(Yogyakarta: LKiS, 2005).
Untuk membeli buku ini silakan hubungi pihak penerbit LKiS di web: http://lkis.co.id/index.php?option=com_virtuemart&page=shop.product_details&flypage=flypage_new.tpl&product_id=488
(catatan: nomor halaman daftar isi di bawah ini tidak menunjukkan nomor halaman yang sebenarnya. Dalam artian, antara nomor halaman dalam bentuk soft file ini berbeda dengan
nomor halaman dalam bentuk cetakan buku/print out)
Daftar Isi
Persembahan ...
Kata Pengantar Penerbit ...
Kata Pengantar Ahli ...
Kata Pengantar Penulis ...
Daftar Isi ... i
Daftar Gambar dan Tabel ... v
Bab I
Pendahuluan
... 1A. Pengertian Pengembangan Pendidikan Agama Islam ... 2
B. Urgensi Pengembangan Pendidikan Agama Islam ... 4
C. Kerangka Acuan Pengembangan Pendidikan Agama Islam ... 5
D. Ruang Lingkup Pengembangan Pendidikan Agama Islam ... 9
E. Hal-hal yang Terkait dengan Pengembangan Pendidikan Agama Islam ... 11
F. Sistematika Isi Buku ... 14
Daftar Rujukan ... 17
Bab II
Gagasan Thomas S. Kuhn tentang Revolusi Perkembangan Ilmu
Pe-ngetahuan
... 18A. Konsep Dasar ... 20
1. Nomenklatur yang Digunakan Thomas S. Kuhn ... 20
2. Pengertian Revolusi Perkembangan Ilmu Pengetahuan ... 26
B. Penelusuran Alam Pikir Thomas S. Kuhn ... 28
1. Konsep Pencarian Kebenaran Vs. Puzzle-solving Milik Thomas S. Kuhn ... 28
2. Posisi Ilmu Pengetahuan Menurut Thomas S. Kuhn ... 29
3. Tahap-tahap Perkembangan Ilmu Pengetahuan Menurut Thomas S. Kuhn .... 30
C. Paralelisasi Pemikiran Thomas S. Kuhn dengan Pengembangan Pendidikan Agama Islam ... 31
1. Patokan Parelelisasi Pemikiran Thomas S. Kuhn Terhadap Pengembangan Pendi- dikan Agama Islam ... 33
2. Nilai-nilai Dasar Pengembangan Pendidikan Agama Islam ... 34
3. Reinterpretasi Ayat Kauliyah dalam Pengembangan Pendidikan Agama Islam . 35
4. Penggunaan Ayat Kauniah dalam Pengembangan Pendidikan Agama Islam ... 36
5. Peran Komunitas Ilmiah dalam Pengembangan Pendidikan Agama Islam ... 38
D. Penutup ... 39
(Yogyakarta: LKiS, 2005).
Untuk membeli buku ini silakan hubungi pihak penerbit LKiS di web: http://lkis.co.id/index.php?option=com_virtuemart&page=shop.product_details&flypage=flypage_new.tpl&product_id=488
Bab III
Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Kecerdasan Bera-
gam (
Multiple Intelligences
)
... 43A. Konsep Dasar ... 46
1. Pengertian Kecerdasan Beragam ... 46
2. Pengertian Pembelajaran Pendidikan Agama Islam ... 47
3. Perubahan Paradigma Kecerdasan ... 48
4. Otak sebagai Kunci Utama Kecerdasan ... 50
5. Dasar Hukum Pelaksanaan Pembelajaran Berbasis Kecerdasan Beragam ... 51
B. Paradigma Baru Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Kecerdasan Beragam ... 52
C. Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Kecerdasan Beragam yang Ide- al ... 56
D. Penutup ... 64
Daftar Rujukan ... 66
Bab IV Masalah Terorisme dan Pengembangan
Human Security
Melalui
Pendidikan Agama Islam Berbudaya
Nirkekerasan
... 68A. Konsep Dasar ... 70
1. Pengertian Terorisme ... 70
2. Pengertian Human Security ... 72
3. Pengertian Pendidikan Agama Islam ... 73
4. Tujuan Pendidikan Agama Islam ... 74
5. Melacak Akar Terorisme ... 75
6. Teror Atas Nama Agama ... 77
B. Pengembangan Pendidikan Agama Islam Berbudaya Nirkekerasan ... 79
1. Pengertian Pendidikan Agama Islam Berbudaya Nirkekerasan ... 79
2. Agama dan Kekerasan ... 80
3. Urgensi Pendidikan Agama Islam dalam Membangun Budaya Nirkekera- san ... 82
4. Upaya Pengembangan Pendidikan Agama Islam Berbudaya Nirkekerasan .... 84
C. Pencegahan Terorisme dan Pengembangan Human Security Melalui Pendidikan Agama Islam ... 87
D. Penutup ... 91
Daftar Rujukan ... 93
BAB V Pendidikan Islam di Indonesia: Pesantren, Madrasah, dan Seko-
lah
...
97A. Konsep Dasar ... 100
1. Bentuk Pendidikan Islam di Indonesia ... 100
2. Sejarah Singkat Pendidikan Islam di Indonesia ... 104
3. Karakteristik Pendidikan Agama Islam di Pesantren, Madrasah, dan Seko-lah ... 105
4. Tujuan Pendidikan Agama Islam di Pesantren, Madrasah, dan Sekolah ... 111
5. Pengembangan Pendidikan Agama Islam di Pesantren, Madrasah, dan Seko-lah... 112
B. Kecenderungan Masyarakat dalam Memilih Bentuk Pendidikan Islam ... 116
C. Konsep Bentuk Pendidikam Islam yang Ideal ... 117
1. Konsep Pendidikan Agama Islam di Pesantren ... 117
2. Konsep Pendidikan Agama Islam di Madrasah ... 118
3. Konsep Pendidikan Agama Islam di Sekolah ... 119
D. Penutup ... 121
Daftar Rujukan ... 123
BAB VI Pemikiran Tentang Pengembangan Program Studi pada Perguruan
Tinggi Agama Islam
...
126A. Konsep Dasar ... 128
(Yogyakarta: LKiS, 2005).
Untuk membeli buku ini silakan hubungi pihak penerbit LKiS di web: http://lkis.co.id/index.php?option=com_virtuemart&page=shop.product_details&flypage=flypage_new.tpl&product_id=488
2. Landasan Fondasional Pengembangan Program Studi pada Perguruan Ting-
gi Agama Islam ... 129
3. Landasan Operasional Pengembangan Program Studi pada Perguruan Ting- gi Agama Islam ... 133
B. Langkah-langkah Pengembangan Program Studi pada Perguruan Tinggi Agama Islam ... 136
1. Pengembangan Program Studi Tipe 1 ... 137
2. Pengembangan Program Studi Tipe 2 ... 137
3. Pengembangan Program Studi Tipe 3 ... 138
C. Menuju Kualitas Lulusan Perguruan Tinggi Agama Islam yang Integratif dan Mandiri dalam Keilmuan ... 138
D. Penutup ... 140
Daftar Rujukan ... 141
BAB VII Penutup
...
143Indeks
...
144(Yogyakarta: LKiS, 2005).
Untuk membeli buku ini silakan hubungi pihak penerbit LKiS di web: http://lkis.co.id/index.php?option=com_virtuemart&page=shop.product_details&flypage=flypage_new.tpl&product_id=488
Daftar Tabel dan Daftar Gambar
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Kategorisasi Pengembangan Pendidikan Agama Islam di Lembaga Pendidikan ... 6
Gambar 1.2 Langkah-langkah Research and Development Menurut Sugiyono ... 23
Gambar 1.3 Piramida Sistematika Pengembangan PAI Melalui Empat Perspektif ... 31
Gambar 2.1 “BukitParadigma”: Skema Diskontinuitas Perkembangan Ilmu Pengetahuan ... 54
Gambar 2.2 Tahap-tahap Perkembangan Ilmu Pengetahuan Thomas S. Kuhn ... 61
Gambar 3.1 Identifikasi Paradigma Baru Kecerdasan ... 100
Gambar 3.2 Posisi Peserta Didik dalam Bingkai Pendidikan Agama Islam ... 113
Gambar 3.3 Dua Jenis “Makna” Kesuksesan ... 122
Gambar 4.1 Mekanisme Psikologi Teroris dalam Mengkonstruk Pembenaran Diri ... 174
Gambar 4.2 Upaya Pemutusan Mata Rantai Ideologi Teroris Melalui Pendidikan ... 176
Gambar 5.1 Konsumen Fanatik Bentuk Pendidikan Pesantren, Madrasah, dan Sekolah ... 227
Gambar 5.2 Mekanisme Lama Bentuk Pendidikan Indonesia ... 235
Gambar 5.3 Mekanisme Baru (Sebagai Adaptasi) Sistem Pendidikan Indonesia ... 236
Gambar 6.1 Pola Upgrade Dosen PTAI yang Diambil atau Berasal dari PTU ... 263
Gambar 6.2 Pola Upgrade Dosen PTAI yang Mengajar Mata Kuliah Keagamaan ... 263
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Perbedaan Sistem Pendidikan Islam dengan Sistem Pendidikan Barat ... 106Tabel 3.2 Penerapan Teori Kecerdasan Beragam dalam Pembelajaran PAI ... 117
Tabel 3.3 Penerapan Teori Kecerdasan Beragam dalam Lingkup Satu Tema (materi) ... 119
Tabel 3.4 Kecerdasan pada Manusia Purba dan Spesises Selain Manusia ... 123
Tabel 3.5 Tipologi Pemikiran Pendidikan Islam dengan Bentuk Tabel ... 125
Tabel 5.1 Kasus Tertentu: Terjadi Kelunturan Identitas/Karakteristik ... 208
Tabel 5.2 Nilai-nilai Karakter pada Sekolah Berbasis Pesantren (SMK Salafiyah Pati Jawa Te- ngah) ... 235
(Yogyakarta: LKiS, 2005).
(Yogyakarta: LKiS, 2005).
Untuk membeli buku ini silakan hubungi pihak penerbit LKiS di web: http://lkis.co.id/index.php?option=com_virtuemart&page=shop.product_details&flypage=flypage_new.tpl&product_id=488
Mohon maaf di bawah ini hanya potongan dari bagian
buku.
BAB II
GAGASAN THOMAS S. KUHN TENTANG REVOLUSI
PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN
Oleh: A. Rifqi Amin
Kajian filsafat ilmu, khususnya filsafat ilmu keagamaan Islam bagi pengembangan
Pendidikan Agama Islam1 merupakan kebutuhan mendasar. Yakni, sebagai pisau
analisa dalam menemukan hakikat dan nilai ―kebenaran‖ menurut paradigma2 manusia.
Diharapkan, kebenaran yang menjelma menjadi ilmu pengetahuan dan produknya bisa bermanfaat bagi sendi kehidupan manusia. Oleh karena itu, sebagai awal penguraian (starting point) isi buku ini, memahami terlebih dahulu gagasan Thomas Samuel Kuhn3 dirasa sangat penting. Bagaimanapun, pemikiran kontemporer Kuhn sangat bermanfaat
dalam memahami filsafat ilmu dengan cara yang baru.4 Kendati dapat dipahami bahwa
pemikiran Kuhn bukanlah pemikiran bebas dari kritik. Dengan demikian, mendalami mekanisme revolusi perkembangan ilmu pengetahuan di Bab ini bisa menjadi dasar untuk mengkaji dan mengembangkan sejumlah teori pada Bab-bab berikutnya.
Lebih lanjut, tulisan ini difokuskan pada penelusuran peran Kuhn terkait gagasannya
yang cemerlang. Hasil kemampuan berfikirnya –salah satunya terinspirasi dari
pendalamannya terhadap kajian ―sejarah ilmu .... (terpotong)... ilmuwan agamais
dalam mengintegrasikan ilmu agama dengan ilmu pengetahuan. Lebih gamblangnya, teori Kuhn tentang revolusi ilmu pengetahuan menjadi jawaban atas keraguan dari beberapa kalangan tentang keabsahan integrasi antara dua ilmu. Selain juga, teori Kuhn bisa menjadi kritik atas dominasi luar biasa ilmu pengetahuan, utamanya yang lahir dari
1
Yang dimaksud Pendidikan Agama Islam di sini meliputi pendidikan makro sekaligus pendidikan mikro. Di mana pendidikan makro salah satunya menelaah bidang pendidikan tertentu dalam wilayah luas. Misalnya, lingkup kajiannya pada jenjang pendidikan dasar seperti menelaah SD dan SMP. Tentu ini akan sedikit banyak berbeda bila mengkaji MI (Madrasah Ibtidaiah) dan MTs (Madrasah Tsanawiyah). Oleh karena itu, ilmu yang dibutuhkan untuk pengembangannya pu juga akan berbeda. Yakni, membutuhkan ilmu-ilmu seperti psikologi, sosiologi, manajemen, filsafat, dan beberapa lainnya. Sedangkan pendidikan mikro salah satunya mengkaji pendidikan dalam wilayah sempit. Misalnya, hanya menelaah individunya saja yaitu salah satunya terkait dengan bakat-minat serta perubahan sikapnya, sehingga ilmu yang diperlukan untuk pengembangannya lebih sedikit seperti psikologi saja.
2Mengenai paradigma PAI sebagai salah satu ilmu sosial, maka Tobroni menuliskan bahwa ―Ilmu sosial
menurut Giddent memiliki multi paradigma. Paradigma adalah pangkal tolak (starting point) dan sudut pandang (point of view) dalam mengkaji suatu hal. Perbedaan paradigma bukan hanya akan menghasilkan pemahaman yang berbeda, melainkan juga nilai dan norma berbepa pula. Contoh ekstrem diibaratkan ada beberapa orang buta yang berusaha memahami seekor gajah. Ada yang meraba belalainya, telinganya, kakinya, perutnya dan ekornya, dan lantas masing-masing mendefinisikan gajah. Hasilnya adalah masing-masing memiliki pemahaman, pengertian dan perlakuan berbeda terhadap gajah. Dalam kehidupan sosial, paradigma yang berbeda akan menyebabkan keyakinan, nilai, dan norma yang
berbeda pula.‖ Lihat, Tobroni, ―Paradigma Pemikiran Islam,‖ dalam http://tobroni.staff.umm.ac.id/2010/12/01/paradigma-pemikiran-islam/, 1 Desember 2010, diakses tanggal 19 Februari 2015.
3
Thomas Samuel Kuhn penulis buku ―The Structure of Scientific Revolutions,‖ terbit pertama kali tahun 1962. Untuk bukunya edisi kedua tahun 1970 terdapat beberapa penambahan. Buku tersebut telah diterjemahkan lebih dari dua puluh bahasa dan terjual lebih dari satu juta copy (salinan). Lihat, N. M. Swerdlow, Thomas S. Kuhn 1922-1996 a Biographical Memoir (tanpa kota: National Academy of Sciences: 2013), hlm 15.
4
(Yogyakarta: LKiS, 2005).
Untuk membeli buku ini silakan hubungi pihak penerbit LKiS di web: http://lkis.co.id/index.php?option=com_virtuemart&page=shop.product_details&flypage=flypage_new.tpl&product_id=488 rahim positivisme. Misalnya, karena kegagalan ilmu pengetahuan sekuler dalam menyelesaikan masalah kehidupan yang begitu kompleks dan rumit, menyebabkan
timbulnya perubahan ―gagasan.‖ Kemudian, muncullah gagasan baru sebagai pemecah
masalah tersebut, yakni salah satunya pengintegrasian antara agama dengan ilmu.
Bisa dikatakan gagasan Kuhn tentang ilmu pengetahuan telah mendobrak persepsi manusia di abad modern ini yang terlalu mengagungkan ilmu pengetahuan. Bahkan mengagungkan rasionalitas manusia-manusia, sehingga dianggap sebagai mahkluk tak
terbatas. Dengan demikian, sangat wajar bila setelah periode Kuhn banyak ilmuwan –
tak terkecuali ilmuwan agamais— terpengaruh oleh gagasannya. Utamanya para
ilmuwan dan pemikir yang resah dengan kegagalan ilmu pengetahuan umum. Yakni, dalam mengatasi adanya bencana sosial dan bencana alam yang salah satunya ditimbulkan oleh produk-produk ilmu pengetahuan itu sendiri. Dengan kata lain, Kuhn telah menginspirasi masyarakat atau komunitas ilmuwan, terutama terkait konsep
cerdasnya tentang ―revolusi ilmu pengetahuan‖ atau ―pergeseran paradigma (paradigm
shift)‖
Selama ini ilmu pengetahuan dipandang sebagai sesuatu yang bebas nilai, harus independen, dan empiris. Namun, menurut Kuhn ilmu pengetahuan tidak akan bisa
bebas dari yang namanya ―paradigma.‖ Kendati disadari atau tidak, paradigma yang
dipegang individu selalu dipengaruhi oleh sesuatu di luar dirinya. Misalnya, organisasi (kelompok) yang ia ikuti, ideologi yang ia anut, alur logika yang digunakan, otoritas (tokoh) yang ia percayai, hingga fanatismenya terhadap sesuatu. Dengan demikian, tidak ada satu ilmu pengetahuan pun yang hanya bisa dijelaskan dengan satu teori saja, terlebih hanya melalui pembuktian empiris. Sebagaimana menurut Tamtowi, bahwa
pergeseran paradigma (shifting paradigm) ―merupakan perubahan yang bersifat mistik
dan tidak bisa dijangkau oleh rasio, maka ia berada dalam bidang psychology of
discovery dan dibangun di atas logic of discovery.‖5 Dengan kata lain, pergeseran
paradigma tidak dapat dipaksan dengan menggunakan logika (rasional),6 karena setiap
paradigma bersifat incommensurable (tidak dapat dibandingkan). Dapat disimpulkan,
revolusi ilmu pengetahuan bisa terjadi karena faktor psikologis, agamais, filosofis,
sosiologis, historis, dan sebagainya yang berada dalam ―wadah‖ paradigma sehingga
ikut berperan mendorong perubahan.
Bagaimanapun, ilmu pengetahuan terbangun tidak hanya karena manusia telah memiliki kesadaran (pencerahan) berpikir dan berlogika. Pengembangan ilmu pengetahuan juga didasarkan pada motif tertentu. Salah satunya karena ingin memperbaiki paradigma lama yang bila tetap digunakan akan membahayakan bagi keadaan terbaru. Hal ini bukan berarti paradigma lama itu adalah sesuatu yang salah, karena bisa disingkirkan oleh paradigma baru. Melainkan, paradigma lama adalah
sesuatu yang dianggap ―benar‖ (bermanfaat) di tempat dan masa kejayaanya terdahulu.
Dapat disimpulkan, peluang adanya gugatan (kegelisahan) atas keganjilan (anomali) yang terjadi pada setiap paradigma senantiasa ada. Di mana, kadang bukti empiris tak
bisa menjawab atas keganjilan itu, tak pelak penggunaan ―nilai kemanusiaan‖
(etika/moral) yang dianggap subjektif lebih tepat untuk digunakan sebagai pemecah masalah.
Sebagai penutup, Bab ini merupakan usaha penulis dalam mencoba menelusuri pokok-pokok pemikiran Kuhn, kemudian dikaitkan dengan pengembangan PAI. Yakni,
tentang pentingnya gagasan ―revolusi ilmu pengetahuan‖ bagi kesejahteraan kehidupan
manusia. Dengan kata lain, akan dibahas sejauh mana peran konsep ―revolusi ilmu
5
Moh. Tamtowi, ―Urgensi Scientific Research Programme Imre Lakatos bagi Pengembangan Studi Islam,‖ Jurnal Substantia, Vol 12, No. 1, April 2011: hlm 32-41, hlm. 33, dalam
http://www.substantiajurnal.org/index.php/subs/article/download/54/52, didownload 21 Desember 2014.
6
―[pergeseran paradigma] Ini bukan proses rasional; ada langkah imajenatif dan tak terduga ke dalam
yang tidak diketahui, semua dipengaruhi oleh metafora, perumpamaan, dan asumsi yang diambil dari bidang lain. Kuhn tampaknya menyarankan bahwa faktor-faktor estetika, sosial, sejarah, dan psikologi juga terlibat, sehingga cita-cita ―ilmu murni‖ adalah sebuah angan-angan.‖ Lihat, Karen Armstrong, ―Masa
(Yogyakarta: LKiS, 2005).
Untuk membeli buku ini silakan hubungi pihak penerbit LKiS di web: http://lkis.co.id/index.php?option=com_virtuemart&page=shop.product_details&flypage=flypage_new.tpl&product_id=488
pengetahuan‖ milik Kuhn tersebut bisa digunakan dalam masa kekinian. Termasuk di
dalamnya akan dibahas tentang penggunaan konsep pergeseran paradigma7 ke dalam
dunia Pendidikan Agama Islam. Mengingat, selama ini PAI masih dianggap masih mengalami banyak permasalahan. Salah satu sebabnya tidak ada perubahan paradigma lama PAI, atau paling tidak perubahan tersebut masih terjadi secara ragu-ragu atau malu-malu. Meski kenyataan sekarang paradigma baru PAI yang belum
―dimunculkan‖ secara masif merupakan sebuah kebutuhan. Oleh karena itu, Bab ini
selain sebagai dasar juga diupayakan menjadi pendorong terhadap pengembangan PAI, sehingga bisa bermanfaat bagi pemecahan masalah kontemporer.
A. Konsep Dasar
1. Nomenklatur yang Digunakan Thomas S. Kuhn
Nomenklatur adalah pemberian nama/kode (tata nama) yang dipakai pada
bidang ilmu tertentu. Biasanya pembentukan nama tersebut disusun sebagai ―ciri
khas‖ bagi objek studi pada cabang ilmu pengetahuan tertentu.8 Pada setiap
gagasan yang dibangun, biasanya Kuhn menggunakan istilah yang butuh pemahaman tersendiri. Hal ini karena beberapa nomenklatur yang diusung oleh Kuhn masih sangat asing bagi masyarakat awam. Bahkan beberapa diantaranya baru dapat dipahami maksudnya secara utuh setelah dijelaskan runtutan mekanismenya. Oleh karena itu, sebelum membahas pokok persoalan secara detail, perlu didalami terlebih dahulu nomenklatur yang sering digunakan oleh Kuhn. Diantaranya sebagai berikut:
a. Paradigma (paradigm)
Paradigma (P)9 adalah bagian dari ―teori‖ lama yang pernah digunakan
serta dipaparkan berdasarkan pengujian-pengujian dan interpretasi dari sikap anggota masyarakat ilmiah yang sudah ditentukan (disepakati) sebelumnya. Selain itu paradigma dipakai sebagai kesuluruhan manifestasi keyakinan, nilai, teknik, dan lain-lain yang telah diakui bahkan dilakukan oleh anggota-anggota
masyarakat ilmiah.10 Dengan demikian dalam paradigma... (terpotong)
Dapat disimpulkan bahwa paradigma merupakan konsensus pemahaman
(penafsiran) masyarakat ilmiah tentang suatu ―pandangan dasar‖ atau cara
berfikir mengenai pokok persoalan pada kajian-kajian ilmu tertentu.11 Paradigma
jugalah yang menjadi ―roh‖ atau sumber kehidupan sehingga suatu teori bisa
terbangun. Tidak hanya itu, paradigma ternyata bisa menjadi gen konstruksi
sosial, sehingga menentukan corak (warna), sifat, dan bentuk ilmu pengetahuan berikutnya.
7
Menurut Kuhn, ide ―pergeseran paradigma‖ diartikan sebagai peralihan secara terus-menerus (berturut-turut) dari satu paradigma ke paradigma yang lain melalui revolusi. Hal itu merupakan hal biasa dalam pola perkembangan saat tercapai ilmu matang. Saat ini, kemungkin studi Islam di Indonesa menunjukkan dinamika. Bahkan mulai mencapai tahap kematangannya. Menurut Khun, perlu ada pergeseran paradigma ketika para ilmuwan menemukan anomali yang belum terpecahkan dan adanya arus paradigma baru yang menantang paradigma lama. Oleh karena itu, disiplin ilmu lama (paradigma lama)
berhak dilempar ke atas meja ―krisis.‖ Lihat, Muhammad Sirozi, ―In Search of a Distinctive Paradigm for
Indonesia Islamic Studies: Some Note From 13th AICIS 2013,‖ dalam
Huruf ―p‖ kapital dengan font bold (cetak tebal) yang berada dalam tanda baca kurung seperti berikut ini
―(P)‖ merupakan singkatan dari kata paradigma. Untuk pembahasan selanjutnya masih terdapat huruf atau gabungan huruf yang cara penulisannya berpola sama dengan singakatan tersebut. Salah satu
contohnya ―(IN)‖ yang merupakan singkatan dari ilmu pengetahuan normal. Teknik penyingkatan tulisan seperti itu dimaksudkan untuk mempermudah penggambaran gagasan perkembangan ilmu pengetahuan
ke dalam bentuk gambar ―bukit paradigma‖ yang akan dibahas pada halaman berikutnya.
10
Zubaedi, Filsafat Barat: Dari, hlm. 201.
11
(Yogyakarta: LKiS, 2005).
Untuk membeli buku ini silakan hubungi pihak penerbit LKiS di web: http://lkis.co.id/index.php?option=com_virtuemart&page=shop.product_details&flypage=flypage_new.tpl&product_id=488
Menurut Kuhn, apa yang benar menurut paradigma lama belum tentu benar
menurut paradigma baru (adanya relativisme).12 Itu artinya paradigma tidak
selalu terikat pada nilai benar atau salah. Akan tetapi dapat terbimbing oleh
sesuatu yang ―baik‖ atau yang ―terbaik‖ bagi perkembangan ilmu pengetahuan
selanjutnya. Dengan kata lain, penelitian yang akan dilakukan ilmuwan
seharusnya tidak hanya untuk menemukan ―kebenaran‖ dan kecanggihan.
Namun, juga untuk memberikan nilai manfaat bagi kehidupan manusia. Hal ini bukan berarti bahwa paradigma dalam menyelesaikan masalah keilmuan tidak benar-benar objektif. Alasannya, nilai objektifnya tersebut bisa didapat pada penggunaan metode tertentu yang disepakati dan dapat dipahamai bersama oleh masyarakat ilmiah. Pada akhirnya, paradigma akan menentukan metode apa yang cocok lalu disepakati mereka untuk dipakai dalam pemecahan suatu masalah.
―Kuhn juga mengatakan bahwa membandingkan paradigma satu dengan
lainnya bukanlah hal yang mudah karena semua yang menyusun paradigma
sangat berbeda dan tidak analog.‖ Lebih rinci, salah satu prasyarat terjadinya
percepatan pergantian atau pergeseran paradigma dari yang lama menuju yang terbaru adalah melalui dunia pendidikan (akademis). Hal ini karena hampir tidak mungkin illmuwan dapat bekerja secara cepat jika melalui jalur otodidak. Yakni, tanpa menggunakan konsep yang sudah mapan, tanpa latihan, dan dimulai
dengan sesuatu yang masih benar-benar baru (prematur).13 Dapat dikatakan,
paradigma merupakan konstelasi (tatanan) beberapa gagasan yang saling terhubung disertai dengan asumsi-asumsi yang dikemukakan oleh para ilmuwan
di zamannya.14 Oleh karena itu, antara paradigma lama dengan paradigma baru
tidak bisa saling mengklaim mana yang baik dan yang benar. Bagaimanapun di antara keduanya adalah sama-sama benar dan baik untuk tempat dan zaman yang menaunginya.
Dapat disimpulkan, fungsi paradigma adalah menyuplai ―teka-teki‖ (puzzle)
bagi para ilmuwan untuk dipecahkan. Paradigma juga menyediakan ―alat‖
sebagai solusi bagi... (terpotong)... tersebut dibutuhkan dugaan dasar dan
dugaan teoritis. Di mana pada setiap ―teka-teki‖ karakternya berbeda satu sama
lain. Artinya, paradigma menjadi dasar dalam melihat, memahami, dan
12Basuki, ―Jejak Paradigma Kuhn,‖ diakses tanggal 23 September 2014. 13
Surjani Wonorajardjo, Dasar-dasar Sains: Menciptakan Masyarakat Sadar Sains (Jakarta: Indeks, 2010), hlm. 123.
14
―A paradigm, in Thomas Kuhn‟s view, “is not simply the current theory, but the entire worldvew in which it
exists, and all of the implications which come with it.” This view implies that developing or changing scentific paradigm is not an overnight job for every researchers, because it will take time for investigation, discussion, and dissemmination. It is also not a simple process, because it will involve and require social and political context and construction... It requires long term commitment, intensive researches, and extensive discussions, considering many opinions, and involving scholars of various disciplines. For this reason, a long term planning and action plans will pave the way for thedevelopment of a unique paradigm for Indonesian Islamic studies that can produce open minded attitude and broad understanding of Islamic teachings. In a long term, Azyumardi believes, such a paradigm will develop and promote “moderate Islam
(wasatiyyah Islam)” that can be a model for other Muslim countries.‖ Dari penjelasan tersebut dapat
dipahami bahwa sebuah paradigma dalam pandangan Thomas Kuhn, ―adalah bukan sekedar teori yang
muncul saat ini, tetapi seluruh cara pandang (worldview) ilmuwannya di mana ia eksis (berada), dan semua implikasinya yang datang dengannya.‖ Pandangan ini mengimplisitkan bahwa mengembangkan atau mengubah paradigma lama bukanlah pekerjaan semalam untuk setiap peneliti-peneliti, karena hal tersebut akan memerlukan waktu untuk agenda penelitian, diskusi, dan penyebarannya. Hal itu juga bukan proses yang simple, karena itu akan melibatkan dan memerlukan konteks sosial dan politik... Serta memerlukan komitmem jangka panjang, penelitian intensif, dan diskuksi yang luas, mempertimbangkan banyak opini, dan melibatkan sarjana dari berbagai disiplin ilmu. Untuk alasan ini, perencanaan jangka panjang dan tindakan terencana akan membuka jalan untuk pengembangan paradigma yang unik pada studi Islam di Indonesia yang dapat memproduk pola tingkah terbuka dan pemahaman orisinil tentang pengajaran Islam. Dalam jangka panjang, Azyumardi percaya, paradigma seperti itu akan berkembang
dan menyebarkan ―Islam moderat‖ yang dapat menjadi model bagi negara-negara Muslim lainnya. Lihat,
Muhammad Sirozi, ―In Search of a Distinctive Paradigm for Indonesia Islamic Studies: Some Note From
(Yogyakarta: LKiS, 2005).
Untuk membeli buku ini silakan hubungi pihak penerbit LKiS di web: http://lkis.co.id/index.php?option=com_virtuemart&page=shop.product_details&flypage=flypage_new.tpl&product_id=488
mepersepsi realitas (fenomena). Dengan kata lain, paradigma menjadi wordwiew (cara pandang terhadap dunia) untuk menentukan metode apa yang akan dipakai pada penelitian. Dengan landasan, setiap paradigma selalu berbeda tergantung waktu dan tempatnya. Setiap kelompok atau komunitas ilmiah pun paradigmanya berbeda. Bahkan setiap individu ilmuwan dalam satu
komunitas pun ―paradigmanya‖ dimungkinkan bisa berbeda. Oleh karena itu,
paradigma bisa menentukan sifat dan karakter ilmu pengetahuan yang dibangun. Bisa dikatakan, ilmu pengetahuan merupakan sekumpulan teori-teori yang terbalut dalam sebuah paradigma yang ada pada masing-masing ilmuwan.
b. Ilmu Pengetahuan Normal (normal science)
Yang dimaksud dengan ―normal‖ adalah didasarkan pada aturan atau pola
yang umum, sehingga tidak ada penyimpangan dari suatu norma atau kaidah.15
Bisa dikatakan bahwa ilmu pengetahuan normal (IN) merupakan kumpu...
(terpotong)
(terpotong)... normal science ini masyarakat ilmiah tunduk pada paradigma yang paling berhasil dalam memecahkan masalah daripada yang
ditawarkan oleh paradigma lainnya yang dianggap sebagai paradigma gagal
(PG). Keberhasilan di sini, tidak harus sangat berhasil secara sempurna dalam
menangani satu atau sejumlah masalah. Melainkan, dicukupkan pada paradigma tersebut mampu memberikan janji akan keberhasilan yang dapat
ditemukan pada contoh-contoh pilihan dan yang masih belum lengkap.16
Pada lingkup ilmu pengetahuan normal ini, ilmuwan tidak bersikap terlalu kritis terhadap paradigma yang membangun ilmu pengetahuan tersebut. Hal ini karena mereka kesulitan menemukan kelemahannya, sehingga ilmu
pengetahuan tersebut telah dinyatakan sebagai kesepakatan umum (general
agreement). Namun, lambat laun jika dikaji terus-menerus maka bisa saja
ditemukan sebuah ―keganjilan‖ (anomali) pada ilmu pengetahuan normal ini. Di
mana para ilmuwan tidak lagi mampu menjelaskan dan memecahkan keganjilan tersebut dengan teori-teori lamanya. Selanjutnya, ilmu pengetahuan normal yang dipenuhi oleh anomali ini akan dipertanyakan eksitensinya. Mumpuni untuk tetap digunakan atau bisa digantikan dengan teori lain yang menentangnya.
Hal tersebut menurut Nurkhalis.... (terpotong)... kan bahwa normal
science adalah ilmu pengetahuan atau sekumpulan teori yang sudah mapan. Artinya, di dalamnya terdapat usaha tersistem yang kokoh untuk menjelaskan manfaat paradigma yang digunakan sebagai cara memecahkan masalah. Implikasinya, ia bisa menjadi dasar bagi sejumlah teori lain, baik untuk pengembangan teori maupun untuk pembenaran teori.
c. Anomali (anomalous/anomaly)
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ―anomali‖ (An) berarti terjadinya
penyimpangan dan keganjilan dari yang normal.17 Sedangkan menurut Kuhn,
anomali adalah... (terpotong). Implikasinya, ia akan mencari bukti, argumen,
dan teori-teori yang kuat untuk menjaga teori yang dibangunnya agar tetap valid.
Dapat disimpulkan bahwa anomali adalah berkurangnya atau bahkan
hilangnya kemampuan .... (terpotong)...pembaruan dengan menggali
15
―Kamus Besar Bahasa,‖ didownload tanggal 21 April 2014. 16
Yeremias Jena, ―Thomas Kuhn Tentang Perkembangan Sains dan Kritik Larry Laudan,‖ JurnalMelintas
(Jakarta: Departement of Ethics/Philosophy, Atma Jaya Catholic University, 28 Februari, 2012), hlm.
161-181, dalam
https://www.academia.edu/4171062/Thomas_Kuhn_Tentang_Perkembangan_Sains_dan_Kritik_Larry_La udan, didownload tanggal 23 September 2014.
17
(Yogyakarta: LKiS, 2005).
Untuk membeli buku ini silakan hubungi pihak penerbit LKiS di web: http://lkis.co.id/index.php?option=com_virtuemart&page=shop.product_details&flypage=flypage_new.tpl&product_id=488
paradigma baru (menemukan teori baru) agar lebih cocok bagi kehidupan kontemporer.
Namun demikian, syarat terjadinya anomali tidak serta merta hanya karena paradigma yang masih digunakan tersebut mendapat kritik. Bagaimanapun, sanggahan atau kritik saja tidak cukup untuk melemahkan gagasan yang dilontarkan ilmuwan lain. Meski bantahan tersebut menggunakan beberapa teori sebagai argumentasinya. Perlu alasan mendasar dan urgen suatu gagasan harus segera diganti dengan gagasan lain. Salah satunya adalah adanya realitas bahwa masyarakat luas sangat memerlukan solusi baru untuk memecahkan masalah yang baru. Sebagaimana pernyataan terdahulu bahwa
suatu ―penelitian‖ atau kajian bukan untuk mencari kebenaran, akan tetapi
mencari nilai kemanfaatan (untuk memecahkan permasalahan atau puzzle
solving). Alasan lainnya, kritik yang ditujukan pada gagasan (paradigma) lama
harus agresif dalam ―membombardir‖ hal-hal yang paling vital pada objek
terdalamnya.
Hal ini berarti bahwa sampai kapanpun tidak ada paradigma yang terbaik, utuh, dan terlepas dari anomali. Akibatnya, suatu teori atau gagasan yang
dibalut oleh paradigma ―lama‖ akan senantiasa berpeluang diperbarui oleh
paradigma baru. Senyampang paradigma baru tersebut mampu menggempur
lalu menciptakan krisis pada ilmu pengetahuan normal. Dengan kata lain, bila
memenuhi syarat maka secara terus-menerus akan terjadi pergeseran dari satu paradigma ke paradigma lain. Yakni, paradigma yang dipandang lebih cocok digunakan untuk memecahkan masalah terbaru. Dengan demikian, dalam
pengembangan ilmu pengetahuan faktor ―kesadaran‖ dan ketulusan akan
adanya anomali adalah sangat penting. Di mana anomali diawali tidak hanya dengan kritik belaka terhadap gagasan yang ada. Melainkan, mesti ditindak lanjuti dengan penelitian atau kajian mendalam untuk menemukan teori baru sehingga mampu menimbulkan krisis.
Dapat disimpulkan, perbedaan antara ―anomali‖ dengan ―krisis‖ adalah
anomali timbul karena faktor ditemukannya kelemahan dari dalam paradigma lama. Dampaknya, banyak ilmuwan yang meragukan keampuhan paradigma lama dalam memecahkan masalah. Sedangkan adanya krisis karena faktor
serangan dari luar paradigma lama. Yakni, ditemukannya ―tawaran‖ yang lebih
segar oleh paradigma baru dalam memecahkan masalah baru. Bisa dikatakan, anomali menjadi penggugah ilmuwan untuk menawarkan paradigma baru agar anomali yang terjadi segera normal seperti sedia kala. Bila tawaran itu mampu
―menggoyang"atau ―mengubrak-abrik‖ paradigma lama maka inilah yang disebut
dengan keadaan krisis.
d. Krisis (crisis)
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata ―krisis‖ (Kr) salah satunya
punya arti ―keadaan genting; kemelut,‖ dan ―keadaan suram (tentang ekonomi,
moral, dan sebagainya).‖18 Kata krisis bisa juga berarti pertama ―masa gawat,‖
kedua ―saat genting,‖ dan ketiga ―kemelut, kegentingan, kegawatan.‖19 Secara
detail Nurkhalis menyatakan bahwa krisis.... (terpotong)... paradigma lama
harus diganti dengan kandidat paradigma terbaru (sebagai calon pengganti) atau tidak.
Lebih gamblang, dalam komunitas ilmuwan, Khun menyatakan ada beberapa individu yang lebih kritis dari pada yang lainnya. Mereka lebih peka dan mensinyalir adanya anamoli dalam paradigma yang selama ini dipegang oleh komunitas, sehingga harus ditindaklanjuti dengan usaha penemuan baru.
Di sisi lain, kebanyakan masyarakat ilmiah.... (terpotong)....antara paradigma
18
―Kamus Besar Bahasa,‖ didownload tanggal 21 April 2014. 19
(Yogyakarta: LKiS, 2005).
Untuk membeli buku ini silakan hubungi pihak penerbit LKiS di web: http://lkis.co.id/index.php?option=com_virtuemart&page=shop.product_details&flypage=flypage_new.tpl&product_id=488
satu dengan paradigma lain seperti inilah yang disebut dengan
pertarungan/perbandingan paradigma atau pertentangan paradigma (PP).
Lebih lanjut, ketika menghadapi situasi krisis, para ilmuwan dihadapkan beberapa pilihan yang dilematis. Yakni, akan setia pada paradigma lama dengan berbagai argumentasinya atau menerima paradigma baru. Bisa juga dengan menemukan, mengembangkan, dan merumuskan paradigma lain yang dirasa lebih tepat dalam memecahkan masalah daripada kedua paradigma sebelumnya. Namun, bila dalam perjalanan selanjutnya ternyata paradigma
baru (calon pengganti paradigma lama) tersebut gagal menjaga ―kewibaannya‖
dalam menaungi ilmu pengetahuan maka paradigma lama bisa kembali bangkit lagi. Hal inilah yang disebut dengan penguatan/peneguhan paradigma atau afirmasi paradigma (AP).
Dalam menanggapi fenomena di atas, Kuhn menyatakan ―bahwa ada ....
(terpotong).
e. Revolusi Ilmu Pengetahuan (revolutionary science/scientific revolution)
Revolusi ilmu pengetahuan (Rev) adalah.... (terpotong)....
Dapat disimpulkan, revolusi ilmu pengetahuan adalah manifestasi atau efek yang paling mentok dari ketidakselarasan antara paradigma lama dengan paradigma baru. Yakni, ketika paradigma baru mampu eksis dan diterima oleh sebagian atau bahkan seluruh kalangan ilmuwan. Dengan itu, maka dapat dikatakan suatu revolusi telah terjadi. Namun kalau sebaliknya, maka paradigma lama tetap digunakan atau akan digantikan oleh paradigma baru yang lainnya. Dengan kata lain, dalam revolusi terjadi penjungkirbalikan paradigma yang ada (lama) oleh paradigma baru yang benar-benar berbeda dengan sebelumnya,
baik itu isinya maupun pada metodenya.20 Pada kategori revolusi ilmu
pengetahuan ini sikap kritis, ―kesadaran,‖ dan usaha sungguh-sungguh individu
dan masyarakat ilmiah untuk memecahkan masalah sangat berperan penting.
Setalah itu, apabila ada kesepakatan maka akan terjadinya perpindahan komunitas ilmiah, dari komunitas paradigma lama menuju paradigma yang baru. Yakni, memungkinkan ilmuwan untuk mengekspolrasi persoalan baru yang berbeda hasilnya jika tetap menggunakan paradigma lama. Hal ini karena dengan menggunakan paradigma baru mereka seakan-akan ditransformasikan ke wilayah lain. Meski kenyataannya tempatnya tetap pada yang lama. Akan tetapi, karena paradigmanya (perlengkapan) berbeda dari yang lama maka
wilayah tersebut ―tampak‖ berbeda pula dengan sebelumnya. Bahkan, dengan
paradigma baru tersebut ilmuwan mampu menyentuh ―sesuatu‖ yang
sebelumnya tidak pernah mereka sentuh.21 Dari sudut pandang lain, pernyataan
tersebut dirasa terlalu kaku tatkala dibandingkan dengan ungkapan Shuttleworth:
Kuhn originally believed that a paradigm would make a sudden leap from one to the next, called a shift, and he believed that the new paradigm could not be built upon the foundations of the old. Probably the best example of this is in physics. Newton's Laws were an example of a paradigm, and scientists worked upon his principles for centuries. The discovery of the internal structure of the atom started to find holes in the theory, and Einstein provided the 'out of the box thinking' that
20
Wonorajardjo, Dasar-dasar Sains:, hlm. 120.
21Sebagaimana pernyataan Choudhury bahwa ―
with the change in paradigm and a newer way of looking at the world, come about reorganizations and transformations. In such changes, new rules, institutional structures, human convictions and instruments to enforce the new ways of thinking arise.‖ Ia juga
(Yogyakarta: LKiS, 2005).
Untuk membeli buku ini silakan hubungi pihak penerbit LKiS di web: http://lkis.co.id/index.php?option=com_virtuemart&page=shop.product_details&flypage=flypage_new.tpl&product_id=488
dragged the paradigm in another direction. However, Kuhn later conceded that the process might be more gradual. For example, Relativity did not completely prove Newton wrong, but added to it and adapted it. Even the Copernican revolution was a little more gradual before completely throwing out Ptolemy's beliefs. Taking the Chinese researcher example, there is now a better integration between eastern and western medical philosophies, so the paradigms are merging.22
Dari pernyataan tersebut, dapat dijelaskan bahwa Khun awalnya meyakini
bahwa pergeseran paradigma terjadi dengan adanya ―lompatan‖ secara tiba
-tiba. Ia pun awalnya percaya bahwa paradigma baru tidak bisa dibangun di atas dasar paradigma lama. Namun, Kuhn lantas mengakui bahwa proses revolusi dimungkinkan terjadi dengan bertahap. Contoh yang paling mudah adalah teori relativitas Einstein tidak sepenuhnya menjadikan (membuktikan) bahwa teori Newton salah. Bagaimanapun, dalam teori relativitas juga terdapat penambahan dan adaptasi dari teori Newton. Contoh lainnya adalah ketika peneliti China melakukan integrasi antara filsafat medis Timur dengan Barat dengan cerdas, sehingga terjadi penggabungan paradigma. Oleh karena itu, dalam revolusi ilmu pengetahuan suatu paradigma tidak harus diganti seluruhnya. Akan tetapi
sebagian saja sudah cukup bila dengan ―sebagian‖ paradigma yang diganti tersebut mampu ―mengungguli‖ paradigma lama dalam memecahkan masalah.
Dari semua pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam revolusi
ilmu pengetahuan tidak ada ―kematangan‖ ilmu atau immatur science (IS). Hal
ini karena setiap kali ilmu pengetahuan berada pada posisi ―matang‖ akan selalu
rentan ditandingi oleh paradigma baru yang lebih menjanjikan. Dengan kata lain, kematangan suatu ilmu dianggap berlaku hanya di zaman (waktu) dan tempat
(ruang) ketika ia masih jaya. Ilmu tersebut tidak akan dianggap ―matang‖ lagi di
zaman dan tempat lain karena paradigma baru ternyata lebih ―matang.‖
Kenyataan ini terjadi disebabkan para ilmuwan dari satu generasi ke generasi lainnya pada dasarnya ingin terus-menerus mengadakan pengembangan. Bahkan, kadang sepenuhnya terjadi penolakan dari hasil temuan
ilmuwan-ilmuwan sebelumnya. Implikasinya, sebuah ―kebenaran‖ yang diakui oleh
ilmuwan zaman sekarang belum tentu akan diakui sebagian atau seluruh kebenerannya oleh ilmuwan masa mendatang.
2. Pengertian Revolusi Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, revolusi berarti perubahan mendasar
dalam suatu bidang tertentu. Sedangkan kata ―perkembangan‖ terkait erat dengan kata ―berkembang‖ yang salah satunya memiliki arti ―menjadi bertambah
sempurna‖ tentang pribadi, pikiran, pengetahuan, dan sebagainya. Bisa juga
diartikan ―menjadi banyak (merata, meluas, dsb).‖ Sedangkan ilmu pengetahuan
artinya kumpulan berbagai pengetahuan yang disusun secara logis dan tersistem
dengan memperhitungkan sebab serta akibat.23 Kata lain yang biasanya sebagai
pengganti kata ―ilmu pengetahuan‖ adalah sains. Di mana sains berarti pertama
ilmu pengetahuan pada umumnya, kedua pengetahuan sistematis tentang alam
dan dunia fisik, temasuk ilmu tentang makhluk hidup dan benda mati secara detail
(ilmu pengetahuan alam), ketiga pengetahuan sistematis yang diperoleh dari
observasi, penelitian, dan uji coba yang mengarah pada penentuan sifat dasar
atau prinsip sesuatu yang sedang diselidiki, dipelajari, dan sebagainya.24
Dalam pembahasan buku ini disengaja tidak menggunakan kata ―sains‖
sebagai pengganti kata ―ilmu pengetahuan.‖ Alasannya sederhana, karena kata
―sains‖ lebih cenderung pada lingkup kajian ilmu pengetahuan alam dan kurang
22Martyn Shuttleworth, ―
What Is a Paradigm?,‖ dalam https://explorable.com/what-is-a-paradigm, diakses tanggal 23 September 2014.
23
―Kamus Besar Bahasa,‖ didownload tanggal 21 April 2014. 24
(Yogyakarta: LKiS, 2005).
Untuk membeli buku ini silakan hubungi pihak penerbit LKiS di web: http://lkis.co.id/index.php?option=com_virtuemart&page=shop.product_details&flypage=flypage_new.tpl&product_id=488
menekankan ilmu pengetahuan sosial. Adapun, kata ―scientific‖ dalam bukunya
Kuhn yang paling terkenal berjudul ―The Structure of Scientific Revoluions‖
memiliki arti ―(secara) ilmiah, pendekatan secara ilmiah.‖25 Sedangkan kata ―ilmiah‖
itu sendiri berarti ―bersifat ilmu; secara ilmu pengetahuan; memenuhi syarat
(kaidah) ilmu pengetahuan.‖26 Oleh karena itu, untuk mempertegas diri dari kesan
keperpihakan dengan ―ilmu alam‖27 saja maka dalam buku ini sengaja
menggunakan kata ―ilmu pengetahuan‖ sebagai pengganti dari kata sains.
Pembahasan ini diawali dengan pernyataan Kuhn bahwa revolusi perkembangan ilmu pengetahuan itu tidak terjadi secara kumulatif atau linier
(kontinu), tapi terjadi secara non kumulatif dan diskontinu.28 Hal ini menunjukkan
perkembangan ilmu pengetahuan bukan berasal dari gabungan beberapa ilmu pengetahuan yang telah ada. Lalu disimpulkan ilmu yang datangnya paling akhir itu adalah yang benar atau yang paling matang. Namun, perkembangan ilmu pengetahuan terjadi secara revolusioner. Yakni, terjadi perubahan secara mendasar (terjadi pertentangan) antara paradigma lama dengan paradigma yang
baru.29 Di mana terdapat lompatan-lompatan yang tak teratur dalam proses
kelahiran ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, mekanisme revolusi ilmu pengetahuan dapat disamakan dengan revolusi sosial dan politik.
Bagi Kuhn, penemuan teori tidak menjadi kekuatan pendorong ilmu pengetahuan ke arah kemajuan. Bagaimanapun, ilmu pengetahuan bukanlah kumpulan kestabilan dan terus menerus ditambah dengan penemuan baru. Akan tetapi, ilmu pengetahuan merupakan serangkaian selingan yang dimulai dari revolusi intelektual para pemikir. Setelah ada revolusi, konsep baru akan menggantikan konsep ilmu pengetahuan lama, sehingga terjadi pergantian konsep yang berbeda secara terus-menerus. Hal itu akan terus terjadi sepanjang
kehidupan sejarah manusia.30 Dengan demikian, senyampang para ilmuwan dari
generasi ke generasi terus aktif melakukan pengembangan dan pembaruan gagasan, selama itu pula peluang revolusi perkembangan ilmu pengetahuan terus berlangsung.
Kembali ditegaskan, perkembangan ilmu pengetahuan merupakan proses
yang tak menentu, sulit... (terpotong).... tentang mekanisme revolusi
perkembangan ilmu pengetahuan maka perlu dipaparkan skema yang diberi nama Bukit Paradigma dari hasil analisis penulis sebagai berikut:
25
Echols dan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, hlm. 504.
26
―Kamus Besar Bahasa,‖ didownload tanggal 21 April 2014.
27
Perkembangan ilmu pengetahuan bisa terjadi salah satunya ada ketidakpercayaan komunitas masyarakat ilmuwan (komunitas ilmiah) terhadap teori-teori tertentu. Asumsinya, ilmu pengetahuan bisa terbentuk karena senantiasa dibangun atau diisi atas kumpulan beberapa teori. Implikasinya, terdapatnya proses pengembangan ilmu pengetahuan oleh ilmuwan disebabkan adanya proses pengembangan teori-teori yang sudah ada. Tentunya, sebuah teori-teori itu dibangun berdasarkan dari hasil proses tindakan (penelitian) ilmiah. Dengan demikian, pengembangan ilmu pengetahuan harus dilakukan secara komprehensif. Tidak hanya didasarkan pada salah satu aspek ilmu-ilmu alam (sains) atau metode tertentu
saja. Namun juga melihat ―pengaruh‖ ilmu-ilmu sosial yang kemungkinan mendominasi suatu ―teori‖ tersebut.
28
James A. Marcum, Thomas Kuhn‟s Revolution: An Historical Philosophy of Science (New York: Coontinum, 2005), hlm. 68, 75.
29
Basuki, ―Jejak Paradigma Kuhn,‖ diakses tanggal 23 September 2014. 30
(Yogyakarta: LKiS, 2005).
Untuk membeli buku ini silakan hubungi pihak penerbit LKiS di web: http://lkis.co.id/index.php?option=com_virtuemart&page=shop.product_details&flypage=flypage_new.tpl&product_id=488 Keterangan:
P1 : Paradigma Pertama (ke-1)
IN : Ilmu Pengetahuan Normal
IS : Ilmu pengetahuan yang tak pernah matang/mapan (immature science)
An : Keganjilan (anomali) yang ditemukan pada IN
Kr : Krisis, kegagalan P dalam menjelaskan secara tepat tentang Anomali
Rev : Revolusi, meninggalkan paradigma lama menuju paradigma baru
PP : Pertentangan antar Paradigma (paradigma lama Vs paradigma baru)
P2 : Paradigma ke-2 (paradigma baru yang berhasil menggantikan P1)
PG : Paradigma baru yang gagal menggantikan paradigma lama
AP2 : Afirmasi (bangkitnya) paradigma lama (P2), paradigma baru gagal (PG) dalam
merevolusi
P3 : Paradigma ke-3 (paradigma terbaru yang berhasil menggantikan P2)
PPS : Pergeseran paradigma sebagian (tidak seluruhnya tergantikan oleh paradigma baru)
Gambar 2.1 “Bukit Paradigma”: Skema Diskontinuitas Perkembangan Ilmu
Pengetahuan
Dari gambar di atas dapat disimpulkan, bahwa antar paradigma secara luas tidak saling berhubungan, akan tetapi berdiri sendiri. Kendati harus diaku sebagian
dari ―kaki‖ bukit paradigma terjadi keterkaitan antara paradigma lama dengan
paradigma penggantinya. Di sinilah letak revolusionernya, karena paradigma bertugas membimbing jalannya perkembangan ilmu pengetahuan secara terus-menerus. Dari hal tersebut, dapat dikatakan revolusi perkembangan ilmu pengetahuan adalah perubahan mendasar tentang kumpulan-kumpulan paradigma yang tersusun berdasarkan konteks masyarakat ilmiah (karena paradigma
terbentuk dari konteks masyarakat).31 Artinya, dalam revolusi perkembangan ilmu
pengetahuan terdapat unsur-unsur perubahan secara mendasar bahkan saling
bertolak belakang. Perubahan itu terjadi secara undetermination (tidak tentu
arahnya) dan berjalan dengan mandiri. Hal itu disebabkan karena adanya kegagalan paradigma (isi dan metodenya) yang lama dalam mempertahankan diri dari paradigma baru. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan bisa dikatakan mengalami perkembangan bila terjadi pergantian paradigma. Meski perlu ditekankan kembali bahwa paradigma lama seringkali memberi inspirasi dan modalitas (nampak di kaki
bukit paradigma terutama pada ―kolong‖ bagian Rev) bagi berkembangnya
paradigma baru.
31
Menurut Wittegenstein sebagaimana dikutip Maksum, arti kebenaran bukan kesesuaian ―teori‖ dengan
data empiris. Namun, kebenaran ditentukan oleh konteks, dalam bingkai linguistik (language-game) dan bingkai sosio-kultur (form of life). Penggunaan bingkai komunitarian ini kemudian dipakai oleh Thomas Kuhn. Bahkan, menurutnya data empiris menjadi data empiris bila ada bingkai itu (theory-ladenness).
(Yogyakarta: LKiS, 2005).
Untuk membeli buku ini silakan hubungi pihak penerbit LKiS di web: http://lkis.co.id/index.php?option=com_virtuemart&page=shop.product_details&flypage=flypage_new.tpl&product_id=488 B. Penelusuran Alam Pikir Thomas S. Kuhn
1. Konsep Pencarian Kebenaran Vs Puzzle-Solving Milik Thomas S. Kuhn
Menurut Kuhn, yang namanya kebenaran tunggal (objektif) itu tidak pernah ada. Karena bagaimanapun konsep kebenaran yang ada sekarang ini dibangun
terdiri atas ―paradigma-paradigma‖ yang disepakati dan dijunjung oleh masyarakat
ilmiah/akademis (ilmuwan). Dengan kata lain, menurut Kuhn kebenaran tunggal
yang dianut positivisme32 merupakan suatu paradigma ilmu pengetahuan yang
tetap mapan karena mendapat dukungan dan dimapankan pihak kalangan
komunitas ilmuwan. Oleh karena itu, ―paradigma‖ merupakan alat yang menjadi
kerangka konseptual dalam memahami ―kebenaran‖ alam semesta. Artinya,
ilmuwan atau masyarakat ilmiah dalam melakukan penelitian tidak bisa lepas dari paradigma. Secara otomatis kebenaran ilmu tidaklah mutlak-tunggal, tapi
relatif-plural, maka ―kebenaran‖ yang ada akan terus-menerus diteliti atau dikritisi oleh
komunitas ilmiah lain.33 Dari sini, sebagian dari kalangan mengatakan dengan
tegas bahwa Kuhn merupakan filsuf penganut relativisme.34 Bahkan disebut
pengusung irasionalisme dalam ilmu pengetahuan.
.... (terpotong) mengembangkan ilmu pengetahuan bukan untuk menemukan
kebenaran, lalu menyalahkan yang ―tidak benar.‖ Akan tetapi penelitian atau
pengembangan ilmu pengetahuan dilakukan untuk memecahkan masalah sosial.
Dengan kata lain, seringkali ilmuwan ingin atau sedang ―menemukan‖ sesuatu
karena memang pada saat itu masyarakat membutuhkan temuan tersebut untuk
kehidupan mereka yang lebih baik. Implikasinya, saat proses pemecahan ―teka
-teki‖ itu ―kadang‖ metode ilmiah tidak penting. Yang terpenting adalah bagaimana
ilmuwan mampu membangun konsep dari segala sudut. Termasuk di dalamnya
―konteks‖ dan sejarah ilmu pengetahuan yang dapat memecahkan ―teka-teki‖
tersebut, sehingga hasilnya bisa dimanfaatkan oleh masyarakat.
Dapat disimpulkan, karena ―paradigma‖ masing-masing ilmuwan maupun
paradigma yang disepakati (konsensus) dalam masyarakat ilmiah ikut andil dalam perumusan teori ilmiah (yang diyakini kebenaran), maka subjektivitas memiliki peranan. Nilai subjektivitas muncul bisa berupa pengaruh dari ideologi, psikologis, otoritas, dan fanatisme yang ada pada komunitas ilmiah tersebut. Nilai-nilai
32
Selama ini ilmu pengetahuan berkembang dinaungi oleh paradigma yang dianut oleh positivisme. Yakni, bahwa kebenaran itu harus bersifat mutlak-tunggal (pasti). Di mana, suatu kebenaran (ilmu) bisa diakui keabsahannya bila ilmu tersebut lolos dari ujian verifikasi, standar keilmuan, dan uji kebenaran lainnya. Ciri lainnya adalah suatu ilmu itu harus diperoleh memulai syarat-syarat tertentu, menggunakan prosedur ilmiah, bersifat netral, dan bebas nilai. Implikasinya, ada penolakan atau penerimaan terhadap teori tertentu, sehingga yang ditolak tersebut harus ditinggalkan dan dibuang sepenuhnya. Dengan kata lain,
sesuatu yang tidak bisa ―diraba‖ melalui prosedur ilmiah dinyatakan sebagai sesuatu yang salah dan tidak
bermakna sama sekali. Hal inilah yang ujungnya menyebabkan terjadinya penyeragaman berfikir, bahkan penyeragaman dalam tataran praktik. Bila paradigma tersebut dituangkan dalam dunia PAI maka bisa berakibat pada ketidakabsahannya PAI diakui sebagai sebuah ilmu. Dengan kata lain, menurut positivistik kajian PAI tidak lebih dari gagasan omong kosong yang tidak dapat dibutkikan kebenarannya secara empiris.
33Andri, ―Paradigma Ilmu Thomas Kuhn dan Karl Popper,‖ dalam
https://mhs.blog.ui.ac.id/andri.septian/2010/10/08/paradigma-ilmu-thomas-kuhn-dan-karl-popper/, 08 Oktober 2010, diakses tanggal 23 September 2014.
34―Kebenaran ilmiah itu bersifat relatif dan ilmu pengetahuan perlu terus menerus diadakan penelitian
(research) untuk menemukan kebenaran baru, merevisi dan menyempurnakan temuan yang sudah ada.‖
Lihat, Tobroni, ―Paradigma Pemikiran Islam,‖ diakses tanggal 19 Februari 2015. Selain itu menurut Ben
Dupré menjelaskan bahwa ―Kuhn sendiri berusaha menjauhkan dirinya dari pemahaman relavistik atas karyanya, perhatian tentang bagaimana ilmu pengetahuan berkembang melahirkan keraguan pada gagasan bahwa tujuan ilmu pengetahuan adalah untuk menemukan secara objektif fakta-fakta yang benar tentang bagaimana segala sesuatu berada di dunia... Pandangan umumnya adalah kebenaran dari sebuah teori ilmu pengetahuan merupakan masalah mengenai seberapa baik teori itu berdiri berdampingan dengan observasi-observasi netral dan objektif tentang dunia. Tetapi bagaimana jika tidak ada fakta-fakta ‗netral‘ dan garis yang tegas antara teori dan data? Bagaimana jika, sebagaimana
(Yogyakarta: LKiS, 2005).
Untuk membeli buku ini silakan hubungi pihak penerbit LKiS di web: http://lkis.co.id/index.php?option=com_virtuemart&page=shop.product_details&flypage=flypage_new.tpl&product_id=488
subjektivitas inilah yang penulis yakini sebagai salah satu penyebab perkembangan ilmu pengetahun terjadi secara revolusioner bukan secara evolusioner. Meskipun dalam dinamika tersebut diperlukan beberapa waktu yang
berbeda dalam tahap-tahapannya, karena kemampuan dan kecepatan ―perumus‖
paradigma baru berbeda-beda pada tiap zamannya. Dengan demikian ―kebenaran‖
tidak ada yang abadi, karena yang abadi adalah dinamika ilmu pengatahuan itu sendiri beserta perubahan paradigma ilmuwan dari masa ke masa yang disertai dengan interpretasinya.
2. Posisi Ilmu Pengetahuan Menurut Thomas S. Kuhn
Salah satu ciri utama ―konstruk‖ ilmu pengetahuan yang diciptakan Kuhn
beserta aktivitas ilmiahnya adalah tidak mengabaikan peranan sejarah ilmu. Menurutnya, mempelajari sejarah ilmu pengetahuan tak akan bisa lepas dari
memahami dua ―istilah‖ penting. Yakni, pertama discovery yang artinya kebaruan
fakta atau penemuan. Lalu yang kedua invention, artinya kebaruan teori atau
penciptaan. Di mana menurut Kuhn ―penemuan-penemuan‖ (discovery) sebagai
salah satu unsur pembangunan ilmu pengetahuan bukanlah peristiwa-peristiwa
yang dapat diabaikan begitu saja.35 Bagaimanapun sebagian besar penciptaan
(invention)36 teknologi sekarang ini bisa ada karena berkat adanya sejarah ilmu pengetahuan terdahulu. Walaupun sebagian besar penemuan ilmuwan terdahulu
sifatnya masih dasar. Dengan kata lain penciptaan (invention) merupakan bagian
dari tahap-tahap pengembangan atau lebih tepatnya ―pergeseran‖ yang berasal
dari penemuan (discovery) sebelumnya. Dimana ―struktur‖ pentahapannya selalu
berulang dan berpola sama. Yakni, antara discovery dan invention terjadi
keterjalinan yang sangat erat.
Selanjutnya, pernyataan tentang ilmu pengetahuan terikat pada ―sejarah ilmu,‖
berimplikasi pada ilmu pengetahuan juga terikat dengan nilai, ideologi, sosiologis, otoritas, dan latar belakang kehidupan penemunya. Alasannya, mempelajari sejarah secara otomatis akan mempelajari sebanyak-banyaknya lingkup kehidupan yang menyertai tokohnya. Semakin banyak atau lengkap dan komperhensifnya data sejarah maka bisa dikatakan isi kajian sejarah tersebut otentik. Dengan kata lain, ilmu pengetahuan tidak bisa bebas nilai, utamanya tidak
bisa terbebas dari pengaruh ―paradigma‖ penemu-penemunya yang mereka
peroleh sejak masih kecil hingga dewasa. Implikasi lainnya adalah karena mempelajari sejarah pasti mempelajari ruang dan waktu tentang zaman sebelumnya, maka ilmu pengetahuan juga terikat oleh ruang dan waktu. Itu artinya, bisa saja paradigma sebagai pengkonstruk ilmu pengetahuan belum tentu dapat digunakan pada waktu yang lain. Konsekuensinya, bila ditemukan permasalahan yang berbeda dengan waktu yang berbeda pula, maka penggunaan paradigma lain merupakan kewajiban.
Akhirnya, melalui konsep The Structure of Scientific Revolutions,
sesungguhnya perkembangan ilmu pengetahuan menemui jalan terjal. Selama ini ilmuwan menyembah ilmu pengetahuan dengan metode ilmiah yang seakan tak
terbantah dan sudah mapan. Kini, dengan nomenklatur.... (terpotong) menurut
kacamata Kuhnian37 bahwa klaim kebenaran pada satu teori yang diyakini ―abadi‖
dan tak tergoyahkan tidaklah tepat. Bagaimanapun suatu saat pasti akan ada revolusi (penjungkirbalikan) ilmu pengetahuan.
35
Thomas S. Kuhn, The Structure of, terj. Tjun Surjaman, hlm. 52.
36
Perbedaan Invetioan dengan Discovery adalah pada hak paten atau hak ciptanya. Di mana untuk
discovery tidak bisa diurus hak patennya karena secara asali ―produk‖ yang ditemukan tersebut sudah
tersedia di alam. Sedangkan invention bisa diurus hak patennya karena ―produk‖ itu adalah murni dari
hasil intelektual penciptanya. Secara detail, kata Invention diserap oleh bahasa Indonesianya menjadi
―invensi.‖ Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata invensi memiliki arti ―penciptaan atau perancangan sesuatu yang sebelumnya tidak ada; reka cipta.‖ Lihat, Kamus Besar Bahasa,‖ didownload tanggal 21 April 2014.
37
(Yogyakarta: LKiS, 2005).
Untuk membeli buku ini silakan hubungi pihak penerbit LKiS di web: http://lkis.co.id/index.php?option=com_virtuemart&page=shop.product_details&flypage=flypage_new.tpl&product_id=488
Dapat dikatakan, ilmu pengetahuan kapanpun berpeluang untuk direvolusi. Yakni, ketika paradigma atau teori yang lama bisa menggantikan paradigma yang sama sekali baru (paradigma matang/dewasa yang lainnya). Oleh karena itu, dapat dikatakan akan selalu ada pertandingan paradigma. Kapan pun itu setiap
paradigma pasti rentan terkena ―keganjilan‖ atau penyimpangan (anomali) dari apa
yang dinamakan kenormalan (ilmu normal). Di mana paradigma yang paling cocok dan terbaru akan menggantikan paradigma yang lama. Sebaliknya, ketika paradigma baru tidak cukup matang dan tidak lebih baik dari paradigma lama maka paradigma lama akan tetap digunakan oleh komunitas ilmuwan. Kalau itu terjadi berakibat perkembangan ilmu pengetahuan tidak berjalan untuk sementara waktu hingga ditemukan paradigma baru.
3. Tahap-tahap Perkembangan Ilmu Pengetahuan Menurut Thomas S. Kuhn Dalam kajian sejarah ilmu pengetahuan, runtutan perkembangannya tidak berdiri sendiri atau terpisahkan satu satu sama lain. Asumsinya, kekuatan ilmu pengetahuan terletak pada sifat dan mekanisme revolusinya. Di mana, perkembangan ilmu pengetahuan diperoleh bila teori yang ada bisa ditinggalkan dan sepenuhnya diganti oleh teori yang lebih sesuai. Menurut Kuhn unsur
terpenting dalam sebuah perkembangan ilmu adalah adanya masyarakat illmiah
atau komunitas ilmiah. Baik itu dalam lingkungan formal seperti kampus dan
lembaga penelitian, maupun lingkungan nonformal seperti kehidupan masyarakat secara luas. Masyarakat ilmiah menjadi faktor terbentuknya struktur ilmiah baru dan dapat berkembang dalam kurun waktu tertentu. Semua itu tergantung pada
kaidah ilmiah yang berlaku di masyarakat tersebut.38
Berdasarkan pandangan Kuhn, perkembangan ilmu pengetahuan terjadi secara revolusioner. Yakni, ketika ada peralihahan dari satu paradigma ilmu pengetahuan ke paradigma ilmu pengetahuan lainnya yang lebih mumpuni. Di
mana, di dalamnya juga diselingi oleh paradigma ―ilmu normal‖ sebagai ilmu yang
―sementara‖ mapan sebagai penjaga peradaban di zaman atau periodenya. Untuk
lebih jelas dan detailnya pembahasan, maka penulis paparkan tahap-tahap
perkembangan menurut Kuhn sebagai berikut:39
1. Fase pra-paradigma, pada tahap ini perkembangan ilmu pengetahuan berada pada episode cukup lama. Di mana penelitian keilmuan dilakukan tanpa arah dan tujuan tertentu. Pada episode ini, muncul berbagai aliran pemikiran yang saling bertentangan konsepsinya tentang masalah-masalah dasar disiplin ilmu dan metode apa yang cocok digunakan untuk mengevaluasi teori-teori.
2. Fase ilmu normal, pada masa ini mulai muncul salah satu aliran pemikiran
(teori) yang kemudian mendominasi disiplin ilmu lainnya. Di mana ―teori‖ ini
menjanjikan pemecahan masalah yang lebih handal dan bisa terciptanya masa depan ilmu yang lebih maju.
3. Fase anomali dan krisis, pada periode ini baik secara praktik ilmiah maupun teoritis ilmu pengetahuan normal yang ada tidak mampu lagi untuk diandalkan dalam memecahkan masalah yang baru. Kemudian, tatkala masalah yang begitu sulit dan tidak dapat dipecahkan membuat para ilmuwan menemui jalan buntu. Dari situ muncullah krisis dalam masyarakat ilmiah tersebut. Mereka mulai meragukan paradigma yang telah ada selama ini. Pada titik jenuh, muncullah ilmuwan yang saling bersaing satu sama lain untuk memecahkan
masalah ―krisis‖ yang mereka hadapi. Dari situ, ilmuwan yang mampu
menemukan ilmu atau teori-teori yang digunakan dan diakui oleh komunitas ilmiahlah yang akan menjadi paradigma baru dalam ilmu pengetahuan.
4. Fase munculnya paradigma baru, di sini ilmuwan sudah mampu memecahkan
masalah ―krisis‖ yang dihapadapi pada fase sebelumnya. Awalnya sebagian
komunitas ilmiah tidak menerima (meragukan) paradigma baru ini. Akhirnya,
38
Wonorajardjo, Dasar-dasar Sains:, hlm. 199.
39
(Yogyakarta: LKiS, 2005).
Untuk membeli buku ini silakan hubungi pihak penerbit LKiS di web: http://lkis.co.id/index.php?option=com_virtuemart&page=shop.product_details&flypage=flypage_new.tpl&product_id=488
P1
IN
An
Kr
Rev
P2
karena bermanfaatnya paradigma baru itu maka perlahan-lahan paradigma baru tersebut diterima.
Agar lebih mudah dalam memahami tahap-tahap perkembangan ilmu
pengetahuan menurut Khun, maka perlu diuraikan dalam gambar berikut ini:40
Pr Pr Pr Pr Pr Pr
Keterangan:
P1 : Paradigma awal yang diterima
IN : `Ilmu-ilmu normal
An : Penyimpangan (anomali)
Kr : Krisis (kegagalan P1 dalam menjelaskan secara tetap mengenai
penyimpangan atau An)
Rev : `Menyangsikan P1 sehingga menemukan gagasan baru
P2 : Paradigma baru, diharapkan mampu menyelesaikan
persoalan-persoalan yang tidakdapat dipecahkan oleh P1
Pr : Periode (masa/waktu)
Gambar 2.2 Tahap-tahap Perkembangan Ilmu Pengetahuan Thomas S. Kuhn (diadaptasi dari pemaparan Muhaimin)
Dari gambar41 tersebut dapat disimpulkan bahwa untuk mengganti paradigma
lama ke paradigma baru diperlukan beberapa tahapan-tahapan yang harus dilalui.
Meskipun –seperti dalam pembahasan sebelumnya– dalam setiap tahapan
(periode)42 pada kasus paradigma tertentu masing-masing berbeda masa atau
waktu ―prosesnya.‖ Inilah yang berarti bahwa ilmu pengetahuan terikat oleh waktu
atau tahapan (periode). Artinya, proses ―pergeseran‖ dari satu periode ke periode
lain akan menentukan proses perkembangan ilmu pengetahuan. Hal ini sama seperti revolusi-revolusi di bidang lainnya seperti kasus revolusi pada bidang sosial atau poitik, yang juga membutuhkan waktu. Bahkan, untuk satu jenis revolusi yang sama membutuhkan sejumlah waktu yang berbeda bila diterapkan di tempat lain. Semuanya tergantung pada paradigma yang digunakan oleh mayoritas masyarakat.
C. Paralelisasi Pemikiran Thomas S. Kuhn dengan Pengembangan Pendidikan Agama Islam
Antara paradigma Pendidikan Agama Islam43 dengan paradigma pendidikan
sekuler (yang cenderung positivistik) sesungguhnya sangat berbeda. Kajian
40
Muhaimin, Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Maliki Malang, Pemaparanpada Orientasi Program Studi Mahasiswa Baru Semester Ganjil tahun akademik 2014-2015, tanggal 11 September 2014.
41
Gambar tersebut hampir sama dengan gambar yang dibuat oleh Tobroni. Lihat, Tobroni, ―Paradigma
Pemikiran Islam,‖ diakses tanggal 19 Februari 2015. 42
―Kuhn‟s distinctions between normal science, crisis, and revolution are often misconstrued as a rigid
periodization of the development of scientific disciplines. Normal science and crisis are instead ways of doing science. One or the other may typically predominate within a field at any given time, but they can also coexist.‖ Dari pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa Kuhn membedakan antara ilmu
pengetahuan normal, krisis, dengan revolusi yang sering disalahpahami sebagai pereodiasi rigid (kaku) pada pengembangan disiplin ilmu. Di mana, salah satu dari mereka bisa mendominasi lainnya yaitu dari segi waktunya, meski tak jarang satu sama lain juga bisa saling hidup berdampingan dalam satu waktu.
Lihat, Josephrouse, ―Kuhn‘s Philosophy of Scientific Practice,‖ dalam Thomas Kuhn, ed. Thomas Nickles (New York: Cambridge University, 2003), hlm. 113.
43