• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penapisan galur padi gogo (Oryza sativa L.) hasil kultur antera untuk ketenggangan alumunium dan ketahanan terhadap penyakit blas

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penapisan galur padi gogo (Oryza sativa L.) hasil kultur antera untuk ketenggangan alumunium dan ketahanan terhadap penyakit blas"

Copied!
297
0
0

Teks penuh

(1)

PENAPISAN GALUR PADI GOGO (

Oryza sativa

L.) HASIL KULTUR

ANTERA UNTUK KETENGGANGAN ALUMINIUM DAN

KETAHANAN TERHADAP PENYAKIT BLAS

BAKHTIAR

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Penapisan Galur Padi Gogo (Oryza sativa L.) Hasil Kultur Antera untuk Ketenggangan Aluminium dan Ketahanan terhadap Penyakit Blas adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Agustus 2007

Bakhtiar

(3)

ABSTRACT

BAKHTIAR. Screening of Upland Rice (Oryza sativa L.) Lines derived from Anther Culture to Aluminum Tolerance and Blast Resistance. Under the Supervision of BAMBANG S. PURWOKO, TRIKOESOEMANINGTYAS, M.A.CHOZIN and MUKELAR AMIR.

Aluminum (Al) toxicity and blast disease caused by fungus Pyricularia grisea (Cooke) Sacc. are the most important yield-limiting factors for upland rice production in acid soils. A series of experiment were conducted to screen Al tolerant and blast disease resistant genotypes from doubled haploid (DH) lines derived from anther culture, to examine the contributions of Silicate (Si), Nitrogen (N) and Al accumulation in plant tissue to Al tolerance and resistance to blast disease in upland rice and to evaluate the performance of DH lines in field with Al and without Al toxicity. The results showed that there were phenotypic and genotypic variability of Al tolerance and blast disease resistance among tested DH lines. Among the 113 tested DH lines, 15, 73 and 25 lines were found to be Al tolerant, moderate and susceptible, respectively based on the relative root length in nutrient solution. Result of evaluation of DH lines for Al-tolerant in acid soils, showed that 34, 15, 7, 9, 7 and 13 DH lines were found to be highly Al tolerant, tolerant, moderately tolerant, moderately susceptible, susceptible and highly susceptible in term of relative grain weight. The lines KRGM4, JTGR13, JTGR17, JTGR18, JTKR1, JTKR5, GRGM4, GRGM6, GRGM9, GRGM14, GRGM25, GRJT11 and SGJT27 were consistently Al tolerant under both nutrient solution and acid soils. The lines SGJT3, SGJT28, SGJT34, SGJT29, SGGM5, SGGM8, GRGM9 and GRJT12 were resistant to leaf blast disease race 173, 033 and 001. The lines SGGM5, SGGM8, SGJT3, SGJT28, SGJT29, SGJT34, SGJT36 and GRJT14 were Al tolerant in nutrient solution and resistant to leaf and neck blast disease race 173 and 033. Leaf blast disease resistance in DH lines cannot be solely explained by Si or N content in shoots tissue. The resistance to leaf blast disease might be attributed by high ratio Si/N weight in shoots. Al tolerant genotypes showed lower Al uptake than that of susceptible genotypes, indicating the external mechanism of Al tolerance. The Al tolerance was ascribed to low reduction in root growth, high shoot dry weight, high Si content in shoots, as well as high Si/Al weight ratio in roots. Field experiment showed that the lines SGJT28, SGJT36 and SGGM5 were Al tolerant and resistant to blast disease. The grain weight of the three DH lines under acid soils relatively similar or higher to the grain weight of Jatiluhur variety as check, but lower than Jatiluhur under normal soils. They were consistently Al tolerant and resistant to blast disease in the greenhouse and field screening. Breeding of upland rice through anther culture successfully obtained Al tolerant and blast disease resistant lines.

(4)

RINGKASAN

BAKHTIAR. Penapisan Galur Padi Gogo (Oryza sativa L.) Hasil Kultur Antera untuk Ketenggangan Aluminium dan Ketahanan terhadap Penyakit Blas. Dibimbing oleh BAMBANG S. PURWOKO, TRIKOESOEMANINGTYAS, M.A.CHOZIN dan MUKELAR AMIR.

Keracunan Aluminium (Al) dan penyakit blas yang disebabkan oleh cendawan Pyricularia grisea (Cooke) Sacc. merupakan faktor yang menghambat produksi padi gogo. Serangkaian percobaan dilakukan untuk menyeleksi genotipe tenggang Al dan tahan terhadap penyakit blas dari galur haploid ganda hasil kultur antera, menganalisis keterkaitan akumulasi silikat (Si), nitrogen (N) dan Al pada jaringan tanaman terhadap ketenggangan Al dan ketahanan terhadap penyakit blas dan mengevaluasi keragaan galur haploid ganda padi gogo pada lahan bercekaman dan tanpa cekaman Al. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat variasi fenotipik dan genotipik tingkat ketenggangan Al dan ketahanan terhadap penyakit blas antar galur haploid ganda yang diuji. Hasil penapisan pada kultur hara, dari 113 galur haploid ganda yang diseleksi diperoleh 15 tenggang, 73 moderat dan 25 peka Al berdasarkan panjang akar relatif. Hasil penapisan pada media tanah masam, dari 85 galur diperoleh 34 sangat tenggang, 15 tenggang, 7 agak tenggang, 9 agak peka, 7 peka dan 13 sangat peka berdasarkan nisbah bobot gabah per rumpun. Galur KRGM4, JTGR13, JTGR17, JTGR18, JTKR1, JTKR5, GRGM4, GRGM6, GRGM9, GRGM14, GRGM25, GRJT11 dan SGJT27 konsisten tenggang Al pada penapisan dengan metode kultur hara dan media tanah masam. Galur SGJT3, SGJT28, SGJT34, SGJT29, SGGM5, SGGM8, GRGM9 dan GRJT12 tahan terhadap penyakit blas daun ras 173, 033 dan 001. Galur SGGM5, SGGM8, SGJT3, SGJT28, SGJT29, SGJT34, SGJT36 dan GRJT14 tenggang Al pada kultur hara dan tahan penyakit blas daun dan leher malai ras 173 dan 033. Kandungan Si atau N tajuk saja tidak dapat menjelaskan tingkat ketahanan terhadap penyakit blas daun. Nisbah Si/N di tajuk yang tinggi menunjukkan ketahanan terhadap penyakit blas. Genotipe tenggang Al mengambil Al dari media tanam lebih rendah dibandingkan genotipe peka Al, yang mengindikasikan bahwa mekanisme ketenggangan Al pada populasi yang diuji termasuk mekanisme eksternal. Ketenggangan Al dapat ditentukan berdasarkan rendahnya hambatan pemanjangan akar, tingginya bobot kering tajuk, kandungan Si tajuk, dan nisbah Si/Al akar. Berdasarkan hasil evaluasi lapangan diperoleh tiga galur yang beradaptasi baik pada lahan tanah masam dan tahan terhadap penyakit blas yaitu SGJT28, SGJT36 dan SGGM5. Bobot gabah per rumpun galur SGJT28, SGJT36 dan SGGM5 pada lahan bercekaman Al sebanding atau lebih tinggi dibandingkan Jatiluhur, tetapi pada lahan tanpa cekaman Al lebih rendah dibandingkan Jatiluhur. Tingkat ketenggangan Al dan ketahanan terhadap penyakit blas dari galur SGJT28, SGJT36 dan SGGM5 konsisten antara penapisan di rumah kaca pada kondisi terkontrol dan di lapangan. Pemuliaan tanaman melalui metode kultur antera dapat menghasilkan galur tenggang Al dan tahan penyakit blas.

(5)

Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi

(6)

PENAPISAN GALUR PADI GOGO (

Oryza sativa

L.) HASIL KULTUR

ANTERA UNTUK KETENGGANGAN ALUMINIUM DAN

KETAHANAN TERHADAP PENYAKIT BLAS

BAKHTIAR

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Agronomi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)
(8)

Judul Disertasi : Penapisan Galur Padi Gogo (Oryza sativa L.) Hasil Kultur Antera untuk Ketenggangan Aluminium dan Ketahanan terhadap Penyakit Blas

Nama : Bakhtiar

NRP : A361020091

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Bambang S. Purwoko, M.Sc Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, M.Sc

Ketua Anggota

Prof. Dr. Ir. M.A. Chozin, M.Agr Dr. Ir. Mukelar Amir

Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Agronomi Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Satriyas Ilyas, MS Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

(9)

DAFTAR ISI

Kendala Budidaya Padi Gogo pada Tanah Masam ………. 6

Adaptasi Tanaman pada Tanah Masam ………... 8

Penyakit Blas pada Tanaman Padi ………... 11

Pemanfaatan Tanaman Haploid Ganda asal Kultur Antera dalam Pemuliaan Padi ……… 14

Metode Penapisan Ketenggangan Aluminium ……… 16

PENAPISAN GALUR HAPLOID GANDA PADI GOGO UNTUK KETENGGANGAN ALUMINIUM ………. 21

Abstrak ... 21

KETAHANAN GALUR HAPLOID GANDA PADI GOGO HASIL KULTUR ANTERA TERHADAP PENYAKIT BLAS ... 43

Abstrak ... 43

HUBUNGAN AKUMULASI SILIKAT DENGAN KETENGGANGAN ALUMINIUM DAN KETAHANAN TERHADAP PENYAKIT BLAS ... 61

Abstrak ... 61

KERAGAAN GALUR HAPLOID GANDA PADI GOGO PADA LAHAN TANPA DAN BERCEKAMAN ALUMINIUM ... 79

(10)

Halaman

PEMBAHASAN UMUM ... 95

SIMPULAN DAN SARAN ... 104

Simpulan ... 104

Saran ... 105

DAFTAR PUSTAKA ... 106

(11)

DAFTAR TABEL

Nomor Teks Halaman

1 Kuadrat tengah pengaruh cekaman aluminium terhadap panjang akar, panjang tajuk, bobot kering akar dan bobot kering tajuk

galur haploid ganda ……… 26

2 Komponen ragam dan heritabilitas dari panjang akar, panjang tajuk, bobot kering akar, bobot kering tajuk dan NAT pada kondisi

tercekam Al ………... 27 3 Korelasi panjang akar, panjang tajuk, bobot kering akar, bobot

kering tajuk, nisbah akar/tajuk pada kondisi tercekam Al ... 27 4 Pengelompokan genotipe berdasarkan PAR pada penapisan

dengan metode kultur hara hara ………... 31 5 Panjang akar pada perlakuan tanpa Al (Al0) dan Al 45 ppm (Al45)

serta PAR galur haploid ganda moderat dan tenggang pada umur 14 hari setelah tanam ………...

32 6 Hasil analisis komponen utama beberapa karakter galur haploid

ganda padi gogo hasil kultur antera ... 34 7 Nilai koefisien korelasi antar karakter pada galur haploid ganda

padi gogo dalam kondisi tercekam Al ... 36 8 Pengaruh langsung dan tidak langsung antara karakter agronomi

terhadap bobot gabah per rump un dalam kondisi tercekam Al …… 37 9 Sidik ragam peubah agronomi galur haploid ganda padi gogo hasil

kultur anter terhadap cekaman Al pada kultur tanah masam dalam

pot ………. 38

10 Komponen ragam dan heritabilitas peubah pertumbuha n dan produksi ………...

38 11 Pengelompokan genotipe berdasarkan nisbah bobot gabah per

rumpun (NBGR) pada media tanah masam ……...………..

40 12 Periode laten blas daun pada galur haploid ganda padi gogo yang

diinokulasi P. grisea ras 173 ………

49 13 Periode laten blas daun pada galur haploid ganda padi gogo yang

diinokulasi P. grisea ras 033 ………...

50 14 Periode laten blas daun galur haploid ganda padi gogo yang

diinokulasi P. grisea ras 001 ………

51 15 Komponen ragam dan heritabilitas dari intensitas serangan blas

leher ...………..

55 16 Intensitas Serangan (%), skala dan reaksi genotipe padi gogo

(12)

Nomor Teks Halaman 17 Nisbah Si/N tajuk dan Si/Al akar pada empat genotipe padi gogo 77 18 Jumlah anakan total, anakan produktif dan tinggi tanaman

beberapa galur haploid ganda dan tetuanya di Jasinga dan Muara ..

84 19 Umur berbunga, panen dan panjang malai beberapa galur haploid

ganda dan tetuanya di Jasinga dan Muara ...

87 20 Komponen produksi beberapa galur haploid ganda dan tetuanya di

Jasinga dan Muara ...

89 21 Intensitas serangan blas daun dan leher galur haploid ganda pada

lahan tanah masam ………...…………..

93 22 Jumlah dan persentase galur haploid ganda menurut tanggapannya

terhadap Al pada kultur hara dan blas daun ras 173, 033 dan 001 ...

97 23 Perbandingan ketenggangan Al, ketahanan blas dan bobot gabah

beberapa galur haploid ganda dibandingkan Jatiluhur dan Gajah

Mungkur ………..………. 103

Lampiran 1 Genotipe-genotipe yang digunakan dalam percobaan ... 119

2 Hasil analisis tanah yang digunakan sebagai media penapisan genotipe padi gogo untuk ketenggangan aluminium ……… 120 3 Skala ketahanan tanaman terhadap blas berdasarkan bercak pada daun ……….. 121 4 Skala penyakit blas daun ras 173, 033 dan 001 pada genotipe yang diuji ………... 122 5 Intensitas serangan blas daun ras 173, 033 dan 001 pada genotipe yang diuji ... 123 6 Sidik ragam intensitas serangan blas leher malai (transformasi arsin √%)... 124

7 Hasil analisis tanah percobaan silikat ……….. 124

8 Hasil analisis tanah untuk pengujian ketengangan Al di Jasinga ... 125

9 Hasil analisis tanah Kebun Percobaan INLITPA MUARA ……... 126

10 Silsilah dan diskripsi genotipe yang digunakan sebagai tetua ... 127

11 Diskripsi varietas Gajah Mungkur ... 128

12 Diskripsi varietas Jatiluhur ... 129

(13)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Teks Halaman

1 Bagan alur penelitian………. 4

2 Pengaruh cekaman Al terhadap pertumbuhan padi pada kultur hara ...

26 3 Akar genotipe peka dan tenggang Al pada perlakuan 0 dan 45

ppm Al ...

28 4 Penampilan panjang akar varietas Dupa dan ITA 131 pada

keadaan cekaman dan tanpa cekaman Al ……….

29 5 Pengelompokan galur haploid ganda padi gogo menurut tingkat

ketenggangan terhadap aluminium berdasarkan PAR …………

30 6 Sebaran galur haploid ganda padi gogo menurut tingkat

ketenggangan terhadap aluminium berdasarkan NBGR…………

40 7 Korelasi antara PAR dan NBGR ... 41 8 Gejala blas daun di lapangan... 48 9 Sebaran genotipe tahan blas daun pada ras 173, 033 dan 001…... 52

10 Gejala blas leher malai………... 55

11 Korelasi antara ketahanan terhadap blas daun dan blas leher malai pada ras 173 dan ras 033 berdasarkan intensitas serangan..

58 12 Intensitas serangan penyakit blas daun ras 173 setiap genotipe

dan setiap genotipe pada perlakuan cekaman Al………...

66 13 Panjang akar empat genotipe padi pada kejenuhan Al yang

berbeda ………..

67 14 Panjang tajuk setiap genotipe pada cekaman Al ... 68 15 Bobot kering akar setiap genotipe pada kejenuhan Al yang

berbeda ...

69 16 Bobot kering tajuk setiap genotipe pada kejenuhan Al yang

berbeda ...

69 17 Bobot kering akar dan tajuk setiap genotipe pada kejenuhan Al

dan inokulasi blas yang berbeda ………...

(14)

Nomor Halaman 25 Korelasi Nisbah Si/N tajuk dan intensitas serangan blas daun

dan bobot kering akar...

77 26 Bobot gabah per rumpun beberapa galur haploid ganda di

Jasinga dan Muara……….

91 27 Korelasi antara PAR dan intensitas serangan blas daun ras 173... 98

Lampiran

1 Pedoman penilaian dalam scoring blas daun (skala kerusakan) ... 131

(15)

PRAKATA

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga disertasi ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Agustus 2003 bertujuan untuk mendapatkan galur haploid ganda padi gogo hasil kultur antera yang tenggang aluminium dan tahan terhadap penyakit blas.

Ucapan terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Bambang S. Purwoko, M.Sc., Ibu Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, M.Sc., Bapak Prof. Dr. Ir. M. A. Chozin, M.Agr dan Bapak Dr. Ir. Mukelar Amir selaku pembimbing yang telah banyak memberi arahan dan saran yang memperkaya wawasan penulis dalam menyelesaikan penulisan disertasi ini.

Kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Bambang S. Purwoko, M.Sc yang telah menyediakan sebagian biaya penelitian untuk penulis, Departeman Pendidikan Nasional yang telah memberikan biasiswa BPPS kepada penulis, Pemerintah Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang telah memberikan biaya untuk penyelesaian studi program Doktor saya di IPB, kepada Yayasan Dana Sejahtera Mandiri yang telah memberikan biaya untuk penulisan disertasi, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih. Kepada Ibu Dr. Ir. Iswari S Dewi beserta staf dari BB-BIOGEN, Ibu Dra. Anggiani Nasution dan Bapak Santoso,SP.,M.Si beserta staf BB-Padi yang telah membantu selama pelaksanaan penelitian, penulis mengucapkan terima kasih.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa hormat, terima kasih dan penghargaan kepada Ibunda (alm) dan Ayahanda (alm) yang telah menanamkan dasar pendidikan yang sangat berguna bagi penulis. Kepada ibu mertua dan bapak mertua (alm) serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya, penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih. Secara khusus penulis menyampaikan terima kasih yang tulus kepada isteri tercinta Sri Wahyuni dan ketiga putera kami tersayang, Muhammad Ridha Maulana, Akhmad Alfian Maulana dan Muhammad Ikhwan Maulana atas motivasi, doa, bantuan, pengorbanan dan kesabarannya dalam mendampingi penulis selama ini.

Akhirnya, kepada semua pihak yang turut membantu selama penelitian hingga penulisan disertasi ini, penulis sampaikan terima kasih. Semoga disertasi ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2007

(16)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bireuen Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam pada tanggal 1 Nopember 1968 sebagai anak bungsu dari pasangan Halimah (alm) dan Tgk.Ahmad Basyah Ibrahim (alm). Pendidikan dasar sampai menengah ditempuh di kota Bireuen. Pendidikan sarjana ditempuh pada Program Studi Agronomi, Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, lulus tahun 1994. Pada tahun 1999, penulis diterima di Program Studi Agronomi pada Program Pascasarjana IPB dan lulus pada tahun 2002. Pada tahun yang sama mendapat kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada program studi dan pada perguruan tinggi yang sama. Beasiswa Pendidikan Pascasarjana diperoleh dari Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia.

Penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Program Studi Agronomi, Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, sejak tahun 1996 sampai sekarang.

(17)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Beras merupakan sumber bahan makanan pokok masyarakat Indonesia. Kebutuhan beras dalam negeri terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk. Laju peningkatan produksi padi akhir-akhir ini mengalami pelandaian sehingga tidak mampu mengimbangi laju peningkatan penduduk, mengakibatkan setiap tahun pemerintah mengimpor beras. Impor beras pada tahun 2005 mencapai 73.62 ribu ton (Departemen Pertanian 2007). Pada tahun anggaran 2006/2007 pemerintah telah menyepakati untuk mengimpor beras sebanyak 1.5 juta ton (Anonymous 2007). Ketergantungan beras nasional pada pasokan beras impor melalui perdagangan internasional sangat berisiko karena jumlahnya terbatas.

Produksi total padi nasional tahun 2000 sebanyak 51.49 juta ton berasal yang dari padi sawah 48.90 juta ton dan padi gogo 2.59 juta ton, sedangkan produksi padi pada tahun 2005 mencapai 54.15 juta ton yang berasal dari padi sawah 51.32 juta ton dan padi gogo 2.83 juta ton. Luas panen total tanaman padi pada tahun 2005 mencapai 11.84 juta ha, terdiri atas lahan padi sawah 10.73 juta ha dan padi gogo hanya 1.11 juta ha. Produktivitas padi sawah dan padi gogo pada tahun 2005 masing-masing 45.74 dan 25.63 kwintal per ha (Departemen Pertanian 2007). Hal ini menunjukkan sebagian besar produksi padi nasional Indonesia disumbangkan oleh padi sawah dan produktivitas padi gogo lebih rendah dibandingkan padi sawah.

Alih guna lahan sawah menjadi lahan bukan pertanian juga berdampak negatif terhadap ketersedian beras nasional. Hasil perhitungan Badan Pertanahan Nasional tahun 2004 menunjukkan 3.1 juta ha lahan sawah telah dikonversi secara terencana melalui rencana tata ruang wilayah. Sebagian besar rencana tersebut sudah disetujui DPRD setempat. Jika laju konversi sawah tersebut tidak dicegah, maka potensi kehilangan produksi beras mencapai 10 juta ton/tahun (Anonymous 2007).

(18)

2006). Lahan kering untuk perluasan penanaman padi gogo umumnya tergolong lahan marginal dan pembuatan irigasi sulit dilakukan. Usaha peningkatan produksi padi gogo disamping untuk meningkatkan produksi beras nasional diharapkan juga dapat memenuhi kebutuhan pangan dan meningkatkan kesejahteraan petani setempat.

Kendala utama dalam pengembangan padi gogo pada lahan kering diantaranya adalah keracunan aluminium (Al) dan penyakit blas. Tanah dengan kejenuhan Al di atas 30%, pH(H2O) < 5.0 dan Al terlarut dalam tanah lebih dari 1-2 mg l-1 merupakan ciri tanah bercekaman Al (Dobermann dan Fairhurst 2000). Keracunan Al mengakibatkan kerusakan sistem perakaran (Kollmeier et al. 2000; Rusdiansyah et al 2001; Watanabe dan Okada 2005b), percabangan dan rambut akar berkurang, ujung akar membengkak dan rapuh (Kochian et al. 2005; Vitorello et al. 2005). Sistem perakaran yang terbatas mengakibatkan gangguan dalam pengambilan hara dan air sehingga tanaman menjadi peka terhadap cekaman kekeringan (Polle dan Konzak 1990; Rout et al. 2001; Kochian et al. 2004). Hal ini mengakibatkan pertumbuhan dan produksi tanaman yang peka Al pada tanah masam menjadi berkurang (Rout et al. 2001; Samac dan Tasfaye 2003).

Penyakit blas (Pyricularia grisea (Cooke) Sacc.) dapat menyerang daun pada stadia pertumbuhan vegetatif dan menyerang leher malai pada stadia reproduktif. Serangan penyakit blas pada daun dapat menyebabkan berkurangnya luasan daun yang hijau bahkan pada intensitas serangan tinggi dapat menyebabkan semua daun menjadi kering dan mati (Ou 1985). Serangan pada leher malai berkaitan langsung terhadap kehilangan hasil akibat leher malai busuk dan patah (Bonman et al. 1989) sehingga pengisian biji terganggu (Ahn dan Amir 1986; Kobayashi et al. 2001) dan kadang-kadang serangan blas leher yang parah dapat terjadi tanpa didahului oleh parahnya serangan blas daun (Zhu et al. 2005).

Keracunan Al dapat dikurangi dengan pendekatan manajemen budidaya tanaman seperti pengapuran. Menurut Kamprath (1970) jumlah kapur yang dibutuhkan untuk mengurangi kelarutan Al di daerah tropika berkisar 1.5 sampai 3.3 ton/me Al per 100 g tanah. Berdasarkan penelitian Setijono (1982), untuk menaikkan pH tanah menjadi 5.5, diperlukan kapur sebanyak 1.5 x Aldd atau setara dengan 1.5 ton CaCO3 ha-1. Hardjowigeno (2003) menyatakan penggunakan kapur 1.5 x Al dapat dipertukarkan (Aldd) dapat menetralkan 85-90% Aldd.

(19)

jauh dari sumber kapur dengan sarana transpotasi yang tidak memadai. Alternatif lain yang berjangka panjang adalah dengan perakitan varietas yang mampu beradaptasi pada tanah masam dan tahan terhadap penyakit blas.

Sejumlah galur haploid ganda padi gogo dari persilangan antara beberapa varietas unggul padi gogo dan aksesi plasma nutfah tenggang aluminium dan tahan penyakit blas telah diperoleh dari penelitian sebelumnya melalui kultur antera (Purwoko et al. 2000). Galur haploid ganda hasil kultur antera tersebut dapat digunakan sebagai sumber plasma nutfah baru yang sangat strategis untuk pengembangan varietas padi gogo yang dapat beradaptasi pada lahan masam dan tahan terhadap penyakit blas. Galur tersebut memerlukan pengujian ketenggangan terhadap Al dan ketahanan terhadap penyakit blas.

Penapisan genotipe padi gogo untuk ketenggangan terhadap Al dapat dilakukan secara bertahap dimulai pada kultur hara, pada pot dengan media tanah yang mengandung Aldd tinggi dan evaluasi di lapangan. Evaluasi ketahanan terhadap blas dilakukan terhadap blas daun pada stadi bibit dan terhadap blas leher malai pada stadia tanaman dewasa. Hal ini dilakukan karena sering dijumpai varietas tahan terhadap blas daun tetapi rentan terhadap blas leher malai (Zhu et al. 2005). Penurunan hasil akibat serangan blas leher malai lebih tinggi dibandingkan serangan blas daun (Notteghem 1986) karena mempengaruhi pengisian dan bobot biji (Ahn dan Amir 1986).

Pengujian ketahanan terhadap blas dilakukan dengan menggunakan tiga ras blas dominan di Indonesia. Ras 001 mewakili ras yang penyebarannya luas dan mampu bertahan lama di lapangan, 033 mewakili ras yang paling bervariasi dalam virulensinya dan diduga mampu beradaptasi terhadap tekanan seleksi, dan 173 mewakili ras yang mempunyai sifat virulensi tinggi tetapi tidak bertahan lama di lapangan (Utami et al. 2000).

(20)

sebagai mekanisme ketahanan terhadap penyakit blas (Rodrigues et al. 2004; Rodrigues et al. 2005). Informasi tentang akumulasi Si dalam jaringan tanaman untuk meningkatkan ketahanan padi terhadap cekaman Al dan blas secara bersamaan pada padi sangat diperlukan.

Serangkaian penelitian dilaksanakan untuk mendapatkan galur haploid ganda hasil kultur antera tenggang Al dan tahan terhadap penyakit blas. Adapun alur penelitian disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1 Bagan alur penelitian.

Seleksi Ketenggangan terhadap Cekaman Al pada Kultur Hara Seleksi Ketahanan terhadap Blas

Daun

Keragaan Galur Haploid Ganda Tenggang Aluminium dan Tahan

Blas di Lapangan Akumulasi Silikat pada Padi dalam

Keadaan Cekaman Aluminium dan Penyakit Blas

Evaluasi Ketahanan terhadap Blas Leher Malai

Seleksi Ketenggangan terhadap Al pada Media Tanah Masam Galur Padi Gogo Haploid Ganda

Asal Kultur Antera

(21)

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mendapatkan genotipe padi gogo hasil kultur antera tenggang aluminium dan tahan penyakit blas ras 001, 033 atau 173.

2. Memperoleh informasi tentang keterkaitan akumulasi silikat dengan mekanisme ketenggangan Al dan ketahanan terhadap penyakit blas.

3. Mengevaluasi keragaan beberapa galur haploid ganda padi gogo hasil kultur antera di lapangan pada lahan bercekaman dan tidak bercekaman Al.

Hipotesis

1. Terdapat beberapa galur haploid ganda asal kultur antera padi gogo tenggang aluminium dan tahan penyakit blas daun dan leher malai ras 001, 033 atau 173. 2. Padi gogo yang mempunyai kemampuan untuk mengakumulasi Si tinggi akan

mampu beradaptasi pada tanah bercekaman aluminium dan tahan terhadap penyakit blas.

(22)

TINJAUAN PUSTAKA

Kendala Budidaya Padi Gogo Pada Tanah Masam

Pertumbuhan dan produksi tanaman pada tanah masam tidak optimum akibat pengaruh langsung atau tidak langsung dari keracunan Al. Pengaruh keracunan Al secara langsung menyebabkan terhambatnya pemanjangan akar. Pengaruh tidak langsung terjadi karena Al mengganggu pengambilan, transpor, pengunaan hara dan air (Polle dan Konzak 1990; Ma 2000; Rout et al. 2001) yang menginduksi kekahatan hara dan cekaman kekeringan bagi tanaman (Samac dan Tesfaye 2003; Kochian et al. 2004).

Keracunan Al umumnya terjadi pada tanah masam dengan pH kurang dari 5.0, tetapi dapat juga terjadi pada pH 5.5 (Rout et al. 2001; Vitorello et al. 2005). Tingginya kelarutan Al pada pH tersebut menyebabkan Aldd meningkat sampai pada konsentrasi beracun bagi tanaman (Matsumoto 2000; Kochian et al 2004; Vitorello et al. 2005). Induksi kekahatan hara pada tanah masam terjadi karena sebagian daerah jerapan pada mineral liat dikuasai oleh Al3+ dengan menggantikan Mg2+ dan Ca2+. Al yang ada pada daerah jerapan tersebut juga dapat menjerap fosfat (P) dan molibdat (Mo) dengan kuat (Marschner 1995; Rout et al. 2001) sehingga P dan Mo tidak tersedia bagi tanaman.

Pada akar tanaman yang mendapat perlakuan Al dengan konsentrasi rendah, hanya apoplas atau dinding sel saja yang dipengaruhi oleh Al (Ma 2000). Sebagian besar Al di akar berada dalam dinding sel bagian luar sel kortek. Pemelaran dan kelenturan dinding sel merupakan prasyarat yang diperlukan untuk pembesaran dan pemanjangan sel. Interaksi Al dengan gugus karboksil dari senyawa pektat dinding sel menggantikan kation penstabil dinding sel seperti Ca (Tabuchi dan Matsumoto 2001) menyebabkan kekakuan dinding sel (Blamey dan Dowling 1995; Horst et al. 1999). Hal ini mengakibatkan pemelaran (Tabuchi dan Matsumoto 2001) dan kelenturan dinding sel menurun (Ma et al. 2004) sehingga pembelahan sel terhambat dan mengakibatkan pertumbuhan akar juga terhambat (Matsumoto 2000; Kochian et al. 2005).

(23)

Ca2+ (Huang et al. 1992), K+ (Liu dan Luan 2001) dan sisi tempat pengikatan (binding site) pada protein transpor Mg2+ plasma dihalangi oleh Al3+ (Rengel dan Robinson 1989) sehingga pengambilan Ca, K dan Mg oleh akar terhambat.

Proses transpor pada membran plasma dihambat oleh Al3+ dengan menggantikan Ca2+ dari asam pektat dinding sel yang dapat mengurangi pergerakan air dan hara melalui ruang antar sel (Blamey dan Dowling 1995). Interaksi Al dengan membran plasma mengurangi muatan negatif pada permukaan membran plasma yang me ngakibatkan gangguan H+ homeostasis dalam sitosol. Induksi deposisi kalus pada saluran plasmodesmata oleh Al menyebabkan transpor simplastik antar sel terhambat (Sivaguru et al. 2000).

Sebagian kecil Al dapat masuk ke simplas akibat kebocoran membran (La zof et al. 1996) dan terakumulasi dalam inti sel ujung akar (Silva et al. 2000; Taylor et al. 2000). Interaksi Al dengan isi simplastik mengganggu Ca homeostasis dan menghambat aktifitas enzim fosfolipase (Jones dan Kochian 1995). Pengikatan Al ke fosfat yang terdapat pada kedua utas DNA dapat menghambat replikasi DNA karena rigiditas helik ganda DNA meningkat (Ma 2000). Aluminium dapat menginduksi produksi reactive oxygen species (ROS) dalam mitokondria dan menyebabkan penurunan fungsi mitokondria (Yamamoto et al. 2003).

Secara morfologi, akar sekunder kelihatan pendek gemuk dan percabangannya berkurang, akar-akar adventif lebih banyak tumbuh pada leher akar (Rout et al. 2001) serta rapuh (Tan et al 1993; Rusdiansyah et al 2001). Akibatnya akar mengalami kesukaran untuk menembus lapisan tanah dan menghambat pengambilan hara dan air.

(24)

Adaptasi Tana man pada Tanah Masam

Genotipe tanaman tertentu dapat bertahan hidup pada tanam masam karena mempunyai mekanisme untuk menenggang kelebihan Al yang ada dalam media tanam. Kochian (1995) mengusulkan dua mekanisme tenggang tanaman terhadap cekaman aluminium, yaitu mekanisme eksternal dan mekanisme internal. Perbedaan utama antara kedua mekanisme tersebut adalah tempat detoksifikasi Al, di apoplas untuk eksternal dan di simplas untuk internal.

Pada mekanisme eksternal, Al dicegah agar tidak menyeberangi membran plasma dan masuk ke simplas dan tempat yang sensitif terhadap Al di sitoplasma ujung akar. Kemungkinan mekanisme eksternal adalah permeabilitas membran plasma yang selektif untuk mengurangi pengikatan Al ke apoplas dan mengurangi pengambilan Al ke dalam sitosol (Okada et al. 2003; Archambault et al. 1996), peningkatan pH rhizosfer (Degenhardt et al. 1998), pelepasan asam organik sebagai ligan pengkelat Al (Ma 2000; Kochian et al. 2004; Mariano et al. 2005) dan immobilisasi Al di akar (Zheng et al. 2005).

Bagian akar pertama yang dimasuki dan dilewati oleh Al agar dapat mencapai bagian meristematik yang sensitif adalah musilagel akar. Archambault et al. (1996) mendapatkan jika musilagel akar dibuang maka Al yang dijerap akar 25-35% lebih rendah dibandingkan akar yang masih bermusilagel. Hal ini menunjukkan bahwa lapisan musilagel akar menyebabkan Al tidak mobil di akar sehingga meristem akar akan terlindungi dari kerusakan akibat Al.

Kemampuan dinding sel akar menjerap Al yang rendah dan permeabilitas membran sel yang selektif terhadap Al diduga terlibat dalam mekanisme ketenggangan Al secara eksternal. Beberapa peneliti menunjukkan bahwa genotipe tenggang cenderung menyerap Al dalam jumlah kecil dibandingkan genotipe peka (Matsumoto 2000; Silva et al. 2000). Jumlah Al yang dapat dipertukarkan pada dinding sel akar padi varietas peka Al lebih tinggi dibandingkan varietas tenggang Al (Okada et al. 2003), sehingga kandungan Al pada akar padi tenggang Al lebih rendah dibandingkan padi peka Al (Watanabe dan Okada 2005b).

(25)

0.1 setelah 30 hari mendapat cekaman Al (Sivaguru dan Paliwal 1993). Peningkatan pH di sekitar perakaran terjadi akibat peningkatan influx H+ pada ujung akar (Degenhardt et al. 1998). Peningkatan pH mengakibatkan pengendapan Al dan penurunan aktivitas Al3+ sehingga menjadi bentuk yang kurang beracun bagi tanaman (Samac dan Tesfaye 2003). Dengan demikian aktivitas Al menurun sebelum kontak dengan tempat metabolisme yang sensitif dalam akar.

Tanaman yang beradaptasi pada tanah masam, selain tenggang terhadap kelebihan Al dan juga tenggang terhadap NH4+ tinggi. Sorgum tenggang Al mempunyai nisbah penyerapan NO3-/NH4+ lebih tinggi dibandingkan sorgum peka (Kaltjens dan Ulden 1987). Penyerapan NO3- dalam jumlah besar menyebabkan terjadinya pelepasan ion hidroksil (OH-) atau ion bikarbonat (HCO3-) ke rhizosfer sehingga meningkatkan pH dan menekan kalarutan Al (Haynes 1990; Rout et al. 2001) sehingga tanaman akan terhindar dari keracunan Al.

Sejumlah tanaman dapat menghambat Al melalui pelepasan asam organik terutama malat, sitrat dan oksalat dari akar dalam merespon keracunan Al (Ma 2000; Mariano et al. 2005; Kochian et al. 2005). Over ekspresi enzim yang terlibat dalam metabolisme asam organik seperti sitrat sintase (Koyama et al. 2000) dan malat dehidrogenase (Tasfaye et al. 2001) pada tanaman transgenik dapat meningkatkan kandungan asam organik dan ketenggangan Al. Asam organik dapat mengkelat Al dengan membentuk komplek asam organik-Al yang tidak beracun bagi tanaman (Ma et al. 2001; Kochian et al. 2004). Namun demikian sekresi asam organik dari akar bukan mekanisme utama untuk ketenggangan Al pada padi (Ishikawa et al. 2000). Hasil penelitian Ma et al. (2002) menunjukkan bahwa tanaman padi tenggang dan peka Al yang ditanam pada kultur hara yang mengandung Al3+ melepaskan asam sitrat dalam jumlah yang hampir sama. Hal ini menunjukkan bahwa ketenggangan Al pada tanaman padi tidak berhubungan dengan pelepasan asam organik.

(26)

Silikat (Si) merupakan salah satu unsur hara yang bermanfaat bagi beberapa spesies tanaman termasuk padi (Epstein 1999). Pertumbuhan dan produksi biji tanaman pearl millet yang ditanam pada tanah masam sangat baik, didukung oleh konsentrasi Si di daun tinggi (Clark et al. 1990). Kandungan Si dalam daun sorgum tenggang Al yang ditanam pada tanah masam juga tinggi (Clark dan Gourley 1988). Silikat dapat mengurangi keracunan Al dan Mn pada sorgum (Galvez et al. 1987; Ma 2004).

Pada mekanisme internal, tanaman membiarkan Al masuk ke simplas dan tidak memperlihatkan gejala keracunan. Mekanisme ketenggangan Al internal umumnya dimiliki oleh spesies tanaman pengakumulasi Al seperti tanaman teh (Nagata et al. 1992), hydrangea (Ma et al. 1997a), buckwheat (Ma et al. 1998) dan melastoma (Watanabe et al. 1998). Selanjutnya Watanabe et al. (2006) melaporkan bahwa mekanisme ketenggangan internal juga dijumpai pada tanaman bukan pengakumulasi Al seperti tanaman pakan ternak Brachiaria hybrid.

Analisis 27Al NMR (Nuclear Magnetic Resonance Spectroscopy) menunjukkan Al membuat komplek dengan asam organik dalam simplas akar (Watanabe et al. 2006). Mereka melaporkan juga bahwa asam organik dalam jaringan akar membantu detoksifikasi Al pada Brachiaria hybrid. Ma dan Hiradate (2000) mendapatkan pada tanaman buckwheat, ion Al3+ melewati plasma membran melalui protein transpor, Al dikelat oleh asam oksalat yang ada dalam sitosol, selanjutnya ditranspor ke daun dalam bentuk komplek Al-sitrat melalui pembuluh xylem, selanjutnya Al dikompartementasi ke vakuola. Aktivitas transpor H+ tonoplas berperan penting dalam pertukaran proton dengan Al yang disimpan di vakuola. Taylor et al. (2000) mengamati bahwa Al dalam bentuk hidroksida Al dapat menembus tonoplas untuk masuk ke vakuola. Mereka juga mengamati pergerakan Al melewati membran plasma kemudian menuju tonoplas ke vakuola.

(27)

konsisten terdeteksi dengan Western blot and asai aktivitas CS pada cekaman Al. Hasil metabolisme yang dikatalisis oleh CS seperti total pool glutathion dan glutathion tereduksi juga meningkat secara nyata dalam merespon cekaman Al. Mereka juga melaporkan bahwa antioksidan dan detoksifikasi berhubungan dengan metabolisme sulfur, terutama CS (Yang et al. 2007).

Penyakit Blas pada Tanaman Padi

Penyakit blas disebabkan oleh cendawan Pyricularia grisea (Cooke) Sacc, sinonimnya Pyricularia oryzae Cavara (Rossman et al. 1990). Penyakit blas merupakan penyakit utama pada padi gogo karena periode embun pada daun padi gogo lama dan kelembaban udara mencapai 90% sangat mendukung perkembangan penyakit blas (Amir dan Nasution 1995). P. grisea dapat menginfeksi daun pada stadia perkembangan vegetatif dan malai pada stadia generatif (Ou 1985).

Tingkat kerentanan padi gogo meningkat bila daun padi dalam keadaan lembab dalam waktu lama dan penyerapan hara yang tidak seimbang akibat kekeringan atau kemasaman tanah (Bonman 1992b). Kebanyakan areal pertanaman padi gogo miskin unsur hara makro dan kadang-kadang jenuh hara mikro tertentu, bereaksi masam dan kering seperti di Sitiung Sumatera Barat dan Tamanbogo Lampung (Amir dan Nasution 1995). Penyerapan unsur hara yang tidak seimbang akan mendukung perkembangan penyakit blas, terutama kelebihan unsur N (Ahn dan Amir 1986).

Infeksi pada daun dapat mengurangi luas daun hijau oleh bercak blas. Serangan blas daun pada varietas rentan dapat menyebabkan seluruh tanaman mati sebelum berbunga. Serangan blas leher dapat menurunkan hasil secara langsung karena leher malai busuk dan patah sehingga pengisian biji terganggu (Ahn dan Amir 1986) dan bulir padi me njadi hampa (Ou 1985). Kehilangan hasil pada varietas rentan dapat mencapai 50-90% (Amir dan Kardin 1991).

(28)

untuk menghasilkan tekanan hidrostatis tersebut berkaitan dengan terbentuknya melanin pada dinding sel apresorium (Chumley dan Valent 1990).

Apresorium tidak mampu mempenetrasi sebagian varietas tahan akibat adanya deposisi silikat pada dinding sel epidermis (Oku 1994). Hasil pengamatan dengan menggunakan mikroskop elektron menunjukkan bahwa lapisan silikat banyak dijumpai di bawah kutikula pada dinding sel epidermis daun padi (Kim et al. 2002). Lapisan silikat tersebut menjadi hambatan fisik bagi penetrasi hifa blas (Takahashi 1997).

Menurut Ou (1985), setelah penetrasi, lapisan silikat pada sel spidermis tidak dapat menghambat pertumbuhan miselia lebih lanjut. Namun demikian, varietas tahan dapat menghambat pertumbuhan cendawan dengan melokalisasi infeksi. Tanaman segera merespon infeksi blas pada tahap awal infeksi, sel yang terinfeksi dan beberapa sel di sekelilingnya segera menjadi coklat dan mati yang disertai matinya hifa (reaksi hipersensitif). Sebaliknya, respon terhadap infeksi pada varietas rentan lebih lambat yang ditandai dengan lambatnya timbul bercak coklat dan pertumbuhan hifa terus berlanjut.

Pencoklatan jaringan yang diinfeksi oleh P. grisea merupakan akibat dari oksidasi polifenol menjadi quinon yang beracun bagi cendawan (Ou 1985). Konsentrasi polifenol selalu lebih tinggi pada varietas tahan dibandingkan pada varietas rentan. Beberapa fitoaleksin diterpenoid seperti momilakton (Cartwright et al. 1981), oryzalesin (Akatsuka et al. 1985), fitokasan (Koga et al. 1995) telah diisolasi dari daun padi yang terinfeksi P. grisea. Akumulasi fitoaleksin tersebut berhubungan dengan peningkatan ketahanan tanaman padi terhadap penyakit blas (Dillon at al. 1997) karena dapat menghambat perkecambahan dan pertumbuhan tabung kecambah P. grisea (Huang 2001).

Fenomena kematian sel dengan cepat akibat adanya infeksi oleh patogen dikenal dengan reaksi hipersensitif (Oku 1994). Kematian hifa pada bercak hipersensitif disebabkan oleh jaringan tanaman terinfeksi yang mengeluarkan fitoaleksin sebagai akibat interaksi antara penyakit blas dan tanaman (Rodrigues et al. 2004). Fitoaleksin dapat mendetoksifikasi piricularin, suatu toksin yang dikeluarkan oleh P. grisea (Ou 1985). Dengan demikian reaksi hipersensitif dan kemampuan mensintesis fitoaleksin berhubungan dengan ketahanan terhadap blas.

(29)

pada varietas tahan. Varietas yang mempunyai ketahanan parsial membiarkan cendawan untuk bereproduksi atau berspora tetapi tidak separah pada varietas peka.

Varietas tahan sempurna ditandai dengan respon hipersensitif terhadap infeksi dan cenderung tidak bertahan lama akibat peubahan populasi ras P. grisea (Seebold et al 2001; Marchetti 1983; Bonman 1992b) dan ketahanan dikendalikan oleh gen mayor tunggal (Kiyosawa 1982). Varietas tahan parsial mempunyai ketahanan lebih lama (Marchetti 1983) dibandingkan varietas tahan sempurna tetapi seleksi ketahanan parsial lebih sulit dilakukan karena dikendalikan oleh gen-gen minor yang belum dapat ditentukan jumlahnya (Yeh dan Bonman 1986) dan heritabilitasnya rendah (Wang et al. 1989).

Pengujian ketahanan padi terhadap blas bisa dilakukan di lapangan pada daerah endemik dengan inokulum alami atau di rumah kasa dengan inokulasi buatan (Ou 1985). Kelebihan pengujian di rumah kasa adalah benih yang diperlukan lebih sedikit dibandingkan dengan pengujian di lapangan, sehingga lebih sesuai untuk pengujian generasi awal pada siklus pemuliaan (Roumen 1993). Pengujian lapangan dapat dilakukan pada tahap lebih lanjut untuk mendapatkan varietas tahan di lapangan terhadap berbagai komposisi ras karena varietas yang dilepas ke petani akan menghadapi kondisi lingkungan yang multi ras (Amir 2002).

Hasil pemetaan ras P. grisea di daerah endemik blas di Jawa Barat dapat diidentififasi 30 ras. Ras 001 dominan di Kuningan, Ciamis, Garut, dan Tasikmalaya, ras ras 033 dominan di Sukabumi tetapi dijumpai juga di Kalijati, Ciamis, Garut, dan Tasikmalaya, sedangkan ras 173 dijumpai di Sukabumi (Amir et al. 2003). Hasil identifikasi pada musim hujan 2004/2005 pada daerah endemik blas di Lampung diperoleh ras 001, 033 dan 173 selalu dijumpai baik pada stadia anakan dan berbunga sebagai blas daun maupun pada stadia menjelang panen sebagai blas leher malai (Nasution et al. 2004).

(30)

Pemanfaatan Tanaman Haploid Hasil Kultur Antera dalam Pemuliaan Padi

Pada pemuliaan tanaman konvensional, varietas tanaman menyerbuk sendiri seperti padi terdiri atas genotipe-genotipe homogen dan homozigos. Hasil rekombinasi sifat-sifat yang diinginkan dari genom tetua yang disilangkan kemudian diseleksi pada generasi bersegregasi selanjutnya di-selfing 6 - 10 generasi untuk fiksasi gen agar diperoleh galur murni homozigos (Khush dan Virmani 1996; Dewi dan Purwoko 2001). Hal ini mengakibatkan pembentukan varietas memerlukan waktu lama.

Waktu untuk pelepasan varietas baru terbukti dapat dipersingkat dari 12 menjadi 5 tahun dengan memanfaatkan tanama n haploid ganda pada barley (Hu 1988). Genotipe homozigos tesebut dapat diperoleh secara langsung dalam satu generasi. Pada tanaman haploid ganda, hasil dan sifat-sifat kuantitatif lainnya yang memiliki heritabilitas rendah lebih cepat dapat dievaluasi dibandingkan yang diturunkan melalui metode pedigree (Khush dan Virma ni 1996; Bouchez dan Gallais 2000).

Efisiensi seleksi sifat kuantitatif dengan ragam aditif rendah pada tanaman haploid ganda juga lebih tinggi karena ragam dominan tidak muncul dan ragam aditif mengganda (Snape 1989). Hal ini dapat diterapkan pada pemuliaan padi gogo untuk ketenggangan terhadap cekaman aluminium dan ketahanan terhadap penyakit blas. Ketenggangan Al merupakan sifat kuantitatif yang melibatkan banyak gen (Ma et al. 2002; Nguyen et al. 2001; Wu et al. 2000). Ketahanan blas parsial dikendalikan oleh gen minor yang belum dapat ditentukan jumlahnya (Yeh dan Bonman 1986) dan heritabilitasnya rendah (Wang et al. 1989). Panjang akar relatif sebagai kriteria ketenggangan Al pada padi dikendalikan secara aditif dan pengaruh dominan (Khatiwada et al. 1996). Ketenggangan terhadap Al pada tahap awal pembibitan lebih dikendalikan oleh pengaruh aditif, sedangkan pengaruh epistasis lebih berperan pada tahap pembibitan lebih dewasa (Wu et al. 2000).

(31)

haploid ganda akan memungkinkan fiksasi alel-alel resesif yang diinginkan walaupun sifat tersebut dikendalikan oleh gen major.

Sifat-sifat tanaman haploid ganda stabil dari generasi ke generasi karena tanaman haploid ganda secara genetik identik dari satu generasi ke generasi berikutnya (Hu 1988; Zhang 1989; Sasmita 2006), sehingga seleksi hasil dan kualitas biji dapat dilakukan mulai dari generasi awal (DH0). Evaluasi sifat-sifat agronomi dapat dilakukan pada generasi pertama (DH1) dan DH2 (Dewi dan Purwoko 2001). Sifat-sifat yang dikendalikan oleh gen-gen minor seperti sifat ketenggangan terhadap cekaman botik atau abiotik dapat segera dievaluasi DH1 atau DH2 (Fehr 1987;Chung 1992).

Tanaman haploid ganda dapat diperoleh melalui produksi tanaman haploid yang dilanjutkan dengan penggandaan kromosom. Tanaman haploid merupakan tanaman yang memiliki jumlah kromosom sama dengan jumlah kromosom gametik karena berasal dari satu sel gametik di dalam kantong embrio atau tepung sari (Poehlman dan Sleper 1996).

Tanaman haploid dapat dimanfaatkan dalam pemuliaan tanaman karena beberapa kelebihan. Tanaman diploid homozigos dapat diperoleh dalam satu generasi dengan pengandaan kromosom, sedangkan pada pemuliaan konvensional diperlukan 7 sampai 8 generasi untuk mendapatkannya. Mutasi lebih mudah dapat terdeteksi karena sifat resesif juga diekspresikan. Genotipe gametik diekspresikan sepenuhnya pada tingkat tanaman, sehingga memungkinkan dilakukan seleksi (Roy 2000; Mukherjee 1999). Seleksi antar tanaman haploid untuk sifat yang dikendalikan oleh alel dominan tidak dikaburkan oleh sulitnya membedakan individu diploid homozigos dominan dan heterozigos (Fehr 1987).

(32)

haploid ganda memiliki kesempatan pengulangan rekombinasi lebih rendah dibandingkan galur yang dikembangkan melalui metode pedigree. (Chahal dan Gosal 2002; Roy 2000; Fehr 1987).

Sumber antera yang digunakan berasal dari tanaman F1 atau F2 agar diperoleh keragaman genetik maksimum antara tanaman haploid yang dihasilkan (Poehlman dan Sleper 1996). Apabila individu tanaman haploid tersebut digandakan kromosomnya maka akan diperoleh individu tanaman diploid homozigos untuk semua lokusnya. Galur haploid ganda hasil kultur antera tersebut memungkinkan untuk diseleksi terhadap sifat-sifat yang diinginkan.

Keberhasilan pemanfaatan tanaman haploid ganda asal kultur antera dalam pengembangan varietas unggul baru telah banyak dilaporkan berbagai spesies (Datta 2005) termasuk pada padi (Li 1992). Galur harapan dari persilangan antara tetua intermediet dan tetua yang membawa sifat tahan blas telah diperoleh melalui kultur antera (Liu et al. 1983). Tanaman haploid ganda asal kultur antera juga telah digunakan untuk memasukkan gen-gen pemulih kesuburan dari padi indica ke padi hibrida japonica (Shen et al. 1983). Berbagai varietas padi unggul yang dikembangkan melalui kultur antera juga telah dilepas di Cina, salah satu diantaranya adalah varietas Huan Yu No 1 yang dapat menghasilkan 7.5 ton/ha dan masih digunakan petani di Cina bagian Selatan (Li 1992).

Menurut Dewi et al. (1996), pemuliaan padi melalui kultur antera di Indonesia dimulai sejak tahun 1990-an. Namun demikian sampai saat ini (tahun 2007) belum ada satu varietas padi asal kultur antera yang telah dilepas. Purwoko et al. (2000) telah mendapatkan beberapa galur haploid ganda padi gogo asal kultur antera. Galur tersebut diduga membawa gen tenggang aluminium dan tahan blas, yang sangat strategis untuk dikembangkan untuk menjadi varietas unggul baru.

Metode Penapisan untuk Ketenggangan Aluminium

(33)

metode pewarnaan (Narasimhamoorthy et al. 2007), seleksi in vitro (Jan et al. 1997) serta dengan menggunakan penanda molekuler (Wu et al. 1997; Wu et al. 2000).

Pemilihan metode penapisan tergantung pada kemampuan laboratorium dan bahan tanaman yang akan diseleksi seperti koleksi plasma nutfah untuk identifikasi tetua yang sesuai, populasi yang bersegregasi, atau galur harapan yang akan dilepas (Carver dan Ownby 1995). Metode yang dipilih harus murah, pelaksanaannya cepat dan handal untuk menapis genotipe dalam jumlah banyak sekaligus (Samac dan Tesfaye 2003; Gupta 1997) dan dapat memisahkan antara genotipe tenggang dan peka Al (Ma et al. 1997b; Lewis dan Christiansen 1981).

Seleksi untuk mendapatkan genotipe tenggang Al dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Seleksi langsung terhadap hasil dilakukan di lapangan pada lingkungan bercekaman sesuai dengan lingkungan target. Tekanan seleksi yang homogen pada tanah masam di lapangan sangat sulit dicapai karena variasi tingkat keracunan Al sangat besar antar ruang pada satu lokasi (Giaveno dan Filho 2002; Lewis dan Christiansen 1981). Hal ini akan memungkinkan terpilihnya genotipe peka Al dan terbuangnya genotipe tenggang (Ma et al. 1997b).

Pada tanah masam di lapangan, dijumpai lebih dari satu cekaman dan faktor-faktor lain yang tidak dapat dikendalikan dan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Spehar dan Sauza 2006). Cekaman pada tanah masam di lapangan tidak hanya keracunan Al, tetapi dijumpai juga keracunan Mn, kekahatan fosfat atau fosfat diikat oleh Al (Kochian et al. 2004; Samac dan Tesfaye 2003; Rout et al. 2001), kekeringan dan hama penyakit yang saling berinteraksi (Howeler dan Cadavid 1976).

(34)

Penapisan dengan menggunakan media tanah masam di rumah kaca akan memberikan tekanan seleksi yang hampir mendekati keadaan pada tanah masam di lapangan (Narasimhamoothy et al. 2007; Giaveno dan Filho 2002). Media tanam yang digunakan dapat diambil dari daerah target produksi dan memiliki hampir semua cekaman yang dijumpai di lapangan, kecuali cekaman kekeringan dan hama penyakit masih dapat dikendalikan. Pada percobaan pot dijumpai juga adanya hambatan mekanis untuk penetrasi akar ke dalam tanah. Kondisi lingkungan percobaan relatif terkontrol dibandingkan di lapangan (Spehar dan Sauza 2006; Makmur 2001). Tanaman dapat dipelihara sampai panen, bobot biji per rumpun dapat dijadikan sebagai kriteria seleksi langsung (Rusdiansyah 2002), dan dapat dijadikan sebagai tahapan penapisan diantara penapisan pendahuluan pada kultur hara dan penapisan di lapangan pada kondisi alami yang mahal (Carver dan Ownby 1995).

Kekurangan metode pot adalah media tanam yang akan digunakan harus tanah dengan kejenuhan Al tinggi yang didatangkan dari lapangan yang sangat bervariasi antar tempat dan waktu pengambilan tanah. Tanah yang digunakan sebagai media tanam harus dianalisis terlebih dahulu untuk menentukan unsur hara yang tidak cukup dan unsur yang berlebih yang pengaruhnya dapat mengaburkan pengaruh cekaman Al. Tanah masam dengan pH yang sama memiliki kejenuhan Al dan kandungan Mn berbeda (Narasimhamoothy et al. 2007). Hasil penapisan dengan media tanah kurang konsisten walaupun diulang pada tanah yang sama (Carver dan Ownby 1995). Di samping itu, pengaruh utama keracunan Al terhadap hambatan pemanjangan akar sukar diamati (Ma et al 1997b; Giaveno dan Filho 2002).

Seleksi ketenggangan Al pada generasi awal dalam program pemuliaan akan lebih efisien dilakukan pada lingkungan yang terkontrol. Pada generasi awal benih yang tersedia masih sedikit, tetapi genotipe yang akan diseleksi sangat banyak, sehingga diperlukan metode yang cepat, mudah dan murah seperti metode kultur hara yang mengandung Al atau dikombinasikan dengan metode pewarnaan akar (Narasimhamoothy et al. 2007).

(35)

tenggang dapat dipindahtanam ke tanah untuk dievaluasi kembali hingga panen (Howeler dan Cadavid 1976; Coronel et al. 1990).

Sifat yang dijadikan sebagai kriteria seleksi tidak langsung harus memiliki keragaman genetik yang tinggi, heritabilitasnya lebih tinggi dibandingkan hasil, berkorelasi dengan hasil pada kondisi tercekam, sifat tersebut mempunyai pengaruh terhadap hasil, mudah dan lebih cepat diamati dibandingkan hasil (Acevedo dan Fereres 1993). PAR, yang merupakan nisbah panjang akar maksimum pada perlakuan Al terhadap panjang akar maksimum pada perlakuan tanpa Al (kontrol), telah digunakan sebagai kriteria seleksi (Khatiwada et al. 1996; Wu et al. 1997; Wu et al. 2000; Rusdiansyah et al, 2001).

Heritabilitas dalam arti luas dan dalam arti sempit PAR pada tanaman padi tergolong tinggi dan pengaruh lingkungan rendah (Khatiwada et al. 1996; Wu et al. 1997). Dengan demikian penggunaan PAR akan memberi peluang untuk mendapatkan genotipe padi tenggang Al lebih cepat. Selain peubah PAR juga terdapat beberapa peubah lain yang dapat digunakan sebagai indeks ketenggangan Al seperti bobot kering akar atau tajuk (Fageria et al. 1988). Beberapa metode pewarnaan akar telah digunakan sebagai alternatif untuk pengukuran ketenggangan Al pada kultur hara. Diantaranya adalah hematoxylin pada gandum (Polle et al. 1978), eriochrome cyanin R pada gandum (Aniol 1995) dan barley (Ma et al. 1997b), lumogallion pada kedelai (Kataoka dan Nakanishi 2001) dan pyrocatechol violet (PVP) pada padi (Watanabe dan Okada 2005a).

Korelasi antara ketenggangan Al pada kondisi kultur hara dan ketenggangan Al pada kultur tanah sangat tinggi (Toda et al. 1999; Giaveno dan Filho 2002). Pengelompokan ketenggangan genotipe padi gogo terhadap Al pada metode kultur hara berkorelasi erat dengan tanggapan pertumbuhan dan hasil biji pada tanah masam di lapangan (Howeler dan Cadavid, 1976). Hal ini menunjukkan bahwa metode kultur hara dapat dimanfaatkan untuk penapisan pada tahap awal program dalam pemuliaan tanaman.

(36)

cocok untuk penapisan tanaman yang diperbanyak secara vegetatif (Narasimhamoothy et al. 2007).

(37)

PENAPISAN GALUR HAPLOID GANDA PADI GOGO (Oryza sativa L.) UNTUK KETENGGANGAN ALUMINIUM

ABSTRAK

Keracunan Aluminium (Al) merupakan salah satu faktor penting yang menghambat produksi padi gogo pada tanah masam. Penggunaan genotipe tenggang Al merupakan pendekatan yang dapat mengatasi masalah tersebut. Galur haploid ganda hasil kultur antera telah diseleksi pada kultur hara yang mengandung Al berdasarkan panjang akar relatif (PAR) dan pada media tanah masam berdasarkan nisbah bobot gabah per rumpun (NBGR). Berdasarkan penapisan pada kultur hara, dari 113 galur haploid ganda yang diseleksi diperoleh 15 tenggang, 73 moderat dan 25 peka Al. Hasil penapisan pada media tanah masam, dari 85 galur diperoleh 34 sangat tenggang, 15 tenggang, 7 agak tenggang, 9 agak peka, 7 peka dan 13 sangat peka. Galur KRGM4, JTGR13, JTGR17, JTGR18, JTKR1, JTKR5, GRGM4, GRGM6, GRGM9, GRGM14, GRGM25, GRJT11 dan SGJT27 tenggang pada kedua metode penapisan. Korelasi antara tingkat ketenggangan Al pada kultur hara dan pada media tanah masam positif dan nyata. Jumlah anakan produktif dan jumlah biji per malai memiliki heritabilitas yang tinggi dan berpengaruh langsung terhadap hasil gabah serta berpengaruh tidak langsung terhadap hubungan antara hasil dan karakter lain. Seleksi hasil secara langsung pada kondisi tercekam Al lebih efisien dibandingkan seleksi tidak langsung melalui jumlah anakan produktif dan jumlah biji per rumpun.

ABSTRACT

Aluminum toxicity is an important growth limiting factor for upland rice production in acid soils. Al toxicity is not always economically corrected with soil liming. An alternative approach to solve Al toxicity would be to select or breed plant genotype tolerant to Al. The doubled haploid (DH) rice lines were screened under nutrient solution containing either 0 or 45 ppm Al and acid soils containing either low or high Al saturation. The relative root length (RRL) was determined at 14-day-old stage to characterize Al-tolerant genotypes in nutrient solution. The relative grain weight (RGW) was determined to characterize Al-tolerant genotypes in soil conditions. The differential tolerance for Al toxicity among genotypes was found to be highly significant for RRL in nutrient solution and RGW in acid soils. Among the 113 DH lines tested, 15, 73 and 25 lines were found to be Al-tolerant, moderate and susceptible, respectively based on RRL. Result of evaluation of DH lines for Al-tolerant in acid soils, showed that 34, 15, 7, 9, 7 and 13 DH lines were found to be highly Al-tolerant, tolerant, moderately tolerant, moderately susceptible, susceptible and highly susceptible in term RGW, respectively. KRGM4, JTGR13, JTGR17, JTGR18, JTKR1, JTKR5, GRGM4, GRGM6, GRGM9, GRGM14, GRGM25, GRJT11 and SGJT27 lines showed that they were consistently Al-tolerant under both nutrient solution and acid soils. The RLL of doubled haploid upland rice lines in nutrient solutions were strongly correlated with RGW in acid soils. Number of tillers and filled grain per panicle were inherited with high heritability and directly affected grain weight and contributed indirectly to the correlation between grain weight and other characters. However, indirect selection through number of tillers and filled grain per panicle was less efficient than direct selection through grain weight.

(38)

PENDAHULUAN

Kebutuhan beras nasional terus meningkat dengan cepat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk. Selama ini, produksi beras sangat tergantung pada padi sawah beririgasi. Mengingat banyak lahan sawah telah dikonversi untuk keperluan non pertanian, lahan yang sesuai untuk persawahan baru terbatas dan biaya pembangunan sistem irigasi serta pencetakan sawah baru sangat mahal, maka alternatif peningkatka n produksi padi dapat dilakukan dengan perluasan areal pertanaman padi gogo pada lahan kering.

Lahan kering yang tersedia cukup luas dan tersebar di berbagai provinsi. Lahan kering yang sesuai untuk tanaman pangan diperkirakan mencapai 11 juta ha lebih, yang telah diusahakan mencapai 1.14 juta ha atau 10.5% (Puslitbangtan 2006). Lahan kering tersebut sebagian besar merupakan tanah jenis Podsolik Merah Kuning (PMK).

Keracunan Aluminium (Al) merupakan kendala utama untuk budidaya padi gogo pada tanah PMK. Kelarutan Al pada tanah PMK dengan pH kurang dari 5.5 sangat tinggi sehingga meningkatkan Al dapat dipertukarkan (Aldd) dan dapat beracun bagi tanaman (Kochian et al 2004; Vitorello et al. 2005).

Pendekatan budidaya untuk mengatasi keracunan Al pada tanah masam dapat dilakukan dengan pengapuran. Namun demikian, pendekatan tersebut tidak ekonomis terutama untuk daerah yang jauh dari sumber kapur dan sarana transportasi tidak baik. Alternatif lain yang berjangka panjang adalah perakitan varietas tenggang Al melalui program pemuliaan tanaman. Namun demikian diperlukan waktu yang lama untuk mendapatkan varietas tersebut.

Kultur antera dapat mempercepat perolehan tanaman homozigos untuk pengembangan varietas baru. Purwoko et al. (2000) telah membentuk 113 galur haploid ganda hasil persilangan antara beberapa varietas unggul dan aksesi plasma nutfah tenggang aluminium. Penapisan terhadap bahan genetik tersebut diperlukan untuk mendapatkan galur yang dapat beradaptasi pada lahan masam.

(39)

tidak dapat mewakili cekaman yang dijumpai di lapangan seperti hambatan fisik untuk penetrasi akar. Untuk itu diperlukan penapisan secara langsung di lapangan pada lahan tanah masam yang dapat dilakukan pada tahap lebih lanjut apabila benih yang tersedia sudah cukup memadai.

Penapisan dengan menggunakan media tanah masam di rumah kaca akan memberikan tekanan seleksi yang hampir mendekati keadaan pada tanah masam di lapangan. Pada penapisan dengan media tanah masam akan ada hambatan mekanis untuk penetrasi akar ke dalam tanah. Kondisi lingkungan penapisan relatif terkendali dibandingkan dengan di lapangan (Spehar dan Sauza 2006; Makmur 2001). Tanaman dapat dipelihara sampai panen dan bobot biji per rumpun dapat dijadikan sebagai kriteria seleksi langsung.

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatka n galur haploid ganda padi gogo hasil kultur antera yang tenggang Al pada kultur hara dan media tanah masam, serta mendapatkan informasi tentang karakter yang dapat digunakan sebagai penciri dalam penapisan galur haploid ganda pada keadaan tercekam Al.

BAHAN DAN METODE

Percobaan terdiri atas dua tahap penapisan, yaitu penapisan pada kultur hara dan pada media tanam tanah masam. Penelitian ini dilaksanakan di rumah kaca Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetika Pertanian (BB-BIOGEN), Bogor. Penelitian tahap pertama dilakukan bulan Agustus 2003 sampai dengan Desember 2003. Penelitian tahap ke dua dilakukan bulan Januari 2004 sampai dengan Juli 2004.

Penapisan dengan Kultur Hara

Bahan tanaman yang digunakan pada kultur hara adalah 120 genotipe, terdiri atas 113 galur haploid ganda hasil kultur antera, 5 tetua asal persilangan dan dua pembanding yaitu Dupa dan ITA131 masing-masing sebagai pembanding tenggang dan peka Al. Varietas tetua digunakan adalah Krowal, Sigundil, Grogol, Jatiluhur dan Gajah Mungkur (Tabel Lampiran 1).

(40)

diatur pada 4.0 ± 0.1 dengan penambahan NaOH 1 N atau HCl 1 N. Setiap pot diisi 2 liter larutan hara dan diberi aerasi supaya Al dan hara tidak mengendap. Air yang hilang akibat transpirasi diganti dengan menambahkan aquades setiap dua hari sekali dengan pH tetap dipertahankan sekitar 4.0 ± 0.1 dengan penambahan NaOH 1 N atau HCl 1 N.

Kecambah normal yang berumur satu minggu dengan panjang akar yang seragam dipindahkan ke media percobaan. Batang kecambah tersebut dibalut dengan gabus busa lunak kemudian dimasukkan ke lubang-lubang styrofoam yang telah disiapkan dan diapungkan pada larutan hara dalam pot. Setiap pot ditanami 5 kecambah selanjutnya dipelihara selama 14 hari di rumah kaca. Galur haploid ganda, tetua dan pembanding ditanam pada media tanam bercekaman Al dan tanpa cekaman Al. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok (RAK) dengan empat ulangan.

Pengamatan dilakukan terhadap panjang akar, tinggi tanaman, bobot kering akar, bobot kering tajuk dan dihitung relatif dari setiap peubah tersebut serta nisbah akar tajuk (NAT) pada umur 14 hari setetelah tanam (HST). Analisis ragam dilakukan terhadap semua genotipe yang diuji dan jika terdapat perbedaan yang nyata, setiap genotipe dibandingka n dengan varietas pembanding tenggang dengan uji BNT pada taraf 5%.

Penapisan dengan Media Tanah Masam

Bahan tanam yang digunakan sebanyak 95 genotipe terdiri atas 88 galur haploid ganda, 5 tetua dan 2 pembanding. Semua genotipe ditanam pada media tana m bercekaman Al dan tanpa cekaman Al. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok (RAK) dengan tiga ulangan.

Media tanam adalah tanah Podsolik Merah Kuning (PMK) yang diambil dari Jasinga dengan Aldd 17.14 cmol(+) kg-1 dan kejenuhan Al 79 % untuk perlakuan cekaman Al (Tabel Lampiran 2). Tanah tersebut dicampur dan diaduk rata kemudian diayak untuk menjamin keseragaman tanah. Selanjutnya tanah dimasukkan ke dalam polybag sebanyak 8 kg tanah per polybag. Perlakuan tanpa cekaman menggunakan tanah yang sama tetapi empat minggu sebelum tanam ditambahkan kapur sebanyak 1.5 x Aldd (setara 25.71 ton CaCO3 ha-1) untuk mengurangi kejenuhan Al. Penggunakan kapur sebanyak 1.5 x Al Aldd diperkirakan dapat menetralkan 85-90% Aldd (Hardjowigeno 2003).

(41)

sebelum tanam sebagai pupuk dasar. Pupuk Urea diberikan 1/3 dosis pada umur 14 hari setelah tanam (HST), 1/3 dosis pada umur 42 HST dan sisanya pada saat inisiasi primordia bunga yaitu 55 HST. Penyiangan dan pengendalian hama dan penyakit dilakukan jika diperlukan. Tanaman dipelihara sampai panen.

Pengamatan dilakukan terhadap jumlah anakan total, jumlah anakan produktif (batang/rumpun), umur berbunga (hari) dihitung sejak tanam sampai keluar malai, umur panen (hari) dihitung sejak tanam sampai 80% malai siap dipanen, tinggi tanaman (cm) pada saat panen yang diukur mulai dari leher akar sampai leher malai, panjang malai (cm) diukur dari leher malai sampai ujung malai, jumlah gabah isi per malai (butir), persentase gabah hampa per malai (%), bobot 100 butir (g) dan bobot gabah per rumpun (g). Data tersebut digunakan untuk menghitung nisbah setiap peubah yaitu pertumbuhan pada Al tinggi terhadap pertumbuhan pada Al rendah.

Sidik ragam dilakukan terhadap setiap nilai nisbah untuk melihat perbedaan antar genotipe. Jika terdapat perbedaan yang nyata, setiap genotipe dibandingkan dengan varietas Dupa sebagai pembanding tenggang dengan uji BNT pada taraf 5%. Untuk memilih karakter agronomi yang sangat berpengaruh terhadap keragaman genotipe dilakukan analisis komponen utama. Pengelompokan genotipe tenggang Al dilakukan berdasarkan nisbah bobot gabah relatif (NBGR) menurut Sarkarung (1986).

Ragam genotipe (Vg2) dan ragam fenotipe (Vp2) dan heritabilitas dalam arti luas (Hbs) diduga berdasarkan sidik ragam untuk percobaan dalam rancangan acak kelompok (Singh et al. 1993). Koefisien korelasi genotipik (rg) dan koefisien korelasi fenotipik (rp) antar sifat diduga berdasarkan sidik kovarian (Singh dan Chaudhary 1979). Untuk memisahkan pengaruh langsung dan tidak langsung karakter yang diamati terhadap bobot gabah per rumpun dilakukan analisis lintas (Li 1975).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penapisan dengan Kultur Hara

(42)

bercekaman cenderung menghasilkan genotipe yang beradaptasi baik pada lingkungan bercekaman dan didapatkan sumber keragaman untuk pemuliaan lingkungan spesifik. Tabel 1 Kuadrat tengah pengaruh cekaman aluminium terhadap panjang akar, panjang

tajuk, bobot kering akar dan bobot kering tajuk galur haploid ganda Sumber

keragaman

Kuadrat tengah

Panjang akar Panjang tajuk BK akar BK tajuk Aluminium (A) 8.243,438** 19.237,311** 0,535** 40,648**

Genotipe (G) 99,279** 148,395** 0,022** 0,193**

A x G 12,474** 28,370** 0,002tn 0,031**

** berpengaruh sangat nyata, tn tidak nyata, BK = bobot kering

Respon setiap peubah berbeda-beda terhadap cekaman Al. Cekaman Al dapat menurunkan bobot kering tajuk dan panjang akar hampir 50%. Penurunan panjang tajuk dan bobot kering akar hanya mencapai sekitar 20% (Gambar 2). Penurunan bobot kering tajuk disebabkan oleh hara yang diperlukan untuk pertumbuhan tajuk tidak optimum akibat terganggunya penyerapan dan transportasi hara di akar (Polle dan Konzak 1990; Rout et al. 2001; Kochian et al. 2004). Sebaliknya, penurunan bobot kering akar tidak sebesar penurunan bobot kering tajuk karena walaupun panjang akarnya menurun tetapi akar lebih besar dan akar-akar adventif lebih banyak tumbuh pada leher akar. Fageria et al (1988) juga mendapatkan bahwa bobot kering tajuk lebih peka terhadap keracunan Al dibandingkan bobot kering akar.

BK tajuk Panjang akar Panjang tajuk BK akar

Nilai relatif (%)

Genotipe yang diuji berbeda nyata pada keempat peubah yang diamati, yang menunjukkan populasi yang diuji sangat beragam. Pendugaan komponen ragam dan heritabilitas dapat dilakukan untuk mengetahui proporsi keragaman yang disebabkan oleh

(43)

faktor genetik dan lingkungan. Ragam genetik panjang akar, panjang tajuk, bobot kering akar dan bobot kering tajuk pada kondisi tercekam Al lebih tinggi dibandingkan ragam lingkungan. Ragam genetik nisbah akar tajuk (NAT) lebih rendah dibandingkan ragam lingkungan. Koefisien keragaman genetik panjang tajuk dan NAT lebih rendah dibandingkan karakter lain (Tabel 2).

Tabel 2 Komponen ragam dan heritabilitas dari panjang akar, panjang tajuk, bobot kering akar, bobot kering tajuk dan NAT pada kondisi tercekam Al

Komponen Panjang

NAT = nisbah akar/tajuk, Vg = ragam genotip, Vp = ragam fenotip, Ve = ragam lingkungan, KKG = koefisien keragaman genotip, KKF= koefisien keragaman fenotip, Hbs = heritabilitas dalam arti luas

Nilai heritabilitas dalam arti luas panjang akar, panjang tajuk, bobot kering akar, bobot kering tajuk cukup tinggi berkisar 0.67 – 0.85, kecuali NAT. Heritabilitas NAT lebih kecil dibandingkan karakter lain pada kondisi tercekam Al (Tabel 2). Heritabilitas tinggi pada panjang akar, menunjukkan bahwa keragaman panjang akar antar galur disebabkan oleh faktor genetik sehingga seleksi ketenggangan Al dapat dilakukan pada populasi galur haploid ganda padi gogo hasil kultur antera berdasarkan panjang akar.

Analisis korelasi terhadap semua karakter yang diamati menunjukkan adanya korelasi nyata dan searah, kecuali antara bobot kering tajuk dan NAT tidak nyata. Korelasi antara panjang tajuk dan NAT arahnya berlawanan (Tabel 3). Karakter-karakter yang mempunyai korelasi nyata dan searah dapat dipilih salah satu karakter yang mudah diamati sebagai kriteria seleksi karena karakter-karakter lain akan selalu bersama -sama jika diseleksi. Tabel 3 Korelasi panjang akar, panjang tajuk, bobot kering akar, bobot kering tajuk,

nisbah akar/tajuk pada kondisi tercekam Al

(44)

Panjang akar, bobot kering akar dan bobot kering tajuk dapat dipilih salah satu sebagai kriteria seleksi ketenggangan Al untuk populasi galur haploid ganda padi gogo hasil kultur antera pada kondisi tercekam Al karena memenuhi kriteria yang disarankan oleh Acevedo dan Fereres (1993) dan karakter tersebut memiliki keragaman genetik dan heritabilitas tinggi serta ada korelasi yang erat antar karakter tersebut dengan karakter lain. Diantara keempat karakter tersebut bobot kering tajuk dan panjang akar lebih peka terhadap cekaman Al sehingga dapat membedakan genotipe tenggang dan peka Al. Namun demikian panjang akar lebih mudah dan cepat diamati dibandingkan bobot kering tajuk sehingga dalam penelitian ini digunakan panjang akar relatif sebagai pembeda genotipe tenggang dan peka Al dalam penapisan ketenggangan Al. Beberapa peneliti sebelumnya juga menggunakan panjang akar relatif sebagai kriteria seleksi ketenggangan Al (Khatiwada et al. 1996; Wu et al. 1997; Wu et al. 2000; Rusdiansyah et al, 2001).

Secara visual dapat diamati dengan mudah perbedaan yang nyata pada pertumbuhan akar akibat cekaman Al pada genotipe peka yaitu adanya hambatan pemanjangan akar, sehingga akar kelihatan lebih pendek dan gemuk, jumlah akarnya lebih banyak yang tumbuh pada leher akar (Gambar 3A) dibandingkan genotipe tenggang (Gambar 3B). Dengan demikian, hambatan panjang akar yang diekspresikan sebagai PAR (panjang akar pada kondisi tercekam Al terhadap panjang akar pada kondisi tidak tercekam Al), dapat digunakan sebagai penciri genotipe peka Al.

Gambar 3 Akar genotipe peka (A) dan tenggang Al (B) pada perlakuan 0 dan 45 ppm Al Hasil pengamatan terhadap panjang tajuk relatif menunjukkan bahwa penurunan panjang tajuk tidak mencapai 50%. Nilai panjang tajuk relatif yang terendah adalah 0,58 pada SGJT31 dan yang tertinggi adalah 1,01 pada SGGM10. Dalam penelitian ini, panjang tajuk tidak digunakan sebagai penciri ketenggangan Al karena tidak mencerminkan tingkat

Gambar

Tabel 5  Panjang akar pada perlakuan tanpa Al (Al0) dan Al 45 ppm (Al45) serta PAR galur haploid ganda moderat dan tenggang pada umur 14 hari  setelah tanam
Tabel 7   Nilai koefisien korelasi antar karakter pada galur haploid ganda padi gogo dalam kondisi tercekam Al
Tabel 9  Sidik ragam peubah agronomi galur haploid ganda padi gogo hasil kultur anter terhadap cekaman Al pada kultur tanah masam dalam pot
Tabel 12  Periode laten blas daun pada galur haploid ganda padi gogo yang diinokulasi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini terdiri dari dua kegiatan, yaitu: (1) Pembentukan Galur Padi Sawah Tahan Wereng Coklat dan Hawar Daun Bakteri melalui Kultur Antera; (2) Pembentukan

Peningkatan ketahanan terhadap penyakit blas pada galur-galur padi yang memiliki lokus Pup1 terlihat jelas pada persilangan dengan tetua Situ Bagendit.. Pada persilangan dengan

Hasil pengamatan dari 18 galur yang diuji menunjukkan tingkat ketahanan yang bervariasi dari tahan sampai dengan rentan (Tabel 2) Gejala serangan blas pada daun yang

Aplikasi teknik kultur antera genotipe padi toleran salinitas telah menghasilkan 125 tanaman dihaploid putatif dari 12 genotipe F1 hasil persilangan tetua berdaya hasil

Hasil uji DMRT menunjukan bahwa terdapat pengaruh nyata beberapa galur padi sawah (Oryza sativa L.) di haploid hasil kultur antera terhadap keragaan agronomi dan hasil

Galur-galur haploid ganda hasil kultur antera tersebut dapat digunakan sebagai sumber plasma nutfah baru yang sangat strategis untuk pengembangan varietas padi gogo

Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) mendapatkan galur padi haploid ganda homozigos, (2) mendapatkan informasi tentang kendali genetik terhadap karakter agronomi yang menunjang

Meskipun demikian, intensitas serangan penyakit blas daun pada genotipe tahan blas (SGJT28 dan GRJT49) nyata lebih rendah dibandingkan dengan genotipe rentan blas