DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-Buku
Ali, Zainuddin. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
Aten Affandi dan Wahyu Affandi. Tentang Melaksanakan Putusan Hakim Perdata. Bandung: Alumni, 1983.
Bachir, Djazuli. Eksekusi Putusan Perkara Perdata : Segi Hukum Dan Penegakan Hukum. Jakarta: Akademika Pressindo, 2008.
Djais, Mochammad. Hukum Eksekusi Sebagai Wacana Baru Dibidang Hukum. Semarang: Fakultas Hukum Universitas Dipenogoro, 2000.
Fuady, Munir. Jaminan Fidusia. Bandung: Citra Aditya, 2000.
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani. Jaminan Fidusia. Jakarta: Grafindo Persada, 2000.
Harahap, M.Yahya. Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata. Jakarta: Gramedia, 1998.
Mertokusumo, Sudikno. Hukum Acara Perdata Indonesia. Jogjakarta: Liberty, 1989.
Purwahid Patrick dan Kashadi. Hukum Jaminan Fidusia. Semarang: Fakultas Hukum Universitas Dipenogoro, 2008.
Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata. Hukum Acara Perdata Dalam Teori Dan Praktek. Bandung: Mandar Maju, 1997.
Salim, H.S Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007.
Satrio, J. Hukum Jaminan Hak-Hak Kebendaan. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia, 2005.
B. Skripsi
Tampubolon, Leo Tuah. Suatu Tinjauan Mengenai Pelaksanaan Sita Eksekutorial Yang Dilakukan Oleh Pengadilan Negeri. Universitas Sumatera Utara: Program Sarjana Fakultas Hukum, 2000.
Siregar, Dian Puspita Sari. Hak Eksekutorial Kreditur Preferen Dalam Kepailitan Debitor. Universitas Sumatera Utara: Program Sarjana Fakultas Hukum, 2008.
D. Undang-Undang dan Peraturan Pelaksanaan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijke Wetboek).
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria.
BAB III
TINJAUAN UMUM TENTANG EKSEKUTORIAL
A. Pengertian Eksekusi
Kata eksekusi berasal dari bahasa asing yang diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia, yang artinya adalah pelaksanaan. Dalam bahasa Inggris, eksekusi
dikenal dengan eksecutie. Dan dalam bahasa Belanda, eksekusi disebut dengan
uitvoering.
Pengertian eksekusi sama dengan pengertian “menjalankan putusan” (ten uitvoer legging van vonnissen), yakni melaksanakan “secara paksa” putusan pengadilan dengan bantuan kekuatan hukum apabila pihak yang telah kalah
(tereksekusi atau pihak tergugat) tidak mau menjalankannya secara sukarela.
Dengan kata lain, eksekusi (pelaksanaan putusan) adalah tindakan yang dilakukan
secara paksa terhadap pihak yang telah kalah dalam perkara.28
Eksekusi merupakan pelaksanaan dari suatu putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap (in kracht van gewijsde) yang dijalankan secara paksa oleh karena pihak yang telah kalah dalam perkara tidak mau mematuhi
pelaksanaan acara putusan pengadilan.
Dalam Pasal 207 RBG, dikatakan bahwa: “Hal menjalankan putusan
Pengadilan Negeri dalam perkara yang pada tingkat pertama diperiksa oleh
Pengadilan Negeri adalah atas perintah dan tugas pimpinan Ketua Pengadilan
Negeri yang pada tingkat pertama memeriksa perkara itu menurut cara yang telah
diatur.”
Eksekusi adalah tindakan paksa yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri
terhadap pihak yang telah kalah dalam perkara supaya pihak yang kalah dalam
perkara menjalankan Amar Putusan Pengadilan sebagaimana mestinya.29
Eksekusi dapat dijalankan oleh Ketua Pengadilan Negeri apabila terlebih dahulu
ada permohonan dari pihak yang telah menang dalam perkara kepada Ketua
Pengadilan Negeri agar putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum
yang tetap dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Sebelum menjalankan eksekusi putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum yang tetap, maka Ketua Pengadilan Negeri melakukan teguran
(aanmaning) kepada pihak yang telah kalah dalam perkara agar dalam waktu 8 (delapan) hari sesudah Ketua Pengadilan Negeri melakukan teguran (aanmaning) maka pihak yang telah kalah dalam perkara harus mematuhi Amar Putusan
Pengadilan tersebut.
Apabila telah lewat 8 (delapan) hari ternyata pihak yang telah kalah dalam
perkara tidak mau melaksanakan putusan pengadilan tersebut, maka Ketua
Pengadilan Negeri dapat memerintah Panitera atau Jurusita Pengadilan Negeri
untuk melaksanakan sita eksekusi atas objek yang terperkara dan kemudian dapat
meminta bantuan alat-alat negara seperti Kepolisian untuk membantu pengamanan
dalam hal pelaksanaan proses eksekusi tersebut.
Menurut pendapat M. Yahya Harahap dalam bukunya “Ruang Lingkup
Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata”, eksekusi merupakan suatu tindakan
hukum yang dilakukan oleh pengadilan kepada pihak yang telah kalah dalam suatu
perkara, merupakan suatu aturan dan tata lanjutan di dalam proses pemeriksaan
perkara. Oleh karena itu eksekusi tiada berkesinambungan dari seluruh proses
hukum acara perdata”.30
Menurut R. Subekti, eksekusi adalah upaya dari pihak yang dimenangkan
dalam putusan guna mendapatkan apa yang telah menjadi haknya dengan bantuan
kekuatan hukum dan memaksa pihak yang dikalahkan untuk melaksanakan
putusan.31
Lebih lanjut dikemukakan bahwa pengertian eksekusi atau pelaksanaan
putusan mengandung arti bahwa pihak yang dikalahkan tidak mau melaksanakan
putusan tersebut secara sukarela, sehingga putusan itu harus dipaksakan kepadanya
dengan bantuan kekuatan hukum. Dengan bantuan kekuatan hukum ini
dimaksudkan pada angkatan bersenjata.32
Sejalan dengan kedua pendapat di atas, dapat dilihat pendapat dari Sudikno
Mertokusumo yang menyatakan bahwa eksekusi ialah realisasi dari kewajiban
pihak yang bersangkutan untuk memenuhi prestasi yang tercantum dalam putusan
tersebut.33
30 Ibid., hlm. 1.
31 Subekti, Huk um Acara Perdata, (Bandung: Bina Cipta, 1989), hlm.128. 32 Ibid, hlm. 130.
Pendapat yang sama dikemukakan juga oleh Retnowulan Sutantio dan
Iskandar Oeripkartawinata yang menyatakan bahwa eksekusi adalah tindakan
paksaan oleh pengadilan terhadap pihak yang telah kalah dan tidak mau
melaksanakan putusan dengan sukarela.34
Berdasarkan pendapat dari para pakar hukum di atas, dapat dijelaskan
bahwa eksekusi diartikan sebagai upaya untuk merealisasikan kewajiban dari pihak
yang telah kalah dalam perkara guna memenuhi prestasi sebagaimana yang telah
ditentukan dalam putusan hakim, melalui perantaraan Panitera atau Jurusita atau
Jurusita Pengganti pada Pengadilan tingkat pertama dengan cara paksa karena tidak
dilaksanakannya secara sukarela. Pelaksanaan putusan hakim tersebut merupakan
proses terakhir dari proses penyelesaian perkara perdata dan pidana yang sekaligus
juga merupakan prestise dari lembaga peradilan itu sendiri.
Sementara itu di dalam Pasal 29 Undang-undang Nomor 42 tahun 1999
tentang Jaminan Fidusia, dikatakan bahwa “eksekusi adalah pelaksanaan titel
eksekutorial oleh penerima fidusia, berarti eksekusi langsung dapat dilaksanakan
tanpa melalui pengadilan dan bersifat final serta mengikat para pihak untuk
melaksanakan putusan tersebut.”35
Jika bertitik tolak pada title keempat Rbg, maka pengertian eksekusi itu
sama dengan pengertian menjalankan putusan pengadilan yang tidak lain adalah
melaksanakan isi dari segala putusan pengadilan yakni melaksanakan secara paksa
putusan pengadilan yang telah ditetapkan dengan bantuan kekuatan umum
34 Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Huk um Acara Perdata Dalam Teori dan Prak tek, (Bandung: Mandar Maju, 1997), hlm 10.
bila pihak yang telah kalah dalam pengadilan (pihak tereksekusi atau pihak
tergugat) tidak mau menjalankan secara sukarela.36
Hukum eksekusi sebenarnya tidak diperlukan apabila yang dikalahkan di
dalam pengadilan dengan sukarela mentaati bunyi putusan dari pengadilan tersebut.
Akan tetapi dalam kenyataannya, tidak semua pihak mentaati bunyi putusan dengan
sepenuhnya. Oleh karena itu, diperlukan suatu aturan bila putusan itu tidak ditaati
dan bagaimana tata cara pelaksanaannya.
Bila melihat pengertian eksekusi di atas, tampak bahwa pengertian eksekusi
terbatas pada eksekusi oleh pengadilan (putusan hakim). Padahal yang juga dapat
dieksekusi menurut hukum acara perdata yang berlaku di dalam Rbg yang juga
dapat dieksekusi adalah salinan atau grosse akta yang memuat irah-irah “Demi
Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” yang berisi kewajiban untuk
membayar sejumlah uang.37
Pendapat mengenai pengertian eksekusi yang lebih luas juga dikemukakan
oleh Mochammad Dja’is yang menyatakan bahwa: “eksekusi adalah upaya dari
kreditur untuk merealisasi hak secara paksa dikarenakan debitur tidak mau secara
sukarela memenuhi kewajibannya. Dengan demikian, eksekusi merupakan bagian
dari proses penyelesaian sengketa hukum. Menurut pandangan hukum eksekusi,
objek eksekusi tidak hanya putusan hakim dan grosse akta saja.38
36 M. Yahya Harahap, op.cit, hlm. 5.
37 Aten Affandi dan Wahyu Affandi, Tentang Melak sanak an Putusan Hak im Perdata, (Bandung: Alumni, 1983), hlm. 32.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pengertian eksekusi
dalam perkara perdata adalah upaya kreditur untuk merealisasikan haknya secara
paksa jika debitur tidak secara sukarela memenuhi kewajibannya yang tidak hanya
putusan hakim saja, tetapi juga pelaksanaan grosse akta serta pelaksanaan putusan
dari institusi yang berwenang atau bahkan kreditur secara langsung.
B. Jenis-Jenis Eksekusi
Pada dasarnya ada 2 bentuk eksekusi ditinjau dari sasaran yang hendak
dicapai oleh hubungan hukum yang tercantum dalam putusan pengadilan, yaitu
melakukan suatu tindakan nyata atau tindakan riil yang disebut dengan eksekusi
riil, dan melakukan pembayaran sejumlah uang yang disebut dengan eksekusi
pembayaran uang.39
Menurut M. Yahya Harahap, ada 2 jenis dari eksekusi yaitu:40
1. Eksekusi Riil.
Eksekusi riil adalah eksekusi yang menghukum kepada pihak yang kalah
dalam perkara untuk melakukan suatu perbuatan tertentu. Misalnya:
menyerahkan barang, mengosongkan tanah atau bangunan, membongkar,
menghentikan suatu perbuatan tertentu dan lain-lain sejenis itu. Eksekusi ini
dapat dilakukan secara langsung (dengan perbuatan nyata) sesuai dengan
amar putusan tanpa melalui proses pelelangan.
Apabila orang yang dihukum itu tidak mau memenuhi surat perintah hakim
untuk mengosongkan benda tetap itu, maka hakim akan merintahkan kepada
Jurusita dengan bantuan Panitera pengadilan untuk mengosongkannya. Jika
perlu dengan bantuan alat hukum negara, agar barang tetap itu dikosongkan
oleh orang yang dihukum beserta keluarganya.
2. Eksekusi Pembayaran Sejumlah Uang.
Eksekusi pembayaran sejumlah uang adalah eksekusi yang mengharuskan
kepada pihak yang kalah untuk melakukan pembayaran sejumlah uang
(terdapat pada Pasal 208 R.Bg).
Eksekusi ini adalah kebalikan dari eksekusi riil dimana pada eksekusi
bentuk kedua ini tidaklah dapat dilakukan secara langsung sesuai dengan
amar putusan seperti pada eksekusi riil, melainkan haruslah melalui proses
pelelangan terlebih dahulu dikarenakan yang akan dieksekusi adalah
sesuatu yang bernilai uang.
Apabila seseorang enggan untuk dengan sukarela memenuhi bunyi putusan
dimana ia dihukum untuk membayar sejumlah uang, maka sebelum putusan
dijatuhkan telah dilakukan sita jaminan, maka setelah sita jaminan itu
dinyatakan sah dan berharga menjadi sita eksekutorial, kemudian eksekusi
dilakukan dengan cara melelang barang milik orang yang dikalahkan.
Sehingga mencukupi jumlah yang harus dibayar menurut putusan hakim,
ditambah biaya sehubungan dengan pelaksanaan putusan tersebut.41
Berdasarkan obyeknya, eksekusi dapat dibedakan menjadi :
1. Eksekusi Putusan Hakim.
2. Eksekusi Benda Jaminan.
3. Eksekusi Grosse Akta.
4. Eksekusi terhadap sesuatu yang mengganggu hak dan kewajiban.
5. Eksekusi Surat Peryataan bersama.
6. Eksekusi Surat Paksa.
Berdasarkan prosedurnya, dapat dibedakan menjadi:
1. Eksekusi putusan hakim yang menghukum pihak yang dikalahkan untuk
membayar sejumlah uang.
2. Eksekusi Riil, dapat dibedakan menjadi :
a. Eksekusi Riil terhadap putusan hakim untuk mengosongkan suatu
benda tetap dan menyerahkan kepada yang berhak.
b. Eksekusi Riil terhadap obyek lelang.
Eksekusi Riil berdasarkan Undang-undang, diatur dalam di pasal
666 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
c. Eksekusi Riil berdasarkan perjanjian.
Perjanjian dengan kuasa dan perjanjian dengan penegasan terhadap
piutang sebagai jaminan dan benda miliknya sendiri.
3. Eksekusi putusan yang menghukum orang untuk melakukan perbuatan,
mengingat dalam perkara perdata tidak boleh dilakukan siksaan badan.
Maka eksekusi ini perbuatan yang harus dilakukan dapat dinilai dengan
4. Eksekusi dengan pertolongan hakim, yaitu eksekusi atas grosse akta.
5. Pareta eksekusi atau eksekusi langsung.
6. Eksekusi dengan penjualan dibawah tangan, yang dimaksud disini adalah
eksekusi dilakukan dengan penjualan dibawah tangan sebagaimana telah
diperjanjikan sebelumnya.
7. Penjualan di pasar atau bursa.
Dalam hal obyek jaminan gadai atau fidusia adalah barang perdagangan
atau efek yang dapat diperdagangkan atau dijual dipasar atau bursa, maka
jika debitor wanprestasi, maka pihak kreditor pemegang gadai fidusia dapat menjual obyek jaminan gadai atau fidusia dipasar bursa. Terdapat pada
Pasal 1155 (2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dan Pasal 31
Undang-Undang tentang Jaminan Fidusia yaitu Undang-Undang Nomor 42
Tahun 1999.
8. Eksekusi berdasarkan ijin hakim.
Eksekusi berdasarkan ijin hakim. Dalam hal debitor wanprestasi, pemegang
gadai dapat mengajukan permohonan kepada hakim untuk menentukan cara
penjualan obyek gadai atau menentukan suatu jumlah uang tertentu sebagai
harga barang yang harus dibayar oleh penerima gadai kepada pemberi gadai,
selanjutnya obyek gadai pemberi gadai, selanjutnya obyek gadai menjadi
milik penerima gadai sesuai dengan Pasal 1156 Kitab Undang-Undang
Menurut Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, pembagian
jenis eksekusi meliputi:42
1. Eksekusi pembayaran sejumlah uang.
2. Eksekusi yang menghukum seseorang melakukan sesuatu perbuatan.
3. Eksekusi Riil yang dalam praktek banyak dilakukan tetapi tidak diatur di
dalam peraturan perundang-undangan.
Sudikno Mertokusumo juga mengemukakan jenis-jenis eksekusi sebagai
berikut:43
1. Eksekusi putusan yang menghukum untuk membayar sejumlah uang. Diatur
di dalam Pasal 208 Rbg.
2. Eksekusi putusan yang menghukum orang untuk melakukan atau tidak
melakukan suatu perbuatan. Diatur di dalam Pasal 259 Rbg.
Pasal tersebut mengatur pelaksanaan putusan hakim yang telah ditetapkan
dimana seseorang dihukum untuk melakukan suatu perbuatan dan wajib
untuk dilakukannya. Misalnya: memperbaiki pagar, pekarangan rumah serta
saluran air yang telah dirusak olehnya, memasang kembali pipa gas yang
karena kesalahannya untuk telah diangkat dan lain sebagainya. Perbuatan
semacam itu tidak dapat dilaksanakan dengan cara paksa. Seandainyapun
ada penghukuman uang paksa untuk tiap hari keterlambatan memperbaiki
misalnya, tergugat dihukum untuk membayar uang paksa sebesar Rp. 1000,-
apabila tergugat tidak mau membayarnya, maka ia tidak dapat dipaksakan
untuk melakukannya.
Tidak dapat misalnya tergugat telah dibawa ke kantor polisi untuk ditahan,
tidak dapat misalnya disuruh untuk mengerjakan apa yang ia harus kerjakan
itu dengan ditodong atau ditunggu atau diawasi oleh pihak yang berwajib.44
3. Eksekusi Riil, yaitu pelaksanaan putusan hakim yang memerintahkan untuk
melakukan pengosongan benda tetap. Telah diatur di dalam Pasal 1033 RV.
Dalam pelaksanaan eksekusi tersebut, ada beberapa proses tahapan yang
harus dilewati, antara lain:
1. Eksekusi Riil
Menjalankan eksekusi riil adalah merupakan tindakan nyata yang dilakukan
secara langsung guna melaksanakan apa yang telah dihukumkan dalam
amar putusan, dengan tahapan:
a. Adanya permohonan dari penggugat (pemohon eksekusi) kepada
Ketua Pengadilan (Terdapat pada Pasal 207 ayat (1) R.Bg).
b. Adanya peringatan (aanmaning) dari Ketua Pengadilan kepada termohon eksekusi agar ianya dalam waktu yang telah ditentukan
berdasarkan putusan pengadilan yang tetap yaitu tidak lebih dari 8
(delapan) hari dari sejak aanmaning dilakukan, melaksanakan isi putusan tersebut secara sukarela (Terdapat pada Pasal 207 ayat (2)
R.Bg), dengan cara:
1) Melakukan pemanggilan terhadap termohon eksekusi
dengan menentukan hari, tanggal, jam dan tempat.
2) Memberikan peringatan (jika ia datang), yaitu dengan cara:
a) Dilakukan dalam sidang insidentil yang dihadiri
Ketua Pengadilan, Panitera dan termohon eksekusi.
b) Dalam sidang tersebut diberikan peringatan atau
teguran agar termohon eksekusi dalam waktu 8
(delapan) hari untuk melaksanakan isi putusan
tersebut.
c) Membuat berita acara sidang insidentil (aanmaning), yang mencatat peristiwa yang terjadi dalam
persidangan tersebut.
d) Berita acara sidang aanmaning tersebut akan dijadikan bukti bahwa kepada termohon eksekusi
telah dilakukan peringatan atau teguran untuk
melaksanakan amar putusan secara sukarela, yang
selanjutnya akan dijadikan dasar dalam
mengeluarkan perintah eksekusi.
Apabila setelah dipanggil secara patut, termohon eksekusi ternyata
tidak hadir dan ketidak hadirannya disebabkan oleh halangan yang
sah (dapat dipertanggung jawabkan), maka ketidak hadirannya
masih dapat dibenarkan dan ianya harus dipanggil kembali untuk di
Akan tetapi apabila ketidak hadirannya itu tidak ternyata adanya
alasan yang sah (tidak dapat dipertanggung jawabkan), maka
termohon eksekusi harus menerima akibatnya, yaitu hilangnya hak
untuk dipanggil kembali dan hak untuk di aanmaning serta Ketua Pengadilan terhitung sejak termohon eksekusi tidak memenuhi
panggilan tersebut, dapat langsung mengeluarkan surat penetapan
(beschikking) tentang perintah menjalankan eksekusi.
c. Setelah tenggang waktu 8 (delapan) hari ternyata termohon eksekusi
masih tetap tidak bersedia melaksanakan isi putusan tersebut secara
sukarela, maka ketua pengadilan mengeluarkan penetapan dengan
mengabulkan permohonan pemohon eksekusi dengan disertai surat
perintah eksekusi, dengan ketentuan:
1) Berbentuk tertulis berupa penetapan (beschikking).
2) Ditujukan kepada Panitera atau Jurusita ataupun Jurusita
Pengganti.
3) Berisi perintah agar menjalankan eksekusi sesuai dengan
amar putusan.
d. Setelah menerima perintah menjalankan eksekusi dari Ketua
Pengadilan, maka Panitera atau Jurusita atau Jurusita Pengganti
merencanakan atau menentukan waktu serta memberitahukan
tentang eksekusi kepada termohon eksekusi, Kepala Desa, Lurah,
e. Proses selanjutnya, pada waktu yang telah ditentukan, Panitera atau
Jurusita atau Jurusita Pengganti langsung ke lapangan guna
melaksanakan eksekusi dengan ketentuan:
1) Eksekusi dilaksanakan oleh Panitera atau Jurusita atau
Jurusita Pengganti (Terdapat pada Pasal 209 ayat 1 R.Bg.
2) Eksekusi dibantu oleh 2 (dua) orang saksi (Terdapat pada
Pasal 200 R.Bg), dengan syarat-syarat:
a) Warga Negara Indonesia.
b) Berusia minimal 21 Tahun.
c) Dapat Dipercaya.
3) Eksekusi dijalankan di tempat dimana barang (obyek) itu
berada.
4) Membuat berita acara eksekusi, dengan ketentuan memuat:
a) Waktu (hari, tanggal, bulan, tahun dan jam)
pelaksanaan.
b) Jenis, letak, ukuran dari barang yang dieksekusi.
c) Tentang kehadiran termohon eksekusi.
d) Tentang pengawas barang (obyek) yang dieksekusi.
e) Penjelasan tentang Niet Bevinding (barang atau obyek yang tidak diketemukan atau tidak sesuai
dengan amar putusan).
f) Penjelasan tentang dapat atau tidaknya eksekusi
g) Keterangan tentang penyerahan barang (obyek)
kepada pemohon eksekusi.
h) Tanda tangan Panitera atau Jurusita atau Jurusita
Pengganti (eksekutor), 2 (dua) orang saksi yang
membantu menjalankan eksekusi. Kepala Desa,
Lurah, atau Camat dan termohon eksekusi itu sendiri.
Untuk tanda tangan Kepala Desa atau Lurah atau
Camat dan termohon eksekusi tidaklah merupakan
keharusan. Artinya tidaklah mengakibatkan tidak
sahnya eksekusi, akan tetapi akan lebih baik jika
mereka turut tanda tangan guna menghindari hal-hal
yang tidak diingini.
5) Memberitahukan isi berita acara eksekusi kepada termohon
eksekusi (Terdapat pada Pasal 209 R.Bg), yang dilakukan
ditempat dimana eksekusi dijalankan (jika termohon
eksekusi hadir pada saat eksekusi dijalankan), atau ditempat
kediamannya (jika termohon eksekusi tidak hadir pada saat
eksekusi dijalankan).
2. Eksekusi Pembayaran Sejumlah Uang.
Untuk sampai pada realisasi penjualan lelang sebagai syarat dari eksekusi
pembayaran sejumlah uang, maka eksekusi tersebut perlu melalui proses
a. Adanya permohonan dari pemohon eksekusi kepada Ketua
Pengadilan.
b. Adanya peringatan atau teguran (aanmaning) dari Ketua Pengadilan kepada termohon eksekusi agar ianya dalam waktu tidak lebih dari
8 (delapan) hari, sejak aanmaning dilakukan, melaksanakan amar putusan.
c. Setelah masa peringatan atau teguran (aanmaning) dilampaui, termohon eksekusi masih tetap tidak memenuhi isi putusan berupa
pembayaran sejumlah uang, maka sejak saat itu ketua pengadilan
secara ex afficio mengeluarkan surat penetapan (beschikking) berisi perintah kepada panitera/jurusita/jurusita pengganti untuk
melakukan sita eksekusi (executorial beslag) terhadap harta kekayaan jika sebelumnya tidak diletakkan sita jaminan sesuai
dengan ketentuan yang diatur di dalam Pasal 208 R.Bg (tata cara sita
eksekusi hampir sama dengan sita jaminan).
d. Adanya perintah penjualan lelang, dilanjutkan dengan penjualan
lelang setelah terlebih dahulu dilakukan pengumuman sesuai dengan
ketentuan pelelangan. Lalu diakhiri dengan penyerahan uang hasil
lelang kepada pemohon eksekusi.
Sebagai realisasi dari putusan hakim terhadap pihak yang telah kalah dalam
suautu perkara di pengadilan, maka masalah eksekusi telah diatur di dalam berbagai
ketentuan antara lain:
1. Pasal 206 - Pasal 240 R.Bg dan Pasal 258 R.Bg (tentang tata cara eksekusi
secara umum).
2. Pasal 259 R.Bg (tentang putusan yang menghukum tergugat untuk
melakukan suatu perbuatan tertentu).
3. Sedangkan pada Pasal 242 - Pasal 257 R.Bg, yang mengatur tentang sandera
(gijzeling) tidak lagi diberlakukan secara efektif.
4. Pasal 191 R.Bg, Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2000 dan
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2001 (tentang pelaksanaan
putusan yang belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap, yaitu serta
merta).
5. Pasal 54 dan Pasal 55 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 (tentang
pelaksanaan putusan pengadilan).
Djazuli Bachir SH menyatakan bahwa sumber hukum eksekusi adalah:45
1. Hukum Acara Perdata.
Hukum Acara Perdata yang berlaku sekarang ini diatur di dalam Herziene Inlandsch Reglement (HIR) yang berlaku secara khusus untuk daerah Jawa dan Madura.
Sedangkan Hukum Acara Perdata yang berlaku untuk daerah luar Jawa dan
Madura diatur di dalam Rechtsreglement voor de Buitengewesten (RBG). Di dalam HIR telah diatur tentang eksekusi putusan pengadilan pada bagian
kelima, yaitu pada Pasal 195 sampai dengan Pasal 224 HIR. Sedangkan di
dalam R.Bg diatur pada bagian keempat, yaitu pada Pasal 206 sampai
dengan Pasal 225. Sampai saat sekarang, belum ada dibuat suatu Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Perdata atau HIR atau RBG yang lain. Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Perdata, HIR, dan RBG merupakan produk
hukum di jaman penjajahan Belanda yang masih tetap berlaku sebagai
Hukum Acara Perdata yang harus dipedomani oleh lembaga peradilan dan
para praktisi hukum.
2. Hukum Acara Perdata Lain Yang Berhubungan.
Di dalam Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman, dikatakan bahwa pelaksanaan putusan pengadilan dalam
perkara perdata dilaksanakan oleh panitera dan jurusita serta dipimpin oleh
ketua Pengadilan Negeri. Selanjutnya di dalam Undang-Undang No. 49
Tahun 2009 tentang Peradilan Umum, dikatakan bahwa di dalam perkara
perdata maka panitera Pengadilan Negeri bertugas untuk melaksanakan
putusan pengadilan.
Di dalam Undang-Undang 5 Tahun 2004 Tentang Mahkamah Agung,
dikatakan bahwa Mahkamah Agung dapat meninjau atau membatalkan
suatu putusan perdata atas dasar alasan:
a. Apabila putusan tersebut dengan jelas memperlihatkan suatu
kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang mencolok.
b. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari
yang dituntut.
c. Apabila mengenai suatu bagian dari tuntutan yang belum diputus
tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya.
d. Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu hal yang
sama atas dasar yang sama oleh pengadilan yang sama atau yang
sama tingkatnya telah diberikan putusan yang satu sama lain
bertentangan.
e. Apabila dalam suatu putusan pengadilan terdapat
ketentuan-ketentuan yang satu sama lain bertentangan.
f. Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu
muslihat dari pihak lawan yang diketahui setelahnya perkara diputus
atau pada keterangan saksi atau surat-surat bukti yang kemudian
oleh hakim pidana dinyatakan palsu.
g. Apabila setelah perkara diputus diketemukan surat-surat bukti yang
bersifat menentukan pada waktu perkara diperiksa, surat-surat
Dengan demikian, dalam praktek hukum masih ada upaya hukum yang luar
biasa untuk dapat membatalkan suatu putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum yang bersifat tetap, dan upaya hukum yang
luar biasa tersebut dikenal dengan derden verzet atau permohonan Peninjauan Kembali pada putusan Mahkamah Agung (permohonan P.K).
4. Surat Edaran Mahkamah Agung
Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4 tahun 1975 dikatakan bahwa
Mahkamah Agung tentang gijzeling (penyanderaan) sebagaimana diakui di dalam Pasal 209 HIR/Pasal 242 R.Bg tidak dibenarkan lagi untuk
dilaksanakan dalam Hukum Acara Perdata di peradilan di Indonesia oleh
karena bertentangan dengan perikemanusiaan. Dengan demikian Hukum
Acara Perdata di Indonesia tidak lagi mengenal adanya penyanderaan
(gijzeling) apabila seseorang tidak mampu membayar hutangnya dalam hal pengeksekusian tersebut.
Selain peraturan peraturan di atas masih ada peraturan lain yang dapat
menjadi dasar dari penerapan eksekusi yaitu:
1. Undang-undang tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman, Pasal 33
ayat (4) yaitu tentang kewajiban hukum yang bersendikan norma-norma
moral, dimana dalam melaksanakan putusan pengadilan diusahakan supaya
perikemanusiaan dan perikeadilan tetap terpelihara.
2. Mengenai pelaksanaan putusan Pengadilan Agama diatur di dalam
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, menyatakan sesudah itu keputusan
keputusan-keputusan Pengadilan Umum. Dalam perkara ini, Stb. 1937 No. 63-639,
pasal 3 ayat (5) alinea 3 berbunyi, sesudah itu keputusan dapat dijalankan
menurut aturan-aturan menjalankan keputusan sipil Pengadilan Negeri
(Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 pasal 4 ayat (5) dan
pasal-pasal lain yang berhubungan).
3. Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1980 yang disempurnakan. Di
dalam pasal 5 dinyatakan bahwa permohonan Peninjauan Kembali tidak
menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan eksekusi.
4. SEMA No. 4 Tahun 1975 yang menyatakan bahwa penyanderaan ditujukan
pada orang yang sudah tidak mungkin lagi dapat melunasi
hutang-hutangnya. Dan kalau disandera ia akan kehilangan kebebasan bergerak, ia
tidak ada lagi kesempatan untuk berusaha mendapatkan uang atau
barang-barang untuk melunasi hutangnya.
D. Aturan-Aturan Pelaksanaan Eksekusi
Di dalam melaksanakan eksekusi, ada beberapa aturan-aturan ataupun tata
cara yang harus dilaksanakan antara lain:
1. Pelaksanaan Eksekusi Riil.
Menjalankan eksekusi riil merupakan tindakan nyata yang dilakukan secara
langsung guna melaksanakan apa yang telah dihukumkan dalam amar
putusan, dengan tahapan:
a. Adanya permohonan dari penggugat (pemohon eksekusi) kepada
b. Adanya peringatan (aanmaning) dari ketua pengadilan kepada termohon eksekusi agar ianya dalam waktu tidak lebih dari 8
(delapan) hari dari sejak aanmaning dilakukan, melaksanakan isi putusan tersebut secara sukarela. Terdapat pada Pasal 207 ayat (2)
R.Bg, dengan cara:
1) Melakukan pemanggilan terhadap termohon eksekusi
dengan menentukan hari, tanggal, jam dan tempat.
2) Memberikan peringatan (kalau ianya datang), yaitu dengan
cara:
a) Dilakukan dalam sidang insidentil yang dihadiri oleh
ketua pengadilan, panitera dan termohon eksekusi.
b) Dalam sidang tersebut diberikan peringatan atau
teguran agar termohon eksekusi dalam waktu 8
(delapan) hari dapat melaksanakan isi putusan
tersebut.
c) Membuat berita acara sidang insidentil (aanmaning), yang mencatat peristiwa yang terjadi dalam
persidangan tersebut.
d) Berita acara sidang aanmaning tersebut akan dijadikan bukti bahwa kepada termohon eksekusi
telah dilakukan peringatan ataupun teguran untuk
selanjutnya akan dijadikan dasar dalam
mengeluarkan perintah eksekusi.
Apabila setelah dipanggil secara patut, termohon eksekusi ternyata
tidak hadir dan ketidak hadirannya disebabkan oleh halangan yang
sah (dapat dipertanggung jawabkan), maka ketidakhadirannya
masih dapat dibenarkan dan ianya harus dipanggil kembali untuk di
aanmaning. Akan tetapi apabila ketidak hadirannya itu tidak ternyata adanya alasan yang sah (tidak dapat dipertanggung
jawabkan), maka termohon eksekusi harus menerima akibatnya,
yaitu hilangnya hak untuk dipanggil kembali dan hak untuk di
aanmaning serta ketua pengadilan terhitung sejak termohon eksekusi tidak memenuhi panggilan tersebut, dapat langsung
mengeluarkan surat penetapan (beschikking) tentang perintah menjalankan eksekusi.
c. Setelah tenggang waktu 8 (delapan) hari ternyata termohon eksekusi
masih tetap tidak bersedia melaksanakan isi putusan tersebut secara
sukarela, maka ketua pengadilan mengeluarkan penetapan dengan
mengabulkan permohonan pemohon eksekusi dengan disertai surat
perintah eksekusi, dengan ketentuan:
1) Berbentuk tertulis berupa penetapan (beschikking).
Ditujukan kepada panitera atau jurusita atau jurusita
2) Berisi perintah agar menjalankan eksekusi sesuai dengan
amar putusan.
d. Setelah menerima perintah menjalankan eksekusi dari ketua
pengadilan, maka panitera atau jurusita atau jurusita pengganti
merencanakan atau menentukan waktu serta memberitahukan
tentang eksekusi kepada termohon eksekusi, kepala desa atau lurah
atau kecamatan ataupun kepolisian setempat.
e. Proses selanjutnya pada waktu yang telah ditentukan, panitera atau
jurusita atau jurusita pengganti langsung ke lapangan guna
melaksanakan eksekusi dengan ketentuan:
1) Eksekusi dilaksanakan oleh panitera atau juru sita ataupun
juru sita pengganti. Terdapat pada Pasal 209 ayat 1 R.Bg.
2) Eksekusi dibantu oleh 2 (dua) orang saksi dengan
syarat-syarat:
a) Warga Negara Indonesia (WNI).
b) Berusia minimal 21 tahun.
c) Dapat dipercaya.
3) Eksekusi dijalankan di tempat dimana barang (objek) itu
berada.
4) Membuat berita acara eksekusi, dengan ketentuan memuat:
a) Waktu (hari, tanggal, bulan, tahun dan jam)
pelaksanaan.
c) Tentang kehadiran termohon eksekusi.
d) Tentang pengawas barang (objek) yang dieksekusi.
e) Penjelasan tentang Niet Bevinding (barang atau objek yang tidak diketemukan atau tidak sesuai dengan
amar putusan).
f) Penjelasan tentang dapat atau tidaknya eksekusi
dijelaskan.
g) Keterangan tentang penyerahan barang (objek)
kepada pemohon eksekusi.
h) Tanda tangan panitera atau jurusita atau jurusita
pengganti (eksekutor), 2 (dua) orang saksi yang
membantu menjalankan eksekusi, kepala desa atau
lurah atau camat dan termohon eksekusi itu sendiri.
Untuk tanda tangan kepala desa atau lurah ataupun
camat dan termohon eksekusi tidaklah merupakan
keharusan. Artinya tidaklah mengakibatkan tidak
sahnya eksekusi, akan tetapi akan lebih baik jika
mereka turut tanda tangan guna menghindari hal-hal
yang tidak diingini.
5) Memberitahukan isi berita acara eksekusi kepada termohon
eksekusi yang dilakukan di tempat dimana eksekusi
dijalankan), atau ditempat kediamannya (jika termohon
BAB IV
ANALISIS YURIDIS KEKUATAN EKSEKUTORIAL JAMINAN FIDUSIA BUKTI PEMILIKAN KENDARAAN BERMOTOR YANG TELAH DIDAFTARKAN (STUDI PADA KANTOR WILAYAH KEMENTRIAN
HUKUM DAN HAM SUMATERA UTARA)
A. Kekuatan Eksekutorial Jaminan Fidusia Bukti Pemilikan Kendaraan Bermotor Yang Telah Didaftarkan Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Jaminan Fidusia
Pada masa sekarang ini, perkembangan hukum jaminan sangatlah
memerlukan lembaga yang dapat memberikan perlindungan kepada para pihak,
baik pada pihak yang memberikan jaminan (debitor) maupun pihak yang menerima
jaminan (kreditor). Untuk memenuhi hal tersebut, maka dapat dilakukan dengan
cara melakukan pendaftaran.
Begitu pula dengan jaminan fidusia. Dengan didaftarkannya jaminan
fidusia, tentu saja akan memberikan perlindungan terhadap semua pihak baik itu
pihak debitor maupun kreditor. Pendaftaran dilakukan untuk memenuhi unsur
publikasi dari adanya jaminan fidusia tersebut. Perlindungan hukum yang dapat
diberikan dengan adanya pendaftaran jaminan fidusia tersebut adalah adanya
kemudahan untuk melaksanakan eksekusi jaminan utangnya dalam hal debitur
Sebagai upaya untuk memperkuat perlindungan hukum bagi para pihak, maka
kantor pendaftaran fidusia akan mengeluarkan alat tanda bukti tentang adanya
jaminan fidusia atas barang atau benda tersebut. Yang diantaranya mencantumkan
nama pemberi dan pemegang jaminan fidusia, objek dari jaminan fidusia, nilai
penjaminan atas jaminan fidusia, akta jaminan fidusia serta perjanjian pokok yang
mendasari adanya akta jaminan fidusia. Surat itu disebut dengan Sertifikat Jaminan
Fidusia sebagai salinan dari Buku Daftar Fidusia. Buku daftar fidusia merupakan
tempat lahirnya jaminan fidusia yaitu dengan dicatatkan di dalamnya.
Sertifikat jaminan fidusia merupakan alat bukti dari jaminan fidusia yang
telah di daftarkan yang di dalamnya tercantum irah-irah ”Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dengan demikian memiliki kekuatan
eksekutorial yang dipersamakan dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum yang tetap.
Dengan kekuatan eksekutorial yang memberikan kepada penerima jaminan
fidusia untuk dapat melakukan pelaksanaan eksekusi tanpa perlu adanya suatu
putusan pengadilan, maka penerima jaminan fidusia memiliki kekuatan yang kuat
dan dilindungi oleh undang-undang. Inilah yang akan memberikan rasa aman bagi
penerima jaminan fidusia dan rasa percaya terhadap pemberi jaminan fidusia.
Hal ini sejalan dengan pendapat dari Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani
yang menyatakan bahwa ”sertifikat jaminan fidusia mempunyai kekuatan
eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh
jaminan fidusia dapat langsung melaksanakan proses eksekusi melalui pelelangan
umum atas objek jaminan fidusia tanpa melalui pengadilan.”46
Kekuatan eksekutorial atas sertifikat jaminan fidusia memberikan hak
kepada penerima jaminan fidusia untuk dapat mengeksekusi jaminan fidusianya
dengan syarat debitor atau pemberi jaminan fidusia tersebut telah melakukan cidera
janji (wanprestasi), dengan menjalankan cara yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
Undang-Undang tentang Jaminan Fidusia juga memberi kemudahan dalam
melaksanakan eksekusi melalui lembaga parate eksekusi. Kemudahan dalam
pelaksanaan eksekusi ini tidak semata-mata merupakan monopoli jaminan fidusia,
karena di dalam hal gadai juga dikenal lembaga yang serupa.47
Pada Pasal 29 ayat (1), memberikan hak kepada penerima jaminan fidusia
untuk melakukan eksekusi dengan cara:48
1. Eksekusi Berdasarkan Titel Eksekutorial.
Titel eksekutorial seperti di atas mempunyai kekuatan yang sama dengan
putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Karena dipersamakan dengan putusan pengadilan, maka prosedur dan tata
cara dari pelaksanaan eksekusi dilaksanakan sesuai dengan pelaksanaan dari
putusan pengadilan.
2. Eksekusi Berdasarkan Penjualan Benda Yang Menjadi Objek Jaminan
Fidusia Atas Kekuasaan Penerima Sendiri Melalui Pelelangan Umum.
46 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, op.cit, hlm. 158. 47 Ibid.,
Pelaksanaan eksekusi sesuai dengan ketentuan di atas dilandaskan pada
kekuasaan sendiri dari penerima jaminan fidusia yaitu dengan cara
melakukan parate eksekusi.
3. Penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan
pemberi dan penerima jaminan fidusia jika dengan cara demikian dapat
diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan para pihak.
Ketentuan penjualan di bawah tangan ini disediakan oleh pembuat
undang-undang agar antara pemberi dan penerima jaminan fidusia dapat
menentukan berdasarkan kesepakatan mereka dengan perkiraan akan
memperoleh harga yang lebih tinggi, dan menjual secara di bawah tangan.
Jadi pada prinsipnya adalah bahwa penjualan benda yang menjadi objek
jaminan fidusia haruslah melalui pelelangan umum, karena dengan cara ini
diharapkan dapat diperoleh harga yang paling tinggi. Namun demikian
dalam hal penjualan melalui pelelangan umum diperkirakan tidak akan
mengahasilkan harga tertinggi yang menguntungkan baik pemberi jaminan
fidusia ataupun penerima jaminan fidusia, maka dimungkinkan penjualan
di bawah tangan asalkan hal tersebut telah disepakati oleh pemberi
jaminan fidusia dan juga penerima jaminan fidusia dan syarat jangka
waktu pelaksanaan penjualan tersebut dipenuhi.
Khusus untuk point ketiga, pelaksanaan penjualan tersebut dilakukan
setelah waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pemberi
berkepentingan dan diumumkan sedikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar
di daerah yang bersangkutan.49
Di dalam surat kuasa perjanjian pembiayaan kendaraan bermotor berupa
mobil yang telah didaftarkan pada Kantor Wilayah Kementrian Hukum dan Ham
Sumatera Utara yang dilakukan oleh debitor dan PT Toyota Astra Financial selaku
kreditor, terdapat kekuatan eksekutorial jaminan kendaraan bermotor berupa mobil
tersebut terhadap pemegang jaminan fidusia.
Di dalam surat kuasa tersebut dikatakan bahwa kreditor berhak untuk
melakukan tindakan-tindakan yang telah disetujui oleh kedua belah pihak apabila
debitor lalai dalam melakukan salah satu ataupun seluruh kewajibannya sesuai
dengan perjanjian yang telah disepakati, yang meliputi:
1. Berhak mengambil secara langsung kendaraan bermotor tersebut yang
apabila diperlukan dapat menggunakan bantuan dari pihak Kepolisian
dan/atau pihak berwenang lainnya.
2. Kreditor diperbolehkan memasuki areal kantor, gudang, pabrik, areal parkir
ataupun tempat lain dimana barang tersebut berada. Dan hal tersebut tidak
akan dianggap sebagai memasuki tempat atau bangunan tanpa izin
”huisvredeberuk” dan membuka setiap pintu gerbang, pintu, ataupun
pengikat dan melepaskan serta membongkar barang-barang lainnya dimana
barang tersebut berada dan secara fisik mengangkatnya. Dimana perbuatan
tersebut bukanlah suatu tindak pidana dan debitor bertanggung jawab atas
segala kerusakan pada tanah ataupun bangunan yang disebabkan proses
pelepasan tersebut.
3. Kreditor berhak untuk mengambil STNK, barang, ataupun dokumen lainnya
yang sehubungan dengan barang yang disimpan atau ada dalam kuasa dari
pihak debitor maupun pihak lain siapapun adanya dan membawanya ke
tempat yang dipandang baik oleh pihak kreditor.
4. Kreditor mendapatkan persetujuan untuk mengadakan pemblokiran atas
STNK atau BPKB serta mengurus dan menyelesaikan balik nama kendaraan
tersebut di atas guna kepentingan kreditor atas biaya dari pihak debitor.
5. Kreditor berhak untuk menjual kendaraan tersebut di atas pada pihak ketiga
atau siapapun adanya menurut cara dan harga yang dianggap patut oleh
kreditor tersebut, membayar ongkos pengambilan dan penjualan dari hasil
penjualan tersebut serta menggunakan sebagian atau seluruh hasil penjualan
bersih tersebut untuk pembayaran hutang dari pihak debitor kepada kreditor.
Berdasarkan isi dari contoh salah satu surat kuasa di atas, maka dapat
ditegaskan bahwa jaminan fidusia berupa bukti pemilikan kendaraan bermotor yang
telah didaftarkan memiliki kekuatan eksekutorial dan juga memberikan
perlindungan hukum terhadap pemegang jaminan fidusia.
Dalam hal ini, kreditor sebagai pemegang jaminan fidusia berhak untuk
melakukan eksekusi tanpa melalui proses pengadilan atas kendaraan bermotor yang
dimiliki oleh debitor (pemberi jaminan fidusia) apabila debitor tersebut lalai dalam
B. Proses Pelaksanaan Eksekusi Terhadap Jaminan Fidusia Bukti Pemilikan Kendaraan Bermotor Yang Telah Didaftarkan
Fidusia merupakan salah satu jenis jaminan hutang yang memiliki
unsur-unsur yang cepat, murah dan pasti. Dalam praktiknya hal tersebut banyak
dikeluhkan karena selama belum keluarnya Undang-Undang tentang Jaminan
Fidusia, tidak ada kejelasan mengenai bagaimana caranya mengeksekusi jaminan
fidusia tersebut. Sehingga banyak yang menafsirkan eksekusinya memakai
prosedur gugatan biasa, yaitu melalui pengadilan dengan prosedur biasa yang
panjang, mahal dan sangat melelahkan.50
Salah satu ciri dari jaminan hutang kebendaan yang baik adalah manakala
hak agunan tersebut dapat dieksekusi secara cepat dengan proses yang sederhana,
efisien dan mengandung kepastian hukum.51 Misalnya, ketentuan eksekusi jaminan
fidusia di Amerika Serikat yang memperbolehkan pihak kreditor mengambil sendiri
barang objek jaminan fidusia asalkan dapat menghindarkan pertengkaran atau
perkelahian. Barang tersebut dapat dijual di depan umum, atau dijual di bawah
tangan, asalkan dilakukan dengan itikad yang baik.52
Dalam praktiknya, proses pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia di bawah
tangan sangatlah jarang digunakan.53 Salah satu terobosan yang dilakukan oleh
Undang-Undang tentang Jaminan Fidusia ini adalah dengan mengambil pola
eksekusi hak tanggungan yang dikembangkan oleh Undang-Undang No. 4 Tahun
50 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, op. cit, hlm. 57. 51 Munir Fuady, op. cit, hlm. 57.
1996 tentang Hak Tanggungan, yaitu dengan mengatur eksekusi jaminan fidusia
secara bervariasi, sehingga para pihak dapat memilih model eksekusi yang
diinginkan.
Model-model eksekusi jaminan fidusia menurut Undang-Undang Nomor 42
Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia adalah sebagai berikut:54
1. Eksekusi Jaminan Fidusia Dengan Titel Eksekutorial.
Ada beberapa akta yang mempunyai titel eksekutorial yang disebut dengan
istilah grosse akta, yaitu : a. Akta Hipotek.
b. Akta Pengakuan Hutang.
c. Akta Hak Tanggungan (berdasarkan pada Undang-Undang No. 4
Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan).
d. Akta Fidusia (berdasarkan pada Undang-Undang No. 42 Tahun
1999 tentang Jaminan Fidusia).
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata, setiap akta
yang mempunyai titel eksekutorial dapat dilakukan langsung proses
eksekusi. Akta ini dibuat dihadapan notaris di Indonesia yang kepalanya
berbunyi, ”Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Akta yang memiliki irah-irah tersebut berkekuatan sama dengan
suatu keputusan hakim dari pengadilan. Jadi berdasarkan titel eksekutorial
ini, penerima jaminan fidusia dapat langsung melaksanakan proses eksekusi
melalui pelelangan umum atas objek jaminan fidusia tanpa melalui proses
pengadilan.
Jika tidak ada jalan damai, maka surat yang demikian di eksekusi
dengan perintah dan di bawah pimpinan ketua Pengadilan Negeri yang
dalam daerah hukumnya tempat tinggal debitor itu atau tempat kedudukan
yang dipilihnya, yaitu menurut cara yang dinyatakan dalam pasal-pasal
sebelumnya. Tetapi dengan pengertian bahwa paksaan badan hanya boleh
dilakukan jika sudah diizinkan oleh keputusan hakim.
Dengan demikian, akta tersebut tinggal di eksekusi tanpa perlu lagi
adanya suatu putusan pengadilan. Yang dimaksud dengan fiat eksekusi
adalah eksekusi atas sebuah akta seperti mengeksekusi suatu putusan
pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, yakni dengan cara
menerima fiat dari Ketua Pengadilan, yaitu memohon penetapan untuk melaksanakan eksekusi. Maka Ketua Pengadilan akan memimpin eksekusi
tersebut.
2. Eksekusi Jaminan Fidusia Secara Parate Eksekusi Lewat Pelelangan
Umum.
Eksekusi jaminan fidusia dapat juga dilakukan dengan jalan melalui
lembaga parate eksekusi yaitu melalui lembaga pelelangan umum yaitu
kantor lelang. Dimana hasil dari pelelangan tersebut diambil untuk melunasi
pembayaran piutang-piutangnya.
Pasal 1155 angka 1 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
maka si berpiutang adalah berhak jika si berutang atau si pemberi gadai
cidera janji untuk membayar dan menyuruh menjual barangnya dimuka
umum menurut kebiasaan-kebiasaan setempat serta syarat-syarat yang
lazim berlaku, dengan maksud untuk mengambil pelunasan jumlah
piutangnya beserta bunga dan biaya dari pendapatan penjualan tersebut.”55
Pada prinsipnya bahwa penjualan benda yang menjadi objek
jaminan fidusia haruslah melalui pelelangan umum, karena dengan cara ini
diharapkan dapat diperoleh harga yang paling tinggi.
3. Eksekusi Jaminan Fidusia Secara Parate Eksekusi (Penjualan Dibawah
Tangan).
Jaminan fidusia dapat juga dieksekusi secara parate eksekusi
(mengeksekusi tanpa melalui pengadilan) dengan cara menjual benda objek
jaminan fidusia tersebut secara di bawah tangan, apabila penjualan melalui
pelelangan umum diperkirakan tidak akan menghasilkan harga tertinggi
yang menguntungkan kedua belah pihak baik pemberi jaminan fidusia
maupun penerima jaminan fidusia.
Penjualan di bawah tangan dapat dilakukan asalkan memenuhi
syarat-syarat yang terdapat di dalam Undang-Undang tentang Jaminan
Fidusia, yaitu:
a. Dilakukan berdasarkan kesepakatan antara pembeli dengan
penerima jaminan fidusia.
b. Jika dengan cara penjualan di bawah tangan tersebut dicapai harga
tertinggi yang menguntungkan para pihak.
c. Diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan atau penerima
jaminan fidusia kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
d. Diumumkan dalam sedikit-dikitnya dua surat kabar yang beredar di
daerah yang bersangkutan.
e. Pelaksanaan penjualan dilakukan setelah lewat waktu 1 (satu) bulan
sejak diberitahukan secara tertulis.
Pemberi fidusia diwajibkan untuk menyerahkan benda yang menjadi
objek jaminan fidusia dalam rangka pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia.
Dalam hal pemberi jaminan fidusia tidak menyerahkan benda yang menjadi
objek jaminan fidusia tersebut pada waktu proses eksekusi dilaksanakan,
penerima jaminan fidusia berhak untuk mengambil benda yang menjadi
objek jaminan fidusia dan apabila perlu dapat meminta bantuan dari pihak
yang berwenang.
4. Eksekusi jaminan fidusia secara mendaku.
Istilah mendaku disini maksudnya adalah membuat menjadi aku
punya, sehingga yang dimaksud dengan eksekusi jaminan fidusia secara
mendaku adalah eksekusi jaminan fidusia dengan cara mengambil barang
fidusia untuk menjadi milik kreditor secara langsung tanpa melalui suatu
transaksi apa pun.56
Eksekusi jaminan fidusia secara mendaku ini dalam
Undang-Undang tentang Jaminan Fidusia dengan tegas dilarang. Hal ini tertera di
dalam Pasal 33 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan
Fidusia yang menyatakan bahwa ”setiap janji yang memberikan
kewenangan kepada penerima jaminan fidusia untuk memiliki benda yang
menjadi jaminan fidusia apabila debitor cidera janji akan batal demi
hukum.”57
Dalam proses pelaksanaan eksekusi terhadap jaminan fidusia bukti
pemilikan kendaraan bermotor yang telah didaftarkan, kreditor mendapatkan hak
preferen atas objek jaminan fidusia berupa kendaraan bermotor yang diterimanya.
Di dalam Undang-Undang tentang Jaminan Fidusia, dikatakan bahwa hak preferen
adalah hak dari penerima jaminan fidusia untuk mengambil pelunasan piutangnya
atas hasil eksekusi benda yang menjadi objek jaminan fidusia. Hak preferen
tersebut lahir pada saat pendaftaran jaminan fidusia dilakukan. Jadi selama jaminan
fidusia tidak didaftarkan pada Kantor Pendaftaran Fidusia, kreditor penerima
jaminan fidusia tidak memiliki hak preferen.
Kreditor dapat mengambil pelunasan piutangnya dengan cara melaksanakan
eksekusi yang dilakukan secara lelang atau penjualan di muka umum yang harus
dilakukan melalui prosedur yang telah ditentukan oleh Undang-Undang, dan setiap
prosedur yang dijalani membutuhkan waktu baik yang telah ditentukan oleh
ketentuan perundang-undangan ataupun tidak ditentukan di dalam ketentuan
perundang-undangan.
Selain dari proses pelaksanaan eksekusi yang dilakukan secara lelang atau
penjualan di muka umum, proses pelaksanaan eksekusi terhadap jaminan fidusia
bukti pemilikan kendaraan bermotor yang telah didaftarkan juga dapat dilakukan
dengan cara menjual kendaraan bermotor tersebut secara di bawah tangan. Hal ini
dilakukan apabila penjualan melalui lelang atau penjualan umum diperkirakan tidak
akan menghasilkan harga tinggi yang menguntungkan kedua belah pihak baik
pemberi jaminan fidusia maupun penerima jaminan fidusia.
C. Hambatan Dan Upaya Penyelesaian Dalam Proses Pelaksanaan Eksekusi Terhadap Jaminan Fidusia Bukti Pemilikan Kendaraan Bermotor Yang Telah Didaftarkan
Jika telah terjadi cidera janji (wanprestasi), pemberi jaminan fidusia wajib menyerahkan benda yang menjadi objek jaminan fidusia tersebut yaitu kendaraan
bermotor dalam rangka proses pelaksanaan eksekusi terhadap jaminan fidusia bukti
pemilikan kendaraan bermotor yang telah didaftarkan. Idealnya pada waktu akan
dilakukan proses eksekusi, objek jaminan fidusia yaitu kendaraan bermotor tersebut
sudah dikuasai oleh kreditor sebagai penerima jaminan fidusia tersebut.
Akan tetapi pada kenyataannya tidak jarang pada saat proses eksekusi akan
dilaksanakan, kreditor menemui banyak permasalahan. Permasalahan tersebut
penguasaan debitor. Oleh karena masih dikuasai objek jaminan tersebut,
masyarakat umumnya menganggap benda jaminan tersebut adalah miliknya.
Secara umum hambatan-hambatan yang dihadapi dalam proses pelaksanaan
eksekusi jaminan fidusia adalah:
1. Objek Jaminan Fidusia Tidak Diserahkan Oleh Debitor.
Apabila dalam hal terjadi cidera janji (wanprestasi), debitor tidak mau menyerahkan objek jaminan fidusia yaitu kendaraan bermotor dan
menghalang-halangi pengambilan kendaraan bermotor, sedangkan pada
Pasal 30 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia
telah ditentukan bahwa pemberi jaminan fidusia wajib menyerahkan benda
yang menjadi objek jaminan fidusia yaitu kendaraan bermotor namun tidak
menyerahkan kendaraan bermotor pada waktu proses eksekusi
dilaksanakan, penerima jaminan fidusia berhak mengambil kendaraan
bermotor tersebut. Apabila perlu dapat meminta bantuan dari pihak yang
berwenang, dalam hal ini aparat Kepolisian dengan cara mengajukan
permohonan permintaan tertulis dan melampirkan dokumen (foto copy
sertifikat jaminan bukti pemilikan kendaraan bermotor). Perlu sekali adanya
sanksi yang tegas yang harus ditetapkan di dalam Undang-Undang apabila
debitor tidak mau menyerahkan kendaraan bermotor tersebut.
2. Terhadap Objek Jaminan Fidusia, Persediaan Barang Saat Dieksekusi
Objeknya Tidak Ada.
Pemberi jaminan fidusia dalam jangka waktu tertentu atau setiap waktu
terperinci kepada penerima jaminan fidusia tentang adanya serta keadaan
dari objek jaminan fidusia yaitu kendaraan bermotor dan juga perubahannya
disertai dengan bukti yang sah. Daftar rincian dan laporan tersebut
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari akta jaminan fidusia. Benda
persediaan atau stock barang yang dijadikan objek jaminan fidusia yaitu
kendaraan bermotor tersebut biasanya diasuransikan oleh pemberi jaminan
fidusia untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan, seperti: bahaya
kebakaran dan kehilangan. Semua premi asuransi harus ditanggung dan
dibayar oleh pemberi jaminan fidusia kendaraan bermotor tersebut.
3. Objek Jaminan Fidusia Telah Beralih Pada Pihak Ketiga.
Objek jaminan fidusia yaitu kendaraan bermotor beralih ke pihak ketiga
dapat dilakukan dengan cara jual beli, tukar menukar dan lain-lain.
Umumnya hal ini terjadi terhadap objek jaminan fidusia berupa barang
bergerak seperti kendaraan bermotor ini.
Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang tentang Jaminan Fidusia secara tegas
melarang pemberi jaminan fidusia untuk mengalihkan, menggadaikan
ataupun menyewakan kepada pihak lain benda yang menjadi objek jaminan
fidusia yang tidak merupakan benda persediaan, kecuali dengan persetujuan
tertulis dari penerima jaminan fidusia. Perlindungan kepentingan kreditor
terhadap kemungkinan penyalahgunaan debitor atau pemberi jaminan
fidusia dengan ketentuan pidana Pasal 36 Undang-Undang tentang Jaminan
Fidusia diancam pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling
4. Nilai Objek Jaminan Fidusia Berubah.
Kendaraan bermotor sebelum ditetapkan sebagai jaminan fidusia harus
dinilai terlebih dahulu kelayakannya. Sebagaimana penilaian yang
seharusnya diikuti, terhadap barang bergerak juga harus dinilai dari segi
hukum, segi ekonomi, dan ditetapkan nilai taksasinya yang wajar dengan
memperhatikan margin pengaman yang ditetapkan untuk masing-masing
jenis barang bergerak.
Harga dari objek jaminan fidusia berupa kendaraan bermotor tersebut selalu
berubah-ubah dari saat awal penjamin karena objek jaminan fidusia
mengalami penyusutan (depresiasi), sehingga nilainya setelah dieksekusi menjadi kurang ketika dilakukan pembayaran utang kepada kreditor.
Apabila hasil dari eksekusi objek jaminan fidusia oleh kreditor tidak
mencukupi dalam pembayaran pinjaman kepada kreditor, maka debitor
tetap bertanggung jawab atas hutang yang belum terbayar tersebut.
5. Mahalnya Biaya Lelang Dan Penyelenggaraan Lelang.
Dalam hal parate eksekusi dilakukan melalui lembaga lelang, beberapa
faktor penghambat yang menimbulkan masalah dalam pelaksanaan tugas ini
yaitu adanya komisi. Prosedur yang wajib ditempuh ketika akan melakukan
lelang eksekusi adalah pengumuman lelang, pemberian prioritas (hak
didahulukan) dan penentuan pemohon lelang atau pemimpin lelang, dan
dikenakan bea lelang dan penyelenggaraan lelang. Peraturan lelang
menetapkan persen yang lebih tinggi untuk bea lelang barang bergerak
seperti kendaraan bermotor dibandingkan dengan persenan bea lelang untuk
barang tidak bergerak. Hal ini disebabkan karena biasanya barang tidak
bergerak harganya lebih mahal dari pada barang bergerak seperti kendaraan
bermotor tersebut. Biaya penyelenggaraan lelang lainnya yang biasanya
memberatkan debitor adalah biaya iklan di surat kabar. Biaya iklan ini
dibebankan kepada debitor sebagai pemilik objek jaminan fidusia
kendaraan bermotor tersebut.
Dalam menghadapi hambatan-hambatan dalam proses pelaksanaan
eksekusi terhadap jaminan fidusia bukti pemilikan kendaraan bermotor yang telah
didaftarkan, terdapat upaya-upaya dalam penyelesaiannya. Antara lain:
1. Kreditor harus menguasai objek jaminan fidusia yaitu kendaraan bermotor
tersebut. Dalam hal ini debitor sebagai pemberi jaminan fidusia kendaraan
bermotor tersebut harus menyerahkan kendaraan bermotor tersebut kepada
kreditor. Apabila kendaraan bermotor yang dijadikan sebagai objek jaminan
fidusia digunakan oleh debitor, maka debitor harus menyerahkan bukti
pemilikan kendaraan bermotor tersebut kepada kreditor. Hal ini untuk
menghindari kemungkinan terjadinya masalah dalam proses
pengeksekusian apabila debitor lalai dalam melaksanakan kewajibannya.
2. Pemberi jaminan fidusia dalam jangka waktu tertentu atau setiap waktu
harus memberikan laporan tertulis secara terperinci kepada penerima
jaminan fidusia yaitu kendaraan bermotor tersebut dan juga perubahan yang
mungkin terjadi disertai dengan bukti yang sah. Hal ini penting untuk
dilakukan agar kreditor mengetahui keadaan dan kemungkinan terjadinya
perubahan dari kendaraan bermotor yang dijadikan objek jaminan fidusia
tersebut. Hal ini dilakukan untuk menghindari kemungkinan terjadinya
kesalahpahaman antara kreditor dan debitor pada saat proses pelaksanaan
eksekusi yang mungkin terjadi atas kendaraan bermotor tersebut.
3. Kendaraan bermotor yang dijadikan sebagai objek jaminan fidusia antara
kreditor dan debitor tidaklah boleh beralih tangan kepada pihak ketiga.
Dalam hal ini kendaraan bermotor tersebut tidak boleh dijual, disewakan
ataupun ditukar dengan kendaraan bermotor yang lain tanpa persetujuan
dari kreditor tersebut. Hal ini dikarenakan kreditor adalah pemilik dari
kendaraan bermotor yang dijadikan sebagai objek jaminan fidusia selama
debitor masih memiliki hutang kepada kreditor tersebut.
4. Kendaraan bermotor sebelum ditetapkan sebagai objek jaminan fidusia
antara kreditor dan debitor harus dinilai terlebih dahulu kelayakannya.
Kendaraan bermotor ini harus dinilai terlebih dahulu dari segi hukum, segi
ekonomi, dan ditetapkan nilai taksasinya yang wajar dengan memperhatikan
margin pengaman yang ditetapkan untuk masing-masing jenis barang
bergerak. Hal ini dikarenakan harga dari objek jaminan fidusia berupa
kendaraan bermotor tersebut selalu berubah-ubah dari saat awal penjamin
nilainya setelah dieksekusi menjadi kurang ketika akan dilakukan
pembayaran utang kepada kreditor.
5. Proses pelaksanaan eksekusi melalui cara lelang atau penjualan umum
sangat merugikan pihak debitor. Hal ini dikarenakan melalui cara lelang
atau penjualan umum tersebut, memakan proses yang sangat lama dan juga
biaya yang banyak atas pelaksanaannya. Dan semua biaya-biaya atas
pelaksanaan lelang atau penjualan umum tersebut harus ditanggung oleh
pihak debitor, maka itulah pelaksanaan dari lelang atau penjualan umum ini
sangat merugikan pihak debitor. Untuk menghindari kerugian-kerugian
yang diderita atas pelaksanaan lelang atau penjualan umum tersebut, maka
antara pihak kreditor dan juga pihak debitor dapat mengambil kesepakatan
untuk menjual kendaraan bermotor tersebut di bawah tangan. Hal ini boleh
saja dilakukan apabila kedua belah pihak sepakat melaksanakannya dan
keuntungan yang diperoleh juga jauh lebih tinggi dari pada melalui proses
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya,
maka pada bab ini akan diuraikan beberapa kesimpulan terhadap penjelasan dan
pemahaman teori maupun hasil dari penelitian yang telah dilakukan. Adapun
kesimpulan tersebut antara lain:
1. Di dalam surat kuasa perjanjian pembiayaan kendaraan bermotor berupa
mobil yang telah didaftarkan pada Kantor Wilayah Kementrian Hukum dan
Ham Sumatera Utara yang dilakukan oleh debitor dan PT Toyota Astra
Financial selaku kreditor, terdapat kekuatan eksekutorial jaminan kendaraan
bermotor berupa mobil tersebut terhadap pemegang jaminan fidusia. Di
dalam surat kuasa tersebut dikatakan bahwa kreditor berhak untuk
melakukan tindakan-tindakan yang telah disetujui oleh kedua belah pihak
apabila debitor lalai dalam melakukan salah satu ataupun seluruh
kewajibannya sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati, yang
meliputi:
a. Berhak mengambil secara langsung kendaraan bermotor tersebut
yang apabila diperlukan dapat menggunakan bantuan dari pihak
Kepolisian dan/atau pihak berwenang lainnya.
b. Kreditor diperbolehkan memasuki areal kantor, gudang, pabrik,