PERBEDAAN KEMAMPUAN METAKOGNISI DAN KOMUNIKASI MATEMATIK ANTARA SISWA YANG DIBERI MODEL
PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE GROUP INVESTIGATION DAN PEMBELAJARAN
BERBASIS MASALAH DI SMP NEGERI 1 PULAU RAKYAT
TESIS
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan dalam Memenuhi Gelar Magister Pendidikan pada
Program Studi Pendidikan Matematika
OLEH:
RIKA HANDAYANI NIM: 8146171070
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
i ABSTRAK
RIKA HANDAYANI. Perbedaan Kemampuan Metakognisi dan Komunikasi Matematik Antara Siswa yang Diberi Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Group Investigation dan Pembelajaran Berbasis Masalah di SMP Negeri 1 Pulau Rakyat. Tesis. Medan: Program Studi Pendidikan Matematika Pascasarjana Universitas Negeri Medan. 2016.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis: 1) perbedaan kemampuan metakognisi antara siswa yang mendapat pembelajaran kooperatif tipe Group Investigation dan yang mendapat PBM; 2) interaksi antara model pembelajaran dengan KAM siswa terhadap kemampuan metakognisi siswa; 3) perbedaan kemampuan komunikasi matematik antara siswa yang mendapat pembelajaran kooperatif tipe Group Investigation dan yang mendapat PBM; 4) interaksi antara model pembelajaran dengan KAM siswa terhadap kemampuan komunikasi matematik siswa; 5) hubungan antara kemampuan metakognisi dan komunikasi matematik siswa. Jenis penelitian ini quasi eksperimen. Populasi seluruh siswa SMP Negeri 1 Pulau Rakyat. Pengambilan sampel menggunakan random sampling yang terdiri dari dua kelas, kelas VIII-3 diberi Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Group Investigation dan Kelas VIII-1 diberi PBM. Analisis data menggunakan ANAVA dua jalur dan korelasi Product Moment. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) terdapat perbedaan kemampuan metakognisi antara siswa yang mendapat pembelajaran kooperatif tipe Group Investigation dan yang mendapat PBM; 2) terdapat interaksi antara model pembelajaran dengan KAM siswa terhadap kemampuan metakognisi siswa; 3) terdapat perbedaan kemampuan komunikasi matematik antara siswa yang mendapat pembelajaran kooperatif tipe Group Investigation dan yang mendapat PBM; 4) terdapat interaksi antara model pembelajaran) dengan KAM siswa terhadap kemampuan komunikasi matematik siswa; 5) terdapat hubungan antara kemampuan metakognisi dan komunikasi matematik siswa.
ii ABSTRACT
RIKA HANDAYANI. The Differences of Metacognition Ability and Communication Mathematical Between Students Given Cooperative Learning Group Investigation Model and Problem Based Learning at SMP Negeri 1 Pulau Rakyat. Thesis. Medan: Mathematics Education Study Program Postgraduate School of University of Medan, 2016.
This research aims to analyze: 1) difference of metacognitive ability between student’s given cooperative learning Group Investigation Model and PBL; 2) the interaction between the model with student’s mathematic prior knowledge on metacognition ability; 3) difference the mathematical communication skills between student’s given cooperative learning Group Investigation and PBL; 4) the interaction between the model with student’s mathematic prior knowledge on mathematical communication skills; 5) the relationship between metacognition ability and communication mathematical skills. This type of research is quasi-experimental. The population of the entire students of SMP Negeri 1 Pulau Rakyat. Sampling using random sampling which consists of two classes, VIII-3 given Cooperative Learning Group Investigation Model and VIII-1 given PBL. Analysis of data using ANAVA two ways and Product Moment Correlation. The results showed that: 1) there is a difference of metacognitive ability between
iii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil”alamin, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-NYA kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan penulisan tesis dengan judul “Perbedaan
Kemampuan Metakognisi dan Komunikasi Matematik Antara Siswa yang Diberi Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Group Investigation Dan Pembelajaran Berbasis Masalah Di SMP Negeri 1 Pulau Rakyat”. Salawat dan salam penulis hanturkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai pembawa risalah bagi umat.
Pada proses penyusunan tesis terdapat beberapa hal yang harus dilalui, diantaranya menghadapi kendala dan keterbatasan serta bimbingan/arahan yang terwujud dalam motivasi dari beberapa pihak. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ayahanda Tumirin, S.Pd dan Ibunda Nuraisyah, yang telah memberikan rasa kasih sayang, perhatian, do’a dan dukungan penuh dalam setiap langkah dalam menyelesaikan perkuliahan dan menyelesaikan penulisan tesis ini. 2. Abang drg. Rahmad Budiman, Sp.Ort, Rahmad Setiawan, S.T dan kakak drg.
Juni Fitrawati, Malia Amkeb beserta Adik Evi Nofridayani, S.Pd dan Dedi Arman Lubis yang telah mendoakan dan memberi dukungan moril maupun materil bagi penulis dalam menyelesaikan tesis.
iv
Pascasarjana UNIMED serta Bapak Dapot Tua Manullang, M.Si selaku Staf Program Studi Pendidikan Matematika.
4. Ibu Dr. Ani Minarni, M.Si, selaku Pembimbing I dan Ibu Dr. Izwita Dewi, M.Pd, selaku Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan, arahan, serta motivasi yang sangat bermanfaat dan berharga bagi penulis dalam penyusunan tesis ini sampai dengan selesai.
5. Bapak Prof. Dr. Hasratuddin, M.Pd, Prof. Dr. Edi Syahputra, M.Pd dan Dr. Asrin Lubis, M.Pd selaku narasumber yang telah banyak memberikan saran dan kritik yang membangun dalam penyempurnaan penyelesaian tesis ini. 6. Direktur, Asisten I, dan II beserta Staf Program Pascasarjana UNIMED yang
telah memberikan bantuan dan kesempatan kepada penulis menyelesaikan tesis ini.
7. Bapak dan Ibu Dosen di lingkungan Prodi Pendidikan Matematika Program Pascasarjana UNIMED yang telah banyak memberikan ilmu pengetahuan yang bermakna selama menjalani pendidikan.
8. Bapak H. Wahab S.Pd, M.M selaku Kepala SMP N 1 Pulau Rakyat yang telah memberi kesempatan dan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian serta guru-guru dan staf administrasi yang telah banyak membantu penulis dalam melakukan penelitian ini.
v
10. Adik-adik penghuni kos RAHMAT atas doa dan motivasi yang diberikan. 11. Teman-teman di kelas A-4 dan seluruh rekan-rekan satu angkatan 2014 dari
Program Studi Pendidikan Matematika yang tak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah banyak memberikan bantuan dan dorongan dalam penyelesaian tesis ini.
Semoga tesis ini bermanfaat bagi penulis maupun rekan-rekan lain terutama rekan pendidik dalam memperkaya khasanah ilmu dalam bidang pendidikan, dan menjadi masukan bagi penelitian lebih lanjut.
Medan, September 2016 Penulis,
vi
2.2.1 Komunikasi dan Komunikasi Matematik ...25
2.2.2 Indikator Komunikasi Matematik ...27
2.3. Model Pembelajaran Kooperatif ...29
2.3.1. Pengertian Model Pembelajaran Kooperatif ...29
2.3.2. Karakteristik Model Pembelajaran Kooperatif ...30
2.3.3. Langkah-langkah Pembelajaran Kooperatif ...31
2.4. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe GI ...32
2.5. Model Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM) ...34
2.6. Kemampuan AwalMatematik ...38
1. Perbedaan Kemampuan Metakognisi antara Siswa yang Mendapat Pembelajaran Kooperatif Tipe GI dan yang Mendapat Pembelajaran Berbasis Masalah ...49
2. Interaksi antara Model Pembelajaran dengan KAM terhadap Kemampuan Metakognisi Siswa ...51
vii
4. Interaksi antara Model Pembelajaran dengan KAM terhadap
Kemampuan Komunikasi Matematik Siswa ...54
5. Hubungan/korelasi Kemampuan Metakognisi dan Komunikasi Matematik Siswa ...54
2.12. Hipotesis Penelitian ...56
BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian ...57
3.2. Populasi dan Sampel ...57
3.3. Tempat dan Waktu Penelitian ...58
3.4. Desain Penelitian ...59
3.5. Variabel Penelitian ...60
3.6. Definisi Operasional...61
3.7. Instrumen Penelitian...62
3.7.1 Tes Kemampuan Awal Matematika ...63
3.7.2 TesKemampuan Metakognisi ...65
3.7.3 Tes Kemampuan Komunikasi Matematik ...66
3.8. Validasi Perangkat dan Instrumen ...68
3.8.1 Validasi Ahli Terhadap Perangkat Pembelajaran ...68
3.8.2 Validasi Ahli Terhadap Instrumen Penelitian ...69
3.9. Uji Coba Instrumen Penelitian ...70
3.10.Teknik Analisis Data ...77
3.11. Prosedur Pelaksanaan Penelitian ...83
BAB IV PEMBAHASAN 4.1. Hasil Penelitian ...86
4.1.1. Deskripsi Hasil Tes Kemampuan Awal Matematik Siswa ...87
4.1.2 Hasil Kemampuan Metakognisi Siswa ...90
4.1.2.1 Deskripsi Angket Kemampuan Metakognisi ...90
4.1.2.2 Analisis Data Kemampuan Metakognisi ...95
4.1.3. Hasil Wawancara Kemampuan Metakognisi Siswa ...98
4.1.3.1 Analisis Kategori Metakognisi ...105
4.1.4. Hasil Tes Kemampuan Komunikasi Matematik Siswa ...107
4.1.4.1 Hasil Postest Kemampuan Komunikasi Matematik Siswa ...107
4.1.4.2 Analisis Data Kemampuan Komunikasi Matematik ...112
4.1.5. Analisis Hipotesis Kelima ...115
4.2. Rangkuman Hasil Pengujian Hipotesis Penelitian ...116
4.3.Pembahasan Hasil Penelitian ...117
4.3.1 Faktor Kemampuan Awal Matematik Siswa ...118
4.3.2 Faktor Model Pembelajaran ...119
4.3.3 Faktor Kemampuan Metakognisi Siswa ...121
4.3.4 Faktor Kemampuan Komunikasi Matematik Siswa ...125
4.3.5 Interaksi Antara Model Pembelajaran dengan KAM Siswa ...128
4.3.6 Hubungan Kemampuan Metakognisi dan Komunikasi Matematik ....130
4.3.7 Keterbatasan Dalam Menerapkan Model Pembelajaran ...132
viii
ix
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1. Langkah-Langkah Pembelajaran Kooperatif ... 31
Tabel 2.2. Sintaks Problem Based Learning ... 38
Tabel 3.1. Desain Penelitian... 59
Tabel 3.2. Keterkaitan antara Variable Bebas, Terikat, Kontrol ... 60
Tabel 3.3. Kriteria Pengelompokan Kemampuan Siswa Berdasarkan KAM ... 64
Tabel 3.4. Jumlah siswa berdasarkan Kategori KAM... 65
Tabel 3.5. Kisi-Kisi Instrument Skala Kemampuan Metakognitif ... 65
Tabel 3.6. Kisi-Kisi Kemampuan Komunikasi Matematik ... 66
Tabel 3.7. Pedoman Penskoran Soal Kemampuan Komunikasi Matematik ... 67
Tabel 3.8. Rangkuman Hasil Validasi Perangkat Pembelajaran ... 68
Tabel 3.9. Hasil Validasi Tes Kemampuan Awal Matematika ... 69
Tabel 3.10. Hasil Validasi Tes Kemampuan Komunikasi Matematik ... 69
Tabel 3.11. Hasil Validasi Angket Metakognisi Setiap Butir Pertanyaan ... 70
Tabel 3.12. Validitas Butir Soal Tes Kemampuan Awal Matematika ... 71
Tabel 3.13. Validitas Butir Soal Tes Kemampuan Komunikasi Matematik ... 72
Tabel 3.14. Validitas Butir Angket Metakognisi ... 72
Tabel 3.15. Hasil Analisis Tingkat Kesukaran Tes Kemampuan Komunikasi Matematis ... 75
Tabel 3.16. Klasifikasi Daya Pembeda ... 76
Tabel 3.17. Hasil Analisis Daya Pembeda Tes Kemampuan Awal Matematik... 76
Tabel 3.18. Hasil Analisis Daya Pembeda Tes Kemampuan Komunikasi Matematik... 77
Tabel 3.19. Hasil Uji Normalitas Kemampuan Awal Matematika Siswa... 78
Tabel 3.20. Keterkaitan Permasalahan, Hipotesis, dan Uji Statistik yang Digunakan ... 82
Tabel 4.1. Deskripsi Nilai Tes KAM Siswa Tiap Kelas Sampel ... 87
Tabel 4.2. Sebaran Sampel Penelitian ... 88
Tabel 4.3. Hasil Uji Normalitas KAM ... 89
Tabel 4.4. Uji Homogenitas Varians Tes KAM ... 90
Tabel 4.5. Data Hasil Angket Metakognisi Siswa ... 91
Tabel 4.6. Hasil Uji ANAVA Dua Jalur Kemampuan Metakognisi ... 95
Tabel 4.7. Tingkat Metakognisi Kelas Eksperimen-1 (Kelompok Tinggi) .... 105
Tabel 4.8. Tingkat Metakognisi Kelas Eksperimen-2 (Kelompok Tinggi) .... 105
Tabel 4.9. Tingkat Metakognisi Kelas Eksperimen-1 (Kelompok Sedang) ... 106
Tabel 4.10. Tingkat Metakognisi Kelas Eksperimen-2 (Kelompok Sedang) . 106 Tabel 4.11. Tingkat Metakognisi Kelas Eksperimen-1 (Kelompok Rendah) . 106 Tabel 4.12. Tingkat Metakognisi Kelas Eksperimen-2 (Kelompok Rendah) . 106 Tabel 4.13. Data Hasil Postest Kemampuan Komunikasi Matematik Siswa . 107 Tabel 4.14. Hasil Uji Anava Dua Jalur Kemampuan Komunikasi Matematik... 112
x
xi
DAFTAR DIAGRAM
Halaman Diagram 4.1. Skor Angket Metakognisi Kelompok Eksperimen-1 Dan
Eksperimen-2 ... 91 Diagram 4.2. Skor Rata-Rata Angket Metakognisi Siswa Kelompok
Eksperimen-1 Dan Eksperimen-2 untuk Setiap KAM ... 92 Diagram 4.3. Skor Rata-Rata Angket Metakognisi Siswa Kelompok
Eksperimen-1 Dan Eksperimen-2 Tiap Indikator ... 93 Diagram 4.4. Skor Metakognisi Indikator-1 Tiap Kategori KAM Siswa
di kelas Eksperimen-1 Dan Eksperimen-2 ... 93 Diagram 4.5. Skor Metakognisi Indikator-2 Tiap Kategori KAM Siswa
di kelas Eksperimen-1 Dan Eksperimen-2 ... 94 Diagram 4.6. Skor Metakognisi Indikator-3 Tiap Kategori KAM Siswa
di kelas Eksperimen-1 Dan Eksperimen-2 ... 94 Diagram 4.7. Interaksi Antara Model Pembelajaran Dengan KAM
Terhadap Kemampuan Metakognisi... 97 Diagram 4.8. Skor Postest Kemampuan Komunikasi Matematik Kelompok
Eksperimen-1 Dan Eksperimen-2... 108 Diagram 4.9. Skor Rata-Rata Postest Kemampuan Komunikasi Matematik
Kelompok Eksperimen-1 Daan Eksperimen-2 untuk Setiap
KAM ... 109 Diagram 4.10. Skor Rata-Rata Komunikasi Matematik Siswa Kelompok
Eksperimen-1 Dan Eksperimen-2 Tiap Indikator ... 109 Diagram 4.11. Skor Rata-Rata Komunikasi Matematik Indikator-1 Tiap
Kategori KAM Siswa di kelas Eksperimen-1 Dan
Eksperimen-2 ... 110 Diagram 4.12. Skor Rata-Rata Komunikasi Matematik Indikator-2 Tiap
Kategori KAM Siswa di kelas Eksperimen-1 Dan
Eksperimen-2 ... 111 Diagram 4.13. Skor Rata-Rata Komunikasi Matematik Indikator-3 Tiap
Kategori KAM Siswa di kelas Eksperimen-1 Dan
Eksperimen-2 ... 111 Diagram 4.14. Interaksi Antara Model Pembelajaran Dengan Kam Terhadap
xii
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran A.1 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran 1 Kelas Eksperimen 1 ... 142
Lampiran A.2 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran 2 Kelas Eksperimen 1 ... 150
Lampiran A.3 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran 3 Kelas Eksperimen 1 ... 159
Lampiran A.4 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran 4 Kelas Eksperimen 1 ... 167
Lampiran A.5 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran 1 Kelas Eksperimen 2 ... 175
Lampiran A.6 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran 2 Kelas Eksperimen 2 ... 183
Lampiran A.7 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran 3 Kelas Eksperimen 2 ... 192
Lampiran A.8 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran 4 Kelas Eksperimen 2 ... 200
Lampiran A.9 Lembar Aktivitas Siswa 1 Kelas Eksperimen 1 ... 209
Lampiran A.10 Lembar Aktivitas Siswa 2 Kelas Eksperimen 1 ... 215
Lampiran A.11 Lembar Aktivitas Siswa 3 Kelas Eksperimen 1 ... 221
Lampiran A.12Lembar Aktivitas Siswa 4 Kelas Eksperimen 1 ... 228
Lampiran A.13 Alternatif LAS 1 Kelas Eksperimen 1 ... 234
Lampiran A.14 Alternatif LAS 2 Kelas Eksperimen 1 ... 236
Lampiran A.15 Alternatif LAS 3 Kelas Eksperimen 1 ... 239
Lampiran A.16 Alternatif LAS 4 Kelas Eksperimen 1 ... 241
Lampiran A.17 Lembar Aktivitas Siswa 1 Kelas Eksperimen 2 ... 243
Lampiran A.18 Lembar Aktivitas Siswa 2 Kelas Eksperimen 2 ... 248
Lampiran A.19 Lembar Aktivitas Siswa 3 Kelas Eksperimen 2 ... 254
Lampiran A.20 Lembar Aktivitas Siswa 4 Kelas Eksperimen 2 ... 260
Lampiran A.21 Alternatif LAS 1 Kelas Eksperimen 2 ... 266
Lampiran A.22 Alternatif LAS 2 Kelas Eksperimen 2 ... 268
Lampiran A.23 Alternatif LAS 3 Kelas Eksperimen 2 ... 271
Lampiran A.24 Alternatif LAS 4 Kelas Eksperimen 2 ... 274
Lampiran B.1 Tes Kemampuan Awal Matematika ... 277
Lampiran B.2 Alternatif Jawaban Tes Kemampuan Awal Matematika ... 281
Lampiran B.3 Tes Akhir Kemampuan Komunikasi Matematik ... 287
Lampiran B.4 Angket Kemampuan Metakognisi... 295
Lampiran C.1 Laporan Validasi Perangkat Pembelajaran dan Instrumen Penelitian ... 303
Lampiran C.2 Laporan Hasil Uji Coba Perangkat Pembelajaran dan Instrumen Penelitian ... 326
Lampiran D.1 Nama-Nama Siswa Kelas Eksperimen-1 Dan Eksperimen-2 ... 348
Lampiran D.2 Data Kemampuan Awal Matematika Kelas Eksperimen I dan Kelas Eksperimen II ... 350
Lampiran D.3 Uji Normalitas dan Homogenitas Kemampuan Awal Matematika Kelas Eksperimen-1 dan Eksperimen-2 ... 353
Lampiran D.4 Uji Normalitas dan Homogenitas Nilai Kemampuan Awal Matematika Siswa Kelas Eksperimen-1 dan Kelas Eksperimen-2 Berdasarkan SPSS16 ... 358
Lampiran D.5 Data Nilai Angket Metakognisi Siswa Kelas Eksperimen-1 dan Kelas Eksperimen-2 ... 360
Lampiran D.7 Uji Normalitas dan Homogenitas Angket Metakognisi Siswa Kelas Eksperimen-1 dan Kelas Eksperimen-2 Berdasarkan SPSS16 ... 366 Lampiran D.8 Uji ANAVA Angket Metakognisi Siswa Secara Manual... 368 Lampiran D.9 Uji Perbandingan Ganda Dengan Uji Schefie ... 372 Lampiran D.10 Perhitungan ANAVA 2 Jalur Pada Angket Metakognisi
Siswa Berdasarkan Spss 16 ... 373 Lampiran D.11 Dekripsi Hasil Posttest Kemampuan Komunikasi
Matematis Kelas Eksperimen 1 dan Kelas Eksperimen 2 ... 375 Lampiran D.12 Deskripsi Data Posttest Kemampuan Komunikasi Matematis
Berdasarkan KAM Kelas Eksperimen-1 dan Kelas Eksperimen-2 ... 379 Lampiran D.13 Uji Normalitas dan Homogenitas Kemampuan Komunikasi
Matematik Kelas Eksperimen-1 dan Eksperimen-2 ... 381 Lampiran D.14 Uji Normalitas dan Homogenitas Postest Kemampuan
KomunikasiMatematis Siswa Kelas Eksperimen-1 dan Kelas Eksperimen-2 Berdasarkan SPSS16 ... 386 Lampiran D.15 Uji Anava Kemampuan Komunikasi Matematis Secara Manual388 Lampiran D.16 Uji Perbandingan Ganda Dengan Uji Schefie ... 392 Lampiran D.17 Perhitungan ANAVA 2 Jalur Kemampuan Komunikasi
Matematis Berdasarkan Spss 16 ... 393 Lampiran D.18 Hubungan Kemampuan Metakognisi Dengan Kemampuan Komunikasi Matematik Kelas Eksperimen-1 (GI) Dan Eksperimen-2 (PBM) ... 395 Lampiran D.19 Uji Korelasi Kelas Eksperimen-1 dan Eksperimen-2
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang Masalah
Matematika sebagai salah satu mata pelajaran di sekolah di nilai cukup
memegang peranan penting dalam membentuk siswa menjadi berkualitas.
Matematika merupakan suatu sarana berpikir untuk mengkaji sesuatu secara logis,
kritis, rasional dan sistematis. Matematika juga dapat melatih kemampuan peserta
didik agar terbiasa dalam memecahkan suatu masalah yang ada di sekitarnya
sehingga dapat mengembangkan potensi diri dan sumber daya yang dimiliki
peserta didik. Hal ini senada dengan yang diungkapkan Cornelius (dalam
Abdurrahman, 2009) bahwa “Lima alasan perlunya belajar matematika karena
matematika merupakan (1) sarana berpikir yang jelas dan logis, (2) sarana untuk
memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari, (3) sarana mengenal pola-pola
hubungan dan generalisasi, (4) sarana untuk mengembangkan kreativitas, (5)
sarana untuk meningkatkan kesadaran terhadap perkembangan budaya”.
Matematika merupakan ilmu dasar dari pengembangan sains (basic of
science). Masyarakat secara tidak langsung sudah menggunakan matematika
dalam kehidupan sehari-hari seperti menghitung luas tanah, biaya listrik, gaji, luas
rumah, dan masih banyak yang lainnya. Suhendra (dalam Murti, 2015)
mengatakan bahwa “matematika dipandang sebagai salah satu bidang yang sangat
penting karena berkontribusi terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi serta menunjang berbagai aktivitas keseharian umat manusia”.
Selanjutnya menurut Cockroft (dalam Abdurrahman, 2009):
2
memerlukan keterampilan matematika yang sesuai, 3) merupakan sarana komunikasi yang kuat, singkat, dan jelas, 4) dapat digunakan untuk menyajikan informasi dalam berbagai cara, 5) meningkatkan kemampuan berpikir logis, ketelitian, dan kesadaran keruangan, 6) memberikan kepuasan terhadap usaha memecahkan masalah yang menantang.
Dari uraian di atas dapat di ambil kesimpulan bagaimana pentingnya
matematika dipelajari. Karena dengan mempelajari matematika semua orang
khususnya siswa dapat meningkatkan dan mengembangkan kemampuannya,
terlebih lagi dalam memecahkan permasalahan yang nantinya akan teraplikasi
dalam kehidupan sehari-harinya. Oleh karena itu, hendaknya pembelajaran
matematika dapat terus ditingkatkan hingga mencapai taraf kualitas yang lebih
baik. Sebab dengan adanya peningkatan hasil pembelajaran matematika
diharapkan dapat berdampak positif pada peningkatan mutu pendidikan di
Indonesia.
Namun dalam implementasinya di lapangan, ternyata pembelajaran
matematika belum sepenuhnya mencapai taraf kualitas yang diharapkan.
Kenyataan ini dapat di lihat dari prestasi belajar matematika yang diperoleh siswa
masih rendah. Menurut catatan TIMSS (2011), lembaga yang mengukur
pendidikan dunia bahwa penguasaan matematika siswa kelas 8 negara Indonesia
berada di peringkat ke-38 dari 42 negara. Skor rata-rata yang diperoleh
siswa-siswa Indonesia adalah 386. Skor ini masih jauh di bawah skor rata-rata
internasional yaitu 500. Selain itu, bila dibandingkan dengan tiga negara
tetangga, yaitu Singapura, Malayasia dan Thailand, posisi peringkat siswa kita
jauh tertinggal. Singapura berada pada peringkat ke-2 dengan skor rata-rata 611,
Malaysia berada pada peringkat ke-26 dengan skor rata-rata 440 dan Thailand
3
International Assessment (PISA, 2012), siswa Indonesia berada pada peringkat
ke-64 dari 65 negara yang berpartisipasi. Ini menunjukkan bahwa literasi
matematika siswa Indonesia masih sangat rendah. Karena itu, hendaknya
pembelajaran matematika harus terus ditingkatkan hingga mencapai taraf kualitas
yang lebih baik dengan cara melibatkan siswa secara aktif dalam pembelajaran
dengan menyediakan aktivitas-aktivitas yang khusus yang berpusat pada siswa
untuk mencapai salah satu kompetensi inti yang diharapkan dalam pembelajaran
matematika sesuai dengan yang tercantum dalam kurikulum 2013.
Salah satu kompetensi inti yang diharapkan dalam pembelajaran
matematika sebagaimana yang telah tercantum dalam kurikulum 2013 yaitu siswa
dapat “memiliki pengetahuan faktual, konseptual, prosedural, dan metakognitif
dalam ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan budaya dengan wawasan
kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait penyebab serta
dampak fenomena dan kejadian” (Kemendikbud, 2013).
Dari salah satu kompetensi inti yang tercantum dalam kurikulum 2013
tersebut diharapkan dalam pembelajaran matematika dapat melibatkan
kemampuan metakognisi siswa dalam memecahkan masalah. Menurut Flavel
(dalam Nur’aeni, dkk, 2006), “metakognisi sebagai kesadaran seseorang tentang
bagaimana ia belajar, kemampuan untuk menilai kesukaran sesuatu masalah,
kemampuan untuk mengamati tingkat pemahaman dirinya, kemampuan
menggunakan berbagai informasi untuk mencapai tujuan, dan kemampuan menilai
kemajuan belajar sendiri”. Sedangkan Wellman (dalam Syaiful, 2011)
menyatakan bahwa “Metacognition is a form of cognition, a second or higher
order thinking process which involves active control over cognitive processes. It
4
about cognition”. Metakognisi, menurut Wellman tersebut, sebagai suatu bentuk
kognisi, atau proses berpikir dua tingkat atau lebih yang melibatkan pengendalian
terhadap aktivitas kognitif. Karena itu, metakognisi dapat dikatakan sebagai
berpikir seseorang tentang berpikirnya sendiri atau kognisi seseorang tentang
kognisinya sendiri.
Secara ringkas metakognisi dapat diistilahkan sebagai “thinking about
thinking”. Bila kita menyadari, sebenarnya selama beraktivitas dalam keseharian
setiap orang selalu bekerja dengan metakognisinya. Kesadaran akan keberadaan
metakognisi memungkinkan seseorang berhasil sebagai pelajar, dan hal itu
berkaitan kecerdasan atau inteligen. Karena mereka menjadi memiliki
kemampuan mengidentifikasi proses berpikirnya untuk menyelesaikan tugas yang
diberikan. Sejalan dengan penelitian Duning dkk (dalam Coutinho, 2007)
menyatakan “metakognisi merupakan prediktor yang kuat dalam prestasi
akademik. Siswa dengan tingkat metakognisi baik/tinggi akan memperlihatkan
prestasi akademik yang lebih baik dibandingkan siswa dengan tingkat
metakognisi yang tidak baik/rendah”. Putri, dkk (2012) menjelaskan penerapan
metakogisi dapat meningkatkan kemampuan siswa memecahkan masalah
matematika. Sejalan dengan pendapat Chairani (2013) mengatakan bahwa
“beberapa hasil penelitian menunjukkan siswa yang mengembangkan aktivitas
metakognisinya dapat meningkatkan kemampuan dalam memecahkan masalah
matematika”. Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa siswa yang
menggunakan metakognisinya memiliki kemampuan lebih dalam menyelesaikan
soal matematika.
Gambaran di atas menunjukkan bahwa peranan metakognisi sangat
5
matematika. Kenyataan yang terjadi adalah siswa kurang memanfaatkan
metakognisi mereka ketika menyelesaikan masalah, sehingga mereka tidak
memahami apa yang dipelajarinya. Nugrahaningsih (2012) dalam penelitiannya
tentang metakognisi siswa SMA kelas akselerasi dalam menyelesaikan masalah
matematika disimpulkan bahwa:
Siswa dari kelompok bawah, memiliki pengetahuan metakognisi yang kurang lengkap. Dalam pemecahan masalah matematika, siswa tidak membuat perencanaan, pemantauan dan evaluasi proses berpikirnya dengan baik, apabila menemui soal yang terkait trigonometri, siswa sudah bingung, sehingga yang dilakukan hanyalah dengan mengandalkan hafalan saja. Apabila tidak hafal, siswa main tebak. Siswa lain dari kelompok bawah, kalau ditanya mengapa menggunakan rumus itu atau mengapa menggunakan cara itu, jawabnya adalah “kata pak guru” atau “dari catatan.
Begitu juga hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti (2016) kepada
salah satu guru di SMP N 1 Pulau Rakyat bahwa siswa dalam menjawab soal
belum menggunakan kemampuan metakognisinya seperti menyusun rencana
tindakan, memonitor tindakan, dan mengevaluasi tindakan. Mereka terbiasa
meniru apa yang dicontohkan oleh guru tanpa mau berpikir mencari alternatif
jawaban yang lebih mudah dimengerti.
Kemampuan metakognisi anak tidak muncul dengan sendirinya, tetapi
perlu dilatihkan atau diajarkan sehingga menjadi kebiasaan. Suherman, dkk
(2001) menyatakan bahwa “perkembangan metakognisi dapat diupayakan melalui
cara di mana anak di tuntut untuk mengobservasi tentang apa yang mereka ketahui
dan kerjakan, dan untuk merefleksi tentang apa yang dia observasi”.
Selain pentingnya kemampuan metakognisi siswa, sebagai seorang guru
harus berupaya untuk mengoptimalkan kemampuan komunikasi matematik siswa
yaitu salah satu aspek yang ditekankan dalam tujuan pembelajaran matematika
6
memecahkan masalah (mathematical problem soving); (2) belajar untuk bernalar
(mathematical reasoning); (3) belajar untuk berkomunikasi (mathematical
communication); (4) belajar untuk mengaitkan ide (mathematical conections); (5)
pembentukan sikap positif terhadap matematika (positive attitudes toward
mathematics)”.
Dari pernyataan di atas, salah satu aspek yang ditekankan adalah
meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa. Kemampuan
komunikasi matematik yaitu mengembangkan kemampuan siswa dalam
mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain
untuk memperjelas keadaan atau masalah. Baroody (dalam Ansari, 2012)
menyebutkan sedikitnya ada dua alasan penting, komunikasi dalam matematika
perlu ditumbuhkembangkan dikalangan siswa yaitu:
Pertama mathematics as language, artinya matematika tidak hanya sekedar alat bantu berpikir, alat untuk menemukan pola, menyelesaikan masalah atau mengambil kesimpulan, tetapi matematika juga sebagai suatu alat bantu yang berharga untuk mengkomunikasikan ide secara jelas, tepat dan cermat. Kedua, mathematics learning as social activity, artinya sebagai aktivitas social dalam pembelajaran matematika, matematika juga sebagai wahana interaksi antar siswa dan juga komunikasi antar guru dan siswa.
Sejalan dengan hal tersebut, Greenes dan Schulman (dalam Ansari, 2012)
mengatakan komunikasi matematik merupakan:
Kekuatan sentral bagi siswa dalam merumuskan konsep dan strategi matematik, Modal keberhasilan bagi siswa terhadap pendekatan dan penyelesaian dalam eksplorasi dan investigasi matematik, Wadah bagi siswa dalam berkomunikasi dengan temannya untuk memperoleh informasi, membagi pikiran dan penemuan, curah, pendapat, menilai, dan mempertajam ide.
Gagasan dan pikiran seseorang dalam menyelesaikan permasalahan
7
gambar, maupun tabel. Cockroft (dalam Shadiq, 2003) menyatakan bahwa
“matematika merupakan alat komunikasi yang sangat kuat, teliti, dan tidak
membingungkan”. Komunikasi ide-ide, gagasan pada operasi atau pembuktian
matematika banyak melibatkan kata-kata, lambang matematis, dan bilangan. KBK
(dalam Shadiq, 2003) menyatakan bahwa:
Banyak persoalan ataupun informasi disampaikan dengan bahasa matematika misalnya menyajikan persoalan atau masalah ke dalam bentuk matematika yang dapat berupa diagram, persamaan matematika, grafik, ataupun tabel. Mengkomunikasikan gagasan dengan bahasa matematika justru lebih praktis, sistematis dan efisien. Begitu pentingnya matematika sehingga bahasa matematika merupakan bagian dari bahasa yang digunakan dalam masyarakat.
Dari beberapa pernyataan di atas, jelaslah bahwa kemampuan komunikasi
matematis sangat penting bagi siswa untuk ditumbuhkembangkan, karena setiap
permasalahan sehari-hari dibutuhkan komunikasi yang baik untuk menemukan
penyelesaiannya. Komunikasi dapat terjadi ketika siswa menjelaskan algoritma
untuk memecahkan suatu persamaan, ketika siswa menyajikan cara unik untuk
memecahkan masalah, ketika siswa mengkontruksi dan menjelaskan suatu
representasi grafik terhadap fenomena dunia nyata, dan ketika siswa memberikan
suatu konjektur tentang gambar-gambar geometri. “Kemampuan komunikasi
siswa perlu diperhatikan dalam pembelajaran matematika karena melalui
komunikasi siswa dapat mengorganisasi dan mengkonsolidasi berpikir
matematisnya dan siswa dapat mengeksplorasi ide matematika” (NCTM, 2000).
Sekalipun kemampuan komunikasi matematik siswa penting untuk
dikembangkan, namun pada kenyataannya kemampuan komunikasi matematik
siswa masih rendah. Beberapa hasil penelitian yang dilakukan oleh Handayani
(2006), Fitriza (2007), dan Jamaan dkk. (2007), Fauzan (dalam Izzati, 2010)
8
titik lemah siswa dalam pembelajaran matematika. Jika kepada siswa diajukan
suatu pertanyaan, pada umumnya reaksi mereka adalah menunduk, atau melihat
kepada teman yang duduk di sebelahnya. Mereka kurang memiliki kepercayaan
diri untuk mengomunikasikan ide yang dimiliki karena takut salah dan
ditertawakan teman. Senada dengan penjelasan tersebut hasil penelitian dari
Ansari (2012) pada observasi yang dilakukan terhadap siswa kelas X di beberapa
SMA Negeri NAD menunjukkan bahwa rata-rata siswa terlihat kurang terampil
berkomunikasi untuk menyampaikan informasi seperti menyatakan ide,
mengajukan pertanyaan dan menanggapi pendapat orang lain.
Rendahnya kemampuan komunikasi matematis juga dialami oleh siswa
SMP N 1 Pulau Rakyat. Diberikan soal kemampuan komunikasi matematis yaitu:
Diketahui suatu kotak berbentuk kubus dengan panjang rusuknya yaitu 30 cm.
Tentukan: a. Situasi tersebut ke dalam bentuk gambar!, b. Buatlah model
matematika dari luas permukaan kubus tersebut! Kemudian hitunglah luas
permukaan kubus tersebut!
Dari 35 siswa, terdapat 15 orang yang menjawab salah. Salah satu contoh
hasil jawaban siswa yang menunjukkan kemampuan komunikasi siswa masih
rendah seperti berikut:
9
Lembar jawaban ini memperlihatkan bahwa kemampuan komunikasi
siswa masih rendah, karena siswa tidak dapat mengkomunikasikan ide-ide
matematisnya secara tertulis, sehingga siswa masih salah dalam menyatakan
situasi dalam bentuk gambar, dan salah dalam membuat model matematika dari
soal tersebut.
Hal ini di perkuat oleh hasil observasi yang dilakukan Zahara (2014)
bahwa siswa kesulitan dalam mengkomunikasikan ide-ide matematisnya secara
tertulis, siswa tidak mampu menuliskan model matematika dari persoalan yang
diberikan. Selanjutnya penelitian yang dilakukan Purwadi (2014) bahwa “siswa
mengalami kesulitan dalam menyatakan situasi kehidupan sehari-hari ke dalam
bentuk model matematika dan siswa tidak memahami serta tidak dapat
menjelaskan kembali apa maksud dari bentuk model matematika”.
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa kemampuan
metakognisi dan kemampuan komunikasi matematik merupakan
kemampuan yang sangat penting untuk dimiliki oleh seorang siswa. Oleh
karena itu, sangat penting bagi guru atau pendidik untuk mengembangkan
kemampuan metakognisi dan kemampuan komunikasi matematik. Namun,
dalam proses pembelajaran matematika, selain kemampuan metakognisi
dan kemampuan komunikasi matematik yang dimiliki siswa perlu juga
menciptakan suasana belajar yang tepat dengan kondisi siswa. Dalam upaya
peningkatan mutu pendidikan khususnya dalam meningkatkan hasil pendidikan
satu diantaranya yang harus dikembangkan terletak pada proses belajar mengajar
yang merupakan kegiatan yang paling pokok dalam proses pendidikan. Dengan
demikian berhasil tidaknya pencapaian tujuan pendidikan dipengaruhi
10
proses pembelajaran yang terjadi masih berpusat pada guru (teacher–centered).
Siswa lebih sering hanya diberikan rumus-rumus yang siap pakai tanpa
memahami makna dari rumus-rumus tersebut. Sebagian siswa masih menganggap
matematika sebagai pelajaran yang sulit dipelajari bahkan dianggap sebagai
pelajaran yang menakutkan.
Menurut penelitian yang dilakukan Balitbang Puskur (dalam Murni, 2010)
menemukan bahwa dalam pembelajaran matematika di SMP guru melaksanakan
pembelajaran kurang terarah, hanya mengikuti alur buku teks dengan metode dan
pendekatan yang kurang bervariasi. Berdasarkan wawancara yang dilakukan
peneliti di SMP N 1 Pulau Rakyat diperoleh keterangan dari guru bidang studi
matematika bahwa mereka terbiasa mengajar menggunakan metode konvensional.
Menyampaikan rumus terlebih dahulu kemudian diberikan contoh dan soal
latihan. Dan belum menerapkan model-model pembelajaran yang berpusat pada
siswa (student–centered) seperti model pembelajaran kooperatif dan pembelajaran
berbasis masalah. Selanjutnya Syaiful (2001) menyatakan “guru dalam
pembelajaran di kelas tidak mengaitkan materi yang diajarkan dengan
skema-skema yang telah dimiliki oleh siswa, dan siswa kurang diberikan kesempatan
untuk menemukan kembali dan mengkontruksi sendiri ide-ide matematika”.
Dengan kata lain, guru tidak memberikan kesempatan kepada siswa untuk
menjadi pusat pembelajaran dan mengkontruksi sendiri pengetahuan matematika
yang akan menjadi milik siswa. Dengan kondisi yang demikian, kemampuan
metakognisi siswa dan komunikasi matematik siswa kurang berkembang.
Model pembelajaran yang mampu mengembangkan dan melatih
kemampuan komunikasi matematik dan metakognisi siswa diantaranya adalah
11
menitikberatkan pada pengelompokan siswa dengan tingkat kemampuan
akademik yang berbeda kedalam kelompok-kelompok kecil. Pembelajaran
kooperatif adalah suatu model pembelajaran yang saat ini banyak digunakan
untuk mewujudkan kegiatan belajar mengajar yang berpusat pada siswa (student
centered) untuk mengatasi masalah dengan bekerja sama. Zakaria, E. at. al (2006)
dalam penelitiannya yang berjudul Promoting cooperative learning in science and
mathematics Education menyatakan “penggunaan model pembelajaran
cooperative pada matematika dan ilmu sains sangat efektif”. Trianto (2009)
menyatakan bahwa “pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan kinerja siswa
dalam tugas-tugas akademik, unggul dalam membantu siswa memahami
konsep-konsep yang sulit, dan membantu siswa menumbuhkan kemampuan berpikir kritis
dan dapat memberikan keuntungan baik pada siswa kelompok bawah maupun
kelompok atas yang bekerja bersama menyelesaikan tugas-tugas akademik”.
Menurut Arends (2008) tiga tujuan penting dalam pembelajaran kooperatif yaitu:
prestasi akademis, toleransi dan penerimaan terhadap keanekaragaman, dan
pengembangan keterampilan sosial. Sejalan dengan pendapat Isjoni (2010) tujuan
utama dalam penerapan model pembelajaran kooperatif adalah “agar peserta didik
dapat belajar secara berkelompok bersama teman-temannya dengan cara saling
menghargai pendapat dan memberikan kesempatan kepada orang lain untuk
mengemukakan gagasannya dengan menyampaikan pendapat mereka secara
berkelompok”.
Banyak tipe model pembelajaran cooperative, diantaranya yaitu tipe
Group investigation (GI). Dengan model pembelajaran kooperatif tipe Group
Investigation (GI) siswa belajar bersama, saling membantu, dan berdiskusi
12
(dalam Tampubolon, 2014) “model pembelajaran kooperatif group investigation
adalah metode kelompok temuan yang bersifat heterogen”. Siswa dilibatkan
dalam perencanaan baik pada topik yang akan dipelajari dan cara-cara untuk
memulai investigasi mereka.
Beberapa penelitian telah dilakukan dengan menerapkan pembelajaran
kooperatif tipe GI, dan hasilnya kooperatif tipe GI mampu meningkatkan
komunikasi matematis siswa. Muriana (2013) dengan menggunakan Model
Pembelajaran Kooperatif Tipe Grup Investigation (GI) pada Siswa kelas X SMA
di Kecamatan Medan Area menyimpulkan bahwa “terdapat perbedaan
peningkatan kemampuan komunikasi matematik antara siswa yang menggunakan
model pembelajaran kooperatif tipe GI dengan siswa yang memperoleh
pembelajaran biasa”. Kemampuan komunikasi matematik siswa meningkat untuk
setiap indikator menulis, menggambar dan ekspresi matematik pada pembelajaran
GI.
Menurut Slavin (2008), membagi langkah-langkah pembelajaran tipe
Group investigation (GI) meliputi 6 tahap, yaitu: mengidentifikasikan topik dan
mengatur murid ke dalam kelompok, merencanakan tugas yang akan dipelajari,
melaksanakan investigasi, menyiapkan laporan akhir, mempresentasikan laporan
akhir, dan mengevaluasi. Tipe Group Investigation (GI), mengharuskan guru
menyiapkan masalah untuk sekelompok siswa pada jenjang kemampuan tertentu.
Siswa menghadapi masalah yang kemudian diarahkan kepada menemukan konsep
atau prinsip. Karena siswa secara bersama-sama menemukan konsep atau prinsip,
maka diharapkan konsep tersebut tertanam dengan baik pada diri siswa yang pada
13
Selain model pembelajaran kooperatif tipe Group Investigation (GI),
model pembelajaran yang mampu mengembangkan dan melatih kemampuan
metakognisi dan komunikasi matematik siswa diantaranya adalah model
Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM). Arends (2008) menyatakan bahwa
“pembelajaran berdasarkan masalah merupakan suatu pendekatan pembelajaran
dimana siswa mengerjakan permasalahan yang autentik dengan maksud untuk
menyusun pengetahuan mereka sendiri, mengembangkan inkuiri dan keterampilan
berpikir tingkat lebih tinggi, mengembangkan kemandirian dan percaya diri”.
Pembelajaran ini dipusatkan kepada masalah-masalah yang disajikan oleh guru
dan siswa menyelesaikan masalah tersebut dengan seluruh pengetahuan dan
keterampilan mereka dari berbagai sumber yang dapat diperoleh. Pembelajaran
yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi peserta didik
untuk belajar tentang cara berpikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah,
serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensial dari materi
pelajaran. “Tujuan instruksional PBL yaitu membantu siswa mengembangkan
keterampilan investigative dan keterampilan mengatasi masalah, memberikan
pengalaman peran-peran orang dewasa kepada siswa untuk mendapatkan rasa
percaya diri atas kemampuanya sendiri, untuk berpikir dan menjadi pelajar yang
self-regulated” (Arends, 2008).
Dalam Model Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM), siswa di dorong
untuk memiliki kemampuan memecahkan masalah dalam situasi nyata, Siswa
memiliki kemampuan membangun pengetahuannya sendiri melalui aktivitas
belajar, Terjadi aktivitas ilmiah pada siswa melalui kerja kelompok, Siswa
memiliki kemampuan menilai kemajuan belajarnya sendiri, Siswa memiliki
14
presentasi hasil pekerjaan mereka, Kesulitan belajar siswa secara individual dapat
diatasi melalui kerja kelompok dalam bentuk peer-teaching. Menurut Arends
(2008) sintaks PBM secara umum ada lima, yaitu: (1) orientasi siswa pada
masalah, (2) mengorganisasi siswa untuk belajar, (3) membimbing penyelidikan
individual maupun kelompok, (4) mengembangkan dan menyajikan hasil karya,
(5) menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah.
Beberapa penelitian telah dilakukan dengan menerapkan PBM, dan
hasilnya PBM mampu meningkatkan kemampuan metakognisi dan komunikasi
matematis siswa. Lubis (2014) menggunakan model Pembelajaran Berbasis
Masalah pada siswa kelas VII SMP Swasta Harapan 2 Medan menyimpulkan
bahwa “kemampuan metakognisi matematika siswa yang diberi PBM lebih baik
daripada yang diberi model ekpositori”. Sedangkan Wahyuni (2014)
menggunakan model pembelajaran berbasis masalah pada siswa kelas VII MTs
Kota Langsa menyimpulkan bahwa “terdapat perbedaan peningkatan kemampuan
komunikasi matematik antara siswa kelas heterogen gender dengan kelas
homogen gender. Dan peningkatan kemampuan komunikasi matematik siswa
kelas homogen gender lebih tinggi daripada peningkatan kemampuan komunikasi
matematik siswa kelas heterogen gender”.
Dari kedua model pembelajaran yang diuraikan di atas, kedua model
pembelajaran berpotensi dapat meningkatkan kemampuan metakognisi dan
kemampuan komunikasi matematik siswa. Namun dari kedua model pembelajaran
tersebut kita tidak mengetahui model pembelajaran mana yang sangat berpotensi
untuk meningkatkan kemampuan metakognisi dan komunikasi matematik siswa
SMP Negeri 1 Pulau Rakyat. Sehingga perlu di analisis perbedaan kedua
15
PBM untuk mengetahui pembelajaran mana yang lebih baik diterapkaan untuk
mengembangkan kedua kemampuan siswa SMP Negeri 1 Pulau Rakyat. Beberapa
hal yang masih perlu diperhatikan adalah berkaitan dengan kemampuan awal
matematika siswa yang dibedakan kedalam kelompok rendah, sedang dan tinggi.
Dalam pembelajaran matematika materi-materi yang dipelajari tersusun secara
hierarkis dan konsep matematika yang satu dengan yang lain saling berhubungan
membentuk konsep baru yang lebih kompleks. Ini berarti bahwa pengetahuan
matematika yang dimiliki siswa sebelumnya menjadi dasar pemahaman untuk
mempelajari materi selanjutnya. Mengingat matematika merupakan dasar dan
bekal untuk mempelajari berbagai ilmu, dan mengingat matematika tersusun
secara hierarkis, maka kemampuan awal matematika yang dimiliki peserta didik
akan memberikan sumbangan yang besar dalam memprediksi keberhasilan belajar
siswa selanjutnya.
Kemampuan awal matematika siswa merupakan pengetahuan yang dimiliki
siswa sebelum pembelajaran berlangsung yang harus dimiliki siswa agar dapat
mengikuti pelajaran dengan lancar. Hal ini disebabkan materi pelajaran yang ada
di susun secara terstruktur sehingga apabila seseorang mengalami kesulitan pada
pokok bahasan awal, maka otomatis akan kesulitan dalam mempelajari pokok
bahasan lanjutannya. Sebaliknya siswa yang mempunyai latar belakang
kemampuan awal yang baik akan dapat mengikuti pelajaran dengan lancar. Siswa
yang mengikuti proses belajar mengajar mempunyai latar belakang kemampuan
awal yang berbeda-beda, sehingga kemampuan mengikuti pelajaran berbeda pula.
Karena itu kemampuan awal yang dimiliki siswa mempengaruhi interaksinya
dengan model pembelajaran yang diberikan guru hanya saja, pengaruh atau
16
memperhatikan kemampuan awal siswa, sehingga dengan mengetahui
kemampuan awal siswanya yang bervariasi guru dapat memilih model yang cocok
untuk digunakan dalam pembelajaran, dan harus dapat meningkatkan kemampuan
matematika siswa yang heterogen. Berdasarkan latar belakang diatas, maka
peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul: “Perbedaan
Kemampuan Metakognisi dan Komunikasi Matematik antara Siswa Yang Diberi
Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Group Investigation (GI) dan Pembelajaran
Berbasis Masalah (PBM)”.
1.2Identifikasi Masalah
Dari latar belakang tersebut terdapat beberapa masalah yang dapat
diidentifikasi, yaitu:
1. Masih rendahnya prestasi belajar matematika siswa Indonesia
2. Siswa SMP N 1 Pulau Rakyat kurang memanfaatkan metakognisi mereka
ketika menyelesaikan masalah
3. Kemampuan komunikasi matematik siswa SMP N 1 Pulau Rakyat masih
rendah
4. Guru SMP N 1 Pulau Rakyat terbiasa mengajar menggunakan metode
konvensional
5. Belum diterapkannya model pembelajaran kooperatif tipe GI dan pembelajaran
berbasis masalah di SMP N 1 Pulau Rakyat
1.3Batasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah di atas banyak permasalahan yang
17
mengarahkan masalah yang akan diteliti, oleh karena itu peneliti membatasi
permasalahan dalam penelitian ini hanya pada:
1. Siswa SMP N 1 Pulau Rakyat kurang memanfaatkan metakognisi mereka
ketika menyelesaikan masalah
2. Kemampuan komunikasi matematik siswa SMP N 1 Pulau Rakyat masih
rendah
3. Guru SMP N 1 Pulau Rakyat terbiasa mengajar menggunakan metode
konvensional
4. Belum diterapkannya model pembelajaran kooperatif tipe GI dan pembelajaran
berbasis masalah di SMP N 1 Pulau Rakyat
1.4 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, identifikasi masalah, dan pembatasan masalah
tersebut di atas, masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Apakah terdapat perbedaan kemampuan metakognisi antara siswa yang
mendapat pembelajaran kooperatif tipe Group Investigation dan yang
mendapat Pembelajaran Berbasis Masalah?
2. Apakah terdapat interaksi antara pembelajaran (kooperatif tipe Group
Investigation dan PBM) dengan kemampuan awal matematik siswa (tinggi,
sedang, rendah) terhadap kemampuan metakognisi siswa?
3. Apakah terdapat perbedaan kemampuan komunikasi matematik antara siswa
yang mendapat pembelajaran kooperatif tipe Group Investigation dan yang
18
4. Apakah terdapat interaksi antara pembelajaran (kooperatif tipe Group
Investigation dan PBM) dengan kemampuan awal matematik siswa (tinggi,
sedang, rendah) terhadap kemampuan komunikasi matematik siswa?
5. Apakah terdapat hubungan antara kemampuan metakognisi dan komunikasi
matematik siswa?
1.5Tujuan Penelitian
Sesuai dengan perumusan masalah yang telah diuraikan di atas, maka
penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut :
1. Untuk menganalisis apakah terdapat perbedaan kemampuan metakognisi antara
siswa yang mendapat pembelajaran kooperatif tipe Group Investigation dan
yang mendapat Pembelajaran Berbasis Masalah.
2. Untuk menganalisis apakah terdapat interaksi antara model pembelajaran
(kooperatif tipe Group Investigation dan PBM) dengan kemampuan awal
matematik siswa (tinggi, sedang, rendah) terhadap kemampuan metakognisi
siswa.
3. Untuk menanalisis apakah terdapat perbedaan kemampuan komunikasi
matematik antara siswa yang mendapat pembelajaran kooperatif tipe Group
Investigation dan yang mendapat Pembelajaran Berbasis Masalah.
4. Untuk menganalisis apakah terdapat interaksi antara model pembelajaran
(kooperatif tipe Group Investigation dan PBM) dengan kemampuan awal
matematik siswa (tinggi, sedang, rendah) terhadap kemampuan komunikasi
matematik siswa.
5. Untuk menganalisis apakah terdapat hubungan/korelasi antara kemampuan
19
1.6 Manfaat Penelitian
1. Bagi guru, diharapkan dapat memberikan masukan dalam meningkatkan
kemampuan metakognisi dan komunikasi matematik siswa.
2. Bagi siswa, diharapkan dapat menumbuh kembangkan kemampuan
metakognisi dan komunikasi matematik siswa.
3. Bagi peneliti, diharapkan dapat menjadi bahan referensi bagi penelitian
134 BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil analisis data dan temuan selama penelitian dengan
model pembelajaran kooperatif tipe GI dan pembelajaran berbasis masalah dengan
menekankan pada kemampuan metakognisi dan komunikasi matematik, maka
penelitian memperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Terdapat perbedaan kemampuan metakognisi antara siswa yang mendapat
pembelajaran Kooperatif Tipe Group Investigation dan yang mendapat
Pembelajaran Berbasis Masalah. Rata-rata kemampuan metakognisi siswa yang
mendapat Pembelajaran Berbasis Masalah lebih baik dari siswa yang mendapat
model pembelajaran Kooperatif Tipe Group Investigation.
2. Terdapat interaksi antara pembelajaran (kooperatif tipe Group Investigation
(GI) dan PBM) dengan kemampuan awal matematika siswa terhadap
kemampuan metakognisi siswa. Hal ini berarti bahwa interaksi antara model
pembelajaran dengan kemampuan awal matematika siswa (tinggi, sedang,
rendah) memberikan kontribusi secara bersama-sama terhadap kemampuan
metakognisi siswa.
3. Terdapat perbedaan kemampuan komunikasi matematik antara siswa yang
mendapat pembelajaran Kooperatif Tipe Group Investigation dan yang
mendapat Pembelajaran Berbasis Masalah. Rata-rata kemampuan Komunikasi
Matematik siswa yang mendapat Pembelajaran Berbasis Masalah lebih baik
dari siswa yang mendapat model pembelajaran Kooperatif Tipe Group
135
4. Terdapat interaksi antara pembelajaran (kooperatif tipe Group Investigation
(GI) dan PBM) dengan kemampuan awal matematika siswa terhadap
kemampuan komunikasi matematik siswa. Hal ini berarti bahwa interaksi
antara model pembelajaran dengan kemampuan awal matematika siswa (tinggi,
sedang, rendah) memberikan kontribusi secara bersama-sama terhadap
kemampuan komunikasi matematik siswa.
5. Terdapat hubungan/korelasi antara kemampuan metakognisi dan komunikasi
matematik siswa. Dari analisis data Korelasi yang didapat bahwa ada hubungan
positif dan signifikan antara kemampuan metakognisi dengan kemampuan
komunikasi matematik siswa. Hubungan positif ini menandakan adanya
hubungan yang searah dimana dapat disimpulkan bahwa jika kemampuan
metakognisi siswa tinggi maka kemampuan komunikasi matematik siswa juga
tinggi, begitu juga sebaliknya jika kemampuan metakognisi siswa rendah maka
kemampuan komunikasi matematik siswa rendah.
5.2 Implikasi
Berdasarkan kesimpulan di atas diketahui bahwa penelitian ini berfokus
pada kemampuan metakognisi dan komunikasi matematik antara siswa yang
mendapat model pembelajaran kooperatif tipe Group Investigation dan
pembelajaran berbasis masalah. Terdapat perbedaan kemampuan metakognisi dan
komunikasi matematik siswa yang diajarkan dengan model pembelajaran
kooperatif tipe Group Investigation dan pembelajaran berbasis masalah secara
signifikan. Ditinjau dari interaksi antara model pembelajaran dengan kemampuan
awal matematika siswa, hasil ini dapat ditinjau dari model pembelajaran yang
diterapkan pada siswa kelas eksperimen 1 dan siswa kelas eksperimen 2 dengan
136
Beberapa implikasi yang perlu diperhatikan bagi guru sebagai akibat dari
pelaksanaan proses pembelajaran dengan model pembelajaran kooperatif tipe
Group Investigation dan pembelajaran berbasis masalah antara lain :
1. Dari aspek yang diukur, berdasarkan temuan dilapangan terlihat bahwa
kemampuan metakognisi dan komunikasi matematik siswa masih kurang
memuaskan. Hal ini disebabkan siswa terbiasa memperoleh soal-soal yang
langsung menerapkan rumus-rumus yang ada pada buku pelajaran, sehingga
siswa masih merasa sulit memunculkan ide mereka sendiri.
2. Kemampuan metakognisi siswa berkemampuan sedang dan tinggi lebih baik
pada model pembelajaran berbasis masalah. Begitu juga untuk komunikasi
matematik, siswa berkemampuan tinggi dan sedang lebih baik pada model
pembelajaran berbasis masalah.
5.3 Saran
Berdasarkan hasil penelitian, pembelajaran kooperatif tipe GI dan
pembelajaran berbasis masalah yang diterapkan pada kegiatan pembelajaran
memberikan hal-hal penting untuk perbaikan. Untuk itu peneliti menyarankan
beberapa hal berikut :
1. Pembelajaran kooperatif tipe GI memerlukan waktu yang relatif
banyak, maka dalam pelaksanaannya guru diharapkan dapat
mengefektifkan waktu dengan sebaik-baiknya.
2. Disarankan pada guru bidang studi, untuk lebih memperhatikan komunikasi
matematik siswa terutama pada indikator “Menyatakan gambar ke dalam
situasi atau ide matematika dan pada indikator Menyatakan situasi dalam
bentuk notasi-notasi matematika atau model matematika” sebab dalam
137
indikator di peroleh nilai rata-rata terendah yaitu 75,26 pada kelas
eksperimen-2 dan 65,63 pada kelas eksperimen-1.
3. Untuk melatih kemampuan metakognisi dan komunikasi matematis
siswa, sebaiknya guru memberikan soal-soal yang merangsang anak
untuk berpikir, mengemukakan ide yang terkait dengan pengalaman
belajar mereka.
4. Soal-soal yang diberikan pada Lembar Aktivitas Siswa (LAS) harus
disesuaikan dengan waktu pembelajaran pada RPP agar soal-soal
tersebut dapat diselesaikan dengan sebaik-baiknya.
5. Dalam penelitian ini variabel yang diteliti adalah kemampuan metakognisi dan
komunikasi matematik siswa, untuk peneliti selanjutnya diharapkan dapat
mengembangkan variabel yang lain seperti kemampuan berpikir kreatif,
kritis, penalaran dan lain-lain.
6. Dalam penelitian ini model pembelajaran kooperatif tipe GI yang
dibandingkan adalah model pembelajaran berbasis masalah. Disarankan
untuk penelitian selanjutnya agar membandingkan model pembelajaran lain
yang setara.
7. Jika memungkinkan, sebaiknya digunakan alat peraga dalam
pembelajaran agar siswa lebih mudah mempelajari materi pelajaran
138
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, M. 2009. Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar. Jakarta: Rineka Cipta.
Ansari, Bansu, I. 2009. Komunikasi Matematika Konsep dan Aplikasi. Banda Aceh: Yayasan Pena.
Arends. I. R. 2008. Learning To Teach. Yogyakarta: Pustaka Belajar
Arikunto, S. 2007. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan (Edisi Revisi). Jakarta: Bumi Aksara.
Asma, Nur. 2006. Model Pembelajaran Kooperatif. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.
Asmin & Mansur, A. 2014. Pengukuran dan Penilaian Hasil Belajar dengan Ananlisis Klasikal dan Modern. Medan: LARISPA.
Coutinho, Savia A. 2007. The Relationship between Goals Metacognition and Academic Success. Northem Ilionis University. United State of America. Educate- Vol 7 No. 1 : 39-47. Online: www.educatejournal.org
Chairani, Zahra. 2013. Aktivitas Metakognisi Sebagai Salah Satu Alat Untuk Meningkatkan Kemampuan Siswa dalam Pemecahan Masalah. KNPM V, Himpunan Matematika Indonesia, Juni 2013. Online.
Gredler. M. E. 2011. Learning and Instruction: Teori dan Aplikasi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Hendriana, dkk. 2014. Penilaian Pembelajaran Matematika. Bandung: PT. Refika Aditama.
Isjoni. 2010. Cooperative Learning. Bandung: Alfabeta.
Izzati, Nur. 2010. Komunikasi Matematik dan Pendidikan Matematika Realistik. Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, Yogyakarta, UNY, 27 Nov 2010, ISBN : 978-979-16353-5-6. Online: https://bundaiza.files.wordpress.com/2012/12/komunikasi_matematik _dan_pmr-prosiding.pdf
Kadir. 2009. Meningkatkan Metakognisi siswa dalam pembelajaran matematika melalui asesmen kinerja berbasis masalah dan model pembelajaran. Jurnal: volume VII Nomor 3, Juli-September 2009. Online: https://anniselvy.files.wordpress.com/2012/06/metakognisi-asli2.pdf . 2015. Statistika Terapan. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Kemendikbud. 2013. Standar Kompetensi Lulusan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta. Online
139
Kusuma, Dwi, C. 2014. Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Mengembangkan Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa SMP. Jurnal: Volume 2, Tahun 2014. Online
Laurens. T. 2011. Pengembangan metakognisi dalam pembelajaran matematika dalam seminar nasional. Juli 2011. Online
Lubis, Nurhadijah. 2014. Perbedaan Kemampuan Pemecahan Masalah dan Metakognisi Matematika antara siswa yang diberi Pelajaran Berbasis Masalah dengan Pembelajaran Ekspositori. Jurnal: Volume 7 No. 3 Desember 2014.
Muriana. 2013. Peningkatan Kemampuan Komunikasi dan Disposisi Matematik siswa SMA di kecamatan Medan Area dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe GI. Jurnal: Volume 7 No. 1 April 2014. Murni, Atma. 2010. Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Metakognitif
Berbasis Masalah Kontekstual. Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika dengan tema “Peningkatan Kontribusi dan Pembelajaran Matematika dalam Upaya Pembentukan Karakter Bangsa” Pada tanggal 27 November 2010 di Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY. Online
Murti, Setya, dkk. 2015. Permainan Imajinatif Berdasarkan Metakognisi dalam Belajar Matematika. Gajah Mada Journal of Psychology. Volume 1, No 1, Januari 2015:1-12. ISSN:2407-7798. Online.
NCTM. 2000. Principles and Standards for School Mathematics. Virginia: NCTM.
Nugrahaningsih. 2012. Metakognisi Siswa SMA Kelas Akselerasi dalam Menyelesaikan Masalah Matematika. Jurnal: No. 82 Th. XXIV Desember 2012. Online
Nur’aeni, dkk. 2006. Penggunaan Instrumen Monitoring Diri Metakognisi Untuk
Meningkatkan Kemampuan Mahasiswa Menerapkan Strategi
Pemecahan Masalah Matematika. Makalah berdasar pada hasil penelitian Hibah Pembinaan UPI tahun 2006 dengan judul yang sama. Online:https://www.academia.edu/5063932/
PISA. 2012. Average PISA Mathematics Litercy scores of 15-years-olds. By country.http://repository.upi.edu/6615/4/S_MTK_0905569_Chapter1.p df.
140
Risnanosanti. 2008. Melatih Kemampuan Metakognitif Siswa dalam Pembelajaran Matematika. Semnas Matematika dan Pendidikan Matematika. Online
Ruseffendi, E.T. 1993. Statistika Dasar Untuk Penelitian Pendidikan. Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi.
. 2005. Dasar-dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang Non-Ekskata Lainnya. Bandung: Tarsito.
Rusman. 2012. Model-model Pembelajaran. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada. Saragih, S. 2007. Mengembangkan Kemampuan Berfikir Logis Dan Komunikasi
Matematika Siswa Smp Melalui Pendekatan Matematika Realistik. Sekolah Pasca Sarjana Universitas Pendidikan Bandung; Disertasi (Tidak Diterbitkan)
Sardiman. 2011. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Rajawali. Shadiq, F. 2004. Pemecahan Masalah, Penalaran dan Komunikasi. Makalah
disampaikan pada diklat instruktur/ pengembangan matematika SMA jenjang dasar tanggal 6 s/d 9 agustus 2004 di PPPG Matematika Yogyakarta. Online
Sinaga, B. 2007. Pengembangan Metode Pembelajaran Matematika Berdasarkan Masalah Berbasis Budaya Batak (PBM-P3M). Disertasi tidak dipublikasi. Surabaya: UNESA.
Slavin, R.E. 2008. Cooperative Learning. Bandung: Nusa Media Sudjana. 1991. Desain dan Analisis Eksperimen. Bandung: Tarsito.
. 2009. Metoda Statistika. Bandung: Tarsito.
Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif R&D. Bandung: Alfabeta.
Suherman dkk . 2001. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Jurusan Pendidikan Matematika UPI. Bandung.
Syaiful. 2011. Metakognisi Siswa dalam Pembelajaran Matematika Realistik di Sekolah Menengah Pertama. Jurnal: Volume 01 Nomor 02, Oktober 2011. Online.
Tampubolon, M. Saur. 2014. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Erlangga.
Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS). 2011. Average Mathematics Scores of Fourth-and Eight-grade Student by Country. Trianto. 2009. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif. Jakarta:
141
Uno. B. Hamzah. 2012. Model Pembelajaran Menciptakan Proses Belajar Mengajar yang Kreatif dan Efektif. Jakarta: Bumi Aksara.
Wahyuni. 2014. Perbedaan Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah dan Komunikasi Matematis antara siswa kelas Heterogen Gender dengan kelas Homogen Gender melalui Model Pembelajaran Berbasis Masalah di MTs Kota Langsa. Jurnal: Volume 7 No. 1 April 2014 Walpole, R.E. 1988. Pengantar Statistika Edisi Ketiga. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Zahara, Siti. 2014. Peningkatan Kemampuan Penalaran Logis dan Komunikasi Matematis Melalui Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think Pair Share (TPS) di SMP Negeri 24 Medan. Jurnal: Volum 7 Nomor 3. Desember 2014