I. Pola Perencanaan Pembangunan Ekonomi.
Joseph Stiglitz, 1998, yang menulis “Towards a New Paradigm for Development: Strategies, Policies, and Processes” memformulasikan konsep paradigma baru
pembangunan. Menurut Stiglitz, pembangunan merupakan suatu transformasi masyarakat yang menyangkut perubahan hubungan-hubungan tradisional, cara berpikir yang tradisional,
dan cara-cara tradisional menuju kepada cara-cara yang modern. Pembangunan ekonomi adalah suatu proses perencanaan yang berkelanjutan dan dilakukan oleh pemerintah untuk menyejahterakan kehidupan masyarakat serta meningkatkan pendapatan per kapita pendudukanya dalam jangka panjang. Perencanaan pembangunan di Indonesia sejak tahun 1970-an berfokus di bidang ekonomi, namun pola perencanaan pembangunan yang cenderung fokus pada pertumbuhan ekonomi jangka pendek sehingga masalah keberlanjutan
pembangunan ekonomi belum menjadi prioritas utama. Pembangunan ekonomi dipengaruhi oleh sistem pemerintahan, sistem pemerintahan di Indonesia sejak tahun 1966-1998 disebut sebagai sistem pemerintahan Orde Baru.
Selama masa Orde Baru, perencanaan pembangunan ekonomi dikendalikan oleh
pemerintah, dimana peran pemerintah lebih dikedepankan daripada peran masyarakat baik secara individu maupun kelompok. Pada masa Orde Baru, pembangunan ekonomi di
Indonesia maju pesat. Mulai dari pendapatan perkapita, pertanian, dan infrastruktur. Saat itu, program pemerintah berorientasi mengendalikan tingkat inflasi, penyelamatan keuangan negara, dan pengamanan kebutuhan pokok rakyat. Desentralisasi berawal dari keputusan pemerintahan Habibie untuk mendelegasikan kewewenangan dari pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah pada tahun 1999, desentralisasi di Indonesia resmi diberlakukan sejak adanya UU No.22/1999.
II. Desentralisasi di Indonesia
Indonesia menganut sistem yang dikenal sebagai desentralisasi, kemudian
desentralisasi melahirkan konsep otonomi daerah. Pola desentralisasi yang diberlakukan di Indonesia sejak tahun 1999 memberikan warna yang berbeda terhadap pembangunan ekonomi. Dengan adanya desentralisasi, bagian besar dari belanja pemerintah yang meningkat disalurkan melalui pemerintah daerah. Dengan adanya desentralisasi maka
kesempatan untuk memperbaiki infrastruktur, sumber daya manusia, dan pelayanan publik
yang terabaikan selama masa Orde Baru. Hasilnya pemerintah provinsi dan kabupaten sekarang, daerah-daerah tertinggal di bagian timur Indonesia untuk mengejar daerah-daerah lain di Indonesia yang lebih maju mulai terlihat terutama di bidang ekonomi, pendidikan, infrastruktur, dan sosial.
Pertumbuhan ekonomi bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, pertumbuhan ekonomi harus diikuti dengan pemerataan dan berkeadilan. Faisal Basri, pengamat ekonomi makro dan perbankan, menuturkan lima sasaran strategis pemerintah untuk mencapai percepatan pertumbuhan ekonomi yang merata dan berkeadilan: (1). Struktur ekonomi yang kokoh yang tak rentan diterpa gejolak eksternal, mandiri dan berdaya saing; (2).Menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas; (3).Mobilisasi seluruh potensi
sumber dana dalam negeri untuk menghasilkan pembiayaan yang selaras dengan kebutuhan investasi; (4).Pemanfaatan sumber daya alam secara sinergis dan lestari; dan (5).Birokrasi yang kompeten, efektif dan bersih. Dengan adanya desentralisasi, memungkinkan pemerintah provinsi dan kabupaten untuk fokus terutama dalam meningkatkan kualitas layanan publik seperti yang ditargetkan dalam RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
2015-2019) dan Visi Indonesia 2030 yaitu kondisi masyarakat adil, sejahtera, maju, dan berwibawa.
III. Desentralisasi dalam Perencanaan Pembangunan Ekonomi
Menurut UU No.25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN), bahwa Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJM Daerah) ditetapkan paling lambat tiga bulan setelah Bupati/Wakil Bupati dilantik. Munculnya UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah diharapkan mampu memudahkan koordinasi kekuasaan dan pemerintahan juga mengakomodasi kondisi bangsa Indonesia. UU No.32/2004 menjelaskan
tentang kewenangan pemerintah daerah yang seluas-luasnya untuk mengatur daerahnya masing-masing dan mengembangkan potensi-potensi yang ada didaerahnya tersebut dan kewenangan dibidang pemerintahan.
Desentralisasi adalah pendelegasian wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam membuat keputusan dan kebijakan untuk mengurus, mengatur dan
Pemerintah Pusat yaitu politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter dan
fiskal, dan agama. Pendelegasian wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah berupa perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian serta evaluasi. Pemerintah daerah diharapkan mampu membuat perencanaan dan melaksanakan program program ini diidentifikasi dan diprioritaskan menurut kebutuhan daerah dengan berkonsultasi pada pemerintah tingkat bawah dan anggota masyarakat. Perencanaan pembangunan umumnya dihasilkan oleh tenaga ahli atau konsultan yang berasal dari budaya atau latar belakang sosial
yang berbeda. Perencana (Planner) adalah pihak-pihak yang menghasilkan rencana (Plan), baik dalam bentuk dokumen perencanaan maupun bentuk lainnya seperti struktur organisasi, anggaran, maupun tugas-tugas spesifik. Dalam mengatasi permasalahan, planner memulai perencanaan pembangunan dengan mengenali potensi dan kebutuhan masyarakat penerima manfaat dan penanggung risiko.
Planner sebagai orang atau badan yang menyusun program perencanaan harus memahami dan mengetahui mengenai bagaimana cara-cara menyusun perencanaan yang baik serta analisis dampak yang akan terjadi. Untuk menjembatani kebutuhan perencanaan yang baik maka melalui Keppres No.15/1974 dibentuk Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
(Bappeda) di setiap provinsi. Dalam perkembangannya, muncul Keppres No.27/1980 terkait pembentukan Bappeda di setiap daerah tingkat II. Bappeda berkewajiban merumuskan keterpaduan antara rencana nasional dan daerah, dan keterpaduan hubungan kerja daerah tingkat I dengan daerah tingkat II yang bersifat konsultatif fungsional.
IV. Desentralisasi Sebagai Kendala Perencanaan Ekonomi
Pelaksanaan desentralisasi di Indonesia masih diwarnai banyak kekurangan terutama kurangnya koordinasi pusat dan daerah. Selain itu masalah-masalah lain yang berasal dari masyarakat itu sendiri seperti rendahnya kemampuan mengelola sumber daya alam, rendahnya penguasaan teknologi dan barang modal, rendahnya kualitas tenaga kerja, rendahnya anggaran pendidikan, pengaruh budaya lokal yang bersifat negatif, tingkat korupsi
yang tinggi, rendahnya daya beli masyarakat, pengangguran dan keterbatasan kesempatan kerja, kekurangan modal, dan masalah pemerataan pendapatan.
Desentralisasi menyebabkan perubahan paradigma pemerintahan di Indonesia. Semangat desentralisasi yang berlebihan pada akhirnya hanya menguntungkan pihak tertentu
Penyimpangan terhadap euforia desentralisasi yang berlebihan, hingga saat ini masih sulit
dikontrol oleh pemerintah pusat. Kelemahan desentralisasi yang menghambat perencanaan ekonomi, diantaranya yakni :
1. Terjadinya politik kekuasaan dan desentralisasi korupsi.
Diana Conyers and Peter Hills, 1984, yang menulis “Introduction to Development Planning in the Third World” pada chapter 14, yang berjudul “Planners & Planning
Agencies” mengidentifikasi adanya tiga pihak yang terkait dengan erat dalam perencanaan,
yaitu politisi, perencana dan administrator yang masing-masing memiliki karakter dan argumentasi dalam mengelola tugas dan fungsinya. Dalam proses perencanaan dan
implementasinya seringkali ketiga pelaku tersebut sering silang pendapat atau bahkan kurang komunikasi. Ketiganya memiliki persepsi yang bisa berbeda menyangkut suatu proses maupun hasil perencanaan.
Planner memerlukan mandat politis dari politisi untuk melakukan perencanaan. Berbagai praktek yang berkembang selama masa desentralisasi adalah banyaknya campur tangan yang dilakukan para politisi dalam mengarahkan perencanaan pembangunan. Tidak
jarang proyek-proyek yang disetujui adalah yang selaras dengan kepentingannya untuk kelompok tertentu dan kantong-kantong konstituennya. Dengan adanya penerapan sistem desentralisasi, semakin terbuka peluang bagi oknum pejabat daerah melakukan praktek korupsi. Kasus korupsi pejabat daerah terbaru yaitu melibatkan Gubernur Gatot Pujo Nugroho secara resmi ditahan oleh KPK sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pada penyaluran dana bantuan sosial provinsi Sumatera Utara tahun anggaran 2011-2013.
2. Potensi konflik di daerah.
Semangat pelaksanaan desentralisasi pada awalnya merupakan suatu upaya untuk
mempertahankan NKRI, karena dengan diterapkannya kebijakan ini diharapkan dapat meredam daerah-daerah yang ingin memisahkan diri dengan NKRI. Terutama daerah-daerah
yang merasa kurang puas dengan infrastruktur, sumber daya manusia, dan pelayanan publik yang terabaikan selama masa Orde Baru. Tetapi disatu sisi, desentralisasi berpotensi menyulut konflik antar daerah, konflik yang dimaksud disini adalah konflik kepentingan terkait pemekaran daerah, sumber daya alam, dan perbatasan. Hubungan sosial antar anggota
tidak sensitif merupakan faktor-faktor yang sangat potensial bagi munculnya konflik antar daerah.
Banyak daerah saat ini menyimpan potensi konflik yang sangat besar, kasus konflik antar daerah terbaru yaitu melibatkan propinsi Kalimantan Selatan dengan Sulawesi Barat yang mempersengketakan kepemilikian pulau Lari-larian. Pulau Lari-larian terletak dibatas
kedua provinsi itu, di pulau tersebut terdapat kandungan minyak dan gas bumi yang menjanjikan secara ekonomi.
3. Kesenjangan sumber daya manusia.
Perencanaan ekonomi antara pemerintah pusat dan daerah, juga antara daerah satu dengan daerah lainnya harus dibedakan, tergantung dari tingkat kemapanan antar daerah tersebut serta pemerintah pusat turut campur hanya dalam hal pengawasan dan pedoman pelaksanaannya. Untuk yang sudah maju, yang sudah memiliki sumber daya manusia yang
terlatih dan professional, pemerintah pusat dapat memberikan keluasaan memberikan otonomi yang lebih luas. Sedangkan daerah yang belum maju, pemerintah pusat berhak dan berkewajiban memberikan pedoman perencanaan ekonomi dan pelaksanaan pembangunan.
Faktanya adalah bahwa kemampuan sumber daya manusia di setiap daerah tidaklah sama yang menimbulkan kesenjangan antara daerah. Perencanaan di tingkat pemerintah daerah bisa menjadi kendala yang serius apabila Planner sebagai orang atau badan yang
menyusun program perencanaan kurang memahami dan kurang mengetahui bagaimana cara-cara menyusun perencanaan yang baik serta analisis dampak yang akan terjadi.
V. Kesimpulan
Perencanaan pembangunan regional di Indonesia belum efektif apalagi efisien dalam mengarahkan sumber daya dan sumber dananya. Diperlukan reorientasi perencanaan regional yang berkonsep bangsa bahari, hal ini karena secara geografis Indonesia dikelilingi oleh lautan yang terdiri dari banyak pulau. Sifat dan karakter sebagai negara kepulauan menjadi dasar keragaman ekosistem alam dan budaya. Bukti sejarah bahwa Indonesia adalah bangsa bahari dapat dilihat pada relief candi Borobudur yang dibangun di abad ke-8 masehi, dapat
kapal-kapal dari peradaban Arab pada masa itu. Dengan demikian, konsep pembangunan
nasional di era desentralisasi saat ini harus berpijak dari pola perencanaan yang berbasis kelautan seperti industri perikanan, perkapalan, dan pariwisata bahari.
Desentralisasi bisa dilihat sebagai peluang dan sekaligus ancaman. Peluang bisa diwujudkan bila pemerintah pusat maupun daerah mampu menggalang segenap kekuatan
untuk mengelolanya secara optimal. Namun bisa menjadi ancaman bila yang terjadi adalah perebutan kekuasaan dan yang tumbuh adalah semangat kedaerahan semata. Pola perencanaan yang berbasis semangat Bhinneka Tunggal Ika dapat menjadi solusinya, karena memiliki relevansi dengan melihat konteks sebagai negara kepulauan yang beragam masyarakatnya, beraneka budayanya, dan bervariasi tingkat perkembangannya.