AGRESIF DI SEKOLAH MENENGAH PERTAMA
NEGERI 129 JAKARTA TAHUN 2012
Skripsi Diajukan Sebagai Tugas Akhir Strata-1 (S-1) pada
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan (S.Kep)
Oleh:
Sri Kuspartianingsih
108104000016
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
vi
RIWAYAT HIDUP
Nama : Sri Kuspartianingsih
Tempat Tanggal Lahir : Jakarta, 10 September 1989
Agama : Islam
Status : Belum Menikah
Alamat : Kp. Lanji No.244 RT 05/06, Papanggo, Tanjung Priuk,
Jakarta Utara, DKI Jakarta
Telepon : 085780087807
E-mail : ningzmbuy@gmail.com / nsndr@ymail.com
Riwayat Pendidikan :
1. TK Latihan Negeri Papanggo (1994-1995)
2. SDN Papanggo 01 (1995-2001)
3. SLTPN 129 Jakarta (2001-2004)
4. SMAN 80 Jakarta (2004-2007)
5. S1 Keperawatan (Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta) (2008-2012)
Pengalaman Organisasi:
1. Rohani Islam (ROHIS) sebagai Pengurus Harian Besar Islam (2005 – 2006)
vii
3. BEM Jurusan Program Studi Ilmu Keperawatan sebagai anggota Departemen Kajian dan Stategi (2008 – 2010)
4. BEM Jurusan Program Studi Ilmu Keperawatan sebagai anggota Departemen Kemahasiswaan (2010 – 2012)
Pengalaman Pelatihan, Seminar, dan Workshop:
1. Pelatihan “Eksplorasi Potensi Diri Islami” Tahun 2008
2. Pelatihan Sirkumsisi “Menumbuhkan Insan Cita yang Terampil dan Peduli
Masyarakat” Tahun 2009
3. Pelatihan “Basic Wound Closure Course” Tahun 2009
4. Seminar Kesehatan “The Power of Herbal” Tahun 2009
5. Dialog Interaktif “Polemik Imunisasi di Indonesia” Tahun 2009
6. Seminar Keperawatan ““Cultural Approach in Holistic Nursing Care in
Globalization Era”Tahun 2009
7. Seminar Kesehatan “Perawatan Pasien Hipertensi dan Diabetes di Rumah” Tahun 2010
8. Seminar Profesi ”Keperawatan Islami, Penerapan dalam Praktek dan
Kurikulum Pendidikan Perawat di Indonesia” Tahun 2010
9. Sertifikat Simposium Nasional “Perspektif Islam dalam Membangun Karakter Bangsa pada Era Milenium Kesehatan” Tahun 2010
10.Pelatihan Kepemimpinan dan Manajerial Mahasiswa Nasional V ILMIKI
“The Leader of Ability, Revolusionist, Excellent, Morality, and Authority to be Great Organization” Tahun 2010
11.Seminar Nasional Keperawatan “Geriatric Care sebagai Upaya Optimalisasi
Kebutuhan Lansia di Indonesia” Tahun 2010
12.Pelatihan Nursing Camp “Memaksimalkan Peran Organisasi Keperawatan
dalam Menghadapi Tantangan Global” Tahun 2011
13.Workshop Nasional dan Peringatan Hari Perawat Sedunia Tahun 2011
14.Seminar Nasional “Uji Kompetensi Nasional Meningkatkan Peran dan Mutu
viii
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Skripsi, Oktober 2012
Sri Kuspartianingsih, NIM: 108104000016
Hubungan antara Verbal Abuse Orang Tua dengan Perilaku Agresif pada Remaja Agresif di Sekolah Menengah Pertama Negeri 129 Jakarta Tahun 2012
xix + 80 halaman + 7 tabel + 2 bagan + 8 lampiran
ABSTRAK
Verbal abuse merupakan kekerasan berupa kata-kata kasar tanpa menyentuh fisik, seperti kata-kata yang memfitnah, mengancam, menakutkan, dan menghina.
Verbal abuse yang dilakukan orang tua dapat menimbulkan masalah perilaku pada remaja termasuk perilaku agresif bahkan cenderung berkembang hingga dewasa. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara verbal abuse orang tua dengan perilaku agresif pada remaja di SMPN 129 Jakarta. Jenis penelitian adalah kuantitatif dengan pendekatan cross sectional yang dilakukan pada 43 orang remaja dengan usia 12-14 tahun di SMPN 129 Jakarta yang dilaksanakan pada bulan Juni 2012. Instrumen penelitian ini berupa self report questionnaire yang terdiri dari kuesioner perilaku verbal abuse orang tua dan kuesioner perilaku agresif remaja. Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk perilaku agresif didapatkan data 100% responden berperilaku agresif dari ringan hingga berat dan 79,1% menerima verbal abuse dari orang tuanya. Hasil uji statistik menggunakan uji chi square dengan α=0,05 diperoleh hasil bahwa ada hubungan yang signifikan antara verbal abuse yang dilakukan oleh orang tua dengan perilaku agresif remaja di SMPN 129 Jakarta (p value=0,024). Hasil dari penelitian ini memperkuat konsep tentang dampak verbal abuse yang dilakukan orang tua terhadap faktor predisposisi terjadinya perilaku agresif pada remaja. Sehingga diperlukan upaya dari sekolah untuk mengatasi perilaku agresif pada siswa khususnya yang mempunyai pengalaman verbal abuse dari orang tuanya seperti melakukan pendekatan konseling atau meningkatkan kerja sama antara guru BP dengan siswa dan pendekatan langsung kepada orang tua mereka.
Kata kunci: Verbal Abuse, Perilaku Agresif, Remaja
ix
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCE
SCHOOL OF NURSING
ISLAMIC STATE UNIVERSITY (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Undergraduates Thesis, October 2012
Sri Kuspartianingsih, NIM: 108104000016
Relationship between Verbal Abuse by Parents with Aggressive Behavior of Aggressive Adolescents in Sekolah Menengah Pertama Negeri 129 Jakarta Year 2012
xix + 80 pages + 7 tables + 2 charts + 8 attachments
ABSTRACT
Verbal abuse is a form of violence rant without physical contact, as words are slandering, threatening, intimidating, and insulting. Verbal abuse from the parents can cause behavioral problems in adolescents, including aggressive behavior and even tend to grow into adulthood. The aim of this research was to know the relation between verbal abuse by parents with aggressive behavior in adolescents in SMPN 129 Jakarta. This type of research is a quantitative approach with cross-sectional taken in 43 adolescents aged 12-14 years at SMP 129 Jakarta, that was conducted in June 2012. This research instrument is self-report questionnaire consisting of parental verbal abuse questionnaires and adolescent aggressive behavior questionnaires. The results showed that for the aggressive behavior of the data obtained 100% of respondents aggressive behavior from mild to severe, and 79.1% received verbal abuse from parents. Result of statistical test using chi square with and α=0,05 obtained that there were significant relationship between verbal abuse by parents with adolescent aggressive behavior in SMPN 129 Jakarta (p value = 0.024). The results of this study reinforce the concept of the impact of verbal abuse from the parents as the predisposition factors of aggressive behavior in adolescents. So that the necessary efforts of the school to overcome students' with aggressive behavior in especially who have experience of verbal abuse from his parents as counseling approach or improve cooperation between the student and the counselor direct approach to their parents.
x
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum wr.wb
Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur penyusun panjatkan kepada
Allah SWT yang telah memberikan segala nikmat dan karunia-Nya kepada
penyusun, sehingga penyusun dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
Hubungan antara Verbal Abuse Orang Tua dengan Perilaku Agresif pada Remaja
Agresif di Sekolah Menengah Pertama Negeri 129 Jakarta Tahun 2012.
Skripsi ini tentunya tidak akan selesai, tanpa bantuan dari berbagai pihak.
Oleh karena itu, penyusun mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. dr. (hc). M.K. Tadjudin, Sp.And selaku Dekan Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Ns. Waras Budi Utomo, S.Kep, M.KM selaku Ketua Program Studi
Ilmu Keperawatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan pembimbing
akademik yang selalu memberikan masukan, pengarahan, perhatian, dan
semangat kepada penyusun.
3. Ibu Ns. Eni Nuraini Agustini, S.Kep, M.Sc selaku Sekertaris Program Studi
Ilmu Keperawatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan dosen pembimbing I,
yang telah memberikan pengarahan, perhatian, bimbingan, dan semangat
kepada penyusun, serta kesabarannya dalam membimbing.
4. Ibu Yuli Amran, S.KM, M.KM selaku dosen pembimbing II, yang telah
memberikan pengarahan, perhatian, bimbingan dan semangat kepada
xi
5. Bapak dan Mama tercinta yang selalu memberikan kasih sayang yang tiada
henti, doa disetiap langkah anaknya, dan pengorbanan yang luar biasa serta
tulus sehingga semua terasa lebih ringan.
6. Adik-adikku tercinta Nur Dwi Lestari dan Alwi Muhammad Tegar yang selalu
membantu dalam proses penelitian, teman setia, dan doa yang tiada pernah
berhenti.
7. Sahabat-sahabat tercinta d’9 (Kiki, Ovi, Piah, Selly, Sri, Ifat, Ika, Ecil), Shela,
Rini, Kiki, dan Desi atas kasih sayang, semangat, motivasi, dan selalu
menemani dalam setiap langkah untuk meraih gelar S.Kep ini.
8. Teman spesial ku Ns. Ady Irawan AM, S.Kep yang selalu memberikan
semangat dan masukannya disetiap saat sehingga membuat kisah tersendiri
dalam hidup.
9. Seluruh staf pengajar dan karyawan Program Studi Ilmu Keperawatan UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu dan bantuannya
kepada penyusun.
10.Teman-teman PSIK 2008 yang telah memberikan masukan dan semangat
kepada penyusun.
11.Teman-teman, adik-adik, dan kakak-kakak BEMJ Ilmu Keperawatan yang
memberi pelajaran yang tidak didapatkan di bangku akademik yang telah
menjadikan pribadi penyusun menjadi pribadi yang lebih baik.
12.Semua pihak yang tidak dapat penyusun sebutkan satu persatu yang telah
xii
Penyusun menyadari dalam pembuatan skripsi ini masih banyak
kekurangan. Oleh karena itu, penyusun mengharapkan saran dari berbagai pihak.
Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca dan penyusun khususnya.
Wasalamu’alaikum wr.wb
Ciputat, 9 Oktober 2012
xiii DAFTAR ISI
Halaman Judul ... i
Lembar Persetujuan ... ii
Lembar Pengesahan ... iii
Lembar Pernyataan ... v
Riwayat Hidup ... vi
Abstrak ... viii
Abstract ... ix
Kata Pengantar ... x
Daftar Isi ... xiii
Daftar Tabel ... xvii
Daftar Gambar dan Bagan ... xviii
Daftar Lampiran ...xix
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 5
C. Pertanyaan Penelitian ... 7
D. Tujuan Penelitian ... 7
1. Tujuan Umum ... 7
2. Tujuan Khusus ... 7
E. Manfaat Penelitian ... 8
F. Ruang Lingkup Penelitian ... 8
xiv
A.Remaja ... 9
1. Definisi remaja ... 9
2. Klasifikasi remaja ... 9
3. Ciri-ciri remaja ... 10
4. Tugas perkembangan remaja ... 13
5. Masalah pada remaja ... 14
B.Perilaku Agresif ... 19
1. Definisi perilaku agresif ... 19
2. Penyebab perilaku agresif ... 19
3. Dampak perilaku agresif ... 27
4. Bentuk perilaku agresif ... 28
C.Verbal Abuse ... 31
1. Definisi verbal abuse ... 31
2. Karakteristik verbal abuse ... 32
3. Bentuk verbal abuse ... 33
4. Akibat verbal abuse ... 34
5. Faktor yang mempengaruhi orang tua melakukan verbal abuse ... 37
D. Penelitian Terkait ... 40
E.Kerangka Teori ... 41
BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ... 42
A.Kerangka Konsep ... 42
B.Hipotesis ... 43
xv
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN ... 46
A.Desain Penelitian ... 46
B.Lokasi penelitian ... 46
1. Tempat ... 46
2. Waktu ... 46
C.Populasi dan Sampel ... 47
1. Populasi ... 47
2. Sampel ... 47
D.Instrumen Penelitian ... 48
E.Uji Validitas Dan Reliabilitas ... 52
1. Uji validitas... 52
2. Uji reliabilitas ... 53
F. Pengolahan Data... 54
G.Analisis Data ... 55
H.Etika Penelitian ... 57
BAB V HASIL PENELITIAN ... 58
A.Gambaran Umum Daerah Penelitian ... 58
B.Karakteristik Responden ... 59
1. Umur ... 59
2. Jenis Kelamin ... 60
3. Kelas ... 60
C.Analisa Univariat ... 61
1. Verbal abuse orang tua... 61
xvi
D.Analisa Bivariat ... 62
BAB VI PEMBAHASAN ... 65
A.Analisa Univariat ... 65
1. Gambaran karakteristik responden di SMPN 129 Jakarta ... 65
2. Gambaran verbal abuse orang tua di SMPN 129 Jakarta ... 66
3. Gambaran perilaku agresif remaja di SMPN 129 Jakarta ... 70
B.Analisa Bivariat ... 74
C.Keterbatasan Peneliti ... 76
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN ... 78
A.Kesimpulan ... 78
1. Perilaku verbal abuse orang tua ... 78
2. Perilaku agresif remaja ... 78
3. Hubungan antara verbal abuse orang tua dengan perilaku agresif pada remaja ... 79
B.Saran ... 79
1. Bagi sekolah ( SMPN 129 Jakarta) ... 79
2. Bagi institusi perawat ... 80
3. Bagi peneliti lain ... 80
DAFTAR PUSTAKA
xvii
DAFTAR TABEL
1. Tabel 3.1 Definisi Operasional ... 44
2. Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur ... 59
3. Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ... 60
4. Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kelas ... 60
5. Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Verbal Abuse Orang Tua Siswa SMPN 129 Jakarta Tahun 2012 ... 61
6. Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi Responden Lansia Berdasarkan Status Pendidikan Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Perilaku Agresif Remaja di SMPN 129 Jakarta Tahun 2012 ... 62
xviii
DAFTAR GAMBAR DAN BAGAN
1. Bagan 2.1 Kerangka Teori ... 41
xix
DAFTAR LAMPIRAN
1. Lampiran 1 Lembar Persetujuan Responden dan Kuesioner Penelitian
2. Lampiran 2 R Tabel, Hasil Uji Validitas dan Reabilitas
3. Lampiran 3 Hasil Penelitian
4. Lampiran 4 Surat Ijin Studi Pendahuluan
5. Lampiran 5 Surat Ijin Uji Validitas
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Fenomena yang terjadi belakangan ini sering sekali memprihatinkan
terutama masalah tindak kekerasan yang sering dilakukan oleh orang tua
kepada anaknya. Hal ini dibuktikan pada data dari pengaduan langsung ke
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada tahun 2008 ada 580 kasus
dan pada tahun 2009 ada 595 kasus, sekitar 2,59% peningkatan yang terjadi,
dan hal itu belum termasuk laporan melalui e-mail dan telepon (KPAI, 2010).
Ditambah lagi laporan melalui hotline service Komisi Nasional Perlindung
Anak (Komnaspa) yang berupa pengaduan langsung, telepon, surat-menyurat
maupun email, mengalami peningkatan sebesar 98% dari tahun 2010 yang
hanya 1.234 kasus meningkat hingga 2.386 kasus pada tahun 2011
(Komnaspa, 2011).
Kekerasan pada anak yang disebut juga child abuse merupakan bentuk
perlakuan kekerasan terhadap anak-anak. Segala jenis tindak kekerasan pada
anak merupakan tindakan yang merenggut semua hak anak (Hamid, 2008).
Lawson (2006 dalam Rakhmat, 2007), mengelompokkan kekerasan pada anak
menjadi empat, yaitu emotional abuse, verbal abuse, physical abuse, dan
sexual abuse. Apabila seorang anak mendapatkan salah satu saja dari keempat
kekerasan itu yang dilakukan secara terus-menerus maka dapat dipastikan
dibayangkan apabila anak tersebut mendapatkan keempat dari jenis kekerasan
itu (Rakhmat, 2007).
Tindak kekerasan kepada anak-anak akan direkam di bawah alam
sadar mereka, sehingga dapat terbawa hingga dewasa kelak (Sirotnak &
Krugman, 2002). Hal ini diperkuat oleh penelitian Arsih (2010) tentang “studi fenomenologis: verbal abuse” pada remaja dengan subjek empat orang remaja
SMP dengan usia 13-15 tahun yang pernah mendapatkan verbal abuse. Hasil
pada penelitian ini menunjukkan bahwa saat mereka mendapatkan kekerasan
verbal timbul perasaan sedih pada mereka, dendam dan ingin membalas. Hal
itu mengakibatkan respon ingin menghiraukan orang yang melakukan verbal
abuse dan ingin membantah. Ditambah lagi dampak psikis yang timbul yaitu
perasaan kecewa dan sakit hati. Dampak tersebut dapat terus terbawa hingga
mereka dewasa kelak.
Berdasarkan beberapa penelitian psikiatri menunjukkan bahwa verbal
abuse dapat menyebabkan kerusakkan psikis dan emosional yang lebih berat
(Wicaksana, 2008). Hal ini terjadi karena verbal abuse menimbulkan dampak
psikis berupa rasa ketakutan yang terus membayangi. Padahal masa remaja
merupakan periode yang penting, karena dalam perkembangan fisik yang
cepat dan harus disertai dengan perkembangan mental yang baik pula. Apabila
rasa ketakutan yang ditimbulkan akibat verbal abuse terjadi pada remaja,
maka penyesuaian perkembangan mental akan terganggu sehingga dalam
pembentukkan sikap, nilai, dan minat baru pun ikut terganggu (Hurlock,
dapat diobati, namun pada verbal abuse yang timbul adalah masalah psikis
yang menimbulkan trauma yang sulit untuk dihilangkan (Pratiwi, 2006).
Demikian pula dengan akibat dari verbal abuse yang dapat
menimbulkan problem perilaku yang terjadi pada remaja berupa kecemasan,
depresi, menarik diri dan keluhan somatik, masalah kemampuan
memperhatikan, perilaku agresif dan melawan hukum, dan pada remaja pun
lebih potensial berperilaku merusak diri (Rusmil, 2007). Kekerasan yang
terjadi pada anak di masa kecil memiliki dampak yang lebih kuat dalam
menimbulkan perilaku agresif, terlebih bila orang tua yang melakukannya.
Anak yang menjadi korban kekerasan orang tuanya maka secara otomatis akan
berperilaku agresif juga. Bahkan cenderung mengembangkan perilaku
kekerasan yang dialaminya sampai ia kelak dewasa (Anantasari, 2006).
Demikian juga dengan penelitian Suryaningsih dan Anggraini (2004)
tentang hubungan kekerasan orang tua terhadap anak dengan perilaku agresif
dengan subjek siswa SMP Negeri 2 Ungaran. Dalam penelitian tersebut
didapatkan hasil bahwa semakin tinggi kekerasan orang tua terhadap anak
maka semakin tinggi pula perilaku agresif anak.
Menurut DSM-IV American Psychiatric Association membagi
perilaku agresif terhadap orang lain menjadi enam, yaitu sering mengganggu,
mengancam, atau mengintimidasi orang lain, sering memulai perkelahian
fisik, menggunakan senjata yang dapat membahayakan fisik orang lain,
mengancam orang lain secara fisik, mencuri yang menimbulkan korban,
memaksa orang lain untuk melakukan aktifitas seksual dengannya (Windiani
Banyak remaja membenarkan perbuatan-perbuatan yang mereka
ketahui sebagai perbuatan yang salah termasuk perilaku agresif. Hal ini
berkaitan dengan beratnya tugas perkembangan remaja yang menuntut
perubahan besar dalam sikap dan pola perilaku anak. Dilain hal, beberapa
remaja yang ingin mandiri, juga ingin dan membutuhkan rasa aman yang
diperoleh dari ketergantungan emosi pada orang tua (Hurlock, 1999).
Pada remaja terjadi proses pembentukkan identitas diri, yang
merupakan proses kompleks, yang membutuhkan kontinuitas dari masa lalu,
sekarang, dan yang akan datang dari kehidupan individu, hal inilah yang akan
membentuk kerangka berpikir untuk mengorganisasikan dan mengintegrasikan
perilaku ke dalam berbagai bidang kehidupan (Marheni, 2007).
Penting bagi seorang perawat untuk memahami landasan teoritis dari
suatu fenomena yang menjadi bidang kajiannya misalnya fenomena
penganiayaan pada anak. Landasan teoritis tersebut digunakan sebagai
kerangka kerja keperawatan tentang anak teraniaya dan terlantar yang
merupakan fenomena multifaktor yang melibatkan orang tua, keluarga,
budaya, anak, dan stress dalam rentang mulai dari yang berperilaku normal
hingga tindak penganiayaan (Milor, 2001 dalam Hamid, 2008).
Dalam penelitian ini peneliti mengambil area penelitian di SMPN 129
Jakarta di Tanjung Priok, karena berdasarkan pengamatan awal oleh peneliti,
menunjukkan walaupun terdapat penurunan angka pelanggaran peraturan tata
tertib sekolah sebanyak 23,49 % dari tahun 2010 hingga 2011, namun jenis
tata tertib yang dilanggar pada tahun 2011 mengalami peningkatan yang
pemukulan antar teman, bahkan tawuran yang sebelumnya belum pernah
dilakukan oleh siswa SMP tersebut. Jenis- jenis pelanggaran yang berat itulah
yang merupakan perilaku agresif pada siswa SMP yang tergolong masih
remaja. Selain itu dari hasil wawancara awal terhadap sepuluh orang siswa
yang melanggar peraturan dari jenis yang paling ringan seperti terlambat
sekolah hingga yang paling berat yaitu pernah mengikuti tawuran, didapatkan
hasil tujuh orang dari sepuluh orang atau sekitar 70% mengaku pernah
mendapatkan tindakan verbal abuse dari orang tua mereka berupa mencela
anak, mengecilkan anak, dan intimidasi. Bahkan mereka merasakan sakit hati
yang mendalam dan ada beberapa yang sampai ingin membantah, saat
mendapatkan perilaku verbal abuse dari orang tuanya, namun mereka tidak
bisa melakukannya.
Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang didapatkan oleh peneliti dan
ditambah dengan penelitian sebelumnya yang hanya mampu mengungkapkan
hubungan antara verbal abuse terhadap perkembangan psikis seperti penelitian
Arsih (2010) dan pada penelitian Suryaningsih dan Anggraini (2004) yang
hanya mengungkapkan hubungan antara kekerasan orang tua dengan perilaku
agresif. Untuk itu peneliti tertarik melakukan penelitian tentang hubungan
antara verbal abuse dengan perilaku agresif pada remaja di Indonesia.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian masalah yang telah dijelaskan pada latar belakang,
yaitu:
1. Menurut Rakhmat (2007) apabila seorang anak mendapatkan salah satu
secara terus-menerus maka dapat dipastikan bahwa anak tersebut akan
mengalami gangguan psikologis.
2. Berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Arsih (2010)
pada remaja usia 13 – 14 tahun menunjukkan bahwa anak yang mendapatkan verbal abuse timbul perasaan kecewa dan sakit hati. Hal itu
menimbulkan respon ingin menghiraukan dan ingin membantah.
Kemudian pada penelitian yang dilakukan oleh Suryaningsih dan
Anggarini (2004) pada siswa SMP Negeri 2 Ungaran menunjukkan bahwa
semakin tinggi kekerasan yang dilakukan oleh orang tua maka semakin
tinggi pula perilaku agresif anak tersebut.
3. Menurut Rusmil (2007) akibat dari verbal abuse dapat menimbulkan
problem perilaku berupa kecemasan, depresi, menarik diri dan keluhan
somatik, masalah kemampuan memperhatikan, perilaku agresif dan
melawan hukum.
4. Menurut Hurlock (1999) masa remaja merupakan periode yang penting
karena dalam perkembangan fisik yang cepat harus disertai dengan
perkembangan mental yang baik pula sehingga jika ada rasa ketakutan
yang ditimbulkan akibat verbal abuse maka penyesuaian perkembangan
seorang remaja akan terganggu.
5. Pada studi pendahuluan yang telah dijelaskan di latar belakang, didapatkan
hasil bahwa walaupun terdapat penurunan angka pelanggaran peraturan
tata tertib sekolah sebanyak 23,49% namun jenis tata tertib yang dilanggar
oleh siswa SMP Negeri 129 Jakarta sepanjang tahun 2010 hingga 2011
antar teman, bahkan tawuran. Selain itu dari hasil wawancara yang
dilakukan oleh peneliti terhadap sepuluh orang siswa yang melanggar
peraturan, didapatkan hasil tujuh orang dari sepuluh orang atau sekitar
70% mengaku pernah mendapatkan tindakan verbal abuse dari orang tua
mereka seperti mencela anak, mengecilkan anak, dan intimidasi.
Dari uraian diatas memperkuat dugaan peneliti bahwa ada hubungan
antara verbal abuse orang tua dengan perilaku agresif siswa yang tergolong
remaja tersebut. Sehingga peneliti tertarik untuk membuktikan secara
signifikan bahwa ada hubungan antara verbal abuse orang tua dengan perilaku
agresif remaja di SMPN129 Jakarta.
C. Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana gambaran bentuk perilaku agresif yang dilakukan oleh remaja?
2. Bagaimana gambaran bentuk verbal abuse yang dilakukan oleh orang tua?
3. Apakah ada hubungan antara verbal abuse yang dilakukan oleh orang tua
dengan perilaku agresif pada anak usia remaja ?
D. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
Untuk mengetahui hubungan antara verbal abuse orang tua dengan
perilaku agresif pada remaja.
2. Tujuan khusus
a. Mengidentifikasi bentuk perilaku agresif yang dilakukan remaja.
b. Mengidentifikasi bentuk verbal abuse yang dilakukan oleh orang tua.
c. Mengidentifikasi hubungan antara verbal abuse orang tua dengan
E. Manfaat Penelitian
1. Bagi peneliti
Dengan adanya hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi data dasar
untuk penelitian lebih lanjut yang terkait dengan verbal abuse orang tua
dan perilaku agresif pada remaja pada penelitian berikutnya.
2. Bagi institusi keperawatan
Memberikan informasi dalam mengembangkan terapi modalitas dalam
penanganan perilaku agresif pada remaja.
3. Bagi Sekolah (SMPN129 Jakarta)
Memberikan informasi bagi sekolah yang bersangkutan bahwa salah satu
faktor yang dapat menyebabkan perilaku agresif pada remaja sehingga
sekolah mampu melakukan pendekatan konseling yang tepat.
F. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini mengenai hubungan antara verbal abuse orang tua
dengan perilaku agresif pada remaja. Dalam penelitian ini pembatasannya
mencakup usia, dan remaja yang bersekolah di Sekolah Menengah Pertama
Negri (SMPN) 129 Jakarta. Metode penelitian ini kuantitatif dengan
pendekatan cross sectional. Penelitian ini menggunakan data primer yang
9
TINJAUAN PUSTAKA
A. Remaja
1. Definisi remaja
Menurut Santrock (2003) Remaja adalah masa transisi dari masa
anak ke masa dewasa dan dalam masa transisi itu remaja menjajaki
alternatif dan mencoba berbagai pilihan sebagai bagian dari perkembangan
identitas. Menurut Wong (2009) remaja merupakan masa transisi dari anak
ke dewasa dimana terjadi perubahan-perubahan biologi, psikologi,
intelektual, dan ekonomi.
Sedangkan menurut Widayatun (2009), masa remaja sering disebut
storm and drunk yaitu masa bergelombang, masa perpindahan dari masa
anak ke masa remaja. Adapun tanda-tanda psikologi dari perkembangan
remaja yaitu, sering merasa gelisah, resah, ada konflik batin dengan orang
tua, minat meluas, tidak menetap, pergaulan, mulai berkelompok tapi
sering ada perasaan asing, mulai mengenal lawan jenis atau pacaran, dan
prestasi/pelajaran sekolah mulai tidak stabil.
2. Klasifikasi remaja
Masa remaja menurut Wong dan Hockenberry (2003) dibagi
menjadi tiga bagian, yaitu:
1) Fase remaja awal (Early adolescent) pada usia 11 – 14 tahun. Remaja dikarakteristikan sebagai awal perubahan pada pubertas dan
2) Fase remaja pertengahan (Middle adolescent) pada usia 15 – 17 tahun. Remaja dikarakteristikan dengan transisi atau peralihan yang
berorientasi atau lebih dominan terhadap kawan atau pekerjaan rumah
seperti bermusik, cara berpakaian, penampilan, berbahasa, dan
perilaku.
3) Fase remaja akhir (Late adolescent) pada usia 18 – 20 tahun. Remaja dikarakteristikan dengan perubahan atau transisi menuju kedewasaan
untuk dapat peran, mulai bekerja, dan perkembangan hubungan seperti
orang dewasa.
3. Ciri-ciri remaja
Seperti halnya dengan semua periode yang penting selama rentang
kehidupan, masa remaja mempunyai ciri-ciri tertentu yang
membedakannya dengan periode sebelum dan sesudahnya, diantaranya
yaitu (Hurlock, 1999):
1) Masa remaja sebagai periode yang penting
Pada masa remaja terdapat dua perubahan yaitu perubahan fisik dan
psikologis. Kedua perkembang tersebut harus sinergi karena pada masa
awal remaja perkembangan fisik dan perkembang mental terjadi
dengan cepat. Hal-hal itulah yang menimbulkan perlunya penyesuaian
mental dan perlunya membentuk sikap, nilai dan minat baru.
2) Masa remaja sebagai periode peralihan
Peralihan bagi remaja adalah apa yang terjadi sebelumnya akan
meninggalkan bekas pada apa yang terjadi sekarang dan yang akan
meninggalkan bekas dan akan mempengaruhi pola perilaku dan sikap
yang baru. Struktur psikis pada remaja berasal dari masa kanak-kanak,
dan banyak ciri yang umumnya dianggap sebagai ciri khas masa
remaja sudah ada pada akhir masa kanak-kanak. Namun status remaja
yang tidak jelas ini juga menguntungkan karena memberi waktu
kepadanya untuk mencoba gaya hidup yang berbeda dan menentukan
pola perilaku, nilai dan sifat yang paling sesuai bagi dirinya.
3) Masa remaja sebagai periode perubahan
Terdapat empat perubahan yang hampir bersifat universal, pertama,
meningginya emosi yang intensitasnya bergantung pada tingkat
perubahan fisik dan psikologis yang terjadi. Kedua, perubahan tubuh,
minat dan peran yang diharapkan oleh kelompok sosial untuk
dipesankan, menimbulkan masalah baru. Ketiga, dengan berubahnya
minat dan pola perilaku, maka nilai-nilai juga berubah. Keempat,
sebagian besar remaja bersikap ambivalen terhadap setiap perubahan.
Mereka menginginkan kebebasan dan menuntut mendapatkannya,
tetapi mereka ketakutan untuk bertanggung jawab dan meragukan
kemampuan untuk dapat mengatasi tanggung jawab tersebut.
4) Masa remaja sebagai usia bermasalah
Setiap periode pasti mempunyai masalahnya sendiri, namun pada masa
remaja sering menjadi masalah yang sulit diatasi. Ketidakmampuan
mereka untuk mengatasi sendiri masalahnya menurut cara yang
mereka yakini membuat banyak remaja akhirnya menemukan bahwa
5) Masa remaja sebagai masa mencari identitas
Menurut teori psikososial Erikson (1968) identitas versus kekacauan
identitas merupakan tahap perkembangan kelima yang dialami oleh
remaja. Pada saat ini individu dihadapkan pada pertanyaan siapa
mereka, mereka itu sebenarnya apa, dan kemana mereka menuju dalam
hidupnya (Santrock, 2003). Dalam usaha pencarian identitas diri inilah
yang dapat mempengaruhi perilaku remaja.
6) Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan
Anggapan streotip budaya bahwa remaja adalah anak-anak yang tidak
rapih, yang tidak dapat dipercaya dan cenderung merusak dan
berperilaku merusak. Streotip ini mempengaruhi konsep diri dan sikap
remaja terhadap dirinya sendiri. Menerima streotip ini dan adanya
keyakinan bahwa orang dewasa mempunyai pandangan yang buruk
tentang remaja, membuat peralihan ke masa dewasa menjadi sulit. Hal
ini menimbulkan banyak pertentangan dengan orang tua dan antara
orang tua dengan anak terjadi jarak yang menghalangi anak untuk
mengatasi berbagai masalahnya.
7) Masa remaja sebagai masa yang tidak realistik
Remaja cenderung melihat dirinya sendiri dan orang lain sebagaimana
yang ia inginkan dan bukan sebagaimana adanya. Hal ini
menyebabkan meningginya emosi yang merupakan ciri dari awal masa
remaja. Semakin tidak realistik cita-citanya semakin ia menjadi marah.
mengecewakannya atau kalau ia tidak berhasil mencapai tujuan yang
ditetapkannya sendiri.
8) Masa remaja sebagai ambang masa dewasa
Dengan semakin mendekatnya usia kematangan yang sah, para remaja
menjadi gelisah untuk meninggalkan stereotip belasan tahun dan untuk
memberikan kesan bahwa mereka sudah hampir dewasa. Oleh karena
itu, remaja mulai memusatkan diri pada perilaku yang dihubungkan
dengan status dewasa, yaitu merokok, minum-minuman keras,
menggunakan obat-obatan, dan terlibat dalam perbuatan seks. Mereka
menganggap bahwa perilaku ini akan memberikan citra yang mereka
inginkan.
4. Tugas perkembangan remaja
Remaja menurut Soetjiningsih (2007) mempunyai dua tugas utama,
yaitu:
1) Mencapai ukuran kebebasan atau kemandirian dari orang tua
Pada masa remaja sering terjadi adanya kesenjangan dan
konflik antara remaja dengan orang tuanya. Pada masa inilah ikatan
emosional menjadi berkurang dan remaja sangat membutuhkan
kebebasan emosional dari orang tua. Sementara orang tua masih
ingin mengawasi dan melindungi anaknya.
Pada awal usia remaja, perjuangan kemandiriannya ditandai
dengan perubahan dari sifat tergantung kepada orang tua menjadi
tidak tergantung. Salah satu contohnya adalah remaja mulai tidak
2) Membentuk identitas untuk tercapainya integrasi diri dan
kematangan pribadi
Proses pembentukkan identitas diri adalah proses yang panjang
dan kompleks, yang membutuhkan kontinuitas dari masa lalu,
sekarang, dan yang akan datang dari kehidupan individu.
Erickson mengatakan bahwa pada saat remaja timbul sebuah
pertanyaan penting yaitu “Siapakah Aku?”. Hal inilah yang
membuat remaja berusaha melepaskan diri dari lingkungan dan
ikatan dari orang tua karena mereka ingin mencari identitas.
5. Masalah pada remaja
Salah satu ciri dari remaja menurut Hurlock (1999) merupakan usia
yang bermasalah. Hal ini karena begitu beratnya pertumbuhan dan
perkembangan seksual normalnya sehingga dalam mengatasi masalah
terkadang remaja mengalami kegagalan. Masalah yang timbul pun
bervariasi dalam hal tingkat keparahannya dan tingkat perkembangan
remaja (Santrock, 2003). Beberapa masalah remaja menurut Santrock
berlangsung dalam jangka waktu yang singkat namun ada beberapa
masalah lainnya yang dapat bertahan selama bertahun-tahun.
Sedangkan menurut Pedoman Kesehatan Jiwa Remaja (2008)
adanya hambatan dalam tahap perkembangan dapat menimbulkan masalah
kesehatan jiwa bila tidak terselesaikan dengan baik. Beberapa masalah
1) Alkohol dan obat-obatan terlarang
Beberapa remaja sudah mulai menggunakan alkohol dan
mengonsumsi obat-obatan terlarang dengan alasan dapat mengurangi
ketegangan dan frustasi, menghilangkan kebosanan dan rasa lelah
sehingga dapat membantu remaja dalam melarikan diri dari kenyataan
hidup yang keras (Santrock, 2003).
Lebih lanjut Santrock menemukan beberapa alasan mengapa
remaja mengkonsumsi narkoba yaitu karena ingin tahu, untuk
meningkatkan rasa percaya diri, solidaritas, adaptasi dengan
lingkungan, maupun untuk kompensasi. Berikut merupakan penyebab
remaja mengonsumsi alkohol dan obat-obatan terlarang:
a. Pengaruh sosial dan interpersonal: termasuk kurangnya kehangatan
dari orang tua, supervisi, kontrol, dan dorongan. Penilaian negatif
dari orang tua, ketegangan di rumah, perceraian, dan perpisahan
orang tua.
b. Pengaruh budaya dan tata krama: memandang penggunaan alkohol
dan obat-obatan sebagai simbol penolakan atas standar
konvensional, berorientasi pada tujuan jangka pendek dan
kepuasan hedonis.
c. Pengaruh interpersonal: termasuk kepribadian yang temperamental,
agresif, orang yang memiliki lokus kontrol eksternal, rendahnya
harga diri, dan kemampuan koping yang buruk.
d. Cinta dan hubungan heteroseksual
f. Permasalahan moral, nilai, dan agama
2) Kenakalan remaja
Ketika masa remaja, kemampuan mengontrol diri sangat
diperlukan karena dorongan-dorongan dan nafsu-nafsu keinginannya
semakin bergejolak terutama dorongan seksual dan dorongan agresif.
Jika seorang remaja tidak mempunyai kontrol diri yang baik, dia akan
dikuasai oleh dorongan-dorongan ini sehingga timbulah bentuk
kenakalan remaja (Sukmono, 2011). Menurut Windiani dan
Soetjiningsih (2007) batasan kenakalan remaja dan gangguan tingkah
laku keduanya sama yaitu meliputi berbagai masalah neuropsikiatri.
Menurut DSM-IV American Psychiatric Association, diagnosis
gangguan tingkah laku dapat ditegakkan sesuai kriteria sebagai berikut
(Soetjiningsih, 2007):
a. Pola perilaku berulang dan menetap, dimana terdapat tiga atau
lebih perilaku dibawah ini dan paling tidak terjadi selama dua belas
bulan terakhir atau minimal terdapat satu kriteria perilaku didalam
enam bulan terakhir.
a) Perilaku agresif terhadap orang lain dan binatang
b) Merusak hak milik orang lain
c) Berbohong atau mencuri
d) Pelanggaran serius terhadap peraturan
b. Gangguan perilaku ini menyebabkan terjadinya gangguan sosial,
c. Jika individu berumur 18 tahun atau lebih, tidak memenuhi kriteria
gangguan kepribadian antisosial.
Penyebab dari kenakalan remaja menurut Pedoman Kesehatan
Jiwa Remaja (2008) yaitu terganggunya daya penyesuaian sosial
remaja, yang disebabkan oleh beberapa faktor yang saling berinteraksi,
diantaranya:
a. Faktor genetik/biologik/konstitusional misalnya:
a) Gangguan tingkah laku tak berkelompok yang sudah mulai
terlihat pada masa kanak, dan semakin parah dengan bertambah
nya usia yang antara lain terlihat pada sikap kejam terhadap
binatang, dan suka main api.
b) Kepribadian organik berupa perilaku impulsif, mudah marah,
dan tak berfikir panjang, hal tersebut terjadi sesudah adanya
kerusakan permanen pada otak.
c) Gangguan pemusatan perhatian dengan hiperaktivitas, yaitu
gangguan yang diakibatkan kerusakan minimal pada otak.
b. Faktor pola asuh orang-tua yang tidak sesuai dengan kebutuhan
perkembangan anak, misalnya: orang tua yang permisif, otoriter
dan masa bodoh, orang tua yang melakukan kekerasan pada anak
seperti verbal abuse.
c. Faktor psikososial misalnya :
a) Rasa rendah diri, rasa tidak aman, rasa takut yang
b) Pembentukan identitas diri yang kurang mantap dan keinginan
mencoba batas kemampuannya, menyebabkan remaja
berani/nekat
c) Proses identifikasi remaja terhadap tindak kekerasan
d) Penanaman nilai yang salah, yaitu orang atau kelompok yang
berbeda misalnya seragam sekolah, etnik, agama dianggap
“musuh”
e) Pengaruh media masa (majalah, film, televisi) dapat memberi
contoh yang tidak baik bagi remaja
3) Depresi dan bunuh diri
Kehidupan yang penuh stres pada saat ini seperti adanya nilai
standar ujian nasional yang dari tahun ke tahun mengalami
peningkatan, bencana yang terjadi dimana-mana, dan berbagai
peristiwa hidup yang menyedihkan dapat menyebabkan remaja
mengalami depresi (Susilowati, 2008). Menurut Isselbacher dkk
(2000) depresi merupakan gambaran yang paling sering ditemukan
diantara pasien yang mencoba bunuh diri. Meskipun depresi yang
diderita tidak parah namun risiko untuk bunuh diri tetap ada (Hinto,
1989 dalam Susilowati, 2008).
Bunuh diri merupakan penyebab utama kematian ketiga selama
masa remaja (Wong, 2002). Faktor yang lazim dijumpai diantara
remaja yang bunuh diri mencakup riwayat bunuh diri anggota
keluarga, penyalahgunaan alkohol serta zat, gangguan perilaku,
yang berhasil melakukan bunuh diri atau baru mencoba melakukannya
(Isselbacher dkk, 2000).
B. Perilaku Agresif
1. Definisi perilaku agresif
Perilaku agresif selalu dipersepsikan sebagai kekerasan terhadap
pihak yang dikenai perilaku tersebut baik verbal ataupun nonverbal yang
dengan sengaja ditujukan untuk melukai orang lain baik fisik ataupun
nonfisik (Anantasari, 2006).
Menurut Videbeck (2008) perilaku agresif sama dengan
permusuhan, yang dibedakan menjadi dua yaitu agresif verbal dan agresif
fisik. Agresif verbal adalah emosi yang diungkapkan melalui kata-kata
yang melecehkan, tidak adanya kerjasama, pelanggaran aturan atau norma,
atau perilaku mengancam (Schultz & Videbeck, 1998). Berbeda dengan
agresif verbal, agresif fisik merupakan perilaku menyerang atau melukai
orang lain atau mencakup perusakan properti. Secara keseluruhan
Videbeck beranggapan perilaku agresif itu ditujukan untuk menyakiti atau
menghukum orang lain atau memaksa seseorang untuk patuh.
2. Penyebab perilaku agresif
Perilaku agresif banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor yang
menstimulus kejadiannya, antara lain:
1) Faktor biologis
Davidoff (1991 dalam Mutadin, 2002) menyatakan bahwa ada
beberapa faktor biologis yang dapat mempengaruhi perilaku agresif
Berbagai penelitian telah mencoba menelaah tentang keberadaan
gen dalam pengaruhnya terhadap perilaku agresif. Dalam
kenyataannya, banyak hal yang membuktikan bahwa gen memiliki
pengaruh terhadap pembentukkan sistem neural otak yang mengatur
perilaku agresif (Davidoff). Dari penelitian yang dilakukan terhadap
binatang, mulai dari yang sulit sampai yang paling mudah dipancing
amarahnya didapatkan hasil bahwa faktor keturunan menunjukkan
hewan jantan yang berasal dari berbagai jenis lebih mudah marah
dibanding betinanya (Krahe, 2005).
Selain itu berbagai ahli penelitian berpendapat bahwa
kecenderungan berperilaku agresif merupakan bagian sifat bawaan
genetika individu. Hal ini dinyatakan bahwa individu-individu yang
berhubungan secara genetika memiliki kecenderungan agresif yang
satu sama lain lebih serupa dibanding individu-individu yang tidak
berhubungan secara genetis (Krahe, 2005).
Sistem otak yang tidak terlibat dalam agresif menunjukkan
dapat memperkuat atau menghambat sirkuit neural yang
mengendalikan agresif. Pada hewan sederhana, marah dapat dihambat
atau ditingkatkan dengan merangsang sistem limbik (daerah yang
menimbulkan kenikmatan pada manusia) sehingga muncul hubungan
timbal balik antara kenikmatan dan kekejaman (Mutadin, 2002)
Presscot (1991 dalam Mutadin) menyatakan bahwa orang yang
berorientasi pada kenikmatan akan sedikit melakukan agresif
kegembiraan atau santai cenderung untuk melakukan kekejaman dan
penghancuran (agresif). Presscot menyakini bahwa keinginan yang
kuat untuk menghancurkan disebabkan oleh ketidakmampuan untuk
menikmati sesuatu hal yang disebabkan cedera otak akibat kurang
rangsangan sewaktu bayi (Mu’tadin).
Selain itu Videbeck (2008) juga beranggapan bahwa serotonin
merupakan inhibitor utama pada perilaku agresif. Jadi, apabila kadar
serotonin didalam tubuh rendah maka akan menyebabkan peningkatan
perilaku agresif. Selain itu, peningkatan aktivitas dopamine dan
norepinefrin di otak dikaitkan dengan peningkatan perilaku yang
impulsive (Kavoussi et al., 1997 dalam Videbeck). Lalu kerusakkan
terjadi pada sistem limbik, lobus frontal, dan lobus temporal otak
dapat mengubah kemampuan individu untuk memodulasi agresi
sehingga timbul perilaku agresif.
Kimia darah (khususnya hormon seks yang sebagian ditentukan
faktor keturunan) juga dapat mempengaruhi perilaku agresif. Dalam
suatu eksperimen ilmuwan menyuntikan hormon testosteron pada tikus
dan beberapa hewan lain (testosteron merupakan hormon androgen
utama yang memberikan ciri kelamin jantan), maka tikus-tikus tersebut
berkelahi semakin sering dan lebih kuat. Kenyataan mencoba
mengungkap bahwa pada anak banteng jantan yang sudah dikebiri
akan menjadi jinak. Sedangkan pada wanita yang tengah mengalami
masa haid, kadar hormon kewanitaan yaitu estrogen dan progresteron
perasaan mereka mudah tersinggung, gelisah, tegang dan bermusuhan
(Mutadin, 2002).
2) Faktor psikologis
Setiap manusia akan mengekspresikan diri sesuai dengan usia
perkembangannya. Contohnya seperti bayi dan toddler yang
mengekspresikan dirinya dengan suara keras dan intens. Ketika anak
tumbuh dewasa diharapkan dapat mengembangkan kontrol implusnya
(kemampuan untuk menunda terpenuhinya keinginan) dan perilaku
yang tepat secara sosial. Kegagalan dalam mengembangkan kualitas
tersebut dapat menyebabkan individu yang impulsive, mudah frustasi,
dan rentan terhadap perilaku agresif (Videbeck, 2008).
Psikologis individu dalam kenyataan juga memiliki peranan
untuk memunculkan perilaku agresif. Hal ini remaja dalam fasenya,
mereka seringkali mengalami gangguan psikis (misalnya tersinggung)
sehubungan dengan perkembangan pribadi yang semakin pesat, karena
menghadapi berbagai hal yang dapat menjadikan hambatan baginya.
Akibatnya, ini akan menjadi salah satu penyebab yang mendukung
terjadinya perilaku agresif. Kondisi ini diantaranya adalah frustasi dan
marah (Mutadin, 2002).
Frustrasi terjadi bila seseorang terhalang oleh sesuatu hal dalam
mencapai suatu tujuan, kebutuhan, keinginan, pengharapan atau
tindakan tertentu. Akibat frustasi, individu cenderung akan
lebih sensitif, menjadi mudah marah, dan berperilaku agresif
(Mutadin).
Marah menurut Davidoff (1991 dalam Mutadin) merupakan
emosi yang memiliki ciri-ciri aktifitas sistem saraf parasimpatik yang
tinggi dan adanya perasaan tidak suka yang sangat kuat yang biasanya
disebabkan karena adanya kesalahan, yang ternyata salah atau juga
tidak. Pada saat marah ada perasaan ingin menyerang, meninju,
menghancurkan atau melempar sesuatu dan biasanya timbul pikiran
yang kejam. Bila hal-hal tersebut disalurkan maka terjadilah perilaku
agresif (Mutadin)
3) Faktor situasional
Faktor situasional merupakan stimulus yang muncul pada situasi
tertentu yang mengarahkan perhatian individu kearah agresi sebagai
respon potensial. Faktor-faktor ini diantaranya adalah alkohol dan
temperatur/suhu (Krahe, 2005).
Alkohol memberikan pengaruh perilaku agresif untuk
situasi-situasi tertentu pada individu. Ada berbagai temuan yang menyatakan
bahwa alkohol memperlihatkan memainkan peranan penting dalam
praktik kriminalitas dengan kekerasan, termasuk pembunuhan.
Alkohol juga telah ditengarai sebagai faktor sentral dalam berbagai
macam agresif kelompok (kolektif), seperti agresif huru-hara maupun
agresif geng (vandalisne) (Krahe).
Suhu (temperatur) adalah keadaan cuaca di suatu wilayah
lingkungan yang tinggi memiliki dampak terhadap tingkah laku sosial,
berupa peningkatan agresifitas (Mutadin).
Anderson et al (1997) menyatakan bahwa temperature tinggi
yang tidak nyaman meningkatkan motif maupun perilaku agresif
(Krahe). Hal ini sesuai dengan laporan dari US Riot Comission pada
tahun 1968 bahwa dalam musim panas rangkaian kerusuhan dan
agresifitas massa lebih banyak terjadi di Amerika Serikat dibanding
dengan musim-musim lainnya (Fisher et al , 1992 dalam Mutadin).
4) Faktor sosial
Berbagai kondisi sosial yang merugikan ditelaah sebagai
penyebab potensial timbulnya tingkah laku agresif pada individu
(Krahe, 2005). Termasuk faktor sosial sebagai berikut:
a. Keluarga
Keluarga yang mendasari segala segi perkembangan pribadi
seorang anak. Pengaruh-pengaruh orang yang tinggal di sekeliling
sangat berpengaruh terhadap perkembangan remaja, apakah hal itu
memberi pengaruh baik ataupun buruk (Tambunan, 1997).
Diantaranya pengaruh-pengaruh tersebut adalah kondisi-kondisi,
seperti (Monks et al, 2004):
a) Kemiskinan dan jumlah anggota keluarga yang lebih besar.
b) Kenakalan yang terdapat di lingkungan rumah tangga diantara
c) Rumah tangga yang berantakan karena kematian salah seorang
dari orang tua, perpisahan ibu dan ayah, perceraian atau karena
melarikan diri dari rumah.
d) Kurangnya keamanan jiwa disebabkan orang tua yang terus
bertengkar dan kurangnya stabilitas emosi.
e) Tidak terdapatnya penyesuaian pendidikan, disiplin, dan tujuan
hidup yang dicita-citakan oleh orang tua untuk anaknya.
f) Orang tua yang tidak menaruh perhatian terhadap anak, tidak
sempat menanamkan kasih sayang dan tidak pula dapat
menyatakan penghargaan atas prestasi yang diperoleh anak di
sekolah yang merupakan salah satu bentuk dari verbal abuse.
Dalam teori sosial Behrman et al (2000) menyatakan bahwa
salah satu yang mengakibatkan peningkatan agresif pada anak dan
remaja adalah hilangnya pola keluarga tradisional dalam
pemeliharaan anak dalam sistem kekeluargaan. Adanya persepsi
tentang perbedaan atau jurang pemisah (generation gap) antara
anak dengan orang tuanya memang tidak dapat dipungkiri masih
banyak melekat dibenak orang tua yang merasa bahwa segala
aturan yang mereka tetapkan meski dipatuhi dan ditaati
anak-anaknya dan demi kebaikan anak-anak-anaknya kelak di kemudian hari
(Mutadin, 2002).
Hal ini pun karena kekurangsesuaian antara keinginan anak
dan orang tua seringkali berakibat terhadap bentuk hubungan
menyambungnya atau bahkan tidak jarang malah menimbulkan
pertengkaran dari kedua pihak. Kegagalan komunikasi orang tua
dan anak diyakini sebagai salah satu penyebab timbulnya perilaku
agresif pada anak (Gunarsa, 2003).
b. Masyarakat
Setiap orang sangat akrab dengan lingkungan masyarakat
dimana ia bertempat tinggal. Anak remaja sebagai anggota
masyarakat selalu mendapat pengaruh masyarakat dan
lingkungannya baik secara langsung maupun tidak langsung.
Pengaruh dominan adalah perubahan sosial kehidupan masyarakat
yang ditandai dengan peristiwa-peristiwa yang sering
menimbulkan ketegangan, seperti revolusi, ketidakpuasan
pekerjaan, persaingan dalam perekonomian, terjadinya
diskriminasi, korupsi, pengangguran, mass media (missal
pornografi, pornoaksi), fasilitas rekreasi (seperti play station), dan
penyelenggaraan klub-klub malam, seperti diskotik (Krahe, 2005
dan Videbeck, 2008).
Dalam teori sosialnya, Behrman et all (2000) menyatakan
bahwa pergaulan modern, rusaknya nilai kegotongroyongan secara
umum, dan kelainan sosial baik pada individu maupun kelompok
besar dapat mengakibatkan peningkatan agresif pada anak dan
remaja.
Menurut Anantasari (2006) perilaku agresif tidak hanya timbul
lingkungan rumahnya, tetapi juga karena seseorang menjadi korban
kekerasan dari salah satu atau bahkan kedua orang tuanya. Beliau juga
menjelaskan proses dari perilaku agresif, yaitu:
1) Anak meniru perilaku agresif yang dilihatnya, atau adanya imitasi. Hal
ini terjadi karena seorang anak memiliki kecenderungan yang besar
sekali untuk meniru.
2) Pembentukkan kerangka pikir anak bahwa perilaku agresif adalah hal
yang lumrah bahkan perlu dilakukan. Hal ini terjadi ketika orang tua
sering memaki, sehingga anak cenderung menganggap makian sebagai
hal yang lumrah dan melakukan hal yang sama kepada orang lain.
3) Kekerasan yang dilihat atau dialami anak secara terus-menerus akan
membentuk pola pikir pada anak bahwa lingkungan sekitarnya
bukanlah tempat yang aman baginya. Sehingga anak ini akan
cenderung curiga dan menyebabkan timbulnya perilaku agresif.
4) Anak yang mengalami kekerasan terus-menerus cenderung memiliki
harga diri rendah. Harga diri rendah menimbulkan sikap negatif dan
mengurangi koping saat frustasi. Hal ini yang akan meningkatkan
kecenderungan berperilaku agresif pada anak.
3. Dampak perilaku agresif
Dampak utama dari perilaku agresif adalah anak tidak mampu
berteman dengan teman sebaya atau lingkungan. Padahal dengan hal ini,
perilaku agresif akan semakin ditampilkan karena mereka tidak dapat
dalam Maryanti, 2012) perilaku agresif akan berpengaruh terhadap dirinya
sendiri ataupun orang lain, seperti:
1) Dampak bagi dirinya sendiri yaitu akan dijauhi oleh teman-temannya
dan memiliki konsep diri yang buruk, anak akan dicap sebagai anak
yang nakal sehingga membuatnya merasa kurang aman dan kurang
bahagia.
2) Dampak bagi orang lain (lingkungan), yaitu dapat menimbulkan
ketakutan bagi anak-anak lain dan akan tercipta hubungan sosial yang
kurang sehat dengan teman-teman sebayanya. Selain itu, dapat
mengganggu ketenangan lingkungan karena biasanya anak yang
berperilaku agresif memiliki kecenderungan untuk merusak sesuatu
yang disekitarnya.
4. Bentuk perilaku agresif
Beberapa bentuk perilaku agresif dalam hal ini, diantaranya adalah
sebagai berikut:
1) Agresif di ruang publik
a. Bullying
Bullying merupakan suatu tindakan yang melibatkan
kekuatan dan kekuasaan yang tidak seimbang, sehingga korbannya
berada dalam keadaan tidak mampu mempertahankan diri secara
efektif untuk melawan tindakan negatif yang diterimanya.
Tindakan ini bisa berupa mengganggu, melecehkan, merendahkan,
Olweus (1994 dalam Krahe) berpendapat bahwa seseorang
dianggap menjadi korban bullying, bila ia dihadapkan pada
tindakan negatif seseorang atau lebih, yang dilakukan
berulang-ulang dan terjadi dari waktu ke waktu. Bullying biasanya terjadi
secara berkelanjutan selama jangka waktu cukup lama, sehingga
korbanya terus-menerus berada dalam keadaan cemas dan
terintimidasi.
Bullying dapat berbentuk tindakan langsung maupun tidak
langsung. Bullying langsung mencakup pelecehan fisik terhadap
korbannya, sementara bullying tidak langsung terdiri atas berbagai
strategi yang menyebabkan targetnya terasing dan terkucil secara
sosial (Krahe, 2005).
b. Agresif kolektif
Agresif kolektif merupakan tindakan yang mencakup
berbagai macam bentuk perilaku agresif yang dilakukan kelompok
atau individu sebagi bagian kelompok. Agresif kolektif seringkali
diarahkan pada kelompok lain dan bukan pada sasaran individual.
Bentuk-bentuk agresif kolektif diantaranya adalah aksi huru-hara
dan kekerasan geng (Krahe).
Aksi huru-hara (rioting) didefinisikan sebagai tindakan
kolektif bermusuhan yang dilakukan kelompok yang terdiri atas 50
orang atau lebih, yang menyerang orang secara fisik atau memaksa
Geng adalah sebuah kelompok sebaya dengan rerata umur
sama, yang memamerkan permanentasi tertentu, terlibat dalam
kegiatan kriminal dan memiliki representasi keanggotaan simbolis
tertentu. Kekerasan geng ini biasa diwujudkan dengan membuat
keonaran-keonaran yang dapat mengganggu keadaan sekitar seperti
pemukulan terhadap seseorang tanpa suatu alasan yang jelas dan
biasanya terjadi secara tiba-tiba, pemerasan, perusakan fasilitas
baik itu milik umum maupun perseorang/individual dan berbagai
keonaran lainnya (Krahe, 2005).
c. Pembunuhan
Pembunuhan adalah tindakan agresif hingga merenggut
nyawa orang lain atau menyebabkan kematian si korban. Tindakan
ini tergolong paling ekstrim dibanding bentuk-bentuk agresif lain.
Perbuatan ini misalnya dengan menembak, memanah atau
menusuk dan motif lainnya hingga menyebabkan terbunuhnya si
korban (Sudarsono, 2004)
2) Agresif seksual
Agresif seksual merupakan suatu tindakan meliputi berbagai
kegiatan seksual yang dipaksakan, termasuk hubungan seksual, seks
oral, mencium, petting dan penggunaan berbagai strategi koersif,
seperti ancaman atau penggunaan berbagai strategi koersif, seperti
ancaman atau penggunaan kekuatan fisik, mengeksploitasi
ketidakmampuan korban untuk menolak atau menekan secara verbal
Belknap et al (1999 dalam Krahe) menyatakan bahwa agresif
seksual berarti juga memasukkan perhatian yang tidak dikehendaki,
misalnya dalam bentuk pelecehan seksual, stalking (memperlihatkan
penis yang ereksi) ataupun telepon cabul (Krahe).
C. Verbal Abuse
1. Definisi verbal abuse
Verbal abuse atau lebih dikenal dengan kekerasan verbal merupakan
“kekerasan terhadap perasaan”. Memuntahkan kata-kata kasar tanpa
menyentuh fisik, kata-kata yang memfitnah, kata-kata yang mengancam,
menakutkan, menghina atau membesar-besarkan kesalahan orang lain
merupakan kekerasan verbal (Sutikno, 2010).
Kekerasan verbal biasanya terjadi ketika ibu sedang sibuk dan
anaknya meminta perhatian namun si ibu malah menyuruh anaknya untuk
“diam” atau “jangan menangis” bahkan dapat mengeluarkan kata-kata
“kamu bodoh”, “kamu cerewet”, “kamu kurang ajar”, “kamu menyebalkan”, atau yang lainnya. Kata-kata seperti itulah yang dapat
diingat oleh sang anak, bila dilakukan secara berlangsung oleh ibu
(Rakhmat, 2007). Tidak hanya seorang ibu yang bisa melakukan verbal
abuse, seorang ayah pun bisa melakukan verbal abuse ketika ia merasa
kesal. “Anak jadah, pakai kuping mu untuk mendengarkan nasihat orang
tua. Muak aku melihat perangai mu itu…” adalah contoh verbal abuse
ketika seorang ayah merasa kesal karena nasihatnya tidak didengarkan
2. Karakteristik verbal abuse
Anderson (2011) membagi karakteristik dari verbal abuse menjadi
tujuh, yaitu:
1) Verbal abuse sangat menyakitkan dan selalu mencela sifat dan
kemampuan.
2) Verbal abuse dapat bersifat terbuka seperti luapan kemarahan atau
memanggil nama dengan sebutan tidak baik dan tertutup seperti
ungkapan atau komentar tajam yang menyakiti hati korban.
3) Verbal abuse merupakan manipulasi dan mengontrol. Komentar yang
merendahkan mungkin terdengar sangat jujur dan mengenai sasaran.
Tetapi tujuannya adalah untuk memanipulasi dan mengontrol.
4) Verbal abuse merupakan perlakuan jahat secara diam-diam. Verbal
abuse menyusutkan rasa percaya diri seseorang.
5) Verbal abuse tidak dapat diprediksikan. Pada kenyataannya, tidak
dapat diprediksikan merupakan satu dari beberapa karakteristik verbal
abuse yang sangat signifikan. Hal ini dapat melalui mencaci maki,
merendahkan, dan komentar yang menyakitkan.
6) Verbal abuse mengekspresikan pesan ganda. Tidak ada kesesuaian
antara tujuan dari ucapan kasar dan bagaimana perasaannya. Sebagai
contoh, mungkin terdengar sangat jujur dan baik ketika mengucapkan
apa yang salah dengan seseorang.
7) Verbal abuse selalu meningkat sedikit demi sedikit, meningkat dalam
intensitasnya, frekuensi, dan jenisnya. Verbal abuse mungkin dimulai
3. Bentuk verbal abuse
Sutikno (2010) menjelaskan bahwa bentuk dari verbal abuse itu
merupakan kata-kata yang memfitnah, kata-kata yang mengancam,
menakutkan, menghina atau membesar-besarkan kesalahan orang lain.
Bahkan Rahmat (2007) menambahkan bahwa ancaman atau intimidasi,
merusak hak dan perlindungan korban, menjatuhkan mental korban,
perkataan yang menyakitkan dan melecehkan, atau memaki-maki dan
berteriak-teriak keras juga sudah dikategorikan sebagai bentuk kekerasan
yang bersifat verbal.
Christianti (2008) lebih memerinci bentuk dari verbal abuse adalah
sebagai berikut:
1) Tidak sayang dan dingin
Tindakan tidak sayang dan dingin ini berupa misalnya: menunjukan
sedikit atau tidak sama sekali rasa sayang kepada anak (seperti
pelukan), dan kata-kata sayang.
2) Intimidasi
Tindakan intimidasi bisa berupa : berteriak, menjerit, mengancam
anak, dan menggertak anak.
3) Mengecilkan atau mempermalukan anak
Tindakan mengecilkan atau mempermalukan anak dapat berupa
seperti: merendahkan anak, mencela nama, membuat perbedaan negatif
antar anak, menyatakan bahwa anak tidak baik, tidak berharga, jelek
4) Kebiasaan mencela anak
Tindakan mencela anak bisa dicontohkan seperti: mengatakan bahwa
semua yang terjadi adalah kesalahan anak.
5) Tidak mengindahkan atau menolak anak
Tindakan tidak mengindahkan atau menolak anak bisa berupa: tidak
memperhatikan anak, memberi respon dingin, tidak peduli dengan
anak.
6) Hukuman ekstrim
Tindakan hukuman ekstrim bisa berupa: mengurung anak dalam kamar
mandi, mengurung dalam kamar gelap. Mengikat anak di kursi untuk
waktu lama dan meneror.
4. Akibat verbal abuse
Soetjiningsih (2007) beranggapan bahwa kekerasan yang dialami
oleh anak secara umum dapat berdampak pada fisik dan psikologis dengan
berbagai intensitas berat dan ringannya. Lebih spesifik lagi Wicaksana
(2008) mempertegas bahwa akibat dari tindakan verbal abuse yaitu
terhadap perkembangan psikis dan emosional lebih berat. Verbal abuse
sangat berpengaruh pada anak terutama perkembangan psikologisnya,
berikut merupakan dampak-dampak psikologis akibat kekerasan verbal
menurut Soetjiningsih (1999 dan 2007), diantaranya yaitu:
1) Gangguan emosi
Terdapat beberapa gangguan emosi pada korban kekerasan orang tua,
seperti terhambatnya perkembangan konsep diri yang positif, lambat
sosial dengan orang lain, termasuk kemampuan untuk percaya diri.
Dapat pula terjadi pseudomaturitas emosi. Beberapa anak menjadi
agresif atau bermusuhan dengan orang dewasa, sedang yang lainnya
menjadi menarik diri/menjauhi pergaulan. Anak suka ngompol,
hiperaktif, perilaku aneh, kesulitan belajar, gagal sekolah, sulit tidur,
temper tantrum, dan sebagainya.
2) Konsep diri rendah
Anak yang mendapat perlakuan salah merasa dirinya jelek, tidak
dicintai, tidak dikehendaki, muram dan tidak bahagia, dan tidak
mampu menyenangi aktifitas.
3) Agresif
Anak yang mendapat perlakuan salah lebih agresif terhadap teman
sebayanya. Sering tindakan agresif tersebut meniru tindakan orang tua
mereka atau mengalihkan perasaan agresif kepada teman sebayanya
sebagai hasil miskinnya konsep diri. Hal serupa dinyatakan pula oleh
Anantasari (2006) kekerasan yang dialami oleh anak, baik secara
langsung maupun tidak, cenderung mendorong munculnya kekerasan
atau perilaku agresif oleh anak.
4) Hubungan sosial
Pada anak-anak dengan gangguan hubungan sosial sering kurang dapat
bergaul dengan teman sebayanya atau dengan orang-orang dewasa.
Mereka mempunyai teman sedikit dan suka menganggu orang dewasa,
lainnnya. Menurut Rakhmat (2007) dapat pula timbul kepribadian
sociopath atau antisocial personality disorder.
Penyebab utama dari kepribadian ini adalah emotional child abuse
yang dalam bentuk umumnya sering disebut juga dengan verbal abuse.
Perilaku ini dapat terlihat dengan sering bolos, mencuri, bohong,
bergaul dengan orang jahat, kejam pada binatang, dan prestasi sekolah
yang buruk.
5) Bunuh diri
Menurut Soetjiningsih (2007) tindak kekerasan pada anak akan
menyebabkan stres mental yang dialami oleh remaja. Stres mental ini
apabila tidak tertangani maka akan berkembang menjadi percobaan
bunuh diri sehingga akan menyebabkan perilaku bunuh diri oleh
remaja.
6) Akibat lain
Akibat lain dari perlakuan salah menurut Soetjiningsih, anak akan
melakukan hal sama dikemudian hari terhadap anak-anaknya kelak.
Hal ini dipertegas oleh Rakmat (2007) bahwa semua tindakan
kekerasan kepada anak-anak akan direkam dalam bawah sadar dan
akan di bawa hingga dewasa dan cenderung akan menjadi agresif.
Bahkan setelah mereka menjadi orang tua sifat tersebut masih melekat
dan mereka melakukan hal yang sama kepada anak mereka sehingga