• Tidak ada hasil yang ditemukan

diseleksi. Jika perbedaan pada tetua persilangan adalah n gen dan diasumsikan tidak terpaut maka diperlukan minimum sebanyak 2n tanaman agar semua genotipe homozigos dapat terwakili, sementara dengan pemuliaan konvensional diperlukan sebanyak 4n tanaman (Chung 1992; Dewi dan Purwoko 2001).

Pada penelitian ini seleksi dilakukan terhadap 120 genotipe, terdiri atas lima tetua dan dua varietas pembanding dan 113 populasi galur haploid ganda dengan harapan dari populasi tersebut akan diperoleh galur haploid ganda tenggang Al dan tahan terhadap penyakit blas. Penapisan ketenggangan Al pada tahap awal menggunakan metode kultur hara, dimana setiap pot mewakili satu genotipe yang ditanam sebanyak 5 tanaman dan diulang sebanyak 4 kali sehingga setiap genotipe diwakili oleh 20 tanaman. Pengujian ketahanan terhadap blas daun juga dilakukan terhadap 120 genotipe dan setiap genotipe diwakili oleh 10 tanaman.

Seleksi ketenggangan Al pada kultur hara dan uji ketahanan terhadap penyakit blas dengan inokulasi buatan di rumah kaca lebih efisien dibandingkan dengan seleksi langsung di lapangan. Metode penapisan di rumah kaca dapat menapis genotipe dalam juml ah banyak, relatif mudah, menghemat waktu dan tenaga. Kriteria seleksi yang digunakan dapat memisahkan antara genotipe tenggang dan peka Al serta tahan dan rentan blas.

Padi termasuk tanaman tenggang Al, tetapi tingkat ketenggangan Al antar varietas berbeda-beda (Ishikawa et al. 2000). Pada penapisan ketenggangan Al dengan metode kultur hara, perlakuan cekaman Al menyebabkan penurunan panjang akar dan bobot kering tajuk secara nyata (Gambar 2). Panjang tajuk dan bobot kering akar tidak dapat membedakan genotipe tenggang dan peka Al pada populasi yang dicobakan sehingga untuk menentukan tingkat ketenggangan Al hanya digunakan panjang akar relatif (PAR). Marschner (1995) menyebutkan bahwa PAR merupakan kriteria seleksi ketenggangan Al yang paling banyak digunakan karena dapat menghilangkan perbedaan genetik pertumbuhan akar antar genotipe.

Keragaman ketenggangan Al antar galur haploid ganda padi gogo hasil kultur antera pada percobaan ini disebabkan oleh faktor genetik sehingga memungkinkan dilakukan penapisan pada populasi tersebut (Tabel 2). Penapisan pada kultur hara yang mengandung Al berdasarkan PAR diperoleh sebanyak 15 genotipe tenggang, 73 genotipe moderat dan 25 genotipe peka dari 113 galur haploid ganda (Tabel 4). Pengujian ketahanan blas daun terhadap galur tersebut diperoleh 9 galur tahan terhadap ketiga ras yang dicobakan.

Sebanyak 15 galur tahan terhadap ras 173, 23 galur tahan terhadap ras 033 dan 83 galur tahan terhadap ras 001 dan 27 galur rentan terhadap ketiga ras yang dicobakan (Gambar 9).

Pengujian ketahanan terhadap penyakit blas dilakukan dengan tiga tahapan, yaitu pada tahap awal dilakukan pengujian blas daun, kemudian dilanjutkan dengan pengujian blas leher malai dan terakhir dengan pengujian di lapangan. Pelaksanaan pengujian ketahanan terhadap penyakit blas dilakukan dengan tiga tahapan tersebut dengan pertimbangan bahwa penyakit blas tidak hanya menyerang daun pada stadia pertumbuhan vegetatif tetapi juga menyerang leher malai pada stadia reproduktif (Ou 1985). Disamping itu, seringkali serangan blas leher malai yang parah dapat terjadi tanpa didahului oleh parahnya serangan blas daun (Zhu et al. 2005). Pengujian terhadap penyakit blas harus dilakukan untuk blas daun dan blas leher malai dan pengujian di lapangan pada daerah endemi k blas untuk mendapatkan varietas tahan di lapangan dengan multi ras (Amir 2002).

Ketenggangan Al pada padi gogo ditentukan berdasarkan panjang akar relatif (PAR), sedangkan ketahanan terhadap penyakit blas daun ditentukan berdasarkan intensitas serangan dan skala penyakit (IRRI 1996). Varietas tenggang Al memiliki PAR tinggi sedangkan tahan blas memiliki intensitas serangan penyakit blas rendah. Jumlah dan persentase galur haploid ganda tenggang Al pada kultur hara dan tahan terhadap penyakit blas daun ras 173, 033 dan 001 dapat dilihat pada Tabel 22.

Tabel 22 Jumlah dan persentase galur haploid ganda menurut tanggapannya terhadap Al pada kultur hara dan blas daun ras 173, 033 dan 001

Ketenggangan Al pada Kultur Hara Ketahanan terhadap Blas Daun

Jumlah dan persentase galur pada ras Ras 173 Ras 033 Ras 001

N % N % N % Tenggang Tahan 1 0.88 5 4.42 12 10.62 Moderat tahan 2 1.77 0 0.00 0 0.00 Moderat rentan 5 4.42 4 3.54 1 0.88 Rentan 7 6.19 6 5.31 2 1.77 Moderat Tahan 11 9.73 17 15.04 54 47.79 Moderat tahan 6 5.31 3 2.65 9 7.96 Moderat rentan 23 20.35 31 27.43 8 7.08 Rentan 33 29.20 22 19.47 2 1.77 Peka Tahan 3 2.65 2 1.77 17 15.04 Moderat tahan 1 0.88 1 0.88 5 4.42 Moderat rentan 5 4.42 7 6.19 0 0.00 Rentan 16 14.16 15 13.27 3 2.65 Jumlah 113 100.00 113 100.00 113 100.00 N = jumlah galur

114

Persentase galur tenggang Al dan juga tahan blas daun pada setiap ras termasuk rendah sekitar 1% pada ras 173 dan 11% pada ras 001 (Tabel 22). Hal ini menunjukkan bahwa untuk seleksi ketenggangan Al dan ketahanan terhadap penyakit blas diperlukan populasi yang lebih banyak dari populasi yang diuji pada percobaan ini sehingga peluang untuk mendapatkan genotipe tenggang Al dan tahan penyakit blas akan lebih tinggi. Hal ini disebabkan ketenggangan Al pada padi bersifat multigenik dan kuantitatif (Ma et al. 2002; Nguyen et al. 2001; Wu et al. 2000) dan setiap genotipe memiliki gen ketahanan terhadap penyakit blas yang berbeda (Amir 2002).

Selama ini belum ada laporan tentang hubungan antara ketenggangan Al dan ketahanan terhadap penyakit blas daun pada populasi galur haploid ganda padi gogo Gambar 27 memperlihatkan korelasi antara ketenggangan Al (PAR) dan ketahanan terhadap penyakit blas daun ras 173 (intensitas serangan) pada populasi galur haploid ganda yang dicobakan sangat kecil (r = -0.12) dan tidak nyata (p = 0.233).

Y = -22.936x + 60.529 R2 = 0.0127 0 20 40 60 80 100 0.20 0.40 0.60 0.80 1.00

Panjang akar relatif (PAR)

Intensitas blas daun (%)

Gambar 27. Korelasi antara PAR dan intensitas serangan blas daun ras 173.

Pada genotipe padi gogo yang diuji, tingginya ketenggangan Al tidak diikuti oleh serangan penyakit blas yang rendah dan sebaliknya. Hal ini mengindikasikan bahwa kemungkinan gen pengendali sifat ketenggangan Al dan ketahanan terhadap penyakit blas dikendalikan oleh gen yang berbeda dan terletak pada kromosom yang berbeda atau pada kromosom yang sama tetapi lokusnya berjauhan sehingga pautan gen antara keduanya rendah. Dengan demikian seleksi ketenggangan Al saja dari persilangan tetua tenggang Al dan tahan blas tidak menjamin diperoleh juga genotipe tahan terhadap penyakit blas, sehingga seleksi harus dilakukan terhadap kedua karakter tersebut.

Perakitan varietas tenggang Al dan tahan penyakit blas dapat dilakukan dengan menyilangkan tetua tenggang Al tetapi rentan blas dan tetua peka Al tetapi tahan blas untuk mendapatkan rekombinasi kedua sifat tersebut pada turunannya. Selanjutnya dapat diseleksi kedua karakter tersebut dari populasi segregasi turunannya. Namun demikian diperlukan waktu yang lama karena sifat ketenggangan Al pada padi bersifat multigenik dan kuantitatif (Ma et al. 2002; Nguyen et al. 2001; Wu et al 2000)sedangkan ketahanan penyakit blas umumnya dikendalikan oleh gen mayor tunggal (Kiyosawa 1982). Paling sedikit telah diidentifikasi secara intensif dalam studi genetik sebanyak 20 gen mayor yang mengendalikan ketahanan blas pada padi tetapi dijumpai pada varietas atau spesies yang berbeda (Chao et al. 1999).

Genotipe tenggang dan moderat Al berdasarkan PAR dievaluasi kembali pada media tanah masam. Peubah bobot gabah per rumpun, jumlah ana kan produktif, jumlah biji berisi per malai, jumlah anakan total, tinggi tanaman, panjang malai dan persentase gabah hampa dapat menentukan ketenggangan Al pada media tanah masam. Untuk memilih karakter yang dapat digunakan sebagai penciri ketenggangan Al dilakukan analisis komponen utama. Berdasarkan analisis komponen utama, jumlah anakan produktif dan bobot gabah per rumpun mempunyai nilai akar ciri (eigenvalue) terbesar pada komponen utama pertama (Tabel 6) dan heritabilitas jumlah anakan produktif tergolong tinggi yaitu 0.7 (Tabel 10).

Berdasarkan sidik lintas, jumlah anakan produktif memberikan pengaruh langsung paling besar terhadap bobot gabah per rumpun diantara karakter lain (Tabel 8). Namun demikian, seleksi langsung terhadap bobot gabah per rumpun lebih efisien dibandingkan seleksi tidak langsung karena heritabilitas jumlah anakan produktif lebih rendah dibandingkan bobot gabah per rumpun (Tabel 10). Falconer dan Mackay (1996) mengemukakan bahwa seleksi tidak langsung kurang menguntungkan apabila sifat sekunder mempunyai heritabilitas lebih rendah dibandingkan sifat primer. Dengan demikian seleksi ketenggangan Al pada media tanah masam dilakukan berdasarkan nilai relatif bobot gabah per rumpun (NBGR).

Hasil seleksi berdasarkan NBGR pada media tanah masam, dari 85 galur yang dievaluasi diperoleh 34 sangat tenggang, 15 tenggang, 7 agak tenggang, 9 agak peka, 7 peka dan 13 sangat peka (Gambar 6). Walaupun penapisan ke tenggangan Al lebih efisien dilakukan pada kondisi terkontrol pada kultur hara akan tetapi hasilnya akan lebih akurat

116

jika dilakukan dengan mengkombinasikan metode penapisan kultur hara, media tanah masam dalam pot dan di lapangan (Spehar dan Souza 2006). Dalam percobaan ini, ketiga metode tersebut dikombinasikan secara bertahap, yaitu pada tahap awal dilakukan dengan menggunakan kultur hara, selanjutnya genotipe yang terpilih diseleksi kembali pada media tanah masam dan yang terakhir evaluasi hasil dilakukan di lapangan pada tanah masam bercekaman Al.

Penapisan ketenggangan Al dalam program pemuliaan tanaman pada generasi awal dapat dilakukan pada kultur hara. Hal ini disebabkan ketenggangan Al pada kultur hara berkorelasi dengan ketenggangan Al pada tanah masam (Gambar 7) dan dapat dilakukan pada stadia bibit sehingga waktu pelaksanaan cepat karena jumlah benih yang tersedia masih sedikit dan jumlah genotipe masih banyak. Penapisan di lapangan dapat dilakukan pada generasi lebih lanjut pada saat benih yang tersedia banyak dan genotipe yang diseleksi sedikit.

Untuk mengetahui ketahanan terhadap blas leher malai, genotipe tenggang Al dan tahan terhadap penyakit blas daun diuji kembali ketahanannya terhadap penyakit blas leher malai. Hal ini dilakukan agar diperoleh genotipe yang memiliki sifat ketenggangan Al dan ketahanan terhadap penya kit blas daun dan leher malai.Menurut Ou (1985) sifat ketahanan atau kerentanan suatu varietas terhadap blas daun dan blas leher malai dikendalikan oleh gen yang berbeda.

Ragam genetik intensitas serangan blas leher malai pada populasi yang diuji lebih tinggi dibandingkan ragam lingkungan disertai heritabilitas yang cukup tinggi (Tabel 15). Hal ini menunjukkan bahwa seleksi ketahanan terhadap penyakit blas leher malai dapat dilakukan pada galur haploid ganda yang diuji. Berdasarkan intensitas serangan blas leher malai, dari 17 galur haploid ganda hasil kultur antera diperoleh 8 galur tahan terhadap ras 173 dan 11 galur tahan terhadap ras 033 (Tabel 16). Analisis korelasi antara intensitas serangan penyakit blas daun dan blas leher malai baik pada ras 173 maupun pada ras 033 tidak nyata (Gambar 11). Hal ini menunjukkan bahwa sifat ketahanan terhadap blas daun dan blas leher malai dikendalikan oleh gen yang berbeda (Ou 1985).

Genotipe tenggang Al melakukan adaptasi pada tanah bercekaman Al dengan tidak mengurangi pemanjangan akar (Gambar 13), mengakumulasikan N (Gambar 19) dan Si di tajuk yang banyak (Gambar 20), sedikit menjerap Al di akar (Gambar 24) dan meningkatkan nisbah Si/Al akar (Tabel 17). Genotipe yang memperlihatkan tidak adanya

hambatan pemanjangan akar akan mampu beradaptasi pada lahan kering bercekaman Al dengan mengembangkan mekanisme ketenggangan Al. Mekanisme yang berkaitan dengan daya adaptasi terhadap cekaman Al diantaranya adalah dengan menahan Al lebih banyak di akar dibandingkan yang ditranspor ke tajuk sehingga konsentrasi Al di akar lebih tinggi dibandingkan dengan di tajuk sehingga tanaman menjadi tenggang Al. Menurut Kochian (1995), mekanisme ketenggangan Al tersebut termasuk tipe mekanisme eksternal (ekskluder).

Akar genotipe tenggang Al akan menjerap Al lebih rendah dibandingkan genotipe peka Al sehingga konsentrasi Al di akar genotipe tenggang Al lebih rendah dibandingkan genotipe peka Al. Hal yang sama dilaporkan Sivaguru dan Paliwal (1993) yang menyatakan bahwa padi kultivar peka mengakumulasikan Al lebih tinggi dibandingkan kultivar tenggang Al. Rendahnya daya jerap akar terhadap Al pada genotipe tenggang Al disebabkan tingginya Ca yang dipertahankan pada permukaan akar dan tidak mudah digantikan oleh Al3+ (Okada et al. 2003) atau akibat peningkatan pH rhizosfer (Ganesan et al. 1993; Sivaguru dan Paliwal 1993). Mekanisme lain adalah permeabilitas membran yang selektif yang membatasi pergerakan Al ke dalam sitosol (Archambault et al. 1997) sebagai akibat dari penurunan muatan ne gatif pada permukaan membran dengan meningkatnya aktifitas kation termasuk Ca (Kinraide et al. 1994).

Pada penelitian ini, nisbah Si/Al di akar dan kandungan Si di tajuk dapat mencerminkan tingkat ketenggangan Al, genotipe tenggang memiliki nisbah Si/Al akar (Tabel 17) dan kandungan Si tajuk tinggi (Gambar 20). Nisbah Si/Al akar tinggi menunjukkan bahwa semakin tinggi kandungan Si di akar maka semakin banyak Al yang didetoksifikasi oleh Si dalam apoplas akar (Cocker et al. 1998a) dengan membentuk komplek Al-Si dalam apoplas akar (Barcelo et al. 1993) sehingga transpor Al dari akar ke tajuk menjadi berkurang (Wang et al. 2004). Walaupun Al juga dijumpai di tajuk genotipe tenggang tetapi tidak memperlihatkan gejala keracunan Al karena sebelum masuk ke simplas terjadi pembentukan senyawa hidroksialuminosilikat di apoplas yang tidak beracun bagi tanaman kemudian ditransfer dari akar ke tajuk (Cocker et al. 1998b). Clark dan Gourley (1988) mendapatkan tanaman sorgum genotipe tenggang Al yang ditanam pada tanah masam memiliki kandungan Si pada daun yang tinggi. Clark et al. (1990) juga menjumpai fenomena yang sama pada genotipe tenggang Al tanaman pearl millet yang ditanam pada tanah masam.

118

Inokulasi blas hanya menyebabkan penurunan bobot kering tajuk dan akar pada genotipe peka Al-rentan blas secara drastis (Gambar 17) akibat kerusakan daun yang lebih parah akibat tingginya serangan blas pada genotipe tersebut. Pada penelitian ini, kandungan N dan Si tajuk tidak dapat membedakan genotipe tahan dan peka blas (Gambar 18 dan 20). Hal ini berbeda dengan beberapa penelitian sebelumnya yang menyebutkan bahwa genotipe dengan kandungan N daun tinggi dan Si daun rendah akan rentan terhadap penyakit blas (Ou 1985; Seebold et al. 2001; Sudir et al. 2002). Perbedaan ini diduga karena jaringan tanaman yang digunakan masih terlalu muda dan yang dijadikan sebagai contoh untuk analisis kandungan N dan Si adalah bukan daun saja tetapi seluruh bagian tanaman di atas tanah. Namun demikian, nisbah Si/N pada genotipe tahan blas lebih tinggi dibandingkan dengan genotipe rentan blas (Tabel 17). Dengan demikian, ketahanan terhadap penyakit blas lebih ditentukan oleh tingginya nisbah Si/N dibandingkan kandungan Si atau N saja.

Galur KRGM4, JTGR13, JTGR17, JTGR18, JTKR1, JTKR5, GRGM4, GRGM6, GRGM9, GRGM14, GRGM25, GRJT11 dan SGJT27 tenggang Al pada penapisan dengan metode kultur hara dan media tanah masam (Tabel 5 dan 11). Galur SGJT3, SGJT28, SGJT34, SGJT29, SGGM5, SGGM8, GRGM9 dan GRJT12 tahan terhadap penyakit blas daun ras 173, 033 dan 001 (Tabel Lampiran 4). Hal ini menunjukkan bahwa keturunan yang berasal dari salah satu tetua Grogol tenggang Al dan keturunan dari salah satu tetua Sigundil tahan terhadap penyakit blas. Dengan demikian untuk perakitan padi gogo tenggang Al dan tahan terhadap penyakit blas dapat digunakan Grogol sebagai tetua sumber ketenggangan Al dan Sigundil sebagai sumber gen tahan blas. Namun demikian perlu dipelajari lebih lanjut jumlah dan jenis gen yang dimiliki oleh kedua varietas tersebut.

Sebanyak 13 galur haploid ganda dievaluasi keragaannya di lapangan pada lahan bercekaman Al yang disertai adanya sumber inokulum alami di Jasinga dan pada lahan tanpa cekaman Al dan tanpa blas di Muara. Berdasarkan hasil evaluasi di lapangan pada lahan bercekaman Al diperoleh tiga galur yang beradaptasi baik pada lahan tanah masam dan tahan terhadap penyakit blas yaitu SGJT28, SGJT36 dan SGGM5 (Tabel 23). Tingkat ketenggangan Al dan tingkat ketahanan terhadap penyakit blas dari ketiga galur tersebut konsisten antara penapisan di rumah kaca pada kondisi terkontrol dan di lapangan (Tabel 23). Hasil penelitian ini membuktikan bahwa galur murni yang diperoleh dari hasil kultur

antera tersebut benar merupakan galur homozigos tenggang Al dan tahan terhadap penyakit blas.

Tabel 23 Perbandingan ketenggangan Al, ketahanan blas dan bobot gabah beberapa galur haploid ganda dibandingkan Jatiluhur dan Gajah Mungkur

Galur Aluminium

Rumah Kaca

Penyakit Blas Rumah Kasa Lapangan

Daun Leher Penyakit Blas Gabah/rpn (g)

PAR NBGR 173 033 001 173 033 Daun Leher Jasinga Muara

SGJT28 M ST T T T T ST T T 16.56 18.92 SGJT36 M ST R T T T ST R T 11.74 10.70 SGGM5 M T T T T ST ST T T 11.58 9.50 SGGM8 M T T T T ST ST R T 8.66 12.82 JTKR7 M T R R R SR AR R R 7.91 25.68 Jatiluhur P AP R R T R AR T T 12.33 28.96 Gmungkur M T R R T SR AR R R 2.27 22.67

M= moderat, T= tahan ST= sangat tahan Al, P = peka Al, AP = agak peka, R = rentan, AR= agak rentan, SR= sangat rentan

Galur haploid ganda yang digunakan pada penelitian ini berasal dari persilangan antara varietas unggul padi gogo yaitu Jatiluhur dan Gajah Mungkur dengan aksesi plasma nutfah padi gogo tenggang Al dan tahan terhadap penyakit blas (Purwoko et al. 2000). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa jumlah anakan produktif berkolerasi erat dan memberikan sumbangan langsung dan besar terhadap bobot gabah per rumpun (Tabel 8). Namun demikian jumlah anakan produktif pada populasi galur haploid ganda yang dicobakan di lapangan lebih rendah (Tabel 18) dibandingkan jumlah anakan yang disyaratkan untuk varietas padi tipe baru sekitar 8 – 10 anakan. Hal ini memberi isyarat bahwa untuk perakitan padi gogo sebaiknya tidak hanya menyilangkan tetua padi gogo dengan padi gogo, tetapi sebaiknya digunakan kombinasi persilangan padi gogo dengan varietas unggul padi sawah yang memiliki anakan produktif tinggi.

Bobot gabah per rumpun galur SGJT28, SGJT36 dan SGGM5 pada lahan bercekaman Al sebanding dengan atau lebih tinggi dibandingkan Jatiluhur, tetapi pada lahan tanpa cekaman Al lebih rendah dibandingka n Jatiluhur (Gambar 26). Hal ini menunjukkan daya adaptasi tanaman padi terhadap cekaman Al dan ketahanan terhadap penyakit blas dipengaruhi oleh interaksi genotipe dan lingkungan. Dengan demikian, seleksi ketenggangan Al dan ketahanan blas harus dilakukan pada lingkungan bercekaman agar diperoleh varietas yang beradaptasi baik terhadap cekaman abiotik dan biotik

120

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan

Ketenggangan Al galur haploid ganda padi gogo hasil kultur antera yang diuji pada kultur hara sangat bervariasi. Hasil penapisan pada metode kultur hara diperoleh 15 galur tenggang, 73 moderat dan 25 peka Al. Hasil penapisan kembali galur tenggang dan moderat pada media tanah masam dari 85 galur diperoleh 34 sangat tenggang, 15 tenggang, 7 agak tenggang, 9 agak peka, 7 peka dan 13 sangat peka Al. Galur KRGM4, JTGR13, JTGR17, JTGR18, JTKR1, JTKR5, GRGM4, GRGM6, GRGM9, GRGM14, GRGM25, GRJT11 dan SGJT27 tenggang Al pada kedua metode penapisan.

Galur SGJT3, SGJT16, SGJT28, SGJT29, SGJT34, SGGM5, SGGM8, GRGM9 dan GRJT12 tahan terhadap blas daun ras 173, 033 dan 001. Genotipe JTGR20 tahan terhadap ras 173 dan 033. Genotipe SGJT17, GRJT33, GRJT34 dan GRJT49 tahan terhadap ras 173 dan 001. Genotipe SGJT19, SGJT30, SGJT36, JTGR17, SGGM10, GRJT2, GRJT8, GRJT11, JTGR1, JTGR2, JTGR5, dan JTGR18 tahan terhadap ras 033 dan 001. Genotipe SGJT13 hanya tahan terhadap ras 173, GRJT30 hanya tahan terhadap ras 033 dan 58 galur haploid ganda lainnya tahan terhadap ras 001. Galur SGGM5, SGGM8, SGJT3, SGJT19 SGJT28, SGJT34, SGJT36 dan GRJT14 tenggang Al pada kultur hara dan tahan terhadap penyakit blas daun dan blas leher malai ras 173 dan 033. Genotipe GRJT18, GRJT23 dan GRGM12 tenggang Al pada kultur hara dan hanya tahan terhadap penyakit blas daun ras 033.

Genotipe tenggang Al memiliki kemampuan untuk menahan Al di akar, mengakumulasikan bahan kering tajuk yang tinggi, meningkatkan kandungan N dan Si tajuk, meningkatan nisbah Si/Al akar. Kandungan N dan Si tajuk tidak berkorelasi dengan intensitas serangan blas daun. Genotipe tahan terhadap penyakit blas daun memiliki nisbah Si/N tajuk tinggi. Ketenggangan Al tidak berkorelasi dengan ketahanan terhadap penyakit blas daun.

Berdasarkan hasil evaluasi di lapangan terhadap galur haploid ganda padi gogo hasil kultur antera diperoleh tiga galur yang beradaptasi baik pada lahan tanah masam dan tahan terhadap penyakit blas yaitu SGJT28 ,SGJT36 dan SGGM5. Bobot gabah per rumpun galur SGJT28, SGJT36 dan SGGM5 pada lahan bercekaman Al di Jasinga sebanding dengan atau lebih tinggi dibandingkan Jatiluhur, tetapi pada lahan tanpa cekaman Al di Muara lebih rendah dibandingkan Jatiluhur. Ketenggangan Al dan ketahanan terhadap

penyakit blas dari galur SGJT28, SGJT36 dan SGGM5 konsisten antara penapisan di rumah kaca pada kondisi terkontrol dan di lapangan. Galur yang dihasilkan melalui metode kultur antera dengan memanfaatkan tetua tenggang Al dan tahan penyakit blas dapat menghasilkan galur harapan tenggang Al dan tahan penyakit blas.

Saran

Perlu dilakukan pengujian daya hasil dan ketahanan terhadap penyakit blas pada galur SGJT28, SGJT36 dan SGGM5 pada beberapa lokasi lahan kering bercekaman Al dan endemik penyakit blas. Perlu diidentifikasi gen yang berperan dalam ketahanan terhadap penyakit blas pada galur haploid ganda hasil kultur antera. Galur te nggang Al dan tahan penyakit blas dapat dipertimbangkan sebagai plasma nutfah baru untuk pemuliaan tanaman tenggang Al dan tahan penyakit blas. Grogol dapat digunakan sebagai tetua sumber ketenggangan Al dan Sigundil sebagai sumber gen tahan blas. Untuk perakitan padi gogo sebaiknya digunakan kombinasi persilangan padi gogo dengan varietas unggul padi sawah yang memiliki anakan produktif tinggi.

Penelitian tentang keterlibatan Silikat (Si) dalam meningkatkan ketenggangan Al dan ketahanan terhadap penyakit blas perlu dikaji lebih lanjut dengan menganalisis kandungan Si pada jaringan tanaman yang berumur lebih dari satu bulan dengan dan tanpa perlakuan Si. Perlu dilakukan pembuktian lebih lanjut secara genetik tentang pola segregasi sifat ketenggangan Al dan ketahanan terhadap penyakit blas untuk memperkuat bukti tentang korelasi antara kedua karakter tersebut.

122

DAFTAR PUSTAKA

Acevedo E, Fereres E. 1993. Resistance to abiotic stresses. Di dalam Hayward MD, Bosemark NO, Romagosa I, editor. Plant Breeding: Principles and Prospects. London: Chapman & Hall. hlm 406-421.

Ahn SW, Amir M. 1986. Rice blast management under upland conditions. Di dalam. Progress in Upland Rice Research. Los Banos, Phillippines: IRRI hlm 363-374 Akatsuka T, Kodama O, Sekido H, Kono Y, Takeuchi S. 1985. Novel phytoalexins

(Oryzalexin A, B and C) isolated from rice blast leaves infected with Pyricularia

Dokumen terkait