• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan antara Verbal Abuse Orang Tua dengan Perilaku Agresif pada Remaja Agresif di Sekolah Menengah Pertama Negeri 129 Jakarta Tahun 2012

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan antara Verbal Abuse Orang Tua dengan Perilaku Agresif pada Remaja Agresif di Sekolah Menengah Pertama Negeri 129 Jakarta Tahun 2012"

Copied!
130
0
0

Teks penuh

(1)

AGRESIF DI SEKOLAH MENENGAH PERTAMA

NEGERI 129 JAKARTA TAHUN 2012

Skripsi Diajukan Sebagai Tugas Akhir Strata-1 (S-1) pada

Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan (S.Kep)

Oleh:

Sri Kuspartianingsih

108104000016

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

vi

RIWAYAT HIDUP

Nama : Sri Kuspartianingsih

Tempat Tanggal Lahir : Jakarta, 10 September 1989

Agama : Islam

Status : Belum Menikah

Alamat : Kp. Lanji No.244 RT 05/06, Papanggo, Tanjung Priuk,

Jakarta Utara, DKI Jakarta

Telepon : 085780087807

E-mail : ningzmbuy@gmail.com / nsndr@ymail.com

Riwayat Pendidikan :

1. TK Latihan Negeri Papanggo (1994-1995)

2. SDN Papanggo 01 (1995-2001)

3. SLTPN 129 Jakarta (2001-2004)

4. SMAN 80 Jakarta (2004-2007)

5. S1 Keperawatan (Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta) (2008-2012)

Pengalaman Organisasi:

1. Rohani Islam (ROHIS) sebagai Pengurus Harian Besar Islam (2005 – 2006)

(7)

vii

3. BEM Jurusan Program Studi Ilmu Keperawatan sebagai anggota Departemen Kajian dan Stategi (2008 – 2010)

4. BEM Jurusan Program Studi Ilmu Keperawatan sebagai anggota Departemen Kemahasiswaan (2010 – 2012)

Pengalaman Pelatihan, Seminar, dan Workshop:

1. Pelatihan “Eksplorasi Potensi Diri Islami” Tahun 2008

2. Pelatihan Sirkumsisi “Menumbuhkan Insan Cita yang Terampil dan Peduli

Masyarakat” Tahun 2009

3. Pelatihan “Basic Wound Closure Course” Tahun 2009

4. Seminar Kesehatan “The Power of Herbal” Tahun 2009

5. Dialog Interaktif “Polemik Imunisasi di Indonesia” Tahun 2009

6. Seminar Keperawatan ““Cultural Approach in Holistic Nursing Care in

Globalization Era”Tahun 2009

7. Seminar Kesehatan “Perawatan Pasien Hipertensi dan Diabetes di Rumah” Tahun 2010

8. Seminar Profesi ”Keperawatan Islami, Penerapan dalam Praktek dan

Kurikulum Pendidikan Perawat di Indonesia” Tahun 2010

9. Sertifikat Simposium Nasional “Perspektif Islam dalam Membangun Karakter Bangsa pada Era Milenium Kesehatan” Tahun 2010

10.Pelatihan Kepemimpinan dan Manajerial Mahasiswa Nasional V ILMIKI

“The Leader of Ability, Revolusionist, Excellent, Morality, and Authority to be Great Organization” Tahun 2010

11.Seminar Nasional Keperawatan “Geriatric Care sebagai Upaya Optimalisasi

Kebutuhan Lansia di Indonesia” Tahun 2010

12.Pelatihan Nursing Camp “Memaksimalkan Peran Organisasi Keperawatan

dalam Menghadapi Tantangan Global” Tahun 2011

13.Workshop Nasional dan Peringatan Hari Perawat Sedunia Tahun 2011

14.Seminar Nasional “Uji Kompetensi Nasional Meningkatkan Peran dan Mutu

(8)

viii

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

Skripsi, Oktober 2012

Sri Kuspartianingsih, NIM: 108104000016

Hubungan antara Verbal Abuse Orang Tua dengan Perilaku Agresif pada Remaja Agresif di Sekolah Menengah Pertama Negeri 129 Jakarta Tahun 2012

xix + 80 halaman + 7 tabel + 2 bagan + 8 lampiran

ABSTRAK

Verbal abuse merupakan kekerasan berupa kata-kata kasar tanpa menyentuh fisik, seperti kata-kata yang memfitnah, mengancam, menakutkan, dan menghina.

Verbal abuse yang dilakukan orang tua dapat menimbulkan masalah perilaku pada remaja termasuk perilaku agresif bahkan cenderung berkembang hingga dewasa. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara verbal abuse orang tua dengan perilaku agresif pada remaja di SMPN 129 Jakarta. Jenis penelitian adalah kuantitatif dengan pendekatan cross sectional yang dilakukan pada 43 orang remaja dengan usia 12-14 tahun di SMPN 129 Jakarta yang dilaksanakan pada bulan Juni 2012. Instrumen penelitian ini berupa self report questionnaire yang terdiri dari kuesioner perilaku verbal abuse orang tua dan kuesioner perilaku agresif remaja. Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk perilaku agresif didapatkan data 100% responden berperilaku agresif dari ringan hingga berat dan 79,1% menerima verbal abuse dari orang tuanya. Hasil uji statistik menggunakan uji chi square dengan α=0,05 diperoleh hasil bahwa ada hubungan yang signifikan antara verbal abuse yang dilakukan oleh orang tua dengan perilaku agresif remaja di SMPN 129 Jakarta (p value=0,024). Hasil dari penelitian ini memperkuat konsep tentang dampak verbal abuse yang dilakukan orang tua terhadap faktor predisposisi terjadinya perilaku agresif pada remaja. Sehingga diperlukan upaya dari sekolah untuk mengatasi perilaku agresif pada siswa khususnya yang mempunyai pengalaman verbal abuse dari orang tuanya seperti melakukan pendekatan konseling atau meningkatkan kerja sama antara guru BP dengan siswa dan pendekatan langsung kepada orang tua mereka.

Kata kunci: Verbal Abuse, Perilaku Agresif, Remaja

(9)

ix

FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCE

SCHOOL OF NURSING

ISLAMIC STATE UNIVERSITY (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

Undergraduates Thesis, October 2012

Sri Kuspartianingsih, NIM: 108104000016

Relationship between Verbal Abuse by Parents with Aggressive Behavior of Aggressive Adolescents in Sekolah Menengah Pertama Negeri 129 Jakarta Year 2012

xix + 80 pages + 7 tables + 2 charts + 8 attachments

ABSTRACT

Verbal abuse is a form of violence rant without physical contact, as words are slandering, threatening, intimidating, and insulting. Verbal abuse from the parents can cause behavioral problems in adolescents, including aggressive behavior and even tend to grow into adulthood. The aim of this research was to know the relation between verbal abuse by parents with aggressive behavior in adolescents in SMPN 129 Jakarta. This type of research is a quantitative approach with cross-sectional taken in 43 adolescents aged 12-14 years at SMP 129 Jakarta, that was conducted in June 2012. This research instrument is self-report questionnaire consisting of parental verbal abuse questionnaires and adolescent aggressive behavior questionnaires. The results showed that for the aggressive behavior of the data obtained 100% of respondents aggressive behavior from mild to severe, and 79.1% received verbal abuse from parents. Result of statistical test using chi square with and α=0,05 obtained that there were significant relationship between verbal abuse by parents with adolescent aggressive behavior in SMPN 129 Jakarta (p value = 0.024). The results of this study reinforce the concept of the impact of verbal abuse from the parents as the predisposition factors of aggressive behavior in adolescents. So that the necessary efforts of the school to overcome students' with aggressive behavior in especially who have experience of verbal abuse from his parents as counseling approach or improve cooperation between the student and the counselor direct approach to their parents.

(10)

x

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr.wb

Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur penyusun panjatkan kepada

Allah SWT yang telah memberikan segala nikmat dan karunia-Nya kepada

penyusun, sehingga penyusun dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

Hubungan antara Verbal Abuse Orang Tua dengan Perilaku Agresif pada Remaja

Agresif di Sekolah Menengah Pertama Negeri 129 Jakarta Tahun 2012.

Skripsi ini tentunya tidak akan selesai, tanpa bantuan dari berbagai pihak.

Oleh karena itu, penyusun mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. dr. (hc). M.K. Tadjudin, Sp.And selaku Dekan Fakultas Kedokteran

dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Ns. Waras Budi Utomo, S.Kep, M.KM selaku Ketua Program Studi

Ilmu Keperawatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan pembimbing

akademik yang selalu memberikan masukan, pengarahan, perhatian, dan

semangat kepada penyusun.

3. Ibu Ns. Eni Nuraini Agustini, S.Kep, M.Sc selaku Sekertaris Program Studi

Ilmu Keperawatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan dosen pembimbing I,

yang telah memberikan pengarahan, perhatian, bimbingan, dan semangat

kepada penyusun, serta kesabarannya dalam membimbing.

4. Ibu Yuli Amran, S.KM, M.KM selaku dosen pembimbing II, yang telah

memberikan pengarahan, perhatian, bimbingan dan semangat kepada

(11)

xi

5. Bapak dan Mama tercinta yang selalu memberikan kasih sayang yang tiada

henti, doa disetiap langkah anaknya, dan pengorbanan yang luar biasa serta

tulus sehingga semua terasa lebih ringan.

6. Adik-adikku tercinta Nur Dwi Lestari dan Alwi Muhammad Tegar yang selalu

membantu dalam proses penelitian, teman setia, dan doa yang tiada pernah

berhenti.

7. Sahabat-sahabat tercinta d’9 (Kiki, Ovi, Piah, Selly, Sri, Ifat, Ika, Ecil), Shela,

Rini, Kiki, dan Desi atas kasih sayang, semangat, motivasi, dan selalu

menemani dalam setiap langkah untuk meraih gelar S.Kep ini.

8. Teman spesial ku Ns. Ady Irawan AM, S.Kep yang selalu memberikan

semangat dan masukannya disetiap saat sehingga membuat kisah tersendiri

dalam hidup.

9. Seluruh staf pengajar dan karyawan Program Studi Ilmu Keperawatan UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu dan bantuannya

kepada penyusun.

10.Teman-teman PSIK 2008 yang telah memberikan masukan dan semangat

kepada penyusun.

11.Teman-teman, adik-adik, dan kakak-kakak BEMJ Ilmu Keperawatan yang

memberi pelajaran yang tidak didapatkan di bangku akademik yang telah

menjadikan pribadi penyusun menjadi pribadi yang lebih baik.

12.Semua pihak yang tidak dapat penyusun sebutkan satu persatu yang telah

(12)

xii

Penyusun menyadari dalam pembuatan skripsi ini masih banyak

kekurangan. Oleh karena itu, penyusun mengharapkan saran dari berbagai pihak.

Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca dan penyusun khususnya.

Wasalamu’alaikum wr.wb

Ciputat, 9 Oktober 2012

(13)

xiii DAFTAR ISI

Halaman Judul ... i

Lembar Persetujuan ... ii

Lembar Pengesahan ... iii

Lembar Pernyataan ... v

Riwayat Hidup ... vi

Abstrak ... viii

Abstract ... ix

Kata Pengantar ... x

Daftar Isi ... xiii

Daftar Tabel ... xvii

Daftar Gambar dan Bagan ... xviii

Daftar Lampiran ...xix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Pertanyaan Penelitian ... 7

D. Tujuan Penelitian ... 7

1. Tujuan Umum ... 7

2. Tujuan Khusus ... 7

E. Manfaat Penelitian ... 8

F. Ruang Lingkup Penelitian ... 8

(14)

xiv

A.Remaja ... 9

1. Definisi remaja ... 9

2. Klasifikasi remaja ... 9

3. Ciri-ciri remaja ... 10

4. Tugas perkembangan remaja ... 13

5. Masalah pada remaja ... 14

B.Perilaku Agresif ... 19

1. Definisi perilaku agresif ... 19

2. Penyebab perilaku agresif ... 19

3. Dampak perilaku agresif ... 27

4. Bentuk perilaku agresif ... 28

C.Verbal Abuse ... 31

1. Definisi verbal abuse ... 31

2. Karakteristik verbal abuse ... 32

3. Bentuk verbal abuse ... 33

4. Akibat verbal abuse ... 34

5. Faktor yang mempengaruhi orang tua melakukan verbal abuse ... 37

D. Penelitian Terkait ... 40

E.Kerangka Teori ... 41

BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ... 42

A.Kerangka Konsep ... 42

B.Hipotesis ... 43

(15)

xv

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN ... 46

A.Desain Penelitian ... 46

B.Lokasi penelitian ... 46

1. Tempat ... 46

2. Waktu ... 46

C.Populasi dan Sampel ... 47

1. Populasi ... 47

2. Sampel ... 47

D.Instrumen Penelitian ... 48

E.Uji Validitas Dan Reliabilitas ... 52

1. Uji validitas... 52

2. Uji reliabilitas ... 53

F. Pengolahan Data... 54

G.Analisis Data ... 55

H.Etika Penelitian ... 57

BAB V HASIL PENELITIAN ... 58

A.Gambaran Umum Daerah Penelitian ... 58

B.Karakteristik Responden ... 59

1. Umur ... 59

2. Jenis Kelamin ... 60

3. Kelas ... 60

C.Analisa Univariat ... 61

1. Verbal abuse orang tua... 61

(16)

xvi

D.Analisa Bivariat ... 62

BAB VI PEMBAHASAN ... 65

A.Analisa Univariat ... 65

1. Gambaran karakteristik responden di SMPN 129 Jakarta ... 65

2. Gambaran verbal abuse orang tua di SMPN 129 Jakarta ... 66

3. Gambaran perilaku agresif remaja di SMPN 129 Jakarta ... 70

B.Analisa Bivariat ... 74

C.Keterbatasan Peneliti ... 76

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN ... 78

A.Kesimpulan ... 78

1. Perilaku verbal abuse orang tua ... 78

2. Perilaku agresif remaja ... 78

3. Hubungan antara verbal abuse orang tua dengan perilaku agresif pada remaja ... 79

B.Saran ... 79

1. Bagi sekolah ( SMPN 129 Jakarta) ... 79

2. Bagi institusi perawat ... 80

3. Bagi peneliti lain ... 80

DAFTAR PUSTAKA

(17)

xvii

DAFTAR TABEL

1. Tabel 3.1 Definisi Operasional ... 44

2. Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur ... 59

3. Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ... 60

4. Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kelas ... 60

5. Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Verbal Abuse Orang Tua Siswa SMPN 129 Jakarta Tahun 2012 ... 61

6. Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi Responden Lansia Berdasarkan Status Pendidikan Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Perilaku Agresif Remaja di SMPN 129 Jakarta Tahun 2012 ... 62

(18)

xviii

DAFTAR GAMBAR DAN BAGAN

1. Bagan 2.1 Kerangka Teori ... 41

(19)

xix

DAFTAR LAMPIRAN

1. Lampiran 1 Lembar Persetujuan Responden dan Kuesioner Penelitian

2. Lampiran 2 R Tabel, Hasil Uji Validitas dan Reabilitas

3. Lampiran 3 Hasil Penelitian

4. Lampiran 4 Surat Ijin Studi Pendahuluan

5. Lampiran 5 Surat Ijin Uji Validitas

(20)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Fenomena yang terjadi belakangan ini sering sekali memprihatinkan

terutama masalah tindak kekerasan yang sering dilakukan oleh orang tua

kepada anaknya. Hal ini dibuktikan pada data dari pengaduan langsung ke

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada tahun 2008 ada 580 kasus

dan pada tahun 2009 ada 595 kasus, sekitar 2,59% peningkatan yang terjadi,

dan hal itu belum termasuk laporan melalui e-mail dan telepon (KPAI, 2010).

Ditambah lagi laporan melalui hotline service Komisi Nasional Perlindung

Anak (Komnaspa) yang berupa pengaduan langsung, telepon, surat-menyurat

maupun email, mengalami peningkatan sebesar 98% dari tahun 2010 yang

hanya 1.234 kasus meningkat hingga 2.386 kasus pada tahun 2011

(Komnaspa, 2011).

Kekerasan pada anak yang disebut juga child abuse merupakan bentuk

perlakuan kekerasan terhadap anak-anak. Segala jenis tindak kekerasan pada

anak merupakan tindakan yang merenggut semua hak anak (Hamid, 2008).

Lawson (2006 dalam Rakhmat, 2007), mengelompokkan kekerasan pada anak

menjadi empat, yaitu emotional abuse, verbal abuse, physical abuse, dan

sexual abuse. Apabila seorang anak mendapatkan salah satu saja dari keempat

kekerasan itu yang dilakukan secara terus-menerus maka dapat dipastikan

(21)

dibayangkan apabila anak tersebut mendapatkan keempat dari jenis kekerasan

itu (Rakhmat, 2007).

Tindak kekerasan kepada anak-anak akan direkam di bawah alam

sadar mereka, sehingga dapat terbawa hingga dewasa kelak (Sirotnak &

Krugman, 2002). Hal ini diperkuat oleh penelitian Arsih (2010) tentang “studi fenomenologis: verbal abuse” pada remaja dengan subjek empat orang remaja

SMP dengan usia 13-15 tahun yang pernah mendapatkan verbal abuse. Hasil

pada penelitian ini menunjukkan bahwa saat mereka mendapatkan kekerasan

verbal timbul perasaan sedih pada mereka, dendam dan ingin membalas. Hal

itu mengakibatkan respon ingin menghiraukan orang yang melakukan verbal

abuse dan ingin membantah. Ditambah lagi dampak psikis yang timbul yaitu

perasaan kecewa dan sakit hati. Dampak tersebut dapat terus terbawa hingga

mereka dewasa kelak.

Berdasarkan beberapa penelitian psikiatri menunjukkan bahwa verbal

abuse dapat menyebabkan kerusakkan psikis dan emosional yang lebih berat

(Wicaksana, 2008). Hal ini terjadi karena verbal abuse menimbulkan dampak

psikis berupa rasa ketakutan yang terus membayangi. Padahal masa remaja

merupakan periode yang penting, karena dalam perkembangan fisik yang

cepat dan harus disertai dengan perkembangan mental yang baik pula. Apabila

rasa ketakutan yang ditimbulkan akibat verbal abuse terjadi pada remaja,

maka penyesuaian perkembangan mental akan terganggu sehingga dalam

pembentukkan sikap, nilai, dan minat baru pun ikut terganggu (Hurlock,

(22)

dapat diobati, namun pada verbal abuse yang timbul adalah masalah psikis

yang menimbulkan trauma yang sulit untuk dihilangkan (Pratiwi, 2006).

Demikian pula dengan akibat dari verbal abuse yang dapat

menimbulkan problem perilaku yang terjadi pada remaja berupa kecemasan,

depresi, menarik diri dan keluhan somatik, masalah kemampuan

memperhatikan, perilaku agresif dan melawan hukum, dan pada remaja pun

lebih potensial berperilaku merusak diri (Rusmil, 2007). Kekerasan yang

terjadi pada anak di masa kecil memiliki dampak yang lebih kuat dalam

menimbulkan perilaku agresif, terlebih bila orang tua yang melakukannya.

Anak yang menjadi korban kekerasan orang tuanya maka secara otomatis akan

berperilaku agresif juga. Bahkan cenderung mengembangkan perilaku

kekerasan yang dialaminya sampai ia kelak dewasa (Anantasari, 2006).

Demikian juga dengan penelitian Suryaningsih dan Anggraini (2004)

tentang hubungan kekerasan orang tua terhadap anak dengan perilaku agresif

dengan subjek siswa SMP Negeri 2 Ungaran. Dalam penelitian tersebut

didapatkan hasil bahwa semakin tinggi kekerasan orang tua terhadap anak

maka semakin tinggi pula perilaku agresif anak.

Menurut DSM-IV American Psychiatric Association membagi

perilaku agresif terhadap orang lain menjadi enam, yaitu sering mengganggu,

mengancam, atau mengintimidasi orang lain, sering memulai perkelahian

fisik, menggunakan senjata yang dapat membahayakan fisik orang lain,

mengancam orang lain secara fisik, mencuri yang menimbulkan korban,

memaksa orang lain untuk melakukan aktifitas seksual dengannya (Windiani

(23)

Banyak remaja membenarkan perbuatan-perbuatan yang mereka

ketahui sebagai perbuatan yang salah termasuk perilaku agresif. Hal ini

berkaitan dengan beratnya tugas perkembangan remaja yang menuntut

perubahan besar dalam sikap dan pola perilaku anak. Dilain hal, beberapa

remaja yang ingin mandiri, juga ingin dan membutuhkan rasa aman yang

diperoleh dari ketergantungan emosi pada orang tua (Hurlock, 1999).

Pada remaja terjadi proses pembentukkan identitas diri, yang

merupakan proses kompleks, yang membutuhkan kontinuitas dari masa lalu,

sekarang, dan yang akan datang dari kehidupan individu, hal inilah yang akan

membentuk kerangka berpikir untuk mengorganisasikan dan mengintegrasikan

perilaku ke dalam berbagai bidang kehidupan (Marheni, 2007).

Penting bagi seorang perawat untuk memahami landasan teoritis dari

suatu fenomena yang menjadi bidang kajiannya misalnya fenomena

penganiayaan pada anak. Landasan teoritis tersebut digunakan sebagai

kerangka kerja keperawatan tentang anak teraniaya dan terlantar yang

merupakan fenomena multifaktor yang melibatkan orang tua, keluarga,

budaya, anak, dan stress dalam rentang mulai dari yang berperilaku normal

hingga tindak penganiayaan (Milor, 2001 dalam Hamid, 2008).

Dalam penelitian ini peneliti mengambil area penelitian di SMPN 129

Jakarta di Tanjung Priok, karena berdasarkan pengamatan awal oleh peneliti,

menunjukkan walaupun terdapat penurunan angka pelanggaran peraturan tata

tertib sekolah sebanyak 23,49 % dari tahun 2010 hingga 2011, namun jenis

tata tertib yang dilanggar pada tahun 2011 mengalami peningkatan yang

(24)

pemukulan antar teman, bahkan tawuran yang sebelumnya belum pernah

dilakukan oleh siswa SMP tersebut. Jenis- jenis pelanggaran yang berat itulah

yang merupakan perilaku agresif pada siswa SMP yang tergolong masih

remaja. Selain itu dari hasil wawancara awal terhadap sepuluh orang siswa

yang melanggar peraturan dari jenis yang paling ringan seperti terlambat

sekolah hingga yang paling berat yaitu pernah mengikuti tawuran, didapatkan

hasil tujuh orang dari sepuluh orang atau sekitar 70% mengaku pernah

mendapatkan tindakan verbal abuse dari orang tua mereka berupa mencela

anak, mengecilkan anak, dan intimidasi. Bahkan mereka merasakan sakit hati

yang mendalam dan ada beberapa yang sampai ingin membantah, saat

mendapatkan perilaku verbal abuse dari orang tuanya, namun mereka tidak

bisa melakukannya.

Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang didapatkan oleh peneliti dan

ditambah dengan penelitian sebelumnya yang hanya mampu mengungkapkan

hubungan antara verbal abuse terhadap perkembangan psikis seperti penelitian

Arsih (2010) dan pada penelitian Suryaningsih dan Anggraini (2004) yang

hanya mengungkapkan hubungan antara kekerasan orang tua dengan perilaku

agresif. Untuk itu peneliti tertarik melakukan penelitian tentang hubungan

antara verbal abuse dengan perilaku agresif pada remaja di Indonesia.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian masalah yang telah dijelaskan pada latar belakang,

yaitu:

1. Menurut Rakhmat (2007) apabila seorang anak mendapatkan salah satu

(25)

secara terus-menerus maka dapat dipastikan bahwa anak tersebut akan

mengalami gangguan psikologis.

2. Berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Arsih (2010)

pada remaja usia 13 – 14 tahun menunjukkan bahwa anak yang mendapatkan verbal abuse timbul perasaan kecewa dan sakit hati. Hal itu

menimbulkan respon ingin menghiraukan dan ingin membantah.

Kemudian pada penelitian yang dilakukan oleh Suryaningsih dan

Anggarini (2004) pada siswa SMP Negeri 2 Ungaran menunjukkan bahwa

semakin tinggi kekerasan yang dilakukan oleh orang tua maka semakin

tinggi pula perilaku agresif anak tersebut.

3. Menurut Rusmil (2007) akibat dari verbal abuse dapat menimbulkan

problem perilaku berupa kecemasan, depresi, menarik diri dan keluhan

somatik, masalah kemampuan memperhatikan, perilaku agresif dan

melawan hukum.

4. Menurut Hurlock (1999) masa remaja merupakan periode yang penting

karena dalam perkembangan fisik yang cepat harus disertai dengan

perkembangan mental yang baik pula sehingga jika ada rasa ketakutan

yang ditimbulkan akibat verbal abuse maka penyesuaian perkembangan

seorang remaja akan terganggu.

5. Pada studi pendahuluan yang telah dijelaskan di latar belakang, didapatkan

hasil bahwa walaupun terdapat penurunan angka pelanggaran peraturan

tata tertib sekolah sebanyak 23,49% namun jenis tata tertib yang dilanggar

oleh siswa SMP Negeri 129 Jakarta sepanjang tahun 2010 hingga 2011

(26)

antar teman, bahkan tawuran. Selain itu dari hasil wawancara yang

dilakukan oleh peneliti terhadap sepuluh orang siswa yang melanggar

peraturan, didapatkan hasil tujuh orang dari sepuluh orang atau sekitar

70% mengaku pernah mendapatkan tindakan verbal abuse dari orang tua

mereka seperti mencela anak, mengecilkan anak, dan intimidasi.

Dari uraian diatas memperkuat dugaan peneliti bahwa ada hubungan

antara verbal abuse orang tua dengan perilaku agresif siswa yang tergolong

remaja tersebut. Sehingga peneliti tertarik untuk membuktikan secara

signifikan bahwa ada hubungan antara verbal abuse orang tua dengan perilaku

agresif remaja di SMPN129 Jakarta.

C. Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana gambaran bentuk perilaku agresif yang dilakukan oleh remaja?

2. Bagaimana gambaran bentuk verbal abuse yang dilakukan oleh orang tua?

3. Apakah ada hubungan antara verbal abuse yang dilakukan oleh orang tua

dengan perilaku agresif pada anak usia remaja ?

D. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum

Untuk mengetahui hubungan antara verbal abuse orang tua dengan

perilaku agresif pada remaja.

2. Tujuan khusus

a. Mengidentifikasi bentuk perilaku agresif yang dilakukan remaja.

b. Mengidentifikasi bentuk verbal abuse yang dilakukan oleh orang tua.

c. Mengidentifikasi hubungan antara verbal abuse orang tua dengan

(27)

E. Manfaat Penelitian

1. Bagi peneliti

Dengan adanya hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi data dasar

untuk penelitian lebih lanjut yang terkait dengan verbal abuse orang tua

dan perilaku agresif pada remaja pada penelitian berikutnya.

2. Bagi institusi keperawatan

Memberikan informasi dalam mengembangkan terapi modalitas dalam

penanganan perilaku agresif pada remaja.

3. Bagi Sekolah (SMPN129 Jakarta)

Memberikan informasi bagi sekolah yang bersangkutan bahwa salah satu

faktor yang dapat menyebabkan perilaku agresif pada remaja sehingga

sekolah mampu melakukan pendekatan konseling yang tepat.

F. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini mengenai hubungan antara verbal abuse orang tua

dengan perilaku agresif pada remaja. Dalam penelitian ini pembatasannya

mencakup usia, dan remaja yang bersekolah di Sekolah Menengah Pertama

Negri (SMPN) 129 Jakarta. Metode penelitian ini kuantitatif dengan

pendekatan cross sectional. Penelitian ini menggunakan data primer yang

(28)

9

TINJAUAN PUSTAKA

A. Remaja

1. Definisi remaja

Menurut Santrock (2003) Remaja adalah masa transisi dari masa

anak ke masa dewasa dan dalam masa transisi itu remaja menjajaki

alternatif dan mencoba berbagai pilihan sebagai bagian dari perkembangan

identitas. Menurut Wong (2009) remaja merupakan masa transisi dari anak

ke dewasa dimana terjadi perubahan-perubahan biologi, psikologi,

intelektual, dan ekonomi.

Sedangkan menurut Widayatun (2009), masa remaja sering disebut

storm and drunk yaitu masa bergelombang, masa perpindahan dari masa

anak ke masa remaja. Adapun tanda-tanda psikologi dari perkembangan

remaja yaitu, sering merasa gelisah, resah, ada konflik batin dengan orang

tua, minat meluas, tidak menetap, pergaulan, mulai berkelompok tapi

sering ada perasaan asing, mulai mengenal lawan jenis atau pacaran, dan

prestasi/pelajaran sekolah mulai tidak stabil.

2. Klasifikasi remaja

Masa remaja menurut Wong dan Hockenberry (2003) dibagi

menjadi tiga bagian, yaitu:

1) Fase remaja awal (Early adolescent) pada usia 11 – 14 tahun. Remaja dikarakteristikan sebagai awal perubahan pada pubertas dan

(29)

2) Fase remaja pertengahan (Middle adolescent) pada usia 15 – 17 tahun. Remaja dikarakteristikan dengan transisi atau peralihan yang

berorientasi atau lebih dominan terhadap kawan atau pekerjaan rumah

seperti bermusik, cara berpakaian, penampilan, berbahasa, dan

perilaku.

3) Fase remaja akhir (Late adolescent) pada usia 18 – 20 tahun. Remaja dikarakteristikan dengan perubahan atau transisi menuju kedewasaan

untuk dapat peran, mulai bekerja, dan perkembangan hubungan seperti

orang dewasa.

3. Ciri-ciri remaja

Seperti halnya dengan semua periode yang penting selama rentang

kehidupan, masa remaja mempunyai ciri-ciri tertentu yang

membedakannya dengan periode sebelum dan sesudahnya, diantaranya

yaitu (Hurlock, 1999):

1) Masa remaja sebagai periode yang penting

Pada masa remaja terdapat dua perubahan yaitu perubahan fisik dan

psikologis. Kedua perkembang tersebut harus sinergi karena pada masa

awal remaja perkembangan fisik dan perkembang mental terjadi

dengan cepat. Hal-hal itulah yang menimbulkan perlunya penyesuaian

mental dan perlunya membentuk sikap, nilai dan minat baru.

2) Masa remaja sebagai periode peralihan

Peralihan bagi remaja adalah apa yang terjadi sebelumnya akan

meninggalkan bekas pada apa yang terjadi sekarang dan yang akan

(30)

meninggalkan bekas dan akan mempengaruhi pola perilaku dan sikap

yang baru. Struktur psikis pada remaja berasal dari masa kanak-kanak,

dan banyak ciri yang umumnya dianggap sebagai ciri khas masa

remaja sudah ada pada akhir masa kanak-kanak. Namun status remaja

yang tidak jelas ini juga menguntungkan karena memberi waktu

kepadanya untuk mencoba gaya hidup yang berbeda dan menentukan

pola perilaku, nilai dan sifat yang paling sesuai bagi dirinya.

3) Masa remaja sebagai periode perubahan

Terdapat empat perubahan yang hampir bersifat universal, pertama,

meningginya emosi yang intensitasnya bergantung pada tingkat

perubahan fisik dan psikologis yang terjadi. Kedua, perubahan tubuh,

minat dan peran yang diharapkan oleh kelompok sosial untuk

dipesankan, menimbulkan masalah baru. Ketiga, dengan berubahnya

minat dan pola perilaku, maka nilai-nilai juga berubah. Keempat,

sebagian besar remaja bersikap ambivalen terhadap setiap perubahan.

Mereka menginginkan kebebasan dan menuntut mendapatkannya,

tetapi mereka ketakutan untuk bertanggung jawab dan meragukan

kemampuan untuk dapat mengatasi tanggung jawab tersebut.

4) Masa remaja sebagai usia bermasalah

Setiap periode pasti mempunyai masalahnya sendiri, namun pada masa

remaja sering menjadi masalah yang sulit diatasi. Ketidakmampuan

mereka untuk mengatasi sendiri masalahnya menurut cara yang

mereka yakini membuat banyak remaja akhirnya menemukan bahwa

(31)

5) Masa remaja sebagai masa mencari identitas

Menurut teori psikososial Erikson (1968) identitas versus kekacauan

identitas merupakan tahap perkembangan kelima yang dialami oleh

remaja. Pada saat ini individu dihadapkan pada pertanyaan siapa

mereka, mereka itu sebenarnya apa, dan kemana mereka menuju dalam

hidupnya (Santrock, 2003). Dalam usaha pencarian identitas diri inilah

yang dapat mempengaruhi perilaku remaja.

6) Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan

Anggapan streotip budaya bahwa remaja adalah anak-anak yang tidak

rapih, yang tidak dapat dipercaya dan cenderung merusak dan

berperilaku merusak. Streotip ini mempengaruhi konsep diri dan sikap

remaja terhadap dirinya sendiri. Menerima streotip ini dan adanya

keyakinan bahwa orang dewasa mempunyai pandangan yang buruk

tentang remaja, membuat peralihan ke masa dewasa menjadi sulit. Hal

ini menimbulkan banyak pertentangan dengan orang tua dan antara

orang tua dengan anak terjadi jarak yang menghalangi anak untuk

mengatasi berbagai masalahnya.

7) Masa remaja sebagai masa yang tidak realistik

Remaja cenderung melihat dirinya sendiri dan orang lain sebagaimana

yang ia inginkan dan bukan sebagaimana adanya. Hal ini

menyebabkan meningginya emosi yang merupakan ciri dari awal masa

remaja. Semakin tidak realistik cita-citanya semakin ia menjadi marah.

(32)

mengecewakannya atau kalau ia tidak berhasil mencapai tujuan yang

ditetapkannya sendiri.

8) Masa remaja sebagai ambang masa dewasa

Dengan semakin mendekatnya usia kematangan yang sah, para remaja

menjadi gelisah untuk meninggalkan stereotip belasan tahun dan untuk

memberikan kesan bahwa mereka sudah hampir dewasa. Oleh karena

itu, remaja mulai memusatkan diri pada perilaku yang dihubungkan

dengan status dewasa, yaitu merokok, minum-minuman keras,

menggunakan obat-obatan, dan terlibat dalam perbuatan seks. Mereka

menganggap bahwa perilaku ini akan memberikan citra yang mereka

inginkan.

4. Tugas perkembangan remaja

Remaja menurut Soetjiningsih (2007) mempunyai dua tugas utama,

yaitu:

1) Mencapai ukuran kebebasan atau kemandirian dari orang tua

Pada masa remaja sering terjadi adanya kesenjangan dan

konflik antara remaja dengan orang tuanya. Pada masa inilah ikatan

emosional menjadi berkurang dan remaja sangat membutuhkan

kebebasan emosional dari orang tua. Sementara orang tua masih

ingin mengawasi dan melindungi anaknya.

Pada awal usia remaja, perjuangan kemandiriannya ditandai

dengan perubahan dari sifat tergantung kepada orang tua menjadi

tidak tergantung. Salah satu contohnya adalah remaja mulai tidak

(33)

2) Membentuk identitas untuk tercapainya integrasi diri dan

kematangan pribadi

Proses pembentukkan identitas diri adalah proses yang panjang

dan kompleks, yang membutuhkan kontinuitas dari masa lalu,

sekarang, dan yang akan datang dari kehidupan individu.

Erickson mengatakan bahwa pada saat remaja timbul sebuah

pertanyaan penting yaitu “Siapakah Aku?”. Hal inilah yang

membuat remaja berusaha melepaskan diri dari lingkungan dan

ikatan dari orang tua karena mereka ingin mencari identitas.

5. Masalah pada remaja

Salah satu ciri dari remaja menurut Hurlock (1999) merupakan usia

yang bermasalah. Hal ini karena begitu beratnya pertumbuhan dan

perkembangan seksual normalnya sehingga dalam mengatasi masalah

terkadang remaja mengalami kegagalan. Masalah yang timbul pun

bervariasi dalam hal tingkat keparahannya dan tingkat perkembangan

remaja (Santrock, 2003). Beberapa masalah remaja menurut Santrock

berlangsung dalam jangka waktu yang singkat namun ada beberapa

masalah lainnya yang dapat bertahan selama bertahun-tahun.

Sedangkan menurut Pedoman Kesehatan Jiwa Remaja (2008)

adanya hambatan dalam tahap perkembangan dapat menimbulkan masalah

kesehatan jiwa bila tidak terselesaikan dengan baik. Beberapa masalah

(34)

1) Alkohol dan obat-obatan terlarang

Beberapa remaja sudah mulai menggunakan alkohol dan

mengonsumsi obat-obatan terlarang dengan alasan dapat mengurangi

ketegangan dan frustasi, menghilangkan kebosanan dan rasa lelah

sehingga dapat membantu remaja dalam melarikan diri dari kenyataan

hidup yang keras (Santrock, 2003).

Lebih lanjut Santrock menemukan beberapa alasan mengapa

remaja mengkonsumsi narkoba yaitu karena ingin tahu, untuk

meningkatkan rasa percaya diri, solidaritas, adaptasi dengan

lingkungan, maupun untuk kompensasi. Berikut merupakan penyebab

remaja mengonsumsi alkohol dan obat-obatan terlarang:

a. Pengaruh sosial dan interpersonal: termasuk kurangnya kehangatan

dari orang tua, supervisi, kontrol, dan dorongan. Penilaian negatif

dari orang tua, ketegangan di rumah, perceraian, dan perpisahan

orang tua.

b. Pengaruh budaya dan tata krama: memandang penggunaan alkohol

dan obat-obatan sebagai simbol penolakan atas standar

konvensional, berorientasi pada tujuan jangka pendek dan

kepuasan hedonis.

c. Pengaruh interpersonal: termasuk kepribadian yang temperamental,

agresif, orang yang memiliki lokus kontrol eksternal, rendahnya

harga diri, dan kemampuan koping yang buruk.

d. Cinta dan hubungan heteroseksual

(35)

f. Permasalahan moral, nilai, dan agama

2) Kenakalan remaja

Ketika masa remaja, kemampuan mengontrol diri sangat

diperlukan karena dorongan-dorongan dan nafsu-nafsu keinginannya

semakin bergejolak terutama dorongan seksual dan dorongan agresif.

Jika seorang remaja tidak mempunyai kontrol diri yang baik, dia akan

dikuasai oleh dorongan-dorongan ini sehingga timbulah bentuk

kenakalan remaja (Sukmono, 2011). Menurut Windiani dan

Soetjiningsih (2007) batasan kenakalan remaja dan gangguan tingkah

laku keduanya sama yaitu meliputi berbagai masalah neuropsikiatri.

Menurut DSM-IV American Psychiatric Association, diagnosis

gangguan tingkah laku dapat ditegakkan sesuai kriteria sebagai berikut

(Soetjiningsih, 2007):

a. Pola perilaku berulang dan menetap, dimana terdapat tiga atau

lebih perilaku dibawah ini dan paling tidak terjadi selama dua belas

bulan terakhir atau minimal terdapat satu kriteria perilaku didalam

enam bulan terakhir.

a) Perilaku agresif terhadap orang lain dan binatang

b) Merusak hak milik orang lain

c) Berbohong atau mencuri

d) Pelanggaran serius terhadap peraturan

b. Gangguan perilaku ini menyebabkan terjadinya gangguan sosial,

(36)

c. Jika individu berumur 18 tahun atau lebih, tidak memenuhi kriteria

gangguan kepribadian antisosial.

Penyebab dari kenakalan remaja menurut Pedoman Kesehatan

Jiwa Remaja (2008) yaitu terganggunya daya penyesuaian sosial

remaja, yang disebabkan oleh beberapa faktor yang saling berinteraksi,

diantaranya:

a. Faktor genetik/biologik/konstitusional misalnya:

a) Gangguan tingkah laku tak berkelompok yang sudah mulai

terlihat pada masa kanak, dan semakin parah dengan bertambah

nya usia yang antara lain terlihat pada sikap kejam terhadap

binatang, dan suka main api.

b) Kepribadian organik berupa perilaku impulsif, mudah marah,

dan tak berfikir panjang, hal tersebut terjadi sesudah adanya

kerusakan permanen pada otak.

c) Gangguan pemusatan perhatian dengan hiperaktivitas, yaitu

gangguan yang diakibatkan kerusakan minimal pada otak.

b. Faktor pola asuh orang-tua yang tidak sesuai dengan kebutuhan

perkembangan anak, misalnya: orang tua yang permisif, otoriter

dan masa bodoh, orang tua yang melakukan kekerasan pada anak

seperti verbal abuse.

c. Faktor psikososial misalnya :

a) Rasa rendah diri, rasa tidak aman, rasa takut yang

(37)

b) Pembentukan identitas diri yang kurang mantap dan keinginan

mencoba batas kemampuannya, menyebabkan remaja

berani/nekat

c) Proses identifikasi remaja terhadap tindak kekerasan

d) Penanaman nilai yang salah, yaitu orang atau kelompok yang

berbeda misalnya seragam sekolah, etnik, agama dianggap

“musuh”

e) Pengaruh media masa (majalah, film, televisi) dapat memberi

contoh yang tidak baik bagi remaja

3) Depresi dan bunuh diri

Kehidupan yang penuh stres pada saat ini seperti adanya nilai

standar ujian nasional yang dari tahun ke tahun mengalami

peningkatan, bencana yang terjadi dimana-mana, dan berbagai

peristiwa hidup yang menyedihkan dapat menyebabkan remaja

mengalami depresi (Susilowati, 2008). Menurut Isselbacher dkk

(2000) depresi merupakan gambaran yang paling sering ditemukan

diantara pasien yang mencoba bunuh diri. Meskipun depresi yang

diderita tidak parah namun risiko untuk bunuh diri tetap ada (Hinto,

1989 dalam Susilowati, 2008).

Bunuh diri merupakan penyebab utama kematian ketiga selama

masa remaja (Wong, 2002). Faktor yang lazim dijumpai diantara

remaja yang bunuh diri mencakup riwayat bunuh diri anggota

keluarga, penyalahgunaan alkohol serta zat, gangguan perilaku,

(38)

yang berhasil melakukan bunuh diri atau baru mencoba melakukannya

(Isselbacher dkk, 2000).

B. Perilaku Agresif

1. Definisi perilaku agresif

Perilaku agresif selalu dipersepsikan sebagai kekerasan terhadap

pihak yang dikenai perilaku tersebut baik verbal ataupun nonverbal yang

dengan sengaja ditujukan untuk melukai orang lain baik fisik ataupun

nonfisik (Anantasari, 2006).

Menurut Videbeck (2008) perilaku agresif sama dengan

permusuhan, yang dibedakan menjadi dua yaitu agresif verbal dan agresif

fisik. Agresif verbal adalah emosi yang diungkapkan melalui kata-kata

yang melecehkan, tidak adanya kerjasama, pelanggaran aturan atau norma,

atau perilaku mengancam (Schultz & Videbeck, 1998). Berbeda dengan

agresif verbal, agresif fisik merupakan perilaku menyerang atau melukai

orang lain atau mencakup perusakan properti. Secara keseluruhan

Videbeck beranggapan perilaku agresif itu ditujukan untuk menyakiti atau

menghukum orang lain atau memaksa seseorang untuk patuh.

2. Penyebab perilaku agresif

Perilaku agresif banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor yang

menstimulus kejadiannya, antara lain:

1) Faktor biologis

Davidoff (1991 dalam Mutadin, 2002) menyatakan bahwa ada

beberapa faktor biologis yang dapat mempengaruhi perilaku agresif

(39)

Berbagai penelitian telah mencoba menelaah tentang keberadaan

gen dalam pengaruhnya terhadap perilaku agresif. Dalam

kenyataannya, banyak hal yang membuktikan bahwa gen memiliki

pengaruh terhadap pembentukkan sistem neural otak yang mengatur

perilaku agresif (Davidoff). Dari penelitian yang dilakukan terhadap

binatang, mulai dari yang sulit sampai yang paling mudah dipancing

amarahnya didapatkan hasil bahwa faktor keturunan menunjukkan

hewan jantan yang berasal dari berbagai jenis lebih mudah marah

dibanding betinanya (Krahe, 2005).

Selain itu berbagai ahli penelitian berpendapat bahwa

kecenderungan berperilaku agresif merupakan bagian sifat bawaan

genetika individu. Hal ini dinyatakan bahwa individu-individu yang

berhubungan secara genetika memiliki kecenderungan agresif yang

satu sama lain lebih serupa dibanding individu-individu yang tidak

berhubungan secara genetis (Krahe, 2005).

Sistem otak yang tidak terlibat dalam agresif menunjukkan

dapat memperkuat atau menghambat sirkuit neural yang

mengendalikan agresif. Pada hewan sederhana, marah dapat dihambat

atau ditingkatkan dengan merangsang sistem limbik (daerah yang

menimbulkan kenikmatan pada manusia) sehingga muncul hubungan

timbal balik antara kenikmatan dan kekejaman (Mutadin, 2002)

Presscot (1991 dalam Mutadin) menyatakan bahwa orang yang

berorientasi pada kenikmatan akan sedikit melakukan agresif

(40)

kegembiraan atau santai cenderung untuk melakukan kekejaman dan

penghancuran (agresif). Presscot menyakini bahwa keinginan yang

kuat untuk menghancurkan disebabkan oleh ketidakmampuan untuk

menikmati sesuatu hal yang disebabkan cedera otak akibat kurang

rangsangan sewaktu bayi (Mu’tadin).

Selain itu Videbeck (2008) juga beranggapan bahwa serotonin

merupakan inhibitor utama pada perilaku agresif. Jadi, apabila kadar

serotonin didalam tubuh rendah maka akan menyebabkan peningkatan

perilaku agresif. Selain itu, peningkatan aktivitas dopamine dan

norepinefrin di otak dikaitkan dengan peningkatan perilaku yang

impulsive (Kavoussi et al., 1997 dalam Videbeck). Lalu kerusakkan

terjadi pada sistem limbik, lobus frontal, dan lobus temporal otak

dapat mengubah kemampuan individu untuk memodulasi agresi

sehingga timbul perilaku agresif.

Kimia darah (khususnya hormon seks yang sebagian ditentukan

faktor keturunan) juga dapat mempengaruhi perilaku agresif. Dalam

suatu eksperimen ilmuwan menyuntikan hormon testosteron pada tikus

dan beberapa hewan lain (testosteron merupakan hormon androgen

utama yang memberikan ciri kelamin jantan), maka tikus-tikus tersebut

berkelahi semakin sering dan lebih kuat. Kenyataan mencoba

mengungkap bahwa pada anak banteng jantan yang sudah dikebiri

akan menjadi jinak. Sedangkan pada wanita yang tengah mengalami

masa haid, kadar hormon kewanitaan yaitu estrogen dan progresteron

(41)

perasaan mereka mudah tersinggung, gelisah, tegang dan bermusuhan

(Mutadin, 2002).

2) Faktor psikologis

Setiap manusia akan mengekspresikan diri sesuai dengan usia

perkembangannya. Contohnya seperti bayi dan toddler yang

mengekspresikan dirinya dengan suara keras dan intens. Ketika anak

tumbuh dewasa diharapkan dapat mengembangkan kontrol implusnya

(kemampuan untuk menunda terpenuhinya keinginan) dan perilaku

yang tepat secara sosial. Kegagalan dalam mengembangkan kualitas

tersebut dapat menyebabkan individu yang impulsive, mudah frustasi,

dan rentan terhadap perilaku agresif (Videbeck, 2008).

Psikologis individu dalam kenyataan juga memiliki peranan

untuk memunculkan perilaku agresif. Hal ini remaja dalam fasenya,

mereka seringkali mengalami gangguan psikis (misalnya tersinggung)

sehubungan dengan perkembangan pribadi yang semakin pesat, karena

menghadapi berbagai hal yang dapat menjadikan hambatan baginya.

Akibatnya, ini akan menjadi salah satu penyebab yang mendukung

terjadinya perilaku agresif. Kondisi ini diantaranya adalah frustasi dan

marah (Mutadin, 2002).

Frustrasi terjadi bila seseorang terhalang oleh sesuatu hal dalam

mencapai suatu tujuan, kebutuhan, keinginan, pengharapan atau

tindakan tertentu. Akibat frustasi, individu cenderung akan

(42)

lebih sensitif, menjadi mudah marah, dan berperilaku agresif

(Mutadin).

Marah menurut Davidoff (1991 dalam Mutadin) merupakan

emosi yang memiliki ciri-ciri aktifitas sistem saraf parasimpatik yang

tinggi dan adanya perasaan tidak suka yang sangat kuat yang biasanya

disebabkan karena adanya kesalahan, yang ternyata salah atau juga

tidak. Pada saat marah ada perasaan ingin menyerang, meninju,

menghancurkan atau melempar sesuatu dan biasanya timbul pikiran

yang kejam. Bila hal-hal tersebut disalurkan maka terjadilah perilaku

agresif (Mutadin)

3) Faktor situasional

Faktor situasional merupakan stimulus yang muncul pada situasi

tertentu yang mengarahkan perhatian individu kearah agresi sebagai

respon potensial. Faktor-faktor ini diantaranya adalah alkohol dan

temperatur/suhu (Krahe, 2005).

Alkohol memberikan pengaruh perilaku agresif untuk

situasi-situasi tertentu pada individu. Ada berbagai temuan yang menyatakan

bahwa alkohol memperlihatkan memainkan peranan penting dalam

praktik kriminalitas dengan kekerasan, termasuk pembunuhan.

Alkohol juga telah ditengarai sebagai faktor sentral dalam berbagai

macam agresif kelompok (kolektif), seperti agresif huru-hara maupun

agresif geng (vandalisne) (Krahe).

Suhu (temperatur) adalah keadaan cuaca di suatu wilayah

(43)

lingkungan yang tinggi memiliki dampak terhadap tingkah laku sosial,

berupa peningkatan agresifitas (Mutadin).

Anderson et al (1997) menyatakan bahwa temperature tinggi

yang tidak nyaman meningkatkan motif maupun perilaku agresif

(Krahe). Hal ini sesuai dengan laporan dari US Riot Comission pada

tahun 1968 bahwa dalam musim panas rangkaian kerusuhan dan

agresifitas massa lebih banyak terjadi di Amerika Serikat dibanding

dengan musim-musim lainnya (Fisher et al , 1992 dalam Mutadin).

4) Faktor sosial

Berbagai kondisi sosial yang merugikan ditelaah sebagai

penyebab potensial timbulnya tingkah laku agresif pada individu

(Krahe, 2005). Termasuk faktor sosial sebagai berikut:

a. Keluarga

Keluarga yang mendasari segala segi perkembangan pribadi

seorang anak. Pengaruh-pengaruh orang yang tinggal di sekeliling

sangat berpengaruh terhadap perkembangan remaja, apakah hal itu

memberi pengaruh baik ataupun buruk (Tambunan, 1997).

Diantaranya pengaruh-pengaruh tersebut adalah kondisi-kondisi,

seperti (Monks et al, 2004):

a) Kemiskinan dan jumlah anggota keluarga yang lebih besar.

b) Kenakalan yang terdapat di lingkungan rumah tangga diantara

(44)

c) Rumah tangga yang berantakan karena kematian salah seorang

dari orang tua, perpisahan ibu dan ayah, perceraian atau karena

melarikan diri dari rumah.

d) Kurangnya keamanan jiwa disebabkan orang tua yang terus

bertengkar dan kurangnya stabilitas emosi.

e) Tidak terdapatnya penyesuaian pendidikan, disiplin, dan tujuan

hidup yang dicita-citakan oleh orang tua untuk anaknya.

f) Orang tua yang tidak menaruh perhatian terhadap anak, tidak

sempat menanamkan kasih sayang dan tidak pula dapat

menyatakan penghargaan atas prestasi yang diperoleh anak di

sekolah yang merupakan salah satu bentuk dari verbal abuse.

Dalam teori sosial Behrman et al (2000) menyatakan bahwa

salah satu yang mengakibatkan peningkatan agresif pada anak dan

remaja adalah hilangnya pola keluarga tradisional dalam

pemeliharaan anak dalam sistem kekeluargaan. Adanya persepsi

tentang perbedaan atau jurang pemisah (generation gap) antara

anak dengan orang tuanya memang tidak dapat dipungkiri masih

banyak melekat dibenak orang tua yang merasa bahwa segala

aturan yang mereka tetapkan meski dipatuhi dan ditaati

anak-anaknya dan demi kebaikan anak-anak-anaknya kelak di kemudian hari

(Mutadin, 2002).

Hal ini pun karena kekurangsesuaian antara keinginan anak

dan orang tua seringkali berakibat terhadap bentuk hubungan

(45)

menyambungnya atau bahkan tidak jarang malah menimbulkan

pertengkaran dari kedua pihak. Kegagalan komunikasi orang tua

dan anak diyakini sebagai salah satu penyebab timbulnya perilaku

agresif pada anak (Gunarsa, 2003).

b. Masyarakat

Setiap orang sangat akrab dengan lingkungan masyarakat

dimana ia bertempat tinggal. Anak remaja sebagai anggota

masyarakat selalu mendapat pengaruh masyarakat dan

lingkungannya baik secara langsung maupun tidak langsung.

Pengaruh dominan adalah perubahan sosial kehidupan masyarakat

yang ditandai dengan peristiwa-peristiwa yang sering

menimbulkan ketegangan, seperti revolusi, ketidakpuasan

pekerjaan, persaingan dalam perekonomian, terjadinya

diskriminasi, korupsi, pengangguran, mass media (missal

pornografi, pornoaksi), fasilitas rekreasi (seperti play station), dan

penyelenggaraan klub-klub malam, seperti diskotik (Krahe, 2005

dan Videbeck, 2008).

Dalam teori sosialnya, Behrman et all (2000) menyatakan

bahwa pergaulan modern, rusaknya nilai kegotongroyongan secara

umum, dan kelainan sosial baik pada individu maupun kelompok

besar dapat mengakibatkan peningkatan agresif pada anak dan

remaja.

Menurut Anantasari (2006) perilaku agresif tidak hanya timbul

(46)

lingkungan rumahnya, tetapi juga karena seseorang menjadi korban

kekerasan dari salah satu atau bahkan kedua orang tuanya. Beliau juga

menjelaskan proses dari perilaku agresif, yaitu:

1) Anak meniru perilaku agresif yang dilihatnya, atau adanya imitasi. Hal

ini terjadi karena seorang anak memiliki kecenderungan yang besar

sekali untuk meniru.

2) Pembentukkan kerangka pikir anak bahwa perilaku agresif adalah hal

yang lumrah bahkan perlu dilakukan. Hal ini terjadi ketika orang tua

sering memaki, sehingga anak cenderung menganggap makian sebagai

hal yang lumrah dan melakukan hal yang sama kepada orang lain.

3) Kekerasan yang dilihat atau dialami anak secara terus-menerus akan

membentuk pola pikir pada anak bahwa lingkungan sekitarnya

bukanlah tempat yang aman baginya. Sehingga anak ini akan

cenderung curiga dan menyebabkan timbulnya perilaku agresif.

4) Anak yang mengalami kekerasan terus-menerus cenderung memiliki

harga diri rendah. Harga diri rendah menimbulkan sikap negatif dan

mengurangi koping saat frustasi. Hal ini yang akan meningkatkan

kecenderungan berperilaku agresif pada anak.

3. Dampak perilaku agresif

Dampak utama dari perilaku agresif adalah anak tidak mampu

berteman dengan teman sebaya atau lingkungan. Padahal dengan hal ini,

perilaku agresif akan semakin ditampilkan karena mereka tidak dapat

(47)

dalam Maryanti, 2012) perilaku agresif akan berpengaruh terhadap dirinya

sendiri ataupun orang lain, seperti:

1) Dampak bagi dirinya sendiri yaitu akan dijauhi oleh teman-temannya

dan memiliki konsep diri yang buruk, anak akan dicap sebagai anak

yang nakal sehingga membuatnya merasa kurang aman dan kurang

bahagia.

2) Dampak bagi orang lain (lingkungan), yaitu dapat menimbulkan

ketakutan bagi anak-anak lain dan akan tercipta hubungan sosial yang

kurang sehat dengan teman-teman sebayanya. Selain itu, dapat

mengganggu ketenangan lingkungan karena biasanya anak yang

berperilaku agresif memiliki kecenderungan untuk merusak sesuatu

yang disekitarnya.

4. Bentuk perilaku agresif

Beberapa bentuk perilaku agresif dalam hal ini, diantaranya adalah

sebagai berikut:

1) Agresif di ruang publik

a. Bullying

Bullying merupakan suatu tindakan yang melibatkan

kekuatan dan kekuasaan yang tidak seimbang, sehingga korbannya

berada dalam keadaan tidak mampu mempertahankan diri secara

efektif untuk melawan tindakan negatif yang diterimanya.

Tindakan ini bisa berupa mengganggu, melecehkan, merendahkan,

(48)

Olweus (1994 dalam Krahe) berpendapat bahwa seseorang

dianggap menjadi korban bullying, bila ia dihadapkan pada

tindakan negatif seseorang atau lebih, yang dilakukan

berulang-ulang dan terjadi dari waktu ke waktu. Bullying biasanya terjadi

secara berkelanjutan selama jangka waktu cukup lama, sehingga

korbanya terus-menerus berada dalam keadaan cemas dan

terintimidasi.

Bullying dapat berbentuk tindakan langsung maupun tidak

langsung. Bullying langsung mencakup pelecehan fisik terhadap

korbannya, sementara bullying tidak langsung terdiri atas berbagai

strategi yang menyebabkan targetnya terasing dan terkucil secara

sosial (Krahe, 2005).

b. Agresif kolektif

Agresif kolektif merupakan tindakan yang mencakup

berbagai macam bentuk perilaku agresif yang dilakukan kelompok

atau individu sebagi bagian kelompok. Agresif kolektif seringkali

diarahkan pada kelompok lain dan bukan pada sasaran individual.

Bentuk-bentuk agresif kolektif diantaranya adalah aksi huru-hara

dan kekerasan geng (Krahe).

Aksi huru-hara (rioting) didefinisikan sebagai tindakan

kolektif bermusuhan yang dilakukan kelompok yang terdiri atas 50

orang atau lebih, yang menyerang orang secara fisik atau memaksa

(49)

Geng adalah sebuah kelompok sebaya dengan rerata umur

sama, yang memamerkan permanentasi tertentu, terlibat dalam

kegiatan kriminal dan memiliki representasi keanggotaan simbolis

tertentu. Kekerasan geng ini biasa diwujudkan dengan membuat

keonaran-keonaran yang dapat mengganggu keadaan sekitar seperti

pemukulan terhadap seseorang tanpa suatu alasan yang jelas dan

biasanya terjadi secara tiba-tiba, pemerasan, perusakan fasilitas

baik itu milik umum maupun perseorang/individual dan berbagai

keonaran lainnya (Krahe, 2005).

c. Pembunuhan

Pembunuhan adalah tindakan agresif hingga merenggut

nyawa orang lain atau menyebabkan kematian si korban. Tindakan

ini tergolong paling ekstrim dibanding bentuk-bentuk agresif lain.

Perbuatan ini misalnya dengan menembak, memanah atau

menusuk dan motif lainnya hingga menyebabkan terbunuhnya si

korban (Sudarsono, 2004)

2) Agresif seksual

Agresif seksual merupakan suatu tindakan meliputi berbagai

kegiatan seksual yang dipaksakan, termasuk hubungan seksual, seks

oral, mencium, petting dan penggunaan berbagai strategi koersif,

seperti ancaman atau penggunaan berbagai strategi koersif, seperti

ancaman atau penggunaan kekuatan fisik, mengeksploitasi

ketidakmampuan korban untuk menolak atau menekan secara verbal

(50)

Belknap et al (1999 dalam Krahe) menyatakan bahwa agresif

seksual berarti juga memasukkan perhatian yang tidak dikehendaki,

misalnya dalam bentuk pelecehan seksual, stalking (memperlihatkan

penis yang ereksi) ataupun telepon cabul (Krahe).

C. Verbal Abuse

1. Definisi verbal abuse

Verbal abuse atau lebih dikenal dengan kekerasan verbal merupakan

“kekerasan terhadap perasaan”. Memuntahkan kata-kata kasar tanpa

menyentuh fisik, kata-kata yang memfitnah, kata-kata yang mengancam,

menakutkan, menghina atau membesar-besarkan kesalahan orang lain

merupakan kekerasan verbal (Sutikno, 2010).

Kekerasan verbal biasanya terjadi ketika ibu sedang sibuk dan

anaknya meminta perhatian namun si ibu malah menyuruh anaknya untuk

“diam” atau “jangan menangis” bahkan dapat mengeluarkan kata-kata

“kamu bodoh”, “kamu cerewet”, “kamu kurang ajar”, “kamu menyebalkan”, atau yang lainnya. Kata-kata seperti itulah yang dapat

diingat oleh sang anak, bila dilakukan secara berlangsung oleh ibu

(Rakhmat, 2007). Tidak hanya seorang ibu yang bisa melakukan verbal

abuse, seorang ayah pun bisa melakukan verbal abuse ketika ia merasa

kesal. “Anak jadah, pakai kuping mu untuk mendengarkan nasihat orang

tua. Muak aku melihat perangai mu itu…” adalah contoh verbal abuse

ketika seorang ayah merasa kesal karena nasihatnya tidak didengarkan

(51)

2. Karakteristik verbal abuse

Anderson (2011) membagi karakteristik dari verbal abuse menjadi

tujuh, yaitu:

1) Verbal abuse sangat menyakitkan dan selalu mencela sifat dan

kemampuan.

2) Verbal abuse dapat bersifat terbuka seperti luapan kemarahan atau

memanggil nama dengan sebutan tidak baik dan tertutup seperti

ungkapan atau komentar tajam yang menyakiti hati korban.

3) Verbal abuse merupakan manipulasi dan mengontrol. Komentar yang

merendahkan mungkin terdengar sangat jujur dan mengenai sasaran.

Tetapi tujuannya adalah untuk memanipulasi dan mengontrol.

4) Verbal abuse merupakan perlakuan jahat secara diam-diam. Verbal

abuse menyusutkan rasa percaya diri seseorang.

5) Verbal abuse tidak dapat diprediksikan. Pada kenyataannya, tidak

dapat diprediksikan merupakan satu dari beberapa karakteristik verbal

abuse yang sangat signifikan. Hal ini dapat melalui mencaci maki,

merendahkan, dan komentar yang menyakitkan.

6) Verbal abuse mengekspresikan pesan ganda. Tidak ada kesesuaian

antara tujuan dari ucapan kasar dan bagaimana perasaannya. Sebagai

contoh, mungkin terdengar sangat jujur dan baik ketika mengucapkan

apa yang salah dengan seseorang.

7) Verbal abuse selalu meningkat sedikit demi sedikit, meningkat dalam

intensitasnya, frekuensi, dan jenisnya. Verbal abuse mungkin dimulai

(52)

3. Bentuk verbal abuse

Sutikno (2010) menjelaskan bahwa bentuk dari verbal abuse itu

merupakan kata-kata yang memfitnah, kata-kata yang mengancam,

menakutkan, menghina atau membesar-besarkan kesalahan orang lain.

Bahkan Rahmat (2007) menambahkan bahwa ancaman atau intimidasi,

merusak hak dan perlindungan korban, menjatuhkan mental korban,

perkataan yang menyakitkan dan melecehkan, atau memaki-maki dan

berteriak-teriak keras juga sudah dikategorikan sebagai bentuk kekerasan

yang bersifat verbal.

Christianti (2008) lebih memerinci bentuk dari verbal abuse adalah

sebagai berikut:

1) Tidak sayang dan dingin

Tindakan tidak sayang dan dingin ini berupa misalnya: menunjukan

sedikit atau tidak sama sekali rasa sayang kepada anak (seperti

pelukan), dan kata-kata sayang.

2) Intimidasi

Tindakan intimidasi bisa berupa : berteriak, menjerit, mengancam

anak, dan menggertak anak.

3) Mengecilkan atau mempermalukan anak

Tindakan mengecilkan atau mempermalukan anak dapat berupa

seperti: merendahkan anak, mencela nama, membuat perbedaan negatif

antar anak, menyatakan bahwa anak tidak baik, tidak berharga, jelek

(53)

4) Kebiasaan mencela anak

Tindakan mencela anak bisa dicontohkan seperti: mengatakan bahwa

semua yang terjadi adalah kesalahan anak.

5) Tidak mengindahkan atau menolak anak

Tindakan tidak mengindahkan atau menolak anak bisa berupa: tidak

memperhatikan anak, memberi respon dingin, tidak peduli dengan

anak.

6) Hukuman ekstrim

Tindakan hukuman ekstrim bisa berupa: mengurung anak dalam kamar

mandi, mengurung dalam kamar gelap. Mengikat anak di kursi untuk

waktu lama dan meneror.

4. Akibat verbal abuse

Soetjiningsih (2007) beranggapan bahwa kekerasan yang dialami

oleh anak secara umum dapat berdampak pada fisik dan psikologis dengan

berbagai intensitas berat dan ringannya. Lebih spesifik lagi Wicaksana

(2008) mempertegas bahwa akibat dari tindakan verbal abuse yaitu

terhadap perkembangan psikis dan emosional lebih berat. Verbal abuse

sangat berpengaruh pada anak terutama perkembangan psikologisnya,

berikut merupakan dampak-dampak psikologis akibat kekerasan verbal

menurut Soetjiningsih (1999 dan 2007), diantaranya yaitu:

1) Gangguan emosi

Terdapat beberapa gangguan emosi pada korban kekerasan orang tua,

seperti terhambatnya perkembangan konsep diri yang positif, lambat

(54)

sosial dengan orang lain, termasuk kemampuan untuk percaya diri.

Dapat pula terjadi pseudomaturitas emosi. Beberapa anak menjadi

agresif atau bermusuhan dengan orang dewasa, sedang yang lainnya

menjadi menarik diri/menjauhi pergaulan. Anak suka ngompol,

hiperaktif, perilaku aneh, kesulitan belajar, gagal sekolah, sulit tidur,

temper tantrum, dan sebagainya.

2) Konsep diri rendah

Anak yang mendapat perlakuan salah merasa dirinya jelek, tidak

dicintai, tidak dikehendaki, muram dan tidak bahagia, dan tidak

mampu menyenangi aktifitas.

3) Agresif

Anak yang mendapat perlakuan salah lebih agresif terhadap teman

sebayanya. Sering tindakan agresif tersebut meniru tindakan orang tua

mereka atau mengalihkan perasaan agresif kepada teman sebayanya

sebagai hasil miskinnya konsep diri. Hal serupa dinyatakan pula oleh

Anantasari (2006) kekerasan yang dialami oleh anak, baik secara

langsung maupun tidak, cenderung mendorong munculnya kekerasan

atau perilaku agresif oleh anak.

4) Hubungan sosial

Pada anak-anak dengan gangguan hubungan sosial sering kurang dapat

bergaul dengan teman sebayanya atau dengan orang-orang dewasa.

Mereka mempunyai teman sedikit dan suka menganggu orang dewasa,

(55)

lainnnya. Menurut Rakhmat (2007) dapat pula timbul kepribadian

sociopath atau antisocial personality disorder.

Penyebab utama dari kepribadian ini adalah emotional child abuse

yang dalam bentuk umumnya sering disebut juga dengan verbal abuse.

Perilaku ini dapat terlihat dengan sering bolos, mencuri, bohong,

bergaul dengan orang jahat, kejam pada binatang, dan prestasi sekolah

yang buruk.

5) Bunuh diri

Menurut Soetjiningsih (2007) tindak kekerasan pada anak akan

menyebabkan stres mental yang dialami oleh remaja. Stres mental ini

apabila tidak tertangani maka akan berkembang menjadi percobaan

bunuh diri sehingga akan menyebabkan perilaku bunuh diri oleh

remaja.

6) Akibat lain

Akibat lain dari perlakuan salah menurut Soetjiningsih, anak akan

melakukan hal sama dikemudian hari terhadap anak-anaknya kelak.

Hal ini dipertegas oleh Rakmat (2007) bahwa semua tindakan

kekerasan kepada anak-anak akan direkam dalam bawah sadar dan

akan di bawa hingga dewasa dan cenderung akan menjadi agresif.

Bahkan setelah mereka menjadi orang tua sifat tersebut masih melekat

dan mereka melakukan hal yang sama kepada anak mereka sehingga

Gambar

Tabel 3.1 Definisi Operasional
Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur
Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Tabel 5.4 Verbal Abuse Orang Tua Siswa
+3

Referensi

Dokumen terkait

Hasil uji Chi Square menunjukkan p > α, yaitu 0,466, sehingga H 0 diterima dan hasil uji Asosiasi Asimetri Lambda Statistik L B menunjukkan 0 yang

Pada lokasi penelitian terdapat hubungan antara dukungan orang tua dengan perilaku merokok terlihat dari hasil uji chi square di dapat nilai P Value = 0,025 dan ini lebih

Setelah dilakukan analisis uji statistik mengguangnakan uji Chi Square , didapatkan nilai p = 0.35 dimana p > α 0.05, maka dengan demikian dapat disimpulkan bahwa

Hal ini ditunjukan dari hasil korelasi yang berhubungan positif antara intensitas bermain game mobile legend yang menstimulus stuasi perilaku agresif dengan perilaku

> α, yaitu 0,855, sehingga H 0 diterima dan hasil uji Asosiasi Asimetri Lambda Statistik L B menunjukkan 0 yang dapat disebabkan oleh perolehan uji Chi Square

Berdasarkan hasil analisis statistik dengan menggunakan uji chi-square didapatkan hasil p value 0,003, artinya ada hubungan antara pengetahuan kesehatan reproduksi dengan perilaku

Penuturan tersebut sesuai dengan studi pendahuluan yang dilakukan pada 10 orang siswa didapatkan hasil jika keseluruhan siswa tersebut pernah mendaptkan atau mengalami kekerasan verbal

Pengaruh pola asuh orang tua dengan pernikahan dini Analisa data dilakukan dengan uji statistik chi square diperoleh angka signifikan 0,000 yang lebih rendah dari standart signifikan