• Tidak ada hasil yang ditemukan

Influence of parent-child attachment and teacher-student attachment to build self esteem in progressive and conventional school advisor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Influence of parent-child attachment and teacher-student attachment to build self esteem in progressive and conventional school advisor"

Copied!
67
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH KELEKATAN ORANG TUA-ANAK DAN

GURU-ANAK TERHADAP PEMBENTUKAN

SELF ESTEEM

ANAK DI SEKOLAH DASAR PROGRESIF DAN

KONVENSIONAL

DIAN ANGGRAENI TRI ASTUTI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengaruh Kelekatan Orang tua-Anak dan Guru-Anak terhadap Pembentukan Self Esteem Anak di Sekolah Dasar Progresif dan Konvensional adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

RINGKASAN

DIAN ANGGRAENI TRI ASTUTI. Pengaruh Kelekatan Orang tua-Anak dan Guru-Anak terhadap Pembentukan Self Esteem Anak di Sekolah Dasar Progresif dan Konvensional. Dibimbing oleh DWI HASTUTI dan MELLY LATIFAH.

Self esteem (harga diri) merupakan kemampuan anak dalam mengevaluasi dan menghargai diri dan mengindikasikan sejauh mana seseorang tersebut percaya bahwa dirinya mampu, berarti, sukses, dan berharga. Self esteem tinggi dicirikan dengan kepercayaan diri dan keaktifan anak dalam bersosialisasi dengan lingkungannya. Kelekatan orang tua merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi proses pembentukan self esteem anak. Hubungan tersebut dicirikan dengankepekaan ibu dalam memberikan respon atas sinyal yang diberikan anak, sesegera mungkin atau menunda, respon yang diberikan tepat atau tidak, akan mempengaruhi hubungan dalam jangka waktu yang panjang. Selain itu kelekatan anak dengan guru akan membantu anak membangun self esteemnya.

Secara umum penelitian ini bertujuan menganalisis pengaruh kelekatan orang tua dengan anak dan guru dengan anak terhadap pembentukan self esteem anak usia sekolah dasar pada sekolah progresif dan konvensional. Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional. Tempat penelitian dipilih secara purposive, terdiri atas 5 sekolah. Sekolah dasar yang terlibat dalam penelitian ini merupakan sekolah progresif atau konvensional yang memiliki kesamaan dalam fasilitas fisik sekolah. Lokasi penelitan dipilih berdasarkan rekomendasi Kepala Dinas Pendidikan Nasional Kota Depok. Contoh penelitian adalah keluarga siswa kelas 4 dan 5 yang dipilih secara acak sebanyak 30 keluarga dari setiap sekolah sehingga total contoh sebanyak 150 keluarga. Data dikumpulkan dengan menggunakan alat bantu kuesioner yang diisi siswa atas bimbingan peneliti. Kuesioner tersebut adalah Parental Bonding Instrument (PBI) untuk data kelekatan orang tua anak, The Student – Instructor Relationship (SIRS) untuk data kelekatan guru-anak, dan Self-Esteem Inventory (SEI) untuk mengukur self-esteem. Pengolahan data meliputi pengeditan, pengkodean, entry data, pengecekan data, dan selanjutnya dianalisis secara statistika deskriptif dan analisis statistika inferensial. Analisis statistika inferensial yang digunakan adalah uji korelasi Spearman, Pearson, Chi Square, dan uji beda t-test, serta uji regresi linier.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar anak dari kedua tipe sekolah memiliki self esteem yang cukup tinggi. Kelekatan ibu maupun ayah dari kedua tipe sekolah menunjukkan bahwa kelekatan care lebih tinggi daripada kelekatan overprotection, sedangkan kelekatan ibu overprotection dari sekolah konvensional lebih tinggi daripada sekolah progresif. Kelekatan connectedness yang terbentuk antara guru dengan anak lebih tinggi daripada kelekatan anxiety. Antara kedua tipe sekolah menunjukkan hal yang sama.

(5)

pada kedua tipe sekolah. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa kelekatan orang tua-anak berhubungan dengan kelekatan guru-anak. Semakin orang tua care terhadap anaknya, maka anak semakin mampu membangun kelekatan connectedness dengan gurunya. Sebaliknya semakin orang tua overprotection terhadap anaknya, maka anak juga semakin anxiety dengan gurunya.

Secara umum self esteem anak dipengaruhi oleh kelekatan. Semakin tinggi kelekatan anxiety guru dengan anak, maka semakin rendah self esteem anak. Kelekatan dengan ibu yang care mempengaruhi tingginya self esteem anak dan kelekatan ibu yang overprotection, mempengaruhi semakin rendahnya self esteem anak. Tipe sekolah tidak mempunyai pengaruh dalam pembentukan self esteem anak.

(6)

SUMMARY

DIAN ANGGRAENI TRI ASTUTI. Influence of Parent-Child Attachment and Teacher-Student Attachment to Build Self Esteem in Progressive and Conventional School. Advisor: DWI HASTUTI and MELLY LATIFAH.

Self esteem is one’s ability to evaluate him/herself with the award for him/herself and indicates the extent to which a person believes that he/she is capable, meaningful, successful, and worthwhile. High self esteem is characterized by self-confidence and liveliness of children in socializing with the environment. A factor that affects the process of building self esteem is the relationship between parents and children. The relationship is described by mother's sensitivity to respond to signals that the child gives. The immediate or delay respond and, right or wrong respond will affect the relationship in the long term, it is referred to as attachment. The attachment between teacher and student was also expected to influence child’s self esteem.

In general, this study was aimed to analyze the influence of the parent-child attachment and teacher-student attachment in building school-age students’ self esteem. This was cross-sectional study, consisting of 5 elementary schools selected purposively recommended by Head of Department of Education in Depok City. The criteria of selected school were homogeneous and characterized as progressive and conventional schools. Thirty students’ families were selected randomly from the fourth and the fifth grade. Total sample were 150 families. Data was collected using questionnaires which is filled by student. The questionnaires are were Parental Bonding Instrument (PBI) to measure parent-child attachment, The Student – Instructor Relationship (SIRS) to measure teacher-student attachment and Self-Esteem Inventory (SEI) to measure child self-esteem. Data was edited, coded, entried into the computer, cleaning the data, and then analyzed. Data was analyzed using descriptive and inferential statistical analysis. Inferential statistical analysis used Spearman and Pearson correlation test, Chi Square, t-test, and linear regression.

The result showed that most of the students had high self esteem both in conventional and progressive school’s students. In term of parent-child attachment, showed that care attachment was higher than overprotection attachment on both types of schools, but maternal overprotection attachment from conventional schools was higher than progressive schools. The result also showed that connectedness of teacher-student attachment was higher than anxiety.

Spearman correlation test revealed that there were correlation between maternal care attachment and high self-esteem, also between maternal overprotection attachment and low self esteem on both type of schools. There were correlations between connectedness teacher-student attachment and high students’ self esteem, also between anxiety teacher-student attachment and low students’ self esteem on both types of schools.

(7)

lower self esteem of child. Type of schools had no influence in building child’s self esteem.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Teknologi Industri Pertanian

PENGARUH KELEKATAN ORANG TUA-ANAK DAN

GURU-ANAK TERHADAP PEMBENTUKAN

SELF ESTEEM

ANAK

DI SEKOLAH DASAR PROGRESIF DAN KONVENSIONAL

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2013

(10)
(11)

Judul Tesis : Pengaruh Kelekatan Orang tua-Anak dan Guru-Anak terhadap Pembentukan Self Esteem Anak di Sekolah Dasar Progresif dan Konvensional

Nama : Dian Anggraeni Tri Astuti NIM : I251100141

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Dwi Hastuti, M.Sc Ketua

Ir. Melly Latifah, M.Si Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu Keluarga dan Perkembangan Anak

Dr. Ir. Herien Puspitawati, MSc MSc

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.ScAgr

(12)
(13)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2012 ini ialah kelekatan dengan orang tua dan guru terhadap pembentukan self esteem anak, dengan judul Pengaruh kelekatan orang tua-anak dan guru-anak terhadap pembentukan self esteem anak di sekolah dasar progresif dan konvensional.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Ir. Dwi Hastuti, M.Sc dan Ibu Ir. Melly Latifah, M.Si selaku pembimbing. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan juga kepada Ibu Ratna Megawangi, PhD yang banyak memberi saran dan masukan selama proses penelitian. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Dr. Ir. Diah Krisnatuti sebagai dosen penguji yang telah banyak memberi saran dan masukan. Rasa terima kasih juga penulis tujukan kepada dan ibu drg. Rahma Dewi selaku Direktur yayasan Indonesia Heritage Foundation yang memberikan dana dalam program S2 ini. Terima kasih sebesarnya juga kepada Taufiq Ilmawan selaku suami serta buah hati tercinta yang merelakan kesibukan bundanya menuntut ilmu, terima kasih kepada ibunda Sumarsiniwati atas segala doanya, serta terima kasih kepada seluruh teman-teman seangkatan dan teman sekerja yang menemani dan membantu dalam proses kuliah maupun penyelesaian tesis ini. Tak lupa ungkapan terima kasih kepada sekolah yang telah bersedia menjadi tempat penelitian, serta siswa-siswi kelas 4 dan 5 yang bersedia menjadi responden dalam penelitian ini.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(14)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR viii

DAFTAR LAMPIRAN ix

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 5

Manfaat Penelitian 6

2 TINJAUAN PUSTAKA 6

Self Esteem (Harga Diri) 6

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Anak 9

Kelekatan Orang tua dengan Anak 11

Kelekatan Guru dengan Anak 12

3 KERANGKA PMIKIRAN 13

4 METODE 17

Desain , Tempat dan Waktu Penilitian 17

Teknik Penarikan Contoh 17

Jenis dan Cara Pengumpulan Data 18

Pengolahan dan Analisis Data 19

Definisi Operasional 21

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 22

Hasil 22

Pembahasan Umum 36

6 SIMPULAN DAN SARAN 39

Simpulan 39

Saran 40

DAFTAR PUSTAKA 41

LAMPIRAN 44

(15)

DAFTAR TABEL

1 Jenis dan cara pengumpulan data 18

2 Hasil uji reliabilitas kuesioner kelekatan orang tua-anak,

kelekatan guru-anak, dan self esteem 19

3 Rata-rata usia contoh dan jumlah saudara serta perbedaannya

antar tipe sekolah 24

4 Sebaran contoh menurut jenis kelamin dan hubungannya

dengan tipe sekolah 25

5 Sebaran keluarga menurut tingkat pendidikan orang tua

dan hubungannya dengan tipe sekolah 26

6 Sebaran contoh menurut status pekerjaan ibu pada dua tipe sekolah 26 7 Rata-rata pendapatan total keluarga dan perbedaannya

antar tipe sekolah 27

8 Sebaran contoh menurut tingkat kelekatan orang tua–anak

pada kedua tipe sekolah 28

9 Rata-rata skor menurut tingkat kelekatan orang tua–anak

dan hubungannya dengan tipe sekolah 28

10 Sebaran contoh menurut dimensi kelekatan orang tua-anak pada dua

tipe sekolah 29

11 Sebaran contoh menurut kelekatan orang tua-anak pada dua tipe

sekolah 29

12 Rata-rata skor kelekatan guru–anak dan hubungannya

dengan tipe sekolah 29

13 Rata-rata skor tingkat self esteem anak dan hubungannya

dengan tipe sekolah 30

14 Nilai koefisien korelasi antara karakteristik orang tua dan

anak dengan kelekatan orang tua pada dua tipe sekolah 31 15 Nilai koefisien korelasi antara karakteristik anak dengan

kelekatan guru-anak 32

16 Nilai koefisien korelasi antara karakteristik orang tua dan

karakteristik anak dengan self esteem 33

17 Nilai koefisien korelasi antara kelekatan orang tua dan

kelekatan guru dengan self esteem 33

18 Nilai koefisien korelasi antara kelekatan orang tua dengan

kelekatan guru dan dengan self esteem anak 34

19 Faktor-faktor yang mempengaruhi self esteem 35

DAFTAR GAMBAR

1 Lingkungan yang mempengaruhi anak berdasarkan

teori ekologi Bronfenbrenner 9

2 Kerangka pemikiran penelitian pengaruh kelekatan orang tua-anak

dan guru-anak terhadap pembentukan self esteem 16

3 Teknik penarikan contoh 18

4 Sebaran contoh menurut jenis kelamin dan hubungannya

(16)

5 Sebaran contoh menurut tingkat self esteem anak berdasarkan

Tipe sekolah 30

DAFTAR LAMPIRAN

1 Rata-rata dan Standar deviasi beberapa variabel penelitian 44 2 Analisis Item Kuesioner Parental Bonding Instrumen untuk Ibu 45 3 Analisis Item Kuesioner Parental Bonding Instrumen untuk Ayah 46 4 Analisis Item Kuesioner Student Instructur Relationship 47

5 Analisis Item Kuesioner Self Esteem 48

(17)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Keberadaan suatu bangsa tidak terlepas dari keberadaan generasi muda sebagai tumpuan harapan untuk memimpin negara dimasa yang akan datang. Generasi muda yang memiliki jiwa kreatif, penuh semangat, serta inovasi dari ide-ide unik yang siap untuk membangun bangsa. Generasi unggul seperti ini diharapkan juga memiliki kepribadian yang utuh dan ketahanan mental yang baik. Kemampuan menjadi individu yang tangguh perlu upaya yang dilakukan sejak dini saat masih kecil. Demi menunjang keberhasilan seseorang dalam hidup maka sejak kecil anak perlu menguasai berbagai kemampuan terutama kemampuan sosial emosional yang baik, karena menurut Goleman (1995) keberhasilan hidup seseorang lebih ditentukan oleh kemampuan emosionalnya dibandingkan dengan kemampuan intelektual. Kemampuan sosial emosional merupakan pondasi bagi perkembangan kemampuan anak berinteraksi dengan lingkungannya secara lebih luas. Salah satu aspek kepribadian yang perlu dikembangkan agar kemampuan sosial emosional anak baik adalah self esteem (harga diri).

Self esteem yang tinggi perlu dimiliki anak, mengingat pentingnya peran self esteem bagi anak untuk mencapai kebahagiaan dalam menjalani kehidupan. Anak yang memiliki self esteem tinggi mampu membangkitkan rasa percaya diri, penghargaan diri, memiliki rasa aman untuk bersosialisasi dengan teman-teman atau lingkungan sehingga memiliki motivasi yang tinggi untuk berprestasi. Sebaliknya anak yang memiliki self esteem rendah selalu meragukan apakah mampu untuk meraih sesuatu atau tidak, mencari situasi aman dan nyaman, takut mencoba dan bergantung kepada orang lain.

Menurut teori perkembangan anak Erik Erikson (1963), masa sekolah (School Age) yaitu usia 6-12 tahun ditandai adanya kecenderungan industry– inferiority. Sebagai kelanjutan dari perkembangan tahap sebelumnya, pada masa ini anak sangat aktif mempelajari apa saja yang ada di lingkungannya. Dorongan untuk mengatahui dan berbuat terhadap lingkungannya sangat besar, tetapi di pihak lain karena keterbatasan kemampuan dan pengetahuannya kadang-kadang anak menghadapi hambatan bahkan kegagalan. Hambatan dan kegagalan ini dapat menyebabkan anak merasa rendah diri yang berakibat pada rendahnya self esteem (Santrock 1997). Peran lingkungan terdekat yaitu keluarga dan sekolah sangat menentukan kesuksesan dan kegagalannya.

(18)

2

menunjukkan bahwa kualitas interaksi antara anak dengan orang tua, merupakan faktor penting dalam menunjang sifat-sifat kepribadian dan motivasi yang diperlukan dalam belajar.

Menurut Hurlock (1978), komunikasi yang terbuka atau penghargaan terhadap pendapat orang lain seringkali melahirkan harapan yang masuk akal di kalangan anggota keluarga. Sikap menerima dari orang tua berarti memperlakukan anak sebagai pribadi, menerima dan menghargai haknya dan tidak dijadikan sebagai alat pemenuhan kepentingan keluarga. Berbagai hasil studi menunjukkan bahwa sikap menolak dari orang tua terhadap anak cenderung menjadikan anak mengalami kesulitan dalam penyesuaian diri. Para ahli menemukan hubungan yang kuat antara self esteem dengan kebahagiaan individu (Santrock 2007). Penelitian yang melibatkan seribu anak menunjukkan anak dengan self esteem rendah lebih mudah mengalami depresi daripada anak yang memiliki self esteem tinggi (Rao 1994). Self esteem pada anak mulai realistis ketika anak mulai menginjak fase anak akhir (Harter 2006). Pada usia akhir, anak-anak mampu mengevaluasi dirinya dan pada umumnya menjadi lebih kritis dalam membentuk dan membangun kesan terhadap harga dirinya (Papalia & Olds 2004). Oleh karena itu Branden (1994) menekankan pentingnya keluarga khususnya orang tua dalam pembentukan self esteem anak. Kondisi rumah yang membuat anak merasa tidak aman dan tidak nyaman dapat berdampak buruk terhadap tingkat self esteem anak.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Richard dan Killman (dalam Kartadinata 1983) menunjukkan bahwa 13 persen dari 34 orang kasus yang ditangani, mengalami penolakan dari ibunya dan sebanyak 63 persen mengalami perasaan ditolak sebagai akibat perlakuan ibu yang terlalu melindungi mereka. Dampak yang akan terjadi apabila anak mengalami penolakan dalam keluarganya akan berpengaruh dalam sikap atau kepribadian anak. Coopersmith (1967) juga mengemukakan berdasarkan hasil penelitiannya pada anak usia 10-12 tahun atau pada fase pra remaja (preadolescence) bahwa perkembangan self esteem pada masa tersebut dipengaruhi oleh pola asuh orang tua. Seorang anak dengan self esteem tinggi terbentuk karena sikap positif dari orang tua terhadap keberadan anak, orang tua memberikan kebebasan kepada anak tidak terlalu mengekang tetapi juga tidak bersikap permissive. Papalia & Olds (2004) juga menyatakan orang tua yang hangat, responsive dan memiliki harapan-harapan realistik akan meningkatkan self esteem anak, sedangkan orang tua yang perfeksionis, suka mengkritik, atau terlalu mengontrol atau terlalu melindungi, memanjakan, mengabaikan, serta tidak memberikan batasan-batasan atau aturan yang jelas dan konsisten dapat menurunkan self esteem anak.

(19)

3 berpendapat bahwa hal yang paling berpengaruh dalam faktor perlindungan untuk anak adalah adanya kelekatan yang positif di sekolah.

Kelekatan yang dimaksud adalah dengan gurunya sebagai orang tua kedua dari anak, karena ketika berada di sekolah anak berinteraksi dengan gurunya. Hurlock (1978) mengemukakan bahwa hubungan antara anak (siswa) dengan guru ditentukan oleh sikap guru terhadap anak dan sikap anak terhadap gurunya. Agar anak mempunyai persepsi yang positif, guru harus bersikap terbuka, jujur, dan menghargai anak. Sikap guru seperti ini akan menumbuhkan rasa aman dan percaya diri pada anak. Oleh karena itu, menurut Kartadinata (1983), situasi belajar harus merupakan situasi yang demokratis, dimana gagasan anak dihargai, dan timbulnya keragaman pendapat adalah sesuatu yang dapat diterima dalam mengembangkan dinamika pembelajaran. Biasanya situasi demikian akan ditemui di sekolah progresif. Guru sadar bahwa setiap anak itu berbeda kebutuhan, kemampuan dan kepribadiannya. Sedangkan di sekolah konvensional pembelajaran fokus pada pencapaian nilai tertinggi dan kemampuan menguasai prestasi akademik.

Hasil studi Michael dan Powell (dalam Supriadi 1985) menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mendasari interaksi antara anak/siswa dengan guru adalah metode pembelajaran yang digunakan oleh guru, kepribadian guru, kepercayaan anak/siswa terhadap guru, adanya penghargaan yang baik, dan tidak ada penekanan khusus dalam disiplin. Perasaan anak-anak terhadap hubungannya dengan guru dan sekolah dapat mempengaruhi kemampuan anak dalam sosialisasinya dengan lingkungan dan emosionalnya serta prestasi akademisnya (Greenberg 1995). Sekolah progresif dan konvensional yang mempunyai metode pembelajaran yang berbeda diduga mempengaruhi hubungan kelekatan yang terbentuk antara guru dengan anak, dengan demikian akan berpengaruh terhadap pembentukan self esteem anak di sekolahnya.

Perumusan Masalah

(20)

4

bayi yang tidak mendapat kenyamanan. Keluarga sebagai lingkungan terdekat dan pertama bagi anak harus mampu mendukung anak agar ketika saatnya tiba bersosialisasi dilingkungannya, anak sudah siap. Perlunya penghargaan terhadap berbagai prestasi anak serta komunikasi yang harmonis sangat menentukan bagaimana anak menilai harga dirinya. Hubungan yang terjalin tidak hanya sekedar adanya komunikasi, namun terbentuk suatu ikatan yang dalam antara anak dengan orang disekitarnya.

Kelekatan anak dengan orang tua ini akan mempengaruhi kelekatan anak tersebut dengan gurunya kelak. Di sekolah, guru mempunyai peran yang sama dengan orang tua. Seperti halnya orang tua-anak, hubungan guru-anak yang terjalin di sekolah melibatkan emosi dan sosial antar keduanya (Pianta 1999).

Kelekatan antara orang tua dengan anak sangat dasyat mempengaruhi pembentukan kepribadian anak, salah satunya adalah terbentuknya self esteem. Banyak anak di Indonesia yang bermasalah terkait dengan kepribadiannya. Jika melihat berbagai media, adanya berita tawuran remaja, maraknya pergaulan bebas remaja, ditemukan anak usia sekolah dasar yang sudah mengenal film porno kemudian mempraktekkannya dengan temannya, pencurian yang dilakukan anak-anak maupun remaja, dan masih banyak berita negatif lainnya. Bahkan menurut survey yg dilakukan save the children di 10 kota besar di Indonesia mendapati 93 % anak pernah mendapati kekerasan di rumah dan sekolah. Artinya anak mengalami penekanan secara fisik dan mental, yang tentu saja akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan dan pembentukan jati dirinya termasuk self esteemnya. Menurut Dariuszky (2004) yang menghambat perkembangan self esteem adalah perasaan takut, yaitu kekhawatiran atau ketakutan (fear). Hal tersebut juga mencirikan tidak adanya komunikasi yang baik antara anak dengan orang tuanya. Tidak adanya komunikasi yang baik menyebabkan tidak terbentuknya kelekatan, sehingga anak menjadi insecure.

Fenomena lain terkait dengan berbagai harapan orang tua yang dibebankan kepada anak saat mulai masuk usia sekolah. Usia anak-anak yang semestinya diberikan kesempatan bermain lebih banyak, ketika masuk dunia sekolah, anak mulai mengalami penekanan. Berbagai materi pelajaran yang diberikan tanpa melihat materi tersebut bermakna atau tidak bagi anak. Harapan orangtua agar anaknya berhasil mempunyai nilai tinggi dengan cara les diberbagai lembaga privat, serta keinginan orang tua mempunyai kemampuan yang lebih dengan les musik, renang, atau les-les yang lain. Bahkan meskipun sudah mengikuti berbagai macam les pelajaran, masih banyak anak yang berprestasi rendah, padahal berdasarkan tes inteligensi (IQ) anak termasuk berIQ rata-rata bahkan superior (lebih besar dari 110 skala Weschler). Berdasarkan hasil penelitian Achir (dalam Munandar 2004) sekitar 39 persen siswa berbakat di Jakarta memperoleh nilai di bawah rata-rata. Bahkan dari hasil penelitian di Amerika Serikat diperkirakan antara 15 – 50 persen anak berbakat berprestasi kurang (underachiever).

(21)

5 dengan menyalahkan sekolah atau guru atau dengan menyatakan tidak peduli atau tidak berusaha dengan sungguh-sungguh jika prestasi mereka kurang memuaskan. Rendahnya self esteem terkadang dicirikan dari perkataan anak terhadap dirinya “matematika memang susah”, atau “aku memang bodoh”. Menyalahkan merupakan mekanisme anak untuk menghindari tanggung jawab. Beberapa faktor lain yang mempengaruhi self esteem adalah adanya penolakan orang tua, harapan orang tua yang tidak realistis, kegagalan yang berulangkali, kurang mempunyai tanggungjawab personal, ketergantungan pada orang lain dan terlalu ideal diri yang tidak realistis (Papalia & Old 2004).

Fenomena lain yang terjadi adalah saat anak masuk sekolah. Anak mulai mendengar orang-orang dewasa mengkritiknya, memberikan komentar yang kurang berkenan tentang prestasinya. Jack Canfield 1986, seorang psikolog ahli self esteem, menemukan bahwa dalam satu hari rata-rata setiap anak menerima 460 komentar yang negatif dan 75 komentar positif. Terdapat enam kali lebih banyak komentar negatif daripada komentar positif. Setelah beberapa tahun di sekolah, terjadilah learning shutdown, yang menguras banyak tenaga kreatif manusia. Hal ini bisa terjadi di sekolah manapun.

Sekolah progresif dengan metode pembelajaran yang active learning, konkrit serta berpusat pada siswa seharusnya dapat menstimulasi peningkatan prestasi anak. Penghargaan terhadap berbagai pendapat anak di sekolah progresif juga diharapkan meningkatkan self esteem anak. Di sekolah konvensional, dengan metode ceramah, pembelajaran berpusat pada guru, lebih banyak hapalan serta pemberian nilai dan rangking dapat memicu terjadinya kompetisi berlebih pada siswa. Kompetisi yang berlebihan akan memunculkan label negatif pada siswa, dimana akan mempengaruhi self esteemnya.

Fenomena diatas merupakan landasan untuk membuat suatu penelitian mengenai pengaruh kelekatan orang tua dengan anak dan guru dengan anak terhadap pembentukan self esteem dengan membedakan tipe sekolah, yaitu progresif dan konvensional, sebagai tempat anak belajar. Penelitian ini difokuskan kepada anak dan sekolah. Anak meliputi hubungan antara karakteristik anak dan karakteristik orang tua, serta bentuk kelekatan yang terjalin dengan orang tuanya, kelekatan dengan gurunya, tipe sekolah, dan self esteem anak.

Tujuan Penelitian

Tujuan Umum

Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh kelekatan orang tua-anak dan guru-anak anak terhadap pembentukan self esteem anak di sekolah dasar progresif dan konvensional.

Tujuan Khusus

Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah:

1. Membedakan kelekatan orang tua-anak dengan kelekatan guru-anak, dan self esteem anak pada dua tipe sekolah,

(22)

6

3. Menganalisis hubungan antara karakteristik orang tua dan anak dengan self esteem anak pada dua tipe sekolah,

4. Menganalisis hubungan antara kelekatan orang tua-anak dengan kelekatan guru-anak pada dua tipe sekolah,

5. Menganalisis hubungan antara kelekatan orang tua-anak dan kelekatan guru-anak dengan self esteem,

6. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi self esteem anak.

Manfaat Penelitian

Penelitian diharapkan dapat berguna bagi pihak-pihak terkait yaitu masyarakat (orang tua) dan sekolah. Bagi orang tua akan memberikan pandangan bahwa hubungan kelekatan yang terbentuk antara orang tua dengan anak dapat menentukan sikap apa yang terbentuk dalam diri anak. Sikap orang tua juga dapat menjadi penentu apakah anaknya akan tangguh dengan self esteem tinggi dalam masyarakat atau tidak. Semua berawal dari rumah, karena merupakan lingkungan yang pertama kali dikenal anak.

Bagi sekolah, penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai faktor yang mempengaruhi self esteem siswa. Sekolah memberikan standar kepada gurunya cara berkomunikasi yang baik kepada siswanya. Harapannya para guru mampu mendidik siswanya secara utuh menyeluruh sehingga menghasilkan kualitas anak didik yang terbaik. Pembelajaran akan bisa efektif bila guru mempunyai koneksi dengan murid serta peduli dengan memberikan kehangatan dalam berkomunikasi, serta membangun kepercayaan dengan murid. Keberhasilan murid juga sangat dipengaruhi oleh guru dan sistem sekolah. Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan untuk menentukan kebijakan sekolah dalam menentukan kualitas guru serta melihat hal-hal yang mempengaruhi motivasi belajar, dimana hal ini tergantung dari self esteem anak.

Bagi pemerintah penelitian ini dapat dijadikan bahan masukan dalam menentukan kebijakan-kebijakan terutama yang terkait dengan perlindungan hak-hak anak. Di Indonesia undang-undang perlindungan terhadap anak masih perlu data kuat agar dapat ditegakkan dan diterapkan dengan sebenar-benarnya, sehingga tidak terjadi lagi kekerasan terhadap anak.

2

TINJAUAN PUSTAKA

Self Esteem (Harga Diri)

(23)

7 Self-esteem memiliki definisi yang mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Dari tahun ke tahun para ahli terus menambahkan dan memperbaiki definisi dari self-esteem sehingga dengan terus berkembangnya definisi tersebut, maka konsep self-esteem akan semakin jelas dan dimengerti. Self-esteem merupakan evaluasi yang dibuat oleh individu dan biasanya dipertahankan oleh individu. Self-esteem mengekspresikan sikap dari penerimaan diri atau penolakan diri dan mengindikasikan kepercayaan individu untuk mampu, penting, sukses, dan berharga.

Selain definisi dari Coopersmith, banyak juga definisi lain yang merupakan pengembangan dari Coopersmith seperti dari Nathaniel Branden dan James Battle. Menurut Branden (1992), self-esteem adalah kepercayaan diri akan kemampuan seseorang berpikir dan menangani tantangan dalam hidup dan kepercayaan diri bahwa seseorang tersebut pantas untuk hidup bahagia, merasa dihargai dan diterima. Sedangkan menurut Battle (1992), self-esteem adalah persepsi yang dimiliki oleh individu akan seberapa berharga diri individu tersebut.

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Self Esteem

Dalam perkembangannya, self-esteem dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu (Coopersmith 1967):

1. Karakteristik Orangtua, antara lain: self-esteem dan stabilitas emosi ibu. Seorang ibu dengan self-esteem tinggi akan mempunyai standar yang tinggi dalam membentuk self-esteem anaknya dan memiliki emosi yang stabil daripada ibu dengan self-esteem rendah. Seorang ibu yang memiliki emosi tidak stabil dan sangat tergantung pada suasana hatinya tidak dapat memberikan perhatian dan konsisten dalam berelasi dengan anak mereka. Seorang ibu dengan self-esteem tinggi akan lebih percaya diri dan memiliki daya tahan dalam sikap dan tingkah laku mereka berhubungan dengan perawatan anak mereka. Sedangkan seorang ayah dengan self-esteem tinggi akan lebih memperhatikan dan menerima anaknya, dan kemudian anak tersebut akan mempercayai ayahnya

2. Karakteristik Individu, seperti: kondisi fisik, inteligensi, dan keadaan emosi. Individu yang memiliki kondisi fisik yang tidak sehat akan menganggap diri mereka tidak mampu dan tidak berharga. Begitu pula dengan individu yang memiliki inteligensi di bawah rata-rata akan merasa sulit dalam menilai diri dan kemampuan-kemampuan yang dimilikinya serta perasaan-perasaannya. Selain itu, individu yang memiliki gangguan emosi seperti kecemasan dan stres dapat terhambat dalam menyalurkan kemampuan-kemampuan yang dimilikinya, sehingga dapat menumbuhkan penilaian negatif terhadap diri dan lingkungannya. Nilai dan cita-cita individu juga berkaitan dengan perkembangan self-esteem individu

(24)

8

Tingkat Self Esteem

Tingkat self-esteem individu satu dengan yang lainnya berbeda. Coopersmith (1967) mengulas karakteristik umum yang nampak pada individu dengan berbagai tingkatan self-esteem, yaitu :

Pertama Self-esteem tinggi, Individu yang memiliki self-esteem yang tinggi atau positif, puas dengan karakteristik dan kemampuan dirinya. Adanya penerimaan dan penghargaan diri yang positif memberikan rasa aman dalam menyesuaikan diri atau bereaksi terhadap stimulus lingkungan sosial. Individu mempercayai persepsi diri, sehingga tidak terpaku pada kesukaran-kesukaran personal. Pada umumnya individu dengan self-esteem tinggi nampak; (i) aktif dan dapat mengekspresikan diri dengan baik, (ii) berhasil dalam bidang akademis, terlebih dalam mengadakan hubungan sosial, (iii) dapat menerima kritik dengan baik, (iv) percaya pada persepsi dan reaksinya sendiri, (v) tidak terpaku pada dirinya sendiri atau hanya memikirkan kesulitannya sendiri, (vi) keyakinan akan dirinya tidak didasarkan pada fantasinya karena memang mempunyai kemampuan, kecakapan sosial, dan kualitas diri yang tinggi, (vii) tidak akan terpengaruh pada penilaian dari oranng lain tentang sifat atau kepribadiannya, baik itu positif ataupun negatif, (viii) akan menyesuaikan dirinya dengan mudah pada suatu lingkungan yang belum dikenalnya, (ix) akan lebih banyak menghasilkan suasana yang berhubungan dengan kesenangannya, sehingga tercipta tingkat kecemasan dan perasaan tidak aman yang rendah serta memiliki daya pertahanan yang seimbang.

Kedua Self-esteem rendah. Dengan adanya penghargaan diri yang buruk pada diri sendiri membuat individu tidak mampu untuk mengekspresikan dirinya dalam lingkungan sosialnya. Mereka tidak puas dengan karakteristik dan kemampuan-kemampuannya sehingga individu yang memiliki self-esteem yang rendah akan cenderung dependen, pasif, dan bersikap konform terhadap lingkungannya. Individu cenderung sensitif terhadap kritik sebagai pembuktian akan ketidakmampuannya. Pada umumnya individu dengan self-esteem rendah nampak; (i) mempunyai perasaan inferior, (ii) takut dan gagal dalam mengadakan hubungan sosial, (iii) terlihat sebagai orang yang putus asa dan depresi, (iv) merasa diasingkan dan tidak dicintai, (v) kurang dapat mengekspresikan diri, (vi) sangat tergantung pada lingkungan, (vii) tidak konsisten, (viii) secara pasif selalu mengikuti apa yang ada di lingkungannya, (ix) taktik pertahanan diri yang banyak mereka gunakan adalah defence mechanism, (x) mudah mengakui masalahnya.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Anak

Lingkungan Keluarga

(25)

9 masyarakat. Menurut Berns (1997), keluarga memiliki fungsi ekonomi, sosialisasi/pendidikan, peran sosial, dan reproduksi.

Teori ekologi memperlihatkan bahwa perkembangan kehidupan seorang anak sangat tergantung pada faktor internal dan faktor eksternal diri mereka. Teori sistem ekologi Brofenbrenner menelaah perkembangan anak dalam konteks hubungan yang membentuk lingkungan mereka. Teori Bronfenbrenner mendefinisikan secara kompleks setiap "lapisan" lingkungan, masing-masing dengan efek pada perkembangan anak. Microsystem adalah lapisan yang paling dekat dengan anak dan berisi struktur dimana anak memiliki kontak langsung. Microsystem ini meliputi hubungan dan interaksi seorang anak dengan lingkungan terdekatnya (Berk 2003). Termasuk bagaimana kondisi dirinya yang akan mempengaruhi perilakunya. Struktur dalam Microsystem juga termasuk keluarga, sekolah, lingkungan, atau bahkan lingkungan penitipan anak. Pada tingkat ini, terjadi dampak hubungan dalam dua arah. Misalnya, orang tua dari seorang anak dapat mempengaruhi keyakinan dan perilaku mereka, bagaimanapun, anak juga mempengaruhi perilaku dan kepercayaan dari orang tua.

Lingkungan Sekolah

Sekolah merupakan salah satu faktor eksternal yang akan sangat mempengaruhi perkembangan anak. Sekolah sama halnya dengan keluarga. Jika melihat teori ekologi Bronfenbrenner (1990), sekolah merupakan bagian dari lingkungan mikrosistem. Walaupun sekolah bukanlah lingkungan eksternal pertama yang mempengaruhi anak, namun sekolah memberikan dampak yang luar biasa terhadap kualitas seorang anak.

Setiap sekolah memiliki metode pembelajaran yang berbeda. Berdasarkan metode pembelajarannya secara umum sekolah dibagi ke dalam dua tipe, yaitu progresif dan konvensional. Berikut adalah penjelasan dari masing-masing tipe sekolah.

Sekolah Progresif. Pendidikan progresif berawal dari pemikiran John Dewey di abad 20-an, di mana ia mengemukakan 5 poin penting, yaitu (Kohn 2008) pertama pendidikan adalah partisipasi individu dalam kesadaran sosial, Gambar 1 Lingkungan yang mempengaruhi anak berdasarkan teori ekologi

(26)

10

kedua sekolah adalah tempat mendapatkan informasi, tempat di mana banyak hal yang dipelajari, atau tempat di mana suatu kebiasaan dibentuk sehingga sekolah harus merupakan cerminan dari komunitas. Sekolah harus merepresentasikan kehidupan saat ini. Ketiga, kurikulum di sekolah harus mencerminkan perkembangan manusia di dalam kehidupan sosialnya, sehingga harus menyatu dengan kegiatan-kegiatan lain atau dengan kata lain terintegrasi. Keempat, metode pembelajaran berfokus pada anak, karena itu materi yang diberikan melihat pada apa yang diminati anak. Kelima, sekolah merupakan alat rekonstruksi sosial. Jadi pendidikan harus memberikan hal yang tepat untuk mencapainya. Berdasarkan pemikiran Dewey tersebut dapat disimpulkan bahwa sekolah progresif adalah sekolah yang memiliki cara atau metode pengajaran berbeda dari sekolah yang konvensional. Biasanya sekolah progresif memiliki ciri-ciri; (Kohn 2008) menekankan cara belajar melalui praktek (learning by doing), kurikulum yang terintegrasi dan berdasarkan tema, sangat menekankan pada penyelesaian masalah dan berpikir kritis, bekerja kelompok dan pengembangan kemampuan sosial, memahami dan praktek adalah tujuan dari belajar, bukan sekedar menghapal, kolaboratif dan cooperative learning project, pendidikan sebagai tanggung jawab sosial dan demokras, kurikulum terintegrasi dengan pelayanan masyarakat dan service learning project terdapat di kurikulum harian, isi mata pelajaran diseleksi berdasarkan kemampuan apa yang akan dibutuhkan di masyarakat pada masa depan, penekanan terhadap buku merupakan alternatif variasi sumber belajar, menekankan pada pembelajaran sejati dan kemampuan sosia, dan penilaian berdasarkan evaluasi dan projek dan hasil karya siswa. Sekolah progresif pada tingkat sekolah dasar tidak menggunakan nilai dalam melaporkan perkembangan belajar muridnya. Laporan perkembangan yang ditampilkan biasanya berupa narasi.

Sekolah Konvensional. Sekolah konvensional adalah sekolah yang memiliki metode pendidikan dengan cara-cara lama, yaitu sebagai berikut (Megawangi, Dina WF, Riza, dan Merdekawati EF 2010): pendekatan satu arah (one-way teaching), orientasi hapalan (rote learning/drilling), terpacu hanya dari buku (textbook thinking), orientasi pada nilai atau ujian nasional, dan materi pembelajaran parsial.

Pendekatan satu arah artinya bentuk komunikasi antara guru dan murid di mana guru mengajar dan murid belajar atau mendengarkan. Guru biasanya berdiri di depan kelas menjelaskan materi pelajaran dan murid biasanya hanya duduk diam dan manis. Cara belajar rote learning artinya belajar dengan cara mengingat atau menghafal tanpa memahami makna yang dihafalkan (Beck 2009). Walaupun anak dapat hafal dari materi yang diberikan, namun anak tidak dapat memahaminya dengan baik. Ini berarti anak belajar dengan menggunakan kemampuan berpikir yang rendah seperti taksonomi Bloom, yaitu di mana mengingat atau menghafal berada pada lapisan berpikir paling bawah (Megawangi et.al 2010).

(27)

11 Materi pembelajaran yang parsial artinya materi yang diberikan tidak terintegrasi antar pelajaran. Siswa tidak dapat melihat keterkaitan antara satu mata pelajaran dengan mata pelajaran lainnya, bahkan siswa tidak mengerti apa relevansinya dengan kehidupan nyata (Megawangi et al. 2010).

Kelekatan Orang tua dengan Anak

Kelekatan adalah proses yang berlangsung antara pengasuh dan bayi. Kelekatan dapat juga dideffinisikan sebagai suatu hubungan emosional atau hubungan yang bersifat afektif antara satu individu dengan individu lainnya yang mempunyai arti khusus. Hubungan yang dibina akan bertahan cukup lama dan memberikan rasa aman anak (Sutcliffe 2002).

Mary Ainsworth (1979) juga memberikan kontribusi besar bagi perkembangan teori kelekatan. Ainsworth bergabung dengan penelitian bersama tim Bowlby di tahun 1950 dan mengembangkan dampak dari pemisahan anak-anak dengan pengasuhnya. Ainsworth melakukan observasi naturalistik ibu dan bayi dan kemudian mengembangkan dalam laboratorium prosedur yang dikenal sebagai 'Strange Situation'. Dari penelitian ini, Ainsworth mengidentifikasi tiga jenis kelekatan pada bayi: secure (bayi akan tertekan pada saat ibu mereka pergi dan akan kembali terhibur atau tenang saat ibu mereka datang kembali), anxious-ambivalent (di mana bayi mengalami stres pada saat ibu mereka pergi, bahkan saat kembali), dan anxious avoidant (di mana bayi tidak terganggu oleh keberangkatan ibu mereka dan tidak tertarik saat ada ibu mereka).

Manfaat Kelekatan

Kenyamanan secara fisik juga memegang peranan penting dalam pandangan Erikson (1986) mengenai perkembangan bayi. Pendapat Erikson yang menyatakan bahwa pada tahun pertama kehidupan terjadi tahap trust versus mistrust. Kenyamanan secara fisik dan pengasuhan yang sensitif adalah kunci untuk membentuk basic trust pada bayi. Trust pada bayi ini pada akhirnya akan menjadi dasar dari attachment dan dasar dari ekspektasi menetap yang menganggap bahwa dunia adalah tempat yang aman, baik dan menyenangkan.

Sementara John Bowlby (1969), seorang psikoanalis, yang menekankan pentingnya kelekatan pada tahun pertama kehidupannya, dan juga pentingnya responsivitas pengasuh. Bowlby percaya bahwa bayi dan pengasuh primer secara biologis sudah terdeposisi untuk membentuk attachment. Bayi akan menangis, tersenyum, merengek, atau merangkak dan berjalan mengikuti ibu mereka. Secara otomatis pengasuh primer akan selalu dekat dengan mereka. Bowlby (1969) adalah yang pertama dalam menyajikan gagasan bahwa pengalaman pengasuhan awal, yaitu seorang ibu yang mencatat sinyal dari seorang bayi yang tertekan atau takut.

(28)

12

interaksi antara orang tua dan anak. Dari penelitian yang dilakukan oleh Holmbeck ditemukan bahwa ikatan hubungan yang hangat, mendalam dan berkualitas antara orang tua dan anak serta remaja mampu membantu anak pra remaja dalam mengatasi perubahan-perubahan yang terjadi dalam dirinya. Orford menemukan bahwa suatu hubungan yang berkualitas dapat dilihat dari seberapa jauh hubungan tersebut memberikan fungsi-fungsi dukungan sosial yang penting, seperti pertolongan, perhatian, suatu pengakuan, dan pendampingan. Berdasarkan penelitian Coopersmith (dalam Borualogo 2004) diketahui bahwa orang tua memiliki peranan penting dalam meningkatkan harga diri anak terutama pada masa remaja.

Kelekatan Guru dengan Anak

Pianta (1999) mendefinisikan hubungan sebagai suatu sistem timbal balik antara dua individu yang melibatkan interaksi, persepsi, dan karakteristik kedua individu yang bersangkutan. Lebih lanjut lagi Pianta mengatakan bahwa hubungan merupakan suatu hasil dari beberapa komponen kegiatan yang terjadi berulang-ulang. Pianta (1999) menggambarkan hubungan sebagai refleksi dari pembentukan interaksi dan persepsi antara satu individu dan individu lainnya. Lebih lanjut lagi dikatakan bahwa suatu hubungan merupakan perilaku interaktif antar individu yang melibatkan aspek kognitif, afektif, dan atribut motivasional.

Kohn (dalam Powell & Caseau 2004) menyebutkan bahwa hubungan guru-anak yang positif ditandai dengan perilaku guru yang memberi perhatian khusus pada anak, menghargai, memikirkan sudut pandang anak. Peneliti lain bernama Altman dan Taylor (1973), serta Knapp ( dalam Powell & Caseu 2004) menyebutkan bahwa hubungan guru-anak yang positif merupakan hasil dari proses komunikasi yang luas dan dalam antara guru dan anak sehingga mengarah kepada hubungan interpersonal.

Beberapa peneliti mengembangkan dimensi hubungan guru-anak berdasarkan konsep berpikir dan pendekatan yang berbeda. Irvine (dalam Pianta 1999) membagi bentuk hubungan guru-anak menjadi empat kategori, yaitu hubungan yang lekat, hubungan yang menunujukkan penolakan, hubungan yang menunjukkan kecemasan, hubungan yang acuh tak acuh. Anak yang termasuk kategori lekat, cenderung berinisiatif membangun hubungan yang positif dengan guru, sedangkan anak yang menunjukkan penolakan cenderung menjalin hubungan yang tinggi dengan guru, namun hubungan yang terjalin tersebut sebagai akibat dari pelanggaran yang dilakukan oleh anak terhadap peraturan kelas. Anak yang penuh dengan kecemasan cenderung menjalin hubungan dengan guru hanya untuk kepentingan akademis saja, sedangkan anak yang acuh tak acuh cenderung sedikit membina hubungan dengan guru, dan guru pun memberi perhatian yang sedikit pula terhadap anak.

(29)

13 untuk mengeksplorasi lingkungannya berakar dari kelekatan orang tua-anak. Di sekolah guru mempunyai peran yang sama dengan orang tua. Seperti halnya orang tua-anak, hubungan guru-anak yang terjalin di sekolah melibatkan emosi dan sosial antar keduanya (Pianta 1999).

Pianta (1999) mengidentifikasi hubungan guru-anak melalui pengukuran persepsi guru mengenai hubungannya dengan anak secara individual. Dalam hal ini Pianta mendifinisikan persepsi sebagai perasaan yang dialami guru saat berhubungan dengan seorang anak dan keyakinan guru mengenai perasaan yang dialami anak saat berhubungan dengan guru. Pianta mengklasifikasi hubungan guru-anak menjadi tiga dimensi, yaitu konflik, kedekatan, dan ketergantungan.

Dimensi konflik mengindikasikan perilaku penolakan/pertentangan oleh guru terhadap anak dan sebaliknya. Dimensi konflik dicirikan oleh permasalahan perilaku pada anak, seperti perilaku mengabaikan tugas, melakukan interaksi, dan menampilkan emosi negative (marah, takut, sedih), dan perilaku menentang atau melawan. Dimensi ketergantungan berhubungan dengan ketergantungan yang tinggi dari anak kepada guru, kedekatan fisik yang berlebihan kepada guru, serta respon guru yang berlebihan terhadap anak. Hubungan guru-anak yang penuh ketergantungan dan konflik dapat menyebabkan anak dapat mengalami permasalahan perilaku di sekolah, menghindari sekolah, menolak terlibat kegiatan di kelas, sehingga berdampak kepada menurunnya kemampuan akademik anak di sekolah (Birch & Ladd 1998).

Pianta dan Stuhlman (2003) menyebutkan bahwa pola hubungan yang penuh konflik antara guru dan anak dapat menyebabkan masalah perilaku pada anak, misalnya perilaku agresif dan antisosial, yang dapat menghambat proses adaptasi anak terhadap lingkungan sekolah.

3

KERANGKA PEMIKIRAN

Penelitian ini menggunakan pendekatan teoritis struktural-fungsional, artinya setiap anggota keluarga melakukan tugasnya sesuai dengan struktur dan fungsinya sehingga tercipta suatu unit keluarga yang harmonis dan seimbang. Pada pendekatan teoritis struktural-fungsional, keluarga adalah suatu organisasi di mana terdapat pembagian kerja. Pembagian kerja ini dilakukan dengan sesuai sehingga keluarga bisa menjadi stabil dan begitupun dengan lingkungan sosialnya di masyarakat.

(30)

14

kepribadian anak, dalam hal ini adalah self esteem. Self esteem tinggi akan menumbuhkan kepercayaan diri yang baik dan motivasi yang baik dalam berprestasi di sekolah. Terjalinnya kelekatan orang tua dengan anaknya dapat dipengaruhi oleh berbagai hal, yaitu karakteristik anak maupun karakteristik keluarga.

Karakteristik anak yang terdiri dari usia, jenis kelamin, dan jumlah saudara mempengaruhi komunikasi orang tua dalam membina hubungan. Hal ini dikarenakan usia setiap anak terkait dengan tugas perkembangannya (Hurlock 1994) sehingga dibutuhkan strategi pengasuhan yang berbeda untuk membimbing anak agar berkembang sesuai tahap perkembangannya (Herbert 2004). Jenis kelamin anak mempengaruhi perlakuan orang tua. Bayi perempuan cenderung lebih dimanja daripada bayi laki-laki. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ayah lebih melindungi anak perempuannya dibandingkan dengan anak laki-lakinya (Stephens 2009). Jumlah saudara, artinya jumlah anak yang dimiliki orang tua juga akan mempengaruhi bagaimana orang tua mengasuh dan berkomunikasi. Menurut Becker (1991), semakin banyak jumlah anak yang dimiliki maka semakin menurun kualitas anak tersebut. Menurunnya kualitas anak disebabkan oleh berkurangnya ketersediaan waktu, tenaga, dan materi yang diberikan orang tua kepada anak. Hal ini bisa menyebabkan kelekatan yang terjalin dengan orang tua berkurang secara kualitas sehingga anak merasa kurang mendapat perhatian dengan orang tua. Anak yang kurang mendapat perhatian atau bahkan sangat dikontrol menimbulkan kemampuan bersosialisasi kurang, dan mungkin pembentukan self esteem-nya kurang baik.

Karakteristik orang tua pendidikan ayah dan ibu dan pendapatan keluarga serta status pekerjaan ibu. Pendidikan dan pendapatan keluarga merupakan keadaan sosial ekonomi. Pinderhughes et al. (2000) mengungkapkan bahwa terdapat hubungan yang negatif antara status sosial ekonomi orang tua dengan kebiasaan orang tua memukul anak. Artinya orang tua yang miskin akan lebih sering memukul anaknya dibandingkan orang tua yang tidak miskin. Hal ini dikarenakan mereka cenderung lebih sering mengalami stres, dan stres ini akan berkaitan dengan bentuk komunikasi. Anak yang mendapat perlakuan demikian akan merasa tidak berharga, kondisi ini akan menyebabkan munculnya emosi negatif yang akan mempengaruhi dalam penghargaan terhadap diri yang negatif. Selain itu, pendidikan dan pendapatan orang tua akan berpengaruh terhadap jumlah dan jenis fasilitas yang diberikan kepada anak, kebebasan anak dalam menentukan keinginannya, sehingga hal ini dapat mempengaruhi self esteem anak. Sekolah merupakan salah satu faktor eksternal yang akan sangat mempengaruhi perkembangan anak. Peran dan otoritas guru untuk memimpin dan mengontrol kegiatan pembelajaran sangat mempengaruhi keberhasilan pemahaman siswa. Guru lebih banyak berperan sebagai sahabat, mentor, dan fasilitator akan sangat mendukung kelancaran pemahaman siswa.

(31)

15

orang tua dari siswa yang berbeda, berbeda pula cara pengasuhan orang tua, sehingga kelekatan orang tua dengan anak pun berbeda-beda. Guru berinteraksi dengan anak-anak yang secure dengan cara hangat dan santai, sedangkan ketika berinteraksi dengan anak yang insecure guru berinteraksi dengan mengontrol, cenderung berharap kepatuhan dan lebih pada instruksi untuk mengarahkan. Terkadang guru menemukan kesulitan membangun hubungan posistif dengan anak yang mempunyai kelekatan dengan orangtuanya tidak baik atau insecure.

Berbagai macam tipe sekolah yang ada di Indonesia menghasilkan kualitas yang berbeda baik gurunya maupun siswanya. Tipe sekolah progresif dengan sistem pembelajaran active learning, berpusat pada murid, lebih banyak praktek akan menumbuhkan rasa nyaman pada siswa. Lain halnya sekolah dengan tipe konvensional dengan sistem pembelajaran yang menuntut nilai, drilling atau hapalan mengharuskan siswa dapat menghapal pelajaran, lebih banyak ceramah atau berpusat pada guru, terkadang menimbulkan rasa bosan pada siswa sehingga timbul ketidak nyamanan di sekolah. Rasa nyaman tersebut dapat membangun kelekatan yang baik antara guru dengan siswa. Dengan emosi yang baik seorang anak akan mampu belajar dengan baik. Kenyamanan antara guru dengan murid diduga akan terbangun hubungan yang lekat antara keduanya sehingga siswa merasa lebih berharga, maka self esteemnya terbentuk dengan baik.

(32)

Gambar 2 Kerangka pemikiran penelitian pengaruh kelekatan orang tua dan guru dengan anak terhadap pembentukan self esteem. Karakteristik anak

- Usia

- Jenis kelamin - Jumlah saudara

Self Esteem

Anak Usia SD

Karakteristik orang tua

- Pendidikan ibu dan ayah - Pendapatan total keluarga - Status pekerjaan ibu

Peer Group Tipe sekolah - Konvensional - Progresif

Kelekatan Orang tua-Anak

- Care

- Overprotection

Kelekatan Guru-Anak

- Connectedness - Anxiety

(33)

17

4

METODE

Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian

Penelitian yang dilakukan adalah penelitian payung. Desain penelitian adalah cross sectional. Penelitian difokuskan pada dua tipe Sekolah Dasar (SD) di kota Depok, yaitu sekolah progresif dan sekolah konvensional. Setiap tipe sekolah dibagi menjadi sekolah umum dan sekolah berbasis agama. Pemilihan sekolah dilakukan secara purposive, yaitu berdasarkan rekomendasi dari Kepala Pendidikan Nasional Kota Depok. Hal ini dilakukan karena tidak tersedia data yang membedakan antara sekolah konvensional dan progresif. Adapun ciri-ciri sekolah konvensional adalah:

1. Metode pembelajaran rote learning/drilling, orientasi kepada buku pelajaran. 2. Laporan perkembangan belajar siswa menggunakan nilai.

3. Komunikasi satu arah, siswa lebih banyak mendengarkan, duduk diam, sedangkan guru lebih banyak menerangkan materi dengan metode ceramah. 4. Materi terpisah, walaupun bertema namun dalam praktek pengajaran tidak

sesuai.

Adapun ciri-ciri sekolah progresif adalah:

1. Metode pembelajaran active learning, ada praktek ataupun project sebagai proses dalam memahami materi.

2. Laporan perkembangan belajar siswa menggunakan narasi. Jika terdapat nilai hanya sebagai syarat dari Diknas.

3. Komunikasi dua arah, diskusi yang membangun pemahaman siswa terhadap materi yang diajarkan.

4. Materi terintegrasi, bertema.

Pemilihan sekolah juga didasarkan pada kondisi fisik, fasilitas sekolah, serta kemampuan ekonomi orang tua. Sekolah yang terpilih adalah sekolah yang memiliki bangunan yang memadai (baik gedung maupun saung), fasilitas fisik yang cukup lengkap (perpustakaan, toilet, tempat ibadah, aula, ruang untuk setiap kelas, peralatan praktikum), tersedianya ekstrakurikuler, bayaran SPP atau sumbangan di atas Rp 150.000,00.

Sekolah yang dipilih pada masing-masing tipe sekolah (progresif dan konvensional) terdiri atas sekolah umum dan sekolah berbasis agama. Sekolah tersebut dipilih berdasarkan tingkat sosial ekonomi orang tua siswa yang berada pada tahap menengah ke atas. Hal ini dilihat dari kondisi bangunan sekolah yang memadai dan SPP sekolah.

Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai Juni 2012. Pengambilan data berupa pengisian kuesioner oleh siswa menghabiskan waktu kurang lebih tiga hari di setiap sekolah. Data kuesioner orang tua terakhir dikumpulkan pada bulan Juli 2012.

Teknik Penarikan Contoh

(34)

18

lebih baik dibandingkan dengan siswa kelas rendah (1 – 3). Siswa kelas 4 dan 5 yang termasuk dalam contoh adalah siswa dengan kondisi normal, artinya berdasarkan diagnosa psikolog dan/atau guru bukan merupakan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Pengambilan contoh menggunakan metode acak beraturan dengan masing-masing sekolah terdiri dari 30 sampel sehingga total sampel adalah 150. Berikut adalah kerangka pengambilan contoh.

Gambar 3 Teknik penarikan contoh

Jenis dan Cara Pengumpulan Data

Keseluruhan data yang dikumpulkan pada penelitian ini merupakan data primer dengan menggunakan metoda wawancara menggunakan kuesioner. Data primer yang meliputi karakteristik anak (umur, jenis kelamin dan jumlah saudara), karakteristik orangtua (pendapatan, dan tingkat pendidikan), persepsi anak terhadap kelekatan antara guru-murid/anak, dan penilaian anak terhadap dirinya (self esteem-nya) yang diperoleh melalui kuesioner. Jenis dan cara pengumpulan data disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Jenis dan cara pengumpulan data.

No Variabel Indikator Skala Data Respo n-den

Alat Bantu Acuan

1. Karakteristi k anak

Usia Rasio Anak Kuesioner Jenis kelamin Nominal Anak Kuesioner Jumlah saudara Rasio Anak Kuesioner 2.

Karakte-ristik guru

Lama mengajar Ordinal Guru Kuesioner Pendidikan Ordinal

Jenis Kelamin Nominal 3. Kelekatan Persepsi murid

(35)

19 No Variabel Indikator Skala Data Respo

n-den

4. Self-esteem Penilaian diri Ordinal Anak Kuesioner (25 item)

Self-Esteem Inventory (SEI) dari Coopersmith, 1981-modifikasi

Uji reliabilitas dan validitas dilakukan pada kuesioner kelekatan orang tua-anak, kelekatan guru-tua-anak, dan self esteem. Tabel 2 menunjukkan nilai Cronbach α hasil dari uji validitas kuesioner tersebut

Tabel 2 Hasil uji reliabilitas kuesioner kelekatan orang tua –anak, kelekatan guru-anak, dan self esteem

Kuesioner Nilai Cronbach α

Kelekatan Orang tua-Anak: Parental Bonding Instrument Care

Data yang diperoleh diolah terlebih dahulu melalui proses editiing, coding, scoring, entry data, cleaning data, dan analisis data. Lalu data disajikan dalam bentuk tabel dan dianalisis secara deskriptif dan inferensial. Untuk mengontrol kualitas data dilakukan uji reliabilitas dan uji validitas dengan metode Cronbach’s Alpha untuk kuesioner kelekatan orang tua-anak dan kelekatan guru-anak.

Data yang dianalisis secara statistik deskriptif meliputi:

1. Data karakteristik anak yang terdiri atas: usia anak, jenis kelamin, dan jumlah saudara.

2. Data karakteristik orang tua yang terdiri atas: tingkat pendidikan ibu, tingkat pendidikan ayah, pendapatan total keluarga, serta status pekerjaan ibu.

(36)

20

yaitu; affectionate constraint (high care dan high protection), optimal parenting (high care dan low protection), affectionless control (low care dan high protection), dan neglectful parenting (low care dan low protection). 4. Data kelekatan guru-anak, merupakan modifikasi dari kuesioner The

Student-Instructor Relationship (SIRS) yang digunakan untuk mengukur hubungan guru-anak persepsi anak/murid. Kuesioner ini berprinsip pada teori dimana kualitas hubungan dianggap hal paling signifikan. Sebagai contoh, perasaan keterkaitan atau connectedness serta hubungan mendasar yang muncul atau hubungan erat dengan para guru, teman, dan orang tua itu merupakan bekal penting untuk mengatasi banyak hal (Collins & Read, 1990; Davis, 2003; Pianta & Stuhlman, 2004; Ryan et al., 1998; Simpson, Rholes, and Phillips, 1996). Kuesioner terdiri dari 19 item. Instrumen ini dikategorikan dalam dua dimensi, yaitu Instructor Connectedness dan Instructor Anxiety.

5. Data self esteem anak. Kuesioner yang digunakan untuk mengukur self-esteem adalah alat ukur Self-Esteem Inventory (SEI) dari Coopersmith, 1981, yang diadaptasi dan dimodifikasi serta diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh peneliti. Alat ukur ini terdiri atas 25 item yang berupa pernyataan yang menggambarkan diri responden. Kuesioner ini disertai 2 pilihan jawaban, yaitu : 1 (Sesuai denganku), 0 (Tidak sesuai denganku).

Statistik inferensial digunakan untuk mengeneralisasikan hasil penelitian dan data sampel, yaitu:

1. Uji korelasi Pearson digunakan untuk melihat hubungan antara karakteristik anak (usia dan jumlah saudara), karakteristik orang tua (usia ibu, usia ayah, pendapatan total keluarga), kelekatan (kelekatan orang tua-anak, kelekatan guru-anak), dan self esteem.

2. Uji korelasi Spearman ini digunakan karena variabel-variabel yang akan diketahui hubungannya dianggap sebagai nominal dan ordinal. Hubungan antar variabel-variabel yang akan diuji yaitu sebagai berikut: Karakteristik orangtua (jumlah anak, pendapatan keluarga, pendidikan orang tua) dan karakteristik anak (umur, jenis kelamin anak) dengan kualitas kelekatan antara orangtua-anak.

3. Uji korelasi Chi-square digunakan untuk melihat hubungan antara jenis kelamin, dengan tipe sekolah.

4. Uji beda Anova digunakan untuk melihat perbedaan rata-rata variabel numerik antar setiap sekolah.

5. Uji beda t-test digunakan untuk melihat perbedaan rata-rata variabel numerik antar tipe sekolah (konvensional dan progresif).

(37)

21

X6 = Pendapatan total keluarga (Rupiah/bulan)

X7 = Status pekerjaan ibu

X8 = Kelekatan Ibu Care

X9 = Kelekatan Ibu Overprotection

X10 = Kelekatan Ayah Care

X11 = Kelekatan Ayah Overprotection

X12 = Kelekatan guru-anak connectedness

X13 = Kelekatan guru-anak anxiety

D2 = Dummy Tipe sekolah (0 = progresif, 1 = konvensional)

Definisi Operasional

Usia anak dan usia guru adalah umur responden, baik anak maupun guru, dihitung dari tahun kelahiran sampai dengan tahun pengambilan data dan satuannya berupa tahun.

Jenis kelamin anak dan guru adalah tipe seksual responden berupa pilihan laki-laki atau perempuan.

Tingkat pendidikan ibu dan ayah adalah tingkat atau jenjang pendidikan yang ditempuh oleh ibu dan ayah, mulai dari tidak sekolah, SD, SMP, SMA, diploma, S1, dan S2/S3.

Pendapatan total keluarga adalah pemasukan dana yang diterima oleh orang tua (ayah dan ibu) setiap bulan dibagi dalam satuan rupiah.

Jumlah saudara adalah keseluruhan anak yang dimiliki dalam satu keluarga mulai dihitung dari anak yang pertama sampai terakhir.

Pendidikan guru adalah tingkat atau jenjang pendidikan yang ditempuh oleh guru yang dibedakan dalam tiga kategori yaitu dari kependidikan, non kependidikan, dan pendidikan lainnya.

Pendapatan guru adalah pemasukan dana yang diterima oleh guru setiap bulan dibagi dengan jumlah anggota keluarga yang ditanggung.

Kelekatan adalah ikatan kasih sayang yang sangat dalam dan abadi yang menghubungkan antara seseorang dengan orang lain melintasi waktu dan ruang (Ainsworth 1973; Bowlby 1969).

Kelekatan orang tua-anak adalah hubungan antara orang tua dan anak yang merupakan sumber emosional dan kognitif bagi anak. Hubungan tersebut memberi kesempatan bagi anak untuk mengeksplorasi lingkungan maupun kehidupan sosial. Hubungan anak pada masa-masa awal dapat menjadi model dalam hubungan-hubungan selanjutnya. Hubungan awal ini dimulai sejak anak terlahir ke dunia, bahkan sebetulnya sudah dimulai sejak janin berada dalam kandungan (Sutcliffe 2002).

(38)

22

hubungan merupakan suatu hasil dari beberapa komponen kegiatan yang terjadi berulang-ulang. Pianta (1999) menggambarkan hubungan sebagai refleksi dari pembentukan interaksi dan persepsi antara satu individu dan individu lainnya. Lebih lanjut lagi dikatakan bahwa suatu hubungan merupakan perilaku interaktif antar individu yang melibatkan aspek kognitif, afektif, dan atribut motivasional.

Self-Esteem adalah sebagai evaluasi yang dibuat individu dengan penghargaan untuk dirinya dan mengindikasikan sejauh mana individu tersebut percaya bahwa dirinya mampu, berarti, sukses, dan berharga. Secara singkat, self-esteem adalah pendapat personal akan keberhargaan diri yang diekspresikan dalam sikap individu yang berpengaruh terhadap dirinya (Coopersmith 1967)

Sekolah konvensional adalah sekolah yang memiliki metode pengajaran klasikal di mana komunikasi yang berlangsung hanya satu arah yaitu guru menerangkan dan siswa mendengarkan.

Sekolah progresif adalah sekolah yang memiliki metode pengajaran active learning dan tidak terdapat peringkat/ranking di setiap kelas.

5

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian mengenai pengaruh kelekatan (attachment) orang tua-anak dan guru-anak terhadap pembentukan self esteem dilakukan di beberapa sekolah di kota Depok dengan dua tipe sekolah, yaitu SD progresif diwakili oleh satu SD Swasta Umum dan dua SD Swasta Berbasis Agama, sedangkan SD konvensional yang diwakili oleh satu SD Negeri dan satu SD Swasta Berbasis Agama. Kondisi dan keadaan SD yang diambil mempunyai kesetaraan baik fasilitas sekolah maupun keadaan ekonomi orang tua murid.

Keadaan Umum Lokasi Penelitian

(39)

23 Lokasi penelitian kedua dilakukan di SD Swasta Berbasis Agama yang berlokasi di Kecamatan Pancoran Mas dengan luas 8 645 m2. Kondisi serta fasilitas yang dimiliki tergolong lengkap dan dalam keaadan baik. Jumlah keseluruhan siswa dari kelas 1-6 adalah 899 orang dengan jumlah guru 33 orang. Rata-rata satu kelas terdiri dari 40 siswa atau kurang dengan 1 wali kelas. Sama halnya dengan lokasi penelitian pertama, guru lebih banyak menggunakan metode ceramah sehingga komunikasi yang terbentuk adalah komunikasi satu arah. Sistem penilaian menggunakan angka serta peringkat antar siswa di kelas, sehingga siswa dapat mengetahui tingkat kemampuannya berdasarkan nilai yang didapat. Sistem evaluasi yang digunakan guru untuk mengetahui sejauh mana pemahaman siswa terhadap materi pelajaran berupa tes tertulis, unjuk kerja, portofolio, project, dan praktek. Tes tertulis biasanya dengan tipe soal pilihan ganda, isian, dan atau esai. Dari kelima sistem evaluasi yang dilakukan guru, tes tertulis mempunyai proporsi yang lebih besar dalam menentukan tingkat pemahaman siswa. Hal inilah yang membuat orientasi guru dalam mengajar adalah agar siswa dapat menjawab soal dengan benar (teaching to the test).

Lokasi penelitian ketiga berada di Sekolah Dasar Swasta Umum yang berlokasi di Kecamatan Cimanggis dengan luas 3 hektar. SD tersebut memiliki fasilitas tergolong lengkap dengan kondisi baik. Jumlah keseluruhan siswa dari kelas 1-6 adalah 139 orang dengan jumlah guru 29 orang. Rata-rata satu kelas terdiri dari 20 siswa atau kurang dengan dua wali kelas. Guru lebih banyak menggunakan metode pengajaran active learning, komunikasi yang terjadi adalah komunikasi dua arah. Guru berperan sebagai fasilitator sehingga siswa terlihat lebih aktif. Diskusi sebagai salah satu cara yang digunakan guru, dalam hal ini siswa diberikan kebebasan dalam bertanya dan berpendapat. Pembelajaran bersifat tematik dari kelas 1-5, dan terlihat jelas tujuan dari tema yang ditentukan. Sistem evaluasi yang digunakan terdiri dari project, produk, tes tertulis, portofolio, dan performance. Siswa selalu diberikan penghargaan dari hasil kerjanya. Hal ini terlihat dari pemberian nilai kepada siswa tidak berupa angka namun narasi perkembangan kemampuannya. Sekolah ini juga tidak menggunakan peringkat antar siswa di kelas. Hasil karya siswa dipajang di kelas. Posisi serta lokasi belajar siswa bisa berubah, siswa terkadang duduk secara berkelompok, di kursi maupun di karpet tergantung dari kondisi. Terlihat jelas perbedaan dengan lokasi penelitian yang lain, sekolah ini mempunyai jadwal khusus selama kurang lebih 20 menit setiap pagi mengalirkan pengajaran karakter secara formal pada siswanya. Secara informal pengajaran karakter juga dilakukan dengan terintegrasi baik dalam kegiatan belajar maupun di luar jam belajar.

Gambar

Gambar 2  Kerangka pemikiran penelitian pengaruh kelekatan orang tua dan guru dengan anak terhadap pembentukan self esteem.
Gambar 3  Teknik penarikan contoh
Gambar 4 Sebaran contoh menurut jenis kelamin dan hubungannya dengan tipe Karakteristik Orang Tua
Tabel  6 Sebaran contoh menurut status pekerjaan ibu pada dua tipe sekolah
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan respon siswa terhadap pembelajaran aktif tipe question students have, prestasi belajar siswa setelah mengikuti

Sehubungan dengan tahap evaluasi dan pembuktian kualifikasi dalam proses pengadaan pekerjaan PENINGKATAN JALAN HOTMIX – JALAN MENUJU WISATA GUNUNG TUMPA dengan

The results were a significant difference of critical thinking skills between control class and experiment class for elementary clarification: focus on a question (identifying

[r]

Boulle (2010) dalam jurnal internasionalnya yang berjudul Data Grid Models for Preparation and Modeling in Supervised Learning, memperkenalkan metode baru untuk secara

Ada jenis aditif yang memiliki fungsi yang miripyaitu aditif anti aus/tekanan ekstrim (AW/EP) dan aditif pemodifikasi gesekan (FM). Aditif AW/EP adalah senyawa yang bekerja

Hasil penelitian menunjukkan bahwa konflik secara parsial berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan kerja, dan konflik melalui motivasi berpengaruh negatif

Pemakaian kontrasepsi oral (pil KB) dalam waktu lama ( ≥7 tahun). Masih terdapat kontroversi sampai saat ini terkait peran kontrasepsi oral dalam perkembangan kanker payudara.