• Tidak ada hasil yang ditemukan

dibandingkan jumlah anakan Dupa (pembanding tenggang Al) dan Jatiluhur (varietas unggul nasional). Pada lingkungan tanpa cekaman Al, di Muara, kemampuan menghasilkan anakan dari galur tersebut lebih banyak dibandingkan Jatiluhur dan Dupa tetapi nyata lebih rendah dibandingkan varietas Asahan (kontrol tahan penyakit blas).

Tabel 18 Jumlah anakan total, anakan produktif dan tinggi tanaman beberapa galur haploid ganda dan tetuanya di Jasinga dan Muara

Genotipe Anakan Total (batang)

Anakan Produktif (batang)

Tinggi Tanaman (cm) Jasinga Muara Jasinga Muara Jasinga Muara GRJT14 5.8ghij 7.7g 3.7fghi 6.5cd 118.9b 117.9bcde GRJT18 4.8ijkl 10.1f 3.6fghi 7.2c 84.5efg 113.5cde GRJT19 11.4ab 13.8cd 9.5a 9.5b 77.7ghi 82.0ghi GRJT23 6.7gh 13.3de 6.2cde 8.9b 94.6de 99.3d-h SGJT3 7.2fg 12.7de 6.2cde 9.3b 100.3cd 112.4cdef SGJT19 4.9ijkl 5.3hi 3.1ghi 4.4ef 122.4b 129.7abc SGJT28 5.3hijkl 6.6gh 4.4efgh 6.0cd 107.6c 108.5c-g SGJT34 4.7jkl 6.8gh 3.4fghi 6.1cd 125.6b 127.8abcd SGJT36 3.8l 4.0i 3.0hi 3.9ef 144.5a 145.5ab GRGM12 5.5hijk 6.8gh 5.1def 5.2de 86.3efg 94.0efgh JTKR7 10.5bc 15.7bc 8.1ab 12.4a 72.5hi 94.1efgh SGGM5 6.3ghi 7.0 gh 4.9defg 5.8cd 88.1defg 94.5efgh SGGM8 4.0kl 4.5i 2.9hi 3.3f 150.2a 152.6a Jatiluhur 8.3ef 11.7ef 6.1cde 9.1b 92.8def 99.5d-h Grogol 3.9l 4.7i 2.6hi 3.7f 120.8b 124.7abcd Sigundil 4.1kl 3.9i 2.1i 3.3f 151.9a 152.3a Gajah Mungkur 8.8de 14.2cd 6.5bcd 10.0b 68.9i 77.0hi Krowal 4.0kl 4.5i 2.7hi 3.3f 89.4defg 91.0e-i Dupa 4.1kl 6.8gh 1.9i 3.3f 130.8b 131.5abc ITA131 12.5a 16.9b 7.5bc 12.5a 24.9j 64.7i Asahan 9.7cd 20.1a 7.5bc 13.1a 96.0de 83.5fghi Kencana Bali 5.1ijkl 13.9cd 1.7i 10.3b 80.7fgh 115.5cde

Angka pada kolom yang sama diikuti huruf sama, tidak berbeda nyata berdasarkan UJGD 5%.

Galur SGJT36 memiliki kemampuan untuk menghasilkan anakan paling rendah diantara galur haploid ganda lainnya baik pada lingkungan bercekaman Al maupun pada lingkungan optimum. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan me nghasilkan anakan pada galur tersebut stabil dan tidak dipengaruhi oleh perubahan lingkungan. Kemampuan menghasilkan anakan galur tersebut sebanding dengan GRJT18, SGJT19, SGJT28, SGJT34, SGGM8, Grogol, Sigundil, Krowal, Dupa dan Kencana Bali dan lebih rendah dibandingkan Jatiluhur dan Gajah Mungkur pada lahan bercekaman Al di Jasinga. Pada

lahan tanpa cekaman Al, anakan SGJT36 hanya sebanding dengan SGGM8, SGJT19, Sigundil, Krowal dan Grogol. Anakan SGJT28 dan SGJT34, Dupa dan Kencana Bali lebih banyak dibandingkan dengan SGJT36 (Tabel 18), yang mengindikasikan galur SGJT28 dan SGJT34 memiliki kemampuan menghasilkan anakan lebih baik pada lahan tanpa cekaman Al di Muara.

Galur yang memperlihatkan penurunan jumlah anakan lebih banyak pada lokasi bercekaman Al dibandingkan lokasi tanpa cekaman Al adalah GRJT18 dan GRJT23. Sebaliknya galur yang penurunan anakan yang paling rendah pada lahan bercekaman adalah SGJT36 dan SGJT19 (Tabel 18), yang menunjukkan bahwa berdasarkan kemampuan menghasilkan anakan, galur tersebut lebih tenggang terhadap cekaman Al dibandingkan galur haploid ganda lainnya.

Anakan banyak belum tentu dapat memberikan hasil tinggi karena tidak semua anakan dapat tumbuh menjadi dewasa dan menghasilkan malai. Anakan produktif merupakan anakan yang dapat menghasilkan malai dan gabah, sedangkan anakan tidak produktif tidak menghasilkan malai sehingga merugikan akibat hasil fotosintat digunakan untuk pertumbuhan anakan tersebut yang seharusnya dapat digunakan untuk pembentukan malai.

Hasil pengamatan pada lahan bercekaman Al menunjukkan anakan produktif terbanyak dijumpai pada GRJT19 disusul JTKR7. Keduanya mempunyai anakan produktif lebih banyak dibandingkan Jatiluhur dan Dupa. Pada lahan tanpa cekaman Al di Muara, hanya JTKR7 yang masih memperlihatkan anakan produktif lebih tinggi dan sebanding dengan Asahan dan ITA131, sedangkan GRJT19 mempunyai anakan produktif lebih sedikit dibandingkan JTKR7 (Tabel 18).

Galur haploid ganda yang memiliki anakan produktif paling sedikit baik pada lahan bercekaman maupun lahan tanpa cekaman Al adalah SGGM8 sebanding dengan Dupa (pembanding tenggang Al). SGGM8 merupakan keturunan hasil silangan dari Sigundil dan Gajah Mungkur, dimana pada percobaan ini, Sigundil memiliki anakan produktif sangat rendah sebanding denga n Dupa. Pada lahan bercekaman, jumlah anakan produktif ITA131 (pembanding peka Al) menurun secara drastis dari 12 anakan yang dihasilkan hanya 7 yang menghasilkan malai (Tabel 18). Hal ini disebabkan oleh tingginya serangan penyakit blas daun pada varietas tersebut pada lahan bercekaman Al di Muara, sehingga sebagian besar anakan mati.

102

Galur yang memperlihatkan penurunan jumlah anakan produktif lebih banyak pada lokasi bercekaman Al dibandingkan lokasi tanpa cekaman Al adalah GRJT18 dan GRJT14. Sebaliknya galur yang penurunan anakan yang paling rendah pada lahan bercekaman adalah GRJT19 dan GRGM12 (Tabel 18), yang menunjukkan bahwa berdasarkan kemampuan menghasilkan anakan produktif, galur tersebut lebih tenggang terhadap cekaman Al dibandingkan galur haploid ganda lainnya. Rendahnya anakan produktif pada galur haploid ganda yang diuji disebabkan oleh kejenuhan Al yang tinggi pada lokasi penelitian di Jasinga. Hai et al. (1993) menggunakan kemampuan menghasilkan anakan sebagai kriteria seleksi dini untuk mendiaknosis keracunan Al pada padi di lapangan.

Tinggi tanaman antar lokasi tidak jauh berbeda, tetapi berbeda nyata antar genotipe pada setiap lokasi (Tabel 18). Tinggi tanaman haploid ganda yang diuji tidak peka terhadap perubahan lingkungan penanaman tetapi lebih ditentukan oleh perbedaan genetik antar genotipe. Hal ini disebabkan galur yang diuji merupakan galur tenggang Al dan tahan penyakit blas berdasarkan penapisan pada percobaan di rumah kaca.

Genotipe yang berbatang tinggi baik pada lahan berceka man maupun pada lahan tanpa cekaman Al adalah SGGM8 diikuti SGJT36, SGJT19 dan SGJT34 tingginya lebih dari 125 cm, nyata lebih tinggi dibandingkan dengan Jatiluhur. Dengan demikian galur tersebut termasuk jenis padi gogo berbatang sangat tinggi (IRRI 1996). Sebaliknya, JTKR7, GRJT19, SGGM5, GRGM12 dan GRJT23 berbatang pendek dibawah 100 cm baik pada lahan bercekaman Al, maupun pada lahan optimum dan lebih pendek dibandingkan dengan Jatiluhur dan Dupa (Tabel 18). Berdasarkan kriteria IRRI (1996) galur tersebut termasuk jenis padi gogo berbatang rendah. Galur berbatang rendah akan lebih tahan terhadap kerebahan dibandingkan galur berbatang tinggi.

Tinggi tanaman galur GRJT18, GRJT23, SGJT3, GRGM12 dan SGGM5 tidak berbeda nyata dengan Jatiluhur pada lahan bercekaman Al. Salah satu tetua dari galur- galur tersebut adalah Jatiluhur atau Gajah Mungkur. Galur SGGM8, SGJT36, SGJT34, SGJT19, GRJT14 dan SGJT28 nyata lebih tinggi dibandingkan dengan Jatiluhur. Galur- galur tersebut merupakan keturunan dari Sigundil, kecuali GRJT14 yang berasal dari silangan Grogol dan Jatiluhur. Grogol juga memiliki batang lebih tinggi dibandingkan Jatiluhur.

Umur berbunga dan umur panen antar genotipe berbeda sangat nyata pada setiap lokasi tanam. Namun demikian persentase pergeseran umur berbunga setiap genotipe antar

lokasi tidak jauh berbeda.(Tabel 19). Hal ini disebabkan karakter umur panen dan umur berbunga pada padi gogo memiliki heritabilitas tinggi (Zen 1995), sehingga lingkungan mempunyai pengaruh kecil terhadap karakter tersebut. Walaupun demikian cekaman Al dan penyakit blas dapat mempercepat umur berbunga 14-17 hari dan mempercepat umur panen 11 hari pada GRJT23 dan 25 hari pada SGGM5 (Tabel 19) yang mengindikasikan bahwa galur tersebut peka terhadap Al dan rentan terhadap penyakit blas. Umur berbunga galur haploid ganda berkisar dari 81 sampai 114 hari pada lahan becekaman Al dan 95 sampai 131 hari pada lahan tanpa cekaman Al.

Tabel 19 Umur berbunga, panen dan panjang malai beberapa galur haploid ganda dan tetuanya di Jasinga dan Muara

Umur Berbunga (hari) Umur Panen (hari) Panjang Malai (cm) Genotipe Jasinga Muara Jasinga Muara Jasinga Muara GRJT14 88de 99h 124f 138gh 27.73e 20.40gh GRJT18 87e 105g 126ef 138gh 24.47gh 21.15fgh GRJT19 90de 96j 125f 130i 24.67gh 20.75gh GRJT23 87e 99h 126ef 137h 22.53ij 20.79gh SGJT3 88de 98hi 124f 138gh 22.00jk 22.65fgh SGJT19 99c 112cd 144bc 152b 36.97b 30.99bc SGJT28 88de 99h 128de 138gh 28.37e 29.90de SGJT34 88de 98hi 128de 139g 23.53hi 20.40gh SGJT36 98c 109ef 129d 151b 39.47a 35.28a GRGM12 107b 113c 142c 152b 27.70e 24.45ef JTKR7 81f 95j 113g 130i 24.13h 23.92efg SGGM5 114a 131b 145b 170a 33.00c 26.26de SGGM8 98c 111de 129d 145c 36.33b 32.93ab Jatiluhur 77g 90k 113g 127j 22.13jk 21.73fgh Grogol 88de 90k 128de 126jk 29.77d 28.72cd Sigundil 98c 108f 129d 144d 33.40c 33.02ab Gajah Mungkur 77g 96ij 129d 131i 24.53gh 23.75efg Krowal 68h 67l 98h 97l 22.50ij 20.89gh Dupa 99c 110ef 130d 142e 25.93f 24.46ef ITA131 91d 113c 157a 142e 21.00k 21.49fgh Asahan 111a 95j 157a 125k 25.60fg 19.39h Kencana Bali 98c 136a 146b 170a 30.33d 29.36cd

Angka pada kolom yang sama diikuti huruf sama, tidak berbeda nyata berdasarkan UJGD 5%.

Umur berbunga varietas Asahan (pembanding tahan blas) lebih panjang pada lingkungan bercekaman dibandingkan lingkungan tanpa cekaman Al, sebaliknya, umur berbunga varietas Kencana Bali (pembanding rentan blas) jauh lebih dalam pada

104

lingkungan tanpa cekaman. Cekaman Al dapat menunda umur panen pada Asahan sampai satu bulan dan ITA131 sampai 15 hari. Namun demikian umur panen galur lain justru lebih cepat pada lahan bercekaman dibandingkan pada lahan tanpa cekaman Al.

Semua galur haploid ganda yang dievaluasi pada lahan bercekaman Al memiliki umur lebih dalam dibandingkan Jatiluhur kecuali JTKR7 (Tabel 19). Galur JTKR7 merupakan galur haploid ganda yang paling genjah umurnya dan tidak berbeda nyata dengan Jatiluhur walupun lebih dalam dibandingkan dengan Krowal. Galur tersebut merupakan keturunan dari silangan antara Jatiluhur dan Krowal, yang mengindikasikan bahwa umur galur tersebut mengikuti tetua Jatiluhur. Galur yang paling lambat berbunga dan panen adalah SGGM5 dan SGJT19 dan lebih lambat dibandingkan tetuanya Sigundil. Galur haploid ganda yang memiliki umur sebanding dengan Dupa (pembanding tenggang Al) adalah SGJT36, SGGM8, SGJT28 dan SGJT34, sedangkan yang lebih genjah dari Dupa adalah GRJT23, GRJT18, GRJT19, GRJT14 dan SGJT3 (Tabel 19).

Siregar (1981) mengelompokkan umur panen padi menjadi 5 kelompok, yaitu sangat genjah (< 110 hari), genjah (110-115 hari), sedang (115-125 hari), dalam (125-150 hari) dan sangat dalam (>150). Berdasarkan pengelompokan tersebut, pada lahan bercekaman diperoleh satu galur genjah, yaitu JTKR7, tiga galur berumur sedang, yaitu GRJT14, GRJT19 dan SGJT3, dan 9 galur berumur dalam. Pada lahan tanpa cekaman Al, semua galur haploid ganda tergolong berumur dalam.

Panjang malai semua genotipe yang diuji cenderung lebih panjang pada lingkungan bercekaman dibandingkan pada lingkungan tanpa cekaman, kecuali pada galur SGJT3, SGJT28 dan ITA131. Galur haploid ganda yang mempunyai malai terpendek pada lingkungan bercekaman adalah SGJT3 yaitu 22 cm berbeda nyata dengan Dupa tetapi tidak berbeda nyata dengan Jatiluhur. Pada lingkungan tanpa cekaman Al, Asahan merupakan varietas dengan malai terpendek sekitar 19 cm. Pada lingkungan bercekaman Al di Jasinga, diperoleh tiga galur yang memiliki panjang malai lebih dari 35 cm yaitu galur SGJT36, SGJT19 dan SGGM8 yang termasuk malai terpanjang melebihi panjang malai galur lainya (Tabel 19).

Pada lahan bercekaman Al, rata-rata jumlah gabah berisi per malai berkisar dari 2 butir pada SGJT3 sampai 115 butir pada Dupa. Pada kondisi lahan optimum, rata-rata jumlah gabah berisi per malai berkisar dari 20 butir pada SGJT3 sampai 164 butir pada SGT28. SGJT3 memiliki biji berisi per malai paling sedikit diantara genotipe yang ditanam

karena persentase gabah hampa galur tersebut sangat tinggi. Galur SGJT3 menghasilkan biji yang banyak tetapi tingkat pengisian biji sangat rendah, hal ini diduga galur tersebut incomplete self incompatible atau mandul jantan. Untuk lebih meyakinkan diperlukan pemeriksaan yang lebih lanjut.

Tabel 20 Komponen produksi beberapa galur haploid ganda dan tetuanya di Jasinga dan Muara

Genotipe Jumlah Gabah Berisi Per Malai (butir)

Persentase Gabah Hampa (%)

Bobot 100 Butir Gabah (g)

Jasinga Muara Jasinga Muara Jasinga Muara GRJT14 50.5cde 121.2bcdef 80.2abc 19.8efgh 1.90abc 1.98hi GRJT18 68.5bcd 126.4bcde 46.8efg 19.4efgh 2.05abc 2.09gh GRJT19 25.3def 150.9ab 71.5b-f 14.8h 1.23cd 2.65abc GRJT23 - 109.4cdef 100.0a 33.3cde - 1.89i SGJT3 1.6f 20.4i 98.8a 87.0a 1.15cd 2.08ghi SGJT19 42.1cdef 101.5defg 84.4ab 39.7c 2.48ab 2.71ab SGJT28 102.7ab 164.9a 45.0g 14.3h 1.78abc 1.99hi SGJT34 39.0def 54.1h 64.8b-g 56.5b 2.00abc 2.51cd SGJT36 86.2abc 101.3defg 63.8b-g 38.4cd 1.79abc 2.74a GRGM12 - 77.5gh 100.0a 28.2c-h - 2.24fg JTKR7 35.3def 113.3cdef 72.8bcde 17.7fgh 1.48bcd 1.89i SGGM5 70.1bcd 76.5gh 66.6b-g 43.1c 2.19abc 2.31ef SGGM8 64.5bcd 141.2abc 71.0b-g 34.1cde 2.58a 2.74a Jatiluhur 48.3cde 133.6abcd 55.2c-g 17.8fgh 2.31ab 2.45de Grogol 69.8bcd 134.1abc 63.0b-g 36.0cd 2.34ab 2.59abcd Sigundil 98.6ab 122.7bcde 51.3defg 31.3cdef 2.53ab 2.76a

Gajah Mungkur 44.9cdef 99.2efg 66.7b-g 19.6efgh 2.13abc 2.51cd Krowal 47.1cde 89.1fg 48.6efg 24.1defgh 1.57abcd 2.52bcd Dupa 115.2a 139.1abc 46.1fg 15.9gh 2.01abc 2.75a ITA131 12.5ef 47.3hi 75.9abcd 30.1c-g 1.89abc 2.48cde Asahan 35.5gh 50.2h 75.3abcd 33.3cde 1.83abc 2.23fg Kencana Bali 53.3cde 76.9gh 83.9ab 30.8cdef - 2.59abcd

Angka pada kolom yang sama diikuti huruf sama, tidak berbeda nyata berdasarkan UJGD 5%.

Galur SGJT 28 merupakan galur haploid ganda yang memiliki biji terbanyak pada kedua kondisi lingkungan, walaupun tidak berbeda nyata dengan Dupa (pembanding tenggang Al). Pada lahan bercekaman, jumlah biji berisi galur SGJT36, SGGM5, GRJT18, SGGM8, GRJT14, SGJT19, SGJT34, JTKR7 dan GRJT19 tidak berbeda nyata dibandingkan dengan jumlah biji berisi per malai pada Jatiluhur (Tabel 20). Sebaliknya pada lahan tanpa cekaman Al, jumlah biji berisi galur SGJT3, SGJT34, GRGM12 dan SGGM5 nyata lebih rendah dibandingkan Jatiluhur.

106

Jumlah biji berisi dari galur GRJT18, SGJT28, SGJT34, SGJT36 dan SGGM5 kurang responsif terhadap perbaikan lingkungan (Tabel 20). Penambahan jumlah biji berisi pada lingkungan tanpa cekaman Al kurang dari 100% jumlah biji berisi pada lingkungan bercekaman Al. Sebaliknya, jumlah biji berisi dari galur GRJT14, GRJT19, GRJT23, SGJT3, SGJT19, GRGM12, JTKR7 dan SGGM8 sangat responsif akibat perubahan lingkungan. Galur yang respon terhadap perbaikan lingkungan dapat di anjurkan pada kondisi lingkungan bercekaman dengan sedikit perbaikan lingkungan, tetapi untuk budidaya galur yang kurang responsif, perbaikan lingkungan tidak akan merubah penampilan tanaman.

Persentase gabah hampa jauh lebih tinggi pada lingkungan bercekaman dibandingkan pada lingkungan tanpa cekaman Al. Percentase gabah hampa pada kondisi bercekaman bisa mencapai 45 -100%, sebaliknya pada kondisi optimum, 14 - 87% (Tabel 20). Tingginya persentase gabah hampa pada lahan bercekaman disebabkan oleh cekaman Al yang tinggi dan gangguan pengisian biji akibat pemakaian sungkup pada saat mulai keluar malai untuk menghindari agar tidak dimakan burung. Pada galur tertentu tingginya kehampaan diperparah oleh tingginya serangan penyakit blas leher malai.

Alluri (1996) melaporkan persentase sterilitas mencapai lebih dari 50% akibat cekaman Al. Baik pada kultur hara maupun tanah masam, cekaman Al dapat meningkatkan kehampaan. Pemakaian sungkup mengakibatkan terjadi peningkatan kelembaban pada malai dan terjadinya naungan pada daun akibat terjadinya saling tumpang tindih antar daun. Hal ini mengakibatkan kemampuan daun untuk menghasilkan dan menyalurkan fotosintat ke biji berkurang.

Pada lahan bercekaman, galur GRJT23 dan GRGM12 tidak menghasilkan gabah berisi sama sekali karena tanama n rebah akibat terjadi busuk pada pangkal batang dan daunnya mengering. Kedua galur tersebut diperkirakan terserang lebih dari satu jenis penyakit. Pada daun kelihatan bercak yang mirip dengan gejala penyakit blas tetapi bercaknya berbentuk oval dan pusat keputih-putihan. Berdasarkan gejala tersebut salah satu jenis penyakit yang menyerang adalah penyakit bercak coklat (Cochliobolus miyabaenus).

Bobot 100 butir gabah menunjukkan ukuran gabah dan tingkat kebernasan biji. Makin tinggi bobot 100 butir maka ukuran gabah semakin besar. Hasil pengamatan menunjukkan hampir semua galur haploid ganda yang mempunyai bobot 100 butir gabah

sebanding dengan Jatiluhur, kecuali SGJT3 dan GRJT19. Galur SGGM8 memiliki bobot 100 butir gabah tertinggi dan SGJT3 memiliki bobot 100 butir gabah terrendah masing- masing 2.58 g dan 1.15 g pada lingkungan bercekaman. Berdasarkan bobot 100 butir biji, GRJT19 juga memperlihatkan sangat responsif terhadap perubahan lingkungan.

Bobot gabah per rumpun mencerminkan besarnya produksi tanaman yang dapat dipanen. Pada lahan bercekaman, galur haploid ganda dengan bobot gabah per rumpun yang paling tinggi adalah SGJT28 berbeda nyata dengan semua genotipe yang dicobakan. Hal ini mengindikasikan bahwa galur tersebut mampu beradaptasi baik pada ta nah masam melebihi daya adaptasi pembanding tenggang (Dupa) dan varietas unggul nasional (Jatiluhur). Pada lahan tanpa cekaman Al di Muara, GRJT19 memberikan hasil terbaik dibandingkan dengan semua genotipe lainnya walaupun tidak berbeda nyata dibandingkan dengan Jatiluhur, tetapi pada lahan bercekaman Al bobot gabah per rumpun galur tesebut menurun secara drastis (Gambar 26) akibat tingginya serangan penyakit blas daun dan leher malai. 0 5 10 15 20 25 30 35 40 Rendah Tinggi Kejenuhan Al

Bobot gabah per rumpun (g)

GRJT19 Jatiluhur JTKR7 SGJT28 GRJT18 GRJT23 GRJT14 SGGM8 SGJT19 Dupa SGJT36 SGGM5 GRGM12 SGJT34 SGJT3

Gambar 26 Bobot gabah per rumpun beberapa galur haploid ganda pada kejenuhan Al tinggi (Jasinga) dan kejenuhan Al rendah (Muara).

Pada lahan bercekaman Al, diperoleh empat galur yang memiliki bobot gabah per rumpun lebih tinggi dibandingkan Dupa (pembanding tenggang Al) yaitu galur SGJT28, SGJT36, SGGM5 dan GRJT18. Bobot gabah per rumpun SGJT28 lebih tinggi dibandingkan varietas Jatiluhur (varietas unggul nasional), bobot gabah per rumpun SGJT36 dan SGGM5 sebanding dengan Jatiluhur. Bobot gabah per rumpun galur GRJT18 lebih rendah dibandingkan Jatiluhur (Gambar 26). Galur tersebut memiliki anakan produktif lebih banyak dibandingkan Dupa (Tabel 18), tetapi lebih sedikit dibandingkan

108

varietas Asahan. Umur panen GRJT18 sebanding dengan Dupa dan lebih genjah dibandingkan Asahan (Tabel 19).

Galur yang memiliki bobot gabah per rumpun paling rendah adalah SGJT3 tidak berbeda nyata dengan ITA131 (pembanding peka Al) dan Kencana Bali (pembanding rentan blas) diikuti oleh GRJT19 dan SGJT34. Galur SGJT3, GRJT19 dan SGJT34 dapat dikelompokkan sebagai galur peka Al karena bobot gabahnya nyata lebih rendah dibandingkan Dupa (pembanding tenggang Al). Galur tersebut juga sangat responsif terhadap perubahan lingkungan. Hal ini dapat terlihat pada lingkungan tanpa cekaman Al, galur tersebut memberikan hasil lebih baik dibandingkan pada lingkungan bercekaman Al. Sebaliknya, galur SGJT28, SGJT36 dan SGGM5 dapat digolongkan sebagai galur harapan tenggang Al tetapi kurang responsif terhadap perubahan lingkungan (Gambar 26). Dengan demikian seleksi padi gogo tenggang Al secara tidak langsung pada lingkungan tanpa cekaman Al tidak efektif. Menurut Ceccarelli (1996) adanya interaksi antara genotipe dan lingkungan yang merubah urutan rangking genotipe menyebabkan seleksi harus dilakukan pada lingkungan target.

Ketahanan terhadap Penyakit Blas

Pada pertanaman padi di lahan tanah masam Jasinga dijumpai serangan penyakit blas daun dan leher malai, tetapi pada lahan tidak bercekaman di Muara tidak dijumpai adanya serangan penyakit blas. Intensitas serangan blas daun dan blas leher malai berbeda nyata antar galur, yang mengindikasikan adanya keragaman genetik tingkat ketahanan galur terhadap penyakit blas di lapangan.

Hasil pengamatan serangan blas daun dan blas leher malai di lapangan menunjukkan galur GRJT14, SGJT28 dan SGJT34 tidak terserang blas daun dan blas leher malai. Galur GRGM12, GRJT18, GRJT23, SGJT3, SGGM5 dan SGGM8 terserang blas daun dengan intensitas kurang dari 10% tetapi tidak terserang blas leher malai (Tabel 21). Intensitas serangan blas daun dan leher malai di lapangan terhadap galur JTKR7 dan GRJT19 sangat tinggi sama dengan pada pengujian di rumah kasa, yang mengindikasikan kedua galur tersebut rentan terhadap penyakit blas daun dan leher malai.

Galur JTKR7 dan GRJT19 sangat rimbun karena anakannya yang banyak. Hal ini menyebabkan kondisi kelembaban mikro pada galur tersebut sangat sesuai untuk perkembangan penyakit blas. Penanaman dengan jarak tanam yang lebih lebar dapat

mengurangi kelembaban mikro, sehingga dapat mengurangi keparahan penyakit blas. Zhu et al. (2005) melaporkan pengurangan kelembaban daun dapat mendukung pengendalian penyakit blas leher pada varietas campuran.

Tabel 21 Intensitas serangan blas daun dan leher galur haploid ganda pada lahan tanah masam

Genotipe Intensitas Serangan (%)

5 MST 6 MST 7 MST Leher SGJT28 0.0f(T) 0.0h(T) 0.0h(T) 0.0d(T) GRJT14 0.0f(T) 0.0h (T) 0.0h(T) 0.0d(T) SGJT34 0.0f(T) 0.0h (T) 0.0h(T) 0.0d(T) GRGM12 0.0f(T) 0.0h (T) 3.0hi(T) 0.0d(T) GRJT23 0.0f(T) 0.4h(T) 7.8fgh(T) 0.0d(T) SGGM5 1.5ef(T) 1.9gh(T) 4.5gh(T) 0.0d(T) SGJT3 1.1ef(T) 2.6fgh(T) 4.5gh(T) 0.0d(T) GRJT18 1.9ef(T) 2.6fgh(T) 5.2gh(T) 4.4d(T) SGGM8 6.7def(T) 7.8efgh(T) 13.3ef(R) 0.0d(T) SGJT19 4.8def(T) 9.3defg(T) 11.1efg(R) 0.0d(T) JTKR7 10.7de(R) 53.3c(R) 62.2c(R) 28.1c(R) SGJT36 15.2cd(R) 17.8de(R) 19.3de(R) 0.0d(T) GRJT19 36.7b(R) 48.1c(R) 60.0c(R) 72.1a(R) Jatiluhur 0.0f(T) 0.0h(T) 0.0(T) 0.0d(T) Grogol 0.0f(T) 3.0fgh(T) 5.5fgh(T) 0.0d(T) Sigundil 5.5def (T) 11.5def(R) 13.0ef(R) 11.1d(R) G.Mungkur 64.8a(R) 77.8b(R) 81.5b(R) 72.5a(R) Krowal 30.4bc(R) 43.3c(R) 50.4c(R) 45.0b(R) Asahan++ 0.0f(T) 0.0h(T) 0.0(T) 0.0d(T) K.Bali + 77.0a(R) 91.9a(R) 96.3a(R) 0.0d(T)

MST = minggu setelah tanamn, angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji UJGD 5%, huruf dalam kurung menunjukkan tingkat ketahanan terhadap blas, ST = sangat tahan, T= tahan, AT=agak tahan, AR = agak rentan, R = rentan, - = tidak ada data. ++ = pembanding tahan blas, + pembanding rentan blas.

Galur SGJT28 tidak terinfeksi oleh blas daun pada tahap vegetatif dan blas leher malai pada tahap generatif, tetapi SGGM8 dapat terinfeksi blas daun dengan intensitas serangan ringan dan pada tahap generatif galur tersebut tidak terinfeksi penyakit blas leher malai. Galur SGJT36 rentan terhadap penyakit blas daun tetapi tahan terhadap blas leher malai (Tabel 21). Adanya perbedaan tingkat ketahanan galur SGJT36 dan SGGM8 pada pengujian dengan ras 173 dan 033 di rumah kaca dengan lapangan diduga karena komposisi ras di lapangan sangat beragam dan belum pernah dilaporkan ras blas yang dominan di Jasinga.

Dokumen terkait