KL
SINGKO
KAD
KAR
PROGR
DEPART
LASIFIKA
ONG
(Man
DAR PAT
RAWANG
RAM STU
TEMEN IL
INS
ASI KESE
nihot utilis
TI DAERA
G DALAM
BI
NURU
A
UDI MANA
LMU TAN
FAKULT
STITUT P
SUAIAN
ssima)
BER
ABSTRACT
The classification of cassava (Manihot utilissima) land suitability with the basis of
production and starch content in Bogor, Sukabumi, and Karawang for the
development of bioenergy resources. Nurul Hidayah A14061550. Under the
guidance of WIDIATMAKA, ATANG SUTANDI and MUHAMMAD HIKMAT
Cassava (tapioca or manioc) is an annual tropical and subtropical tree of Euphorbiaceae family. The easiness in planting cassava leads people attracted to plant it. Moreover, it contains starch that can be used as a basic substance in producing bioethanol and as one of the bioenergy sources. The quality of cassava used as bioenergy source can be observed from its tuber production and starch concentration. Therefore, a cassava growth requirements needs to be paid more attention in order to meet the maximum productivity. The determination of land suitability criteria was using withdrawal limit method or also known as Boundary Line Method. This research was conducted in Bogor, Karawang and Sukabumi by withdrawing datas in several places. Laboratory observations were also done to measure starch concentration and to analyze the soil. The study is based on the correlation between cassava production level and its starch concentration and land's quality elements which spread in specific pattern that is restricted by the outline. The limit of land suitability criteria classes for each evaluated land qualities could be made by creating projection from the intersection of the outline limit (boundary line) with production partition/bulkhead. The boundary limit for cassava production is obtained from the maximum imprint production value (75 tons/ha) which are S1/S2 60 tons/ha, S2/S3 45 tons/ha, S3/N 18,75 tons/ha. The boundary limit for starc cassava concentration from maximum imprint production value (7,29 ton/ha) are S1/S2 5,83 tons/ha, S2/S3 4,37 tons/ha, S3/N 1,82 tons/ha. That limit will be used to make cassava suitability criteria classes. The exploration study that are conducted once withdrawing data and determining limit based on boundary withdrawal could be used for land suitability criteria formation. Correlation pattern between land quality parameter and cassava production and its starch consentration that relatively the same, portrayed that there is interconnectedness between the cassava production and its starch concentration
RINGKASAN
Klasifikasi kesesuaian lahan tanaman singkong (Manihot utilissima) berbasis
produksi dan kadar pati daerah Bogor, Sukabumi, dan Karawang dalam rangka
pengembangan sumber bioenergi. Nurul Hidayah A14061550. Di bawah
bimbingan WIDIATMAKA, ATANG SUTANDI dan MUHAMMAD
HIKMAT
Singkong (ketela pohon atau ubi kayu) adalah pohon tahunan tropika dan subtropika dari keluarga Euphorbiaceae. Singkong merupakan umbi atau akar pohon yang memiliki diameter dan panjang yang beragam tergantung dari jenis singkong yang ditanam. Kemudahan dalam menanam singkong menjadi daya tarik masyarakat untuk menanam singkong. Selain itu, singkong mengandung pati yang dapat dijadikan sebagai bahan dasar pembuatan bioetanol dan salah satu sumber bioenergi. Kualitas tanaman singkong yang digunakan sebagai sumber bioenergi dapat dilihat dari produksi umbi dan kadar patinya. Oleh karena itu, syarat tumbuh singkong perlu lebih diperhatikan agar produktifitasnya maksimum.
Penelitian ini bertujuan untuk : (1) Mempelajari pola hubungan antara beberapa parameter kualitas lahan dengan produksi tanaman singkong dan kadar pati singkong. (2) Menetapkan kriteria kesesuaian lahan untuk beberapa parameter kualitas lahan yang berkaitan dengan produksi tanaman singkong dan kadar pati singkong di wilayah penelitian. Penetapan kriteria kesesuaian lahan ini menggunakan metode penarikan batas yang dikenal dengan Boundary Line Method. Penelitian ini dilaksanakan di Bogor, Karawang, dan Sukabumi dengan pengambilan data di beberapa titik. Pengamatan laboratorium dilakukan untuk pengukuran kadar pati dan analisis tanah.
Penelitian didasarkan pada hubungan tingkat produksi tanaman singkong dan kadar pati singkong dengan unsur kualitas lahan yang menyebar dengan pola tertentu yang dibatasi oleh garis luar. Batas kriteria kelas kesesuaian lahan untuk setiap kualitas lahan yang dievaluasi dapat dibuat dengan membuat proyeksi dari perpotongan garis batas luar (boundary line) dengan sekat produksi.
Batas sekat untuk produksi tanaman singkong dihasilkan dari nilai produksi teraan maksimum (75 ton/ha) yaitu S1/S2 60 ton/ha, S2/S3 45 ton/ha, S3/N 18,75 ton/ha. Sementara batas sekat untuk kadar pati singkong dari nilai kadar pati teraan maksimum (7,29 ton/ha) yaitu S1/S2 5,83 ton/ha, S2/S3 4,37 ton/ha, S3/N 1,82 ton/ha. Batas sekat tersebut akan digunakan untuk membuat kelas kriteria kesesuaian tanaman singkong.
KLASIFIKASI KESESUAIAN LAHAN TANAMAN SINGKONG (Manihot utilissima) BERBASIS PRODUKSI DAN KADAR PATI DAERAH BOGOR, SUKABUMI DAN KARAWANG DALAM RANGKA PENGEMBANGAN
BIOENERGI
Nurul Hidayah
A14061550
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian
Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
LEMBAR PENGESAHAN
Judul : Klasifikasi kesesuaian lahan tanaman singkong (Manihot utilissima)
berbasis produksi dan kadar pati daerah Bogor, Sukabumi, dan
Karawang dalam rangka pengembangan sumber bioenergi
Nama : Nurul Hidayah
NIM : A14061550
Menyetujui,
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. Ir. Widiatmaka, DAA Dr. Ir. Atang Sutandi, MSi
NIP. 19621201 198703 1 002 NIP. 19541212 198103 1 010
Pembimbing III
Ir. Muhammad Hikmat, MSi
NIP. 19690110 200112 1 001
Mengetahui,
Ketua Departemen,
Dr. Ir. Syaiful Anwar, MSc
NIP. 19621113 198703 1 003
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Sukabumi pada tanggal 13 September 1988. Penulis
adalah anak kedua dari dua bersaudara pasangan Bapak Dadin Syaripudin dan Ibu
Yeyet Kusmiati.
Penulis memulai masa sekolahnya pada tahun 1992 di TK Islam Al-Azhar
Sukabumi hingga tahun 1994. Penulis melanjutkan studinya di SD Islam Al-Azhar
Sukabumi dan selesai pada tahun 2000. Kemudian melanjutkan sekolah di Mts
Darul Arqam hingga tahun 2003 dilanjutkan sekolah di MA Darul Arqam hingga
tahun 2006. Selanjutnya penulis meneruskan pendidikan ke perguruan tinggi.
Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi
Masuk IPB (USMI).
Setelah menjalani masa Tingkat Persiapan Bersama, penulis diterima di
Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan. Selama masa perkuliahan
penulis aktif menjadi panitia di beberapa acara di Departemen Ilmu Tanah seperti
Seminar Nasional, Masa Perkenalan Departemen, dan Soilidarity. Selain di
kepanitiaan, penulis juga ikut berpartisipasi sebagai asisten praktikum mata
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah swt berkat rahmat, kasih
sayang, dan hidayahNya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Klasifikasi Kesesuaian Lahan Tanaman Singkong (Manihot utilissima) Berbasis
Produksi dan Kadar Pati Daerah Bogor, Sukabumi, dan Karawang Dalam rangka
Pengembangan Bioenergi” ini dengan baik. Ucapan terimakasih kepada para
dosen pembimbing Dr. Ir. Widiatmaka, DAA, Dr. Ir. Atang Sutandi, MSi dan Ir.
Muhammad Hikmat, MSi atas kesabaran, bimbingan dan segala saran sejak
dimulainya penelitian ini hingga skripsi selesai. Penelitian ini dibiayai melalui
Program Insentif Ristek TA 2010, dengan peneliti utama Dr. Ir. Widiatmaka,
DAA. Untuk itu, diucapkan terimakasih kepada Kementrian Negara Riset dan
Teknologi RI.
Pada kesempatan kali ini penulis juga ingin menyampaikan rasa
terimakasih sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak, ibu tercinta yang selalu mendukung baik materi maupun spirit,
yang tak henti berdoa untuk kelancaran penyusunan skripsi penulis.
2. Kakak tercinta Tia Agustiani yang selalu membantu dalam proses
pembuatan skripsi ini.
3. Ir. Hermanu Widjaya, MSc selaku dosen penguji yang telah memberikan
berbagai masukan.
4. Pak Halim yang tak henti memberikan masukan dan bantuan kepada
penulis dalam menyelesaikan skripsi.
5. Para dosen Ilmu tanah dan Sumberdaya Lahan yang telah memberikan
berbagai macam ilmu di bangku perkuliahan.
6. Kepada para pengurus lab yang bersedia berbagi ilmu dalam analisis.
7. Kepada keluarga besar tante dan om yang memberkan semangat tak henti.
8. Kepada Imam Ismail dan Aprianto T atas doa dan dukungannya selama
berlangsungnya penelitian ini.
9. Kepada sahabat-sahabat Rahmi, Anissa R, Miranty, Nailah, Mawar, Melly
dan Puti yang tak henti memberikan semangat.
10.Kepada para maleaers Izha, Dede, Ceu Reres, Ipeh, Aan, Nurul, dan Dina
11.Para rekan seperjuangan, mahasiswa Ilmu Tanah angkatan 43 anggota DR,
para Mpo-mpo, Ivong, Popy, Luluk, Laras, Mike, Ajang, Sony, Adi,
Sabda, dan lainnya yang tak dapat disebutkan satu persatu terimakasih
banyak.
Bogor, Februari 2011
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ... i
DAFTAR GAMBAR ... ii
DAFTAR LAMPIRAN ... iv
I. PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Tujuan ... 2
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 3
2.1 Taksonomi Tanaman Singkong (Manihot utilissima) ... 3
2.2 Syarat Tumbuh Singkong ... 4
2.2.1 Iklim ... 4
2.2.2 Media Tanam ... 4
2.2.3 Ketinggian Tempat ... 5
2.3 Singkong Sebagai Biodiesel ... 5
2.4 Pati Tanaman Singkong ... 6
2.5 Lahan ... 7
2.5.1 Karakteristik Lahan ... 8
2.5.2 Kualitas Lahan ... 8
2.5.3 Klasifikasi Lahan ... 8
2.5.4 Pengertian Kesesuaian Lahan ... 9
2.6 Boundary Line Methods ... 12
2.7 Metode Pembatasan Minimum ... 13
III.BAHAN DAN METODE ... 14
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 14
3.2 Bahan dan Alat ... 14
3.3 Pengambilan Sampel Tanah dan Umbi Singkong ... 14
3.5 Analisis Data untuk Penentuan Kelas Kesesuaian Lahan ... 15
3.5.1 Peneraan Umur untuk Produksi Singkong ... 15
3.5.2 Model Penarikan Batas Kriteria Kesesuaian Lahan ... 15
3.5.3 Perumusan Batas Kesesuaian Lahan ... 16
IV.KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN ... 17
4.1 Bogor ... 17
4.1.1 Formasi Geologi ... 17
4.1.2 Jenis Tanah ... 18
4.1.3 Kelas Lereng ... 19
4.1.4 Ketinggian ... 19
4.2 Sukabumi ... 25
4.2.1 Formasi Geologi ... 25
4.2.2 Jenis Tanah ... 26
4.2.3 Kelas Lereng ... 26
4.2.4 Ketinggian ... 27
4.3 Karawang ... 32
4.3.1 Formasi Geologi ... 32
4.3.2 Jenis Tanah ... 33
4.3.3 Kelas Lereng ... 33
4.3.4 Ketinggian ... 33
V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 38
5.1 Budidaya Singkong ... 38
5.2 Produksi Singkong Teraan ... 39
5.3 Produksi Pati Singkong Teraan ... 40
5.4.1 Hubungan Produksi Singkong dan Produksi Pati Singkong dengan
Elevasi ... 41
5.4.2 Hubungan Produksi Singkong dan Produksi Pati Singkong dengan Media Perakaran... 42
5.4.3 Hubungan Produksi Singkong dan Produksi Pati Singkong dengan Retensi Hara ... 44
5.4.4 Hubungan Produksi Singkong dan Produksi Pati Singkong dengan Kondisi Terrain ... 48
5.4.5 Hubungan Produksi Singkong dan Produksi Pati Singkong dengan Toksisitas ... 49
5.5 Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Singkong ... 51
5.7 Perbandingan Data Analisis Sampel Bogor Berdasarkan Kriteria Karakteristik Lahan dan Kriteria Produksi ... 54
VI.KESIMPULAN DAN SARAN ... 57
6.1. Kesimpulan ... 57
6.2. Saran ... 59
DAFTAR PUSTAKA ... 60
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
1. Nilai kalori berbagai tanaman penghasil karbohidrat ... 5
2. Potensi beberapa tanaman sebagai bahan baku etanol ... 6
3. Komposisi kimia singkong ... 7
4. Sekat produksi singkong untuk kelas kesesuaian lahan ... 40
5. Sekat produksi pati singkong untuk kelas kesesuaian lahan ... 41
6. Selang nilai elevasi untuk berbagai kelas kesesuaian lahan berdasarkan produksi singkong dan produksi pati singkong ... 42
7. Selang kadar liat untuk berbagai kelas kesesuaian lahan berdasarkan produksi singkong dan produksi pati singkong ... 43
8. Selang kadar pasir untuk berbagai kelas kesesuaian lahan berdasarkan produksi singkong dan produksi pati singkong ... 43
9. Selang kelas tekstur untuk berbagai kelas kesesuaian lahan berdasarkan produksi singkong dan produksi pati singkong ... 43
10. Selang nilai pH untuk berbagai kelas kesesuaian lahan berdasarkan produksi singkong dan produksi pati singkong ... 45
11. Selang nilai C-organik untuk berbagai kelas kesesuaian lahan berdasarkan produksi singkong dan produksi pati singkong ... 45
12. Selang nilai KTK untuk berbagai kelas kesesuaian lahan berdasarkan produksi singkong dan produksi pati singkong ... 46
13. Selang nilai KB untuk berbagai kelas kesesuaian lahan berdasarkan produksi singkong dan produksi pati singkong ... 46
14. Selang nilai kemiringan lereng untuk berbagai kelas kesesuaian lahan berdasarkan produksi singkong dan produksi pati singkong ... 48
15. Selang nilai Al-dd untuk berbagai kelas kesesuaian lahan berdasarkan produksi singkong dan produksi pati singkong ... 50
16. Kriteria klasifikasi kesesuaian lahan berbasis produksi singkong ... 51
17. Kriteria klasifikasi kesesuaian lahan berbasis broduksi pati singkong ... 52
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
1. Alur logik penyusunan kesesuaian lahan (FAO, 1976) ... 10
2. Peta sebaran titik pengamatan Bogor ... 20
3. Peta geologi Bogor ... 21
4. Peta tanah Bogor ... 22
5. Peta kelas lereng Kabupaten Bogor ... 23
6. Peta sebaran ketinggian Bogor ... 24
7. Peta sebaran titik pengamatan Sukabumi ... 28
8. Peta geologi Sukabumi ... 29
9. Peta tanah Sukabumi ... 30
10.Peta sebaran ketinggian Sukabumi... 31
11.Peta sebaran titik pengamatan Karawang ... 34
12.Peta geologi Karawang ... 35
13.Peta tanah Karawang ... 36
14.Peta sebaran ketinggian Karawang ... 37
15.Hubungan umur dengan produksi singkong ... 39
16.Hubungan umur dengan produksi pati singkong ... 40
17.Hubungan antara produksi singkong teraan dan produksi pati singkong teraan dengan elevasi ... 42
18.Hubungan antara produksi singkong teraan dan produksi pati singkong teraan dengan tekstur ... 44
19.Hubungan antara produksi singkong teraan dan produksi pati singkong teraan dengan pH H2O ... 47
20.Hubungan antara produksi singkong teraan dan produksi pati singkong teraan dengan C-orgnik ... 47
21.Hubungan antara produksi singkong teraan dan produksi pati singkong teraan dengan KTK ... 47
22.Hubungan antara produksi singkong teraan dan produksi pati singkong teraan dengan KB ... 48
23.Hubungan antara produksi singkong teraan dan produksi pati singkong teraan dengan kemiringan lereng ... 49
24.Hubungan antara produksi singkong teraan dan produksi pati singkong teraan dengan Al ... 50
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
1. Blanko pengamatan ... 63
2. Lokasi titik pengamatan Bogor ... 65
3. Tabel kondisi umum pada titik pengamatan Bogor ... 65
4. Lokasi titik pengamatan Sukabumi ... 66
5. Tabel kondisi umum pada titik pengamatan Sukabumi ... 66
6. Lokasi titik pengamatan Karawang ... 66
7. Tabel kondisi umum pada titik pengamatan Karawang ... 66
8. Data pengamatan lapang, tanah, dan data produksi teraan ... 67
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Berdasarkan Atlas Arahan Tata Ruang Pertanian Nasional
(Puslitbangtanak, 2001) Indonesia mempunyai wilayah daratan yang cukup luas
sekitar 188,2 juta ha, yang terdiri dari 148 juta ha lahan kering dan 40,2 juta ha
lahan basah. Wilayah Indonesia ini memiliki sifat tanah, fisiografi, elevasi, iklim,
dan lingkungan yang beragam serta tanahnya yang berasal dari berbagai macam
bahan induk. Oleh karena itu, Indonesia berpotensi untuk memproduksi berbagai
komoditas.
Salah satu komoditas yang sangat potensial untuk ditanam adalah
singkong atau yang dikenal sebagai ketela pohon. Menurut Suprapti (2005),
masyarakat Indonesia mengenal singkong sebagai bahan makanan pokok setelah
beras dan jagung. Singkong memiliki berbagai manfaat lain yaitu daunnya dapat
digunakan sebagai bahan sayuran, kayunya dapat digunakan sebagai kayu bakar,
dan umbinya dapat digunakan sebagai obat. Selain itu, umbi singkong merupakan
sumber pati yang cukup tinggi dan dapat dimanfaatkan sebagai bahan dasar
bioetanol (Kusumastuti, 2007).
Seiring dengan isu nasional mengenai alternatif BBM (Bahan Bakar
Minyak) maka energi alternatif yang dipilih adalah sumber-sumber terbarukan
dan ramah lingkungan, tetapi harganya relatif terjangkau. Salah satu sumber yang
memenuhi syarat tersebut adalah bahan tanaman (bio-fuel). Sumber bio-fuel yang
cukup potensial dikembangkan di Indonesia adalah singkong (Manihot
utilissima). Singkong dipilih karena masyarakat mengenal singkong sebagai
tanaman yang mudah untuk ditanam dimanapun, baik di lahan kritis maupun di
lahan subur. Selain itu, singkong merupakan tanaman yang sudah dikenal lama
oleh petani Indonesia walaupun bukan tanaman asli Indonesia. Singkong pertama
kali didatangkan oleh pemerintah kolonial Belanda pada awal abad ke-19 dari
Amerika Latin. Karena sudah dikenal lama oleh petani Indonesia, pengembangan
singkong untuk diolah menjadi bahan baku bioetanol tidak terlalu sulit. Indonesia
pada tahun 2005, produksi singkong Indonesia sebesar 19,5 juta ton (Yakinudin,
2010).
Kemudahan dalam menanam singkong mengakibatkan terjadinya demam
bertanam singkong tanpa perencanaan yang matang, baik dikalangan masyarakat
(termasuk swasta dan BUMN) maupun pemerintah. Sebagian besar masyarakat
beranggapan bahwa singkong adalah tanaman ”serba super” yang dapat ditanam
di mana saja dan seolah-olah tanpa memerlukan pemeliharaan. Karena itu tidak
mengherankan jika semua daerah memprogramkan pengembangan singkong. Di
satu sisi hal ini positif karena akan mempercepat tersedianya singkong sebagai
bahan baku industri bio-fuel, tetapi di sisi lain dapat menimbulkan kekecewaan
karena tingkat produktifitas yang diperhitungkan tidak tercapai akibat kesalahan
pemilihan lokasi. Perlu disadari bahwa tingkat produktifitas dipengaruhi oleh
potensi genetik, kondisi lingkungan, dan teknologi (manajemen) pengelolaan
tanaman. Untuk itu, dibutuhkan kriteria yang akurat untuk pemilihan lahan
penanaman singkong yang akan digunakan sebagai bioenergi yaitu dengan
penentuan kelas kesesuaian berbasis produksi dan kadar pati untuk tanaman
singkong.
1.2 Tujuan
1. Melihat pola hubungan antara beberapa parameter kualitas lahan dengan
produksi singkong.
2. Melihat pola hubungan antara beberapa parameter kualitas lahan dengan
produksi pati singkong.
3. Menghasilkan kriteria kesesuaian lahan pada beberapa parameter kualitas
lahan dan kaitannya dengan produksi singkong dan produksi pati
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Taksonomi Tanaman Singkong (Manihot utilissima)
Singkong (Manihot utilissima), termasuk dalam Kingdom Plantae atau
tumbuh-tumbuhan, Divisi Spermathophyta atau tumbuhan berbiji, Sub divisi
Angiospermae atau berbiji tertutup, Kelas Dicotyledoneae atau biji berkeping dua,
Ordo Euphorbiales, Family Euphorbiaceae, GenusManihot, dan SpesiesManihot
utilissima pohl dan Manihot esculenta Crantz sin.
Singkong merupakan tanaman pangan yang berasal dari benua Amerika
berupa perdu, memiliki nama lain ubi kayu, singkong, kasepe, dan dalam Bahasa
Inggris cassava. Singkong termasuk famili Euphorbiaceae yang umbinya
dimanfaatkan sebagai sumber karbohidrat dan daunnya dikonsumsi sebagai
sayuran. Di Indonesia, singkong menjadi bahan pangan pokok setelah beras dan
jagung (Lidiasari et al., 2006).
Singkong merupakan umbi atau akar pohon yang panjang dengan diameter
dan tinggi yang beragam tergantung dari varietas singkong yang ditanam. Daging
umbinya berwarna putih kekuning-kuningan. Umbi singkong tidak tahan
disimpan lama meskipun di dalam lemari pendingin. Gejala kerusakan ditandai
dengan keluarnya warna biru gelap akibat terbentuknya asam sianida yang bersifat
racun bagi manusia. Umbi singkong merupakan sumber energi yang kaya
karbohidrat, namun sangat miskin protein. Sumber protein terdapat pada daun
singkong karena mengandung asam amino dan metionin.
Singkong merupakan salah satu sumber pati. Pati merupakan senyawa
karbohidrat yang kompleks. Sebelum difermentasi, pati diubah menjadi glukosa,
karbohidrat yang lebih sederhana. Dalam penguraian pati diperlukan bantuan
cendawan Aspergillus sp. Cendawan ini akan menghasilkan enzim alfaamilase
dan glikoamilase yang akan berperan dalam mengurai pati menjadi glukosa atau
gula sederhana. Setelah menjadi gula baru difermentasi menjadi etanol
2.2 Syarat Tumbuh Singkong
Meningkatnya produktifitas tanaman singkong akan dipengaruhi oleh
beberapa aspek karakteristik lahan yang menjadi syarat tumbuh. Bappenas (2009)
mengeluarkan beberapa persyaratan tumbuh singkong berdasarkan iklim, media
tanam, dan ketinggian.
2.2.1 Iklim
Kondisi iklim yang menjadi syarat tumbuh singkong adalah :
a) Curah hujan antara 1.500-2.500 mm/tahun.
b) Suhu udara minimal sekitar 100C. Bila suhunya di bawah 100C
menyebabkan pertumbuhan tanaman sedikit terhambat, menjadi kerdil
karena pertumbuhan bunga yang kurang sempurna.
c) Kelembaban udara optimal antara 60-65%.
d) Sinar matahari yang dibutuhkan sekitar 10 jam/hari terutama untuk
kesuburan daun dan perkembangan umbinya.
2.2.2 Media Tanam
Media tanam yang menjadi syarat tumbuh singkong adalah :
a) Tanah yang paling sesuai adalah tanah yang berstruktur remah, gembur,
tidak terlalu liat dan tidak terlalu poros serta kaya bahan organik. Tanah
dengan struktur remah mempunyai tata udara yang baik, unsur hara lebih
mudah tersedia dan mudah diolah. Pertumbuhan tanaman ketela pohon
akan lebih baik dengan menggunakan tanah yang subur dan kaya bahan
organik baik unsur makro maupun mikronya.
b) Jenis tanah yang sesuai adalah jenis alluvial, latosol, podsolik merah
kuning, mediteran, grumusol dan andosol.
c) Derajat keasaman (pH) tanah yang sesuai berkisar antara 4,5-8,0 dengan
pH ideal 5,8. Pada umumnya tanah di Indonesia ber-pH rendah (asam),
yaitu berkisar 4,0-5,5, sehingga seringkali dikatakan cukup netral bagi
2.2.3 Ketinggian Tempat
Ketinggian tempat yang baik dan ideal untuk tanaman ketela pohon antara
10-700 mdpl, sedangkan toleransinya antara 10-1.500 mdpl. Jenis ketela pohon
tertentu dapat ditanam pada ketinggian tempat tertentu untuk dapat tumbuh
optimal.
2.3 Singkong Sebagai Biodiesel
Bioetanol merupakan hasil fermentasi dari tanaman yang mengandung
pati, gula dan serat selulosa. Beberapa tanaman yang berpotensi sebagai penghasil
etanol adalah aren dengan potensi produksi 40.000 liter per hektar per tahun,
jagung (6.000 liter), biji sorgum (4.000 liter) dan singkong (7.800 liter) (Fortuna,
2008).
Singkong merupakan tanaman pangan dan perdagangan (crash crop).
Sebagai tanaman perdagangan, singkong menghasilkan pati, gaplek, tepung
singkong, etanol, gula cair, sorbitol, tepung aromatik, dan pellet. Sebagai tanaman
pangan, singkong merupakan sumber karbohidrat bagi sekitar 500 juta manusia di
dunia. Singkong merupakan penghasil kalori terbesar dibandingkan dengan
tanaman lain perharinya. Data nilai kalori berbagai tanaman penghasil karbohidrat
disajikan pada Tabel 1 dan data potensi beberapa tanaman sebagai bahan baku
etanol disajikan pada Tabel 2.
Tabel 1. Nilai kalori berbagai tanaman penghasil karbohidrat No. Jenis Tanaman Nilai Kalori (kal/ha/hari)
1 Singkong 250 x 103
2 Jagung 200 x 103
3 Beras 176 x 103
4 Sorgum 114 x 103
Tabel 2. Potensi beberapa tanaman sebagai bahan baku etanol No. Jenis Tanaman Hasil Panen (ton/ha/tahun) Etanol (liter/ha/tahun)
1 Jagung 1-6 400-2.500
2 Singkong 10-50 2.000-7.000
3 Tebu 40-120 3.000-8.500
4 Ubi Jalar 10-40 1.200-5.000
5 Sorgum 3-12 1.500-5.000
6 Sorgum manis 20-60 2.000-6.000
7 Kentang 10-35 1.000-4.500
8 Bit 20-100 3.000-8.000
Tabel 2 menunjukkan bahwa singkong merupakan tanaman penghasil
etanol kedua setelah tebu. Hal ini menunjukkan bahwa singkong memiliki potensi
yang cukup bagus sebagai tanaman bahan baku etanol. Bit tidak dipertimbangkan
karena tidak dapat berproduksi optimal di Indonesia sehingga tidak ekonomis.
Keunggulan singkong dibanding tebu adalah masa panen singkong relatif lebih
singkat dan biaya produksi lebih murah. Singkong yang akan digunakan sebagai
bahan Fuel Grade Ethanol (FGE) disarankan memiliki kadar pati tinggi, potensi
hasil tinggi, tahan cekaman biotik dan abiotik, dan fleksibel dalam usaha tani dan
umur panen (Yakinudin, 2010).
2.4 Pati Tanaman Singkong
Pati merupakan karbohidrat berupa polisakarida yang terbentuk dari
tanaman hijau melalui proses fotosintesis. Untuk mengetahui kadar karbohidrat
dalam singkong, Tabel 3 menunjukkan komposisi kimia singkong. Bentuk pati
berupa kristal bergranula yang tidak larut dalam air pada temperatur ruangan. Pati
memiliki perbedaan bentuk dan ukuran granula tergantung pada jenis tanamannya.
Tabel 3 menunjukkan bahwa dalam singkong terdapat 34 gram
karbohidrat. Karbohidrat tersebut merupakan polisakarida yang berarti pati,
Tabel 3. Komposisi kimia singkong
Komponen Kadar /100 gram
Kalori 146 kal
Air 62,5 gram
Phospor 40 gram
Karbohidrat 34 gram
Kalsium 33 mg
Vitamin C 30 mg
Protein 1,2 gram
Besi 0,7 mg
Lemak 0,3 gram
Vitamin B1 0,06 mg
Berat yang dapat dimakan 75 mg
(Sumber : BSN, 1996)
Pati mengandung 10% air pada RH 54% dan 20oC. Pada umumnya pati
tersusun dari 25% amilosa dan 75% amilopektin. Amilosa merupakan polimer
berbentuk panjang dan lurus dan sedikit cabang (kurang dari 1%) (Nwokocha,
2008) dengan berat molekul 50.000-200.000 g/mol. Unit-unit glukosa terhubung
oleh ikatan α-1,4 pada molekul amilosa. Molekul amilosa berbentuk helix dan bersifat hidrofobik. Amilopektin memiliki bentuk yang bercabang dan memiliki
berat molekul 107-109 g/mol bergantung pada jenis tanamannya. Pati terbentuk
dari monomer-monomer glukosa.
Berdasarkan Wikipedia, amilosa merupakan polisakarida yang tersusun
dari glukosa sebagai monomernya. Tiap-tiap monomer terhubung dengan ikatan
1,6-glikosidik. Amilosa merupakan polimer tidak bercabang yang bersama-sama
dengan amilopektin menjadi komponen penyusun pati. Amilosa sebagai fraksi
pati yang larut dalam air, tetapi tidak larut dalam N-butanol atau pelarut organik
polar lainnya, tersusun dari rantai lurus D-glukosa yang berkaitan a -1,4 dengan
derajat polimerasi antara 100-400, berwarna biru tua dengan iodine. Amilosa
menyusun sekitar 20% dari pati serealia, tetapi hanya 1% dalam jagung dan
sorgum.
2.5 Lahan
Lahan merupakan bagian dari bentang alam yang mencakup pengertian
lingkungan fisik termasuk iklim, topografi, hidrologi, bahkan keadaan vegetasi
penggunaannya. Lahan dalam pengertian yang lebih luas termasuk yang sudah
dipengaruhi oleh berbagai aktifitas manusia ( FAO, 1976).
2.5.1 Karakteristik Lahan
Karakteristik lahan mencakup beberapa faktor yang dapat diukur atau
ditaksir, seperti lereng, curah hujan, tekstur tanah, air tersedia, dan sebagainya.
Sifat-sifat tersebut saling berinteraksi, karena itu apabila karakteristik lahan
digunakan secara langsung dalam evaluasi lahan maka akan menimbulkan
kesulitan. Untuk itulah diperlukan adanya perbandingan antara lahan dan
penggunaannya dalam pengertian kualitas lahan. Masing-masing kualitas lahan
mempunyai keragaman tertentu yang berpengaruh terhadap kesesuaian untuk
penggunaan tertentu. Setiap kualitas lahan dapat terdiri dari satu atau lebih
karakteristik lahan (FAO, 1976).
Penentuan karakteristik lahan yang berhubungan dengan tanah seperti
tekstur, kedalaman efektif, KTK, kejenuhan basa, reaksi tanah (pH), unsur hara
(N, P2O5, K2O). Sitorus (1985), mengemukakan bahwa karakteristik lahan pada
sistem penggunaan lahan jarang yang bersifat langsung. Contohnya, pertumbuhan
tanaman tidak secara langsung dipengaruhi oleh curah hujan atau tekstur tanah
tetapi dipengaruhi oleh ketersediaan air, dan unsur hara.
2.5.2 Kualitas Lahan
Kualitas lahan adalah sifat-sifat yang kompleks dari satuan lahan.
Masing-masing kualitas lahan mempunyai kondisi tertentu yang berpengaruh terhadap
kesesuaiannya bagi penggunaan tertentu. Kualitas lahan kadang-kadang dapat
diduga atau diukur secara langsung di lapang, tetapi pada umumnya ditetapkan
dari pengertian karakteristik lahan. Kualitas lahan menunjukkan sifat-sifat lahan
yang mempunyai pengaruh nyata terhadap kesesuaian lahan untuk penggunaan
tertentu. Satu jenis kualitas lahan dapat disebabkan oleh beberapa karakteristik
lahan (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007).
2.5.3 Klasifikasi Lahan
Klasifikasi lahan adalah pengaturan satuan-satuan lahan ke dalam berbagai
penggunaan (Sitorus, 1985). Dalam klasifikasi lahan diperlukan faktor-faktor
yang berhubungan dengan sifat-sifat lahan secara umum. Sifat-sifat lahan ini
dibedakan antara karakteristik lahan dan kualitas lahan (FAO, 1976)
2.5.4 Pengertian Kesesuaian Lahan
Kesesuaian lahan adalah tingkat kecocokan suatu bidang lahan untuk
penggunaan tertentu. Kesesuaian lahan tersebut dapat dinilai untuk kondisi saat
ini (present) atau setelah diadakan perbaikan (improvement). Lebih spesifik lagi
kesesuaian lahan tersebut ditinjau dari sifat-sifat fisik lingkungannya, yang terdiri
atas iklim, tanah, topografi, hidrologi dan/atau drainase sesuai untuk usaha tani
atau komoditas yang produktif (Djaenudin et al., 2003).
Kesesuaian lahan terbagi menjadi dua, yaitu kesesuaian lahan aktual dan
kesesuaian lahan potensial (Hardjowigeno, 1994). Kesesuaian lahan aktual
merupakan kesesuaian lahan menurut kondisi yang ada saat ini atau kondisi lahan
sekarang, belum mempertimbangkan masukan yang diperlukan untuk mengatasi
faktor pembatas yang ada. Faktor pembatas tersebut ada yang bersifat permanen
dan tidak memungkinkan atau tidak ekonomis untuk diperbaiki, serta ada faktor
pembatas yang dapat diatasi atau diperbaiki dan secara ekonomis masih
menguntungkan. Kesesuaian lahan potensial menggambarkan keadaan lahan yang
dicapai apabila dilakukan usaha-usaha perbaikan. Usaha perbaikan yang
dilakukan harus sejalan dengan tingkat penilaian kesesuaian lahan yang akan
dilaksanakan. Dalam pelaksanaannya perlu dirinci faktor-faktor ekonomi yang
disertakan dalam menduga biaya yang diperlukan untuk perbaikan-perbaikan
tersebut. Alur logik penilaian kesesuaian lahan (FAO, 1976) disajikan pada
Gambar 1. Alur logik penyusunan kesesuaian lahan (FAO, 1976)
Penilaian kesesuaian lahan dapat dilakukan dengan menggunakan hukum
minimum yaitu membandingkan antara kualitas lahan dan karakteristik lahan
sebagai parameter dengan kriteria kelas kesesuaian lahan yang telah disusun
berdasarkan persyaratan penggunaan lahan atau persyaratan tumbuh tanaman.
Struktur klasifikasi kesesuaian lahan menurut FAO (1976) terdiri dari empat
kategori, yaitu:
1. Kesesuaian lahan pada tingkat ordo menunjukkan apakah suatu lahan
sesuai atau tidak untuk penggunaan tertentu. Dikenal dua ordo, yaitu:
Ordo S (sesuai): lahan yang termasuk ordo ini adalah lahan yang
dapat digunakan dalam jangka waktu yang tidak terbatas untuk
suatu tujuan yang telah dipertimbangkan. Keuntungan dari hasil
pengelolaan lahan itu akan memuaskan setelah dihitung dengan
BMG/GIS Survai Tanah Penelitian Dasar
Kualitas Lahan Data
“matching”
Data Persyaratan Agro-ekologi
Tanaman
Kendala Agro-Kesesuaian Aktual/fisik
Kesesuaian Lahan Potensial pada Tingkat
Manajemen Produksi
masukan yang diberikan, tanpa atau sedikit resiko kerusakan
terhadap sumberdaya lahannya.
Ordo N (tidak sesuai): lahan yang termasuk ordo ini adalah lahan
yang mempunyai kesulitan sedemikian rupa, sehingga mencegah
penggunaannya untuk suatu tujuan yang telah direncanakan. Lahan
dapat digolongkan sebagai lahan tidak sesuai digunakan bagi suatu
usaha pertanian karena berbagai penghambat, baik secara fisik
(lereng yang sangat curam) atau secara ekonomi (keuntungan yang
didapat lebih kecil dari biaya yang dikeluarkan).
2. Kesesuaian lahan pada tingkat kelas menunjukkan kesesuaian dari
ordo dan pembagian lebih lanjut dari ordo tersebut. Banyaknya kelas
dibagi dalam tiga kelas ordo S dan dua kelas dalam ordo N, yaitu:
Kelas S1: Sangat sesuai, artinya lahan tidak mempunyai pembatas yang besar untuk pengelolaan yang diberikan, atau hanya
mempunyai pembatas yang tidak secara nyata berpengaruh
terhadap produksi dan tidak akan menaikkan masukan yang telah
biasa diberikan.
Kelas S2: Cukup sesuai, artinya lahan mempunyai pembatas-pembatas yang agak besar untuk mempertahankan tingkat
pengelolaan yang harus diterapkan. Pembatas akan mengurangi
produk atau keuntungan dan meningkatkan masukan yang
diperlukan.
Kelas S3: Sesuai marjinal, artinya lahan mempunyai
pembatas-pembatas yang besar untuk mempertahankan tingkat pengelolaan
yang harus diterapkan. Pembatas akan mengurangi produksi dan
keuntungan atau lebih meningkatkan masukan yang diperlukan.
Kelas N1: Tidak sesuai pada saat ini, artinya lahan mempunyai
pembatas yang lebih besar, tetapi masih memungkinkan untuk
diatasi dengan modal yang lebih besar dan tidak bisa diperbaiki
dengan modal normal. Keadaan pembatas sedemikian besarnya,
sehingga mencegah penggunaan lahan yang lestari dalam jangka
Kelas N2: Tidak sesuai untuk selamanya, artinya lahan mempunyai pembatas permanen yang mencegah segala kemungkinan
penggunaan lahan yang lestari dalam jangka panjang.
3. Kesesuaian lahan pada tingkat sub-kelas menunjukkan jenis pembatas
atau macam perbaikan yang harus dijalankan dalam masing-masing
kelas. Setiap kelas dapat terdiri dari satu atau lebih sub-kelas,
tergantung dari jenis pembatas yang ada. Jenis pembatas yang ada ini
ditunjukkan dengan simbol huruf kecil yang ditempatkan setelah
simbol kelas. Contohnya kelas S2 yang mempunyai pembatas
kejenuhan basa (n) menjadi sub-kelas S2n. Dalam satu sub-kelas
dapat mempunyai satu atau lebih simbol pembatas, dimana pembatas
yang paling dominan ditulis paling depan.
4. Kesesuaian lahan pada tingkat unit menunjukkan
perbedaan-perbedaan besarnya faktor penghambat yang berpengaruh dalam
pengelolaan suatu sub-kelas. Pemberian simbol dalam tingkat unit
dilakukan dengan penambahan angka-angka yang dipisahkan oleh
strip dari simbol kelas, contohnya S3r-2. Unit dalam satu
sub-kelas jumlahnya tidak terbatas.
2.6 Boundary Line Methods
Boundary line methods adalah metode penarikan batas, dimana garis
pembungkus dari diagram sebar menunjukkan hubungan antara produksi dan
kualitas lahan. Garis tersebut membatasi data aktual lapang, sehingga sangat kecil
peluangnya akan ditemukan data di luar garis tersebut. Garis batas ini
menggambarkan hasil yang dapat terjadi pada produksi optimum dengan
faktor-faktor pertumbuhan tertentu dan dapat digunakan untuk menetapkan kualitas
lahan yang sesuai untuk mendapatkan produksi yang optimum. Diagram sebaran
hasil yang direncanakan untuk mengatasi faktor pertumbuhan tanaman umumnya
mencapai puncak pada tingkat optimum dari faktor pertumbuhan tertentu, dimana
garis pembatas memisahkan data dari situasi nyata dan tidak nyata. Penggambaran
seperti ini sangat bermanfaat dalam mendiagnosa kemungkinan perolehan
produksi maksimum yang konsisten dengan nilai apapun dari faktor pertumbuhan
2.7 Metode Pembatasan Minimum
Keseluruhan sifat fisik yang sesuai dari area lahan untuk tipe penggunaan
lahan diambil dari yang paling membatasi kualitas lahan, yaitu kualitas lahan yang
nilainya paling buruk. Metode ini memiliki keuntungan yaitu sederhana. Mengacu
pada Hukum Minimum (Law of the minimum) Liebig bahwa jika tingkat
kualitas-kualitas lahan tergambar menurut suatu standar satuan pengurangan hasil dan
faktor-faktor hasil ini tidak saling berhubungan (Alvyanto, 2010), maka dengan
metoda ini akan diperoleh kelas yang sesuai. Praktek FAO secara umum, S1
sesuai untuk 80-100% dari hasil yang optimum, S2 pada 60-80%, dan S3/N pada
25-60%. Tetapi beberapa faktor fisik tidak mempengaruhi hasil, mereka hanya
membuat pengelolaan menjadi lebih sulit. Kerugiannya adalah metoda ini tidak
membedakan antara area lahan dengan beberapa pembatas dan hanya memiliki
satu pembatas, selama pembatas maksimum sama (FAO, 1976 dalam Rossiter,
III. BAHAN DAN METODE
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di lapang yaitu di Bogor, Karawang, dan
Sukabumi. Pengamatan kadar pati dilakukan di Laboratorium BPTP Cimanggu
Bogor. Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Mei 2010 sampai September 2010.
3.2 Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah singkong (Manihot
utilissima). Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah dengan
pengamatan lapang dan laboratorium. Proses pengamatan lapang dilakukan pada
singkong siap panen dengan mengamati ciri morfologi tanaman dan menimbang
hasil produksi. Pengamatan yang dilakukan di laboratorium adalah uji kadar pati.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah beberapa alat lapang, seperti bor,
cangkul, munsell, abney level, timbangan, dan plastik. Bahan lain yang digunakan
adalah peta dasar lokasi Bogor, Karawang dan Sukabumi dan diolah
menggunakan program Arcview dan Microsoft Excel pada komputer.
3.3 Pengambilan Sampel Tanah dan Umbi Singkong
Pengambilan sampel tanah dilakukan secara komposit pada setiap titik
lokasi. Pengambilan tanah secara komposit dimaksudkan untuk mewakili jenis
tanah di titik tersebut. Sampel tanah ini kemudian dianalisis di laboratorium untuk
penetapan pH H2O, C-organik, N, KTK, KB, K, P, Al, dan tekstur tanah.
Pengambilan sampel umbi dilakukan secara acak. Sampel umbi ini kemudian
dianalisis di laboratorium untuk analisis kadar pati.
3.4 Metode Analisis
Umbi yang akan dianalisis laboratorium terlebih dahulu dijadikan tepung.
Langkah yang dilakukan dalam pembuatan tepung adalah dengan pemotongan
singkong secara tipis, pengeringan dengan oven pada suhu 900C, dan kemudian
digiling menjadi tepung. Umbi yang telah berbentuk tepung kemudian dianalisis
kadar pati dengan menggunakan metode spektro. Data lapang dan data
3.5 Analisis Data untuk Penentuan Kelas Kesesuaian Lahan
Data-data yang sudah diperoleh selanjutnya akan dianalisis untuk
menentukan kelompok kelas kesesuaian lahan. Kelas kesesuaian lahan akan
disusun dari berbagai kriteria yang diamati dilapang dan juga dari konsep kriteria
kesesuaian lahan yang sudah dikembangkan. Pengelompokan data ini dikaitkan
dengan produksi dan kandungan pati yang sudah diketahui. Pembuatan model
kesesuaian lahan meliputi studi kondisi ekologi dan pengembangan
konsep/model. Sifat biofisik didapat dari lapang dan hasil laboratorium.
3.5.1 Peneraan Umur untuk Produksi Singkong
Umur tanaman tidak sama sedangkan produksi merupakan fungsi dari
umur, dimana produksi yang satu dengan yang lainnya akan diperbandingkan
yaitu sebagai dependent variabel, maka produksi perlu ditera oleh umur tanaman.
Metode peneraan (Rathfon dan Burger, 1991) yang dipakai sebagai berikut :
Ý = f (x)
Keterangan:
Y= Produksi dugaan berdasarkan umur
x = Umur (tahun atau bulan)
Yteraan = Ÿ + (Yi – Ýi)
Keterangan:
Yteraan = Produksi teraan
Ÿ = Rataan umum
Yj = Produksi aktual pada umur ke- i
Ýi = Produksi dugaan pada umur ke- i.
3.5.2 Model Penarikan Batas Kriteria Kesesuaian Lahan
Data yang sudah diperoleh selanjutnya dianalisis untuk menentukan batas
kriteria kelas kesesuaian lahan. Kelas kesesuaian lahan disusun dari berbagai
karakteristik lahan yang diamati di lapang. Sebaran data ini dikaitkan dengan
produksi yang sudah dianalisis. Pembuatan model kesesuaian lahan diterapkan
Berdasarkan metode penarikan batas berdasarkan titik potong garis sekat
produksi dengan garis batas (boundary line):
a) Diagram sebar hubungan antara produksi teraan dan karakteristik lahan
dibungkus oleh garis batas dimana garis tersebut membatasi data aktual di
lapang, sehingga sangat kecil peluangnya akan ditemukan data di luar garis
tersebut.
b) Garis tersebut ada kaitannya dengan peningkatan atau penurunan produksi
sesuai kualitas atau karakteristik lahan yang sedang dinilai.
c) Batas penurunan produksi dari produksi maksimum untuk Kelas S1 adalah
80%, Kelas S2 sampai 60%, dan S3 adalah 25% (FAO, 1976).
d) Perpotongan antara garis batas dan tingkat produksi yang diharapkan
merupakan batas kriteria penilaian kualitas lahan.
3.5.3 Perumusan Batas Kesesuaian Lahan
Batas kriteria kesesuaian lahan ditetapkan sebagai berikut:
1. Berdasarkan persyaratan tumbuh tanaman
2. Studi lapang yaitu berdasarkan keterkaitan antara produksi dengan kualitas
IV. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN
4.1 Bogor
Bogor dengan luasan total 273.930,153 ha terdiri dari kabupaten dan
kotamadya, yang masing–masing memiliki beberapa kecamatan. Kotamadya
Bogor terdiri dari 6 kecamatan dengan luas 11.115,951 ha dan Kabupaten Bogor
terdiri dari 32 kecamatan dengan luas 262.814,202 ha. Titik pengamatan di daerah
Bogor terdiri dari 21 titik. Sebaran titik pengamatan yaitu 19 titik di kabupaten
dan 1 titik di kotamadya. Data lokasi ditampilkan pada Gambar 2 dan Lampiran 2.
4.1.1 Formasi Geologi
Data geologi wilayah Bogor disajikan pada Gambar 3. Geologi wilayah
Bogor dan sekitarnya terangkum dalam enam lembar peta geologi keluaran Pusat
Penelitian dan Pengembangan Geologi, Ditjen Geologi dan Sumberdaya Mineral,
Departemen Pertambangan dan Energi Republik Indonesia (1992) yaitu Lembar
Serang, Leuwidamar, Jakarta, Bogor, Karawang dan Cianjur. Interpretasi kondisi
geologi daerah penelitian untuk penelitian ini lebih banyak didasarkan atas
kedudukan masing-masing formasi di lapangan. Formasi geologi daerah Bogor
didominasi oleh formasi konglomerat dan batupasir tufaan atau kipas aluvium
(Qav) yang berumur Pleistosen. Formasi ini terdiri dari tuf halus, berlapis, tuf
pasiran berselingan dengan tuf konglomeratan. Formasi Qav berada di bagian
utara daerah Bogor dengan luasan 57.293,103 ha (18,14 % dari luasan daerah
Bogor). Formasi ini terdiri dari tuf halus, berlapis, tuf pasiran berselingan dengan tuf konglomeratan. Formasi ini terdistribusi di bagian timur laut dan
berdampingan dengan formasi endapan sungai, rawa dan pantai (Qa), yang terdiri
dari lempung, lanau, pasir, kerikil, kerakal dan bongkah. Formasi endapan
batupasir konglomeratan dan batu lanau (Qoa) terdiri dari batu pasir
konglomeratan, batu lanau, dan batu pasir. Formasi Qa dan Qoa menyebar di
bagian timur daerah penelitian Bogor.
Formasi Genteng dijumpai di bagian utara sampai barat laut. Formasi
genteng (Tpg) terdiri dari tuf berbatu apung, batupasir tufan, konglomerat, breksi
andesit dan sisipan lempung tufan. Tuf berbatu apung memiliki morfologi putih
Batupasir tufaan berwarna kelabu kehijauan, mengandung glaukonit, berbutir
menengah sampai kasar. Konglomerat berwarna kelabu tua, agak padat,
komponennya terutama adalah andesit, dengan massa dasar pasir tufaan, lempung
tufaan, berwarna kelabu kehijauan. Formasi Kelapanunggal (Tmk) terdistribusi di
bagian timur laut. Formasi Tmk terdiri dari batugamping koral, sisipan
batugamping pasiran, napal, dan batupasir kuarsa plokonitan hijau.
Di bagian timur terdapat formasi Jatiluhur (Tmj) yang terdiri dari napal
dan batulempung dengan sisipan batupasir gampingan. Selain itu, di bagian ini
terdapat pula satuan batuan andesit hornblenda dan porfir diorit (ha) dan satuan
batuan terobosan mangerit (ma), formasi Qos yang terdiri dari batupasir tufaan
dan konglomerat, serta formasi Catayan (mttc, mtts dan mttb) terdistribusi di
bagian tenggara.
Wilayah bagian selatan didominasi oleh formasi Qvpo yang berada dalam
kontak dengan formasi Qvsb dan Qvst. Formasi batuan Gunungapi Endut (Qpv)
yang berumur pleistosen terdapat di bagian barat daya. Sementara itu, di bagian
barat terdapat formasi Tmbs, Tmbl, Tmbc yang menyatu dengan anggota formasi
Bojongmanik (Tmbs: batupasir; Tmbl: batugamping; Tmbc: batulempung) dan
Tma (andesit) yang berumur pliosen akhir.
Di bagian barat laut terdapat formasi batuan sedimen Tpg (Formasi
Genteng: Tuf batuapung, batupasir tufaan, breksi konglomerat, napal dan kayu
terkersikkan), formasi Bojongmanik (Tmb) yang merupakan perselingan batupasir
dengan lempung, sisipan batu gamping dan berumur Miosen. Terdapat juga
batuan terobosan Tba (andesit) dan satuan batuan endapan permukaan Qa yang
berumur Pliosen.
Titik-titik pengamatan terdapat pada 6 jenis formasi geologi, yaitu Qav,
Qvst, Qvsb, Qvk, Qvpo, dan Tmj. Data sebaran formasi geologi pada titik
pengamatan akan disajikan pada Lampiran 3.
4.1.2 Jenis Tanah
Jenis tanah daerah Bogor sangat beragam. Wilayah Bogor didominasi oleh
latosol coklat kemerahan dengan luas 30.234,34 ha (meliputi 9,6 % dari total
wilayah) yang berada di bagian utara (Puslittan, 1981) . Sebaran tanah pada luasan
titik pengamatan disajikan pada Lampiran 3. Titik pengamatan daerah Bogor
tersebar pada beberapa jenis tanah, yaitu 11 titik pada tanah latosol coklat
kemerahan, 7 titik pada tanah regosol coklat kekelabuan, 3 titik pada tanah
podsolik kuning, 2 titik pada tanah latosol coklat, 3 titik pada tanah latosol eutrik,
dan 1 titik pada tanah podsolik coklat kekuningan. Sebaran titik pengamatan
didominasi pada tanah latosol coklat kemerahan.
4.1.3 Kelas Lereng
Kelas lereng yang mendominasi kabupaten Bogor adalah kelas A, yaitu
selang antara 0-3% (datar) dengan luasan 95.074,22 ha (31,92 % dari luasan
kabupaten Bogor). Sebaran titik pengamatan daerah Bogor terdapat pada kelas
lereng 0-3% (datar), 3-8% (landai/berombak), dan 8-15% (agak
miring/bergelombang). Sebaran kelas lereng akan disajikan pada Gambar 5 dan
data sebaran kemiringan lereng pada titik pengamatan akan disajikan pada
Lampiran 3.
4.1.4 Ketinggian
Daerah penelitian Bogor dominan memiliki ketinggian 0-300 mdpl yang
berada pada bagian utara Bogor. Ketinggian 0-300 mdpl ini berada dekat dengan
Provinsi DKI Jakarta yang memiliki formasi-formasi alluvium, sehingga
ketinggian semakin menurun. Makin ke bagian selatan ketinggian akan semakin
meningkat yaitu daerah yang berbatasan dengan daerah Sukabumi. Ketinggian
pun meningkat pada bagian selatan yang mengarah ke daerah Puncak dimana
lokasi dekat dengan Gunung Pangrango. Ketinggian daerah Bogor disajikan pada
Gambar 6 dan data sebaran ketinggian pada titik pengamatan akan disajikan pada
4.2 Sukabumi
Sukabumi dengan luas total 372.362,051 ha terdiri dari 56 kecamatan yang tersebar di kotamadya dan kabupaten. Kabupaten memiliki jumlah kecamatan
sebanyak 49 dengan luasan 367.668,602 ha, sedangkan kotamadya memiliki 7 kecamatan dengan luasan 4.693,449 ha. Pengamatan yang dilakukan di Sukabumi terdiri dari 4 titik yang tersebar di Kabupaten Sukabumi. Sebaran titik pengamatan
yaitu 1 titik di Kecamatan Cicurug, 1 titik di Kecamatan Parungkuda, dan 2 titik
di Kecamatan Cibadak. Data koordinat lokasi ditampilkan pada Lampiran 5 dan
Gambar 7.
4.2.1 Formasi Geologi
Formasi geologi Sukabumi didominasi oleh formasi tersier batu pasir tufan
berselingan dengan konglomerat batugamping dan tufa dasit yang mengandung
batubara, disajikan pada Gambar 8. Menurut Effendi et al. (1998) secara
stratigrafis, batuan tertua di daerah Sukabumi adalah Formasi Walat yang disusun
oleh batupasir kuarsa berlapisan silang, konglomerat kerakal kuarsa, batulempung
karbonan, dan lapisan tipis-tipis batubara; ke atas ukuran butir bertambah kasar;
tersingkap di Gunung Walat dan sekitarnya. Umur satuan ini diduga Oligosen
Awal. Di atasnya secara selaras diendapkan Formasi Batuasih yang terutama
terdiri atas batulempung napalan hijau dengan konkresi pirit. Di beberapa tempat
mengandung banyak fosil foraminifera besar dan kecil yang diduga berumur
Oligosen Akhir. Tebal satuan ini mencapai 200 m, dan tersingkap baik di
Kampung Batuasih. Selanjutnya, diendapkan Formasi Rajamandala yang disusun
oleh napal tufan, lempung napalan, batupasir, dan lensa-lensa batugamping
mengandung fosil Globigerina oligocaenica, Globigerina praebulloides,
Orbulina, Lepidocyclina, dan Spiroclypeus yang memberikan informasi kisaran
umur Oligosen Akhir - Miosen Awal. Formasi ini menindih secara tak selaras
Formasi Batuasih dengan tebal sekitar 1.100 m. Anggota Batugamping Formasi
Rajamandala yang terdiri atas batugamping terumbu koral dengan sejumlah fosil
Lithothamnium, Lepidocyclina sumatrensis, dan Lepidocyclina (Eulepidina)
ephippiodes, biasanya terdolomitkan. Di atasnya diendapkan Formasi Halang
yang terdiri atas Anggota Tuf berupa batupasir tuf dasitan, tuf andesit, dan
napalan; setempat lapisan batugamping mengandung fosil Trillina howchini,
Lepidocyclina brouweri, dan Globorotalia mayeri, yang memberikan indikasi
umur Miosen Awal. Anggota ini merupakan bagian pa-ling bawah Formasi
Jampang yang menindih secara selaras Formasi Rajamandala. Selanjutnya, ke
arah atas terdapat batuan Gunung Api Tua yang terdiri atas: (1) Batuan Gunung
Api Pangrango, endapan lebih tua, lahar, dan lava serta basal andesit, dan (2)
Breksi Gunung Api, breksi bersusunan andesit – basal, setempat aglomerat, lapuk.
Titik-titik pengamatan terdapat pada formasi Walat (Tow), anggota batu
gamping formasi Rajamandala (Toml), breksi gunung api, breksi dengan
kandungan tuff (Qvt), endapan lebih tua, lahar dan lava (Qvpy). Data sebaran
formasi geologi pada titik pengamapatan ditampilkan pada Lampiran 5.
4.2.2 Jenis Tanah
Jenis tanah yang tersebar di daerah Sukabumi sangat beragam. Kompleks
mediteran coklat kemerahan dan litosol merupakan tanah yang paling
mendominasi daerah Sukabumi dengan luasan 56.870,447 ha (meliputi 13,51%
dari total wilayah) yang berada di bagian utara. Pengamatan yang dilakukan di
Sukabumi berada di bagian utara daerah Sukabumi. Titik pengamatan tersebar
pada 3 tipe tanah, yaitu tanah kompleks grumusol, regosol dan mediteran, tanah
latosol coklat kemerahan, dan tanah asosiasi latosol coklat dan regosol kelabu.
Sebaran tanah daerah Sukabumi ditampilkan pada Gambar 9 dan data sebaran
tanah pada titik pengamatan pada Lampiran 5.
4.2.3 Kelas Lereng
Sukabumi memiliki kondisi lereng yang paling dominan pada selang 3-8%
(landai/berombak), dengan luasan 119.118,823 ha (28,30%) dari luasan daerah
Sukabumi). Daerah yang memilki kelas lereng 0-3% (landai) tersebar dibagian
tenggara daerah Sukabumi. Kelas lereng 8-15% (agak miring/bergelombang)
tersebar di bagian tengah dan sedikit dibagian utara. Kelas lereng 25-40% (agak
curam) dan >40% (curam) tersebar di bagian barat laut daerah Sukabumi. Bagian
timur laut didominasi oleh lereng dengan kelas 15-25 % (miring/berbukit). Data
4.2.4 Ketinggian
Pada bagian utara daerah Sukabumi memiliki ketinggian yang cukup
tinggi, karena berdekatan dengan lokasi Gunung Pangrango. Sedangkan semakin
ke selatan daerah semakin rendah. Bagian selatan daerah Sukabumi berbatasan
dengan Pantai Selatan. Sebaran ketinggian daerah Sukabumi ditampilkan pada
Gambar 10. Daerah Sukabumi didominasi oleh daerah yang landai dan berombak,
dengan luasan 160.404,85 ha (38,13% dari luasan wilayah) bagian dari Plateau
4.3 Karawang
Kabupaten Karawang terletak di bagian utara propinsi Jawa Barat. Secara
geografis, letaknya berada diantara 107003’15” - 107040’00”BT dan 05052’30” -
6034’30”LS. Kabupaten Karawang memiliki cakupan wilayah seluas 1.753,27
km2 atau 3,73 % dari luas Propinsi Jawa Barat. Kabupaten Karawang merupakan
salah satu daerah yang memiliki lahan yang cukup subur di Jawa Barat. Sebagian
besar lahannya digunakan untuk pertanian. Pengamatan yang dilakukan di
Kabupaten Karawang terdiri dari 3 titik, yaitu yang berada di Kecamatan
Telukjambe. Penyebaran titik pengamatan akan ditampilkan pada Gambar 11 dan
Lampiran 7.
4.3.1 Formasi Geologi
Berdasarkan Peta Geologi Lembar Karawang daerah Kabupaten Karawang
sebagian besar terbentuk dari formasi geologi Kuarter yang berupa endapan
dataran banjir dan susunan batupasir bernapal dan konglomerat. Hanya sebagian
kecil saja yang merupakan formasi geologi Tersier.
Bagian utara yang merupakan bagian terbesar dari daerah Kabupaten
Karawang terutama terbentuk dari endapan Kuarter yang merupakan endapan
dataran banjir (Qaf) bersusunan batupasir berliat dan batuliat berpasir. Pada
daerah yang lebih sempit, yaitu di daerah dekat pantai, batuannya terbentuk dari
endapan pantai (Qac) dengan susunan batupasir dan batuliat, serta terbentuk dari
endapan laut dangkal (Qnd) tersusun dari pasir, liat, dan debu. Daerah sempit
yang memanjang sejajar pantai merupakan endapan pematang pantai (Qbr).
Wilayah Kabupaten Karawang di bagian barat daya terutama terbentuk
dari formasi geologi Tersier yang tersusun dari batupasir, batuliat, dan
batugamping berpasir dari Formasi Subang (Tms dan Tmst). Pada daerah yang
lebih sempit, terbentuk batugamping klastik dan batugamping terumbu dari
Formasi Parigi (Tmp) serta batuliat bergamping dengan sisipan batugamping
berpasir dari Formasi Jatiluhur (Tmj). Pada daerah yang berbatasan dengan daerah
tersier terbentuk dari endapan tua (Qoa) yang tersusun dari batupasir
berkonglomerat, batuliat, dan batupasir.
Bagian tenggara terutama terbentuk dari formasi geologi yang lebih muda
breksi (Qav). Sebaran formasi geologi disajikan pada Gambar 12 dan data
penyebaran pada titik pengamatan disajikan pada Lampiran 7.
4.3.2 Jenis Tanah
Tanah di Kabupaten Karawang dapat dikelompokkan kedalam 33 sub-grup
tanah. Jenis tanah vertic tropaquept merupakan tanah yang mendominasi daerah
Karawang, dengan luasan 63.522 ha (38,56% dari luasan daerah Karawang) di
bagian utara Karawang. Peta penyebaran tanah ditampilkan pada Gambar 13 dan
data penyebarannya disajikan pada Lampiran 7.
4.3.3 Kelas Lereng
Daerah Karawang yang memiliki kemiringan lahan 0-3%, meliputi areal
83,52% yang berada di Kecamatan Batujaya, Pedes, Rawamerta, Lemahabang,
Tempuran, Cilamaya, Cikampek, Jatisari, Klari (sebagian Karawang,
Rengasdengklok, Telagasari, dan sebagian Telukjambe). Wilayah yang berlereng
3-8%, meliputi areal 8,93% dari luas Kabupaten Karawang, terletak di Kecamtan
Cikampek, sebagian Klari, dan Telukjambe. Wilayah yang berlereng 15-40%,
kurang lebih 10,94% dari luas wilayah Kabupaten, berada di Kecamatan
Cikampek, Klari, Telukjambe dan Pangkalan. Wilayah yang berlereng lebih dari
40% hanya sebagian kecil yaitu kurang dari 2,59% dari seluruh luas Kabupaten
yaitu berada di Kecamatan Telukjambe dan Pangkalan. Data penyebaran pada titik
pengamatan disajikan pada Lampiran 7.
4.3.4 Ketinggian
Ketinggian Karawang berada pada kisaran 0-175 mdpl. Ketinggian antara
0-12,5 mdpl mendominasi bagian utara daerah Karawang dengan luasan
161.270,90 ha (84,2 % dari luasan Karawang). Bagian utara daerah Karawang
berdekatan dengan Laut Jawa sehingga cenderung rendah. Semakin ke selatan,
ketinggian semakin meningkat. Titik pengamatan tersebar pada ketinggian antara
0-37,5 mdpl. Sebaran ketinggian ditampilkan pada Gambar 14 dan sebaran pada
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Budidaya Singkong
Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Karawang
merupakan wilayah yang dijadikan sebagai lokasi penelitian. Ketiga lokasi
tersebut dipilih karena memiliki lahan pertanian yang ditanami singkong.
Singkong ditanam oleh penduduk untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Berdasarkan hasil survey, lokasi Bogor merupakan lokasi yang paling mudah
dalam menemukan lahan singkong. Di daerah Karawang cenderung sulit dalam
menemukan lahan singkong, hal ini dikarenakan daerah Karawang didominasi
oleh lahan sawah.
Singkong yang ditanam di ketiga daerah tersebut cenderung berada di
tanah yang gembur. Jenis yang ditanam para petani adalah jenis singkong lokal.
Jenis singkong yang didapatkan di daerah Bogor adalah Manggu, Kuru, Adira,
Hiris, Roti, Hijau, Belitung, Tambilung, Putih, Kuning, dan Mentega. Di daerah,
Karawang, jenis singkong yang ditemukan adalah Rema, Perelek, dan Putih. Di
daerah Sukabumi terdapat singkong jenis Manggu dan Lampining. Singkong
cenderung ditanam di lokasi yang datar dan beberapa diberi guludan, sedangkan
yang ditanam di lahan yang miring, para petani membuat teras bangku. Jarak
tanam yang digunakan oleh para petani cenderung seragam, yaitu ± 100X100 cm.
Perlakuan yang diberikan pada singkong berbeda di setiap daerah. Di
daerah Bogor, kebanyakan petani menggunakan pupuk kandang seperti kotoran
sapi dan kambing ditambah dengan pupuk kimia seperti Urea, Ponska, dan TSP,
tetapi ada juga beberapa petani yang memilih untuk tidak memberi pupuk
sedikitpun. Lahan singkong yang berada di daerah Karawang sebagian besar tidak
diberi pupuk. Pemupukan untuk lahan singkong daerah Sukabumi dilakukan
dengan pemberian pupuk kandang pada awal penanaman dan selanjutnya
diberikan pupuk kimia, seperti Urea. Panen yang dilakukan di ketiga daerah
penelitian tersebut sebagian besar dilakukan pada umur singkong 8-9 bulan.
Produksi singkong pada umur tanaman siap panen mencapai nilai rata-rata 33,4
5.2 Produksi Singkong Teraan
Sampel yang diambil di lapang memiliki umur yang beragam. Untuk
menghilangkan pengaruh faktor umur terhadap produksi singkong maka produksi
singkong harus ditera terhadap umur. Peneraan dilakukan agar produksi singkong
yang satu dapat dibandingkan dengan produksi singkong yang lainnya (Gambar
15).
Gambar 15. Hubungan umur dengan produksi singkong
Walaupun koefisien determinan R2sangat kecil namun cenderung produksi
singkong dipengaruhi oleh umur. Dengan menggunakan persamaan Ý = -1,221x2
+ 23,56x - 75,94 pada produksi singkong, maka akan didapatkan produksi
singkong tera berdasarkan rumus:
Yti = 33,24 + (Yi – (-1,221x2 + 23,56x - 75,94) Keterangan:
Yti = Produksi teraan ke- i
Yi = Produksi aktual pada umur ke- i
x = Umur (bulan)
Dalam menentukan kualitas lahan yang dipersyaratkan untuk kesesuaian
lahan, maka selang produksi singkong untuk kelas S1 (sangat sesuai) adalah ≥80% dari produksi singkong teraan maksimum (75 ton/ha) yaitu ≥60 ton/ha, kelas S2 (cukup sesuai) adalah 60-80% dari produksi singkong teraan maksimum
atau 45-60 ton/ha, kelas S3 (sesuai marginal) adalah 25-60% dari produksi
singkong teraan maksimum atau antara 18,75-45 ton/ha, dan kelas N (tidak sesuai)
mempunyai selang produksi ≤25% dari produksi singkog teraan maksimum atau
y = -1,221x2+ 23,56x - 75,94
R² = 0,132
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90
4 6 8 10 12
pr
odu
ks
i s
ingk
ong
(t
on/
ha
)
≤18,75 ton/ha. Data produksi singkong teraan maksimum disajikan pada Lampiran 23.
Tabel 4. Sekat produksi singkong untuk kelas kesesuaian lahan
Kelas Kesesuaian Lahan Produksi Singkong
Ton/ha Persentase (%)
Sangat sesuai/Cukup sesuai S1/S2 60 80
Cukup sesuai/Sesuai marjinal S2/S3 45 60
Sesuai marjinal/Tidak sesuai S3/N 18,75 25
5.3 Produksi Pati Singkong Teraan
Bagian dari singkong yang dijadikan sebagai bahan dasar bioenergi adalah
pati. Untuk menilai hubungan antara produksi singkong yang akan digunakan
sebagai bahan dasar bioenergi dengan kualitas lahan maka digunakan produksi
pati singkong. Sama halnya dengan studi lapang produksi singkong, agar dapat
dibandingkan satu sama lain, maka produksi pati singkong harus ditera terlebih
dahulu dengan umur.
Hubungan produksi pati singkong dengan umur disajikan pada Gambar 16.
Walaupun koefisien determinan R2 sangat kecil namun cenderung produksi pati
singkong dipengaruhi oleh umur. Produksi pati singkong ditera dengan umur
dengan menggunakan persamaan Ý = -0,088x2 + 1,873x – 7,759 dan rumus
Yteraan = Ÿ + ( Yi – Ý), maka akan didapatkan produksi pati singkong yang bebas
dari pengaruh umur sehingga dapat dibandingkan dengan kualitas lahan.
Gambar 16. Hubungan umur dengan produksi pati singkong
Dalam menentukan kualitas lahan yang dipersyaratkan untuk kesesuaian
lahan, maka selang produksi pati singkong untuk kelas S1 (sangat sesuai) adalah
y = -0,088x2+ 1,873x - 7,759
R² = 0,127
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
4 6 8 10 12
≥80% dari produksi pati singkong teraan maksimum (7,29 ton/ha) yaitu ≥5,83 ton/ha , kelas S2 (cukup sesuai) adalah 60-80% dari produksi pati singkong teraan
maksimum atau 4,37-5,83 ton/ha, kelas S3 (sesuai marginal) adalah 25-60% dari
produksi pati singkong teraan maksimum atau antara 1,82-4,37 ton/ha, dan kelas
N (tidak sesuai) mempunyai selang produksi ≤25% dari produksi pati singkog teraan maksimum atau ≤1,82 ton/ha. Data produksi pati singkong teraan maksimum disajikan pada Lampiran 23.
Tabel 5. Sekat produksi pati singkong untuk kelas kesesuaian lahan
Kelas Kesesuaian Lahan Produksi Pati Singkong
Ton/ha Persentase (%)
Sangat sesuai/Cukup sesuai S1/S2 5,83 80
Cukup sesuai/Sesuai marjinal S2/S3 4,37 60
Sesuai marjinal/Tidak sesuai S3/N 1,82 25
5.4 Penetapan Kriteria Kesesuaian Lahan Berdasarkan Produksi
Singkong dan Produksi Pati Singkong
Penetapan kriteria kesesuaian lahan ditentukan berdasarkan hubungan
antara karakteristik lahan dengan produksi singkong dan produksi pati singkong.
Beberapa karakteristik lahan yang digunakan untuk penetapan kelas kesesuaian
lahan adalah temperatur, media perakaran, retensi hara, kondisi terrain, dan
toksisitas.
5.4.1 Hubungan Produksi Singkong dan Produksi Pati Singkong dengan
Elevasi
Penentuan kriteria kesesuaian lahan untuk temperatur menggunakan
pendekatan elevasi. Hal ini dikarenakan adanya hubungan antara elevasi dan
temperatur, semakin tinggi lokasi (elevasi) maka semakin rendah temperatur di
lokasi tersebut. Hubungan antara produksi singkong dan produksi pati singkong
dengan elevasi disajikan pada Gambar 17.Dengan memproyeksikan titik potong
sekat produksi dengan garis batas pada sumbu X (karakteristik lahan), maka
didapatkan persamaan produksi singkong tera dan pati singkong tera untuk elevasi
yaitu :
Pola yang didapatkan dari hubungan produksi singkong teraan dan
produksi pati singkong teraan dengan elevasi adalah berbanding terbalik. Hal ini
dikarenakan pengaruh elevasi terhadap produksi adalah negatif. Nilai elevasi
maksimum yang didapatkan di lapang yaitu 890 mdpl dan elevasi minimum 56
[image:57.612.132.505.208.496.2]mdpl. Selang nilai karakteristik lahan yang didapat disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6. Selang nilai elevasi untuk berbagai kelas kesesuaian lahan berdasarkan produksi singkong dan produksi pati singkong
Kelas kesesuaian
Selang nilai elevasi (mdpl) berdasarkan produksi
singkong
Selang nilai elevasi (mdpl) berdasarkan produksi pati
singkong
S1 < 497,25 <490,25
S2 497,25–714,64 490,25-672,75
S3 714,64 – 1095,07 672,75-991,5
N >1095,07 >991,5
Gambar 17. Hubungan antara produksi singkong teraan dan produksi pati singkong teraan dengan elevasi
5.4.2 Hubungan Produksi Singkong dan Produksi Pati Singkong dengan
Media Perakaran
Hubungan antara produksi singkong dan produksi pati singkong dengan
tekstur ditunjukan pada Gambar 18. Dengan menggunakan metode yang sama
pada penentuan elevasi maka didapatkan persamaan produksi singkong tera dan
pati singkong tera untuk tekstur liat yaitu :
y-left =1,139x + 14,09 dan y-right = -0,001x2 - 0,879x + 121,8 dan
y-left = 0,154x – 0,887 dan y-right = -0,000x2 – 0,059x + 11,84
y = -0,069x + 94,31 R² = 0,946
0 10 20 30 40 50 60 70 80
0 250 500 750 1000
P roduk s i s ingk ong te ra an ( ton/ ha ) Elevasi (mdpl)
y = -0,008x + 9,752 R² = 0,971
0 1 2 3 4 5 6 7 8
0 250 500 750 1000
Persamaan produksi singkong tera dan pati singkong tera untuk tekstur
pasir yaitu:
y-left = 0,150x2 - 0,217x + 43,86 dan y-right = -0,980x + 89,81 dan
y-left = -0,011x2 + 0,667x - 0,217 dan y-right = -0,132x + 9,284
Pola yang didapatkan dari hubungan produksi singkong teraan dan
produksi pati singkong teraan dengan tekstur adalah parabola. Hal ini dikarenakan
tekstur memiliki titik optimum. Selang nilai karakteristik lahan yang didapat akan
disajikan pada Tabel 7, Tabel 8, dan hasil overlay dari segitiga tekstur disajikan
pada Table 9.
Tabel 7. Selang kadar liat untuk berbagai kelas kesesuaian lahan berdasarkan produksi singkong dan produksi pati singkong
Kelas kesesuaian
Selang kadar liat (%) berdasarkan produksi singkong
Selang kadar liat (%) berdasarkan produksi pati singkong
S1 40,31-65,44 17,32-32,1
S2 65,44-80,08 atau 27,14-40,31 22,62-32,1 atau 17,32-21,53 S3 80,08-100 atau 4,09-27,14 6,06- 22,62 atau 21,53- 28,88
N <4,09 <6,06 atau >28,88
Tabel 8. Selang kadar pasir untuk berbagai kelas kesesuaian lahan berdasarkan produksi singkong dan produksi pati singkong
Kelas kesesuaian
Selang kadar pasir (%) berdasarkan produksi singkong
Selang kadar pasir (%) berdasarkan produksi pati
singkong
S1 9,67-30,52 11,1-26,17
S2 2,13-9,67 atau 30,52-45,83 26,17-37,23 atau 7,91-11,1 S3 45,83-72,61 atau <2,13 37,23-56,55