PEMBUATAN ABON BERBAHAN DASAR DAGING BEKICOT
(
Achatina fulica
Bowd.) DAN JERAMI NANGKA (
Artocarpus
heterophyllus
Lmk.) SEBAGAI PANGAN ALTERNATIF SUMBER
PROTEIN DAN TINGGI SERAT
EKA PRADITYA JUNIAR
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
ABSTRACT
EKA PRADITYA JUNIAR. The production of Abon Bekicot (Achantina fulica
Bowd.) dan Jerami Nangka (Artocarpus heterophyllus Lmk.) as an Alternative Food of Fiber Source. Under direction of FAISAL ANWAR and LEILY AMALIA
Obesity and overweight has become a health and nutrition problems in the world, both in developed and in developing countries. The high rate of obesity was triggered by the accumulation of the excessive consumption of high fat and low fiber foods. Food sources of fiber, especially vegetables, is often not become an option in diet of some communities in Indonesia. This is mainly due to the slightly bitter taste of vegetables and savory due to low fat content. On the other hand, high-fat foods often become the people’s choice because it tastes delicious. Abon classified as processed meat product which is durable. Making of abon made from snail and jackfruit straw can be used as a solution to increase fiber consumption.
This study used seven levels of the addition of jackfruit straw, namely 0%, 25%, 40%, 50%, 60%, 75%, and 100%. Organoleptic test was conducted to get an acceptance level of the product. The chosen product according to the test is the addition of 75% jackfruit straw based on a highest best response by panelist. According to proximate test, showed that the substitution of jackfruit straw and snail is significantly different in terms of protein, carbohydrate, and fiber. For water component, ash elements, fat, and FFA significantly not different. Jackfruit straw and snail abon has fulfilled 13% nutritional adequacy rate of energy, 16% nutritional adequacy rate of carbohydrate, 7% nutritional adequacy rate of fat, 10% nutritional adequacy rate of protein, and 46% nutritional adequacy rate of fiber. It could be conclude that the chosen product is a food sources of fiber.
RINGKASAN
EKA PRADITYA JUNIAR. Pembuatan Abon Bekicot (Achantina fulica Bowd.) dan Jerami Nangka (Artocarpus heterophyllus Lmk.) sebagai Pangan Alternatif Sumber Protein dan Tinggi Serat. Dibawah bimbingan FAISAL ANWAR dan LEILY AMALIA
Obesitas dan kegemukan telah menjadi masalah kesehatan dan gizi masyarakat dunia, baik di negara maju maupun di negara berkembang. Tingginya angka obesitas dipicu oleh akumulasi konsumsi makanan yang tinggi lemak dan rendah serat secara berlebihan. Bahan makanan sumber serat, terutama sayuran, seringkali tidak menjadi pilihan dalam menu makanan sebagian masyarakat Indonesia. Hal ini terutama disebabkan oleh rasa sayuran yang agak pahit dan tidak gurih karena rendahnya lemak. Di sisi lain, pangan tinggi lemak sering menjadi pilihan masyarakat karena rasanya yang gurih. Dalam rangka memenuhi tuntutan kecukupan gizi, bekicot merupakan salah satu alternatif yang patut diperhatikan. Kandungan protein bekicot yang sebesar 15 gram per 100 gram dagingnya tidak terlalu berbeda dibandingkan kandungan protein dalam daging ayam yang sebesar 18 gram per 100 gram daging. Tanaman nangka (Artocarpus heterophyllus Lmk.) adalah jenis tanaman yang banyak tumbuh di Indonesia, jerami nangka ini memiliki kandungan serat yang cukup tinggi. Abon adalah makanan yang dibuat dari daging yang disuwir-suwir atau dipisahkan seratnya, kemudian ditambah bumbu-bumbu dan digoreng. Dari segi teknologi, pembuatan abon relatif mudah, tidak memerlukan modal yang besar dan sudah lama dikenal dan digemari oleh semua golongan masyarakat Indonesia sehingga pembuatan abon mempunyai prospek yang baik untuk dikembangkan sebagai industri kecil atau industri rumah tangga. Oleh karena itu, pembuatan abon berbahan dasar daging bekicot dan jerami nangka dapat dijadikan solusi untuk meningkatkan konsumsi serat penduduk Indonesia.
Penelitian ini bertujuan: 1) Memformulasikan kombinasi komposisi bahan dasar daging bekicot dan jerami nangka untuk pembuatan abon; 2) Melakukan uji organoleptik terhadap beragam formula untuk mengetahui produk terpilih yang dapat diterima oleh masyarakat luas; 3) Menganalisis kandungan zat gizi, serat, dan daya cerna protein pada produk terpilih; 4) Menganalisis karakteristik oksidasi pada produk terpilih; 5) Menganalisis kontribusi satu takaran saji abon bekicot dan jerami nangka terhadap angka kecukupan energi, protein, dan serat.
Penelitian ini terdiri dari dua tahapan penelitian, yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan dilakukan untuk menentukan aroma daging terbaik setelah perlakuan perendaman yang bertujuan untuk menghilangkan bau anyir pada daging bekicot dan penelitian utama terdiri atas pembuatan produk abon bekicot dan jerami nangka, uji organoleptik produk produk abon bekicot dan jerami nangka, analisis kandungan gizi, serat pangan, daya cerna protein, serta karakteristik oksidasi dan analisis kontribusi satu takaran saji produk abon bekicot dan jerami nangka.
Tahap formulasi abon dilakukan melalui pencacahan daging bekicot dan jerami nangka berbagai taraf. Adapun tingkat perbandingan daging bekicot dan jerami nangka pada tahapan formulasi yaitu 0%:100%, 25%:75%, 40%:60%, 50%:50%, 60%:40%, 75%:25%, dan 100%:0%. Abon bekicot dan jerami nangka yang dibuat diberi dua perlakuan dalam pengolahannya yaitu abon yang diolah dengan menggunakan bumbu dasar (santan kelapa) dan abon yang diolah dengan menggunakan santan berbumbu rendang. Total formula produk abon berdasarkan taraf substitusi jerami nangka dan jenis bumbu yang diberikan ialah 14 produk abon. Seluruh produk tersebut kemudian diuji mutu hedonik sehingga diperoleh satu formula terpilih. Karakteristik parameter abon bekicot dan jerami nangka: warna berkisar antara hitam hingga cokelat muda, tekstur berkisar antara lengket hingga terurai, aroma berkisar antara amis hingga harum, rasa manis berkisar antara tidak manis hingga manis, dan rasa asin berkisar antara tidak asin hingga asin. Melalui uji hedonik, produk abon terpilih yaitu abon bekicot dan jerami nangka dengan 75% jerami nangka dalam perbandingan dan dengan rasa asli abon.
PEMBUATAN ABON BERBAHAN DASAR DAGING BEKICOT
(
Achatina fulica
Bowd.) DAN JERAMI NANGKA (
Artocarpus
heterophyllus
Lmk.) SEBAGAI PANGAN ALTERNATIF SUMBER
PROTEIN DAN TINGGI SERAT
Eka Praditya Juniar
I14070102
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi dari Program Studi Ilmu Gizi dari
Departemen Gizi Masyarakat
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas segala
karunia dan kasih sayang-Nya penulis dapat menyelesaikan dengan baik skripsi
yang berjudul “Pembuatan Abon Berbahan Dasar Daging Bekicot (Achatina fulica
Bowd.) dan Jerami Nangka (Artocarpus heterophyllus Lmk.) sebagai Pangan Alternatif Sumber Protein dan Tinggi Serat”. Selesainya penulisan skripsi ini tidak
lepas dari bantuan dan dukungan banyak pihak. Oleh karena itu, penulis
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Ir. Faisal Anwar, M.S dan Leily Amalia, STP, M. Si selaku dosen pembimbing skripsi yang telah banyak meluangkan waktu dan pikirannya
dalam memberikan arahan, kritik, dan saran kepada penulis untuk
menyelesaikan skripsi.
2. Prof. Dr. Ir. Evy Damayanthi, M.S selaku dosen pembimbing ID sekaligus dosen penguji atas arahan dan saran dalam perbaikan skripsi.
3. Dr. Ir. Ikeu Tanziha, M.S selaku pembimbing akademik.
4. Bapak Suhadi (Alm.) dan Ibu Rina Iriana, orang tua terbaik yang telah memberikan begitu banyak kasih sayang dan cinta kepada penulis.
Adik-adikku (Dewi dan Mulana), Mama Epo, dan Mama ela atas dukungan yang
diberikan kepada penulis.
5. Frida Agustiani S. Gz, Risma Junita S. K. Pm, Resta Tatiyana S. Gz, Ima Karimah S. Gz, Early Fajarina S. Gz, Nadia Svenskarin, S. Gz, dan Erin
Roslina S.E atas persahabatan terindah yang diberikan kepada penulis.
6. Bapak Mashudi, Ibu Titi, Ibu Nina, Ibu Risqi, serta teman-teman seperjuangan di laboratorium (Ade, Tari, Gian, Ibnu) atas dukungan serta
bantuan yang diberikan.
7. Pisman Doeta 07, Salam 05, Luminaire 44, GM 45, penghuni ceriwis, serta seluruh pihak lainnya yang telah membantu, baik secara langsung maupun
tidak langsung, yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Semoga Allah SWT membalas segala kebaikan dengan pahala dan kebaikan
yang lebih banyak dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi masyarakat
secara luas dan akademisi secara khusus.
Bogor, Februari 2013
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta tanggal 13 Juni 1989. Penulis merupakan
anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Suhadi (Alm.) dan Rina Iriana.
Penulis memulai studi pada tahun 1993 di TK As-Salam Ciledug kemudian pada
tahun 1995 melanjutkan studinya di SDN Sudimara VII Ciledug. Tahun 2001
penulis melanjutkan studinya di SMP Budi Luhur Karang Tengah dan pada tahun
2004 penulis diterima di SMAN 2 Tangerang kemudian lulus pada tahun 2007.
Pada tahun 2007 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur
(USMI). Penulis diterima pada mayor Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas
Ekologi Manusia (FEMA) melalui sistem mayor minor.
Selama menjadi mahasiswi, penulis aktif dalam berbagai organisasi di
kampus. Pada tahun 2007-2009 penulis menjadi staf Divisi Sosial
Kemasyarakatan Lembaga Dakwah Kampus (LDK) Al-Hurriyah IPB, tahun 2008
penulis menjadi staf Divisi Research And Development (RND) Eco-Agrifarma IPB, dan pada tahun 2009-2011 penulis menjadi Senior Resident Asrama Tingkat Persiapan Bersama (TPB) IPB.
Selain menjadi pengurus di beberapa organisasi kemahasiswaan, penulis
juga aktif menjadi panitia di berbagai kegiatan kampus. Diantaranya tahun 2008
penulis menjadi panitia Masa Perkenalan Kampus Mahasiswa Baru (MPKMB)
dan staf Divisi Humas dalam Pemilihan Raya (PEMIRA) FEMA. Tahun 2009
menjadi staf panitia Masa Perkenalan Fakultas (MPF) FEMA, menjadi staf Divisi
Acara dalam Masa Perkenalan Departemen Gizi Masyarakat, dan menjadi Ketua
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR TABEL ... xi
DAFTAR GAMBAR ... xii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiii
PENDAHULUAN... 1
Latar Belakang ... 1
Tujuan ... 2
Kegunaan Penelitian ... 3
TINJAUAN PUSTAKA ... 4
Bekicot ... 4
Nangka ... 6
Jerami Nangka ... 7
Abon ... 9
Bahan Baku Pembuatan Abon ... 9
Tahapan Pembuatan Abon ... 11
Kerusakan Lemak ... 13
Serat Pangan ... 14
Penilaian Organoleptik ... 15
METODOLOGI ... 17
Tempat dan Waktu ... 17
Bahan dan Alat ... 17
Tahapan Penelitian ... 17
Pengolahan dan Analisis Data ... 23
HASIL DAN PEMBAHASAN ... 25
Pembuatan Abon Bekicot dan Jerami Nangka ... 25
Sifat Organoleptik Abon Bekicot dan Jerami Nangka ... 28
Analisis Kandungan Zat Gizi, Serat, dan Daya Cerna Protein Abon Bekicot dan Jerami Nangka Formula Terpilih ... 39
Karakteristik Oksidasi Abon Bekicot dan Jerami Nangka Formula Terpilih ... 44
Kontribusi Satu Takaran Saji Abon Bekicot dan Jerami Nangka Formula Terpilih terhadap Angka Kecukupan Energi, Protein, dan Serat ... 45
Harga Abon Bekicot dan Jerami Nangka Formula Terpilih ... 46
KESIMPULAN DAN SARAN ... 48
Saran ... 49
DAFTAR PUSTAKA ... 50
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Kandungan protein dan zat gizi lain dalam tiap 100 g daging bekicot dan
daging hewan (ternak) peliharaan ... 4
Tabel 2 Perbandingan komposisi kimia buah nangka, jerami nangka, dan jerami
nangka muda ... 7
Tabel 3 Bumbu-bumbu abon bekicot dan jerami nangka ... 20
Tabel 4 Formula abon bekicot dan jerami nangka ... 22
Tabel 5 Rekapitulasi formula abon bekicot dan jerami nangka yang dapat
diterima panelis berdasarkan uji mutu hedonik ... 34
Tabel 6 Rekapitulasi formula abon bekicot dan jerami nangka yang dapat
diterima panelis berdasarkan uji hedonik ... 38
Tabel 7 Karakteristik oksidasi (bilangan peroksida, bilangan TBA, dan nilai FFA)
pada abon bekicot dan jerami nangka formula terpilih ... 45
Tabel 8 Kandungan zat gizi dan persentase AKG pada abon formula terpilih per
takaran saji ... 46
Tabel 9 Perhitungan analisis biaya pembuatan abon bekicot dan jerami nangka
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Rangkaian pengolahan bekicot segar ... 6
Gambar 2 Perlakuan daging bekicot sebelum diolah ... 18
Gambar 3 Perlakuan jerami nangka sebelum diolah ... 19
Gambar 4 Proses pembuatan abon bekicot dan jerami nangka ... 21
Gambar 5 Bekicot utuh ... 25
Gambar 6 Jerami/Dami nangka ... 26
Gambar 7 Pengaruh komposisi daging bekicot dan jerami nangka terhadap mutu warna abon ... 29
Gambar 8 Pengaruh komposisi daging bekicot dan jerami nangka terhadap mutu aroma abon ... 30
Gambar 9 Pengaruh komposisi daging bekicot dan jerami nangka terhadap mutu tekstur abon ... 31
Gambar 10 Pengaruh komposisi daging bekicot dan jerami nangka terhadap mutu rasa manis abon ... 32
Gambar 11 Pengaruh komposisi daging bekicot dan jerami nangka terhadap mutu rasa asin abon ... 33
Gambar 12 Pengaruh komposisi daging bekicot dan jerami nangka terhadap kesukaan warna panelis ... 34
Gambar 13 Pengaruh komposisi daging bekicot dan jerami nangka terhadap kesukaan aroma panelis ... 35
Gambar 14 Pengaruh komposisi daging bekicot dan jerami nangka terhadap kesukaan tekstur panelis ... 36
Gambar 15 Pengaruh komposisi daging bekicot dan jerami nangka terhadap kesukaan rasa panelis ... 37
Gambar 16 Pengaruh komposisi daging bekicot dan jerami nangka terhadap keseluruhan abon bekicot dan jerami nangka ... 38
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Uji organoleptik ... 52
Lampiran 2 Form uji organoleptik ... 53
Lampiran 3 Hasil sidik ragam dan uji Duncan data uji organoleptik ... 55
Lampiran 4 Prosedur analisis zat gizi abon bekicot dan jerami nangka formula
terpilih ... 63
Lampiran 5 Prosedur analisis karakteristik oksidasi abon bekicot dan jerami
nangka formula terpilih ... 66
Lampiran 6 Hasil sidik ragam dan uji Duncan data analisis kimia abon bekicot
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Obesitas dan kegemukan telah menjadi masalah kesehatan dan gizi
masyarakat dunia, baik di negara maju maupun di negara berkembang. Kegemukan
atau obesitas merupakan kondisi ketidaknormalan atau kelebihan lemak yang
terakumulasi dalam jaringan adiposa. Di Indonesia, Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) 2007 menunjukkan bahwa 8,8% orang dewasa berumur > 15 tahun
mengalami kelebihan berat badan dan 10,3% gemuk. Tingginya angka obesitas dipicu
oleh akumulasi konsumsi makanan tinggi lemak dan rendah serat secara berlebihan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa asupan rata-rata energi dari lemak di
Indonesia adalah 29,1% (Hardinsyah 2011). Hasil tersebut melebihi anjuran Depkes
(2004) dalam Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS) Indonesia yaitu tidak melebihi
25% dari asupan energi. Hasil penelitian Departemen Kesehatan tahun 2008
menunjukkan bahwa asupan serat rata-rata penduduk Indonesia sekitar 10,7 gram per
hari. Angka tersebut jauh di bawah angka kecukupan yang dianjurkan. Dietary
Guidelines for American menganjurkan untuk mengonsumsi makanan yang
mengandung pati dan serat dalam jumlah tepat (20-35 g/hari) (Depkes 2008). Hal ini
berarti bahwa asupan serat penduduk Indonesia hanya sekitar sepertiga dari yang
dianjurkan. Bahan makanan sumber serat, terutama sayuran, seringkali tidak menjadi
pilihan dalam menu makanan sebagian masyarakat Indonesia. Hal ini terutama
disebabkan oleh rasa sayuran yang agak pahit dan tidak gurih karena rendahnya
kandungan lemak dalam sayuran.
Di sisi lain, pangan tinggi lemak sering menjadi pilihan masyarakat karena
rasanya yang gurih. Di samping itu, asupan lemak seringkali menjadi tinggi sebagai
dampak dari konsumsi pangan sumber protein hewani yang umumnya juga
mengandung lemak. Protein merupakan zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan
dan pemeliharaan berbagai fungsi organ tubuh. Namun demikian, karena ketersediaan
pangan sumber protein umumnya juga mengandung lemak, maka asupan tinggi
protein berdampak pada tingginya asupan lemak yang dalam jangka panjang dapat
menyebabkan obesitas dan merugikan kesehatan tubuh. Berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan tersebut, perlu dikembangkan pangan sumber protein yang tinggi serat
2
Bekicot (Achatina fulica Bowd.) merupakan hewan yang bertubuh lunak, tidak beruas, yang pada awalnya hanya dimanfaatkan sebagai makanan ternak, kini
dibudidayakan dan diolah sebagai makanan manusia (Sadhori 1997). Dalam rangka
memenuhi tuntutan kecukupan gizi, bekicot merupakan salah satu alternatif yang patut
diperhatikan. Kandungan protein bekicot yang sebesar 15 gram per 100 gram
dagingnya tidak terlalu berbeda dibandingkan kandungan protein dalam daging ayam
yang sebesar 18 gram per 100 gram daging. Sementara kandungan lemak daging
bekicot jauh lebih rendah dibandingkan kandungan lemak pada daging ayam yaitu 1
gram Vs 25 gram per 100 gram daging (Santoso 1991).
Tanaman nangka (Artocarpus heterophyllus Lmk.) adalah jenis tanaman yang banyak tumbuh di Indonesia, baik di dataran rendah maupun di dataran tinggi.
Biasanya jerami nangka hanya dijadikan pakan ternak, namun lebih sering dibuang
begitu saja, padahal jerami nangka ini memiliki kandungan serat yang cukup tinggi.
Menurut Novandrini (2003) diacu dalam Isnaharani (2009), kandungan serat makanan
total jerami nangka muda adalah 75,58% berat kering.
Abon merupakan salah satu pangan olahan sumber protein dan lemak. Abon
merupakan makanan yang dibuat dari daging yang disuwir-suwir atau dipisahkan
seratnya, kemudian ditambah bumbu-bumbu dan digoreng. Pembuatan abon relatif
mudah, tidak memerlukan modal yang besar, dan sudah lama dikenal dan digemari
oleh semua golongan masyarakat Indonesia sehingga pembuatan abon mempunyai
prospek yang baik untuk dikembangkan sebagai industri kecil atau industri rumah
tangga. Oleh karena itu, pembuatan abon berbahan dasar daging bekicot dan jerami
nangka dapat dijadikan solusi untuk meningkatkan asupan serat penduduk Indonesia.
Tujuan
Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini ialah mengembangkan produk pangan alternatif
sumber protein dan tinggi serat berbahan dasar bekicot dan jerami nangka.
Tujuan Khusus
1. Memformulasikan kombinasi komposisi bahan dasar daging bekicot dan jerami
nangka untuk pembuatan abon
2. Menganalisis karakteristik organoleptik terhadap beragam formula untuk
mengetahui produk terpilih yang dapat diterima oleh masyarakat luas
3. Menganalisis kandungan zat gizi, serat, dan daya cerna protein pada produk
3
4. Menganalisis karakteristik oksidasi (bilangan peroksida, bilangan thiobarbituric acid (TBA), dan bilangan asam lemak bebas (Free Fatty Acid)) pada produk terpilih
5. Menganalisis kontribusi satu takaran saji abon bekicot dan jerami nangka
terhadap angka kecukupan energi, protein, dan serat.
Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat
mengenai peluang diversifikasi produk sumber protein dan tinggi serat berbahan dasar
4
TINJAUAN PUSTAKA
Bekicot
Bekicot (Achatina fulica Bowd.) merupakan hewan yang bertubuh lunak, tidak beruas, mempunyai pelindung berupa cangkang yang berbentuk kerucut, suka
mengeluarkan lendir, dan aktif pada malam hari. Daging bekicot mengandung protein
hewani yang cukup tinggi, setara dengan kandungan protein dalam daging hewan
lainnya. Selain itu, daging bekicot juga mengandung asam-asam amino esensial
leusin, isoleusin, dan lisin dalam jumlah yang cukup. Pengolahan daging bekicot
menjadi berbagai jenis makanan, selain dapat menampilkannya sebagai suatu
hidangan yang menarik, awet, dan gurih, juga dapat meningkatkan nilai ekonominya
(Rukmana & Yuniarsih 2001).
Kandungan gizi bekicot dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Kandungan protein dan zat gizi lain dalam tiap 100 g daging bekicot dan daging hewan (ternak) peliharaan
No Zat Gizi Proporsi per 100 g Daging
Bekicot Sapi Domba Kambing Ayam
* Sumber: Lubis 1982 dalam Ridwan 1995
#
Sumber. Santoso 1991
+
Sumber. Anonim 2012 http://indonesian.cri.cn/1/2005/07/19/1@32439.htm
€
Sumber. Ramada 2012
http://www.saungdomba.com/artikel-domba-garut/101-daging-kambing-atau-daging-domba
¤
Sumber. Syakur 2012 http: // www. kesehatan123.com/ 3395/ daging- sapi- sehat-bermanfaat-bagi-tubuh/
Dalam rangka memenuhi tuntutan kecukupan gizi, bekicot merupakan salah
satu alternatif yang patut diperhatikan. Hal ini dapat dilihat dari kuantitas protein yang
terkandung di dalamnya yaitu sekitar 15 gram per 100 gram daging bekicot. Juga
kandungan lain seperti lemak 1%, karbohidrat 2%, kalsium 237 mg, fosfor 78 mg%, zat
besi 1,7 mg%, serta vitamin B kompleks terutama vitamin B2. Selain itu, kandungan
asam amino daging bekicot cukup menonjol yaitu dalam 100 gram daging bekicot
kering antara lain terdiri atas leusin 4,62 gram, lisin 4,35 gram, arginin 4,88 gram,
5 Pengolahan Daging Bekicot
Menurut Santoso (1991), pengolahan daging bekicot yang akan dikonsumsi
manusia perlu diperhatikan secara khusus dalam pengolahan agar memenuhi syarat.
Sebelum daging bekicot siap dihidangkan dalam bentuk masakan, haruslah yakin betul
bahwa daging tersebut bebas dari segala macam penyakit dan bakteri terutama bakteri
Salmonella. Karena itulah daging bekicot perlu diolah dan setelah itu baru dapat dimasak lebih lanjut. Pengolahan daging bekicot dapat dibagi menjadi 7 tahap yaitu:
pembersihan kotoran, perendaman, perebusan, pemisahan, pencucian, perendaman,
dan perebusan.
1. Pembersihan Kotoran. Bekicot segar (hidup) dimasukkan ke dalam bak
penampungan selama dua hari dua malam tanpa diberi makanan apapun kecuali
dilakukan penyiraman setiap sore hari. Maksud pembersihan kotoran ini ialah
untuk memacu pengeluaran kotoran dan lendir bekicot, sekaligus untuk
menghilangkan bau yang tidak sedap.
2. Perendaman. Setelah dilakukan pembersihan kotoran, bekicot direndam dalam air garam yang diberi sedikit cuka selama 5 menit sambil diaduk kemudian airnya
dibuang. Perendaman ini dilakukan beberapa kali (2-3 kali) hingga air rendaman
tersebut bersih/jernih.
3. Perebusan. Bekicot yang telah direndam dimasukkan ke dalam air mendidih selama 15 menit sambil dibolak-balik kemudian didinginkan.
4. Pemisahan. Bekicot yang telah direbus dipisahkan antara cangkang, kotoran, telur, dan dagingnya. Pemisahan dilakukan dengan mencungkil daging bekicot
dari cangkang dengan alat pencungkil. Setelah daging, telur, dan kotoran bekicot
tersebut keluar dari cangkangnya, kemudian dipisah-pisahkan. Telur bekicot dapat
langsung dicuci bersih, digoreng, dan dimakan, sedangkan dagingnya masih perlu
pengolahan selanjutnya.
5. Pencucian. Daging bekicot yang telah terpisah dari cangkang, telur, dan kotorannya kemudian dicuci bersih.
6. Perendaman. Daging yang telah dicuci bersih, direndam dengan air cuka selama 15 menit.
7. Perebusan. Daging bekicot yang telah direndam tersebut kemudian direbus selama kurang lebih 15 menit. Setelah direbus, kemudian dicuci sekali lagi sampai
6
Setelah semua proses pengolahan dilakukan, akan didapatkan daging bekicot
yang dapat dikonsumsi dengan rendemen sekitar 18%. Artinya, akan diperoleh
15-18 kg daging bekicot untuk setiap 100 kg bekicot segar (hidup).
Gambar 1 Rangkaian pengolahan bekicot segar (Sumber: Santoso 1991) Nangka
Nangka merupakan tanaman asli India yang kini telah menyebar ke seluruh
dunia, terutama Asia Tenggara. Nangka dibagi menjadi dua jenis, yakni:
1. Artocarpus heterophyllus Lmk. atau Artocarpus integer Merr. yang biasa disebut nangka, dan
2. Artocarpus champeden (Lour) Stokes atau Artocarpus integrifolia Lf yang biasa disebut cempedak
Pembersihan
Perendaman
Perebusan
Pemisahan
Cangkang
Bekicot Segar
Daging Telur Kotoran
Pencucian
Perendaman
Perebusan
7
Perbedaan cempedak dan nangka secara kasat mata terletak pada daunnya, dimana
cempedak memiliki bulu kasar pada daunnya, sedangkan nangka tidak (Sunaryo 2005
dalam Isnaharani 2009).
Tanaman nangka merupakan tanaman yang potensial untuk dikembangkan.
Banyak manfaat yang dapat diambil dari tanaman ini dan hampir semua bagian
tanaman dapat dimanfaatkan. Selain buah sebagai produk utamanya, bagian akar,
batang, daun, bakal buah, maupun kulit buahnya dapat dimanfaatkan (Oktaviani 1999).
Kandungan Gizi
Kandungan gizi buah nangka dan jeraminya tidak jauh berbeda. Perbandingan
tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Perbandingan komposisi kimia buah nangka, jerami nangka, dan jerami nangka muda
Komponen Daging buah* Jerami* Jerami Nangka Muda**
Air (%bb) 80,29 65,12 87,36
* Sumber. Muchtadi 1981 diacu dalam Risanti 1992 diacu dalam Isnaharani 2009 ** Sumber. Novandrini diacu dalam Isnaharani 2009
Jerami Nangka
Jerami nangka sebenarnya merupakan bunga yang tidak dibuahi, sementara
bunga yang terserbuki akan menjadi satu biji buah nangka yang dikenal dengan
sebutan nyamplungan. Jerami yang terbentuk ada yang tebal berukuran besar dan manis rasanya sehingga dapat juga dimakan dan ada juga jerami kecil, yang tidak
manis dan tidak enak dimakan. Jerami nangka merupakan bagian terbesar ke dua
setelah daging yang jumlahnya cukup banyak. Jerami nangka sebagian besar tersusun
dari air yaitu kurang lebih 75 persen dan selebihnya bahan kering tersusun terutama
dari karbohidrat berupa glukosa, fruktosa, sukrosa, pati, serat, pektin dan lainnya.
Dilihat dari kandungan gizi yang ada, jerami nangka memiliki potensi yang besar untuk
dimanfaatkan (Anonim 2011).
Jerami nangka yang melimpah dan cukup murah merupakan limbah dari buah
nangka yang tumbuh cukup banyak di Indonesia. Inilah yang menjadi keunggulan
jerami nangka dari bahan baku lainnya yang merupakan upaya pemanfaatan limbah
8 Pengolahan Jerami Nangka
Menurut Fellows (2000), pengolahan jerami nangka yang akan dikonsumsi
perlu diperhatikan dalam pengolahan agar memenuhi syarat. Pengolahan jerami
nangka dapat dibagi menjadi 3 tahap yaitu: cleaning, blanching, dan pengeringan.
1. Cleaning. Cleaning (pembersihan) adalah proses menghilangkan bahan
kontaminasi dari makanan dan memisahkannya dari permukaan makanan
sebelum dilakukannya proses lebih lanjut. Cleaning termasuk mengupas dan perlakuan blanching. Tujuannya adalah mencegah kerusakan makanan.
2. Blanching. Blanching adalah memanaskan makanan, terutama sayuran di bawah 100 0C dalam waktu singkat. Blanching dilakukan untuk menginaktivasi enzim penyebab menurunnya kualitas selama penyimpanan dan untuk melembutkan
tekstur makanan. Suhu maksimal dalam pembekuan dan pengeringan tidak cukup
untuk menginaktivasi enzim. Jika makanan tidak diblansir, perubahan yang tidak
diinginkan pada karakteristik sensorik dan zat gizi akan terjadi selama
penyimpanan. Oleh karena itu, blanching perlu dilakukan sebelum proses lainnya. Lama perlakuan blanching tergantung pada jenis komoditi, umumnya 5-10 menit. Semakin banyak bahan dan semakin tebal irisannya semakin lama waktu
yang diperlukan. Jenis buah yang berdaging buah padat membutuhkan waktu
lebih lama dibanding buah yang tidak banyak mengandung air. Enzim yang dapat
menyebabkan hilangnya eating quality dan zat gizi dalam buah dan sayur adalah
lipoxygenase, polyphenoloxidase, polygalacturonase, dan chlorophyllase. Dua enzim tahan panas yang ditemukan di sebagian besar sayuran adalah katalase
dan peroksidase. Meskipun tidak menimbulkan kerusakan selama penyimpanan,
enzim tersebut digunakan sebagai pembatas untuk menentukan keberhasilan
blanching.
Fellows (2000) juga menyebutkan, blanching dapat mengurangi jumlah mikroorganisme kontaminan pada permukaan makanan. Pengaruh blanching pada zat gizi, yakni dapat menyebabkan hilangnya beberapa mineral, vitamin larut air,
dan komponen larut air lainnya. Blanching dapat mencerahkan warna makanan melalui pelepasan udara dan abu pada permukaan sehingga mengubah panjang
9 Abon
Abon adalah makanan yang dibuat dari daging yang disuwir-suwir atau
dipisahkan seratnya, kemudian ditambah bumbu-bumbu dan digoreng. Semua jenis
daging termasuk daging bekicot dapat digunakan untuk pembuatan abon. Abon
tergolong produk olahan daging yang awet. Untuk mempertahankan mutunya selama
penyimpanan, abon dikemas dalam kantong plastik dan ditutup dengan rapat
(Fachruddin 1997).
Dari segi teknologi, pembuatan abon relatif mudah, tidak memerlukan modal
yang besar dan sudah lama dikenal dan digemari oleh semua golongan masyarakat
Indonesia sehingga pembuatan abon mempunyai prospek yang baik untuk
dikembangkan sebagai industri kecil atau industri rumah tangga. Mutu produk olahan
abon sangat dipengaruhi oleh mutu bahan mentah, cara pengolahan, dan nilai gizi
yang dikandungnya (Fachruddin 1997).
Bahan baku Pembuatan Abon
Bahan dan peralatan pembuatan abon cukup sederhana dan mudah diperoleh.
Bahan pembuatan abon terdiri atas bahan baku dan bahan tambahan. Bahan baku
merupakan bahan pokok untuk abon dan bahan tambahan atau bahan penolong
berfungsi menambah cita rasa produk, mengawetkan, dan memperbaiki penampakan
produk (Fachruddin 1997). Pembuatan abon dari bahan baku daging hewan dapat pula
dikombinasikan dengan bahan nabati seperti keluwih dan jantung pisang. Abon dari
bahan baku campuran tentu saja kualitas dan harganya lebih murah daripada abon
yang bahan bakunya dari daging murni.
Bahan baku untuk abon harus dipilih yang mutunya baik agar produk yang
dihasilkan juga bermutu baik. Kondisi bahan harus dipilih yang masih segar. Ikan yang
segar matanya belum memerah, kulitnya mengilat, insangnya berwarna merah segar,
dan bila ditekan dagingnya tidak lunak. Daging segar berwarna merah segar (tidak
pucat), aromanya khas (tidak berbau busuk), dan apabila ditekan terasa kenyal (tidak
lunak). Daging yang baik untuk dibuat abon, selain memiliki kondisi yang segar, juga
harus dipilih yang tidak mengandung banyak lemak dan jaringan liat.
Bumbu-bumbu yang digunakan dalam pembuatan abon ikan terdiri dari bawang
merah, bawang putih, ketumbar, lengkuas, daun salam, sereh garam dapur, gula pasir,
santan kelapa, dan minyak goreng. Rasa abon ikan pada dasarnya dapat diubah-ubah
sesuai selera dengan mengubah komposisi bumbu yang digunakan (Wibowo 2002).
10
jauh dengan bumbu-bumbu pembuatan abon ikan, maka bumbu-bumbu tersebut dapat
digunakan juga dalam pembuatan abon bekicot dan jerami nangka.
Rempah-rempah (bumbu) yang ditambahkan pada pembuatan abon bertujuan
memberikan rasa dan aroma yang dapat membangkitkan selera makan. Jenis
rempah-rempah yang digunakan dalam pembuatan abon adalah bawang merah, bawang putih,
kemiri, sereh, dan daun salam. Manfaat lain penggunaan rempah-rempah adalah
sebagai pengawet dikarenakan beberapa rempah-rempah dapat membunuh bakteri.
Santan kelapa merupakan emulsi lemak dalam air yang terkandung dalam
kelapa yang diperoleh dari daging buah kelapa. Kepekatan santan kelapa yang
diperoleh tergantung pada tua atau muda kelapa yang akan digunakan dan jumlah
dalam pembuatan air yang ditambahkan. Penambahan santan kelapa akan
menambah cita rasa dan nilai gizi suatu produk yang akan dihasilkan oleh abon.
Santan akan menambah rasa gurih karena kandungan lemaknya yang tinggi.
Berdasarkan hasil penelitian abon yang dimasak dengan menggunakan santan kelapa
akan lebih gurih rasanya dibandingkan abon yang dimasak tidak menggunakan santan
kelapa (Fachruddin 1997).
Penggunaan gula dan garam dalam pembuatan abon bertujuan menambah cita
rasa dan memperbaiki tekstur suatu produk abon. Pada pembuatan abon, gula
mengalami reaksi maillard sehingga menimbulkan warna kecoklatan yang dapat
menambah daya tarik suatu produk abon dan memberikan rasa manis (Fachruddin
1997).
Garam dapur (NaCl) merupakan bahan tambahan yang hampir selalu
digunakan untuk membuat suatu masakan. Rasa asin yang ditimbulkan oleh garam
dapur berfungsi sebagai penguat rasa yang lainnya. Garam dapat berfungsi sebagai
pengawet karena berbagai mikroba pembusuk, khususnya yang bersifat proteolitik,
sangat peka terhadap kadar garam (Fachruddin 1997).
Fungsi minyak goreng dalam pembuatan abon adalah sebagai pengantar
panas, penambah rasa gurih, dan penambah nilai gizi, khususnya kalori yang ada
dalam bahan pangan (Fachruddin 1997).
Tahapan Pembuatan Abon
Metode pembuatan abon bekicot dan jerami nangka tidak jauh berbeda dengan
metode pembuatan abon daging dan abon ikan. Menurut Wibowo (2002), terdapat
11
1. Ikan dibuang bagian kepala, isi perut, dan sirip kemudian dicuci bersih
kemudian dibuat fillet (daging diambil) dan dikuliti sehingga diperoleh daging tanpa kulit. Untuk bekicot, cukup dipisahkan dari cangkangnya kemudian dicuci
bersih dan direbus untuk menghilangkan lendir pada bekicot.
2. Selanjutnya daging yang sudah dibersihkan diberi cuka makan sebanyak 2%
dari berat daging.
3. Sementara itu, air dipanaskan (air : daging = 1 : 1) dan garam dapur (5%),
sereh (2%), daun salam (2%) dimasukkan dan direbus selama 10 menit.
Kemudian daging dimasukkan dan direbus selama 20 menit.
4. Daging diangkat dan dibungkus kain blacu untuk diperas sampai tiris dan air
tidak keluar lagi.
5. Daging yang sudah diperas dilumatkan menjadi serat-serat halus. Misalnya
dengan menggunakan alat pemarut kelapa atau dengan tangan.
6. Sementara proses berlangsung, bumbu disiapkan.
a. Kelapa diparut dan langsung diperas untuk diambil santan kentalnya. Untuk
4 butir kelapa diperoleh 700-750 ml santan kental untuk 8 kg daging atau ½
butir kelapa untuk 1 kg daging.
b. Bawang putih, bawang merah, dan lengkuas diparut dengan menggunakan
pemarut kelapa.
c. Ketumbar dihaluskan dengan blender, bumbu yang sudah digiling dan
santan dimasukkan dan dicampur merata.
7. Serat daging dicampur dengan bumbu tersebut dan diaduk, ditambahkan gula
pasir (15%), garam (2%), dan penyedap (0,5%) selanjutnya diaduk sampai
merata.
8. Serat daging berbumbu tersebut dimasukkan ke dalam alat penggorengan,
diputar, dan api kompor dinyalakan. Penggorengan tanpa minyak dilakukan
selama 2 jam. Suhu akan naik perlahan dari suhu kamar (30 0
C) dan
dipertahankan maksimal 80-85 0C. Pada akhir penggorengan akan tercium
aroma harum abon dan tidak ada air yang keluar dari alat tersebut.
9. Abon yang sudah matang diangin-anginkan dengan cara ditempatkan di wadah
agak lebar dan diratakan, sehingga abon menjadi dingin dan juga lebih kering.
Beberapa proses fisik yang dilakukan dalam pembuatan abon secara umum adalah
pengukusan, pengeringan dengan cara menggoreng, dan pengemasan (Akhiryani
12 Pengukusan
Pengukusan dimaksudkan agar sebagian air yang dikandung yang berasal dari
protein daging akan keluar. Hal ini tergantung pada kandungan lemaknya (Moelyanto
1982 dalam Utami 2010).
Pengeringan dengan cara menggoreng
Proses pengeringan didasari terjadinya penguapan air (pengikisan air oleh
udara), karena adanya perbedaan kandungan uap air antara udara dan produk yang
dikeringkan (Moelyanto 1982 dalam Utami 2010). Pengeringan adalah suatu metode
untuk mengeluarkan atau menghilangkan sebagian air dari suatu bahan dengan cara
menguapkan air tersebut dengan menggunakan energi panas (Winarno et al. 1990 dalam Utami 2010).
Penggorengan merupakan proses thermal yang umum dilakukan orang dengan menggunakan lemak atau minyak pangan. Minyak goreng dalam proses
penggorengan berfungsi sebagai penghantar panas serta menambah cita rasa dan
nilai gizi kalori dalam bahan pangan. Pemanasan yang tidak mencapai suhu
penggorengan menyebabkan minyak membentuk busa, sehingga proses menggoreng
tidak praktis. Pemilihan suhu penggorengan merupakan faktor yang menentukan mutu
hasil gorengan.
Metode pengeringan pada dasarnya ditempuh melalui dua proses yakni panas
harus menembus bahan yang akan dikeringkan dan air bebas yang terdapat di dalam
bahan harus diuapkan (Sunaryo 1983 dalam Utami 2010). Keuntungan dari
pengeringan adalah bahan menjadi lebih awet dengan volume bahan menjadi lebih
kecil sehingga mempermudah dan menghemat ruang pengangkutan dan pengepakan,
berat bahan juga menjadi berkurang sehingga biaya produksi menjadi lebih murah
(Einarni et al. 1990 dalam Utami 2010).
Pengaruh pengeringan terhadap nilai gizi produk adalah dengan menurunnya
kadar air bahan dan meningkatnya presentase protein, karbohidrat, dan lemak,
sedangkan pengaruhnya terhadap mikroorganisme adalah kadar air produk yang
rendah menghambat pertumbuhan mikroba. Walaupun demikian, masih terdapat
beberapa mikroba yang relatif tahan terhadap kekeringan, seperti kapang. Selain itu,
pengeringan juga berpengaruh terhadap aktivitas enzim, dimana dengan menurunnya
kadar air, aktivitas enzim menurun drastis dan dapat dikatakan nihil pada kadar air di
13
fisik dan kimia sehingga memengaruhi sifat refleksi, absorbsi transmisi dari warna
(Sunaryo 1983 dalam Utami 2010).
Umumnya bahan pangan yang dikeringkan berubah warna menjadi cokelat.
Perubahan warna tersebut disebabkan oleh reaksi-reaksi non enzymatic browning, yang paling sering terjadi adalah reaksi antara asam-asam amino dengan gula
pereduksi dapat menurunkan nilai gizi protein yang terkandung di dalamnya (Winarno
et al. 1990 dalam Utami 2010).
Kerusakan Lemak
Oksidasi minyak adalah reaksi deteriosasi yang dominan pada produk dengan
konsentrasi minyak yang tinggi dan merupakan indikator kualitas minyak yang baik
bagi konsumen (Paul & Mittal 1997 dalam Arpah 2003). Oksidasi minyak dan lemak
menyebabkan off-flavor khususnya flavor tengik pada semua bahan pangan yang mengandung minyak (Fennema 1976 dalam Arpah 2003). Produk akhir hasil reaksi
oksidasi minyak adalah malonaldehida. Kuantitas selama proses oksidasi dapat diukur
dengan menentukan nilai TBA. Bilangan TBA umumnya dinyatakan dalam jumlah
malonaldehida yang terbentuk akibat autooksidasi (Davidek et al 1990 dalam Arpah 2003).
Asam lemak bebas dihasilkan oleh proses hidrolisa dan oksidasi, biasanya
bergabung dengan lemak netral. Lemak dengan kadar asam lemak bebas lebih besar
dari satu persen, jika dicicipi akan terasa membentuk film pada permukaan lidah dan
tidak berbau tengik. Asam lemak bebas walau dalam jumlah kecil mengakibatkan rasa
yang tidak lezat. Asam lemak bebas dapat menguap dengan atom C4, C6, C8, dan
C10 menghasilkan bau tengik dan rasa tidak enak, umumnya terdapat dalam susu dan
minyak nabati misalnya minyak inti sawit (Ketaren 1986 dalam Wardani 2012).
Oksidasi lemak oleh oksigen terjadi secara spontan dan kecepatannya
tergantung tipe lemak dan kondisi penyimpanan. Faktor yang mempercepat oksidasi
adalah 1) radiasi misalnya cahaya dan panas; 2) bahan pengoksidasi, misalnya
peroksida dan asam nitrat aldehida aromatik; 3) katalis metal, khususnya garam logam
berat; dan 4) sistem oksidasi adanya katalis organik yang labil terhadap panas
(Ketaren 1986 dalam Wardani 2012).
Kerusakan akibat oksidasi pada bahan pangan berlemak terdiri dari dua tahap,
yaitu tahap pertama yang disebabkan oleh reaksi lemak dengan oksigen dan tahap
kedua merupakan kelanjutan tahap pertama yang prosesnya dapat terjadi secara
14
goreng, minyak salad, dan bahan pangan berlemak. Pada kondisi biasa, asam lemak
jenuh bersifat stabil di udara. Terbentuknya peroksida membantu proses oksidasi
sejumlah kecil asam lemak jenuh. Di samping itu, keberadaan oksigen bebas di bawah
pengaruh sinar ultraviolet atau katalis logam pada suhu tinggi dapat mengoksidasi asam lemak jenuh secara langsung (Ketaren 1986 dalam Wardani 2012).
Proses oksidasi dengan cara iradiasi dengan adanya oksigen atau adanya
oksigen dalam waktu singkat setelah proses iradiasi akan menghasilkan
hidroperoksida dan senyawa karbonil. Adanya air akan mempercepat pembentukkan
peroksida dari persenyawaan asam lemak tidak jenuh tetapi tidak akan terbentuk jika
minyak mengandung bahan pengemulsi (Ketaren 1986 dalam Wardani 2012).
Serat Pangan
Serat pangan atau ditary fiber adalah karbohidrat (polisakarida) dan lignin yang tidak dapat dihidrolisis (dicerna) oleh enzim pencernaan manusia, dan akan sampai di
usus besar (kolon) dalam keadaan utuh. Oleh karena itu kebanyakan serat pangan
akan menjadi substrat bagi fermentasi bakteri yang hidup di kolon. Serat pangan dapat
diklasifikasikan berdasarkan struktur molekul dan kelarutannya. Serat pangan yang
larut dalam air sangat mudah difermentasikan dan memengaruhi metabolisme
karbohidrat dan lipida. Sementara, serat pangan yang tidak larut, seperti selulosa
(bahan dasar dalam kapas), berperan unruk memperbesar volume feses dan
mengurangi waktu transitnya di dalam kolon (bersifat laksatif lemah). Serat pangan
terlarut, seperti agar-agar dan pectin dalam jeruk dan buah-buahan lain, mudah
terfermentasi (teragikan) dalam kolon dan berhubungan dengan metabolisme lipida
dan karbohidrat (Silalahi 2006).
Serat pangan terbukti dapat mengurangi risiko kanker, misalnya kanker kolon,
dan penyakit jantung koroner. Serat pangan berperan melalui berbagai mekanisme
kerja yang meliputi pengenceran isi kolon, absorbsi asam empedu dan karsinogen
lainnya, penurunan waktu penahanan feses atau bersifat laksatif ringan, dan
pengubahan metabolisme asam empedu (Silalahi 2006).
Selain itu, akibat adanya proses fermentasi oleh Bifidobacteria yang menguntungkan, yakni produksi asam lemak rantai pendek, serat pangan berpengaruh
menaikkan keasaman. Dengan demikian, bakteri merugikan yang tidak suka suasana
asam, yakni Escherichia coli dan Streptococcus faecalis, tidak dapat tumbuh (terhambat pertumbuhannya). Kedua bakteri yang merugikan tersebut akan
15
fermentasi ini adalah zat-zat toksis, yakni fenol, kresol, indol, amina, dan ammonia,
yang dapat meningkatkan risiko kanker kolon dan kelenjar empedu. Serat pangan,
melalui proses fisika dan biokimia yang telah diuraikan di atas dapat mengurangi risiko
kanker (Silalahi 2006).
Penilaian Organoleptik
Menurut Soekarto (1985), penilaian dengan indera disebut juga penilaian
organoleptik atau penilaian sensorik. Penilaian dengan indera ini banyak digunakan
untuk menilai mutu komoditi hasil pertanian dan makanan. Penilaian cara ini banyak
disenangi karena dapat dilaksanakan dengan cepat dan langsung. Sistem penilaian
organoleptik telah dapat dibakukan dan dijadikan alat penilaian dalam laboratorium,
dunia usaha, dan perdagangan. Penilaian organoleptik telah digunakan sebagai
metode dalam penelitian dan pengembangan.
Uji organoleptik pada produk pangan berguna untuk memberikan informasi
mengenai kualitas dan karakteristik dari suatu produk pangan dan merupakan salah
satu faktor utama untuk meningkatkan daya terima dan kepuasan konsumen.
Rasa
Rasa makanan yang kita kenal sehari-hari sebenarnya bukan satu tanggapan
melainkan campuran dari tanggapan cicip, bau, dan trigeminal yang diramu oleh kesan-kesan lain seperti penglihatan, sentuhan, dan pendengaran. Peranan
pendengaran terutama terlihat dari penilaian terhadap kerenyahan makanan tertentu
seperti kerupuk, mentimun, wortel, dan keripik. Penemuan rasa itu ialah suatu sugesti
kejiwaan terhadap makanan yang menentukan nilai pemuasan orang yang
memakannya. Umumnya ada tiga macam rasa yang sangat menentukan penerimaan
konsumen terhadap produk olahan daging yaitu tingkat kegurihan, keasinan, dan rasa
daging (meaty) (Soekarto 1985). Warna
Pada penilaian mutu komoditi, cara yang terutama masih dipakai ialah dengan
penglihatan. Dengan melihat, orang dapat mengenal dan menilai bentuk, ukuran,
kekeruhan, kesegaran produk, warna, dan sifat-sifat permukaan seperti suram,
mengilap, homogeny-heterogen, dan datar gelombang. Meskipun warna paling cepat
dan mudah memberi kesan, tetapi paling sulit diberi deskripsi dan sulit cara
pengukurannya. Itulah sebabnya penilaian secara subyektif dengan penglihatan masih
16 Aroma
Pembauan juga disebut pencicipan jarak jauh karena manusia dapat mengenal
enaknya makanan yang belum terlihat hanya dengan mencium baunya atau aromanya
dari jarak jauh. Indera pembau berfungsi untuk menilai aroma dari suatu produk atau
komoditi baik berupa makanan maupun nonpangan. Kepekaan pembauan lebih tinggi
daripada pencicipan. Zat yang diperlukan untuk dapat merangsang indera pembau
jumlahnya lebih rendah daripada zat yang diperlukan untuk perangsang indera
pencicip. Dalam banyak hal, enaknya makanan ditentukan oleh aromanya. Industri
pangan menganggap sangat penting uji aroma karena dapat dengan cepat
memberikan hasil penilaian produksinya, disukai atau tidak disukai (Soekarto 1985).
Tekstur
Tekstur merupakan penginderaan yang berhubungan dengan rabaan atau
sentuhan. Penginderaan tentang tekstur yang berasal dari sentuhan dapat ditangkap
oleh seluruh permukaan kulit. Tetapi biasanya jika orang ingin menilai tekstur suatu
bahan, digunakan ujung jari tengah. Biasanya bahan yang dinilai itu diletakkan diantara
permukaan dalam ibu jari, telunjuk, jari tengah, atau kadang-kadang dengan jari manis
17
METODOLOGI
Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2011-Oktober 2012. Kegiatan
penelitian dilakukan di Laboratorium Analisis Zat Gizi, Laboratorium Biokimia Gizi,
Laboratorium Organoleptik Gizi, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi
Manusia, IPB, serta Laboratorium Terpadu Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, IPB.
Bahan dan Alat
Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini antara lain bekicot (Achatina fulica Bowd.) dan jerami nangka (Artocarpus heterophyllus Lmk.)
.
Bahan tambahan yang digunakan dalam pembuatan abon bekicot dan jerami nangka antara lain bawangmerah, bawang putih, ketumbar, lengkuas, garam dapur, gula pasir, santan kelapa,
daun salam, sereh, dan minyak goreng. Bahan-bahan kimia yang diperlukan untuk
analisis antara lain aquades, heksan, pereaksi TBA, H2SO4, asam asetat, HCl 0,1 N,
kloroform, asam borat, NaOH, enzim thermamyl, pepsin, pankreatin, etanol, aseton, tripsin, kimotripsin, dan peptidase.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain kompor, wajan
penggorengan, panci pengukus, cobek, pisau, talenan, baskom, alat pencacah, dan
timbangan. Alat-alat untuk analisis antara lain cawan porselen, labu, gelas ukur,
Erlenmeyer, tabung reaksi, timbangan analitik, pipet, buret, desikator, soxhlet, kjeldahl
sistem, penjepit, oven, dan mortar.
Tahapan Penelitian
Penelitian Pendahuluan
Penelitian pendahuluan dilakukan untuk menentukan aroma daging terbaik
setelah perlakuan perendaman. Dalam tahap ini diberikan perlakuan pada bekicot
untuk menghilangkan bau anyir yaitu dengan direndam dengan air cuka sebelum
daging bekicot dipisahkan dari cangkangnya. Selanjutnya, setelah daging bekicot
terpisah dari cangkangnya, daging bekicot diberi dua perlakuan berbeda yaitu
direndam dengan air cuka serta dibubuhi dengan tetesan air jeruk nipis. Dari perlakuan
tersebut, dipilih daging bekicot yang terbaik yaitu daging bekicot yang sudah tidak
18
Gambar 2 Perlakuan daging bekicot sebelum diolah (Sumber: Santoso 1991)
Bekicot segar utuh dimasukkan ke dalam bak penampung selama dua hari dua
malam tanpa diberi makanan apapun kecuali dilakukan penyiraman setiap sore hari
untuk memacu pengeluaran kotoran dan lendir bekicot sekaligus menghilangkan bau
yang tidak sedap. Setelah dilakukan pembersihan kotoran, bekicot direndam dalam air
garam yang diberi 2 sendok makan cuka selama 5 menit sambil diaduk kemudian
airnya dibuang. Perendaman ini dilakukan beberapa kali (2-3 kali) hingga air rendaman
tersebut bersih/jernih. Bekicot yang telah direndam dimasukkan ke dalam air mendidih Pembersihan
Perendaman dengan 2 sdm air cuka (15 menit)
Pemisahan
Cangkang
Bekicot Segar
Daging Telur Kotoran
Pencucian
Daging bekicot dengan aroma terbaik (Perendaman dengan jeruk nipis)
Daging bekicot siap olah
Perebusan (15 menit, 100 0C)
Perebusan (15 menit, 100 0C) Perendaman dengan 2 sdm air
cuka (15 menit)
19
selama 15 menit. Kemudian bekicot yang telah direbus dipisahkan antara cangkang,
kotoran, telur, dan dagingnya.
Daging bekicot yang telah terpisah dari cangkang, telur, dan kotorannya
kemudian dicuci bersih. Daging yang telah dicuci diberi dua perlakuan yang berbeda
yaitu direndam dengan air cuka dan direndam dengan air jeruk nipis selama 15 menit
untuk mengetahui metode terbaik untuk menghilangkan bau anyir pada daging bekicot.
Berdasarkan metode tersebut, diketahui bahwa daging bekicot yang direndam dalam
air jeruk nipis memiliki aroma yang lebih baik dibanding daging bekicot yang direndam
dengan cuka. Daging bekicot yang telah direndam tersebut kemudian direbus selama
kurang lebih 15 menit. Setelah direbus, daging bekicot dicuci sekali lagi sampai bersih
kemudian daging bekicot siap diolah.
Penelitian Utama
Penelitian utama meliputi proses pembuatan abon bekicot dan jerami nangka,
uji sensori, serta tahapan analisis kimia yang meliputi analisis kadar air, abu, lemak,
protein, karbohidrat, serat, daya cerna protein, analisis bilangan peroksida, TBA, dan
kadar asam lemak bebas.
1. Proses Pembuatan Abon Bekicot dan Jerami Nangka
Proses pembuatan abon bekicot dan jerami nangka didasarkan pada petunjuk
membuat abon ikan menurut Wibowo (2002). Prosedur tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Persiapan Bahan
Daging bekicot yang digunakan ialah daging bekicot yang terbaik yang berasal
dari penelitian pendahuluan. Sementara jerami nangka yang akan diolah, sebelumnya
mengalami pengeringan melalui proses seperti pada Gambar 3.
Gambar 3 Perlakuan jerami nangka sebelum diolah (Sumber: Isnaharani 2009)
Selanjutnya, bumbu-bumbu (bawang merah, bawang putih, ketumbar, lengkuas, garam
dapur, gula pasir, daun salam, dan sereh) dipersiapkan, meliputi proses pengupasan, Jerami nangka
Disortir
Blanching (5 menit, 75 0C)
20
pencucian, penimbangan, dan penghalusan. Jumlah dan komposisi bumbu yang
dipakai berdasarkan Wibowo (2002) dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Bumbu-bumbu abon bekicot dan jerami nangka
Nama Bumbu Jumlah
Sereh 2%
Daun salam 2%
Garam dapur 7%
Gula pasir 15%
Bawang merah 1%
Bawang putih 3%
Ketumbar 1%
Lengkuas 1%
Kelapa 0,2 bt/1 kg daging
2. Pembuatan abon
Abon bekicot dan jerami nangka yang akan dibuat diberi dua perlakuan dalam
pengolahannya yaitu abon yang diolah dengan menggunakan bumbu asli abon dan
abon yang diolah dengan menggunakan bumbu asli dicampur bumbu rendang. Proses
pembuatan abon dapat dilihat pada Gambar 4.
3. Tahapan Formulasi
Pembuatan adonan abon bekicot dan jerami nangka dilakukan dengan metode
all in dough, yaitu semua bahan dicampurkan dan diaduk hingga menjadi adonan. Pencampuran bahan bertujuan untuk mendapatkan adonan sesuai dengan konsistensi
yang diinginkan. Tahap formulasi abon dilakukan melalui pencacahan daging bekicot
dan jerami nangka. Adapun tingkat perbandingan daging bekicot dan jerami nangka
pada tahapan formulasi yaitu 0%:100%, 25%:75%, 40%:60%, 50%:50%, 60%:40%,
75%:25%, dan 100%:0%. Abon bekicot dan jerami nangka yang dibuat diberi dua
perlakuan dalam pengolahannya yaitu abon yang diolah dengan menggunakan bumbu
asli abon dan abon yang diolah dengan menggunakan campuran bumbu asli dan
bumbu rendang. Variasi bumbu ini bertujuan untuk mengetahui bumbu mana yang
21 4.
Gambar 4 Proses pembuatan abon bekicot dan jerami nangka (Sumber: Wibowo 2002)
Tahap formulasi abon dilakukan melalui pencacahan daging bekicot dan jerami
nangka berbagai taraf. Proses ini menggunakan alat pencacah daging untuk
memperkecil ukuran daging bekicot dan jerami nangka hingga mendekati tekstur abon
ketika sudah diolah. Dalam proses produksinya, setiap pengolahan 500 gram adonan
digunakan bumbu asli sebanyak 50 gram. Abon dengan variasi rasa rendang, dalam
pengolahannya digunakan bumbu asli sebanyak 50 gram dan ditambah bumbu
rendang sebanyak 50 gram. Formulasi abon bekicot dan jerami nangka disajikan pada
Tabel 4.
Perbandingan daging bekicot & jerami
nangka (0:3,1:3,2:3,3:3,3:2,3:1,3:0) santan, gula, garam, dll)
Pemasakan dengan santan hingga santan mengering
Penyangraian (45 menit, 30 s/d 80-85 0C)
Abon siap saji
Jerami nangka siap olah
Pengukusan (25 menit, 100 0C)
Peremahan atau pencacahan
Pencampuran bumbu dengan bahan abon
22
Tabel 4 Formula abon bekicot dan jerami nangka dalam 500 g adonan
Formula Jerami
2. Uji Organoleptik
Uji organoleptik merupakan uji yang digunakan untuk mengetahui tingkat
kesukaan atau ketidaksukaan panelis terhadap suatu produk. Atribut yang digunakan
dalam penentuan uji mutu hedonik adalah warna (hitam-cokelat muda), aroma
(amis-harum), tekstur (lengket-terurai), serta rasa (tidak manis-manis dan tidak asin-asin).
Atribut yang digunakan dalam penentuan uji hedonik adalah warna (tidak suka-suka),
aroma (tidak suka-suka), tekstur (tidak suka-suka), rasa (tidak suka-suka), dak
keseluruhan (tidak suka-suka). Metode penilaian yang digunakan adalah uji
organoleptik skala garis dengan skala penilaian berkisar dari angka 1 sampai dengan
5.
Keseluruhan merupakan kombinasi antara penerimaan panelis terhadap atribut
warna, aroma, rasa, dan tekstur abon bekicot dan jerami nangka yang dihasilkan. Nilai
keseluruhan diperoleh berdasarkan kontribusi masing-masing atribut uji hedonik
(warna 20%, aroma 30%, rasa 30%, dan tekstur 20%).
3. Analisis Kandungan Zat Gizi, Serat, dan Daya Cerna Protein
Abon formula yang terpilih berdasarkan uji organoleptik selanjutnya dianalisis
kandungan gizinya. Analisis kandungan gizi abon meliputi kadar air, kadar abu, kadar
lemak, kadar protein, dan kadar serat. Karbohidrat dianalisis dengan metode by difference. Prinsip dalam mengukur daya cerna protein yaitu sampel dihidrolisis oleh pepsin kemudian oleh tripsin atau pankreatin kemudian dilakukan penyaringan. Jumlah
23
sehingga daya cerna protein dapat dihitung. Prosedur analisis kandungan gizi, serat,
dan daya cerna protein dapat dilihat pada Lampiran 4.
4. Analisis Karakteristik Oksidasi
Selain analisis kandungan gizi, abon formula terpilih juga dianalisis karakteristik
oksidasinya. Oksidasi lemak merupakan faktor utama menurunnya kualitas makanan,
seperti penurunan rasa dan aroma yang dinilai sebagai penurunan zat gizi dan kualitas
keamanan pangan. Secara kimia, biasanya autooksidasi lemak ditentukan dengan nilai
peroksida dan tes TBA (2-thiobarbituric acid). Peroksida adalah prekursor penting dalam penurunan rasa, meningkatnya konsentrasi, tetapi tidak berhubungan dengan
terbentuknya ketengikan (rancidity). Test TBA, dimana terbentuk endapan warna merah akibat reaksi antara TBA dan malonaldehida, secara empiris dapat diukur tetapi
bukan penyebab penurunan rasa (Tarladgris et al 1960 dalam Penfield & Campbell 1990). Prosedur analisis karakteristik oksidasi dapat dilihat pada Lampiran 5.
5. Kontribusi Zat Gizi
Salah satu keterangan yang dicantumkan dalam informasi nilai gizi adalah
jumlah zat gizi yang terdapat dalam produk pangan. Keterangan tentang kandungan
gizi tersebut harus dicantumkan dalam persentase dari Angka Kecukupan Gizi (AKG)
yang dianjurkan yaitu berupa Acuan Label Gizi (ALG) untuk kelompok tertentu.
Sasaran dalam penelitian ini adalah kelompok umum. Saran penyajian abon bekicot
dan jerami nangka dalam sehari adalah 12 sendok makan atau + 120 gram dengan
asumsi sebagai lauk pada dua kali waktu makan utama dalam satu hari.
6. Analisis harga
Harga jual produk abon dihitung dengan mempertimbangkan harga bahan
dasar pembuatan abon, biaya total produksi, biaya rendemen, dan keuntungan yang
akan diambil dari penjualan abon. Harga bahan dasar meliputi harga daging bekicot,
jerami nangka, dan bumbu-bumbu yang digunakan dalam pembuatan abon. Biaya
total produksi meliputi biaya transportasi, biaya tenaga kerja, biaya listrik dan gas, dan
biaya kemasan abon. Biaya rendemen sebesar 60% dari biaya total produksi dan
keuntungan yang diambil sebesar 25% dari biaya rendemen.
Pengolahan dan Analisis Data
Unit percobaan dalam penelitian ini adalah bekicot dan jerami nangka.
Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap.
Model matematika yang digunakan untuk penelitian utama adalah:
24
Keterangan:
Yijkl = Peubah respon
µ = Pengaruh rata-rata peubah respon
Ai = Pengaruh substitusi jerami nangka ke-i terhadap peubah respon εij = Galat percobaan
i = Banyaknya taraf tingkat substitusi jerami nangka
i = 1 (Substitusi jerani nangka 0%)
i = 2 (Substitusi jerani nangka 25%)
i = 3 (Substitusi jerani nangka 40%)
i = 4 (Substitusi jerani nangka 50%)
i = 5 (Substitusi jerani nangka 60%)
i = 6 (Substitusi jerani nangka 75%)
i = 7 (Substitusi jerani nangka 100%)
j = Ulangan
j = 1 (Ulangan pertama)
j = 2 (Ulangan kedua)
Data yang diperoleh dari hasil uji organoleptik dianalisis secara deskriptif
dengan menggunakan persentase penerimaan panelis. Persentase penerimaan
panelis ditentukan dengan cara menghitung persentase panelis yang dapat menerima
produk dari uji hedonik, yaitu (3) biasa, (4) agak tidak suka, dan (5) suka. Data
organoleptik kemudian diolah menggunakan sidik ragam (ANOVA). Apabila data yang
dihasilkan berbeda nyata antar perlakuan, maka dilanjutkan dengan uji beda lanjut
25
HASIL DAN PEMBAHASAN
Formulasi Abon Bekicot dan Jerami Nangka
Pembersihan Daging Bekicot
Pembuatan abon bekicot dan jerami nangka diawali dengan pembersihan
bekicot dari cangkangnya dan jerami nangka dari getahnya. Hal ini dilakukan guna
mendapatkan daging bekicot dan jerami nangka yang diinginkan. Bekicot yang
digunakan pada penelitian ini merupakan bekicot yang biasa terdapat di kebun.
Pengolahan daging bekicot yang akan dikonsumsi manusia perlu diperhatikan secara
khusus dalam pengolahan agar memenuhi syarat. Sebelum daging bekicot siap
dihidangkan dalam bentuk masakan, haruslah yakin betul bahwa daging tersebut
bebas dari segala macam penyakit dan bakteri terutama bakteri Salmonella. Karena itulah daging bekicot perlu diolah dengan baik, setelah itu baru dapat dimasak lebih
lanjut sesuai dengan keinginan. Bekicot segar (hidup) dimasukkan ke dalam bak
penampungan selama dua hari dua malam tanpa diberi makanan apapun, kecuali
dilakukan penyiraman setiap sore hari. Hal tersebut bertujuan untuk memacu
pengeluaran kotoran dan lendir bekicot sekaligus untuk menghilangkan bau yang tidak
sedap. Setelah dilakukan pembersihan kotoran, bekicot direndam dalam air garam
yang diberi 2 sendok makan cuka selama 15 menit sambil diaduk kemudian airnya
dibuang. Perendaman ini dilakukan beberapa kali (2-3 kali) hingga air rendaman
tersebut bersih/jernih (Santoso 1991).
Gambar 5 Bekicot utuh
Bekicot yang telah direndam dimasukkan ke dalam air mendidih selama 15
26
dipisahkan antara cangkang, kotoran, telur, dan dagingnya. Caranya ialah dengan
mencungkil daging bekicot tersebut dari cangkangnya dengan alat pencungkil. Setelah
daging, telur, dan kotoran bekicot tersebut keluar dari cangkangnya, kemudian
dipisah-pisahkan. Telur bekicot dapat langsung dicuci bersih, digoreng, dan dimakan,
sedangkan dagingnya masih perlu pengolahan lebih lanjut. Daging bekicot yang telah
terpisah dari cangkang, telur, dan kotorannya kemudian dicuci bersih hingga lendirnya
berkurang. Daging yang telah dicuci bersih, direndam dengan 2 sendok makan air
jeruk nipis selama 15 menit. Tujuan perendaman dengan air jeruk nipis ialah untuk
menghilangkan aroma amis pada daging bekicot. Daging bekicot yang telah direndam
tersebut kemudian direbus selama kurang lebih 15 menit (Santoso 1991). Setelah
direbus, daging bekicot kemudian dicacah agar diperoleh tekstur daging bekicot yang
diinginkan. Daging bekicot yang digunakan pada penelitian ini ialah bagian perut dan
mantelnya, sedangkan bagian ekor tidak digunakan. Pengolahan 1 kg bekicot utuh
menghasilkan daging rata-rata sebesar 100-150 gram.
Pembersihan Jerami Nangka
Jerami nangka sebenarnya merupakan bunga yang tidak dibuahi sementara
bunga yang terserbuki akan menjadi satu biji buah nangka yang dikenal dengan
sebutan nyamplungan. Jerami yang terbentuk ada yang tebal berukuran besar dan manis rasanya sehingga dapat dimakan, dan ada juga jerami kecil, yang tidak manis
dan tidak enak dimakan. Jerami nangka merupakan bagian terbesar ke dua setelah
daging yang jumlahnya cukup banyak. Jerami nangka sebagian besar tersusun dari
air, yaitu kurang lebih 75 persen, dan selebihnya bahan kering yang tersusun terutama
dari karbohidrat berupa glukosa, fruktosa, sukrosa, pati, serat, pektin dan lainnya.
Dilihat dari kandungan yang ada, amat disayangkan apabila jerami nangka dibuang
begitu saja (Anonim 2011).
27
Jerami nangka yang digunakan dalam penelitian ini merupakan jerami dari
nangka yang belum terlalu matang yang diperoleh dari pedagang nangka di pasar.
Jerami nangka matang biasanya berwarna kuning hingga kuning tua. Penggunaan
jerami nangka matang akan menyulitkan dalam proses penyangraian abon. Tekstur
jerami nangka matang cenderung lunak setelah diblansir sehingga butuh waktu yang
cukup lama pada saat penyangraian dan tekstur abon yang dihasilkan akan cenderung
lengket. Jerami nangka yang diperoleh kemudian disortir untuk dipilih jerami nangka
yang berwarna kuning muda hingga agak putih agar memudahkan dalam proses
pembuatan abon. Jerami nangka yang telah terpilih diblansir pada suhu 750C selama 5
menit untuk menghilangkan getahnya. Proses blansir ini dianjurkan untuk tidak terlalu
lama karena khawatir jerami akan menjadi lunak sehingga mempersulit proses
pengeringan pada saat pembuatan abon bekicot dan jerami nangka. Jerami nangka
yang telah diblansir kemudian didinginkan lalu dicacah agar diperoleh tekstur jerami
nangka yang diinginkan.
Pengolahan Abon Bekicot dan Jerami Nangka
Pengolahan abon dimulai dengan mempersiapkan bahan-bahan yang
diperlukan dalam pembuatan abon bekicot dan jerami nangka, antara lain daging
bekicot, jerami nangka, dan bumbu yang terdiri dari bawang merah, bawang putih,
ketumbar, lengkuas, garam dapur, gula pasir, santan kelapa, daun salam, sereh, dan
minyak goreng. Daging bekicot dan jerami nangka yang akan diolah terlebih dahulu
dicacah agar diperoleh tekstur yang diinginkan. Bumbu yang telah disiapkan sesuai
dengan takaran kemudian dihaluskan dan ditumis. Setelah beraroma harum,
dimasukkan santan lalu didiamkan hingga santan menjadi setengah dari santan awal.
Setelah itu dimasukkan daging bekicot dan jerami nangka lalu disangrai hingga
mengering. Pengolahan 500 gram adonan mentah menghasilkan kurang lebih 250
gram abon matang.
Abon bekicot dan jerami nangka yang dibuat diberi dua perlakuan dalam
pengolahannya yaitu abon yang diolah dengan menggunakan bumbu asli abon dan
abon yang diolah dengan menggunakan bumbu asli yang dicampur dengan bumbu
rendang. Variasi bumbu ini bertujuan untuk mengetahui bumbu mana yang paling
disukai dan diterima untuk dikembangkan lebih lanjut. Pemilihan bumbu rendang
sebagai variasi rasa didasarkan pada informasi yang menyebutkan bahwa rendang
adalah makanan asli Sumatera Barat, Indonesia, yang menduduki posisi pertama
28
formulasi abon dilakukan melalui pencacahan daging bekicot dan jerami nangka
berbagai taraf. Proses ini menggunakan alat pencacah daging untuk memperkecil
ukuran daging bekicot dan jerami nangka hingga mendekati tekstur abon ketika sudah
diolah. Formula abon bekicot dan jerami nangka disajikan pada Tabel 5.
Adapun tingkat perbandingan daging bekicot dan jerami nangka pada tahapan
formulasi yaitu 0%:100%, 25%:75%, 40%:60%, 50%:50%, 60%:40%, 75%:25%, dan
100%:0%. Abon bekicot dan jerami nangka yang dibuat diberi dua perlakuan dalam
pengolahannya yaitu abon yang diolah dengan menggunakan bumbu asli abon dan
abon yang diolah dengan menggunakan campuran bumbu asli dan bumbu rendang.
Variasi bumbu ini bertujuan untuk mengetahui bumbu mana yang paling disukai dan
diterima untuk dikembangkan lebih lanjut.
Sifat Organoleptik Abon Bekicot dan Jerami Nangka
Uji Mutu Hedonik
Menurut Soekarto (1985), penilaian dengan indera disebut juga penilaian
organoleptik atau penilaian sensorik. Penilaian dengan indera ini banyak digunakan
untuk menilai mutu komoditi hasil pertanian dan makanan. Penilaian cara ini banyak
disenangi karena dapat dilaksanakan dengan cepat dan langsung.
Warna
Warna merupakan hasil pengamatan dengan penglihatan yang dapat
membedakan antara satu warna dengan warna lainnya, cerah, buram, bening, dan
sebagainya. Penentuan mutu bahan pangan pada umumnya sangat bergantung pada
beberapa faktor diantaranya cita rasa, warna, tekstur, dan nilai gizinya. Meskipun
warna paling cepat dan mudah memberi kesan, tetapi paling sulit diberi deskripsi dan
sulit cara pengukurannya. Itulah sebabnya penilaian secara subyektif dengan
penglihatan masih sangat menentukan dalam penilaian komoditi (Soekarto 1985).
Pada uji mutu hedonik, nilai terbanyak yang muncul pada atribut warna abon
bekicot dan jerami nangka rasa abon asli dan abon dengan variasi rasa rendang
berada pada kisaran nilai hitam (gosong)-cokelat muda. Nilai ini berada pada kisaran
warna 1-5. Gambar 7 menyajikan nilai terbanyak yang muncul hasil uji mutu hedonik
warna abon bekicot dan jerami nangka dengan rasa asli abon dan dengan variasi rasa
rendang. Berdasarkan gambar tersebut dapat dilihat bahwa seiring dengan
meningkatnya komposisi jerami nangka dalam perbandingan maka penampakan
warna abon cenderung semakin coklat muda. Hasil uji ANOVA terhadap mutu warna