• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tingkat kematangan oosit sapi secara in vitro setelah inkubasi pada kondisi temperatur dan komposisi gas Co2 berbeda

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tingkat kematangan oosit sapi secara in vitro setelah inkubasi pada kondisi temperatur dan komposisi gas Co2 berbeda"

Copied!
53
0
0

Teks penuh

(1)

TINGKAT KEMATANGAN OOSIT SAPI SECARA IN VITRO

SETELAH INKUBASI PADA KONDISI TEMPERATUR

DAN KOMPOSISI GAS CO2 BERBEDA

DWI WALID RETNAWATI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

DWI WALID RETNAWATI. B04101130. Tingkat Kematangan Oosit Sapi Secara In Vitro Setelah Inkubasi pada Kondisi Temperatur dan Komposisi Gas CO2 Berbeda. Di bawah bimbingan MOHAMAD AGUS SETIADI

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui potensi oosit dari ovarium sapi yang diperoleh dari Rumah Potong Hewan dan mengetahui keunggulan sistem inkubator Oxoid anaerob pada in vitro maturasi. Inkubator yang digunakan adalah inkubator CO2 dan inkubator Oxoid anaerob dengan berbagai tingkatan suhu 38.50C, 360C dan 290C. Media yang digunakan adalah Tissue Culture Medium 199. Proses pematangan dilakukan selama 23 jam pada setiap inkubator.

Oosit dikoleksi dengan cara slicing diikuti dengan flushing kemudian oosit yang terseleksi dibagi menjadi tiga kelompok perlakuan. Perlakuan pertama oosit dimatangkan pada inkubator CO2 temperatur 38.50C, perlakuan kedua pada inkubator Oxoid anaerob temperatur 360C dan perlakuan ketiga pada inkubator Oxoid anaerob temperatur 290C. Setiap perlakuan dilakukan pengulangan sebanyak 5 kali.

Tingkat pematangan oosit dapat diamati pada derajat ekspansi sel-sel kumulus dan tingkat kematangan inti oosit. Derajat ekspansi sel-sel kumulus dan tingkat kematangan inti dianalisa menggunakan Rancangan Acak Lengkap yang dilanjutkan dengan uji Duncan, dengan selang kepercayaan 95% (á = 0.05). Hubungan antara derajat ekspansi 3 dan metafase II diuji dengan menggunakan Regresi Liniar Sederhana.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa oosit yang dimatangkan pada perlakuan pertama, kedua dan ketiga menunjukkan hasil yang berbeda nyata (p<0.05) pada derajat ekspansi kumulus ke-3, dengan nilai berturut-turut adalah 62.60%, 51.00% dan 34.74%. Tingkat kematangan inti yang mencapai metafase II pada ketiga perlakuan secara berturut-turut yaitu 76.52%, 55.00% dan 10.53%, secara statistik berbeda nyata (p<0.05).

(3)

TINGKAT KEMATANGAN OOSIT SAPI SECARA IN VITRO

SETELAH INKUBASI PADA KONDISI TEMPERATUR

DAN KOMPOSISI GAS CO2 BERBEDA

DWI WALID RETNAWATI B04101130

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(4)

Berbeda

Nama : Dwi Walid Retnawati NRP : B04101130

Fakultas : Kedokteran Hewan

Menyetujui,

Dr. Drh. M. Agus Setiadi Pembimbing

Mengetahui,

Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor

Dr. Drh. I Wayan Teguh Wibawan, MS Wakil Dekan I

(5)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 10 Maret 1982 di Klaten, Jawa Tengah,

sebagai anak kedua dari tiga bersaudara. Penulis merupakan putri dari ayah

Walidi dan ibu Parjiati.

Pada tahun 1995, penulis lulus dari Sekolah Dasar Negeri Cawas II.

Kemudian pada tahun 1998 penulis menyelesaikan pendidikan di Sekolah

Menengah Pertama Negeri I Cawas. Selanjutnya penulis lulus dari Sekolah

Lanjutan Tingkat Atas Negeri I Cawas pada tahun 2001. Pada tahun yang sama

penulis diterima di Institut Pertanian Bogor, Fakultas Kedokteran Hewan melalui

jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).

Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif sebagai pengurus dalam

Himpunan Minat Profesi Ornithologi dan Unggas periode 2002-2003. Pada tahun

2003-2004 penulis aktif juga sebagai anggota dalam Himpunan Minat Profesi

Ruminansia. Penulis juga pernah magang di kebun binatang Gembira Loka

Yogyakarta pada bulan maret 2002 dan Balai Pembibitan Ternak Unggul Sapi

(6)

Puji dan syukur Penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah

memberikan rahmat serta hidayah-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan

skripsi yang berjudul Tingkat Kematangan Oosit Sapi Secara In Vitro Setelah

Inkubasi pada Kondisi Temperatur dan Komposisi Gas CO2 Berbeda. Pada

kesempatan ini penyusun ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada

berbagai pihak yang turut membantu dalam pelaksanaan penelitian dan

penyusunan skripsi ini, khususnya kepada:

1. Dr. Drh. M. Agus Setiadi selaku Dosen Pembimbing Akademik dan dosen

pembimbing atas ketersediaan waktu dan kesabaran dalam memberikan

bimbingan selama proses penulisan skripsi sehingga penulis dapat

menyelesaikan dengan sebaik-baiknya.

2. Dr. Drh. Arief Boediono selaku dosen penilai dan penguji yang telah

memberikan kritik dan saran pada saat seminar dan sidang.

3. Bapak, Ibu, Mas Eka, Dek Marten, Mbak Aris dan keluarga besar Walid atas

segala doa dan kasih sayangnya.

4. Pihak RPH yang telah memberikan izin dan pegawai RPH yang membantu

penulis untuk mendapatkan ovarium.

5. Mbak Yulna, Mbak Herwin dan Teh Enci atas bantuan selama penelitian dan

mencari literatur.

6. Teman-temanku tercinta Kru Amanah dan Kost Arsida II; Ais, Mbak Fera,

Mbak Yuyun, Mbak Heni, Mbak Niar, Nophie, Nur, Dek Ama dan Pipit atas

kebersamaannya selama ini.

7. GASTRO 38, atas kebersamaannya selama penulis menyelesaikan kuliah.

Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari sempurna. Walupun demikian,

mudah-mudahan skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis dan pembaca

sekalian. Amin.

Bogor, Februari 2006

(7)

DAFTAR ISI

Pengamatan tingkat pematangan oosit ... 18

Analisis Data ... 19

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 20

Ekspansi Sel-sel Kumulus ... 20

Tingkat Pematangan Inti Oosit ... 23

Korelasi Ekspansi Kumulus dengan Metafase II ... 27

KESIMPULAN DAN SARAN ... 31

DAFTAR PUSTAKA ... 32

(8)

No. Teks Halaman

1. Derajat Ekspansi Sel-sel Kumulus Oosit Sapi... 21

(9)

DAFTAR GAMBAR

No. Teks Halaman

1. Potongan ovarium mamalia ... 4

2. Pembelahan meiosis dan maturasi oosit ... 9

3. Inkubator Oxoid CO2 Gen TM

atmosphere general system ... 13

4. Oosityang termasuk dalam kriteria A dan B yang dipakai untuk

pematangan ... 17

5. Oosit sapi setelah pematangan in vitro ... 21

6. Status inti oosit setelah pematangan in vitro ... 24

7. Hubungan antara derajat ekspansi 3 dengan M-II pada inkubator

CO2 temperatur 38.50C ... 29

8. Hubungan antara derajat ekspansi 3 dengan M-II pada inkubator

Oxoid temperatur 360C ... 29

9. Hubungan antara derajat ekspansi 3 dengan M-II pada inkubator

(10)

No. Teks Halaman

1. Komposisi medium ... 38

2. Alat-alat ... 39

3. Analisa ragam dan uji lanjut Duncan untuk derajat ekspansi sel-sel

kumulus ... 40

4. Analisa ragam dan uji lanjut Duncan untuk tingkat pematangan oosit

(11)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sebagai salah satu negara agraris yang subur dan kaya dalam bidang

pertanian dan bidang peternakan yang dapat menunjang keberhasilan dan

kemajuan pembangunan di Indonesia, maka pemerintah terus melakuakan usaha

untuk melakukan populasi ternak. Untuk meningkatkan kontribusi daging sapi

dalam memenuhi kebutuan konsumsi daging nasional perlu diupayakan

pengembangan peternakan sapi dari pola tradisional menjadi suatu usaha

komersial. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan

produktifitasnya adalah melalui penerapan bioteknologi reproduksi.

Dengan kemajuan bioteknologi dibidang reproduksi, pemanfaatkan ovarium

dari Rumah Potong Hewan (RPH) sebagai sumber sel gamet betina (oosit) melalui

suatu rekayasa bioteknologi dapat dijadikan suatu produk yang sangat berharga

berupa embrio. Ovarium mampu menyediakan oosit dalam jumlah banyak,

sehingga menjadi alternatif untuk memproduksi embrio secara in vitro. Oosit yang

akan dipergunakan untuk produksi embrio in vitro harus dimatangkan terlebih

dahulu. Maturasi in vitro merupakan pematangan oosit di dalam suatu media atau

di luar tubuh, tetapi dapat menghasilkan embrio baru seperti pematangan didalam

tubuh (in vivo). Oosit dikatakan telah matang bila telah mencapai Metafase II

(M-II) dan ditandai dengan pemekaran sel-sel kumulus yang mengelilingi oosit

(Kazikova and Sirokin 1992 dalam Gordon 1994). Pada fase preovulasi, oosit

dalam folikel mengalami deferensiasi yaitu terjadi proses pematangan oosit

dengan pengertian terjadi perubahan inti (pematangan inti) disertai perubahan

sitoplasma (pematangan sitoplasma). Sehingga ovum memperoleh kemampuan

fertilisasi dan kapasitasi perkembangan embrional (Supriatna dan Pasaribu 1991).

Fertilisasi in vitro merupakan suatu proses peleburan dari sel spermatozoa dengan

ovum yang membentuk zigot di dalam suatu media.

Keberhasilan produksi embrio dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain

kualitas dari oosit itu sendiri (diameter 2-5 mm), media yang sesuai dengan

kebutuhan, misalnya menggunakan medium Tissue Culture Medium 199

(12)

mendukung juga diperlukan, misalnya tekanan gas atmosfer, temperatur dan pH

harus sesuai dengan lingkungan sebenarnya (in vivo).

Kendala yang dihadapi apabila oosit memerlukan waktu lama dan jauh dari

laboratorium adalah tempat pematanggan oosit (inkubator) yang praktis, yang

digunakan untuk pematanggan oosit agar tidak mengalami degenerasi sebelum

diproses. Inkubator CO2 yang biasa digunakan dalam In Vitro Maturation (IVM)

sangat mahal dan mempunyai ukuran besar sehingga tidak memungkinkan dibawa

kemana-mana. Beberapa usaha dibuat untuk memperbaiki sistem inkubator

dengan mencoba alternatif baru menggunakan keunggulan dari inkubator anaerob

yang lebih murah dan berukuran kecil sehingga mudah dibawa. Oleh karenanya

penelitian dilakukan untuk mengamati perkembangan oosit pada inkubator

anaerob pada temperatur yang mirip dengan proses in vitro normal maupun pada

temperatur ruangan untuk membuktikan fleksibilitas inkubator.

Tujuan

Penelitian ini dilakukan untuk :

1. Mengetahui potensi oosit dari ovarium sapi yang diperoleh dari RPH untuk

maturasi in vitro.

2. Mengetahui kemampuan sistem inkubator anaerob Oxoid yang

memungkinkan untuk proses maturasi oosit di luar laboratorium selama

transportasi.

Manfaat

Manfaat penelitian ini adalah:

1. Pemanfaatan ovarium dari Rumah Potong Hewan (RPH), untuk produksi

embrio in vitro.

2. Memberikan informasi, tekanan gas atmosfer dan temperatur yang baik untuk

maturasi in vitro.

3. Mengetahui proses perkembangan oosit secara in vivo dan in vitro pada sapi.

(13)

TINJAUAN PUSTAKA

Ovarium

Ovarium adalah organ reproduksi primer (esensial) pada hewan betina,

seperti halnya testes pada hewan jantan. Ovarium sebagai organ endokrin karena

dapat menghasilkan hormon (estrogen dan progesteron) yang diserap langsung ke

dalam peredaran darah dan sekaligus sebagai kelenjar eksokrin, yang dapat

menghasilkan sel telur (Frandson 1992). Menurut Mc Clural et al. (1973) ovarium

berbentuk oval yang terletak disebelah kaudal dari ginjal dan tergantung dalam

rongga peritonium yang terbungkus bursa ovari. Ovarium terletak dekat dengan

dinding tubuh dan tergantung ligamentum suspensorium yang dikenal dengan

mesovarium.

Oosit hanya bisa tumbuh dan mengalami pematangan lebih lanjut dalam

ovarium bila oosit dikelilingi oleh sel-sel somatik. Proses ini dimulai sebelum

lahir, ketika sel yang berasal dari epitelium menempatkan dirinya di sekeliling

membrana oosit yang membatasi. Struktur oosit terbentuk ketika selapis sel

berkembang secara lengkap disebut folikel primer kemudian menjadi folikel

sekunder ketika sel-sel itu membelah menjadi beberapa lapis (Gambar 1). Dalam

perkembangan selanjutnya, dengan terjadinya pembelahan sel lebih lanjut, sekresi

dan akumulasi cairan mulai terjadi pada ruang antar sel dan bergabung secara

berangsur-angsur, pulau-pulau cairan ini membentuk rongga atau antrum yang

mengandung cairan folikel. Pembentukan antrum itu menandakan tercapainya

stadium folikel tersier atau folikel de Graaf, tetapi hanya sebagian kecil folikel

primer yang bisa mencapai stadium ini.

Pertumbuhan dan perkembangan folikel terbentuk sebelum pubertas, tetapi

tidak mengalami pematangan dan ovulasi. Pematangan folikel pada umumnya

terjadi selama estrus. Pada sapi dan kuda, satu folikel biasanya berkembang lebih

cepat daripada yang lain sehingga pada setiap estrus hanya satu ovum yang

dilepaskan. Hal ini juga didukung oleh Hafez (1987) bahwa jumlah folikel yang

matang pada sapi antara 1 sampai 2 folikel dan folikel yang lain mengalami

dengenerasi (Salisbury and Vandemark 1985). Menurut Toelihere (1993)

(14)

baru lahir sampai 25.000 pada sapi betina tua (12 sampai 14 tahun). Jumlah oosit

yang terdapat sawaktu lahir adalah beberapa kali lebih banyak daripada jumlahnya

sawaktu pubertas. Banyak sekali oosit yang terbentuk tidak menjadi dewasa dan

mengalami proses degenerasi secara normal. Proses degenerasi ini sering disebut

atresia dan folikel yang berdegenerasi disebut folikel atretik (Salisbury and

Vandemark 1985).

Gambar 1. Potongan ovarium mamalia (Hunter 1995).

Oogenesis

Oogenesis atau ovogenesis merupakan proses pembentukan oosit yang

meliputi tiga tahap yaitu proliferasi, tumbuh dan menjadi dewasa (maturation)

(15)

5

yang dikenal dengan folikulogenesis. Proliferasi adalah mitosis oogonium

menjadi sejumlah oogonia di dalam ovarium yang terjadi pralahir sampai lahir

atau beberapa saat pasca lahir dan oogonia akan berdiferensiasi menjadi oosit

primer dengan inti pada profase I (tahap diploten) serta dikelilingi oleh epitel

pipih yang disebut folikel primordial. Inti oosit pada tahap ini disebut dengan

Germinal Vesicle (GV) yang dicirikan dengan adanya membran inti yang utuh

dan nukleolus yang jelas.

Tahap tumbuh baru dimulai setelah hewan mencapai usia dewasa kelamin.

Tahap tumbuh ini berupa pembesaran diameter oosit menjadi dua sampai tiga kali

lipat dan ditandai dengan isi sitoplasma bertambah banyak oleh penambahan

kuning telur, bertambahnya membran sel (zona pelusida) dan proliferasi sel-sel

granulosa.

Tahap pematangan (maturation) oosit ditandai dengan perubahan pada

morfologi inti selnya, yaitu perubahan dari fase diploten ke M-II II. Perubahan ini

diikuti pula oleh peristiwa perpindahan kortek granula menuju ke perivetelin serta

meningkatkan jumlah mitokondria. Beberapa membran inti mengadakan

penyatuan dengan vesikel kemudian membran inti tersebut terlepas setelah

beberapa saat Germinal Vesicle Break Down (GVBD). Pada saat hewan mencapai

dewasa kelamin, oosit bertahan pada tahap diploten yang diperpanjang dengan

adanya Folicle Stimulating Hormone (FSH) dan Luteinizing Hormone (LH), maka

oosit akan berkembang ketahap selanjutnya sampai diovulasikan (Hafez and

Hafez 2000).

Folikulogenesis

Folikulogenesis merupakan proses pertumbuhan dan perkembangan folikel

yang terjadi di dalam ovarium. Proses pertumbuhan dan perkembangan folikel ini,

dikontrol oleh interaksi antara hormon gonadotropin (FSH dan LH) dan faktor

regulasi lokal di dalam ovarium (steroid, sitokinin dan foktor pertumbuhan).

Faktor regulasi lokal dari ovarium berupa respon dan sensitifitas sel folikel

terhadap gonadotropin, selain itu gonadotropin berperan dalam proliferasi folikel

sampai folikel tersebut diovulasikan dari ovarium (Findlay et al. 1996). Selama

(16)

sitoplasma sel telur dengan meningkatnya jumlah sel organel seperti retikulum

endoplasmik, ribosom, mitokondria, kortek granular dan akumulasi mRNA

(Hyttel et al. 1997, Djuwita et al. 2000). Secara struktural pematangan sitoplasma

sel telur digambarkan oleh sejumlah perpindahan dan transformasi organel,

termasuk peningkatan jumlah kortek granula dan pergerakan sentrifugal (Sirard

and Blondin 1996). Sedang menurut Hafez (1987) di dalam proses pertumbuhan

terdapat proses maturasi folikel yang merupakan serangkaian transformasi

subseluler dan molekul dari komponen folikel yang meliputi oosit, sel granulosa

dan sel teka. Awal pertumbuhan folikel dimulai dari pembentukan cadangan

folikel primordial selama kehidupan janin. Folikel primordial akan tumbuh secara

terus menerus untuk diovulasikan selama masa hidup hewan hingga cadangan

folikel habis.

Dua kemungkinan yang dapat terjadi dari pertumbuhan folikel primordial

(cadangan) adalah pertama, folikel dapat mengovulasikan sel telur dan kedua,

folikel akan mengalami atresia atau degenerasi. Dimulai setelah hewan mamalia

mengalami pubertas, pertumbuhan lebih lanjut dari folikel hanya akan dirangsang

oleh gonadotropin. Kunci dari folikulogenesis adalah terletak dari kemampuan

masing-masing sel folikel untuk merespon gonadotropin. Bentuk ekspansi

responsif ini ditunjukkan lewat ketepatan reseptor sel telur atau folikel dan

maturasi dari sistem tranduksi signal pro-reseptor. Reseptor sel telur yang

dimaksud adalah granulosa dari folikel preantral yang berfungsi sebagai penyalur

FSH, tanpa sifat tersebut maka folikel akan menjadi atretik (Findlay et al. 1996).

Crozet et al. (1995) mengelompokan folikel berdasarkan ukuran

diameternya menjadi tiga kelompok. Ketiga kelompok folikel tersebut adalah

folikel ukuran kecil (2-3 mm), folikel ukuran sedang (3.1-5 mm) dan folikel

ukuran besar (>5 mm). Sementara itu Findlay et al. (1996) mengklasifikasikan

folikel berdasarkan tingkat ketergantungan dan sensitifitasnya terhadap

gonadotropin. Klasifikasi tersebut dibagi lima kelompok yaitu folikel primordial,

folikel yang mengalami pertumbuhan (folikel preantral dan folikel antral), folikel

ovulatori dan folikel yang atresia. Pada folikel primordial laju atresia yang terjadi

pada folikel ini sangat kecil. Sedang folikel preantral dan folikel antral pada awal

(17)

7

gonadotropin. Bentuk sensitifitasnya yang terjadi adalah apabila stimulasi

gonadotropin (LH) tidak tepat maka folikel akan mengalami atresia.

Perkembangan Oosit Secara In Vivo

Hewan betina tidak hanya menghasilkan sel-sel kelamin betina yang penting

untuk membentuk suatu individu baru, tetapi juga menyediakan lingkungan

dimana individu tersebut terbentuk, makanan dan perkembangan selama masa

permulaan hidupnya (Toelehere 1993). Sel telur merupakan sel kelamin betina

yang dilapisi oleh sel kumulus, zona pelusida dan selaput vitelin menurut

Frandson (1992).

Pematangan sel telur terjadi selama perkembangan folikel (folikulogenesis)

di dalam ovarium yang meliputi pematangan sitoplasma dan pematangan inti.

Pematangan sitoplasma meliputi penambahan butir-butir kuning telur di dalam

sitoplasma, pembentukan selubung pelusida, serta pembentukan kortek granula

(Djuwita et al. 2000). Oosit telah mencapai pematangan yang maksimal dan siap

mengalami fertilisasi jika telah mencapai tahap M-II pada proses pembelahan

secara meiosis yang ditandai dengan pecahnya stadium inti atau Germinal Vesicle

Breakdown (GVBD), nucleolus menghilang dan badan kutub I telah terbentuk

(Tsafriri 1985). Sedangkan sel kumulus yang mengelilingi oosit akan mengalami

pemekaran dan warnanya akan cerah (Moltik dan Fulka 1976). Menurut Setiadi

(1999) pematangan sitoplasma dinilai berdasarkan kemampuan oosit mengalami

perkembangan embrio dini.

Kemampuan inti oosit untuk membelah secara meiosis selama proses

maturasi oosit sangat tergantung pada stimulasi hormonal terhadap oosit yang

berkumulus kompak. Analisa mekanisme rangsangan hormonal terhadap

pembelahan meiosis tidak terlepas dari peran gonadotropin, steroid, siklus AMP,

sintesa makromolekul dan energi metabolisme folikuler (Tsafriri 1985).

Menurut Sirard and Blondin (1996), lima faktor yang sangat berkompeten

dalam keberhasilan pematangan oosit adalah morfologi kumulus, ukuran folikel,

kesehatan folikel, stimulasi ovarium dan prosedur pematangan oosit sebelum

dimulainya inkubasi. Laju proses maturasi oosit sapi, domba dan babi relatif

(18)

permulaan meiosis. Lebih lanjut pendapat Sirard and Blondin (1996) pada sapi

proses maturasi inti secara in vivo membutuhkan waktu selama kurang lebih 24

jam. Selama maturasi, inti oosit sapi yang masuk tahap profase pada awal

meiosis I mengalami pengurangan komplemen kromosom menjadi haploid (n=30

kromosom). Pada tahap molekuler, di dalam oosit mengalami banyak interaksi

antara siklus molekuler dengan substrat target pada inti dan sitoplasma (Gordon

1994).

Proses pematangan inti dimulai dengan penghilangan membran nuklear

yang dikenal GVBD, penghilangan nukleoli dan kondensasi kromosom. Maturasi

oosit rendah membutuhkan sintesis protein yang aktif untuk awal pembelahan

meiosis. Pada rodensia dan kelinci tidak membutuhkan karena oosit rodensia dan

kelinci mempunyai protein esensial lengkap yang penting untuk kondensasi

kromatin dan nukleolus. Sebelum meiosis I, oosit babi, domba dan sapi dilengkapi

protein hanya untuk kondensasi kromatin, sedangkan protein untuk GVBD

disintesis pada waktu setelah meiosis I (Simon et al. 1989 dalam Gordon 1994).

Dengan terjadinya GVBD, kromosom memadat menjadi kompak.

Sentromer (daerah khusus untuk sitoplasma padat) terbagi menjadi dua sentriol

yang dikelilingi oleh aster. Aster-aster tersebut memisah dan spindel terbentuk

diantaranya. Kromosom dalam pasangan diploid bebas dalam sitoplasma dan

tersusun dalam bidang equator dengan benang spindel.

Pembelahan meiosis secara berturut-turut akan melewati tahap Diakinase

(awal pemisahan dan kondensasi pasangan kromosom), Metafase (semua

kromosom berada pada pusat pembelahan), Anafase (pemisahan masing-masing

kromosom sepanjang pusat pembelahan spindel) dan Telofase (pembagian

kromosom selesai). Oosit primer mengalami dua tahap meiosis. Pada tahap

pertama, terbentuk dua anak sel. Satu diantaranya mengandung banyak sitoplasma

yang disebut dengan Polar Bodi I sedangkan sel anak lainnya hanya mengandung

sedikat sitoplasma (Gambar 2). Setelah terjadi penambahan kromosom, Polar

Bodi I akan berisi bermacam-macam organel termasuk mitokondria, ribosom dan

kortek granular. Perkembangan pada telofase tahap meiosis I hingga

(19)

9

kromosom dikeluarakan pada ruang perivitelin, sementara kelompok lain berada

dalam sitoplasma oosit.

Gambar 2. Pembelahan meiosis dan maturasi oosit (Gordon 1994).

Sel telur itu kemudian disebut oosit sekunder dan kromosom vitelin kembali

ke formasi spindel pada tahap meiosis II. Tahap meiosis II dimulai sampai M-II,

tetapi proses ini tidak berlanjut jika tidak terjadi penetrasi sperma atau oosit tidak

aktif. Akhir dari tahapan meiosis II dibarengi dengan pengeluaran polar bodi II ke

ruang perivitelin. Oosit pada tahap meiosis II hanya memiliki sejumlah kromosom

haploid. Pada saat itu oosit berada pada tahap pembelahan profase I, tepatnya

tahap dictyate (fase istirahat) proses pembelahan meiosis pada oosit dilanjutkan

kembali setelah individu hewan mengalami pubertas.

Perkembangan Oosit Secara In Vitro

Pematangan oosit diluar ovarium atau tubuh hewan disebut dengan

(20)

merupakan salah satu tahap yang penting dari rangkaian produksi embrio in vitro.

Oosit untuk memproduksi embrio in vitro dapat diperoleh dari ovarium hewan

betina yang masih hidup maupun ovarium hewan betina mati dari Rumah Potong

Hewan (RPH) dengan tanpa memperhatikan fase siklus birahi (Ball et al. 1984).

Pematangan in vitro membantu oosit agar mampu menyelesaikan proses meiosis

sehingga bersifat haploid (setengah komponen kromosom) dan mampu

mengalami fertilisasi (First et al. 1989). Pada in vivo, pematangan oosit terjadi

selama perkembangan folikel di dalam ovarium yang meliputi pematangan

sitoplasma dan pematangan inti. Kemudian oosit tersebut akan mengalami

pematangan sampai metafase I (M-I) dan M-II dalam media kultur (Hunter 1995).

Selama maturasi oosit sapi, struktur kromatin dalam oosit yang belum

matang (immature) berupa membran nuklear utuh (GV) dimulai dari pembelahan

meiosis pertama dilanjutkan dengan pembelahan meiosis kedua. Menurut Lu

(1988) menunjukkan bahwa 90% dari oosit sapi mengalami pematangan pada 24

jam setelah dilakukan kultur. Dari penelitian tersebut terlihat membran nuklear

menghilang setelah 5-6 jam GVBD dan M-I dicapai setelah 12 jam dan M-II

dicapai setelah 19 jam (Gordon 1994). Diperkirakan pematangan inti tersebut

lebih cepat pada in vitro daripada in vivo menurut Gordon (1994).

Kesempurnaan pematangan sel telur sangat berpengaruh terhadap

keberhasilan fertilisasi. Pada proses pematangan sel telur secara in vitro

dipengaruhi oleh faktor diantaranya medium pematangan dan lingkungan

penyimpanan (inkubator). Medium standar untuk pematangan in vitro sel telur

sapi adalah TCM-199. Agar menunjang keberhasilan proses maturasi in vitro

dilakukan inovasi komposisi dan penambahan suplemen untuk mendapatkan

kondisi medium yang optimal. Suplemen seperti serum, hormon estradiol, hormon

gonadotropin (FSH dan LH), mineral, glukosa, piruvat dan asam amino

ditambahkan untuk membantu transformasi inti (Sirard and Blondin 1996).

Penambahan serum pada media akan memicu tingkat perkembangan oosit secara

in vitro. Serum yang sering digunakan antara lain Bovine Serum Albumin (BSA),

Fetal Calf Serum (FCS), Fetal Bovine Serum (FBS). Tang et al. (1995)

mengungkapkan, media pematangan tanpa serum menyebabkan produksi blastosis

(21)

11

perkembangan oosit lebih baik dibandingkan medium tanpa serum (Setiadi 1999).

Menurut Rexroat dan Powell (1985) dalam Gordon (1994) oosit domba yang

dikultur pada medium TCM-199 yang disuplemasikan dengan Fetal Bovine

Serum (FBS) ternyata mengalami perkembangan embrio lebih baik dibandingkan

dengan oosit yang dikultur pada TCM-199 tanpa serum. Penambahan kombinasi

antara Pregnant Mare Serum Gonadotropin (PMSG) dan Human Chorionic

Gonadotropin (hCG), PMSG dan estradiol atau hCG dan estradiol pada media

akan menghasilkan ekspansi kumulus yang maksimal.

Peranan gas CO2

Inkubator CO2 diperlukan untuk mempertahankan media sehingga

menyediakan lingkungan yang cocok untuk pematangan oosit. Inkubator CO2

standar dapat menghasilkan CO2 5% dan O2 20%, sedangkan inkubator Oxoid

CO2 GenTMatmosphere general system dapat menghasilkan CO2 6% dan O2 15%

(Avery et al. 2000). Tekanan atmosfer CO2 5% diperlukan untuk memelihara

ketepatan pH pada sistem media kultur buffer bikarbonat. Tekanan atmosfer CO2

5% ini untuk mempertahankan pH fisiologis yaitu tepat dibawah 7.5.

Keseimbangan pH ini dipengaruhi oleh temperatur, tekanan atmosfer dan

beberapa laboratorium yang menggunakan CO2 6% dalam inkubatornya (Dale

and Elder 1998). Hal ini juga didukung oleh Rijnders et al. (1996) bahwa

kandungan gas CO2 5% dan O2 20% dalam inkubator akan mempertahankan pH

medium agar tetap stabil.

Menurut pendapat Voelkel and Hu (1992) bahwa komposisi gas atmosfer

pada konsentrasi O2 20% dan CO2 5% lebih baik daripada konsentrasi O2 5%,

CO2 5% dan Nitrogen (N2) 90% untuk perkembangan embrio in vitro dan

kemampuan produksi embrio in vitro. Hal ini dikarenakan lebih banyak

pemakaian O2 pada awal perkembangan in vitro akan lebih baik, O2 digunakan

untuk oksidasi piruvat dan glukosa. Tetapi setelah thawing, tingkat kelangsungan

hidup embrio juga dipengaruhi oleh tekanan gas atmosfer yang digunakan pada

waktu kultur. Embrio yang dikultur pada konsentrasi O2 5% dapat bertahan pada

kondisi beku pada tingkat yang lebih tinggi daripada embrio pada konsentrasi O2

(22)

pada O2 5% dan CO2 5% menjadi tekanan gas atmosfer yang baik (optimum)

untuk memproduksi embrio babi pada medium N (modifikasi dari NCSU-23).

Perkembangan embrio pada medium N juga tergantung pada CO2/pH. Tinggi

rendahnya konsentrasi CO2 dapat menghambat perkembangan embrio babi

(Berthelot and Terqui 1996).

Pada inkubator CO2 dilengkapi dengan pengatur kelembapan udarayang di

bagian bawah alat tersebut diisi dengan air supaya terjadi evaporasi air sehingga

dapat mencapai kelembapan 80% atau lebih. Ada juga inkubator yang aktifitas

airnya diatur oleh udara dan dapat memelihara 90% kelembapan relatif yang

stabil. Kadang-kadang kelembapan dapat terganggu dengan sering dibukanya

inkubator tersebut. Inkubator digunakan untuk menjaga kestabilan medium,

tekanan gas dan juga untuk mencampur karbondiksida dengan udara luar (Avery

et al. 2000).

Inkubator anaerob OxoidTM merupakan inkubator mini yang terbuat dari

alumunium atau plastik mika yang kedap udara. Anaerob OxoidTM polycarbonate

2.5 L (AG25) dan sachet CO2 Gen TM

(CD025A) yang berisi asam askorbik yang

diproduksi oleh Oxoid. Inkubator ini menghasilkan CO2 6% dan O2 15% (Avery

et al. 2000). Sachet CO2 GenTM dirancang untuk digunakan pada tabung

bervolume 2.5 L yang dapat menjadi aktif jika berhubungan dengan udara. Reaksi

asam askorbik dengan oksigen adalah eksotermik, tetapi suhu yang dihasilkan

tidak lebih dari 650C. Hasil penelitian Avery et al. (2000) menyebutkan bahwa

reaksi eksotermik yang ditimbulkan bersifat lokal dan tidak mempengaruhi

temperatur rata-rata di dalam tabung. Lebih lanjut hasil percobaan pengukuran

media sebelum dan sesudah 24 jam inkubasi menunjukkkan kisaran temperatur

30-450C. Pada proses kultur oosit atau embrio dimasukkan pada inkubator

anaerob kemudian sachet CO2 GenTM dibuka dan dimasukkan pada inkubator

yang temperaturnya diatur. Disegel dengan keempat klips ditutup sehingga rapat

dan aman. Penutupan klip menyebabkan tekanan positif sehingga terjadi kedap

udara. Meskipun demikian tidak ada informasi berapa lama diperlukan gas

(23)

13

Gambar 3. Inkubator Oxoid CO2 GenTMatmosphere general system.

Peranan temperatur

Sejak tahun 1980-an, penelitian IVM ternak dilakukan pada temperatur

370C. Temperatur ini mendekati temperatur rata-rata tubuh yaitu 38 – 39.30C.

Perubahan temperatur pada tahap pembelahan awal dapat mengganggu

perkembangan in vitro embrio tahap berikutnya. Zygot tikus pada temperatur

ruang dapat menghambat proses pembelahan dan mengurangi perkembangan pada

tahap blastosis. Pada tahap pembelahan embrio kelinci pada temperatur ruang

juga dapat mengurangi proses pembelahan. Sedangkan oosit mamalia pada

temperatur ruang dapat menyebabkan kerusakan spindel meiotik (Trounser and

Gardner 2000).

Menurut Lenz et al. (1983), pada penelitian pertamanya tentang efek

temperatur pada IVM dan In Vitro Fertilisation (IVF) ternak menunjukkan bahwa

maturasi tidak mengalami shock pada rentang temperatur 35 – 390C. Pada IVF

membutuhkan temperatur yang lebih tinggi dari pada IVM. Fertilisasi secara in

vitro tertinggi dicapai pada temperatur 390C bila dibandingkan dengan temperatur

35, 37 dan 410C. Penelitian IVM ternak pada tahap meiosis mempunyai toleransi

temperatur kultur yang relatif tinggi tetapi tidak sampai 50C dibawah temperatur

badan. Temperatur 350C dianggap sebagai temperatur minimal maturasi in vitro

(24)

temperatur optimal pada IVM adalah 38 – 390C dan temperatur optimal pada IVF

adalah 390C.

Ekspansi sel-sel kumulus

Sel-sel kumulus berperan penting di dalam pematangan oosit. Apabila

sel-sel kumulus dilepaskan sebelum dikultur, maka akan terjadi kelambatan dalam

pematangan oosit atau bahkan tidak terjadi pematangan. Oosit yang mempunyai

kumulus lengkap menunjukkan perkembangan yang lebih baik apabila

dibandingkan dengan oosit yang telah dihilangkan sel–sel kumulusnya (Younis

et al.1989).

Kualitas sel telur dan kualitas folikel mempengaruhi tingkat pematangan in

vitro sel telur. Selama pematangan secara in vitro keberadaan sel kumulus yang

mengelilingi sel telur sangat membantu pematangan sel telur sapi sampai pada

perkembangan embrio tahap blastosis (Hawk et al. 1992, Boediono dan Suzuki

1996). Ini dikarenakan sel kumulus berfungsi menyediakan nutrisi untuk sel telur

salama perkembangan dan membantu sintesis protein untuk pembentukan zona

pelusida. Menurut Sirard and Blondin (1996) sel telur yang berasal dari folikel

dominan mempunyai potensi yang lebih besar untuk berkembang menjadi embrio

karena mampu mengalami pematangan inti dan sitoplasma pada maturasi in vitro.

Menurut Zhang et al. (1995), sel-sel kumulus yang melekat pada zona

pelusida berperan dalam pemeliharaan komunikasi intraseluler serta mengatur

pertumbuhan oosit dan maturasi dengan memfasilitasi dalam proses metabolisme

hormonal serta transformasi nutrisi. Sel kumulus merupakan alat spesifik dalam

mekanisme tranduksi untuk transfer sinyal gonadotropin ke oosit melalui sistem

gap juction. Hal ini didukung oleh Boediono dan Suzuki (1996), bahwa gap

junction tersebut merupakan jalan lintas nutrisi untuk oosit.

Selama proses pematangan oosit, hubungan antara individu sel kumulus dan

hubungan antara sel kumulus dengan oosit akan terputus. Terputusnya hubungan

ini dimulai dengan adanya perenggangan disebabkan oleh faktor-faktor

pematangan oosit dan sel-sel kumulus yang terekspansi. Terputusnya hubungan

tersebut menyebabkan gap junction dengan cepat menurun jumlahnya sehingga

(25)

15

deposisi matrik asam hyaluronat diantara sel-sel kumulus (Eppig 1980) dan

ekspansi atau aktivitas sel-sel kumulus dapat diamati secara mikroskopik. Oleh

karena itu, terjadinya ekspansi sel-sel kumulus dapat dijadikan sebagai indikasi

yang kuat untuk pematangan oosit sebab hanya oosit dengan sel-sel kumulus aktif

yang dapat difertilisasi in vitro.

Pendapat Brackett dan Zuelke (1993), bahwa komposisi media pada proses

in vitro menentukan terjadinya pemekaran sel-sel kumulus. Adanya piruvat,

glutamin dan glukosa dalam medium pematangan dapat meningkatkan

ketersediaan sumber energi yang digunakan dalam proses metabolisme oksidatif

mitokondria. Metabolisme glukosa dan glutamin lebih tinggi pada kumulus yang

lengkap dibanding dengan oosit tanpa kumulus. Aktivitas glikolitik tidak ada yang

teramati dalam oosit tanpa sel kumulus setelah proses pematangan oosit. Aktivitas

siklus tricarboxylic acid (TCA) dapat ditingkatkan dengan penambahan hormon

LH dalam medium pematangan oosit, yang ditandai dengan meningkatnya

metabolisme glutamin dalam siklus TCA.

Glukosa dan glutamin merupakan substrat asam hyaluronat yang perlu

ditambahkan pada medium selain hormon gonadotropin dan serum, yang dapat

menginduksi terjadinya pemekaran sel-sel kumulus secara in vitro. Hormon

gonadotropin akan menstimulir sel-sel kumulus untuk memproduksi dan

mensekresikan asam hyaluronat. Hormon gonadotropin ini akan aktif dalam

kondisi in vitro jika ada serum dalam medium yang dapat merangsang asam

hyaluronat dan terjadinya pemekaran sel-sel kumulus yang optimal. Dalam hal ini

serum diduga berperan menstabilkan asam hyaluronat dalam bahan ekstraseluler

kumulus sel (Setiadi 2001).

Menurut Eppig et al. (1980), ekspansi sel-sel kumulus bertepatan dengan

terjadinya pembelahan meiosis. Sel-sel yang berkembang (ekspansi) berperan

dalam menciptakan lingkungan mikro untuk oosit dengan cara meningkatkan

aktivitas metabolisme kebutuhan makanan oosit. Ekspansi ini disebabkan oleh

adanya asam hyaluronat yang dihasilkan oleh sel-sel kumulus. Asam hyaluronat

yang dihasilkan berfungsi juga untuk menginduksi reaksi akrosom spermatozoa

(26)

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di laboratorium Fertilisasi In Vitro (FIV). Bagian

Reproduksi dan Kebidanan, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi,

Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini berlangsung

selama 8 bulan dimulai pada bulan Januari sampai bulan Agustus 2004.

Bahan dan Alat

Oosit yang digunakan diambil dari folikel antral dan diperoleh dari ovarium

tanpa memperhatikan fase siklus birahi yang diambil dari Rumah Potong Hewan,

Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Berbagai macam bahan kimia dan

alat laboratorium yang digunakan selama penelitian ini dapat dilihat pada

Lampiran 1 dan 2.

Prosedur Penelitian

Adapun kegiatan penelitian meliputi 5 tahap kegiatan, yaitu koleksi

ovarium, teknik dan koleksi oosit, persiapan media, pematangan oosit serta

pengamatan derajat ekspansi sel-sel kumulus dan tingkat pematangan inti oosit.

Koleksi ovarium

Ovarium diambil dalam keadaan masih segar setelah sapi dipotong dari

Rumah Potong Hewan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Ovarium

yang diperoleh kemudian disimpan dalam termos atau kantong plastik yang berisi

larutan NaCl fisiologis (0.9 % w/v, Sigma, USA) pada suhu 27-300C. Kemudian

dibawa ke laboratorium yang jaraknya tidak jauh dari RPH. Sebelum oosit

dikoleksi, ovarium dicuci dengan NaCl fisiologis beberapa kali dan dibersihkan

dari bagian organ reproduksi lainnya yang masih menempel dengan menggunakan

gunting. Selanjutnya ovarium disimpan dalam gelas ukur yang berisi NaCl

(27)

17

Teknik koleksi oosit

Oosit dikoleksi dari folikel dengan diameter 2-5 mm dengan cara menyayat

folikel yang ada dipermukaan ovarium sehingga cairan folikel keluar. Dengan

keluarnya cairan folikel diharapkan oosit juga ikut keluar. Cairan ini ditampung

dalam beker glass, selanjutnya dilakukan pembilasan (flushing) dengan

penyemprotan NaCl fisiologis 0.9% menggunakan syringe ke dalam folikel bekas

sayatan.

Cairan yang tertampung diamati dibawah mikroskop. Oosit diambil satu

persatu dengan menggunakan pipet pasteur dan ditampung dalam cawan petri

yang berisi media Phosphate Buffered Saline (PBS; Sigma, USA) dan

mengandung Fetal Bovine Serume (FBS; Gibco, Grand Island, NY, USA) 10%

(v/v). Setelah oosit terkumpul kemudian dicuci sebanyak 3 kali dengan medium

PBS yang disuspensi serum 10%. Oosit diseleksi berdasarkan kondisi sitoplasma

yang homogen dan jumlah lapisan sel-sel kumulus yang mengelilingi oosit. Oosit

dikelompokkan menjadi 3 kategori berdasarkan Shin et al. (2001), yaitu:

- Kategori A, oosit yang dikelilingi oleh sel-sel kumulus yang banyak

(lebih dari 3 lapis) dan kompak dengan ooplasma yang homogen.

- Kategori B, hanya sebagian oosit yang dilapisi oleh sel-sel kumulus atau

hanya dikelilingi oleh kurang dari 3 lapis sel-sel kumulus dengan

ooplasma yang homogen.

- Kategori C, oosit tidak dilapisi oleh sel-sel kumulus atau oosit yang

dikelilingi oleh sel-sel kumulus yang sangat sedikit.

Pada penelitian ini oosit yang digunakan untuk pematangan adalah oosit

yang termasuk dalam kriteria A dan B (Gambar 4).

(28)

Persiapan media

Media pematangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah TCM-199

(Sigma, USA) disuplementasi dengan FBS 10%, Folligon (Intervet, Holland) 10

IU/ml, Chorullon (Intervet, Holland) 10 IU/ml dan 17β-estradiol (Intervet,

Holland) 1µg/ml. Oosit hasil koleksi terlebih dahulu dalam medium PBS yang

ditambah dengan FBS 10% dan TCM-199 masing-masing sebanyak 3 kali.

Pematangan oosit

Oosit yang terseleksi dan telah melalui 3 kali pencucian dengan beberapa

media, dimatangkan dalam media pematangan yang telah diequilibrasi dalam

inkubator CO2 5% dengan temperatur 38.50C. Perlakuan pertama pada penelitian

ini, oosit dimatangkan dalam inkubator Heraous CO2 5% dengan temperatur

38.50C. Perlakuan kedua, oosit dimatangkan dalam inkubator Oxoid anaerob

dengan temperatur 360C. Perlakuan ketiga, oosit dimatangkan dalam inkubator

Oxoid anaerob dengan temperatur kamar (290C). Oosit dimatangkan dalam

medium sejumlah 15-25 oosit. Pematangan dilakukan dengan media yang sama

yaitu TCM-199 selama kira-kira 23 jam dan setiap percobaan dilakukan sebanyak

5 kali ulangan.

Pengamatan tingkat pematangan oosit 1. Derajat ekspansi

Oosit yang telah diinkubasi, diamati dibawah mikroskop stereo. Ekspansi

sel-sel kumulus dapat dilihat dengan adanya pemekaran atau peregangan antara

sel-sel kumulus. Derajat ekspansi sel-sel kumulus diamati berdasarkan kriteria

sebagai berikut :

- Derajat 1 : sel-sel kumulus tidak ekspansi.

- Derajat 2 : sel-sel kumulus terekspansi sebagian.

- Derajat 3 : sel-sel kumulus terekspansi sempurna.

2. Pematangan inti oosit

Oosit yang telah dimaturasi, dibersihkan dari sel-sel kumulusnya (denudase)

dengan cara menyedot berulang-ulang menggunakan pipet pasteur yang

(29)

19

hyaluronat (Sigma, USA) 0.25%. Oosit yang telah dibersihkan diletakkan pada

cover glass yang telah diberi KCl 0.09%. Keempat ujung cover glass diberi

vaselin kemudian ditutup dengan object glass secara hati-hati.

Preparat oosit yang telah jadi, difiksasi pada ethanol dan asetat dengan

perbandingan 3:1 selama 3-4 hari pada temperatur kamar. Setelah difiksasi

preparat diletakkan pada ethanol selama 2-3 jam. Kemudian preparat dikeringkan

dengan menggunakan tissue sebelum diwarnai dengan aceto orcein 2% selama

kurang lebih 5 menit. Pewarna dicuci dengan menggunakan asam asetat 25%

sampai bersih. Kemudian keempat sisi cover glass diberi kutek bening dan

diamati dibawah mikroskop fase kontras.

Evaluasi dilakukan terhadap tingkat pematangan inti oosit. Pengamatan

tingkat pematangan inti oosit dilakukan dengan menghitung jumlah oosit pada

setiap tahap perkembangan meiosis, meliputi tahap GV ditandai dengan adanya

membran inti dan nukleolus terlihat jelas ditepi, GVBD ditandai dengan robeknya

membran inti sehingga nukleolus tidak terlihat jelas, M-I ditandai dengan adanya

kromosom homolog yang berpasangan dan berderet di bidang equator, Anafase I

(A-I) ditandai dengan sentromer menuju kedua kutub yang berlawanan,

kromosom homolog tertarik menjadi dua bagian, Telofase I(T-I) ditandai dengan

kromosom homolog terkumpul secara sempurna pada masing-masing kutub. Pada

tahap M-II dicirikan adanya badan kutub I dan susunan kromosom yang sama

dengan tahap M-I.

Analisis Data

Derajat ekspansi sel-sel kumulus dan tingkat kematangan inti oosit pada

ketiga inkubator, dianalisis menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL)

dengan 3 perlakuan dan 5 ulangan (Lampiran 3), kemudian dilanjutkan dengan uji

Duncan, dengan selang kepercayaan 95% (á = 0.05) (Lampiran 4). Korelasi antara

(30)

Ekspansi Sel-sel Kumulus

Pada penelitian ini hanya oosit yang mempunyai kumulus kompleks

(kategori A dan B), yang digunakan dalam proses pematangan in vitro

(Gambar 4). Menurut Loos et al. (1989) bahwa oosit yang termasuk baik adalah

sel kumulus kompak, berlapis-lapis dan rapat, ooplasma yang homogen, COC

(Cumulus Oocyte Complexe) total terang dan trasparan. Keberadaan sel kumulus

mendukung terjadinya pematangan oosit secara in vitro sampai tahap M-II dan

berkaitan dengan pematangan sitoplasma menurut Lapthitis et al. (2002). Hal

tersebut didukung oleh Schroeter and Meinecke (1995) bahwa saat pematangan in

vivo, sel-sel kumulus berperan dalam menyediakan nutrisi untuk oosit dan

membantu sintesa protein untuk membentuk zona pelusida pada tahap profase. Sel

telur tanpa kumulus, setelah dimaturasi banyak protein yang hilang sedangkan

pada sel telur dengan kumulus yang intak, protein akan bertahan.

Hasil produk metabolik seperti choline, uridine dan inositol dapat masuk ke

sel telur melalui sel kumulus karena adanya gap-junction antara sel telur dengan

sel kumulus maka nutrisi akan ditransport ke sitoplasma. Selain itu sel kumulus

diduga berfungsi menghambat pengerasan zona pelusida sehingga proses

fertilisasi dapat berlangsung (Boediono dan Suzuki 1996). Sementara pada

penelitian Triwulanningsih (2002) bahwa oosit dengan kumulus yang intak

menyebabkan derajat cleavage (pembelahan) dan pematangan sampai blastosis

lebih banyak dibandingkan dengan oosit tanpa sel kumulus yang tidak dapat

membelah dan berkembang sampai blastosis. Hal ini membuktikan bahwa sel

kumulus sangat penting fungsinya untuk maturasi sitoplasma secara normal pada

proses maturasi sel telur in vitro (Chian et al. 1994).

Setelah diinkubasi selama kurang lebih 23 jam, sel-sel kumulus akan

terekspansi. Derajat ekspansi sel-sel kumulus dikelompokkan dalam tiga kategori

yaitu (Gambar 5) : Derajat 1, sel-sel kumulus tidak mengalami ekspansi, Derajat

2, sel-sel kumulus mengalami ekspansi sebagian, Derajat 3, sel-sel kumulus

(31)

21

Gambar 5. Oosit sapi setelah pematangan in vitro. A: derajat 1, sel-sel kumulus tidak mengalami ekspansi; B: derajat 2, sel-sel kumulus mengalami ekspansi sebagian; C: sel-sel kumulus mengalami ekspansi sempurna. Bar = 100 µµm.

Tabel 1. Derajat Ekspansi Sel-sel Kumulus Oosit Sapi

Derajat Ekspansi Sel-sel Kumulus (%)

Inkubator Jumlah

Oosit (n) Derajat 1 Derajat 2 Derajat 3

CO2 38.50C 115 8 (6.96) 35 (30.43)a 72 (62.61)a

Oxoid 360C 100 14 (14.00) 35 (35.00)a 51 (51.00)b

Oxoid 290C 95 19 (20.00) 43 (45.23)a 33 (34.74)c

Keterangan : Huruf yang sama pada kolom yang sama menyatakan tidak berbeda nyata (p>0.05).

Tabel 1. menunjukkan bahwa kondisi inkubator pada tekanan gas atmosfer

dan temperatur yang berbeda memberikan pengaruh nyata terhadap ekspansi

derajat 3 sel-sel kumulus. Dalam penelitian terlihat bahwa oosit yang dikultur

pada inkubator Oxoid temperatur 290C mencapai ekspansi derajat 3 lebih sedikit

(34.74%) dibandingkan pada oosit yang dikultur pada inkubator Oxoid temperatur

360C mencapai ekspansi derajat 3 adalah 51%, sedangkan oosit yang dikultur

pada inkubator CO2 temperatur 38.50C adalah 62.61%. Hasil uji statistik pada

ekspansi derajat 3 pada ketiga inkubator berbeda nyata (p < 0.05).

Derajat ekspansi 3 pada ketiga inkubator lebih tinggi dibandingkan derajat

ekspansi 2. Hal ini disebabakan, pada ketiga inkubator terdapat komponen-

komponen yang mendukung terjadinya ekspansi sel-sel kumulus. Hasil penelitian

ini memberikan gambaran bahwa kondisi lingkungan pada inkubator sangat

mempengaruhi proses pematangan oosit melalui pengamatan sel-sel kumulus sapi.

Temperatur maturasi oosit secara in vitro harus dibuat semirip mungkin dengan

kondisi maturasi oosit secara in vivo. Temperatur ini mendekati dengan

(32)

temperatur rata-rata tubuh yaitu 38 – 39.30C. Menurut Gordon (1994) temperatur

optimum untuk pematangan oosit in vitro adalah 380C sampai 390C dan

temperatur optimum untuk fertilisasi adalah 390C. Penggunaan temperatur

dibawah temperatur in vivo akan mengganggu pembelahan meiosis sampai M-II.

Ini dibuktikan bahwa pada inkubator CO2 dengan temperatur 38.50C terdapat

banyak oosit yang mencapai ekspansi kumulus derajat 3 (tertinggi). Sementara itu

pada inkubator Oxoid temperatur 360C jumlah oosit yang mencapai ekspansi

kumulus derajat 3 sedikit lebih rendah daripada inkubator CO2 5%, secara statistik

berbeda nyata (p<0.05). Hal ini didukung oleh Lenz et al. (1983), bahwa

temperatur 360C masih dalam rentang temperatur 35-390C dimana maturasi tidak

mengalami shock dan pada proses pematangan oosit ternak pada tahap meiosis

mempunyai toleransi temperatur kultur yang relatif tinggi tetapi tidak sampai 50C

dibawah temperatur badan. Sementara itu pada inkubator Oxoid yang ditempatkan

pada temperatur ruang (290C) jumlah oosit yang mencapai derajat ekspansi 3 jauh

lebih sedikit dibandingkan kedua perlakuan sebelumnya yang menggunakan

temperatur 38.50C dan 360C. Hal ini kemungkin karena pengaruh perbedaan

temperatur yang terlalu ekstrim dibandingkan rata-rata temperatur in vivo.

Pendapat ini didukung oleh Trounser and Gardner (2000) bahwa temperatur ruang

dapat menghambat proses pembelahan dan mengurangi perkembangan zygot tikus

pada tahap blastosis, sedangkan pada oosit mamalia dapat menyebabkan

kerusakan spindel meiotik. Penurunan temperatur pada saat proses maturasi oosit

dapat mempengaruhi derajat ekspansi kumulus dan selanjutnya pematangan inti

oosit.

Kemampuan inkubator untuk memelihara kondisi media akan

mempengaruhi pematangan oosit dan perkembangan embrio. Salah satu yang

mempengaruhi adalah adanya tekanan gas atmosfer. Inkubator CO2 standar yang

digunakan pada penelitian ini dapat menghasilkan CO2 5%. Sedangkan inkubator

Oxoid CO2 GenTM atmosphere general system dapat menghasilkan CO2 6% dan

O2 15%. Proses kultur in vitro yang menggunakan inkubator CO2 standar dan

inkubator Oxoid pada perkembangan embrio tidak berbeda nyata jika dilakukan

pada temperatur yang sama. Embrio yang dikultur dibawah temperatur normal

(33)

23

merugikan pada perkembangan dan morfologi embrio (Avery et al. 2000). Hal ini

dikarenakan lebih banyak pemakaian O2 pada awal perkembangan in vitro akan

lebih baik, O2 digunakan untuk oksidasi piruvat dan glukosa sedangkan CO2 tidak

hanya diperlukan untuk memelihara pH medium tetapi dapat dengan mudah

memasukkan protein dan asan nukleat ke semua tahap pada embrio tikus sebelum

diimplantasi (Trounson and Gardner 2000). Pendapat Azambuja et al. (1993) yang

menguji pengaruh fase gas terhadap pematangan oosit sapi in vitro. Hasil

penelitian tersebut menyimpulkan bahwa jumlah embrio yang berkembang

menjadi morula atau blastosis pada fase gas CO2 5% di dalam udara lebih tinggi

dibanding dengan fase CO2 5%, O2 5% dan N2 90%. Oosit yang tidak dapat

berkembang hingga M-II mungkin disebabkan adanya radikal bebas yang timbul

selama kultur in vitro. Seperti yang dikemukakan oleh Kim et al. (1999) bahwa

kerusakan gamet atau blastosis selama dikultur in vitro karena adanya ROS

(Reactive Oxygen Species). Hammerstedt et al. (1993) menyatakan radikal bebes

dalam medium IVF sering terjadi disebabkan oleh adanya oksigen radikal bebas

hasil proses transpor elektron dari mitokondria yang ditandai dengan terjadinya

reaksi peroksida lemak yang dapat mematikan sperma.

Kemungkinan lain ekspansi sel kumulus didukung oleh komposisi media

seperti penambahan hormon gonadotropin dan estradiol. Pendapat ini didukung

oleh Gordon (1994) bahwa ekspansi sel-sel kumulus secara in vitro distimulasi

oleh hormon gonadotropin dan faktor pertumbuhan untuk memproduksi asam

hyaluronat (Hyaluronic Acid). Hormon gonadotropin ini akan aktif dalam kondisi

in vitro jika ada serum dalam medium yang dapat merangsang asam hyaluronat

dan terjadinya pemekaran sel-sel kumulus yang optimal. Asam hyaluronat bagi

sel-sel kumulus merupakan faktor yang menyebabkan terjadinya ekspansi sel-sel

kumulus (Setiadi 2001).

Tingkat Pematangan Inti Oosit

Kesempurnaan pematangan oosit sangat berpengaruh terhadap keberhasilan

fertilisasi dan perkembangan awal embrio. Pada proses pematangan sel telur

secara in vitro dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya medium dan

(34)

hanya mempengaruhi terhadap proses pematangan tetapi berpengaruh juga

terhadap pembuahan dan perkembangan embrio. Penelitian ini bertujuan untuk

melihat pengaruh komposisi gas pada inkubator dan temperatur yang berbeda

pada tingkat pematangan oosit in vitro.

Faktor yang dapat mendukung keberhasilan tingkat pematangan inti oosit

menurut Zheng and Sirard (1992) adalah terjadinya ekspansi sel-sel kumulus,

pematangan inti yang mencapai M-II dan pematangan sitoplasma. Menurut Moltik

and Fulka (1976) bahwa sel-sel kumulus yang mengelilingi oosit akan melebar

dan berwarna cerah. Oosit telah mencapai pematangaan yang maksimal dan siap

untuk difertilisasi jika telah mencapai tahap M-II pada proses pembelahan secara

meiosis (Gambar 6).

Gambar 6. Status inti oosit setelah pematangan in vitro. Tanda panah menunjukkan status inti pada tahap : A. Germinal Vesicle (GV); B. Germinal Vesicle Break Down (GVBD); C. Metafase I (M-I); D. Metafase II (M-II). Bar = 50 µµm.

A B

(35)

25

Proses meiosis diawali dengan tahap GV yaitu ditandai dengan membran

inti jelas dan nukleolus berbentuk cincin berwarna jelas kemudian dilanjutkan

dengan pecahnya stadium inti atau GVBD, nukleolus menghilang dan badan

kutub I telah terbentuk (Tsafriri 1985), sedangkan pematangan sitoplasma

meliputi penambahan butir-butir kuning telur didalam sitoplasma, pembentukan

selubung zona pelusida, serta pembentukan granul-granul kortek (Djuwita et al.

2000).

Proses pematangan in vitro adalah proses dimana oosit mengalami

perubahan meiosis dari tahap M-I sampai M-II. Setelah oosit mengalami

pematangan pada media kultur (TCM-199) selama 23 jam pada inkubator CO2

standar, inkubator Oxoid temperatur 360C dan inkubator Oxoid temperatur 290C,

oosit dievaluasi dengan menggunakan pewarnaan aceto orcein 2% untuk melihat

perubahan inti oosit.

Kandungan gas CO2 dalam inkubator dapat mempertahankan pH medium

agar tetap stabil yaitu pH netral • 7.5 yang akan mempengaruhi proses fisiologis.

Meskipun demikian didalam media maturasi tetap diperlukan adanya penyangga.

Dengan menggunakan penyangga bikarbonat dan pemberian gas CO2 5% maka

dapat mempertahankan interval pH dari 7.4 – 7.6 (Gordon 1994). Keseimbangan

pH ini dipengaruhi juga oleh temperatur dan tekanan atmosfer. Hal ini juga

didukung oleh Rijnders et al. (1996) bahwa kandungan gas CO2 5% dan O2 20%

dalam inkubator akan mempertahankan pH medium agar tetap stabil. Penggunaan

inkubator Oxoid yang menghasilkan O2 15% dan CO2 6% seharusnya dapat

mencukupi standar produksi in vitro embrio sapi. Hal ini dikarenakan pada

inkubator Oxoid diduga asam askorbik dapat membatasi tekanan atmosfer dengan

baik menggunakan tekanan O2 rendah dan dapat melindungi embrio dari gas dan

perubahan temperatur selama beberapa minggu waktu kultur (Avery et al. 2000).

Sedangkan penggunaan inkubator CO2 5% dengan media yang ditambah buffer

fosfat dan bikarbonat lebih sering digunakan karena tidak memerlukan pemberian

gas CO2 jenuh untuk memertahankan pH.

Pada Tabel 2 terlihat bahwa oosit yang dimaturasi masih dapat mencapai

tingkat pematangan inti yang lebih lanjut yaitu tahap M-II. Jumlah oosit yang

(36)

tinggi dan berbeda nyata (P<0.05) dibandingkan dengan inkubator Oxoid

temperatur 360C (55.00%) dan inkubator Oxoid temperatur 290C (10.53%). Hal

ini menunjukkan bahwa temperatur 360C masih mampu mendukung pematangan

oosit in vitro meskipun lebih rendah dari temperatur normal.

Tabel 2. Tingkat Pematangan Inti Oosit Sapi Setelah Maturasi In Vitro.

Tingkat kematangan inti oosit (%) Inkubator

Keterangan : GV: Germinal Vesicle; GVBD: Germinal Vesicle Break Down; M-I:

Metafase I; M-II: Metafase II; TI: Tidak teridentifikasi. Huruf yang sama pada kolom yang sama menyatakan tidak berbeda nyata (p>0.05).

Inkubator Oxoid temperatur ruang (290C) yang secara ekstrim dibawah

temperatur tubuh, oosit yang mencapai tahap M-II sangat rendah hanya mencapai

10.53% yang berbeda nyata secara statistik baik dengan inkubator Oxoid

temperatur 360C dan inkubator normal. Hal ini menunjukkan temperatur kamar

bersifat detrimental terhadap proses meiosis. Pendapat ini didukung oleh hasil

penelitian Lenz et al. (1983) bahwa tahap meiosis mempunyai toleransi

temperatur yang relatif tinggi tetapi tidak sampai 50C dibawah temperatur badan.

Sedangkan dalam penelitian ini dipakai temperatur ruang (290C) yang jauh dari

temperatur normal badan ± 38 – 390C.

Lebih lanjut ditunjukkan bahwa pada inkubator Oxoid temperatur 290C

oosit mampu mengawali proses meiosis yang baik. Hal ini ditunjukkan dengan

sisa yang sedikit dari oosit yang masih dalam tahap GV. Namun demikian dalam

perkembangan proses meiosis oosit terhenti pada tahap M-I (Tabel 2). Hal ini

didukung oleh Trounson and Gardner (2000) yang menyatakan bahwa

pematangan oosit pada temperatur ruang (290C) menyebabkan kerusakan spindel

meiotik yang dapat menghambat proses pematangan oosit. Semakin rendah

temperatur yang digunakan dalam proses pematangan in vitro maka semakin

(37)

27

Gordon (1994), temperatur optimum untuk pematangan oosit in vitro adalah

38 – 390C dan temperatur optimum untuk fertilisasi adalah 390C.

Disamping lingkungan penyimpanan (inkubator), media pematangan juga

penting. Salah satu media yang paling banyak digunakan untuk pematangan oosit

in vitro adalah TCM-199. Penambahan gonadotropin (LH dan FSH) ke dalam

medium TCM-199 dapat meningkatkan tingkat pematangan oosit dan tingkat

fertilisitas in vitro dengan melihat peningkatan ekspansi sel-sel kumulus. Hormon

gonadotropin dan estradiol biasanya menyebabkan peningkatkan yang bersifat

sinergis terhadap pematangan inti tergantung dari jenis serum yang digunakan

dalam media pematangan (Gordon 1994).

Korelasi Ekspansi Kumulus dengan Metafase II

Selama pematangan in vitro pada oosit sapi keberadaan sel kumulus yang

mengelilingi oosit tersebut sangat membantu sampai pada perkembangan blastosis

(Boediono dan Suzuki 1996). Hal ini diduga karena sel kumulus menyediakan

nutrisi untuk oosit selama perkembangan dan membantu sintesis protein untuk

pembentukan zona pelusida. Kriteria ini sering dipakai oleh beberapa peneliti

karena adanya indikasi korelasi yang kuat antara dinamika pemekaran sel-sel

kumulus pada oosit dari hewan tertentu dengan morfologi normal, kemampuan

untuk dibuahi dan kemampuan perkembangan oosit setelah dibuahi (Chen 1994

dalam Setiadi 2001).

Pada penelitian ini, oosit dari semua perlakuan menunjukkan tanda-tanda

adanya maturasi, selain ditandai dengan munculnya badan kutub I sebagai hasil

dari pembelahan meiosis I. Tanda yang secara morfologis paling mudah dikenali

adalah terjadinya peregangan sel-sel kumulus yang mengelilingi oosit tersebut,

seperti yang dilaporkan oleh Boediono dan Suzuki (1996) bahwa peregangan sel

kumulus setelah maturasi secara in vitro merupakan salah satu tanda terjadinya

maturasi nukleus dan sitoplasma. Sedangkan menurut Eppig (1980) peregangan

sel kumulus yang mengelilingi oosit bertepatan dengan terjadinya pembelahan

meiosis. Hal ini didukung oleh pendapat Lu et al. (1988) secara in vitro

(38)

kumulus terekspansi secara sempurna, sedangkan peningkatan cAMP akan

mengaktifkan proses meiosis.

Hubungan ekspansi kumulus dengan maturasi oosit pada penelitian ini

dapat dilihat pada gambar 7-9. Oosit yang dimatangkan pada inkubator CO2

temperatur 38.50C menunjukkan hubungan yang erat karena untuk setiap kenaikan

rata-rata nilai ekspansi kumulus derajat 3 (maksimum) sebesar satu-satuan maka

akan meningkatkan rata-rata M-II sebesar 0.274. Hal ini berarti ekspansi kumulus

derajat 3 mempunyai kerapatan hubungan dengan M-II sebesar 0.55. Pada

inkubator Oxoid temperatur 360C menunjukkan hubungan yang sangat erat karena

setiap kenaikan rata-rata nilai ekspansi kumulus derajat 3 sebesar satu-satuan

maka akan meningkatkan rata-rata nilai M-II sebesar 0.617. Hal ini berarti

ekspansi kumulus derajat 3 mempunyai kerapatan hubungan dengan M-II sebesar

0.98. Kerapatan hubungan antara derajat ekspansi sel kumulus dengan M-II pada

temperatur 38.50C lebih rendah dibandingkan pada temperatur 360C. Hal ini

kemungkinan disebabkan oleh kekeliruan dalam mengelompokkan derajat

ekspansi sel kumulus oosit terutama derajat 2 dan 3. Pada inkubator Oxoid

temperatur 290C menunjukkan hubungan yang kurang erat karena untuk setiap

kenaikan rata-rata nilai ekspansi kumulus derajat 3 sebesar satu-satuan maka akan

meningkatkan rata-rata nilai M-II sebesar 0.04. Ini berarti ekpansi kumulus derajat

(39)

29

Gambar 7. Hubungan antara derajat ekspansi 3 dengan M-II pada inkubator CO2 temperatur 38.50C.

Ekspansi Kumulus Derajat 3

Gambar 8. Hubungan antara derajat ekspansi 3 dengan M-II pada inkubator Oxoid temperatur 360C.

(40)

Dengan melihat hasil penelitian pada Gambar 7-9, pada inkubator CO2

temperatur 380C menunjukkan ekspansi kumulus derajat 3 dengan M-II

hubungannya tidak seerat pada inkubator Oxoid temperatur 360C. Hal ini

membuktikan bahwa pematangan oosit tidak hanya bergantung pada tingkat

ekspansi sel-sel kumulus karena terdapat oosit yang kumulusnya tidak mengalami

ekspansi maksimum yaitu pada derajat ekspansi 1 dan 2, akan tetapi pematangan

inti dapat mencapai M-II yang cukup tinggi. Peran sel kumulus setiap spesies

berbeda, pada oosit tanpa sel-sel kumulus dapat berkembang sampai tingkat

pematangan M-II dan dapat difertilisasi (Galeati 1994). Pada inkubator Oxoid

290C hubungannya kurang erat. Hal ini karena oosit yang mencapai tingkat

pematangan M-II hanya sedikit.

Menurut Setiadi (2001), secara umum faktor yang bertanggung jawab

terhadap pemekaran sel-sel kumulus melibatkan faktor internal dan ekternal.

Faktor internal meliputi luapan gonadotropin sebelum ovulasi, meskipun terdapat

perbedaan spesies dalam pengaturan pemekaran sel-sel kumulus. Sedangkan

faktor ekternal meliputi faktor komposisi media pada proses in vitro sangat

menentukan terjadinya pemekaran sel-sel kumulus. Pada penelitian ini medium

maturasi yang digunakan ditambahkan FBS yang berperan dalam proses

peregangan sel-sel kumulus tersebut. Peregangan sel-sel kumulus disebabkan oleh

adanya hyaluronidase yang diproduksi dan disekresikan oleh sel-sel kumulus.

Menurut penelitian lain sintesis asam hyaluronat oleh sel kumulus dan pengaturan

asam hyaluronat dapat menaikkan ekspansi kumulus dengan adanya FBS dalam

medium maturasi oosit secara in vitro, asam hyaluronat tetap dipertahankan di

dalam komplek oosit kumulus. Berdasaran beberapa penelitian tersebut, maka

pemekaran sel-sel kumulus dapat distimulasi in vitro oleh beberapa komponen

media seperti hormon gonadotropin, serum dan substrat dari hyalironidase. Hal ini

menunjukkan semakin berkembang sel kumulus maka tahap mencapai M-II

sangat tinggi karena sel kumulus mempunyai peran dalam menciptakan

lingkungan mikro untuk oosit, yaitu peningkatan aktivitas metabolisme untuk

kebutuhan makanan oosit. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa ekspansi

(41)

KESIMPULAN

Dari hasil penelitian yang diperoleh dapat diambil beberapa kesimpulan

sebagai berikut :

1. Inkubator Oxoid pada temperatur 360C dapat dipakai untuk proses

pematangan oosit meskipun hasilnya tidak optimal (55%)

dibandingkan dengan inkubator standar.

2. Proses pematangan oosit pada temperatur ekstrim dibawah temperatur

tubuh normal menimbulkan efek yang tidak dikehendaki dan hanya

sedikit oosit yamg mampu menyelesaikan pembelahan meiosis sampai

tahap M-II.

3. Derajat ekspansi sel kumulus oosit dan tingkat pematangan inti

mempunyai derajat keeratan yang berbeda.

SARAN

Dari penelitian yang telah dilakukan maka disarankan beberapa hal

sebagai berikut :

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut penggunaan inkubator Oxoid

pada temperatur normal yang setara dengan temperatur tubuh

(38-390C).

2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tingkat kompentensi oosit yang

telah dimatangkan pada inkubator Oxoid melalui percobaan fertilisasi

(42)

Avery B, Melsted JK and Greve T. 2000. A Novel Approach for In Vitro Production of Bovine Embryos Use of The Oxoid Atmosphere Generating System. Theriogenology 54: 1259 – 1268.

Azamduja RM de, Moreno JF, Kraemer D and Westhusin M. 1993. Effect of Gas Atmosphere on In Vitro Maturation of Bovine Oocytes. Theriogenology 39: 184-186.

Ball GD, Leibfreid ML, Lenz RWAx, Bavister BD and First NL. 1984. Factors Affecting Succesfull In Vitro Fertilization of Bovine Follicular Oocyte. Biol. Reprod. 28: 717-725.

Berthelot F and Terqui M. 1996. Effects of Oxygen, CO2/pH and Medium on The In Vitro Development of Individually Cultured Prorcine One – and Two- Sel Embryos. Reprod. Nutr. Dev. 36: 241-251.

Boediono A and Suzuki T. 1996. In Vitro Development of Holstein and Japanese Black Breeds Embryo. Media Veteriner 3: 3-9.

Boediono A, Rusiyantono Y, Mohamad K, Djuwita I dan Herliatien. 2000. Perkembangan Oosit Kambing Setelah Maturasi, Fertilisasi dan Kultur In Vitro. Media Veteriner 7: 11-17.

Brackett BG and Zuelke KA. 1993. Analysis of Factors Involved in The In Vivo Production of Bovine Embryos. Theriogenology 39: 43-64.

Chian RC, Niwa K and Sirard. 1994. Effect Cumullus Cells on Male Pronuclear Formation and Subsequent Early Development of Bovine Oocytes In Vitro. Theriogenology 41: 1449-1508.

Crozet IV, Ahmed-Ali M and Dubos P. 1995. Developmental Competence of Goat Oocytes from Follicles of Different Size Categories Follofing Maturation, Fertilisation and Culture In Vitro. Reprod. Fert. 76: 31-37.

Dale B and Elder K. 1998. In Vitro Fertilization. USA: Cambridge Univ. Pr. pp: 73-81.

(43)

33

Eppig JJ. 1980. Role of Serum in FSH Stimulated Cumulus Expantion by Mouse Oocyte-Cumulus Cell Complexes In Vitro. Biol.Reprod. 15: 167-573.

Frandson RD. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Srigandono B, Praseno K, Penerjemah; Yogyakarta: Gadjah Mada Univ. Pr. Terjemahan dari: Anatomy and Physiology of Farm Animal. pp: 599-735.

First NL, Lorraine and Florman HM. 1989. The Mollecular Biology of The Mamalian Oocyte Fertilization. London: Academic Pr. pp: 259-288.

Findlay JK, Drummond AE and Fry RC. 1996. Intragonal Regulasion of Follicular Development and Ovulation. Anim. Reprod. Sci. 42: 321-331.

Galeati G. 1994. Oocyte reaction to penetrating sperm. Zygote 2: 355-358.

Gordon I. 1994. Laboratory Production of Cattle Embryos. Biotechnology in Agriculture Series. CAB. International. pp: 30-142.

Hafez ESE. 1987. Reproduction in Farm Animals. Ed ke-5. Philadelphia: Lea & Febiger. pp: 7-205.

Hafez ESE, B. Hafez. 2000. Reproduction in Farm Animals. Ed ke-7. Philadelphia: Lea & Febiger. pp: 31-68.

Hammerstedt RH, Keith AD, Snipes W, Amann RP, Arruda D and Griel LC. 1993. Use of Spin Labels to Evaluete Effects of Cold Shock and Osmolarity on Sperm. Biol. Reprod. 18: 686-696.

Hardjopranjoto HS. 1995. Ilmu Kemajiran pada Ternak. Yogyakarta: Airlangga Univ Pr. pp: 19-55.

Hawk HK, Nel AD and Wall AW. 1992. Investigation of Means to Improve Rates of Fertilization In Vitro Matured or In Vitro Fertilization Bovine Oocytes. Theriogenology 8: 989-998.

Hunter. 1995. Fisiologi dan Teknologi Reproduksi Hewan Betina Domestik. Haryaputra DK, penerjemah; RB Mataram, penyuting. Bandung: ITB. Terjemahan dari: Physiology and Technology Reproduction in Female Domestic Animals. pp: 257-295.

Gambar

Gambar 1. Potongan ovarium mamalia (Hunter 1995).
Gambar 2. Pembelahan meiosis dan maturasi oosit (Gordon 1994).
Gambar 3.  Inkubator Oxoid CO2 GenTM atmosphere general system.
Gambar 4. Oosit yang termasuk dalam kriteria A dan B yang dipakai untuk pematangan.  Bar = 100 µµm
+5

Referensi

Dokumen terkait

Lembaga pendidikan yang tidak menempatkan Tauhid sebagai ajaran utama, berarti pendidikan tersebut telah melakukan dosa besar terhadap anak didiknya, sebab bagi

Sungai di Indonesia selama ini banyak dimanfaatkan oleh masyarakat di sekitarnya sebagai sumber air domestik, industri, pertanian, maupun tempat pemhuangan limbah,

• inflamasi hidung dan sinus paranasal yang ditandai dengan adanya dua atau lebih gejala, salah satunya termasuk hidung tersumbat/ obstruksi/ kongesti atau pilek (sekret

ANALISIS PENGARUH LABA OPERASIONAL SEBELUM BUNGA DAN PAJAK (EBIT) DAN PROPORSI HUTANG TERHADAP ECONOMIC VALUE ADDED (EVA) PADA PERUSAHAAN MANUFAKTUR DAN RETAIL YANG TERDAPAT DI

(5) Besaran Sewa atas Barang Milik Negara/Daerah untuk kerja sama infrastruktur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a atau untuk kegiatan dengan karakteristik usaha

Hasil penelitian yang diperoleh adalah sebagai berikut: (1) Penilaian konsumen terhadap experiential marketing pada BreadTalk dinilai baik karena berada pada kategori baik

Di sini tersimpul keharusan manusia untuk mengusahakan keseimbangan antara kebahagiaan hidup akhirat dengan kebahagiaan hidup duniawi, keseimbangan berbuat baik bagi

Kepesertaan tenaga kerja dalam Program JKK perusahaan kelompok jenis usaha III dalam Program JKK sebanyak 14.951 orang (44,33% dari 33.724 orang tenaga kerja peserta Program JKK pada