• Tidak ada hasil yang ditemukan

Potensi Hijauan Lokal Pesisir Pantai bagi Ternak Ruminansia di Desa Mangunlegi Kecamatan Batangan Kabupaten Pati

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Potensi Hijauan Lokal Pesisir Pantai bagi Ternak Ruminansia di Desa Mangunlegi Kecamatan Batangan Kabupaten Pati"

Copied!
122
0
0

Teks penuh

(1)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kabupaten Pati terletak di daerah pantai utara Pulau Jawa dan di bagian timur dari Propinsi Jawa Tengah. Batas wilayah sebelah utara adalah Kabupaten Jepara dan Laut Jawa, sebelah barat adalah Kabupaten Kudus, sebelah selatan adalah Kabupaten Grobogan dan Kabupaten Blora, sebelah timur adalah Kabupaten Rembang. Luas wilayah Kabupaten Pati 150.386 ha yang terdiri dari 58.448 ha lahan sawah dan 91.920 ha lahan bukan sawah. Tanah bagian utara terdiri dari tanah Red Yellow, Latosol, Aluvial, Hidromer, dan Regosol. Tanah bagian selatan terdiri dari tanah Aluvial, Hidromer, dan Gromosol (BPS, 2007). Dari segi letaknya Kabupaten Pati merupakan daerah yang strategis di bidang ekonomi, sosial, budaya dan memiliki potensi sumber daya alam serta sumber daya manusia yang dapat dikembangkan dalam semua aspek kehidupan masyarakat seperti pertanian, peternakan, perikanan, perindustrian, pertambangan/ penggalian dan pariwisata (BPS, 2011).

Beternak merupakan mata pencaharian utama dan sampingan bagi warga masyarakat Kabupaten Pati. Jenis-jenis ternak yang berkembang dan dipelihara oleh masyarakat di Kabupeten Pati adalah sapi potong, sapi perah, kerbau, kambing, domba, ayam ras, dan ayam buras. Ternak ruminansia menjadi komoditas unggulan peternakan di Kabupaten Pati untuk memenuhi kebutuhan daging baik untuk wilayah Kabupaten Pati, maupun kebutuhan nasional. Selain itu, ternak ruminansia dinilai cocok sebagai hewan ternak sebagai usaha sampingan karena memiliki nilai jual yang tinggi sehingga lebih menguntungkan bagi peternak.

Hijauan pakan untuk ternak ruminansia dinilai lebih murah dan mudah didapat oleh peternak. Hijauan pakan ini diperoleh dari rumput lokal, leguminosa, bahkan dengan memanfaatkan limbah pertanian untuk memenuhi kebutuhan pakan ternak ruminansia. Hijauan makanan ternak ini diperoleh peternak disekitar lahan-lahan pertanian yang ada, atau bahkan peternak dengan sengaja menanamnya di lahan yang mereka miliki.

(2)

jawa (pantura). Salah satu kecamatan yang terletak di pesisir pantai adalah Kecamatan Batangan. Kecamatan Batangan memiliki 18 desa dan kelurahan yang beberapa diantaranya berada di pesisir pantai. Desa-desa tersebut adalah Batursari, Bulumulyo, Bumimulyo, Gajahkumpul, Gunungsari, Jembangan, Kedalon, Ketitangwetan, Kalyusiwalan, Kuniran, Lengkong, Mangunlegi, Ngening, Mangunlegi, Raci, Sukoagung, Tlogomojo dan Tompomulo (Godam, 2011).

Sebagai salah satu desa pesisir pantai di Kecamatan Batangan, Desa Mangunlegi memiliki warga dengan mata pencaharian beragam. Salah satu mata pencaharian yang mereka lakukan adalah beternak. Ternak yang mereka miliki juga beragam baik monogastrik, maupun ruminansia. Kebutuhan makanan ternak ruminansia yang dipelihara oleh warga didapat dari hijauan lokal yang berada di lingkungan sekitar. Oleh karena itu, wilayah pesisir pantai mempunyai potensi untuk menyediakan hijauan makanan ternak dan daya dukung bagi ternak. Selain itu, wilayah pesisir pantai memiliki keragaman hijauan pakan yang beragam dan tentunya jenis hijauannya akan berbeda dengan daerah non pesisir pantai.

Tujuan

(3)

TINJAUAN PUSTAKA

Potensi Wilayah

Menurut Natasamita dan Mudikdjo (1979), untuk memperhitungkan potensi suatu wilayah untuk pengembangan ternak secara teknik maka, perlu dilihat populasi ternak yang ada di wilayah tersebut dihubungkan dengan potensi makanan ternak yang dihasilkan oleh wilayah yang bersangkutan. Untuk memperhitungkan potensi wilayah untuk produksi ternak herbivora (pemakan hijauan) maka perhitungan kepadatan ternak teknis yang diperlukan adalah jumlah satuan ternak herbivora saja. Menghitung satuan ternak dari populasi ternak haruslah diketahui komposisi ternak herbivora tersebut menurut golongan umurnya. Semakin rendah angka kepadatan teknisnya maka berarti wilayah tersebut mempunyai potensi yang tinggi untuk pengembangan ternak herbivora.

Dari angka kepadatan teknis kita baru mendapatkan gambaran kasar tentang potensi suatu wilayah untuk pengembangan ternak, potensi yang sesungguhnya akan ditentukan oleh tingkat produksi hijauan makanan ternak di wilayah yang bersangkutan. Untuk memperhitungkan potensi yang sesungguhnya, maka hanya tanah-tanah yang potensial untuk menghasilkan hijauan makanan ternak yang diperhitungkan, misalnya tanah pertanian, perkebunan, dan kehutanan.

Disamping kepadatan teknis, dikenal pula kepadatan ekonomis. Angka kepadatan ternak ekonomis menggambarkan apakah suatu wilayah merupakan daerah produsen ataukah konsumen hijauan. Semakin tinggi nilai kepadatan ternak ekonomis, maka daerah tersebut akan lebih mengarah ke daerah konsumen hijauan.

Ternak Ruminansia

Sapi

(4)

Sapi Brahman merupakan bangsa sapi yang dibentuk di Amerika Serikat dari hasil persilangan empat bangsa sapi India, yaitu Nellore Ongole, Kankrey, Krishna Valley, dan Gir (Hardjosubroto dan Astuti, 1993). Menurut Ensminger (1991) ciri fisik sapi Brahman ditandai dengan adanya kelasa yang cukup besar melampaui bahu, kulit yang menggantung di bawah kerongkongan dan gelambir yang panjang, serta mempunyai kaki panjang dan telinga menggantung.

Bangsa-bangsa sapi yang sudah lama ada di Indonesia dan telah dianggap sebagai sapi lokal adalah sapi bali (termasuk Bos sondaicus), sapi ongole (termasuk Bos indicus) serta peranakan ongole, sapi madura, sapi jawa, sapi sumatra, dan sapi aceh yang semuanya dianggap sebagai keturunan sapi Bos sondaicus dan Bos indicus.

Domba

Domba merupakan salah satu jenis ternak yang sangat potensial untuk memenuhi kebutuhan protein hewani, mengingat daging domba dapat dengan mudah diterima oleh berbagai lapisan masyarakat dan agama khususnya di Indonesia. Menurut Blakely dan Bade (1991), domba dapat diklasifikasikan sebagai kingdom Animalia, filum Chordata, kelas Mamalia, ordo Artiodactyla, family Bovidae, genus Ovis, dan spesies Ovis aries.

Domba asli Indonesia disebut dengan bangsa domba lokal. Ternak domba lokal memiliki beberapa keunggulan dan nilai ekonomis yang beragam diantaranya: 1) daya adaptasi yang tinggi terhadap kondisi lingkungan (termasuk terhadap pakan yang berkualitas rendah), 2) menyukai hidup berkoloni sehingga memudahkan pengawasan, 3) memiliki kemampuan reproduksi yang relatif tinggi, 4) produk sampingan berupa kulit, bulu, tulang, dan kotoran ternak yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku industri (Abidin dan Sodiq, 2002).

Kambing

(5)

peternakan rakyat yang banyak dilakukan secara kecil – kecilan di daerah pedesaan dimana tingkat kehidupan sosial ekonomi peternak masih rendah. Susanto (1977) menjelaskan bahwa ternak kambing mempunyai arti yang penting terutama di Negara berkembang karena memiliki potensi untuk berkembang dalam waktu yang relatif pendek dan dengan biaya yang relatif murah.

Makanan adalah faktor yang penting untuk pertumbuhan karena dengan pemberian makanan yang bekualitas dan cukup maka berat badan ternak akan meningkatkan, begitu juga dengan kualitas karkasnya (Newman dan Snapp, 1969). Pakan kambing yang utama adalah hijauan yang terdiri dari rumput dan daun – daun. Apabila menginginkan produksi lebih baik sesuai dengan tujuan komersil disamping rumput dan daun – daun juga harus diberikan makanan penguat seperti dedak padi, dedak jagung, bungkil kelapa, dan lainya.

Pada umumnya peternak memelihara kambing secara tradisional sehingga mengakibatkan produktivitas kambing rendah. Menurut Handiwirawan et al (1996) rendahnya produktivitas kambing terutama berkaitan dengan rendahnya laju pertambahan bobot badan, panjangnya selang beranak, dan tingginya laju mortalitas.

Kambing kacang biasanya berwarna hitam, kadang-kadang ada beberapa bercak putih, tanduknya berbentuk pedang melengkung ke atas dan ke belakang. Umumnya telinga pendek dan tegak. Janggut selalu terdapat pada hewan jantan dan sangat jarang ditemui pada hewan betina. Persilangan kambing kacang mirip sekali dengan induknya yang kambing kacang, tetapi warna lebih beragam seperti warna hitam, coklat, atau putih atau campuran warna tersebut (Devendra dan Burns, 1983).

Menurut Hardjosubroto (1994) kambing PE atau peranakan etawa memiliki sifat antara kambing kacang dan kambing etawah, yaitu tubuh berukuran besar, muka cembung, daun telinga panjang, dan terkulai ke bawah. Di daerah belakang paha, ekor, dan dagu berbulu panjang. Tanduk pendek dan kecil serta rahang bawah lebih menonjol daripada rahang atasnya.

Pola Penyediaan Hijauan Pakan

(6)

penggembalaan. Cukup atau tidaknya makanan yang diperoleh di lapangan penggembalaan akan dicerminkan oleh kondisi badan sapi. Yang perlu diperhatikan ialah pada waktu musim kemarau, sehingga perlu memberikan makanan tambahan, mengurangi populasi sapi jika persediaan makanan tidak ada, garam atau mineral juga perlu diberikan, dan air minum harus tersedian di lapangan penggembalaan. Sedangkan sistem penggembalaan cut and carry memiliki arti makanan diaritkan dan diberikan di kandang. Baik jumlah maupun kualitas makanan perlu mendapat perhatian sesuai dengan fase fisiologis, bobot dan tujuan produksi.

Hijauan Pakan

Rumput

a. Cynodon dactylon L. Pers.

Kaffka (2009) menyatakan bahwa Cynodon dactylon L. Pers telah berhasil dibudidayakan di tanah yang salin di Califonia’s Central Valley dan dapat tumbuh meski mendapat irigasi berupa air yang salin dan dapat digunakan sebagai makanan ternak. Menurut Hameed dan Ashraf (2007) jumlah daun dan berat kering tanaman pada Cynodon dactylon L. Pers akan menurun beranding terbalik dengan peningkatan salinitas tanah. Menurut Sukla et al. (2011), Cynodon dactylon L. Pers. ditemukan di habitat yang beragam. Cynodon dactylon L. Pers. dapat tumbuh dengan baik pada tanah salin, mengindikasikan Cynodon dactylon L. Pers. toleransi terhadap cekaman garam.

b. Panicum repens L.

(7)

Kacangan

a. Gamal (Gliricidia sepium Jacq. Kunth ex Walp.)

Tanaman yang berasal dari Amerika Tengah ini, di Indonesia lebih dikenal dengan nama gamal. Daun gamal dapat digunakan sebagai hijauan makanan ternak yang memiliki kandungan nutrien yaitu protein kasar (PK) 24,7 %, neutral detergent fibre (NDF) 31, 8%, dan acid detergent fibre (ADF) 20,4%. Daun gamal memiliki zat antinutrisi berupa saponin, tanin, kumarin, dan asam fenolat (Duke, 1983).

b. Lamtoro (Leucaena leucocephala Lamk.)

Lamtoro dapat tumbuh pada daerah tropis dan subtropis. Lamtoro memiliki zat antinutrisi berupa mimosin. Apabila mimosin diberikan pada ruminansia dalam kadar yang tinggi dapat menjadi racun bagi mikroba rumen sehingga dapat pula menurunkan produksi asam amino (McDonald et al., 2002). Lamtoro mengandung PK 24, 3%, ADF 21,5%. NDF 31,8%, dan tannin 14,8 mg/g BK (Baba et al., 2002).

c. Kaliandra (Calliandra calothyrsus Meissn)

Palmer et al. (1995) menunjukan bahwa daun Calliandra calothyrsus memiliki nilai pakan yang tinggi untuk ternak, khususnya sebagai sumber protein. Kaliandra memenuhi kurang lebih 30% kebutuhan kambing, biri-biri, dan ternak lainnya. Ternak akan tumbuh lebih baik bila disuplementasi dengan kaliandra dibandingkan hanya diberi rumput. Tingkat suplementasi yang baik adalah 30% dari total ransum karena pemberian yang lebih tinggi akan merugikan.

Rumbah

(8)

Potensi Jerami Padi untuk Pakan Sapi

Menurut Natasamita dan Mudikdjo (1979) dengan memiliki persediaan jerami padi kering, peternak tidak perlu lagi mencari rumput atau membeli hijauan segar untu pakan sapi. Hampir semua limbah pertanian tanaman pangan dapat dimanfaatkan untuk bahan pakan sapi. Walaupun hampir semua limbah pertanian itu mengandung serat kasar tinggi, tapi dengan sentuhan teknologi sederhana limbah itu dapat diubah menjadi pakan bergizi dan sumber energy bagi ternak. Kandungan nutrisi jerami padi, diantaranya protein 4,5-5,5%, lemak 1,4-1,7%, serat kasar 31,5-46,5%, abu 19,9-22,9%, dan BETN 27,8-39,9%. Dengan demikian karakteristik jerami sebagai pakan ternak tergolong hijauan bermutu rendah. Selain kandungan nutrisinya yang rendah jerami padi juga termasuk pakan hijauan yang sulit dicerna karena kandungan serat kasarnya sangat tinggi. Daya cerna yang rendah itu terutaman disebabkan oleh struktur jaringan jerami yang sudah tua. Jaringan pada jerami telah mengalami proses lignifikasi. Selaian adanya proses lignifikasi, rendahnya daya cerna ternak terhadap jerami juga disebabkan oleh tingginya kandungan silikat.

Dengan rendahnya kandungan nutrisi jerami padi dan sulitnya daya cerna jerami maka pemanfaatan jerami padi sebagai pakan ternak ruminansia perlu diefektifkan. Salah satu caranya dengan penambahan suplemen agar kandunga nutrisinya dapat memenuhi kebutuhan hidup ternak secara lengkap sekaligus meningkatkan daya cerna pakan. Untuk meningkatkan daya cerna jerami padi sebagai pakan ruminansia diperlukan perlakuan khusus. Antara lain dengan perlakuan akali, urea, UMB (Urea Molases Blok) dan pakan tambahan.

Herbarium

(9)

taksonomi sekaligus berperan sebagai pusat penelitian dan pengajaran, juga pusat informasi bagi masyarakat umum (Balai Taman Nasional Baluran, 2004).

Salinitas

Kadar garam (salinitas) tanah dipengaruhi oleh kadar mineral garam-garaman dan dapat diukur dari konduktivitas listrik dari ekstrak tanah yang jenuh. Pertumbuhan tanaman akan terganggu jika konduktivitas listrik dari ekstrak tanah tersebut melebihi 4 desi Siemens per meter (4 dS/m). Untuk mencegah akumulasi konsentrasi garam yang berbahaya, dan mengurangi akumulasi kadar garam, dapat dilakukan dengan pemberian air secara berlebih. Kadar garam ini tercuci oleh air ke lapisan tanah bagian bawah dan ikut melalui aliran sungai (Wild, 1993).

(10)

MATERI DAN METODE

Tempat dan Waktu Pelaksanaan

Penelitian dilaksanakan di Desa Mangunlegi, Kecamatan Batangan, Kabupaten Pati pada bulan Desember 2011 – Febuari 2012. Desa Mangunlegi terletak antara 6º41’51,55”LS - 6º42’39,38”LS dan 111º12’53,56”BT - 111º14’6,96”BT. Lokasi penelitian Desa Mangunlegi dibagi menjadi 4 zona berdasarkan jarak dari pesisir pantai dan penggunaan lahan di Desa Mangunlegi. Zona pertama adalah zona pesisir pantai, zona kedua adalah zona tambak, zona ketiga adalah zona sawah tadah hujan dan zona keempat adalah zona pemukiman.  

  Sumber : Google Earth

Gambar 1. Lokasi Desa Mangunlegi

Materi

Materi penelitian adalah hijauan makanan ternak serta rumput lokal yang tumbuh di Desa Mangunlegi. Peralatan yang digunakan berupa kuadran berukuran 0.5m x 0.5m, counter, pisau, kantong plastik, alat tulis, alkohol 70%, kertas buram, label dan GPS device.

Metode

Identifikasi Rumput Lapang

(11)

Pembuatan herbarium basah yaitu dengan cara mengambil satu helai tiap jenis hijauan lalu disemprotkan alkohol 70% pada seluruh bagian tanaman, kemudian diletakkan pada kertas koran yang ditutup secara rapat, lalu diikat dengan tali. Seluruh data lapangan dalam spesimen koleksi dicatat.

Jenis dan Sumber Data

Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari responden peternak Desa Mangunlegi dan pegawai Dinas Peternakan Kecamatan Batangan melalui wawancara dan dengan menggunakan kuisioner. Pengumpulan data observasi dilakukan dengan mengadakan pengamatan langsung ke lapangan. Data sekunder diperoleh dari bahan tertulis atau pustaka yang dapat dipercaya dan berhubungan dengan penelitian berupa hasil penelitian dan data-data pendukung lainnya yang diperoleh dari instansi yang terkait seperti Kantor Desa Mangunlegi, Kantor Kecamatan, Dinas Peternakan Kabupaten Pati, dan Badan Pusat Statistik (BPS).

Analisis Data

Metode pengolahan data yang digunakan adalah analisis deskriptif, perhitungan komposisi botani metode “dry weight rank”, analisis Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia (KPPTR) metode Nell dan Rollinson (1974), analisis salinitas tanah, analisis Sistem Informasi Geografis dengan menggunakan software ArcGIS® 9, analisis kapasitas dan daya tampung zona tambak dengan pendekatan produksi bahan kering.

Analisis Komposisi Botani Rumput Lapang

Analisis komposisi botani yang dilakukan adalah analisisi metode “Dry Weight Rank” menurut Mannetje dan Haydock (1963). Metode ini digunakan untuk menduga komposisi botani padang rumput atas dasar bahan kering tanpa melakukan pemotongan dan pemisahan spesies hijauan.

(12)

Analisis Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia

Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia (KPPTR) berdasarkan metode Nell dan Rollinson (1974). Potensi penyediaan hijauan dari sumber-sumber tersebut dikonversikan terhadap potensi padang rumput alami seperti ditampilkan pada Tabel 1, kemudian dilakukan penghitungan potensi penyediaan hijauan berdasarkan satuan ternak (ST) sebagai berikut:

Tabel 1. Sumber Hijauan Makanan Ternak dan Nilai Konversi Kesetaraan

Sumber: Nell dan Rolinson 1974

1. Daya Dukung Lahan (KPPTR Maksimum) Rumus = P    

K   / 3  hari

Keterangan:

- Potensi hijauan pakan (BK) dengan satuan kg/tahun - Konsumsi ternak sebesar 6,29 kg BK/ST/hari - 365 hari=1 tahun

2. KPPTR Efektif (ST)= Daya Dukung (KPPTR Maksimum) – POPRIIL Keterangan:

- POPRIIL adalah populasi riil ternak ruminansia (ST) pada tahun tertentu.

Tabel 2. Perhitungan Satuan Ternak

Sapi Domba Kambing Kuda

Dewasa 1 0,14 0,16 0,8

Muda 0,6 0,07 0,08 0,4

Anak 0,25 0,04 0,04 0,2

Sumber: Nell dan Rolinson 1974

Sumber Hijauan Nilai konversi kesetaraan

(Sumber pembaku) Keterangan Padang rumput permanen (PRP)

(13)

Analisis Kadar Garam Tanah (Salinitas)

Tanah yang akan dilakukan analisis salinitas sebanyak 12 sampel. Sampel tanah berasal dari zona pantai, zona tambak, zona sawah, dan zona pemukiman dengan tiga ulangan. Analisis salinitas tanah dilakukan di Balai Penelitian Tanah Kementerian Pertanian, Bogor.

Analisis Kapasitas dan Daya Tampung Galengan Tambak

Besarnya kapasitas dan daya tampung yang dimiliki oleh galengan tambak, dihitung menggunakan analisis pendekatan kuantitatif dengan cara menghitung luas galengan tambak secara faktual di area penelitian. Pengambilan rumput dilakukan secara cuplikan dengan menggunakan kuadran berukuran 25 x 25 cm sebanyak 30 sampel. Rumput yang berhasil dikumpulkan dikeringkan dengan oven 70° selama 48 jam untuk memperoleh berat kering. Berat kering rata-rata tiap cuplikan dinyatakan dalam satuan gram/cm2, kemudian dikonversikan ke dalam satuan ton/ha. Nilai kapasitas secara faktual di lapangan diperoleh dari hasil rataan produksi dikalikan dengan luas galengan tambak di lokasi penelitian.

Analisis Potensi Wilayah

Analisis suatu wilayah untuk pengembangan daerah peternakan menurut Natasasmita dan Mudikdjo (1979) dapat dilakukan dengan dua jenis perhitungan yaitu kepadatan teknis dan kepadatan ekonomis.

1. Nilai kepadatan teknis dengan menggunakan rumus : Jumlah satuan ternak

km 2. Nilai kepadatan ekonomis dengan rumus :

(14)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum Wilayah Penelitian

Kecamatan Batangan adalah salah satu kecamatan yang berada di Kabupaten Pati. Kecamatan Batangan terletak sejauh dua puluh dua kilometer ke arah timur dari kota Pati. Di sebelah utara Kecamatan Batangan berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Rembang, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Jaken dan Jakenan, dan di sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Juwana.

Luas wilayah Kecamatan Batangan adalah 50,66 km2 dengan jumlah penduduk sebanyak 40.896 jiwa yang tersebar di delapan belas desa yaitu Desa Tlogomojo, Desa Sukoagung, Desa Bulumulyo, Desa Tompomulyo, Desa Kuniran, Desa Gunungsari, Desa Kedalon, Desa Klayusiwalan, Desa Ngening, Desa Raci, Desa Ketitangwetan, Desa Bumimulyo, Desa Jembangan, Desa Lengkong, Desa Mangunlegi, Desa Batursari, Desa Gajahkumpul dan Desa Pecangaan (BPS, 2011).

Kecamatan Batangan merupakan dataran rendah di pesisir pantai utara jawa (pantura) dengan ketinggian minimum dua meter dan ketinggian maksimum delapan belas meter dari permukaan laut. Jenis tanah di wilayah Kecamatan Batangan adalah tanah aluvial. Suhu maksimum di Kecamatan Batangan adalah 32°C dan suhu minimum 24°C. Kecamatan Batangan memiliki curah hujan sebanyak 847 mm/tahun dengan jumlah hari dengan curah hujan terbanyak selama 61 hari (BPS, 2011).

Kondisi Umum Desa Mangunlegi

Desa Mangunlegi merupakan salah satu desa di kecamatan batangan yang berada di pesisir pantai utara pulau jawa. Ketinggian rata-rata desa mangunlegi apabila diukur dari permukaan air laut adalah lima meter. Di sebelah utara, Desa Mangunlegi berbatasan dengan laut jawa. Di sebelah barat, berbatasan dengan Desa Lengkong. Di Sebelah selatan, berbatasan dengan Desa Batursari. Dan di sebelah timur, berbatasan dengan Desa Batursari dan Desa Pecangaan.

(15)

pemakaman, lapangan, hutan bakau, dan perkantoran pemerintahan. Hijaauan makanan ternak tumbuh secara alami seperti rumput maupun hijauan makanan ternak yang tumbuh secara buatan yang sengaja ditanam oleh warga di sekitar areal tersebut yang berpotensi untuk memasok kebutuhan ternak ruminansia yang dipelihara. Jenis penggunaan lahan di Desa Mangunlegi disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Jenis Penggunaan Lahan di Desa Mangunlegi

No Jenis Penggunaan Lahan Luas (Ha)

1. Tambak 167

2. Sawah (tadah hujan) 40,25

3. Tegalan/Ladang 28,56

4. Pemukiman 26,24

5. Hutan Bakau 3

6. Pemakaman 1,5

7. Lapangan 1,5

8. Perkantoran Pemerintahan 0,25

Sumber : Profil Desa Mangunlegi (2010)

Lokasi penelitian (Desa Mangunlegi) dibagi menjadi empat zona berdasarkan jarak dari pesisir pantai dan penggunaan lahan di desa mangunlegi. Zona yang pertama adalah zona pesisir pantai, dimana zona daratan yang terkena langsung air laut ketika pasang surut. Zona kedua adalah zona tambak. Zona ketiga adalah zona sawah tadah hujan dan zona keempat adalah zona pemukiman.

Kondisi Umum Peternakan Desa Mangunlegi

Populasi ternak Kecamatan Batangan dapat dilihat pada Tabel 4. Populasi ternak di Desa Mangunlegi didominasi oleh ternak ruminansia dan unggas. Ternak ruminansia yang banyak dipelihara oleh peternak setempat adalah sapi dan kambing, sedangkan ternak unggas yang dipelihara umumnya adalah ayam buras.

Menurut lurah desa mangunlegi, beternak merupakan mata pencaharian sampingan (sambilan) yang dilakukan oleh sebagian warga. Mata pencaharian utama sebagian besar warga desa mangunlegi adalah petani garam dan peternak ikan bandeng yang dilakukan di tambak yang mereka miliki.

(16)

seadanya yang didasarkan oleh pengetahuan dan pengalaman yang mereka miliki. Pemeliharaannya dilakukan secara intensif dimana ternak selalu berada di dalam kandang dan semi-intensif yakni dengan cara menggembalakannya pada siang hari dan mengkandangkannya pada sore hari. Sebagian besar penanganan penyakitnyapun dilakukan dengan pemberian resep obat tradisional pada ternak yang terserang penyakit.

Tabel 4. Populasi Ternak Kecamatan Batangan

No Desa Jenis Ternak

Sapi Kambing Domba Kuda Ayam Buras Itik

1 Tlogomojo 171 205 0 1 1785 172 Sumber : Dinas Pertanian, Kehutanan dan Peternakan Kecamatan Batangan

Jenis Ternak

(17)

lengkung ke atas dan ke belakang. Pada umumnya memiliki telinga pendek dan tegak (Devendra dan Burns, 1983). Kambing peranakan ettawa merupakan hasil persilangan antara kambing ettawa dari India dengan kambing kacang dari Indonesia. Kambing PE banyak dikembangkan di Indonesia terutama di daerah pedesaan Jawa Tengah, Jawa Timur dan Pesisir Utara Jawa Barat (Heriyadi, 2004). Jakaria et al. (2007) menggolongkan sapi pesisir ke dalam kelompok sapi Bos indicus. Menurut Natasasmita dan Mudikdjo (1979) bangsa sapi yang diklasifikasikan ke dalam Bos indicus adalah sapi Ongole, Brahman, Angkole, dan Boran.

Gambar 2. Ternak Ruminansia di Desa Mangunlegi. (a) kambing lokal (kacang); (b) sapi peranakan ongole (PO).

Sistem pemeliharaan

Pemeliharaan ternak ruminansia yang dilakukan oleh para peternak di Desa Mangunlegi yakni menggunakan dua sistem yakni intensif dan semi-intensif. Peternak yang menggunakan sistem intensif selalu menempatkan ternaknya di dalam kandang sepanjang hari dengan alasan keamanan. Peternak yang menggunakan sistem semi-intensif menggembalakan hewan ternak mereka pada siang hari dan menempatkannya di dalam kandang pada malam hari.

Zona tempat penggembalaan ternak berada di zona tambak (Gambar 3a), zona sawah (Gambar 3b), dan zona pemukiman. Pada zona tambak dan zona sawah, ternak dibiarkan mencari rumput sepanjang hari, diikat dengan menggunakan tali tambang pada sebuah pasak yang tertancap di tanah. Pada zona pemukiman, ternak digembalakan di sekitar rumah mereka untuk mencari rumput.

(18)

(a) (b) Gambar 3. Zona Pengembalaan Ternak. (a) Zona tambak, (b) zona sawah.

Pola penyediaan hijauan

Peternak di Desa Mangunlegi menerapkan sistem pemeliharaan intensif dan semi-intensif. Peternak yang menerapkan sistem pemeliharaan secara intensif, melakukan cara cut and carry dalam menyediakan hijauan pakan bagi ternaknya (Gambar 4). Menurut Natasasmita dan Mudikdjo (1979), sistem cut and carry adalah makanan diaritkan dan diberikan di kandang. Baik jumlah maupun kualitas makanan perlu mendapat perhatian sesuai dengan fase fisiologis, bobot dan tujuan produksi.

Peternak yang menerapkan sistem pemeliharaan semi-intensif, menggembalakan ternaknya pada siang hari dan mencari rumput untuk memenuhi kebutuhan ternak pada malam hari. Natasasmita dan Mudikdjo (1979) menyatakan bahwa penggembalaan berarti sebagian besar atau seluruh kebutuhan makanan diperoleh dari lapangan penggembalaan. Cukup atau tidaknya makanan yang diperoleh di lapangan penggembalaan akan dicerminkan oleh kondisi badan sapi.

(a) (b)

(19)

Peternak yang memelihara sapi selain memberi rumput potongan juga memberi pakan jerami padi kering kepada ternaknya. Peternak mengaku tidak mampu mencari rumput untuk memenuhi kebutuhan konsumsi BK sapi. Bahkan untuk peternak yang memiliki sapi lebih dari empat ekor, harus membeli jerami padi untuk konsumsi sapi yang dimiliki. Harga jerami padi yang dbeli peternak berkisar Rp 900.000,00 – Rp 1.200.000,00 per truk, tergantung kadar air jerami padi. Jerami yang mereka miliki, disimpan di lumbung jerami sebagai persediaan (Gambar 5). Menurut Sarwono dan Arianto (2003), dengan memiliki persediaan jerami padi kering, peternak tidak perlu lagi mencari rumput, namun jerami padi memiliki kandungan nutrisi rendah. Jerami padi juga termasuk pakan hijauan yang sulit dicerna, karena kandungan serat kasarnya yang tinggi. Hal ini disebabkan oleh struktur jaringan yang sudah tua, melalui proses lignifikasi.

Gambar 5. Lumbung Jerami

Pakan untuk ternak kambing biasanya diambil dari rumput dengan ditambah beberapa leguminosa atau yang disebut dengan ramban. Leguminosa tersebut antara lain adalah Leucaena leucocephala Lamk., atau dalam nama lokal disebut godhong petet, Pterocarpus indicus Willd. (godhong angsana), Gliricidia sepium Jacq. Kunth. ex Walp. (godhong kudo), Hibiscus macrophyllus Roxb. (godhong waru), Ruta angustifolia Pers. (godhong kelor). Ramban yang diambil oleh peternak adalah ramban yang disukai ternak.

(20)

Carum roxburghianum Benth., Chloris garbata L. Swartz., Cynodon dactylon L. Pers., Cyperus rotundus L., Echinochloa colona L., Eleusine indica L. Gaertn., Fimbristylis aphylla Steud., Ipomoea aquatica Forsk., Ipomoea obscura L., Leptochloa chinensis L. Ness., Panicum paludosum Roxb., Panicum repens L., Paspalidium flavidium Retz., Schizachfrium brevifolium Sw. Ness., Sphaeranthus indicus L., Xerochloa cheribon Steud. Ohwi.

Keanekaragaman dan Komposisi Botani Hijauan di Desa Mangunlegi

Identifikasi jenis hijauan yang terdapat di Desa Mangunlegi dengan menggunakan herbarium dan untuk menganalisis komposisi botani digunakan metode “Dry Weight Rank” menurut Mannetje dan Haydock (1963). Setiap zona penelitian dilakukan penghitungan komposisi botani untuk menentukan persentase tiap jenis hijauan yang ada.

Tabel 5. Komposisi Botani Zona Pantai

No. Nama Lokal Nama Latin % Jenis

1 Kodokan Panicum repens L. 45,46

2 Grinting Cynodon dactylon L. Pers. 42,42 3 Mbakonan Tambak Xerochloa cheribon Steud. Ohwi. 9,85 4 Abangan Tambak Andropogon sp. Herb. Linn. 2,27

Hijauan di zona pantai didominasi oleh rumput Pannicum repens L. yakni sebesar 45,46% (Tabel 5). Urutan kedua ditempati oleh rumput Cynodon dactylon L. Pers. dengan porsi 42,42%. Urutan ketiga dan keempat ditempati oleh Xerochloa cheribon Steud. Ohwi. dan Andropogon sp. Herb. Linn. Pier (1999) mengatakan bahwa Panicum repens L. tumbuh di tanah yang lembab seperti pada tanah pasir di sepanjang pantai, dipinggir laguna, danau, kolam dan sungai di daerah tropis dan subtropis di seluruh dunia. Panicum repens L. secara cepat berkembang menjadi monokultur di habitatnya menggeser kehadiran rumput yang lain. Secara spesifik, Panicum repens L. adalah rumput yang sangat kompetitif dalam penyerapan air dan dapat menurunkan produksi Cynodon dactylon L. Pers. hingga 40% dalam dua tahun.

(21)

merujuk ke Tabel 9. salinitas tanah di zona tambak mencapai 3020 ppm. Cynodon dactylon L. Pers dapat tumbuh dengan baik dan mendominasi komposisi botani rumput. Kaffka (2009) menyatakan bahwa Cynodon dactylon L. Pers telah berhasil dibudidayakan di tanah yang salin di Califonia’s Central Valley dan dapat tumbuh meski mendapat irigasi berupa air yang salin dan dapat digunakan sebagai makanan ternak.

Tabel 6. Komposisi Botani Zona Tambak

No Nama Lokal Nama Latin % Jenis

1 Grinting Cynodon dactylon L. Pers. 30,28 2 Kacang-kacangan Cardaminehirsuta L. 28,40 3 Gondan Arthraxon hispidus Makino. 12,76 4 Abangan Tambak Andropogon sp. Herb. Linn. 12,47 5 Platikan Carum roxburghianum Benth. 8,23 6 Cakar Ayam Borreria latifolia Schum. 3,02

7 Lawatan Ipomoea obscura L. 3,02

8 Mbakonan Tambak Xerochloa cheribon Steud. Ohwi. 1,81 Tabel 7. Komposisi Botani Zona Sawah

No Nama Lokal Nama Latin % Jenis

1 Grinting Cynodon dactylon L. Pers. 35,17

2 Suket Teki Cyperus rotundus L. 16,82

3 Abangan Sawah Leptochloa chinensis L. Nees. 10,76

4 Tuton Echinochloa colona L. 9,16

5 Senikan Andropogon bladii Retz. 8,67

6 Kremah/Urang Alternanthera philoxeroides Mart. Griseb.

6,71

7 Klapa-klapanan Sphaeranthus indicus L. 5,70

8 Kangkung Ipomoea aquatic Forsk. 4,12

9 Melikan Dawa Fimbristylis aphylla Steud. 2,89

(22)

membandingkan salinitas tanah zona penelitian (Tabel 9) zona sawah memiliki salinitas tanah yang lebih rendah apabila dibandingkan dengan zona pantai maupun zona tambak. Rumput Cynodon dactylon L. Pers tetap saja mendominasi baik di peringkat pertama maupun kedua tabel komposisi botani, namun ada dampak yang nyata pada produktivitasnya. Menurut Hameed dan Ashraf (2007) jumlah daun dan berat kering tanaman pada Cynodon dactylon L. Pers. akan menurun beranding terbalik dengan peningkatan salinitas tanah.

Tabel 8. Komposisi Botani Zona Pemukiman

No Nama Lokal Nama Latin % Jenis

1 Grinting Cynodon dactylon L. Pers. 23,60

2 Suket Teki Cyperus rotundus L. 22,62

3 Lulangan Eleusine indica L. Gaertn. 9,35

4 Kodokan Panicum repens L. 9,05

5 Melikan Cekak Bulbostylis warei Torr. 6,04 6 Abangan Sawah Leptochloa chinensis L. Nees 6,04

7 Sadaman Elephantopus scaber L. 3,92

8 Kangkung Ipomoea aquatic Forsk. 3,92

9 Melikan Dawa Fimbristylis aphylla Steud. 3,02 10 Juwawut Chloris garbata L. Swartz. 3,02 11 Mbakonan Pemukiman Schizachfrium brevifolium Sw. Nees. 3,02

12 - Panicum paludosum Roxb. 2,56

13 Klapa-klapanan Spaeranthus indicus L. 2,03

14 - Paspalidium flavidium Retz. 1,81

(23)

angin, tekanan, bunyi dan lainnya. Stres garam terjadi dengan terdapatnya salinitas atau konsentrasi garam-garam terlarut yang berlebihan dalam tanaman. Stres garam ini umumnya terjadi dalam tanaman pada tanah salin. Stres garam meningkat dengan meningkatnya konsentrasi garam hingga tingkat konsentrasi tertentu yang dapat mengakibatkan kematian tanaman.

Rumput Cynodon dactylon L. Pers. atau yang sering disebut oleh peternak sebagai suket grinting dapat tumbuh di semua zona rumput yang terdapat di Desa Mangunlegi. Berdasarkan Tabel 9. tempat zona tersebut memiliki salinitas yang berbeda. Besarnya salinitas tersebut meningkat apabila mendekati daerah pantai yang terkena air laut secara langsung. Hal ini menunjukkan bahwa rumput Cynodon dactylon L. Pers. dapat bertahan hidup di tanah yang salinitasnya hingga 3270 mg/l. Menurut Sukla et al. (2011), Cynodon dactylon L. Pers. ditemukan di habitat yang beragam. Cynodon dactylon L. Pers. dapat tumbuh dengan baik pada tanah salin, mengindikasikan Cynodon dactylon L. Pers. toleransi terhadap cekaman garam. Tabel 9. Salinitas Tanah Zona Penelitian

No Zona Luas (ha) Salinitas (ppm)

1 Pantai 4,57 3270,00

2 Tambak 167 3020,00

3 Sawah 40,25 1102,67

4 Pemukiman 26,24 337,00

(24)
(25)

Gambar 7. Hijauan Pakan di Desa Mangunlegi Alternanthera philoxeroides Mart.

Griseb.

Andropogon bladii Retz.

Andropogon sp. Herb. Linn. Arthraxon hispidus Makino.

Borreria latifolia Schum. Bulbostylis warei Torr.

(26)

Chloris barbata L. Swartz. Cynodon dactylon L. Pers.

Cyperus rotundus L. Echinochloa colona L.

Elephantopus scaber L. Eleusine indica L. Gaertn.

(27)

Ipomoea aquatic Forsk. Ipomoea obscura L.

Leptochloa chinensis L. Nees. Leucaena leucocepala Lamk.

Panicum paludosum Roxb. Fimbristylis aphylla Steud.

(28)

Pterocarpus indicus Willd. Ruta angustifolia Pers.

Schizachfrium brevifolium Sw. Nees. Sphaeranthus indicus L.

Xerochloa cheribon Steud. Ohwi.

Gambar 7. Jenis Hijauan Pakan di Desa Mangunlegi (lanjutan)

Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia (KPPTR)

(29)

Tabel 10. Analisis KPPTR Nell & Rollinson Kecamatan Batangan

8 Klayusiwalan 365,68 390,60 170,13 -195,55

9 Ngening 334,93 222,57 96,94 -237,99

10 Raci 114,71 51,60 22,48 -92,23

11 Ketitangwetan 127,38 41,88 18,24 -109,14

12 Bumimulyo 36,87 77,40 33,71 -3,16

Kec Batangan 4.338,90 4.635,94 2.019,26 -2.319,64 *) Lokasi penelitian

Kecamatan Batangan memiliki nilai KPPTR negatif (Tabel 10). Hal ini menunjukkan bahwa produksi hijauan makanan ternak (HMT) Kecamatan Batangan tidak mampu memenuhi kebutuhan ternak yang ada. Rumus dan perhitungan nilai Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia dapat dilihat pada lampiran 1 dan lampiran 2.

(30)

sebanyak 160,18 ST. Hal ini menunjukkan bahwa potensi hijauan di Desa Mangunlegi masih memenuhi kebutuhan untuk pakan ternak ruminansia. Selain untuk memenuhi kebutuhan pakan ternak untuk Desa Mangunlegi sendiri, hijauan makanan ternak yang tersedia dapat dijual keluar daerah untuk memenuhi kebutuhan makanan ternak di desa lain.

Meskipun di Desa Mangunlegi memiliki nilai KPPTR efektif yang positif, kebiasaan peternak yang suka mencari dan membeli jerami padi dari daerah lain tetap dilakukan. Hal ini disebabkan oleh peternak tidak sanggup memotong rumput selama seharian untuk memenuhi kebutuhan ternak. Kebanyakan peternak hanya mampu mencari rumput sebanyak tiga karung per hari. Selain itu, kebiasaan membeli jerami padi tetap dilakukan peternak karena produktivitas rumput lapang sangat fluktuatif. Produktivitas rumput lapang akan sangat menurun apabila musim kemarau, ditambah lagi area Desa Mangunlegi yang berada di pesisir pantai yang memiliki suhu maksimum mencapai 32ºC.

Potensi Hijauan Galengan Tambak

Analisis KPPTR menurut Nell dan Rollinson (1974) belum memasukkan perhitungan potensi galengan tambak sebagai penyedia hijauan. Akan tetapi, Desa Mangunlegi memiliki luas galengan tambak yang berpotensi sebagai penyedia hijauan makanan ternak. Peternak setempat memanfaatkan galengan tambak untuk menggembalakan ternak dan mencari rumput.

Desa Mangunlegi, memiliki luas tambak seluas 167 ha (data profil desa). Peternak di Desa Mangunlegi sering mencari rumput lapang di area galengan tambak. Selain itu, peternak juga menggembalakan kambing yang dimiliki di area galengan tambak. Hal ini menunjukkan tambak memiliki potensi sebagai penyedia hijauan makanan ternak.

Potensi hijauan yang ada di area galengan tambak diketahui berdasarkan persentase luasan galengan tambak dari luas tambak yang ada. Persentase rata-rata luas galengan 9,64% dari luas tambak secara keseluruhan (lampiran 9). Hal ini menunjukkan bahwa Desa Mangunlegi memiliki luas galengan tambak sebesar 16,10 ha.

(31)

untuk sekitar 41,96 ST. Jika dijumlahkan antara potensi galengan tambak dengan analisis KPPTR dengan metode Nell dan Rollinson (1974) maka nilai KPPTR efektif Desa Mangunlegi akan bertambah menjadi 202,14 ST (lampiran 10).

Persentase produksi hijauan di galengan tambak sebesar 39,89% dari padang rumput permanen. Nilai persentase tersebut dapat digunakan sebagai nilai koefisien produksi hijauan tambak dalam perhitungan potensi hijauan galengan tambak yakni sebesar 0,399 dari produksi hijauan padang rumput permanen.

Potensi Wilayah untuk Pengembangan Peternakan

Menurut Natasamita dan Mudikdjo (1979), untuk memperhitungkan potensi suatu wilayah untuk pengembangan ternak secara teknis maka, perlu dilihat populasi ternak yang ada di wilayah tersebut dihubungkan dengan potensi makanan ternak yang dihasilkan oleh wilayah yang bersangkutan. Selain perhitungan kepadatan teknis, dihitung pula kepadatan ekonomis.

Menurut Natasasmita dan Mudikdjo (1979) semakin rendah nilai kepadatan teknik suatu wilayah, maka wilayah tersebut semakin berpotensi untuk pengembangan peternakan ruminansia karena jumlah ternak tiap satuan wilayah penghasil hijauan masih sedikit. Apabila dilihat pada Tabel 11. maka desa yang memiliki nilai kepadatan teknik yang masih rendah adalah desa Sukoagung, Bumimulyo, dan Lengkong. Oleh karena itu, penambahan populasi ternak ruminansia masih memungkingkan apabila ditinjau dari aspek kepadatan teknik. Di Desa Pecangaan, memiliki nilai kepadatan teknik imajiner. Hal ini disebabkan oleh Desa Pecangaan tidak memiliki wilayah penghasil hijauan.

(32)

Tabel 11. Potensi Desa untuk Pengembangan Ternak Ruminansia Kec. Batangan

No Desa Jumlah Populasi Ternak (ST) 4 Tompomulyo 363,360 1,798 202,046 0,363

5 Kuniran 367,910 1,921 191,560 0,368

6 Gunungsari 452,400 1,604 282,010 0,452

7 Kedalon 746,270 2,311 322,991 0,746

8 Klayusiwalan 365,680 2,269 161,164 0,366

9 Ngening 334,930 1,316 254,603 0,335

10 Raci 114,710 0,349 328,682 0,115

11 Ketitangwetan 127,380 0,279 456,232 0,127 12 Bumimulyo 36,870 0,516 71,453 0,037 13 Jembangan 306,710 0,949 323,363 0,307

14 Lengkong 45,850 0,599 76,506 0,046

(33)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Hijauan makanan ternak pesisir pantai di Desa Mangunlegi berpotensi sebagai makanan ternak ruminansia. Rumput lokal, leguminosa, dan rumbah yang telah diidentifikasi sebanyak 30 jenis. Salah satunya adalah Cynodon dactylon L. Pers. yang mampu hidup dan mendominasi komposisi botani di keempat zona penelitian dengan tingkat salinitas yang berbeda. Selain itu, zona tambak (galengan tambak) memiliki potensi sebagai penyedia hijauan makanan ternak. Desa Mangunlegi juga berpotensi untuk pengembangan peternakan ruminansia karena memiliki nilai kepadatan ekonomik yang rendah (produsen hijauan).

Saran

(34)

POTENSI HIJAUAN LOKAL PESISIR PANTAI BAGI TERNAK

RUMINANSIA DI DESA MANGUNLEGI KECAMATAN

BATANGAN KABUPATEN PATI

SKRIPSI MOH ALI HAMDAN

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(35)

POTENSI HIJAUAN LOKAL PESISIR PANTAI BAGI TERNAK

RUMINANSIA DI DESA MANGUNLEGI KECAMATAN

BATANGAN KABUPATEN PATI

SKRIPSI MOH ALI HAMDAN

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(36)

RINGKASAN

MOH ALI HAMDAN. D24080378. Potensi Hijauan Lokal Pesisir Pantai bagi Ternak Ruminansia di Desa Mangunlegi Kecamatan Batangan Kabupaten. Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. 2012.

Pembimbing utama : Ir. M. Agus Setiana, MS Pembimbing anggota : Ir. Asep Tata Permana, M.Sc

Ternak ruminansia menjadi komoditas unggulan peternakan di Kabupaten Pati untuk memenuhi kebutuhan daging baik untuk wilayah Kabupaten Pati, maupun kebutuhan nasional. Hijauan pakan untuk ternak ruminansia dinilai lebih murah dan mudah didapat oleh peternak. Pesisir pantai adalah salah satu daerah potensial pemasok hijauan makanan ternak. Salah satu kecamatan yang terletak di pesisir pantai adalah Kecamatan Batangan. Kecamatan Batangan memiliki 18 desa dan kelurahan. Desa Mangunlegi merupakan salah satu desa dari 18 desa di Kecamatan Batangan yang berada di pesisir pantai. Ternak ruminansia di Desa Mangunlegi memanfaatkan hijauan lokal sebagai makanannya. Keanekaragaman jenis hijauan lokal menjadi faktor utama kebutuhan ternak akan bahan kering dan nutrisi terpenuhi. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi rumput lokal dan mengetahui potensi hijauan makanan ternak yang berada di wilayah pesisir pantai Desa Mangunlegi sebagai makanan ternak ruminansia.

Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Metode pengolahan data yang digunakan adalah analisis deskriptif, perhitungan komposisi botani metode “dry weight rank”, analisis Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia (KPPTR) metode Nell dan Rollinson (1974), analisis salinitas tanah, analisis Sistem Informasi Geografis dengan menggunakan software ArcGIS®9, analisis kapasitas dan daya tampung zona tambak dengan pendekatan produksi bahan kering.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa hijauan makanan ternak yang terdapat di Desa Mangunlegi berjumlah 30 jenis dengan hijauan utama yang banyak digunakan adalah Cynodon dactylon L. Pers., leguminosa Leucaena leucocephala LAMK. dan limbah jerami padi (Oriza sativa). Nilai KPPTR efektifnya sebesar 202,14 ST. Hal ini berarti bahwa penambahan ternak ruminansia dapat dilakukan hingga 202,14 ST. Selain itu, zona tambak memiliki potensi sebagai zona penyedia hijauan sebesar 39,89 % dari produksi hijauan padang rumput pemanen. Hal ini dapat disimpulkan bahwa Desa Mangunlegi memiliki potensi sebagai penyedia hijauan lokal bagi ternak ruminansia.

(37)

ABSTRACT

The Potency of Coastal Area’s Local Forage as Ruminant’s Feed in Mangunlegi Village, District of Batangan, Pati

M. A. Hamdan, M. A. Setiana, A.T. Permana

Coastal area has many grass species diversity which can be used as feed for ruminant livestock. The result of botanical composition analysis by “dry weight rank” method showed that the coastal zone was dominated by Panicum repens L. (45.46%), the embankment zone was dominated by Cynodon dactylon L. Pers. (30.28%), the rice-field zone was dominated by Cynodon dactylon L. Pers. (35.17%), and the residential zone was dominated by Cynodon dactylon L. Pers. (23.60%). The forage production in Mangunlegi village (except the embankment zone) was 793.64 ton of dry matter per year. This forage production could fulfill 345.68 livestock unit. However the forage production of embankment zone was 96.34 ton of dry matter per year. This forage production could fulfill 41.96 livestock unit. The value of increment capacity of ruminant livestock population (KPPTR) effectively showed that Mangunlegi village can hold the population up to 202.14 livestock units.

(38)

POTENSI HIJAUAN LOKAL PESISIR PANTAI BAGI TERNAK RUMINANSIA DI DESA MANGUNLEGI KECAMATAN

BATANGAN KABUPATEN PATI

MOH ALI HAMDAN

D24080378

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(39)

Judul : Potensi Hijauan Lokal Pesisir Pantai bagi Ternak Ruminansia di Desa Mangunlegi Kecamatan Batangan Kabupaten Pati

Nama : Moh Ali Hamdan

NIM : D24080378

Menyetujui,

Pembimbing Utama, Pembimbing Anggota,

(Ir. M. Agus Setiana, MS) (Ir. Asep Tata Permana, M.Sc) NIP. 19570824 198503 1 001 NIP. 19640302 199103 1 002

Mengetahui, Ketua Departemen

Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan

(Dr. Ir. Idat Galih Permana, MSc.Agr.) NIP. 19670506 199103 1 001

(40)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 21 Januari 1991 di Pati, Jawa Tengah. Penulis adalah anak kedua dari dua bersaudara dari pasangan bapak (Alm.) Asmudi dan ibu Sawiyah. Awal pendidikan dasar penulis ditempuh tahun 1996 di Sekolah Dasar Negeri 02 Langse dan diselesaikan tahun 2002. Pendidikan lanjutan tingkat pertama diawali tahun 2002 di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 3 Pati dan diselesaikan tahun 2005. Penulis melanjutkan jenjang pendidikan di Sekolah Menengah Atas Negeri 1

Pati tahun 2005 dan diselesaikan tahun 2008. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) di Fakultas Peternakan tahun 2008. Penulis memasuki masa perkuliahan di Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor tahun 2009.

(41)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Potensi Hijauan Lokal Pesisir Pantai bagi Ternak Ruminansia di Desa Mangunlegi Kecamatan

Batangan Kabupaten Pati. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Skripsi ini ditulis berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pada bulan Desember 2011 hingga Februari 2012 di Desa Mangunlegi Kecamatan Batangan Kabupaten Pati. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi rumput lokal dan mengetahui potensi hijauan lokal pesisir pantai Desa Mangunlegi sebagai makanan ternak ruminansia.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik untuk perbaikan. Penulis berharap penulisan skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan semua pihak yang membutuhkan serta dapat dijadikan informasi bagi pengembangan peternakan.

Bogor, September 2012

(42)
(43)

Materi ... 10 Metode ... 10 Identifikasi Rumput Lapang ... 10 Jenis dan Sumber Data ... 11 Analisis Data ... 11 Analisis Komposisi Botani Rumput Lapang ... 11 Analisi Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia ... 12 Analisis Kadar Garam Tanah (Salinitas) ... 13 Analisis Kapasitas dan Daya Tampung Galengan Tambak 13 Analisis Potensi Wilayah ... 13 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 14

Keadaan Umum Wilayah Penelitian ... 14 Kondisi Umum Desa Mangunlegi ... 14 Kondisi Umum Peternakan Desa Mangunlegi ... 15 Jenis Ternak ... 16 Sistem Pemeliharaan ... 17 Pola Penyediaan Hijauan ... 18 Keanekaragaman dan Komposisi Botani Hijauan di Desa

(44)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1 Sumber Hijauan Makanan Ternak dan Nilai Konversi

Kesetaraan ... 12 2 Perhitungan Satuan Ternak ... 12

(45)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

(46)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1 Konversi Hijauan melalui Pendekatan Potensi Lahan ... 40 2 Analisis Kapasitas Peningkatan Ternak Ruminansia ... 41 3 Hijauan Lokal Mangunlegi ... 42 4 Komposisi Botani Zona Pantai ... 43 5 Komposisi Botani Zona Tambak ... 44 6 Komposisi Botani Zona Sawah ... 45 7 Komposisi Botani Zona Pemukiman ... 46 8 Perhitungan Komposisi Botani Zona Sawah ... 47 9 Perhitungan Luas Galengan Tambak ... 48 10 Perhitungan Potensi Daerah Tambak sebagai Penyedia

Hijauan ... 49 11 Kuesioner Peternak ... 50

(47)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kabupaten Pati terletak di daerah pantai utara Pulau Jawa dan di bagian timur dari Propinsi Jawa Tengah. Batas wilayah sebelah utara adalah Kabupaten Jepara dan Laut Jawa, sebelah barat adalah Kabupaten Kudus, sebelah selatan adalah Kabupaten Grobogan dan Kabupaten Blora, sebelah timur adalah Kabupaten Rembang. Luas wilayah Kabupaten Pati 150.386 ha yang terdiri dari 58.448 ha lahan sawah dan 91.920 ha lahan bukan sawah. Tanah bagian utara terdiri dari tanah Red Yellow, Latosol, Aluvial, Hidromer, dan Regosol. Tanah bagian selatan terdiri dari tanah Aluvial, Hidromer, dan Gromosol (BPS, 2007). Dari segi letaknya Kabupaten Pati merupakan daerah yang strategis di bidang ekonomi, sosial, budaya dan memiliki potensi sumber daya alam serta sumber daya manusia yang dapat dikembangkan dalam semua aspek kehidupan masyarakat seperti pertanian, peternakan, perikanan, perindustrian, pertambangan/ penggalian dan pariwisata (BPS, 2011).

Beternak merupakan mata pencaharian utama dan sampingan bagi warga masyarakat Kabupaten Pati. Jenis-jenis ternak yang berkembang dan dipelihara oleh masyarakat di Kabupeten Pati adalah sapi potong, sapi perah, kerbau, kambing, domba, ayam ras, dan ayam buras. Ternak ruminansia menjadi komoditas unggulan peternakan di Kabupaten Pati untuk memenuhi kebutuhan daging baik untuk wilayah Kabupaten Pati, maupun kebutuhan nasional. Selain itu, ternak ruminansia dinilai cocok sebagai hewan ternak sebagai usaha sampingan karena memiliki nilai jual yang tinggi sehingga lebih menguntungkan bagi peternak.

Hijauan pakan untuk ternak ruminansia dinilai lebih murah dan mudah didapat oleh peternak. Hijauan pakan ini diperoleh dari rumput lokal, leguminosa, bahkan dengan memanfaatkan limbah pertanian untuk memenuhi kebutuhan pakan ternak ruminansia. Hijauan makanan ternak ini diperoleh peternak disekitar lahan-lahan pertanian yang ada, atau bahkan peternak dengan sengaja menanamnya di lahan yang mereka miliki.

(48)

jawa (pantura). Salah satu kecamatan yang terletak di pesisir pantai adalah Kecamatan Batangan. Kecamatan Batangan memiliki 18 desa dan kelurahan yang beberapa diantaranya berada di pesisir pantai. Desa-desa tersebut adalah Batursari, Bulumulyo, Bumimulyo, Gajahkumpul, Gunungsari, Jembangan, Kedalon, Ketitangwetan, Kalyusiwalan, Kuniran, Lengkong, Mangunlegi, Ngening, Mangunlegi, Raci, Sukoagung, Tlogomojo dan Tompomulo (Godam, 2011).

Sebagai salah satu desa pesisir pantai di Kecamatan Batangan, Desa Mangunlegi memiliki warga dengan mata pencaharian beragam. Salah satu mata pencaharian yang mereka lakukan adalah beternak. Ternak yang mereka miliki juga beragam baik monogastrik, maupun ruminansia. Kebutuhan makanan ternak ruminansia yang dipelihara oleh warga didapat dari hijauan lokal yang berada di lingkungan sekitar. Oleh karena itu, wilayah pesisir pantai mempunyai potensi untuk menyediakan hijauan makanan ternak dan daya dukung bagi ternak. Selain itu, wilayah pesisir pantai memiliki keragaman hijauan pakan yang beragam dan tentunya jenis hijauannya akan berbeda dengan daerah non pesisir pantai.

Tujuan

(49)

TINJAUAN PUSTAKA

Potensi Wilayah

Menurut Natasamita dan Mudikdjo (1979), untuk memperhitungkan potensi suatu wilayah untuk pengembangan ternak secara teknik maka, perlu dilihat populasi ternak yang ada di wilayah tersebut dihubungkan dengan potensi makanan ternak yang dihasilkan oleh wilayah yang bersangkutan. Untuk memperhitungkan potensi wilayah untuk produksi ternak herbivora (pemakan hijauan) maka perhitungan kepadatan ternak teknis yang diperlukan adalah jumlah satuan ternak herbivora saja. Menghitung satuan ternak dari populasi ternak haruslah diketahui komposisi ternak herbivora tersebut menurut golongan umurnya. Semakin rendah angka kepadatan teknisnya maka berarti wilayah tersebut mempunyai potensi yang tinggi untuk pengembangan ternak herbivora.

Dari angka kepadatan teknis kita baru mendapatkan gambaran kasar tentang potensi suatu wilayah untuk pengembangan ternak, potensi yang sesungguhnya akan ditentukan oleh tingkat produksi hijauan makanan ternak di wilayah yang bersangkutan. Untuk memperhitungkan potensi yang sesungguhnya, maka hanya tanah-tanah yang potensial untuk menghasilkan hijauan makanan ternak yang diperhitungkan, misalnya tanah pertanian, perkebunan, dan kehutanan.

Disamping kepadatan teknis, dikenal pula kepadatan ekonomis. Angka kepadatan ternak ekonomis menggambarkan apakah suatu wilayah merupakan daerah produsen ataukah konsumen hijauan. Semakin tinggi nilai kepadatan ternak ekonomis, maka daerah tersebut akan lebih mengarah ke daerah konsumen hijauan.

Ternak Ruminansia

Sapi

(50)

Sapi Brahman merupakan bangsa sapi yang dibentuk di Amerika Serikat dari hasil persilangan empat bangsa sapi India, yaitu Nellore Ongole, Kankrey, Krishna Valley, dan Gir (Hardjosubroto dan Astuti, 1993). Menurut Ensminger (1991) ciri fisik sapi Brahman ditandai dengan adanya kelasa yang cukup besar melampaui bahu, kulit yang menggantung di bawah kerongkongan dan gelambir yang panjang, serta mempunyai kaki panjang dan telinga menggantung.

Bangsa-bangsa sapi yang sudah lama ada di Indonesia dan telah dianggap sebagai sapi lokal adalah sapi bali (termasuk Bos sondaicus), sapi ongole (termasuk Bos indicus) serta peranakan ongole, sapi madura, sapi jawa, sapi sumatra, dan sapi aceh yang semuanya dianggap sebagai keturunan sapi Bos sondaicus dan Bos indicus.

Domba

Domba merupakan salah satu jenis ternak yang sangat potensial untuk memenuhi kebutuhan protein hewani, mengingat daging domba dapat dengan mudah diterima oleh berbagai lapisan masyarakat dan agama khususnya di Indonesia. Menurut Blakely dan Bade (1991), domba dapat diklasifikasikan sebagai kingdom Animalia, filum Chordata, kelas Mamalia, ordo Artiodactyla, family Bovidae, genus Ovis, dan spesies Ovis aries.

Domba asli Indonesia disebut dengan bangsa domba lokal. Ternak domba lokal memiliki beberapa keunggulan dan nilai ekonomis yang beragam diantaranya: 1) daya adaptasi yang tinggi terhadap kondisi lingkungan (termasuk terhadap pakan yang berkualitas rendah), 2) menyukai hidup berkoloni sehingga memudahkan pengawasan, 3) memiliki kemampuan reproduksi yang relatif tinggi, 4) produk sampingan berupa kulit, bulu, tulang, dan kotoran ternak yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku industri (Abidin dan Sodiq, 2002).

Kambing

(51)

peternakan rakyat yang banyak dilakukan secara kecil – kecilan di daerah pedesaan dimana tingkat kehidupan sosial ekonomi peternak masih rendah. Susanto (1977) menjelaskan bahwa ternak kambing mempunyai arti yang penting terutama di Negara berkembang karena memiliki potensi untuk berkembang dalam waktu yang relatif pendek dan dengan biaya yang relatif murah.

Makanan adalah faktor yang penting untuk pertumbuhan karena dengan pemberian makanan yang bekualitas dan cukup maka berat badan ternak akan meningkatkan, begitu juga dengan kualitas karkasnya (Newman dan Snapp, 1969). Pakan kambing yang utama adalah hijauan yang terdiri dari rumput dan daun – daun. Apabila menginginkan produksi lebih baik sesuai dengan tujuan komersil disamping rumput dan daun – daun juga harus diberikan makanan penguat seperti dedak padi, dedak jagung, bungkil kelapa, dan lainya.

Pada umumnya peternak memelihara kambing secara tradisional sehingga mengakibatkan produktivitas kambing rendah. Menurut Handiwirawan et al (1996) rendahnya produktivitas kambing terutama berkaitan dengan rendahnya laju pertambahan bobot badan, panjangnya selang beranak, dan tingginya laju mortalitas.

Kambing kacang biasanya berwarna hitam, kadang-kadang ada beberapa bercak putih, tanduknya berbentuk pedang melengkung ke atas dan ke belakang. Umumnya telinga pendek dan tegak. Janggut selalu terdapat pada hewan jantan dan sangat jarang ditemui pada hewan betina. Persilangan kambing kacang mirip sekali dengan induknya yang kambing kacang, tetapi warna lebih beragam seperti warna hitam, coklat, atau putih atau campuran warna tersebut (Devendra dan Burns, 1983).

Menurut Hardjosubroto (1994) kambing PE atau peranakan etawa memiliki sifat antara kambing kacang dan kambing etawah, yaitu tubuh berukuran besar, muka cembung, daun telinga panjang, dan terkulai ke bawah. Di daerah belakang paha, ekor, dan dagu berbulu panjang. Tanduk pendek dan kecil serta rahang bawah lebih menonjol daripada rahang atasnya.

Pola Penyediaan Hijauan Pakan

(52)

penggembalaan. Cukup atau tidaknya makanan yang diperoleh di lapangan penggembalaan akan dicerminkan oleh kondisi badan sapi. Yang perlu diperhatikan ialah pada waktu musim kemarau, sehingga perlu memberikan makanan tambahan, mengurangi populasi sapi jika persediaan makanan tidak ada, garam atau mineral juga perlu diberikan, dan air minum harus tersedian di lapangan penggembalaan. Sedangkan sistem penggembalaan cut and carry memiliki arti makanan diaritkan dan diberikan di kandang. Baik jumlah maupun kualitas makanan perlu mendapat perhatian sesuai dengan fase fisiologis, bobot dan tujuan produksi.

Hijauan Pakan

Rumput

a. Cynodon dactylon L. Pers.

Kaffka (2009) menyatakan bahwa Cynodon dactylon L. Pers telah berhasil dibudidayakan di tanah yang salin di Califonia’s Central Valley dan dapat tumbuh meski mendapat irigasi berupa air yang salin dan dapat digunakan sebagai makanan ternak. Menurut Hameed dan Ashraf (2007) jumlah daun dan berat kering tanaman pada Cynodon dactylon L. Pers akan menurun beranding terbalik dengan peningkatan salinitas tanah. Menurut Sukla et al. (2011), Cynodon dactylon L. Pers. ditemukan di habitat yang beragam. Cynodon dactylon L. Pers. dapat tumbuh dengan baik pada tanah salin, mengindikasikan Cynodon dactylon L. Pers. toleransi terhadap cekaman garam.

b. Panicum repens L.

(53)

Kacangan

a. Gamal (Gliricidia sepium Jacq. Kunth ex Walp.)

Tanaman yang berasal dari Amerika Tengah ini, di Indonesia lebih dikenal dengan nama gamal. Daun gamal dapat digunakan sebagai hijauan makanan ternak yang memiliki kandungan nutrien yaitu protein kasar (PK) 24,7 %, neutral detergent fibre (NDF) 31, 8%, dan acid detergent fibre (ADF) 20,4%. Daun gamal memiliki zat antinutrisi berupa saponin, tanin, kumarin, dan asam fenolat (Duke, 1983).

b. Lamtoro (Leucaena leucocephala Lamk.)

Lamtoro dapat tumbuh pada daerah tropis dan subtropis. Lamtoro memiliki zat antinutrisi berupa mimosin. Apabila mimosin diberikan pada ruminansia dalam kadar yang tinggi dapat menjadi racun bagi mikroba rumen sehingga dapat pula menurunkan produksi asam amino (McDonald et al., 2002). Lamtoro mengandung PK 24, 3%, ADF 21,5%. NDF 31,8%, dan tannin 14,8 mg/g BK (Baba et al., 2002).

c. Kaliandra (Calliandra calothyrsus Meissn)

Palmer et al. (1995) menunjukan bahwa daun Calliandra calothyrsus memiliki nilai pakan yang tinggi untuk ternak, khususnya sebagai sumber protein. Kaliandra memenuhi kurang lebih 30% kebutuhan kambing, biri-biri, dan ternak lainnya. Ternak akan tumbuh lebih baik bila disuplementasi dengan kaliandra dibandingkan hanya diberi rumput. Tingkat suplementasi yang baik adalah 30% dari total ransum karena pemberian yang lebih tinggi akan merugikan.

Rumbah

(54)

Potensi Jerami Padi untuk Pakan Sapi

Menurut Natasamita dan Mudikdjo (1979) dengan memiliki persediaan jerami padi kering, peternak tidak perlu lagi mencari rumput atau membeli hijauan segar untu pakan sapi. Hampir semua limbah pertanian tanaman pangan dapat dimanfaatkan untuk bahan pakan sapi. Walaupun hampir semua limbah pertanian itu mengandung serat kasar tinggi, tapi dengan sentuhan teknologi sederhana limbah itu dapat diubah menjadi pakan bergizi dan sumber energy bagi ternak. Kandungan nutrisi jerami padi, diantaranya protein 4,5-5,5%, lemak 1,4-1,7%, serat kasar 31,5-46,5%, abu 19,9-22,9%, dan BETN 27,8-39,9%. Dengan demikian karakteristik jerami sebagai pakan ternak tergolong hijauan bermutu rendah. Selain kandungan nutrisinya yang rendah jerami padi juga termasuk pakan hijauan yang sulit dicerna karena kandungan serat kasarnya sangat tinggi. Daya cerna yang rendah itu terutaman disebabkan oleh struktur jaringan jerami yang sudah tua. Jaringan pada jerami telah mengalami proses lignifikasi. Selaian adanya proses lignifikasi, rendahnya daya cerna ternak terhadap jerami juga disebabkan oleh tingginya kandungan silikat.

Dengan rendahnya kandungan nutrisi jerami padi dan sulitnya daya cerna jerami maka pemanfaatan jerami padi sebagai pakan ternak ruminansia perlu diefektifkan. Salah satu caranya dengan penambahan suplemen agar kandunga nutrisinya dapat memenuhi kebutuhan hidup ternak secara lengkap sekaligus meningkatkan daya cerna pakan. Untuk meningkatkan daya cerna jerami padi sebagai pakan ruminansia diperlukan perlakuan khusus. Antara lain dengan perlakuan akali, urea, UMB (Urea Molases Blok) dan pakan tambahan.

Herbarium

(55)

taksonomi sekaligus berperan sebagai pusat penelitian dan pengajaran, juga pusat informasi bagi masyarakat umum (Balai Taman Nasional Baluran, 2004).

Salinitas

Kadar garam (salinitas) tanah dipengaruhi oleh kadar mineral garam-garaman dan dapat diukur dari konduktivitas listrik dari ekstrak tanah yang jenuh. Pertumbuhan tanaman akan terganggu jika konduktivitas listrik dari ekstrak tanah tersebut melebihi 4 desi Siemens per meter (4 dS/m). Untuk mencegah akumulasi konsentrasi garam yang berbahaya, dan mengurangi akumulasi kadar garam, dapat dilakukan dengan pemberian air secara berlebih. Kadar garam ini tercuci oleh air ke lapisan tanah bagian bawah dan ikut melalui aliran sungai (Wild, 1993).

(56)

MATERI DAN METODE

Tempat dan Waktu Pelaksanaan

Penelitian dilaksanakan di Desa Mangunlegi, Kecamatan Batangan, Kabupaten Pati pada bulan Desember 2011 – Febuari 2012. Desa Mangunlegi terletak antara 6º41’51,55”LS - 6º42’39,38”LS dan 111º12’53,56”BT - 111º14’6,96”BT. Lokasi penelitian Desa Mangunlegi dibagi menjadi 4 zona berdasarkan jarak dari pesisir pantai dan penggunaan lahan di Desa Mangunlegi. Zona pertama adalah zona pesisir pantai, zona kedua adalah zona tambak, zona ketiga adalah zona sawah tadah hujan dan zona keempat adalah zona pemukiman.  

  Sumber : Google Earth

Gambar 1. Lokasi Desa Mangunlegi

Materi

Materi penelitian adalah hijauan makanan ternak serta rumput lokal yang tumbuh di Desa Mangunlegi. Peralatan yang digunakan berupa kuadran berukuran 0.5m x 0.5m, counter, pisau, kantong plastik, alat tulis, alkohol 70%, kertas buram, label dan GPS device.

Metode

Identifikasi Rumput Lapang

(57)

Pembuatan herbarium basah yaitu dengan cara mengambil satu helai tiap jenis hijauan lalu disemprotkan alkohol 70% pada seluruh bagian tanaman, kemudian diletakkan pada kertas koran yang ditutup secara rapat, lalu diikat dengan tali. Seluruh data lapangan dalam spesimen koleksi dicatat.

Jenis dan Sumber Data

Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari responden peternak Desa Mangunlegi dan pegawai Dinas Peternakan Kecamatan Batangan melalui wawancara dan dengan menggunakan kuisioner. Pengumpulan data observasi dilakukan dengan mengadakan pengamatan langsung ke lapangan. Data sekunder diperoleh dari bahan tertulis atau pustaka yang dapat dipercaya dan berhubungan dengan penelitian berupa hasil penelitian dan data-data pendukung lainnya yang diperoleh dari instansi yang terkait seperti Kantor Desa Mangunlegi, Kantor Kecamatan, Dinas Peternakan Kabupaten Pati, dan Badan Pusat Statistik (BPS).

Analisis Data

Metode pengolahan data yang digunakan adalah analisis deskriptif, perhitungan komposisi botani metode “dry weight rank”, analisis Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia (KPPTR) metode Nell dan Rollinson (1974), analisis salinitas tanah, analisis Sistem Informasi Geografis dengan menggunakan software ArcGIS® 9, analisis kapasitas dan daya tampung zona tambak dengan pendekatan produksi bahan kering.

Analisis Komposisi Botani Rumput Lapang

Analisis komposisi botani yang dilakukan adalah analisisi metode “Dry Weight Rank” menurut Mannetje dan Haydock (1963). Metode ini digunakan untuk menduga komposisi botani padang rumput atas dasar bahan kering tanpa melakukan pemotongan dan pemisahan spesies hijauan.

(58)

Analisis Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia

Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia (KPPTR) berdasarkan metode Nell dan Rollinson (1974). Potensi penyediaan hijauan dari sumber-sumber tersebut dikonversikan terhadap potensi padang rumput alami seperti ditampilkan pada Tabel 1, kemudian dilakukan penghitungan potensi penyediaan hijauan berdasarkan satuan ternak (ST) sebagai berikut:

Tabel 1. Sumber Hijauan Makanan Ternak dan Nilai Konversi Kesetaraan

Sumber: Nell dan Rolinson 1974

1. Daya Dukung Lahan (KPPTR Maksimum) Rumus = P    

K   / 3  hari

Keterangan:

- Potensi hijauan pakan (BK) dengan satuan kg/tahun - Konsumsi ternak sebesar 6,29 kg BK/ST/hari - 365 hari=1 tahun

2. KPPTR Efektif (ST)= Daya Dukung (KPPTR Maksimum) – POPRIIL Keterangan:

- POPRIIL adalah populasi riil ternak ruminansia (ST) pada tahun tertentu.

Tabel 2. Perhitungan Satuan Ternak

Sapi Domba Kambing Kuda

Dewasa 1 0,14 0,16 0,8

Muda 0,6 0,07 0,08 0,4

Anak 0,25 0,04 0,04 0,2

Sumber: Nell dan Rolinson 1974

Sumber Hijauan Nilai konversi kesetaraan

(Sumber pembaku) Keterangan Padang rumput permanen (PRP)

(59)

Analisis Kadar Garam Tanah (Salinitas)

Tanah yang akan dilakukan analisis salinitas sebanyak 12 sampel. Sampel tanah berasal dari zona pantai, zona tambak, zona sawah, dan zona pemukiman dengan tiga ulangan. Analisis salinitas tanah dilakukan di Balai Penelitian Tanah Kementerian Pertanian, Bogor.

Analisis Kapasitas dan Daya Tampung Galengan Tambak

Besarnya kapasitas dan daya tampung yang dimiliki oleh galengan tambak, dihitung menggunakan analisis pendekatan kuantitatif dengan cara menghitung luas galengan tambak secara faktual di area penelitian. Pengambilan rumput dilakukan secara cuplikan dengan menggunakan kuadran berukuran 25 x 25 cm sebanyak 30 sampel. Rumput yang berhasil dikumpulkan dikeringkan dengan oven 70° selama 48 jam untuk memperoleh berat kering. Berat kering rata-rata tiap cuplikan dinyatakan dalam satuan gram/cm2, kemudian dikonversikan ke dalam satuan ton/ha. Nilai kapasitas secara faktual di lapangan diperoleh dari hasil rataan produksi dikalikan dengan luas galengan tambak di lokasi penelitian.

Analisis Potensi Wilayah

Analisis suatu wilayah untuk pengembangan daerah peternakan menurut Natasasmita dan Mudikdjo (1979) dapat dilakukan dengan dua jenis perhitungan yaitu kepadatan teknis dan kepadatan ekonomis.

1. Nilai kepadatan teknis dengan menggunakan rumus : Jumlah satuan ternak

km 2. Nilai kepadatan ekonomis dengan rumus :

(60)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum Wilayah Penelitian

Kecamatan Batangan adalah salah satu kecamatan yang berada di Kabupaten Pati. Kecamatan Batangan terletak sejauh dua puluh dua kilometer ke arah timur dari kota Pati. Di sebelah utara Kecamatan Batangan berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Rembang, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Jaken dan Jakenan, dan di sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Juwana.

Luas wilayah Kecamatan Batangan adalah 50,66 km2 dengan jumlah penduduk sebanyak 40.896 jiwa yang tersebar di delapan belas desa yaitu Desa Tlogomojo, Desa Sukoagung, Desa Bulumulyo, Desa Tompomulyo, Desa Kuniran, Desa Gunungsari, Desa Kedalon, Desa Klayusiwalan, Desa Ngening, Desa Raci, Desa Ketitangwetan, Desa Bumimulyo, Desa Jembangan, Desa Lengkong, Desa Mangunlegi, Desa Batursari, Desa Gajahkumpul dan Desa Pecangaan (BPS, 2011).

Kecamatan Batangan merupakan dataran rendah di pesisir pantai utara jawa (pantura) dengan ketinggian minimum dua meter dan ketinggian maksimum delapan belas meter dari permukaan laut. Jenis tanah di wilayah Kecamatan Batangan adalah tanah aluvial. Suhu maksimum di Kecamatan Batangan adalah 32°C dan suhu minimum 24°C. Kecamatan Batangan memiliki curah hujan sebanyak 847 mm/tahun dengan jumlah hari dengan curah hujan terbanyak selama 61 hari (BPS, 2011).

Kondisi Umum Desa Mangunlegi

Desa Mangunlegi merupakan salah satu desa di kecamatan batangan yang berada di pesisir pantai utara pulau jawa. Ketinggian rata-rata desa mangunlegi apabila diukur dari permukaan air laut adalah lima meter. Di sebelah utara, Desa Mangunlegi berbatasan dengan laut jawa. Di sebelah barat, berbatasan dengan Desa Lengkong. Di Sebelah selatan, berbatasan dengan Desa Batursari. Dan di sebelah timur, berbatasan dengan Desa Batursari dan Desa Pecangaan.

Gambar

Gambar 1. Lokasi Desa Mangunlegi
Tabel 4. Populasi Ternak Kecamatan Batangan
Gambar 2.  Ternak Ruminansia di Desa Mangunlegi. (a) kambing lokal (kacang);
Gambar  3.  Zona Pengembalaan Ternak. (a) Zona tambak, (b) zona sawah.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dan tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh selebriti endorser (X 1 ) dan desain produk ( X 2 ) berpengaruh secara simultan dan secar parsial

companies that restated their earnings during the years 2000 or 2001, and an industry-size matched sample of control firms that did not restate their earnings over the two year

Pasien dengan tumor payudara yang besar atau kanker payudara lanjut dengan tumor 5cm atau lebih besar (T3), tumor mengenai kulit dan dinding dada (T4), kelenjar

Hal inilah yang mendorong peneliti untuk melakukan optimasi waktu reaksi dan konsentrasi ion hidroksida pada sintesis kalkon dan turunannya dengan bahan dasar benzaldehida,

Penulis mengajukan sebuah kasus longitudinal dengan diagnosis thalassemia dengan hemosiderosis, epilepsi, penyakit jantung rematik, gizi kurang, severely stunted , dan

3 Operator mengecek oli mesin 31,25 Kategori pekerjaan ringan, dengan karakteristik pekerjaan wajar/tingkat kesulitan ringan 4 Operator menghidupkan mesin 10,00 Kategori

Tahap dari penelitian tersebut adalah tahap analisis, menganalisis hal yang berhubungan dalam pelaksanaan pembangunan perangkat lunak, meliputi: (1) penentuan

Pemberian pupuk NPK berbagai dosis pada jabon merah dengan media campuran tanah PMK, kompos dan pasir dengan perbandingan 2:1:1 tidak berpengaruh pada pertambahan