• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sanksi Hukuman Mati Bagi Pelaku Pidana Penyalahgunaan Narkoba Dalam Pandangan Hukum Islam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Sanksi Hukuman Mati Bagi Pelaku Pidana Penyalahgunaan Narkoba Dalam Pandangan Hukum Islam"

Copied!
98
0
0

Teks penuh

(1)

HUKUM ISLAM

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh :

Muhammad Al Fikri NIM : 109043100001

KONSENTRASI PERBANDINGAN MADZHAB FIQIH

PROGRAM STUDIPERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)

v

Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana ketentuan hukuman mati yang terdapat dalam Fatwa MUI No. 53 Tahun 2014, MUI berpendapat bahwa kejahatan narkoba merupakan salah satu ancaman terbesar bagi bangsa dan negara Indonesia selain terorisme dan korupsi. Ketiganya merupakan kejahatan luarbiasa yang harus dihadapi secara sangat serius dan dengan tindakan hukum yang luar biasa juga. Kejahatan-kejahatan tersebut tidak akan bisa dihadapi hanya dengan tindakan hukum yang normal. Majelis Ulama Indonesia sebagai lembaga yang memberikan fatwa hukum Islam telah mengeluarkan fatwa mengenai dibolehkannya negara menjatuhkan hukuman mati bagi pelaku penyalahguna narkoba yang kejahatannya sudah berulang kali, dengan tujuan agar memberikan efek jera bagi para pelaku prnyalahguna Narkoba. Penulis juga ingin mengetahui bagaimana metode Istinbath hukum dan keabsahan fatwa yang dilakukan oleh MUI dalam menetapkn Hukuman Mati bagi penyalahguna narkoba, Mengingat hukuman mati itu sendiri masih menjadi pro dan kontra di Indonesia.

Penelitian ini menggunakan metode studi dekomentasi naskah (studi pustaka). Adapun sifat pada penelitian ini adalah deskriptif, dan analisis data dilakukan secara deduktif dengan cara menerangkan beberapa data yang bersifat umum untuk kemudian diambil satu kesimpulan agar lebih jelas isi data yang digunakan dalam pembahasan bersamaan dengan pengumpulan data.

Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia yang menyarankan kepada pemerintah agar memberikan hukuman seberat-beratnya bagi Bandar, pengedar , produsen dan penyalahguna narkoba bahkan sampai kepada hukuman mati guna memberikan efek jera bagi para pelaku penyalahguna narkoba. Majelis Ulama Indonesia-pun mendukung pemerintah Indonesia agar mengeksekusi terpidana mati kasus narkoba. MUI juga berpendapat bahwa generasi Indonesia saat ini harus diselamatkan dari bahaya narkoba yang bisa merusak moral bangsa, Sehingga mereka sangat mendukung kebijakan pemerintah dalam menghukum mati bagi para penyalahguna narkoba.

Kata kunci : Hukuman Mati, Penyalahguna Narkoba dan Hukum Islam.

(6)

لإ ا نأ دهشأ .دعب امأ . لوسرو دبع ادمح نأ دهشأو . ل كيرش ا دحو ها اإ

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat Karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Sholawat serta salam semoga selalu tercurah limpahkan kepada nabi Muhammad SAW, kepada keluarganya, para sahabatnya serta kepada seluruh ummatnya yang mudah-mudahan mendapatkan syafaat pada hari kiamat nanti, amin.

Penulisan skripsi ini diajukan untuk memperoleh gelar Sarjana Syariah pada program studi perbandingan mazhab dan hukum. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penyusunan skripsi ini tidak akan terwujud tanpa adanya bantuan, bimbingan dan motivasi dari berbagai pihak. Dari itu penyusun haturkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Ayahanda Bapak H.Habuddin dan Ibunda tercinta Hj.Hafsoh yang senantiasa memberikan cinta dan kasih sayangnya dan yang paling terpenting adalah doa dari mereka sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini.

2. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta

3. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M,Si ketua Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta yang selalu memberikan motivasi dan pemikirannya layaknya orang tua kami.

(7)

6. Seluruh Bapak/Ibu dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah membekali ilmu kepada penulis selama perkuliahan sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini

7. Seluruh guru-guruku yang ada di pondok pesantren Al- Awwabin Depok

8. Seluruh teman-teman seperjuangan jurusan perbandingan mazhab fikih, yang selalu memberikan kebahagiaan dalam canda dan tawa ketika di kelas.

9. Serta semua pihak yang tak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis berupaya semaksimal mungkin agar dapat memenuhi harapan semua pihak. Namun penulis menyadari masih banyak sekali terdapat kekurangan dan kehilafan dalam penulisan dan penyusunan skripsi ini dikarenakan karena keterbatasan kemampuan penulis. Oleh karena itu Sumbang saran dan kritik juga saya butuhkan demi perbaikan pada skripsi saya. Terakhir saya berharap semoga segala bantuan yang telah diberikan menjadi amal ysng sholeh sehinga skripsi ini dapat bermanfaat untuk ummat. Akhirnya saya ucapkan banyak terimakasih.

Jakarta, 04 Mei 2016

(8)

ix

ABSTRAK ………

KATA PENGANTAR ………... vi

DAFTAR ISI ……… ix

BAB I PENDAHULUAN ………. 1

A. Latar Belakang Masalah ………... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ………. 12

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ……… 13

D. Metode Penelitian ………. 13

E. Review Pustaka ……… 15

F. Sistematika Penulisan ……….. 16

BAB II HUKUMAN PENGGUNAAN NARKOTIKA DALAM PERSPEKTIF FIKIH JINAYAH………... 18

A. Pengertian Pidana Hudud Perspektif Fiqih Jinayah ………. 18

B. Tindak Pidana Kisas Dan Diyat ……….. 19

C. Narkotika Dikiaskan Dengan Khamer………... 20

D. Narkotika Sebagai Jarimah Ta’zir Dalam Fikih Jinayah... 23

E. Tujuan Hukuman Ta’zir……… 28

BAB III FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI) DALAM MENETAPKAN HUKUMAN MATI BAGI PELAKU PIDANA NARKOBA... 36

A. Latar Belakang Sejarah Berdirinya MUI ………... 36

1. Berdirinya MUI... 36

2. Hubngan Dengan Pihak Eksternal... 38

(9)

ix

Tahun2014………... 44

1. Qaidah Fiqhiyyah... 44

2. Pendapat Para Ulama Atau Fuqoha... 46

D.Tentang Keputusan MUI No.53 Tahun 2014 Tentang Hukuman Mati Bagi Pelaku Pidana Narkoba Komisi Fatwa Majelis Ulama (MUI) ... 51

BAB IV ANALISA PENULIS TERHADAP FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI) TENTANG SANKSI HUKUMAN MATI BAGI PENYALAHGUNA NARKOBA... 55

A. Analisa Penulis Terhadap Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Tentang Sanksi Hukuman Mati Bagi Penyalahguna Narkoba ... 55 B. Keabsahan Hasil Istinbath Hukum Fatwa MUI Dalam Menetapkan Fatwa………... 79

BAB V PENUTUP ……… 81

A. Kesimpulan……….. 81

(10)

BAB 1

SANKSI HUKUMAN MATI BAGI PELAKU PIDANA PENYALAHGUNAAN

NARKOBA DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM

A. Latar Belakang Masalah

Sampai saat ini secara aktual, penyebaran narkotika dan obat-obatan terlarang mencapai tingkat yang sangat memprihatinkan. Bayangkan saja, hampir seluruh penduduk dunia dapat dengan mudah mendapatkan narkotika dan obat-obatan terlarang, misalnya dari bandar/pengedar yang menjual di daerah sekolah, diskotik dan tempat pelacuran.

Mencermati perkembangan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba akhir-akhir ini, telah mencapai situasi yang mengkhawatirkan, sehingga menjadi persoalan kenegaraan yang mendesak. Karena penyalahgunaan narkoba bukan hanya orang dewasa, mahasiswa tetapi juga pelajar SMU sampai pelajar setingkat SD.

Dikatakan, remaja merupakan golongan yang rentan terhadap penyalahgunaan narkoba karena selain memiliki sifat dinamis, energik, selalu ingin tahu. Mereka juga mudah tergoda dan putus asa sehingga mudah jatuh pada masalah penyalahgunaan narkoba.

(11)

pakai narkoba pada tahun 2014. Angka tersebut terus meningkat dengan merujuk hasil penelitian yang dilakukan Badan Narkotika Nasional (BNN) dengan Puslitkes UI dan diperkirakan pengguna narkoba jumlah pengguna narkoba mencapai 5,8 juta jiwa pada tahun 2015

Dampak penanganan permasalahan narkoba di Indonesia khususnya dalam

“Program Indonesia Bebas Narkoba 2015” menunjukkan bahwa Indonesia telah

berhasil menahan laju penyalahgunaan narkoba di bawah 2,8% di akhir tahun 2015 yaitu 2,2% (hasil penelitian BNN bekerja sama dengan Puslitkes-UI tahun 2015)

Khusus capaian Indonesia dalam penanganan permasalahan Narkoba di tahun pertama (2015) RPJMN 2015-2019 telah menunjukkan keberhasilan menahan laju penyalahgunaan narkoba di bawah 0,05% yaitu 0,02% (2,18%/2014 –2,20%/2015).1

Meskipun menunjukkan keberhasilan dalam menahan laju penyalahgunaan narkoba, Indonesia masih tetap harus waspada untuk melakukan P4GN yang signifikan secara komprehensif dan sinergi. Apabila hal ini tidak dilakukan maka laju penyalahgunaan narkoba akanlebih dari target yang telah ditetapkan dalam RPJMN.

Sebagaimana telah diuraikan bahwa sudah banyak upaya pemerintah untuk memberantas penggunaan narkotika dan obat-obatan terlarang, namun kasus-kasus tersangkut narkotika dan obat-obatan terlarang terus saja bermunculan. Jawabannya sangat sederhana yaitu bahwa unsur penggerak utama dari pelaku kejahatan di bidang narkotika dan obat-obatan terlarang adalah masalah keuntungan ekonomis.

1

(12)

Bisnis narkotika dan obat-obatan terlarang tumbuh menjadi salah satu bisnis yang paling favorit di dunia, sehingga tidak mengherankan apabila penjualan narkotika dan obat-obatan terlarang selalu meningkat setiap tahunnya yang berbanding hampir sama dengan pencucian uang dari bisnis narkotika dan obat-obatan terlarang.

Narkotika di dalam UU RI No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, narkotika didefinisikan sebagai zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintesis maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan. 2Perdebatan tentang pidana mati di Indonesia mengemuka menjadi diskursus sosial, terutama di bidang ilmu hukum, dengan adanya pengujian konstitusionalitas pidana mati dalam UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika3 serta pengujian UU No. 02/Pnps/1964 tentang tata cara pelaksanaan hukuman mati.4

Perkara pengujian ketentuan hukuman mati dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika terhadap UUD 1945 diajukan oleh Edith Yunita

22

Istilah narkotika berasal dari bahasa yunani narkotikos, yang berarti"menggigil".Ditemukan pertama kali berasal dari subtansi-subtansi yang dapat membantu orang untuk tidur. Di amerika2Istilah narkotika berasal dari bahasa yunani narkotikos, yang berarti "menggigil".Ditemukan pertama kali berasal dari subtansi-subtansi yang dapat membantu orang untuk tidur. Di amerika

3

Putusan Nomor 2-3/PUU-V/2007 mengenai Pengujian UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Putusan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 23 Oktober 2007

4

(13)

Sianturi, Rani Andriani (Melisa Aprilia), Myuran Sukumaran, dan Andrew Chan selaku para Pemohon I (Nomor Perkara: 2/PUU-V/2007) dan Scott Anthony Rush selaku Pemohon II (Nomor Perkara: 3/PUU-V/2007) kedua perkara tersebut oleh Mahkamah Konstitusi digabungkan dan disidangkan secara bersama-sama dengan Nomor Perkara: 2-3/PUU-V/20075

Kiranya perlu dikritisi bersama bahwa dalam hukuman mati bagi seorang Bandar6 tersebut sudahkah mempertimbangkan aspek-aspek lain yang juga tidak kalah penting sebagai penyeimbang dalam sebuah putusan hakim selain alasan yang telah dipaparkan di atas? Benarkah putusan tersebut telah sesuai dengan porsi kesalahan seorang bandar dan pengedar narkotika? Mengingat pidana mati itu sendiri masih terjadi pro dan kontra di Indonesia. Walaupun gerakan penghapusan pidana rnati sangat gencar dilakukan, masih banyak negara-negara yang rnengakui dan menerapkan pidana mati.

Sejak tahun 1767 terdapat gerakan penghapusan hukuman mati. Sejak muncul gerakan abolisionis, banyak negara yang mengurangi jenis-jenis tindak pidana yang diancam hukuman mati. Di Inggris, misalnya, antara tahun 1823 sampai 1837 sebanyak 100 di antara 222 tindak pidana yang diancam hukuman mati dihapuskan.

5

Todung Mulya Lubis dan Alexander Lay, Kontroversi Hukuman Mati: Perbedaan Pendapat Hakim Konstitusi, (Jakarta: KOMP AS, 2009), h. 1

6

(14)

Di beberapa negara seperti di Eropa dan Amerika, penghapusan hukuman mati menjadi semakin marak berkaitan dengan gerakan penegakan Hak Asasi Manusia.

Di Amerika misalnya di negara bagian Pensylvania, secara resmi menghapus hukumanMati pada tahun 1834. Pensylvania adalah Negara bagian pertama yang menghapus hukuman mati, demikian pula secara berangsur-angsur pengadilan di Amerika Serikat tidak menerapkan hukuman mati.

Namun pada tahun 1994 Presiden Bill Clinton menandatangani Violent Crime

Control and Law Enforcement Act yang memperluas penerapan hukuman mati di

Amerika Serikat. Pada 1996 penerapan hukuman mati diperluas lagi melalui

Antiterorism and Effective Death penalty Act yang ditandatangani Clinton. Begitu

juga dengan di Benua Eropa, penghapusan hukuman mati merebak

Sekitar tahun 1950 hingga 1980 meski secara defacto tidak pernah ada pencabutan hapusan hukuman mati. Seruan itu bersamaan dengan Resolusi Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia PBB yang menyerukan moratorium hukuman mati.

Selanjutnya pada 1999 Paus Johanes Paulus II menyerukan penghapusan hukuman mati. Seruan itu bersamaan dengan Resolusi Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia PBB yang menyerukan moratorium hukuman mati.7

Dengan demikian, perdebatan tentang pidana mati walaupun telah berlangsung lama, masih tetap akan ada dan berlanjut di rnasa yang akan datang. Dalam konteks Indonesia, perdebatan pidana mati memiliki makna tersendiri

7

(15)

mengingat posisi Indonesia sebagai negara demokrasi muslim terbesar di dunia. Perubahan hukum di Indonesia mempengaruhi negara-negara berpenduduk lainnya. Jika saja Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa pidana mati bertentangan dengan konstitusi, yang berarti penghapusan pidana mati, hal itu akan menjadi momentum penting (turning point) bagi penghapusan pidana mati di negara-negara berpenduduk muslim lainnya yang pada umumnya masih menetapkan pi dana mati.

Di Indonesia, pemerintah sudah mengambil keputusan untuk mengeluarkan Undang-Undang yang baru yakni Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Di dalarn undang-undang ini pemerintah memberi batasan berat narkotika yang dapat dipidana hukuman mati (khusus bagi bandar narkotika) yaitu pada pasal 113 ayat (2), yaitu:

dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor atau menyalurkan Narkotika Golongan1 sebagaimana dimaksud ayat (1) dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (batang) pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 ( dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) ditambah 1/3 (

sepertiga ).8

Undang-undang ini adalah sebagai penyempurna dari undang-undang sebelumnya, yaitu Undang-undang No. 22 Tahun 1997 dan Undang-undang No.9 Tahun 1976.Hukuman mati dipertahankan di dalam peraturan yang tercantum dalarn UU No. 35 Tahun 2009, karena memang pemerintah melihat dari situasi dan kondisi

8

(16)

sekarang bahwa bandar narkotika yang hanya dihukum seumur hidup, di dalam realitanya mereka tidak jera dengan hukuman yang diberikan oleh pengadilan kepada mereka. Bahkan pada tanggal 5 Januari 2011 Badan Narkotika Nasional (BNN), berhasil meringkus otak jaringan narkotika intemasionaldi lembaga pemasyarakatan Pani Putih, Nusakambangan, Jawa Tengah.9

Ini mengindentifikasikan bahwa bandar narkoba pada saat ini, sudah memiliki jaringan yang begitu luas, tidak mengenal tempat sekalipun mereka berada di lembaga pemasyarakatan. Indonesia sepertinya tak pemah sepi dari peredaran narkoba, khususnya di kota-kota besar, 1 Juni 2006 misalnya, Polwiltabes Surabaya menggulung bandar narkoba sekaligus menemukan sebuah rumah yang diduga digunakan sebagai pabrik sabu-sabu (SS) di Jalan Nginden Intan Timur. Penemuan ini mestinya membuka kesadaran kita, karena jaringan narkoba tak ada matinya. Itu berarti, Indonesia rawan narkoba, baik dari segi produsen maupun konsumen.Ada lingkaran-lingkaran yang terbentuk dan menjadi pola kegiatan peredaran narkoba. Ada yang tertangkap, ada pula yang belum. Masalahnya, bagaimana efek jera yang telah diberikan kepada mereka yang tertangkap?10

Pertanyaannya kemudian adalah apakah seorang menyalahgunakan narkotika harus dihukum mati? Dalam hukum Islam, terutama hukum fiqh menurut fatwa

9

SINAR BNN edisi 1/2011

10

(17)

Yusuf al-Qaradhawi (merupakan ulama kontemporer Mesir yang tidak terpaku dari salah satu mazhab) bahwa narkotika dikategorikan dengan khamr dan sejenisnya.Hukum haram bagi khamr sendiri tidak ada pertentangan di kalangan ulama.

Yusuf al-Qaradhawi memberikan fatwa bahwa pemerintahan (negara) Harus memerangi narkotika dan menjatuhkan hukuman yang sangat berat kepada yang mengusahakan dan mengedarkannya. Dengan dalil bahwa pada hakikatnya pengedar narkotika telah membunuh bangsa-bangsa demi mengeruk kekayaan.Mereka layak mendapatkan hukuman qisas. Kalau Hukuman berat dijatuhkan kepada pengedarnya, apalagi kepada bandar narkotika yang memproduksinya.

Sedangkan hukum positif memutuskan bahwa orang yang menyalahgunakan narkotika dihukum mati karena telah mengedarkan obat-obatan terlarang yang dapat merusak generasi bangsa, yang bahayanya bisa menyebabkan kematian dan pengerusakan terhadap mental generasi penerus bangsa. Serta hukuman selain hukuman mati sekarang sudah tidak banyak memberikan efek jera kepada para para penyalahguna narkotika, bahkan peredaran narkotika ada yang dilakukan dibalik jeruji besi (penjara).

(18)

menghubungkan antara syurb al-khamr dengan tindak pidana narkotika baik itu sebagai Bandar, pengedar ataupun penyalahgunaannya. Sekilas memang tindak pidana syurb al-khamr itu hanya mengandung arti minuman keras, tetapi apabila dipahami secara luas tindak pidana narkotika dalam fiqhi Islam memiliki arti yang sangat luas. Hal ini bisa dipahami dalam suatu hadis yang berbunyi:

ي لَعاَ َثّدَح

ب

دّمَح م

دّمَح مَ ،

ب

،َلي عاَم س إ

اَ َثّدَح :َلاَق

، عي كَ

َح

د َعاَ َثّد

ب زي زَع لا

بَرَم ع

، زي زَع لا د َع

َع

َم حّرلا د ب

ب

ّّ د َع

،ِي ق فاَغ لا

ي بَأ

َ َم ع ط

ا َم

م

َأ

ّ

َ بااَع مَساَم

،َرَم ع

: ل قَي

َلاَق

ل سَر

ّّ

ىّلَص

ّّ

يَلَع

َمّلَسَ

-:

َ اَ يَع ب َر مَخل ا تَ ع ل : ج َر شَع ىَلَع َر مَخل ا تَ ع ل :

َ عاَت م َ اَ ع ئاَب َ اَ َي قاَس َ اَ ب راَش

ل كآ َ يَل ا َل م حَمل ا َ اَ ل ماَح َ اَ ر صَت ع م َ اَ ر صاَع َ ا

اَ َمَث

11

Artinya

:

Telah menceritakan kepada kami „Ali bin Muhammad, Muhammad bin

Isma’il, keduanya berkata: telah menceritakan kepada kami Waki’, telah menceritakan kepada kami „Abdul „Aziz bin „Umar bin „abdul „Aziz, dari „abdurrahman bin „Abdullah Al-Ghfiqy, dan Abi Tu’mah bawsanya keduanya mendengar Ibnu „Umar, berkata: Tealah berkata Rosulllah SAW: “Telah dilaknat khamr atas sepuluh hal : 1. khamr itu sendiri, 2. peminumnya, 3. yang menuangkannya, 4. penjualnya, 5. pembelinya, 6. yang memerasnya, 7. pemilik (produsennya), 8. yang membawanya, 9. yang minta diantarinya, 10. yang memakan harganya”

"' Kalau dipahami tindak pidana narkotika dalam Islam berdasar hadis di atas sangat luas, termasuk di dalamnya bandar dan pengedarnya. Berdasarkan hadis di atas apabila kita menghubungkan dengan fatwa Yusuf al-Qaradhawi yang mengatakan bahwa orang yang meminum khamr itu hukumnya haram apalagi yang mengedarkannya.Jadi hadis di atas bisa sebagai pelengkap daripada fatwa Yusuf al-Qaradhawi mengenai bandar narkotika.

11

(19)

Oleh karenanya MUI sebagai lembaga Islam di Indonesia berpendapat bahwa kejahatan narkoba merupakan salah satu ancaman terbesar bagi bangsa dan negara kita, merupakan kejahatan luar biasa yang harus dihadapi secara sangat serius dan dengan tindakan hukum yang luar biasa juga sebagai pengimbang dalam memenuhi tujuan hukum itu sendiri. Kejahatan-Kejahatan tersebut tidak akan bisa dihadapi hanya dengan tindakan hukum yang normal12. Karena Islam memiliki prinsip yaitu larangan memasukkan sesuatu benda atau bahan yang merugikan kesehatan jasmani, akal dan jiwa dalam tubuh manusia.

Oleh karena itu, sehubungan dengan semakin maraknya penyalahgunaan Narkoba tersebut, Komisi Fatws MUI-pun mengeluarakan fatwa terkait sanksi hukuman bagi penyalahgunaan Narkoba demi memberikan efek jera dan menciptakan masyarakat yang sehat jasmani maupun rohani dan aman dari obat-obatan yang maha dahsyat efek bahayanya tersebut, hal ini yang tertuang dalam rapat pleno Komisi Fatwa MUI No.53 Tahun 2014 Pada tanggal 30 Desember Tahun 2014, MUI memutuskan bahwa:

“Negara boleh menjatuhkan hukuman ta’zir sampai dengan hukuman mati kepada produsen, Bandar, pengedar dan penyalahguna narkoba sesuai dengan kadar narkoba yang dimiliki atau tindakan tersebut berulang demi menegakkan kemaslahatan umum, Pemerintah tidak boleh memberikan pengampunan dan/atau keringanan kepada pihak yang telah terbukti menjadi produsen, Bandar, pengedar,

12

(20)

dan penyalahgunanarkoba, dan Penegak hukum yang terlibat dalam peroduksi dan peredaran narkoba harus diberikan pemberatan hukum”13

.

Untuk hukuman mati ini, MUI merekomendasikan diberikan kepada produsen, pengedar, bandar serta pengguna yang sudah berulang kali melakukan kejahatan narkoba.

Sebagaiman yang dikatakan oleh wakil ketua MUI Ma’ruf Amin, Pengedar,

produsen, bandar dan pengguna yang tingkat kejahatan narkobanya sudah sangat parah dan dilakukan secara berulang sehingga pantas di hukum mati, tetapi buat pengguna yang baru sebaiknya rehabilitasi agar menjadi solusi.

Begitulah isi fatwa dari Komisi Fatawa MUI terkait sanksi hukuman mati kepada para produsen, Bandar, pengedar dan penyalahguna narkoba. Dan fatwa ini berlaku pada tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika dikemudian hari ternyata butuh perbaikan dan penyempurnaan, akan diperbaiki dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

Berdasarkan uraian diatas, penyusun melihat perlunya kajian spesifik yang membahas permasalahan sanksi bagi pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkoba dalam pandangan hukum Islam terutama masalah hukuman matinya, Permasalahan penyalahgunaan narkotika ini menurut penyusun sangat menarik dibahas, karena meskipun telah terdapat aturan hukum dan sanksi yang jelas, namun pada kenyataannya penyalahgunaan narkotika ini masih tetap marak bahkan semakin

13

Pernyataan MUI Vonis mati kejahatan Narkoba.Kamis, 18 Oktober 2012 yang telah Diperbaharui, 30 Desember 2014. Oleh PROF.DR.H.Hasanuddin.AF,MA.(Ketua) Dan DR.HM.

(21)

cenderung meningkat khususnya dikalangan para remaja. Adapun untuk membatasi permasalahan penelitian ini, penyusun lebih menekankan pada masalah sanksi hukuman mati bagi penyalahguna narkoba dalam pandangan hukum islam.

Maka berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk membahas

tentang “HUKUMAN MATI BAGI PELAKU PIDANA PENYALAHGUNA NARKOBA

DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM”.

Pembatasan dan perumusan Masalah

1. Pembatasan masalah

Agar pembahasan di dalam skripsi ini tidak melebar luas dan lebih terfokus dan sistematik, maka penulis membatasi ruang lingkup masalah hukuman mati bagi pelaku pidana Narkoba ini dibatasi hanya dilihat dari sudut pandang fatwa MUI No.53 Tahun 2014 saja, apakah fatwa hukuman mati tersebut sudah tepat untuk diberikan kepada pelaku pidana narkoba karena mengingat dampak bahayanya yang sangat besar bagi masyarakat dari pengaruh obat-obatan terlarang tersebut.

2. Perumusan masalah.

Dilihat dari latar belakang masalah pada judul skripsi ini sangatlah luas, maka perlu kiranya skripsi ini dirumuskan agar dalam pembahasan skripsi ini lebih terarah, maka dalam penulisan skripsi ini penulis ingin merumuskan masalah yang akan dibahas dengan beberapa pertanyaan sebagai berikut:

(22)

2. Bagaimanakah keabsahanmetode istinbath fatwa MUI mengenai hukuman mati bagi pelaku penyalahgunaan narkoba?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Setelah memperhatikan judul dari pembahasan ini, maka tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui bagaimanasanksi hukuman mati bagi pelaku penyalahgunaan

Narkoba dalam pandangan Fatwa MUI.

2. Untuk mengetahui bagaimana keabsahan metode Istinbath Fatwa MUI mengenai hukukman mati bagi pelaku penyalahgunaan Narkoba.

Adapun manfaat yang akan dicapai dari penelitian ini adalah sebagi berikut:

1. Penelitian ini nantinya diharapkan mampu memberikan sumbangan intelektual bagi kelengkapan data teoritis dalam upaya mengkaji pemahaman tentang teori hukum Islam Tentang tindak pidana narkotika sebagai salah satu acuan penerapan putusan hukumanmati tersebut guna mencapai tujuan hukum yang berorientasi padakeadilan, ketentraman dan kedamaian.

2. Hasil peenelitian inipun diharapkan agar dapat bermanfaat bagi mereka yang akan menggali penelitian dengan masalah yang sama sehingga menambah khazanah pengetahuan islam dan bernilai akademik.

D. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

(23)

dokumentasi berupa mengumpul, membaca, mengkaji buku-buku, kitab-kitab dankepustakaan lain yang ada hubungannya dengan proses pembuatan skripsi ini. 2. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif.14 Dikatakan deskriptif karena menggambarkan dan menjelaskan tentang ketentuan hukuman mati yang ada dalam fatwa MUI No 53 Tahun 2014 tentang sanksi hukuman bagi Produsen, pengedar bandar dan penyalahgunaan narkoba.

3. Sumber Data

Sumber data yang dipakai dalam penelitian ini terdiri dari dua jenis, yaitu; sumber data primer (primary sources) dan sekunder (secondary sources):

a. Sumber Data Primer

1) Al-Qur’an, Al-hadits, Fatwa MUI No. 53 tahun 2014 yang terkodifikasi dalam Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, buku-buku hukum pidana Islam, kitab fiqhdan ushul fiqh.

b.Sumber Data Sekunder

-Artikel, jurnal, internet, ensiklopedia dan bahan pustaka lainnya yang berhubungan dengan topik penelitian yang berkaitan dengan hukuman mati pada tindak pidana narkotika dalam perspektif hukum positif dan hukum Islam.

4. Tehnik Pengumpulan Data

14

(24)

Di dalam proses mengumpulkan data ini, penulis menggunakan metode studi dokumentasi naskah (studi pustaka) dengan mengumpulkan dan menganalisa suatu pengertian yang bersifat teoritis, untuk itu penulis menggunakan beberapa literatur yang mendukung penelitian,yang dilakukan dengan cara membaca dan mempelajari buku-buku , kitab-kitab, surat kabar, majalah, catatan atau sebagainya yang berkaitan dengan masalah yang akan di bahas.

5. Analisis Data

Analisis data merupakan tahap rumusan terhadap seluruh data yang sudah diidentifikasi dan terorganisir guna mendapatkan sebuah ksimpulan yang benar.Dalam hal ini metode yang digunakan adalah metode deduktif. Analisis deduktif merupakan sebuah langkah analisa data dengan cara menerangkan beberapa data yang bersifat umum untuk kemudian diambil satu kesimpulan agar lebih jelas isi data yang digunakan dalam pembahasan.

6. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan normatif-yuridis,15karena penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ketentuan Hukuman mati dalam perspektif fatwa MUI.

E. Review Pustaka

15

(25)

Dari beberapa skripsi dan literature buku yang ada diperpustakaan syariah dan perpustakaan umum, penulis akan mengambilnya untuk menjadikan sebuah perbandingan mengenai skripsi yang akan penulis buat ini.

Pada pembahasan sebelumya dari pelacakan karya ilmiah mahasiswa (skripsi) difakultas syariah dan perpustakaan utama terdapat skripsi yang berjudul “ Penyalahgunaan Narkoba Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif yang ditulis oleh Yanuar Mujawwad, menjelaskan tentang gambaran umum narkoba, narkoba menurut hukum Islam dan hukum positif dan upaya penanggulangan penyalah gunaan narkoba. Namun menurut penulis pembahasan ini msih sangatlah umum dan belum membahas secara spesifik bagaimana sanksi mutlak bagi penyalahguna narkoba.

Adapun judul yang ditulis oleh Robiatu Adawiyah yang berjudul “ Sanksi

Penyalahgunaan psikotoprika oleh Anak-anak (tinjauan UU No.5 Tahun 1997 dan hukum Islam. Yang menguraikan tentang pengertian umum penyalahgunaan psikotropika dan hak-hak anak, penjelasan umum tentang penyalahgunaan psikotropika dan sanksi penyalahgunan psikotropika oleh anak-anak.

Dari berbagai karya tulis diatas, penulis melihat masih adanya kekurangan yakni belum adanya mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Fakultas Syariah Dan Hukum yang membahas masalah sanksi pidana Hukuman mati bagi penyalahgunaan narkoba, sehingga dapat menjadi bahan penelitian dalam skripsi ini.

F. Sistematika Penulisan

(26)

Bab I: Bab ini merupakan pendahuluan yang membahas seputar latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penlitian, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II: Bab II :Gambaran Umum tentang Tindak Pidana Bagi Penyalahgunaan

Narkoba, dengan sub Bab Pengertian Pidana Hudud Prespektif Fiqih Jinayah, ,

Khamr Sebagai Kiasan Narkotika, Narkotika Sebagai Jarimah Ta’zir dalam Fiqih Jinayah, Macam-macam Hukuman Ta’zir, Tujuan Hukuman Ta’zir, Macam-macam

Jarimah Ta’zir.

BAB III :Pandangan fatwa MUI terhadap hukuman mati bagi penyalahguna narkoba,

dengan sub bab Latar Belakang Sejarah Berdirinya MUI, SumberDanDalil HukumIstinbath Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) No: 53 Tahun 2014 Dalam Menetapkan Hukuman Mati Bagi Pelaku Pidana Narkoba, Metode Istinbath Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) No:53 Tahun 2014, Tentang keputusan MUI NO. 53 Tahun 2014 Tentang Hukuman Mati Bagi Pelaku Pidana Narkoba.

BAB IV: ANALISISPENULIS dengan sub bab, Analisa Penulis Terhadap Fatwa

Majelis Ulam Indonenesia (MUI) Tentang Hukuman Mati Bagi PenyalahgunaNarkoba,Keabsahan Hasil Istinbat Hukum Fatwa MUI Dalam Menetapkan Hukum.

(27)

BAB II

HUKUMAN PENGGUNAAN NARKOTIKA DALAM PERSPEKTIF

FIKIH JINAYAH

A. Pengertian Pidana Hudud Prespektif Fiqih Jinayah

Pidana Hudud adalah tindak pidana yang diancamkan hukuman hudud, yaitu hukuman yang telah ditentukan jenis dan jumlahnya dan menjadi hak Allah SWT. Maksud hukuman yang telah ditentukan ditentukan adalah bahwa hukuman hadtidak memiliki batasan minimal (terendah) ataupun batasan maksimal (tertinggi). Maksud hak Allah ialah bahwa hukuman tersebut tidak bisa dihapuskan oleh perseorangan(individu) atau masyarakat. Hukuman dianggap sebagai hak Allah SWT manakala hukuman ini dikehendaki oleh kepentingan umum (masyarakat), seperti untuk mencegah manusia dari kerusakan dan memelihara keamanan masyarakat.

Setiap tindak pidana yang kerusakannya berhubungan dengan masyarakat, manfaat dari penjatuhan hukuman tersebut akan dirasakan oleh keseluruhan masyarakat. Adapun pernyataan bahwa hukuman tersebut merupakan hak Allah adalah penegasan atas kerusakan dan bahaya.Karena itu,hukuman ini tidak dapat digugurkan atau dibatalkan oleh siapa pun, baik invidu maupun masyarakat.1

Macam-macam tindak pidana hudud ada 7 macam yaitu:

1

(28)

1. Zina

2. Qazaf (menuduh orang berbuat zina)

3. Meminum minuman keras

4. Mencuri

5. Hirabah (merampok atau mengganggu keamanan)

6. Murtad

7. Memberontak

B. Tindak Pidana Kisas Dan Diat

Tindak pidana kisas dan diat adalah tindak pidana yang diancamkan hukuman kisas dan diat2. Keduanya merupakan hak individu yang kadar jumlahnya telah ditentukan, yakni tidak memiliki batasan minimal ataupun maksimal. Maksud hak individu disini adalah sang korban boleh membatalkan hukuman tersebut dengan memaafkan si pelaku jika ia menghendakinya. Tindak pidana kisasdan diatini ada 5 (lima) macam:

1. Pembunuhan yang disengaja (al-qatlul „amd)

2. Pembunuhan yang menyerupai disengaja(al-qatl syibhul’amd) 3. Pembunuhan tersalah (al-qatlul khata’)

4. Penganiayaan yang disengaja(al-jinayah „ala maa dunanafsi khata’)

2

(29)

Penganiayaan yang dimaksud adalah perbuatan yang tidak sampai menghilangkan jiwa sang korban, seperti pemukulan dan pelukaan. Para fukaha terkadang mengistilahkan tindak pidana kisasdan diatdengan jinayah. Tetapi sebagian yang lain mengistilahkan dengan jirah dan juga yang mengistilahkannya dengan addima.

C. Narkotika Dikiaskan Dengan Khamer

Secara etimologi, khamrberasal dari kata “khamar” (

َرَمَخ

) yang bermakna satara

(

َرَتَس

), artinya menutupi. Sedang khammara (

َرّمَخ

)

berarti memberi ragi. Adapun

al-khamr diartikan arak, segala yang memabukkan.

Imam Malik, Imam Syafi’I dan Imam Ahmad seperti dikutip H.A. Djazuli, berpendapat bahwa yang dimaksud khamr adalah minuman yang memabukkan, baik disebut khamr atau dengan nama lain. Adapun Abu Hanifah membedakan antara khamr dan mabuk. Khamr diharamkan meminumnya, baik sedikit maupun banyak, dan keharamannya terletak pada dzatnya. Minuman lain yang bukan khamr tetapi memabukkan, keharamannya tidak terletak pada minuman itu sendiri (dzatnya), tetapi pada minuman terakhir yang menyebabkan mabuk. Jadi, menurut Abu Hanifah, minum minuman memabukkan selain khamr, sebelum minum terakhir tidak diharamkan.3

Syariat Islam mengharamkan khamr sejak empat belas abad yang lalu dan hal ini berkaitan dengan penghargaan Islam terhadap akal manusia yang merupakan anugerah Allah yang harus dipelihara sebaik-baiknya dan mulai orang non muslim menyadari akan manfaat diharamkannya khamr setelah terbukti bahwa khamr membawa madharat bagi bangsa.4

3

Rahmat Haklim, Hukum Pidana Islam (Bandung: Pustaka Setia. 2000), h. 95 4

(30)

Dalil hukum yang mengatur tentang sanksi hukum peminum khamr diungkapkan oleh Allah dalam Alquran secara bertahap tentang status hukum. Hal itu diungkapkan sebagai berikut:

Al-Baqoroh ayat 219:































Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang Khamr dan judi. Katakanlah : “Pada

keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar lebih besar dari manfaatnya”. Dan mereka bertanya…” QS. Al Baqoroh (2) : 219

An-Nisa ayat 43:























Artinya: Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu sholat , sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan…”. QS. An Nisaa’ (4) : 43

Al- Maidah ayat 90:

(31)

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman! Sesung-guhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji dan termasuk perbu-atan syaithon! Maka jauhilah

perbuatan-perbuat-an tersebut agar kamu mendapat keberuntungan”. QS. Al Maa’idah (5) : 90

Dari tegasnya larangan khamr dalam ayat tersebut bahwa sesuatu yang menimbulkan mabuk, maka para ulama sepakat mengatakan bahwa mengkonsumsi khamr itu hukumnya haram. Adapun alasan hukum larangan dan keharaman khamr tersebut dijelaskan sendiri oleh Allah dalam ayat diatas tersebut yaitu: Tindakan yang buruk dan kecil serta termasuk salah satu perbuatan-perbuatan yang dilakukan syetan.5

Adapun dampak negatif dan bahwa dari Khamr itu dijelaskan oleh secara langsung dengan surat al- Maidah ayat 91:





















Artinya: Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).

Dalam negatif dari khamr tersebut dalam ayat diatas adalah sebagai berikut:

5

(32)

1. Dampak sosial dalam bentuk keharaman, kekerasan perkelahian dan permusuhan dikalangan umat.

2. Dampak terhadap agama dalam bentuk menghalangi umat Islam dalam menjalankan tugas-tugas agamanya. Oleh karena itu, tidak ada penjelasan yang pasti dalam bentuk nash al- Quran tentang narkotika. Jumhur ulama

menetapkan haramnya minum-minuman yang memabukan, baik memang sampai yang meminum menjadi mabuk atau tidak: baik yang diminum itu banyak atau sedikit ulama Hanafiyah mengatakannya bahwa khamr itu adalah nama bagi jenis minuman memabukkan yang terbuat dan diproses dari perasan anggur.

Adapun didalam Nash belum ada yang menerangkan tentang hukuman narkotika maka hukuman yang pantas bagi tindak pidana penyalahguna narkotika adalah jarimah ta’zir.6

D. Narkotika Sebagai Jarimah Ta’zir dalam Fiqih Jinayah

Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman yang dapat menimbulkan ketergantungan yang dibedakan dalam golongan-golongan dalam UU RI No 35 tahun 2009 tentang narkotika dimana salah satu dari narkotika golongan I adalah metamfetamina atau sabu-sabu.7

Narkotika memang memiliki dua sisi yang sangat antagonis.

6

Rahmat hakim, Hukum Pidana Islam, (Bandung: Pustaka Setia,2002), h. 142 7

(33)

Pertama, narkotika dapat memberi manfaat besar bagi kepentingan hidup dengan beberapa ketentuan.

Kedua, narkotika dapat membahayakan pemakaiannya karena efek negatif

yang distruktif.

Dalam kaitan ini pemerintah republik Indonesia telah membuat garis-garis kebijaksanaan yang termuat dalam Undang-Undang nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika.

Penyalahgunaan narkotika dan obat-obat perangsang yang sejenisnya oleh kaum remaja erat kaitannya dengan beberapa halyang menyangkut sebab.Motivasi dan akibat yang ingin dicapai. Secara sosiologis, penyalahgunaan narkotika oleh kaum remaja merupakan perbuatan yang disadari berdasarkan pengetahuan atau pengalaman sebagai pengaruh langsung maupun tidak langsung dari proses interaksi sosial.8

Secara subjektif individual, penyalahgunaan narkotika oleh kaum remaja sebagai salah satu akselerasi upaya individual atau subjek agar dapat mengungkap dan menangkap kepuasan yang belum pernah dirasakan dalam kehidupan keluarga yang hakekatnya menjadikebutuhan primer dan fundamental bagi setiap individu,

8

(34)

terutama bagi anak remaja yang sedang tumbuh dan berkembang dalam segala aspek kehidupan.

Secara obyektif penyalahgunaan narkotika merupakan fisual dari proses isolasi yang pasti membebani fisik dan mental sehingga dapat menghambat pertumbuhan yang sehat.9Hukuman ta’zir menurut bahasa adalah ta’dib atau memberi pelajaran.Ta’zir juga diartikan ar-Rad wa al-Man’u, artinya menolak dan mencegah. Akan tetapi menurut istilah adalah sebagai berikut :

َا َل

عت

ز ي

ر

َت

د ا

ي

َع

َل

ى

لا

ذ ن

َل

ت م

ش

َر

ع

ف

ي َ

ا ا

حل

د

د

Artinya :“Ta’zir itu adalah hukuman pendidikan atas dosa (tindak pidana) “yang

belum ditentukan hukumannya oleh syara’.10

Hukuman ta’zir adalah hukuman yang belum ditetapkan oleh syara’, melainkan diserahkan kepada hakim, baik penentuannya maupun pelaksanaanya.11 Syara’tidak menyebutkan macam-macamnya hukuman untuk jarimah untuk tiap-tiap

jarimah ta’zir, tetapi hanya menyebutkan sekumpulan hukuman, dari seringan-ringannya sampai kepada seberat-beratnya. Dalam hal ini hakim diberi kebebasan untuk memilih hukuman-hukuman mana yang sesuai dengan hukuman ta’zir serta keadaan si pembuatnya juga.

9

Sudarsono, kenakalan Remaja, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), h. 67-68 10

Ahmad Wardi Muslich, Pengatar dan Asas Hukum Pidana Islam,(Jakarta: Sinar Grafika, 2004) h. 19

11

(35)

Jadi hukuman ta’zir tidak mempunyai batas tertentu.12 Juga jarimah ta’zir

tidak ditentukan banyaknya, sedangkan pada jarimah-jarimah hudud dan qishas, diyat sudah ditentukan, memang jarimah ta’zir tidak mungkin ditentukan jumlahnya.

Sedangkan jarimah ta’zir diserahkan kepada hakim untuk menentukannya, dengan

syarat harus sesuai dengan kepentingan-kepentingan masyarakat dan tidak boleh berlawanan dengan nas-nas (ketentuan-ketentuan) syara’ dengan prinsip-prinsip yang umum.13

Mengenai hukuman ta’zir diatas ini, maka di dikelompokkan ke dalam tiga

bagian:

1. Hukuman Ta’zir atas Perbuatan Maksiat

Bahwa hukuman ta’zir diterapkan atas setiap perbuatan maksiat yang tidak dikenakan hukuman had dan tidak pula kifarat, baik perbuatan maksiat tersebut menyinggung hak Allah (hak masyarakat) maupun hak adami (hak individu).

Pengertian maksiat adalah melakukan perbuatan yang diharamkan dilarang oleh syara’ dan meninggalkan perbuatan-perbuatan yang diharamkan (dilarang) oleh syara’ dan meninggalkan perbuatan perbutan yang diwajibkan (diperintahkan)

olehnya.14

Perbuatan-perbuatan maksiat dibagi kedalam tiga bagian :

12

Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1990), h. 8 13

Ibid, h. 9 14

(36)

a. Perbuatan maksiat yang dikenakan hukuman had, tetapi kadang-kadang ditambah dengan human kifarat,seperti, pembunuhan, pencurian, minuman keras, dan sebgainya. Untuk jarimah tersebut, selain dikenakan hukuman had, dapat juga dikenakan hukuman ta’zir. Pada dasarnya

jarimah-jarimahtersebut cukup dikenakan hukuman had, tetapi dalam kondisi tertentu apabila dikenakan kemaslahatan umum. Maka tidak ada halangannya ditambah dengan hukuman ta’zir.

b. Perbuatan maksiat yang dikenakan hukuman kifarat, tetapi tidak dikenakan hukuman had. Menyetubuhi istri pada siang hari bulan Ramadhan. Pada dasarnya kifaratitu merupakan hukaman karena wujudnya merupakan melakukan kesalahan yang dilarang oleh syara’ dan pemberian hukumanya

pembebasan hamba sahaya, atau puasa atau memberi makanan kepada orang miskin.

c. Perbuatan maksiat yang tidak dikenakan hukuman had dan tidak pula kifarat, maka akan dikenakan hukuman ta’zir.

2. Hukuman Ta’zir dalam rangka mewujudkan kemaslahatan umum menurut kaidah umum yang berlaku selama ini dalam syariat Islam hukuman ta’zir hanya dikenakan terhadap perbuatan maksiat, yaitu perbuatan yang dilarang keras zat perbuatannya itu sendiri.

(37)

Pelanggaran mukalafah melakukan perbuatan makruh dan meninggalkan perbuatan mandub, menjatuhkan hukuman ta’zir atas perbuatan mukalafah, disyaratkan berulang-ulangnya perbuatan yang akan dikenakan hukuman ta’zir. Para ahli fiqih dalam menentukan batas maksimal sanksi hukuman ta’zir yaitu:15

a. Hukuman ta’zir itu diterapkan dengan pertimbangan kemaslahatan dan dengan memperhatikan kondisi fisik terhukum.

b. Hukuman yang dijatuhkan tidak boleh melebihi hukumana had.

c. Hukuman ta’zir bisa diberikan maksimalnya tidak boleh melebihi 10 kali cambukan.

F. Tujuan Hukuman Ta’zir

Tujuan hukuman dari penerapan dari hukuman narkotika golongan 1 dalam fiqih jinayah adalah sebagai berikut:16

1. Pencegahan

Menahan orang yang berbuat jarimah agar tidak mengulangi perbuatan jarimah, atau agar ia tidak terus-menerus melakukan jarimah. Disamping mencegah pelaku agar tidak ikut melakukan jarimah, sebab ia bisa mengetahui bahwa hukuman yang dikenakan kepada pelaku juga akan dikenakan terhadap orang lain yang juga melakukan perbuatan yang sama.

15

Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Hukum Acara Peradilan Islam, (Yokyakarta: Pustaka Pelajar, 2006) h. 190

16

(38)

2. Perbaikan dalam pendidikan

Mendidik pelaku jarimah agar menjadi orang yang baik dan menyadari kesalahanya. Dengan adanya hukuman ini, diharapkan dari suatu pelaku kesadaran bahwa menjauhi jarimah karena akan takut hukuman. Disamping kebaikan pribadi pelaku, syariat Islam dalam menjatuhkan hukuman agar bertujuan membentuk masyarakat yang baik yang diliputi rasa saling menghormati dan mencintai antara sesama anggotanya dengan mengetahui batas atas hak dan kewajibanya.

Dari tujuan hukuman pelaku tindak pidana atau jarimah diatas ini, bertujuan untuk mengusahakan kebaikan serta pengajaran bagi pelaku tindak pidana atau jarimah.Dengan tujuan ini, pelaku jarimah diarahkan dan dididik untuk melakukan perbuatan baik serta meninggalkan perbuatan jahat.

Pada dasarnya pelaku tindak pidana merasakan sebagai pemaksaan terhadap dirinya untuk melakukan sesuatu yang tidak disenanginya, namun pada tahap berikutnya timbul kesadaran bahwa perbuatan tersebut memang harus dikerjakan atau harus dia tinggalkan bukan karena ancaman hukuman.17

Sanksi hukuman yang ditegaskan dalam al-Qur’an bukan dimaksudkan dengan pengertian harfiyahnya, melainkan bertujuan untuk membuat orang jera.Maka, untuk merendam kejahatan dengan upaya penegakan hukum dan pemerataan kesejahteraan umat.Dalam adanya sanksi ini orang akan bisa jera

17

(39)

melakukan tindak pidana atau jinayah terhadap pelanggarang yang ditentukan oleh syara’.18

Melakukan tindak pidana dapat mengtahui tanggung jawab hukum atau tindak pidana dalam syariah. Tindak pidana yang dilakukan adalah tanggung jawab pelaku kejahatan itu sendiri. Ayah, Ibu, saudara atau kerabat yang lain tidak dapat mengambil alih hukuman karena kejahatan yang dilakukannya.19

Tujuan hukum pidana Islam juga memelihara jiwa, akal, harta masyarakat secara umum, dan keturunan. Oleh karena itu, kedudukan pidana Islam amat penting dalam kehidupan bermasyarakat. Sebab empat dari tujuan syariat dapat dicapai dengan menaati ketentuan hukum pidana Islam dan dua diantaranya dengan ketentuan hukum perdata Islam, yaitu harta dan keturunan, sementara akal dan jiwa semata-mata dipelihara ketentuan hukum pidana Islam.20.

Selain itu, tujuan hukuman pada umumnya menegakkan keadilan sehingga terujud ketertiban dan ketentraman masyarakat.Oleh karena itu, putusan hakim harus mengandung rasa keadilan agar dipatuhi oleh masyarakat.masyarakat yang patuh terhadap hukum berarti mencintai keadilan.

18

Hasan Saleh, Kajian Fiqih Nabawi dan Fiqih Kontemporer,(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), h. 457.

19

A. Rahman, Penjelasan Lengkap Hukum Allah (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), h. 296

20

(40)

Namun bila tujuan hukuman itu dilihat dari ketetapan hukum yang dibuat oleh Allah dan Nabi Muhammad SAW, baik yang termuat di dalam al-Qur’an maupun yang terdapat di dalam al-Hadits, yaitu untuk kebahagian hidup manusia didunia dan diakhirat kelak, dengan jalan mengambil segala yang bermanfaat dan mencegah serta menolak segala yang tidak berguna kepada kehidupan manusia.

Dengan kata lain, tujuan hukum Islam adalah demi terciptanyakemaslahatan hidup manusia baik jasmani maupun rohani, individu dan masyarakat. Sedangkan dalam penerapannya, hukuman mempunyai beberapa tujuan

diantaranya sebagai berikut:

a. Untuk memelihara masyarakat.

Dalam hukum yang pertama ini menjelaskan bahwa pentingnya bagi pelaku tindak pidana (jarimah) sebagai upaya untuk menyelamatkan masyarakat dari perbuatan kejahatan.21

Dengan demikian hukuman itu pada hakikatnya adalah hukuman untuk menyembuhkan penyakit yang diderita si pelaku tindak pidana (jarimah), agar masyarakat terhindar dari penyakit tersebut.Untuk kita harus menegakkan kemaslahatannya.

Oleh karena itu, hukum mengorbankan kesenangan perseorangan untuk menciptakan kesenangan orang banyak itu dibolehkan. Dalam hukum positif disebut prevensi umum maksudnya ditunjukkan kepada khalayak yang banyak (semua

21

(41)

orang), agar tidak melakukan pelanggaran terhadap kepentingan umum dan tujuan utamanya agar pelaku jera dan takut.

b. Sebagai upaya pencegahan atau prevensi khusus bagi pelaku.

Jika seseorang melakukan tindak pidana, dia akan menerima balasan yang sesuai dengan perbuatannya. Dengan balasan tersebut, pemberi hukuman dapat terjadi dua hal sebagai berikut:

1. Pelaku diharapkan menjadi jera karena rasa sakit dan penderitaan lainnya, sehingga tidak akan mengulangi perbuatan yang sama dimasa akan datang. 2. Orang lain tidak meniru perbuatan si pelaku sebab akibat yang sama juga akan

dikenakan kepada peniru. Jadi harapan yang kedua ini adalah upaya memblokade kejahatan sehingga kejahatan tersebut cukup hanya dilakukan oleh seorang saja dan tidak diikuti oleh yang lainnya.

c. Upaya pendidikan dan pengajaran (ta’dibdan tahdziib)

Hukuman kepada pelaku pada dasarnya juga upaya mendidiknya agar menjadi orang yang baik dan anggota masyarakat yang baik pula. Diajarkan bahwa perbuatan yang dilakukan telah menggunakan hak orang lain, baik materil maupun moral dan merupakan pelanggaran atas hak orang lain. Disamping itu, mengingatkan pelaku tentang kewajiban yang seharusnya dikerjakan.

(42)

c. Hukuman sebagai balasan atas perbuatan

Pelaku tindak pidana (jarimah) akan mendapatkan balasan atas perbuatanya yang dilakukan.

Menjadi suatu kepantasan setiap perbuatan lain yang sebadan, baik dibalas dengan perbuatan baik dan jahat dan dibalas dengan kejahatan pula dan itu sesuatu yang adil.

Dijelaskan dalam Al-Qur’an surat Al- Zalzalah ayat (7-8) sebagai berikut:









Artinya: “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya. Dan Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar

dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya pula

Di jelaskan dalam Al-Qur’an surat ( Asy-Asyura ayat 40)



















Artinya: “ Balasansuatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa,...”

(43)

sangat sulit diperbaiki, dia harus disingkirkan dengan pidana seumur hidup atau hukuman mati.

Dalam hal ini hukum Islam berpendirian sama, yaitu dengan cara ta’dib (pendidikan) tidak menjerakan sipelaku tindak pidana (jarimah) dan malah menjadi sangat membahayakan masyarakat, hukuman ta’zir bisa diberikan dalam bentuk

hukuman mati atau penjara tidak terbatas.22

Dari tujuan hukuman yang sudah dijelaskan di atas ini, tujuan pokok adalah menyadarkan semua anggota masyarakat untuk berbuat baik dan menjahui perbuatan jelek, mengetahui kewajiban dirinya, dan menghargai orang lain sehingga apa yang diperbuatnya dikemudian hari berdasarkan kesadaran tadi, tidak selalu dikaitkan dengan ancaman hukuman. Dalam ungkapan lainnya perbuatan karena semata-mata karena kesadaran hukumnya yang meningkat, bukan karena takut hukum.

Bila demikian keadaanya, maka hukuman dapat berbeda-beda sesuai dengan tindak pidana yang dilakukan terutama ta’zir, menurut perubahan yang ia lakukan,

sebab diantara pembuat-pembuat ada yang cukup diberikan peringatan, dan juga ada yang dijilid.

Selain itu hukuman juga mencegah dan menakut-nakuti, syariat Islam tidak selalu untuk memberikan perhatian terhadap pelaku. Bahkan memberi pelajaran agar pelaku tindak pidana berbuat baik, ini adalah tujaun paling utama, sehingga penjahuan manusia terhadap tindak pidana (jarimah) bukan takut karena hukuman,

22

(44)

melainkan kesadaran diri dan ketidaksukaan terhadap kejahatan, dan serta menjauhkan diri dari kelakuan jelek, agar mendapatkan Ridha Allah.

Ta’zir telah disyariatkan bagi setiap pelanggaran syara’ yang tidak

menetapkan ukuran sanksinya.Sedangkan pelanggaran yang telah ditentukan sanksinya oleh syara’, maka pelanggarannya dijatuhi sanksi yang telah ditetapkan

kadarnya oleh syara’ semua yang belum ditetapkan oleh syara’,maka diserahkan

kepada penguasa untuk menetapkan jenis hukumannya.23

Sanksi ta’zir sesuai dengan tingkatan kejahatannya. Kejahatan yang besar

pasti dikenakan sanksi yang berat. Bagitu pula dengan kejahatan yang kecil, akan dikenai sanksi yang dapat mencegah orang lain untuk tidak melakukan kejahatan serupa. Kejahatan yang kecil tidak boleh dikenakan sanksi melampui batas, agar tidak termasuk mendzalimi orang yang melakukan kejahatan.24

23

Abdurrahman al-Maliki, Sistem Sanksi Dalam Islam,(Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2002), h. 240

24

(45)

BAB III

FATWA MAJELIS ULAMA

INDONESIA (MUI) DALAM MENETAPKANTENTANG HUKUMAN MATI

BAGI PELAKU PIDANA NARKOBA

A. Latar Belakang Sejarah Berdirinya MUI

MUI atau Majelis Ulama Indonesia adalah Lembaga Swadaya Masyarakat yang mewadahi Ulama, zu’ama, dan cendikiawan Islam di Indonesia untuk membimbing, membina dan mengayomi kaum muslimin di seluruh Indonesia. Majelis Ulama Indonesia berdiri pada tanggal, 7 Rajab 1395 Hijriah, bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta, Indonesia.

1. Berdirinya MUI

MUI berdiri sebagai hasil dari pertemuan atau musyawarah para ulama, cendekiawan dan zu’ama yang datang dari berbagai penjuru tanah air, antara lain

meliputi dua puluh enam orang ulama yang mewakili 26 Provinsi di Indonesia pada masa itu, 10 orang ulama yang merupakan unsur dari ormas-ormas Islam tingkat pusat, yaitu, NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti. Al Washliyah, Math’laul

(46)

bermusyawarahnya para ulama.zuama dan cendekiawan muslim, yang tertuang dalam sebuah “Piagam Berdirinya MUI,” yang ditandatangani oleh seluruh peserta

musyawarah yang kemudian disebut Musyawarah Nasional Ulama I.

Momentum berdirinya MUI bertepatan ketika bangsa Indonesia tengah berada pada fase kebangkitan kembali, setelah 30 tahun merdeka, di mana energi bangsa telah banyak terserap dalam perjuangan politik kelompok dan kurang peduli terhadap masalah kesejahteraan rohani umat. Dalam perjalanannya, selama dua puluh lima tahun, Majelis Ulama Indonesia sebagai wadah musyawarah para ulama, zu’ama dan

cendekiawan muslim berusaha untuk:

 memberikan bimbingan dan tuntunan kepada umat Islam Indonesia dalam mewujudkan kehidupan beragama dan bermasyarakat yang diridhoi Allah Subhanahu wa Ta’ala.

 memberikan nasihat dan fatwa mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan kepada Pemerintah dan masyarakat, meningkatkan kegiatan bagi terwujudnya ukhwah Islamiyah dan kerukunan antar-umat beragama dalam memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa serta;

(47)

 meningkatkan hubungan serta kerjasama antar organisasi, lembaga Islam dan cendekiawan muslimin dalam memberikan bimbingan dan tuntunan kepada masyarakat khususnya umat Islam dengan mengadakan konsultasi dan informasi secara timbal balik.

Lima Peran MUI

Dalam khittah pengabdian Majelis Ulama Indonesia telah dirumuskan lima fungsi dan peran utama MUI yaitu:

 Sebagai pewaris tugas-tugas para Nabi (Warasatul Anbiya)

 Sebagai pemberi fatwa (mufti)

 Sebagai pembimbing dan pelayan umat (Ri’ayat wa khadim al ummah)  Sebagai gerakan Islah wa al Tajdid

 Sebagai penegak amar ma’ruf nahi munkar

2. Hubungan dengan Pihak Eksternal

(48)

terpengaruh kepada pihak-pihak lain di luar dirinya dalam mengeluarkan pandangan, pikiran, sikap dan mengambil keputusan atas nama organisasi.

Dalam kaitan dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan di kalangan umat Islam, Majelis Ulama Indonesia tidak bermaksud dan tidak dimaksudkan untuk menjadi organisasi supra-struktur yang membawahi organisasi-organisasi kemasyarakatan tersebut, dan apalagi memposisikan dirinya sebagai wadah tunggal yang mewakili kemajemukan dan keragaman umat Islam. Majelis Ulama Indonesia , sesuai niat kelahirannya, adalah wadah silaturrahmi ulama, zuama dan cendekiawan Muslim dari berbagai kelompok di kalangan umat Islam.

Kemandirian Majelis Ulama Indonesia tidak berarti menghalanginya untuk menjalin hubungan dan kerjasama dengan pihak-pihak lain baik dari dalam negeri maupun luar negeri, selama dijalankan atas dasar saling menghargai posisi masing-masing serta tidak menyimpang dari visi, misi dan fungsi Majelis Ulama Indonesia.

(49)

Majelis Ulama Indonesia ini menjadi salah satu ikhtiar mewujudkan Islam sebagai rahmatan lil alamin (Rahmat bagi Seluruh Alam).1

B. Sumber Dan Dalil Hukum Istinbath Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI)

No: 53 Tahun 2014 Dalam Menetapkan Hukuman Mati Bagi Pelaku Pidana

Narkoba

1. al-Qur’an

Al-Qur’an dalam kajian Ūshul fiqih merupakan objek pertama dan utama pada kegiatan penelitian dalam memecahkan sutu hukum. Al-Qur’an menurut bahasa berarti ”bacaan” dan menurut istilah Ūshul fiqih al-Qur’an bararti “kalam Allah yang

diturunkan-Nya dengan perantaraan Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW, dengan bahasa Arab serta dianggap beribadah membacanya.” Firman Allah yang

yang menjadi sumber hukum pada istinbath fatwa MUI, sebagaimana berikut: al-Baqoroh:195









Artinya: dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan,

1

(50)























Artinya:“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar,

berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panahadalah Termasuk perbuatan syaitan.Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat

keberuntungan”. (QS. Al-Maidah:90)





















Gambar

Grafika, 2004)

Referensi

Dokumen terkait

Dalam proses perumusan strategi peningkatan pencapaian kualitas portofolio kredit usaha mikro, diperlukan pengidentifikasian faktor internal dan eksternal determinan

Tokoh Genduk merasa dilecehkan karena tubuhnya telah dipegang tanpa kerelaannya. Seperti kutipan di bawah ini.. Tiba-tiba kurasakan Kaduk menyergap tanganku. Dielusnya tanganku

Bank Tabungan Negara (Persero), Tbk Surabaya khususnya pada Kantor Kas harus lebih teliti dalam melakukan perhitungan pajak penghasilan (PPh) pasal 21 atas gaji pegawai tentang

Secara definisi bahwa pengertian pengembangan koleksi dalam proses pengadaan koleksi bahan perpustakaan yaitu proses seleksi, pemesanan, dan penerimaan bahan-bahan untuk koleksi

Pengaplikasian standar peneapan hygene dan sanitasi di kitchen sundara Four Season Resort at Jimbaran Bay ternayata belum secara sempurna diteapkan oleh para karyawan

Dari penjelasan-penjelasan tentang budaya di atas maka , dapat disimpulkan bahwa budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah

Selama kurun waktu tahun 1979 -1984, seba- gian besar rumah tangga di perkotaan mengkon- sumsi jagung lebih tinggi dari tahun sebelumnya, sebaliknya untuk tahun 1984 -1987,

Seperti yang pernah diungkapkan oleh Dede Prama Yoza ,sekembali dari kegiatan tersebut di Padangpanjang, selama dalam kegiatan tersebut mereka mendapatkan pelatihan