• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS TINDAK PIDANA PERUSAKAN HUTAN DI KABUPATEN GOWA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "ANALISIS TINDAK PIDANA PERUSAKAN HUTAN DI KABUPATEN GOWA"

Copied!
94
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS TINDAK PIDANA PERUSAKAN HUTAN DI KABUPATEN GOWA (STUDI PN. SUNGGUMINASA

NO.219/Pid.B/LH/2019/PN.Sgm)

A. MUH. FACHRI AL AHYA 4516060078

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H) Pada Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum

Universitas Bosowa

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS BOSOWA

TAHUN 2020

(2)
(3)
(4)
(5)

KATA PENGANTAR

Puji Syukur Kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan kepada kita nikmat kesehatan dan kesempatan terlebih nikmat Iman dan nikmat Islam. Salam dan Shalawat kepada Nabi Muhammad SAW, Keluarga, Sahabat, Tabi’tabiin yang telah mendakwahkan Islam hingga sampai kepada kita dan tetap eksis hingga saat ini.

Penulisan skripsi ini dengan judul “Analisis Tindak Pidana Perusakan Hutan Di Kabupaten Gowa (Studi PN. Sungguminasa No.219/Pid.B/LH/

2019/PN.Sgm)” merupakan tugas akhir dan salah satu persyaratan akademik pada jenjang studi Strata Satu (S1) pada Program Studi Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Bosowa.

Penghargaan yang setinggi-tingginya dan ucapan terima kasih yang tak terhingga penulis ucapkan kepada Ayahanda H. A. Kamaruddin.S.Pd.,M.Si yang telah menjadi panutan terbaik untuk anak-anaknya, dan yang tercinta Ibunda Hj.

Salma Ekawati. S.Pd.,M.Pd yang telah membesarkan penulis dengan penuh kasih sayang, perhatian dan terlebih Do’a yang tak henti-hentinya di panjatkan, penulis percaya bahwa segala kemudahan dan kesuksesan yang penulis capai tidak lepas dari do’a Beliau. Ucapan terima kasih penulis kepada Kakanda Andi. Muh. Qadri Alfisyahrin. S.Pd.,M.Pd. dan Andi. Muh. Fadli Abdillah. S.Pd yang senantiasa memberikan dukungan dan motivasi kepada penulis. Dan kepada adinda tersayang Andi Azzahra Iffadillah.

(6)

Penulis menyadari bahwa tidak mudah menyelesaikan skripsi ini tanpa bantuan dan bimbingan serta dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu melalui kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih kepada yang terhormat:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. H. Saleh Pallu, M.Eng selaku Rektor Universitas Bosowa Makassar serta jajaran Wakil Rektor Universitas Bosowa Makassar.

2. Bapak Dr. Ruslan Renggong, S.H.,M.H selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Bosowa Makassar, juga selaku Pimbimbing I yang Memberikan bimbingan dan waktunya selama penelitian skripsi ini. Dan Wakil Dekan I dan Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Bosowa Makassar.

3. Bapak Dr. Almusawir, S.H.,M.H selaku Ketua Program Studi Fakultas Hukum Universitas Bosowa Makassar.

4. Bapak Dr. Baso Madiong, S.H., M.H selaku Pembimbing II yang telah memberikan arahan dan waktunya selama penelitian skripsi ini.

5. Ibu Suryana Hamid, S.H., M.H selaku Penasehat Akademik yang telah memberikan bimbingan selama perkuliahan.

6. Bapak dan Ibu Dosen serta staf Fakultas Hukum Universitas Bosowa yang telah memberikan ilmu dan bantuan kepada penulis selama menuntut ilmu di kampus ini.

(7)

7. Pengadilan Negeri Sungguminasa, dalam hal ini Bapak Amiruddin, S.H., M.H selaku Hakim Pengadilan Negeri Sungguminasa yang telah membantu penulis selama penelitian di Pengadilan Negeri Sungguminasa.

8. Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Jeneberang I, dalam hal ini Ibu Diyah, yang telah membantu penulis selama penelitian di KPH Jeneberang I.

9. Teman-teman Gerakan Mahasiswa Peduli yang senantiasa memberikan semangat dan dukungan kepada penulis dalam penulisan skripsi.

10. Teman-teman Angkatan 2016 Fakultas Hukum Universitas Bosowa atas kebersamaan dan dukungannya.

11. Teman-teman KKN-T Angkatan 47 Fakultas Hukum Universitas Bosowa di Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas II A Sungguminasa atas kerja keras dan kebersamaannya.

12. Semua pihak yang telah banyak membantu dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini, terima kasih penulis ucapkan.

Dengan kerendahan hati, penulis menyadari bahwa masih sangat banyak kekurangan-kekurangan dalam penulisan skripsi ini yang perlu disempurnakan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritikan dan masukan yang membangun guna perbaikan skripsi ini. Semoga karya tulis ini dapat bermanfaat kepada para

(8)

pembaca dan apa yang telah kita lakukan bernilai ibadah disisi Allah SWT. Akhir kata dari penulis, Barakallahu Fiik. Wassalamualaikum WR.WB

Makassar, Maret 2020 Penulis

A. Muh. Fachri Al Ahya

(9)

ABSTRAK

A. MUH. FACHRI AL AHYA, NIM: 4516060078, Analisis Tindak Pidana Perusakan Hutan Di Kabupaten Gowa (Studi PN. Sungguminasa No.219/Pid.B/LH/2019/PN.Sgm) di bawah bimbingan (Ruslan Renggong selaku Pembimbing I dan Baso Madiong selaku Pembimbing II).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dua hal: pertama, untuk mengetahui penerapan hukum pidana materill terhadap pelaku tindak pidana perusakan hutan dalam putusan No.219/Pid.B/LH/2019/PN.Sgm dan yang kedua, untuk mengetahui pidana yang dijatuhkan oleh majelis hakim dalam Putusan No.219/Pid.B/LH/2019/PN.Sgm telah mendukung usaha perlindungan dan pelestarian hutan.

Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan dengan memilih instansi yang terkait dengan masalah dalam skripsi ini yaitu Pengadilan Negeri Sungguminasa dan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Jeneberang I.

Hasil penelitian diperoleh melalui penelitian lapangan dan kepustakaan yang digolongkan dalam dua jenis data yaitu data primer dan data sekunder. Termasuk data yang diambil secara langsung dari Pengadilan Negeri Sungguminasa dan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Jeneberang I. selain itu, juga dilakukan wawancara dengan hakim yang memutus perkara tersebut. Disamping itu penelitian kepustakaan juga dilakukan oleh penulis dengan mengkaji dan mencari referensi, perundang-undangan, artikel dan sumber-sumber lain yang berhubungan dengan objek penelitian yang kemudian dikaji dengan menggunakan tekhnik kualitatif dan disajikan secara deskriptif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan hukum pidana Materill dalam putusan hakim pada perkara No.219/Pid.B/LH/2019/PN.Sgm telah sesuai dengan perundang-undangan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, yaitu menebang pohon di dalam hutan tanpa memiliki izin dari pejabat yang berwenang. Hakim telah mendukung usaha perlindungan dan pelestarian hutan dengan menjatuhkan pidana kepada para terdakwa dengan mempertimbangkan fakta-fakta persidangan serta dengan mengkaji nilai-nilai yang hidup didalam masyarakat. Yang akan menjadi pembelajaran kepada para terdakwa dan masyarakat pada umumnya.

Kata Kunci: Tindak Pidana, Perusakan Hutan, Kabupaten Gowa.

(10)

ABSTRACT

A. MUH FACHRI AL AHYA, NIM: 4516060078, Analysis of Criminal Acts in Forest Destruction in Gowa Regency (Study of PN. Sungguminasa No.219/Pid.B/LH/2019/PN.Sgm) under the guidance of (Ruslan Renggong as Advisor I and Baso Madiong as Advisor II).

This study aims to find out two things: first, to find out the application of criminal law material against the perpetrators of forest destruction criminal acts in the ruling No.219/Pid.B/LH/2019/PN.Sgm and secondly, to find out the criminal sentences by the assembly the judge in Decision No.219/Pid.B/LH/2019/PN.Sgm has supported efforts to protect and preserve forests.

This research was conducted in Gowa Regency, South Sulawesi by selecting agencies related to the problem in this thesis, namely the Sungguminasa District Court and the Jeneberang Forest Management Unit (KPH) Jeneberang I.

The results were obtained through field research and literature which were classified in two types of data, namely primary data and secondary data. Including data taken directly from the Sungguminasa District Court and the Jeneberang I Forest Management Unit (KPH). In addition, interviews were also conducted with the judge who decided the case. Besides that, library research is also conducted by the writer by studying and looking for references, legislation, articles and other sources related to the research object which are then reviewed using qualitative techniques and presented descriptively.

The results showed that the application of Materill criminal law in the judge's decision in case No.219/Pid.B/LH/2019/PN.Sgm was in accordance with the legislation regulated in Law Number 8 of 2013 concerning Prevention and Eradication of Forest Destruction that is, cutting down trees in the forest without having permission from the authorized official. Judges have supported efforts to protect and preserve forests by convicting defendants by considering the facts of the trial and by examining the values that live in the community. Which will be a learning process for the defendants and the community in general.

Keywords: Crime, Forest Destruction, Gowa Regency.

(11)

DAFTAR ISI

LEMBAR JUDUL……….……... i

LEMBAR PENGESAHAN………. ii

KATA PENGANTAR………. iii

ABSTRAK……… iv

DAFTAR ISI……….… v

DAFTAR TABEL……… vi

BAB I PENDAHULUAN……..……….………...………... 1

A. Latar Belakang Masalah………. 1

B. Rumusan Masalah………... 5

C. Tujuan Penelitian……… 6

D. Kegunaan Penelitian………... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA……….……..………..………. 7

A. Tindak Pidana………. 7

1. Pengertian Tindak Pidana……….. 7

2. Unsur-unsur Tindak Pidana……….. 10

3. Jenis-jenis Tindak Pidana………. 14

B. Pidana dan Pemidanaan.………... 19

1. Pengertian Pidana………. 19

2. Jenis-Jenis Pidana……….… 23

3. Teori Pemidanaan……….… 33

C. Tinjauan Tentang Kehutanan……….... 36

1. Pengertian Hutan dan Kehutanan………. 36

(12)

2. Fungsi Hutan……….…… 38

3. Pemanfaatan Hutan………... 40

4. Pengertian Perusakan Hutan………. 43

5. Tindak Pidana Perusakan Hutan………... 44

BAB III METODE PENELITIAN…………..………. 50

A. Lokasi Penelitian………... 50

B. Tipe Penelitian……….. 50

C. Jenis dan Sumber Data.………. 50

D. Populasi dan Sampel………. 51

E. Teknik Pengumpulan Data……… 51

F. Analisis Data………. 52

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN…...……… 53

A. Gambaran Umum Hutan di Kabupaten Gowa……….. 53

B. Penerapan Hukum Pidana Materill Dalam Perkara Tindak Pidana Kehutanan Putusan No.219/Pid.B/LH/2019/PN.Sgm………...…… 57

1. Posisi Kasus……….. 57

2. Dakwaan Penuntut Umum……… 58

3. Tuntutan Penuntut Umum……….… 63

4. Amar Putusan……… 63

C. Upaya Hakim Dalam Mendukung Usaha Perlindungan dan Pelestarian Hutan………. 64

D. Analisis Penulis……….… 69

(13)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN……...……….….. 77

A. Kesimpulan……….….. 77

B. Saran……….….… 78

DAFTAR PUSTAKA………...……... 79

(14)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Tabel Halaman

1.1 Kebakaran Hutan di Kabupaten Gowa Tahun 2019 55 1.2 Penebangan Pohon di Kabupaten Gowa Tahun 2018-2019 55

(15)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hutan sebagai karunia dan amanat Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada Bangsa Indonesia, merupakan kekayaan yang dikuasai oleh Negara, memberikan manfaat serbaguna bagi umat manusia, karenanya wajib disyukuri, diurus, dan dimanfaatkan secara optimal, serta dijaga kelestariannya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, bagi generasi sekarang maupun generasi mendatang.1

Hutan Indonesia merupakan salah satu pusat keanekaragaman hayati di dunia, hutan sebagai habitat hewan dan tumbuhan mempunyai peranan penting sebagai penampung karbon dioksida, di mana hutan Indonesia merupakan hutan terluas ketiga setelah Brazil dan Kongo yang di sebut sebagai megadiversity country2. Indonesia merupakan Negara dengan hutan hujan tropis menjadikan hutan Indonesia tumbuh subur dan lebat yang di huni berbagai macam flora dan fauna yang tersebar di ribuan gugusan pulau, kelestarian hutan sebagai paru-paru dunia dapat mencegah pemanasan global (global warming).

Sejalan dengan yang di amanatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 33 ayat (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk

1 Konsideran butir a UUK No.41 Tahun 1999

2 Wartiningsih, Pidana Kehutanan,(Malang : Setara Press,2014) hlm. 3

(16)

sebesar-besar kamakmuran rakyat. Oleh karena itu telah menjadi tugas dan tanggung jawab kita bersama untuk menjaga kelestarian hutan. Dalam mencegah pemberantasan dan perusakan hutan, di perlukan regulasi untuk menjamin kepastian hukum, di antaranya telah dibentuk Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan yang selanjutnya di singkat (UUK).

Karena merusak hutan jelas berimplikasi pada masalah lingkungan hidup.

Masalah lingkungan hidup yang bisa terjadi sebagai akibat kerusakan hutan antara lain: perubahan iklim, pemanasan suhu bumi secara global, banjir, erosi tanah, rusaknya spesies biologis, kelangkaan air bersih, polusi udara, kekeringan, tercemarnya air, kebakaran hutan dan sebagainya.3 Dari sekian banyak kegunaan dengan adanya hutan sudah seharusnya membuat kita melindungi dan menjaganya, oleh karena itu eksploitasi dan pengelolaan hutan baik hutan lindung maupun hutan produksi harus dilakukan dan dikelola dengan baik tanpa menimbulkan kerusakan lingkungan hutan.

Oleh karena itu tidak mengherankan apabila upaya pelestarian dan perlindungan hutan merupakan hal yang perlu demi menjaga keselarasan, keseimbangan serta keharmonisan alam serta dengan memperhatikan kehidupan berkelanjutan pada masa yang akan datang. Institusi yang membidangi sektor kehutanan dalam melakukan pengelolaan dan pemanfaatan hutan harus dapat menjaga keseimbangan yang melekat pada tiga fungsipokok hutan.4

3 Joni, Model Penegakan Hukum Pembalakan Liar Menuju Kelestarian Lingkungan Hidup, Cetakan Pertama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2018) hlm. 63

4 Suriansyah Murhaini, Hukum Kehutanan Penegakan Hukum Terhadap Kejahatan Dibidang Kehutanan, (Jakarta: Laksbang Grafika, 2012) hlm.11

(17)

Penebangan liar yang telah mencapai jantung-jantung kawasan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi menunjukkan betapa meningkat dan parahnya situasi penebangan liar. Penebangan liar adalah penyebab utama penggundulan hutan di Indonesia. Tak hanya kerusakan ekosistem hutan yang menopang kehidupan masyarakat, juga menyebabkan kerugian negara dalam jumlah besar.

Salah satu permasalahan yang sangat krusial di bidang lingkungan hidup, khususnya kehutanan adalah permasalahan penebangan liar serta akibatnya terhadap kekayaan negara. Oleh karena itu di perlukan seperangkat hukum yang mengatur pemanfaatan dan pengelolaan hutan agar tetap lestari. Dengan adanya hukum yang mengatur dan melindungi hutan maka, diharapkan dapat meminimalisir terjadinya kerusakan hutan yang berimplikasi luas terhadap lingkungan hidup yang selaras. Landasan hukum yang dibentuk akan sangat baik dengan di tunjangnya aspek pidana yang dapat membatasi dan mengatur penjatuhan sanksi bagi siapa saja yang dapat melakukan perusakan dan pencemaran hutan.

Selain telah dibentuk UU Kehutanan, juga telah dibentuk Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Yang di harapkan mampu menangani pemberantasan secara efektif terhadap perusakan hutan yang terorganisasi. Didalam konsideran pembentukannya, butir b, bahwa pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan harus dilaksanakan secara tepat dan berkelanjutan dengan mempertimbangkan fungsi ekologis, sosial, dan ekonomis serta untuk menjaga keberlanjutan bagi kehidupan sekarang dan kehidupan generasi yang akan datang. Butir c, bahwa

(18)

telah terjadi perusakan hutan yang disebabkan oleh pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, butir d, bahwa perusakan hutan, terutama berupa pembalakan liar, penebangan tanpa izin, dan perkebunan tanpa izin telah menimbulkan kerugian Negara, kerusakan kehidupan sosial budaya dan lingkungan hidup, serta meningkatkan pemanasan global yang telah menjadi isu nasional, regional, dan internasional.

Pemanfaatan hutan merupakan salah satu penentu keberhasilan dalam mengelola hutan secara berkelanjutan. Sebab pemanfaatan hutan yang keliru dan salah dampaknya terhadap pengelolaan hutan sangat berpengaruh secara signifikan. Dalam kenyataanya sering pemanfaatan hutan oleh sebagian kalangan melakukan sesuatu yang berkaitan dengan kebijakan pemanfaatan, misalnya pembukaan hutan untuk kegiatan penanaman coklat (kakao) yang luasnya lebih kurang satu hektar. Padahal dengan adanya pemanfaatan hutan perlu dengan izin pejabat yang berwenang.5

Sejalan dengan kenyataan yang dihadapi saat ini adalah semakin maraknya perusakan hutan/pembalakan liar, baik hutan lindung maupun hutan produksi yang di lakukan hampir di semua kawasan hutan Indonesia, yang tentunya mengakibatkan kerugian terhadap kekayaan Negara, warga negara bahkan terhadap penduduk dunia. Hal ini disebabkan karena rendahnya pengetahuan masyarakat terhadap fungsi hutan dan kurangnya sosialisasi peraturan perundang-

5 Supriadi, Hukum Kehutanan dan Hukum Perkebunan di Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2010) hlm. 125-126

(19)

undangan tentang kehutanan kepada masyarakat, terlebih lagi dipengaruhi oleh faktor internal masyarakat itu sendiri yang tidak peduli akan kelestarian lingkungan yang hanya berfokus pada keuntungan sesaat.

Kawasan hutan adalah sumber daya alam terbuka, di mana masyarakat bebas mengakses keluar masuk hutan, hal inilah yang menjadi salah satu faktor penyebab maraknya perusakan hutan, baik yang di lakukan dengan sengaja maupun dengan kelalaian, terlebih lagi di daerah pinggiran kawasan hutan yang bersinggungan langsung dengan pemukiman warga, banyak ditemukan kasus penebangan liar dengan alasan ekonomi. Regulasi yang dibentuk hanya seakan pejangan semata bagi beberapa oknum tertentu atau pelaku perusakan hutan, kelangsungan kelestarian lingkungan hidup tidak dipertimbangkan lagi, seiring dengan perkembangan teknologi dan informasi juga membuat modus dan operandi pelaku perusakan hutan semakin canggih untuk mengelabui pihak-pihak terkait.

Berdasarkan latar belakang masalah di atas dan kasus yang terjadi di kawasan hutan Kabupaten Gowa maka penulis terdorong untuk mengangkat masalah penebangan kayu dengan judul: Analisis Tindak Pidana Perusakan Hutan di Kabupaten Gowa (Studi PN. Sungguminasa No.219/Pid.B/LH/2019/PN.Sgm).

B. Rumusan Masalah

Untuk tidak menyimpang dari judul yang telah di tetapkan, maka penulis memfokuskan pada dua rumusan masalah sebagai berikut:

(20)

1. Bagaimanakah penerapan hukum pidana materill terhadap pelaku tindak pidana perusakan hutan dalam putusan No.219/Pid.B/LH/2019/PN. Sgm?

2. Apakah pidana yang dijatuhkan oleh majelis hakim dalam Putusan No.219/Pid.B/LH/2019/PN.Sgm telah mendukung usaha perlindungan dan pelestarian hutan?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan di lakukannya penelitian ini sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui penerapan hukum pidana materill terhadap pelaku tindak pidana perusakan hutan dalam putusan No.219/Pid.B/LH/2019/PN.

Sgm.

2. Untuk mengetahui pidana yang dijatuhkan oleh majelis hakim dalam Putusan No.219/Pid.B/LH/2019/PN.Sgm telah mendukung usaha perlindungan dan pelestarian hutan.

D. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan yang hendak dicapai dengan dilaksanakannya penelitian ini, adalah sebagai berikut:

1. Secara Teoritis. Memberikan informasi dan memperluas wawasan ilmu pengetahuan untuk pengembangan ilmu hukum pidana.

2. Secara Praktis. Diharapkan hasil penelitian ini akan menambah kepustakaan ilmu pengetahuan dan sebagai pertimbangan ilmiah bagi peneliti lain dengan topik yang sama di masa yang akan datang.

(21)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tindak Pidana

1. Pengertian Tindak Pidana

Hukum pidana Belanda memakai istilah strafbaar feit, kadang-kadang juga yang berasal dari bahasa latin delictum. Hukum pidana Negara-negara Anglo-Saxon memakai istilah offense atau criminal act untuk maksud yang sama.

Oleh karena itu KUHP Indonesia bersumber pada WvS Belanda, maka istilah aslinya pun sama yaitu strafbaar feit.6

Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari “strafbaar fait”, di dalam kitab Undang-undang Hukum Pidana tidak terdapat penjelasan mengenai apa sebenarnya yang dimaksud dengan strafbaar feit itu sendiri. Biasanya tindak pidana disinonimkan dengan delik, yang berasal dari bahasa Latin yakni kata delictum.7

Pemahaman mengenai pengertian tindak pidana ini penting, bukan saja untuk kepentingan akademis, tetapi juga dalam rangka pembangunan kesadaran hukum masyarakat. Bagaimana mungkin masyarakat dapat berbuat sesuai dengan yang diharapkan oleh hukum (pidana), apabila pedoman bertingkah laku tersebut tidak dipahami atau dimengerti sama sekali. Oleh karena itu, yang penting bukan

6 Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta : Rineka Cipta: 2014) hlm. 94

7 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, (Jakarta : Rajawali Pers, 2016) hlm. 47

(22)

hanya apa yang masyarakat ketahui mengenai tindak pidana, akan tetapi juga apa yang seharusnya mereka ketahui.8

Istilah tindak pidana sebagai terjemahan strafbaar feit adalah diperkenalkan oleh pihak pemerintah cq Departemen Kehakiman. Istilah ini banyak dipergunakan dalam Undang-undang tindak pidana khusus, misalnya:

Undang-undang Tindak Pidana Korupsi, Undang-undang Tindak Pidana Narkotika, dan Undang-undang mengenai Pornografi yang mengatur secara khusus Tindak Pidana Pornografi.9

Keragaman pendapat di antara para sarjana hukum mengenai definisi strafbaar feit telah melahirkan beberapa rumusan atau terjemahan mengenai strafbaar feit itu sendiri, di antaranya apa yang dikemukakan oleh Utrech, yang menyalin istilah strafbaar feit menjadi peristiwa pidana. Rupanya Utrecht menerjemahkan istilah feit secara harfiah menjadi peristiwa. Moeljatno menolak istilah peristiwa pidana karena katanya peristiwa itu adalah pengertian yang konkret yang hanya menunjuk pada suatu kejadian yang tertentu saja, misalnya matinya orang. Hukum pidana tidak melarang orang mati, tetapi melarang adanya orang mati karena perbuatan orang lain.10

A.Z. Abidin mengusulkan pemakaian istilah “perbuatan kriminal”, karena ”perbuatan pidana” yang dipakai oleh moeljatno itu juga kurang tepat, karena dua kata benda bersambungan yaitu “perbuatan” dan “pidana”, sedangkan tidak ada hubungan logis antara keduanya. Jadi, meskipun ia tidak sama istilahnya dengan moeljatno, tetapi keduanya rupanya dipengaruhi oleh istilah yang dipakai

8 Ariman.H.M.R. dan Raghib.F., Hukum Pidana, (Malang : Setara Press, 2016) hlm. 58

9 Op.cit, Teguh Prasetyo, hlm. 49

10 Op.cit, Andi Hamzah, hlm. 94

(23)

di Jerman, yaitu “tat” (perbuatan) atau “handlung” dan tidak dengan maksud untuk menerjemahkan kata “feit” dalam bahasa Belanda itu.11

Muljatno, menerjemahkan istilah strafbaar feit dengan perbuatan pidana. Menurut pendapat beliau istilah “perbuatan pidana” menunjuk kepada makna adanya suatu kalakuan manusia yang menimbulkan akibat tertentu yang dilarang hukum dimana pelakunya dapat dikenakan sanksi pidana. Selain itu, kata

“perbuatan” lebih menunjuk pada arti sikap yang diperlihatkan seseorang yang bersifat aktif (yaitu melakukan sesuatu yang sebenarnya dilarang hukum), tetapi dapat juga bersifat pasif (yaitu tidak berbuat sesuatu yang sebenarnya diharuskan oleh hukum).12

Memperhatikan definisi di atas, maka ada beberapa syarat untuk menentukan perbuatan itu sebagai tindak pidana, syarat tersebut adalah sebagai berikut:13

a. Harus ada perbuatan manusia;

b. Perbuatan manusia itu bertentangan dengan hukum;

c. Perbuatan itu dilarang oleh Undang-undang dan diancam dengan pidana;

d. Perbuatan itu dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan; dan e. Perbuatan itu harus dapat dipertanggungjawabkan kepada si pembuat.

Secara filosofis, normatif dan fungsional, tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana harus dipisahkan.Secara filosofis, tindak pidana mewakili kepentingan masyarakat.Di sisi lain, pertanggung jawaban pidana

11 Op.cit, Andi Hamzah, hlm. 95

12 Op.cit, Teguh Prasetyo, hlm. 48

13 Op.Cit, Ariman.H.M.R. dan Raghib.F., hlm. 60

(24)

menekankan kepada kepentingan pembuat tindak pidana sebagai dasar etik penjatuhan pidana atas pembuat. Secara normatif, tindak pidana berisi larangan tentang dilakukannya perbuatan tertentu.Sementara itu, pertanggung jawaban pidana menunjuk kepada dicelanya pembuat atas tindak pidana yang dilakukan.

Dan secara fungsional, tindak pidana merupakan norma yang ditujukan kepada masyarakat umum (rules of conduct). Sedangkan pertanggung jawaban pidana merupakan norma yang ditujukan kepada hakim untuk menentukan keadaan- keadaan tertentu yang menjadi dasar dipidananya pembuat tindak pidana (principle of adjudication).14

Berdasarkan uraian diatas, penulis menyimpulkan bahwa tindak pidana adalah suatu perbuatan aktif maupun pasif yang dilarang dan diancam hukuman (pidana) oleh Undang-undang yang harus dipertanggungjawabkan oleh pelakunya.

2. Unsur-unsur Tindak Pidana

Ada dua golongan penulis, yang pertama merumuskan delik itu sebagai suatu kesatuan yang bulat, seperti Simons, yang merumuskan bahwa strafbaar feit ialah kelakuan yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum yang berhubungan dengan kesalahan dan dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab. Jonkers dan Utrecht memandang rumusan Simons merupakan rumusan yang lengkap, yang meliputi:15

a. Diancam dengan pidana oleh hukum;

b. Bertentangan dengan hukum;

14 Muhammad Ainul Syamsu, Penjatuhan Pidana Dan Dua Prinsip Dasar Hukum Pidana, (Jakarta : Kencana, 2016) hlm. 19-21

15 Andi Hamzah, Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2017) hlm. 88-89

(25)

c. Dilakukan oleh orang yang bersalah;

d. Orang itu dipandang bertanggung jawab atas perbuatannya.

Unsur-unsur strafbaar feit menurut Van Hamel meliputi perbuatan;

perbuatan itu ditentukan oleh hukum pidana tertulis (asas legalitas) yang mungkin dapat disejajarkan dengan tatbestand dalam hukum pidana Jerman; melawan hukum; bernilai atau patut dipidana yang mungkin sejajar dengan subsocialiteit atau het subsociale ajaran M.P.Vrij, atau barangkali sesuai dengan ajaran sifat melawan hukum yang materieel yang akan diuraikan berikut: kesengajaan, kealpaan/kelalaian dan kemampuan bertanggungjawab.16

Unsur-unsur kesalahan, kemampuan bertanggungjawab dan sifat melawan hukum menurut Van Bemmelen dianggap terbukti adanya, terkecuali pihak terdakwa membuktikan sebaliknya. Uraian Van Bemmelen tersebut menyangkut unsur-unsur yang tidak tercantum dalam uraian delik, yang oleh Hazewingkel-Suringa disebut kenmerk (ciri).

Ahli hukum yang langsung melakukan pembagian secara terinci, misalnya D. Hazewingkel-Suringa, sebagaimana yang dikutip oleh Bambang Poernomo, mengemukakan unsur-unsur tindak pidana yang lebih terinci, yaitu:17

a. Tiap delik berkenaan dengan tingkah laku manusia (menselijke gedraging), berupa berbuat atau tidak berbuat (een doen of nalaten). Hukum pidana kita adalah hukum pidana perbuatan (daadstrafrecht). Cogitationis poenam nemo patitur (tidak seorang pun dapat dipidana hanya atas apa yang dipikirkan).

16 Andi Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana 1, (Jakarta : Sinar Grafika, 2014) hlm. 225

17 Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis Di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2016) hlm. 67-68

(26)

b. Beberapa delik mengharuskan adanya akibat tertentu. Ini teradapat pada delik material.

c. Pada banyak delik dirumuskan keadaan psikis, seperti maksud (oogmerk), sengaja (opzet), dan kealpaan (onachzaamheid atau culpa).

d. Sebagian besar delik mengharuskan adanya keadaan-keadaan objektif (objectieve omstandingheden), misalnya penghasutan (Pasal 160) dan pengemisan (Pasal 504 ayat 1) hanya dapat dipidana jika dilakukan di depan umum (in het openbaar).

e. Beberapa delik meliputi apa yang dinamakan syarat tambahan untuk dapat dipidana. Misalnya dalam Pasal 123: “jika pecah perang”; Pasal 164 dan 165: “jika kejahatan itu jadi dilakukan”; Pasal 345: “kalau orang itu jadi bunuh diri”; Pasal 531: “jika kemudian orang itu meninggal:.

f. Juga dapat dipandang sebagai suatu kelompok unsur tertulis yang khusus yakni apa yang dirumuskan sebagai melawan hukum (wederrechtelijk), tanpa wewenang (zonder daartoe gerechtigd te zijn), dengan melampaui wewenang (overschrijving der bevoegheid).

g. Umumnya waktu dan tempat tidak merupakan unsur tertulis. Hanya dalam hal-hal khusus pembentuk undang-undang mencantumkannya dalam rumusan delik, misalnya dalam pasal 122: dalam waktu perang (tijd van oorlog).

(27)

H. B. Vos, sebagaimana yang dikutip oleh Bambang Poernomo, mengemukakan bahwa dalam suatu tindak pidana dimungkinkan ada beberapa unsur (elemen), yaitu:18

a. Elemen perbuatan atau kelakuan orang, dalam hal berbuat atau tidak berbuat (een doen of nalaten);

b. Elemen akibat dari perbuatan, yang terjadi dalam delict selesai. Elemen akibat ini dapat dianggap telah nyata pada suatu perbuatan. Rumusan undang-undang kadang-kadang elemen tidak dipentingkan di dalam delict formil, akan tetapi kadang-kadang elemen akibat dinyatakan dengan tegas yang terpisah dari perbuatannya seperti di dalam delict materiel;

c. Elemen subjektif yaitu kesalahan, yang diwujudkan dengan kata-kata sengaja (opzet) atau alpa (culpa);

d. Elemen melawan hukum (wederrechtelijkheid);

e. Dan sederetan elemen-elemen lain menurut rumusan undang-undang, dan dibedakan menjadi segi objektif misalnya di dalam Pasal 160 diperlukan elemen di muka umum (in het openbaar) dan segi subjektif misalnya Pasal 340 diperlukan unsur direncanakan lebih dahulu (voorbedachteraad).

Adapun unsur-unsur tindak pidana menurut aliran monistis dan dualistis adalah:19

a. Aliran monistis:

1. Suatu perbuatan;

2. Melawan hukum;

18 Ibid, hlm. 68-69

19 Op.cit, Teguh Prasetyo, hlm. 218

(28)

3. Diancam dengan sanksi;

4. Dilakukan dengan kesalahan;

5. Oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan.

b. Aliran dualistis:

1. Suatu perbuatan;

2. Melawan hukum (dilarang);

3. Diancam dengan sanksi pidana.

Unsur-unsur tindak pidana dalam Pasal-pasal KUHP, adalah:20 a. Unsur objektif:

1. Suatu perbuatan;

2. Suatu akibat;

3. Suatu keadaan;

4. (ketiganya dilarang dan diancam pidana).

b. Unsur subjektif:

1. Dapat dipertanggungjawabkan;

2. Kesalahan (dolus atau culpa).

3. Jenis-jenis Tindak Pidana

Dalam hukum pidana diadakan pembagian mengenai tindak pidana itu.

Pembagian itu ada yang memang dipergunakan KUHP dan adapula yang diadakan oleh doktrin.

a. Menurut sistem KUHP

20 Ibid, hlm. 218-219

(29)

KUHP menempatkan kejahatan di dalam Buku Kedua dan pelanggaran dalam Buku Ketiga, tetapi tidak ada penjelasan mengenai apa yang disebut kejahatan dan pelanggaran. Dicoba membedakan bahwa kejahatan merupakan rechtsdelict atau delik hukum dan pelanggaran merupakan wetsdelict atau delik undang-undang. Delik hukum adalah pelanggaran hukum yang dirasakan melanggar rasa keadilan, misalnya perbuatan seperti pembunuhan, melukai orang lain, mencuri, dan sebagainya.

Sedangkan delik undang-undang melanggar apa yang ditentukan oleh undang-undang, misalnya saja keharusan untuk mempunyai SIM bagi yang mengendarai kendaraan bermotor di jalan umum, atau mengenakan helm ketika mengendarai sepeda motor. Di sini tidak tersangkut sama sekali masalah keadilan.21

Pembagian tindak pidana dalam kejahatan dan pelanggaran itu mempunyai akibat-akibat hukum sebagai berikut:22

1. Dalam sanksi. Umumnya sanksi kejahatan lebih berat dari pelanggaran.

2. Dalam lembaga. “percobaan” (poging) yakni bila seseorang melakukan perbuatan yang merupakan permulaan dari pelaksanaan tindak pidana tetapi karena sesuatu hal tidak terlaksana. Dalam hal ini maka percobaan untuk melakukan kejahatan sadar yang dapat dipidana, percobaan untuk pelanggaran tidak dipidana.

3. Dalam lembaga. “membantu” (medeplichtigheid), yakni bila seorang dengan sengaja membantu orang lain untuk melakukan tindak pidana. Menurut Pasal

21 Ibid, hlm. 58

22 Op.cit, Ariman.H.M.R. dan Raqhib.F., hlm. 74

(30)

56 jo 60 hanya dalam kejahatan saja membantu itu dapat dipidana, tidak dalam pelanggaran.

4. Dalam gabungan tindak pidana (samenloop), maka sistem pemidanaanya berbeda. Dalam hal kejahatan pidana itu satu saja yaitu yang terberat, sebaliknya dalam hal pelanggaran, semua pidana itu dijatuhkan satu putusan.

5. Unsur “salah” (schuld). Pada umumnya dalam kejahatan, tiap-tiap kejahatan itu mensyaratkan unsur kesalahan itu, baik sengaja maupun kelalaian sebaliknya dalam pelanggaran umumnya tidak pernah ada penegasan.

6. Kemungkinan penebusan pidana (afkoop) hanya terbuka bagi pelanggaran.

Kriteria lain yang diajukan ialah bahwa kejahatan itu ialah delik-delik yang melanggar kepentingan hukum dan juga membahayakan secara konkret, sedangkan pelanggaran itu hanya membahayakan in abstracto saja.

Secara kuantitatif pembuat undang-undang membedakan delik kejahatan dan pelanggaran itu sebagai berikut.23

1. Pasal 5 KUHP hanya berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang merupakan kejahatan di Indonesia. Jika seorang Indonesia yang melakukan delik di luar negri yang digolongkan sebagai delik pelanggaran di Indonesia, maka dipandang tidak perlu dituntut.

2. Percobaan dan membantu melakukan delik pelanggaran tidak dipidana.

3. Pada pemidanaan terhadap anak di bawah umur tergantung pada apakah itu kejahatan atau pelanggaran.

b. Menurut Doktrin dan Praktik

23 Op.cit, Andi Hamzah, hlm. 98

(31)

Di samping pembagian KUHP dalam kejahatan dan pelanggaran itu, doktrin dan praktikpun mengenal pembagian tindak pidana secara lain:24

1. Tindak Pidana Disengaja dan Tidak Disengaja

Dalam tindak pidana disengaja, unsur kesengajaan (dolus/opzet) merupakan syarat yang harus dibuktikan. Misalnya Pasal 338 “Barang-siapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain dan seterusnya”. Sedangkan dalam tindak pidana tidak disengaja, tetapi hanya karena kelalaian atau kealpaan. Sebagai contoh dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 359 yang merumuskan “barang-siapa karena kealpaanya menyebabkan matinya orang dan seterusnya. Pembedaan antara tindak pidana disengaja dan tak disengaja ini penting karena sanksi dalam tindak pidana tidak disengaja itu biasanya lebih ringan.

2. Commissie Delicten-Ommissie Delicten dan Oneigenlijke Ommissie Delicten.

a. Commissie Delicten disebut juga Delicta Comissiones, artinya tindak pidana yang terdiri dari perbuatan manusia atau dengan perkataan lain:

pelanggaran atas sesuatu larangan.

b. Omissie Delicten, disebut juga Delicta Omossiones artinya tindak pidana yang terjadi justru oleh karena orang tidak berbuat, atau dengan perkataan lain pelanggaran ata suatu keharusan (gebod).

c. Uneigenlijke Omissie Delicten, disebut juga Delicta Commisstonis Per Omissionem Comissa, artinya tindak pidana yang pada umumnya terdiri

24 Op.cit, Ariman.H.M.R. dan Raqhib.F., hlm. 78-83

(32)

dari perbuatan manusia, tetapi mungkin pula dilaksanakan karena tidak berbuat.

3. Tindak Pidana Formil dan Tindak Pidana Materiil

Tindak pidana formil ialah tindak pidana yang terdiri dari perbuatan, sedangkan tindak pidana materiil terdiri dari suatu akibat. Pada tindak pidana formil undang-undang merumuskan perbuatan apa yang dilarang dan diancam pidana itu, sedangkan pada tindak pidana materiil Undang-undang tidak merumuskan perbuatan tersebut, tetapi akibat perbuatan itu.

4. Zelfstanding Delicten dan voortgezette Delicten

Zelfstanding Delicten (tindak pidana yang berdiri sendiri) ialah tindak pidana yang terdiri dari satu perbuatan tertentu, sedangkan Voorgezette Delicten (Terjemahan Tresna: tindak pidana berlanjut) terdiri dari beberapa perbuatan lanjutan.

5. Aflopende Delicten dan Voortdurende Delicten

Allopende Delicten, disebut juga Ogenblikelijke Delicten (Tresna: tak berkelanjutan) ialah tindak pidana yang selesai ketika dilakukan. Sedangkan Voortdurende Delicten (Tresna: berkelanjutan) ialah tindak pidana yang berupa melangsungkan atau membiarkan keadaan yang terlarang walaupun keadaan itu pada mulanya ditimbulkan oleh perbuatan.

6. Politieke Delicten dan Communne Delicten

Politikie Delicten (tindak pidana politik) ialah tindak pidana yang terdiri dari perbuatan yang melanggar keamanan Negara, artinya terletak dalam bidang politik. Sedangkan commune Delicten (tindak pidana biasa) ialah

(33)

tindak pidana yang dapat dilakukan setiap orang dan tidak ditujukan kepada Negara.

7. Tindak Pidana Aduan (klacht delicten)

Pada umumnya tindak pidana itu dapat dituntut oleh penuntut Umum/Kejaksaan tanpa menunggu pengaduan orang yang jadi korban, ini tergantung dengan sifat hukum pidana sebagai hukum publik. Tetapi dalam beberapa hal tertentu penuntutan itu kepada pengaduan si korban yang dirugikan. Tindak pidana yang seperti inilah yang disebut klacht delicten (tindak pidana aduan).

B. Pidana dan Pemidanaan 1. Pengertian Pidana

Istilah “hukuman” dan “dihukum” berasal dari kata bahasa Belanda yaitu “straf” dan “wordt gestraf” yang oleh Moeljatno merupakan istilah konvensional. Oleh karena itu beliau tidak setuju dengan istilah tersebut, dan menggunakan istilah inkonvensional yaitu “pidana” sebagai pengganti kata “straf”

dan “diancam pidana” untuk menggantikan kata “wordt gestraft”.25

Sarjana hukum Indonesia membedakan istilah hukuman dan pidana yang dalam bahasa Belanda hanya dikenal satu istilah untuk keduanya, yaitu straf.

Istilah hukuman adalah istilah umum untuk segala macam sanksi baik perdata, administratif, disiplin, dan pidana. Sedangkan istilah pidana diartikan sempit yang berkaitan dengan hukum pidana.26

25 Op.cit, Ariman.H.M.R. dan Raqhib.F., hlm. 285

26 Op.cit, Andi Hamzah, hlm. 26

(34)

Untuk memberikan gambaran yang cukup luas, berikut ini dikemukakan beberapa pendapat atau definisi dari para sarjana tentang pidana, yaitu sebagai berikut:

a. Sudarto, mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat;

b. Roeslan Saleh, mengartikan bahwa pidana adalah reaksi atas delik dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja di timpakan Negara kepada pembuat delik.

c. Dalam “Blak’s law doictionary” dinyatakan bahwa punishment adalah “any fine, penalty or confinement inflicted upon a person by authority of the law and the judgement and sentence of a court for some crime or offence commires by him, or for is omission of a duty enjoined by law.27

d. Mazger, hukum pidana adalah aturan hukum yang mengikatkan pada suatu perbuatan yang memenuhi syarat tertentu suatu akibat berupa pidana.

e. Lemaire, hukum pidana itu terdiri dari norma-norma yang berisi keharusan dan larangan yang oleh pembentuk undang-undang dikaitkan dengan sanksi berupa pemidanaan, yaitu suatu penderitaan khusus.

f. Pompe, hukum pidana merupakan keseluruhan peraturan yang bersifat umum yang isinya adalah larangan dan keharusan, terhadap pelanggarannya.

Negara atau masyarakat hukum mengancam dengan penderitaan khusus

27 Op.cit, Ariman.H.M.R. dan Raqhib.F., hlm. 286-287

(35)

berupa pemidanaan, penjatuhan pidana, peraturan itu juga mengatur ketentuan yang memberikan dasar penjatuhan dan penerapan pidana.28

Istilah hukum pidana bermakna jamak. Dalam arti objektif, yang juga sering disebut ius poenale meliputi:

a. Perintah dan larangan, yang atas pelanggaranya atau pengabaiannya telah ditetapkan sanksi terlebih dahulu oleh badan-badan Negara yang berwenang; peraturan-peraturan yang harus ditaati dan diindahkan oleh setiap orang;

b. Ketentuan-ketentuan yang menetapkan dengan cara apa atau alat apa dapat diadakan reaksi terhadap pelanggaran peraturan-peraturan itu; hukum penentiair atau hukum sanksi;

c. Kaidah-kaidah yang menentukan ruang lingkup berlakunya peraturan- peraturan itu pada waktu dan di wilayah Negara tertentu.29

Di samping itu, hukum pidana dipakai juga dalam arti subyektif yang lazim pula disebut ius puniendi, yaitu peraturan hukum yang menetapkan tentang penyidikan lanjutan, penuntutan, penjatuhan dan pelaksanaan pidana.

Definisi yang luas diberikan oleh moeljatno, yaitu hukum pidana adalah sebagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu Negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk:

a. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut;

28 Op.cit, Teguh Prasetyo, hlm. 22-23

29 Op.cit, Andi Zainal Abidin Farid, hlm. 1

(36)

b. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan;

c. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.30

Dalam definisi Moeljatno tersebut, huruf (a) berkenaan dengan perbuatan pidanan dan huruf (b) berkenaan dengan pertanggungjawaban pidana, yang keduanya merupakan bagian dari hukum pidana material, sedangkan huruf (c) berkenaan dengan hukum pidana formal atau hukum acara pidana.

Dari beberapa definisi di atas, dapat dikemukakan bahwa pidana mengandung unsur-unsur atau ciri-ciri sebagai berikut:

a. Pidana itu pada hakikatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan;

b. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang).

c. Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang.31

Barda Nawawi Arief, telah pula menunjukkan batas-batas kemampuan hukum pidana, khususnya dalam menanggulangi kejahatan, yaitu:32

a. Sebab-sebab kejahatan yang demikian kompleks berada di luar jangkauan hukum pidana;

30 Op.cit, Frans Maramis, hlm. 6-7

31 Op.cit, Ariman.H.M.R. dan Raqhib.F., hlm. 287-288

32 Ibid, hlm. 289-290

(37)

b. Hukum pidana merupakan bagian kecil (subsistem) dari sarana control sosial yang tidak mungkin mengatasi masalah kemanusiaan dan kemasyarakatan yang sangat kompleks (sebagai masalah sosio-psikologis, sosio-ekonomi, sosio-kultural dan sebagainya);

c. Pengunaan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan hanya merupakan “kurieren am symptom”, oleh karena itu hukum pidana hanya merupakan “pengobatan simptomatik” dan bukan pengobatan (kausatif);

d. Sanksi hukum pidana merupakan “remidium” yang mengandung sifat kontradiktif/pradoksal dan mengandung unsur-unsur serta efek samping yang negative;

e. Sistem pemidanaan yang bersifat pragmentair dan individual/personal, tidak bersifat structural/fungsional;

f. Keterbatasan jenis sanksi pidana dan sistem perumusan sanksi pidana yang bersifat kaku dan imperative;

g. Bekerjanya/berfungsinya hukum pidana memerlukan sarana pendukung yang lebih bervariasi dan lebih menuntut biaya tinggi.

2. Jenis-Jenis Pidana

Jenis pidana tercantum di dalam Pasal 10 KUHP. Jenis pidana ini berlaku juga bagi delik yang tercantum di luar KUHP, kecuali ketentuan undang- undang itu menyimpang (Pasal 103 KUHP). Jenis pidana dibedakan antara pidana

(38)

pokok dan pidana tambahan. Pidana tambahan hanya dijatuhkan jika pidana pokok dijatuhkan. Pidana itu ialah:33

a. Pidana pokok:

1. Pidana mati;

2. Pidana penjara;

3. Pidana kurungan;

4. Pidana denda;

5. Pidana tutupan (KUHP terjemahan BPHN, berdasarkan Undang-undang Nomor 20 Tahun 1946).

b. Pidana tambahan:

1. Pencabutan hak-hak tertentu;

2. Perampasan barang-barang tertentu;

3. Pengumuman putusan hakim.

Adapun penjelasan dari jenis-jenis pidana di atas adalah:

a. Pidana Pokok:

1) Pidana Mati

Hukum pidana tidak pernah melarang orang mati, akan tetapi akan melarang orang menimbulkan kematian, karena perbuatannya. Keberadaan pidana mati (death penalty) dalam hukum pidana (KUHP), merupakan sanksi yang paling tertinggi apabila dibandingkan dengan sanksi pidana lainnya. Dilihat dari rumusan-rumusan perbuatan di dalam KUHP, memperlihatkan bahwa ancaman pidana mati ditujukan atau dimaksudkan hanya terhadap perbuatan-perbuatan

33 Op.cit, Andi Hamzah, hlm. 178

(39)

yang sangat serius dan berat. Pidana mati (doodstraft) adalah pidana yang merampas satu kepentingan hukum, yakni jiwa atau nyawa manusia.34

Penentang yang paling keras pada pidana mati adalah C. Beccaria, ia menghendaki supaya di dalam penerapan pidana lebih memerhatikan perikemanusiaan.beliau meragukan apakah Negara mempunyai hak untuk menjatuhkan pidana mati, keraguannya ini didasarkan pada ajaran “kontrak sosial”.

Beberapa alasan dari mereka yang menentang hukuman mati antara lain adalah sebagai berikut:35

1. Sekali pidana mati dijatuhkan dan dilaksanakan, maka tidak ada jalan lagi untuk memperbaiki apabila ternyata di dalam keputusannya hukum tersebut mengandung kekeliruan.

2. Pidana mati itu bertentangan dengan perikemanusiaan.

3. Dengan menjatuhkan pidana mati akan tertutup usaha untuk memperbaiki terpidana.

4. Apabila pidana mati itu dipandang sebagai usaha untuk menakut-nakuti calon penjahat, maka pandangan tersebut adalah keliru karena pidana mati biasanya dilakukan tidak di depan umum.

5. Penjatuhan pidana mati biasanya mengandung belas kasihan masyarakat yang dengan demikian mengundang protes-protes pelaksanaannya.

6. Pada umumnya kepala negara lebih cenderung untuk mengubah pidana mati dengan pidana terbatas maupun pidana seumur hidup.

34 Ariman.H.M.R. dan Raqhib.F., hlm. 294-295

35 Op.cit, Teguh Prasetyo, hlm. 118-119

(40)

Adapun alasan-alasan bagi mereka yang cenderung untuk mempertahankan adanya hukuman atau pidana mati mereka mengemukakan pendapatnya sebagai berikut:36

1. Dipandang dari sudut yuridis dengan dihilangkannya pidana mati, maka hilanglah alat yang penting untuk penerapan yang lebih baik dari hukum pidana.

2. Mengenai kekeliruan hakim, itu memang dapat terjadi bagaimanapun baiknya undang-undang itu dirumuskan. Kekeliruan itu dapat diatasi dengan pertahapan dalam upaya-upaya hukum dan pelaksanaannya.

3. Mengenai perbaikan dari terpidana, sudah barang tentu dimaksudkan supaya yang bersangkutan kembali ke masyarakat dengan baik apakah jika dipidana seumur hidup yang dijatuhkan itu kembali lagi dalam kehidupan masyarakat.

2) Pidana Penjara

Pidana penjara adalah bentuk pidana yang berupa kehilangan kemerdekaan. Pidana penjara disebut pidana hilang kemerdekaan, bukan hanya dalam arti sempit bahwa ia tidak merdeka bepergian, tetapi juga narapidana itu kehilangan hak-hak tertentu seperti di bawah ini:37

a. Hak untuk memilih dan dipilih.

b. Begitu pula hak untuk memangku jabatan publik. Alasanya ialah agar publik bebas dari perlakuan manusia yang tidak baik.

36 Ibid.

37 Op.cit, Andi Hamzah, hlm. 187-189

(41)

c. Sering pula disyaratkan untuk bekerja pada perusahaan-perusahaan. Dalam hal ini, telah dipraktikkan pengenduran dalam batas-batas tertentu.

d. Hak untuk mendapat perizinan-perizinan tertentu. Misalnya saja izin usaha, izin praktik (seperti dokter, advokat, notaris dan lain-lain).

e. Hak untuk mengadakan asuransi hidup.

f. Hak untuk tetap dalam ikatan perkawinan. Pemenjaraan merupakan salah satu alasan untuk minta perceraian menurut hukum perdata.

g. Begitu pula hak kawin.

Sekarang ini jika terhadap seseorang dikenakan pidana penjara, maka ia akan ditempatkan dalam Lembaga Pemasyarakatan dan terhadapnya diterapkan sistem pemasyarakatan. Dengan demikian, jenis pidananya tetap bernama pidana penjara, tetapi pelaksanaan pidana penjara itu berdasarkan sistem pemasyarakatan.

Adapun beberapa sistem dalam pidana penjara, yaitu:38

1. Pensylvanian system: terpidana menurut sistem ini dimasukkan dalam sel- sel tersendiri, ia tidak boleh menerima tamu baik dari luar maupun sesama narapidana, ia tidak boleh bekerja di luar sel satu-satunya pekerjaan adalah membaca buku suci yang diberikan padanya. Karena pelaksanaanya dilakukan di sel-sel maka disebut juga cellulaire system.

2. Auburn system: pada waktu malam ia dimasukkan dalam sel secara sendiri- sendiri, pada waktu siangnya diwajibkan bekerja dengan narapidana lainnya, tetapi tidak boleh saling berbicara di antara mereka, bisa disebut dengan silent system.

38 Op.cit, Teguh Prasetyo, hlm. 120-121

(42)

3. Progressive system: cara pelaksanaan pidana menurut sistem ini adalah bertahap, biasa disebut dengan English/ire system.

3) Pidana Kurungan

Sifatnya sama saja dengan pidana penjara, yakni sama-sama bersifat merampas kemerdekaan orang. Secara yuridis pidana ini lebih ringan dari pidana penjara. (lihat Pasal 69 KUHP: Berat pidana pokok ditentukan oleh urutannya dalam Pasal 10).

Terhadap pidana kurungan ini yang dianggap oleh pembentuk undang- undang lebih ringan dari pidana penjara dan ini sekaligus merupakan perbedaan antara kedua pidana itu, ialah:39

1. Batas umum maksimum pidananya:

a. penjara: maks. 15 tahun, dapat dinaikkan 20 tahun.

b. kurungan: maks. 1 tahun, dapat dinaikkan 1 tahun 4 bulan.

2. Pidana penjara umumnya diancamkan untuk kejahatan dengan sengaja, sedangkan kurungan untuk kejahtan yang tidak di sengaja (culpose misdrijven) dan pelanggaran.

3. Pedana penjara dapat dilaksanakan di mana saja, kurungan hanya di tempat narapidana.

4. Jam kerja pidana penjara 9 jam sehari, pidana kurungan hanya 8 jam.

5. Satu hal yang tidak ada dalam pidana penjara ialah apa yang dimaksud dalam Pasal 23 KUHP: orang yang dijatuhi pidana kurungan boleh

39 Op.cit, Ariman.H.M.R. dan Raqhib.F., hlm. 300-301

(43)

memperbaiki nasibnya dengan biaya sendiri. Patut dicatat lembaga ini disebut lembaga “pistole”.

4) Pidana Denda

Pidana denda adalah hukuman berupa kewajiban seseorang untuk mengembalikan keseimbangan hukum atau menebus dosanya dengan pembayaran sejumlah uang tertentu. Minimum pidana denda adalah Rp.0,25 (dua puluh lima sen) x 15, meskipun tidak di tentukan secara umum melainkan dalam pasal-pasal tindak pidana yang bersangkutan dalam Buku I dan Buku II KUHP. Di luar KUHP biasanya ditentukan adakalanya dalam 1 atau 2 pasal bagian terakhir dari undang-undang tersebut, untuk norma-norma tindak pidana yang ditentukan dalam pasal yang mendahuluinya.

Jika terpidana tidak mampu membayar pidana denda yang dijatuhkan kepadanya, maka dapat diganti dengan pidana kurungan. Pidana ini kemudian disebut pidana kurungan pengganti, maksimal pidana kurungan pengganti adalah 6 bulan, dan boleh menjadi 8 bulan dalam hal terjadi pengulangan, perbarengan atau penerapan Pasal 52 atau Pasal 52a KUHP.40

5) Pidana Tutupan

Dasar hukum diformulasikannya pidana tutupan ini dalam KUHP terdapat di dalam Undang-Undang RI 1946 No. 20, Berita Republik Indonesia tahun II No. 24. Dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) dinyatakan bahwa: Dalam mengadili orang yang melakukan kejahatan yang diancam pidana penjara, karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati, Hakim boleh menjatuhkan pidana

40 Op.cit, Teguh Prasetyo, hlm. 123

(44)

tutupan. Pidana ini tidak boleh dijatuhkan bila perbuatan itu atau akibatnya sedemikian rupa, sehingga Hakim menimbang pidana penjara lebih pada tempatnya.

Tempat dan cara menjalankan pidana ini diatur tersendiri dalam PP 1948 No.8. dalam peraturan ini narapidana diperlakukan jauh lebih baik dari pada pidana penjara, antara lain: uang rokok, pakaian sendiri, dan sebagainya. Sayang sekali Rumah Tutupan itu hingga sekarang belum ada, sehingga praktis, pidana tutupan tidak dapat di jalankan, dan memang hanya baru satu kali Hakim menjatuhkannya.41

b. Pidana Tambahan

1) Pencabutan Hak-hak Tertentu

Pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu tidak berarti hak- hak terpidana dapat dicabut. Pencabutan tersebut tidak meliputi pencabutan hak- hak kehidupan dan juga hak-hak sipil (perdata) dan hak-hak ketatanegaraan.

Dahulu dikenal pidana terhadap kehormatan dan yang paling berat ialah pidana kematian perdata, yang dalam UUD 1950 dahulu tegas dilarang.

Menurut Vos, pencabutan hak-hak tertentu itu ialah suatu pidana di bidang kehormatan, berbeda dengan pidana hilang kemerdekaan, pencabutan hak- hak tertentu, dalam dua hal:

a) tidak bersifat otomatis, tetapi harus ditetapkan dengan putusan hakim;

41 Op.cit, Ariman.H.M.R. dan Raqhib.F., hlm. 302

(45)

b) tidak berlaku seumur hidup, tetapi menurut jangka waktu menurut undang- undang dengan suatu putusan hakim.42

Hak-hak yang dapat dicabut itu tercantum dalam Pasal 35 ayat (1) yaitu:

a) hak menjabat segala jabatan atau jabatan tertentu (pemberhentian dari jabatan, berdasarkan putusan Hakim itu dilakukan oleh atasan yang bersangkutan);

b) hak masuk Angkatan Bersenjata (A.B.);

c) hak pilih: aktif dan pasif;

d) hak jadi penasehat, wali, wali pengawas, kurator anaknya;

e) kuasa bapak, wali dan curatele atas anak (No.4 dan 5 ini tidak dapat dilakukan atas orang yang berlaku B.W., Pasal 35 ayat (2);

f) hak melakukan pekerjaan tertentu.

2) Perampasan Barang-barang Tertentu

Pidana perampasan merupakan pidana kekayaan, seperti halnya juga pidana denda.Diantara pidana tambahan, maka pidana tambahan berupa perampasan barang barang tertentu ini yang banyak dijatuhkan. Pasal 39 menentukan dalam hal apa pidana perampasan barang-barang tertentu ini dapat dijatuhkan.

Barang-barang yang diperoleh dari kejahatan disebut: “corpora delicti”, dan menurut keputusan M.A tanggal 13 November 1962 barang-barang yang dibeli dengan uang hasil kejahatan termasuk corpora delicti.43

3) Pengumuman Putusan Hakim

42 Op.cit, Andi Hamzah, hlm. 199-200

43 Ibid. Hlm. 303

(46)

Pengumuman putusan hakim yang dimaksud ialah publikasi ektra dari putusan Hakim itu.Hakim bebas menentukan di mana atau bagaimana publikasi itu harus dijalankan.Biayanya dibebankan kepada narapidana. Maksud pidana ini ialah disamping mencegah orang lain berbuat jahat, juga supaya masyarakat umum berhati-hati. Tidak tiap putusan dapat dipublikasikan ekstra itu, tetapi hanya yang tegas disebutkan dalam undang-undang.44

Jenis pidana dalam RUU KUHP baru menjadi lain, sesuai dengan perkembangan sistem pemidanaan, yang tersebut dalam Pasal 58, yaitu sebagai berikut.45

1. Pidana Pokok:

Ke-1 pidana penjara;

Ke-2 pidana tutupan;

Ke-3 pidana pengawasan;

Ke-4 pidana denda;

Ke-5 pidana kerja sosial (community service).

Urutan pidana pokok di atas menentukan berat ringannya pidana.Pidana mati diatur di dalam pasal berikutnya, Pasal 59 menagatakan pidana mati bersifat khusus.Pidana tambahan juga diatur di dalam pasal lain, yaitu Pasal 60, sebagai berikut.

2. Pidana Tambahan:

Ke-1 pencabutan hak-hak tertentu

Ke-2 perampasan barang-barang tertentu dan tagihan;

44 Ibid, hlm. 304-305

45 Op.cit, Andi Hamzah, hlm. 179

(47)

Ke-3 pengumuman putusan hakim;

Ke-4 pembayaran ganti kerugian;

Ke-5 pemenuhan kewajiban adat.

Pidana tambahan hanya dijatuhkan apabila tercantum secara tegas dalam perumusan tindak pidana.Pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat dan pencabutan hak yang diperoleh korporasi dapat dijatuhkan oleh hakim sesuai dengan kebutuhan walaupun tidak tercantum dalam perumusan tindak pidana. Pidana tambahan untuk percobaan dan pembantuan adalah sama dengan tindak pidananya.

Dalam yurisprudensi tentang hukuman, berdasarkan Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 11 Mei 1970 Nomor 59 K/Kr/1969, Mahkamah Agung berpendapat antara lain sebagai berikut. “Menambah jenis hukuman yang ditetapkan dalam Pasal 10 KUHP adalah tidak dibenarkan”.Dan juga Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 26 September 1970 Nomor 74/K/Kr/1969, Mahkamah Agung berpendapat sebagai berikut.“Pengadilan negeri sebagai hakim pidana tidak berwenang menjatuhkan putusan selain yang ditentukan dalam Pasal 10 KUHP”.46

3. Teori Pemidanaan

Teori-teori tentang dasar hukum dari pidana itu amat banyak. Namun demikian, teori-teori pidana ini dapat digolongkan ke dalam 3 golongan atau aliran, yaitu sebagai berikut:47

46 Laden Marpaung, Asas-Teeori-Praktik hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009) hlm. 113

47 Op.cit, Ariman.H.M.R. dan Raqhib.F., hlm. 53-56

(48)

a. Teori Absolut atau Pembalasan (vergending theorieen).

Teori ini dikenal sejak akhir abad ke-18 yang sebagian besar dianut oleh ahli-ahli filsafat Jerman. Pokoknya, yang dianggap sebagai dasar hukum dari pidana itu ialah pembalasan (Belanda:vergelding, Jerman: vergeltung). Pidana itu dijatuhkan sebagai pembalasan terhadap perbuatan pidana yang dilakukan seseorang.

b. Teori Relatif atau Tujuan (Utilitarian/Doeltheorieen).

Teori-teori ini menganggap sebagai dasar hukum dari pidana itu ialah tujuan (doel) dari pidana itu sendiri, karena pidana itu sendiri, mempunyai tujuan- tujuan tertentu. Adapun yang dianggap sebagai tujuan pokok dalam menjatuhkan pidana itu adalah: “(de handhaving van de maatschappelijke orde) dengan mencegah terjadinya kejahatan.

Adapun tentang bagaimana caranya mencegah kejahatan itu dengan mempergunakan pidana tersebut, tidaklah ada kesepakatan ahli-ahli teori ini.Teori-teori ini dinamakan Teori Pencegahan (Preventie Theorie). Teori-teori ini bervariasi pula sebagai berikut:

a) Teori-teori Pencegahan Kejahatan Umum (algemene/generale preventive).

Teori-teori ini berusaha agar pencegahan itu ditujukan kepada khalayak ramai/umum. Dengan cara:

1) Menitikberatkan kepada eksekusi pidana (strafuitvoering). Menurut teori ini eksekusi pidana itu hendaklah dilakukan secara ganas di depan umum (openbaar) untuk menakut-nakuti masyarakat berbuat jahat.

(49)

2) Menitik beratkan pada ancaman pidana (strafbedreiging). Menurut teori ini untuk mencegah kejahatan maka ancaman pidana harus dibuat untuk menakuti umum, oleh karena itu ancaman pidana itu harus dapat diketahui oleh banyak orang dengan menempatkannya dalam Undang-undang.

3) Menitikberatkan pada penjatuhan pidana (strafoplegging). Pidana yang dijatuhkan haruslah berat dan menakutkan.

b) Teori-teori Pencegahan Kejahatan Khusus (Bijzondre/Speciale preventive).

Menurut teori ini, tujuan pidana ialah menahan niat buruk si pembuat.Pidana bertujuan agar si pelanggar tidak mengulangi kejahatannya. Cara- caranya ialah:

1) Menakuti si penjahat;

2) Memperbaiki di penjahat;

3) Kalau perlu, menyingkirkan si penjahat dengan pidana penjara atau pidana mati.

Teori prevensi khusus ini kadang-kadang sangat berlebihan menekankan unsur memperbaiki si penjahat, sehingga menggelapkan batas antara

“pidana” (straf) dengan “tindakan” (maatregel).

c. Teori Campuran atau Gabungan.

Aliran ini menggabungkan aliran absolut dan relative diatas. Menurut aliran ini kedua aliran diatas, masing-masing punya kekurangan, yaitu:

a) Teori-teori Pembalasan/vergeldingstheori:

(50)

1) Dapat menimbulkan ketidak adilan. Het recht van talio (hukum balas- membalas:nyawa dibalas nyawa, gigi dibalas gigi) tidak selamanya adil.

Motif orang berbuat tidaklah sama.

2) Bila alasanya semata-mata untuk membalas, maka mengapa negara yang hanya berhak melaksanakannya.

b) Teori-teori tujuan/doeltheorieen:

1) Juga menimbulkan ketidakadilan. Jadi hanya untuk menakut-nakuti, orang yang berbuat kesalahan kecil, dipidana berat.

2) Kepuasan masyarakat sangat diabaikan. Masyarakat sering tidak puas, karena merasa penjahat dimanjakan.

3) sukar dicapai dalam praktik. Apa yang diteorikan sering tidak benar.

C. Tinjauan Tentang Kehutanan

1. Pengertian Hutan dan Kehutanan

Kata hutan merupakan terjemahan dari kata bos (Belanda) dan forrest (Inggris). Forrest merupakan dataran rendah yang bergelombang, dan dapat dikembangkan untuk kepentingan di luar kehutanan, seperti pariwisata. Di dalam hukum tertentu Inggris kuno, forrest (hutan) berarti suatu daerah tertentu yang tanahnya ditumbuhi pepohonan, tempat hidup binatang buas dan burung-burung hutan.48

Ada 4 unsur yang terkandung dari definisi hutan di atas, yaitu:

a. Unsur lapangan yang cukup luas (minimal seperempat hektar);

b. Unsur pohon (kayu, bamboo, palem) flora dan fauna;

48 Salim H.S, Dasar-Dasar hukum Kehutanan, (Jakarta : Sinar Grafika, 2006) hlm. 38

(51)

c. Unsur lingkungan;

d. Unsur penetapan pemerintah.

Unsur pertama, kedua dan ketiga membentuk persekutuan hidup yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya.Pengertian hutan di sini menganut konsepsi hukum secara vertikal karena antara lapangan (tanah), pohon, flora, dan fauna beserta lingkungannya merupakan satu kesatuan yang utuh.49

Pengertian hutan di dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 adalah “suatu kasatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan.

Di dalam Pasal 47 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan di tentukan bahwa perlindungan kawasan hutan merupakan usaha untuk:

a. Mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya- daya alam, hama serta penyakit dan,

b. Mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat, dan perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan.

Fuad Amsyari mengelompokkan lingkungan hidup atas tiga macam, yakni:50

49 Ibid. Hlm. 41

50 Ruslan Renggong, Hukum Pidana Khusus, (Jakarta : Kencana, 2017) hlm. 157-158

Referensi

Dokumen terkait

Perancangan ulang alat pemeras madu yang dibuat akan digunakan dalam proses pemerasan madu yang masih berupa bongkahan sarang madu atau madu yang didapat dari kebun atau

artinya bahwa ada peningkatan antara nilai rata-rata pretest dengan nilai rata-rata posttest pada kelas yang diberi perlakuan model pembelajaran quantum dengan

Lembaga Penilaian Independen adalah lembaga independent eksternal professional yang berkualifikasi, bersertifikat serta memiliki tenaga ahli di bidang penilaian aset

d) Rekapitulasi laporan pembelian barang kegiatan diserahkan ke Wakil Ketua Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama melalui Kepala Bagian Kemahasiswaan STKIP

Berdasarkan hasil uji hipotesis pada penelitian ini dengan menggunakan uji chi square di dapatkan nilai signifikan ( p = 0, 443) yaitu lebih besar dari 0,05 sehinggga

Daur pangkas optimum untuk masing-masing tinggi tempat tidak hanya dipengaruhi oleh turunnya produksi, tetapi juga dipengaruhi oleh tinggi tanaman, jumlah dan bobot pucuk

Mengenai pendapat Imam Abu Hanifah, yang mana beliau menetapkan dan mendahulukan seorang anak laki-laki untuk menjadi wali nikah, menurut hemat penulis, pendapat