• Tidak ada hasil yang ditemukan

Traumatic Optic Neuropathy

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Traumatic Optic Neuropathy"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

TRAUMATIC OPTIC NEUROPATHY

Disusun Oleh :

Dr. dr. Rodiah Rahmawaty Lubis, M.Ked (Oph), Sp.M

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA /

RSUP HAJI ADAM MALIK

(2)
(3)

DAFTAR ISI

Halaman

Daftar isi ... i

Daftar Tabel ... ii

Daftar Gambar ... iii

1 Latar Belakang ... 1

2 Anatomi Saraf Optik ... ... 1

2.1 Suplai darah saraf optik ... 3

2.2 Visual Pathway ... .... 4

3. Defenisi ... .... 6

4. Etiologi ... 7

5. Epidemiologi ... 7

6. Mekanisme Trauma ... 7

7. Diagnosis ... 8

8. Diagnosis Banding ... ... . 11

9. Pemeriksaan penunjang ... 11

10. Tatalaksana ... 12

11. Kesimpulan ... 13

(4)

DAFTAR TABEL

Halaman

(5)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Empat regio saraf optik ... .... 2

Gambar 2. Meningeal Sheaths ... .... 2

Gambar 3. Kiasma Optikum .. ... ... 3

Gambar 4. Suplai Pembuluh darah saraf optik ... ... ... 4

Gambar 5. Visual Pathway ... ... 4

(6)

TRAUMATIC OPTIC NEUROPATHY

Dr.dr.Rodiah Rahmawaty Lubis, SpM

Latar Belakang

Kehilangan kemampuan penglihatan, defisit lapangan pandang dan adanya defek pupil aferen akibat trauma disebut sebagai trauma optik neuropati. Trauma optik neuropati berhubungan dengan cedera akibat adanya deselarasi disertai dengan gaya yang besar. Umumnya diasosiasikan dengan trauma wajah.Kecelakaan lalulintas adalah penyebab tersering, sekitar 17 – 63% kasus ini.1-3 Dari penelitian yang melibatkan 101 pasien dengan trauma kepala setelah kecelakaan mengendarai sepeda motor, terdapat 18 kasus trauma optik neuropati (18%). Penyebab berikutnya adalah terjatuh, benturan di kepala, penganiayaan, luka tusuk, luka tembak dan pembedahan sinus dengan mengunakan endoskopi.4,5 Anatomi Saraf Optik

Saraf Optikmerupakan saraf kranial kedua yang terdiri dari lebih 1juta akson yang berasal dari lapisan sel ganglion retina dan menyebar menuju ke korteks oksipital. Nervus optikus dibagi menjadi beberapa daerah topografi, yaitu1 :

1. Regio intraokular yaitu optic disc, prelaminar area dan laminar area

2. Region intraorbital (berada di dalam corong otot) 3. Regio intrakanalikular (berada didalam kanal optik) 4. Regio Intrakranial (berakhir di kiasma optikum)

Regio Panjang (mm) Diameter (mm) Intraokular

Tabel 2.1. Ukuran saraf optik berdasarkan regio(Dikutip dari :Skuta GL, Cantor LB, Weiss JS. Fundamentals and Principles of Ophtalmology

(7)

Kumpulan dari saraf optik mempunyai karakteristik yang sama seperti

white matter otak. Berdasarkan perkembangannya, saraf optik merupakan bagian dari otak, dan lapisan fibernya dikelilingi oleh lapisan glial, bukan sel Schwann.Panjang saraf optik bervariasi antara 35 sampai 55 millimeter. Bagian yang dapat dilihat dari pemeriksaan oftalmoskopi adalah saraf optik regio intraokular.1,6

Gambar 2.1. Empat regio saraf optik(Dikutip dari : Steinsapir KD, Goldberg RA. Traumatic Optic Neuropathies. In Miller NR, Newman NJ, editors. Walsh & Hoyt's Clinical Neuro-Ophtalmology, 6th Edition.

Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2005. p. 431 - 446.)

a. Regio Intraokular

Puncak saraf optik adalah tempat berawalnya penyakit kongenital maupun penyakit okular yang didapat.Bagian anterior dapat dilihat dengan pemeriksaan oftalmoskopi sebagai optic disc. Strukturnya berbentuk oval dengan ukuran horizontal 1,5 millimeter dan vertikal 1,75 millimeter. Berbentuk cekung dengan dua pembuluh darah yang melewati titik pusatnya, yaitu arteri retina medial dan vena retina medial. Bagian ini dapat dibagi menjadi 4 bagian, yaitu1 :

a. Lapisan fiber superfisial b. Area prelaminar

c. Area laminar d. Area retrolaminar b. Regio Intraorbital

Regio intraorbital terdiri dari 2 bagian, yaitu1: a. Annulus of Zinn

b. Meningeal Sheaths

Gambar 2.2.Meningeal Sheaths(Dikutip dari :Skuta GL, Cantor LB, Weiss JS. Fundamentals and Principles of Ophtalmology Singapore: American Academy of

(8)

c. Regio Intrakanalikular

Didalam kanal optik, suplai darah saraf optik berasal dari pembuluh pial yang merupakan percabangan dari arteri oftalmika.Saraf optik dan araknoid yang mengelilinginya terhubung ke kanalperiosteum.

d. Regio Intrakranial

Setelah melewati kanal optik, 2 saraf optik akan membentang di atas arteri oftalmika dan arteri karotis interna. Arteri serebri anterior juga melintasi saraf optik dimana arteri komunikans anterior juga akan saling berhubungan sehingga membentuk sirkulus Willisi. Kemudian saraf optik melintas kearah posterior melewati sinus kavernosus dan mencapai kiasma optikum.

Kiasma optikum dibagi menjadi dua yaitu jalur kanan dan kiri yang berakhir di korpus genikulatum lateralis.Dari daerah ini keluar jalur genikulokalkarin yang melewati setiap korteks penglihatan primer.Kiasma optikum dilapisi oleh pia dan araknoid dan memiliki vaskularisasi yang sangat banyak.Ukuran kiasma optikum diperkirakan memiliki lebar 12 millimeter dan panjang 8 millimeter pada daerah anteroposterior dengan ketebalan 4 millimeter.

Gambar 2.3. Kiasma Optikum(Dikutip dari : Riordan-Eva P, Whitcher JP. Vaughan & Asbury's General Ophtalmology. 17th ed.

New York: Lange; 2007.)

2.1.Suplai Darah Saraf Optik

(9)

Gambar 2.4. Suplai pembuluh darah saraf optik(Dikutip dari : Khurana AK. Comprehensive Ophtalmology. 4th ed. New Delhi: New Age

International; 2007.

2.2.Visual Pathway

Jalur visual dapat dibedakan menjadi jalur aferen (sensoris) dan eferen (motorik). Kerusakan pada jalur aferen akan menyebabkan kehilangan kemampuan penglihatan. Jalur aferen secara berurutan dimulai dari retina, saraf optik, kiasma optikum, traktus optikus, dan pada akhirnya akan mencapai korteks.1,20

Gambar 2.5.Visual Pathway(Dikutip dari : Riordan-Eva P, Whitcher JP. Vaughan & Asbury's General Ophtalmology. 17th ed. New York:

Lange; 2007.

1. Retina

Segmen posterior retina mentransduksikan gambar fotokimia elektromagnetik menjadi rangsangan impuls. Dimana pada retina terdapat sel batang yang memiliki jumlah sekitar 80 – 120 juta sel dan menyebar diseluruh retina kecuali fovea dan sel kerucut yang memiliki jumlah 5 – 6 juta sel dengan penyebaran hanya terpusat pada fovea yang memiliki kemampuan untuk mengubah impuls fotokimia menjadi impuls saraf. Ketiadaan kedua sel ini di optic disc menghasilkan daerah yang disebut sebagai titik buta (physiologic scotoma) yang terletak sekitar fovea.Sel kerucut dibagi menjadi 3 sub bagian berdasarkan keadaan pigmen yang masing-masing sensitif terhadap gelombang warna merah, hijau atau biru. 1,20

(10)

parvocellular (Sel P) dan sel magnocellular (Sel M). Sel P sangat lemah terhadap interpretasi warna dan mempunyai lapangan reseptor yang kecil dan sensitivitas kontras yang lemah. Sementara sel M memiliki lapangan reseptor yang luas dan lebih responsif terhadap cahaya dan pergerakan. Neurotransmitter yang didapati pada retina adalah glutamat, asam gamma-aminobutirat (GABA), asetilkolin dan dopamin.20

2. Saraf optik

Secara fisiologis, saraf optik dimulai dari lapisan sel ganglion yang menyelubungi seluruh retina. Akson darisaraf optik tergantung dari produksi metabolik badan sel ganglion retina. Transpor aksonal baik molekul maupun sistem ekstra dan intraseluler memerlukan oksigen yang cukup tinggi. Hal ini menyebabkan sistem transpor aksonal sangat sensitif terhadap kejadian iskemik, inflamasi, dan proses kompresi.20 3. Kiasma optikum

Setelah melewati saraf optik, maka impuls sensoris akan diteruskan melewati kiasma optikum yang berada dibagian anterior dari hipotalamus dan dibagian anterior dari ventrikel 3. Dibagian ini akan terjadi persilangan impuls dari kedua mata baik yang berasal dari daerah medial maupun lateral.20

4. Traktus optikus

(11)

Gambar 2.6. Defek visual akibat kerusakan bagian-bagian jalur visual(Dikutip dari : Riordan-Eva P, Whitcher JP. Vaughan & Asbury's General Ophtalmology. 17th ed. New York: Lange; 2007.)

5. Korteks

Mengikuti sinaps pada nukleus genikularis lateral, akson melintas kebelakang sebagai radiasi optik di korteks penglihatan primer di dalam lobus oksipital. Korteks penglihatan primer (area Broadmann 17) tersusun horizontal sepanjang kalkarin yang membagi permukaan medial lobus oksipital. Penyebaran optik pada korteks penglihatan primer berada pada lapisan ke 4 dari 6 lapisan korteks. Lapisan ini yang disebut sebagai

lamina granularis interna lebih lanjut dibagi menjadi 3 bagian kecil yaitu 4A, 4B dan 4C. Input sel P secara umum berada pada bagian 4C bagian bawah dan input sel M berada pada bagian 4C bagian atas.20

Definisi

Traumatic optic neuropathy (TON) adalah cedera akut pada saraf optik akibat trauma sehingga menyebabkan hilangnya kemampuan penglihatan bersamaan dengan defisit lapangan pandang, persepsi warna, dan disertai kerusakan saraf optik.2,3,4,9,10,16,18

(12)

perjalanan kejadian, cedera langsung pada saraf optik dihubungkan dengan jeleknya kemampuan visual2,6

Cedera saraf optik juga bisa diklasifikasikan secara anatomis.Cedera yang melibatkan bagian anterior dimana arteri retina media memasuki saraf optik sehingga menimbulkan kelainan pada sirkulasi retina yang berhubungan dengan kelihatan kemampuan melihat.Turbulensi pada sirkulasi retina dapat berhubungan dengan perdarahan orbital yang mengganggu saraf optik. Sedangkan cedera yang melibatkan daerah posterior, berada dibelakang tempat masuk arteri retina media dan tempat keluarnya vena retina media. Cedera anterior mengganggu sirkulasi retina, sedangkan cedera posterior tidak menyebabkan kelainan sirkulasi apapun.2,6

Etiologi

Trauma optik neuropati berhubungan dengan cedera deselarasi disertai dengan gaya yang besar. Umumnya diasosiasikan dengan trauma wajah.Pada sebuah penelitian dengan 28 sampel yang telah di diagnosa dengan trauma optik neuropati, didapati 20 kasus akibat dari kecelakaan berkendara (71,4%), perkelahian sebanyak 5 kasus (17,9%) dan terjatuh sebanyak 3 kasus (10,7%).2,3,4,6,9,18

Epidemiologi

Kecelakaan lalulintas adalah penyebab tersering, sekitar 17 – 63% kasus ini. Dari penelitian yang melibatkan 101 pasien dengan trauma kepala setelah kecelakaan mengendarai sepeda motor, terdapat 18 kasus trauma optik neuropati (18%). Kemudian penyebab berikutnya adalah terjatuh, benturan di kepala, penganiayaan, luka tusuk, luka tembak dan pembedahan sinus dengan mengunakan endoskopi.2,18

Di Amerika Serikat, 0,5 – 5% kasus trauma kepala tertutup juga disertai dengan adanya trauma optik neuropati dan 2.5% dari pasien dengan fraktur

midfacial.5,6 angka kejadian TON diseluruh dunia sangat bervariasi yang didasari sebanyak apa penyebab utamanya terjadi, seperti kecelakaan lalu lintas dan perkelahian. Insidensi trauma optik tidak langsung di benua Eropa dilaporkan 0,7 – 5% dengan kasus kurang dari 40 kejadian. Kejadian TON dilaporkan memiliki angka insidensi lebih tinggi dinegara berkembang.Kasus TON paling sering dijumpai pada laki-laki sebanyak 85% dengan usia rata-rata 34 tahun.3,6,10,18

Mekanisme Trauma

Cedera langsung maupun cedera tidak langsung menyebabkan iskemia saraf optik. Mekanisme cedera saraf optik dapat dibedakan menjadi cedera primer dan cedera sekunder.Mekanisme cedera primer menyebabkan cedera permanen pada akson saraf optik saat terjadinya tumbukan yaitu berupa pengikisan akson saraf optik dan vaskularisasinya.2,6,7,10

(13)

menyebabkan munculnya radikal bebas yang menyebabkan kerusakan jaringan. Efek bradikinin yang timbul saat trauma akan menyebabkan pelepasan dari asam arakidonat dari neuron. Prostaglandin yang dihasilkan oleh metabolisme asam arakidonat, radikal bebas dan oksidan lainnya akan menyebabkan terjadinya edema pada kanal optik, yang selanjutnya akan memperberat terjadinya iskemia. Pada saat terjadinya iskemia saraf optik, ion kalsium akan memasuki kompartemen intraselular, sehingga meningkatkan konsentrasi ion kalsium intraselular dimana ion ini memiliki sifat seperti toksin metabolik yang akan menyebabkan kematian sel. Sel polimorfonuklear akan muncul secara dominan pada hari pertama dan kedua setelah trauma. Setelah itu akan digantikan oleh makrofag pada hari ke 5 sampai ke-7. Ketika sel polimorfonuklear menyebabkan kerusakan sel yang cepat, sedangkan makrofag menyebabkan terhambatnya kerusakan jaringan, demyelinisasi dan gliosis.2,6,7,10

Kedua mekanisme ini pada akhirnya akan menyebabkan vasospasme dan pembengkakan saraf optik. Hal ini diperberat dengan ketidakmampuan dinding kanal optik untuk meluas sehingga akan memperburuk terjadinya iskemia dan kerusakan akson.2,6,7,10

Beberapa penelitian tentang cedera saraf optik dan trauma sistem saraf pusat mendukung perbedaan antara mekanisme cedera primer dan sekunder. Iskemia merupakan hal yang sangat penting dalam cedera sekunder akibat trauma. Iskemi parsial dan reperfusi dari area iskemia sepintas menghasilkan radikal bebas yang nantinya akan menyebabkan kerusakan reperfusi.2,7,10

Sebuah penelitian tentang pengamatan efek trauma pada saraf optik, yaitu sel mikroglial retina melalui sistem Mitogen-activated protein (MAP) Kinase meningkatkan efek sitotoksik sehingga menyebabkan kematian sel ganglion retina. Dalam keadaan stres, konsentrasi adenosin ekstraselular yang dicurigai meningkatkan jalur anti inflamasi. Namun dalam keadaan trauma optik neuropati, akumulasi dari adenosin ekstraseluler ini ditranportasikan kedalam intraseluler melalui melalui equilibrative nucleoside transporters

yang mana menyebabkan konversi MAP oleh adenosin kinase sehingga konsentrasi adenosin ekstraseluler menjadi rendah. Hal ini kemudian akan menyebabkan efek anti inflamasi akan menjadi berkurang.17

Diagnosis

Penegakan diagnosa trauma optik neuropati dapat dilakukan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.2,6,18

1. Anamnesa

Penegakan diagnosis dari trauma optik neuropati didasarkan atas adanya riwayat trauma. Trauma saraf optik sebaiknya tidak digunakan jika kemampuan penglihatan dan fungsi pupil masih dalam keadaan normal.2,6

(14)

jelas.Kemungkinan terpapar benda berbahaya juga harus dipertimbangkan.Riwayat kelainan mata harus ditelaah untuk mengetahui penyebab pasti kehilangan kemampuan penglihatan memang disebabkan oleh trauma.Demikian juga dengan penggunaaan obat-obatan, pengobatan, dan alergi obat. Luka terbuka menimbulkan risiko tetanus dan riwayat imunisasi tetanus juga harus ditelaah.2,6 2. Pemeriksaan Fisik

a. Visus

Penilaian visus merupakan langkah paling mudah dan paling penting dalam menentukan fungsi visual. Visus merupakan kemampuan untuk membedakan bagian suatu objek dan mengidentifikasinya secara utuh. Penilaian visus dapat menggunakan beberapa cara, yaitu dengan menggunakan Snellen Chart dan Bailey-Lovie Chart. Pemeriksaan ini dilakukan dalam jarak baku, yaitu jarak antara chart dan pasien dalam jarak 6 meter. Kemudian pasien diminta untuk membaca setiap baris huruf yang ada.21,22

Nilai visus pada trauma saraf optik tidak langsung sering kali menurun dengan sangat signifikan.Pada penelitian dengan 56 kasus, semuanya dengan ketidakmampuan untuk melihat setelah terjadinya trauma saraf optik tidak langsung. Penilaian visus sangat penting untuk dilakukan pada pasien trauma optik. Nilai visus dapat bervariasi.2,6,18

b. Pupil

Pada kasus trauma optik neuropati unilateral, ditemukan kondisi yang memungkinkan untuk ditegakkan diagnosis trauma optik neuropati yaitu adanya defisit pupil aferen. Defek pupil aferen dapat dinilai secara kuantitatif dengan menggunakan filter fotografik densitas normal.Trauma optik neuropati dapat terjadi unilateral ataupun bilateral. Ditandai dengan adanya relative afferent pupillary defect (RAPD) dalam kasus TON bilateral yang simetris. 2,6,18

c. Warna

Pada pemeriksaan ini minta pasien untuk melihat objek berwarna merah dengan satu mata secara bergantian. Objek ini dapat dilihat dan diinterpretasikan secara berbeda pada mata yang bermasalah. Dapat dilihat sebagai warna hitam ataupun coklat.6

(15)

Farnsworth-Munsell 100-hue. Dimana dari keempat pemeriksaan ini, Farnsworth-Munsel 100-hue merupakan pemeriksaan yang paling sensitif untuk defek kongenital maupun defek yang didapat, termasuk akibat trauma optik.21,22

Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah dengan cara

red desaturation. Pemeriksaan ini dilakukan dengan menggunakan membandingkan persepsi warna merah dikedua mata pada satu waktu. Pada kasus neuropati optik, kemampuan ini dapat berkurang sampai 50%.22

d. Lapangan Pandang

Tes lapangan pandang dilakukan pada pasien dengan kesadaran baik dan mampu berkoordinasi dengan baik. Meskipun tidak ada patognomonik defek lapangan pandang sebagai diagnosis dari trauma saraf optik. Pemeriksaan ini dilakukan untuk monitoring dari masalah oftalmologi dan neurologis. Pada kasus trauma optik umumnya dapat ditemukan defek lapangan pandang.6,22

e. Sensitivitas Kontras

Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengukur nilai minimal kontras yang diperlukan untuk melihat suatu objek. Hal ini diperlukan untuk mendeteksi disfungsi penglihatan dini bahkan jika nilai visus berdasarkan snellen chart dalam batas normal.Umumnya pemeriksaan ini dilakukan dengan bagan Pelli-Robson, Vistech ataupun bagan Cambridge.21,22

f. Pemeriksaan Segmen Posterior

Sebelum dilakukan pemeriksaan oftalmoskopi, sebaiknya diakukan palpasi pada pinggiran orbita untuk mengetahui apakah terdapat fraktur.Pembengkakan periorbital kemungkinan bisa.menutupi adanya proptosis.2,6

Tahanan tekanan kebelakang bola mata pada saat dilakukan tonometri dapat dengan cepat mengetahui adanya perdarahan dibelakang orbita. Pembengkakan alis dapat meningkatkan kesulitan pemeriksaan oftalmologi.2,6

Pemeriksaan fundus yang adekuat akan dapat menilai kelainan sirkulasi retina. Avulsi komplit dan parsial dari ujung saraf optik dapat menimbukan cincin perdarahan ditempat cedera dengan tampilan deep round pit. Cedera anterior antara bola mata dan dimana arteri retina media memasuki saraf optik menimbulkan gangguan pada sirkulasi retina, termasuk obstruksi vena dan

traumatic anterior ischemic optic neuropathy.2,6

(16)

masih intak, namun menyebabkan pembengkakan pada ujung saraf optik. Papilledema bisa dilihat pada kejadian dengan peningkatan tekanan intraakranial walaupun dijumpai trauma optik neuropati.2,6

Pemeriksaan segmen posterior dapat dilakukan dengan menggunakan slit-lamp biomicroscopy, direct ophtalmoscope dan

indirect ophtalmoscope. Pemeriksaan dengan menggunakan slit-lamp merupakan pemeriksaan terbanyak yang dilakukan saat ini.22 g. Tonometri

Tonometri adalah sebuah pemeriksaan objektif untuk menilai tekanan intraokular yang didasarkan pada banyaknya tenaga yang dibutuhkan untuk meratakan kornea. Pemeriksaan tonometri dapat dilakukan dengan menggunakan teknik Goldmann.22

Diagnosis Banding

Cedera saraf optik dapat disertai oleh cedera mata lainnya. Beberapa proses yang dapat menyebabkan kehilangan penglihatan adalah aneurisma vaskular, inlamasi orbita, inflamasi saraf optik, anterior ischemic optic neuropathy atau penyakit sinus akut dengan keterlibatan daerah orbita.2 Pemeriksaan Penunjang

a. Radiologis

Pemeriksaan dengan menggunakan pencitraan radiologis merupakan pilihan terbaik untuk melihat adanya cedera pada saraf optik.Computed Tomography (CT) scan dan Magneting Resonance Imaging (MRI) memiliki efek yang sangat bagus dalam mendiagnosa trauma optik. CT scan dalam kejadian trauma optik neuropati memperlihatkan implikasi patologis spesifik dalam fungsi saraf optik, termasuk hematoma selubung saraf optik dan dugaan kista araknoid.2,9,10

Penggunaan CT scan berada jauh di atas MRI untuk melihat garis-garis fraktur tulang, sedangkan MRI lebih baik digunakan untuk melihat jaringan-jaringan lunak yang berada di daerah orbita, salah satunya untuk menilai trauma kiasma. Terkadang kedua pemeriksaan ini diperlukan secara bersamaan untuk menilai keadaan klinis. Namun, MRI harus dilakukan setelah CT scan untuk menghindari apabila ada benda asing yang mengandung logam di daerah orbital.2,9,10

(17)

Tatalaksana

Penanganan trauma optik neuropati dapat dilakukan dengan terapi farmakologi maupun terapi pembedahan. Dalam sebuah penelitian mengenai trauma optik neuropati melaporkan bahwa 0-48% kasus mempunyai prognosis yang baik tanpa pengobatan, 44-82% mengalami perbaikan dengan pengobatan steroid dosis tinggi dan 37-71% mengalami perbaikan dengan terapi pembedahan untuk dekompresi dari saraf optik.2,18

1. Konservatif

Penanganan trauma optik neuropati belakangan ini dilakukan hanya dengan pendekatan konservatif. Di Inggris, ditemukan bahwa 65% oftalmologis melakukan hal ini, dengan mempertimbangkan perbaikan visus dan kemampuan penglihatan.18

2. Farmakologi

Dalam beberapa dekade belakangan, penggunaan kortikosteroid dosis tinggi dalam kasus-kasus trauma merupakan pilihan utama.Hal ini berdasarkan pada kerja kortikosteroid yang menurunkan angka sintesis protein.Sehingga nantinya diharapkan radikal bebas yang secara patologis dapat merusak sel-sel tubuh dapat dicegah. Penggunaan kortikosteroid ini mulai dilakukan sejak tahun 1980 berdasarkan hasil penelitian yang mengemukakan bahwa obat ini memiliki sifat antioksidan dan penghambat munculnya radikal bebas.2,18

Penelitian yang telah dilakukan dalam memperkenalkan penggunaan kortikosteroid dosis tinggi dalam pengobatan trauma optik neuropati didasarkan dari efek yang bermanfaat yang didapati pada penelitian eksperimental cedera sistem saraf pusat.Dalam hal ini, kombinasi pemberian kortikosteroid dosis tinggi dan pembedahan memberikan hasil yang baik pada penderita trauma optik neuropati.Pemberian kortikosteroid yang dianjurkan untuk pertama kali adalah deksametason dengan dosis 3 – 5 mg per kilogram berat badan perhari.Namun sejumlah penelitian tidak menunjukkan baik itu terapi kortikosteroid dosis tinggi, pembedahan maupun kombinasi kortikosteroid dosis tinggi dengan pembedahan menunjukkan penanganan yang lebih baik satu sama lain.Penelitian dengan menggunakan metilprednisolon intravena dengan pemberian 1 gram selama 3 hari pada pasien dengan trauma optik neuropati terbukti efektif dalam meningkatkan visus penderita2,4

Pada sebuah penelitian dengan lebih dari 10.000 orang dewasa yang mengalami cedera kepala dan dengan Glasgow Coma Score

dibawah 14, diarahkan untuk mendapatkan 48jam infus kortikosteroid (metilprednisolon). Hasil yang didapatkan ternyata memiliki kemunduran kemampuan visual dibandingkan dengan kelompok yang tidak mendapatkan terapi sama sekali.7

(18)

diminati.Beberapa penanganan yang masih dalam tahap penelitian adalah dengan menggunakan penyekat glutamat, kristalin, pemicu pertumbuhan saraf, nitrit oksida, TNF-α Inhibitor dan neuroprotektor. Penyekat glutamat.5,14

3. Pembedahan

Pembedahan dilakukan jika terjadi penurunan kemampuan penglihatan setelah dilakukan pemberian kortikosteroid dosis tinggi.Namun penanganan dengan pembedahan masih menjadi terapi empiris untuk trauma optik neuropati. Tindakan orbitotomi lateral dilakukan sebagai tindakan dekompresi saraf optik. Penelitian yang telah dilakukan, tindakan ini dengan jelas mempengaruhi nilai visus dan pergerakan bola mata setelah operasi. Juga tidak ditemukan adanya kelainan klinis ataupun efek samping dari tindakan ini pada penelitian tersebut.2,8

2.3.Prognosis

Dari sebuah penelitian yang dilakukan pada 35 pasien dengan diagnosa trauma optik neuropati, dijumpai pada 23 pasien bahwa faktor yang memperburuk outcome penglihatan (nilai visus) adalah jika terdapat perdarahan pada etmoid posterior, usia di atas 40 tahun, kehilangan kesadaran dan tidak ada perbaikan setelah pemberian kortikosteroid dosis tinggi dalam 48 jam sejak kejadian.23

KESIMPULAN

Traumatic optic neuropathy (TON) adalah cedera akut pada saraf optik akibat trauma sehingga menyebabkan hilangnya kemampuan penglihatan bersamaan dengan defisit lapangan pandang, persepsi warna, dan disertai kerusakan saraf optik.2,3,4,9,10,16,18

(19)

1. Skuta GL, Cantor LB, Weiss JS. Fundamentals and Principles of Ophtalmology Singapore: American Academy of Ophtalmology; 2012.

2. Steinsapir KD, Goldberg RA. Traumatic Optic Neuropathies. In Miller NR, Newman NJ, editors. Walsh & Hoyt's Clinical Neuro-Ophtalmology, 6th Edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2005. p. 431 - 446. 3. Zoumalan CI. Medscape Refference. [Online].; 2014 [cited 2014 Desember

11. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/868129-overview

4. Sundeep , Niveditha H, Nikhil N, Vinutha BV. Visual Outcome of Traumatic Optic Neuropathy in Patients Treated with Intravenous Methylprednisolone. International Journal of Scientific Study. 2014 June; 2(3).

5. Wu N, Yin Z, Wang Y. Traumatic Optic Neuropathy Therapy: an Update of Clinical and Experimental Studies. The Journal of International Medical Research. 2008 October; 36.

6. Srinivasan R, S. C. Traumatic Optic Neuropathy [TON] - A Review. Kerala Journal of Ophtalmology. 2008 March; XX(1).

7. Boughton B. Traumatic Optic Neuropathy: Previous Therapies Now Questioned or Shelved. Eyenet. 2009 November.

8. Miliawan S, Mahadewa TG, Putra AM. Lateral Orbitotomy for Traumatic Optic Neuropathy and Traumatic Ophtalmoplegia: Is it Beneficial? Neurology Asia. 2009 June; 14.

9. Allon G, Seider N, Blumenthal EZ, Beiran I. Bilateral Traumatic Optic Neuropathy in an Uncoscious Patient: A Diagnostic Challenge. The Israel Medical Journal. 2014 August; 16.

10.Lee KF, Nor NIM, Yaakub A, Hitam WHW. Traumatic Optic Neuropathy: A Review of 24 Patients. International Journal of Ophtalmology. 2010 June; 3(2).

11.Huang JJ, Chen WK, Chuang CM, Cheng YC, Ng KC. Traumatic Optic Neuropathy in Two Patients With Different Manifestations and Outcomes. Taiwan Medical Journal. 1999 February.

12.Yanoff M, Duker JS. Yanoff & Duker Ophtalmology. 3rd ed.: An Expert Consult Title; 2008.

(20)

14.Awan AH. Traumatic Optic Neuropathy. Pak J Ophthalmol. 2007; 23(2). 15.Riordan-Eva P, Whitcher JP. Vaughan & Asbury's General Ophtalmology.

17th ed. New York: Lange; 2007.

16.Kuo MT, Teng ICLMC. Serial Follow-Up in Traumatic Optic Neuropathy Using Scanning Laser Polarimetry and Visual Field Testing. Chang Gung Medical Journal. 2005 August; 28(8).

17.Ahmad S, El-Sherbiny N, El-Sherbini A, Fulzele S, Liou GI. Adenosine Kinase as A Therapeutic Target in Traumatic Optic Neuropathy. In International Genomic Medical Conference; 2013; Jeddah.

18.Lee V, Ford R, Xing W, Bunce C, Foot B. Surveilance of Traumatic Optic Neuropathy in The UK. Eyenet. 2010; 24.

19.Cunha LP, Cunha LVFC, Malta RFS, Monteiro MLR. Comparison Between Retinal Nerve Fiber Layer and Macular Thickness Measured with OCT Detecting Progressive Axonal Loss Following Traumatic Optic Neuropathy. Arq Bras Oftalmol. 2009; 72(5).

20.Skuta GL, Cantor LB, Weiss JS. Neuro-Ophtalmology Singapore: American Academy of Ophtalmology; 2012.

21.Kanski JJ. Clinical Ophtalmology A Systematic Approach. 6th ed. Philadelphia: Elsevier Limited; 2007.

22.Tsai JC, Denniston AKO, Murray PI, Huang JJ, Aldad TS. Oxford American Handbook of Ophtalmology. 1st ed. New York: Oxford University Press; 2011.

(21)
(22)

Gambar

Tabel 2.1. Ukuran saraf optik berdasarkan regio(Dikutip dari :Skuta GL, Cantor LB, Weiss JS
Gambar 2.2. Fundamentals and Principles of Ophtalmology Singapore: American Academy of Meningeal Sheaths(Dikutip dari :Skuta GL, Cantor LB, Weiss JS
Gambar 2.3. Kiasma Optikum Whitcher JP. Vaughan & Asbury's General Ophtalmology. 17th ed
Gambar 2.4. Suplai pembuluh darah saraf optik (Dikutip dari : Khurana AK. Comprehensive Ophtalmology
+2

Referensi

Dokumen terkait

menganalisa efek biologi (farmakodinamik) dari masing masing bahan dan nasib obat tersebut didalam tubuh.(farmakoinetik), memastikan dosis yang tepat dan tetap dalam pengobatan

Pada asma kronik, kortikosteroid inhalasi digunakan dalam dosis yang. rendah untuk menangani asma yang ringan dan sedang dan dengan

Apabila dosis yang diberikan lebih rendah dari dosis standar dapat menyebabkan tidak tercapainya efek terapi obat yang diinginkan sehingga tujuan pengobatan tidak

Vitamin E merupakan salah satu pengobatan alternatif yang terbukti bermanfaat dalam mengurangi nyeri yang terjadi pada dismenore tanpa menimbulkan efek samping.. Penelitian

Efek ini justru muncul kepada klien serta dorongan yang seorang konselor trauma bisa ik Disorder (PTSD) yang dimiliki o dengan Secondary Traumatic Str merupakan

13 Ibid, 17.. dalam kehidupan maupun suatu peristiwa yang mengancam keselamatan kejiwaannya. Gangguan setress pasca trauma dapat didefinisikan sebagai keadaan yang melemahkan

Terapi kombinasi dianggap sangat penting dan efektif dalam pengobatan terapi untuk pasien hipertensi, karena dengan memiliki dosis yang masing-masing rendah akan memberikan

Pemberian obat ini jarang menimbulkan efek samping sistemik, namun jika diberikan bersamaan dengan kortikosteroid topikal lainnya, harus dilakukan titrasi sampai dosis paling