubah dari saat awal penjamin

(47)

nilainya setelah dieksekusi menjadi kurang ketika akan dilakukan

pembayaran utang kepada kreditor.

5. Proses pelaksanaan eksekusi melalui cara lelang atau penjualan umum

sangat merugikan pihak debitor. Hal ini dikarenakan melalui cara lelang

atau penjualan umum tersebut, memakan proses yang sangat lama dan juga

biaya yang banyak atas pelaksanaannya. Dan semua biaya-biaya atas

pelaksanaan lelang atau penjualan umum tersebut harus ditanggung oleh

pihak debitor, maka itulah pelaksanaan dari lelang atau penjualan umum ini

sangat merugikan pihak debitor. Untuk menghindari kerugian-kerugian

yang diderita atas pelaksanaan lelang atau penjualan umum tersebut, maka

antara pihak kreditor dan juga pihak debitor dapat mengambil kesepakatan

untuk menjual kendaraan bermotor tersebut di bawah tangan. Hal ini boleh

saja dilakukan apabila kedua belah pihak sepakat melaksanakannya dan

keuntungan yang diperoleh juga jauh lebih tinggi dari pada melalui proses

(48)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya,

maka pada bab ini akan diuraikan beberapa kesimpulan terhadap penjelasan dan

pemahaman teori maupun hasil dari penelitian yang telah dilakukan. Adapun

kesimpulan tersebut antara lain:

1. Di dalam surat kuasa perjanjian pembiayaan kendaraan bermotor berupa

mobil yang telah didaftarkan pada Kantor Wilayah Kementrian Hukum dan

Ham Sumatera Utara yang dilakukan oleh debitor dan PT Toyota Astra

Financial selaku kreditor, terdapat kekuatan eksekutorial jaminan kendaraan

bermotor berupa mobil tersebut terhadap pemegang jaminan fidusia. Di

dalam surat kuasa tersebut dikatakan bahwa kreditor berhak untuk

melakukan tindakan-tindakan yang telah disetujui oleh kedua belah pihak

apabila debitor lalai dalam melakukan salah satu ataupun seluruh

kewajibannya sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati, yang

meliputi:

a. Berhak mengambil secara langsung kendaraan bermotor tersebut

yang apabila diperlukan dapat menggunakan bantuan dari pihak

Kepolisian dan/atau pihak berwenang lainnya.

b. Kreditor diperbolehkan memasuki areal kantor, gudang, pabrik,

Referensi

Dokumen terkait

Terjadi perbedaan yang sangat menonjol antara hasil Location Quotient (LQ) dengan hasil analisis Dinamic Location Quotien , karena hanya tiga sektor yang dinyatakan

Antara isu dan kekangan-kekangan yang dikenalpasti dalam merealisasikan pembangunan tenaga kerja mahir bagi menyumbang ke arah menjadikan Malaysia sebagai sebuah

Dari uraian di atas nampak bahwa si- aran televisi, internet, buku digital, buku audio adalah berbagai media yang ber- basis TIK yang dapat dimanfaatkan un- tuk meningkatkan

Kepadatan arus pergerakan kendaraan dan manusia di sepanjang kawasan Pasar Pembangunan Kota Pangkalpinang kurang ditunjang dengan fasilitas pendukung yang memadai,

(1)Apabila Wajib Retribusi tidak membayar, atau kurang membayar retribusi terutang sampai saat jatuh tempo pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2),

PERBANDINGAN EKSPRESI TLR2/1, NF- к B p105/50, NF- к B p65 DAN TNF-  PADA MAKROFAG PENDERITA ERITEMA NODUSUM LEPROSUM DENGAN KUSTA.. MULTIBASILER SEBAGAI TANDA AKTIVITAS

Berdasarkan fenomena di lapangan menunjukkan bahwa pelaku pengusaha jasa laundry kiloan belum memahami tentang pencatatan akuntansi yang baik dan benar, mereka menganggap

zatvaranja financijskih konstrukcija. Filmovi se snimaju pod traumatskim financijskim uvjetima, pod pritiskom i sa štednjama koja izravno utječu na smanjenu tehničku i