• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implikasi eksistensi Chromolaena odorata (L.) King & Robinson (Asteraceae) dan agens hayatinya Cecidochares connexa Macquart (Diptera: Tephritidae) terhadap struktur komunitas serangga dan tumbuhan lokal

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Implikasi eksistensi Chromolaena odorata (L.) King & Robinson (Asteraceae) dan agens hayatinya Cecidochares connexa Macquart (Diptera: Tephritidae) terhadap struktur komunitas serangga dan tumbuhan lokal"

Copied!
70
0
0

Teks penuh

(1)

Robinson (ASTERACEAE) DAN AGENS HAYATINYA

Cecidochares connexa

Macquart (DIPTERA: TEPHRITIDAE)

TERHADAP STRUKTUR KOMUNITAS SERANGGA

DAN TUMBUHAN LOKAL

ALAL HUDA JAYA. S

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul ”Implikasi Eksistensi Chromolaena odorata (L.) King & Robinson (Asteraceae) dan Agens Hayatinya Cecidochares connexa Macquart (Diptera: Tephritidae) terhadap Struktur Komunitas Serangga dan Tumbuhan lokal” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini

Bogor, Desember 2006

(3)

ALAL HUDA JAYA. S. Implikasi Eksistensi Chromolaena odorata (L.) King & Robinson (Asteraceae) dan Agens Hayatinya Cecidochares connexa Macquart (Diptera: Tephritidae) terhadap Struktur Komunitas Serangga dan Tumbuhan Lokal. Dibimbing oleh DAMAYANTI BUCHORI dan SOEKISMAN

TJITROSEMITO.

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari distribusi dan kelimpahan populasi C. odorata dan agens hayatinya C. connexa, serta mempelajari struktur komunitas serangga dan tumbuhan lokal di daerah yang telah diinvasi oleh C. odorata. Kegiatan yang dilakukan adalah survei lokasi penelitian, analisis vegetasi, dan koleksi serangga. Penelitian ini berlokasi di Jawa Barat yang meliputi daerah Parung Panjang, Setu, Darmaga, Gunung Bunder, Gunung Salak, Gunung Halimun, Pakuwon, Ciawi, Cisarua, dan Cianjur. Lokasi penelitian tersebut ditentukan berdasarkan metode purposive sampling. Analisis vegetasi dilakukan dengan metode transek yang dikombinasikan dengan metode kuadrat. Koleksi serangga dilakukan di dalam petak contoh dengan memasang perangkap

pitfall trap dan yellow pan trap, sedangkan perangkap malaise trap diletakkan secara diagonal diantara jalur transek.

Hasil penelitian memperlihatkan bahwa spesies tumbuhan eksotik invasif C. odorata terdapat disemua lokasi penelitian dan dapat tumbuh pada berbagai tipe habitat baik habitat perkebunan, hutan buatan, ladang dataran rendah, maupun ladang dataran tinggi dengan kelimpahan yang berbeda. Kelimpahan populasinya cenderung menurun seiring dengan bertambahnya ketinggian suatu lokasi. Keberadaan C. odorata diikuti pula dengan keberadaan musuh alaminya yaitu lalat puru C. connexa pada semua lokasi pengamatan, kecuali di Gunung Halimun dan Cianjur. Saat ini lalat puru C. connexa telah mapan dan menyebar secara alami. Adanya barier seperti pegunungan merupakan faktor pembatas terhadap distribusi lalat puru C. connexa.

Komunitas tumbuhan yang diperoleh pada habitat C. odorata di Parung Panjang, Setu, Darmaga, dan Gunung Bunder secara keseluruhan terdiri dari 131.132 individu tumbuhan yang termasuk ke dalam 21 famili dan 44 spesies. Sedangkan jumlah total komunitas serangga yang diperoleh pada habitat C. odorata di Parung Panjang, Setu, Darmaga, dan Gunung Bunder terdiri dari 24.213 individu serangga yang termasuk ke dalam 14 ordo, 132 famili, dan 568 spesies. Ordo Hymenoptera, Diptera, dan Hemiptera merupakan tiga ordo terbesar yang ditemukan dengan kelimpahan individu (species abundance) dan kekayaan spesies (species richness) paling tinggi.

Implikasi keberadaan C. odorata telah menyebabkan terjadinya pengambilalihan atau pergantian skala ruang oleh C. odorata terhadap spesies tumbuhan lokal serta penurunan keanekaragaman spesies tumbuhan yang berada disekitarnya. Introduksi tumbuhan eksotik invasif C. odorata dan agens hayatinya

(4)

ABSTRACT

ALAL HUDA JAYA. S. Implication of existence both of Chromolaena odorata

(L.) King & Robinson (Asteraceae) and its biological control agent -

Cecidochares connexa Macquart (Diptera: Tephritidae) to local plant and insect community structure. Supervisors: DAMAYANTI BUCHORI and SOEKISMAN TJITROSEMITO.

The aims of this research were (1) to study density and population distribution of C. odorata and its biological control agent - C. connexa, and (2) to study local plant and insect community structure in invaded area of C. odorata. Several activities have been conducted i.e. survey of research sites, vegetation analysis, and insect sampling. The study sites were selected base on purposive sampling method. All area located in Bogor district (Parung Panjang, Setu, Darmaga, Gunung Bunder, Ciawi, and Cisarua), Sukabumi district (Gunung Salak, Gunung Halimun, and Pakuwon), and Cianjur district. Analysis of vegetation were conducted using combination of transect and quadrate method. Insect were sampled by setting up several traps inside the plots. Pitfall trap and yellow pan trap were set up inside the plot, whereas malaise trap were placed between two transect lines.

The result found that invasive exotic plant species (C. odorata) spread on whole study sites and well-growth on different habitat types (plantations, production forest, low land, and high land). Their population densities tend to decrease with increasing altitude. The occurrences of C. odorata co-exist with its biological control, the gall flies C. connexa. Almost all study sites (except Gunung Halimun and Cianjur) found these flies. Recently, C. connexa have established and wide spread, although the present of barrier (like mountain) is restriction factor for distribution of flies in West Java.

Over 131.132 individual of plants consist of 21 families and 44 species were identified co-exist with C. odorata in Bogor area (Parung Panjang, Setu, Darmaga, and Gunung Bunder). In the same area, over 24.213 individual of insect consist of 14 orders, 132 families, and 568 species were found in C. odorata habitat. Three dominance insect orders i.e. Hymenoptera, Diptera, and Hemiptera were collected with high species richness and abundance.

Implication of existence of C. odorata caused replacement local plant species and homogenization habitat on spatial scale. Introduction of C. odorata

(5)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2006

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari

(6)

IMPLIKASI EKSISTENSI

Chromolaena odorata

(L.) King &

Robinson (ASTERACEAE) DAN AGENS HAYATINYA

Cecidochares connexa

Macquart (DIPTERA: TEPHRITIDAE)

TERHADAP STRUKTUR KOMUNITAS SERANGGA

DAN TUMBUHAN LOKAL

ALAL HUDA JAYA. S

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains pada

Program Studi Entomologi/Fitopatologi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)

Judul Tesis : Implikasi Eksistensi Chromolaena odorata (L.) King & Robinson (Asteraceae) dan Agens Hayatinya Cecidochares connexa Macquart (Diptera: Tephritidae) terhadap Struktur Komunitas Serangga dan Tumbuhan Lokal

Nama : Alal Huda Jaya. S

NRP : A451030041

Program Studi : Entomologi/Fitopatologi

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Damayanti Buchori, M.Sc. Ketua

Dr. Soekisman Tjitrosemito, M.Sc. Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Entomologi/Fitopatologi

Dr. Ir. Sri Hendrastuti Hidayat, M.Sc.

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS

(8)

PRAKATA

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan karunia-Nya penelitian dan penulisan tesis ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah spesies eksotik invasif, dengan judul Implikasi Eksistensi Chromolaena odorata (L.) King & Robinson (Asteraceae) dan Agens Hayatinya Cecidochares connexa Macquart (Diptera: Tephritidae) terhadap Struktur Komunitas Serangga dan Tumbuhan Lokal.

Penghargaan dan ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Damayanti Buchori, M.Sc. dan Dr. Soekisman Tjitrosemito, M.Sc. selaku komisi pembimbing, atas bimbingan, saran, dan motivasi yang telah diberikan selama persiapan penelitian sampai penulisan tesis. Kepada Akhmad Rizali, SP, M.Si terima kasih yang sebesar-besarnya atas bimbingan teknis ilmiahnya. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Dirjen Pendidikan Tinggi Departemen Nasional RI melalui Hibah Tim Pascasarjana atas bantuan dana yang diberikan sehingga penelitian ini dapat terlaksana, kepada kepala Laboratorium Bioekologi Parasitoid dan Predator, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian IPB yang telah memberikan izin untuk menggunakan fasilitas yang tersedia di laboratorium. Kepada kedua orang tua tercinta Ayahanda Banding Ratu (alm) dan Ibu Sundarti, semoga Allah SWT memberikan balasan amal baik mereka dengan pahala yang tak terhingga. Kepada kakakku Eteh Marina dan adik-adikku tercinta, Syukrida, Desrina, dan seluruh saudara serta Keluarga Besar di Lampung, terima kasih atas perhatian dan dukungannya selama ini. Terima kasih kepada semua pihak dan rekan-rekan sekalian, anggota tim Hibah Pascasarjana, anggota Laboratorium Bioekologi Parasitoid dan Predator, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian IPB, serta seseorang yang akan mendampingiku kelak dikemudian hari, semoga Allah SWT membalasnya.

Akhir kata tak ada gading yang tak retak, semoga tulisan ini bermanfaat, Amin!!!.

Bogor, Desember 2006

(9)

Penulis dilahirkan di Menggala pada tanggal 7 Juni 1979 sebagai anak kedua dari empat bersaudara, dari Ayah Banding Ratu (alm) dan Ibu Sundarti.

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 3

Manfaat Penelitian ... 3

DISTRIBUSI, KELIMPAHAN POPULASI Chromolaena odorata (L.) King & Robinson (ASTERACEAE) DAN AGENS HAYATINYA Cecidochares connexa Macquart (DIPTERA: TEPHRITIDAE) DI BOGOR, JAWA BARAT Pendahuluan ... 4

Bahan dan Metode ... 6

Lokasi dan Waktu Penelitian ... 7

Metode Pengukuran Kelimpahan Populasi ... 7

Metode Survei Keberadaan Lalat Puru C. connexa ... 8

Pengambilan Contoh Tumbuhan ... 8

Estimasi Populasi C. odorata dan Lalat Puru C. connexa ... 10

Analisis Data ... 10

Hasil dan Pembahasan ... 11

Distribusi dan Kelimpahan Populasi C. odorata ... 11

Distribusi dan Kelimpahan Populasi Lalat Puru C. connexa ... 14

Kekayaan Spesies Tumbuhan di Habitat C. odorata ... 18

Implikasi Keberadaan Tumbuhan Eksotik Invasif C. odorata terhadap Keberadaan Tumbuhan Lokal ... 21

(11)

EKSOTIK INVASIF: STUDI KASUS PADA HABITAT Chromolaena odorata (L.) KING & ROBINSON (ASTERACEAE) DI BOGOR, JAWA BARAT

Pendahuluan ... 26

Bahan dan Metode ... 27

Lokasi dan Waktu Penelitian ... 27

Pengambilan Contoh Serangga ... 27

Analisis Data ... 30

Hasil dan Pembahasan ... 30

Kekayaan Spesies Serangga di Habitat C. odorata ... 30

Kekayaan Spesies Hymenoptera dan Diptera di Habitat C. odorata ... 34

Hubungan Keanekaragaman Serangga dengan Kondisi Habitat ... 37

Asosiasi Serangga Lokal dengan Tumbuhan Eksotik Invasif C. odorata dan Agens Hayatinya C. connexa ... 41

Kesimpulan ... 43

PEMBAHASAN UMUM ... 44

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 47

Saran ... 48

DAFTAR PUSTAKA ... 49

LAMPIRAN ... 52

(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Deskripsi lokasi yang dipilih berdasarkan metode pengukuran populasi

C. odorata dan lalat puru C. connexa ... 7 2 Deskripsi lokasi yang dipilih berdasarkan metode survei keberadaan lalat

puru C. connexa ... 8 3 Jumlah Famili (F), Spesies (S), Individu (N), Indeks Shannon (H’) dan

kemerataan (E) tumbuhan pada tiap habitat C. odorata ... 20 4 Indeks kemiripan Sorensen (Cs) seluruh spesies tumbuhan antar lokasi

penelitian pada habitat C. odorata ... 20 5 Indeks Nilai Penting (INP) spesies tumbuhan tegak pada empat habitat

C. odorata ... 22 6 Indeks Nilai Penting (INP) spesies tumbuhan merambat pada empat

habitat C. odorata ... 23 7 Deskripsi lokasi yang dipilih untuk penelitian ... 28

8 Jumlah ordo (O), famili (F), spesies (S), Individu (N), Indeks Shannon (H’) dan kemerataan (E) serangga pada tiap habitat C. odorata ... 31 9 Jumlah famili, spesies (S), dan individu (N) ordo Hymenoptera pada tiap

habitat C. odorata ... 34 10 Jumlah famili, spesies (S), dan individu (N) ordo Diptera pada tiap

habitat C. odorata ... 36 11 Indeks kemiripan Sorensen (Cs) seluruh spesies serangga antar lokasi

(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Metode analisis vegetasi ... 9 2 Kelimpahan populasi C. odorata pada empat lokasi penelitian selama tiga

kali pengambilan sampel ... 13 3 Distribusi lalat puru C. connexa dari titik pelepasan Parung Panjang-

Jasinga, Bogor, dan Parung Kuda-Sukabumi, Jawa Barat ... 14 4 Kelimpahan populasi lalat puru C. connexa pada empat lokasi penelitian

selama tiga kali pengambilan sampel ... 17 5 Kurva akumulasi spesies tumbuhan pada empat habitat C. odorata ... 19 6 Dendogram pengelompokan spesies tumbuhan pada empat habitat

C. odorata ... 21 7 Perangkap serangga; (a) yellow pan trap (b) pitfall trap (c) malaise

trap ... 29 8 Kurva akumulasi spesies serangga pada empat habitat C. odorata ... 31 9 Kekayaan spesies (A) dan kelimpahan individu (B) serangga yang

diperoleh pada empat habitat C. odorata ... 32 10 Kekayaan spesies (A) dan kelimpahan individu (B) serangga tanpa

Formicidae yang diperoleh pada empat habitat C. odorata ... 33 11 Dendogram pengelompokan seluruh spesies serangga pada empat

habitat C. odorata ... 39 12 Dendogram pengelompokan serangga predator dan parasitoid pada

empat habitat C. odorata ... 40 13 Dendogram pengelompokan serangga herbivor pada empat habitat

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Hasil analisis vegetasi kelompok spesies tumbuhan tegak pada habitat

C. odorata di Parung Panjang ... 53 2 Hasil analisis vegetasi kelompok spesies tumbuhan tegak pada habitat

C. odorata di Setu ... 53 3 Hasil analisis vegetasi kelompok spesies tumbuhan tegak pada habitat

C. odorata di Darmaga ... 54 4 Hasil analisis vegetasi kelompok spesies tumbuhan tegak pada habitat

C. odorata di Gunung Bunder ... 54 5 Hasil analisis vegetasi kelompok spesies tumbuhan merambat pada

habitat C. odorata di Parung Panjang ... 55 6 Hasil analisis vegetasi kelompok spesies tumbuhan merambat pada

habitat C. odorata di Setu ... 55 7 Hasil analisis vegetasi kelompok spesies tumbuhan merambat pada

habitat C. odorata di Darmaga ... 55 8 Hasil analisis vegetasi kelompok spesies tumbuhan merambat pada

habitat C. odorata di Gunung Bunder ... 56 9 Jumlah spesies (S), Individu (N) dan peranan serangga yang diperoleh

(15)

Latar Belakang

Banyak biota yang secara langsung maupun tidak langsung terbawa oleh manusia ke bagian dunia yang lain. Hal ini dimungkinkan dengan dimulainya era eksplorasi yang dapat menghilangkan penghalang biogeografi yang sebelumnya mengisolasi biota benua selama jutaan tahun (Mooney & Cleland 2001). Setelah keluar dari habitat alaminya, biota asing tersebut segera menjadi penginvasi agresif yang lebih kompetitif daripada biota lokal dan mengakibatkan pengaruh merusak dalam ekosistem serta menimbulkan kerugian yang nyata bagi produksi pertanian (Schoonhoven et al. 1996). Sifat invasif biota eksotik pada habitat baru disebabkan karena tidak ada musuh alami (natural enemy) yang mampu mengendalikan seperti di habitat aslinya.

Spesies eksotik invasif pada habitat baru dapat menyebabkan terjadinya homogenisasi biotik yaitu pengantian spesies lokal oleh spesies pendatang (Olden

et al. 2004). Sebagai contoh, Bromus tectorum merupakan tanaman yang diintroduksi ke Amerika Utara sekitar tahun 1890. Dalam kurun waktu 20 tahun

B. tectorum telah mapan di daerah pegunungan bagian barat Amerika Utara. Pada tahun 1930 B. tectorum telah berhasil menginvasi dan mendominasi lebih dari 200.000 km2 habitat pegunungan di bagian barat Amerika Utara karena peningkatan kemampuan migrasi dan populasinya (Mooney & Cleland 2001). Contoh lain adalah Eichhornia crassipes atau eceng gondok merupakan tumbuhan eksotik invasif pada ekosistem perairan di Indonesia dan beberapa negara di Asia Tenggara (Kasno et al. 2001). Dampak keberadaan gulma ini sangat nyata akibat adanya akumulasi biomassa, penutupan permukaan danau dan sungai secara cepat, serta dapat menyebabkan terjadinya pendangkalan danau dan sungai.

(16)

2

mampu mengalahkan spesies lokal sehingga dapat menyebabkan spesies lokal kalah bersaing dan akhirnya bisa memicu terjadinya kepunahan (Olden et al. 2004; Untung 2005).

Chromolaena odorata (L.) King & Robinson (Asteraceae) atau kirinyuh merupakan spesies tumbuhan eksotik invasif dan merupakan gulma penting pada habitat perkebunan di Indonesia (Anonim 1991). Tumbuhan ini berasal dari Amerika yang diintroduksi ke kebun raya di Dakka (India), Jawa, dan Peradeniya (Srilanka) pada abad ke-19 (Binggeli 1997). Di Indonesia tumbuhan ini pertama kali dilaporkan pada tahun 1934 di Lubuk Pakam, Sumatera Utara (Tjitrosemito 1999). Saat ini persebaran C. odorata sudah sangat luas, meliputi Sumatera, Jawa, Kalimantan, Nusa Tenggara Timur, dan Irian Jaya (Sipayung & Chenon 1995). Tjitrosemito (1998) melaporkan bahwa persebaran tumbuhan ini sangat cepat karena kemampun dan efisiensinya, bahkan di laboratorium pertumbuhan C. odorata sangat cepat pada 8 minggu pertama.

Pengendalian C. odorata dengan memanfaatkan agens hayatinya telah dilakukan di Indonesia. Upaya ini diawali dengan mengintroduksi serangga herbivor Pareuchaetes pseudoinsulata Rego Barros (Lepidoptera: Arctiidae) dari Guam, Amerika Serikat dan pertama kali di lepaskan pada tahun 1992. Namun

P. pseudoinsulata hanya berhasil menekan populasi tumbuhan tersebut di Sumatera Utara, sedangkan di Jawa dilaporkan tidak berhasil. Selanjutnya pada tahun 1993 kembali diintroduksi lalat puru Cecidochares connexa Macquart (Diptera: Tephritidae) dari Columbia dan mulai dilepas pada tahun 1995 setelah memperoleh izin pelepasan yang dikeluarkan oleh Menteri Pertanian (Tjitrosemito 1998; Chenon et al, 2002). Sampai saat ini lalat puru C. connexa

keberadaannya telah mapan dan menyebar secara alami khususnya di Jawa Barat. Sayangnya sampai saat ini, kajian terhadap lalat puru C. connexa sebagai agens hayati C. odorata masih terbatas pada keberhasilan pelaksanaan introduksi, perbanyakan massal, dan pelepasannya di lapangan tanpa diikuti kajian secara komprehensif. Belum pernah dilakukan penelitian untuk memonitor distribusi, kelimpahan populasi, dan bagaimana dampak keberadaan spesies eksotik invasif

(17)

tumbuhan lokal. Tanpa adanya usaha monitoring, dikhawatirkan terjadi penurunan tingkat keanekaragaman hayati pada ekosistem tersebut tidak dapat dipantau, terutama tempat atau habitat yang jauh dari titik pelepasan (Simberloff 1996). Bertitik tolak dari uraian di atas, kajian terhadap spesies eksotik invasif C. odorata dan agens hayatinya C. connexa dianggap penting sehingga nantinya dapat digunakan untuk menganalisis dampak yang terjadi akibat introduksi spesies eksotik invasif tersebut dan agens hayatinya.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk (1) mempelajari distribusi dan kelimpahan populasi C. odorata dan agens hayatinya lalat puru C. connexa, (2) mempelajari struktur komunitas serangga dan tumbuhan di daerah yang telah diinvasi oleh C. odorata dengan mengambil studi kasus di daerah Bogor, Jawa Barat.

Manfaat Penelitian

(18)

DISTRIBUSI, KELIMPAHAN POPULASI

Chromolaena odorata

(L.) King & Robinson (ASTERACEAE) DAN AGENS

HAYATINYA

Cecidochares connexa

Macquart

(DIPTERA: TEPHRITIDAE) DI BOGOR, JAWA BARAT

PENDAHULUAN

Invasi spesies eksotik merupakan ancaman yang serius terhadap suatu ekosistem alami dan keanekaragaman hayati. Penghalang alami seperti samudera, pegunungan, dan padang pasir telah terlampaui sekitar abad ke dua puluh, sehingga memberikan peluang suatu spesies untuk mengalami koevolusi dan berkembang dalam suatu ekosistem baru. Keadaan ini disebabkan karena adanya aktivitas manusia seperti perdagangan dan perjalanan, sehingga dapat menyebabkan perpindahan suatu spesies baik disengaja maupun tidak disengaja ke berbagai bagian dunia lainnya (Wittenberg & Cock 2003). Setelah keluar dari habitat alaminya, spesies eksotik tersebut berkembang dan beradaptasi dengan lingkungan sekitar sehingga menjadi penginvasi yang agresif. Selain itu, spesies eksotik tersebut mampu berkompetisi dengan spesies lokal, menggeser keberadaannya, menyebabkan kerusakan ekosistem alami, serta menimbulkan kehilangan yang nyata bagi produksi pertanian (Schoonhoven et al. 1996).

C. odorata merupakan tumbuhan eksotik invasif yang berasal dari Amerika Selatan dan Amerika Tengah yang telah menyebar ke Asia, Asia Tenggara, dan beberapa daerah di Afrika (Anonim 1991). Tumbuhan ini sengaja diintroduksi ke Kalkuta (India) sebagai tanaman hias pada tahun 1840-an (Ramachandra 1920 dalam Tjitrosemito 1997). Persebaran tumbuhan tersebut saat ini telah mencapai Asia Tenggara termasuk Indonesia dan Australia yang telah berubah status menjadi gulma yang tumbuh secara mapan dan sangat merugikan (Tjitrosemito 1997). Di indonesia persebaran C. odorata sudah sangat luas, meliputi Sumatera, Jawa, Kalimantan, Nusa Tenggara Timur, dan Irian Jaya (Sipayung & Chenon 1995). Spesies ini dapat menyebar secara cepat karena kemampuan dan efisiensi persebarannya (Binggeli 1997).

(19)

Berbagai upaya pengendalian telah dilakukan untuk mengatasi pesatnya perkembangan populasi C. odorata di Indonesia. Salah satu teknik yang dikembangkan adalah pengendalian hayati secara klasik dengan mengintroduksi lalat puru Cecidochares connexa Macquart (Diptera: Tephritidae) dari Columbia pada tahun 1993 dan mulai dilepas pada tahun 1995 setelah memperoleh izin pelepasan yang dikeluarkan oleh Menteri Pertanian. Pelepasan lalat puru C. connexa telah dilakukan di Jawa Barat yang meliputi daerah Hutan Tanaman Industri Parung Panjang-Jasinga, Bogor pada tahun 1995, Pakuwon-Parung Kuda, Sukabumi tahun 1996, dan padang pengembalaan Cagar Alam Pangandaran, Ciamis pada tahun 1999. Selain itu, pada tahun 1996 pelepasan lalat puru C. connexa juga dilakukan di Saradan, Madiun, Jawa Timur (Tjitrosemito 1998; Tjitrosemito 2000; Widayanti et al. 2001). Sampai saat ini, lalat puru C. connexa

telah menyebar secara alami khususnya di daerah Bogor, Jawa Barat .

Lalat puru C. connexa merupakan lalat berwarna hitam yang berukuran panjang 6.9 mm dan lebar 2 mm dengan rentang sayap 11.2 mm untuk imago betina, sedangkan imago jantan berukuran panjang 5.6 mm dan lebar 1.8 mm dengan rentang sayap 10 mm (Widayanti et al. 1999). Lalat puru C. connexa

meletakkan telur pada pucuk terminal maupun lateral daun C. odorata yang belum membuka. Telur menetas 4-7 hari setelah oviposisi dan larva yang baru menetas masuk ke dalam jaringan batang. Menjelang instar akhir, larva akan membuat saluran keluar yang disebut dengan jendela puru. Stadia pupa membutuhkan waktu 15-25 hari. Lama hidup lalat puru C. connexa dewasa berkisar antara 5-11 hari (McFadyen et al. 2003), sedangkan siklus hidupnya antara 47-73 hari dengan rata-rata 60 hari (Chenon et al. 2002)

(20)

6

imago betina lalat puru C. connexa tidak dapat menyelesaikan siklus hidupnya. Ketika musim hujan, C. odorata tumbuh kembali secara serentak yang berasal dari populasi sebelumnya dimana pucuk C. odorata bertambah banyak dan meningkat dengan pesat. Keadaan ini menyebabkan kelimpahan populasi lalat puru C. connexa tidak mampu mengimbangi populasi inangnya yang tumbuh dengan populasi yang sangat berlimpah sehingga mengakibatkan kurang efektifnya lalat puru tersebut untuk menekan populasi C. odorata. Selain itu, hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa batang C. odorata yang terinvestasi oleh puru justru memiliki jumlah pucuk yang lebih banyak dibandingkan yang tidak terinvestasi oleh puru.

Penelitian di Indonesia hanya terfokus pada keberhasilan pelaksanaan introduksi lalat puru C. connexa dan pengembangan metode pembiakan massal dalam upaya pemanfaatan serangga ini untuk mengendalikan C. odorata. Belum pernah dilakukan evaluasi distribusi dan kelimpahan populasi lalat puru C. connexa sebagai agens hayati untuk mengendalikan spesies eksotik invasif C. odorata. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui distribusi dan kelimpahan populasi C. odorata dan lalat puru C. connexa, serta mempelajari struktur komunitas tumbuhan di daerah yang telah di invasi oleh C. odorata dengan mengambil studi kasus di daerah Bogor, Jawa Barat.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini menggunakan dua metode yaitu (1) metode pengukuran kelimpahan populasi C. odorata dan lalat puru C. connexa, (2) metode survei keberadaan lalat puru C. connexa. Metode pertama difokuskan untuk mempelajari secara spesifik kelimpahan populasi C. odorata dan lalat puru C. connexa

(21)

Lokasi dan Waktu Penelitian

Metode Pengukuran Kelimpahan Populasi. Lokasi penelitian ditentukan berdasarkan metode purposive sampling, yaitu lokasi yang dijumpai C. odorata, dengan pertimbangan tipe habitat dan ketinggian tempat. Dari hasil survei pendahuluan maka ditetapkan daerah yang terpilih sebagai tempat pengambilan sampel: (1) Hutan Tanaman Industri (HTI) Parung Panjang-Jasinga mewakili habitat perkebunan dan tempat pelepasan lalat puru C. connexa, (2) Desa Setu-Jasinga mewakili habitat ladang dataran rendah, (3) Kampus IPB Darmaga mewakili habitat hutan buatan, dan (4) Gunung Bunder mewakili habitat ladang dataran tinggi (Tabel 1). Penelitian dilakukan dari bulan Agustus 2004 hingga Juni 2005.

Tabel 1 Deskripsi lokasi yang dipilih berdasarkan metode pengukuran kelimpahan populasi C. odorata dan lalat puru C. connexa

Lokasi/Desa Koordinat

128 0 Hutan tanaman industri dengan tanaman utama Acacia mangium disertai populasi

C. odorata dominan

Setu 060.46 LS

1060.45 BT

128 6 Lahan terbuka dengan

dominasi Melastoma affine dan

C. odorata yang berbatasan dengan lahan tanaman falcataria) dengan dominasi

(22)

8

Metode Survei Keberadaan Lalat Puru C. connexa. Lokasi penelitian ditentukan berdasarkan metode purposive sampling, yaitu lokasi yang dijumpai C. odorata, dengan pertimbangan gradien jarak dari tempat pelepasan lalat puru C. connexa, ketinggian tempat, serta adanya barier berupa pegunungan. Dari hasil survei pendahuluan maka ditetapkan daerah yang terpilih sebagai tempat pengambilan sampel, yaitu Hutan Tanaman Industri (HTI) Parung Panjang-Jasinga, Bogor dan Pakuwon-Parung Kuda, Sukabumi sebagai tempat pelepasan lalat puru C. connexa, Desa Setu-Jasinga, Kampus IPB Darmaga, Gunung Bunder, Gunung Salak, Gunung Halimun, Ciawi, Cisarua, dan Cianjur (Tabel 2).

Tabel 2 Deskripsi lokasi yang dipilih berdasarkan metode survei keberadaan lalat puru C. connexa atas permukaan laut, 4) Jarak lokasi dari titik pelepasan diParung Panjang, 5) Jarak lokasi dari titik pelepasan di Pakuwon

Pengambilan Contoh Tumbuhan

(23)

jarak antara transek 15 m (Gambar 1). Sepanjang jalur transek dibuat petak contoh berbentuk bujur sangkar (2 m x 2 m) dengan jarak 15 m, sehingga pada masing-masing transek terdapat 3 petak contoh, jadi ada 15 petak contoh pada setiap lokasi penelitian. Pengambilan sampel dilakukan sebanyak tiga kali pada setiap lokasi penelitian, yaitu bulan Agustus 2004, Mei 2005, dan Juni 2005. Pengambilan sampel antara bulan Agustus 2004 dan Mei 2005 bukan merupakan petak contoh yang permanen, tetapi antara bulan Mei 2005 dan Juni 2005 merupakan petak contoh yang permanen.

Gambar 1 Metode analisis vegetasi.

(24)

10

dilakukan dengan mengacu buku Kostermans et al. (1987) dan Laumonier et al.

(1987). Spesies tumbuhan yang tidak diketahui nama ilmiahnya diidentifikasi di Herbarium SEAMEO-BIOTROP Bogor.

Estimasi Populasi C. odorata dan Lalat Puru C. connexa

Untuk mengestimasi populasi C. odorata, di dalam setiap petak contoh jumlah pucuk C. odorata dihitung sehingga setiap batang C. odorata bisa terdiri dari beberapa pucuk. Jumlah pucuk lebih akurat untuk mengestimasi populasi C. odorata dibandingkan jumlah batang karena serangan lalat puru C. connexa

terdapat di pucuk tanaman yang merupakan tempat terbentuknya bunga dan buah. Populasi lalat puru C. connexa diestimasi dengan menghitung kelimpahan jumlah puru di dalam setiap petak contoh, sedangkan populasi C. odorata ditentukan dengan menghitung jumlah pucuk pada setiap batang C. odorata dalam setiap petak contoh tersebut.

Analisis Data

Data keseluruhan spesies tumbuhan yang diperoleh pada setiap lokasi dapat diduga dengan menggunakan kurva akumulasi spesies yang dibuat dengan program EstimateS 6.0b1 (Colwell 2000). Jumlah spesies tumbuhan yang diperoleh pada setiap petak contoh diacak sebanyak 50 kali menggunakan program tersebut. Prediksi kekayaan spesies tumbuhan diduga dengan

abundance-based coverage estimator (ACE) (Colwell & Coddington 1994). Indeks keanekaragaman tumbuhan diukur berdasarkan Shannon-Wiener (H’) = -Σ pi ln pi dimana pi = proporsi spesies ke-i terhadap total jumlah spesies,

(25)

kemudian di analisis lanjut dengan menggunakan analisis kelompok (cluster analysis) (Krebs 1998). Pengelompokan dalam bentuk dendogram menggunakan

Unweighted Pair-Group Average (UPGMA) dan jarak Euclidean yang dibuat dengan perangkat lunak Statistica for Windows 6.0 (StatSoft 1995).

Analisis vegetasi dihitung dengan menentukan kerapatan, frekuensi, dan indeks nilai penting (INP) menggunakan rumus Dumbois-Mueller (Cox 2002) sebagai berikut:

Jumlah individu suatu spesies i Kerapatan Mutlak (i) = ---

Jumlah total luas area petak sampel Kerapatan mutlak spesies i Kerapatan Relatif (i) = ---

Kerapatan total seluruh spesies

Jumlah satuan petak sampel yang diduduki spesies i Frekuensi Mutlak (i) = ---

Jumlah petak sampel yang dibuat dalam analisis Frekuensi mutlak spesies i

Frekuensi Relatif (i) = ---

Frekuensi total seluruh spesies

Indeks Nilai Penting (i) = Kerapatan relatif (i) + Frekuensi relatif (i)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Distribusi dan Kelimpahan Populasi C. odorata

(26)

12

ladang, dan hutan tanaman industri, keberadaan C. odorata memiliki status sebagai gulma penting yang merugikan karena populasinya sangat padat sehingga mampu berkompetisi dengan tanaman budidaya dalam memperoleh unsur hara yang dibutuhkan (Tjitrosemito 1998).

Persebaran C. odorata saat ini sudah sangat luas yang dapat tumbuh pada berbagai tipe habitat dengan kelimpahan populasi yang berbeda, namun kelimpahan populasinya cenderung menurun seiring dengan bertambahnya ketinggian suatu lokasi. Binggeli (1997) melaporkan bahwa C. odorata hanya dapat tumbuh pada ketinggian dibawah 1000 mdpl. Keadaan ini dibuktikan dari hasil survei yang dilakukan di Gunung Bunder, dimana populasi C. odorata hanya ditemukan sampai pada ketinggian 650 mdpl. Pada ketinggian lebih dari 650 mdpl C. odorata tidak dijumpai tetapi lebih didominasi oleh Austroeupatorium inulaefolium (L.)(Asteraceae) dengan kelimpahan populasi yang sangat tinggi. A. inulaefolium merupakan spesies tumbuhan yang secara taksonomi masih memiliki hubungan kekerabatan dekat dengan C. odorata yang berada dalam satu famili yaitu Asteraceae (McFadyen et al. 2003).

Untuk melihat kelimpahan populasi C. odorata pada berbagai tipe habitat yang berbeda, dipilih empat lokasi yang mewakili habitat perkebunan (Parung Panjang), hutan buatan (Darmaga), ladang dataran rendah (Setu), dan ladang dataran tinggi (Gunung Bunder). Dari hasil observasi yang dilakukan pada empat habitat C. odorata memperlihatkan bahwa kelimpahan populasi C. odorata

tertinggi diperoleh pada habitat C. odorata di Parung Panjang dibandingkan dengan habitat C. odorata lainnya (Gambar 2). Habitat C. odorata di Parung Panjang adalah perkebunan yang merupakan Hutan Tanaman Industri dengan tanaman utama Acacia mangium.

(27)

juga mengalami peningkatan yang berasal dari populasi waktu pengamatan sebelumnya. Pada bulan Agustus 2004 kelimpahan populasi C. odorata mencapai titik terendah kemudian meningkat pada bulan Mei 2005 kecuali pada habitat C. odorata di Darmaga dan mencapai puncaknya pada bulan Juni 2005. Menurunnya populasi C. odorata di Darmaga pada bulan Mei 2005 disebabkan karena adanya pemangkasan di habitat tersebut, namun pada bulan berikutnya yaitu Juni 2005 kelimpahan populasi C. odorata kembali mengalami peningkatan.

0

Agustus 2004 Mei 2005 Juni 2005

Waktu pengamatan

Gambar 2 Kelimpahan populasi C. odorata pada empat lokasi penelitian selama tiga kali pengambilan sampel.

Rendahnya populasi pucuk C. odorata pada bulan Agustus disebabkan karena kondisi iklim yang memasuki musim kemarau sehingga menyebabkan batang C. odorata menjadi kering. Keringnya bagian batang dan daun C. odorata

(28)

14

efektifnya lalat puru C. connexa untuk menekan populasi C. odorata karena kelimpahan populasi lalat puru tidak mampu mengimbangi populasi inangnya yang tumbuh dengan populasi yang sangat berlimpah.

Distribusi dan Kelimpahan PopulasiLalat Puru C. connexa

Lalat puru C. connexa mulai dilepas pada tahun 1995 setelah memperoleh surat izin pelepasan yang dikeluarkan oleh Menteri Pertanian. Di Jawa Barat ada tiga titik pelepasan lalat puru C. connexa yang dilakukan di Parung Panjang-Jasinga, Bogor pada bulan Desember tahun 1995, Pakuwon-Parung Kuda, Sukabumi pada bulan Mei dan Juni tahun 1996, dan Cagar Alam Pangandaran, Ciamis pada bulan Oktober tahun 1999 (Tjitrosemito 1998; Widayanti et al.

2001). Dalam penelitian ini, pengamatan terhadap distribusi lalat puru C. connexa

hanya difokuskan pada titik pelepasan di Parung Panjang-Jasinga (128 mdpl) dan Pakuwon-Parung Kuda, Sukabumi (300 mdpl). Distribusi lalat puru C. connexa

berdasarkan lokasi penelitian disajikan pada gambar 3.

(29)

Hasil observasi berdasarkan metode survei keberadaan lalat puru C. connexa, memperlihatkan bahwa setelah 10 tahun dilepas lalat puru C. connexa

memiliki kemampuan menyebar cukup jauh dari titik pelepasannya baik dari Parung Panjang-Jasinga, Bogor maupun dari Pakuwon-Parung Kuda, Sukabumi. Secara spesifik, untuk mengetahui keberadaan lalat puru C. connexa pada suatu lokasi berasal dari titik pelepasan di Parung Panjang-Jasinga, Bogor atau dari Pakuwon-Parung Kuda, Sukabumi sulit untuk diketahui secara pasti. Walaupun demikian, keberadaan lalat puru C. connexa tersebut pada suatu lokasi dipastikan berasal dari titik pelepasan yang terdekat.

Keberadaan lalat puru C. connexa di daerah Setu (128 mdpl), Darmaga (170 mdpl), dan Gunung Bunder (650 mdpl) berasal dari titik pelepasan di Parung Panjang-Jasinga, Bogor. Walaupun demikian, tidak menutup kemungkinan bahwasanya keberadaan lalat puru C. connexa di daerah Darmaga dan Gunung Bunder juga bisa berasal dari titik pelepasan di Pakuwon-Parung Kuda, Sukabumi (Gambar 3). Di Gunung Bunder yang berjarak 35 km dari titik pelepasan di Parung Panjang-Jasinga dan 21 km dari titik pelepasan di Pakuwon-Parung Kuda, Sukabumi (Tabel 2), lalat puru C. connexa masih dijumpai walaupun dengan kelimpahan populasi yang sangat rendah. Keberadaan lalat puru C. connexa di Gunung Bunder lebih banyak berasal dari titik pelepasan di Pakuwon-Parung Kuda, Sukabumi karena memiliki jarak yang lebih dekat dari titik pelepasan tersebut dibandingkan dari titik pelepasan di Parung Panjang-Jasinga, Bogor.

Di Darmaga yang berjarak relatif hampir sama baik dari titik pelepasan di Parung Panjang-Jasinga, Bogor (31 km) maupun dari titik pelepasan di Pakuwon-Parung Kuda, Sukabumi (32 km) (Tabel 2), keberadaan lalat puru C. connexa

(30)

16

Saat ini lalat puru C. connexa telah mapan dan menyebar secara alami. Adanya barier seperti pegunungan merupakan faktor pembatas terhadap distribusi lalat puru C. connexa. Keadaan ini dibuktikan dengan tidak dijumpainya lalat puru C. connexa tersebut di daerah Cianjur 1 (714 mdpl) dan Cianjur 2 (608 mdpl), serta di Gunung Halimun (650 mdpl), namun keberadaan inangnya C. odorata pada tiga daerah tersebut masih bisa ditemukan. Adanya barier Gunung Halimun bagian selatan merupakan faktor pembatas terhadap distribusi lalat puru

C. connexa sehingga tidak ditemukannya lalat puru tersebut di daerah Gunung Halimun. Di daerah Cianjur, lalat puru C. connexa juga tidak dijumpai karena adanya barier berupa Gunung Gede dan Gunung Pangranggo sehingga menyebabkan terbatasnya distribusi lalat puru tersebut.

Kelimpahan populasi lalat puru C. connexa dipelajari secara spesifik pada 4 lokasi penelitian berdasarkan perbedaan habitat dan ketinggian lokasi penelitian. Empat lokasi tersebut mewakili habitat perkebunan (Parung Panjang), hutan buatan (Darmaga), ladang dataran rendah (Setu), dan ladang dataran tinggi (Gunung Bunder). Hasil observasi berdasarkan metode pengukuran populasi pada empat lokasi penelitian tersebut memperlihatkan bahwa keberadaan C. odorata

diikuti juga dengan keberadaan musuh alaminya yaitu lalat puru C. connexa. Lalat puru mampu menyebar secara alami dan beradapatasi pada setiap habitat tetapi memiliki kelimpahan berbeda yang dipengaruhi oleh ketersediaan inangnya, kondisi habitat, dan keberadaan musuh alami.

Berdasarkan hasil survei, kelimpahan populasi lalat puru C. connexa

meningkat seiring dengan bertambahnya waktu pengambilan sampel kecuali kelimpahan lalat puru di Gunung Bunder yang relatif hampir sama selama tiga kali pengambilan sampel (Gambar 4). Kelimpahan populasi lalat puru C. connexa

(31)

dan mencapai puncaknya pada bulan Juni 2005. Keadaan ini disebabkan karena selama musim kemarau bulan Agustus 2004 kelimpahan populasi C. odorata juga rendah karena batang mengalami kekeringan dan mati sehingga menurunkan kelimpahan populasi lalat puru C. connexa. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Tjitrosemito (1999b) yang menyatakan bahwa kelimpahan populasi lalat puru lebih tinggi pada musim hujan (Mei dan Juni) dibandingkan pada waktu musim kemarau (Agustus). Pada musim kemarau, jumlah pucuk C. odorata sebagai inang bagi lalat puru C. connexa kurang memadai sehingga telur yang diletakkan selama musim kemarau tidak dapat menyelesaikan siklus hidupnya. Hal ini mengindikasikan bahwa populasi lalat puru C. connexa sangat dipengaruhi oleh ketersediaan C. odorata sebagai inangnya.

Kelimpahan populasi lalat puru C. connexa cenderung menurun seiring betambahnya ketinggian suatu tempat. Keadaan ini dibuktikan berdasarkan hasil pengamatan di Gunung Bunder pada ketinggian 650 mdpl yang memperlihatkan rendahnya kelimpahan populasi lalat puru C. connexa selama tiga kali pengambilan sampel (Gambar 4). Hal ini disebabkan karena kelimpahan populasi

C. odorata sebagai inang bagi lalat puru juga rendah sehingga mempengaruhi kelimpahan populasi lalat puru tersebut. Selain itu, kondisi habitat di Gunung

0

Agustus 2004 Mei 2005 Juni 2005

m

2

P. Panjang Darmaga Setu Gn. Bunder

Lokasi

(32)

18

Bunder berupa pegunungan yang memiliki perbedaan suhu dan kelembaban dengan dataran rendah menyebabkan terbatasnya distribusi lalat puru yang berdampak terhadap rendahnya kelimpahan populasi lalat puru C. connexa di lokasi tersebut.

Terbentuknya puru pada batang dapat mengurangi pertumbuhan batang, produksi biji, dan penyimpanan karbohidrat untuk cadangan makanan (Erasmus et al. 1992). Jika terdapat dalam jumlah banyak, puru batang dapat menghambat pertumbuhan bahkan mematikan inangnya (Ehler et al. 1984 dalam McFadyen et al. 2003). Adanya lalat dalam puru batang C. odorata diharapkan mampu untuk menurunkan populasinya. Berdasarkan pengamatan secara visual di lapangan memperlihatkan bahwa intensitas serangan lalat puru sangat tinggi terhadap setiap batang dan pucuk C. odorata, namun keberadaan puru tersebut tidak mematikan

C. odorata. Terbentuknya puru pada batang dan pucuk hanya bisa menghambat pertumbuhan C. odorata saja. Walaupun lalat puru C. connexa tidak mampu menurunkan populasi inangnya secara nyata, C. odorata yang telah terinfestasi oleh puru memiliki produksi biji yang rendah dan proses perkecambahan juga menurun terutama bila seluruh pucuk terinfestasi oleh puru. Fenomena lain yang dijumpai adalah banyaknya C. odorata dengan tinggi kurang dari 100 cm, selain itu terlihat secara umum diameter batang lebih kecil bila dibandingkan dengan diameter batang yang normal. Chenon et al. 2002 melaporkan bahwa tinggi batang C. odorata yang terinfestasi oleh lalat puru C. connexa memiliki kisaran antara 70-85 cm sedangkan panjang batang normal berkisar antara 224-244 cm.

Kekayaan Spesies Tumbuhan di Habitat C. odorata

(33)

kurva akumulasi spesies hasil observasi di lapangan pada keempat habitat C. odorata tersebut (Gambar 5).

Keanekaragaman spesies tumbuhan pada empat habitat C. odorata

memperlihatkan bahwa kekayaan spesies (species richness) tertinggi diperoleh di Darmaga dan terendah di Parung Panjang (Gambar 5). Hal ini mengindikasikan bahwa habitat C. odorata di Darmaga memiliki keanekaragaman tumbuhan yang lebih beragam dibandingkan habitat C. odorata di daerah lain. Berdasarkan nilai penduga ACE, jumlah spesies tumbuhan yang dikoleksi tertinggi diperoleh di Darmaga, Gunung Bunder, dan Setu (ACE 100%), sedangkan terendah diperoleh di Parung Panjang (ACE 95.6%) dari total jumlah spesies yang ada.

5

Gambar 5 Kurva akumulasi spesies tumbuhan pada empat habitat C. odorata.

(34)

20

Tabel 3 Jumlah Famili (F), Spesies (S), Individu (N), Indeks Shannon (H’) dan kemerataan (E) tumbuhan pada tiap habitat C. odorata

Lokasi penelitian F S N H' E

Parung Panjang 11 15 15.907 0.77 0.28

Setu 13 25 36.048 1.26 0.39

Darmaga 14 26 24.623 0.94 0.29

Gunung Bunder 11 20 54.554 1.16 0.39

Total 21 44 131.132 1.96 0.52

Hasil perhitungan indeks kemiripan Sorensen (Cs) memperlihatkan bahwa antara lokasi Parung Panjang dan Setu memiliki indeks kemiripan tertinggi yaitu 0.65 atau sekitar 65% komposisi spesies tumbuhan yang ditemukan adalah sama. Komposisi spesies tumbuhan antara Parung Panjang dengan Gunung Bunder memiliki indeks kemiripan terendah yaitu 0.40 atau sekitar 40% komposisi spesies tumbuhan yang ditemukan sama pada kedua habitat C. odorata tersebut (Tabel 4).

Tabel 4 Indeks kemiripan Sorensen (Cs) seluruh spesies tumbuhan antar lokasi penelitian pada habitat C. odorata

Lokasi penelitian Parung Panjang Setu Darmaga Gunung Bunder Parung Panjang 1.00

Setu 0.65 1.00

Darmaga 0.44 0.55 1.00

Gunung Bunder 0.40 0.44 0.57 1.00

(35)

kedua lokasi tersebut. Kondisi habitat C. odorata di Gunung Bunder yang berbatasan langsung dengan lahan persawahan dan tanaman jagung serta berada pada ketinggian 650 mdpl, diduga menjadi penyebab perbedaan komposisi spesies tumbuhan dengan habitat C. odorata di Parung Panjang.

Berdasarkan hasil analisis pengelompokan menunjukkan bahwa habitat C. odorata di Setu dan Parung Panjang berada dalam satu kelompok, sedangkan kelompok lainnya terdiri dari habitat C. odorata di Gunung Bunder dan Darmaga (Gambar 6). Dengan demikian melalui pendekatan matriks kemiripan dan gambar dendogram maka komunitas tumbuhan pada empat habitat C. odorata dapat dibedakan secara tegas berdasarkan komposisi spesies penyusun pada masing-masing habitat C. odorata tersebut.

Setu

Gambar 6 Dendogram pengelompokan spesies tumbuhan pada empat habitat

C. odorata.

Implikasi Keberadaan Tumbuhan Eksotik Invasif C. odorata terhadap Keberadaan Tumbuhan Lokal

Indeks nilai penting (INP) spesies tumbuhan pada setiap habitat C .odorata

(36)

22

Darmaga adalah C. odorata dengan nilai penting masing-masing sebesar 47%, 28.20%, dan 49.57%, sedangkan di Gunung Bunder Boreria alata memiliki indeks nilai penting tertinggi yaitu sebesar 73.38% (Tabel 5). Untuk kelompok spesies tumbuhan merambat, indeks nilai penting tertinggi di Parung Panjang dan Setu adalah Cyrtococcum oxyphyllum dengan nilai penting masing-masing sebesar 131.8% dan 89.97%, di Darmaga indeks nilai penting tertinggi adalah Panicum repens sebesar 98.34%, sedangkan di Gunung Bunder adalah Axonopus compressus dengan nilai penting sebesar 72.85% (Tabel 6). Dengan demikian spesies-spesies yang memiliki indeks nilai penting tertinggi merupakan spesies yang mempunyai kemampuan adaptasi dan toleransi yang lebih baik dibandingkan dengan spesies yang lainnya, baik bila dihubungkan dengan pengaruh keberadaan

C. odorata maupun dalam kaitannya dengan kompetisi dengan spesies lain sehingga spesies-spesies tumbuhan tersebut mendominasi pada setiap habitat C. odorata tersebut.

Tabel 5 Indeks Nilai Penting (INP) spesies tumbuhan tegak pada empat habitat

C. odorata

Lokasi penelitian / INP (%) No. Spesies

P. Panjang Setu Darmaga Gn. Bunder

1 Chromolaena odorata 47.00* 28.20* 49.57* 23.29

2 Boreria leavis 46.18 - 16.26 -

INP tertinggi pada setiap habitat C. odorata

#)

(37)

Tabel 6 Indeks Nilai Penting (INP) spesies tumbuhan merambat pada empat habitat C. odorata

Lokasi penelitian / INP (%) No. Spesies

P. Panjang Setu Darmaga Gn. Bunder

1 Cyrtococcum oxyphyllum 131.8* 89.97* - -

2 Axonopus compressus 48.60 37.11 19.13 72.85*

3 Lygodium microphyllum 19.55 - - -

*) INP tertinggi pada setiap habitat C. odorata

#) Chrysopogon aciculatus, Mikania micrantha, Centrosema pubescen, Widelia trilobata, Eleusine indica, Commelina

diffusa, Setaria palmifolia, Cyperus kyllingia, Eragrostis unioloides

Hasil perhitungan indeks nilai penting untuk spesies tumbuhan eksotik invasif C. odorata di Parung Panjang, Setu, dan Darmaga memperlihatkan bahwa kelimpahan populasi tumbuhan ini mendominasi pada tiga habitat tersebut kecuali di Gunung Buder (Tabel 5). Keadaan ini mengindikasikan bahwa kehadiran spesies tumbuhan eksotik invasif C. odorata pada tiga habitat tersebut telah menyebabkan terjadinya pengambilalihan atau pergantian skala ruang, yaitu tempat atau ruang yang seharusnya ditempati oleh spesies-spesies tumbuhan lokal kemudian diambil alih keberadaannya oleh tumbuhan eksotik invasif C. odorata.

Selain itu, kehadiran tumbuhan eksotik invasif C. odorata pada empat lokasi penelitian menyebabkan terjadinya penurunan keanekaragaman spesies tumbuhan yang berada di sekitarnya. Hal ini diperkuat berdasarkan hasil perhitungan indeks keanekaragaman Shannon-Wiener yang memperlihatkan rendahnya nilai indeks keanekaragaman tumbuhan pada keempat habitat C. odorata tersebut (Tabel 3).

Pada 8 minggu pertama setelah tumbuh dari biji, C. odorata

mengalokasikan sebagian besar hasil fotosintesis atau biomassanya untuk pembentukan daun. Setelah 8 minggu pertama, hasil fotosintesis atau biomassanya diarahkan untuk pembentukan batang sehingga C. odorata

(38)

24

jumlah daunnya. Keadaan seperti ini menyebabkan C. odorata bersifat agresif karena akan segera menutupi pertumbuhan kecambah spesies tumbuhan lain yang kurang cepat pertumbuhannya sehingga akan menghambat pertumbuhan kecambah spesies tumbuhan tersebut dan bahkan dapat menyebabkan kematian kecambah (Tjitrosemito 1997).

Keberadaan tumbuhan eksotik invasif C. odorata ini pertumbuhannya akan berkompetisi dengan spesies-spesies tumbuhan lain yang berada dibawahnya baik dari kelompok tumbuhan tegak maupun yang merambat. Apabila C. odorata ini menaungi spesies-spesies tumbuhan yang berada di bawahnya secara terus menerus dalam jangka waktu yang lama, maka dapat menyebabkan hilangnya spesies-spesies tumbuhan yang berada di bawah naungan C. odorata tersebut (Tjitrosemito 22 Agustus 2006, komunikasi pribadi).

KESIMPULAN

Persebaran spesies tumbuhan eksotik invasif C. odorata di Jawa Barat khususnya daerah Bogor sudah sangat luas. C. odorata dapat tumbuh pada berbagai tipe habitat meliputi habitat perkebunan, hutan buatan, ladang dataran rendah, maupun ladang dataran tinggi dengan kelimpahan yang berbeda. Kelimpahan populasinya cenderung menurun seiring dengan bertambahnya ketinggian suatu lokasi.

(39)

berupa pegunungan merupakan faktor pembatas terhadap distribusi lalat puru C. connexa. Kelimpahan populasi lalat puru C. connexa sangat dipengaruhi oleh ketersediaan inangnya yaitu C. odorata.

Komunitas tumbuhan yang diperoleh pada habitat C. odorata di Parung Panjang, Setu, Darmaga, dan Gunung Bunder secara keseluruhan terdiri dari 131.132 individu tumbuhan yang termasuk ke dalam 21 famili dan 44 spesies. Tingkat kemiripan komposisi spesies tumbuhan tertinggi terdapat pada habitat C. odorata antara Parung Panjang dan Setu yaitu 65%, sedangkan yang terendah diperoleh pada habitat C. odorata antara Parung Panjang dengan Gunung Bunder sebesar 40%.

(40)

STRUKTUR KOMUNITAS SERANGGA PADA HABITAT

TUMBUHAN EKSOTIK INVASIF: STUDI KASUS PADA

HABITAT

Chromolaena odorata

(L.) KING & ROBINSON

(ASTERACEAE) DI BOGOR, JAWA BARAT

PENDAHULUAN

Keberadaan spesies eksotik invasif merupakan suatu ancaman yang serius terhadap ekosistem dan keanekaragaman hayati (Wittenberg & Cock 2003). Spesies eksotik invasif dapat menyebabkan homogenisasi biotik, merubah suatu komunitas, dan kepunahan spesies lokal (Olden et al. 2004; Untung 2005). Sebagai contoh, kirinyuh atau Chromolaena odorata (Asteraceae) adalah spesies tumbuhan eksotik invasif. Kemampuan adaptasinya dapat mendominasi suatu habitat, seperti di hutan lindung Panunjang, Jawa Barat dan Taman Nasional Baluran, Jawa Timur (Tjitrosemito 1998).

Pengendalian kirinyuh dengan memanfaatkan agens hayatinya telah dilakukan dengan mengintroduksi lalat pembentuk puru Cecidochares connexa

Macquart (Diptera: Tephritidae) pada tahun 1993 dari Columbia (McFadyen et al. 2003). Di Jawa Barat lalat puru C. connexa mulai dilepas pada tahun 1995 di Hutan Tanaman Industri Parung Panjang-Jasinga, Bogor (Tjitrosemito 1998). Sampai saat ini lalat puru C. connexa telah mapan keberadaannya dan menyebar secara alami.

Keberadaan spesies eksotik dapat dikendalikan dengan teknik pengendalian hayati, seperti C. odorata yang dikendalikan dengan lalat puru C. connexa. Namun tidak semua pengendalian spesies eksotik berhasil menurunkan populasi inangnya. Kemapanan populasi agens hayati yang tidak mampu menurunkan populasi inangnya dapat memfasilitasi efek bottom-up yang menghubungkan gulma sasaran dengan organisme lokal lainnya (Pearson & Callaway 2003).

(41)

langsung (indirect effects) melalui interaksi dan subsidi jaring-jaring makanan. Efek tidak langsung dapat terjadi melalui penggantian ekosistem ketika agens hayati secara fisik dan fungsional menggantikan spesies lokal (Pearson & Callaway 2003).

Sampai saat ini, studi ekologi mengenai dampak keberadaan spesies ekostik invasif C. odorata belum pernah dilakukan, seperti penelitian bagaimana dampak keberadaan C. odorata dan agens hayati C. connexa terhadap struktur komunitas serangga lokal. Berdasarkan permasalahan di atas, maka diperlukan suatu penelitian untuk mengetahui struktur komunitas serangga pada habitat C. odorata.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari struktur komunitas serangga di daerah yang telah diinvasi oleh C. odorata dengan mengambil studi kasus di daerah Bogor, Jawa Barat.

BAHAN DAN METODE

Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian ditentukan berdasarkan metode purposive sampling, yaitu lokasi yang dijumpai C. odorata, dengan pertimbangan tipe habitat dan ketinggian tempat. Dari hasil survei pendahuluan maka ditetapkan daerah yang terpilih sebagai tempat pengambilan sampel: (1) Hutan Tanaman Industri (HTI) Parung Panjang-Jasinga mewakili habitat perkebunan dan tempat pelepasan lalat puru

C. connexa, (2) Desa Setu-Jasinga mewakili habitat ladang dataran rendah, (3) Kampus IPB Darmaga mewakili habitat hutan buatan, dan (4) Gunung Bunder mewakili habitat ladang dataran tinggi (Tabel 7). Penelitian dilakukan dari bulan Agustus 2004 hingga Juni 2005.

Pengambilan Contoh Serangga

(42)

28

petak contoh pada setiap lokasi penelitian. Pengambilan sampel dilakukan sebanyak 3 kali pada setiap lokasi penelitian, yaitu bulan Agustus 2004, Mei 2005, dan Juni 2005.

Tabel 7 Deskripsi lokasi yang dipilih untuk penelitian

Lokasi/Desa Koordinat

128 0 Hutan tanaman industri dengan tanaman utama Acacia mangium

disertai populasi C. odorata

dominan

Setu 060.46 LS

1060.45 BT

128 6 Lahan terbuka dengan dominasi

Melastoma affine dan C. odorata

yang berbatasan dengan lahan falcataria) dengan dominasi

C. odorata dan Widelia trilobata

yang berbatasan dengan jalan raya

Gunung Bunder 060.66 LS 1060.69 BT

650 35 Lahan terbuka dengan dominasi

Ageratum conyzoides dan

Boreria alata yang berbatasan dengan lahan persawahan dan

(43)

Gambar 7 Perangkap serangga yang digunakan; (a) yellow pan trap (b) pitfall trap (c) malaise trap.

a b c

Nampan kuning yang digunakan adalah wadah plastik berukuran 15 cm x 25 cm x 7 cm. Nampan kuning diisi dengan air sabun dan garam secukupnya untuk mengurangi tegangan permukaan, sehingga serangga yang terperangkap tenggelam dan mati. Selanjutnya nampan kuning diletakkan pada permukaan tanah sebanyak 2 buah dalam setiap petak contoh, sehingga terdapat 30 buah nampan kuning yang dipasang selama 24 jam pada setiap lokasi penelitian.

Perangkap malaise terbuat dari jaring yang berbentuk seperti tenda (berbentuk prisma). Pada bagian puncaknya dipasang botol plastik yang berfungsi sebagai perangkap. Perangkap malaise efektif untuk serangga yang aktif terbang, serangga terbang akan menabrak jaring kemudian serangga akan bergerak ke atas mengikuti pola jaring menuju botol perangkap. Perangkap ditempatkan secara diagonal masing-masing diantara transek 2-3 dan transek 4-5, sehingga terdapat 2 buah perangkap malaise yang dipasang selama 24 jam. Serangga yang tertangkap dengan perangkap jebak, nampan kuning, dan malaise dibersihkan dari kotoran. Selanjutnya disimpan dalam tabung film berisi alkohol 70% untuk diidentifikasi di laboratorium.

(44)

30

Analisis Data

Data keseluruhan spesies serangga yang diperoleh pada setiap lokasi dapat diduga dengan menggunakan kurva akumulasi spesies yang dibuat dengan program EstimateS 6.0b1 (Colwell 2000). Jumlah spesies serangga yang diperoleh pada setiap petak contoh diacak sebanyak 50 kali menggunakan program tersebut. Prediksi kekayaan spesies serangga diduga dengan abundance-based coverage estimator (ACE) (Colwell & Coddington 1994).

Indeks keanekaragaman serangga diukur berdasarkan Shannon-Wiener (H’) = -Σ pi ln pi dimana pi = proporsi spesies ke-i terhadap total jumlah spesies,

Indeks kemerataan berdasarkan Shannon-Wiener (E) = H’/ln (S) dimana S = total jumlah spesies yang diperoleh. Kemiripan komunitas serangga antar lokasi diukur dengan menggunakan Indeks Sorensen (Cs) = 2j / a+b dimana j adalah jumlah spesies yang ditemukan di daerah a dan b, a = jumlah spesies yang ditemukan di daerah a, b = jumlah spesies yang ditemukan di daerah b (Magurran 1988; Kreb 1998). Indeks tersebut dihitung dengan mengggunakan Biodiv97 yang merupakan perangkat lunak macro pada Microsoft Excel. Matrik yang diperoleh kemudian dianalisis lanjut dengan menggunakan analisis kelompok (cluster analysis) (Krebs 1998). Pengelompokan dalam bentuk dendogram menggunakan Unweighted Pair-Group Average (UPGMA) dan jarak Euclidean yang dibuat dengan perangkat lunak Statistica for Windows 6.0 (StatSoft 1995).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kekayaan Spesies Serangga di Habitat C. odorata

Keanekaragaman spesies serangga pada empat habitat C. odorata

(45)

yang dikoleksi tertinggi diperoleh di Setu (ACE 77.2%), sedangkan terendah diperoleh di Gunung bunder (ACE 70%) dari total jumlah spesies yang ada.

Gambar 8 Kurva akumulasi spesies serangga pada empat habitat C. odorata.

0

Dari empat lokasi pengambilan sampel pada habitat C. odorata diperoleh 24.213 individu serangga yang termasuk ke dalam 14 ordo, 132 famili, dan 568 spesies (Tabel 8). Kelimpahan individu (species abundance) serangga terbesar diperoleh dari habitat C. odorata di Setu yaitu sebesar 8.967 individu (37%). Kekayaan spesies tertinggi didapat di Darmaga yaitu 345 spesies. Ordo dan famili terbanyak juga diperoleh di Darmaga yaitu 13 ordo dan 103 famili. Berdasarkan nilai indeks keanekaragaman Shannon dan kemerataan (evenness), spesies serangga tertinggi diperoleh pada habitat C. odorata di Gunung Bunder masing-masing sebesar 4.13 dan 0.73.

Tabel 8 Jumlah ordo (O), famili (F), spesies (S), Individu (N), Indeks Shannon (H’) dan kemerataan (E) serangga pada tiap habitat C. odorata

(46)

32

Dari hasil sampling yang dilakukan terlihat bahwa kekayaan spesies dan kelimpahan individu terbesar yang dikumpulkan dari empat habitat C. odorata

adalah ordo Hymenoptera (Gambar 9). Ordo Diptera merupakan ordo terbesar kedua yang diikuti oleh Ordo Hemiptera yang menempati urutan terbesar ketiga. Ordo Orthoptera, Coleoptera, Blattodea, Dermaptera, Isoptera, Lepidoptera, Mantodea, Neuroptera, Odonata, Psocoptera, dan Thysanoptera merupakan ordo minor yang ditemukan pada masing-masing habitat C. odorata tersebut.

0 20 40 60 80

Keseluruhan serangga yang diperoleh pada empat habitat C. odorata

memperlihatkan bahwa ordo Hymenoptera mendominasi pada habitat tersebut. Kelimpahan individu Hymenoptera pada empat habitat C. odorata sebanyak

100

(47)

18.044 individu dari 24.213 total individu yang ditemukan. Berdasarkan kelimpahan individu relatif, sekitar 15.451 dari ordo Hymenoptera yang diidentifikasi didominasi oleh famili Formicidae. Keadaan ini menunjukkan bahwa famili Formicidae merupakan salah satu kelompok organisme yang dominan di ekosistem terestrial. Selanjutnya bila Formicidae dikeluarkan dari sampel, kekayaan spesies ordo Hymenoptera tetap mendominasi, namun secara kelimpahan individu ordo Diptera memiliki kelimpahan individu yang paling banyak kecuali pada habitat C. odorata di Gunung Bunder yang didominasi oleh ordo Hymenoptera (Gambar 10).

0

(48)

34

Kekayaan Spesies Hymenoptera dan Diptera di Habitat C. odorata Total jumlah Hymenoptera yang dikumpulkan dari empat habitat C. odorata

adalah 18.044 individu yang terdiri dari 43 famili dan 265 morfospesies. Kekayaan spesies tertinggi diperoleh pada habitat C. odorata di Darmaga yang terdiri dari 176 morfospesies, 35 famili, dan 3.318 individu. Sedangkan kekayaan spesies terendah diperoleh pada habitat C. odorata di Parung Panjang dan Gunung Bunder masing-masing terdiri dari 137 morfospesies, 32 famili dan 4.402 individu pada habitat C. odorata di Parung Panjang dan 28 famili serta 3.118 individu pada habitat C. odorata di Gunung Bunder (Tabel 9).

Tabel 9 Jumlah famili, spesies (S), dan individu (N) ordo Hymenoptera pada tiap habitat C. odorata

Total 137 4.402 151 7.166 176 3.318 137 3.118 265 18.044

Total Famili 32 35 35 28 43

* Anthophoridae, Aphilinidae, Apidae, Bethylidae, Bradynobaenidae, Ceraphronidae, Chalcididae, Chrysididae, Colletidae, Diapriidae, Elasmidae, Eulopidae, Eurytomidae, Evanidae, Fidellidae, Figitidae, Formicidae, Heloridae, Megachilidae, Megasphilidae, Mutillidae, Mymaridae, Mymarommatidae, Platygasteridae, Pompilidae, Proctotrupidae, Pteromalidae, Rhopalosomatidae, Scoliidae, Sierolomorphidae, Signiporidae, Sphecidae, Tiphiidae, Torymidae

(49)

lalat famili Cecidomyiidae dan Tephritidae (Ordo Diptera). Famili Eucoilidae merupakan parasitoid pupa pada ordo Diptera (Boror et al. 1981), sedangkan famili Eupelmidae bersifat parasitoid pada Ordo Diptera (famili Cecidomyiidae) (Nauman 1991). Famili Braconidae dan Eucoilidae masing-masing terdiri dari 22 morfospesies dan 3 morfospesies yang ditemukan pada empat habitat C. odorata. Famili Eupelmidae terdiri dari 3 morfospesies sedangkan famili Ormyridae hanya terdiri dari 1 morfospesies yang dijumpai pada habitat C. odorata di Parung Panjang, Setu, dan Darmaga, sedangkan di Gunung Bunder tidak ditemukan.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Hymenoptera dari kelompok parasitoid memiliki kekayaan spesies dan kelimpahan individu yang lebih tinggi dibandingkan Hymenoptera dari kelompok polinator maupun predator (Tabel 9). Famili Braconidae, Encyrtidae, Ichneumonidae, dan Scelionidae memiliki jumlah spesies dan kelimpahan individu yang paling tinggi pada habitat C. odorata di Parung Panjang, Setu, Darmaga, dan Gunung Bunder.

Tingginya kekayaan spesies dan kelimpahan individu kelompok Hymenoptera parasitoid pada empat habitat C. odorata tidak terlepas dari ketersediaan tumbuhan berbunga pada masing-masing habitat tersebut. Terdapat lima spesies tumbuhan yang diperoleh pada empat habitat C. odorata, yaitu

Ageratum conyzoides, Melastoma affine, Mimosa pudica, Phyllanthus urinaria,

(50)

36

Ordo Diptera yang berhasil dikumpulkan dari empat habitat C. odorata

sebanyak 3.015 individu yang terdiri dari 35 famili dan 120 morfospesies. Kekayaan spesies tertinggi diperoleh pada habitat C. odorata di Gunung Bunder yang terdiri dari 71 morfospesies, 25 famili, dan 795 individu. Sedangkan kekayaan spesies terendah diperoleh pada habitat C. odorata di Parung Panjang yang terdiri dari 47 morfospesies, 22 famili dan 627 individu (Tabel 10). Famili-famili Diptera yang ditemukan terdiri dari kelompok herbivor, predator, saprofag, dan polinator.

Tabel 10 Jumlah famili, spesies (S), dan individu (N) ordo Diptera pada tiap habitat C. odorata

* Anthomyiidae, Asteiidae, Calliphoridae, Carnidae, Ceratopogonidae, Chamaemyiidae, Chloropidae, Culicidae, Curtonotidae, Diastatidae, Diopsidae, Drosophilidae, Ephydridae, Lauxanidae, Micropezidae, Muscidae, Mycetophilidae, Otitidae, Pipunculidae, Sarcophagidae, Scathophagidae, Scatopsidae, Sciaridae, Sphaeroceridae, Stratiomyidae, Syrphidae, Tachinidae, Tethinidae, Therevidae, Tipulidae

(51)

melaporkan bahwa di Amerika Selatan ada 8 spesies dari famili Cecidomyiidae dan 2 spesies dari famili Tephritidae yang berpotensi sebagai agens hayati untuk mengendalikan C. odorata.

Famili Dolicophodidae dan Phoridae memiliki kekayaan spesies dan kelimpahan individu tertinggi (Tabel 10). Menurut Boror et al. (1981) Famili Dolicophodidae merupakan kelompok predator yang jumlah individunya berlimpah di hutan dan padang rumput. Melimpahnya kekayaan spesies dan kelimpahan individu Famili Dolicophodidae diduga terkait dengan banyaknya mangsa yang berada disekitar vegetasi pada keempat habitat C. odorata tersebut. Famili Phoridae termasuk dalam kelompok serangga saprofag (Boror et al. 1981). Adanya kotoran dan daun membusuk yang berasal dari vegetasi di sekitar habitat

C. odorata merupakan makanan bagi kelompok serangga saprofag, sehingga menyebabkan tingginya kekayaan spesies dan kelimpahan individu serangga dari famili tersebut. Serangga saprofag sangat berguna dalam proses jaring makanan karena membantu menguraikan bahan organik yang ada.

Dari hasil perangkap yang digunakan berupa pitfall trap, yellow pan trap, dan malaise trap tidak banyak imago lalat puru C. connexa yang dijumpai pada habitat C. odorata. Keadaan ini dibuktikan pada habitat C. odorata di Parung Panjang, Setu, dan Darmaga secara berturut-turut hanya ditemukan sebanyak 5, 3, dan 2 individu lalat puru C. connexa, sedangkan di Gunung Bunder tidak dijumpai sama sekali. Untuk mengukur populasi lalat puru C. connexa di lapangan tidak dapat diukur dengan menggunakan metode berupa perangkap pitfaall trap, yellow pan trap, dan malaise trap, tetapi dengan metode koleksi puru langsung dari lapangan atau dengan menggunakan staner trap yang diberi metyl eugenol.

Hubungan Keanekaragaman Serangga dengan Kondisi Habitat

(52)

38

tanaman utama A. mangium) yang memiliki kekayaan spesies serangga terendah yaitu 262 spesies (Tabel 8). Tingginya kekayaan spesies serangga pada habitat C. odorata di Darmaga diduga karena selain adanya tanaman utama juga terdapat komposisi vegetasi tumbuhan yang lebih beragam sehingga mempengaruhi kekayaan spesies serangga di sekitarnya dibandingkan dengan habitat C. odorata

di Parung Panjang, Setu, dan Gunung Bunder yang memiliki komposisi vegetasi tumbuhan yang cenderung lebih sedikit di banding Darmaga.

Kemiripan komposisi spesies serangga yang diperoleh antar lokasi dengan menggunakan indeks kemiripan Sorensen (Cs) memperlihatkan bahwa antara Parung Panjang dan Setu memiliki indeks kemiripan tertinggi yaitu 0.63 atau sekitar 63% dari spesies serangga yang ditemukan adalah sama. Komposisi spesies serangga yang ditemukan di Gunung Bunder dengan Parung Panjang memiliki indeks terendah yaitu 0.49 yang mengindikasikan bahwa spesies serangga yang ditemukan memiliki kemiripan sekitar 49% (Tabel 11).

Tabel 11 Indeks kemiripan Sorensen (Cs) seluruh spesies serangga antar lokasi penelitian pada habitat C. odorata

Lokasi penelitian Parung Panjang Setu Darmaga Gunung Bunder Parung Panjang 1.00

Setu 0.63 1.00

Darmaga 0.54 0.55 1.00

Gunung Bunder 0.49 0.54 0.57 1.00

(53)

mempengaruhi keberadaan spesies serangga yang ditemukan pada kedua lokasi tersebut. Kondisi habitat C. odorata di Gunung Bunder yang berbatasan langsung dengan lahan persawahan dan tanaman jagung serta berada pada ketinggian 650 mdpl, diduga menjadi penyebab perbedaan komposisi spesies serangga dengan habitat C. odorata di Parung Panjang. Berdasarkan hasil analisis pengelompokan menunjukkan bahwa keanekaragaman serangga pada empat habitat C. odorata

masih berada dalam satu kelompok (Gambar 11). Hal ini mengindikasikan bahwa keempat habitat C. odorata di Parung Panjang, Setu, Darmaga, dan Gunung Bunder memiliki komposisi spesies serangga yang relatif masih sama.

Setu

Gambar 11 Dendogram pengelompokan seluruh spesies serangga pada empat habitat C. odorata.

(54)

40

Parung Panjang, Setu, dan Darmaga berada dalam satu kelompok, sedangkan kelompok lainnya adalah komunitas serangga herbivor pada habitat C. odorata di Gunung Bunder (Gambar 13).

Setu Prg. Panjang Gn. Bunder Darmaga 0.35

Gambar 12 Dendogram pengelompokan serangga predator dan parasitoid pada empat habitat C. odorata.

Gn. Bunder Prg. Panjang Setu Darmaga

0.25

Gambar 13 Dendogram pengelompokan serangga herbivor pada empat habitat

Gambar

Tabel  1  Deskripsi lokasi yang dipilih berdasarkan metode pengukuran kelimpahan populasi C
Tabel  2  Deskripsi lokasi yang dipilih berdasarkan metode survei keberadaan lalat puru C
Gambar 1  Metode analisis vegetasi.
Gambar 2  Kelimpahan populasi  C. odorata pada empat lokasi penelitian selama
+7

Referensi

Dokumen terkait

produktivitas petani Desa Girimulya tersebut, maka permasalahan dirumuskan dengan: potensi lingkungan apakah yang dapat dimanfaatkan secara optimal bagi.. peningkatan

Dari temuan hasil dilapangan tentang peringkat indeks loyalitas konsumen indonesia yang dikeluarkan majalah SWA dan badan survei MARS ( 2005-2009 ).. Hal inilah yang membuat

dari pemberian ACBT, Chest PT dan Infra merah terhadap sesak nafas pada1.

[r]

Hasil kajian juga mendapati bahawa tidak terdapat perbezaan yang signifikan terhadap tahap tekanan kerja guru berdasarkan ciri demografi iaitu sekolah Gred A dan Gred B, umur,

Pangkalpinang sudah sesuai dengan apa yang ditawarkan kepada konsumen 5 Saya merasa puas apabila melakukan. pengiriman melalui JNE Pangkalpinang 6 Secara keseluruhan

Erupsi gunung api umumnya di awali dengan beberapa gejala dan fenomena awal seperti meningkatnya aktivitas seismik, terjadinya deformasi dari tubuh gunung api adanya perubahan