• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kerentanan Wereng Batang Cokelat, Nilaparvata lugens Stål dari Enam Lokasi di Pulau Jawa terhadap Tiga Jenis Insektisida

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kerentanan Wereng Batang Cokelat, Nilaparvata lugens Stål dari Enam Lokasi di Pulau Jawa terhadap Tiga Jenis Insektisida"

Copied!
61
0
0

Teks penuh

(1)

KERENTANAN WERENG BATANG COKELAT, Nilaparvata

lugens STÅL (HEMIPTERA: DELPHACIDAE), DARI ENAM

LOKASI DI PULAU JAWA TERHADAP TIGA JENIS

INSEKTISIDA

ERWIN CUK SURAHMAT

PROGRAM STUDI ENTOMOLOGI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Kerentanan Wereng Batang Cokelat, Nilaparvata lugens Stål (Hemiptera: Delphacidae), dari Enam Lokasi di Pulau Jawa terhadap Tiga Jenis Insektisida adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Semua sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2015

Erwin Cuk Surahmat

(4)
(5)

i

RINGKASAN

ERWIN CUK SURAHMAT. Kerentanan Wereng Batang Cokelat, Nilaparvata lugens Stål (Hemiptera: Delphacidae), dari Enam Lokasi di Pulau Jawa terhadap Tiga Jenis Insektisida. Dibimbing oleh DADANG dan DJOKO PRIJONO.

Wereng batang cokelat (WBC) Nilaparvata lugens Stål merupakan salah satu hama utama tanaman padi di Indonesia. Hama tersebut dapat berkembang biak secara cepat. WBC cepat berubah biotipe dan menjadi resisten terhadap insektisida. Selain itu WBC juga berperan sebagai vektor penyakit kerdil rumput dan kerdil hampa pada tanaman padi. Kehilangan hasil akibat serangan WBC dapat mencapai 70%. Selama ini belum banyak data mengenai resistensi populasi WBC terhadap insektisida yang banyak digunakan oleh petani padi.

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan mendapatkan informasi mengenai kerentanan populasi hama WBC dari enam lokasi di Pulau Jawa, yaitu Serang, Karawang, Subang, Indramayu, Purbalingga, dan Pasuruan terhadap insektisida imidakloprid (neonikotinoid, golongan 4A), BPMC (karbamat, golongan 1A) dan pimetrozin (azomektin, golongan 9B). Informasi ini selanjutnya dapat digunakan untuk menghasilkan rekomendasi penggunaan insektisida pengendali hama WBC secara spesifik lokasi.

(6)

ii

Suhu minimum dan maksimum ruangan dicatat, untuk pengujian dengan insektisida BPMC dan imidakloprid dilakukan di dalam laboratorium dengan kisaran suhu 25-30 oC, sedangkan pengujian dengan insektisida pimetrozin dilakukan di dalam rumah kaca dengan kisaran suhu 24-42 oC.

Hubungan antara konsentrasi insektisida BPMC dan imidakloprid dengan tingkat kematian larva serangga uji pada waktu-waktu pengamatan tersebut dengan menggunakan analisis probit. Dari analisis probit data tingkat kematian yang diperoleh dalam pengujian tersebut dapat ditentukan LC50 masing-masing

insektisida uji. Sebagai tolok ukur resistensi, digunakan nisbah resistensi (NR) yang dihitung dengan membandingkan LC50 populasi lapangan dengan LC50

populasi standar. Populasi serangga yang berasal dari lapangan dikatakan telah resisten jika memiliki NR ≥ 4. Indikasi resistensi telah terjadi jika NR ≥ 1. Untuk pimetrozin perlu data tambahan untuk mengetahui kerentanan populasi WBC, yaitu dengan menghitung persentase penghambatan perkembangan populasi dengan menggunakan rumus Abbott.

Hasil perlakuan pada koloni BB Padi menunjukkan LC50 insektisida

pimetrozin sebesar 1.7 ppm b.a., imidakloprid 244 ppm b.a., dan BPMC 216 ppm b.a. LC95 pimetrozin 959 ppm b.a. (3.2-3.8 kali konsentrasi anjuran), imidakloprid

3772 ppm b.a. (94.3-188.6 kali konsentrasi anjuran), dan LC95 BPMC 1322.5 ppm

b.a. (0.66 kali konsentrasi anjuran).

WBC dari keenam lokasi masih rentan terhadap insektisida pimetrozin (NR 1.2-2.2). Bila dilihat dari penghambatan populasi, WBC dari keenam lokasi masih rentan, terlihat dari perlakuan pada konsentrasi 50 ppm (seperlima konsentrasi anjuran di lapangan) mengakibatkan penghambatan perkembangan populasi WBC sebesar 100%. WBC populasi Pasuruan masih rentan terhadap imidakloprid (NR 2.0), tetapi WBC dari kelima lokasi lainnya sudah resisten (NR 4.8-108.1). Hanya WBC dari Indramayu yang telah resisten terhadap BPMC (NR 6.6) WBC dari kelima lokasi lainnya masih rentan (NR 2.5-3.0). Pemajanan populasi pembanding pada konsentrasi subletal (LC50) masing-masing insektisida sebanyak tiga

generasi menyebabkan pergeseran kerentanan WBC terhadap BPMC tetapi hal tersebut tidak terjadi terhadap imidakloprid.

(7)

iii

SUMMARY

ERWIN CUK SURAHMAT. Susceptibility of Rice Brown Planthopper,

Nilaparvata lugens Stål (Hemiptera: Delphacidae), from Six Locations in Java to Three Insecticides. Supervised by DADANG and DJOKO PRIJONO.

The rice brown planthopper (BPH), Nilaparvata lugens Stål (Hemiptera: Delphacidae), is one of the important rice pests in Indonesia. BPH also acts as vector for grassy stunt tenuivirus and rice ragged stunt oryzavirus. Yield losses due to BPH infestation can reach up to 70%. Despite relatively frequent use of insecticides to control this pest, data on BPH resistance to insecticides commonly used by farmers in Indonesia is scarce.

This study was conducted to assess the susceptibility of BPH from six locations in Java i.e. Serang, Karawang, Subang, Indramayu, Purbalingga, and Pasuruan to imidacloprid, BPMC, and pymetrozyne. Information obtained can be used as reference for location specific BPH control recommendation. Ten farmers in the surrounding sample collection location were interviewed to find out what are the insecticides they used to control BPH in past 2-5 years.

The first laboratory generation of BPH adults were subjected to insecticide treatments using a leaf dips residual method as described in IRAC Method No 005. After conducting a range of preliminary test for bracketting, 6 concentration of each insecticides use for bioassay expected to give mortality between 0 < X < 100%. Each concentration prepared by diluting commercial formulation into water contained 0.03% non-ionic wetter (Extravon 250EC). Ten hills of rice seed, 10-12 days after sowing, plant into plastic cup (Ø: 19-20 cm, h: 9.5 cm). Prepare

agar according to manufacturer’s instructions and allow it to cool but not solidify. As soon as it is lukewarm (approx. 37 oC) pour enough agar into each pot of rice to cover the soil surface. Note that if the agar is too hot it will run straight through the pot. The cool, but still liquid agar, will stay on the soil surface and quickly solidify. The agar helps to prevent soil from falling out of the pots when the plants are dipped into the insecticide solution and also makes it easier to find dead or affected hoppers during assessment. Invert the pots and dip seedlings completely into the test solutions for 10 seconds. It is very important that the seedlings are dipped all the way into the solution to ensure that all exposed plant parts are in contact with the insecticide. After dipping, revert the pots and allow the seedlings to dry for 15 minutes. When the plants are dry, cover them with individual plastic tubes. Different MoAs require assessment at different time points, 48 hours after treatment (HAT) for BPMC (carbamates), 72 HAT for imidakloprid (neonicotinoid) and 7 & 18 days after treatment (DAT) for pimetrozin (selective homopteran feeding blocker). Record temperature and humidity, for BPMC and imidakloprid store the treatment series in laboratory with 25-30 oC, while for pimetrozine keep it in greenhouse with 24-40 oC.

Mortality data was analyzed using probit analysis to get LC50. Resistance

factor (RF) was determined by comparing LC50 of each insecticide against BPH

(8)

iv

to happen in the field. BPH susceptibility to pymetrozine was also assessed based on inhibition of BPH population development using Abbott formula.

LC50 for refrerence population are 1.7 ppm a.i for pimetrozine, 244 ppm a.i.

for imidacloprid, and 216 ppm a.i. for BPMC. While LC95 for pimetrozine is 959

(3.2-3.8 times recommendation rate), 3772 ppm a.i. (94.3-188.6 recommendation rate), and 1332.5 ppm a.i. (0.66 times recommendation rate). BPH populations from all six locations were susceptible to pymetrozine (NR 1.2-2.2), in which the treatment with pymetrozine at 50 ppm a.i. (one-fifth of the recommended field rate) caused 100% inhibition of BPH population development. BPH from five locations showed resistance to imidacloprid (RF 4.8-108.1), but that from Pasuruan did not (RF 2.0). BPH from Indramayu was resistant to BPMC (RF 6.6) whereas those from the other five locations were not (RF2.5-3.0). Exposure of the reference population to a sublethal dose of insecticides (LC50) for three

generations decreased the susceptibility of the third BPH generation to BPMC but not to imidacloprid.

(9)

©

Hak cipta milik IPB, tahun 2015

Hak cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(10)
(11)

KERENTANAN WERENG BATANG COKELAT, Nilaparvata

lugens STÅL (HEMIPTERA: DELPHACIDAE), DARI ENAM

LOKASI DI PULAU JAWA TERHADAP TIGA JENIS

INSEKTISIDA

ERWIN CUK SURAHMAT

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Entomologi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

iii

(13)

Judul Tesis : Kerentanan Wereng Batang Cokelat, Nilaparvata lugens Stål (Hemiptera: Delphacidae), dari Enam Lokasi di Pulau Jawa

terhadap Tiga Jenis Insektisida Nama Mahasiswa: Erwin Cuk Surahmat

NRP : A351110041

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Dadang, MSc. Ketua

Ir. Djoko Prijono, MAgrSc. Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Entomologi

Dr. Ir. Pudjianto, MSi.

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, MScAgr.

(14)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yang

atas segala karunia-Nya karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2013 ini adalah resistensi serangga terhadap insektisida dengan judul Kerentanan Wereng Batang Cokelat,

Nilaparvata lugens Stål (Hemiptera: Delphacidae), dari Enam Lokasi di Pulau Jawa terhadap Tiga Jenis Insektisida. Karya ilmiah ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Entomologi Institut Pertanian Bogor.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Ir. Dadang, M.Sc dan Ir. Djoko Prijono, MAgrSc masing-masing selaku Ketua dan Anggota Komisi Pembimbing atas bimbingan dari rencana sampai selesainya penelitian dan penulisan tesis ini. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Dr. Ir. I Wayan Winasa, MSi yang bersedia menjadi penguji luar komisi.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Midzon Johannis yang telah mengijinkan penulis menggunakan waktu kerja untuk menghadiri kuliah, Mardi, Badrudin, Agri Kardinan, Candra Putra, Abduhaki, Tajudin, Hudan, Aryo Susetyo, Amad Muhammad, Agus Triwiyono dan semua rekan di PT Syngenta Indonesia kantor penelitian Cikampek untuk bantuan yang diberikan selama pelaksanaan penelitian ini. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Bp Baehaki SE yang telah banyak memberi masukan untuk penelitian ini, Balai Besar Penelitian Padi yang telah menyediakan populasi WBC untuk acuan, dan Nadzirum Mubin yang banyak membantu proses administrasi.

Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada istri tercinta Lia Aliyah, ibunda Sri Suwarsi, ananda Hariz Mahir Nafi dan seluruh keluarga atas segala doa, motivasi, dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2015

(15)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMIRAN vii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 3

TINJAUAN PUSTAKA 4

Wereng Batang Cokelat 4

Taksonomi 4

Bioekologi 4

Insektisida Uji 7

Imidakloprid 7

BPMC 7

Pimetrozin 8

Resistensi terhadap Insektisida 9 Status Resistensi WBC terhadap Insektisida 9 Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Resistensi 10

BAHAN DAN METODE 13

Tempat dan Waktu Penelitian 13

Penyiapan Serangga Uji 13

Penyiapan Insektisida Uji dan Varietas Padi 13

Pengujian Kerentanan 13

Seleksi Resistensi 14

HASIL DAN PEMBAHASAN 16

Tingkat Kerentanan Acuan 16

Tingkat Resistensi WBC 16

Wawancara Penggunaan Insektisida 19

Seleksi Resistensi 25

KESIMPULAN 26

DAFTAR PUSTAKA 27

LAMPIRAN 31

(16)

DAFTAR TABEL

1 Lokasi dan waktu pengambilan sampel WBC 12 2 Konsentrasi uji lanjutan insektisida imidakloprid 13 3 Konsentrasi uji lanjutan insektisida BPMC 13 4 Toksisitas insektisida pimetrozine, imidakloprid, dan BPMC

terhadap WBC populasi BB Padi Sukamandi

18

5 Tingkat resistensi WBC populasi lapangan terhadap insektisida pimetrozin, imidakloprid, dan BPMC

18

6 Persentase penghambatan populasi lapangan WBC dengan perlakuan insektisida pimetrozin

19

7 Frekuensi aplikasi insektisida untuk mengendalikan WBC dari 6 lokasi di Pulau Jawa

19

8 Insektisida yang digunakan petani untuk mengendalikan WBC dari 6 lokasi di Pulau Jawa

21

9 Deteksi resistensi WBC setelah tiga kali perlakuan dengan dosis subletal (LC50)

25

DAFTAR GAMBA

R

1 Struktur kimia imidakloprid 7

2 Struktur kimia BPMC 8

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Hasil uji lanjut insektisida imidakloprid terhadap WBC populasi BB Padi

30

2 Hasil uji lanjut insektisida imidakloprid terhadap WBC populasi Serang 30 3 Hasil uji lanjut insektisida imidakloprid terhadap WBC populasi

Karawang

30

4 Hasil uji lanjut insektisida imidakloprid terhadap WBC populasi Subang 31 5 Hasil uji lanjut insektisida imidakloprid terhadap WBC populasi

Indramayu

31

6 Hasil uji lanjut insektisida imidakloprid terhadap WBC populasi Purbalingga

31

7 Hasil uji lanjut insektisida imidakloprid terhadap WBC populasi Pasuruan

32

8 Hasil uji lanjut insektisida BPMC terhadap WBC populasi BB Padi 32 9 Hasil uji lanjut insektisida BPMC terhadap WBC populasi Serang 32 10 Hasil uji lanjut insektisida BPMC terhadap WBC populasi Karawang 33 11 Hasil uji lanjut insektisida BPMC terhadap WBC populasi Subang 33 12 Hasil uji lanjut insektisida BPMC terhadap WBC populasi Indramayu 33 13 Hasil uji lanjut insektisida BPMC terhadap WBC populasi Purbalingga 34 14 Hasil uji lanjut insektisida BPMC terhadap WBC populasi Pasuruan 34 15 Hasil uji insektisida pimetrozin terhadap WBC koloni BB Padi (7 HSA) 34 16 Hasil uji insektisida pimetrozin terhadap WBC populasi Serang (7 HSA) 35 17 Hasil uji insektisida pimetrozin terhadap WBC populasi Karawang

(7 HSA

35

18 Hasil uji insektisida pimetrozin terhadap WBC populasi Subang (7 HSA)

35

19 Hasil uji insektisida pimetrozin terhadap WBC populasi Indramayu (7 HSA)

36

20 Hasil uji insektisida pimetrozin terhadap WBC populasi Purbalingga (7 HSA)

36

21 Hasil uji insektisida pimetrozin terhadap WBC populasi Pasuruan (7 HSA)

36

22 Hasil uji insektisida pimetrozin terhadap WBC koloni BB Padi (18 HSA)

37

23 Hasil uji insektisida pimetrozin terhadap WBC populasi Serang (18 HSA)

37

24 Hasil uji insektisida pimetrozin terhadap WBC populasi Karawang (18 HSA

37

25 Hasil uji insektisida pimetrozin terhadap WBC populasi Subang (18 HSA)

38

26 Hasil uji insektisida pimetrozin terhadap WBC populasi Indramayu (18 HSA)

38

27 Hasil uji insektisida pimetrozin terhadap WBC populasi Purbalingga (18 HSA)

38

28 Hasil uji insektisida pimetrozin terhadap WBC populasi Pasuruan (18 HSA)

(18)
(19)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Wereng batang cokelat (WBC) Nilaparvata lugens Stål (Hemiptera: Delphacidae) merupakan salah satu hama utama tanaman padi di Indonesia. Serangan WBC secara luas pertama kali terjadi pada tahun 1976/1977. Pada kurun 1971-1980 serangan WBC mencapai 3 093 593 ha, pada kurun 1981-1990 458 038 ha, pada kurun 1991-2000 312 610 ha, pada 2001- 2010 351 748 ha, dan pada kurun waktu 2011-2013 serangan WBC mencapai 39 069 ha (Ditlin 2013). Serangan WBC tidak hanya mengakibatkan puso yang ditandai dengan

hopperburn tetapi juga meningkatnya kejadian penyakit yang disebabkan oleh virus yaitu kerdil rumput dan kerdil hampa yang dapat mengakibatkan penghambatan pertumbuhan sampai 55% (Ling 1977). Serangan WBC pada tahun 2010 diikuti munculnya kedua penyakit tersebut pada pertanaman padi di musim tanam berikutnya. Kehilangan hasil akibat serangan hama WBC dan serangan penyakit yang disebabkan virus mencapai 70%. Berdasarkan data dari Ditlin (2012), lahan sawah yang terserang hama WBC terdapat di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, Lampung, Serang, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogjakarta, Jawa Timur, dan Sulawesi. Sebagian besar daerah endemik terdapat di Pulau Jawa, yaitu Jawa Tengah (32 kabupaten), Jawa Timur (27 kabupaten), Jawa Barat (19 kabupaten), dan Serang (6 kabupaten).

WBC dapat berkembang biak secara cepat dan dapat menghabiskan makanan dengan cara mengisap cairan tanaman dalam waktu singkat karena WBC termasuk serangga hama berstrategi-r yang mempunyai ciri (a) serangga kecil yang cepat menemukan habitatnya, (b) berkembang biak dengan cepat dan mampu mempergunakan sumber daya dengan baik sebelum serangga lain ikut berkompetisi, (c) mempunyai sifat menyebar dengan cepat ke habitat baru sebelum habitat lama tidak berguna. Menurut Baehaki (1984), laju pertumbuhan intrinsik (r) WBC adalah 0.013, yang berarti satu ekor betina WBC dapat menghasilkan keturunan sebanyak 1353 ekor dalam 70 hari atau sebanyak 10 615 ekor dalam 3 bulan.

(20)

2

dan Tuban telah mencapai biotipe 3 (Baehaki dan Munawar 2007). Pelemahan kerja insektisida terjadi dengan mekanisme yang serupa dengan pembentukan biotipe baru. Tekanan seleksi karena insektisida sering disebabkan ketidaktepatan penggunaan insektisida oleh petani. Hal tersebut akan memicu terjadinya penurunan kerentanan WBC terhadap insektisida.

Secara umum serangan WBC lebih dominan terjadi pada musim hujan, sedangkan pada musim kemarau serangannya terjadi di daerah-daerah yang sering hujan. Populasi WBC cepat meningkat pada kelembapan tinggi (70%-80%), suhu siang hari optimum (28-30 °C), intensitas cahaya matahari rendah, pemupukan N tinggi, tanaman rimbun, lahan basah, angin lemah. Faktor lain yang memengaruhi perkembangan populasi WBC di lapangan adalah ketahanan varietas padi yang digunakan, pola tanam padi-padi-padi (faktor ketersediaan air), keberadaan musuh alami (parasitoid, predator dan patogen), penggunaan pestisida yang tidak memenuhi kaidah enam tepat (tepat jenis, sasaran, waktu, dosis, cara, dan tempat). Selain itu penanaman varietas berdaya hasil tinggi (high-yielding variety) memicu penggunaan pupuk nitrogen yang berlebihan. Praktik ini dikombinasikan dengan penggunaan insektisida yang kurang bijaksana dapat menyebabkan ketidakstabilan populasi WBC dan sering terjadi ledakan populasi WBC (Lu dan Heong 2009).

Serangan WBC sangat dipengaruhi oleh anomali iklim. Puncak serangan pada tahun 1998 di Jawa Barat terjadi pada saat La Nina yang didahului oleh El Nino yang sangat kuat pada tahun 1997. Beratnya serangan WBC dipengaruhi oleh polimorfisme serangga ini. Serangga dewasa akan mempunyai sayap panjang (makroptera) bila makanan atau ruang sudah tidak mencukupi untuk perkembangan populasi. Apabila makanan atau ruang masih mencukupi, serangga dewasa yang terbentuk akan mempunyai sayap pendek (brakiptera). Sawada et al.

(1992) menyatakan sering terjadi populasi tumpang tindih di lapangan karena adanya migrasi WBC makroptera. Hal ini disebabkan oleh preferensi imago WBC makroptera pada tanaman padi muda.

Sejak tahun 1970 ledakan populasi WBC terjadi di beberapa negara di Asia Tenggara, yang diduga sebagai dampak dari Revulosi Hijau (Green Revolution). Negara-negara Indochina menggunakan insektisida yang berbahan aktif neonikotinoid dan fenilpirazol untuk mengendalikan WBC sejak tahun 1990-an. Penggunaan insektisida yang kurang tepat memicu terjadinya resistensi dan ledakan populasi. Pada tahun 2005 terjadi peningkatan populasi WBC yang sangat besar dan terus berlanjut pada 3 tahun berikutnya di Jepang. Ledakan populasi tidak hanya terjadi di Jepang, tetapi juga di Cina dan Vietnam. Ledakan populasi tersebut terjadi karena berkembangnya resistensi populasi WBC terhadap insektisida berbahan aktif imidakloprid (Matsumura dan Morimura 2010). Di Indonesia, tidak banyak data mengenai resistensi populasi WBC terhadap insektisida tertentu, walaupun ledakan populasi WBC sering terjadi. Setelah tahun 1980-an terjadi ledakan populasi WBC yang ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya Inpres Nomor 3 Tahun 1986 tentang peningkatan pengendalian hama WBC. Ledakan populasi WBC terjadi beberapa kali di tahun-tahun berikutnya.

(21)

3

dengan sebelum dilakukan penyemprotan. Hal ini mendasari pemilihan insektisida uji pada penelitian ini, yaitu imidakloprid, BPMC, dan pimetrozin yang merupakan insektisida yang terdaftar untuk mengendalikan WBC. Insektisida berbahan aktif imidakloprid termasuk golongang neonikotinoid, yang telah diketahui dapat menyebabkan terjadinya resistensi di beberapa negara Asia dan mulai diperdagangkan di Indonesia sejak tahun 1994. Insektisida berbahan aktif BPMC merupakan insektisida yang dianjurkan oleh pemerintah untuk pengendalian hama WBC dan mulai diperdagangkan di Indonesia sejak tahun 1999. Sedangkan pimetrozin merupakan insektisida untuk pengendalian WBC yang baru diperdagangkan di Indonesia sejak tahun 2009 (Ditjen PSP 2013).

Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan mendapatkan informasi mengenai kerentanan populasi hama wereng batang cokelat dari enam lokasi di Pulau Jawa terhadap tiga jenis insektisida yang sering digunakan oleh petani serta informasi mengenai penggunaan insektisida di daerah tersebut.

Manfaat Penelitian

(22)

TINJAUAN PUSTAKA

Wereng Batang Cokelat Taksonomi

Nilaparvata lugens Stål termasuk dalam ordo Hemiptera, subordo Auchenorrhynca, superfamili Fulgoroidea, famili Delphacidae (Mochida dan Okada 1979). Dua genus dari famili Delphacidae yang menjadi hama penting di Indonesia adalah Nilaparvata dan Sogatella, dan spesiesnya adalah Nilaparvata lugens Stål atau wereng batang cokelat (WBC) dan Sogatella furcifera (Horváth) atau wereng punggung putih. (Wilson dan Claridge 1990). Kedua spesies ini sering ditemukan bersamaan pada tanaman padi.

Bioekologi

Wereng batang cokelat merupakan hama utama pada pertanaman padi irigasi teknis, tetapi juga menyerang tanaman padi tadah hujan dan sangat jarang ditemukan pada sawah di daerah dataran tinggi (Reissig et al. 1986). Serangga ini awalnya bukan merupakan hama penting di Indonesia, namun sejak tahun 1970 WBC statusnya berubah menjadi hama penting pertanaman padi di Indonesia (Kalshoven 1981). Sejak saat itu Indonesia telah mengalami ledakan populasi WBC sebagai akibat dari beberapa hal, yaitu penanaman padi sepanjang tahun, penggunaan varietas rentan, dan kurangnya pengendalian gulma. WBC adalah serangga dengan metamorfosis tidak sempurna (paurometabola), yang dalam satu generasi akan melewati fase telur, nimfa, dan serangga dewasa. Serangga dewasa mempunyai dua bentuk sayap, yaitu bersayap panjang (makroptera) dan bersayap pendek (brakiptera) (Subroto et al. 1992b).

Hama ini tersebar di Asia, Australia, dan Kepulauan Pasifik. Di benua Asia serangga ini dapat ditemukan di Bangladesh, Brunei, Myanmar, Cina, Hongkong, India, Indonesia, Jepang, Kamboja, Korea, Laos, Malaysia, Nepal, Pakistan, Filipina, Singapura, Sri Lanka, Taiwan, Thailand, dan Vietnam. Di Australia dan Kepulauan Pasifik serangga ini dapat ditemukan di Kepulauan Karolina, Fiji, Kepulauan Mariana, Papua Nugini dan Kepulauan Solomon (Reissig et al. 1986). WBC tidak ditemukan di benua Amerika dan Afrika.

WBC mengisap cairan pada jaringan floem dan menutup pembuluh tanaman. Nimfa instar awal makan sedikit dan mengakibatkan kerusakan yang sedikit, nimfa instar lanjut dan serangga dewasa makan lebih banyak tetapi hanya akan menyebabkan kerusakan jika populasinya tinggi. Tanaman dirusak melalui pengisapan nutrisi sehingga mengurangi hasil dan dapat mematikan tanaman. Kerusakan lebih berat biasanya terjadi pada musim hujan, karena stomata menutup dan terjadi pengurangan fotosintesis. Kerusakan berat akibat serangan WBC terlihat seperti gejala terbakar atau biasa disebut hopperburn (Gallagher 1991). Gejalanya secara umum mirip penuaan, termasuk di dalamnya adalah tepi daun menggulung (termasuk pada tanaman muda), klorosis daun (warna daun berubah menjadi kekuningan), diikuti dengan terkulainya daun, dan tanaman menjadi kerdil yang disebabkan oleh berkurangnya laju pertumbuhan daun (Backus et al. 2005).

(23)

5

dan kerdil hampa (ragged stunt). WBC menularkan rice grassy stunt virus

(RGSV) dan rice ragged stunted virus (RRSV) secara persisten tetapi tidak bersifat transovarial. Tanaman padi yang terinfeksi RGSV menunjukkan gejala kerdil dan jumlah anakannya menjadi banyak, daunnya menjadi kaku dan kecil, terkadang menunjukkan klorosis antartulang daun. Tanaman padi yang terinfeksi RRSV menunjukkan gejala kerdil, daun tidak normal dengan pinggiran bergerigi dan menggulung, dan pembengkakan vena (terbentuk puru) pada bagian bawah seludang daun (Cabauatan et al. 2009). Pada beberapa varietas, daun yang masih muda menunjukkan gejala titik-titik atau bergaris, tetapi daun akan tetap terlihat hijau jika diberi pupuk nitrogen yang cukup. Penghambatan tumbuh akibat serangan virus dapat mencapai 55% (Ling 1977). Kedua virus tersebut hanya menjadi masalah serius pada tempat dengan populasi WBC tinggi (Gallagher 1991).

WBC meletakkan telur dalam jaringan tanaman pada seludang daun dan helai daun. Pada helai daun telur biasanya diletakkan pada tulang daun, terutama bagian pangkal. Telur diletakkan berkelompok, tersusun mirip buah pisang dalam satu sisir. Bentuk telur dan susunan telur WBC dan wereng punggung putih sangat sulit dibedakan satu sama lain (Baco 1984). Satu kelompok telur terdiri atas 4–10 butir telur. Satu serangga dewasa betina dapat meletakkan telur sebanyak 100–500 butir bergantung pada fase pertumbuhan tanaman padi, dengan rata-rata tertinggi 243.7 butir pada tanaman yang berumur 70 hari (Baco 1984). Penetasan biasanya terjadi pada pagi hari, secara bersamaan dalam satu kelompok. Periode inkubasi telur selama 8–9 hari (Kalshoven 1981). Suhu lingkungan memengaruhi lamanya stadium telur, yaitu rata-rata 10 hari pada suhu 30 °C dan dapat mencapai 50 hari pada suhu 10 ºC. Telur WBC sangat sensitif terhadap desikasi dan akan mengerut bila tanaman inangnya layu. Telur bertambah panjang sampai 15% selama masa embrio, diduga karena mengisap air (Wilson dan Claridge 1990). Di daerah tropis, masa inkubasi telur berkisar 7–11 hari (Subroto et al. 1992b).

Fase nimfa WBC terdiri atas lima instar. Instar awal tidak dapat dibedakan antara nimfa wereng batang cokelat dan wereng punggung putih. Nimfa kedua spesies wereng tersebut mulai dapat dibedakan pada instar 3. Lamanya perkembangan nimfa bervariasi antara 9 dan 15 hari (Baco 1984; Subroto et al.

1992b). Seperti halnya telur, lama perkembangan nimfa juga bervariasi bergantung pada suhu lingkungan mulai 15 hari pada 30 ºC sampai 70 hari pada 10 ºC (Wilson dan Claridge 1990). Nimfa yang baru keluar tidak banyak bergerak, setelah ganti kulit baru berpindah tempat. Nimfa lebih menyukai tanaman padi berumur 24 hari setelah tanam (HST) dan 70 HST dibandingkan dengan tanaman padi 100 HST, yang menunjukkan bahwa nimfa WBC lebih menyukai tanaman muda. Nimfa WBC lebih memilih melakukan aktivitas makan pada seludang daun daripada helai daun. Embun madu yang dihasilkan tidak berbeda pada berbagai umur tanaman padi yang berbeda. Rata-rata periode makan nimfa WBC adalah 1 jam (Baco 1984). Nimfa biasanya terdapat pada pangkal batang tanaman padi (Subroto et al. 1992b).

(24)

6

dewasa jantan makroptera berukuran 3.7-4.1 mm, sedangkan serangga betinanya berukuran 4.1-5.0 mm. Ukuran serangga dewasa jantan brakiptera adalah 2.4-2.8 mm, sedangkan serangga dewasa betinanya berukuran 2.8-3.3 mm (Wilson dan Claridge 1990). Lama hidup serangga dewasa makroptera jantan adalah 8-9 hari dan serangga dewasa makroptera betina selama 11-12 hari (Kalshoven 1981). Menurut Subroto et al. (1992a), serangga jantan yang berbentuk makroptera berukuran 2.67 ± 0.16 mm dan yang berbentuk brakiptera 2.94 ± 0.29 mm, secara keseluruhan berwarna cokelat tua. Betina makroptera berukuran 3.32 ± 0.253 mm dan yang berbentuk brakiptera 3.39 ± 0.22 mm, pada umumnya berwarna cokelat muda. Pada tanaman berumur 40 hari pembentukan makroptera sangat dipengaruhi oleh kepadatan populasi induk.

Nisbah kelamin serangga dewasa bergantung pada umur tanaman padi, makin tua umur tanaman padi makin tinggi persentase betina. Pada tanaman padi 53 HST, nisbah kelamin serangga dewasa (jantan:betina) adalah 1:1, pada tanaman padi 27 HST 1:2, sedangkan pada tanaman padi 81 HST 1:3. Mekanisme penyebab perbedaan nisbah kelamin serangga dewasa WBC pada tanaman padi dengan umur berbeda sampai saat ini belum dapat dijelaskan. Kematangan seksual tercapai pada 1-3 hari serangga dewasa terbentuk, dengan rata-rata 1.56 hari. Periode prapeneluran, waktu dari kemunculan serangga dewasa sampai bertelur, adalah 2-4 hari, dengan rata-rata 2.27 hari (Baco 1984). Perkawinan terjadi setelah organ reproduksi matang, akan tetapi tidak ada bukti yang jelas mengenai hubungan antara kedua bentuk serangga dewasa dengan kemampuan kopulasi mereka. Serangga dewasa WBC dapat berkopulasi maksimal sebanyak enam kali/hari dan sebanyak 21 kali sepanjang hidupnya. Serangga dewasa jantan dapat berkopulasi dengan maksimum sembilan serangga dewasa betina dalam jangka waktu 24 jam dan serangga dewasa betina dapat berkopulasi lebih dari dua kali selama masa hidupnya (Mochida dan Okada 1979).

(25)

7

Insektisida Uji Imidakloprid

Imidakloprid (Gambar 1) merupakan insektisida dari golongan neonikotinoid (4A) yang pertama kali ditemukan oleh Shell Development Company di Kalifornia pada tahun 1970, dimodifikasi dari senyawa nikotin. Insektisida tersebut memilliki aktivitas sedang terhadap lalat rumah dan kutu daun. Pengembangan lebih lanjut dilakukan oleh Nihon Tokushu Noyaku Seizo di Jepang (sekarang menjadi Bayer Crop Science Japan) sehingga dapat mengendalikan wereng hijau pada padi, akan tetapi masih belum stabil bila terkena pajanan cahaya matahari sehingga belum dapat digunakan secara luas dalam perlindungan tanaman. Penelitian lebih lanjut untuk menstabilkan struktur kimia di bawah pajanan matahari dilakukan dengan mengganti gugus imidazolidin dengan tiazolidin atau oksadiazinan atau padanan nonsiklik (acyclic counterpart), dan kloropiridinilmetil dengan klorotiazolilmetil atau tetrahidrofuranmetil. Perubahan nitrometilen menjadi nitroguanidin atau sianoamidin membuat senyawa ini menjadi fotostabil. Beberapa bahan aktif yang termasuk dalam golongan neonikotinoid ini masing-masing memperoleh paten pada tahun 1977 nitiazin heterosiklik, imidakloprid (1985), tiakloprid (1985), tiametoksam (1992); dan nitenpiram nonsiklik (1988), asetamiprid (1989), klotianidin (1989), dan dinotefuran (1994). Bahan aktif dari golongan neonikotinoid ini bersifat sistemik pada tanaman, mempunyai efek kontak yang lemah terhadap larva Lepidoptera, dan bekerja sebagai agonis reseptor asetilkolin (nAChR) (Tomizawa dan Casida 2004). Di Indonesia insektisida imidakloprid sudah terdaftar untuk mengendalikan kutudaun, belalang, wereng kapas, rayap tanah, hama thrip, wereng mangga, wereng batang cokelat, dan pengisap daun (Ditjen PSP 2013).

Gambar 1 Struktur kimia imidakloprid (Tomlin 2006)

BPMC

(26)

8

Gambar 2 Struktur kimia BPMC (Tomlin 2006)

Di Indonesia insektisida BPMC sudah terdaftar untuk mengendalikan belalang, pengisap buah, wereng batang cokelat, wereng hijau, wereng punggung putih, dan walang sangit (Ditjen PSP 2013).

Pimetrozin

Pimetrozin (Gambar 3) adalah insektisida yang ditemukan dan dikembangkan oleh CIBA, pertama kali disintesis pada akhir tahun 1986. Insektisida tersebut dikelompokkan dalam golongan 9B, yaitu sebagai racun saraf yang menghambat aktivitas makan serangga Homoptera (IRAC 2015).

Insektisida ini tidak mempunyai efek knockdown, tetapi bekerja dengan cepat mengendalikan serangga pengisap dengan cara menghambat aktivitas makan. Setelah aplikasi pimetrozin, baik secara topical maupun melalui makanan, stilet serangga tersebut segera berhenti memenetrasi tanaman. Serangga tersebut akan mati beberapa hari kemudian, kemungkinan karena kelaparan. Blokade stilet tersebut berlangsung beberapa jam setelah serangga terpajan pimetrozin dan bersifat tidak dapat balik (irreversible). Pimetrozin tidak mempunyai efek repelen dan bekerja di dalam sistem saraf serangga. Di Indonesia, insektisida pimetrozin ini terdaftar untuk mengendalikan kutu kebul, walang sangit, wereng batang cokelat, wereng punggung putih, wereng hijau, dan kepinding tanah (Ditjen PSP 2013).

Gambar 3 Struktur kimia pimetrozin (Tomlin 2006)

(27)

9

graph menunjukkan pimetrozin secara signifikan meningkatkan periode non-probing dan menghambat pengisapan floem. Penghambatan tersebut berbanding lurus dengan dosis perlakuan, serangga berhenti mengisap floem pada konsentrasi 400 mg/L. Jadi pimetrozin menggangu perilaku makan serangga utamanya dengan meningkatkan non-probe period dan menghambat pengisapan floem yang kemudian menyebabkan kematian karena kelaparan (He et al. 2011).

Resistensi terhadap Insektisda Status Resistensi WBC terhadap Insektisida

Resistensi adalah berkurangnya kerentanan hama terhadap suatu bahan aktif. Indikasi awal di lapangan dapat dilihat dari terjadinya kegagalan pengendalian hama sasaran walaupun penggunaan insektisida sudah sesuai anjuran yang tercantum di label (IRAC 2014).

Laporan tertulis mengenai masalah resistensi WBC terhadap insektisida di Indonesia masih sangat terbatas, walaupun tanda-tanda resistensi di lapangan sering dijumpai. Strain WBC yang berasal dari Bandung dan Karawang telah resisten terhadap diazinon, BPMC, dan MIPC tetapi belum resisten terhadap buprofezin. Strain WBC dari Bogor telah resisten terhadap BPMC dengan nisbah resistensi 5.08 tetapi belum resisten terhadap diazinon, MIPC, dan buprofezin ditunjukkan dengan nisbah resistensi terhadap ketiga bahan aktif tersebut 3.56, 3.39, dan 0.91. Strain WBC dari Tasikmalaya belum resisten terhadap diazinon, BPMC, MIPC, dan buprofezin dengan nisbah resistensi 2.75, 2.71, 3.18, dan 0.90. WBC dari Bandung dan Karawang menunjukkan kondisi yang sama, resisten terhadap tiga jenis insektisida yaitu diazinon dengan nisbah resistensi 55.42 dan 6.57, BPMC dengan nisbah resistensi 7.82 dan 6.14, MIPC dengan nisbah resistensi 14.63 dan 9.51. Strain WBC dari Bandung dan Karawang belum menunjukkan resistensi terhadap insektisida buprofezin dengan nisbah resistensi 0.72 dan 1.80 (Soemawinata et al. 1991). Hasil pengujian Soemawinata et al.

(1994) di lapangan menunjukkan telah terjadi resistensi WBC dari 4 lokasi (Subang, Indramayu, Purworejo, dan Magelang) terhadap pestisida karbofuran dengan nisbah resistensi 11.0 – 18.6 akan tetapi belum menunjukkan resistensi terhadap insektisida berbahan aktif BPMC dan MIPC.

Pada tahun 2005, WBC di Cina telah menunjukkan resistensi terhadap insektisida berbahan aktif imidakloprid sebesar 200–799 kali dibanding dengan strain rentan. Setelah penggunaan insektisida tersebut dikurangi, tingkat resistensinya turun menjadi 135–233 kali pada tahun 2007. Sementara populasi yang terus-menerus diseleksi dengan imidakloprid di laboratorium tingkat resistensinya meningkat dari 200 menjadi 1 298 kali dalam 23 generasi. Bila seleksi dihentikan, tingkat resistensi turun dari 759 menjadi 114 kali dalam 17 generasi. Setelah itu tingkat resistensi menjadi stabil dan tidak mengalami penurunan. Hasil yang serupa didapatkan dalam percobaan lain, dari 625 kali menjadi 105–129 kali dan tidak mengalami perubahan lagi (Wang et al. 2009).

(28)

10

Imidakloprid merupakan insektisida yang umum digunakan di Cina, India, dan Thailand untuk mengendalikan WBC. Penggunaan yang terus-menerus memicu terjadinya resistensi WBC terhadap imidakloprid. Resistensi WBC terhadap imidakloprid di Cina mencapai 79.1 sampai 81.1 kali pada tahun 2006, di India 35.13 kali, dan di Thailand 3 sampai 4.1 kali (Catindig et al. 2009).

Resistensi terhadap pimetrozin dilaporkan di Spanyol pada hama kutu kebul (Bemisia tabaci) dengan NR 5.8-1900, di Cyprus dengan NR 92, di Guatemala dengan NR 1100, di Mexico dengan NR 520, di Afrika Barat dengan NR 7.3-18 (Gorman et al. 2010) (Houndété 2010). Hama kutukebul Trialeuroides vaporariorum dilaporkan sudah mengalamai resistensi terhadap pimetrozin di negara Inggris, Spanyol, Turki, Cina, dan Jerman dengan NR 4.13-20.4.

Faktor yang Memengaruhi Perkembangan Resistensi

Terjadinya resistensi merupakan konsekuensi dari proses evolusi karena dalam suatu populasi terdapat keragaman genetika. Beberapa individu dalam populasi hama dapat sintas dari aplikasi bahan kimia yang ditujukan untuk mengendalikan hama tersebut karena memiliki perbedaan genetika. Perkembangbiakkan individu yang sintas tersebut akan meningkatkan proporsi individu yang dapat bertahan terhadap senyawa kimia yang digunakan dan menurunkan kerentanannya pada generasi berikutnya. Mekanisme umum terjadinya resistensi adalah berkurangnya kerentanan bagian sasaran (target site), detoksifikasi insektisida oleh enzim, dan berkurangnya penetrasi insektisida menuju bagian sasaran (Georghiou dan Taylor 1986).

Faktor yang memengaruhi terjadinya resistensi pada populasi serangga adalah intensitas seleksi, frekuensi gen resisten dalam suatu populasi, karakteristik gen resisten (dominan atau resesif), dan dinamika reproduksi serangga (Heong et al.

2011). Menurut Georghiou dan Taylor (1986) ada 3 faktor yang mempengaruhi resisitensi, yaitu faktor genetik, faktor bioekologi, dan faktor operasional. Keberadaan alel resisten dalam suatu populasi yang seringkali besifat resesif. Frekuensi alel resisten merupakan faktor penting untuk berkembang atau tidaknya resistensi dalam suatu populasi. Seringkali frekuensi alel tersebut sangat rendah sehingga tidak memungkinkan terbentuknya dominansi individu homozigot resisten. Faktor bioekologi yang paling berpengaruh terhadap terbentuknya resistensi adalah jumlah keturunan yang dihasilkan individu serangga. Semakin banyak keturunan yang dihasilkan akan semakin cepat evolusi terjadinya resistensi dalam suatu populasi. Selain itu preferensi pakan juga menjadi faktor bioekologi yang mempengaruhi terbentuknya resistensi. Serangga polifag cenderung lebih lambat menjadi resisten dibandingkan serangga monofag. Hal ini disebabkan oleh dua hal yaitu pemaparan insektisida yang lebih rendah dibandingkan dengan serangga monofag sehingga tekanan seleksinya lebih rendah dan adanya migrasi individu yang tidak terpapar insektisida. Faktor operasional yang mempengaruhi terjadinya resistensi dalam suatu populasi adalah penggunaan insektisida dan semua hal yang bisa dikendalikan oleh manusia. Waktu aplikasi, dosis, dan formulasi insektisida yang tepat akan menunda terjadinya resistensi karena menghindarkan terbentuknya refugia yang kemudian walaupun ada migrasi serangga datang individu resisten tidak akan menjadi dominan.

(29)

11

(30)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Stasiun Penelitian PT Syngenta Indonesia, Desa Pangulah Baru, Kecamatan Cikampek, Kabupaten Karawang, dari Mei 2013 sampai Maret 2015.

Penyiapan Serangga Uji

Serangga uji yang digunakan terdiri atas dua kelompok. Kelompok pertama merupakan populasi standar, sedangkan kelompok kedua merupakan populasi lapangan yang diperoleh dari enam lokasi hot spot WBC. Populasi standar diperoleh dari Balai Besar Penelitian Padi Sukamandi (BB Padi) yang dipelihara dalam keadaan bebas pestisida sejak tahun 1987.

Enam lokasi asal serangga uji adalah daerah endemik WBC di Pulau Jawa dan diperkirakan petani di tempat tersebut menggunakan insektisida berbahan aktif neonikotinoid untuk mengendalikan WBC dengan intensif (Tabel 1).

Tabel 1 Lokasi dan waktu pengambilan sampel WBC

Lokasi Waktu pengambilan sampel Desa Lebak Wangi, Kecamatan Pontang, Serang

(6.035957LS, 106.258117BT)

30 Desember 2013

Desa Sarijaya, Kecamatan Majalaya, Karawang (6.313118LS, 107.356749BT)

1 November 2013

Desa Ciasem Tengah, Kecamatan Ciasem, Subang (6.330862LS, 107.691832BT)

8 Januari 2014

Desa Bangodua, Kecamatan Bangodua, Indramayu (6.513728LS, 108.290587BT)

2 Maret 2014

Desa Kemangkon, Kecamatan Kemangkon, Purbalingga (7.459704LS, 109.363128BT)

8 April 2014

Desa Latek, Kecamatan Bangil, Pasuruan (7.589043LS, 112.829314BT)

6 Februari 2014

Wawancara dilakukan terhadap 10 orang petani di sekitar lokasi pengambilan serangga uji. Informasi yang ingin didapatkan adalah nama dagang insektisida dan dosis yang digunakan untuk mengendalikan WBC per musim tanam dalam 2–5 tahun terakhir.

Penyiapan Insektisida Uji dan Varietas Padi

(31)

13

Pengujian Kerentanan

Metode pengujian kerentanan serangga uji terhadap insektisida yang digunakan adalah metode perlakuan pakan (metode residu pada tanaman) sesuai dengan metode nomor 005 dari IRAC (2013). Pengujian dilakukan menggunakan enam tingkat konsentrasi insektisida yang diharapkan mengakibatkan kematian serangga uji dengan kisaran 0% < X < 100%. Konsentrasi tersebut ditentukan berdasarkan uji pendahuluan. Konsentrasi sediaan insektisida dibuat dengan mengencerkan formulasi insektisida uji pada volume tertentu dengan pengencer air. Pada pengujian pimetrozin digunakan konsentrasi 0.0005, 0.005, 0.05, 0.5, 5, dan 50 ppm b.a, sedangkan konsentrasi uji untuk imidakloprid dan BPMC tercantum pada Tabel 2 dan Tabel 3.

Tabel 2 Konsentrasi uji lanjutan insektisida imidakloprid Lokasi Konsentrasi uji (ppm b.a.)

BB Padi 20 100 200 500 1 000 2 000

Tabel 3 Konsentrasi uji lanjutan insektisida BPMC

Lokasi Konsentrasi uji (ppm b.a.)

BB Padi 75 150 225 350 500 1 250

(32)

14

(A-C)

(100-C)

mencatat jumlah nimfa yang hidup dan mati pada setiap perlakuan. Pengujian BPMC dan imidakloprid dilakukan di laboratorium dengan kisaran suhu 25–30 ºC, sedangkan pengujian pimetrozin dilakukan di dalam rumah kaca dengan kisaran suhu 24-42 oC untuk mencegah tumbuhnya jamur dalam agar dan juga terjadinya kekeringan tanah dalam pot.

Hubungan antara konsentrasi insektisida dan tingkat kematian serangga uji pada waktu pengamatan yang sesuai diolah dengan analisis probit menggunakan program POLO-PC (LeOra Sofware 1987) untuk menentukan LC50 setiap

insektisida uji. Sebagai tolok ukur resistensi, digunakan nisbah resistensi (NR) yang dihitung dengan rumus sebagai berikut:

LC50 terhadap populasi lapangan

NR =

LC50 terhadap populasi standar

Populasi serangga yang berasal dari lapangan dikatakan telah resisten jika

memiliki NR ≥ 4 (Winteringham 1969). Indikasi resistensi telah terjadi jika NR ≥

1.

Insektisida pimetrozin tidak mempunyai efek knockdown, tetapi bekerja dengan cara menghambat aktivitas makan. Serangga akan mati beberapa hari kemudian kemungkinan karena kelaparan. Dengan demikian kerentanan WBC terhadap insektisida pimetrozin juga diukur dengan persentase penghambatan perkembangan populasi yang dihitung dengan menggunakan rumus Abbott (Ciba-Geigy 1981):

A1 = x 100%

Data yang digunakan dalam pengukuran persentase penghamabatan populasi adalah hasil pengamatan jumlah nimfa yang bertahan hidup pada 18 hari setelah aplikasi.

Seleksi Resistensi

Nimfa WBC populasi standar yang bertahan hidup pada perlakuan LC50 uji lanjut setiap insektisida dipelihara sampai menjadi imago. Imago WBC tersebut kemudian diberi perlakuan insektisida pada taraf LC50 (subletal) sampai dua

generasi. Pada generasi ketiga, imago WBC diberi perlakuan insektisida pada taraf LC95 awal. Hal ini dilakukan untuk mengetahui potensi terjadinya resistensi

selama satu musim tanam padi, dengan asumsi dalam satu musim tanam padi petani melakukan pengendalian WBC dengan insektisida paling banyak tiga kali. Untuk menentukan apakah proporsi individu yang bertahan hidup setelah tiga kali perlakuan pada taraf LC50 tersebut lebih besar daripada proporsi harapan atau

tidak, dilakukan uji Z eka-arah (Roush dan Miller 1986):

(33)

15

|s-ng|-0.5

√ng (1-g) Z =

Dengan menggunakan rumus tersebut dapat dihitung jumlah minimal individu yang bertahan hidup untuk mencapai tingkat nyata:

s = Z√ng (1-g) + ng + 0.5

Bila Z: 1.645 (untuk P ≤ 0.05), n: 60 dan g: 0.05, maka s: 6.2770. Jadi proporsi

minimal untuk mencapai tingkat nyata adalah s/n: 0.104. Bila proporsi individu yang bertahan hidup ≥ 0.104 dapat disimpulkan bahwa resistensi telah berkembang dalam populasi uji (pada tingkat kepercayaan 95%).

s: jumlah individu bertahan hidup n: ukuran contoh

(34)

16

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tingkat Kerentanan Acuan

Populasi WBC dari BB Padi yang digunakan sebagai rujukan dipelihara pada tanaman padi bebas insektisida sejak tahun 1987 dan terisolasi dari lingkungan luar. Konsentrasi anjuran penggunaan formulasi pimetrozin 50 WG (Plenum) adalah 250-300 g/ha atau 250-300 ppm bahan aktif (b.a.), imidakloprid 5 WP (Confidor) adalah 0.4-0.8 g/l atau 20-40 ppm b.a., sedangkan konsentrasi anjuran formulasi BPMC 500 SC (Baycarb) adalah 1000 ml/ha dengan volume semprot 500 l/ha atau 2000 ppm b.a. Hasil penelitian menunjukkan bahwa LC95 pimetrozin

adalah 959 (3.2-3.8 kali konsentrasi anjuran), imidakloprid 3772 ppm b.a. (94.3-188.6 kali konsentrasi anjuran), dan LC95 BPMC 1322.5 ppm b.a. (0.66 kali

konsentrasi anjuran) (Tabel 4). Hal ini menunjukkan bahwa populasi WBC dari BB Padi sudah tidak rentan terhadap imidakloprid, tetapi masih rentan terhadap BPMC. Cara kerja pimetrozin yang tidak mempunyai efek knockdown, membuat data perbandingan LC95 dan dosis anjuran (3.2-3.8 kali) tidak bisa langsung

diartikan bahwa populasi BB Padi sudah tidak rentan terhadap pimetrozin. Insektisida ini bekerja utamanya sebagai penghambat makan dan dampaknya sangat terlihat pada fase pradewasa, sehingga diperlukan data penghambatan populasi untuk melihat kerentanan WBC terhadap pimetrozin (Boina et al. 2010).

Populasi WBC dari BB Padi kemungkinan telah terkontaminasi dengan WBC populasi lapangan yang resisten terhadap insektisida golongan neonikotinoid ketika terjadi ledakan populasi pada tahun 2010. Kontaminasi dimungkinkan terjadi pada tanaman padi pakan yang disiapkan untuk pemeliharaan WBC karena pada saat terjadi ledakan populasi tersebut semua lahan padi di wilayah BB Padi terserang WBC (Dewi RS 2015 Mei 7, komunikasi pribadi).

Tingkat Resistensi WBC

(35)

17

anjuran untuk mengendalikan WBC atau hama lain walaupun bukan termasuk lima jenis insektisida yang paling sering digunakan.

Untuk BPMC, hanya WBC dari Indramayu yang menunjukkan resistensi dengan NR 6.6, sedangkan WBC dari lima lokasi lainnya menunjukkan indikasi awal terjadinya resistensi dengan NR 2.5-3.0 (Tabel 5). Soemawinata et al. (1991) melaporkan bahwa populasi WBC dari daerah Bandung, Karawang, dan Bogor telah resisten terhadap BPMC dengan NR berturut-turut 7.82, 6.14, dan 5.08. Nisbah resistensi WBC dari Magelang dan Indramayu terhadap BPMC masing-masing 4.4 dan 3.1 (Soemawinata et al. 1994). Hal ini sesuai dengan penggunaan insektisida BPMC yang masih di bawah rekomendasi label. Resistensi WBC populasi Indramayu terhadap BPMC kemungkinan disebabkan oleh penggunaan BPMC (disebutkan oleh 1 petani) (Tabel 8) atau insektisida lain dengan cara kerja yang sama secara intensif seperti misalnya karbofuran yang biasanya digunakan oleh petani di awal pertanaman padi dengan dicampurkan ke dalam pupuk untuk melindungi tanaman dari serangan hama penggerek batang padi kuning.

Publikasi mengenai tingkat resistensi WBC terhadap insektisida BPMC sangat terbatas, sehingga tidak diketahui tingkat resistensi dalam kurun waktu 1994-2011. Sutrisno dan Kilin (1988) melaporkan bahwa WBC dari daerah Bantul, Boyolali, dan Sleman telah resisten terhadap insektisida karbofuran dengan NR berturut-turut 10.0, 5.4, dan 4.0; WBC dari daerah Bantul, Banyumas, dan Banyuwangi telah resisten terhadap insektisida isoprokarb dengan NR masing 4.4, 5.8, dan 5.6; serta terhadap karbaril dengan NR masing-masing 10.0, 9.2, dan 5.5. Ketiga insektisida tersebut memiliki golongan cara kerja yang sama dengan karbamat.

(36)

Tabel 4 Toksisitas insektisida pimetrozin, imidakloprid, dan BPMC terhadap WBC populasi BB Padi Sukamandi

Insektisida b ± G.B. LC50 (ppm b.a.) (SK 95%) LC95 (ppm b.a.) (SK 95%) Konsentrasi anjuran (ppm b.a.) Pimetrozin 0.599 ± 0.070 1.7 (0.3395-1.795) 959.0 (52.599-3825493.74) 250 - 300

Imidakloprid 1.384 ± 0.246 244.0 (150.392-455.595) 3 772.0 (1479.461-23461.315) 20-25 BPMC 2.088 ± 0.254 216.0 (104.793-382.304) 1 322.5 (652.05-8116.05) 2000

Tabel 5 Tingkat resistensi WBC populasi lapangan terhadap insektisida pimetrozin, imidakloprid, dan BPMC

Lokasi

LC50 (ppm b.a) (SK 95%) Nisbah resistensi

Pimetrozin Imidakloprid BPMC

Pime-trozin

Imida- kloprid

BPMC

Serang 2.0 (0.863-42.964) 1 585 (5016.596-12062.793) 592 (861.010-1639.843) 1.2 6.5 2.7 Karawang 3.4 (1.530-81.258) 26 427 (47029.864-1438081.312) 640 (1142.088-1438.767) 2.0 108.1 3.0 Subang 3.1 (0.989- 232.158) 1 171 (4236.749-8471.862) 548 (946.108-1427.453) 1.8 4.8 2.7 Indramayu 2.4 (1.146-44.087) 2 200 (1104.587-23202.137) 1 433 (2273.328-4439.778) 1.4 9.0 6.6 Purbalingga 2.8 (1.138-80.789) 3 499 (8466.387-28771.271) 654 (869.995-1987.986) 1.6 14.3 3.0 Pasuruan 3.8 (1.223- 312.402) 494 (1778.887-3598.523) 544 (930.690-1182.107) 2.2 2.0 2.5

(37)

Tingkat penghambatan perkembangan WBC populasi lapangan akibat perlakuan insektisida pimetrozin terlihat hampir sama (Tabel 6). Pada konsentrasi uji tertinggi, tidak ada keturunan WBC yang bertahan hidup. Penghambatan sekitar 50% populasi serangga uji terjadi pada perlakuan konsentrasi 0.005 ppm b.a. untuk populasi Serang dan Purbalingga, dan pada konsentrasi lebih besar dari 0.005 ppm b.a. untuk populasi Karawang, Subang, Indramayu, dan Pasuruan.

Tabel 6 Persentase penghambatan populasi standar dan lapangan WBC dengan perlakuan insektisida pimetrozin

Lokasi Konsentrasi insektisida uji (ppm b.a.)

0.0005 0.005 0.05 0.5 5 50 konsentrasi uji yang menghasilkan penghambatan perkembangan populasi sekitar 50% pada populasi standar. Hal ini menunjukkan bahwa kerentanan WBC dari kedua daerah tersebut sebanding dengan populasi standar yang belum terpajan pimetrozin sama sekali. Konsentrasi uji yang menyebabkan sekitar 50% penghambatan perkembangan populasi WBC dari Karawang, Subang, Indramayu, dan Pasuruan lebih tinggi dibandingkan dengan populasi standar. Hal ini kemungkinan karena di daerah tersebut petani telah menggunakan insektisida berbahan aktif pimetrozin secara intensif sejak terjadinya ledakan populasi pada tahun 2010 yang menyebabkan puso seluas 1241 ha dari total 60 886 ha yang terserang WBC di daerah Jawa Barat dan 776 ha dari total 28 108 ha yang terserang WBC di wilayah Jawa Timur (Ditlin 2010).

Wawancara Petani dalam Penggunaan Insektisida

Dari wawancara yang dilakukan, dalam satu musim tanam padi petani melakukan penyemprotan insektisida 1–3 kali untuk mengendalikan WBC, 40-83% petani dari masing-masing lokasi melakukan 2 kali penyemprotan (Tabel 7). Tabel 7 Frekuensi aplikasi insektisida untuk mengendalikan WBC dari 6 lokasi di

pulau Jawa

Lokasi Persentase petani menyemprot insektisida per musim (%)

(38)

20

Populasi WBC selalu ada di daerah endemik, tetapi dalam populasi yang rendah dan hanya sesekali terjadi ledakan populasi. Petani umumnya menghentikan penyemprotan ketika populasi WBC di sawah mereka terlihat sudah berkurang.

Hasil wawancara menunjukkan ada 21 bahan aktif yang digunakan untuk mengendalikan WBC, dengan total 33 merek dagang (Tabel 8). Bahan aktif paling banyak digunakan oleh petani untuk mengendalikan WBC adalah pimetrozin kemudian imidakloprid dan BPMC. Istiaji (2011) melaporkan bahwa lima insektisida yang paling banyak digunakan petani dalam pengendalian WBC di daerah klaten adalah imidakloprid (61.3%), BPMC (45.8%), etofenproks (29.6%), fipronil (19.7%), dan karbofuran (14.8%).

Pimetrozin merupakan insektisida yang terdaftar untuk mengendalikan WBC sejak tahun 2009, dan digunakan oleh petani sesuai dengan dosis anjuran (Tabel 8). Imidakloprid merupakan insektisida yang banyak digunakan oleh petani untuk mengendalikan WBC sejak tahun 1994, dan penggunaannya oleh petani bervariasi baik lebih rendah dari dosis rekomendasi (Avidor 25 WP dan Besvidor 25 WP), sesuai dosis anjuran (Confidor 5 WP), dan di atas dosis rekomendasi (Abuki 50 SL, dan Topdor 10 WP) (Tabel 8). Sedangkan BPMC merupakan salah satu insektisida yang diizinkan oleh pemerintah untuk mengendalikan WBC dan telah dipasarkan di Indonesia sejak tahun 1999 (Ditjen PSP 2013) dan digunakan di bawah dosis rekomendasi (Tabel 8).

(39)

Tabel 8 Insektisida yang digunakan petani untuk mengendalikan WBC dari enam lokasi di Pulau Jawa

Lokasi Bahan aktif Insektisida Merek dagang (disebut oleh petani) Dosis/konsentrasi anjuran formulasi

Lamda sihalotrin + Tiametoksam Dimehipo

(40)

22

Tabel 8 (lanjutan) Lokasi

Bahan aktif Insektisida Merek dagang (disebut oleh petani) Dosis/konsentrasi anjuran formulasi Indramayu Imidakloprid Besvidor 25 WP (3)

Topdor 10 WP (2)

Tidak terdaftar untuk pengendalian hama pada tanaman padi

(41)

23

23

Tabel 8 (lanjutan)

Lokasi Bahan aktif Insektisida Merek dagang (disebut oleh petani) Dosis/konsentrasi anjuran formulasi

(42)

24

Tabel 8 (lanjutan)

Lokasi Bahan aktif Insektisida Merek dagang (disebut oleh petani) Dosis/konsentrasi anjuran formulasi

Dosis/konsentrasi penggunaan formulasi Pasuruan Lamda sihalotrin + Tiametoksam

Sipermetrin Dimehipo

Klorantraniliprol+Tiametoksam Dinotefuran

Alika 247 ZC (4) Sidametrin 50 EC (2) Alphadine 450 SL (2) Virtako 300 SC (1) Oshin 20 SG (1)

TTa TTa

0.375-0.75 l/ha 150-200 ml/ha 400-500 g/ha

1 l/ha 0.5 l/ha 0.5 l/ha 80 ml/ha 240 g/ha a

Tidak terdaftar untuk pengendalian hama pada tanaman padi

(43)

Seleksi Resistensi

Setelah tiga kali pemajanan WBC populasi standar pada konsentrasi subletal (LC50), belum terdeteksi berkembangnya resistensi terhadap imidakloprid, tetapi

telah terdeteksi terjadinya resistensi terhadap BPMC (Tabel 6). Hal ini terlihat dari proporsi serangga uji yang masih hidup setelah perlakuan pada taraf LC95

masing-masing insektisida, yaitu 0 untuk imidakloprid dan 0.30 untuk BPMC, dengan proporsi harapan 0.104 (Tabel 9). Untuk insektisida pimetrozin, tidak dilakukan seleksi resistensi karena tingkat kerentanan tidak bisa hanya didasarkan pada parameter moratlitas yang bukan merupakan cara kerja utama insektisida ini. WBC yang resisten terhadap imidakloprid akan turun tingkat resistensinya apabila tidak ada seleksi, tetapi cepat meningkat resistensinya apabila terjadi seleksi kembali. Wen et al. (2009) melaporkan tanpa selesi konstan resistensi WBC terhadap imidakloprid menurun dari 147.9 menjadi 21.9 kali dalam 19 siklus hidup, penurunan drastis terjadi pada 9 generasi pertama (147.8 menjadi 45.7). Seleksi konstan pada WBC mengakibatkan peningkatan resistensi dari 147.8 menjadi 381.0 dalam 19 generasi.

Tabel 9 Deteksi resistensi WBC setelah tiga kali perlakuan dengan dosis subletal (LC50)

Populasi Insektisida Proporsi individu hidup pada perlakuan LC95

BB Padi Imidakloprid BPMC

0.00 0.301

1

Berbeda nyata dengan nilai harapan pada taraf nyata 95% (proporsi minimal untuk mencapai tingkat nyata adalah 0.104)

Tingkat seleksi juga memengaruhi tingkat resistensi WBC terhadap insektisida imidakloprid, jika dilakukan selesksi satu kali dalam dua generasi, tingkat resistensi akan turun perlahan, dan tanpa seleksi tingkat resistensi akan menurun tajam dalam enam generasi dari 381.0 menjadi 157.7. Hasil yang didapatkan dari pengujian insektisida BPMC berbeda dengan laporan Putra et al.

(2002) yang menyebutkan tidak ada perubahan nyata tingkat resistensi WBC dengan seleksi buatan selama 4 generasi dengan konsentrasi uji LC95.

(44)

KESIMPULAN

(45)

27 punggung putih, Sogatella furcifera Horvarth serta interaksi antara keduanya pada tanaman padi [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Baehaki SE. 1984. Laju pertumbuhan intrinsik wereng coklat di laboratorium.

Penel Pertan. 4(1):8-10.

Baehaki SE, Munawar D. 2007. Identifikasi biotipe wereng cokelat di Jawa, Sumatra, dan Sulawesi dan reaksi ketahanan kultivar padi. Apresiasi Hasil Penelitian Padi 2007; 2007 November 19-20; Sukamandi. Sukamandi (ID): Balai Besar Penelitian Tanaman Padi.

Boina DR, Youn Y, Folimonova S, Stelinski LL. 2011. Effects of pymetrozine, an antifeedant of Hemiptera, on Asian citrus psyllid, Diaphorina citri, feeding behavior, survival and transmission of Candidatus Liberibacter asiaticus.

Pest Manag Sci. 67 (2011): 146-155.

Cabauatan PQ, Cabunagan RC, Choi RI. 2009. Rice viruses transmitted by the brown planthopper Nilaparvata lugens Stal. Di dalam: Heong KL, Hardy B, editor. Planthoppers: New Threats to the Sustainability of Intensive Rice Production Systems in Asia. Los Banos (PH): International Rice Research Institute. hlm 357-368.

Catindig JLA, Arida GS, Baehaki SE, Bentur JS, Cuong LQ, Norowi M, Rattanakarn W, Sriratanasak W, Xia J, Lu Z. 2009. Situation of planthoppers in Asia. Di dalam: Heong KL, Hardy B, editor. Planthoppers: New Threats to the Sustainability of Intensive Rice Production Systems in Asia. Los Baños (PH): International Rice Research Institute. hlm 221-232. [Ciba-Geigy].1981. Field Trial Manual. Basel (CH): Agricultural Division,

Ciba-Geigy Limited.

[Ditjen PSP]. 2013. Pestisida Pertanian dan Kehutanan tahun 2013. Jakarta (ID): Direktorat Jendral Perijinan dan Sarana Pertanian.

[Ditlin] Direktorat Bina Perlindungan Tanaman. 2010. Laporan Tahunan Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Tahun 2010. Jakarta (ID): Departemen Pertanian. Tersedia pada: http://tanamanpangan.pertanian.go.id /ditjentp/files/ Laptah_2010.pdf.

[Ditlin] Direktorat Bina Perlindungan Tanaman. 2012. Realisasi dan prakiraan luas serangan OPT utama tanaman padi [Internet]. Jakarta (ID): Departemen Pertanian; [diunduh 2012 Apr 22]. Tersedia pada: http://tanamanpangan.deptan.go.id/ index.php/serangan/detail/109.

Fuog D, Fergusson SJ, Fluckiger C. 1998. Pymetrozine: A novel insecticide affecting aphids and whiteflies. Di dalam: Ishaya I, Deghelee D, editor.

Insecticides with Novel Modes of Action: Mechanism and Application. Berlin (DE): Heidelberg. hlm 40-49.

(46)

28

Georghiou GP and Taylor CE. 1986. Factors influencing the evolution of resistance. Di dalam: Pesticide Resistance: Strategies & Tactics for Management. Washington DC (US): National Academy Press. hlm 157-169. Gorman K, Slater R, Blande JD, Clarke A, Wren J, McCaffery, Denholm I. 2010. Cross-resistance relationship between neonicotinoids and pymetrozine in

Bemisia tabaci (Hemiptera:Aleyrodidae). Pest Manag Sci. 66(2010):1186-1190.

He Y, Chen Li, Chen J, Zhang J, Chen Liezhong, Shen J, Zhu YC. 2011. Electrical penetration graph evidence that pymetrozine toxicity to the rice brown planthopper is by inhibition of phloem feeding. Pest Manage Sci. 67(2011): 483–491.

Heong KL, Tan KH, Garcia CPF, Fabellar LT, Lu Z. 2011. Research Methods in Toxicology and Insecticide Resistance Monitoring of Rice Planthopper. Los Banos (PH): International Rice Research Institute.

Houndété T, Ketoh GK, Hema OSA, Brevault T, Glitho IA, Martin T. 2010. Insecticide resistance in field population of Bemisia tabaci (Hemiptera: Aleyrodidae) in West Africa. Pest Manag Sci. 66(2010):1181-1185.

[IRAC] Insecticide Resistance Action Committee. 2013. Nilaparvata lugens and

Nephotettix cincticeps – nymphs and adults (IRAC Method #5). Tersedia pada: http://www.irac-online.org/content/uploads/Method_005_v4.1.pdf. [IRAC] Insecticide Resistance Action Committee. 2014. Mode of action

classification. Tersedia pada: http://www.irac-online.org/about/resistance/. [IRAC] Insecticide Resistance Action Committee. 2015. Resistance definition.

Tersedia pada: http://www.irac-online.org/documents/moa-structures-penerjemah. Jakarta: PT Ichtiar Baru-van Hoeve. Terjemahan dari: De Plagen van de Cultuurgewassen in Indonesie.

Karatolos N, Denholm I, Williamson M, Nauen R, Gorman K. 2010.Incidence and characterisation of resistance to neonicotinoid insecticide and pymetrozine in the greenhouse whitefly, Trialeurodes vaporariorum

Westwood (Hemiptera:Aleyrodidae). Pest Manag Sci. 66 (2010):1304-1307. Kisimoto R. 1977. Bionomics, forecasting of outbreaks dan injury caused by the rice brown planthopper. Di dalam: The Rice Brown Planthopper. Taipei (TW): Food dan Fertilizer Technology Center for the Asian dan Pacific Region. hlm 27-40.

LeOra Software. 1987. POLO-PC User’s Guide. Petaluma (US): LeOra Software.

Ling KC. 1977. Transmission of rice grassy stunt by brown planthopper. Di dalam: The Rice Brown Planthopper. Taipei (TW): Food dan Fertilizer Technology Center for the Asian dan Pacific Region. hlm 77-82.

Lu Z, Heong KL. 2009. Effects of nitrogen-enriched rice plants on ecological fitness of planthoppers. Di dalam: Heong KL, Hardy B, editor.

(47)

29

Matsumura M, Morimura SS. 2010. Recent status of insecticide resistance in Asian rice planthopper. JARQ. 44(3):225-230.

Mochida O, Okada T. 1979. Taxonomy dan biology of Nilaparvata lugens (Hom: Delphacidae). Di dalam: Heong KL, Hardy B, editor. Planthoppers: New Threats to the Sustainability of Intensive Rice Production Systems in Asia. Los Banos (PH): International Rice Research Institute. hlm 21-44.

Putra NS, Martono E, Moeljoprawiro. 2002. Seleksi wereng batang coklat,

Nilaparvata lugens Stål (Homoptera: Delpachidae) dengan insektisida karbamat MIPC dan BPMC. Agrosains. 15(3):455-467.

[RI] Presiden Republik Indonesia. 1986. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1986 tentang Peningkatan Pengendalian Hama Wereng Coklat pada Tanaman Padi. Jakarta (ID): RI.

Reissig WH, Heinrichs EA, Litsinger JA, Moody K, Fiedler L, Mew TW, Barrion AT. 1986. Illustrated Guide to Integrated Pest Management in Rice in Tropical Asia. Los Banos (PH): Internation Rice Research Institute.

Roush RT, Miller GL. 1986. Considerations for design of insecticide monitoring programs. J Econ Entomol. 79(1986):293-298.

Sawada H, Subroto GSW, Suwardiwijaya E, Mustaghrifin, Kusumayadi A. 1992. Population dynamics of the brown planthopper in the coastal lowland of West Java, Indonesia. JARQ. 26(2):88-97.

Soemawinata RAT, Nugroho BW, Dadang. 1991. Resistensi wereng batang coklat

Nilaparvata lugens Stal (Homoptera: Delphacidae) terhadap beberapa jenis insektisida [laporan penelitian]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Soemawinata RAT, Prijono D, Santosa TH. 1994. Status resistensi wereng coklat

Nilaparvata lugens (Stål) (Homoptera: Delphacidae) terhadap empat jenis insektisida. Bul HPT. 7(1): 11-22.

Soemawinata RAT, Sosromarsono S. 1986. Hama wereng coklat dan masalah pengendaliannya di Indonesia. Di dalam: Prosiding Diskusi Ilmiah; 1986 Desember 22; Bogor. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. hlm 7-18.

Subroto GSW, Ira, Sukar, Dianto MS, Sawada H. 1992a. Gambaran umum kerusakan tanaman padi karena serangan wereng batang coklat. Di dalam:

Wereng Batang Coklat, Laporan Akhir Tulisan Ilmiah. Jakarta (ID): Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. hlm 1-11.

Subroto GSW, Wahyudin, Hendarto T, Sawada H. 1992b. Taksonomi dan bioekologi wereng batang coklat Nilaparvata lugens Stal. Di dalam Wereng Batang Coklat, Laporan Akhir Tulisan Ilmiah. Jakarta (ID): Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. hlm 12-30.

Sutrisno, Kilin D. 1988. Pemantauan resistensi wereng coklat terhadap insektisida. Di dalam: Edisi khusus No.1, Penelitian Wereng Coklat 1987/1988. Bogor (ID): Badan Penelitian Tanaman Pangan. hlm 82-85. Tomizawa M, Casida JE. 2004. Neonicotinoid insecticide toxicology: mechanism

of selective action. Annu Rev Pharmacol Toxicol. 45:247–268.

Tomlin CDS. 2006. The Pesticide Manual. 14th ed. Hampshire (GB): BCPC. Wang YH, Wu SG, Zhu YC, Chen J, Liu FY, Zhao X P, Wang Q, Li Z, Bo XP

(48)

30

Wen Y, Liu Z, Bao H, Han Z. 2009. Imidacloprid resistance and its mechanisms in field population of brown planthopper, Nilaparvata lugens Stål in China.

Pest Biochem Physio 94(2009):36-42.

Wilson MR, Claridge MF. 1990. Handbook for the Identification of Leafhopper and Planthopper of Rice. London (GB): CAB International.

(49)

31

Lampiran 2 Hasil uji lanjut insektisida imidakloprid terhadap WBC populasi Serang

(50)

32

Lampiran 4 Hasil uji lanjut insektisida imidakloprid terhadap WBC populasi Subang

Lampiran 5 Hasil uji lanjut insektisida imidakloprid terhadap WBC populasi Indramayu

(51)

33

Lampiran 7 Hasil uji lanjut insektisida imidakloprid terhadap WBC populasi Pasuruan

Lampiran 8 Hasil uji lanjut insektisida BPMC terhadap WBC populasi BB Padi Konsentrasi uji

(52)

34

Lampiran 10 Hasil uji lanjut insektisida BPMC terhadap WBC populasi Karawang

Lampiran 11 Hasil uji lanjut insektisida BPMC terhadap WBC populasi Subang Konsentrasi uji

(53)

35

Lampiran 13 Hasil uji lanjut insektisida BPMC terhadap WBC populasi Purbalingga

Lampiran 14 Hasil uji lanjut insektisida BPMC terhadap WBC populasi Pasuruan Konsentrasi uji

Gambar

Gambar 2  Struktur kimia BPMC (Tomlin 2006)
Tabel 4  Toksisitas insektisida pimetrozin, imidakloprid, dan BPMC terhadap WBC populasi BB Padi Sukamandi
Tabel 7  Frekuensi aplikasi insektisida untuk mengendalikan WBC dari 6 lokasi di
Tabel 8 Insektisida yang digunakan petani untuk mengendalikan WBC dari enam lokasi di Pulau Jawa
+4

Referensi

Dokumen terkait

Adapun tujuan penulisan skripsi ini yang berjudul ―Pengaruh orientasi belanja konsumen terhadap niat pembelian online dengan moderasi nilai barang‖ merupakan suatu

Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis data yang diperoleh dari praktik pertanggungjawaban keuangan Mabid dan Komisi di Gereja Kristen Jawa Temon antara lain Mabid akan

Perbedaan penelitian ini dengan pembahasan buku tersebut terletak pada fokus pernulis terhadap pemahaman stereotype masyarakat yang dikaitkan dengan teologi,

Yang dimaksud dengan “penjatuhan sanksi administratif berupa pencabutan surat keterangan terdaftar dan pencabutan status badan hukum” adalah sanksi yang bersifat langsung

Atas dasar seluruh uraian di atas merupakan pentingnya Ipteks bagi Masyarakat (IbM) ini, yakni melatih kelompok usaha sarung sutra mandar di kabupaten Polman yaitu:

Tegangan dan waktu kontak yang optimal dalam menurunkan konsentrasi logam krom total (Cr total), TSS, dan COD dalam limbah cair penyamakan kulit dengan

Gaya hidup ( lifestyle) para musisi atau gitaris biasanya menginginkan produk gitar yang berbeda dengan produk gitar yang lain karena sifat mereka cenderung

Metode penelitian yang peneliti gunakan adalah metode deskriptif kualitatif dengan maksud untuk menggambarkan, meringkas berbagai realitas yang dihadapi PT Mizan Pustaka