• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sustained small scale unit farm forest management in Cikalong District, Tasikmalaya Recidence, West Java Province

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Sustained small scale unit farm forest management in Cikalong District, Tasikmalaya Recidence, West Java Province"

Copied!
240
0
0

Teks penuh

(1)

UNIT PENGELOLAAN

HUTAN RAKYAT LESTARI SKALA KECIL:

KASUS DI KECAMATAN CIKALONG,

KABUPATEN TASIKMALAYA, JAWA BARAT

EMI KARMINARSIH

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI

DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul Unit

Pengelolaan Hutan Rakyat Lestari Skala Kecil: Kasus di Kecamatan Cikalong, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di

bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Februari 2012

(3)

ABTRACT

Emi Karminarsih. Sustained Small Scale Unit Farm Forest Management in Cikalong District, Tasikmalaya Recidence, West Java Province supervised Prof. Dr. Ir. I Nengah Surati Jaya, M.Agras a principal advisor, Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodiharjo, Msand Dr. Ir. Leti Sundawati, Msc.F.Trop as a co-advisor.

Development of small scale forest management units is now becoming a promising business unit to reduce the imbalance between of supply and demand of raw timber industry. The timber production from big companies is decreasing year by year. This study describes a development of small scale management unit of private forest that may produce timber sustainably as well as economically managable. The objective of this study is to determine how wide the smallest scale of a sustainable forest management unit (Small scale sustainable farm forest management unit) were able to contribute to social economic benefits of rural communities.The study was carried out in District Cikalong, Tasikmalaya Regence, West Java Province. Simple random sampling method and simple statistical analysis were used to estimate the standing stock of sengon farm private forests (volume and tree) and non parametric statistical analysis were use to know how the correlation between forest farmer’s motivation with sustained functions of farm forest management.The result shows that the annual yield fluctuatin of three sample districts relatively can be reached after five years and the yield regulation method based on increament and standing stock is suitable to be implementated on the yield regulaton of farm forest. This is due to its simplicity and practically implementable, even though the farmer have no much knowledge on yield regulation, The various of the scale area were depended on the how each farm forest be managed to qualify financially that showed the NPV-value more than one (NPV > 1). Small scale forest of Cikalong district shows that the minimal scale of unit farm forest management Cikalong district based on dusun is 27,02 ha in Dusun Cikalong (Cikalong village), 10,37 ha in Dusun (Tonjongsari village) and 62,82 ha in Dusun (Singkir village). On the otherhand the management of public forest would able to work properly when have formed organizations forest farmer groups led by the forest manager small scale unit (one or two villages) that similar to a forest farmer cooperation, a rule as well as an institution that work effectively to support develovepment community forest. All of the forest management activities were related to the farmer motivation in understanding the purpose of sustainable forest management. The motivation could be explained by four of twelve of the farmer characteristik factors. The result shows that farm forest have no much knowledge on the principles of sustained forest management benefit.

(4)

RINGKASAN

EMI KARMINARSIH. Unit Pengelolaan Hutan Rakyat Lestari Skala Kecil: Kasus di Kecamatan Cikalong, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Dibawah bimbingan oleh Prof. Dr. Ir. I Nengah Surati Jaya, M. Agr sebagai ketua, Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS, dan Dr. Ir. Leti Sundawati, MSc.F.Trop sebagai anggota.

Sejak bergesernya arah pembangunan kehutanan untuk mengimbangi situasi global, pemerintah dalam hal ini Departemen Kehutanan telah mengambil strategi dan kebijakan jangka panjang dalam membangun dan mengelola sumberdaya hutan, yaitu dari arah membangun hutan untuk kelestarian produksi menuju ke arah membangun kelestarian hutan dan ekosistem (aspek biodiversity, aspek ekologi dan aspek sosial), termasuk diantaranya pergeseran terhadap fungsi dan peran hutan di tanah milik yaitu hutan rakyat.

Sistem pengelolaan hutan rakyat yang selama ini dilaksanakan berdasarkan konsep pengelolaan yang bersifat tradisional dengan pengetahuan cara bertani merupakan warisan budaya dari nenek moyang, peran usahanya mulai diarahkan kepada sistem pengelolaan selain untuk upaya penyediaan bahan baku industri juga untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan, yaitu sejahtera secara ekonomi, ekologi, dan sosial.

Seiring kondisi menurunnya bahan baku kayu untuk industri perkayuan secara nasional akhir-akhir ini sebagai akibat deforestasi, mengakibatkan adanya ketidakseimbangan antara suplai dan permintaan kayu sebagai bahan baku industri. Kondisi tersebut dan terbukanya kesempatan masyarakat utuk telibat dalam pengelolaan hutan, memberi peluang pembangunan hutan rakyat naik pesat. Dengan modal yang dimilikinya mereka berlomba untuk menanami lahan miliknya dengan tanaman jenis kayu-kayuan. Permasalahannya apakah kegiatan pengelolaan dan pemanfaatan hutan rakyat tersebut sudah menerapkan tiga fungsi dasar pengelolaan hutan lestari, yaitu fungsi ekonomi, ekologi, dan sosial sedangkan keberlanjutan hutan rakyat mempunyai peranan sangat penting bagi stabilitas sosial ekonomi masyarakat maupun stabilitas ekosistem (banjir, erosi, dan iklim mikro).

Tujuan utama yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah membangun unit pengelolaan hutan rakyat sengon lestari skala kecil berdasarkan sistem pengaturan hasil yang berkelanjutan di Kecamatan Cikalong, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat. Tujuan khusus adalah mengidentifikasi karakteristik petani hutan rakyat melalui aspek internal dan eksternal serta motivasi petani hutan terhadap manfaat pengelolaan hutan rakyat melalui aspek manfaat ekonomi, sosial dan ekologi.

Pendekatan untuk menjawab tujuan penelitian tersebut dilihat dari dua aspek yaitu kondisi ketersediaan tegakan (standing stock) sebagai modal dasar pengelolaan hutan rakyat lestari skala kecil dan sistem pengaturan kelestarian hasil berdasarkan jatah tebang yang berkesinambungan.

(5)

dengan alat bantu kuesioner terhadap petani hutan rakyat. Data sekunder sebagai penunjang diperoleh melalui studi pustaka yang dilakukan di beberapa instansi terkait.

Teknik pengambilan contoh dengan Metode Simple Random Sampling

dengan menggunakan plot ukur berbentuk lingkaran (0,1 ha) dan alat bantu kuesioner sebanyak 10 plot ukur dan kuesioner untuk masing - masing dusun secara purpossive dimana jumlah tersebut didasarkan pada ratio kelas kepemilikan lahan yaitu < 0,25 ha; 0,25 ha - 0,50 ha; > 0,50 ha yaitu 5:3:2. Oleh karena jumlah dusun dari ketiga desa contoh terdiri dari 21 dusun, maka jumlah total plot maupun responden yang terpilih sebanyak 210 plot ukur dan 210 responden. Analisis statistik sederhana dipakai untuk menghitung dugaan potensi baik dalam bentuk satuan ukuran volume maupun jumlah batang.

Pengaturan hasil dianalisis berdasarkan pendekatan riap dan jumlah batang (sediaan tegakan) dari Metode Brandis (The Brandis Method 1856) (Osmaston 1968). Penilaian aspek ekonomi usaha pengelolaan hutan rakyat didekati oleh seberapa besar kontribusi hutan rakyat terhadap total pendapatan petani hutan rakyat dan prospek usaha hutan rakyat melalui pendekatan analisis Discounted Cash Flow berdasarkan kriteria nilai NPV (Net Present Value). Sedangkan mengenai seberapa besar hubungan karakteristik petani hutan rakyat (Internal dan eksternal) terhadap motivasi ekonomi, ekologi, dan sosial digunakan analisis regresi linier berganda dengan metode stepwise (stepwise regression).

Dari penelitian ini disimpulkan bahwa besar sediaan jumlah batang per kelas diameter akan sangat menentukan variasi jumlah jatah tebang tahunan serta seberapa lama suatu tegakan mendekati kondisi normal. Pengaturan hasil berdasarkan riap dan jumlah batang ini cukup praktis dan secara teknik mudah diterapkan oleh petani hutan rakyat. Jatah tebang tahunan dengan cara pendekatan riap dan jumlah batang/sediaan tegakan, secara umum menggambarkan jatah tebang tahunan dari ketiga desa contoh (Desa Cikalong, Desa Tonjongsari, dan Desa Singkir) yang mulai menunjukkan fluktuasi stabil setelah periode lima tahun pertama.

Kontribusi hutan rakyat sengon terhadap pendapatan total petani hutan per tahun di Desa Cikalong sebesar Rp 1.701.801 atau 11,54%, di Desa Tonjongsari sebesar Rp 1.924.017 atau 20,65% dan di Desa Singkir sebesar Rp 1.287.497 atau 11,00%. Secara garis besar nilai NPV untuk setiap dusun baik dari Desa Cikalong, Desa Tonjongsari dan maupun Desa Singkir menunjukkan nilai > 1. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan pengelolaan hutan rakyat sengon di masing-masing dusun secara finansial layak untuk diteruskan. Terlepas dari penilaian tersebut penekanan terhadap aspek pengaturan hasil yang berkesinambungan setiap tahunnya, sangat ditentukan oleh sediaan tegakan dengan sebaran jumlah batang yang mewakili setiap kelas diameter dan peningkatan pendapatan petani bisa diperoleh melalui kegiatan penanaman dengan jumlah bibit minimal sama dengan jumlah pohon yang ditebang, dengan demikian nilai finansial yang akan diperoleh petani dari modal berupa tegakan sediaan yang selalu tersedia sejumlah pohon yang siap dipanen tiap tahunnya bisa diperoleh secara berkelanjutan.

(6)

X23 – 1,405 X24 dimanafaktor X14 (kebutuhan rumah tangga), dan X23 (luas lahan) dan X24 (pendapatan); model persamaan regresi Y2 = 39,831+ 1,648 X15 – 0,485 X24, dimana faktor X15 (jumlah tanggungan keluarga) dan X24 (pendapatan) dan model persamaan regresi Y3 = 32,910 – 0,249 X24 + 3,015 X23, dimana faktor X24 ( pendapatan) dan faktor X23 (luas lahan ).

Dari hasil analisis regresi linier berganda berdasarkan ketiga model persamaan tersebut, menunjukkan bahwa faktor kebutuhan rumah tangga, faktor jumlah tanggungan keluarga dari karakteristik internal petani HR dan faktor luas lahan dan faktor pendapatan, sebagai peubah independen hanya mampu menunjukkan pengaruh terhadap peubah dependen, yaitu peubah motivasi ekonomi, ekologi dan sosial secara berurutan sebesar 11,9%, 5,5% dan 4,6%, Walaupun persamaan tersebut memiliki nilai r2 yang kecil, berarti menunjukkan kesanggupan dari keempat faktor karakteristik petani tersebut dalam menerangkan ketiga faktor motivasi sangat lemah, tapi bila pengaruh masing-masing faktor tersebut dilakukana secara terpisah menunjukan nilai sig. yang tinggi pada tingkat kepercayaan α =5 %

Hal yang bisa diterangkan secara umum dari ketiga model regresi tersebut adalah bahwa besar kecilnya pendapatan petani hutan rakyat akan sangat ditentukan oleh jumlah tanggungan keluarga setiap petani hutan rakyat. Kondisi ini akan mendorong motivasi mereka untuk mendapatkan nilai tambah dari kegiatan hutan rakyat, walaupun saat ini besar kontribusi pendapatan hutan rakyat terhadap total pendapatan petani rata-rata hanya sebesar 15,4%, tetapi merupakan kontribusi pendapatan kedua setelah sektor usaha pertanian.

Walaupun rata-rata luas kepemilikan lahan usaha petani sempit yaitu umumnya rata-rata kurang dari 0,25 ha, tapi bila dengan mempertimbangkan jangka waktu pengalaman usaha di sektor hutan rakyat sampai saat sudah berjalan selama dua dekade sejak awal mulai membangun bangun tegakan sengon, menyipulkan bahwa secara sosial pengelolaan hutan rakyat sampai saat ini telah memberikan peningkatan kesejahteraan petani melalui nilai tambah dari pendapatan dengan adanya kegiatan di sektor usaha hutan rakyat yang dikelolanya, di lain pihak sektor tersebut secara multi efek mampu memberikan peluang penyerapan tenaga kerja mulai dari kegiatan pengadaan tanaman dan pemeliharaan, jasa penebangan, pengepul, jasa angkutan kayu, kegiatan pemasaran, industri kecil lokal, dan sebagainya.

Untuk mengukur apakah pengelolaan hutan rakyat yang telah berkembang di ketiga wilayah lokasi penelitian, yaitu Desa Cikalong, Desa Tonjongsari, dan Desa Singkir dengan mempertimbangkan aspek manfaat ekonomi, manfaat ekologi, dan manfaat sosial, maka dibuat model nilai komposit ketiga aspek tersebut dengan sediaan tegakan (jumlah batang sengon per kelas diameter pada setiap lahan petani HR). Model komposit kelestarian HR yang diperoleh adalah HtLst = 0,655 Y1 + 0,127 Y2 + 0,243 Y3, dimana Y1 adalah aspek ekonomi, Y2 adalah aspek ekologi, dan Y3 adalah aspek sosial. Dari ketiga aspek tersebut yang paling signifikan adalah aspek ekonomi (sig. 0,000 < α = 0,05), aspek ekologi (Sig. 0,243 > α = 0,05), dan aspek sosial (sig. 0,252 > α = 0.05).

(7)

besarnya pengaruh ketiga peubah motivasi terhadap tingkat kelestarian. Faktor motivasi ekonomi menunjukkan pengaruh paling besar dibandingkan faktor motivasi ekologi dan sosial terhadap kelestarian hutan. Hal yang dapat diterangkan dari analisis tersebut, yaitu menggambarkan masyarakat petani HR di Desa Cikalong, Desa Tonjongsari, dan Desa Singkir tidak atau belum memahami akan prinsip-prinsip kelestarian dalam tujuan kegiatan pengelolaan HR, sadar atau tidak pengalaman yang telah dicapai dalam dua dekade terakhir sejak HR pertama kali dibangun, menunjukkan motivasi terhadap aspek ekonomi cukup tinggi dengan harapan nilai tambah dari pendapatan melalui peningkatan kontribusi HR dapat meningkatkan kesejahteraan sosial petani HR.

Suatu bukti bahwa masyarakat tani HR di Desa Cikalong, Desa Tonjongsari, dan Desa Singkir menunjukkan motivasi positif secara ekonomi, walaupun motivasi ekologi dan sosial belum terlihat secara signifikan. Kegiatan penanaman oleh petani HR sampai saat ini masih terus dilakukan, walaupun skala waktu kegiatan penanamannya masih belum teratur karena tergantung ketersediaan biaya, mungkin kondisi inilai yang menyebabkan kondisi sebaran jumlah batang per kelas diameter (standing stock) yang ada di lokasi penelitian belum bisa dikatakan memenuhi kriteria lestari.

Kesimpulan secara umum bahwa dalam membentuk suatu unit pengelolaan hutan lestari skala kecil, beberapa hal yang perlu menjadi perhatian adalah tersedianya luasan lahan minimal sebesar wilayah dusun dalam bentuk unit kelompok usaha tani hutan rakyat dengan petani pemilik sebagai anggota kelompok, dengan modal berupa tegakan sengon dengan sebaran jumlah batang perkelas diameter sebagi jaminan kelestarian hasil yaitu mampu memberikan jumlah pohon siap tebang setiap periodik atau tahunan secara berkelanjutan, melalui sistem pengaturan hasil yang sesuai dengan karakteristik sosial budaya setempat dan berdasarkan penilaian ekonomi layak secara finansial sebagai unit skala usaha, yang ditunjang oleh anggota kelompok petani hutan yang telah memiliki tingkat kapasitas lokal yang lebih baik, dan didukung oleh suatu sistem kelembagaan yang tepat dan kapasitas stakeholder terkait yang mampu bekerja secara efektif dan berkualitas serta dilengkapi perangkat kebijakan yang lebih berpihak kepada masyarakat petani hutan rakyat sebagai jaminan terciptanya iklim usaha petani kayu rakyat yang lebih kondusif.

(8)

©Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan, karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan wajar Institut Pertanian Bogor 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis

(9)

UNIT PENGELOLAAN

HUTAN RAKYAT LESTARI SKALA KECIL:

KASUS DI KECAMATAN CIKALONG,

KABUPATEN TASIKMALAYA, JAWA BARAT

EMI KARMINARSIH

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Ilmu Pengelolaan Kehutanan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)

Penguji Luar Komisi

Ujian Tertutup : Prof. Dr. Ir. Hardjanto, MS Dr. Ir. M Buce Saleh, MS

(11)

Judul : Unit Pengelolaan Hutan Rakyat Lestari Skala Kecil:

Kasus di Kecamatan Cikalong, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat Nama : Emi Karminarsih

NIM : E061050091

Disetujui

Dosen Pembimbing I

Mengetahui

Tanggal Ujian: 31 Januari 2012 Tanggal lulus: Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. I Nengah Surati Jaya, M.Agr Ketua

Dr. Ir. Leti Sundawati, MSc.F.Trop Anggota

Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodiharjo, M.S Anggota

Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan Kehutanan

Dr. Ir. Naresworo Nugroho, M.S

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

(12)

PRAKATA

Walaupun jalan yang dilalui banyak berliku dan melelahkan serta

membutuhkan usaha keras dan kesabaran penuh, tapi dengan satu ketetapan hati disertai harapan yang pasti dengan satu keyakinan bahwa dengan izin Allah Yang Maha Esa pulalah proses penelitian dan penyusunan desertasi ini dapat terwujud, akhirnya ucapan Syukur Alhamdulillah yang tidak terhingga sebagai ungkapan kebahagiaan ini. Penghargaan dan rasa terima kasih yang tulus

disampaikan kepada:

1. Prof. Dr. Ir. I Nengah Surati Jaya, MS, Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS dan Dr. Leti Sundawati, MSc.Trop, sebagai komisi pembimbing yang telah memberikan arahan, kritik, dan saran.

2. Prof. Dr. Ir. Hardjanto, MS dan Dr. Ir. M Buce Saleh, MS sebagai penguji

luar prelim dan ujian tertutup yang telah memberikan kritik dan saran untuk perbaikan.

3. Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MSc beserta Dr. Ir. Hariyatno Dwi Prabowo, MSc, sebagai penguji luar komisi atas kesediaannya menyempatkan waktu untuk memberikan petunjuk serta masukan saran membangunnya.

4. Dr. Ir. Naresworo Nugroho beserta staf pada program studi Ilmu Pengetahuan

Kehutanan yang telah memberikan pendampingan selama studi.

5. Dr. Ir. Teddy Rusolono, MS, Ir. Yulius Hero, MSc, dan Ir. Sudaryanto yang telah banyak memberikan masukan dan saran dalam penyelesaian disertasi ini.

6. Ananda Dr. Ir. Ricky Avenzora, MSc dan Ir. Tutut Sunarminto, MSi yang

telah menyumbangkan perhatian serta bantuannya selama berlangsungnya proses ujian terbuka sampai selesai.

7. Para narasumber dari aparat Kecamatan Cikalong, Desa Cikalong, Desa Tonjongsari, dan Desa Singkir serta masyarakat di lokasi penelitian yang telah berkenan meluangkan waktu untuk membantu terlaksananya penelitian

di lapangan, wawancara, dan telaah pustaka.

(13)

Dr. Ir. Yeni Mulyani, MSc yang begitu banyak memberi dorongan moril

selama penyelesaian desertasi ini.

9. Putri Nidyaningsih, S.Hut, Rizky Rahadika, S.Hut, Teguh Pradityo, S.Hut, dan Syauqi Ahmada, yang telah membantu dengan segenap semangat dan kerja keras serta penuh tanggung jawab mulai dari kegiatan penelitian dilapangan sampai pengolahan data, sehingga disertasi ini dapat diselesaikan

pada waktunya.

10. Keluarga besar M. Danutmadja, khususnya ibunda Moenadjat tercinta, dan semua kakak dan adik tersayang di Sukabumi dan di Bandung, atas segala do’a, dukungan dan pengertiannya yang tiada batas.

11. Kepada suami tercinta Prof. Dr. Ir. Hadi Sukadi Alikodra, MS beserta ananda tersayang Yani Silfariyani dan Kiki Adi Irhamsyah, Alfi Ryanto dan

Andining Tyas Mula Pertiwi, Wulan Sarilestari dan Irwan Ervizal, atas segala do’a restunya secara tulus serta pengorbanannya selama menjalani perjalanan studi yang cukup panjang ini, tidak lupa cucunda yang manis Alya Sabila Fahriza, Fauza Jannata Widaad, Najwa Isya Aulia Ramadhani, dan Encik Rasha Athaillah Irlan yang selalu menjadi penyejuk pikiran dan penenang

hati pada saat penat bekerja selama ini.

Disertasi ini didedikasikan kepada mereka yang telah menjadi guru pemberi inspirasi dan sumbangan ilmu, serta para sahabat yang selalu memberi spirit kerja keras, dukungan untuk percaya diri dan kuat mental, semoga dukungannya tercatat sebagai amal yang mulia disisi Allah YME, amin

(14)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sukabumi pada tanggal 26 September 1947 dari ayah

M Danuatmadja dan ibu Moenadjat. Menikah dengan Prof. Dr. Ir. Hadi S Alikodra tahun 1974 dan memiliki dua puteri Yani Silfariyani dan Wulan Sarilestari serta seorang putera Alfi Riyanto Hadi dan empat cucu tercinta Alya Sabila Fahrisa, Fauza Jannata Widdad, Najwa Isya Aulia Ramadhani, dan Encik Rasha Athaillah Irlan .

Pendidikan sarjana diselesaikan pada tahun 1976 di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB). Pendidikan S2 diselesaikan pada tahun 1997 di Institut Pertanian Bogor.

Sejak tahun 1976 sampai dengan tahun 1978 pernah bekerja di Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan (Litbanghut) Bogor, kemudian pada

tahun 1980 mulai bekerja di Fakultas Kehutanan IPB sebagai tenaga pendidik sampai sekarang.

(15)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR LAMPIRAN... vi

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Permasalahan... 2

1.3 Kerangka Konseptual ... 3

1.4 Ruang Lingkup ... 6

1.5 Tujuan Penelitian... 6

1.6 Manfaat Penelitian... 7

1.7 Novelti Penelitian ... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1 Hutan Rakyat (HR) ... 9

2.1.1 Pengertian dan Karakteristik Hutan Rakyat... 9

2.1.2 Pemikiran Mengenai Hutan Rakyat... 10

2.1.3 Luas dan Potensi Hutan Rakyat ... 11

2.1.4 Manfaat dan Tujuan Hutan Rakyat ... 13

2.1.5 Permasalahan Pengelolaan Hutan Rakyat... 13

2.2 Konsep Kelestarian Hasil... 14

2.3 Konsep Pengaturan Hasil Hutan... 17

2.4 Pengelolaan Hutan Lestari Skala Kecil ... 19

2.5 Motivasi ... 23

2.6 Agroforestri ... 24

2.7 Kelompok Tani... 26

BAB III METODE PENELITIAN ... 28

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ... 28

3.2 Alat dan Data... 28

3.3 Metode Pengumpulan Data ... 30

(16)

3.4.1 Pendugaan Potensi... 31

3.4.2 Pengaturan Hasil... 32

3.4.3 Kontribusi Hutan Rakyat ... 36

3.4.4 Analisis Finansial ... 36

3.4.5 Analisis Sosial ... 37

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN ... 41

4.1 Kondisi Umum Kabupaten Tasikmalaya ... 41

4.2 Kondisi Umum Desa Cikalong, Tonjongsari, Dan Singkir ... 41

4.2.1 Topografi... 43

4.2.2 Kependudukan... 43

4.2.3 Mata Pencaharian ... 44

4.2.4 Agama dan Budaya... 45

4.2.5 Organisasi dan Kelembagaan... 45

4.2.6 Sarana dan Prasarana ... 46

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN... 47

5.1 Sejarah Hutan Rakyat... 47

5.2 Kondisi Tegakan Hutan Rakyat ... 47

5.3 Sediaan Tegakan Sengon ... 51

5.4 Pengaturan Hasil... 53

5.5 Kontribusi Hutan Rakyat ... 56

5.6 Analisis Finansial ... 58

5.7 Analisis Sosial ... 60

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN... 67

6.1 Kesimpulan ... 67

6.2 Saran ... 69

DAFTAR PUSTAKA ... 70

(17)

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1 Jenis data yang dikumpulkan... 29

2 Rumus perhitungan pengaturan hasil... 35

3 Rumus perhitunga jatah tebang tahunan (JTT)... 35

4 Definisi operasional dan parameter pengukuran karakteristik internal ... 38

5 Definisi operasional dan parameter pengukuran karakteristik eksternal ... 39

6 Definisi operasional dan parameter pengukuran motivasi petani... 40

7 Batas wilayah Desa Cikalong, Desa Tonjongsari, dan Desa Singkir ... 42

8 Luas wilayah lokasi peelitian berdasarkan dusun dan desa contoh... 42

9 Luas areal berdasarkan penggunaan lahan di lokasi penelitian... 43

10 Jumlah penduduk di tiga lokasi penelitian ... 44

11 Sebaran umur petani hutan rakyat di Desa Cikalong, Desa Tonjongsari, dan Desa Singkir ... 44

12 Distribusi jumlah penduduk berdasarkan mata pencaharian... 45

13 Sebaran rata-rata jumlah batang pada setiap kelas diameter di Desa Cikalong... 48

14 Hasil uji kurva estimasi distribusi eksponensial negatif dari ketiga desa contoh... 50

15 Hasil uji anova satu arah terhadap jumlah batang per kelas diameter dari ketiga desa contoh... 50

16 Rata-rata dan total sediaan tegakan sengon berdasarkan volume... 51

17 Rata-rata dan total sediaan tegakan sengon berdasarkan jumlah batang ... 52

18 Kondisi jumlah batang tegakan hutan rakyat Dusun Cilutung, Desa Cikalong... 54

19 Penentuan jatah tebang tahunan di Dusun Cilutung, Desa Cikalong ... 54

20 Kontribusi pendapatan dari berbagai sektor usaha ... 57

21 Kontribusi pendapatan dari hutan rakyat di berbagai lokasi penelitian ... 57

22 Nilai NPV rata-rata petani di setiap dusun di Desa Cikalong ... 59

23 Nilai NPV rata-rata petani di setiapdusun di DesaTonjongsari... 59

(18)

25 Hasil Analisa Motivasi Ekonomi, Ekologi, dan Sosial berdasarkan

(19)

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman 1 Kerangka pemikiran ...5 2 Peta wilayah lokasi penelitian...28 3 Struktur tegakan sengon di (a) Desa Cikalong, (b) Desa Tonjongsari, dan (c) Desa

(20)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman 1 Hasil Uji Anova hubungan jumlah batang per hektar dengan kelas diameter

di Desa Cikalong ...78

2 Hasil Uji Anova hubungan jumlah batang per hektar dengan kelas diameter di Desa Tonjongsari ...79

3 Hasil Uji Anova hubungan jumlah batang per hektar dengan kelas diameter di Desa Singkir ...80

4 Sebaran jumlah batang berdasarkan kelas diameter ...81

5 Perhitungan pengaturan hasil di Dusun Cikaret, Desa Cikalong ...82

6 Perhitungan pengaturan hasil di Dusun Pangapekan, Desa Cikalong ...83

7 Perhitungan pengaturan hasil di Dusun Pamijahan, Desa Tonjongsari ...84

8 Perhitungan pengaturan hasil di Dusun Sukahurip, Desa Tonjongsari...85

9 Perhitungan pengaturan hasil di Dusun Ciheulang, Desa Singkir ...86

10 Perhitungan pengaturan hasil di Dusun Singkir, Desa Singkir...87

11 Perhitungan NPV di Dusun Pangapekan, Desa Cikalong...88

12 Perhitungan NPV di Dusun Sukahurip, Desa Tonjongsari ...92

13 Perhitungan NPV di Dusun Singkir 2, Desa Singkir ...96

14 Pendapatan dari berbagai sektor di Desa Cikalong...100

15 Pendapatan dari berbagai sektor di Desa Tonjongsari ...101

16 Pendapatan dari berbagai sektor di Desa Singkir ...102

17 Output analisis motivasi ekonomi...103

18 Output analisis motivasi ekologi...104

19 Output analisis motivasi sosial ...105

20 Ouput analisis kelestarian ...106

21 Mata pencaharian petani hutan rakyat di Desa Cikalong, Desa Tonjongsari, dan Desa Singkir...107

22 Sarana dan prasarana di Desa Cikalong, Desa Tonjongsari, dan Desa Singkir ...109

(21)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pengelolaan sumberdaya hutan pada masa lalu banyak menimbulkan kerugian baik secara sosial, ekonomi, dan ekologi. Laju angka kerusakan hutan tropis Indonesia pada periode tahun 1997 – 2000 diperkirakan mencapai 2,83 juta ha/tahun (Alikodra dan Syaukani 2004). Selanjutnya, Departemen Kehutanan menunjukkan bahwa laju kerusakan menurun dalam lima tahun berikutnya yaitu

sekitar 1,09 juta ha/tahun, bila mengingat ancaman yang masih cukup besar akibat kebakaran hutan dan laju pertambahan penduduk serta alih fungsi lahan, diperkirakan penyusutan luas hutan masih mungkin bertambah (Dephut 2009). Dari luas hutan 132.398 juta ha (PIKA 2008), kawasan hutan efektif hanya 98 juta ha (FWI/GFW 2002), dan menurut data statistik kehutanan tahun 2008 luas lahan

kritis di Indonesia mencapai 77,81 juta ha pada tahun 2006.

Sebagai langkah awal menghadapi deforestasi dan kerusakkan hutan, Pemerintah Republik Indonesia telah menerbitkan Agenda 21 Kehutanan yang pada intinya mengetengahkan sistem pengelolaan hutan yang bercirikan pada azas keberlanjutan (sustainability). Tujuannya untuk menjamin berlangsungnya proses-proses ekologi pada siklus yang stabil, selaras, dan berkeseimbangan antara

manusia dengan lingkungan hidupnya (UNEP dan KMNLH 2007). Dalam perkembangan selanjutnya untuk mengatasi deforestasi dan kerusakkan hutan, Pemerintah Indonesia antara lain sedang mempersiapkan implementasi skema REDD (Reduction Emissions from Deforestation and Forest Degradation), mengimplementasikan skema DNS (Debt for Nature Swapt), dan meratifikasi berbagai perjanjian internasional seperti konvensi keanekaragaman hayati dan konvensi perubahan iklim.

Dampak nyata deforestasi dan kerusakan hutan yang membutuhkan perhatian serius di bidang kehutanan adalah karena terjadinya ketidakseimbangan antara pasokan dan kebutuhan kayu sebagai bahan baku industri perkayuan secara

(22)

telah berkembang dalam bentuk suatu unit pengelolaan hutan kemasyarakatan

yang dikenal dengan usaha kehutanan masyarakat (UKM) dengan pola tanam agroforestri. Pola agroforestri ini telah berkembang dengan baik di Indonesia, terutama karena terbukti sangat sesuai dengan budaya masyarakatnya, dan telah memberikan dampak yang positif bagi pengelolaan hutan di Indonesia (Santoso 2000). Berdasarkan hasil penelitiannya, Darusman et al. (2001) menyatakan bahwa UKM memiliki sifat resiliensi cukup baik dalam menghadapi situasi krisis ekonomi dan moneter pada level nasional sekalipun.

1.2 Rumusan Permasalahan

Hutan rakyat adalah perhutanan yang dilakukan di atas tanah milik masyarakat. Ciri umum hutan rakyat ditunjukkan oleh adanya lahan kelola yang

sempit, belum memiliki teknik kelola yang baik artinya belum menerapkan aturan sistem silvikultur yang benar, memiliki posisi tawar yang rendah akibat sistem pemasaran yang lebih menguntungkan pihak lembaga perantara seperti pedagang, penebas, pedagang pengumpul, pedagang besar, termasuk industri (Hardjanto 2003).

Tujuan awal penanaman jenis-jenis kayu di lahan marginal yang gundul dan tandus melalui program-program pemerintah ditujukan bagi penyelamatan fungsi ekologi dan lingkungan seperti menghindari bahaya erosi, banjir, serta mengembalikan kesuburan tanah. Jenis yang ditanam di lahan milik (talun/kebun rakyat) dilaksanakan atas dasar prakarsa sendiri dan dilakukan secara turun temurun, serta dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan energi dalam bentuk

kayu bakar, dan untuk memenuhi kebutuhan kayu untuk rumah atau kandang ternak mereka.

(23)

Hutan rakyat yang telah berkembang di masyarakat perlu dipertahankan

keberlanjutannya. Permasalahannya adalah karena ancaman pertumbuhan penduduk dan perkembangan pola hidup masyarakat dan lingkungannya dikhawatirkan akan mendorong semakin banyaknya generasi muda yang meninggalkan cara bertani termasuk hutan rakyat, serta pembangunan di desanya yang dapat mengancam keberlanjutan hutan rakyat. Value dan motivasi

masyarakat terhadap keberlanjutan hutan rakyat perlu digali dan di kembangkan bagi perkuatan dukungan berbagai pihak bagi jaminan keberlanjutan pemanfaatnya dari generasi ke generasi berikutnya.

Teori dasarnya adalah bahwa pengelolaan hutan rakyat lestari dapat dicapai apabila tiga fungsi dasar pengelolaan hutan yang meliputi fungsi sosial, fungsi ekonomi dan fungsi ekologi (Drengson dan Taylor 1977) dapat dipertahankan,

yaitu bagi stabilitas sosial ekonomi masyarakat dan stabillitas ekosistem seperti mencegah terjadinya banjir, erosi, dan tanah longsor, serta stabilitas iklim mikro. Untuk itu rumusan pertanyaan penelitiannya adalah:

1. Bagaimana tata kelola hutan rakyat serta sarana dan prasarana pendukung dibidang usaha kayu saat ini bagi stabilitas sosial, ekonomi, dan ekologi di

lokasi penelitian.

2. Berapa luas terkecil hutan rakyat yang dapat menjamin sistem pengelolaan hutan yang lestari.

3. Sejauh mana motivasi masyarakat petani hutan rakyat di lokasi penelitian terhadap konsep pengelolaan hutan lestari.

1.3 Kerangka Konseptual

Pada umumnya pengelolaan hutan seringkali kurang memperhatikan keberadaan masyarakat sekitar hutan, dimana praktek-praktek pembangunan kehutanan cenderung menempatkan masyarakat hanya sebagai obyek pembangunan. Suprayitno (2011) menyatakan bahwa untuk mencapai efisiensi dalam pembangunan, seringkali mengabaikan keberadaan masyarakatnya, karena

(24)

partisipasi masyarakat bahkan seringkali menyebabkan terjadinya konflik (Haba

dkk 2003).

Sejak berbagai program pembangunan dilaksanakan selalu dirasakan gagal dalam mengamankan hutan, sehingga semakin disadari akan pentingnya peranserta masyarakat setempat. Kebijakan pengelolaan hutan yang selama ini berjalan cenderung kurang memperlakukan masyarakat secara adil, telah menjadi

pemicu utama bagi kegagalan pembangunan kehutanan selama ini. Sejalan dengan laju perkembangan hutan rakyat, pemerintah mencoba memperbaiki kinerjanya melalui suatu misi pengelolaan hutan yang baru yaitu pengelolaan hutan yang adil dan lestari, yang telah memberi peluang dan ruang gerak bagi masyarakat lokal untuk terlibat aktif dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan sehingga hutan rakyat yang tumbuh dikelola oleh masyarakat di lahan miliknya menjadi alternatif

penting bagi upaya meningkatkan luas tutupan lahan.

Situasi perniagaan kayu nasional yang cenderung menunjukkan semakin berkurangnya stok bahan baku kayu industri perkayuan yang jumlahnya tidak sedikit memberi peluang bagi kayu rakyat untuk diperhitungkan sebagai salah satu alternatif dalam usaha mengatasi kekurangan bahan baku. Kondisi ini berdampak

positif bagi keberlanjutan hutan rakyat, masyarakat termotivasi melalui insentif ekonomi berlomba menanam jenis kayu pada lahan garapannya. Inisiatif dan kemauan untuk menanam secara suka rela jenis kayu sengon di lahan milik juga ditunjukkan oleh masyarakat desa di Kecamatan Cikalong, Kabupaten Tasikmalaya merupakan bukti minat keterlibatan masyarakat tani hutan setempat dalam melakukan pengelolaan hutan pada lahan milik mereka cukup tinggi,

dengan keyakinan bahwa menanam kayu sengon merupakan tambang emas yang dapat membantu meningkatkan kesejahteraan mereka.

Rumusan pengelolaan hutan lestari yang digali dari pengetahuan masyarakat, seperti sistem pengaturan hasil yang didasarkan pada ketersediaan

stock berdasarkan penyebaran jumlah batang per kelas diameter dan selalu tersedianya sejumlah pohon masak tebang dan sistem pengaturan hasil, dengan

(25)

konvensional, maka pola pengaturan hasil lestari akan sangat ditentukan oleh luas

areal hutan rakyat sebagai suatu unit pengelolaan, ketersediaan standing stock

kayu di hutan, ketersediaan jumlah pohon yang mewakili kelas diameter tertentu, kesediaan bibit, sumberdaya manusia dengan kapasitasnya sebagai tenaga yang terlibat dalam kegiatan pengelolaan, ketersediaan faktor penunjang seperti sarana dan prasarana jalan angkutan, sarana ekonomi dan sarana komunikasi.

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian.

Untuk mencapai keberhasilannya perlu dirumuskan unit pengelolaan hutan rakyat lestari skala kecil sesuai dengan kapasitas masyarakatnya atas dasar

kepemilikan lahan, manfaat sosial, manfaat ekonomi dan manfaat ekologi dari pengelolaan hutan rakyat yang dimilikinya. Selanjutnya perangkat kebijakan yang telah ada maupun yang baru sangat penting dalam mendukung kelancaran

Hutan Rakyat

Fungsi Ekonomi Fungsi Ekologi Fungsi Sosial

Analisa Finansial Potensi Tegakan Karakteristik Petani Hutan

Rakyat

NPV Pengaturan Hasil

Motivasi

Internal Ekstrenal

(26)

kegiatan pengelolaan hutan mulai dari aspek produksi, industri pengolahan,

hingga aspek pemasarannya. Selain itu juga perlu didukung oleh sistem informasi yang sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas kinerja bagi para

stakeholder yang terlibat langsung dalam kegiatan, karena dalam hal ini tingkat pencapaian keberhasilannya sangat tergantung dari jumlah dan kualitas mereka.

Berdasarkan rumusan masalah dan kerangka pikir penelitian diatas, maka

disusun hipotesis penelitian sebagai berikut: semakin terjamin kesinambungan jatah tebang tahunan (etat jumlah batang) berarti semakin lestari tegakan hutan yang ada, maka secara finansial akan semakin stabil tingkat pendapatan dan kesejahteraan petani hutan rakyat.

1.4 Ruang Lingkup

1. Wilayah hutan rakyat di lokasi penelitian didasarkan pada areal efektif hasil pengolahan peta RBI (Rupa Bumi Indonesia) Kecamatan Cikalong Skala 1:250.000 Tahun 2009.

2. Jenis yang diteliti adalah sengon (Paraserienthes falcataria L. Nielsen). 3. Pengaturan hasil didasarkan kepada kondisi tegakan aktual.

4. Asumsi-asumsi yang digunakan dalam membangun unit pengelolaan hutan

rakyat lestari skala kecil adalah: (a) Dusun sebagai unit pengelolaan terkecil; (b) Daur ditetapkan lima tahun sesuai rata-rata daur butuh yang dipakai petani hutan rakyat di lokasi penelitian; (c) Riap diameter 5 cm/tahun.

1.5 Tujuan Penelitian

Tujuan utama penelitian adalah merumuskan unit pengelolaan hutan rakyat lestari skala kecil berdasarkan sistem pengaturan hasil yang berkelanjutan. Untuk merumuskan unit pengelolaan hutan rakyat lestari skala kecil ini dilakukan analisis terhadap:

1. Nilai dugaan potensi tegakan sengon berdasarkan volume dan jumlah batang dan sistem pengaturan hasil lestari yang dapat diterapkan pada hutan rakyat.

(27)

3. Hubungan motivasi petani dalam mengusahakan hutan rakyat berdasarkan

karakteristik internal dan eksternal petani.

1.6 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian dapat dinyatakan dalam dua hal, yaitu:

a. Manfaat bagi pengembangan ilmu, merupakan sumbangan yang sangat

berharga bagi perkembangan Ilmu Pengelolaan Kehutanan (IPK), khususnya terciptanya rumusan unit pengelolaan skala kecil hutan rakyat lestari.

b. Manfaat bagi pengembangan kebijakan, merupakan sumbangan yang sangat penting bagi pemerintah (Kementerian Kehutanan dan Pemerintah Daerah) untuk mengimplementasikan kebijakan yang mungkin disusun untuk menunjang pembangunan daerah secara berkelanjutan dengan basis hutan

rakyat.

1.7 Novelti Penelitian

Penelitian mengenai rumusan pengelolaan hutan berbasis masyarakat dengan skala kecil masih terbatas. Misalnya, Awang (2007), telah melakukan

penelitian “Pendekatan tentang pembentukan Unit Manajemen Hutan Lestari/ UMHR pada hutan rakyat campuran”. Kebanyakan penelitian hutan rakyat cenderung berbasis sosial ekonomi dan kesejahteraan masyarakat, seperti: kontribusi hasil dari kayu bagi masyarakat tani dan penyerapan tenaga kerja (Kartasubrata 1988); konsumsi kayu pertukangan dan kayu bakar (Darusman dan Hardjanto 2006); analisis investasi (Dewi 2002); sifat resiliensi usaha kayu

rakyat (Suhardjito dan Darusman 1998); kelembagaan dan kebijakan (Tinambunan et al. 1996); ekologi lingkungan (Soeryani 2007); hutan rakyat dalam konteks DAS (Awang et al.2007); sertifikasi (Puteraet al. 2011).

Adapun kebaruan penelitian ini adalah:

1. Dari aspek manajemen hutan, menghasilkan rumusan tentang unit pengelolaan hutan rakyat lestari skala kecil dengan cara pengaturan hasil

(28)

2. Dari aspek ilmu pengetahuan, merupakan sumbangan yang sangat berharga

(29)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hutan Rakyat (HR)

2.1.1 Pengertian dan Karakteristik Hutan Rakyat

Pengertian hutan rakyat menurut UU Kehutanan No. 41 Tahun 1999, adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik. Dalam Kemenhut No.49/Kpts-II/1997, hutan rakyat didefinisikan sebagai hutan rakyat dengan luas

minimal 0,25 hektar dengan penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan dan atau jenis lainnya lebih dari 50% dan atau pada tanaman tahun pertama dengan tanaman sebanyak minimal 500 tanaman tiap hektar, sedangkan pada Permenhut No.P26/Menhut-II/2005 hutan rakyat tidak didefinisikan karakteristiknya secara jelas melainkan merujuk pada status kepemilikan lahannya, yaitu hutan yang

berada pada tanah yang telah dibebani hak atas tanah yang dibuktikan dengan hak atas tanah, yang lazim disebut hutan rakyat yang diatasnya didominasi oleh pepohonan dalam suatu ekosistem yang ditunjuk oleh bupati/walikota.

Karakteristik hutan rakyat berdasarkan status lahan tempat tumbuhnya yaitu dapat berada di lahan negara, lahan komunal, lahan adat atau lahan milik (Awang 2007), sedangkan berdasarkan jenis tanamannya hutan rakyat dapat terdiri dari

hutan rakyat yang murni ditanami kayuan; hutan yang ditanami kayu-kayuan dan buahan; dan hutan yang ditanami tanaman kayu-kayu-kayuan, buah-buahan, empon-empon, dan sayuran (Jariyah et al. 2008; Winarno dan Waluyo 2007).

Berdasarkan aspek pengelolaan karakteristik hutan rakyat adalah luasan

yang dikelola sempit dan tersebar, skala usaha kecil, pola tanaman dengan jenis campuran, dikelola individual oleh keluarga (household management), tidak memiliki manajemen formal, tidak responsif, subsisten, teknik silvikultur sederhana, kontinuitas dan dipandang sebagai tabungan bagi pemiliknya (Winarno dan Waluyo 2007; Awang 2007). Berdasarkan pola pengembangannya dapat

(30)

rakyat yang dibangun melalui subsidi atau bantuan sebagian/keseluruhan biaya

pembangunannya; (3) hutan rakyat pola kredit usaha, yaitu hutan rakyat yang dibangun atas kerjasama masyarakat dan perusahaan swasta dengan insentif permodalan berupa kredit kepada rakyat dengan bunga ringan (Winarno 2007).

2.1.2 Pemikiran Mengenai Hutan Rakyat

Awang (2005), mengemukakan bahwa konstruksi pengetahuan tahap pertama sudah meletakkan "tinta emas" dalam pengembangan hutan rakyat di Indonesia (tahun 1930-2004). Tetapi kita tidak boleh berpuas diri dengan situasi itu, sebab untuk hutan Indonesia masa yang akan datang, pengetahuan tentang hutan rakyat harus lebih luas dari pemikiran generasi pertama tersebut. Karakteristik hutan rakyat sampai saat ini bersifat individual, oleh keluarga,

organisasi petani komunal, tidak memiliki manajemen formal, tidak responsif, subsisten, dan dipandang sebagai tabungan bagi keluarga pemilik hutan rakyat. Karakteristik seperti ini bagi perkembangan ke depan kurang memiliki daya saing tinggi, tidak memiliki posisi tawar yang tinggi dengan pedagang dan industri, tidak dapat menjamin sinkronisasi konservasi dan kelestarian hutannya (Awang,

2005).

Konstruksi pemikiran generasi kedua tentang hutan rakyat adalah membongkar pengetahuan dan pemahaman sekaligus semua kebijakan yang membatasi atau menyempitkan pengertian hutan rakyat tersebut. Kontruksi baru ini mendorong agar pengetahuan tentang hutan rakyat diperluas sama luasnya dengan fungsi hutan itu sendiri. Hutan rakyat adalah hamparan lahan yang

ditumbuhi (alam dan buatan) tanaman keras dan tanaman semusim oleh individu maupun kelompok masyarakat di atas lahan milik, lahan komunal, lahan perusahaan, dan lahan yang dikuasai negara.

Selanjutnya Awang (2005) menyatakan dukungan terpenting yang sangat diperlukan untuk mengembangkan hutan rakyat dalam bingkai konstruksi baru di Indonesia pada masa yang akan datang adalah antara lain:

(31)

diakses dan dibuka peluang berusahanya untuk berkolaborasi dengan

masyarakat.

2. Secara serius dan berkesinambungan pemerintah mengalokasikan dana reboisasi untuk kegiatan pembangunan hutan rakyat (fisik dan non fisik, penanaman, pemeliharaan, pengolahan hasil, dan pemasaran hasil). Dana ini dapat berupa bantuan cuma-cuma, kredit langsung oleh rakyat, dan model

kemitraan usaha hutan rakyat.

3. Komoditas yang dikembangkan dalam hutan rakyat harus mencakup kayu, non kayu, dan jasa lingkungan.

4. Pemerintah harus memberikan reward kepada pemilik dan pengelola hutan rakyat yang telah menyelamatkan lingkungan, pemerintah jangan menciptakan kebijakan yang disinsentif (misal membuat Perda yang memberatkan petani

hutan rakyat).

5. Semua pihak mendorong setiap pemerintah daerah untuk membuat peraturan daerah yang berkaitan dengan pengumpulan dana publik dari pengguna jasa lingkungan untuk kepentingan pemeliharaan dan pengembangan hutan rakyat. 6. Semua pihak agar mengembangkan pengetahuan dan pemikiran dan

disosialisasikan kepada publik Indonesia bahwa hutan rakyat mampu berfungsi sebagai kawasan penyerap CO2, pemeliharaan satwa, dan konservasi flora, tanah dan air.

2.1.3 Luas dan Potensi Hutan Rakyat

Luasan hutan rakyat di Pulau Jawa setiap tahunnya berbeda-beda. Zain

(1998) menyatakan bahwa luas hutan rakyat di Pulau jawa pada tahun 1995

adalah 228.520 hektar, sedangkan pada tahun 2004 adalah 725.237,86 hektar.

Berdasarkan Kajian BPKH XI dan MFP II (2009), Provinsi Banten memiliki taksiran luas hutan rakyat yang cukup besar yaitu seluas 322.153 ha atau sebesar 12,4% dari luas hutan rakyat yang ada di Pulau Jawa yaitu 2.209.250,55 ha.

(32)

di Kabupaten Bogor Tahun 2009 untuk jenis sengon (Paraserienthes falcataria) yaitu seluas 3.354,96 ha dengan produksi 18.795,44 m3 (BP4K 2009).

Dalam konteks potensi ekonomi kayu dari hutan rakyat, Winarno (2007) memperkirakan dengan potensi standing stocksekitar 40 juta m3 dan daur tanam 7 tahun maka produksi kayu dari hutan rakyat dapat mencapai 6 juta m3 per tahun. Prakiraan BPKH XI dalam MFP-II (2009) menyimpulkan bahwa dengan luasan hampir 2,6 juta ha potensi total tegakan mencapai 74,77 juta m3 atau rata-rata 28,92 m3/ha, dan potensi produksi per tahun dapat mencapai 7,5 juta m3.

Dalam konteks potensi hutan rakyat pada aspek lingkungan, Awang (2007) menyatakan bahwa tujuan jangka pendek penghijauan (dalam pembangunan hutan rakyat) adalah untuk mencegah banjir, erosi tanah dan kekeringan, meningkatkan produktivitas tanah, sedangkan dalam jangka panjang untuk meningkatkan

kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan sebarannya, lokasi hutan rakyat di Jawa sebagian besar (85%) berada pada bagian tengah dan hulu daerah aliran sungai atau DAS, dengan demikian menjadi sangat penting perannya dalam hal menjaga fungsi pengatur tata air dan pencegahan erosi serta longsor.

Dari hasil listing sensus pertanian 2003 (Badan Pusat Statistik 2004), menunjukkan bahwa di Indonesia tercatat sekitar 2,32 juta rumah tangga yang mengusai tanaman sengon dengan populasi pohon yang dikuasai mencapai 59,83 juta pohon atau rata-rata penguasaan per rumah tangganya sebesar 25,84 pohon. Dari total sebanyak 59,83 juta pohon sengon, sekitar 24,61 juta pohon atau 41,14% diantaranya adalah merupakan tanaman sengon yang siap tebang. Hal ini memberikan indikasi bahwa tanaman sengon di Indonesia sebagian besar masih

berumur muda.

Tanaman sengon di Jawa terkonsentrasi di tiga propinsi berturut-turut adalah di Jawa Tengah (34,84%), Jawa Barat (30,62%) dan Jawa Timur (10,88%), sementara di luar Jawa terdapat di dua propinsi yang cukup banyak yaitu di Lampung (3,86%) dan Kalimantan Timur (2,20%). Meskipun persentase jumlah rumah tangga yang mengusai tanaman sengon di Jawa jauh lebih besar

(33)

tanaman, di Jawa persentase tanaman sengon yang siap tebang terhadap total

jumlah pohon seluruhnya hanya 39,10% (BPS 2004). Produksi sengon di Wonosobo pada tahun 2007 bisa mencapai 769.970 m3 (BPS 2007).

2.1.4 Manfaat dan Tujuan Hutan Rakyat

Hutan rakyat mempunyai manfaat positif baik secara ekonomi maupun

ekologi. Hutan rakyat secara ekonomi dapat meningkatkan pendapatan pemilik hutan rakyat, penyediaan lapangan kerja, dan memacu pembangunan ekonomi daerah, sedangkan secara ekologi hutan rakyat mampu berperan positif dalam mengendalikan erosi dan limpasan permukaan, memperbaiki kesuburan tanah, dan menjaga keseimbangan tata air (Mustari 2000).

Tujuan utama usaha hutan rakyat yakni meningkatkan kesejahteraan para

petani, disamping manfaat lain seperti kayu dan hasil hutan lainnya; pengawetan tanah dan air; perlindungan tanaman-tanaman pertanian; dan perlindungan satwa liar (Hardjanto 2003). Awang (2007) menjelaskan tujuan pembangunan hutan rakyat diantaranya meningkatkan produktivitas lahan kritis atau areal yang tidak produktif secara optimal dan lestari; membantu meningkatkan keanekaragaman

hasil pertanian yang dibutuhkan masyarakat; membantu masyarakat dalam penyediaan kayu bangunan, bahan baku industri dan kayu bakar; meningkatkan pendapatan masyarakat tani di pedesaan sekaligus meningkatkan kesejahteraannya; dan memperbaiki tata air dan lingkungan, khususnya pada lahan milik rakyat yang berada di kawasan perlindungan daerah hulu DAS.

Rahayu dan Awang (2003) mengemukakan bahwa hutan rakyat memberi

kepastian tambahan pendapatan harian dari tanaman berumur pendek dan tabungan dari tanaman berumur panjang; lebih mudah dan murah dipelihara daripada perkebunan atau areal tanaman semusim karena menyediakan pakan ternak atau kayu bakar serta tidak perlu pupuk dan disiangi; menguntungkan secara lingkungan karena bisa menumbuhkan siklus hara.

2.1.5 Permasalahan Pengelolaan Hutan Rakyat

(34)

persoalan bagaimana mempertahankan produktivitas hutan; aspek pengolahan,

berkaitan dengan semua tindakan mengubah bahan baku menjadi barang setengah jadi atau barang jadi; aspek pemasaran, berkaitan dengan sistem distribusi, struktur pasar, penentuan harga, perilaku pasar, dan keragaan pasar; serta aspek kelembagaan yang berkaitan dengan perlunya penyempurnaan kelembagaan pada setiap subsistem pengusahaan hutan rakyat.

Sementara itu, beberapa kendala dalam pengembangan hutan rakyat berkelanjutan menurut BPKH XI dan MFP-II (2009), diantaranya: (1) pemenuhan kebutuhan dasar, berkaitan minimnya luas kepemilikan lahan untuk memenuhi kebutuhan dasar keluarga dan penanaman hutan rakyat; (2) hak kepemilikan lahan, berkaitan dengan pengambilan keputusan atas lahan; (3) antipati terhadap pohon tertentu, berkaitan dengan mitos di masyarakat atas jenis-jenis pohon

tertentu yang tumbuh alami di lahan mereka; (4) lahan yang kritis, berkaitan dengan kondisi fisik lahan yang sukar diusahakan; (5) keterbatasan modal dan tenaga kerja; (6) konversi lahan hutan ke pertanian; (7) persepsi yang keliru, berkaitan dengan pengalaman masyarakat sebelumnya; dan (8) kelangkaan informasi khususnya dalam ketidakjelasan prospek pemasaran jenis kayu yang

dianjurkan.

2.2 Konsep Kelestarian Hasil

Meyer et al. (1961) menyatakan terdapat beberapa tipe kelestarian hasil yaitu : (a) Integral yield (hasil integral), hutan terdiri dari pohon-pohon satu umur saja, ditanam pada saat yang sama dan ditebang pada saat yang sama pula, (b)

Intermitten yield (hasil periodik), tegakan terdiri dari pohon-pohon dalam beberapa kelas umur, dengan demikian akan dapat ditebang dalam beberapa kali dalam interval waktu tertentu atau secara regulasi, dan (c) Annual yield (hasil tahunan), penebangan selalu siap dilakukan pada setiap tahun.

Menurut Simon (1994), kelestarian hasil hutan menuntut tingkat produksi yang konstan untuk intensitas pengelolaan hutan tertentu dimana antara

(35)

Prinsip kelestarian hasil dalam pengusahaan hutan mensyaratkan

diperolehnya hasil yang sedikitnya sama besar untuk satuan waktu dari suatu kesatuan pengusahaan hutan, karena satuan waktu yang biasa digunakan adalah tahun, maka secara operasional prinsip ini dapat diartikan sebagai diperolehnya hasil yang sama setiap tahun dari setiap kesatuan pengusahaan (Suhendang 1993). Hasil tegakan lestari adalah banyaknya dimensi tegakan yang dapat dipanen dan

dikeluarkan pada waktu tertentu yang besarnya sama dengan pertumbuhannya dan berlangsung terus menerus (Davis dan Johnson 1987).

Awang et al. (2002) mengemukakan bahwa kelestarian hutan rakyat ditentukan oleh beberapa faktor diantaranya adalah adanya kebutuhan ekonomi masyarakat, pandangan-pandangan, kebutuhan penyelamatan lingkungan, dan sebagainya. Lebih lanjut Awang et al. menyatakan bahwa pemanfaatan hutan rakyat yang seimbang antara kepentingan ekonomi dan kepentingan lingkungan mengakibatkan hutan rakyat akan lestari yang mengakibatkan tidak lestarinya hutan rakyat adalah eksploitasi yang berlebihan terhadap hasil hutan rakyat.

Suhendang (1993), menyatakan bahwa ukuran kelestarian hasil dikelompokkan ke dalam: (1) ukuran fisik (luas areal penebangan, volume kayu,

massa dan volume batang) dan (2) ukuran ekonomis dalam bentuk nilai uang. Ukuran kelestarian hasil dengan ukuran fisik terutama volume yang banyak digunakan karena kepraktisannya dibandingkan dengan nilai uang yang relatif rumit karena dipengaruhi oleh banyak hal seperti inflasi, suku bunga dan sebagainya. Akan tetapi, penentuan uang sangat penting sebagai pertimbangan dalam pemilihan pengaturan hasil.

Selanjutnya Iskandar et al. (2003) menyebutkan untuk mewujudkan kelestarian sumber daya hutan maka pengelolaan hutan harus mengandung tiga dimensi utama, yaitu kelestarian fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial. Dimensi tersebut berlaku pula dalam pengelolaan hutan rakyat.

Pengelolaan hutan berada pada keadaan kelestarian hasil apabila besarnya hasil sama dengan pertumbuhannya dan berlangsung secara terus menerus. Secara

(36)

secara periode sama dengan pertumbuhan dalam periode waktu itu (Davis and

Jhonson 1987).

Knuchel (1953) menerangkan bahwa suatu pengelolaan hutan dapat dikatakan lestari bila dapat menyediakan suplai kayu selama bertahun-tahun dari tebangan yang dilakukan terhadap tegakan yang telah mencapai kondisi masak tebang. Kelestarian hutan tidak hanya memperhatikan volume hasil yang tetap

jumlahnya, tetapi juga harus memasukkan bentuk dan kualita batang serta nilai uang yang dihasilkan.

Pengelolaan hutan berkelanjutan atau Sustainable Forest Management

(SFM) merupakan prinsip dalam mengelola hutan untuk mencapai satu atau lebih tujuan yang ditentukan menyangkut kontinuitas produksi hasil dan manfaat lain yang diinginkan tanpa mengakibatkan kemunduran nilai produktivitas hutan

dimasa datang dan menimbulkan efek yang merugikan pada lingkungan fisik dan sosial (ITTO 1998).

LEI merujuk pada Goot (1994) tentang manfaat hutan, Upton dan Bass (1995) tentang prinsip-prinsip kelestarian, merumuskan kelestarian pengelolaan hutan dilihat pada tiga manfaat pokok hutan, yaitu kelestarian manfaat ekologis,

sosial, dan ekonomis, sebagai berikut:

a) Kelestarian manfaat ekologis, mencakup pemeliharaan viabilitas, fungsi ekosistem hutan dan ekosistem di sekitarnya pada level yang sama atau lebih tinggi. Ekosistem hutan harus mendukung kehidupan organism yang sehat, tetap mempertahankan produktivitas, adaptabilitas, dan kemampuannya untuk pulih kembali. Hal ini menghendaki pelaksanaan pengelolaan hutan yang

menghargai atau didasarkan atas proses-proses alami.

b) Kelestarian manfaat sosial, mencerminkan keterkaitan hutan dengan budaya, etika, norma sosial dan pembangunan. Suatu aktivitas dikatakan lestari secara sosial apabila bersesuaian dengan etika dan norma-norma sosial atau tidak melampaui batas ambang toleransi komunitas setempat terhadap perubahan. c) Kelestarian manfaat ekonomi, menunjukkan bahwa manfaat dari hutan

(37)

2.3 Konsep Pengaturan Hasil Hutan

Pengaturan hasil dimaksudkan dengan tujuan mencapai kelestarian hasil yang diperoleh dari hasil hutan secara berkelanjutan dengan jumlah yang relatif sama atau lebih besar setiap tahunnya. Menurut Osmaston (1968), pengaturan hasil bertujuan untuk memperoleh hasil akhir yang berazaskan kelestarian. Beberapa alasan penebangan dan pengaturan hasil dalam hubungannya dengan

jumlah, mutu, tempat, dan waktu. Pengaturan hasil diterapkan karena berbagai alasan antara lain:

(a) penyediaan bagi konsumen dimana penebangan harus dilaksanakan agar tersedia jenis, ukuran, mutu, dan jumlah kayu sesuai permintaan pasar;

(b) pemeliharaan growing stock untuk mempertahankan dan mengembangkan produksi dalam bentuk serta kualitas yang baik secepat mungkin;

(c) penyesuaian jumlah dan bentuk tegakan persediaan agar lebih sesuai dengan tujuan pengelolaan;

(d) penebangan, perlindungan terutama dipergunakan dalam sistem silvikultur untuk melindungi tegakan dari angin, kebakaran hutan dan sebagainya.

Klasifikasi metode pengaturan hasil menurut Osmaston (1968) didasarkan

pada:

1. Metode berdasarkan luas

2. Metode berdasarkan volume dan riap 3. Metode berdasarkan jumlah pohon

Menurut Suhendang (1996), pengaturan hasil secara garis besar dikelompokkan menjadi dua yaitu: (1) pengaturan hasil hutan seumur: (a)

berdasarkan luas, (b) berdasarkan volume, dan (c) berdasarkan luas dan volume; dan (2) Pengaturan hasil tidak seumur yaitu berdasarkan jumlah pohon.

Pengaturan hasil terkait dengan pengaturan tebangan tegakan hutan. Meyer

et al. (1961) menyebutkan bahwa pengaturan tebangan merupakan tujuan penting manajemen hutan. Ada tiga permasalahan pengaturan tebangan yaitu penentuan jatah tebang, distribusi jatah tebang ke dalam blok dan kompartemen, serta

penentuan waktu tebang pada masing-masing blok atau kompartemen.

(38)

yang mungkin bisa diterapkan pada pengaturan hasil hutan rakyat bisa didekati

melalui Metode Brandis (The Brandis Method), tanpa mengabaikan sistem pengelolaan yang sudah berjalan saat ini, dengan kata lain harus mempertimbangkan kondisi sosial budaya lokal dan kapasitas petani hutan rakyat sebagai pengelola.

Pada tahun 1856 Brandis diberi tugas untuk memimpin pengelolaan hutan

alam Jati di Pegu, Burma (sekarang Myanmar), dengan menggunakan sistem tebang pilih pada tegakan jati yang memiliki keliling batang setinggi dada yaitu 7 feet atau setara diameter diatas limit 67,9 cm (Osmaston 1968), membutuhkan informasi sebagai berikut:

1) Penentuan kelas-kelas diameter berdasarkan hasil inventarisasi. 2) Perhitungan jumlah pohon untuk tiap kelas diameter.

3) Perhitungan apa yang dinamakan jangka waktu lewat (the time of passage), yaitu waktu yang diperlukan oleh sebuah pohon untuk mencapai diameter limit setelah melewati berbagai kelas diameter.

4) Penentuan apa yang dinamakan The causalty per cent utuk setiap kelas diameter, yaitu persen jumlah pohon per kelas diameter yang mati, roboh

karena angin atau ditebang sebelum mencapai umur tebang.

Di Myanmar, Brandis menamakan kelas diameter I adalah diameter paling besar adalah diameter diatas limit 7 kaki. Dengan demikian untuk pohon dengan diameter lebih kecil dimasukkan ke kelas II (6 – 7 kaki). Kelas III (4,5 – 6 kaki). -Kelas IV (3 – 4,5 kaki). -Kelas V (1,5 – 3 kaki). Pohon-pohon yang berdiameter dibawah 1,5 kaki tidak di inventore karena tidak perlu dimasukkan di dalam

perhitungan. Dari hasil inventore kemudian dapat dihitung berapa jumlah pohon untuk tiap kelas. Siklus tebang yang dipergunakan 30 tahun, rencana kegiatan akan disusun setiap 10 tahun. Dalam rencana tabangan 10 tahun pertama, separuh target tebangan akan diambil dari kelas I, dan separuh sisanya diambil dari kelas II. Akan tetapi komposisi kelas I dan kelas II yang ditebang setiap tahun dibuat sedemikian rupa sehingga pada tahun pertama penebangan hanya dilakukan

(39)

menurun sampai akhirnya pada tahun ke sepuluh tinggal persen kelas I dan

sisanya pohon kelas II.

Rencana tebangan seperti ini pada awalnya memang konservatif karena tidak hanya menebang pohon-pohon yang terbesar saja agar diperoleh volume tebangan yang besar pula. Tetapi pada siklus tebangan berikutnya volume etat akan meningkat yang berarti ada perbaikan potensi dan kualitas tegakan.

2.4 Pengelolaan Hutan Lestari

Menurut Manan (1997) pengelolaan hutan sama dengan manajemen hutan yaitu penerapan metode bisnis dan prinsip-prinsip teknis kehutanan dalam pengurusan suatu hutan. Tujuan pengelolaan hutan adalah tercapainya manfaat ganda (multiple use) yaitu menghasilkan kayu, mengatur tata air, tempat hidup margasatwa, sumber makanan ternak dan manusia, dan tempat rekreasi. Sebagai kegiatan manajemen, dengan demikian kegiatan pengelolaan hutan termasuk pengelolaan hutan rakyat meliputi penyusunan rencana pengelolaan sumberdaya hutan, pemanfaatan sumberdaya dan kawasan hutan, serta perlindungan sumberdaya hutan dan konservasi alam yang pada tataran pelaksanaannya

mengedepankan terciptanya kelestarian hutan.

Pengelolaan hutan berada pada keadaan kelestarian hasil apabila besarnya hasil sama dengan pertumbuhannya dan berlangsung secara terus menerus. Secara umum dikatakan bahwa jumlah maksimum hasil yang dapat diperoleh dari hutan pada suatu waktu tertentu adalah jumlah kumulatif pertumbuhan sampai waktu itu sedangkan jumlah maksimum hasil yang dapat dikeluarkan secara terus menerus

secara periode sama dengan pertumbuhan dalam periode waktu itu (Davis and Jhonson 1987).

Suhendang (2000) menegaskan bahwa yang dimaksud dengan pengelolaan hutan secara lestari adalah pemanfaatan hasil dan nilai-nilai yang dapat diperoleh dari hutan untuk generasi kini tidak boleh mengorbankan daya dukung hutan tersebut untuk memberikan hasil dan nilai-nilai yang sama untuk generasi yang

(40)

Fungsi ekonomi adalah keseluruhan hasil hutan yang dapat dipergunakan

untuk memenuhi kebutuhan kehidupan manusia dalam melakukan berbagai tindakan ekonomi. Hal ini berarti sumberdaya hutan diharapkan memberikan manfaat dan menyokong pendapatan masyarakat serta dapat menjadi sumber peningkatan kesejahteraan masyarakat yang tinggal di sekitar hutan.

Fungsi ekologis adalah berbagai bentuk jasa hutan yang diperlukan dalam

memelihara dan meningkatkan kualitas lingkungan seperti untuk mengendalikan erosi, memelihara kesuburan tanah, habitat flora dan fauna, dan fungsi-fungsi hutan untuk mengendalikan penyakit tanaman. Artinya sumberdaya hutan diharapkan dapat menopang terciptanya keseimbangan dan kestabilan (enabling condition) sehingga hutan dapat dinikmati oleh generasi berikutnya.

Fungsi sosial budaya adalah barang dan jasa yang dihasilkan oleh hutan

yang dapat memenuhi kepentingan umum terutama bagi masyarakat di sekitar hutan untuk beragai kepentingan dalam pemenuhaan kebutuhan hidupnya, misalnya penyediaan lapangan pekerjaan, penyediaan kayu bakar, penyediaan lahan untuk bercocok tanam, serta untuk berbagai fungsi yang diperlukan dalam rangka melaksanakan kegiatan pendidikan, pelatihan, serta untuk kegiatan budaya

dan keagamaan. Fungsi sosial budaya dari sumberdaya hutan dengan demikian adalah untuk menampung tenaga kerja masyarakat dalam sistem pengelolaan sumberdaya hutan yang mengedepankan aspek keadilan, kesejahteraan, dan keberlanjutan.

Pengelolaan hutan berkelanjutan atau Sustainable Forest Management

(SFM) merupakan prinsip dalam mengelola hutan untuk mencapai satu atau lebih

tujuan yang ditentukan menyangkut kontinuitas produksi hasil dan manfaat lain yang diinginkan tanpa mengakibatkan kemunduran nilai produktivitas hutan dimasa datang dan menimbulkan efek yang merugikan pada lingkungan fisik dan sosial (ITTO 1998).

LEI merujuk pada Goot (1994) tentang manfaat hutan, Upton dan Bass (1995) tentang prinsip-prinsip kelestarian, merumuskan kelestarian pengelolaan

(41)

a) Kelestarian manfaat ekologis, mencakup pemeliharaan viabilitas, fungsi

ekosistem hutan dan ekosistem di sekitarnya pada level yang sama atau lebih tinggi. Ekosistem hutan harus mendukung kehidupan organism yang sehat, tetap mempertahankan produktivitas, adaptabilitas, dan kemampuannya untuk pulih kembali. Hal ini menghendaki pelaksanaan pengelolaan hutan yang menghargai atau didasarkan atas proses-proses alami.

b) Kelestarian manfaat sosial, mencerminkan keterkaitan hutan dengan budaya, etika, norma sosial dan pembangunan. Suatu aktivitas dikatakan lestari secara sosial apabila bersesuaian dengan etika dan norma-norma sosial atau tidak melampaui batas ambang toleransi komunitas setempat terhadap perubahan. c) Kelestarian manfaat ekonomi, menunjukkan bahwa manfaat dari hutan

melebihi biaya yang dikeluarkan oleh unit manajemen dan modal yang

ekuivalen dapat diinvestasikan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Salah satu lembaga akreditasi di dunia yang merupakan sebuah sistem sertifikasi yang menetapkan standard dan proses sertifikasi yang diakui secara internasional. FSC telah memiliki 16 lembaga sertifikasi tingkat internasional yang diakreditasi oleh FSC, diantaranya TUV di Indonesia (Putera et al.2011).

Forest Stewardship Council (FSC), menciptakan istilah hutan-hutan yang dikelola dengan intensitas rendah dan berskala kecil (Small and Low Intensity Managed Forest (SLIMF), yaitu hutan tanaman dan non hutan tanaman yang ditetapkan sebagai area yang luasnya kurang dari 1000 ha dan kriteria yang harus dipenuhi menurut standard FSC (Hinrichs et al 2008; Putera et al 2011), yaitu: 1. Luas wilayah hutan yang dikelola tidak lebih dari 100 ha, atau

2. Hutan dikelola untuk hasil hutan bukan kayu

3. Hutan dikelola untuk hasil hutan kayu dengan ketentuan tingkat pemanenan kurang dari 20% dari riap rata-rata tahunan pada seluruh wilayah hutan produksi yang dikelola dan total pemanenan tidak lebih dari 5000 m3/tahun.

Sertifikasi FSC hanya diberikan kepada unit-unit usaha pengelolaan hutan dan turunannya, yang dikelola secara benar berdasarkan prinsip dan kriteria FSC

(42)

yang didirikan untuk mempromosikan tanggung jawab pengelolaan terhadap

hutan dunia secara berkelanjutan (Putera et al.2011).

Terdapat tiga tipe sertifikat FSC yang dapat dikeluarkan, diperpanjang atau dicabut oleh lembaga sertifikasi yang telah diakreditasi oleh FSC yaitu:

1. Sertifikat pengelolaan hutan, yaitu sertifikat untuk kegiatan pengelolaan hutan yang telah memenuhi prinsip dan kriteria FSC, yang didasarkan pada

penilaian aspek sosial, lingkungan, dan ekonomi.

2. Sertifikat controlled wood(diberikan hanya untuk pengelola hutan), diberikan untuk kayu yang berasal dari hutan yang belum mendapat sertifikasi FSC, tapi telah memenuhi lima kriteria sebagai berikut:

a) Tidak dipanen secara illegal.

b) Kegiatan pemanenannya tidak menimbulkan pelanggaran terhadap

hak-hak sipil dan tradisional.

c) Tidak dipanen dari wilayah dengan nilai konservasi tinggi (daerah yang layak dilindungi) yang kegiatan pemanenannya mengancam keberadaan wilayah tersebut.

d) Tidak dipanen dari hasil hutan alam konservasi

e) Tidak dipanen dari wilayah yang terdapat penanaman pohon hasil rekayasa genetik.

3. Sertifikat lacak balak (chain of custody/ CoC), ditujukan bagi industri dan organisasi perdagangan yang memproses dan memperdagangkan hasil hutan.

Ketiga tipe sertifikasi diatas dapat dilakukan pada dua bentuk sertifikasi yaitu perorangan dan kelompok. Terdapat tiga tipe sertifikasi berkelompok

menurut standar FSC, yaitu:

1) Tipe klasik, yaitu wadah kelompok hanya memiliki tanggung jawab dalam hal penanganan administrasi anggota kelompok yang meliputi penjualan dan pemasaran.

2) Tipe campuran, yaitu wadah kelompok berbagai tanggung jawab dengan anggota kelompok yang meliputi kegiatan perencanaan, silvikultur,

(43)

3) Tipe pengelola sumberdaya (resource manager), yaitu pengelola sumberdaya bertanggung jawab pada semua kegiatan operasional kelompok yang mengatasnamakan anggota kelompok.

2.5 Motivasi

Hasibuan (1999), motivasi adalah dorongan individu untuk mau bekerja

keras dengan segenap kemampuan dan keterampilan untuk mencapai tujuan hidup, selanjutnya Leagens dan Loomis (1971) mengemukan bahwa keinginan manusia dimodifikasi oleh pengalaman dan pola perkembangan kepribadiannya yang bersifat fluktuatif.

Proses belajar dalam diri seseorang pada umumnya dipengaruhi oleh berbagai faktor-faktor internal (aliran fungsional) dan berbagai faktor eksternal

(aliran behavioral). Hal ini berarti keberadaan motivasi untuk berpartisipasi dan kemampuan petani dalam mengelola hutan ditentukan oleh berbagai peubah yang pada akhirnya akan mempengaruhi tingkat partisipasi petani dalam pengelolaan hutan rakyat (Seng 2001).

Sardiman (2000) menyatakan bahwa motivasi adalah daya penggerak yang

menjadi aktif pada saat-saat tertentu, terutama bila kebutuhan untuk mencapai tujuan sangat dirasakan/ mendesak, dan sumber motivasi dapat berasal dari dalam diri/intrinsik dan juga dari luar diri/ekstrinsik. Terdapat dua macam motivasi, yaitu:

1. Motivasi intrinsik yaitu motif-motif yang menjadi aktif atau berfungsinya tidak perlu dirangsang dari luar karena di dalam setiap individu sudah ada dorongan

untuk melakukan sesuatu.

2. Motivasi ekstrinsik yaitu motif-motif yang menjadi aktif atau berfungsinya karena adanya perangsang dari luar.

Gibson et al. (1996), menyatakan bahwa

Gambar

Gambar 2  Peta wilayah lokasi penelitian
Tabel 1  Jenis data yang dikumpulkan
Tabel 3  Rumus perhitungan jatah tebang tahunan (JTT)
Tabel 4 Definisi operasional dan parameter pengukuran karakteristik internal
+7

Referensi

Dokumen terkait