• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penerapan Sanksi Pidana Pada Kasus Kelalaian Pengemudi Yang Menimbulkan Kecelakaan Lalu Lintas (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan No.854 /Pid.B/2012/Pn.Mdn )

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Penerapan Sanksi Pidana Pada Kasus Kelalaian Pengemudi Yang Menimbulkan Kecelakaan Lalu Lintas (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan No.854 /Pid.B/2012/Pn.Mdn )"

Copied!
84
0
0

Teks penuh

(1)

PENERAPAN SANKSI PIDANA PADA KASUS KELALAIAN PENGEMUDI YANG MENIMBULKAN KECELAKAAN LALU LINTAS

(STUDI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI MEDAN NO.854 /Pid.B/2012/PN.Mdn )

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dalam memenuhi syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum

OLEH:

ARIANSYAH PARUHUM RANGKUTI NIM: 090200391

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)
(3)

KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim

Alhamdulilah, Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis serta Nabi Muhammad SAW atas doa serta syafaatnya, penulis masih diberikan kesehatan dan kesempatan serta kemudahan dalam mengerjakan skripsi ini.

Adapun skripsi ini berjudul: “Penerapan Sanksi Pidana Pada Kasus Kelalaian Pengemudi Yang Menimbulkan Kecelakaan Lalu Lintas ( Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 854/Pid.B/2012/PN.Mdn )”

Penulis sadar adanya keterbatasan dalam pengerjaan skripsi ini. Selama penyusunan skripsi ini, Penulis mendapatkan banyak dukungan, semangat, saran, motivasi dan doa dari berbagai pihak. Untuk itu, pada kesempatan ini Penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, S.H., M.H., DFM., selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

4. Bapak Muhammad Husni, S.H.,M.Hum., selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

(4)

dosen pembimbing I, terima kasih atas bimbingan dan dukungan bapak kepada penulis selama penulisan Skripsi

6. Ibu Liza Erwina, S.H., M.Hum.,selaku seketaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

7. Bapak Dr. Edi Yunara, SH.M.Hum., Selaku dosen Pembimbing II penulis, terima kasih atas bimbingan dan dukungan bapak kepada penulis. 8. Untuk para Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara, yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat kepada penulis serta para pegawai Tata Usaha Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 9. Khusus Orang tua Penulis, kepada ayahanda H.TH. Arifin Rangkuti dan

Ibunda Yuniarsam Nasution selaku orang tua penulis yang terus mendoakan dan memberi semangat bagi Penulis.

10.Untuk adik – adik penulis Frisca Rossari Rangkuti dan Arizki Perwira Rangkuti yang telah membantu dan menemani selama melakukan penulisan skripsi ini.

11.Seluruh teman – teman penulis yang ada di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara terutama buat Nancy Mayriski Siregar dan teman – teman yang lain Alif Oemry, Putih Zuliya, Ismail Ginting, Nurul Adha dan seluruh teman – teman yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang memberikan dorongan serta doa kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini

(5)

Demikianlah yang dapat penulis sampaikan atas skripsi yang sederhana ini, yang masih terdapat banyak kekurangan dan tidak sempurna. Akhir kata kiranya tulisan ini dapat berguna dan bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan, terutama dalam penerapan serta pengembangan ilmu hukum di Indonesia. Atas segala kesalahan dan kekurangannya penulis mohon maaf yang sebesar – besarnya.

Wassalamu”alaikum Wr. Wb

Medan, Maret 2014

(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

ABSTRAKSI ... vii

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

D. Keaslian Penulisan ... 8

E. Tinjauan Kepustakaan ... 9

1. Pengertian Sanksi Pidana ... 9

2. Pengertian Kelalaian ... 13

3. Pengertian Pengemudi ... 19

4. Pengertian Kecelakaan Lalu Lintas ... 19

F. Metode Penelitian ... 21

G. Sistematika Penulisan ... 24

BAB II : PENGATURAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PELANGGARAN LALU LINTAS A. Defenisi Tindak Pidana dan Unsur – Unsur Tindak Pidana .. 26

1.a. Pengertian Tindak Pidana ... 26

1.b. Unsur – Unsur Tindak Pidana ... 32

B. Asas – Asas dan Tujuan Lalu Lintas dan Jalan Raya. ... 40

C. Peranan Undang – Undang No 22 Tahun 2009 dalam Perlindungan Penumpang Akibat Lalainya Pengemudi ... 43

D. Syarat – syarat Pengemudi Berdasarkan Undang – Undang No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan ... 45

E. Wawancara dengan Satlantas Medan dan Hakim yang menga- dili Perkara No. 854/PID.B/2012/PN.Mdn………..48

BAB III: FAKTOR – FAKTOR KELALAIAN PENGEMUDI PENYEBAB TERJADINYA KECELAKAAN LALU LINTAS YANG BISA DIPIDANA A. Faktor Internal ... 51

1. Faktor Manusia ... 51

- Karena Kehilangan Konsentrasi ... 52

- Karena Mengantuk ... 52

(7)

- Karena Mengobrol atau Bercerita ... 53

- Karena Kurang berhati – hati dalam mengatur kecepatan ... 54

- Karena Belum Terampil Mengemudikan Kendaraan .. 54

2. Faktor Pejalan ... 54

B. Faktor Eksternal ... 55

1. Faktor Jalan ... 55

2. Faktor kendaraan ... 56

3. Faktor lingkungan ... 57

BAB IV : BENTUK PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PADA KASUS KELALAIAN PENGEMUDI YANG MENIMBULKAN KECELAKAAN LALU LINTAS ( STUDI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI MEDAN NO. 854/Pid.B/2012/PN.MDN ) A. Kasus Posisi ... 58

1. Kronologis ... 58

2. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum ... 59

3. Tuntutan Jaksa Penuntut umum ... 60

4. Putusan Pengadilan Negeri Medan( No. 854/Pid.B/2012/PN.Mdn )………60

B. Analisis Kasus ... 61

BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 69

B. Saran ... 70

(8)

ABSTRAKSI Ariansyah Rangkut i*

* Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

** Dosen Pembimbing I, Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

*** Dosen Pembimbing II, Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Muhammad Hamdan** Edi Yunara***

Lalu lintas dan angkutan jalan merupakan hal yang penting dalam meningkatkan mobilitas sosial masyarakat. Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas Lalu Lintas, Angkutan Jalan, Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Kendaraan, Pengemudi, Pengguna Jalan, serta pengelolaannya. Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) merupakan hal yang sangat dekat masyarakat. Setiap waktu masyayarkat terus bergulat dengan Angkutan Jalan dengan bermacam-macam kepentingan.

Permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini adalah bentuk peraturan hukum terhadap tindak pidana pelanggaran lalu lintas, faktor – faktor penyebab terjadinya kecelakaan lalu lintas dan bentuk pertanggungjawaban pengemudi terhadap kasus kelalaian pengemudi yang menimbulkan kecelakaan lalu lintas dihubungkan dengan undang – undang no 22 tahun 2009 ( Studi Putusan No. 854/Pid.B/2012/PN.Mdn ). Metode yang digunakan dalam pembahasan rumusan masalah tersebut adalah metode penelitian yuridis normatif dengan mengkaji dan menganalisis data sekunder berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, bahan hukum tersier.

Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mempunyai peran strategis dalam mendukung pembangunan dan integrasi nasional sebagai bagian dari upaya memajukan kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebagai bagian dari sistem transportasi nasional, Lalu Lintas dan Angkutan Jalan harus dikembangkan potensi dan perannya untuk mewujudkan keamanan, kesejahteraan, ketertiban berlalu lintas dan Angkutan Jalan dalam rangka mendukung pembangunan ekonomi dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, otonomi daerah, serta akuntabilitas penyelenggaraan negara.

(9)

ABSTRAKSI Ariansyah Rangkut i*

* Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

** Dosen Pembimbing I, Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

*** Dosen Pembimbing II, Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Muhammad Hamdan** Edi Yunara***

Lalu lintas dan angkutan jalan merupakan hal yang penting dalam meningkatkan mobilitas sosial masyarakat. Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas Lalu Lintas, Angkutan Jalan, Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Kendaraan, Pengemudi, Pengguna Jalan, serta pengelolaannya. Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) merupakan hal yang sangat dekat masyarakat. Setiap waktu masyayarkat terus bergulat dengan Angkutan Jalan dengan bermacam-macam kepentingan.

Permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini adalah bentuk peraturan hukum terhadap tindak pidana pelanggaran lalu lintas, faktor – faktor penyebab terjadinya kecelakaan lalu lintas dan bentuk pertanggungjawaban pengemudi terhadap kasus kelalaian pengemudi yang menimbulkan kecelakaan lalu lintas dihubungkan dengan undang – undang no 22 tahun 2009 ( Studi Putusan No. 854/Pid.B/2012/PN.Mdn ). Metode yang digunakan dalam pembahasan rumusan masalah tersebut adalah metode penelitian yuridis normatif dengan mengkaji dan menganalisis data sekunder berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, bahan hukum tersier.

Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mempunyai peran strategis dalam mendukung pembangunan dan integrasi nasional sebagai bagian dari upaya memajukan kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebagai bagian dari sistem transportasi nasional, Lalu Lintas dan Angkutan Jalan harus dikembangkan potensi dan perannya untuk mewujudkan keamanan, kesejahteraan, ketertiban berlalu lintas dan Angkutan Jalan dalam rangka mendukung pembangunan ekonomi dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, otonomi daerah, serta akuntabilitas penyelenggaraan negara.

(10)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Lalu lintas dan angkutan jalan merupakan hal yang penting dalam meningkatkan mobilitas sosial masyarakat. Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) merupakan hal yang sangat dekat dekat masyarakat. Setiap waktu masyarakat terus bergulat dengan Angkutan Jalan dengan bermacam-macam kepentingan. Sejarah Lalu lintas dan Angkut an Jalan di Indonesia telah melewati berbagai masa sejak dari masa Pemerintahan Belanda sampai pada era refomasi pada saat ini. Lalu Lintas dan Angkutan Jalan pun telah melewati berbagai kondisi zaman dibarengi dengan berbagai kemajuan di Bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi sampai perubahan pola tingkah laku masyarakat.

Sebagai pemakai jalan raya, kurangnya disiplin merupakan penyebab utama terjadinya kecelakaan lalu lintas. Kebiasaan rupanya sudah mempengaruhi masyarakat bahwa orang baru merasa melanggar peraturan lalu lintas si pelanggar itu tertangkap oleh petugas.1

Lalu lintas dan Angkutan Jalan ketika pada Masa Pemerintahan Hindia Belanda diatur dalam “Werverkeersordonnantie” (Staatsblad 1933 Nomor 86). Perkembangan selanjutnya Weverkeersordonnantie tidak sesuai lagi dengan tuntutan dan dirubah lagi dalam Staatsblad 1940 No. 72. Kemudian

Werverkeersordonnantie dirubah lagi setelah Indonenesia tepatnya pada tahun 1951 dengan UU No. 3 Tahun 1951 Perubahan Dan Tambahan Undang Undang

1

(11)

Lalu Lintas Jalan (Werverkeersordonnantie, Staatsblad 1933 No. 86). Kemudian Selang 15 Tahun kemudian dari berlakunya UU No. 15 Tahun 1951 Pemerintah Indonesia mengatur lagi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan kedalam Undang-Undang yang baru serta Mencabut peraturan sebelumnya tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Maka Lahirnya UU No. 3 Tahun 1965 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang pada waktu itu atas persetujuan bersama antara Presiden Soekarno dengan DPR GR (Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong). Undang-Undang No. 3 Tahun 1965 ini bahwa ini adalah Undang-Undang-Undang-Undang pertama yang mengatur LLAJ di Indonesia setelah Indonesia merdeka.2

2

Seiring dengan perkembangan zaman dan IPTEK pada 27 Tahun Kemudian diatur kembali LLAJ di Indonesia dengan Undang-Undang yang baru yaitu Undang-Undang No. 14 Tahun 1992. Ada hal yang menarik dari UU No. 14 Tahun 1992 ini bahwa Undang-Undang ini sempat ditangguhkan selama setahun melalui PERPU No 1 Tahun 1992 yang disahkan menjadi Undang-Undang No. 22 Tahun 1992. Sebagaimana yang terdapat dalam Konsideran UU No. 22 Tahun 1992 poin c dikatakan bahwa:

” Bahwa seiring dengan tujuan yang ingin diwujudkan sebagaimana tersebut diatas, dan setelah mempertimbangkan segala sesuatunya dengan seksama, maka untuk menjaga agar pelaksanaannya dapat berlangsung dengan sebaik-baiknya dipandang perlu untuk menangguhkan berlakunya Undang-Undang tersebut guna memberi waktu yang lebih cukup lagi untuk meningkatkan pemahaman, persiapan dan kesiapan segenap aparatur pemerintah yang bersangkutan serta masyarakat pada umumnya mengenai Undang-Undang tersebut ”

(12)

Dengan Lahirnya Undang-Undang No. 22 tahun 1992 makanya UU No. 14 tahun 1992 ditangguhkan pelaksanaanya yang direncanakan pada 17 september 1992 menjadi 17 September 1993 Karena berbagai pertimbangan dari pemerintah. Selanjutnya UU mengenai LLAJ terkahir kali diatur di Indonesia dengan Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Jalan dengan semangat reformasi dan semangat perubahan.3

Selanjutnya kasus tabrakan yang cukup menghebohkan dilakukan oleh seorang model Novi Amalia yang menabrak 7 orang di kawasan Taman Sari, Jakarta Barat, yang mengakibatkan korban-korban mengalami luka ringan, Kasus kecelakaan Livina Maut yang dilakukan oleh Andika Pradipta yang mengakibatkan 2 orang tewas, dan 5 orang mengalami luka-luka di sekitar jalan

Maraknya kasus-kasus kecelakaan lalu lintas di jalan raya yang terjadi akhir-akhir ini, sebagai catatan sebut saja mulai dari kasus kecelakaan tunggal yang menimpa artis dangdut Saipul Jamil bersama sang istri Virginia di ruas tol Cipularang yang mengakibatkan meninggalnya istri Saipul Jamil, Kasus tabrakan Xenia maut yang dikendarai Afriani Susanti hingga menewaskan 9 orang di daerah Tugu Tani Jakarta, Kasus tabrakan beruntun Honda Jazz maut yang dikemudikan oleh Hadi Reski Ramadhani seorang pelajar/siswa SMP yang menabrak 15 orang dan mengalami luka-luka di Makassar, Kasus tabrakan Mercy Maut yang dilakukan oleh Darsan Sutrisna yang menabrak orang-orang di pinggir Bundaran HI sehingga mengakibatkan satu orang tewas dan dua orang lainnya luka-luka.

(13)

Ampera Jakarta, hingga kasus kecelakaan lalu lintas yang baru ini terjadi menimpa Rasyid Amrullah, pengemudi BMW X5, anak dari Menteri Hatta Rajasa, yang mengakibatkan merenggut dua nyawa di Tol Jagorawi.

Faktor dominan dalam terjadinya kasus-kasus kecelakaan lalu lintas yang terjadi adalah kelalaian atau kekurang hati-hatian pengemudi, hal ini bisa disebabkan karena dugaan mengemudi dalam keadaan mengantuk, sampai kepada mengemudi di bawah pengaruh narkoba dan alkohol.

Masalah yang sering muncul di dalam berlalu lintas salah satunya adalah masalah kelalaian dari pengendara kendaraan bermotor itu sendiri, pengendara kendaraan bermotor sering lalai dalam mengendarai kendaraan sehingga dapat menyebabkan kecelakaan lalu lintas. Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan pada Pasal 229 ayat 1 sampai 5 menyebutkan ada tiga jenis kecelakaan lalu lintas , yaitu kecelakaan lalu lintas ringan ( yang berakibat kerusakan kendaraan atau barang ), kecelakaan lalu lintas sedang (yang berakibat kerusakan kendaraan atau barang dan juga mengakibatkan orang lain mengalami luka ringan), dan kecelakaan lalu lintas berat ( yang dapat mengakibatkan orang lain meninggal dunia atau luka berat).

(14)

per harinya, dan luka ringan sebanyak 7.285 atau 22 orang per harinya, dan selama tahun 2012 terdapat 8.198 dengan korban jiwa meninggal dunia sebanyak 2.202 atau 6 orang per harinya, luka berat sebanyak 4.604 atau 12 orang per harinya, dan luka ringan sebanyak 8.414 atau 22 orang per harinya.4

[image:14.595.112.518.249.427.2]

Tahun

Tabel kasus kecelakaan di Dit Lantas Polda Sumut ( 2010 – 2012 )

Jumlah Kasus

Keterangan Tewas per tahun / Per hari

Luka Berat per tahun / per hari

Luka ringan per tahun / per hari

2010 8.284 2.398 / 6 3.691 / 9 5.718 / 15

2011 7.851 2.481 / 6 4.156 / 11 7.285 / 22 2012 8.198 2.202 / 6 4.604 / 12 8.414 / 22 Sumber: Data statistik Dit Lantas Polda Sumut ( 2010 – 2012 )

Pada perkembangannya, lalu lintas jalan dapat menjadi masalah bagi manusia, karena semakin banyaknya manusia yang bergerak atau berpindah-pindah dari satu tempat ketempat lainnya, dan semakin besarnya masyarakat yang menggunakan sarana transportasi angkutan jalan, maka hal inilah yang akan mempengaruhi tinggi rendahnya angka kecelakaan lalu lintas.

Pada kecelakaan lalu lintas yang terjadi antara lain disebabkan oleh kelelahan, kelengahan, kekurang hati-hatian, dan kejenuan yang dialami pengemudi. Berbicara tentang kecelakaan lalu lintas, pada dasarnya di sebabkan oleh empat faktor, yaitu faktor manusia, faktor kendaraan, kompatibilitas antara manusia dan kendaraan ( Human Machine compatibility ) dan faktor lingkungan

4

(15)

jalan. Dari keempat faktor tersebut, maka faktor manusia menjadi faktor yang paling sering dalam menyebabkan terjadinya kecelakaan lalu lintas.

Mengenai kecelakaan lalu lintas, tentu tidak bisa terlepas dari adanya sanksi hukum yang akan menjerat para pelaku yang menyebabkan pelanggaran lalu lintas tersebut. Hal ini tentunya perlu diketahui oleh semua pihak, agar diharapkan para pengemudi kendaraan dapat bersikap lebih berhati – hati ketika mereka berada di jalan raya, sehingga tidak ceroboh yang mana akan mengakibatkan terjadinya kecelakaan lalu lintas yang pada akhirnya menimbulkan adanya korban baik itu korban meninggal, korban luka – luka, serta kerugian materil yang pasti akan terjadi. Oleh sebab itu, di harapkan kecelakaan lalu lintas dapat ditekan jatuhnya korban jiwa.5 Jika kita melihat dari penjabaran diatas, maka dapat dilihat bahwa pelaku dari terjadinya suatu kecelakaan lalu lintas dimana faktor manusia faktor penyebabnya.

Berdasarkan penjelasan diatas, maka penulis termotivasi untuk mengakaji dan membahas secara mendalam tentang topik skripsi yang berjudul: “ Penerapan Sanksi Pidana Pada Kasus Kelalaian Pengemudi Yang Menimbulkan Kecelakaan Lalu Lintas ( Studi Putusan No. 854/Pid.B/2012/PN.Mdn )”

5

(16)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka yang menjadi permasalahan adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah peraturan hukum terhadap tindak pidana pelanggaran lalu lintas?

2. Apa faktor – faktor penyebab terjadinya kecelakaan lalu lintas yang dapat di pidana?

3. Bagaimanakah bentuk pertanggungjawaban pengemudi terhadap kasus kelalaian pengemudi yang menimbulkan kecelakaan lalu lintas dihubungkan dengan Undang – undang No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan angkutan Jalan ( Studi Putusan No. 854/Pid.B/2012/PN.Mdn)? C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

1. Tujuan Penulisan

Berdasarkan uraian dari latar belakang diatas yang telah di uraikan, maka tujuan dari penulisan skripsi ini adalah:

1. Untuk mengetahui peraturan – peraturan hukum terhadap tindak pidana pelanggaran lalu lintas

2. Untuk mengetahui faktor – faktor penyebab terjadinya kecelakaan lalu lintas yang dapat di pidana

(17)

2. Manfaat Penulisan a. Secara Teoritis

Secara teoritis, penulisan skripsi ini diharapkan akan menambah kepastian hukum pada khususnya dan menjadi bahan untuk penelitian lebih lanjut dalam bidang hukum pidana pada umumnya dan tentang penerapan sanksi pidana pada kasus kelalaian pengemudi yang menimbulkan kecelakaan lalu lintas sehingga diharapkan skripsi ini dapat menjadi bahan masukan bagi mahasiswa serta dapat memperluas dan menambah pengetahuan mengenai hukum pidana.

b. Secara Praktis

Secara praktis, pembahasan mengenai permasalahan penulisan skripsi ini diharapakan dapat menjadi bahan masukan bagi masyarakat dan aparat penegak hukum yang diharapkan dapat meningkatkan kesadaran hukum dan perannya dalam menerapkan sanksi pidana pada kasus kelalaian pengemudi yang menimbulkan kecelakaan lalu lintas di Indonesia.

D. Keaslian Penulisan

(18)

anak yang karena kelalaiannya mengakibatkan terjadinya kecelakaan lalu lintas dalam putusan No. 3969/Pid.B/2010/PN-MDN. Pada prinsipnya karya ilmiah ini penulisan memperolehnya berdasarkan literaratur yang ada, baik dari perpustakaan, media masa cetak maupun elektronik, ditambahkan pemikiran penulis. Oleh karena itu skripsi ini adalah asli merupakan karya ilmiah milik penulis dan bila ternyata terdapat judul serta permasalahan yang sama sebelum skripsi ini di buat maka dapat dipertanggungjawabkan secara moral maupun akademik.

E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Pidana

Pidana berasal dari kata Straf ( Belanda ), yang pada dasarnya dapat dikatakan sebagi suatu penderitaan ( nestapa ) yang sengaja dikenakan / ditujukan kepada seseorang yang telah terbukti bersalah melakukan suatu tindak pidana. Menurut Moeljatno dalam Muladi dan Barda Nawawi Arief, istilah hukuman berasal dari kata Straf, merupakan suatu istilah yang konvensional. Moeljatno menggunakan istilah yang inkonvensional, yaitu pidana.6

Menurut Andi Hamzah,7 ahli hukum Indonesia membedakan istilah hukuman dengan pidana, yang dalam bahasa Belanda dikenal dengan istilah Straf.

Istilah hukuman8

6

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori – Teori dan Kebijakan Pidana, ( Bandung: Alumni, 2005 ), Hal 1

7

Andi Hamzah, Asas – Asas Hukum Pidana, ( Jakarta: Rineka Cipta, 2008 ), hal 27 8

Andi Hamzah dan Siti Rahayu, Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan Di Indonesia,

Akademika Pressindo, Jakarta, 1983 Hal 20 bisa juga di lihat di Mohd. Ekaputra dan Abul Khair,

Sistem Pidana Di Dalam KUHP dan Pengaturannya Menurut Konsep KUHP Baru,( USU Press, Medan, 2010), hal 1.

(19)

sedangkan istilah pidana diartikan secara sempit yaitu hanya sanksi yang berkaitan dengan hukum pidana.

Berikut ini pengertian pidana yang dikemukakan oleh beberapa ahli:

1. Menurut Van Hammel, Pidana adalah suatu penderitaan yang bersifat khusus, yang telah dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama negara sebagai penanggung jawab dari ketertiban hukum umum bagi seorang pelanggar, yakni semata – mata karena orang tersebut telah melanggar suatu peraturan hukum yang harus ditegaskkan oleh negara. 9

2. Simons10

3. Menurut Sudarto

Het leed, door de strafwet als gevolg aan de overtrading van de norm verbonden, data aan den schuldige bij rechterlijk vonnis wordt

opgelegd.” (artinya: suatu penderitaan yang oleh undang – undang pidana telah dikaitkan dengan pelanggaran terhadap suatu norma, yang dengan suatu putusan hakim telah dijatuhkan bagi seseorang yang bersalah.

11

4. Menurut Roelan Saleh

, Pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat – syarat tertentu.

12

9

P.A.F.Lamintang, Hukum Penintensier Indonesia,( Bandung: Armico, 1984 ), Hal 34 10

Ibid, Hal 35

11

Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, ( Bandung: Alumni, 1981), Hal 109 - 110

12

Mohd. Ekaputra dan Abul Khair, Op Cit, Hal 3

(20)

5. menurut Ted Honderich13

6. Menurut G.P.Hoefnagels, ia tidak setuju dengan pendapat bahwa pidana merupakan suatu pencelaan (censure atau suatu penjeraan)

(discouragement ) atau merupakan suatu penderitaan ( suffering ),

pendapatnya ini bertolak dari pidana, bahwa sanksi dalam hukum pidana adalah semua reaksi terhadap pelanggaran hukum yang telah ditentukan oleh undang – undang, sejak penahanan dari pengusutan terdakwa oleh polisi sampai vonis dijatuhkan. Jadi Hoefnagels melihatnya secara empiris bahwa pidana merupakan suatu proses waktu. Keseluruhan proses pidana itu sendiri ( sejak penahanan, pemeriksaan sampai vonis dijatuhkan ) merupakan suatu pidana.

, Pidana adalah Suatu penderitaan dari pihak yang berwenang sebagai hukuman ( sesuatu yang meliputi pencabutan dan penderitaan ) yang dikenakan kepada seorang pelaku karena sebuah pelanggaran.

14

Berdasarkan berbagai pandangan para ahli tentangg arti pidana, tidak dapat dipungkiri bahwa nestapa atau penderitaan itu merupakan suatu unsure yang memang ada dalam suatu pidana. Menurut Sahetapy dalam Muhari Agus Santoso15

13

Muhammad Taufik Makarao, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Studi tentang bentuk – bentuk Pidana Khususnya Pidana Cambuk Sebagai Suatu bentuk Pemidanaan,( Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005 ), Hal. 18

14

Ibid, Hal 9 - 10 15

Muhari Agus Santoso, Paradigma Baru Hukum Pidana, ( Malang; Averroes Press, 2002 ), Hal. 25

(21)

Pidana merupakan kunci jalan keluar yang membebaskan dan yang member kemungkinan bertobat dengan penuh keyakinan.

H.L.Packer sebagaimana dikutip oleh Muladi dan Barda Nawawi Arief16

Berdasarkan beberapa pengertian pidana yang dikemukakan oleh para ahli, Muladi dan Barda Nawawi Arief menyimpulkan bahwa pidana ( straf ) itu pada dasarnya mengandung unsur atau ciri – ciri sebagai berikut:

dalam bukunya “The limits of criminal sanction”, akhirnya menyimpulkan antara lain sebagai berikut:

1. Sanksi pidana sangatlah diperlukan; kita tidak dapat hidup, sekarang maupun di masa yang akan datang, tanpa pidana.

2. Sanksi pidana merupakan alat atau sarana terbaik yang tersedia, yang kita miliki untuk menghadapi kejahatan – kejahatan atau bahaya besar dan segera serta untuk menghadapi ancaman – ancaman dari bahaya.

3. Sanksi pidana suatu ketika merupakan penjamin yang utama / terbaik dan suatu ketika merupakan pengancam yang utama dari kebebasan manusia. Ia merupakan penjamin apabila digunakan secara hemat – cermat dan secara manusiawi, ia merupakan pengancam, apabila digunakan secara sembarangan dan secara paksa.

17

1. Pidana itu pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat – akibat lainnya yang tidak menyenangkan.

2. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan ( oleh yang berwenang ).

16

Muladi dan Barda Nawawi arief, Op.Cit, Hal 155 - 156 17

(22)

3. Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang – undang.

2. Pengertian Kelalaian

Menurut doktrin, schuld, Nalatighzid, Recklessness, Negligence, Fahrlassigkeit, Sembrono, Teledor yang sering diterjemahkan sebagai kealpaan ( Culpa ).18 Mengenai kealpaan ini keterangan resmi dari pihak pembentuk W.v.S. adalah sebagai berikut: Pada umumnya bagi kejahatan – kejahatan wet mengharuskan bahwa kehendak terdakwa ditujukan pada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana. Kecuali itu keadaan yang dilarang itu mungkin sebagian besar berbahanya terhadap keamanan umum mengenai orang atau barang dan jika terjadi menimbulkan banyak kerugian, sehingga wet harus bertindak pula terhadap mereka yang tidak berhati – hati, yang teledeor. 19

Meskipun pada umumnya bagi kejahatan-kejahatan diperlukan adanya kesengajaan, tetapi terhadap sebagian daripadanya ditentukan bahwa di samping kesengajaan itu orang juga sudah dapat dipidana bila kesalahannya berbentuk kealpaan. Misalnya KUHP Pasal 359: “karena salahnya menyebabkan matinya orang lain, mati orang disini tidak dimaksud sama sekali oleh pelaku, akan tetapi kematian tersebut hanya merupakan akibat dari pada kurang hati-hati atau lalainya pelaku tersebut. Sedangkan KUHP Pasal 360 ayat (1) karena salahnya menyebabkan orang luka berat, disini luka berat mempunyai artian suatu penyakit atau luka yang tak boleh diharap akan sembuh lagi dengan sempurna atau dapat mendatangkan bahaya maut, dan ayat (2) menjelaskan karena salahnya

18

Sudarto, Hukum Pidana I, (Semarang: Penerbit Yayasan Sudarto, 1990), Hal 123

19

(23)

menyebabkan orang luka sedemikian rupa, yang dimaksud luka ringan adalah luka atau sakit bagaimana besarnya dan dapat sembuh kembali dengan sempurna dan tidak mendatangkan bahaya maut.20

Beberapa pendapat ahli menyebutkan syarat untuk adanya kealpaan:

21

a. Hazewinkel – Suringa

Ilmu pengetahuan hukum dan jurisprudensi mengartikan “Schuld”

sebagai: 1. Kekurangan penduga – duga atau 2. Kekurangan penghati – hati

b. Van Hamel

Kealpaan mengandung dua syarat:

1. Tidak mengadakan penduga – duga sebagaiamana diharuskan oleh hukum.

2. Tidak mengadakan penghati – hati sebagaimana diharuskan oleh hukum.

c. Simons

Pada umumnya kealpaan mempunyai dua unsur: 1. Tidak adanya penghati – hati, di samping 2. Dapat diduganya akibat.

d. Pompe

Ada 3 macam yang masuk kelapaan:

1. Dapat mengirakan “Kunnen verwahten” timbulnya akibat

20

Moelijatno, Op,Cit Hal 198 21

(24)

2. Mengetahui adanya kemungkinan “Kennen der mogelijkheid “

3. Dapat mengetahui adanya kemungkinan “ Kunnen kennen van de mogeijkheid “

Beberapa para ahli mengartikan kealpaan sebagai berikut: Menurut D. Simons22

Menurut Langemenyer

menerangkan sebagai berikut: “Umumnya kealpaan itu terdiri atas dua bagian, yaitu tidak berhati-hati melakukan suatu perbuatan, disamping dapat menduga akibat perbuatan dan dilakukan dengan hati-hati, namun kemungkinan tetap saja akan terjadi kealpaan, jika yang berbuat itu mengetahui bahwa dari perbuatannya itu akan timbul suatu akibat yang dilarang undang-undang. Kealpaan terdapat apabila seseorang tetap saja melakukan perbuatan itu meskipun ia telah mengetahui atau menduga akibatnya. Dapat di duganya suatu akibat terlebih dahulu oleh pelaku maka hal tersebut adalah syarat mutlak. Suatu akibat yang tidak dapat di duga terlebih dahulu maka tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya sebagai kealpaan. Tentu dalam hal mempertimbangkan ada atau tidaknya “dapat diduganya lebih dahulu” itu, harus diperhatikan dari pribadi si pelaku. Kealpaan tentang keadaan yang menjadikan perbuatan itu suatu perbuatan yang diancam hukuman, terdapat kalau si pelaku dapat mengetahui bahwa keadaan itu tidak ada.”

23

22

Leden Marpaung, Asas Teori Praktik Hukum Pidana, ( Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, 2005 ), hal 25

23

Moelijatno, Ibid, hal 200

(25)

demikian maka culpa mencakup semua makna kesalahan dalam arti luas yang bukan nerupa kesengajaan ada sifat yang positif yaitu adanya kehendak dan penyetujuan yang disadari daripada bagia-bagian delik yang meliputi oleh kesengajaan, sedang sifat positif ini tidak ada dalam kealpaan, oleh karena itu dapatlah dimengerti bahwa dipakai istilah yang sama untuk kesalahan dalam arti yang luas dan kesalahan dalam arti yang sempit, meskipun ini tidak praktis”.

Menurut Zamhari Abidin24

Berdasarkan hal tersebut maka dalam doktrin kesalahan (schuld) kealpaan atau kelalaian (culpa) dibedakan atas :

seseorang itu dianggap sebagai lalai, bilamana keadaan perimbangan fisik sipelaku dengan perbuatan dan akibat yang timbul, berada dalam keadaan sedemikian rupa, sehingga dengan dasar kesempurnaan keadaan fisik sipelaku itu, dapat dipertanggungjawabkan kepadanya ( dapat dibebankan kepadanya dan dapat dipersalahkan kepadanya ).

Berdasarkan pengertian diatas dapat dijelaskan bahwa seseorang dapat dikatakan lalai apabila ia bertindak kurang hati – hati atau tidak memperhatikan kewajiban / pekerjaannya dalam keadaan perimbangan fisik si pelaku dengan perbuatan dan akibat yang timbul dapat dipertanggungjawabkan.

25

a. Kelalaian yang disadari (bewuste schuld)

Kelalaian atau kealpaan terjadi apabila pelaku dapat memperkirakan akan timbulnya suatu akibat dan ia telah melakukan upaya untuk mencegah munculnya

24

Zamhari Abidin, Pengertian dan Asas Hukum Pidana dalam Skema dan Synopsis, ( Jakarta: Ghilia Indonesia, 1986 ), Hal 40

25

E.Y. Kanter dan SJL Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya,

(26)

akibat tersebut, namun akibat yang diperkirakannya itu tetap saja muncul. Dalam hal tersebut bewuste schuld adalah kelalaian yang disadari.

b. Kelalaian yang tidak disadari (onbewuste schuld)

Kelalaian atau kealpaan terjadi ketika pelaku dalam melakukan tindakannya tidak memperkirakan kemungkinan akan timbulnya suatu akibat dari tindakan tersebut padahal sepatutnya ia dapat memperkirakan akan timbulnya suatu akibat. Dalam unsur kesalahan ini, perlu dicermati perbedaan antara kelalaian yang disadari dengan dolus eventtialis yang hampir memiliki persamaan.

Hezewinkel-Suringa mengutarakan antara kedua hal tersebut sebagai berikut : "Kealpaan dengan kesadaran mi ada, kalau yang melakukan perbuatan itu ingat akan akibat yang berbahaya itu. Tetapi tetap saja ia berani melakukan tindakan itu karena ia tidak yakin bahwa akibat itu benar akan terjadi dan ia tidak akan bertindak demikian kalau ia yakin bahwa akibat itu akan timbul."

Syarat suatu perbuatan dapat dianggap sebagai kelalaian adalah sebagai - berikut:26

- Tidak dijalankannya kewaj iban kehati-hatian tersebut - Adanya suatu kewajiban kehati-hatian (duty of care).

- Adanya kerugian bagi orang lain.

-Adanya hubungan sebab akibat antara perbuatan atau tidak melakukan perbuatan dengan kerugian yang timbul.

Mengacu pada pertimbangan kepatutan pelaku untuk memperkirakan timbulnya akibat dari pelaku untuk memperkirakan kemungkinan timbulnya akibat dari tindakan pelaku yang disandarkan pada perhitungan umum, maka sebagaimana

26

(27)

kesengajaan, doktrin hukum pidana juga membuat gradasi terhadap kelalaian dengan ukuran kecerdasan dan kekuatan daya ingat pelaku sebagai tolak ukur. Dilihat dari sudut ini, unsur kesalahan dapat dibedakan menjadi:27

- Culpa lata, yaitu kelalaian berat.

Pada jenis kelalaian ini disyaratkan adanya kekurang waspadaan terhadap timbulnya akibat yang tidak diinginkan pada pelaku dalam melakukan tindakannya. Meskipun ukuran grove schuld atau culpa lata ini belum setegas kesengajaan. Namun, dengan istilah grove schuld ini kesalahan kasar sudah ada sekedar pertimbangan bahwa tidak masuk culpa apabila seseorang pelaku tidak perlu sangat berhati-hati untuk bebas dari hukuman.

- Culpa Levis, yaitu kelalaian yang ringan

Pada jenis kelaiaian ini disyaratkan adanya hasil perkiraan atau perbandingan antara pelaku dengan orang lain yang sejajar tingkat kecerdasannya. Karena didasarkan pada kepentingan umum, maka perbandingan berdasarkan ievel kecerdasan pelaku ini tetap memperhatikan faktor pengetahuan dan persepsi pelaku sebagai ukuran kriteria manusia normal.

Mengenai adanya culva levis, para ahli menyatakan tidak di jumpai di dalam jenis kejahatan, oleh karena sifatnya yang ringan. Akan tetapi dapat terlihat di dalam hal pelanggaran dari buku in KUHP, sebaliknya ada pandangan bahwa culva levis

oleh undang-undang tidak doperhatikan sehingga tidak diancam pidana,

27

(28)

Sedangkan bagi culva lata, dipandang tersimpul di dalam kejahatan karena kealpaan.28

3. Pengertian Pengemudi

Pengemudi dalam bahasa Inggrisnya adalah Driver, Driver atau pengemudi adalah orang yang mengemudikan kendaraan baik kendaraan bermotor atau orang yang secara langsung mengawasi calon pengemudi yang sedang belajar mengemudikan kendaraan bermotor ataupun kendaraan tidak bermotor seperti pada bendi / dokar disebut juga sebagai kusir, pengemudi becak sebagai tukang becak, pengemudi mobil disebut juga sebagai sopir, sedangkan pengemudi sepeda motor disebut sebagai pengendara.

Di dalam mengemudikan kendaraan seorang pengemudi diwajibkan untuk mengikat tata cara berlalu lintas, seseorang yang telah mengikuti ujian dan lulus ujian teori dan praktik mengemudi akan dikeluarkan Surat Izin Mengemudi (SIM). Pelaksana penerbitan surat izin mengemudi kendaraan bermmotor di Indonesia adalah satuan lalu lintas Kepolisian Negara Republik Indonesia.29

Pengemudi menurut Undang – Undang No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan yang telah memiliki Surat Izin Mengemudi.30

4. Pengertian Kecelakaan Lalu Lintas

Kecelakaan terjadi secara tidak kebetulan, melainkan ada penyebabnya. Oleh karena ada penyebabnya, maka penyebab kecelakaan harus dianalisis dan

28

Bambang Poernomo, Asas – Asas Hukum Pidana, ( Jakarta: Ghalia Indonesia, 1993 ), Hal 173

29

14.45 WIB

30

(29)

ditemukan, agar tindakan korektif kepada penyebab itu dapat dilakukan serta dengan upaya preventif lebih lanjut kecelakaan dapat dicegah.

kecelakaan dapat diartikan sebagai suatu kejadian yang tidak direncanakan yang dapat disebabkan oleh faktor manusia, faktor jalan, faktor kendaraan faktor lingkungan, ataupun kombinasi-kombinasi dari hal-hal tersebut yang dapat mengganggu proses kerja dan dapat menimbulkan cedera ataupun tidak, kesakitan, kematian, kerusakaan property ataupun kejadian yang tidak diinginkan lainnya.

Menurut Pasal 1 butir 24 Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, mengungkapkan kecelakaan lalu lintas adalah suatu peristiwa di jalan yang tidak diduga dan tidak disengaja yang melibatkan kendaraan dengan atau tanpa pengguna jalan lain yang mengakibatkan korban manusia dan/atau kerugian harta benda.31

31

Pasal 1 butir 24 UU No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Dari beberapa definisi kecelakaan lalu lintas dapat disimpulkan bahwa kecelakaan lalu lintas merupakan suatu peristiwa pada lalu lintas jalan yang tidak diduga dan tidak diinginkan yang sulit diprediksi kapan dan dimana terjadinya, sedikitnya melibatkan satu kendaraan dengan atau tanpa pengguna jalan lain yang menyebabkan cedera, trauma, kecacatan, kematian dan / atau kerugian harta benda pada pemiliknya (korban).

(30)

a. Kecelakaan Lalu Lintas ringan yaitu kecelakaan yang mengakibatkan kerusakan Kendaraan dan/atau barang.

b. Kecelakaan Lalu Lintas sedang yaitu kecelakaan yang mengakibatkan luka ringan dan kerusakan Kendaraan dan/atau barang.

c. Kecelakaan Lalu Lintas berat yaitu kecelakaan yang mengakibatkan korban meninggal dunia atau luka berat.

F. Metode Penelitian

Bambang sunggono menyatakan bahwa dalam penulisan sebuah karya ilmiah ada beberapa 2 ( dua ) jenis metode penelitian, yaitu:

1. Penelitian yuridis normatif disebut juga dengan penelitian hukum doktrinal karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan hanya kepada peraturan-peraturan yang tertulis dan bahan hukum yang lain. Penelitian hukum ini juga disebut sebagai penelitian kepustakaan ataupun studi dokumen disebabkan penelitian ini lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan. Penelitian kepustakaan demikian dapat pula dikatakan sebagai lawan dari penelitian empiris (penelitian lapangan).32

2. Penelitian yuridis empiris disebut juga dengan penelitian huku m non doktrinal karena penelitian ini berupa studi-studi empiris untuk menemukan teori-teori mengenai proses terjadinya dan mengenai

32

(31)

proses bekerjanya hukum di dalam masyarakat. Atau yang disebut juga sebagai Socio Legal Research.33

Adapun jenis penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. Jenis penelitian

Penelitian yang akan digunakan dalam penulisan skripsi adalah dengan menggunakan jenis penelitian yuridis normatif yang didasarkan pada bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier serta menganalisis kasus yang berkaitan dengan judul skripsi ini, yaitu “Penerapan Sanksi Pidana Pada Kasus Kelalaian Pengemudi Yang Menimbulkan Kecelakaan Lalu Lintas ( Studi Putusan No. 854/Pid.B/2012/PN.Mdn )”

2. Sumber Data

Data dalam penelitian dapat diperoleh dari:

1. Bahan hukum primer, yaitu norma atau kaedah dasar, bahan hukum yang mengikat seperti Kitab Undang-undang Hukum Pidana maupun peraturan-peraturan lain yang berkaitan dengan kebijakan hukum pidana dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia yaitu Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

2. Bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen – dokumen resmi34

33

Ibid, hal. 43 34

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, ( Jakarta: Kencana Prenada, Media Group, 2009 ), hal 41

(32)

3. Bahan hukum tersier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti Kamus Besar Bahasa Indonesia, kamus Inggris - Indonesia, kamus hukum, ensiklopedia, karya ilmiah para sarjana, majalah, surat kabar, internet, dan Iain-lain.

3. Metode Pengumpulan Data

Adapun metode pengumpulan data yang dipakai dalam penulisan skripsi ini adalah dengan cara penelitian kepustakaan (library research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yaitu penelitian terhadap literatur – literatur untuk memperoleh bahan teoritis ilmiah yang digunakan sebagai dasar analisis terhadap substansi pembahasan dalam penulisan skripsi ini.

4. Analisis Data

Analisis data adalah proses menafsirkan atau memaknai suatu data. Analisis data sebagai tindak lanjut proses pengolahan data merupakan perkerjaan seorang peneliti yang memerlukan ketelitian, dan pencurahan daya piker secara optimal, dan secara nyata kemampuan metodologis peneliti diuji.35

35

Bambang Sunggono, Ibid, Hal 7.

(33)

G. Sistematika Penulisan

Agar terdapat suatu alur pemikiran yang tertip dan teratur secara sistematis maka penulisan skripsi ini disusun dalam suatu kerangka yang terdiri atas tiga bab dengan masing-masing bab memiliki sub bab, sebagai berikut :

BAB I: PENDAHULUAN

Bab ini merupakan bab awal yang akan mendukung untuk memasuki bab-bab selanjutnya. Dimana bab ini akan memuat dan menguraikan hal-hal yang berkenaan dengan latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat masalah penulisan, keaslian penulisan, tinjauan pustaka, metode penulisan dan sistematika penulisan.

BAB II: PENGATURAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PELANGGARAN LALU LINTAS

Bab ini akan membahas tentang defenisi tindak pidana dan unsur – unsur tindak pidana, asas – asas dan tujuan lalu lintas dan jalan raya, peranan UU No 22 Tahun 2009 dalam Perlindungan Penumpang Akibat lalainya mengemudi dan syarat - syarat pengemudi berdasarkan undang – undang No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

BAB III: FAKTOR-FAKTOR KELALAIAN PENGEMUDI

PENYEBAB TERJADINYA KECELAKAAN LALU LINTAS YANG BISA DIPIDANA

(34)

ugal-ugalan, serta belum terampil mengemudikan kendaraan maupun dari luar diri sipengemudi seperti faktor alam, jalan, kendaraan, pejalan kaki,dan penumpang.

BAB IV: BENTUK PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PADA

KASUS KELALAIAN PENGEMUDI YANG MENIMBULKAN KECELAKAAN LALU LINTAS( STUDI HUKUM PUTUSAN NO. 854/PiD.B/2012/PN.Mdn)

Bab ini akan membahas dan menguraikan tentang pertanggungjawaban terhadap kasus kelalaian mengemudi perkara kecelakaan lalu lintas mulai dari penjatuhan pidana dan pertanggungjawaban pidana kelalaian dalam perkara kecelakaan lalu lintas

BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN

(35)

BAB II

PENGATURAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PELANGGARAN LALU LINTAS

A. DEFENISI TINDAK PIDANA DAN UNSUR – UNSUR TINDAK PIDANA

1.a. Pengertian Tindak Pidana

Istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu “strafbaar feit”. Strafbaar feit, terdiri dari 3 kata, yakni

straf, baar, dan feit. Adami Chazawi telah menginventarisir sejumlah istilah-istilah yang pernah digunakan baik dalam perandang-undangan yang ada maupun dalam berbagai literatur hukum sebagai terjemahan dari istilah strafbaar feit, yaitu sebagai berikut:36

1 Tindak pidana, dapat dikatakan berupa istilah resmi dalam per-undang-undangan pidana kita. Dalam beberapa peraturan perundang-per-undang-undangan menggunakan istilah tindak pidana, seperti UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. UU No. 20 Tahun 2001, dan perundang-undangan lainnya.

2 Peristiwa pidana, digunakan oleh beberapa ahli hukum, misalnya: R. Tresna dalam bukunya "Azas-azas Hukum Pidana H.J van Schravendijk dalam buku Pelajaran tentang Hukum Pidana Indonesia, A. Zainal Abidin, dalam bukunya "Hukum Pidana". Pembentuk UU juga pernah menggunakan

36

(36)

istilah peristiwa pidana, yaitu dalam UUD'S 1950 [baca Pasal 14 ayat (1)].

3 Delik, yang sebenarnya berasal dari bahasa latin "delictum" juga digunakan untuk menggambarkan tentang apa yang dimaksud dengan

strafbaar feit. Istilah ini dapat dijumpai dalam berbagai literatur, misalnya E. Utrecht, walaupun juga beliau menggunakan istilah lain yakni peristiwa pidana (dalam buku Hukum Pidana I). A. Zainal Abidin dalam buku beliau "Hukum Pidana I". Moeljatno pernah juga menggunakan istilah ini seperti pada judul buku "Delik-Delik Percobaan Delik-Delik Penyertaan", walaupun menurutnya lebih tepat dipergunakan istilah perbuatan pidana. 4 Pelanggaran pidana, dapat dijumpai dalam buku M.H. Tirtaamidjaja yang

berjudul Pokok-pokok Hukum Pidana.

5 Perbuatan yang boleh dihukum, istilah ini digunakan oleh M. Karni dalam buku beliau "Ringkasan tentang Hukum Pidana Begitu juga Schravendijk dalam bukunya "Buku Pelajaran Tentang Hukum Pidana Indonesia".

6 Perbuatan yang dapat dihukum, digunakan oleh Pembentuk Undang-undang di dalam UU No. 12/Drt/1951 tentang Senjata Api dan Bahan Peledak (Pasal 3).

7 Perbuatan pidana, digunakan oleh Moeljatno dalam: berbagai tulisan beliau, misalnya dalam buku Azas-azas Hukurn Pidana.

(37)

diterjemahkan dengan dapat dan boleh, sedangkan untuk kata feit diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan.37

Para ahli hukum mengemukakan istilah yang berbeda-beda dalam upayanya memberikan arti dari strafbaar feit. Berikut ini dikemukakan beberapa pengertian dari tindak pidana (strafbaar feit), menurut para ahli yang dapat digolongkan menganut pandangan (aliran) dualisme:

38

1. Menurut W.P.J. Pompe, suatu strafbaar feit (definisi menurut hukum positif) itu sebenarnya adalah tidak lain dari pada suatu “tindakan yang menurut suatu rumusan Undang-Undang telah dinyatakan yang dapat dihukum”.39 Pompe mangatakan, bahwa “strafbaar feit” itu secara teoretis dpat dirumuskan sebagai “suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum”.40

2. Menurut Prof. Van Hamel, telah merumuskan “strafbaar feit” itu sebagai “suatu serangan atau anacaman terhadap hak-hak orang lain”.41 3. H.B. Vos, Strafbaar feit adalah suatu kelakuan manuasia yang diancam

pidana oleh Undang-Undang.42

37

Adami Chazawi, Ibid , hal 69. 38

Mohammad Ekaputra, Dasar-Dasar Hukum Pidana, ( Medan: USU-Press, 2010 ), hlm. 73. 39

Op.Cit. hlm. 81. 40

P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, ( Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,, 1997 ), hlm. 182.

41

Ibid., hlm. 182. 42

(38)

4. Menurut R. Tresna, Peristiwa Pidana itu adalah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia, yang bertentangan dengan Undang-Undang atau peraturan-peraturan lainnya, terhadap perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman.43 Tidak ada persamaan pendapat di kalangan para ahli tentang syarat – syarat yang menjadikan perbuatan manusia itu sebbagai peristiwa pidana, oleh karena itu sebagai peristiwa pidana, oleh karena itu R. Tresna menyatakan, dapat diambil sebagai patokan bahwa peristiwa pidana itu harus memenuhi syarat – syarat sebagai berikut:44

a. Harus ada suatu perbuatan manusia.

b. Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang dilukiskan di dalam ketentuan hukum

c. Harus terbukti adanya “dosa” pada orang yang berbuat, yaitu orangnya harus dapat dipertanggungjawabkan.

d. Peruatan itu harus berlawanan dengan hukum.

e. Terhadap perbuatan itu harus tersedia ancaman hukumannya dalam undang – undang.

Jika diatas diterangkan tentang pandangan dualisme yang memisahkan antara unsur yang mengenai perbuatan dengan unsur yang melekat pada diri orangnya tentang tindak pidana. Ada pandangan lain yakni pandangan monisme

yang tidak memisahkan antara unsur – unsur mengenai perbuatan dengan unsur – unsur mengenai diri orangnya. Beberapa pendapat para ahli yang berpandangan

43

R. Tresna, Azas – azas Hukum Pidana, (Jakarta: Tiara Limited, 1959 ), Hal, 27 44

(39)

monisme berdasarkan dari rumusan yang mereka buat tentang tindak pidana seperti berikut:45

1. J.E.Jonkers dalam Bambang Poernomo, telah memberikan defenisi

strafbaar feit menjadi dua pengertian:

46

a. Defenisi pendek memberikan pengertian strafbaar feit adalah suatu kejadian ( Feit ) yang dapat diancam pidana oleh undang – undang. b. Defenisi panjang pengertian strafbaar feit adalah suatu kelakuan

yang melawan hukum ( wederrechttelijk ) berhubung dilakukan dengan sengaja atau alpa oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan. Menurut Jonkers,47

45

Adami Chazawi, Ibid, Hal 75 46

Bambang Poernimo, Op, Cit Hal 91 47

Jonkers, Buku Pedoman Hukum Pidana Hindia Belanda, ( Jakarta: Bina Aksara, 1987 ), Hal 136

(40)

2. Wirjono Prodjodikoro, menyatakan bahwa tindak pidana itu adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana. 3. H.J.Van Schravendijk, merumuskan perbuatan yang boleh di hukum

adalah kelakuan orang yang begitu bertentangan dengan keinsyafan hukum sehingga kelakuan itu diancam dengan hukuman, asal dilakukan oleh seseorang yang karena itu dapat dipersalahkan.

4. Simons dalam P.A.F. Lamintang merumuskan strafbaar feit adalah suatu tindakan melanggar hukum yang dengan sengaja telah dilakukan oeh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya, yang dinyatakan sebagai dapat dihukum. Alasan dari simons apa sebabnya “ Strafbaar Feit” itu harus dirumuskan seperti di atas adalah karena:

a. Untuk adanya suatu strafbaar feit itu disyaratkan bahwa di situ harus terdapat suatu tindakan yang dilarang ataupun yang diwajibkan oleh Undang – undang, dimana pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban semacam itu telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum

(41)

c. Setiap Strafbaar feit sebagai pelanggaran terhadap larangan merupakan suatu tindakan melawan hukum atau merupakan suatu

onrechmatige handeling.48

5. Menurut Jan Remmelink,49

6. J. Baumann dalam sudarto merumuskan, bahwa tindak pidana merupakan perbuatan yang memenuhi rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dilakukan dengan kesalahan.

bahwa sekilas tampak bahwa membatasi pengertian “bahaya” ini tidak perlu, karena makna istilah bahaya kiranya dapat dirasakan oleh setiap orang secara alamiah. Namun seorang juris tidak dapat menghindari keharusan untuk mencari batasan yang lebih tegas. Di sini istilah bahaya dimengerti sebagai kemungkinan nyata timbulnya kerusakan terhadap benda hukum atau kepentingan hukum ( rechtsgoederen ) yang dilindungi oleh hukum.

50

1.b. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Pengertian unsur – unsur tindak pidana hendaklah dibedakan dari pengertian unsur – unsur tindak pidana sebagaimana tersebut di dalam rumusan undang – undang ( rumusan pasal ). Pengertian unsur – unsur tindak pidana lebih luas daripada pengertian unsur – unsur tindak pidana sebagaimana tersebut dalam rumusan undang – undang, yang dala bahasa Belanda disebut element van de wettelijke delictsome schrijving.51

48

P.A.F. Lamintang, Op.Cit, Hal 176 49

Jan Remmelink, Hukum Pidana, ( Jakarta: Gramedia Pustaka Utama ,2003 ), Hal 64 - 65 50

Sudarto, Op. Cit, Hal 42 51

(42)

Menurut doktrin, unsur-unsur delik terdiri atas unsur subjektif dan unsur objektif, yakni :

a. Unsur Subjektif

Unsur subjektif adalah unsur yang berasal dari dalam diri pelaku. Asas hukum pidana menyatakan “tidak ada hukum kalau tidak ada kesalahan” (An act does not make a person guilty unless the mind is guilty or actus notfacit reum nisi

mens sit rea). Kesalahan disini yang dimaksud adalah kesalahan yang diakibatkan oleh kesengajaan (intention/opset/dolus) dan kealpaan (negligence or schuld).

Pada umumnya para pakar telah menyetujui bahwa “kesengajaan” terdiri atas 3 bentuk, yakni:

1) Kesengajaan sebagai maksud (oogmerk)

2) Kesengajaan dengan keinsafan pasti (opzet als zekerheidsbewustzijn) 3) Kesengajaan dengan keinsafan akan kemungkinan (dolus evantualis)

b. Unsur Objektif

Unsur objektif merupakan unsur dari luar pelaku yang terdiri atas : a) Perbuatan manusia, berupa:

1. Act, yakni berupa aktif atau perubahan positif

2. Omission, yakni perubahan pasif atas perubuatan negatif, yaitu perbuatan yang mendiamkan atau membiarkan.

b) Akibat (result) perbuatan manusia

(43)

c) Keadaan-keadaan (circumstances)

Pada umumnya, keadaan tersebut dibedakan antara lain: 1. Keadaan pada saat perbuatan dilakukan

2. Keadaan setelah perbuatan dilakukan d) Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum

Sifat dapat dihukum berkenaan dengan alasan - alasan yang membebaskan si pelaku dari hukuman. Adapun sikap melawan hukum adalah apabila perbuatan itu bertentangan dengan hukum, yakni berkenan dengan larangan atau perintah.

Bambang Poernomo menyebutkan beberapa ahli yang membagi unsur – unsur tindak pidana secara mendasar, sebagai berikut:52

1. Menurut Van Apeldoorn, bahwa elemen delik itu terdiri dari elemen objektif yang berupa adanya suatu kelalukan ( perbuatan ) yang bertentangan dengan hukum ( onrechtmatig / wederrechtelijk ) dan elemen subjektif yang berupa adanya seseorang pembuat ( dader ) mampu bertanggungjawab atau dapat dipersalahkan ( toerekeningsvatbaarheid ) terhadap kelakuan yang bertentangan dengan hukum itu.

2. Van Bemmelen menyatakan bahwa elemen – elemen dari Strafbaar feit

dapat dibedakan menjadi:

a. Elementen voor de strafbaarheid van het feit, yang terletak dalam

objektif karena pada dasarnya menyangkut tata kelakuan yang melanggar hukum

52

(44)

b. Mengenai elementen woor strafbaarheid van dedader, yang terletak dalam subjektif karena pada dasarnya menyangkut keadaan / sikap batin orang yang melanggar hukum, yang kesemuanya itu merupakan elemen yang diperlukan untuk menentukan dijatuhkannya pidana sebagaimana diancamkan.

Di bawah ini unsur – unsur tindak pidana yang dimaksudkan kedalam “aliran monistis”:53

1. Menurut Simons, unsur-unsur tindak pidana (strafbaar feit) adalah :

a. Perbuatan manusia (positif atau negative, berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan).

b. Diancam dengan pidana (statbaar gesteld)

c. Melawan hukum (onrechtmatig)

d. Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband staand)

e. Oleh orang yang mampu bertanggung jawab (toerekeningsvatoaar person).

Simons juga menyebutkan adanya unsur obyektif dan unsur subyektif dari tindak pidana (strafbaar feit).

Unsur Obyektif : 1. Perbuatan orang

2. Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu.

3. Mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan itu seperti dalam Pasal 281 KUHP sifat “openbaar” atau “dimuka umum”.

53

(45)

Unsur Subyektif :

a. Orang yang mampu bertanggung jawab

b. Adanya kesalahan (dollus atau culpa). Perbuatan harus dilakukan dengan kesalahan. Kesalahan ini dapat berhubungan dengan akibat dari perbuatan atau dengan keadaan mana perbuatan itu dilakukan. 2. Van Hamel memberikan defenisi Strafbaar Feit adalah: eem wettelijk

omschreven menschelijke gedraging, onrechmatig, strafwaardig en aan schuld te wijten.”

Jadi unsur – unsurnya adalah:

a. Perbuatan manusia yang dirumuskan dalam undang – undang. b. Melawan hukum.

c. Dilakukan dengan kesalahan. d. Patut dipidana

3. E. Mezger, menurutnya unsur – unsur tindak pidana ialah:

a. Perbuatan dalam arti yang luas dari manusiai ( aktif atau membiarkan ). b. Sifat melawan hukum ( baik bersifat objektif maupun yang subjektif ). c. Dapat dipertanggungjawabkan kepada seseorang.

d. Diancam dengan pidana.

(46)

5. Wirjono Prodjodikoro beliau mengemukakan definisi pendek, yakni tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan pidana. Selanjutnya beberapa ahli yang dimasukkan sebagai golongan yang mempunyai pandangan dualistis tentang syarat – syarat pemidanaan adalah:54

1. H.B.Vos Strafbaar Feit berunsurkan: a. Kelakukan manusia.

b. Diancam pidana dalam undang – undang.

3. W.P.J. Pompe berpendapat bahwa “ menurut hukum positif strafbaar feit

adalah tidak laian daripada feit, yang diancam pidana dalam ketentuan undang – undang”. ( Volgens ons positieve recht is het strafbare feit niets anders date en feit, dat in oen wettelijke strafbepaling als strafbaar in

omschreven ). Memang beliau mengatakan, bahwa menurut teori,

strafbaar feit itu adalah perbuatan, yang bersifat melawan hukum,

dilakukan dengan kesalahan dan diancam pidana.

4. Sementara menurut Moeljatno unsur-unsur perbuatan pidana : a. Perbuatan (manusia)

b. Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (syarat formil) c. Bersifat melawan hukum (syarat materiil)

Syarat formil itu harus ada, karena adanya azas legalitas yang tersimpul dalam Pasal 1 KUHP. Syarat materiil itu harus pula ada, Karena perbuatan itu harus pula betul - betul dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tak boleh atau tak patut dilakukan karena bertentangan dengan atau menghambat akan

54

(47)

tercapainya tata dalam pergaulan masyarakat yang dicita – citakan dan kemampuan bertanggung jawab dari sipembuat tidak masuk sebagai unsur perbuatan pidana, karena hal – hal tersebut melekat pada orang yang berbuat.

4. Batasan tindak pidana menurut Tresna bahwa :55

Unsur-unsur tindak pidana menurut Tresna sebagai berikut :

“Suatu perbuatan disebut sebagai tindak pidana bilamana perbuatan itu sesuai dengan apa yang dilukiskan dalam undang-undang yang bersangkuatan, sedangkan segi materiilnya, perbuatan tersebut haruslah betul-betul dirasakan oleh masyarakat sebagai suatu perbuatan yang tidak patut dilakukan.”

Berdasarkan uraian diatas bahwa suatu tindak pidana, selain perbuatan tersebut dilarang dan diancam oleh undang-undang juga perbuatan tersebut menurut perasaan masyarakat sangatlah tidak patut dan tercela yang tidak perlu dilakukan karena jika dilakukan dapat dikenakan sanksi pidana.

Untuk mengetahui bahwa suatu perbuatan dapat dipidana atau tidak dapat dilihat apakah unsur-unsurnya sudah terpenuhi atau tidak, berdasarkan batasan yang dikemukakan Tresna, bahwa seseorang dapat dikatakan melakukan tindak pidana apabila memenuhi unsur-unsur.

56

a. Harus ada perbuatan manusia;

b. Perbuatan itu haruslah sesuai dengan apa yang dilukiskan dalam ketentuan hukum, maksudnya adalah bahwa kalau seseorang itu dituduh atau disangka melakukan suatu tindak pidana, unsur-unsur dalam pasal yang dilanggar haruslah terpenuhi semuanya, kalau salah satu dari unsurnya tidak terpenuhi

55

Tresna, Ibid, hlm 60.

56

(48)

maka perbuatan tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai tindak pidana dalam pasal tersebut;

c. Harus terbukti adanya dosa pada orang yang berbuat, yaitu orangnya harus dapat mempertanggungjawabkan, bahwa untuk dapat menjatuhkan pidana terhadap seseorang tidak cukup dilakukannya suatu tindak pidana akan tetapi haruslah pula adanya kesalahan atau sikap batin yang dapat dicela. Dalam hal ini dikenal asas tiada pidana tanpa kesalahan atau geen straf zonder schuld atau unless the mind is quality;

d. Perbuatan itu haruslah bertentangan dengan hukum;

e. Terhadap perbuatan hukum itu haruslah tersedia ancaman hukumnya di dalam undang-undang.

Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa seseorang melakukan tindak pidana adanya suatu perbuatan yang melanggar hukum dengan membuktikan seseorang dapat dipidana atau tidak dengan cara menganalisis bukti-bukti yang ada jika dinyatakan bersalah maka orang tersebut harus menanggung sanksi ancaman pidananya.

Unsur-unsur tindak pidana diatas barulah dikatakan sebagai peristiwa pidana apabila memenuhi syarat-syarat seperti yang dinyatakan oleh R. Abdoel Djamali sebagai berikut :57

a. Harus ada suatu perbuatan, yaitu suatu kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok orang;

57

(49)

b. Perbuatan harus sesuai sebagaimana yang dirumuskan dalam undang-undang, pelakunya telah melakukan suatu kesalahan dan harus dapat mempertanggung jawabkan kesalahannya;

c. Harus ada kesalahan yang dapat dipertanggung jawabkan, perbuatan itu memang harus dapat dibuktikan sebagai suatu perbuatan yang melanggar suatu ketentuan hukum;

d. Harus berlawanan dengan hukum, artinya suatu perbuatan yang berlawanan dengan hukum dimaksud kalau tindak pidananya nyata-nyata bertentangan dengan hukum;

e. Harus adanya ancaman hukuman dengan kata lain ketentuan hukum yang dilanggar itu mencantumkan sanksinya

Batasan-batasan diatas telah dikatakan bahwa tidak adanya persamaan pendapat tentang syarat-syarat yang menjadi suatu perbuatan manusia sebagai delik atau tindak pidana, karena dimata hukum semuanya sama maka yang melanggar hukum harus dikenakan sanksi pidana.

B. ASAS – ASAS DAN TUJUAN LALU LINTAS DAN JALAN RAYA Dalam Pasal 2 dan 3 Undang – undang No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dijelaskan mengenai asas – asas dan tujuan lalu lintas dan jalan raya dengan memperhatikan:

1. Pasal 2 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 menyatakan Lalu lintas dan Angkutan Jalan diselenggarakan dengan memperhatikan :58

58

(50)

a. Asas Transparan

Yang dimaksud asas transparan adalah keterbukaan dalam penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan kepada masyarakat luas dalam memperoleh informasi yang benar, jelas, dan jujur sehingga masyarakat mempunyai kesempatan berpartisipasi bagi pengembangan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

b. Asas Akuntabel

Yang dimaksud dengan asas akuntabel adalah penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang dapat dipertanggungjawabkan.

c. Asas Berkelanjutan

Yang dimaksud dengan asas berkelanjutan adalah penjaminan kualitas fungsi lingkungan melalui pengaturan persyaratan teknis laik kendaraan dan rencana umum pembangunan serta pengembangan Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

d. Asas Partisipatif

Adapun yang dimaksud dengan asas partisipatif adalah pengaturan peran serta masyarakat dalam proses penyusunan kebijakan, pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan, penanganan kecelakaan, dan pelaporan atas peristiwa yang terkait dengan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

e. Asas Bermanfaat

(51)

f. Asas Efesien dan Efektif

Yang dimaksud dengan asas efesien dan efektif adalah pelayanan dalam penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang dilakukan oleh setiap pembina pada jenjang pemerintahan secara berdaya guna dan berhasil guna.

g. Asas Seimbang

yang dimaksud dengan asas seimbang adalah penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang harus dilaksanakan atas dasar keseimbangan antara sarana dan prasarana serta pemenuhan hak dan kewajiban Pengguna Jasa dan penyelenggara.

h. Asas Terpadu

Yang dimaksud dengan asas terpadu adalah penyelenggaraan pelayanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang dilakukan dengan mengutamakan keserasian dan kesaling bergantungan kewenangan dan tanggung jawab antar instansi pembina.

i. Asas Mandiri

Yang dimaksud dengan asas mandiri adalah upaya penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan melalui pengembangan dan pemberdayaan sumber daya nasional.

2. Pasal 3 Undang – undang No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adapun diselenggarakan Tujuan lalu lintas dan jalan raya adalah:

(52)

mendorong perekonomian nasional, memajukan kesejahteraan umum, memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa, serta mampu menjunjung tinggi martabat bangsa;

b. terwujudnya etika berlalu lintas dan budaya bangsa; dan

c. terwujudnya penegakan hukum dan kepastian hukum bagi masyarakat. Asas – asas dan tujuan diatas merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari penegakan hukum terhadap Undang – undang No 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Apabila asas – asas tersebut dijalankan dengan maksimal maka tujuan dari undang – undang ini akan terlaksana dengan baik.

C. Peranan Undang – undang No 22 Tahun 2009 dalam Perlindungan Penumpang Akibat Lalainya Pengemudi.

Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mempunyai peran strategis dalam mendukung pembangunan dan integrasi nasional sebagai bagian dari upaya memajukan kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebagai bagian dari sistem transportasi nasional, Lalu Lintas dan Angkutan Jalan harus dikembangkan potensi dan perannya untuk mewujudkan keamanan, kesejahteraan, ketertiban berlalu lintas dan Angkutan Jalan dalam rangka mendukung pembangunan ekonomi dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, otonomi daerah, serta akuntabilitas penyelenggaraan negara.

(53)

baik itu pengusaha angkutan, pekerja ( sopir / pengemudi ) serta penumpang. Pengemudi dalam menjalankan tugasnya mempunyai tanggung jawab untuk dapat melaksanakan kewajibannya yaitu mengangkut penumpang sampai pada tempat tujuan yang telah disepakati dengan selamat, artinya dalam proses pemindahan tersebut dari suatu tempat ke tempat tujuan dapat berlangsung tanpa hambatan dan penumpang dalam keadaan sehat, tidak mengalami bahaya, luka, sakit maupun meninggal dunia.59

59

Ridha Rahmatan Hafis, Skripsi, Kajian Hukum Terhadap Kelalaian Pengemudi yang Mengakibatkan Korban Jiwa Dalam Lalu Lintas dan Jalan Raya,( Medan: Fakultas Hukum USU ) , Hal 24

Pada Undang – undang No 22 tahun 2009 terdapat pengaturan – pengaturan yang bertujuan untuk mencegah terjadinya kecelakaan maupun hal – hal lain yang dapat mengakibatkan kerugian bagi penumpang, hal itu diatur dalam Pasal 77 ayat 1 Undang – undang No. 22 Tahun 2009 yaitu ”Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan wajib memiliki Surat Izin Mengemudi sesuai dengan jenis Kendaraan Bermotor yang dikemudikan”.

(54)

D. Syarat – syarat Pengemudi Berdasarkan Undang – Undang No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Pada Pasal 1 ayat (23) Undang – undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mengatakan Pengemudi adalah orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang telah memiliki Surat Izin Mengemudi. Dalam Pasal 77 ayat (1) Undang-undang No. 22 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mengatur bahwa setiap orang mengemudikan Kendaraan Bermotor di jalan wajib memiliki surat Izin Mengemudi ( SIM ) sesuai dengan jenis kendaraan yang dikemudikan. Surat Izin Mengemudi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas 2 (dua) jenis :

a. Surat Izin Mengemudi Kendaraan Bermotor perorangan; dan b. Surat Izin Mengemudi Kendaraan Bermotor Umum.

Untuk mendapatkan Surat Izin Mengemudi (SIM), calon Pengemudi harus memiliki kompetensi mengemudi yang dapat diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan atau belajar sendiri. Untuk mendapatkan Surat Izin Mengemudi Kendaraan Bermotor Umum, calon Pengemudi wajib mengikut i pendidikan dan pelatihan Pengemudi angkutan umum. Pendidikan dan pelatihan Pengemudi angkutan umum hanya diikuti oleh orang yang telah memiliki Surat Izin Mengemudi untuk Kendaraan Bermotor perseorangan.60

60

Pasal 77 ayat, 3,4,5 Undang – undang No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

(55)

usia, administratif, kesehatan, dan lulus ujian. Adapun persyaratannya sebagai berikut:61

a. Syarat usia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan paling rendah sebagai berikut:

1. Usia 17 (tujuh belas) tahun untuk Surat Izin Mengemudi A, Surat Izin Mengemudi C, dan Surat Izin Mengemudi D;

2. Usia 20 (dua puluh) tahun untuk Surat Izin Mengemudi B I; dan 3. Usia 21 (dua puluh satu) tahun untuk Surat Izin Mengemudi B II. b. Syarat administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

1. Identitas diri berupa Kartu Tanda Penduduk; 2. Pengisian formulir permohonan; dan

3. Rumusan sidik jari.

c. Syarat kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: 1. Sehat jasmani dengan surat keterangan dari dokter; dan 2. Sehat rohani dengan surat lulus tes psikologis.

d. Syarat lulus ujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: 1. Ujian teori;

2. Ujian praktik; dan/atau

3. Ujian keterampilan melalui simulator.

Surat izin mengemudi berbentuk kartu elektronik atau bentuk lain, berlaku 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang. Surat Izin mengemudi ini berlaku diseluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam hal terdapat perjanjian

61

(56)

bilateral atau multilateral antar Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Negara lain, Surat Izin mengemudi yang diterbitkan di Indonesia dapat berlaku pula di Negara lain dan Surat Izin mengemudi yang diterbitkan oleh Negara lain juga dapat berlaku di Indonesia. Pemegang Surat Izin Mengemudi Internasional yang diterbitkan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia.62

Adapun Surat Izin Mengemudi ini berfungsi sebagai kompetensi mengemudi dan registrasi Pengemudi Kendaraan Bermotor yang memuat keterangan identitas lengkap pengemudi. Data pada pengemudi dapat digunakan untuk penyelidikan, penyidikan, dan idenfikasi keperluan forensik kepolisian.

Setiap orang yang mengajukan permohonan untuk dapat memiliki Surat

Gambar

Tabel kasus kecelakaan di Dit Lantas Polda Sumut ( 2010 – 2012 )

Referensi

Dokumen terkait

Proses produksi karya kreatif Serial Video Profile “Tanda Hati dari Jogja” Cokelat nDalem menghasilkan tiga seri karya video dengan masing- masing berdurasi

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), laju impor Indonesia dalam tiga bulan terkahir selalu lebih tinggi dibandingkan ekspor. Jika ekspor Indonesia pada bulan Mei 2012

Pada hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hasil pemeriksaan kadar glukosa darah pada pasien-pasien tersebut banyak yang mengalami peningkatan atau melebihi batas normal,

Angket dalam penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui pola berpikir positif siswa pada matematika dan motivasi belajar siswa pada matematika, yaitu apakah siswa berpikir positif

Fungsi tujuan dari model penentuan rute kendaraan dalam pendistribusian koran pada penelitian ini adalah meminimumkan total jarak tempuh dari rute perjalanan

Kelelahan Kerja Perawat di Rumah Sakit Islam PDHI Yogyakarta” dan perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah peneliti sebelumnya menggunakan

kayu dan baja. Bahan yang dipelajari adalah sistem struktur bttttress dan "anti- butress", konstruksi kayu/ kayu lapis majemuk, beton. Tingkat kedalaman pada

Puji syukur Alhamdulilah atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan segala rahmat, hidayah dan karunianya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum