• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Yuridis mengenai Status Kewarganegaraan Etnis Rohingya di Myanmar berdasarkan Convention Relating to the Status of Stateless Persons 1954

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Tinjauan Yuridis mengenai Status Kewarganegaraan Etnis Rohingya di Myanmar berdasarkan Convention Relating to the Status of Stateless Persons 1954"

Copied!
121
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

Nama : M. Ridha Thanthawi

NIM : 110200387

Departemen : Hukum Internasional

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

ii

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum

Disetujui

Ketua Departemen Hukum Internasional

(Dr. Chairul Bariah, S.H., M.Hum) NIP. 195612101986012001

Dosen pembimbing I, Dosen Pembimbing II,

Dr. Chairul Bariah, S.H., M.Hum Dr. Sutiarnoto, SH, M.Hum

NIP. 195612101986012001 NIP. 195610101986031003

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

iii

M. Ridha Thanthawi***

ABSTRAKSI

Penulisan skripsi ini dilatar belakangi oleh ketertarikan penulis terhadap diskriminasi yang terjadi pada etnis Rohingya yang berada di Myanmar. Dalam penulisan skripsi ini yang menjadi permasalahan adalah bagaimana eksistensi etnis Rohingya di Myanmar, pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) yang terjadi pada etnis Rohingya di Myanmar, dan status kewarganegaraan etnis Rohingya di Myanmar (berdasarkan Convention Relating to the Status of Stateless Persons 1954).

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian hukum normatif atau penelitian kepustakaan yang didasarkan pada data sekunder yaitu dengan mengumpulkan bahan-bahan dari kepustakaan, peraturan perundang-undangan, konvensi internasional, jurnal internasional, internet, dan hasil tulisan ilmiah lainnya seperti paper atau makalah yang erat kaitannya dengan permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini.

Berdasarkan hasil penelitian, penulis mengambil kesimpulan bahwa tindakan pemerintah Myanmar yang menyatakan Rohingya adalah non-national

itu telah melanggar ketentuan hukum internasional serta hak asasi manusia, khususnya etnis Rohingya yang termasuk dalam etnis minoritas dimana perlindungan akan hak-haknya diatur dalam instrumen hukum internasional. Menurut hukum internasional, pemerintah Myanmar memiliki tanggung jawab untuk melakukan penyelidikan terhadap yang terjadi kepada etnis Rohingya serta berkewajiban untuk mengadili dan menghukum oknum-oknum yang terlibat dalam kasus pelanggaran HAM tersebut. Pada Convention Relating to the Status of Stateless Persons 1954 tentang orang-orang yang tidak memiliki kewarganegaraan yaitu etnis Rohingya yang berada di Myanmar perlu diatur sebuah persetujuan internasional agar orang-orang yang tidak berkewarganegaraan ini dapat diperbaiki statusnya dan setidaknya memiliki hak yang sama dengan pengungsi, karena setiap orang memiliki hak asasi yang melekat kepada dirinya sebagai manusia.

Kata Kunci: Pelanggaran HAM Berat, Etnis Minoritas, Extra Ordinary Crime

* Dosen Pembimbing I ** Dosen Pembimbing II

(4)

iv

berkahnya, akhirnya skripsi ini dapat diselesaikan penulisannya sesuai dengan

waktu yang tepat.

Skripsi ini adalah sebagai syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum

pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Dalam skripsi ini, penulis

membahas mengenai ”Tinjauan Yuridis mengenai Status Kewarganegaraan Etnis

Rohingya di Myanmar berdasarkan Convention Relating to the Status of Stateless

Persons 1954

Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari ketidaksempurnaan sehingga besar

harapan kepada para pembaca yang telah meluangkan waktunya untuk membaca

skripsi ini agar dapat memberikan masukan berupa kritik dan saran yang

membangun demi menghasilkan sebuah karya ilmiah yang baik dan sempurna

lagi.

Dalam proses penyusunan skripsi ini saya juga mendapat banyak

dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, sebagai penghargaan

dan ucapan terima kasih terhadap semua dukungan dan bantuan yang telah

diberikan, saya menyampaikan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum

(5)

v

3. Bapak Syafruddin SH., M.Hum., DFM., selaku Pembantu Dekan II

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan;

4. Bapak OK Saidin SH., M.Hum., selaku Pembantu Dekan III Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara Medan;

5. Bapak Malem Ginting, SH., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing

Akademik penulis selama mengikuti masa perkuliahan;

6. Ibu Dr. Chairul Bariah, S.H., M.Hum., selaku Ketua Departemen Hukum

Internasional Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan dan

selaku Dosen Pembimbing I yang telah menyediakan waktu untuk

memberikan saran dan petunjuk serta bimbingan kepada penulis dalam

penulisan skripsi ini;

7. Bapak Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum., selaku Sekretaris Departemen

Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan;

8. Bapak Dr. Sutiarnoto, SH.,MH., selaku Dosen Pembimbing II, dalam

kesibukannya sehari-hari beliau tetap meluangkan waktu bagi penulis

(6)

vi

10.Seluruh civitas Fakultas Hukum USU: jajaran staf administrasi dan

seluruh pegawai Fakultas Hukum USU lainnya;

11.Kepada kedua orang tua penulis, H. M. Mirza, SE dan Hj. Dandelina D.

Simanjuntak atas semua perjuangannya dalam mendidik, membimbing,

mendukung, serta harapan dan doa-doanya yang senantiasa mengiringi

kehidupan penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini serta

memperoleh pendidikan formal sampai pada tingkat Strata Satu, skripsi ini

penulis persembahkan sepenuhnya untuk keluarga tercinta.

12.Sere Beatrix Eugenie Simanjuntak, SH., M.Kn., selaku kakak penulis yang

telah meluangkan waktunya dan membantu penulis menyelesaikan skripsi

ini lebih dari cukup ditengah-tengah kesibukannya, Thank you betik for

your patience in guiding me on basically the one thing I thought I’d never

finish;

13.dr. Hana Soraya B.MedSc (Hons)., selaku kakak kandung penulis yang

terus memberikan semangat kepada penulis dan memberikan bantuan

dalam segala aspek, Thank you cici for all the support and encouragement

you’ve been granting me throughout this process, it really helps me in

(7)

vii

penulis untuk menyelesaikan program studinya dengan sesegera mungkin,

Thank you Sula, Dika and Bina for your relentless support;

15.Sarah Diva Rida, SH., dan Assyfa Humairah, SH., selaku sahabat penulis

sejak SMA hingga kuliah di Fakultas Hukum USU, Thank you Sarmik and

Lolor, if it wasn’t for both of you i would probably not have survived law

school, i owe you guys big time !;

16.Agatha Celia Luniska, SH., dr. Nia Sutanto, Astari Keumala, SE.,

Melviana, SE., Syarifah Nazla, SE., Ventira Ayudhya Siregar, S.Sos., dr.

Mira Novita, Ade Rizki Putra Siregar, Said Fadheil Saifan, I couldn’t

thank you more for keeping me in check, where would i be without you

guys;

17.Anni Januarini Nasution, A.Md., Annisa Belladina, Nadhira Lesarina,

S.Ked., Yovina Prastianti, Thank you for all the support guys, i’m so

blessed;

18.Sahabat-sahabat penulis semasa menjalani perkuliahan di Fakultas Hukum

USU: Mila Lailyana, SH., Kathy Carissa Bangun, SH., M. Aldillah,

Fauzan Zaki, Fadel Hasibuan, Fitri Apriliani, Fadhel Muhammad;

(8)

viii

dukungan dan semangat serta membuat hari-hari selama di perkuliahan

menjadi lebih berarti.

Penulis sadar bahwa hasil penulisan skripsi ini tidaklah sempurna. Penulis

berharap pada semua pihak agar dapat memberikan kritik dan saran yang

membangun untuk kedepannya. Akhirnya, semoga Allah SWT membalas segala

kebaikan dan jasa semua pihak yang telah membantu penulis secara tulus dan

ikhlas. Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi setiap orang yang membacanya.

Medan, 04 September 2015

Hormat Penulis,

M. Ridha Thanthawi NIM: 110200387

(9)

  ix DAFTAR ISI  

HALAMAN JUDUL ... i

ABSTRAKSI ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR SINGKATAN ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 9

D. Keaslian Penulisan ... 10

E. Tinjauan Kepustakaan ... 10

1. Hak Asasi Manusia dalam Hukum Internasional ... 10

2. Etnis dan Ras Minoritas di Suatu Negara ... 13

3. Diskriminasi dan Rasisme Terhadap Etnis Minoritas ... 15

F. Metode Penelitian ... 18

G. Sistematika Penulisan ... 20

BAB II EKSISTENSI ETNIS ROHINGYA DI MYANMAR ... 22

A. Sejarah Etnis Rohingya di Myanmar ... 22

(10)

  x

C. Eksistensi Etnis Rohingya di Myanmar ... 46

BAB III PELANGGARAN HAM YANG TERJADI PADA ETNIS ROHINGYA DI MYANMAR ... 52

A. Bentuk-Bentuk Pelanggaran HAM Terhadap Etnis Rohingya Yang Dilakukan Oleh Rakyat Myanmar ... 50

1. Pencabutan Kewarganegaraan Secara Paksa ... 55

2. Kerja Paksa ... 56

3. Pengangkutan Paksa ... 58

4. Panen Bahan Bakar-Bio ... 60

5. Kerja Paksa Terpidana ... 61

6. Wajib Militer Paksa ... 62

B. Bentuk Perlindungan Hukum Internasional Terhadap Etnis Rohingya di Myanmar ... 66

C. Upaya Penyelesaian Sengketa Terhadap Pelanggaran HAM yang Terjadi Pada Etnis Rohingya di Myanmar ... 75

BAB IV STATUS KEWARGANEGARAAN ETNIS ROHINGYA DI MYANMAR (BERDASARKAN CONVENTION RELATING THE STATUS OF STATELESS PERSON 1954) ... 79

A. Perlindungan Status Kewarganegaraan Etnis Rohingya di Myanmar Berdasarkan Hukum Internasional ... 79

(11)

  xi

C. Status Kewarganegaraan Etnis Rohingya di Myanmar Berdasarkan

Convention Relating to the Status of Stateless Persons 1954. ... 87

BAB V ... 97

KESIMPULAN DAN SARAN ... 97

A. Kesimpulan ... 97

B. Saran ... 98

(12)

  xii

DAFTAR SINGKATAN

AI = Amnesty International

DUHAM = Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia

ERI = Earth Rights International

CMW = The Committee on Migrant Workers

HAM = Hak Asasi Manusia

ICC = International Criminal Court

ICCPR = International Covenant on Civil and Political Rights

ICRMW = International Convention on the Protection of the Rights of All

Migrant Workers and Members of Their Families

ICJ = International Court of Justice

IDP = Internally Displaced Person

ILC = International Law Commission

ILO = International Labour Organization

KHRG = Karen Human Rights Group

MOC = Military Operations Command

OBA = Oxford Burma Alliance

PBB = Perserikatan Bangsa-Bangsa

RSD = Refugee Status Determination

(13)

  xiii

SPDC = the State Peace and Development Council

TRC = Temporary Registration Card

UDHR = Universal Declaration of Human Rights

UN = United Nations

(14)

iii

M. Ridha Thanthawi***

ABSTRAKSI

Penulisan skripsi ini dilatar belakangi oleh ketertarikan penulis terhadap diskriminasi yang terjadi pada etnis Rohingya yang berada di Myanmar. Dalam penulisan skripsi ini yang menjadi permasalahan adalah bagaimana eksistensi etnis Rohingya di Myanmar, pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) yang terjadi pada etnis Rohingya di Myanmar, dan status kewarganegaraan etnis Rohingya di Myanmar (berdasarkan Convention Relating to the Status of Stateless Persons 1954).

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian hukum normatif atau penelitian kepustakaan yang didasarkan pada data sekunder yaitu dengan mengumpulkan bahan-bahan dari kepustakaan, peraturan perundang-undangan, konvensi internasional, jurnal internasional, internet, dan hasil tulisan ilmiah lainnya seperti paper atau makalah yang erat kaitannya dengan permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini.

Berdasarkan hasil penelitian, penulis mengambil kesimpulan bahwa tindakan pemerintah Myanmar yang menyatakan Rohingya adalah non-national

itu telah melanggar ketentuan hukum internasional serta hak asasi manusia, khususnya etnis Rohingya yang termasuk dalam etnis minoritas dimana perlindungan akan hak-haknya diatur dalam instrumen hukum internasional. Menurut hukum internasional, pemerintah Myanmar memiliki tanggung jawab untuk melakukan penyelidikan terhadap yang terjadi kepada etnis Rohingya serta berkewajiban untuk mengadili dan menghukum oknum-oknum yang terlibat dalam kasus pelanggaran HAM tersebut. Pada Convention Relating to the Status of Stateless Persons 1954 tentang orang-orang yang tidak memiliki kewarganegaraan yaitu etnis Rohingya yang berada di Myanmar perlu diatur sebuah persetujuan internasional agar orang-orang yang tidak berkewarganegaraan ini dapat diperbaiki statusnya dan setidaknya memiliki hak yang sama dengan pengungsi, karena setiap orang memiliki hak asasi yang melekat kepada dirinya sebagai manusia.

Kata Kunci: Pelanggaran HAM Berat, Etnis Minoritas, Extra Ordinary Crime

* Dosen Pembimbing I ** Dosen Pembimbing II

(15)

1

A. LATAR BELAKANG

Myanmar merupakan salah satu negara di Asia Tenggara yang

berbatasan dengan China, Thailand, India, Bangladesh dan Laos, memiliki sejarah

yang kaya dan budaya yang sudah ada ribuan tahun lamanya. Penduduknya yang

berjumlah 54-60 juta orang (sensus terakhir pada tahun 1983) sangat

beragam-ragam, termasuk ratusan kelompok etnis yang berbeda yang mempraktikkan

berbagai macam agama, termasuk agama Buddha, Kristen, Islam, Hindu dan

animisme (meskipun Buddhisme dipraktekkan oleh sebagian besar orang-orang -

hampir 90%) .1

Bentuk pemerintahan Myanmar adalah junta militer yang dikenal dengan

nama The State Peace and Development Council (SPDC). Dahulu Myanmar

dikenal dengan nama Burma, namun pada tanggal 18 Juni 1989 nama Burma

diubah oleh Junta Militer menjadi Myanmar.2

Salah satu etnis lainnya yang berada di Myanmar adalah Rohingya.

Rohingya merupakan kelompok minoritas Muslim yang berada di Negara Bagian

Arakan, yang terletak di pantai barat Myanmar. Diperkirakan terdapat 800.000

orang muslim Rohingya di Arakan yang merupakan 25% dari populasi penduduk

Myanmar. Masyarakat Rohingya bertempat tinggal terutama di negara bagian

Arakan Utara, tepatnya di kota-kota Buthidaung, Maungdaw, dan Rathedaung.

       1

(16)

Namun sejumlah besar etnis Rohingya ini tinggal di luar Myanmar, termasuk

lebih dari 200.000 orang berada di Bangladesh.3

Myanmar merupakan negara multi agama dengan jumlah penduduk

mencapai sekitar 60 juta orang.4 Lebih dari 135 grup etnis bertempat tinggal di

Burma, masing-masing dengan sejarah, kebudayaan, dan bahasanya sendiri.

Mayoritas grup etnis Burman (Bamar) mendominasi kira-kira dua per tiga dari

populasi dan memegang kendali atas militer dan pemerintahan. Satu per tiga

sisanya adalah etnis minoritas nasional, sebagian besar hidup di daerah perbatasan

yang kaya akan sumber daya dan bukit-bukit Burma, walaupun banyak yang telah

dipindahkan secara paksa dari tempat tinggalnya oleh pemerintah yang menyita

tanah untuk proyek pembangunan dan eksploitasi sumber daya.5

Tujuh etnis minoritas terbesar yang diakui oleh undang-undang

kewarganegaraan Myanmar adalah Chin, Kachin, Karenni (Kayah), Karen

(Kayin), Mon, Rakhine, dan Shan. Etnis Rohingya tidak diakui oleh pemerintah

sebagai etnis kebangsaan Burma, dan dengan demikian mereka mengalami

diskriminasi terburuk dan pelanggaran HAM dari seluruh rakyat Burma.6

Hak kewajiban Negara terhadap orang pada hakikatnya ditentukan oleh

wilayah negara tersebut dan kewarganegaraan orang yang bersangkutan.

Kewarganegaraan adalah kedudukan hukum orang dalam hubungannya dengan

negaranya. Kewarganegaraan itu ditetapkan oleh negara yang bersangkutan.

Kewarganegaraan itu menimbulkan hak dan kewajiban pada dua belah pihak.

       3 Ibid.

4 Ibid. 5

OBA (Oxford Burma Alliance), “Ethnic Nationalities of Burma”, http://www.oxfordburmaalliance.org/ethnic-groups.html, diakses 8 Juni 2015.

(17)

Warga negara suatu negara, di mana pun ia berada harus tunduk juga pada

kekuasaan dan hukum negaranya. Bagi warga negara yang ada di luar negeri,

berlakunya kekuasaan dan hukum negara itu dibatasi oleh kekuasaan dan hukum

negara tempat mereka berada di lain pihak, negara wajib melindungi warga

negaranya.7

Menurut Amnesty International, orang Rohingya telah mengalami

penderitaan yang cukup panjang akibat pelanggaran HAM yang dilakukan oleh

Pemerintah Junta Myanmar. Kebebasan bergerak orang Rohingya sangat terbatas.

Mereka juga mengalami berbagai bentuk pemerasan dan dikenakan pajak secara

sewenang-wenang, perampasan tanah, pengusiran paksa dan penghancuran

rumah, dan pengenaan biaya adminstrasi yang tinggi pada pernikahan. Mereka

terus dipekerjakan sebagai buruh paksa di jalan dan di kamp-kamp militer,

meskipun jumlah tenaga kerja paksa di Rakhaing utara telah menurun selama satu

dekade terakhir.8

Penindasan terhadap Rohingya diberitakan memang memuncak pada

tahun 2012, melalui isu propanda pemerkosaan gadis Rakhine (Buddist) oleh 3

orang Rohingya. Namun demikian, penindasan dan diskriminasi terhadap

Rohingya sejatinya sudah terjadi jauh sebelum tahun 2012 dan bahkan jauh

sebelum Myanmar merdeka pada tahun 1948. Sebagaimana penuturan Heri

Aryanto, Koordinator Advokasi Pengungsi SNH Advocacy Center, bahwa sejak

      

7 Prof. Dr. F. Sugeng Istanto, S.H., Hukum Internasional (Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2014), hal 59.

8

(18)

penaklukan Kerajaan Islam Arakan oleh Kerajaan Burma, penguasa saat itu

(Kerajaan Burma-red) mulai melakukan diskriminasi terhadap etnis-etnis

minoritas, termasuk di antaranya Rohingya.9

Wilayah Arakan dahulunya merupakan bagian jajahan British India, dan

ketika Myanmar merdeka, wilayah ini kemudian diakui sebagai negara bagian

Myanmar (Rakhine State). Namun sayangnya, meskipun tanahnya diakui, tetapi

Rohingya tidak diakui sebagai bagian etnis bangsa Myanmar. Penindasan dan

diskriminasi terhadap Rohingya berlanjut di era pemerintahan Juncta Militer

(1962-2010). Tidak hanya operasi-operasi militer yang dilakukan untuk

mengeliminasi Rohingya dari Bumi Arakan, tetapi juga melalui perangkat hukum

UU Kewarganegaraan Myanmar tahun 1982, yang dibentuk untuk tujuan

menghilangkan status kewarganegaraan Rohingya di Myanmar. UU

Kewarganegaraan Myanmar menetapkan 3 kategori warga negara, dan dari 3

kategori tersebut, tidak satupun kategori yang bisa diterapkan terhadap

Rohingya.10

Manusia adalah subjek hukum sempurna sehingga lingkungan hidup

merupakan subjek hukum semu/kuasi subjek hukum, karena kehidupan dan masa

depan manusia tidak dapat lepas dengan kualitas lingkungannya. Dengan

demikian, lingkungan dari perspektif hak asasi pada hakikatnya mempunyai hak

hukum, yaitu hak hidup, tetapi tidak mempunyai kewajiban hukum/tanggung

      

9 Piyungan Online, “Akar Masalah Rohingya Ada di Myanmar”, http://www.pkspiyungan.org/2015/05/akar-masalah-rohingya-ada-di-myanmar.html, diakses 3 Juni 2015.

(19)

jawab hukum. Kewajiban dan tanggung jawab ada di pundak manusia sebagai

subjek hukum sempurna. Dengan demikian, lingkungan hidup mempunyai Hak

Asasi Lingkungan Hidup (HAL) atau Eco Rights, seperti Animal Rights.11

HAM merupakan masalah dunia internasional, bukan hanya masalah

internal dari suatu negara, karenanya pengetahuan hukum internasional, politik

internasional, dan hubungan internasional menjadi penting untuk diketahui.

Hukum internasional sebagai satu bagian dari hukum pada umumnya, di dalam

“dirinya” mengalir ide, pemikiran, cita-cita yang sama dengan hukum pada

umumnya.12 Konvensi 1954 terkait dengan orang-orang tanpa kewarganegaraan,

merumuskan istilah “orang-orang tanpa kewarganegaraan sebagai orang yang

tidak dianggap sebagai warga negara dari suatu negara menurut hukum yang

berlaku di wilayah tersebut”. Lebih jauh, hal ini menentukan standar-standar bagi

perlakuan yang akan diberikan pada orang-orang tanpa kewarganegaraan.13

Setiap orang berhak atas kewarganegaraan. Tidak seorang pun dengan

semena-mena dapat dicabut kewarganegaraannya atau ditolak haknya untuk

mengganti kewarganegaraannya. Negara harus memberikan perlindungan untuk

mencegah status tanpa kewarganegaraan dengan memberikan

kewarganegaraannya kepada orang-orang yang tidak mempunyai

kewarganegaraan yang lahir di wilayah negara tersebut atau kepada yang

dilahirkan oleh warga negara tersebut di luar negeri. Negara juga harus mencegah

      

11 Prof. A. Masyhur Effendi, S.H.,M.S dan Taufani S. Evandri, S.H., M.H., HAM Dalam Dinamika/Dimensi Hukum, Politik, Ekonomi, dan Sosial (Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, 2014), hal 58.

(20)

status tanpa kewarganegaraan atas hilang atau dirampasnya kewarganegaraan.14

Stateless person” adalah seseorang yang tidak dianggap sebagai warga

negara oleh negara manapun. Oleh karena itu mereka tidak mempunyai

kewarganegaraan atau kebangsaan dan tidak terlindungi dengan hukum nasional,

membuat mereka menjadi rentan dengan cara yang kebanyakan dari kita tidak

pernah harus pertimbangkan.15

Ketidakmampuan untuk membuktikan kewarganegaraan sendiri dapat

menjadi penghalang utama dalam mendapatkan hak asasi manusia, bahkan yang

paling mendasar. Sebagai contoh, di banyak negara bekas Yugoslavia, setiap

penduduk pada usia tertentu diwajibkan untuk mempunyai kartu identitas sah

yang dikeluarkan oleh negara yang diperlukan untuk mengakses sejumlah layanan

sosial. Permohonan kartu tersebut memerlukan dokumen-dokumen yang mustahil

dimiliki oleh orang tanpa kewarganegaraan atau legally invisible person, seperti

akta kelahiran dan bukti kependudukan. Tanpa kartu ini atau bentuk identifikasi

yang lain, hidup normal akan susah didapatkan.

Di Macedonia misalnya, etnis Roma yang tidak mempunyai

kewarganegaraan atau akta kelahiran yang dapat dibuktikan akan ditolak aksesnya

terhadap edukasi, layanan kesehatan, perumahan, lapangan kerja formal, jaminan

sosial jasa keuangan, keadilan, hak milik, pernikahan yang sah, dan partisipasi

dalam proses demokrasi. Dan tentu saja, tanpa paspor, kebebasan bergerak

      

14 UNHCR, “Right to a Nationality”, http://www.ohchr.org/EN/Issues/RuleOfLaw/Pages/RightNationality.aspx, diakses 4 Juni 2015.

(21)

seseorang akan menjadi terbatas.16

Kantor United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR)

didirikan pada 14 Desember 1950 oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa

Bangsa (PBB). Organisasi ini memiliki mandat untuk memimpin dan

mengkoordinasikan kegiatan internasional dalam melindungi pengungsi dan

menyelesaikan permasalahan pengungsi di dunia. Tujuan utamanya adalah untuk

melindungi hak–hak dan keamanan pengungsi.

UNHCR bekerja untuk memastikan bahwa setiap orang memiliki hak

untuk mencari suaka dan mendapatkan suaka yang aman di negara lain, dengan

pilihan selanjutnya untuk kembali ke negara asalnya secara sukarela, diintegrasi

secara lokal atau ditempatkan di negara ketiga. UNHCR juga dimandatkan oleh

Majelis Umum PBB untuk membantu dan mencari solusi bagi orang – orang yang

tidak mempunyai kewarganegaraan.

Sejak tahun 1950, UNHCR telah memberikan pertolongan kepada puluhan

juta orang untuk memulai kembali hidup mereka. Sampai saat ini, lebih dari 9,300

staff dari 123 negara terus memberikan bantuannya dan melindungi jutaan

pengungsi dan orang-orang tanpa kewarganegaraan.17

Di Asia, pergerakan migrasi tercampur (mixed migratory movements)

      

16 Christina Lee, “Consequences of Statelessness/Legal Invisibility”, http://noncitizensoftheworld.blogspot.com/2011/06/consequences-of-statelessness-legal.html, diakses 4 Juni 2015.

(22)

terus menerus menandai kawasan tersebut, dengan adanya perpindahan

sekelompok orang untuk mencari penghidupan yang lebih baik, sementara

perpindahan lain dilakukan untuk melarikan diri dari penganiayaan dan konflik.

Dalam konteks kompleks migrasi tercampur di Asia Tenggara, terdapat

peningkatan jumlah pencari suaka sebagai akibat dari perkembangan di kawasan

tersebut, yang menyebabkan pengungsian eksternal, misalnya karena konflik di

Sri Lanka dan situasi hak asasi manusia di Myanmar.18

B. RUMUSAN MASALAH

Dari uraian latar belakang diatas penulis mengangkut beberapa

permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini, antara lain:

1. Bagaimanakah eksistensi etnis Rohingya di Myanmar?

2. Bagaimanakah pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) yang terjadi pada

Etnis Rohingya di Myanmar?

3. Bagaimanakah status kewarganegaraan Etnis Rohingya di Myanmar

(berdasarkan Convention Relating to the Status of Stateless Persons

1954)?

      

(23)

C. TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN

1. Tujuan Penulisan

Tujuan penulis melaksanakan penelitian ini adalah:

a) Untuk mengetahui bagaimanakah eksistensi Etnis Rohingya di

Myanmar,

b) Untuk mengetahui bagaimanakah pelanggaran HAM (Hak Asasi

Manusia) yang terjadi pada Etnis Rohingya di Myanmar,

c) Untuk mengetahui status kewarganegaraan Etnis Rohingya di

Myanmar (berdasarkan Convention Relating to the Status of

Stateless Persons 1954).

2. Manfaat Penulisan

Adapun manfaat penulisan skripsi yang akan penulis lakukan adalah:

a. Secara Teoritis

Guna mengembangkan khasanah ilmu pengetahuan Hukum

Internasional khususnya terkait mengenai tinjauan Hukum

Internasional terhadap status kewarganegaraan etnis minoritas di

suatu negara.

b. Secara Praktis

(24)

diskriminatif mengenai status kewarganegaraan etnis minoritas di

suatu negara kepada Almamater Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara sebagai bahan masukan bagi sesama rekan-rekan

mahasiswa.

D. KEASLIAN PENULISAN

Adapun judul tulisan ini adalah Tinjauan Yuridis Mengenai Status

Kewarganegaraan Etnis Rohingya di Myanmar Berdasarkan (Convention Relating

to the Status of Stateless Persons 1954), dimana judul skripsi ini belum pernah

ada yang menulisnya, sehingga tulisan ini asli dalam hal tidak ada judul yang

sama. Dengan demikian keaslian skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan.

Penulisan ini disusun berdasarkan literatur-literatur yang berkaitan dengan

perlakuan diskriminatif terhadap status kewarganegaraan etnis minoritas disuatu

negara. Oleh karena itu penulisan ini adalah asli karya penulis.19

E. TINJAUAN KEPUSTAKAAN

1. Hak asasi manusia dalam Hukum Internasional

Hak asasi manusia adalah hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata

karena ia manusia. Umat manusia memilikinya bukan karena diberikan kepadanya

oleh masyarakat atau berdasarkan hukum positif, melainkan semata-mata

berdasarkan martabatnya sebagai manusia. Dengan demikian, factor-faktor seperti

ras, jenis kelamin, agama maupun bahasa tidak dapat menegaskan eksistensi

      

(25)

HAM pada diri manusia.20

Beberapa prinsip telah menjiwai HAM. Prinsip-prinsip tersebut terdapat di

hampir semua perjanjian internasional dan diaplikasikan ke dalam hak-hak yang

lebih luas. Prinsip kesetaraan, pelarangan diskriminasi dan kewajiban positif yang

dibebankan kepada setiap negara digunakan untuk melindungi hak-hak tertentu.

Gagasan mengenai HAM dibangun atas dasar prinsip kesetaraan. Prinsip ini

menekankan bahwa manusia berkedudukan setara menyangkut harkat dan

martabatnya. Manusia memiliki kesetaraan di dalam HAM. Berbagai perbedaan

yang melekat pada diri manusia tidak menyebabkan kedudukan manusia menjadi

tidak setara, karena walaupun begitu tetaplah ia sebagai manusia.21

Perkembangan HAM dalam Hukum Internasional hingga seperti sekarang

ini, tidak terlepas dari adanya perubahan status atau kedudukan individu dalam

Hukum Internasional. Perubahan mendasar yang terjadi yaitu diakuinya individu

sebagai subjek hukum yang memiliki hak dan kewajiban tertentu menurut hukum

internasional.22

Sebenarnya hingga saat ini belum ada suatu definisi HAM yang baku dan

bersifat otoritatif (mengikat). Berkaitan dengan hal itu, H. Victor Condé

mengatakan bahwa belum ada definisi HAM yang diterima secaara universal dan

otoratif. Banyak yang mendifinisikannya sebagai suatu klaim yang dapat

dipaksakan secara hukum atau hak yang dimiliki oleh manusia vis-á-vis

      

20 Andrey Sujatmoko, Hukum HAM dan Hukum Humaniter, (Jakarta: Rajawali Pers, 2015), hal 2.

(26)

pemerintahan negara sebagai perlindungan terhadap martabat manusia yang

bersifat melekat dari manusia.

Berdasarkan kedua definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa esensi

HAM merupakan suatu hal yang bersifat universal, mengingat sifatnya yang

melekat (inherent). Konsekuensi dari hal tersebut yaitu, karena HAM merupakan

karunia dari Tuhan dan bukan merupakan pemberiand ari orang atau penguasa,

maka orang atau penguasa tersebut tidak berhak untuk merampas atau mencabut

HAM seseorang. Sedangkan mengenai aktualisasi HAM-nya adalah bersifat

partikular, artinya pelaksanaannya disesuaikan dengan situasi dan kondisi

lingkungan yang bersifat lokal.23

Pemahaman tentang HAM juga harus dilakukan dalam konteks manusia

sebagai mahluk sosial, dimana dalam kehidupannya, manusia yang satu selalu

berhubungan dengan manusia yang lain. Manusia, baru memahami fungsi dan

potensinya sebagai mausia apabila telah berhubungan dengan manusia yang lain,

sehingga manusia selalu hidup berkelompok. Sebagaimana ditentukan dalam

Pasal 1 Universal Declaration of Human Rights, bahwa manusia hendaknya

bergaul dalam suasana persaudaraan, memberi makna bahwa manusia yang satu

harus menghormati dan menghargai manusia yang lain. HAM tidaklah bersifat

absolut, artinya kebebasan dan HAM yang satu akan dibatasi oleh kebebasan dan

HAM yang lain.24

       23

Ibid, hal 21.

(27)

Di dalam memberikan HAM, negara juga harus memperhatikan karakter

dasar HAM dan status manusia sebagai dua prasyarat untuk mendapatkan HAM.

Dua prasyarat utama tersebut saling terkait dan tidak bisa dipisahkan di dalam

kerangka penegakan HAM. Artinya, ketika status manusia sebagai mahluk yang

bermartabat dihargai dan dihormati, maka seseorang telah memiliki HAM. Begitu

juga sebaliknya jika manusia telah memiliki HAM, maka martabatnya telah

dihormati dan dihargai. Dalam arti lain, tidak menghargai martabat manusia sama

halnya telah melanggar HAM orang tersebut.25

2. Etnis dan Ras Minoritas di Suatu Negara

Asal mula istilah ras diketahui sekitar tahun 1600 saat itu, pertama kali

dikemukakan gagasan tentang pembedaan manusia berdasarkan ciri fisiknya,

manusia di dunia dapat di bagi ke dalam empat ras besar. Ras-ras tersebut adalah

hitam, putih, kuning dan merah. Seorang tokoh yang memperkenalkan konsep

tentang ras adalah Charles Darwin. Ras sebagai sesuatu hal yang mengacu pada

ciri-ciri biologis dan fisik. Salah satunya yang paling jelas adalah warna kulit,

yang pada akhirnya, perbedaan berdasarkan warna kulit tersebut memicu lahirnya

gerakan-gerakan yang mengunggulkan rasanya sendiri-sendiri, sehingga timbullah

superioritas ras.

Ras dan etnis adalah dua hal yang berbeda. Kelompok etnis biasanya

mengacu kepada kelompok-kelompok yang membangun ras, suatu ras masih bisa

terdiri dari berbagai macam kelompok etnis. Akan tetapi, sebaliknya, ras

(28)

sama agama (kepercayaan), asal usul, dan kebangsaan juga membangun konsep

etnis. Ras juga menunjuk kepada konsentrasi perbedaan atas unsur genetis, yang

tercermin dalam bentuk penampakan fisik orang, seperti warna kulit, bentuk dan

warna rambut, dan tidak ada hubungannya dengan institusi dan pola budaya.26

Etnis adalah sebuah kata yang bersumber dari pakar sosiologi dan

antropologi. Di beberapa negara, etnis digunakan untuk menyebut “suku”. Namun

dalam situasi yang lain, etnis digunakan untuk menunjuk kepada agama, bahasa,

warna kulit, asal-usul daerah, ataupun tempat tinggal. Kata etnis (ethnic) berasal

dari bahasa yunani ethnos, yang merujuk pada pengertian bangsa atau orang.

Menurut Martin Bulmer, “etnis atau kelompok etnis adalah kolektivitas dalam

populasi yang besar, memiliki jalur keturunan yang secara umum sama, terlepas

dari apakah itu nyata atau sekedar kepercayaan, mempunyai memori terhadap

masa lalu yang sama, dan fokus kultural terhadap satu atau lebih elemen-elemen

simbolik yang menjelaskan identitas kelompoknya, misalnya agama,

kekeluargaan, bahasa, teritori bersama, nasionalitas dan tampilan fisik yang relatif

sama.

Kini diperkirakan ada 300 juta orang di muka bumi yang merasa sebagai

penduduk asli dengan identitas etnis tertentu. Lalu dari 300 juta orang yang

merasa sebagai penduduk asli itu, sebagian besar merasakan tidak hanya terjadi

pergeseran makna, tetapi terjadi pula pergeseran status dan peran mereka dalam

masyarakat. Bahkan di sebagian besar negara, penduduk asli yang tadinya

mayoritas kini berubah menjadi kelompok minoritas etnis. Sekurang-kurangnya

(29)

ada tiga gelombang modernisasi yang mempengaruhi komunitas dan identitas

etnis, yaitu27:

(a) Modernisasi yang dialami oleh etnis-etnis penduduk asli antara abad ke-19

dan ke-20.

(b) Transformasi itu makin terasa saat negara-negara modern menerapkan

batas-batas wilayah pemerintahan sehingga mengganggu identitas kolektif.

(c) Migrasi dari bangsa-bangsa Barat ke Timur maupun gelombang migrasi

bangsa Timur ke Barat di paruh abad ke-20 hingga ke-21.

3. Diskriminasi dan Rasisme Terhadap Etnis Minoritas

Istilah rasisme menjadi suatu gambaran buruk dalam konteks relaksi dan

interaksi sosial, karena mengandung makna paham adanya ras-ras superior atas

ras yang lain, misalnya paham yang dikembangkan Adolf Hitler dalam ideologi

fasisme Jerman. Rasis dimaknai sebagai penolakan terhadap suatu golongan

masyarakat yang berasal dari ras yang lain. Rasis dapat timbul ketika masyarakat

golongan mayoritas menemukan adanya golongan minoritas dalam masyarakat

yang berbeda secara biologis dan kondisi masyarakat golongan minoritas tersebut

tidak memiliki kekuatan, maka golongan mayoritas akan kehilangan nafsu-nafsu

rasialnya.

Rasisme secara umum dapat diartikan sebagai serangan sikap,

kecenderungan, pernyataan, dan tindakan yang mengunggulkan atau memusuhi

(30)

kelompok masyarakat terutama karena identitas ras. Rasisme juga dipandang

sebagi sebuah kebodohan karena tidak mendasarkan (diri) pada satu ilmu apapun,

serta berlawanan dengan norma-norma etis, perikemanusiaan, dan hak-hak asasi

manusia. Akibatnya, orang dari suku bangsa lain sering didiskriminasikan, dihina,

dihisap, ditindas dan dibunuh. Aspek kedua dari rasisme adalah prasangka ras.

Prasangka atau prejudice merupakan akar dari segala bentuk rasisme. Prasangka

adalah pandangan yang buruk terhadap individu atau kelompok manusia lain

dengan hanya merujuk kepada ciri-ciri tertentu seperti ras, agama, pekerjaan, dan

kelas.28

Dalam bukunya yang berjudul Prasangka dan Konflik, Prof. Dr. Alo

Liliweri, M.S mendefinisikan rasisme sebagai berikut:

(1) Suatu ideologi yang mendasarkan diri pada gagasan bahwa manusia dapat

dipisahkan atas kelompok ras; bahwa kelompok itu dapat disusun

berdasarkan derajat atau hierarki berdasarkan kepandaian atau kecakapan,

kemampuan, dan bahkan moralitas.

(2) Suatu keyakinan yang terorganisasi mengenai sifat inferioritas (perasaan

rendah diri) dari suatu kelompok sosial, dan kemudian karena

dikombinasikan dengan kekuasaan, keyakinan ini diterjemahkan dalam

praktik hidup untuk menunjukkan kualitas atas perlakuan yang berbeda.

(3) Diskriminasi terhadap seseorang atau sekelompok orang karena ras

mereka. Kadang-kadang konsep ini menjadi doktrin politis untuk

(31)

mengklaim suatu ras lebih hebat dari pada ras lain.

(4) Suatu kompleks keyakinan bahwa beberapa subspecies dari manusia

(stocks) inferior (lebih rendah) dari pada subspecies manusia lain.

(5) Rasisme juga menjadi ideologi yang bersifat etnosentris pada sekelompok

ras tertentu. Apalagi ideologi ini didukung oleh manipulasi teori sampai

mitos, stereotip, dan jarak sosial, serta diskriminasi yang sengaja

diciptakan.

(6) Rasisme merupakan salah satu bentuk khusus dari prasangka yang

memfokuskan diri pada variasi fisik di antara manusia. Kadang-kadang

paham ini juga menyumbang pada karateristik superioritasa dan

inferioritas dari sekelompok penduduk berdasarkan alasan fisik maupun

faktor bawaan lain dari kelahiran mereka.

Dari definisi di atas dapat diartikan bahwa hal-hal yang termasuk dalam

rasisme adalah sikap yang mendasarkan diri pada karateristik superioritas dan

inferioritas, ideologi yang didasarkan pada derajat manusia, sikap diskriminasi,

dan sikap yang mengklaim suatu ras lebih unggul daripada ras lain. Hal ini

seringkali terjadi dalam masyarakat multikultur.29

Rasisme juga tidak terlepas dari dua aspek yaitu diskriminasi ras dan

prasangka ras (prejudice). Istilah diskriminasi ras mencakup segala bentuk

perilaku pembedaan berdasarkan ras. Bentuk diskriminasi ras tampak jelas dalam

(32)

pemisahan (segregasi) tempat tinggal warga ras tertentu di kote-kota besar di

dunia Barat maupun Timur. Juga tata pergaulan antar ras yang memperlakukan

etiket (tata sopan santun) berdasarkan superioritas/inferioritas golongan.

Termasuk di dalamnya pemilihan teman maupun perjodohan.30

F. METODE PENELITIAN

Dalam penulisan skripsi ini, penulis mempergunakan dan melakukan

pengumpulan data-data untuk mendukung dan melengkapi penulisan skripsi ini

dengan cara Library Research (penulisan kepustakaan) sebagai bahan utama yaitu

melakukan berbagai penelitian dari berbagai sumber berita seperti surat kabar,

internet, dan sebagainya yang erat kaitannya dengan penulisan skripsi ini.31

1. Metode Penelitian

Dengan metode penelitian normatif tersebut, penelitian ini akan

menganalisis hukum baik yang tertulis dalam literatur - literatur, maupun hukum

yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan. Adapun data yang

digunakan dalam menyusun penulisan ini diperoleh dari penelitian kepustakaan

(library research), yaitu teknik pengumpulan data dengan memanfaatkan berbagai

literatur berupa peraturan perundang-undangan, buku-buku, karya-karya ilmiah,

serta sumber data sekunder lainnya.

       30

Ibid, hal 73.

(33)

2. Data Penelitian

Sumber data dari penelitian ini berasal dari penelitian kepustakaan (library

research). Penelitian kepustakaan dilakukan terhadap berbagai macam sumber

bahan hukum yang dapat diklasifikasikan atas 3 (tiga) jenis, yaitu:32

a. Bahan hukum primer (primary resource atau authoritative records), yaitu:

Berbagai dokumen peraturan nasional yang tertulis, sifatnya mengikat dan

ditetapkan oleh pihak yang berwenang. Dalam tulisan ini antara lain adalah

berbagai konvensi dan perjanjian internasional seperti 1966 Convention on the

Settlement of Investment Disputes between States and Nationals of Other

States International Centre For Settlement of Investment Disputesserta

berbagai putusan arbitrase internasional dan perjanjian-perjanjian

internasional baik bilateral maupun multilateral lainnya.

b. Bahan Hukum Sekunder (secondary resource atau not authoritative

records) yaitu:

Bahan-bahan hukum yang dapat memberikan kejelasan terhadap bahan hukum

primer. Bahan yang digunakan antara lain, semua dokumen yang merupakan

informasi atau hasil kajian tentang Most-Favored Nation, buku, jurnal ilmiah

dan laporan-laporan organisasi internasional.

      

(34)

c. Bahan Hukum Tersier (tertiary resource), yaitu:

Bahan-bahan hukum yang dapat memberikan petunjuk dan penjelasan

terhadap bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder, mencakup

kamus bahasa untuk pembenahan bahasa Indonesia serta untuk

menerjemahkan beberapa literatur asing.

G. SISTEMATIKA PENULISAN

Skripsi ini diuraikan dalam 5 bab, dan tiap-tiap bab terbagi atas sub-sub

bab, untuk mempermudah dalam memaparkan materi dari skripsi ini yang dapat

digambarkan sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN, bab ini merupakan gambaran umum yang berisi tentang Latar Belakang Masalah, Rumusan Permasalahan,

Tujuan Penulisan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan,

Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian dan Sistematika

Penulisan.

BAB II : EKSISTENSI ETNIS ROHINGYA DI MYANMAR, dalam bab ini berisi tentang sejarah kedatangan Etnis Rohingya di Myanmar

dan bagaimana pengaturan mengenai status kewarganegaraan

dalam instrument Hukum internasional serta bagaimana

keberadaan Etnis Rohingya di Myanmar.

(35)

bab ini membahas tentang bentuk-bentuk pelanggaran HAM

terhadap Etnis Rohingya yang dilakukan oleh rakyat Myanmar

serta bagaimana bentuk perlindungan Hukum Internasional

terhadap Etnis Rohingya di Myanmar dan bagaimana upaya

penyelesaian sengketa terhadap pelanggaran HAM yang terjadi

pada Etnis Rohingya di Myanmar berdasarkan Hukum

Internasional.

BAB IV : STATUS KEWARGANEGARAAN ETNIS ROHINGYA DI

MYANMAR (BERDASARKAN CONVENTION RELATING TO

THE STATUS OF STATELESS PERSONS 1954), dalam bab ini

membahas tentang perlindungant terhadap status kewarganegaraan

Etnis Rohingya di Myanmar berdasarkan Hukum Internasional dan

Prosedur penentuan status pengungsi Etnis Rohingya di Myanmar

oleh UNHCR, dan bagaimana status kewarganegaraan Etnis

Rohingya di Myanmar berdasarkan Convention Relating to the

Status of Stateless Persons 1954.

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN, merupakan bab penutup dari seluruh rangkaian-rangkaian bab-bab sebelumnya, yang berisikan

kesimpulan yang dibuat berdasarkan uraian skripsi ini, yang juga

dilengkapi dengan saran-saran.

(36)

22

A. SEJARAH ETNIS ROHINGYA DI MYANMAR

Setelah perang dunia ke-2, ketika pemerintahan Inggris dimulai kembali di

Burma, seluruh etnis Bengali yang kembali ke Bengala selama perang

berlangsung kembali ke Arakan. Mereka membawa banyak pendatang untuk

bermukim dengan mereka. Karena gelombang imigrasi tersebut, banyak warga

Arakan yang meninggalkan desa mereka yang terletak di wilayah Utara Arakan

dan pindah ke selatan.33

Desa-desa ini lalu diberi nama “Old or Deserted Villages” (desa tua atau

desa yang ditinggalkan), disebut juga Ywa-Haun dengan bahasa Burma (disebut

juga Rwa-Haun atau Ra-haun dalam pengucapan orang-orang Arakan). Penduduk

Bengali yang baru tersebut tidak dapat mengucapkan ‘Ra-Haun’ serta

Ra-Haun-Tha dengan benar, dan mengucapkannya dengan aksen Bengali mereka,

masing-masing menjadi “Ro-han” dan “Rohan-za”, yang kemudian melenceng

penyebutannya menjadi ‘Ro-han-ja’ dan akhirnya menjadi ‘Ro-hin-gya’.34

Para pelaut muslim pertama kali mencapai Burma pada Abad kesembilan,

pedagang yang pertama sekali disebut pada sejarah Burma, yang diasumsi adalah

orang-orang muslim, adalah dua anak laki-laki dari pedagang Arab yang

diselamatkan dari kapalnya yang karam di pesisir Martaban. Mereka diketahui

      

33 Khin Maung Saw, “Response to the Press Release of the ‘Rohingyas’ By Khin Maung Saw, Berlin, Germany 2009”, https://democracyforburma.wordpress.com/2012/06/27/response-to-the-press-release-of-the-rohingyas-by-khin-maung-saw-berlin-germany-2009-wontharnu/, diakses 24 Juni 2015.

(37)

mencapai Burma pada tahun 1055, pada masa pemerintahan Raja Anawratha

(1044-1077)35

Pada awal tahun 1950-an, beberapa cendekiawan Muslim Bengali dari

bagian barat laut Arakan mulai menggunakan istilah “Rohingya” ini untuk

menyebut diri mereka. Mereka memang keturunan langsung imigran dari

Kabupaten Chittagong bagian Timur Bengala (sekarang adalah Bangladesh), yang

telah bermigrasi ke Arakan setelah provinsi tersebut diserahkan kepada India

Britania di bawah ketentuan-ketentuan Perjanjian Yandabo, suatu peristiwa yang

mengakhiri perang Inggris-Burma pertama (1824-1826).36

Sebagian besar pendatang ini menetap di area perbatasan Mayu, dekat

dengan tempat yang sekarang menjadi perbatasan Burma dengan Bangladesh

modern. Sebenarnya dalam catatan kolonial Inggris mereka disebut sebagai

“Chittagonians”.

Kaum Muslim di Negara Arakan dapat dibagi menjadi empat kelompok

yang berbeda, yaitu kaum Chittagong Bengali di perbatasan Mayu; keturunan dari

komunitas Muslim Arakan pada periode Mrauk-U (1430-1784) yang saat ini

hidup di Mrauk-U dan kota-kota di Kyauktaw; keturunan dari tentara bayaran

Muslim di pulau Ramree yang dikenal oleh bangsa Arakan sebagai Kaman; dan

kaum Muslim dari area pusat Burma yaitu Myedu, yang ditinggalkan oleh

      

35 Moshe Yegar, The Muslims of Burma: A Study of a Minority Group (Otto Harrassowitz: Wiesbaden, 1972) hal 2.

(38)

penjajah Burma di Kabupaten Sandoway setelah penaklukan Arakan pada tahun

1784.37

Pada awalnya kebanyakan dari mereka datang ke Arakan sebagai buruh

perkebunan yang datang saat dibutuhkan dan pulang setelah musim panen selesai.

R. B. Smart memperkirakan jumlahnya sekitar dua puluh lima ribu selama musim

panen saja. Dia menambahkan bahwa jumlah yang sama juga datang untuk

membantu proses pembajakan, untuk bekerja di pabrik dan di bagian

pengangkutan barang dagang. Sebanyak total lima puluh ribu imigran datang

setiap tahunnya (Smart 1957 : 99).38

Selain itu, keinginan akan tanah adalah motif utama bermigrasinya

sebagian besar orang-orang Chittagong ini. Catatan pengadilan inggris

menunjukkan peningkatan tuntutan hukum litigasi untuk kepemilikan atas tanah

pada dekade pertama abad kedua puluh. Hakim Kabupaten Akyab pada tahun

1913 melaporkan bahwa di Buthidaung, imigran dari Chittagong jika

dibandingkan dengan orang-orang dari suku Arakan proporsinya adalah 2-1, tetapi

6/7 dari litigasi atas tanah di pengadilan dimulai oleh orang-orang dari Chittagong

(Smart 1957 : 163).

Catatan kolonial lain memberikan pernyataan yang mencolok tentang

pemukiman imigran Bengali dari Kabupaten Chittagong, seperti: “Meskipun kami

berada di Arakan, kami melewati banyak desa yang ditinggali oleh pendatang atau

       37 Ibid.

(39)

keturunan dari pendatang Muslim, dan kebanyak dari mereka adalah orang

Chittagong” (Walker 1981(I) : 15)39

Pemerintahan kolonial India menganggap orang-orang Bengali sebagai

subyek yang dapat diterima, dan melihat penduduk asli Arakan sebagai

orang-orang yang terlalu menentang, mereka memulai pemberontakan dua kali pada

tahun 1830-an. Kebijakan inggris juga menguntungkan bagi pemukiman

masyarakat pertanian Bengali di Arakan. Sebuah catatan colonial mengatakan:

Orang Bengali adalah ras yang cermat, yang dapat membayar dengan mudahnya pajak yang dianggap berat oleh orang Arakan….(Mereka) tidak kecanduan seperti halnya orang Arakan terhadap perjudian, dan rokok opium, dan persaingan mereka secara bertahap dapat menggusur posisi rakyat Arakan (Report of the Settlement Operation in the Akyab District 1887-1888: 21).40

Pemerintah Myanmar saat ini menganggap masyarakat Rohingya sebagai

"pendatang haram" yang tidak jelas asal-usulnya. Sebagai dampaknya, etnis

Muslim itu kini harus berjuang keras menghadapi penindasan yang dilakukan

etnis mayoritas Burma. Nyawa mereka pun menjadi taruhannya. Abu Tahay,

memaparkan sejarah keberadaan kelompok etnis tersebut dalam karya tulisnya,

"Rohingya Belong to Arakan and Then Burma and So Do Participate”.41

Di situ disebutkan, sejarah etnis Rohingya bermula ketika masyarakat

kuno keturunan Indo-Arya yang menetap di Arakan (Rakhine sekarang--Red)

memutuskan untuk memeluk Islam pada abad ke-8. Pada masa-masa selanjutnya,

generasi baru mereka kemudian juga mewarisi darah campuran Arab (berlangsung

       39 Ibid. 

40 Ibid. hal 401. 41

(40)

pada 788-801), Persia (700- 1500), Bengali (1400-1736), dan ditambah Mughal

(pada abad ke-16).42

Ibukota Arakan pertama adalah Ramawadi yang dibangun oleh suku

Kanran dari kawasan Burma bagian atas. Raja pertamanya bernama Kanrazagyi

dengan ibukota dekat Kyaukadaung. Seribu tahun berikutnya, pada abad ke-2

sebelum Masehi, Chanda Suriya diangkat menjadi raja (S.W Cocks : 1919) enam

puluh tahun sebelum dinobatkannya raja Chanda, para pengungsi Burma berusaha

menginvasi Arakan. Namun upaya ini mampu digagalkan bangsa Arakandan

mereka justru dapat menduduki Prome dan Tharekhettara. Dengan demikian,

sampai kejatuhan raja Chanda pada tahun 976 A.D. tidak ada catatan sejarah

penting yang tercatat (S.W Cocks : 1919).43

Menurut catatan sejarah, ada beberapa versi asal muasal bangsa Rohingya

di sini, Pertama, ada yang mengatakan bahwa mereka bukanlah keturunan Arab

tetapi generasi Muslim Chittagonian yang berimigrasi dari Bengal saat Burma

dijajah oleh Inggris (Maug tha Hla 2009 : 20-21). Kedua, terminologi Rohingya

mulai dikenal untuk penamaan sebuah komunitas oleh sebagian kecil kaum

intelektual Muslim Bengal yang mendiami bagian tenggara Arakan di awal

1950-an. 44

Mereka adalah keturunan para imigran berasal dari Chittagong Timur

Bengal (baca : Bangladesh sekarang) dengan perjanjian Yandabo saat perang

Inggris- Burma 1 berakhir (1824-1826). Ketiga, dalam skrip Ananda Chandra

       42 Ibid.

 

43 Kebijakan Pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) Dalam Penyelesaian Kekerasan Etnis Muslim Rohingya Di Myanmar, Skripsi oleh Diah Nurhandayani Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013, hal 21.

(41)

dikatakan pada tahun 957 AD, terjadi migrasi populasi Tibeto-Burman Theraveda

Buddhist ke kawasan Arakan.

Dengan mengalahkan bala tentara Chandra mereka menguasai Arakan dan

orang-orang yang berparas seperti India kembali mendiami wilayah bagian utara

Arakan atau balik ke Bengal. Ini merupakan exodus orang berparas India pertama

ke Bengal.

Rohingya adalah masyarakat mayoritas Muslim dan minoritas Hindu yang

secara rasial berasal dari Indo-Semitic. Mereka bukanlah kelompok etnis yang

berkembang dari gabungan satu suku atau ras tertentu. Mereka adalah

percampuran dari Brahmin dari India, Arab, Moghuls, Bengalis, Turki dan Asia

Tengah yang mayoritas sebagai pedagang, pejuang dan juru dakwah datang

melalui laut dan berdiam di Arakan.

Pada zaman Chandra, mereka bercampur baur dengan masyarakat lokal

dan melahirkan generasi masyarakat Rohingya. Lebih dari itu, data modern

mengatakan bahwa eksistensi komunitas Rohingya dimulai sejak dekade ke-19

ketika pemerintahan colonial Inggris mulai mengimigrasikan orang India dan

Bengal kekawasan Arakan sebagai tenaga kerja kasar dengan upah murah.45

B. PENGATURAN MENGENAI STATUS KEWARGANEGARAAN

DALAM INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL

Kewarganegaraan adalah ikatan hukum antara seseorang dengan suatu

Negara. Kewarganegaraan memberikan orang sebuah identitas diri, namun yang

(42)

lebih penting lagi, kewarganegaraan memungkinkan mereka memiliki dan

menggunakan berbagai macam hak yang melekat didalamnya.

Karenanya, tidak adanya kewarganegaraan atau keadaan tanpa

kewarganegaraan dapat membahayakan, dan bahkan dalam beberapa kasus dapat

menghancurkan hidup orang-orang yang bersangkutan.

Walaupun terdapat pengakuan internasional terhadap hak akan suatu

kewarganegaraan, kasus-kasus baru keadaan tanpa kewarganegaraan terus

meningkat. Mengatasi keadaan tanpa kewarganegaraan masih menjadi masalah

besar di abad 21 ini. Diperkirakan saat ini terdapat 12 juta orang yang tidak

berkewarganegaraan di seluruh dunia.46

Hubungan antara hukum internasional dengan hukum pengungsi

internasional, terletak pada jenis lapangan hukumnya. Aturan-aturan yang

bermacam-macam dapat digolongkan menjadi lapangan hukum tertentu. Khusus

hukum pengungsi internasional, sama halnya seperti pembagian dalam

lapangan-lapangan hukum yang ada. Pembagian seperti telah dikemukakan di atas sering

dikenal dengan pembagian hukum klasik.47

Status hukum seseorang yang mendiami suatu negara disebut dengan

warga negara. Status warga negara perlu dipergunakan untuk keperluan serta

melindungi setiap orang secara hukum. Nasionalitas atau kewarganegaraan

merupakan hal yang penting bagi setiap orang. Kewarganegaraan seseorang

      

46 UNHCR, “Melindungi Hak-Hak Orang-Orang Tanpa Kewarganegaraan: Konvensi 1954 tentang Status Orang-Orang Tanpa Kewarganegaraan”, 2010, hal 1.

(43)

merupakan relasi yuridis yang terus menerus antara dua pihak, yaitu negara disatu

sisi dengan warga negara pada sisi yang lain.

Relasi itu mencakup serangkaian hak-hak dan kewajiban-kewajiban bagi

kedua belah pihak. Setiap negara memiliki hak penuh untuk menentukan

nasionalitas seseorang. Adapun instrumen internasional sebatas mengantisipasi

relasi warga negara dengan warga negara lain atau negara dengan warga negara

lain.Warga negara merupakan warga dari suatu negara. Seseorang disebut warga

negara suatu negara atau bukan ditentukan oleh hukum positif dari masing-masing

negara.

Pada hakikatnya negara memiliki tanggung jawab untuk melindungi setiap

warga negaranya. Namun pada kenyataannya seringkali terjadi negara tidak

mampu melaksanakan tanggung jawabnya, yaitu memberikan perlindungan

terhadap warga negaranya sebagaimana mestinya. Bahkan negara yang

bersangkutan justru melakukan penindasan terhadap warga negaranya.

Ketika negara yang bersangkutan tidak mau atau tidak mampu

memberikan perlindungan terhadap warga negaranya seringkali terjadi seseorang

mengalami penindasan yang serius atas hak-hak dasarnya, sehingga terpaksa

harus meninggalkan negaranya serta mencari keselamatan di negara lain.

Kewajiban negara asal yang tidak mampu lagi melindungi hak-hak dasar

warganya akan diambil alih oleh masyarakat internasional. Masyarakat

internasional melakukan upaya-upaya yang diperlukan guna menjamin dan

memastikan bahwa hak-hak dasar seseorang tetap dilindungi dan dihormati.48

(44)

Sejumlah besar instrumen internasional mengatur mengenai hak seseorang

atas kewarganegaraan. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948 sendiri

menyatakannya pada Pasal 15 yaitu bahwa "setiap orang memiliki hak untuk

berkewarganegaraan", dan bahwa "tidak seorangpun dapat secara

sewenang-wenang dicabut kewarganegaraannya, atau ditolak haknya untuk mengganti

kewarganegaraannya”.49

1. Convention Relating to the Status of Stateless Persons

Konvensi 1954 mengakui status hukum internasional “orang-orang tanpa

kewarganegaraan”. Pasal 1 menetapkan rumusan bagi orang tanpa

kewarganegaraan dalam hukum internasional:

“For the purpose of this Convention, the term “stateless person” means a person who is not considered as a national by any State under the operation of its law.”50

Berarti orang tanpa kewarganegaraan adalah “seseorang yang tidak

dianggap sebagai warga negara oleh Negara manapun dalam pelaksanaan hukum

negara tersebut”.

Rumusan ini sekarang juga diakui sebagai hukum kebiasaan internasional.

Orang-orang yang memenuhi definisi ini berhak akan hak-hak dan

kewajiban-kewajiban tertentu yang terdapat dalam Konvensi 1954. Konvensi ini tidak

mencakup apa yang disebut orang-orang yang secara de facto tidak memiliki

kewarganegaraan, yang mana tidak terdapat dalam rumusan yang diterima secara

umum dalam hukum internasional.

      

(45)

Akan tetapi, orang-orang yang secara de facto tidak memiliki

kewarganegaraan berhak akan perlindungan di bawah hukum hak-hak asasi

manusia internasional. Para pengungsi tanpa kewarganegaraan tercakup dalam

Konvensi 1951 mengenai Status Pengungsi dan harus diperlakukan sesuai dengan

hukum pengungsi internasional.51

Konvensi 1954 menjamin hak akan bantuan administrasi kepada

orang-orang tanpa kewarganegaraan (administrative assistance),52suatu hak akan

identitas diri (identity papers),53 dan dokumen perjalanan (travel documents),54

dan mengecualikan mereka dari persyaratan-persyaratan timbal balik (exemption

from reciprocity)55.

Konvensi ini menyatakan bahwa orang-orang tanpa kewarganegaraan

dapat mempertahankan hak dan kebebasan mendasar tanpa diskriminasi (non-

discrimination).56 Hak tersebut termasuk hak milik (movable and immovable

property),57 akses gratis ke pengadilan (access to courts),58 akses terhadap

pekerjaan (wage-earning employment),59 perumahan setidaknya seperti yang

diberikan kepada orang asing (housing),60 dan pendidikan dasar dan bantuan

publik setara dengan apa yang warga negara terima (public education).61

      

51 UNHCR, “Melindungi Hak-Hak Orang Tanpa Kewarganegaraan”, Op. Cit. hal 4. 52 Convention Relating to the Status of Stateless Persons, Pasal 25

53 Ibid. Pasal 27. 54

Ibid. Pasal 28. 55 Ibid. Pasal 7. 56 Ibid. Pasal 3. 57 Ibid. Pasal 13. 58 Ibid. Pasal 16. 59

Ibid. Pasal 17. 60 Ibid. Pasal 21. 61 Ibid. Pasal 22.

(46)

Ketentuan-ketentuan yang diselaraskan ini dirancang untuk mengatasi

kesulitan-kesulitan khusus yang dihadapi oleh orang-orang tanpa

kewarganegaraan dikarenakan mereka tidak mempunyai kewarganegaraan

manapun, misalnya dengan memberi mereka sebuah dokumen perjalanan yang

diakui bagi orang-orang tanpa kewarganegaraan yang berfungsi sebagai pengganti

sebuah paspor.

Hal-hal ini tidak diatur di manapun dalam hukum internasional namun

berada di antara manfaat-manfaat hukum pokok untuk orang-orang tanpa

kewarganegaraan dalam Konvensi 1954.

2. International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR)

Hak atas kewarganegaraan tertulis pada Pasal 24 ICCPR yang

menetapkan:62

1. Every child shall have, without any discrimination as to race, colour, sex, language, religion, national or social origin, property or birth, the right to such measures of protection as are required by his status as a minor, on the part of his family, society and the State.

2. Every child shall be registered immediately after birth and shall have a name.

3. Every child has the right to acquire a nationality.

Terjemahan pasal:

1. Setiap anak harus memiliki, tanpa diskriminasi apapun dalam hal ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, asal-usul kebangsaan atau sosial, kekayaan atau kelahiran, hak untuk langkah-langkah seperti perlindungan yang dibutuhkan oleh statusnya sebagai minor, pada bagian keluarganya, masyarakat dan negara.

2. Setiap anak harus didaftarkan segera setelah kelahirannya dan harus memiliki nama.

3. Setiap anak berhak untuk memperoleh kewarganegaraan.

      

(47)

Ketentuan ini bertujuan untuk mencegah anak dari ketiadaan perlindungan

negara karena anak tersebut tidak memiliki kewarganegaraan. Ketentuan ini tidak

mengharuskan suatu negara untuk memberikan kewarganegaraannya untuk setiap

anak yang lahir di wilayah negara tersebut. Namun, negara juga diminta untuk

melakukan tindakan yang tepat, baik secara internal maupun bekerjasama dengan

negara lain, untuk memastikan bahwa setiap anak memiliki kewarganegaraan

ketika ia dilahirkan. Tidak ada diskriminasi sehubungan dengan akuisisi

kewarganegaraan dalam hukum nasional negara tersebut baik untuk anak-anak

sah, anak yang lahir diluar nikah, anak yang lahir dari orang tua yang tidak

memiliki kewarganegaraan, maupun anak yang didasarkan oleh status

kewarganegaraan salah satu atau kedua orang tua.63

3. International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families (ICRMW)

The Committee on Migrant Workers (CMW) terdiri dari 14 ahli

independen. Mereka bertugas mengawasi penerapan dari peraturan ICRMW.

Termasuk salah satu dari badan perjanjian PBB yang paling terakhir terbentuk,

komite ini mengadakan pertemuan pertama mereka pada bulan Maret 200464

      

63 Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights, “General Comment No. 17: Rights of the child (Art. 24) : . 07/04/1989. CCPR General Comment No. 17.” http://www.unhchr.ch/tbs/doc.nsf/0/cc0f1f8c391478b7c12563ed004b35e3?Opendocument, diakses 22 Juli 2015.

64

(48)

Hak-hak pekerja migran sebagaimana ditetapkan oleh konvensi ini dibagi

menjadi dua kategori umum65:

• Hak-hak pekerja migran dan anggota keluarganya (Bagian III): berlaku

untuk semua pekerja migran (kecuali pekerja yang ilegal)

• Hak-hak tertentu pekerja migran dan anggota keluarganya (Bagian IV):

hanya berlaku untuk pekerja migran dalam situasi biasa

Terkandung dalam pasal 29 ICRMW:

“Each child of a migrant worker shall have the right to a name, to registration of birth and to a nationality”66

Secara harafiah dijelaskan bahwa setiap anak dari pekerja migran memiliki

hak untuk mempunyai nama, untuk didaftarkan kelahirannya, dan atas

kewarganegaraan.

4. Convention on the Rights of the Child

Perlindungan terhadap kewarganegaraan dalam konvensi ini dimulai sejak

kelahiran anak. Ketentuan mengenai hal ini dinyatakan pada Pasal 7 dan 8,

sebagai berikut67:

Article 7

1. The child shall be registered immediately after birth and shall have the right from birth to a name, the right to acquire a nationality and. as far as possible, the right to know and be cared for by his or her parents. 2. States Parties shall ensure the implementation of these rights in

accordance with their national law and their obligations under the

      

65 Claiming Human Rights: Guide to International Procedures Available in Cases of Human Rights Violations in Africa, “ Protected Main Rights of The ICRMW”, http://www.claiminghumanrights.org/icrmw_protected_rights.html, diakses 22 Juli 2015. 

66

International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families 1990, Pasal 29.

(49)

relevant international instruments in this field, in particular where the child would otherwise be stateless.

Article 8

1. States Parties undertake to respect the right of the child to preserve his or her identity, including nationality, name and family relations as recognized by law without unlawful interference.

2. Where a child is illegally deprived of some or all of the elements of his or her identity, States Parties shall provide appropriate assistance and protection, with a view to re-establishing speedily his or her identity.

Sama halnya dengan International Covenant on Civil and Political Rights,

Convention on the Rights of the Child 1989 juga memberikan ketentuan yang

sama bahwa negara harus menjamin hak-hak ini untuk melindungi status

kewarganegaraan anak.

5. Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman, or Degrading Treatment or Punishment

Pada Pasal 6 ayat 3 konvensi ini ditentukan bahwa:

Article 6 (3):

“Any person in custody pursuant to paragraph 1 of this article shall be assisted in communicating immediately with the nearest appropriate representative of the State of which he is a national, or, if he is a stateless person, with the representative of the State where he usually resides.”

Terjemahan pasal:

Pasal 6 ayat 3:

“Setiap orang yang berada dalam ditahan berdasarkan ayat 1 dari pasal ini, harus dibantu untuk segera berkomunikasi dengan perwakilan terdekat dari negara dimana ia merupakan warga negara, atau, jika tidak memiliki kewarganegaraan, harus dibantu untuk berkomunikasi dengan perwakilan dari negara tempat ia biasanya berada.”

Konvensi ini memberikan perlindungan yang sama baik kepada warga

(50)

tersebut dijelaskan bahwa seseorang dapat dibantu melaporkan perlakuan atas

tindakan yang dilarang dalam konvensi tersebut terhadapnya, kepada wakil dari

negaranya yang berada pada negara tersebut, atau jika seseorang tersebut tidak

mempunyai kewarganegaraan, maka boleh

Referensi

Dokumen terkait

209 orang yang menerima kewarganegaraan adalah anggota minoritas Muslim Kaman, yang diakui oleh pemerintah sebagai adat untuk Myanmar, tetapi ada juga dari Rohingya..

terdorong untuk melakukan penelitian mengenai Peran Negara dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Orang-Orang yang tidak Memiliki Kewarganegaraan (Stateless Person)

terdorong untuk melakukan penelitian mengenai Peran Negara dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Orang-Orang yang tidak Memiliki Kewarganegaraan (Stateless Person)

Beliau juga mengatakan bahwa ASEAN tidak dapat menekan pemerintah Myanmar agar dapat memberikan kewarganegaraan pada etnis Rohingya, dalam kasus yang terjadi

Artikel ini membahas Bagaimana pengaturan di dalam Hukum Internasional yang terkait dengan orang tanpa kewarganegaraan (Stateless People) dan Bagaimana perlindungan

Article 1 of the Convention relating to the Status of Stateless Persons 1954 defines a ‘stateless person’ as ‘a person who is not considered as a national by any State under the

namely the 1951 Convention13 and its 1967 Protocol to the Status of Refu- gees14, the 1954 Convention relating to the Status of Stateless Persons,15 the 1966 International Covenant on

106 LVII – 2006 Asian-African Legal Consultative Organization: Invites Member States to consider the possibility of acceding to the 1954 Convention relating to the Status of Stateless